BAB I Menemukan Konflik di Muallimin Praktek sosial yang terjadi di masyarakat erat kaitannya dengan kepentingan individu. Namun konsekuensi yang dapat muncul dari pertemuan kepentingan itu adalah konflik. Pada dasarnya konflik merupakan situasi di mana masing-masing pihak menginginkan sesuatu yang tidak ingin diberikan pihak lain.1 Secara lebih lanjut konflik didefinisikan sebagai “persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.”2 Konflik di dalam ilmu sosial memiliki peranan yang penting; ia bisa berfungsi sebagai faktor produktif yang turut mengembangkan ilmu pengetahuan, selain itu, konflik juga bermanfaat dalam kerangka pengekspresian gagasan dari masing-masing pihak yang berbeda.. Instrumen dalam sebuah konflik dapat berupa dua aktor yang berbeda kepentingan, sesuatu yang diperebutkan, serta tindakan yang dilakukan. Biasanya takaran sesuatu tersebut bisa beragam tergantung dengan entitas yang melatari munculnya sebuah konflik. Sebagai contoh dalam entitas keluarga, ada seorang anak yang kecewa pada ayahnya karena tidak diperbolehkan keluar pada malam hari. Sang ayah berargumen bahwa keluar malam hanya akan menimbulkan efek negatif kepada sang anak, sementara si anak merasa bahwa dirinya berhak menentukan apa yang baik dan tidak bagi dirinya. Keduanya teguh pada persepsinya masing-masing. Pada akhirnya sang ibu muncul menawarkan kesepakatan setelah berdialog dengan keduanya. Sang ibu mengusulkan bahwa sang anak dapat keluar hanya pada malammalam tertentu dan kembali pada jam tertentu. Akhirnya kesepakatan tersebut diterima dan masing-masing mampu menjaga komitmennya dalam ‘kontrak’ yang telah mereka capai. Ilustrasi di atas menggambarkan secara sederhana konflik yang muncul di dalam satu entitas yang melibatkan aktor yang berbeda kepentingannya. Kemudian masing-masing pihak bertemu pada satu titik di mana resolusi diketemukan. 1 2 Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin. 2009. Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal. 4 Ibid, Hal. 9-10 1 Seorang remaja yang sedang mengalami proses menuju kedewasaan adakalanya memiliki kepentingannya sendiri. Kepentingan didefinisikan oleh Raven dan Rubin sebagai “perasaan seseorang mengenai apa yang sesungguhnya ia inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat sentral dalam pikiran dan tindakan orang, yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan niat (intensi)-nya.”3 Namun, bagaimana jika seorang remaja tersebut berada di dalam satu entitas yang menuntutnya untuk berperilaku tertentu yang barangkali bertentangan dengan kepentingannya? Bisa dikatakan bahwa terdapat konflik yang akan muncul di dalam entitas tersebut yang kemudian akan memunculkan dinamika konflik yang berlangsung. Salah satu entitas yang menarik untuk diteliti dalam kerangka konflik yang sebelumnya dibahas adalah pesantren. Sebab di dalam pesantren terdapat peraturan yang pada dasarnya mengikat seluruh santrinya. Bagaimana kemudian peraturan tersebut diimplementasikan dan bagaimana respon santri sebagai remaja kiranya dapat ditelisik lebih lanjut menggunakan kerangka konflik yang akan digunakan. Pesantren di dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji. 4 Sebelumnya, pesantren di Indonesia memiliki ciri khasnya masing-masing jika berkenaan dengan organisasi yang berafiliasi terhadap pesantren tersebut. Sebagai contohnya adalah pesantren milik Muhammadiyah yang dapat dikatakan berbeda dengan pesantren yang dimiliki oleh Nahdhatul Ulama (NU). Perbedaan pertama terletak pada sisi teologis, di pesantren yang bercirikan NU terdapat tahlil, qunut, dan mengadakan shalat tarawih 20 raka’at, sementara dalam pesantren Muhammadiyah, tidak terdapat kegiatan tahlil maupun qunut, sedangkan jumlah tarawihnya biasanya 8 rakaat. Dari sisi organisasional pesantren, pesantren Muhammadiyah dikembangkan sebagai sekolah persyarikatan dan penguasaan terhadap kitab kuning yang berbeda dengan NU. Dan terakhir, dari segi kultural, Muhammadiyah memiliki ciri ‘santri’ yang tidak terbiasa dengan kultur kepesantrenan jika dibandingkan dengan ‘santri’ pesantren-pesantren NU lainnya karena dalam perjalanan historis Muhammadiyah sendiri, pesantren tidak terlalu melekat dalam kehidupan anggota Muhammadiyah bila dibandingkan dengan kohesi yang dimiliki antara anggota NU dan pesantren. Salah satu persantren milik Muhammadiyah adalah Madrasah Muallimin Muhammadiyah. Muallimin adalah sebuah pondok pesantren milik Muhammadiyah yang memiliki visi sebagai institusi pendidikan Muhammadiyah tingkat menengah yang unggul 3 4 Ibid, Hal. 21 Kamus Besar Bahasa Indonesia 2 dan mampu menghasilkan kader ulama, pemimpin, dan pendidik sebagai pembawa misi gerakan Muhammadiyah. 5 Sebagai sebuah institusi di dalam Muhammadiyah, Muallimin berperan serta dalam pengembangan spiritual quotient remaja terutama dalam menghadapi perkembangan zaman. Di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta terdapat sistem long-life education, di mana kemudian remaja yang hendak menuntut ilmu di dalamnya ditempatkan pada satu lingkungan dan kultur yang baru. Dalam sistem tersebut, seorang santri lebih ditekankan kepada aspek pendidikan daripada pengajaran.6 Hingga kemudian sistem tersebut ditujukan sebagai sarana dalam pengembangan mental seorang kader di dalam persyarikatan Muhammadiyah. Sebagai pondok pesantren, kebanyakan santri Muallimin diisi oleh santri-santri yang tidak terbiasa dengan kehidupan pesantren serta kultur Muhammadiyah yang tidak lekat dengan dunia kepesantrenan. Sebabnya dapat ditarik dari sisi komposisi profesi yang dimiliki oleh anggota Muhammadiyah. Kebanyakan merupakan profesi yang memerlukan keahlian khusus (dokter, guru, pedagang, pegawai, dsb) sehingga dari sisi finansial merupakan orangorang yang berkecukupan. Jika dilihat dari background pendidikan, kebanyakan anggota Muhammadiyah menempuh pendidikan umum dan tidak beririsan dengan kultur kepesantrenan. Ketika kemudian anak-anak mereka melakukan satu rutinitas baru di Muallimin—sistem pra-kondisi mereka berbeda dengan kegiatan-kegiatan yang kemudian diatur oleh sistem pesantren (menonton, membawa HP, bermain)—maka muncul indikasi adanya konflik kepentingan antara santri yang hendak belajar dengan kepentingan madrasah. Selain dari hal itu, kerangka proses pencarian jati diri juga memberikan sentuhan dalam persepsi yang berbeda dengan madrasah. Sifat observatif santri menjadi sentral dalam perkembangan remaja. Sifat itu terejawantahkan ke dalam tindakan keseharian santri yang terkadang beririsan dengan larangan yang diberlakukan oleh madrasah. Muallimin menuangkan tujuan-tujuannya dalam barisan-barisan peraturan yang detail. Ada peraturan-peraturan yang ketat untuk membatasi siswa melakukan tindakan-tindakan di luar nilai yang dianut oleh madrasah. Sehingga dalam perjalanannya, aturan tersebut dapat memunculkan kerentanan konflik antara santri dengan madrasah. Hal itu mirip sebagaimana yang dapat dilihat di berbagai kontestasi konflik, perbedaan persepsi akan sesuatu dapat http://muallimin.sch.id/index.php/visi-misi Merujuk pada arti boarding school dalam bahasa inggris yang berari “1. a private school where students are lodged and fed as well as taught”. Juga dapat dilihat dalam Johar Maknun, “Pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK): Boarding School Berbasis Keunggulan Lokal”. JPTA FPTK UPI. (bentuk pdf) hal. 9-10 5 6 3 menjadi pemicu munculnya sebuah konflik. Di sinilah kemudian bagaimana kerangka konflik bermula di dalam entitas pesantren tersebut. Ketika seseorang berkehendak untuk masuk ke dalam situasi baru, biasanya ia memiliki motif yang melatarinya. Dalam tataran santri Muallimin, motif yang melatari masuknya santri-santri ke Muallimin ada dua; yang pertama adalah keinginan sendiri, yang artinya masuk ke Muallimin adalah pilihannya sendiri; dan kedua adalah keinginan orangtua yang menyuruh anaknya untuk masuk karena keunggulan Muallimin, maupun karena memiliki ikatan emosional yang kuat dengan Muallimin. Dari beberapa motif tersebut kemudian dapat memunculkan adanya kerawanan konflik karena prakondisi mereka berbeda dengan apa yang ditawarkan di dalam pesantren. Berdasarkan uraian tersebut, konflik yang terdapat di Muallimin mulai ada semenjak santri tiba di depan gerbang Madrasah, ketika persoalan mengenai perbedaan persepsi antara madrasah dengan santri tak kunjung dipecahkan persoalannya, ketakutan yang muncul adalah perbedaan kepentingan tersebut akan membawa dampak negatif terhadap proses perkembangan remaja dan dinilai kontra-produktif terhadap perkembangan madrasah sendiri. Dan proses perumusan atas pilihan tindakannya pun semakin matang seiring dengan keberadaan santri di dalam Muallimin. A. Rumusan Masalah Pertanyaan dari uraian latar belakang tersebut kemudian adalah bagaimanakah dinamika konflik yang terjadi di Muallimin? Dan bagaimanakah proses pengelolaan konfliknya? B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini berusaha melihat dinamika konflik kepentingan di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. C. Manfaat Penelitian Manfaat dan harapan dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan wacana mutakhir dalam melihat dinamika konflik; 4 2. Memberikan pemahaman dalam pengelolaan kepentingan di Muallimin; dan 3. Memberikan kontribusi dalam studi-studi sosial di jurusan ilmu politik dan pemerintahan. D. Kerangka Teori Uraian mengenai konflik telah dijabarkan dan dapat ditemukan dalam cabang-cabang ilmu sosial, seperti misalnya Karl Marx yang didorong untuk mencari penjelasan terhadap konflik-konflik antar-kelas dengan penjabaran analisis politis dan ekonomis atau Emile Durkheim (secara tidak langsung) yang melihat bahwa kohesi yang terjadi antar masyarakatat dalam sosiokultural tumbang dengan adanya individualisasi dalam masyarakat yang berimplikasi pada kerentanan akan sebuah konflik. D.1 Teori Konflik Menurut Webster, istilah conflict di dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan” – yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Arti kata tersebut kemudian berkembang dengan masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain”. Sehingga Pruitt dan Rubin mengatakan bahwa konflik dapat pula berarti “persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived of divergence), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.”7 Acapkali yang melatari adanya suatu konflik adalah distribusi kekuasaan yang tidak merata di dalam satu tatanan masyarakat. Sementara yang disebut kekuasaan menurut Max Weber dapat berarti “kesempatan bagi seseorang atau sekelompok orang untuk mewujudkan kehendaknya dalam bentuk suatu aksi sosial baik terhadap mereka yang menentang kehendak itu mau pun terhadap yang mengikutinya.”8 Dimensi kekuasaan yang digunakan untuk mendominasi kelompok lain dapat mewujudkan satu kerentanan terhadap adanya konflik. Kalau dalam konteks negara, terdapat kelompok yang disebut sebagai aparatur penekan yang fungsinya untuk memaksakan kebijakan negara. Sementara terdapat pula kelompok yang disebut sebagai aparatur ideologis yang berfungsi untuk menerangkan dan mengembangkan ideologi negara.9 Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin. 2009. Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal. 9-10 A. Giddens & David Held, 1987. Perdebatan Klasik & Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekuasaan, dan Konflik, Rajawali Pers, Jakarta. Hal. 57 9 Ibid. Hal. 57 7 8 5 Konflik sendiri di dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai (1) percekcokan; perselisihan; dan pertentangan; (2) ketegangan, atau pertentangan. 10 Dalam tataran sosial, sifat konflik sebagaimana yang didefinisikan kitab bahasa ini dapat memiliki ciri khasnya sendiri, yakni konflik memiliki kekuasaan wilayah dan kompleksitas unsur yang terlibat. Berdasarkan hal itu, definisi atas konflik yang terdapat di dalam suatu susunan masyarakat dapat dibagi ke dalam empat hal: Pertama, konflik dibagi ke dalam dua kategori dalam hal memandang sebuah konflik. Pertama konflik ditempatkan sebagai suatu kejadian, peristiwa, atau fakta. Pertikaian antara satu pihak (Pihak I) dan pihak lain (Pihak II). Kedua, konflik diposisikan sebagai sudut pandang, perspektif dalam melihat atau memandang peristiwa-peristiwa sosial. Sudut pandang ini yang umumnya menjadi dasar dari analisis sosial yang berseberangan dengan perspektif harmoni/konsensus.11 Kedua, konflik terbagi ke dalam dua dimensi, vertikal dan horizontal. 12 Konflik vertikal biasanya terjadi antara elite dan massa rakyat, manajemen dan buruh, atau administrasi kampus dengan mahasiswa. Artinya kelompok yang terlibat di dalam pertentangan memiliki posisi yang berbeda (penguasa dan dikuasai) dalam entitas yang melingkupinya. Dimensi horizontal melingkupi pertikaian antar pengikut agama, antar suku, hingga antar sekolah. Dimensi ini melibatkan kelompok pertikaian yang memiliki posisi sosial yang sejajar di dalam masyarakat. Ketiga, konflik dapat dibagi berdasarkan keterlibatan individu di dalamnya yang berupa konflik individu atau konflik sosial. Konflik individu berarti konflik yang melibatkan antar dua orang oleh sebab-sebab yang bersifat privat. Konfliknya bersifat sederhana dan tidak memiliki konsekuensi sosial yang signifikan. 13 Sementara konflik sosial diartikan sebagai pertentangan yang terjadi antara suatu kelompok masyarakat dan kelompok yang lain. Sebabnya bisa terjadi karena konflik merupakan manifestasi perbedaan dalam skala yang luas. Sebabnya yang lain umumnya merujuk pada adanya konflik sebagai akibat dari kebijakan dari negara yang merugikan orang atau sekelompok orang.14 A. Munir Mulkhan & Muhaimin A. Ruslan (Ed), 2001, Kekerasan & Konflik: Tantangan Bagi Demokrasi, Forum LSM DIY, Yogyakarta. Hal. 37 11 Ibid, hal. 3 12 Ibid, hal. 41 13 A. Munir Mulkhan & Muhaimin A. Ruslan (Ed), 2001, Kekerasan & Konflik: Tantangan Bagi Demokrasi, Forum LSM DIY, Yogyakarta. Hal. 164 14 Ibid, hal. 164-165 10 6 Keempat, konflik dapat bersifat violence (dengan kekerasan) atau non-violence (tanpa kekerasan). Konflik yang bersifat violence secara sederhana dibedakan berdasarkan kerentanannya yang secara praksis dapat menimbulkan konsekuensi korban. Sementara konflik non-violence menekankan pada pertentangan yang tanpa menimbulkan korban di masyarakat. Beberapa penafsiran atas konflik di atas mendasarkan pilihan dalam membaca beragam konflik yang terdapat di masyarakat. Ada beragam pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami sebuah konflik, seperti misalnya pendekatan biologis tentang proses perjuangan spesies untuk bertahan hidup (survival of the fittest), atau Chris Mitchell dengan pendekatan strukturalnya yang mengambil kesimpulan bahwa konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan.15 Selain itu, salah satu yang menarik adalah pendekatan dari sudut psikologi aktor yang terlibat di dalam konflik. Luasnya instrumen yang berada di dalam konflik (situasi yang melatari konflik, aktor yang terlibat, kepentingan yang diusung) menandakan bahwa perlunya pengerucutan terhadap fokus yang akan dibahas. Oleh karena itu, pemilihan pendekatan ini dimaksudkan untuk menjangkau konflik dari sudut pandang aktor yang terlibat dalam sebuah konflik. Kembali kepada teori mengenai konflik, di dalam konflik, terdapat strategi yang digunakan oleh para aktor dalam merespon suatu konflik, yaitu: contending (bertanding) pada dasarnya prinsip dari strategi ini adalah mencoba menerapkan solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lain atau dalam tataran yang lebih ekstrim dapat pula bersifat contentious (suka bertengkar). Selanjutnya adalah yielding (mengalah) yang bermakna menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya diinginkan. Selanjutnya adalah problem solving (pemecahan masalah) yaitu mencari alternatif aspirasi yang memuaskan kedua belah pihak. Sementara withdrawing (menarik diri) yakni memilih untuk meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis. Dan yang terakhir adalah inaction (diam) yaitu strategi tidak melakukan apa pun.16 Pembedaan terhadap kelima strategi tersebut dimaksudkan untuk membedakan secara konseptual dari kelimanya. Namun dari segi penggunaannya terhadap analisis, perlu ditambahkan beberapa catatan untuk penjelasan lebih lanjut. Pertama, hampir setiap konflik Chris Mitchell, 1981, The Structure of International Conflict, MacMillan, London, dalam Simon Fisher, et.al, 2001, Mengelola Konflik Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak, Trans. S.N. Kartika, et.al, London, The British Council. Hal. 4 16 Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, 2009. Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,. Hal. 4-6 15 7 yang muncul menuntut adanya kombinasi dari beberapa strategi yang telah disebutkan, sangat jarang sekali dalam sebuah konflik hanya muncul satu penerapan strategi secara eksklusif. Kedua,masing-masing strategi –terutama contending dan problem solving—dapat diterapkan melalui begitu banyak varian taktik. Perbedaan antara strategi dan taktik di sini berada pada hal cakupannya; strategi terdiri atas sejumlah tujuan atau sasaran, sementara taktik adalah sarana atau cara untuk mencapai suatu sasaran atau tujuan. Ketiga, Tiga strategi yang pertama (contending, yielding, dan problem solving) merupakan strategi yang digunakan dalam ‘mengatasi masalah’. Sementara withdrawing dan inaction merupakan tindakan pengabaian terhadap kontroversi yang berlangsung. Keempat, secara khusus makna withdrawing dan inaction sangat bergantung pada konteks kejadiannya.17 Kemajuan manusia hingga saat ini tidak luput dari adanya pertentangan dialektis. Tesis dan antitesis secara sederhana berdampak pada adanya perubahan sosial. Sebagai contoh kecil adalah telaah Marx tentang sistem kerja kapitalis yang memunculkan adanya kelas pekerja sebagai antitesis, analisis Marx yang mengajarkan cara berpikir dialektis dari struktur ekonomi dan politik memberi ciri argumen bahwa konflik merupakan bagian yang tidak terelakkan di dalam masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa konflik di dalam ilmu sosial dapat berfungsi sebagai pemberi sentuhan kemajuan atau kemunduran. Tidak semua interaksi manusia memerlukan konflik, kebanyakan individu dapat berguna dan saling bekerjasama dengan baik di masyarakat. Ketika muncul konflik, maka lebih sering konflik itu dapat diatasi daripada tidak. Fungsi positif dari konflik kemudian dapat berupa beberapa hal, antara lain: konflik merupakan persemaian yang subur bagi terjadinya perubahan sosial. Sebagai contoh adalah Reformasi 1998 yang merupakan puncak dari pergumulan antara sipil dengan negara yang menandakan fase demokrasi jika dilihat dari kacamata politik. Fungsi konflik selanjutnya adalah konflik tersebut memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas berbagai kepentingan. Pemaknaan terhadap fungsi ini secara lebih mendalam adalah bahwa di dalam rekonsiliasi atas konflik tidak melulu terdapat pihak yang menang atas pihak yang lain, namun lebih kepada tercapainya resolusi yang integratif dan memberikan manfaat secara kolektif bagi masing-masing pihak. Sementara fungsi yang ketiga adalah konflik dapat menguatkan persatuan dan kapasitas kelompok. Hal ini merupakan implikasi atas terjadinya perubahan sosial dan rekonsiliasi yang sebelumnya 17 Ibid, hal. 7-8 8 dibahas. Sehingga fungsi konflik yang terakhir merupakan manfaat terakhir yang dapat ditarik dari sebuah konflik.18 Pengkonseptualisasian atas strategi-strategi dan fungsi di atas merupakan bagian dari usaha menjelaskan penggunaannya di dalam analisis. Namun, di dalam konteksnya kemudian konsep-konsep tersebut dapat disesuaikan ke dalam strategi yang dipilih oleh para aktor yang berkepentingan. Yang terpenting kemudian adalah bahwa asumsi bahwa konflik merupakan proses perubahan yang memerlukan strategi dalam keberlangsungannya, serta implikasi dari adanya konflik—negatif maupun positif—merupakan konsekuensi yang akan ditanggung oleh pihak yang berkonflik. D.1.1 Sumber Konflik Berbicara mengenai konflik tak luput pula berbicara mengenai sumber yang menjadi sebab terjadinya konflik. Dalam beberapa telaah konflik, terdapat istilah yang sering berjalan beriringan, yakni kepentingan. Kepentingan dalam definisinya adalah perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya ia inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat sentral dalam pikiran dan tindakan orang, yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan niat (intensi)-nya. 19 Hal ini berbeda dengan definisi value (nilai) atau needs (kebutuhan). Jika ditarik ke ranah politik, maka definisinya dapat disesuaikan dengan kepentingan kelompok maupun organisasi. Namun tidak mengurangi arti penting bahwa kepentingan merupakan determinan inti yang membentuk sikap, tujuan, maupun niat dari kelompok tadi. Di dalam teori mengenai konflik, terdapat alat bantu analisis yang berfungsi mendudukkan persoalan secara komprehensif dari berbagai sisi. Alat-alat tersebut antara lain adalah analogi bawang bombay dan pohon konflik. Analogi bawang bombay menggambarkan konflik sebagaimana wujud dari bawang bombay sendiri, di mana bagian paling dalam dari sebuah konflik adalah kebutuhan, lapisan selanjutnya adalah kepentingan, dan lapisan terluar dari suatu konflik adalah kepentingan. Analisis ini perlu digunakan pada masing-masing pihak yang terlibat di dalam konflik. 20 Sementara itu, pohon konflik diterjemahkan sebagai alat bantu yang dapat digunakan sebagai metode pemetaan terhadap Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, 2009, Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal. 14-15 Ibid, hal. 21 20 Simon Fisher, et.al, 2001, Mengelola Konflik Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak, Trans. S.N. Kartika, et.al, London, The British Council. Hal. 27 18 19 9 suatu konflik di dalam kelompok. Metode pemetaan atas suatu konflik tersebut kemudian dibagi menjadi tiga, yakni; masalah-masalah inti, penyebabnya, dan berbagai efeknya.21 Kedua alat bantu tersebut dapat menjelaskan bahwa dalam memeriksa konflik di dalam masyarakat, terdapat beberapa aspek penting yang meliputi akar konflik, sumber konflik, kepentingan, dan posisi dari masing-masing aktor yang terlibat. Keempat determinan tersebut menentukan seberapa besar kepentingan yang diusung, pemilihan atas strategi suatu pihak, serta resolusi atas sebuah konflik. Dengan demikian, parameter tersebut dapat mempengaruhi konflik secara keseluruhan. Selanjutnya, deskripsi mengenai kepentingan berkisar pada penjelasan terhadap dimensi dari kepentingan. Dimensi kepentingan ada yang bersifat universal seperti rasa aman, identitas, social approval, kebahagiaan, kejelasan tentang realitasnya, dan beberapa harkat manusia yang bersifat fisik. Sementara dimensi kepentingan lainnya bisa bersifat secara spesifik bagi pelaku-pelaku tertentu.22 Pada intinya dimensi kepentingan dapat berbeda bagi masing-masing individu secara spesifik. Pada tatarannya secara organisasional, tergantung pada latar belakang kemunculannya sebagai suatu organisasi. Sehingga memunculkan istilah prioritas yang berbeda-beda bagi masing-masing organisasi/aktor. Kepentingan suatu pihak dengan pihak lain dapat bertentangan. Kepentingankepentingan itu lantas diterjemahkan ke dalam satu aspirasi, yang mana di dalamnya terkandung tujuan dan standar. 23 Maksudnya adalah secara konseptual tujuan merupakan akhir yang—lebih kurang—tepat dari arah yang diperjuangkan oleh seorang individu. Sementara standar adalah tingkat pencapaian minimal yang bila lebih rendah daripada itu, maka orang akan menganggapnya tidak memadai. Bila ditarik pada analogi konflik, yang menjadi tujuan dari kaum buruh adalah kenaikan upah sebesar 1 juta rupiah dari upah sebelumnya, sementara standar yang digunakan adalah standar minimum yakni kenaikan bagi upah buruh. Di dalam teori konflik, kepentingan menjadi tolok ukur dalam melihat konflik yang sedang berlangsung. Semakin suatu pihak mempersepsi bahwa pelaksanaan aspirasinya sendiri menghalangi pelaksanaan aspirasi orang lain, maka semakin besar pula perbedaan kepentingan ini akan dipersepsikan oleh pihak-pihak tersebut. Ketidaksesuaian persepsi tersebut dapat berkembang melalui tiga cara: aspirasi suatu pihak tinggi, sementara pihak lain Ibid, hal. 30 Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, 2009, Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal. 21 23 Ibid, hal. 22 21 22 10 dipersepsi oleh pihak tadi memiliki aspirasi yang tinggi, dan/atau tidak ditemukannya alternatif yang menguntungkan semua pihak. Dari perkembangan ini, konsekuensi yang muncul adalah zero-sum game, yang berarti keuntungan bagi satu pihak dan kerugian bagi pihak yang lain. Cara selanjutnya adalah penilaian konflik atas dasar rigidity (kekakuan) aspirasi tersebut. Bila aspirasi-aspirasi yang muncul tampaknya bertentangan atau tidak kompatibel, maka konflik dinilai lebih dalam dan aspirasi masing-masing pihak semakin kaku dan semakin bersifat menetap. Yang menjadi sumber utama dari kekakuan aspirasi ada dua, yaitu: pertama, nilai-nilai yang sangat penting mendasari aspirasi tersebut, seperti misalnya agama atau pun identitas. Kedua, tata nilai yang mendasari aspirasi tersebut adalah pilihan memperoleh atau tidak memperoleh (either-or-variety). Artinya antara mampu mendapatkannya atau tidak sama sekali. Nilai semacam itu menimbulkan aspirasi yang kaku karena setiap konsesi yang ada juga berarti mengorbankan seluruh nilai tersebut. Secara ringkas kemudian konfik—yang didefinisikan sebagai perbedaan persepsi mengenai kepentingan—tidak terjadi ketika terlihat adanya alternatif yang dapat memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Konflik hanya dapat terjadi jika suatu pihak memiliki aspirasi tinggi atau karena alternatif yang bersifat integratif belum diketemukan selama konflik terjadi. Yang menjadi determinan penyebab konflik dapat disederhanakan menjadi tingkat aspirasi suatu pihak, persepsi satu pihak atas aspirasi pihak lain, dan tidak dapat diketemukannya alternatif yang bersifat integratif. D.1.2 Eskalasi dan Stabilitas Eskalasi dalam kerangka konflik merupakan fase di mana konflik berpotensi mengalami kenaikan atau pertambahan. Istilah ini sering dikaitkan dengan proses meningkatnya iklim konflik antara kedua aktor. Sebagai contoh, proses eskalasi dapat terjadi di beberapa proses konflik seperti konflik AS-Uni Sovyet, Serikat Buruh-Manajemen, perkawinan, dan lain sebagainya. Transformasi merupakan kunci dalam melihat eskalasi sebuah konflik. Transformasi mengubah kondisi konflik dari yang sebelumnya ke tingkat selanjutnya. Ada beberapa transformasi yang terdapat di dalam proses eskalasi dalam sebuah konflik, antara lain: 1. RinganBerat Proses ini terjadi ketika taktik-taktik untuk mencapai keinginan suatu pihak berubah dari hal-hal yang ringan digantikan oleh taktik yang lebih berat. Misalnya 11 taktik argumentasi yang ringan, janji, ingrasiasi (mengambil hati), berubah menjadi taktik yang berupa ancaman, ultimatum, dan lain sebagainya. 2. KecilBesar Proses ini menggambarkan bahwa potensi sebuah konflik dapat mengalami penyebarluasan. Konflik yang awalnya hanya melibatkan beberapa pihak tertentu, lambat laun dapat meluas seiring dengan semakin intensifnya konflik secara terusmenerus. Misalnya dalam hubungan guru-murid, awalnya hanya konflik yang melibatkan salah seorang murid dengan oknum guru yang terlibat adu mulut, namun lambat laun sang murid mengajak teman-temannya untuk menjahili kendaraan sang guru dan pihak sekolah pun turut campur dalam menangani masalah tersebut sehingga konflik meluas di kalangan sekolah. 3. SpesifikUmum Problem konflik dinilai mengalami eskalasi ketika persoalan-persoalan yang menjadi sumbernya merupakan isu-isu yang spesifik berubah menjadi isu-isu yang umum. Hubungan antar kedua pihak mengalami kemunduran ke arah umum. Misalnya dalam kasus guru-murid tadi, persoalan yang pada awalnya hanya adu mulut yang membahas insiden kecil, menjadi kebencian yang dilontarkan kepada sang guru. 4. BerhasilMenangMenyakiti Pihak Lain Pada awal suatu konflik, pencapaian atas kepentingannya merupakan hal yang menjadi prioritas, terlepas dari baik-buruknya kepentingan orang lain. Hal tersebut dideskripsikan sebagai “orientasi individualis” 24 . Namun, seiring berjalannya konflik, semakin lama tujuan yang pada awalnya sederhana menjadi tindakantindakan yang nyata-nyata bersifat kompetitif, yakni memenangkan pertempuran atau berhasil mengatasi pihak lain.25 5. SedikitBanyak Konfik yang pada awalnya hanya dimunculkan oleh segelintir orang, dapat bereskalasi menjadi konflik yang melibatkan orang secara kolektif. Ketika satu kepentingannya tidak dapat dilaksanakan, orang cenderung mencari kawan yang 24 25 Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, 2009, Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 145 Loc.cit 12 sejalan dengan kepentingannya tersebut. Dalam contohnya, seorang murid tadi mengajak teman-temannya untuk sejalan dengan pandangannya terhadap guru tadi, sehingga memunculkan tindakan kolektif yang sejalan untuk mengganggu guru tadi, sementara sang guru juga melibatkan pihak sekolah untuk menghukum muridmurid tadi. Kelima proses transformasi dari konflik tersebut kemungkinan dapat terjadi dalam satu proses konflik. Namun yang dapat menjadi perhatian adalah kenyataan bahwa konflik begitu telah tereskalasi, ia akan terus tereskalasi meski pun hanya untuk sementara. Hingga momentum selanjutnya dapat diketemukan proses de-eskalasi. Tak semua konflik mengalami proses eskalasi. Kebanyakan konflik justru mengalami stabilitas dalam hubungan atar keduanya. Stabilitas merupakan fase di mana konflik tidak mengalami peningkatan yang berarti. Jika digambarkan, proses eskalasi akan menggambarkan grafik menanjak, sementara stabilitas cenderung menggambarkan garis lurus saja. Aspek-aspek yang dapat mempengaruhi terjadinya stabilitas di dalam suatu konflik antara lain adalah: 1. Norma dan Institusi yang Membatasi Konflik Norma yang berkembang di dalam suatu masyarakat cenderung dapat menekan terjadinya eskalasi konflik. Terdapat pertimbangan-pertimbangan normatif yang dapat muncul ketika seseorang berkonfrontasi dengan pihak lain. Norma tersebut dapat berupa nasihat, peradaban, maupun kontrol sosial yang berlaku di entitas tersebut. 2. Ketakutan akan Terjadinya Konflik Berbeda dengan norma, ketakutan akan terjadinya konflik merupakan pemicu stabilitas yang berasal dari dalam diri seorang aktor. Ketika seorang aktor melihat konsekuensi yang muncul dari tindakannya akan berbuah pada lingkaran setan yang tidak akan ada habisnya, maka ia lebih memilih untuk tidak meningkatkan konfliknya ke fase yang lebih lanjut. Terlebih lagi ketika seorang aktor tersebut belum pernah mengalami konflik dalam waktu yang sangat lama sehingga pertimbangan itulah yang mendasari bahwa akan terjadi stabilitas ketimbang suatu eskalasi. 13 3. Pertalian Sosial Pertalian sosial dapat dimaknasi sebagai hubungan-hubungan yang mengikat antar anggota di dalam kelompok-kelompok masyarakat. Ia berfungsi dalam konflik sebagai sumber stabilitas hubungan. Pertalian dimaksud secara lebih lanjut sebagai sikap-sikap positif, penghormatan, persaudaraan, persahabatan, kesamaan persepsi, dan ketergantungan terhadap masa depan. Sifat pertalian yang melibatkan dua arah inilah yang kemudian mengikat masing-masing pihak untuk tidak memperkeruh suasana konflik yang terjadi dan justru memunculkan stabilitas dalam kelompok tersebut. 4. Stabilitas Melalui Ancaman Berbeda dari ketiga aspek pemicu stabilitas sebelumnya, aspek ke empat merupakan tambahan yang jika diperlukan akan muncul pada mekanisme yang sebelumnya telah disebut. Ancaman menjadi fomrulasi ketika efektivitas dari ketiga sumber stabilitas tadi memiliki limitasinya masing-masing. Sebagai contoh, fakta bahwa norma-norma sosial seringkali tidak tersosialisasi dengan baik di dalam masyarakat yang majemuk, sehingga pembatas tersebut tidak efektif dalam meredam eskalasi. Kembali pada persoalan antara madrasah dengan santri yang akan dibahas, konflik yang muncul berasal dari perbedaan persepsi mengenai suatu tindakan. Dalam peraturan yang ditelurkan madrasah, ada mekanisme yang melarang tindakan yang lumrah dilakukan santri di luar konteks berasrama. Hal yang melatari itu dapat diketemukan dalam analisis yang melibatkan aspek psikologi seorang remaja pada fase pencarian jati diri. D.2 Psikologi Perkembangan Remaja D.2.1 Psikologi Berpijak kepada masalah yang akan dianalisis dalam tulisan ini, maka pisau analisis dari segi psikologi diperlukan. Relevansi dari teori ini berangkat dari subjek penelitian yang berada pada taraf keremajaan sehingga memerlukan perhatian dari aspek kebutuhan psikologis. Secara garis besar psikologi didefinisikan sebagai ilmu jiwa. Psikologi sendiri diambil dari kata “psyche” yang berarti roh, dan logos yang berarti ilmu.26 Psikologi perkembangan 26 Desmita, 2006, Psikologi Perkembangan, Remaja Rosdakarya, Bandung. Hal. 1 14 yang terdapat di dalam tulisan ini berkaitan erat dengan psikologi karena ia merupakan cabang dari ilmu psikologi sendiri. Dengan kata lain, psikologi hadir untuk memecahkan keraguan mengenai atribut “keremajaan” yang melekat dalam diri santri. Psikologi hadir sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Psikologi lambat laun didefinisikan sebagai “the scientific study of behavior and mental processes.”27 Keterkaitan aspek psikologi dalam tulisan ini sekarang menjadi lebih terang di mana psikologi menjadi determinasi penting dalam meihat pola perilaku santri di dalam menjalin dialektika struktur dengan agen. Psikologi perkembangan dipakai untuk melihat penjelasan mengenai tindak remaja yang diasumsikan dalam keadaan pencarian identitas. David G. Myers dalam kaitannya dengan psikologi perkembangan mendefinisikannya sebagai “a branch of psychology that studies physical, cognitive, and social change throughout the life span.”28 Sedangkan menurut Kelvin L. Seifert & Robert J. Hoffnung, psikologi perkembangan dijabarkan sebagai “the scientific study of how thoughts, feelings, and personality, social relationship, and body, and motor skill evolve as an individual grows older.”29 Dari kedua pendapat diatas, penulis melihat bahwa psikologi perkembangan adalah ilmu yang menggambarkan kondisi tubuh, mental, akal, dan hubungan antar individu di sepanjang kehidupan seorang manusia. D.2.2 Hakikat Perkembangan Dimensi yang luas dari istilah perkembangan dinilai perlu dikerucutkan. Dalam ilmu psikologi, istilah perkembangan kemudian dibagi menjadi pertumbuhan, kematangan, dan perubahan.30 Dalam rentang yang panjang, Seiffert dan Hoffnung lebih rinci menjelaskan perkembangan sebagai “long-term changes in a person’s growth, feelings, pattern of thinking, social relationship, and motor-skill”.31 Sementara menurut Chaplin, perkembangan diurai sebagai berikut: 1. Perubahan yang berkesinambungan dan progresif dalam organisme; dari lahir sampai mati; Ibid, hal. 2 Ibid, hal. 3 29 Loc.cit 30 Desmita, 2006, Psikologi Perkembangan, Remaja Rosdakarya, Bandung. Hal. 3 31 Desmita, 2006, Psikologi Perkembangan, Remaja Rosdakarya, Bandung. Hal. 4 27 28 15 2. Pertumbuhan; 3. Perubahan dalam bentuk dan dalam integrasi bagian-bagian jasmaniah ke dalam bagian-bagian fungsional; dan 4. Kedewasaan atau kemunculan pola-pola asosiasi dari tingkah laku yang tidak dipelajari.32 Masih tentang perkembangan, Santrock pernah berujar “Development is the pattern of change that begins at conception and continues through the life span. Most development involves growth. Although it includes decay (as in death and dying). The pattern of movement is complex because it is product of several processes— biological, cognitive, and socioemotional.33 D.2.3 Teori Psiko-Sosial Erik Erikson Berbicara masalah psikologi, salah satu teori yang mutakhir setelah Sigmun Freud dalam mengurai problematika di ranah ini adalah Erikson. Ciri utama dari pandangan Erikson adalah ketika ia memandang bahwa kepribadian terbentuk ketika seseorang melewati tahap psiko-sosial sepanjang hidupnya.34 Bagi Erikson, sebuah krisis bukanlah bencana, tapi suatu titik balik peningkatan vulnerability (kerentanan) dan potensi. Dan untuk setiap krisis, selalu ada pemecahan yang negatif atau pun positif. Pemecahan yang positif akan menghasilkan apa yang ia sebut sebagai kesehatan jiwa. Dan sementara pemecahan yang negatif akan membentuk penyesuaian diri yang buruk. Semakin berhasil seseorang mengatasi krisis, akan semakin sehat perkembangannya.35 Lanjutan dari teori psiko-sosial Erikson, perkembangan manusia dibedakan berdasarkan kualitas ego dalam delapan tahap perkembangan; Empat tahap pertama terjadi pada masa bayi dan kanak-kanak, tahap kelima pada masa adolesen, dan tiga tahap terakhir terjadi pada masa dewasa dan tua.36 Erikson lebih menekankan dirinya kepada masa adolesen. Karena menurutnya masa ini merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa. Sehingga lanjutnya lagi, apa Loc.cit Desmita, 2006, Psikologi Perkembangan, Remaja Rosdakarya, Bandung. Hal. 4 34 Ibid. Hal. 42 35 Ibid, hal. 42-43 36 Desmita, 2006, Psikologi Perkembangan, Remaja Rosdakarya, Bandung. Hal. 43 32 33 16 yang terjadi di masa ini sangatlah penting artinya bagi kepribadian dewasa individu tersebut.37 Delapan tahap perkembangan tersebut antara lain adalah: 1. Trust vs distrust (kepercayaan dengan ketidakpercayaan); 2. Autonomy vs shame & doubt (otonomi dengan rasa malu & ragu); 3. Initiative vs guilt (inisiatif dengan rasa bersalah); 4. Industry vs inferiority (kerajinan dengan rendah diri); 5. Identity vs identity confusion (identitas dengan kekacauan identitas); 6. Intimacy vs isolation (keintiman dengan isolasi); 7. Generativity vs stagnation (generativitas dengan stagnasi); dan 8. Integrity vs despair (integritas dengan keputus-asaan). Di dalam tahapan-tahapan tersebut, yang akan dibahas di dalam tulisan ini adalah tahapan kelima (5). Tahapan tersebut (identity vs identity confusion) adalah tahapan yang dianggap penting oleh Erikson. Pada tahap itu anak-anak dihadapkan dengan pencarian jati diri. Ia mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri. perasaan bahwa ia adalah suatu individu unik yang siap memasuki suatu peran yang berarti di tengah-tengah masyarakat. karena kepekaan terhadap perubahan sosial dan historis di pihak lain, maka anak akan mengalami krisis identitas. Bila krisis ini tidak segera diatasi, maka anak akan mengalami kebingungan peran atau kekacauan identitas yang dapat menyebabkan rasa cemas, hampa, terisolasi, dan bimbang.38 Istilah adolesen (masa remaja) diambil dari bahasa inggris “adolescence” yang berarti remaja. Akar kata ini berasal dari bahasa latin “adolescere” (kata bendanya adolescentia: remaja) yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa.39 Masa remaja dalam bingkai psikologi umumnya berada pada fase 12-21 tahun. Rentangnya kemudian dibagi lagi menjadi tiga (3): 12-15 tahun (masa muda awal), 15-18 tahun (pertengahan), 18-21 tahun (masa remaja akhir).40 Loc.cit Desmita, 2006, Psikologi Perkembangan. Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 44 39 Ibid, hal. 189 40 Ibid, hal. 190 37 38 17 Menurut Monks, Knoers & Haditono (2001), masa remaja dibagi kedalam empat (4) bagian, yaitu: 1. Masa pra-remaja/pra-pubertas (10-12 th); 2. Masa remaja awal/pubertas (12-15 th); 3. Masa remaja pertengahan (15-18 th); dan 4. Masa remaja akhir (18-21 th).41 Remaja dan lika-likunya lantas patut mendapatkan perhatian. Bagaimana perilaku remaja di kalangan masyarakat pada umumnya, dan pada kalangan pesantren pada khususnya. Pembahasan mengenai remaja dan struktur secara keseluruhan akan menyimpulkan dampak sistem yang bekerja terhadap remaja itu sendiri.. Berdasarkan paparan yang demikian, kiranya legitimasi teoretik akan pendefinisian karakter remaja memang perlu digarisbawahi. Sebab, remaja memang masa yang berbeda dengan dewasa. Di tingkat remaja ada proses-proses yang unik dalam kerangka pencarian jati diri mereka menuju kedewasaan berpikir. E. Landasan Konseptual E.1 Konflik Non-Violence Pembahasan konflik non-violence dimaksudkan untuk mengkerangkai konflik dalam tataran laten di dalam suatu masyarakat. Definisi dari konflik non-violence sendiri adalah tidak menggunakan kekerasan di dalam sebuah konflik. 42 Definisi itu tidak lepas dari pembilahan antara konflik yang bersifat violence dan non-violence. Secara umum, konflik yang memiliki konsekuensi terhadap rusaknya tata hubungan antar manusia dan kerugian yang ditimbulkan merupakan konflik yang bersifat violence. Namun, penggunaan istilah violence lebih ditekankan pada tindakan yang dilakukan oleh pihak yang terlibat di dalam suatu konflik tersebut. Istilah konflik non-violence kemudian berkembang pada istilah antikekerasan aktif di mana tujuan dari pendekatan ini adalah mengubah situasi dengan argumentasi bahwa konflik Loc.cit Simon Fisher, et.al, 2001, Mengelola Konflik Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak, Trans. S.N. Kartika, et.al, London, The British Council. Hal. 11 41 42 18 terlalu memiliki resiko fisik dan psikologis yang besar bagi sebuah situasi sosial. Penggunaan kekerasan dan non-kekerasan dimungkinkan di dalam cara bertindak mereka. Hal itu tidak terlepas dari istilah konflik yang selalu bersinggungan dengan politik praktis di entitas yang lebih luas. Antikekerasan aktif bertujuan untuk menyadarkan masyarakat yang terlibat di dalam konflik. 43 Sejalan dengan penggunaan non-violence di dalam konflik yang berusaha meredam penggunaan kekerasan di dalam tindakan aktor yang terlibat. Contoh dari antikekerasan aktif adalah ketika Mahatma Gandhi yang memelopori pergerakan ahimsa di kalangan masyarakat. Kontribusi dari politik antikekerasan aktif tersebut berkontribusi penting dalam penyadaran masyarakat dan mencegah adanya perilaku destruktif yang menghambat proses rekonsiliasi konflik. Konflik yang bersifat non-violence hadir sebagai konsekuensi dari tindakan yang digunakan oleh aktor yang terlibat. Penggunaan cara yang tidak mengandung kekerasan secara eksplisit dapat pula dilekatkan pada istilah ini. E.2 Nilai Sebagai Motif Bagi Tindakan Pemahaman terhadap nilai membantu dalam memahami motif tindakan yang dipilih oleh seorang individu dalam masyarakat. Perbandingan mau pun pembelajaran terhadap sebuah nilai pada tataran prakteknya mampu memberi sentuhan sebagai pemandu dalam bertindak individu. Nilai sendiri didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat berarti macam-macam ketika disandingkan dengan subjek lain. Jika nilai berdiri sendiri sebagai satu kata, ia dapat diartikan sebagai sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan dan atau sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai hakikatnya. Dan jika kata nilai disandingkan dengan budaya, maka artinya akan menjadi konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai dari kehidupan manusia. Dan terakhir, jika nilai disandingkan dengan etik, maka akan didefinisikan sebagai nilai untuk manusia sebagai pribadi yang utuh yang dianut oleh golongan atau masyarakat. Nilai menjadi sebuah konsep karena ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari seorang individu (manusia). Motif-motif individu bertindak dalam sebuah kawasan sosial menjadi ciri tersendiri yang pada skala yang lebih besar dibaca sebagai sebuah kultur dari sistem yang secara kontinyu terbentuk sebagai konsekuensi dari benturan-benturan nilai. Dan kemudian dapat ditandai dengan adanya konsensus bersama yang dicapai. 43 Ibid, hal. 11 19 Nilai dalam tataran teoretik bisa didefinisikan sebagai aturan-aturan kebudayaan tertentu yang tidak melekat pada peranan atau perangkat peranan tertentu. Sedangkan untuk mendefinisikan peranan, dapat disimpulkan bahwa peranan merupakan posisi-posisi dalam suatu struktur sosial.44 Nilai juga berfungsi sebagai suatu pengikat dari sebuah komunitas. Pada dasarnya, sebuah nilai merupakan buah penting yang tidak dapat diperdebatkan kembali. Seperti misalnya di masyarakat barat pada umumnya yang menjunjung tinggi nilai sentral berupa pertumbuhan ekonomi, institusi demokrasi, kebebasan, dan semacamnya. Percy Cohen mendefinisikan suatu nilai di dalam situasi sosial sebagai berikut: “Dalam segala telaah sosiologis, ia diasumsikan sebagai sejumlah ihwal/ciri tertentu pada struktur sosial dan budaya, secara strategis penting dan awet. Selain itu, hal-hal tersebut menggariskan batas kemungkinan munculnya situasi sosial tertentu.45 Robert K. Merton kemudian lebih spesifik dalam membaca potensi nilai di dalam masyarakat yang menyebut bahwa semua anggota masyarakat berbagi nilai meski memiliki posisi dan peran yang berbeda satu sama lain. Nilai-nilai bersama tersebut membentuk budaya. Pendefinisian nilai kemudian lekat dengan latar yang mendasari adanya sebuah kepentingan di dalam suatu konflik antarpihak. Nilai menjadi prioritas yang dikembangkan oleh aktor menjadi sebuah tindakan dan kepentingan yang dimilikinya. E.3 Kultur Sebagai Arahan Bagi Perilaku Kultur dibaca sebagai sebuah wacana sosial yang disepakati oleh sebuah komunitas. Kultur merupakan nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah komunitas. Kultur dapat secara artifisial dibentuk oleh adanya aturan-aturan, namun juga tidak menutup kemungkinan yang terbentuk secara alamiah dengan kehadiran bentuk-bentuk fisik sebuah lingkungan maupun agen-agen yang berkecimpung di dalamnya. Mekanisme, struktur, dan sarana kolektif di luar diri manusia itu oleh antropolog disebut sebagai budaya.46 Berangkat dari premis tersebut, penulis meyakini bahwa budaya merupakan sebuah pedoman dalam satu kelompok masyarakat yang disosialisasikan secara terus-menerus dan pada akhirnya mencapai sebuah konsensus. Pip Jones. Op.cit, hal. 10 David Kaplan, 1999, Teori Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 147 46 Ibid, Hal. 4 44 45 20 Kultur atau budaya tidak bisa hadir tanpa penopang-penopang tadi. Dalam artian kultur hadir sebagai capaian dari sosialisasi-sosialisasi mekanisme maupun struktur yang telah tercipta secara terus menerus. Dalam sebuah komunitas sederhana yang berbasis rule yang rigid, maka konsensus akan secara mudah dapat tercapai dan aturan-aturan yang ada bisa kemudian menjadi sebuah norma. Melford Spiro dalam komentarnya tentang nilai berujar: “Nilai suatu institusi kelihatannya mengalihkan permusuhan dan kebencian sehingga tidak menghantam kelompok. Dan dengan demikian ikut memelihara kelestarian masyarakat itu sebagai wujud sosial sendiri.”47 Spiro melihat bahwa nilai menjadi tawaran dalam sebuah kelompok masyarakat. Artinya, kekuatan dari sebuah nilai mampu meredam konflik dalam sebuah komunitas dengan berbagai macam cara, seperti misalnya penggunaan kekuasaan. Pemahaman lebih lanjut mengenai perkataan Spiro tadi adalah bahwa ia mengasumsikan kondisi masyarakat yang sebelum adanya nilai merupakan sebuah masyarakat yang tidak tertata. Dalam artian masyarakat yang ada kemudian tercipta sebagai hasil dari mekanisme nilai tadi. Namun yang menjadi kekurangannya adalah ketika hal tersebut digunakan untuk membedah sebuah tatanan masyarakat yang muncul akibat kesatuan dalam menerima nilai-nilai tertentu. Kultur menjadi sebuah konsep pembantu untuk memahami suatu entitas. Ia dapat menjadi peranti dalam bertindak dalam situasi sosial tertentu. Oleh karenanya, kultur yang melingkupi suatu konflik juga bermanfaat dalam kerangka menemukan resolusi atas konflik tersebut secara kontekstual. F. Landasan Operasional F.1 Konflik Di Muallimin Pembacaan atas konflik di Madrasah Muallimin dapat diuraikan dalam beberapa hal, antara lain: 1. Pembacaan atas kondisi yang melingkupi kedua belah-pihak; 2. Pemetaan kepentingan yang ada di masing-masing pihak; 3. Pengelompokkan persepsi antara kedua belah pihak; dan 4. Solusi integratif yang dapat dicapai. 47 Ibid, Hal 86-87 21 Terdapat istilah-istilah yang muncul di bagian-bagian selanjutnya merupakan istilah khusus yang dipakai untuk menjelaskan secara situasional fenomena yang terjadi di Muallimin. Penggunaan istilah tersebut dimaksudkan untuk mempermudah pembacaan terhadap konteks Muallimin secara khusus tanpa bermaksud menggeneralisasikannya di dalam konteks lain. G. Metode Penelitian Metodologi penelitian yang akan dijabarkan disini menjelaskan urutan dan kerangka penelitian yang akan dilaksanakan. Kedepannya, diharapkan kerangka-kerangka berpikir ini mampu mengatur alur penelitian hingga ke tahap final. Kerangka-kerangka dasar ini lalu didefinisikan menjadi tiga, yaitu jenis penelitian yang akan saya gunakan, teknik pengumpulan data yang digunakan, dan teknik analisis data. G.1 Jenis Penelitian Tulisan yang akan menjadi subjek penelitian ini berada pada fokus bagaimana sebenarnya respon dan hubungan yang terjadi di dalam konteks pergulatan kepentingan di dalam madrasah. Oleh karenanya, peneliti menggunakan jenis metode penelitian kualitatif untuk mengembangkan penelitian menjadi menarik dari sisi kedalaman analisisnya. Lebih lanjut, metode penelitian ini dirasakan cocok untuk menggambarkan peristiwa situasional yang berusaha membuktikan sebuah penelitian dari sisi kronologi dan historiografi peristiwa. Disini peneliti mencoba menggunakan alat konstruksi kualitatif dengan pertimbangan bahwa penelitian ini lebih mudah dilakukan dengan pendekatan kualitatif dari sisi kedalaman analisisnya. Semakin dalam analisis yang ditawarkan, akan semakin jelas tulisan ini dalam meneliti Muallimin Secara definitif, Bognan dan Taylor mengungkapkan bahwa “metode penelitian kualitatif” adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati”.48 Artinya, dengan meminjam definisi tersebut penelitian ini jelas mengedepankan aspek tertulis dari sebuah rentetan peristiwa yang akan diangkat menjadi sebuah kasus yang layak untuk diamati sebagai sebuah penelitian. 48 Lexi J. 1994, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Hal. 38 22 Menurut Robert K. Yin, studi kasus adalah sebuah cerita yang unik, spesial atau menarik . Cerita kasus ini dapat berfokus pada suatu individu, organisasi, proses, lingkungan sekitar, institusi atau kejadian disekitar.49 Muallimin menjadi penting sebagai sebuah kasus karena motif yang melatarbelakangi dan rule yang terdapat di dalamnya menarik untuk ditelisik. Motif tersebut adalah motif yang mendasari adanya konflik kepentingan di dalam Muallimin, dan melihat bahwa rule atau aturan yang terdapat di Muallimin sangat ketat dan rigid dapat menimbulkan kerentanan dalam dimensi konflik antara keduanya. Penelitian kasus dan penelitian lapangan bertujuan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan yang sekarang dan interaksi dalam suatu unit sosial. Seperti misalnya adalah studi secara intensif yang dilakukan Bronislaw Malinowski tentang orangorang Trobriand di Papua Nugini. Malinowski dengan pendekatan fungsionalisme-nya mengamati orang-orang Trobriand dalam melakukan pertukaran barang yang disebut kula50. Berdasarkan penjelasan yang sebelumnya diuraikan, maka studi kasus dipakai untuk menerangkan dan mengamati secara terperinci bagaimana pola relasi, konflik, dan resolusi yang kemudian terjadi. Dengan begitu, peristiwa di dalam madrasah akan terekam lebih jelas dengan pendekatan studi kasus ini. G.2 Jenis Data G.2.1 Data Primer Data primer merupakan data-data yang dikumpulkan melalui teknik wawancara berupa pertanyaan-pertanyaan yang semakin mengerucut bagi tiap-tiap informan yang berbeda. Oleh karena itu, wawancara akan dilakukan terhadap aktor-aktor yang berada di dalam struktur institusi madrasah seperti santri, ustadz, musyrif, karyawan, maupun petinggi madrasah. G.2.2 Data Sekunder Data sekunder digunakan untuk menguatkan data primer dan mengkerangkai proses berjalannya penelitian. Dalam penelitian ini, data sekunder diambil dari literatur-literatur yang terkait, data stasis mengenai madrasah dan Muhammadiyah, koran atau majalah Robert K. Yin 2003, Case Study Research (Design and Methods, 3rd ed.), London: SAGE Publication Hal. 39 Kula adalah suatu bentuk pertukaran antar suku bangsa yang meluas; dilakukan oleh komunitas yang menghuni lingkaran rangkaian pulau-pulau yang luas wilayahnya. Kula hanya terdiri dari 2 jenis barang, yakni soulava (kalung panjang dari kulit kerang merah) dan mwali ( gelang yang terbuat dari kulit kerang putih). 49 50 23 Muhammadiyah, atau pun kliping yang terdapat di Muhammadiyah secara umum mau pun yang terdapat di dalam Madrasah Muallimin secara khusus. Secara garis besar data sekunder dapat diambil melalui: 1. Perpustakaan Umum; 2. Perpustakaan Muallimin; 3. Bagian Tata Usaha maupun Informasi Akademik Madrasah Muallimin. G.3 Teknik Pengumpulan Data G.3.1 Wawancara Sebelum memulai penelitian, peneliti akan merumuskan beberapa teknik yang sekiranya diperlukan dalam penelitian. Yang pertama adalah melakukan wawancara dengan beberapa informan awal seperti musyrif, ustadz, maupun karyawan di dalam Madrasah Muallimin Muhammadiyah. Selanjutnya hasil yang didapat akan mengerucut kepada beberapa key informan yang penting untuk direkam keterangannya mengenai pemetaan masalah yang terdapat di Muallimin. Key informan (informan utama) disini memiliki posisi yang menentukan basis penelitian ini, wawancara yang mendalam dengan beberapa pertemuan formal maupun informal menjadi strategi peneliti dalam menyiasati keterbukaan informan utama dalam memberikan wawasan dan pengetahuannya terhadap berbagai dinamika di Muallimin. Sedangkan data yang akan didalami adalah data yang sejalan dengan penelitian ini, yakni data-data mengenai bentuk respon maupun perilaku anggota secara khusus dan institusi secara umum di dalam Madrasah Muallimin Muhammadiyah. Baik dalam bentuk transkrip maupun dalam bentuk literatur atau dengan kata lain penelitian yang sebelumnya telah disimpulkan menjadi sebuah data otentik. G.3.2 Observasi Lapangan Tujuan penggunaan teknik ini dimaksudkan untuk membantu penelitian dalam memetakan lingkungan fisik dan ragam instrumen pendukung. Selain itu, observasi lapangan juga berguna untuk membandingkan kondisi riil lingkungan dengan data yang diperoleh dari lain tempat. 24 G.3.3 Dokumentasi dan Kepustakaan Hal ini disimpulkan menjadi penting untuk melihat sejarah dan peristiwa-peristiwa yang mewarnai perkembangan Muallimin hingga saat ini. Seperti misalnya buku panduan pembinaan siswa, hingga dokumen-dokumen yang mencatat sejarah Muallimin secara spesifik. G.4 Teknik Analisis Data Data yang telah diperoleh seiring dengan berjalannya penelitian, akan diklasifikasikan dan diperlakukan berbeda sesuai dengan pandangan peneliti. Artinya perlakuan berbeda terhadap data dilakukan dengan parameter-parameter seperti siapa yang berbicara, kapan waktu pembicaraan, ataupun hubungannya dengan penelitian. Tekniknya kemudian adalah dengan analisis kualitatif, yang artinya analisis data dilakukan secara mendalam di setiap tahap pengklasifikasiannya. Setelah data dirasa cukup, data kemudian akan dikerucutkan beserta dianalisis secara lengkap sehingga proses penggolongannya akan lebih memudahkan peneliti dalam merangkai dan menempatkan data pada posisi yang tepat. Penggolongan maupun konfigurasi data-data tersebut memiliki fungsi untuk mengatur ritme penulisan agar tidak keluar jalur fokus kajian dan menjembatani peneliti dengan fokus kajiannya. Fungsi dari teknik analisis data berkaitan dengan produk yang akan dihasilkan kemudian. Di dalam naskah ini teknik analisis data digunakan untuk melakukan pencatatan peristiwa dan kemudian menganalisanya secara terperinci untuk memberikan hasil yang komperhensif dan memiliki bobot lebih maksimal. H. Sistematika Penulisan Tulisan ini dibagi ke dalam 4 bab. Masing-masing bab ditujukan untuk menorehkan aluralur penyampaian informasi yang runut dan saling menguatkan satu sama lain. Berbagai dokumentasi yang tertuang di setiap bab bisa juga dijadikan argumentasi dalam proses penguatan tersebut. Bab I dalam tulisan ini berisikan pendahuluan. Maksud dari kata tersebut adalah melandasi tulisan ini secara detail; mulai dari alat yang hendak digunakan, duduk permasalahan, hingga kontribusinya dalam penelitian. Pada awal tulisan di Bab I, penulis menilai perlunya penekanan pada perbedaan persepsi yang muncul pada awal penelitian. 25 Pisau analisis yang akan digunakan dalam melakukan penelitian, tertuang pula di dalam kerangka teori. Teori konflik yang membicarakan aspek-aspek mengenai kemunculan konflik, strategi yang digunakan pihak yang berkonflik, serta solusi yang dapat ditemukan menjadi alat untuk menganalisis bagian-bagian selanjutnya di dalam tulisan ini.. Rumusan masalah yang menjadi kunci dalam tulisan ini menimbulkan pertanyaanpertanyaan yang secara sederhana didefinisikan dalam definisi konseptual. Definisi konseptual berisi tentang penjelasan-penjelasan yang mengantarkan pembaca memahami konsep rumusan masalah. Agar nantinya tidak melebar dan meliuk-liuk dalam proses pemecahan kasus yang menjadi pertanyaan. Bab II memunculkan sejarah Muallimin, kurikulum dan peraturan yang diterapkan di lingkungan Muallimin, serta nilai dan kultur yang ada di dalamnya.. Secara sederhana, simpul dari penjelasan tersebut mengandung makna bahwa peraturan dan mekanisme di Muallimin merupakan pengejawantahan dari kepentingan dan persepsi yang dimiliki oleh madrasah sebagai entitas yang mengelola Muallimin. Di paragraf sebelumnya, telah tersirat apa yang akan tertulis di bab selanjutnya, bab III kemudian akan menjelaskan posisi santri yang hadir sebagai bagian dari kehidupan di Muallimin. Penjelasannya lebih lanjut menekankan pada proses penentuan strategi yang dilakukan oleh aktor-aktor yang berkonflik, kemudian memetakan suatu sumber yang menimbulkan konflik, dan bagaimana proses pengelolaan konflik yang terdapat di dalamnya.. Dan terakhir, di Bab IV akan hadir kesimpulan yang telah diuraikan di dalam bab-bab sebelumnya. Bab ini juga menjadi perjumpaan terakhir dengan temuan-temuan yang didapat untuk menjawab rumusan permasalahan. 26