ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM AYAM PEDAGING YANG DIINFEKSI Ascaridia galli DENGAN TERAPI DAUN PARE (Momordica charantia) Oleh YAYAN OKI ISTYAN NIM 061111041 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2015 SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM AYAM PEDAGING YANG DIINFEKSI Ascaridia galli DENGAN TERAPI DAUN PARE (Momordica charantia) Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga oleh YAYAN OKI ISTYAN NIM 061111041 Menyetujui Komisi Pembimbing, (Roesno Darsono, drh., M.Vet.) Pembimbing Serta (Prof. Dr. Lucia Tri Suwanti, drh., MP.) Pembimbing Utama ii SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi berjudul: GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM AYAM PEDAGING YANG DIINFEKSI Ascaridia galli DENGAN TERAPI DAUN PARE (Momordica charantia) tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Surabaya, Agustus 2015 Yayan Oki Istyan NIM. 061111041 iii SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Telah dinilai pada Seminar Hasil Penelitian Tanggal: 4 Agustus 2015 KOMISI PENILAI SEMINAR HASIL PENELITIAN Ketua : Prof. Dr.Setiawan Koesdarto, drh., MSc. Sekretaris : Djoko Legowo, drh., M.Kes. Anggota : Lita Rakhma Yustinasari, drh., M.Vet. Pembimbing Utama : Prof. Dr. Lucia Tri Suwanti, drh., M.P. Pembimbing Serta : Roesno Darsono, drh., M.Vet iv SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Telah diuji pada Tanggal: 11 Agustus 2015 KOMISI PENGUJI SKRIPSI Ketua Anggota : Prof. Dr.Setiawan Koesdarto, drh., MSc. : Djoko Legowo, drh., M.Kes. Lita Rakhma Yustinasari, drh., M.Vet. Prof. Dr. Lucia Tri Suwanti, drh., M.P. Roesno Darsono, drh., M.Vet Surabaya, 11 Agustus 2015 Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Dekan, Prof. Hj Romziah Sidik, Ph.D., drh. NIP. 195312161978062001 v SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA THE EFFECT OF GIVING Momordica charantia LEAVES ON Ascaridia galli INDUCED IN HISTOPATHOLOGIC DUODENUM OF BROILER (Gallus gallus) Yayan Oki Istyan ABSTRACT The aim of this research was to determine whether Momordica charantia leaves can decrease the damage on the histopathology of broiler’s duodenum infected by A. galli. About 24 DOC (day old chicks) were divided into six groups of treatment as P0, P1, P2, P3, P4, and P5. P0 was a negative control, P1 was induced by 650 A. galli infective larvae, P2 was treated by 30 mg/ml/day Momordica charantia leaves orally for two weeks, P3 was induced 650 A. galli infective larvae and treated by 10 mg/ml/day Momordica charantia leaves orally for two weeks, P4 was induced 650 A. galli infective larvae and treated by 20 mg/ml/day Momordica charantia leaves orally for two weeks, and P5 was induced 650 A. galli infective larvae and treated by leaves 30 mg/ml/day Momordica charantia leaves orally for two weeks. After treatments the broilers were dissected and their duodenum organ were taken for histopathology slides. This study used completely randomized design (CRD) and the scoring data were processed by the Kruskal-wallis test. And continued, it will be proceeded by the Mann-Whitney test. The statistical analysis used SPSS 20 for Windows. The results showed that Momordica charantia leaves could decreased the haemorrhage, severity, and the depth of inflamation of broilers duodenum histopathology infected by A. galli. Keyword : Momordica charantia, Ascaridia galli, Duodenum Histopathology, Broiler. vi SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA UCAPAN TERIMAKASIH Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah Nya sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi yang berjudul Gambaran Histopatologi Duodenum Ayam Pedaging Yang Diinfeksi Ascaridia galli Dengan Terapi Daun Pare (Momordica charantia), Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada: Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Prof. Hj. Romziah Sidik, Ph.D., drh. Atas kesempatan mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Prof. Dr. Lucia Tri Suwanti, drh., MP. selaku pembimbing utama dan Roesno Darsono, drh, M. Vet. selaku pembimbing serta, atas saran dan bimbingan nya baik tenaga, waktu, pikiran, doa, kesabaran dan perhatian untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. \Komisi penguji, Prof. Dr. Setiawan Koesdarto, drh., MSc. selaku ketua penguji, Djoko Legowo, drh., M. Kes. selaku sekrertaris penguji, dan Lita Rakhma Yustinasari, drh., M. Vet. selaku anggota penguji. Dr. Ngakan Made Rai Widjaja, drh., MS. Selaku dosen wali yang telah memberikan banyak motivasi dibidang akademis. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga atas wawasan ilmu yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. vii SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Bapak dan Ibu staff kependidikan, Bagian Kemahasiswaan, Bagian Akademik, Bagian Keuangan, Bagian Tata Usaha dan Kerumahtanggaan serta Bagian Sistem Informasi yang telah banyak membantu selama penulis belajar di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya. Orang tua penulis, bapak Mochammad Suryanto dan ibu Istianah Kristianti yang selalu memberikan dukungan, bimbingan, pengorbanan, serta kasih sayang bagi penulis dari kecil sampai saat ini yang tak terhingga dan senantiasa memberikan motivasi bagi penulis untuk terus bisa bermanfaat bagi sesama. Terimakasih atas kasih sayang sepanjang masa kalian sehingga penulis mampu sampai ke titik ini. Tak lupa juga kepada adik, serta sanak keluarga yang juga banyak memberikan dukungan bagi penulis. Teman-teman angkatan 2011, 2012, 2013, 2014 serta seluruh civitas akademika yang telah banyak memberikan dukungan kepada penulis. Temanteman seperjuangan, BLM, BEM, IMAKAHI, KMPV TB, KMPV UBUR, KMPV PW, JMV, SKK, SKP yang senantiasa harmonis dalam kebhinnekaan untuk tujuan memajukan kehidupan kampus veteriner yang selalu lebih baik dan menjadi yang terbaik. Semua pihak yang tidak disebutkan tetapi sangat membantu dalam proses pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Penulis sepenuhnya menyadari masih banyak terdapat kekurangan, mengingat terbatasnya pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karenanya, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. viii SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Akhirnya penulis hanya mampu berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi para pembaca. Surabaya, 11 Agustus 2015 Penulis ix SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN .......................................................................... iii HALAMAN IDENTITAS ................................................................................. iv ABSTRACT ...................................................................................................... vi UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ vii DAFTAR ISI ..................................................................................................... x DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG ......................................................... xv BAB I : PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 Latar belakang .......................................................................................... 1 Rumusan masalah ..................................................................................... 4 Landasan teori ........................................................................................... 4 Tujuan penelitian ...................................................................................... 5 Manfaat penelitian .................................................................................... 5 Hipotesis ................................................................................................... 6 BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.2 2.3 2.4 Tinjauan tentang A. galli .......................................................................... 7 2.1.1 Klasifikasi A. galli ............................................................................ 7 2.1.2 Habitat dan morfologi A. galli.......................................................... 7 2.1.3 Siklus hidup A. galli ........................................................................ 9 2.1.4 Patogenesis dan gejala klinis infeksi A. galli ................................... 9 Tinjauan ayam pedaging ............................................................................ 11 Tinjauan tentang usus halus ayam ............................................................ 12 2.3.1 Usus halus ayam .............................................................................. 12 2.3.2 Anatomi duodenum ......................................................................... 12 2.3.3 Histologi duodenum ........................................................................ 12 Tinjauan tentang pare ............................................................................... 14 x SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2.4.1 Tinjauan tentang klasifikasi pare ..................................................... 14 2.4.2 Morfologi tanaman pare .................................................................. 14 2.4.3 Kandungan dan khasiat tanaman pare ............................................. 15 BAB 3 : MATERI DAN METODE 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 Waktu dan tempat ..................................................................................... 17 Bahan dan materi penelitian .................................................................... 17 3.2.1 Bahan penelitian .............................................................................. 17 3.2.2 Materi penelitian ............................................................................. 18 3.2.3 Populasi dan sampel ........................................................................ 18 Variabel penelitian .................................................................................... 19 3.3.1 Variabel bebas ................................................................................. 19 3.3.2 Variabel tergantung ......................................................................... 19 3.3.3 Variabel kendali .............................................................................. 19 3.3.4 Definisi operasional variabel ........................................................... 19 Prosedur penelitian ................................................................................... 21 Pengumpulan dan teknik pengambilan data ............................................. 22 Rancangan penelitian ................................................................................ 23 Diagram alir penelitian .............................................................................. 25 BAB 4 : HASIL PENELITIAN 4.1 4.2 4.3 Haemorhagi .............................................................................................. 26 Keparahan inflamasi ................................................................................. 30 Kedalaman inflamasi ................................................................................ 33 BAB 5 : PEMBAHASAN 5.1 5.2 5.3 Haemorhagi .............................................................................................. 36 Keparahan inflamasi ................................................................................. 37 Kedalaman inflamasi ................................................................................ 40 BAB 6 : KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 6.2 Kesimpulan ............................................................................................... 41 Saran ......................................................................................................... 41 RINGKASAN ................................................................................................... 42 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 45 LAMPIRAN ...................................................................................................... 49 xi SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DAFTAR TABEL Tabel 3.1 3.2 4.1 4.2 4.3 Halaman Penilaian tingkat perdarahan pada duodenum ............................ Penilaian tingkat inflamasi pada duodenum .............................. Nilai mean, standar deviasi dan modus haemorhagi pada duodenum ayam pedaging .......................................................... Nilai mean, standar deviasi dan modus keparahan inflamasi pada duodenum ayam pedaging .................................................. Nilai mean, standar deviasi dan modus kedalaman inflamasi pada duodenum ayam pedaging .................................................. 22 23 27 30 33 xii SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 3.1 4.1 4.2 4.3 8 8 11 13 15 25 26 29 4.4 Bibir cacing A. galli (mikroskop scanning elektron) .............. Telur A. galli (perbesaran mikroskop 1000x) ......................... Ayam pedaging ....................................................................... Histologi duodenum ayam ...................................................... Tanaman pare ........................................................................... Bagan diagram alir penelitian ................................................. Gambaran histopatologi duodenum ayam normal ................... Duodenum yang mengalami haemorhagi ................................. Infiltrasi sel radang yang bervariasi pada masing-masing perlakuan duodenum ayam pedaging ...................................... Infiltrasi sel radang di berbagai lapisan duodenum .................. 34 35 xiii SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 50 53 84 85 87 Data perolehan skoring ...................................................... Hasil analisis data dengan SPSS 20.0 for windows ............ Perhitungan dosis telur A. galli .......................................... Prosedur pembuatan preparat histopatologi duodenum ..... Dokumentasi penelitian ...................................................... xiv SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG % µm A. galli cm dkk. DOC et al. HE kg mg ml mm n PT. RAL SPSS SPF t : persen : mikrometer : Ascaridia galli : centimeter : dan kawan-kawan : Day Old Chick : et alii : Hematoxylin Eosin : kilogram : miligram : mililiter : milimeter : jumlah ulangan : Perusahaan Terbatas : Rancangan Acak Lengkap : Statistical Programs For Social Scientific : Specific Pathogenic Free : jumlah perlakuan xv SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia peternakan terutama unggas sangat berkembang saat ini. Produk unggas yang tetap bertahan di tengah krisis adalah daging ayam dan telur, yang termasuk sebagai protein hewani dengan harga relatif murah apabila dibandingkan dengan harga daging sapi (Laporan Market Intelejen, 2009). Peningkatan konsumsi terhadap daging ayam semakin tinggi khususnya pada komoditi daging ayam pedaging yang jadi pilihannya. Daging dari ayam pedaging ini menjadi pilihan karena harganya yang relatif lebih terjangkau serta karakteristik daging yang lebih lunak dan tebal jika dibandingkan dengan daging ayam kampung (Kusuma et al., 2014). Ayam pedaging memiliki karakteristik dengan ciri khas pertumbuhan cepat, efisiensi dalam penggunaan ransum, masa panen pendek, menghasilkan daging berserat lunak, daging yang baik, serta kulit yang licin (Risnayati, 2012). Besarnya konsumsi daging ayam membuat peternakan ayam pedaging meningkatkan produksinya. Salah satu kendala yang dihadapi untuk pengembangan peternakan ayam adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing nematoda A. galli. Ascaridia galli dapat menginfeksi ayam dari berbagai tingkat umur. Data di lapangan menunjukkan prevalensi A. galli lebih tinggi pada ayam dara dibandingkan dengan ayam dewasa. Demikian juga jumlah cacing dewasa yang ditemukan lebih banyak pada ayam dara dibandingkan dengan ayam dewasa (Magwisha et al., 2002). Selain itu penelitian di Zimbabwe memperlihatkan bahwa A. galli 1 SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2 mempunyai efek imunosupresif sehingga menurunkan titer antibodi terhadap penyakit Newcastle Disease (ND) (Hørning, 2003). Penelitian Ikeme (1971) menyatakan peradangan pada usus halus ayam yang diakibatkan larva maupun cacing dewasa A. galli dapat menyebabkan kerusakan pada vili dan sel-sel epitel usus. Kerusakan vili dapat mengurangi luas permukaan pada mukosa usus halus sehingga menurunkan kemampuan penyerapan zat-zat makanan (Iji et al., 2001). Efek paling utama dapat dilihat semasa fasa prepatent, yaitu saat larva A. galli masih dalam mukosa duodenum. Larva menyebabkan radang usus, yang biasanya bersifat catarrhal, tetapi dalam infeksi yang sangat berat dapat terjadi pendarahan (Taylor et al., 2007). Ascaridiosis yang telah berlangsung dalam waktu yang lama (infeksi kronis) dapat menyebabkan gastroenteritis ulseratif, hepatitis nekrotik, dan nephritis yang dapat berakhir dengan kematian (Taiwo et al. 2002). Pengendalian infeksi cacing yang efektif adalah dengan memadukan manajemen peternakan yang baik dan pemberian antelmintik untuk mengeluarkan cacing dari tubuh ternak. Antelmintik yang banyak beredar di pasaran adalah antelmintik sintetis yang harganya relatif mahal dan penggunaan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan timbulnya resistensi serta dapat menimbulkan residu pada produk pangan asal hewan (Sumarni, 2008). Diperlukan alternatif antelmintik untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu dengan pemanfaatan tanaman obat. Berbagai tanaman obat telah dikenal dan digunakan sebagai obat tradisional salah satunya adalah pare (Momordica charantia linn.) (Hussain, 2010). Buah pare dianggap sebagai tonik, mengobati sakit perut, stimulan, antimuntah, dan pencahar. Buah ini berguna untuk rematik dan kasus subakut dari SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 3 limpa dan penyakit hati. Buah ini juga telah terbukti memiliki sifat hipoglikemik (antidiabetes) pada hewan serta studi pada manusia. Jus buah dan daunnya digunakan untuk diabetes, malaria, kolik, luka infeksi, cacing dan parasit lainnya. Daging buah, jus daun dan biji sangat efektif untuk obat cacing (Kumar et al., 2010). Menurut Damayanti (2007) dalam (Sumarni, 2008) ternyata selain buah, daun pare memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Daun pare mengandung berbagai senyawa kimia seperti tanin, flavonoid, saponin, triterpenoid, dan alkaloid. Triterpen glikosida dalam pare ditemukan sangat aktif terhadap nematoda (Rashmi et al., 2011). Pare juga menunjukkan aktivitas antelmintik kuat secara in vitro bila dibandingkan piperazine hexahydrate terhadap A. galli (Lal et al., 1978). Selama ini penelitian A. galli pada ayam pedaging kurang mendapat perhatian. Penelitian efek antelmintik ekstrak etanol daun pare terhadap askariasis dengan menggunakan cacing A. galli pada ayam secara in vitro sudah dilakukan oleh Kendyarto (2008). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ekstrak etanol daun pare berefek antelmintik terhadap A. galli in vitro. Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang infeksi A. galli terhadap ayam pedaging dengan terapi daun pare serta diamati perubahan histopatologi duodenum ayam pedaging. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 1.2 4 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang teori yang telah diuraikan maka rumusan masalah yang dapat diajukan adalah, - Apakah terapi daun pare mempunyai daya antelmintik terhadap cacing A. galli ditinjau berdasarkan perubahan histopatologi duodenum ayam pedaging? 1.3 Landasan Teori Ascaridia galli memiliki dampak enteritis atau enteritis haemorhagi yang terlihat ketika banyaknya jumlah larva yang berpenetrasi pada duodenum. Larva yang berpenetrasi menyebabkan perdarahan dan kerusakan luas epitel kelenjar (Taylor, 2007). Telur A. galli yang dikeluarkan bersama feses induk semang yang akan berkembang menjadi stadium II (telur yang mengandung larva infektif). Stadium II ini larva mampu bertahan hidup lebih dari 3 bulan ditempat yang teduh atau terlindung. Telur yang termakan oleh induk semang akan menetas menjadi larva stadium III di dalam usus pada hari ke-8 setelah infeksi, kemudian larva hidup bebas di dalam usus. Hari ke-9-10 larva stadium III akan menembus mukosa usus kemudian berkembang menjadi larva stadium IV pada hari ke-14-15 setelah infeksi. Hari ke-17-18 cacing muda akan keluar dari mukosa usus menuju lumen usus dan menjadi dewasa pada minggu ke-6-8. Cacing dewasa mulai bertelur pada hari ke 100 dan telur-telur cacing dikeluarkan bersama feses dari induk semang (Subekti dkk., 2005) SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 5 Pemberian antelmintik adalah salah satu cara mengatasi masalah infeksi A. galli, antelmintik seharusnya efektif terhadap semua stadium parasit tertentu, tidak toksik terhadap host, cepat didistribusikan dan cepat dinetralisir, serta harga yang dapat dijangkau (Taylor, 2007). Penelitian Kendyarto (2008) menyatakan Infus daun pare memiliki daya antelmintik terhadap cacing A. galli secara in vitro. Pare memiliki kandungan senyawa saponin, alkaloid, dan tanin (Rashmi et al. 2012). Cara kerja saponin sebagai antelmintik yaitu dengan cara meningkatkan permeabilitas dan formasi pori dinding tubuh cacing sehingga dapat menyebabkan vakuolisasi dan desintegrasi kutikula (Parvathy et al., 2012). Tanin dapat mengikat protein cacing yang dilepas dalam saluran pencernaan hewan terinfeksi cacing atau glikoprotein pada kutikula cacing dan alkaloid dapat bertindak pada sistem saraf pusat cacing dan menyebabkan kelumpuhan cacing (Patel, 2010). 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain adalah untuk: - Mengetahui daya antelmintik daun pare sebagai terapi A. galli dengan cara membandingkan gambaran histopatologi duodenum ayam pedaging 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai manfaat daun pare sebagai terapi terhadap A. galli serta secara khusus di bidang veteriner tentang gambaran histopatologi duodenum ayam pedaging yang terinfeksi A. galli dengan terapi daun pare. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 1.6 6 Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini adalah - Terdapat daya antelmintik dalam daun pare yang ditampilkan dengan adanya perubahan gambaran histopatologi duodenum ayam pedaging yang diinfeksi A. galli dengan pemberian terapi daun pare. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang A. galli 2.1.1 Klasifikasi A. galli Soulsby (1986) mengklasifikasikan cacing A. galli secara taksonomi dengan sistematika sebagai berikut: Phyllum : Nematoda; Sub kelas : Phasmida; Nemathelminthes; Class: Order: Ascaridida; Super Family: Ascaridoedea; Family: Ascaridae; Genus: Ascaridia; Spesies: Ascaridia galli. 2.1.2 Habitat dan morfologi A. galli Cacing nematoda A. galli adalah cacing yang berukuran cukup besar dan berkembang di dalam usus halus unggas. Bentuk tubuhnya gilik, tebal, memanjang, dengan warna putih kekuningan yang rata mempunyai tiga bibir besar (Gambar 2.1) dan esofagusnya tidak mempunyai bulbus posterior (Soulsby, 1986). Mulut cacing A. galli dilengkapi tiga bibir yaitu, satu dorsal dan dua lateroventral. Permin dan Nansen (1998) mengatakan bahwa cacing jantan dewasa berukuran panjang 51-76 mm dan cacing betina dewasa 72-116 mm. Cacing jantan memiliki preanal sucker dan dua spicula berukuran panjang 1-2,4 mm, sedangkan cacing betina memiliki vulva dipertengahan tubuh. 7 SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 8 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Gambar 2.1 Bibir Cacing A. galli menggunakan mikroskop scanning elektron (JEM-1200 EX II) (Hassanain, 2009) Telur A. galli (Gambar 2.2) berbentuk oval, berdinding rata, belum berkembang saat dikeluarkan bersama feses, berukuran 73-93 µm x 45-57 µm (Subekti dkk., 2005). Telur dipasasekan bersama feses induk semang dan berkembang di luar tubuh host, mencapai stadium infektif ± 10 hari. Telur dapat hidup lebih dari tiga bulan pada keadaan yang lembab dan cepat mati karena kekeringan/udara panas (Subekti dkk., 2005). Telurnya tidak menetas di tanah, tetapi apabila telah infektif dan termakan oleh induk semang yang sesuai, telur tersebut akan menetas di dalam usus. Gambar 2.2 Telur A. galli dengan perbesaran mikroskop 1000x (Macklin, 2013) SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 9 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2.1.3 Siklus hidup A. galli Cacing A. galli di dalam siklus hidupnya tidak memerlukan induk semang antara. Telur A. galli yang dikeluarkan bersama feses induk semang akan berkembang menjadi stadium infektif (telur infektif) dalam waktu ± 10 hari di udara terbuka. Perkembangan selanjutnya telur menjadi larva stadium II (telur yang mengandung larva infektif). Pada stadium II ini larva mampu bertahan hidup lebih dari 3 bulan ditempat yang teduh atau terlindung, namun akan segera mati bila keadaan kering dan cuaca panas sekalipun larva berada dalam tanah sedalam ± 15cm (Subekti dkk., 2005). Telur yang termakan oleh induk semang akan menetas menjadi larva stadium III di dalam usus pada hari ke-8 setelah infeksi, kemudian larva hidup bebas di dalam usus. Hari ke-9-10 larva stadium III akan menembus mukosa usus kemudian berkembang menjadi larva stadium IV pada hari ke-14-15 setelah infeksi. Hari ke-17-18 cacing muda akan keluar dari mukosa usus menuju lumen usus dan menjadi dewasa pada minggu ke-6-8. Cacing dewasa mulai bertelur pada hari ke-100 dan telur-telur cacing dikeluarkan bersama feses dari induk semang (Subekti dkk., 2005). Menurut Dunn (1978) seekor cacing dewasa mampu bertelur sekitar 250.000 butir setiap harinya. 2.1.4 Patogenesis dan gejala klinis infeksi A. galli Infeksi A. galli dapat terjadi dengan cara termakannya telur infektif bersama pakan atau minum. Ayam juga dapat terinfeksi melalui cacing tanah yang menelan telur A. galli kemudian ayam memakan cacing tanah tersebut (Subekti dkk., 2005). SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 10 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Ayam yang terinfeksi menunjukkan gejala penurunan nafsu makan, bulu kasar, diare, pucat, gangguan pertumbuhan dan gangguan penyerapan zat-zat makanan dalam usus. Gangguan penyerapan pada mukosa jaringan usus disebabkan oleh larva cacing A. galli yang mengadakan penetrasi ke dalam mukosa duodenum, penetrasi larva tersebut menyebabkan pendarahan pada epitel mukosa duodenum sehingga dapat menimbulkan keradangan dan terjadinya enteritis serta ayam menjadi anemia atau diare. Ayam tampak kurus dan produksi telur menurun, pada infeksi yang berat terjadi obstruksi pada usus (Soulsby, 1986). Telur keluar bersama feses dan berkembang menjadi stadium II (infektif), telur yang termakan induk semang akan menetas dan berkembang menjadi larva stadium III. Selanjutnya larva menembus mukosa usus, penetrasi larva ini dapat mengakibatkan enteritis hemorrhagis dan kerusakan dinding usus. Gejala yang tampak pada ayam yang terserang adalah anemia, diare, nafsu makan turun serta haus yang berlebihan. Perkembangan larva stadium III menjadi larva stadium IV berada di dalam mukosa usus, kemudian larva stadium IV akan menjadi cacing muda dan keluar dari mukosa menuju lumen berkembang menjadi dewasa. Infeksi yang hebat dari cacing A. galli dapat mengakibatkan obstruksi, perforasi usus dan kematian (Subekti dkk., 2005). SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 11 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2.2 Tinjauan Ayam Pedaging (Gallus gallus) Ayam pedaging (Gambar 2.3) adalah ayam muda yang berumur panen kurang dari 8 minggu, memiliki dada lebar dengan tumpukan daging yang banyak, dengan berat hidup sekitar 1,3 hingga 1,4 kg pada umur 6 minggu (Rasyaf, 2002). Sinaro (2013) berpendapat, pada tahun 2012 bobot 1,9 kg/ekor dapat dicapai dalam waktu 5 minggu. Ayam pedaging termasuk dalam genus gallus, berikut ini adalah klasifikasi ayam pedaging menurut Rose (2001) dalam Rahayu (2002), Kingdom: Animalia; Subkingdom : Metazoa; Phylum : Chordata; Subphylum : Vertebrata; Divisi : Carinathae; Kelas : Aves; Ordo : Galliformes; Family : Phasianidae; Genus : Gallus ; Spesies : Gallus gallus domestica sp. Gambar 2.3 Ayam Pedaging (Jaya, 2011) SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 12 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2.3 Tinjauan Tentang Usus Halus Ayam 2.3.1 Usus Halus Ayam Usus halus terdiri atas saluran makanan yang dimulai dari duodenum. Pencernaan dan penyerapan pakan utamanya terjadi di usus halus. Selaput lendir usus halus memiliki jonjot yang lembut dan menonjol seperti jari. Fungsinya selain sebagai penggerak aliran pakan dalam usus juga untuk menaikkan permukaan penyerapan sari-sari makanan (Akoso, 2007). 2.3.2 Anatomi Duodenum Duodenum merupakan segmen pertama dari usus halus yang terletak di dalam rongga abdomen. Duodenum terletak cenderung di sisi kanan dari rongga abdomen dan diikat oleh sebuah penggantung mesoduodenum. Duodenum memanjang dari ujung distal pilorus sampai kira-kira 10 cm sebelum jejunum. Duodenum berbatasan langsung dengan saluran empedu dan terletak di lobus kanan pankreas. Bagian ini berbentuk kelokan disebut duodenal loop (Frandson et al., 2008). 2.3.3 Histologi Duodenum Menurut William and Linda (2000), tunika mukosa duodenum terdiri dari lapisan epitel, lamina propria, dan muskularis mukosa. Lapisan epitel tersusun atas sel absorbtif yang berbentuk silindris tinggi dan permukaannya mempunyai mikrovili yang disebut striated border, sel goblet yang berbentuk piala dan tersebar di antara sel absorbtif, sel paneth yang berbentuk silindris dan terdapat di dasar kripta Lieberkuhn, sel silindris rendah yang terdapat di atas kripta SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 13 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Lieberkuhn, dan sel argentafin yang terdapat di antara sel-sel yang menutupi vili dan kripta Lieberkuhn. 3 1 4 5 6 2 Gambar 2.4 Histologi Duodenum Ayam Dengan Pembesaran Mikroskop 125x Pewarnaan H.E (William and Linda, 2000). Keterangan: Kripta Lieberkuhn (1), Jaringan limfatik (2), Lamina propria (3), Villi usus (4), Muskularis eksterna (5), Submukosa (6). Lamina propria terdiri atas jaringan ikat kendor yang mempunyai banyak sabut-sabut retikuler dan tampak infiltrasi sel-sel limfosit. Terdapat banyak anyaman kapiler serta ikut membentuk vili yang lebar seperti daun dan plika Kerkringi yang jumlahnya banyak dan bercabang-cabang pada duodenum. Muskularis mukosa terdiri atas dua lapis otot polos, yakni lapisan dalam sirkularis dan lapisan luar longitudinalis yang berfungsi mendekatkan mukosa dengan makanan sehingga absorbsi lebih sempurna (William and Linda, 2000). Tunika submukosa terdiri atas jaringan ikat kendor yang mempunyai banyak sabut-sabut elastis dan juga terdapat jaringan lemak. Di dalamnya terdapat SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 14 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Kelenjar Brunner, Pleksus submukosus dari Meissner dan Pleksus dari Heller (Elizabeth and Fredric, 2001). Tunika muskularis eksterna terdiri atas dua lapis otot polos, yakni muskularis sirkularis dan muskularis longitudinalis yang diantaranya terdapat ganglion otonom yang bernama pleksus mienterikus Auerbach. Tunika adventitia terdiri atas jaringan ikat kendor yang tertutup oleh mesotelium atau serosa (Elizabeth and Fredric, 2001). 2.4 Tinjauan Tentang Pare 2.4.1 Tinjauan Tentang Klasifikasi Pare Dalimartha (2008) mengklasifikasikan tanaman pare secara taksonomi dengan sistematika sebagai berikut, Kingdom: Plantae; Divisi: Magnoliophyta; Class: Magnoliopsida; Order: Violales; Family: Cucurbitaceae; Genus: Momordica; Spesies: Momordica charantia 2.4.2 Morfologi Tanaman Pare Tanaman pare merupakan tanaman yang menjalar dan memiliki batang berusuk 5 berwarna hijau dengan panjang 2-5cm. Batang yang masih muda memiliki rambut dan akan hilang setelah tanaman pare tua. Daun dari tanaman pare berbentuk menjari, berbulu dan berlekuk, permukaan atas daun berwarna hijau tua sedangkan permukaan bawah daun berwarna hijau muda (Gambar 2.4). Tangkai daun menjulur dari ketiak daun dengan panjang 7-12 cm. Bunga pare juga tumbuh dari ketiak daun dan berwarna kuning menyala serta memiliki kelopak bunga yang berbentuk lonceng dan berusuk banyak. Bunga pare terdiri SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 15 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA dari bunga jantan dan betina, dengan panjang tangkai 2-5,5 cm untuk bunga jantan dan 1-10cm untuk bunga betina (Subahar, 2004). Gambar 2.5 Tanaman pare (Sutomo, 2006) Buah pare berbentuk bulat panjang, dengan permukaan berbintil-bintil, bagian buah yang masak berwarna jingga. Daging buahnya tebal, renyah, dan mengandung banyak air, dan rasanya pahit. Dalam buah terdapat biji yang banyak. Sayatan melintang pada buah pare yang mentah akan menunjukkan biji berwarna putih, sedangkan pada buah pare yang matang biji berwarna kemerahan (Rashmi et al., 2011). 2.4.3 Kandungan dan Khasiat Tanaman Pare Tanaman pare terdiri dari sejumlah unsur yang berkontribusi terhadap nilai gizi. Beberapa unsur penting hadir dalam bagian tanaman yang berbeda sebagai berikut, bagian daunnya berisi dua asam resin dan momordicine (zat pahit), vitamin C, karoten, dan asam aminobutyric. Penelitian telah menemukan bahwa daun pare merupakan sumber nutrisi kalsium, magnesium, kalium, fosfor dan zat besi, dan vitamin B. Bagian akar mengandung sekitar 13% abu (unsur utama: SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 16 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA silikon, kalsium, fosfor, strontium, tembaga, timbal, seng, natrium, dan besi). Buah pare mengandung sekitar 7% abu (hampir sama dengan akarnya), tidak ada asam pektin bebas tetapi berbentuk larutan pectin, saponin, 5-hydroxytryptamine, senyawa momordicin alkaloid, 0,3% dari total alkaloid, glukosida steroid serta mengandung 0,035% charantin terisolasi yang menyajikan karakter pitosterol. Bijinya memiliki kandungan 32-35% obat laxative (asam stearat, asam oleat, linoleat, dan asam eleostearic) albumin, globulin, glutelin, niasin, asam pantotenat, dan lainnya vitamin B, karoten, asam butirat amino. Hampir keseluruhan bagian tanamannya memiliki kandungan alkaloid dan saponin, tanin, kuinon, steroid, senyawa terpene, dan asam ortoftalat (Rashmi et al., 2011). Penelitian efek antelmintik ekstrak etanol daun pare terhadap askariasis dengan menggunakan cacing A. galli pada ayam secara in vitro sudah dilakukan oleh Kendyartanto (2008). Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan ekstrak etanol daun pare berefek antelmintik terhadap A. galli in vitro. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB 3 MATERI DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga sebagai tempat isolasi telur cacing A. galli di kandang hewan percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga sebagai tempat pemeliharaan ayam pedaging. Pembuatan serta pemeriksaan preparat histologi dan histopatologi duodenum dilakukan di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari - April 2015. 3.2 Bahan dan Materi Penelitian 3.2.1 Bahan Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi : daun pare (Momordica charantia) yang digiling halus menjadi serbuk kemudian ditambahkan aquadest sebagai pelarut sebagai terapi A. galli dan telur infektif A. galli yang diperoleh dari cacing di dalam usus ayam yang dijual di pasar Wonokromo Surabaya. Obyek pada penelitian ini digunakan day old chick (DOC) ayam pedaging strain Cobb CP 707 dari PT. Charoen Phokphan beserta pakan yang diproduksi untuk jenis ayam pedaging tersebut. Bahan untuk pembuatan preparat histologi diperlukan formalin 10%, alkohol 70%, 80%, 90% dan 96%, xylol, Hematoxylin Eosin, glyserin, serta paraffin. 17 SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 18 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 3.2.2 Materi Penelitian Materi penelitian yang digunakan adalah ruang kandang, kandang ayam individual tipe baterai, tempat pakan, tempat minum, cawan petri dan spuit (3 ml) sebagai alat untuk menginfeksikan A. galli serta sebagai pengukur dosis daun pare. Peralatan bedah (pinset, scalpel, gunting bedah), glove, masker, pot obat, kertas label dan buffer formalin. Peralatan pembuatan preparat histologi antara lain, gelas obyek dan gelas penutup, mikrotom, hot plate dan mikroskop Nikon® Eclipse E100 serta kamera mikroskop Optilab Upgrade Advance Plus untuk pemeriksaan preparat histologi. 3.2.3 Populasi dan Sampel Penelitian ini menggunakan DOC (Day Old Chick) ayam pedaging (Gallus gallus) yang diadaptasikan selama dua minggu. Hewan coba dikandangkan dalam kandang individual tipe baterai. Ayam dipelihara dengan pemberian pakan dan minum ad libitum . Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan rumus Federer dalam Kusriningrum (2011) : t(n – 1) ≥ 15 Dengan : t = kelompok perlakuan dan n = ulangan Menurut rumus diatas, didapatkan n = 3,5 kemudian dibulatkan menjadi empat untuk enam perlakuan maka dibutuhkan jumlah total sampel keseluruhan 24 ekor ayam pedaging. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 19 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 3.3 Variabel Penelitian 3.3.1 Variabel Bebas Variabel bebas yang mempengaruhi obyek penelitian adalah daun pare. 3.3.2 Variabel tergantung Variabel tergantung pada penelitian ini adalah : Perubahan gambaran histologi duodenum pada ayam pedaging yang meliputi: Haemorhagi, tingkat keparahan peradangan, dan tingkat kedalaman peradangan. 3.3.3 Variabel kendali Variabel kendali pada penelitian ini adalah strain ayam, pakan ayam, umur ayam, berat badan ayam, kandang, waktu pemeliharaan dan peralatan yang digunakan, serta dosis infektif telur cacing A. galli. 3.3.4 Definisi Operasional Variabel A. Variabel Bebas 1. Daun Pare Menurut Shahadat (2008) dosis efektif ekstrak pare sebagai antelmintik A. galli adalah 30 mg/ml yang dicampurkan dalam air minum. Penelitian ini menggunakan daun pare (Momordica charantia) yang dikeringkan lalu digiling sehingga menjadi serbuk dan ditambahkan aquadest sebagai pelarut dengan dosis 10 mg/ml/hari, 20 mg/ml/hari, 30 mg/ml/hari. B. Variabel Tergantung Duodenum didapatkan dengan melakukan pembedahan pada ayam pedaging pada hari ke-15 setelah perlakuan. Pengambilan duodenum dimulai setelah pilorus hingga kira-kira sepanjang 10 cm sebelum jejunum serta terdapat SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 20 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA lengkungan duodenal loop yang menutupi pankreas. Selanjutnya, duodenum dipisahkan dengan organ jejunum dan difiksasi di dalam pot yang berisi formalin 10% untuk dibuat sediaan histopatologi. Perubahan histopatologi duodenum yang diamati secara mikroskopis meliputi adanya: 1. Haemorhagi : Infiltrasi sel eritrosit pada jaringan 2. Keparahan inflamasi : Keparahan inflamasi dilihat dari banyak tidaknya infiltrasi sel radang 3. Kedalaman inflamasi : Kedalaman inflamasi dilihat dari letak terjadinya infiltrasi sel radang di berbagai lapisan duodenum C. Variabel Kendali Dosis infektif telur A. galli diperoleh dari cacing A. galli betina dewasa dalam lumen usus halus ayam kampung yang terinfeksi secara alami. Cacing dikelompokkan berdasarkan jumlah cacing betina dewasa yang ditemukan. Telur diambil langsung dari uterus A. galli betina dewasa dan diinkubasi secara in vitro selama 21–30 hari pada temperatur ruangan untuk mendapatkan telur infektif. Jumlah telur yang berkembang menjadi telur infektif dihitung di bawah stereomikroskop pembesaran 12,5x. Menurut Zalizar (2006) 200 telur infektif A. galli sudah mampu memberikan dampak pada unggas, akan tetapi pada penelitian Purwati dan He (1990) menyatakan 1000 telur infektif A. galli adalah dosis infektif berat untuk unggas. Karena itu dosis telur infektif yang dipakai dalam penelitian ini adalah 650 telur infektif A. galli. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 21 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 3.4 Prosedur Penelitian Penelitian ini menggunakan ayam pedaging yang dipelihara mulai umur satu hari DOC (day old chick) sampai dengan 14 hari, jumlah ayam yang digunakan secara keseluruhan adalah 24 ekor. Ayam diambil secara acak dengan metode simple random sampling (Kusriningrum, 2011). Seluruh ayam dikelompokkan dalam enam kelompok perlakuan, sehingga setiap kelompok perlakuan terdapat empat ekor ayam. Daun pare yang digunakan digiling halus terlebih dahulu hingga menjadi serbuk dan dilarutkan dengan aquadest dengan konsentrasi yang berbeda-beda untuk masing-masing kelompok. Pengelompokan dan perlakuan pada hewan percobaan secara lengkap adalah sebagai berikut : P0 : Tidak diinfeksi 650 telur A. galli, dan tidak ada terapi daun pare (kontrol). P1 : Diinfeksi 650 telur A. galli, tidak diterapi daun pare. P2 : Tidak diinfeksi 650 telur A. galli, diterapi daun pare 30 mg/ml/hari. P3 : Diinfeksi 650 telur A. galli, dan diterapi daun pare 10 mg/ml/hari. P4 : Diinfeksi 650 telur A. galli, dan diterapi daun pare 20 mg/ml/hari. P5 : Diinfeksi 650 telur A. galli, dan diterapi daun pare 30 mg/ml/hari. Hari ke -30 ayam diambil dari kandang dan dilakukan pembedahan serta diseksi untuk memisahkan organ duodenum dari saluran pencernaan. Selanjutnya dimasukkan ke dalam pot salep yang berisi buffer formalin selama organ duodenum belum dibuat sediaan histologi. Organ duodenum akan dibuat preparat histologi dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE) (Fawcet, 1994). SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 22 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 3.5 Pengumpulan dan Teknik Pengambilan Data Data histopatologi ditentukan dengan cara mengamati bentuk perubahan yang ditemukan dengan mikroskop Nikon® Eclipse E100 melalui perbesaran 400x untuk melihat haemoragi dan keparahan inflamasi, kemudian perbesaran 100x untuk melihat kedalaman inflamasi. Pemeriksaan setiap preparat dilakukan berdasarkan tingkat perdarahan duodenum (Balqis dkk., 2014), dan inflamasi pada usus halus (Cheng et al., 2009). Setiap preparat duodenum diamati lima lapang pandang untuk mengamati haemorhagi, keparahan dan kedalaman inflamasi. Hasil penilaian tiap lapang pandang dalam satu preparat dijumlahkan kemudian dihitung rata-ratanya. Tabel 3.1 Penilaian tingkat perdarahan pada duodenum (Balqis dkk, 2014): Skor 0 1 2 3 4 SKRIPSI Keterangan Tidak ditemukan haemorhagi pada duodenum 1-25% duodenum mengalami haemorhagi 26-50% duodenum mengalami haemorhagi 51-75% duodenum mengalami haemorhagi 76-100% duodenum mengalami haemorhagi GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 23 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Tabel 3.2 Penilaian inflamasi pada duodenum (Cheng et al., 2009): Keparahan Inflamasi Keterangan Normal jarang ditemui adanya neutrofil dan sel radang lainnya Ringan (tidak ada nekrosis & infiltrasi sel radang berjumlah 11-50) Sedang (terjadi nekrosis & infiltrasi sel radang berjumlah 51-100) Berat (terjadi nekrosis menyeluruh pada duodenum) Skor 0 1 2 3 Kedalaman Inflamasi Keterangan Tidak ditemukan inflamasi Terdapat sel radang pada lapisan mukosa duodenum Terdapat sel radang pada lapisan sub mukosa duodenum Terdapat sel radang pada lapisan muskularis duodenum Terdapat sel radang pada lapisan sub serosa dan serosa duodenum Skor 0 1 2 3 4 3.6 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental dengan dilakukan pengacakan terhadap 24 ekor ayam pedaging yang terbagi dalam empat perlakuan (t=6), dan tiap perlakuan terdapat lima ulangan (n=4). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) karena hanya ada satu sumber keragaman yakni perlakuan yang dibeda-bedakan di samping pengaruh acak (Kusriningrum, 2006). Data yang diperoleh berupa skor nilai tingkat perubahan gambaran histopatologi duodenum ayam pedaging disusun dalam bentuk tabel untuk kemudian dianalisis statistik dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis. Apabila terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Seluruh SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 24 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA proses analisis dikerjakan dengan program SPSS 20 for Windows (Mehotcheva, 2008). SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 25 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 3.7 Diagram Alir Penelitian Ayam Pedaging umur 1 hari (DOC)(24 ekor) Dipelihara selama 14 hari P0 4 ekor Kontrol (tidak diinfeksi telur A. galli) P1 4 ekor diinfeksi 650 telur A. galli P2 4 ekor tidak diinfeksi telur A. galli P3 4 ekor diinfeksi 650 telur A. galli P4 4 ekor diinfeksi 650 telur A. galli P5 4 ekor diinfeksi 650 telur A. galli Ditunggu 24 jam hingga telur A. galli teringesti P0 4 ekor Kontrol (tidak diterapi daun pare P1 4 ekor tidak diterapi daun pare P2 4 ekor diterapi daun pare 30 mg/ml/hari P3 4 ekor diterapi daun pare 10 mg/ml/hari P4 4 ekor diterapi daun pare 20 mg/ml/hari P5 4 ekor diterapi daun pare 30 mg/ml/hari Perlakuan sampai 14 hari Hari ke- 15 pembedahan dan koleksi organ duodenum Pembuatan preparat histopatologi Pemeriksaan laboratorium Analisis data Gambar 3.1 Bagan Diagram Alir Penelitian SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB 4. HASIL PENELITIAN Pengamatan terhadap perubahan histopatologi duodenum dilakukan secara mikroskopis menggunakan preparat histopatologi dengan menggunakan pewarnaan H.E dari duodenum ayam pedaging. Penilaian dilakukan dan diamati pada 5 lapangan pandang yang berbeda dalam satu preparat dengan menggunakan mikroskop pembesaran 400x untuk mengamati haemorhagi dan keparahan inflamasi, pembesaran 100x untuk mengamati kedalaman inflamasi. Data yang diperoleh berupa data semi kualitatif atau skor (Lampiran 1). Perubahan yang diamati pada penelitian ini adalah haemorhagi, keparahan inflamasi, dan kedalaman inflamasi. A B C Gambar 4.1 Gambaran histopatologi duodenum ayam normal. (Pewarnaan H.E pembesaran 100x, Vili usus (A), Kripta Lieberkuhn (B), Lapisan muskularis (C).) 26 SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 27 4.1 Haemorhagi Hasil pengamatan mikroskopis haemorhagi duodenum ayam pedaging dianalisis menggunakan uji Kruskal Wallis dan menunjukkan hasil bahwa antar kelompok perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) maka analisis dilanjutkan dengan menggunakan uji Mann Whitney. Perhitungan statistik dapat dilihat pada Lampiran 2. Nilai mean dan modus haemorhagi duodenum ayam pedaging dengan hasil analisis menggunakan uji Kruskal Wallis yang kemudian dilanjutkan menggunakan uji Mann Whitney dapat dijelaskan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Nilai mean, standart deviasi dan modus skoring haemorhagi duodenum ayam pedaging Kelompok Mean±Std. Deviasi Modus P0 (kontrol) 0,45ab ± 0,2516 0 P1 (diinfeksi telur A. galli) 1,45c ± 0,19149 2 P2 (daun pare 30 mg/ml/hari) 0,35a ± 0,10000 0 0,70b ± 0,25820 1 0,70ab ± 0,38297 1 0,50ab ± 0,11547 0 P3 (diinfeksi telur A. galli & terapi daun pare 10 mg/ml/hari) P4 (diinfeksi telur A. galli & terapi daun pare 20 mg/ml/hari) P5 (diinfeksi telur A. galli & terapi daun pare 30 mg/ml/hari) a, b, c superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). Tabel 4.1 menjelaskan bahwa pada setiap kelompok perlakuan terlihat perbedaan yang nyata pada perlakuan P1, P2, dan P3 akan tetapi pada perlakuan SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 28 P0, P4 dan P5 tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan P2 dan P3 dalam gambaran histopatologi duodenum ayam pedaging untuk jenis perhitungan menggunakan mean. Kolom modus menjelaskan hasil penghitungan nilai modus gambaran haemorhagi duodenum ayam pedaging yaitu kelompok P0 sebagai kontrol didapatkan nilai modus 0; kelompok P1 yang diinfeksi telur A. galli namun tidak diterapi daun pare didapatkan nilai modus 2; kelompok P2 tidak diinfeksi telur A. galli tetapi diterapi daun pare 30 mg/ml/hari didapatkan nilai modus 0; kelompok P3 diinfeksi telur A. galli dan diterapi daun pare 10 mg/ml/hari didapatkan nilai modus 1; kelompok P4 diinfeksi telur A. galli, dan diterapi daun pare 20 mg/ml/hari didapatkan nilai modus 1; kelompok P5 diinfeksi telur A. galli, dan diterapi daun pare 30 mg/ml/hari didapatkan nilai modus 0. Gambaran histopatologi duodenum ayam pedaging yang mengalami haemorhagi dengan pewarnaan H.E pembesaran 100x dan 400x dapat dilihat pada gambar berikut. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 29 P0 100x P1 400x 400x 100x P2 400x 100x 400x 100x P3 400x P4 100x 100x P5 400x Gambar 4.2 Duodenum yang mengalami haemorhagi (P1-P5) terlihat adanya eritrosit yang berada pada setiap lapisan duodenum ditunjukkan dengan tanda panah ( ) . (Pewarnaan H.E pembesaran 100x (insert pembesaran 400x)). SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 30 4.2 Keparahan inflamasi Hasil pengamatan mikroskopis keparahan inflamasi dianalisis menggunakan uji Kruskal Wallis dan menunjukkan hasil bahwa antar kelompok perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) maka analisis dilanjutkan dengan menggunakan uji Mann Whitney. Perhitungan statistika dapat dilihat pada Lampiran 2. Nilai mean dan modus keparahan inflamasi duodenum dengan hasil analisis menggunakan uji Kruskal Wallis yang kemudian dilanjutkan menggunakan uji Mann Whitney dapat dijelaskan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Nilai mean, standart deviasi dan modus skoring keparahan inflamasi duodenum ayam pedaging Kelompok Mean ± Std. deviasi Modus P0 (kontrol) 0,25a ± 0,10000 0 P1 (diinfeksi telur A. galli) 1,55d ± 0,19149 2 P2 (daun pare 30 mg/ml/hari) 0,50ab ± 0,25820 1 1,15cd ± 0,30000 1 1,20cd ± 0,32660 1 0,80bc ± 0,23094 1 P3 (diinfeksi telur A. galli & terapi daun pare 10 mg/ml/hari) P4 (diinfeksi telur A. galli & terapi daun pare 20 mg/ml/hari) P5 (diinfeksi telur A. galli & terapi daun pare 30 mg/ml/hari) a, b, c superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 31 Tabel 4.2 menjelaskan bahwa pada beberapa kelompok perlakuan terlihat perbedaan yang nyata kecuali kelompok P0 tidak berbeda nyata dengan kelompok P2. Kelompok P5 tidak berbeda nyata dengan kelompok P2, P3, dan P4, lalu kelompok P1 tidak berbeda nyata denga kelompok P3 dan P4 dalam gambaran histopatologi duodenum ayam pedaging untuk jenis perhitungan menggunakan mean. Kolom modus menjelaskan hasil penghitungan nilai modus gambaran keparahan inflamasi pada duodenum ayam pedaging yaitu kelompok P0 sebagai kontrol didapatkan nilai modus 0; kelompok P1 yang diinfeksi telur A. galli namun tidak diterapi daun pare didapatkan nilai modus 2; kelompok P2 tidak diinfeksi telur A. galli tetapi diterapi daun pare 30 mg/ml/hari didapatkan nilai modus 1; kelompok P3 diinfeksi telur A. galli dan diterapi daun pare 10 mg/ml/hari didapatkan nilai modus 1; kelompok P4 diinfeksi telur A. galli, dan diterapi daun pare 20 mg/ml/hari didapatkan nilai modus 1; kelompok P5 diinfeksi telur A. galli, dan diterapi daun pare 30 mg/ml/hari didapatkan nilai modus 1. Gambaran histopatologi duodenum ayam pedaging yang mengalami peradangan dengan pewarnaan H.E pembesaran 100x dan 400x dapat dilihat pada gambar berikut. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 32 100x P0 400x P2 400x 100x 400x 100x 400x 100x P3 400x P4 100x P1 100x P5 400x Gambar 4.3 Infiltrasi sel radang yang bervariasi pada masing-masing perlakuan duodenum ayam pedaging (P1-P5) ditunjukkan dengan tanda panah ( ). (Pewarnaan H.E pembesaran 100x (insert pembesaran 400x)). SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 33 4.3 Kedalaman Inflamasi Hasil pengamatan mikroskopis sel radang di beberapa lapisan duodenum dianalisis menggunakan uji Kruskal Wallis dan menunjukkan hasil bahwa antar kelompok perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) maka analisis dilanjutkan dengan menggunakan uji Mann Whitney. Perhitungan statistika dapat dilihat pada Lampiran 2. Nilai mean dan modus kedalaman inflamasi di beberapa lapisan duodenum ayam pedaging dengan hasil analisis menggunakan uji Kruskal Wallis yang kemudian dilanjutkan menggunakan uji Mann Whitney dapat dijelaskan pada Tabel 4.3. Tabel 4.5 Nilai mean, standart deviasi dan modus sekoring kedalaman inflamasi di lapisan duodenum ayam pedaging Kelompok Mean ± Std. deviasi Modus P0 (kontrol) 1,00a ± 0 1 P1 (diinfeksi telur A. galli) 3,25b ± 0,50000 3 P2 (daun pare 30 mg/ml/hari) 1,00a ± 0 1 1,50a ± 0,57735 2 1,50a ± 1,0000 1 1,00a ± 0 1 P3 (diinfeksi telur A. galli & terapi daun pare 10 mg/ml/hari) P4 (diinfeksi telur A. galli & terapi daun pare 20 mg/ml/hari) P5 (diinfeksi telur A. galli & terapi daun pare 30 mg/ml/hari) a, b, c superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 34 Tabel 4.3 menjelaskan bahwa pada setiap kelompok perlakuan tidak terlihat perbedaan yang nyata kecuali kelompok P1 berbeda nyata dengan semua kelompok perlakuan lainnya dalam gambaran histopatologi duodenum ayam pedaging untuk jenis perhitungan menggunakan median. Kolom modus menjelaskan hasil penghitungan nilai modus kedalaman inflamasi di lapisan duodenum yaitu kelompok P0 sebagai kontrol didapatkan nilai modus 1; kelompok P1 yang diinfeksi telur A. galli namun tidak diterapi daun pare didapatkan nilai modus 3; kelompok P2 tidak diinfeksi telur A. galli tetapi diterapi daun pare 30 mg/ml/hari didapatkan nilai modus 1; kelompok P3 diinfeksi telur A. galli dan diterapi daun pare 10 mg/ml/hari didapatkan nilai modus 2; kelompok P4 diinfeksi telur A. galli, dan diterapi daun pare 20 mg/ml/hari didapatkan nilai modus 1; kelompok P5 diinfeksi telur A. galli, dan diterapi daun pare 30 mg/ml/hari didapatkan nilai modus 1. Gambaran histopatologi duodenum ayam pedaging yang mengalami peradangan dengan pewarnaan H.E pembesaran 100x dapat dilihat pada gambar berikut. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 35 P0 P2 P4 P1 P3 P5 Gambar 4.4 Infiltrasi sel radang di berbagai lapisan duodenum ( (Pewarnaan H.E pembesaran 100x) Keterangan: P0: Sel radang pada lapisan mukosa P1: Sel radang pada lapisan muskularis P2: Sel radang pada lapisan mukosa P3: Sel radang pada lapisan mukosa P4: Sel radang pada lapisan mukosa SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM ). YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 36 P5: Sel radang pada lapisan mukosa SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB 5 PEMBAHASAN Pengamatan terhadap gambaran histopatologi duodenum digunakan untuk mengetahui secara lebih rinci mengenai pengaruh pemberian daun pare sebagai antelmintik terhadap A. galli pada ayam pedaging. Hasil skoring histopatologi hepar meliputi kelainan patologi haemorhagi, keparahan inflamasi, kedalaman inflamasi. Secara umum hasil menunjukkan bahwa daun pare menurunkan tingkat kerusakan akibat infeksi A. galli pada dosis 30 mg/ml/hari. Secara rinci akan dibahas sebagai berikut. 5.1 Haemorhagi Kelompok P0 yang merupakan kelompok kontrol tanpa diberi perlakuan apapun menunjukkan gambaran histopatologi terdapat sedikit haemorhagi yang terlihat di lapisan mukosa duodenum. Lesi ini mungkin disebabkan oleh hewan coba yang tidak SPF (Specific Pathogenic Free), namun haemorhagi yang terlihat tidak terlalu parah dan tidak semua lapang pandang terdapat haemorhagi. Model skoring haemorhagi yang digunakan untuk skoring haemorhagi menunjukkan apabila terjadi haemorhagi <25% maka mendapatkan skor 1. Metode skoring ini perlu ditinjau lebih lanjut agar skoring yang di dapat lebih akurat. Kelompok perlakuan P1 yang diinfeksi telur A. galli infektif dengan dosis 650 telur mendapatkan skor tertinggi yaitu 2 karena gambaran kelainan patologi yang berat dibandingkan dengan kelompok yang lainnya. Seperti yang telah diungkapan Soulsby (1982) Gejala utama dari infeksi cacing ini terlihat selama masa prepaten, 36 SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 37 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA ketika larva berada di dalam mukosa dan menyebabkan enteritis kataral tetapi pada infeksi berat dapat terjadi haemorhagi. Gambaran histopatologi duodenum P1 terdapat haemorhagi pada lapisan mukosa dan submukosa duodenum, namun sering dijumpai pada lapisan mukosa duodenum. Haemorhagi terjadi karena pecahnya pembuluh darah di duodenum yang akhirnya keluar menuju jaringan sekitarnya. Peristiwa ini terjadi akibat larva cacing A. galli yang berpenetrasi ke dalam jaringan mukosa duodenum (Balqis, 2004). Kelompok P2 yang diberikan dosis daun pare 30 mg/ml/hari secara per oral menunjukkan gambaran histopatologi yang tidak berbeda nyata dengan P0. Ini menunjukkan bahwa daun pare tidak memberikan efek haemorhagi pada duodenum ayam pedaging dan aman apabila dikonsumsi ayam pedaging dengan dosis tersebut. Kelompok P3 yang diinfeksi telur infektif cacing A. galli 650 butir dan diterapi daun pare dengan dosis 10 mg/ml/hari dan kelompok P4 yang dinfeksi telur infektif cacing A. galli 650 butir dan diterapi daun pare dengan dosis 20 mg/ml/hari sama-sama menunjukkan skor 1, sedangkan untuk kelompok P5 yang diinfeksi telur infektif cacing A. galli 650 butir dan diterapi daun pare dengan dosis 30 mg/ml/hari menunjukkan skor 0. Ini menunjukkan bahwa haemorhagi pada duodenum ayam pedaging akibat infeksi A. galli mengalami penurunan yang signifikan dengan dosis terapi daun pare 30 mg/ml/hari. 5.2 Keparahan Inflamasi Penyebab terjadinya peradangan sangat banyak dan bervariasi, namun pada SKRIPSI umumnya radang merupakan proses respon GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM imun terhadap YAYAN OKI ISTYAN 38 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA mikroorganisme yang menyebabkan infeksi (Romo, 2001). Tujuan dari adanya keradangan secara umum adalah untuk mengeluarkan, membuang dan menetralkan agen iritan. Komponen reaksi keradangan berupa plasma, sel-sel darah dalam sirkulasi antara lain neutrofil, monosit, eosinofil, limfosit , basofil, platelet, komponen jaringan konektivus, fibroblas dan makrofag (Celloti dan Laufer, 2001). Penelitian ini hampir seluruh kelompok perlakuan yang diinfeksi 650 telur infektif A. galli, terdapat adanya infiltrasi sel radang. Hasil uji statistika menunjukkan bahwa kelompok P1 berbeda nyata (p< 0,05) dengan kelompok P0 (kontrol), P2 (diterapi daun pare 30 mg/ml/hari) dan P5 (diinfeksi 650 telur infektif A. galli dan diterapi daun pare 30 mg/ml/hari). Kelompok P0 (kontrol) menunjukkan gambaran histopatologi yang normal karena jarang dijumpai sel radang dengan nilai skor 0. Kelompok P1 yang diinfeksi dengan 650 telur infektif A. galli menunjukkan gambaran keparahan inflamasi tertinggi dengan nilai skor 2, hal ini merupakan nilai yang lebih tinggi dari pada perlakuan lainnya. Seperti yang telah diungkapkan Zalizar et al., (2006) infeksi A. galli menyebabkan terjadinya infiltrasi sel-sel radang seperti makrofag, sel limfosit dan eosinofil. Pada infeksi berat jumlah sel-sel radang tersebut lebih banyak daripada kelompok infeksi ringan. Peningkatan jumlah ketiga sel tersebut pada usus halus menunjukkan di daerah tersebut terdapat reaksi imun tubuh terhadap antigen khususnya parasit cacing. Kelompok P2 yang diterapi dengan daun pare 30 mg/ml/hari tidak berbeda nyata dengan P0 dan P5. Berdasarkan gambaran histopatologi duodenum kelompok P2 menunjukkan skor 1. Penyebab terjadinya infiltrasi sel radang pada SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 39 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA kelompok P2 mungkin dikarenakan adanya kandungan daun pare yang menyebabkan munculnya sel radang pada duodenum ayam pedaging. Daun pare mengandung berbagai senyawa kimia seperti tanin, flavonoid, saponin, triterpenoid, dan alkaloid (Rashmi et al., 2011). Tanin tidak dapat dicerna lambung dan memiliki efek antinutrisi berupa kemampuannya berikatan kuat dengan protein dan derivatnya (enzim), karbohidrat, vitamin, dan mineral. Kehadiran tanin akan mengikat unsur tersebut sehingga tidak dapat diserap dan kemudian mengeluarkannya bersama feses (Tangendjaja et al., 1992). Reed et al. (1985) melaporkan bahwa kehadiran tanin pada daun pare menyebabkan terikatnya enzim-enzim yang dihasilkan oleh A. galli untuk penyerapan nutrisi sehingga proses penyerapan terganggu dan dapat menyebabkan defisiensi nutrisi. Hal ini menyebabkan A. galli kekurangan energi akibat proses pencernaannya terganggu sehingga tidak bisa berpenetrasi masuk ke mukosa duodenum. Kelompok P3 yang diinfeksi 650 telur infektif A. galli dan diterapi dengan daun pare 10 mg/ml/hari tidak berbeda nyata dengan P4 dan P5 menunjukkan skor 1, akan tetapi pada kelompok P5 yang diinfeksi 650 telur infektif A. galli dan diterapi dengan daun pare 10 mg/ml/hari tidak berbeda nyata dengan P0 (kontrol). Ini menunjukkan bahwa inflamasi pada duodenum ayam pedaging akibat infeksi A. galli menurun dengan terapi daun pare. Kehadiran senyawa polifenol tanin dan alkaloid dalam daun pare yang bertindak sebagai imunostimulator dengan meningkatkan IgG sehingga eosinofil dapat melekat optimal pada kutikula cacing. Eosinofil kemudian mengalami degranulasi, melepaskan isi granul pada kutikula SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 40 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA cacing yang berakibat pada pecahnya kutikula cacing oleh enzim eosinofil (Roitt, 2002). 5.3 Kedalaman Inflamasi Kelompok P0 (kontrol) terdapat sel radang pada lapisan mukosa duodenum dengan jumlah yang masih diambang normal. Hal ini normal karena tidak terjadi adanya nekrosis pada P0 yang merupakan tanda dari keradangan. Hasil yang didapat dari uji statistika terlihat perbedaan yang nyata (p< 0,05) pada kelompok perlakuan P1 yang diinfeksi 650 telur infektif A. galli tanpa terapi daun pare dengan kelompok perlakuan lainnya. Gambaran histopatologi kelompok P1 menunjukkan skor tertinggi yaitu 3. Kelompok P3 yang diinfeksi 650 telur infektif A. galli dan diterapi daun pare 10 mg/ml/hari meskipun berbeda nyata dengan kelompok P1 tetapi menunjukkan gambaran histopatologi dengan skor 2. Respon tubuh untuk menyembuhkan kerusakan jaringan akibat infeksi oleh parasit terdiri dari tiga fase, yaitu fase inflamasi, proliferasi dan remodeling. Ketika terjadi kerusakan jaringan, jaringan secara normal mampu untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi sehingga jaringan dapat kembali secara normal (Perdanakusuma, 2010). Pernyataan Perdanakusuma (2010) menyatakan lapisan duodenum yang terdapat infiltrasi sel radang adalah bentuk respon tubuh untuk menyembuhkan kerusakan jaringan akibat infeksi oleh A. galli yang berpenetrasi hingga lapisan tersebut. Dapat ditarik kesimpulan dari ketiga parameter bahwa dosis daun pare yang paling efektif untuk terapi A. galli adalah 30 mg/ml/hari. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemberian daun pare dapat mengurangi kerusakan duodenum ayam pedaging yang diinfeksi A. galli. Dosis 30mg/ml/hari merupakan dosis efektif untuk menurunkan kerusakan duodenum. 6.2 Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat diberikan saran sebagai berikut : 1. Daun pare pada dosis 30 mg/ml/hari aman untuk menghambat pertumbuhan A. galli ditinjau dari gambaran histopatologi duodenum ayam pedaging. 2. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh daun pare terhadap infeksi A. galli pada organ lain. 3. Perlu diadakannya penelitian lebih lanjut dengan meningkatkan dosis daun pare sebagai anthelmintik terhadap infeksi A. galli pada ayam. 41 SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA RINGKASAN Yayan Oki Istyan. Salah satu kendala yang dihadapi untuk pengembangan ayam pedaging adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing nematoda A. galli. Ascaridia galli dapat menginfeksi ayam dari berbagai tingkat umur. Data di lapangan menunjukkan prevalensi A. galli lebih tinggi pada ayam dara dibandingkan dengan ayam dewasa. Demikian juga jumlah cacing dewasa yang ditemukan lebih banyak pada ayam dara dibandingkan dengan ayam dewasa. Selain itu penelitian di Zimbabwe memperlihatkan bahwa A. galli mempunyai efek imunosupresif sehingga menurunkan titer antibodi terhadap penyakit Newcastle Disease (ND). Peradangan pada usus halus ayam yang diakibatkan larva maupun cacing dewasa A. galli dapat menyebabkan kerusakan pada vili dan sel-sel epitel usus. Kerusakan vili dapat mengurangi luas permukaan pada mukosa usus halus sehingga menurunkan kemampuan penyerapan zat-zat makanan. Efek paling utama dapat dilihat semasa fasa prepatent, yaitu saat larva A. galli masih dalam mukosa duodenum. Larva menyebabkan radang usus, yang biasanya bersifat catarrhal, tetapi dalam infeksi yang sangat berat dapat terjadi pendarahan. Ascaridiosis yang telah berlangsung dalam waktu yang lama (infeksi kronis) dapat menyebabkan gastroenteritis ulseratif, hepatitis nekrotik, dan nephritis yang dapat berakhir dengan kematian. Pengendalian infeksi cacing yang efektif adalah dengan memadukan manajemen peternakan yang baik dan pemberian antelmintik untuk mengeluarkan cacing dari tubuh ternak. Antelmintik yang banyak beredar di pasaran adalah antelmintik sintetis yang harganya relatif mahal dan penggunaan dalam jangka 42 SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 43 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA waktu lama dapat menyebabkan timbulnya resistensi serta dapat menimbulkan residu pada produk pangan asal hewan. Diperlukan alternatif antelmintik untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu dengan pemanfaatan tanaman obat. Berbagai tanaman obat telah dikenal dan digunakan sebagai obat tradisional salah satunya adalah pare (Momordica charantia linn.) Buah pare dianggap sebagai tonik, mengobati sakit perut, stimulan, antimuntah, dan pencahar. Jus buah dan daunnya digunakan untuk diabetes, malaria, kolik, luka infeksi, cacing dan parasit lainnya. Daging buah, jus daun dan biji sangat efektif untuk obat cacing. Ternyata selain buah, daun pare memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Daun pare mengandung berbagai senyawa kimia seperti tanin, flavonoid, saponin, triterpenoid, dan alkaloid. Triterpen glikosida dalam pare ditemukan sangat aktif terhadap nematoda. Pare juga menunjukkan aktivitas antelmintik kuat secara in vitro bila dibandingkan piperazine hexahydrate terhadap A. galli. Subyek dalam penelitian ini adalah 24 ekor DOC ayam pedaging. Penelitian ini berlangsung 30 hari dengan masa adaptasi 14 hari. 24 ekor mencit dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan yaitu kelompok P0 (kontrol); P1 (diinfeksi 650 telur infektif A. galli); P2 (terapi daun pare 30 mg/ml/hari); P3 (diinfeksi 650 telur infektif A. galli dan terapi daun pare 10 mg/ml/hari); P4 (diinfeksi 650 telur infektif A. galli dan terapi daun pare 20 mg/ml/hari); dan kelompok perlakuan P5 (diinfeksi 650 telur infektif A. galli dan terapi daun pare 30 mg/ml/hari) dengan pemberian telur infektif A. galli pada hari pertama secara peroral dan pemberian daun pare setiap hari dimulai pada hari ke-16 hingga hari terakhir penelitian SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 44 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA secara peroral. Setelah hari ke-30 dilakukan eutanasia pengambilan organ dan pembuatan preparat kemudian diamati dibawah mikroskop. Pengamatan gambaran histopatologi didasarkan pada haemorhagi, keparahan inflamasi, dan kedalaman inflamasi. Hasil pengamatan histopatologi duodenum menunjukkan bahwa ayam pedaging yang diinfeksi 650 telur infektif A. galli terlihat gambaran histopatologi berupa haemorhagi, inflamasi yang parah dengan diikuti kedalaman inflamasi ditandai dengan infiltrasi sel radang sampai lapisan muskularis propria duodenum. Gambaran histopatologi pada pemberian daun pare 30 mg/ml/hari tanpa infeksi masih menunjukkan haemorhagi akan tetapi lebih ringan dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol yang tidak diberi perlakuan apapun. Gambaran histopatologi yang diinfeksi 650 telur infektif A. galli dan di terapi daun pare 10 mg/ml/hari menunjukkan haemorhagi, keparahan dan kedalaman inflamasi yang ringan dan dinyatakan tidak berbeda nyata (P> 0,05) dari kelompok yang diinfeksi 650 telur A. galli dan di terapi daun pare 20 mg/ml/hari. Gambaran histopatologi yang diinfeksi 650 telur infektif A. galli dan di terapi daun pare 30 mg/ml/hari menunjukkan haemorhagi, keparahan dan kedalaman inflamasi yang sangat ringan dan dinyatakan tidak berbeda nyata (P> 0,05) dengan perlakuan kontrol yang tidak diberi perlakuan apapun. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DAFTAR PUSTAKA Akoso, B.T. 2007. Kesehatan Unggas Panduan Bagi Petugas Teknis, Penyuluh, dan Peternak. Kanisius. Yogyakarta. 23-24. Balqis, U., Hambal, M., Utami, C.S. 2014. Gambaran Histopatologis Usus Halus Ayam Kampung (Gallus domesticus) yang Terinfeksi Ascaridia galli. Jurnal Medika Veterinaria. 8(2): 132-133. Celloti, F and Laufer, S. 2001. Inflammation, Healing and Repair Synopsis. J. Phar. Res. 43(5). Cheng, Z., Dhall, D., Zhao, L., Wang, H.L., Doherty, T.M., Bresee, C., and Frykman, P.K. 2010. Murine Model of Hirschsprung-associated Enterocolitis I: Phenotypic Characterization with Development of a Histopathologic Grading System. Journal of Pediatric Surgery. 45: 477. Dalimartha, S. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. 5. Puspa Swara. Jakarta. 121. Dunn, A. M. 1978. Veterinary Helminthology - 2nd edition. William heinemann medical books ltd. London. 230-235. Elizabeth, A., and Fredric L.F., 2001. Comparative Veterinary Histology With Clinical Correlates. Manson Publishing and Veterinary Press. University of Glasgow Veterinary School. UK. 97-132. Fawcett, D.W. 1994 . Buku Ajar Histologi Edisi 12. EGC. Jakarta. 552-559, 573. Frandson, R.D., Wilke, W.L., Fails, A.D. 2008. Anatomy and Physiology of Farm Animals 7th Edition. College of Veterinary Medicine and Biomedical Sciences Colorado State University. Wiley-Blackwell. Fort Collins, Colorado. 335-360. Hassanain, M.A, Rahman, E.H.A., and Khalil, F.A.M. 2009. New Scanning Electron Microscopy Look of Ascaridia galli (Schrank, 1788) Adult Worm and its Biological Control. Research Journal of Parasitology. 4: 94-104. Hørning, G., Rasmussen, S., Permin, A and Bisgaard, M. 2003.Investigations on the influence of helminth parasites on vaccination of chickens against Newcastle disease virus under village conditions. Tropical Animal Health and Production. 35: 415-424. 45 SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 46 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Hussain, A. 2008. Evaluation Of Anthelmintic Activity Of Some Ethnobotanicals. Department Of Parasitology. Faculty Of Veterinary Science University Of Agriculture. Faisalabad, Pakistan. Iji, P.A., Hughes, R.J., Choet, M. and Tivey, D.R. 2001. Intestinal structure and function of broiler chickens on wheat-based diets supplemented with a microbial enzyme. Asian-Australian Journal Animal Science. 14: 54-60. Ikeme, M.M. 1971. Observations on the pathogenicity and pathology of Ascaridia galli. Parasitology. 63: 169-179. Jaya, K.P. 2011. Budidaya Ayam Broiler Dengan Nutrizim Unggas. http://www.herdinbisnis.com/2011/12/blog-post.html. [7 Agustus 2015]. Jusuf, A.A. 2009. Histoteknik Dasar : Rangkaian Proses Histoteknik Pembuatan Sediaan Histologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Depok. Kendyarto, R. 2008. Uji Daya Anthelmintik Infus Daun Dan Infus Biji Pare (Momordica charantia) Terhadap Cacing Gelang Ayam (Ascaridia Galli) Secara In Vitro. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang. Kumar, D. S., Sharathnath, K.V., Yogeswaran, P., Harani, A., Sudhakar, K., Sudha, P. and Banji, B. 2010. A medical potency of Momordica charantia. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research. 1 (2): 95–100. Kusriningrum, R.S. 2011. Perancangan Percobaan. Edisi ke – 3. Airlangga Univesity Press. Surabaya. 17. Kusuma, A., Nugroho, B.A dan Utami, H.D. 2014. Analisis Permintaan Daging Broiler Pada Tingkat Konsumen Rumah Tangga di Kecamatan Bangunrejo Kabupaten Lampung Tengah. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang. Lal, J., Chandra, S., Raviprakash, V. and Sabir, M. 1976. In vitro anthelmintic action of some indigenous medicinal plants on Ascaridia galli worms. Indian Journal of Physiology and Pharmacology 20(2): 64. Laporan Market Intelijen. 2009. Profil Industri : Perkembangan Peternakan Unggas di Indonesia. Mounthly Repport. Indonesian Commersial Newsletter (ICN). Indonesia. Macklin, K.S. 2013. Overview of Helminthiasis in Poultry. http://www.merckmanuals.com/vet/poultry/helminthiasis/overview_of_helmi nthiasis_in_poultry. [5 Februari 2015]. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 47 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Magwisha, H.B., Kassuku, A.A., Kyvgaard and Permin, A. 2002. A Comparison of the prevalence and burdens of helminth infection in growers and adult freerange chickens. Tropical Animal Health Production. 34: 205-214. Parvathy, N.G., Padma, R., Renjith, V., Kalpana, P., Rahate and Saranya, T.S. 2012. Phytochemical Screening And Anthelmintic Activity Of Methanolic Extract Of Imperata Cylindrica. International Journal Pharmacology Science. 4: 232-234. Patel, J., Kumar, G.S., Qureshi, M.S. and Jena, P.K. 2010. Anthelmintic activity of ethanolic extract of whole plant of Eupatorium odoratum. International Journal Phytomedical. 2: 127-132. Perdanakusuma DS. 2007. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka. Proceedings from caring to curing, pause before you use gauze. Surabaya. Indonesia. Permin, A., Hansen, P., Bisgaard, M., Frandsen, and Pearman, M. 1998. Investigations on the infection and transmission of Ascaridia galli in free range chickens kept at different stocking rates. Avian Pathol. 27 (4): 382-389. Purwati, E. dan He, S. 1990. Pengaruh Getah Pepaya (Carica papaya) Terhadap Infektivitas Telur Ascaridia galli pada Ayam. Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Padang. Rahayu, I.H.S. 2002. Upaya Pemanfaatan Bungkil Inti Sawit (Palm Kernel Cake) Pada Pakan Ayam. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Bogor. 320 − 326. Rashmi, T.V., Kamlesh, W.J., Jayashri, T.B. and Millin, U.J. 2011. Bitter Melon: A Bitter Body with Sweet Soul. Int. J. Res. Ayurv & Pharm. 2(2): 443-447. Rasyaf, M. 2002. Beternak Ayam Pedaging. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Reed, J.D., P.J. Horvath & M.S. Van Soest. 1985. Gravimetric determination of soluble phenolics including tannins from leaves by precipitation with trivalent ytterbium. J. Sci. Food Agric. 36: 255- 261. Risnajati, D. 2012. Perbandingan Bobot Akhir, Bobot Karkas dan Persentase Karkas Berbagai Strain Broiler. Sains Peternakan. 10(1): 11-14. Roitt, I. M.2002. Immunologi; Essential Immunology. Widya Medika. Jakarta. Romo III, T. 2001. Skin Wound Healing. Department of Otolaryngology, Division of Plastic Surgery and reconstructive Surgery. New York. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 48 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Shahadat, H.M., Mostofa, M., Mamun, M.A.A., Hoque, M.E. and Awal, M.A. 2008. Comparative Efficacy Of Korolla (Momordica charantia) Extract And Ivermec® Pour On With Their Effects On Certain Blood Parameters And Body Weight Gain In Indigenous Chicken Iinfected With Ascaridia galli. Bangl. J. Vet. Med. 6(2): 153–158. Sinaro, S. D. 2013. Adaptif dengan Broiler Modern. Agrina. Jakarta. Soulsby, e. J. L. 1986. Helminths, arthropods and protozoon on domestic animal. 7th Ed. Bailiere tindall and cassel. London. 163-164. Subahar, T.S.S. 2004. Khasiat dan Manfaat Pare: Si Pahit Pembasmi Penyakit 1. Agromedia Pustaka. Jakarta. 2-5. Subekti, S., Koesdarto, S., Sosawati, S.M. dan Kusnoto. 2013. Helmintiasis Veteriner. Global Persada Press. Surabaya. 79-81. Sumarni, N. 2008. Efektifitas Tepung Daun Jarak (Jatropha curcass Linn) Sebagai Anticacing Ascaridia galli dan Pengaruhnya Terhadap Performa Ayam Kampung. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sutomo, B. 2013. Pare Sebabkan Mandul pada Pria. http://budiboga.blogspot.com/2006/11/pare-sebabkan-mandul-pada-pria.html. [15 April 2015]. Taiwo, V.O, Alaka, O.O., Sadiq, N.A., and Adejinmi, J.O. 2002. Ascaridosis In Captive Reticulated Python (Python reticulatus). African Journal of Biomedical Research. 5(1-2). Tangendjaja, B., E. Wina, T. Ibrahim & B. Palmo. 1992. Kalliandra (Calliandra calothyrsus) dan Pemanfaatannya. Balitnak Ciawi-The Australian Centre for International Agriculture Research. Taylor, M. A., Coop, R.L. and Wall, R.L. 2007. Veterinary Parasitology – 3rd edition. Blackwell Publishing Ltd. 467, 780-781. Tiuria, R. 1991. Hubungan antara Dosis Infeksi, Biologi Ascaridia galli dan Produktivitas Ayam Petelur. [Tesis]. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. William, J.B., and Linda, M.B. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology 2nd Edition. Department of Biology Rutgers University Camden College of Arts and Science. Lippincott Williams and Wilkins. New Jersey. 141-142, 180. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 49 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Zalizar, L., Satrija, F., Tiuria, R. and Astuti, D.A. 2006. Effect of Ascaridia galli infection on histopathologic description, size of small intestines villi surface and body weight change in starters. JITV. 11(3): 222-228. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 49 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Lampiran 1. Data skoring duodenum ayam pedaging a. Haemorhagi Perlakuan P0A1 P0A2 P0A3 P0A4 P1A1 P1A2 P1A3 P1A4 P2A1 P2A2 P2A3 P2A4 P3A1 P3A2 P3A3 P3A4 P4A1 P4A2 P4A3 P4A4 P5A1 P5A2 P5A3 P5A4 SKRIPSI Lapang Pandang Lap.1 Lap. 2 1 0 0 0 0 0 0 1 2 2 1 1 1 1 2 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 Lap. 3 1 1 0 0 1 2 2 2 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 Lap. 4 1 0 0 0 2 2 2 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 0 2 1 0 0 0 1 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM Lap. 5 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 0 0 YAYAN OKI ISTYAN 50 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA b. Keparahan Inflamasi Perlakuan P0A1 P0A2 P0A3 P0A4 P1A1 P1A2 P1A3 P1A4 P2A1 P2A2 P2A3 P2A4 P3A1 P3A2 P3A3 P3A4 P4A1 P4A2 P4A3 P4A4 P5A1 P5A2 P5A3 P5A4 SKRIPSI Lap.1 0 1 0 0 2 1 2 1 1 0 1 0 2 1 2 0 1 1 2 1 1 1 1 1 Lapang Pandang Lap. 2 Lap. 3 0 0 0 1 1 0 0 0 2 2 1 2 1 1 2 1 0 1 0 0 1 1 0 1 1 2 1 0 1 2 0 2 1 1 1 1 2 1 2 1 1 1 0 1 1 0 1 2 Lap. 4 1 0 0 1 1 2 2 2 1 0 0 0 1 0 1 2 1 1 1 1 1 0 0 0 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM Lap. 5 0 0 0 0 2 1 2 1 0 1 1 1 1 2 1 1 0 2 2 1 1 1 1 1 YAYAN OKI ISTYAN 51 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA c. Kedalaman Inflamasi Perlakuan Skor P0A1 P0A2 P0A3 P0A4 P1A1 P1A2 P1A3 P1A4 P2A1 P2A2 P2A3 P2A4 P3A1 1 1 1 1 4 3 3 3 1 1 1 1 2 SKRIPSI P3A2 P3A3 P3A4 P4A1 P4A2 P4A3 P4A4 P5A1 P5A2 P5A3 P5A4 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM 1 2 1 1 1 3 1 1 1 1 1 YAYAN OKI ISTYAN 52 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Lampiran 2. Hasil Analisis Data dengan SPSS 20.0 for windows a. Haemorhagi Case Processing Summary a Cases Included N average * perlakuan Excluded Percent 24 N Total Percent 100,0% 0 0,0% N Percent 24 100,0% a. Limited to first 100 cases. Case Summaries a average p0 1 ,80 2 ,40 3 ,20 4 ,40 N Total Mean Std. Deviation p1 2 1,40 3 1,60 4 1,20 Total 4 Mean 1,4500 Std. Deviation ,19149 1 ,40 2 ,20 3 ,40 4 ,40 N Total Mean Std. Deviation SKRIPSI ,25166 1,60 N p3 ,4500 1 perlakuan p2 4 4 ,3500 ,10000 1 1,00 2 ,60 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 53 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 3 ,80 4 ,40 N Total 4 Mean ,7000 Std. Deviation p4 ,25820 1 ,40 2 ,80 3 1,20 4 ,40 N Total 4 Mean ,7000 Std. Deviation p5 ,38297 1 ,60 2 ,40 3 ,40 4 ,60 N Total 4 Mean ,5000 Std. Deviation ,11547 N Total 24 Mean ,6917 Std. Deviation ,42520 a. Limited to first 100 cases. Kruskal-Wallis Test Ranks Perlakuan total SKRIPSI N Mean Rank p0 4 8,38 p1 4 22,38 p2 4 6,00 p3 4 14,38 p4 4 13,13 p5 4 10,75 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 54 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Total 24 Test Statistics a,b Total Chi-Square 14,185 df 5 Asymp. Sig. ,014 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: perlakuan Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p0 4 2,50 10,00 p1 4 6,50 26,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U ,000 Wilcoxon W 10,000 Z -2,337 Asymp. Sig. (2-tailed) ,019 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,029 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average SKRIPSI N Mean Rank Sum of Ranks p0 4 4,88 19,50 p2 4 4,13 16,50 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 55 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U 6,500 Wilcoxon W 16,500 Z -,500 Asymp. Sig. (2-tailed) ,617 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,686 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p0 4 3,38 13,50 p3 4 5,63 22,50 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U 3,500 Wilcoxon W 13,500 Z -1,340 Asymp. Sig. (2-tailed) ,180 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,200 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan SKRIPSI N Mean Rank Sum of Ranks GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 56 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA total p0 4 3,38 13,50 p3 4 5,63 22,50 Total 8 Mean Rank Sum of Ranks Test Statistics a total Mann-Whitney U 3,500 Wilcoxon W 13,500 Z -1,340 Asymp. Sig. (2-tailed) ,180 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,200 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N p0 4 3,63 14,50 p4 4 5,38 21,50 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U 4,500 Wilcoxon W 14,500 Z -1,084 Asymp. Sig. (2-tailed) ,278 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,343 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 57 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p0 4 4,00 16,00 p5 4 5,00 20,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U 6,000 Wilcoxon W 16,000 Z -,619 Asymp. Sig. (2-tailed) ,536 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,686 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p1 4 6,50 26,00 p2 4 2,50 10,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U Wilcoxon W SKRIPSI ,000 10,000 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 58 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Z -2,381 Asymp. Sig. (2-tailed) ,017 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,029 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p1 4 6,50 26,00 p3 4 2,50 10,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U ,000 Wilcoxon W 10,000 Z -2,323 Asymp. Sig. (2-tailed) ,020 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,029 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p1 4 6,38 25,50 p4 4 2,63 10,50 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U Wilcoxon W SKRIPSI ,500 10,500 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 59 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Z -2,205 Asymp. Sig. (2-tailed) ,027 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,029 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p1 4 6,50 26,00 p5 4 2,50 10,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U ,000 Wilcoxon W 10,000 Z -2,352 Asymp. Sig. (2-tailed) ,019 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,029 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p2 4 2,88 11,50 p3 4 6,13 24,50 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U Wilcoxon W SKRIPSI 1,500 11,500 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 60 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Z -1,999 Asymp. Sig. (2-tailed) ,046 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,057 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p2 4 3,25 13,00 p4 4 5,75 23,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U 3,000 Wilcoxon W 13,000 Z -1,654 Asymp. Sig. (2-tailed) ,098 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,200 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p2 4 3,25 13,00 p5 4 5,75 23,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U Wilcoxon W SKRIPSI 3,000 13,000 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 61 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Z -1,667 Asymp. Sig. (2-tailed) ,096 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,200 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p3 4 4,63 18,50 p4 4 4,38 17,50 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U 7,500 Wilcoxon W 17,500 Z -,149 Asymp. Sig. (2-tailed) ,882 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,886 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p3 4 5,50 22,00 p5 4 3,50 14,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U Wilcoxon W SKRIPSI 4,000 14,000 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 62 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Z -1,214 Asymp. Sig. (2-tailed) ,225 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,343 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p4 4 5,00 20,00 p5 4 4,00 16,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U 6,000 Wilcoxon W 16,000 Z -,619 Asymp. Sig. (2-tailed) ,536 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,686 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. b. Keparahan Inflamasi Case Processing Summary a Cases Included N average * perlakuan Excluded Percent 24 N Total Percent 100,0% 0 0,0% N Percent 24 100,0% a. Limited to first 100 cases. Case Summaries a average perlakuan SKRIPSI p0 1 ,20 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 63 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2 ,40 3 ,20 4 ,20 N Total Mean Std. Deviation p1 2 1,40 3 1,60 4 1,40 1,5500 Std. Deviation ,19149 1 ,60 2 ,20 3 ,80 4 ,40 Total Mean Std. Deviation ,5000 ,25820 1,40 2 ,80 3 1,40 4 1,00 Total 4 Mean 1,1500 Std. Deviation ,30000 1 ,80 2 1,20 3 1,60 4 1,20 N Total SKRIPSI 4 1 N p5 4 Mean N p4 ,10000 1,80 Total p3 ,2500 1 N p2 4 1 4 Mean 1,2000 Std. Deviation ,32660 1,00 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 64 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2 ,60 3 ,60 4 1,00 N Total 4 Mean ,8000 Std. Deviation ,23094 N Total 24 Mean ,9083 Std. Deviation ,50036 a. Limited to first 100 cases. Kruskal-Wallis Test Ranks Perlakuan average N Mean Rank p0 4 3,25 p1 4 21,38 p2 4 6,75 p3 4 16,00 p4 4 16,63 p5 4 11,00 Total 24 Test Statistics a,b Average Chi-Square 18,595 df Asymp. Sig. 5 ,002 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: perlakuan Mann-Whitney Test Ranks SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 65 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p0 4 2,50 10,00 p1 4 6,50 26,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U ,000 Wilcoxon W 10,000 Z -2,381 Asymp. Sig. (2-tailed) ,017 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,029 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p0 4 3,25 13,00 p2 4 5,75 23,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U 3,000 Wilcoxon W 13,000 Z -1,548 Asymp. Sig. (2-tailed) ,122 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,200 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 66 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p0 4 2,50 10,00 p3 4 6,50 26,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U ,000 Wilcoxon W 10,000 Z -2,381 Asymp. Sig. (2-tailed) ,017 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,029 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p0 4 2,50 10,00 p4 4 6,50 26,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U SKRIPSI ,000 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 67 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Wilcoxon W 10,000 Z -2,381 Asymp. Sig. (2-tailed) ,017 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,029 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p0 4 2,50 10,00 p5 4 6,50 26,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U ,000 Wilcoxon W 10,000 Z -2,397 Asymp. Sig. (2-tailed) ,017 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,029 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p1 4 6,50 26,00 p2 4 2,50 10,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U SKRIPSI ,000 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 68 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Wilcoxon W 10,000 Z -2,323 Asymp. Sig. (2-tailed) ,020 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,029 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p1 4 6,00 24,00 p3 4 3,00 12,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U 2,000 Wilcoxon W 12,000 Z -1,845 Asymp. Sig. (2-tailed) ,065 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,114 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p1 4 5,88 23,50 p4 4 3,13 12,50 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U SKRIPSI 2,500 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 69 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Wilcoxon W 12,500 Z -1,617 Asymp. Sig. (2-tailed) ,106 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,114 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p1 4 6,50 26,00 p5 4 2,50 10,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U ,000 Wilcoxon W 10,000 Z -2,352 Asymp. Sig. (2-tailed) ,019 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,029 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p2 4 2,63 10,50 p3 4 6,38 25,50 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U SKRIPSI ,500 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 70 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Wilcoxon W 10,500 Z -2,191 Asymp. Sig. (2-tailed) ,028 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,029 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p2 4 2,63 10,50 p4 4 6,38 25,50 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U ,500 Wilcoxon W 10,500 Z -2,191 Asymp. Sig. (2-tailed) ,028 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,029 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p2 4 3,25 13,00 p5 4 5,75 23,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U SKRIPSI 3,000 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 71 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Wilcoxon W 13,000 Z -1,488 Asymp. Sig. (2-tailed) ,137 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,200 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p3 4 4,38 17,50 p4 4 4,63 18,50 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U 7,500 Wilcoxon W 17,500 Z -,147 Asymp. Sig. (2-tailed) ,883 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,886 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p3 4 5,75 23,00 p5 4 3,25 13,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U SKRIPSI 3,000 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 72 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Wilcoxon W 13,000 Z -1,498 Asymp. Sig. (2-tailed) ,134 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,200 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan average N Mean Rank Sum of Ranks p4 4 6,00 24,00 p5 4 3,00 12,00 Total 8 Test Statistics a average Mann-Whitney U 2,000 Wilcoxon W 12,000 Z -1,764 Asymp. Sig. (2-tailed) ,078 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,114 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. c. Kedalaman Inflamasi Case Processing Summary a Cases Included N lok.radang * perlakuan Excluded Percent 24 N 100,0% Total Percent 0 0,0% N Percent 24 100,0% a. Limited to first 100 cases. Case Summaries a lok.radang SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 73 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA p0 1 1,00 2 1,00 3 1,00 4 1,00 N Total p1 Mean 1,0000 Std. Deviation ,00000 1 4,00 2 3,00 3 3,00 4 3,00 N Total perlakuan p2 3,2500 Std. Deviation ,50000 1 1,00 2 1,00 3 1,00 4 1,00 Total 1,0000 Std. Deviation ,00000 1 2,00 2 1,00 3 2,00 4 1,00 Total 4 Mean 1,5000 Std. Deviation ,57735 1 1,00 2 1,00 3 3,00 4 1,00 N Total Mean Std. Deviation SKRIPSI 4 Mean N p4 4 Mean N p3 4 4 1,5000 1,00000 GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 74 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA p5 1 1,00 2 1,00 3 1,00 4 1,00 N Total 4 Mean 1,0000 Std. Deviation ,00000 N Total 24 Mean 1,5417 Std. Deviation ,93153 a. Limited to first 100 cases. Kruskal-Wallis Test Ranks Perlakuan lok.radang N Mean Rank p0 4 9,00 p1 4 22,13 p2 4 9,00 p3 4 13,75 p4 4 12,13 p5 4 9,00 Total Test Statistics 24 a,b lok.radang Chi-Square 16,376 df 5 Asymp. Sig. ,006 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: perlakuan Mann-Whitney Test SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 75 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Ranks perlakuan lok.radang N Mean Rank Sum of Ranks p0 4 2,50 10,00 p1 4 6,50 26,00 Total 8 Test Statistics a lok.radang Mann-Whitney U ,000 Wilcoxon W 10,000 Z -2,530 Asymp. Sig. (2-tailed) ,011 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,029 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan lok.radang N Mean Rank Sum of Ranks p0 4 4,50 18,00 p2 4 4,50 18,00 Total 8 Test Statistics a lok.radang Mann-Whitney U 8,000 Wilcoxon W 18,000 Z ,000 Asymp. Sig. (2-tailed) 1,000 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1,000 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 76 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Mann-Whitney Test Ranks perlakuan lok.radang N Mean Rank Sum of Ranks p0 4 3,50 14,00 p3 4 5,50 22,00 Total 8 Test Statistics a lok.radang Mann-Whitney U 4,000 Wilcoxon W 14,000 Z -1,528 Asymp. Sig. (2-tailed) ,127 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,343 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan lok.radang N Mean Rank Sum of Ranks p0 4 4,00 16,00 p4 4 5,00 20,00 Total 8 Test Statistics a lok.radang SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 77 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Mann-Whitney U 6,000 Wilcoxon W 16,000 Z -1,000 Asymp. Sig. (2-tailed) ,317 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,686 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan lok.radang N Mean Rank Sum of Ranks p0 4 4,50 18,00 p5 4 4,50 18,00 Total 8 Test Statistics a lok.radang Mann-Whitney U 8,000 Wilcoxon W 18,000 Z ,000 Asymp. Sig. (2-tailed) 1,000 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1,000 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan lok.radang N Mean Rank Sum of Ranks p1 4 6,50 26,00 p2 4 2,50 10,00 Total 8 Test Statistics a lok.radang SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 78 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Mann-Whitney U ,000 Wilcoxon W 10,000 Z -2,530 Asymp. Sig. (2-tailed) ,011 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,029 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan lok.radang N Mean Rank Sum of Ranks p1 4 6,50 26,00 p3 4 2,50 10,00 Total 8 Test Statistics a lok.radang Mann-Whitney U ,000 Wilcoxon W 10,000 Z -2,397 Asymp. Sig. (2-tailed) ,017 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,029 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan lok.radang N Mean Rank Sum of Ranks p1 4 6,13 24,50 p4 4 2,88 11,50 Total 8 Test Statistics a lok.radang SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 79 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Mann-Whitney U 1,500 Wilcoxon W 11,500 Z -2,055 Asymp. Sig. (2-tailed) ,040 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,057 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan lok.radang N Mean Rank Sum of Ranks p1 4 6,50 26,00 p5 4 2,50 10,00 Total 8 Test Statistics a lok.radang Mann-Whitney U ,000 Wilcoxon W 10,000 Z -2,530 Asymp. Sig. (2-tailed) ,011 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,029 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan lok.radang N Mean Rank Sum of Ranks p2 4 3,50 14,00 p3 4 5,50 22,00 Total 8 Test Statistics a lok.radang SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 80 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Mann-Whitney U 4,000 Wilcoxon W 14,000 Z -1,528 Asymp. Sig. (2-tailed) ,127 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,343 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan lok.radang N Mean Rank Sum of Ranks p2 4 4,00 16,00 p4 4 5,00 20,00 Total 8 Test Statistics a lok.radang Mann-Whitney U 6,000 Wilcoxon W 16,000 Z -1,000 Asymp. Sig. (2-tailed) ,317 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,686 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan lok.radang N Mean Rank Sum of Ranks p2 4 4,50 18,00 p5 4 4,50 18,00 Total 8 Test Statistics a lok.radang SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 81 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Mann-Whitney U 8,000 Wilcoxon W 18,000 Z ,000 Asymp. Sig. (2-tailed) 1,000 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1,000 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan lok.radang N Mean Rank Sum of Ranks p3 4 4,75 19,00 p4 4 4,25 17,00 Total 8 Test Statistics a lok.radang Mann-Whitney U 7,000 Wilcoxon W 17,000 Z -,333 Asymp. Sig. (2-tailed) ,739 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,886 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan lok.radang N Mean Rank Sum of Ranks p3 4 5,50 22,00 p5 4 3,50 14,00 Total 8 Test Statistics a lok.radang SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 82 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Mann-Whitney U 4,000 Wilcoxon W 14,000 Z -1,528 Asymp. Sig. (2-tailed) ,127 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,343 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. Mann-Whitney Test Ranks perlakuan lok.radang N Mean Rank Sum of Ranks p4 4 5,00 20,00 p5 4 4,00 16,00 Total 8 Test Statistics a lok.radang Mann-Whitney U 6,000 Wilcoxon W 16,000 Z -1,000 Asymp. Sig. (2-tailed) ,317 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,686 b a. Grouping Variable: perlakuan b. Not corrected for ties. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 83 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Lampiran 3. Perhitungan dosis telur infektif A. galli Dosis infektif telur A. galli diperoleh dari cacing A. galli betina dewasa dalam lumen usus halus ayam kampung yang terinfeksi secara alami. Cacing dikelompokkan berdasarkan jumlah cacing betina dewasa yang ditemukan. Telur diambil langsung dari uterus A. galli betina dewasa dan diinkubasi secara in vitro selama 21–30 hari pada temperatur ruangan untuk mendapatkan telur infektif. Jumlah telur yang berkembang menjadi telur infektif dihitung di bawah stereomikroskop dengan perbesaran 12,5x. Setelah telur menjadi infektif, diambil 1ml cairan dari cawan petri yang digunakan sebagai media pembiakkan dan di tera tiap satu tetes terdapat berapa telur cacing. 1ml = 1 tetes = 20 tetes 54 telur infektif A. galli 1ml 54x20 = 1080 telur = Dosis yang dibutuhkan untuk terjadi infektif A. galli adalah 650 telur. 650 telur/V = 1080/1ml V = 650/1080 V = 0,6 ml Jadi, dalam 0,6 ml terdapat 650 telur infektif A. galli. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 84 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Lampiran 4. Prosedur pembuatan Preparat Histopatologi Duodenum. Pembuatan preparat histopatologi dilakukan di Laboratorium Patologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya, dengan cara sebagai berikut. Proses pembuatan preparat dimodifikasi dari (Jusuf, 2009) : 1. Fiksasi Jaringan yang akan dibuat sediaan histopatologi difiksasi dalam larutan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10% minimal 48 jam hingga mengeras (matang). Sampel organ yang terfiksasi dengan sempurna ditrimming setebal ± 0,5 cm. Potongan kemudian dimasukan dalam tissue cassette untuk dimasukan dalam tissue processor automatis. 2. Dehidrasi dan Clearing Organ duodenum yang telah dicuci dengan air kran selama 30 menit lalu dimasukkan ke dalam reagen dengan larutan alkohol 70%, 80%, 95%, 96% Alkohol absolute I, II, III, Xylol I dan II masing-masing selama 30 menit. 3. Infiltrasi SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 85 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Jaringan dimasukkan kedalam paraffin I yang mencair, kemudian dimasukkan ke dalam oven selama 30 menit, lalu dimasukkan ke dalam parafin II dan dimasukkkan ke dalam oven selama 30 menit pada suhu 60 0C. 4. Pembuatan Blok Parafin Disediakan beberapa cetakan besi yang diisi parafin cair yang sebelumnya telah diolesi gliserin dengan tujuan untuk mencegah letaknya parafin pada cetakan kemudian organ duodenum yang telah dipotong-potong tadi dimasukkan kedalam dengan pinset dan ditunggu sampai parafin membeku. 5. Pengirisan Tipis Pemotongan dilakukan secara random, yaitu tiap 15 kali pemotongan yang dilakukan seri, diambil satu dengan ketebalan empat sampai enam mikron, kemudian dicelupkan air hangat dengan suhu 20OC – 30OC sampai jaringan mengembang dengan baik, kemudan diletakkan pada object glass yang sebelumnya diolesi dengan egg albumin, lalu dikeringkan dengan hot plate. 6. Pewarnaan Bertujuan untuk memudahkan melihat perubahan pada jaringan. Sediaan organ duodenum diwarnai dengan pewarnaan Haemotoxilin Eosin (HE), sehingga dapat dengan jelas bentuk masing-masing selnya. Cara kerjanya : jaringan yang telah dikeringkan kedalam Xylol I sselama 3 menit. Kemudian masukkan ke dalam Xylol II selama 1 menit. Dimasukkan berturut-turut kedalam alkohol absolute I, alkohol absolute II, alkohol 70%, 80%, 90%, 96% dan air selama 1 menit. Dimasukkan jaringan ke dalam zat warna selama 5-10 menit. Setelah itu celupkan ke dalam alkohol asam sebanyak 3- 10 kali celupan. Dicelupkan ke SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 86 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA dalam ammonia sebanyak 4 kali celuupan. Lalu dimasukkan kedalam air kran selama 10 menit. Dimasukkan kedalam aquadest selama 5 menit. Kemudian dimasukkan berturut-turut kedalam alkohol 70%, 80%, 90%, 96% , alkohol absolute I, alkohol absolute II, masing-masing selama 30 detik serta dimasukkan kedalam xylol I dan II, masing-masing selama 2 menit. Terakhir bersihkan dari sisa-sisa pewarnaan. 7. Mounting Jaringan yang telah diwarnai kemudian ditempatkan pada kaca obyek (object glass) yang ditutup dengan kaca penutup (cover glass) yang sebelumnya telah ditetesi dengan canada balsam. SKRIPSI GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 87 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian. Cacing A. galli diinkubasi dalam petri disk SKRIPSI Telur cacing A. galli umur satu hari GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN 88 Telur cacing A. galli infektif pada umur 20 hari Organ duodenum yang akan diamati perubahan histopatologinya SKRIPSI Organ duodenum dalam pot organ GAMBARAN HISTOPATOLOGI DUODENUM YAYAN OKI ISTYAN