Kepemimpinan transformasional kepala sekolah dalam

advertisement
Didaktika, Vol.2 No.1 Maret 2007: 244—258
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL KEPALA SEKOLAH
DALAM MANAJEMEN KONFLIK DENGAN PENDEKATAN
KECERDASAN EMOSIONAL PADA SATUAN
PENDIDIKAN DASAR
S. Adi Suparto*
Abstrak
Upaya kepala sekolah membangun organisasi sekolah yang mantap sering
menghadapi persoalan konflik, yang disebabkan oleh keberagaman latar
belakang komunitas sekolah, aturan-aturan yang sangat ketat, beban kerja
yang berat, karakter kepemimpinan yang otoriter, atau adanya aturan-aturan
atau kebijakan-kebijakan baru sekolah. Konflik merupakan suatu kewajaran
dan proses dinamis dalam kehidupan sekolah sebagai organisasi, yang bisa
dikelola untuk meningkatkan efektivitas kerja organisasi sekolah.
Kepemimpinan transformasional kepala sekolah dalam manajemen konflik
psikologis yang sangat besar pada satuan pendidikan dasar dengan
pendekatan kecerdasan emosional merupakan alternatif baik untuk tujuan
yang konstruktif.
Kata kunci: kepemimpinan transformasional, manajemen konflik, pendekatan
kecerdasan emosional, satuan pendidikan dasar.
Abstract
The effort of the principal to develope a better school organization oftens face
various problems which rose from different of the school community
backgrounds, tight orders, tasks overloaded, authoritarianism leadership
character, or the new school orders or policies. Conflict is a natural character
and a dynamic process in school life as an organization can be managed to
develop of school organization effectiveness. Emotional quotion-based
conflict management is an alternative solution to in conflict management to
reach of constructive goal.
Key words: transformational leadership, conflict management, emotional
quotion approach, primary education unit.
Pendahuluan
Upaya kepala sekolah membangun
organisasi sekolah yang kokoh sering
dihadapkan pada berbagai situasi konflik.
Konflik bisa bersumber dari perbedaan atau
keanekaragaman latar belakang komunitas
sekolah, aturan-aturan yang sangat ketat,
*
beban kerja personil sekolah yang cukup
berat, karakter kepimpinanan yang otoritatif, atau adanya aturan-aturan atau kebijakan-kebijakan baru kepala sekolah yang di
pandang kurang aspiratif, akomodatif, atau
sepihak.
Dosen FKIP Universitas Terbuka di UPBJJ Surabaya, Magister Pendidikan dalam bidang Manajemen
Pendidikan.
244
Kepimpinanan Transformasional Kepala Sekolah dalam Manajemen Konflik dengan Pendekatan
Kecerdasan Emosional pada Satuan Pendidikan Dasar (S. Adi Suparto)
Konflik oleh sebagian besar orang
dianggap selalu berdampak negatif. Padahal, dalam kondisi tertentu konflik perlu
dimunculkan untuk kepentingan perubahan
dan pengembangan organisasi sekolah.
Oleh karena itu, pengetahuan tentang
teknik dan cara
mengelola
konflik
organisasi secara efektif begitu penting
dikuasai oleh para kepala SD.
Dari perspektif perkembangan dan
perubahan dalam bidang manajemen
pendidikan persekolahan seperti Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), timbulnya
perbedaan-perbedaan pendapat, keyakinankeyakinan serta ide-ide tentang konsep dan
implementasinya di tingkat praksis organisasi sekolah sangat rasional dan wajar bila
kemudian melahirkan konflik. MBS yang
berarti terjadi pemindahan kewenangan ke
tingkat sekolah, tidak hanya akan menambah variasi antarsekolah dan/atau antar
daerah dalam penyelenggaraan mutu proses
pembelajaran, karena kemampuan fasilitas
dan
SDM
yang
berlainan
(Tim
Pengembangan, 2007).
Di samping itu, pemindahan
kewenangan juga akan dapat menimbulkan
potensi konflik baru antarguru dan antara
guru dengan kepala sekolah. Hal ini dapat
muncul dimungkinkan karena pengelolaan
pendidikan di sekolah makin transparan
dan efisien serta efektif, sehingga baik
antar guru atau antara guru dengan kepala
sekolah terjadi kompetisi. Tumbuh
berbagai wacana baru tentang pendidikan
di sekolah. Bahkan potensi itu juga terjadi
pada level antara sekolah dan masyarakat
sejalan dengan efek akuntabilitas dan
rentang pengawasan (span of control)
semakin pendek (Tim Pengembangan,
2007).
Apalagi,
komunitas
sekolah
memiliki hubungan dan kerjasama yang
begitu lama, intim, dan erat satu sama lain,
kiranya
cukup
beralasan
untuk
mengasumsikan bahwa seiring dengan
perjalanan waktu, niscaya akan timbul
perbedaan-perbedaan pendapat di antara
mereka (Wexley & Yukl, 1984; Winardi,
1994). Akan tetapi, apabila konflik
menjadi semakin meningkat, meluas, dan
persisten,
bukan
mustahil
akan
berpengaruh negatif terhadap efektivitas
kerja organisasi, bahkan bisa terjadi situasi
keos.
Dalam situasi inilah, peran kepala
sekolah sebagai mediator situasi konflik
sangat penting. Fungsi kepala sekolah
sebagai ”manager” meniscayakan adanya
kemampuan mengelola situasi konflik antarpersonil sekolah, agar tidak berkembang
dan persisten.
Kepemimpinan transformasional
dalam manajemen
konflik
dengan
pendekatan kecerdasan emosional, sangat
cocok bagi kepala sekolah pada satuan
pendidikan dasar, dengan intensitas konflik yang kental oleh faktor-faktor psikologis.
Tulisan ini akan mengkaji konflik-konflik yang terjadi di tingkat organisasi persekolahan khususnya pada satuan
pendidikan dasar, apa dan bagaimana
peran kepala sekolah sebagai pimpinan
transformasional dalam manajemen konflik dengan pendekatan kecerdasan
emosional.
Konflik sebagai Realitas Organisasi
Konflik adalah adanya situasi atau
keadaan oposisi atau pertentangan pendapat, sikap, tindakan di antara orang-orang,
kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi (Schermerhorn, 1986). Konflik
dapat terjadi karena berbagai sebab,
seperti:
Apabila dua orang atau lebih
individu masing-masing berpegang pada
pandangan yang sama sekali bertentangan
satu sama lain, dan mereka tidak mau dan
atau tidak pernah berkompromi karena
masing-masing menarik kesimpulan berbeda-beda, atau mereka cenderung bersifat
245
Didaktika, Vol.2 No.1 Maret 2007: 244—258
tidak toleran, maka dapat dipastikan akan
timbul konflik. Dalam suatu organisasi,
munculnya
persoalan-persoalan yang
memicu konflik tak bisa dihindari. Konflik
merupakan sebuah realitas dalam kehidupan sebuah organisasi, termasuk sekolah
sebagai organisasi sosial.
Dilihat dari jenisnya, konflik
dibedakan menjadi konflik-konflik substantif (substantive conflicts) dan konflikkonflik emosional (emotional conflicts)
(Walton, 1989). Konflik substantif
meliputi ketidaksesuaian paham tentang
hal-hal seperti: tujuan-tujuan, alokasi
sumber-sumber daya, distribusi-distribusi
imbalan-imbalan, kebijakan-kebijakan dan
prosedur-prosedur serta penugasan pekerja
an dalam suatu organisasi. Sedangkan
konflik emosional timbul karena perasaanperasaan marah, ketidakpercayaan, ketidak
senangan, takut dan sikap menentang,
maupun bentrokan-bentrokan kepribadian
antarpribadi dalam suatu organisasi
(Walton, 1989).
Dari perspektif manajemen organisasi, konflik dipandang sebagai suatu
proses yang sangat menarik, karena konflik
itu sendiri hakikatnya merupakan proses
dinamis dalam kehidupan masyarakat atau
organisasi, yang dapat diamati, diuraikan
dan dianalisis (Wahjosumidjo, 1993).
Sungguhpun demikian, kehadiran konflik
dapat berpengaruh terhadap kinerja individu dan atau organisasi. Apabila gejalagejala tersebut tidak diakomodasi, dapat
menimbulkan persoalan serius yang dapat
mengganggu mekanisme kerja, dan keefektivan pengendaliannya akan sangat
berpengaruh pada kinerja individu dan
organisasi secara keseluruhan (Brown,
1983; Blake & Mouton, 1984).
Konflik juga merupakan proses
pembelajaran. Melalui konflik seorang
pimpinan setidaknya akan memperoleh
berbagai hal, yaitu: (a) pemahaman mengapa konflik bisa terjadi dalam suatu
organisasi, (b) pengalaman bagaimana
pimpinan suatu organisasi mengambil tin-
dakan untuk mengatasi konflik, (c) menilai
tindakan yang diambil suatu organisasi
untuk menyelesaikan konflik, (d) membuat
solusi untuk menyelesaikan konflik di
tingkat organisasi, (e) mengembangkan
kesadaran terhadap keberbedaan, (f) pemahaman bahwa konflik merupakan
realitas kehidupan sehari-hari dalam
kehidupan organisasi, (g) mengembangkan
kemampuan berfikir kritis, dan (h) melatih
keterampilan sosial dan keterampilan
emosional.
Dengan demikian, konflik memiliki sisi destruktif dan sisi konstruktif
(Robbins, 1974; Yukl, 1994). Sisi
destruktif dari konflik, adalah timbulnya
kerugian bagi individu-organisasi, atau
individu-individu, dan organisasi-organisasi. Konflik destruktif terjadi apabila dua
orang karyawan tidak dapat bekerjasama
karena terjadi sikap permusuhan di antara
individu-individu yang ada di antara
mereka. Konflik ini berdampak negatif
terhadap kelangsungan hidup individu dan
atau organisasi.
Pada tingkat individu, konflik
destruktif, akan merugikan orang-orang
yang berkonflik seperti: perasaan cemas
atau tercekam, intensitas komunikasi yang
berkurang drastis, persaingan yang makin
menghebat, dan perhatian yang makin
menyusut terhadap tujuan bersama. Pada
tingkat kolektif atau organisasi, konflikkonflik destruktif dapat menyebabkan
berkurangnya efektivitas individu-individu
dan kelompok-kelompok, karena terjadi
gejala menyusutnya produktivitas dan
kepuasan.
Sedangkan sisi konstruktif dari
konflik adalah terciptanya keuntungankeuntungan bagi individu dan atau
organisasi-organisasi yang terlibat konflik,
antara lain: (1) peningkatan kreativitas dan
inovasi. Akibat konflik individu-individu
semakin berupaya untuk melaksanakan
pekerjaan atau berperilaku dengan caracara yang lebih baik; (2) peningkatan
upaya. Konflik dapat mengatasi perasaan
246
Kepimpinanan Transformasional Kepala Sekolah dalam Manajemen Konflik dengan Pendekatan
Kecerdasan Emosional pada Satuan Pendidikan Dasar (S. Adi Suparto)
apatis dan dapat menyebabkan orang-orang
yang berkonflik dapat bekerja lebih keras.
(3) penguatan ikatan antar anggota
kelompok. Konflik dapat memperkuat
identitas kelompok, dan komitmen untuk
mencapai tujuan bersama; dan (4) peredaan ketegangan. Konflik dapat membantu
meredakan ketegangan-ketegangan antarpribadi (Goleman, 1999).
Sungguhpun setiap konflik memiliki sisi konstruktif dan destruktif, namun
pandangan dan sikap pimpinan terhadap
konflik berbeda. Ada pimpinan yang
memandang konflik secara positif, ada
pula yang memandang konflik secara
negatif. Perbedaan pandangan dan sikap
pimpinan terhadap konflik, setidaknya
bergantung pada tiga aspek, yaitu: (1)
karakteristik organisasi yang dipimpin, (2)
karakter kepemimpinan, dan (3) intensitas
konflik yang terjadi.
Dari sisi karakteristik organisasi
yang dipimpin, positif atau negatifnya
sikap pimpinan terhadap konflik dapat
dibedakan antara organisasi tradisional dan
organisasi modern.
Dalam organisasi tradisional yang
diindikasikan oleh ikatan dan hubunganhubungan primordialisme antara pimpinan
dan bawahannya, dan berorienasi pada
upaya menciptakan keharmonisan ikatanikatan dan hubungan-hubungan kekerabatan antarpersonal dalam organisasi, serta
”status quo”, pimpinan organisasi cenderung memandang konflik secara negatif.
Konflik harus dihindari, dan cenderung
dipandang sebagai suatu agresi (serangan),
kekerasan, dan kompetisi yang merusak.
Pandangan yang negatif terhadap konflik
ini akan diwarnai sikap kepemimpinan
yang bersifat ”bias” dengan kecenderungan
untuk “memenangkan” pihak yang memiliki ikatan dan hubungan primordialisme yang dekat dan kuat dengannya,
serta ”mengorbankan” pihak lain yang
ikatan dan hubungan primordialisme
dengan dirinya lemah atau jauh.
Sikap kepemimpinan bias seperti
itu bisa terjadi, karena bagi pimpinan
organisasi tradisional keutuhan ikatanikatan dan hubungan-hubungan primordialisme antara pimpinan dan bawahan
merupakan “integrating forces” organisasi
yang dapat meminimalisasi konflik-konflik
internal organisasi yang tak bisa dihindari
dalam setiap organisasi. Akan tetapi, dari
perspektif manajemen organisasi hal tersebut dipandang dapat menghambat pemecahan persoalan secara fair, karena
perasaan dan empati serta komunikasi
harmonis antar seluruh kelompok dalam
organisasi terabaikan (Goleman, 1999).
Dalam kepemimpinan organisasi
modern yang diindikasikan oleh hubungan-hubungan fungsional dan profesional
antara pimpinan dan bawahannya, dan
lebih berorientasi pada penciptaan
dinamika organisasi, pimpinan cenderung
memandang konflik secara positif dan
karenanya tidak perlu dan tak harus
dihindari melainkan perlu dikelola dengan
baik. Konflik dalam kepemimpinan organisasi modern lebih dipandang dan disikapi
sebagai situasi yang berpotensi untuk
mengembangkan prestasi dan efektivitas
kerja individu dan atau organisasi, atau
sebagai moment yang dapat menjadi sumber inspirasi perlunya pemecahan masalah
dan pengambilan keputusan yang lebih
baik.
Dari sisi karakter kepemimpinan,
konflik terjadi karena ketidakpuasan
bawahan terhadap efektivitas kepemimpinan organisasi. Studi Zamralita dan
Ninawati (2003) misalnya, menemukan
bahwa kepuasaan kerja bawahan berkorelasi sangat signifikan dengan efektivitas
kepemimpinan organisasi. Kepemimpinan
yang efektif bagi tercapainya kepuasan
bekerja bawahan terdiri dari empat dimensi
yaitu: menjadi komunikator yang efektif,
berorientasi pada tugas dan hubunganhubungan fungsional dan profesional,
mendelegasikan tugas dan set challenging
goals. Artinya, jika kepemimpinan efektif,
247
Didaktika, Vol.2 No.1 Maret 2007: 244—258
maka kepuasan kerja akan semakin
meningkat. Sebaliknya, jika kepemimpinan
tidak efektif, maka kepuasan kerja sulit
dicapai dan akan melahirkan stres yang
berpotensi besar terjadinya konflik.
Rostiana dan Halim (2003a) juga
melaporkan bahwa ada korelasi yang
signifikan antara dimensi kepribadian
conscientiousness dari model lima faktor
(biasa disebut The Big Five) dengan gaya
menangani konflik collaborating pada
manajer.
Dari sisi intensitas konflik yang
terjadi, positif atau negatifnya sikap pemimpin terhadap konflik dapat dibedakan
antara konflik berintensitas tinggi dan
konflik berintensitas rendah/sedang. Konflik yang memiliki intensitas tinggi
memiliki kecenderungan ke arah negatif
dan merusak, dan konflik yang memiliki
intensitas rendah/sedang memiliki kecenderungan ke arah positif dan membangun.
Dalam hal ini, apakah dalam organisasi
tradisional maupun organisasi modern,
pimpinan akan cenderung bersikap negatif
dan akan berupaya menghindari konflik
berintensitas tinggi, ekskalatif, dan
terbuka.
Sungguhpun demikian, konflik
merupakan sebuah realitas organisasi.
Apakah konflik akan menguntungkan atau
tidak bagi organisasi pada dasarnya akan
sangat tergantung pada pimpinannya. Oleh
karena itu, maka pimpinan organisasi tidak
harus meniadakan konflik, tetapi meminimumkan konflik yang merugikan dan
mengfungsionalkan konflik yang menguntungkan. Bagaimana mengelola konflik
agar berpengaruh positif (menguntungkan)
sangat tergantung pada bagaimana cara
pimpinan mengelolanya. Keuntungan dari
konflik dapat diperoleh jika pimpinan
organisasi mampu memotivasi bawahannya agar tidak banyak perilaku yang
menyimpang dari tujuan dan standar kerja
organisasi.
Konflik-konflik di Sekolah: Kepemimpinan dan Teknik Pengendalian
Konflik-konflik yang terjadi di
sekolah, seperti juga konflik-konflik yang
terjadi di masyarakat atau organisasi yang
lain, menyangkut manusia dalam organisasi. Seluruh masalah yang menyangkut
segi manusia adalah rumit dan apabila
tidak dibina dengan baik, akan merusak
organisasi. Sebaliknya bila ditangani
secara seksama, akan merupakan faktor
yang esensial bagi pencapaian efektivitas
dan tujuan organisasi.
Konflik-konflik yang terjadi di
sekolah dapat dibedakan menjadi: (1) konflik internal individu; (2) konflik antarpribadi; (3) konflik antarkelompok; (4) kon
flik antarorganisasi (Goleman, 1995; Yukl,
1994). Konflik internal individu, terjadi
pada guru yang mendapatkan beban berlebihan atau menerima terlampau banyak
tanggung jawab dari sekolah. Apabila guru
tersebut tidak dapat menghadapinya, maka
akan terjadi stres. Stres merupakan suatu
produk tambahan yang kerap kali muncul
pada konflik di dalam individu sendiri
(Goleman, 1987). Konflik internal guru
ini, tidak hanya meresahkan individu guru
itu sendiri, melainkan juga dapat meresah
kan para guru yang berhubungan dengannya di sekolah.
Konflik antarpribadi, terjadi antar
guru atau antara guru dan kepala sekolah.
Sifatnya bisa substantif atau emosional.
Konflik substantif, berupa perbedaan atau
pertentangan tentang aspek-aspek akademik sekolah, seperti ketidakseimbangan
distribusi beban tugas atau kerja di antara
guru, perbedaan pandangan tentang
penyusunan program sekolah, kebijakan
sekolah, dll. Konflik emosional, berupa
perbedaan atau pertentangan kepentingan,
kebutuhan antarguru baik bersifat idividual
atau kedinasan. Konflik antarpribadi ini
merupakan jenis konflik yang sering
dihadapi oleh para kepala sekolah.
248
Kepimpinanan Transformasional Kepala Sekolah dalam Manajemen Konflik dengan Pendekatan
Kecerdasan Emosional pada Satuan Pendidikan Dasar (S. Adi Suparto)
Konflik antarkelompok, terjadi
antara kelompok-kelompok guru (klik) di
sekolah. Konflik antarkelompok guru ini
bisa terjadi karena perbedaan atau pertentangan usia atau senioritas, idealisme,
kepentingan, kebutuhan, aliansi politik,
dan sebagainya dari masing-masing kelompok guru. Sedangkan konflik antarorganisasi, terjadi antarorganisasi intra
sekolah, seperti antara OSIS dengan
Pramuka atau organisasi siswa yang lain,
antara Dewan Guru dengan Komite
Sekolah, dll. Pada umumnya konflik
antarorganisasi ini karena adanya perbedaan atau persaingan antarorganisasi dalam
mencapai tujuannya masing-masing.
Seperti konflik umumnya, konflik-konflik yang terjadi di sekolah juga
dapat disebabkan karena faktor suasana
sekolah yang membosankan, persaingan,
tuntutan yang berlebiham, atau variasi
aktivitas. Secara umum, faktor-faktor
penyebab konflik dibedakan menjadi faktor substantif atau emosional.
Konflik-konflik karena faktor
substantif bisa disebabkan oleh hal-hal
yang bersifat akademis maupun nonakademis, seperti perbedaan pendapat
tentang konsep pendidikan, hal-hal yang
terjadi di saat mengadakan rapat dan lainlain, yang sangat berpengaruh terhadap
produktivitas kerja dari para personil
sekolah. Konflik-konflik karena faktor
emosional bisa disebabkan oleh perasaanperasaan marah, ketidakpercayaan, ketidak
senangan, takut dan sikap menentang,
maupun bentrokan-bentrokan kepribadian
antarpribadi di sekolah, seperti guru sering
datang terlambat dan pulang sebelum
waktunya, sering tidak masuk dengan
berbagai macam alasan, acuh tak acuh
terhadap lingkungan kerja, suka mengasingkan diri dari pergaulan, suka membuat masalah dengan sesama guru, berpikir
agresif, pemogokan, merusak peralatan
sekolah, dan atau melakukan pencurian
secara kecil-kecilan, merupakan persoalanpersoalan di sekolah yang mengarah pada
terjadinya situasi konflik dan harus
dihadapi oleh kepala sekolah (Owens,
1991).
Sejumlah studi terhadap konflik
pada satuan pendidikan dasar menemukan
bahwa konflik-konflik yang terjadi banyak
disebabkan oleh faktor-faktor psikologis,
berkaitan dengan sindrom psikologis yang
ditandai dengan adanya kelelahan, sikap
sinis, stres, dan perasaan tidak efektif
sebagai akibat besarnya beban kerja atau
tugas sebagai guru, apalagi guru SD.
Fenomena-fenomena konflik psikologis
seperti itu merupakan gejala alamiah dan
ilmiah yang sulit dihindarkan oleh guru
pada jenjang pendidikan dasar yang perlu
disikapi dan dikelola dengan baik dan
benar oleh kepala satuan pendidikan dasar
dengan memberikan penekanan pada
aspek-aspek psikologis.
Rostiana (2006) misalnya, menemukan bahwa konflik yang terjadi di SD
banyak karena faktor identifikasi psikologis atau keyakinan seorang guru terhadap
pekerjaannya sebagai guru. Faktor identifikasi psikologis ini menurutnya berkorelasi
secara signifikan terhadap terjadinya “burn
out”, yaitu sindrom psikologis yang ditandai dengan adanya kelelahan, sikap
sinis, dan perasaan tidak efektif. Kajian
Seamon & Kendrick (Zamralita, 2005)
juga menemukan bahwa besarnya tanggung jawab, beban, dan tuntutan kerja
yang harus ditanggung oleh guru, dan
pandangan masyarakat terhadap profesi
guru dan gaji yang diterimanya, menyebabkan guru memiliki kemungkinan
lebih rentan terhadap stres kerja daripada
profesi lain. Besarnya stresor (faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya stres)
dapat meningkatkan tingkat stres kerja
guru yang dapat mempengaruhi kinerja
dan pengajaran guru serta situasi konflik.
Studi Zamralita (2005) tentang
hubungan antara self efficacy dan stres
kerja pada guru juga menemukan bahwa
self efficacy guru, keyakinan individu guru
terhadap kemampuannya dalam mengha249
Didaktika, Vol.2 No.1 Maret 2007: 244—258
dapi tanggung jawab, beban, dan tuntutan
kerja berkorelasi signifikan dengan stres
kerja pada guru. Bahwa derajat self efficacy guru mengenai stresor menyebabkan
berbedanya tingkat stres pada guru.
Demikian pula studi Tiatri (2003) tentang
persepsi tugas dan tanggung jawab guru
TK dalam menunjang perkembangan anak
dalam hubungannya dengan kepuasan kerja, menunjukkan adanya hubungan positif
yang signifikan. Artinya, semakin tinggi
persepsi terhadap beban kerja maka
semakin tinggi pula kepuasan kerjanya.
Yang menarik dari studi terhadap faktorfaktor psikologis seperti studi Tiatri &
Ninawati (2003) adalah, ternyata antara
locus of control dengan stres kerja, dan
antara dukungan sosial dengan stres kerja
tidak terdapat hubungan yang signifikan.
Situasi-situasi konflik psikologis
di sekolah seperti itu tidak bisa dihindari,
dan tugas seorang kepala sekolah adalah
berupaya mengelola konflik sedemikian
rupa, sehingga konflik bisa diminimalisasi
dan dirahkan untuk mencapai sasaransasaran sekolah. Pendekatan konflik
sebagai bagian normal dari perilaku dapat
dimanfaatkan sebagai alat untuk mempromosikan dan mencapai perubahanperubahan yang dikehendaki (Winardi,
1994: 58).
Untuk meningkatkan kinerja
setiap anggota komunitas sekolah, salah
satu upaya yang dapat dilakukan oleh
kepala sekolah adalah melakukan manajemen konflik. Artinya, potensi destruktif
konflik terhadap pencapaian tujuan sekolah
diminimumkan, dan potensi konstruktif
konflik dimaksimalkan bagi peningkatan
produktivitas organisasi sekolah. Untuk itu,
kepala sekolah sebagai manajer harus
mampu mengatur agar semua potensi
sekolah dapat berfungsi secara optimal. Hal
ini dapat dilakukan jika kepala sekolah
mampu
melakukan
fungsi-fungsi
manajemen dengan baik, meliputi (1)
perencanaan; (2) pengorganisasian; (3)
pengarahan; dan (4) pengawasan.
Kepala sekolah perlu mencurahkan banyak waktu untuk menghadapinya.
Goleman (1995) mengemukakan bahwa
untuk menangani situasi-situasi konflik
seperti itu, penguasaan keterampilanketerampilan manajemen konflik adalah
sangat penting. Implementasi MBS
misalnya, sangat erat kaitannya dengan
signifikansi peranan kepala sekolah.
Kewenangan yang diberikan kepada sekolah mengakibatkan kepala sekolah memiliki peranan yang krusial dan kuat dalam
keputusan politik pendidikan di sekolah
yang dipimpinnya, sebagai akibat dari
kompleksitas
manajemen
organisasi
sekolah dan tumbuhnya etos kerja baru
dalam sekolah (Tim Pengembang, 2007).
Kepala sekolah sebagai pembuat keputusan
tertinggi politik pendidikan di sekolah,
mutlak membutuhkan kemampuan manajemen konflik, bila tidak ingin konflikkonflik internal sekolah semakin meluas,
ekskalatif, atau terbuka.
Kepemimpinan Transformasional:
Manajemen Konflik dengan Pendekatan
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional (emotional
quotion) dapat diartikan sebagai kemampuan merasakan dan memahami kepekaan
emosi diri maupun emosi orang lain, pengendalian diri, semangat, dan ketekunan,
serta kemampuan untuk memotivasi diri
sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi,
kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebihlebihkan kesenangan, mengatur suasana
hati dan menjaga agar beban stres tidak
melumpuhkan
kemampuan
berpikir,
mampu membaca dan memahami perasaan
terdalam orang lain (empati) dan berdoa,
memelihara hubungan baik, menyelesaikan
konflik, serta mampu memimpin (Secapramana, 1999).
Sebelum Daniel Goleman mempublikasikan hasil-hasil penelitian Dr. Peter
Salovey (Universitas Yale) dan Dr. John
Mayer (Universitas New Hamsphire) ten250
Kepimpinanan Transformasional Kepala Sekolah dalam Manajemen Konflik dengan Pendekatan
Kecerdasan Emosional pada Satuan Pendidikan Dasar (S. Adi Suparto)
tang kecerdasan emosional, banyak pimpinan organisasi yang mengabaikan aspek
emosi dalam menjalankan tugasnya.
Namun, kini perhatian terhadap aspek
emosi ini sudah menjadi kata kunci dalam
manajemen organisasi modern. Bahkan,
para ahli telah memasukkan konsep kecerdasan emosional ini ke wilayah kecerdasan, bukan hanya melihat emosi dan
kecerdasan sebagai istilah atau ranah yang
kontradiksi secara inheren. Goleman
(1995) mengemukakan bahwa kecerdasan
emosional sebagai pencegah terjadinya
konflik.
Lebih lanjut Goleman mengemuka
kan, bahwa keefektivan penggunaan teknik
pengendalian konflik organisasi akan
berdampak positif bagi prestasi organisasi.
Salah satu ukuran kualitas seorang pimpinan adalah kemampuannya mengendalikan konflik, sehingga tercipta iklim yang
kondusif di lingkungan kerja yang dipimpinnya. Keberhasilan penanganan situasi-situasi konflik, tentu memerlukan kemampuan untuk memahami proses-proses
serta elemen-elemen yang melandasi
konflik. Sebab, konflik yang timbul di
sekolah mungkin bersifat konstruktif dan
memerlukan
pengambilan
keputusan
terbaik kepala sekolah untuk kepentingan
sekolah, atau sebaliknya dapat menjadi
destruktif karena kepala sekolah tidak
mampu mengendalikan dan mengarahkan
konflik sehingga terjadi perselisihan dan
permusuhan antar anggota komunitas
sekolah.
Sungguhpun kecerdasan emosional sangat penting sebagai basis manajemen konflik, tanggapan masyarakat
terhadap kecerdasan emosional (EQ) ini
memang beragam, ada yang pro dan ada
yang kontra. Hal ini berbeda dengan
tanggapan terhadap kecerdasan intelektual
(IQ) yang sudah diterima luas oleh
masyarakat. Hal ini mungkin karena kecerdasan emosional tidak memiliki aspek
yang permanen karena emosi selalu berubah. Padahal, kecerdasan emosional
merupakan salah satu aspek yang menunjang kepemimpinan, yang memungkinkan
seorang pimpinan dapat mengambil
keputusan dengan tepat dan arif.
Studi Rostiana & Ninawati (2003)
menemukan bahwa kecerdasan emosional
seorang pimpinan berkorelasi signifikan
dengan persepsinya terhadap proses
pengambilan keputusan. Artinya, semakin
matang emosi yang dimiliki seorang
pimpinan, maka semakin baik pula persepsinya terhadap proses pengambilan
keputusan, dan identifikasi sebuah keputusan yang tepat bisa segera dilakukan.
Dalam studi lain, Rostiana (2004) juga
menemukan bahwa kesehatan mental
sebagai korelat kecerdasan emosional
berkorelasi secara signifikan dengan efektivitas pengendalian konflik interpersonal.
Waruwu & Endah (2005) juga menemukan
bahwa “resiliensi”, yaitu kemampuan emosional seseorang untuk bangkit kembali
dari tekanan hidup, belajar dan mencari
element positif dari lingkungannya, untuk
membantu kesuksesan proses beradaptasi
dengan segala keadaan dan mengembangan
seluruh kemampuannya, walau berada
dalam kondisi hidup tertekan, baik secara
eksternal atau internal, dapat dikembangkan melalui dukungan dari faktor pelindung terutama penciptaan ikatan-ikatan
sosial yang kokoh, yang salah satu aspek
terpenting adalah melalui dukungan kepemimpinan yang cerdas secara emosional.
Kecerdasan emosional sebagai
basis dalam manajemen konflik, juga
dibuktikan dalam penelitian Zamralita &
Ninawati (2003) tentang hubungan antara
tingkat stres kerja dan efektivitas pengambilan keputusan. Keduanya menemukan
bahwa sumber stres dominan yang dialami
oleh manajer adalah tekanan kerja/job
pressure dan sumber stres yang lain berasal
dari kurangnya dukungan/lack of support.
Tekanan/job pressure yang sering muncul
antara lain disebabkan oleh evaluasi yang
ketat, keterbatasan waktu, dan kondisikondisi yang dapat memicu terjadinya
251
Didaktika, Vol.2 No.1 Maret 2007: 244—258
stres. Hal-hal tersebut menurut keduanya
dapat berpengaruh pada manajer yang
dalam pekerjaannya mempunyai wewenang
untuk mengambil suatu keputusan. Bila
stres
sering
muncul,
pengambilan
keputusan yang dibuat pun menjadi kurang
efektif. Dari penelitiannya tersebut, keduanya menyimpulkan bahwa ada hubungan
antara tingkat stres kerja dengan efektivitas
pengambilan keputusan pada manajer.
Artinya, semakin tinggi tingkat stres kerja
maka efektivitas pengambilan keputusan
pada manajer akan semakin rendah dan
sebaliknya bila tingkat stres yang dialami
rendah maka efektivitas pengambilan
keputusan tinggi.
Dalam teori manajeman, ada
banyak gaya kepemimpinan organisasi dan
cara atau pengendalian konflik organisasi
yang bisa diadopsi dan diadaptasi oleh
kepala sekolah pada satuan pendidikan
dasar sebagai mediator dalam mengelola
konflik agar semua potensi yang ada di
sekolah dapat berfungsi secara optimal.
Salah satunya adalah gaya kepemimpinan
transformasional (transformational leadership) yang merupakan salah satu gaya
kepemimpinan berdasarkan kecerdasan
emosional. Kepemimpinan transformasional ini lebih mengutamakan pemberian
kesempatan, dan atau mendorong semua
unsur yang ada dalam sekolah untuk
bekerja atas dasar sistem nilai (values
system) yang luhur, sehingga semua unsur
yang ada di sekolah (guru, siswa, dan
pegawai) bersedia dan tanpa paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai
tujuan ideal sekolah.
Ciri-ciri gaya kepemimpinan trans
formasional adalah: (1) mengidentifikasi
dirinya sebagai agen perubahan (pembaruan); (2) memiliki sifat pemberani; (3) mem
percayai orang lain; (4) bertindak atas
dasar sistem nilai (bukan atas dasar kepentingan individu, atau atas dasar kepentingan dan desakan kroninya); (5) meningkatkan kemampuannya secara terusmenerus; (6) memiliki kemampuan untuk
menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas,
dan tidak menentu; dan (7) memiliki visi
ke depan (Luthans, 1995: 358).
Manajemen konflik melalui kepemimpinanan transformasional dengan
pendekatan kecerdasan emosional ini,
sangat cocok untuk digunakan oleh kepala
sekolah pada satuan pendidikan dasar,
dengan intensitas konflik-konflik karena
faktor-faktor psikologis seperti dikemukakan di atas.
Sedangkan cara atau manajemen
konflik organisasi yang bisa diadopsi dan
diadaptasi oleh kepala sekolah antara lain:
(1) teknik menghindari, (2) teknik kompetisi (komando otoritatif), (3) teknik akomodasi (penyesuaian), (4) teknik kompromi,
dan (5) teknik kolaborasi (kerjasama) atau
pemecahan masalah (Robbins, 1974;
Walton, 1989; Hanson, 1991; Owens,
1991; Goleman, 1999).
Penerapan salah satu di antara lima teknik manajemen konflik ini, tergantung pada banyak aspek personal,
interpersonal, dan konteks konflik. Namun,
studi Suyasa & Endah (2003), menemukan
bahwa ada kecenderungan karyawan lebih
memilih dan menyukai karakter kepemimpinan Tipe A (kolaboratif) daripada karakter kepemimpinan Tipe B (akomodatif)
dalam cara-cara penyelesaian konflik.
Kedua tipe kepemimpinan ini juga
memiliki pengaruh yang berbeda terhadap
tingkat penyelesaian konflik organisasi.
Rostiana (2001) juga menemukan bahwa
dimensi kepribadian conscientiousness
merupakan dimensi yang paling erat kaitannya dengan kinerja pekerjaan dan gaya
menangani konflik. Tipe kepemimpinan
kaboratif dipilih karena merupakan gaya
menangani konflik yang paling banyak
digunakan oleh manajer di Jakarta.
Berkaitan dengan penerapan kepemimpinan transformasional dalam manajemen konflik di sekolah dengan pendekatan kecerdasan emosional, salah satu
aspek penting dan substansial adalah
252
Kepimpinanan Transformasional Kepala Sekolah dalam Manajemen Konflik dengan Pendekatan
Kecerdasan Emosional pada Satuan Pendidikan Dasar (S. Adi Suparto)
pemahaman kepala sekolah terhadap situasi
konflik. Untuk memahami situasi konflik
ini, ada beberapa faktor yang perlu
diselesaikan oleh kepala sekolah, antara
lain: (1) perbedaan-perbedaan tentang fakta-fakta; (2) perbedaan tentang metodemetode; (3) perbedaan-perbedaan tentang
tujuan-tujuan; dan (4) perbedaan-perbedaan
tentang nilai-nilai (Brown, 1983).
Untuk menyelesaikan perbedaanperbedaan tentang fakta-fakta, yang perlu
dilakukan oleh kepala sekolah sebagai
seorang manajer adalah mengumpulkan
data-data berkaitan dengan fakta-fakta
konflik dari sumber-sumber yang dapat
dipercaya sebagai upaya untuk mencek
validitas fakta. Apabila fakta sudah
diyakini validitasnya, selanjutnya kepala
sekolah perlu menyampaikan fakta-fakta
yang diperoleh secara distributif kepada
seluruh personil sekolah tanpa sikap deskriminatif. Untuk menyelesaikan perbedaanperbedaan tentang metode-metode, kepala
sekolah hendaknya mengingat dan memperhatikan sasaran-sasaran umum sekolah.
Dengan cara demikian, perbedaan-perbedaan paham dianggap sebagai perbedaanperbedaan tentang metode, bukan tujuan.
Untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan
tentang tujuan-tujuan hendaknya setiap
tujuan sekolah didiskusikan atau dibahas
dengan seluruh anggota komunitas sekolah.
Apabila memang perlu direvisi, tujuantujuan sekolah harus direvisi bersama
dengan cara membandingkan dengan
tujuan-tujuan yang pernah dicapai oleh
sekolah. Sedangkan untuk menyelesaikan
perbedaan-perbedaan tentang nilai-nilai,
perlu dilakukan cermatan terhadap wilayah
konflik nilai-nilai yang diperkirakan mengandung konsekuensi-konsekuensi tertentu.
Seorang kepala sekolah selaku
manajer sekolah, dapat menjadi pihak
utama yang terlibat aktif dan langsung
dalam mengelola konflik-konflik yang
terjadi di sekolah, sebagai penengah
(mediator). Hal ini penting agar potensi
konstruktif dan hasil destruktif bisa
diperoleh. Melalui pengaruh dan kewenang
an yang dimiliki, kepala sekolah berkewajiban memberdayakan seluruh sumber
daya guru dan personil lainnya dalam
rangka meningkatkan efektivitas organisasi
sekolah.
Agar kepala sekolah mampu
menyelesaikan konflik dengan pendekatan
kecerdasan emosional, perlu memiliki kecakapan-kecakapan antara lain: (1) berdiplomasi dan menggunakan taktik untuk
menenangkan orang-orang yang dalam
kondisi tegang, (2) mengidentifikasi hal-hal
yang berpotensi konflik, menyelesaikan
perbedaan pendapat secara terbuka, dan
membantu mendinginkan situasi, (3) menganjurkan debat dan diskusi secara terbuka,
(4) mengantar ke solusi yang dapat
diterima oleh kedua belah pihak yang
berkonflik (win-win solution) (Goleman,
1999).
Kecakapan diplomasi dan taktik
untuk “menenangkan” orang lain yang
menghadapi ketegangan dapat dilakukan
dengan mendeteksi sumber masalah sedini
mungkin. Untuk maksud itu, kepala sekolah harus mau mendengarkan isi hati dan
perasaan dari orang lain di samping berusaha untuk berempati terhadap masalah,
pikiran, dan perasaan mereka. Ini berarti
bahwa dalam manajemen konflik dengan
pendekatan kecerdasan emosional, aspekaspek psikologis dan kemanusiaam merupa
kan faktor determinan. Kemampuan kepala
sekolah untuk “mempengaruhi” orangorang yang dipimpinny sangat berperan
dalam memecahkan masalah-masalah
organisasi sekolah. Kemampuan mempengaruhi ini harus dipahami bukan hanya
mempengaruhi mereka untuk bekerja
sesuai dengan aturan atau kebijakan sekolah, tetapi juga kemampuan mempengaruhi
untuk memahami aspek-aspek psikologis
orang lain yang dipimpinnya (Goleman,
1999).
Kecakapan
negosiasi
dalam
menyelesaikan konflik juga tidak kalah
253
Didaktika, Vol.2 No.1 Maret 2007: 244—258
pentingnya. Sebagai manajer sekolah,
seorang kepala sekolah dituntut memiliki
kecakapan menegosiasikan orang-orang
atau kelompok di bawah pimpinannya yang
terlibat dalam konflik, atau menegosiasikan
aturan-aturan atau kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan dengan keberagaman
perspektif di internal komunitas sekolah.
Melalui kecakapan negosiasi kepala
sekolah, mereka yang terlibat dalam
konflik dapat saling berkomunikasi dan
berdiskusi mencari alternatif solusi yang
terbaik bagi mereka dan sekolah.
Dalam kaitan ini, Goleman (1999)
mengemukakan tiga gaya negosiasi, yaitu:
(1) pemecahan masalah, yakni berusaha
untuk menemukan solusi terbaik dengan
jalan bekerja melalui perbedaan-perbedaan
yang ada, mencari dan memecahkan
masalah, sehingga setiap orang di sekolah
dan sekolah sama-sama mencapai keuntungan. (2) kompromi, yakni bersikap
kooperatif dan asertif dengan personil
sekolah; melaksanakan upaya tawar-menawar untuk mencapai pemecahanpemecahan yang bisa diterima kedua belah
pihak, hingga tak seorangpun merasa bahwa ia menang atau kalah secara mutlak. (3)
agresi, yakni tindakan kepala sekolah
dengan memaksakan kehendaknya kepada
yang lain sesuai kewenangannya sebagai
pimpinan sekolah.
Dari ketiga gaya negosiasi tersebut, kompromi merupakan gaya yang
tampaknya paling dapat diterima oleh
kedua belah pihak, karena merupakan gaya
negosiasi yang didasarkan pada prinsip
”menang-menang” (win-win solution), tak
ada yang lebih diuntungkan atau dirugikan,
melainkan menguntungkan semua pihak
yang terlibat dalam konflik. Kondisi
”menang-menang” ini niscaya akan meniadakan alasan-alasan apapun dari pihakpihak yang berkonflik untuk melanjutkan
atau menimbulkan kembali konflik yang
ada, karena tidak ada hal yang diabaikan
ataupun dipaksakan. Semua persoalan-
persoalan yang relevan diperbincangkan
dan dibicarakan secara terbuka.
Prasyarat utama yang perlu
dimiliki kepala sekolah untuk menyelesaikan konflik sebagaimana di jelaskan di
atas, sangat memerlukan kecakapan emosional seperti kesadaran diri, kepercayaan
diri, empati dan kendali diri. Perlu
ditegaskan bahwa empati tidak berarti
harus menyerah pada tuntutan pihak lain,
demikian pula memahami perasaan orang
lain tidak harus berarti setuju dengan orang
tersebut. Karenanya, empati harus dimiliki
dan didasari oleh standar dan prinsip yang
kuat. Berpegang pada prinsip tidak berarti
mematikan empati, tetapi keduanya perlu
diintegrasikan dan diselaraskan dalam
kehidupan organisasi sekolah.
Mediasi Kepala Sekolah dalam Manajemen Konflik
Seorang manajer adalah seorang
yang di dalam sebuah organisasi tertentu
mempunyai seorang ataupun beberapa
orang bawahan. Demikian pula seorang
kepala sekolah, mempunyai bawahan yaitu
guru-guru dan pegawai tata usaha. Hal ini
berarti bahwa setiap kepala sekolah perlu
selalu menghadapi kemungkinan untuk
terlibat dalam konflik-konflik yang terjadi
sebagai mediator (pihak penengah) atau
pihak ketiga. Sebagai pihak ketiga, kepala
sekolah dapat membantu para guru atau
pegawai tata usaha untuk menyelesaikan
konflik-konflik antarpribadi atau antarkelompok yang berada di bawah kewenangannya, baik yang disebabkan karena
keberagaman di antara mereka dan atau
adanya aturan atau kebijakan baru sekolah.
Peranan kepala sekolah sebagai
mediator sangat penting, terutama untuk
membangun dan memelihara komitmen
setiap anggota komunitas sekolah melalui
penciptaan iklim organisasi sekolah.
Signifikansi penciptaan iklim organisasi
melalui mediasi kepemimpinan untuk
254
Kepimpinanan Transformasional Kepala Sekolah dalam Manajemen Konflik dengan Pendekatan
Kecerdasan Emosional pada Satuan Pendidikan Dasar (S. Adi Suparto)
membangun dan memelihara komitmen
terhadap organisasi mendapat perhatian
dalam penelitian Rostiana dan Halim
(2003b). keduanya melaporkan bahwa
iklim organisasi menunjukkan korelasi
signifikan positif dengan komitmen organisasi. Bahwa persepsi terhadap iklim
organisasi dapat memberi gambaran
berkaitan dengan keputusan karyawan
untuk berkomitmen pada organisasi.
Untuk
memainkan
peranan
sebagai mediator, kepala sekolah dapat
melaksanakan melalui dua macam pendekatan yang berbeda yaitu: (1) intervensi
secara aktif, dan (2) fasilitasi (Robbins,
1974; Winardi, 1994).
Intervensi secara aktif. Seorang
kepala sekolah melakukan aneka macam
tindakan intervensi aktif dalam upaya
menyelesaikan situasi-situasi konflik.
Upaya-upaya tersebut dapat berupa himbau
an kepada pihak yang berkonflik untuk
mengingat tujuan-tujuan luhur organisasi,
sehingga konflik bisa diminimalisasi atau
diredakan. Fasilitasi. Seorang kepala
sekolah memberikan fasilitasi tertentu
kepada mereka yang berkonflik. Pendekatan ini sangat bersifat pribadi, dan untuk
ini kepala sekolah memerlukan keterampilan komunikasi dan keterampilan interpersonal. Peranan kepala sekolah sebagai
fasilitator adalah menerapkan keterampilan
komunikasi dan keterampilan interpersonal
dengan pihak-pihak yang terlibat konflik
(Goleman, 1999; Cox & Cooper, 1998;
Bennis & Nanus, 1985).
Keterampilan komunikasi adalah
kemampuan membicarakan, mendiskusikan
perasaan secara efektif; menjadi pendengar
dan penanya yang baik; membedakan
antara apa yang dilakukan atau dikatakan
seseorang dengan reaksi atau penilaiannya
sendiri. Mendengar secara aktif, adalah
salah satu bentuk keterampilan komunikasi
yang sangat bermanfaat bagi seorang
kepala sekolah sebagai fasilitator konflik.
Kemampuan mengelola arus komunikasi
terbuka juga merupakan bentuk keterampil-
an komunikasi yang perlu dimiliki dan
ditumbuhkan dalam diri kepala sekolah,
guna menjangkau inti persoalan konflik
yang terjadi. Keterampilan-keterampilan
komunikasi seperti itu, sangat penting bagi
kepala sekolah, mengingat konflik-konflik
antarpribadi atau antarkelompok dalam
komunitas sekolah kerap kali dikomplikasi
oleh emosi-emosi tinggi, yang menyebabkan munculnya perilaku yang kelihatannya
tidak beralasan sama sekali, irrasional, atau
tidak logis bagi orang lain yang mengamatinya. Sekalipun fasilitasi dapat
dilakukan oleh pihak luar sekolah, namun
ketidaksamaan dalam bahasa komunikasi
kerap memunculkan kekhawatiran akan
timbulnya reaksi sikap permusuhan, agresi
dan timbul perasaan cemas dan takut pada
internal komunitas sekolah.
Keterampilan interpersonal adalah
kemampuan berurusan dengan orang
banyak secara diplomatis dan penuh kearifan pertimbangan. Kepala sekolah harus
berupaya menghindari terciptanya polapola hubungan interpersonal dengan
seluruh komunitas sekolah dengan tidak
mengandalkan kekuasaan semata, atau
menghindarkan diri dari ’one man show’
yang mengarah pada terciptanya suasana
kerja yang serba menakutkan. Sebaliknya,
kepala sekolah perlu mengedepankan kerja
sama fungsional, menekankan kerja sama
kesejawatan; menciptakan keadaan yang
membangkitkan rasa percaya diri pada
semua anggota komunitas sekolah. Kepala
sekolah juga berupaya menghindarkan diri
dari wacana retorika dengan cara membuktikan kemampuannya bekerja secara
profesional; dan menghindarkan diri munculnya persepsi bawahan bahwa pekerjaanpekerjaan atau tugas-tugas sekolah sebagai
sesuatu yang menjemukan atau membosankan. Bila hal ini terjadi, efektivitas kerja
individu dan sekolah sangat sulit dicapai.
Penutup
Kajian
tentang
pengelolaan
konflik di tingkat internal sekolah tetap
255
Didaktika, Vol.2 No.1 Maret 2007: 244—258
menarik dan aktual sampai kini. Konflik
terjadi bila satu atau kedua belah pihak
menunjukkan permusuhan dan menghalangi usaha masing-masing untuk mencapai sasaran. Konflik merupakan suatu
bagian yang alamiah dari proses-proses
sosial, dan terjadi di dalam semua jenis dan
tingkatan organisasi.
Terdapat berbagai macam perilaku
kepala sekolah sebagai pimpinan dan
manajer dalam mengelola konflik, di
antaranya: menengahi konflik, menjelaskan
pentingnya kerjasama, menekankan kepentingan bersama, melakukan sesi-sesi
pembentukan tim, dan lain-lain. Namun
semuanya tidak dapat menyelesaikan
konflik.
Salah satu pendekatan mutakhir
yang dapat digunakan kepala sekolah
khususnya pada satuan pendidikan dasar
yang memiliki intensitas konflik karena
faktor-faktor psikologis adalah pengelolaan
konflik melalui kepemimpinan transformasional dengan pendekatan kecerdasan
emosional.
Surabaya, 09-02-07
Daftar Rujukan
Bennis, W.G., & Nanus, B. 1985. Leaders:
The Strategies for Taking Charge. New
York: Harper & Row.
Blake, R.R., & Mouton, J.S. 1984. Solving
Costly
Organizational
Conflict:
Achieving
Intergroup
Trust,
Cooperation, and Teamwork. San
Francisco: Jossey- Bass.
Brown, L.D. 1983. Manajerial Conflict at
Organization Interface. Reading Mass:
Wasley Pub. Comp.
Cox, C.J., & Cooper, C.L. 1989. High Flyers:
An Anatomy of Manajerial Success.
Oxford: Basil Blackwell.
Goleman, D. 1995. Emotional Intelligence:
Why it can Matter More then IQ. New
York: Bantam Books.
Goleman, D. 1998. An EI-Based Theory of
Performance:
The
Emotionally
Intelligent Workplace. New York:
Consortium for Research on Emotional
Intelligence in Organizations
Goleman, D. 1999. Working with Emotional
Intellegence. New York: Bantam Books.
Hanson,
E.M.
1991.
Educational
Administration
and
Organizational
Behavior. Boston: Allyn & Bacon.
Owens, R.G. 1991. Organizational Behavior in
Education. Boston: Allyn & Bacon.
Robbin, S.P. 1974. Managing Organizational
Conflict. Englewood Cliffs, New Yersey:
Prentice - Hall, Inc.
Rostiana & Ninawati. 2003. Hubungan antara
Kecerdasan
Emosional
dengan
Persepsi Pimpinan terhadap Proses
Pengambilan
Keputusan.
Abstrak
laporan penelitian. Fakultas Psikologi
Universitas Tarumanegara. Diakses
dari:
http://www.psikologi.untar.com/psikologi
/. 2 Februari 2007.
Rostiana, & Halim, D.K. 2003a. Hubungan
antara
Kepribadian
Model
Conscientiousness
dan
Gaya
Menangani Konflik: Suatu Studi Pada
Grup Perusahaan X Divisi Manufaktur.
Abstrak laporan penelitian. Fakultas
Psikologi Universitas Tarumanegara.
Diakses
dari:
http://www.psikologi.untar.com/psikologi
/. 2 Februari 2007.
Rostiana, & Halim, D.K. 2003b. Hubungan
antara Motivasi Berprestasi, Iklim
Organisasi, dan Komitmen Organisasi:
Suatu Studi Pada Staf PT X, Jakarta.
Abstrak laporan penelitian. Fakultas
Psikologi Universitas Tarumanegara.
Diakses
dari:
http://www.psikologi.untar.com/psikologi
/. 2 Februari 2007.
Rostiana, &
Suyasa, P.T.Y.S. 2003.
Hubungan antara Budaya Organisasi
dengan Stres Kerja Pada Karyawan:
Suatu Studi Pada 64 Karyawan PT X Di
Jakarta. Abstrak laporan penelitian.
Fakultas
Psikologi
Universitas
Tarumanegara.
Diakses
dari:
http://www.psikologi.untar.com/psikologi
/. 2 Februari 2007.
Rostiana. 2004. Hubungan antara Kesehatan
Mental Individu dengan Efektivitas
Pengendalian Konflik Interpersonal
pada Karyawan. Abstrak laporan
penelitian.
Fakultas
Psikologi
Universitas Tarumanegara. Diakses
256
Kepimpinanan Transformasional Kepala Sekolah dalam Manajemen Konflik dengan Pendekatan
Kecerdasan Emosional pada Satuan Pendidikan Dasar (S. Adi Suparto)
dari:
http://www.psikologi.untar.com/psikologi
/. 2 Februari 2007.
Rostiana.
2006.
Hubungan
antara
Keterlibatan Kerja dengan Burnout
pada Guru Sekolah Dasar: Studi Kasus
pada Sekolah Dasar Yayasan “X”
Jakarta. Abstrak laporan penelitian.
Fakultas
Psikologi
Universitas
Tarumanegara.
Diakses
dari:
http://www.psikologi.untar.com/psikologi
/. 2 Februari 2007.
Schermerhorn, Jr., & John, R. 1986.
Management for Productivity. New
York: John Willey & Sons.
Secapramana,
L.V.H. 1999. Emotional
Intelligence.
Diakses
dari:
http://secapramana.tripod.com/
10
September 2006.
Seval, F. 2004. Qualitative Evaluation of
Emotional
Intelligence
In-Service
Program
for
Secondary
School
Teachers. University of Yildiz TechnicalIstanbul. Turkey: The Qualitative Report
Volume 9 Number 4.
Suyanto. 2001.
Kepemimpinan
Kepala
Sekolah. Jakarta: Kompas Online
Suyasa, P.T.Y.S. & Endah, S.R. 2003.
Perbedaan antara Kepribadian Tipe A
dan Tipe B dalam Cara Mengatasi
Konflik: Suatu Studi Pada Sales
Asuransi PT. Asuransi AIG Lippo Life Di
Jakarta. Abstrak laporan penelitian.
Fakultas
Psikologi
Universitas
Tarumanegara.
Diakses
dari:
http://www.psikologi.untar.com/psikologi
/. 2 Februari 2007.
Tiatri, S, & Ninawati, 2003. Hubungan antara
Locus Control, Dukungan Sosial,
dengan Stres Kerja pada Guru. Abstrak
laporan penelitian. Fakultas Psikologi
Universitas Tarumanegara. Diakses
dari:
http://www.psikologi.untar.com/psikologi
/. 2 Februari 2007.
Tiatri, S. 2003. Hubungan antara Persepsi
terhadap
Beban
Kerja
dengan
Kepuasan Kerja pada Guru Taman
Kanak-Kanak: Studi Pada Guru TK
Swasta Di Jakarta Barat. Abstrak
laporan penelitian. Fakultas Psikologi
Universitas Tarumanegara. Diakses
dari:
http://www.psikologi.untar.com/psikologi
/. 2 Februari 2007.
Tim Pengembangan Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah Ditjen Dikdasmen
Depdiknas. 2007. Indikator Kinerja
Dewan
Pendidikan
dan
Komite
Sekolah.
Diakses
dari:
http://www.depdiknas.go.id/serba_serbi/
dpks/Kinerja.htm. 2 Februari 2007.
Wahjosumidjo,
1993.
Manajemen
dan
Pengembangan
Personil.
Jakarta:
Rajawali Pers.
Walton,
R.F.
1989.
Interpersonal
Peacemaking Confrontations, and Third
Party Consultation. New York: Addison
Reading Mass.
Waruwu, F.E. & Endah, S.R. 2005. Gambaran
Faktor Pelindung Resiliensi di Sekolah
Dasar: Studi Deskriptif terhadap ennam
sekolah dasar negeri di Jakarta Pusat.
Abstrak laporan penelitian. Fakultas
Psikologi Universitas Tarumanegara.
Diakses
dari:
http://www.psikologi.untar.com/psikologi
/. 2 Februari 2007.
Wexley, K.N., & Yukl, G. 1984. Organizational
Behavior and Personnel Psychology.
Homewood: Richard D. Irwin.
Winardi. 1994. Manajemen Konflik (Konflik
Perubahan
dan
Pengembangan).
Bandung: Mandar Maju.
Yukl, G. 1994. Leadership in Organizations.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Zamralita & Ninawati. 2003. Hubungan
Tingkat Stres dengan Efektivitas
Pengambilan keputusan pada Manajer.
Abstrak laporan penelitian. Fakultas
Psikologi Universitas Tarumanegara.
Diakses
dari:
http://www.psikologi.untar.com/psikologi
/. 2 Februari 2007.
Zamralita, & Ninawati. 2004. Persepsi
terhadap Efektivitas Pimpinan dengan
Kepuasan Kerja: Studi Pada Karyawan
Bank Swasta X Cabang Daan Mogot.
Abstrak laporan penelitian. Fakultas
Psikologi Universitas Tarumanegara.
Diakses
dari:
http://www.psikologi.untar.com/psikologi
/. 2 Februari 2007.
Zamralita. 2005. Hubungan antara Self
Efficacy dan Stres Kerja Guru: Studi
pada 81 guru Sekolah Menengah
Umum (SMU) Swasta Katolik di Jakarta
Barat. Abstrak laporan penelitian.
Fakultas
Psikologi
Universitas
Tarumanegara.
Diakses
dari:
257
Didaktika, Vol.2 No.1 Maret 2007: 244—258
http://www.psikologi.untar.com/psikologi
/. 2 Februari 2007.
Zins, J.E., Bloodworth, M.R., Weissberg, R.P.,
& Walberg, H.J. 1997. The Foundations
of Socialand Emotional Learning: The
Scientific Base Linking Social and
Emotional Learning to School Success.
Mid-Atlantic
Regional
Educational
Laboratory for Student Success:
Temple University Center for Research
in Human Development and Education.
258
Download