Indonesia Dalam Bayang-Bayang Middle Income Trap Oleh Dhani Setyawan, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan* Setelah meraih pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan, banyak negara di Asia telah naik status masuk kedalam kelompok negara berpenghasilan menengah (Middle Income CountriesMIC), seperti Philipina, India, Malaysia, Thailand, Vietnam, Laos dan Indonesia (Egawa, 2013)1. Sementara itu, beberapa negara di kawasan Asia Timur saat ini sudah masuk ke dalam kelompok High Income Countries (HIC) seperti Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Pergeseran dari status negara berpenghasilan rendah menjadi menengah, akan serta merta memberikan dampak yang cepat kepada jumlah total agregat permintaan dan penawaran pada negara tersebut (Carnovale, 2012)2. Pada level tertentu, negara berpendapatan menengah akan menjadi tidak kompetitif pada sektor industri bernilai tambah (value added industries), seperti manufaktur. Industri padat karya akan mulai berpindah ke negara berupah rendah sehingga pertumbuhan ekonomi pada negara tersebut akan cenderung stagnan atau bahkan menurun. Negara berpenghasilan menengah (MIC) tidak hanya mengalami kesulitan untuk bersaing dengan low-wage countries, tapi juga kesulitan untuk bersaing dengan high-technology countries (Paus, 2011)3. Fenomena tersebut dikenal dengan perangkap pendapatan menengah (Middle Income Trap-MIT). Terdapat beberapa faktor yang umumnya menyebabkan suatu negara masuk kedalam MIT. Beberapa studi menyebutkan bahwa faktor rendahnya dukungan infrastruktur, ketidakberdayaan membangun kemandirian pangan serta perlindungan sosial merupakan faktor penyebab selain tentunya faktor Sumber Daya Manusia (SDM), birokrasi, dan supremasi hukum yang juga menjadi faktor penentu. Saat ini besaran Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia per kapita mencapai USD4.790, yang membuat Indonesia masuk kedalam kelompok lower middle income countries. Negara yang tergolong dalam level ini akan mengerahkan segala daya dan upaya untuk beralih menjadi negara berpenghasilan tinggi dengan tingkat PDB per kapita lebih dari USD11.750. Namun, banyak negara mengalami kesulitan untuk mencapai target tersebut bahkan mengalami stagnasi dalam pertumbuhan PDB-nya, dimana hal ini diakibatkan oleh salah satunya peningkatan biaya tenaga kerja serta penurunan produktivitas. Terkait dengan itu, Indonesia kini sedang berpacu dengan waktu dalam rangka meningkatkan sektor manufakturnya dan berupaya memperkuat supply-side economy-nya, guna menghindar dari perangkap tersebut. Indonesia menuju High Income Countries (HIC) Salah satu prasyarat utama agar Indonesia dapat bermigrasi ke negara dengan klasifikasi pendapatan tinggi adalah kuatnya kapabilitas industri. Industri yang kuat akan secara langsung memperbaiki struktur neraca perdagangan dan pola penyerapan tenaga kerja yang pada akhirnya akan mendorong peningkatan pendapatan per kapita (Bank Indonesia, 2013)4. Selama beberapa kurun waktu terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia telah menjadi salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara dengan rata-rata 6% per tahun selama periode 2009 s.d. 2013, inflasi juga dapat dikendalikan pada level rata-rata 6% s.d. 7%. Selain itu, dua lembaga credit rating agencies juga telah meningkatkan level Indonesia menjadi investment-grade level. Namun demikian, banyak pihak menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi yang baik tersebut hanya dikendalikan oleh sektor jasa dan komoditas, tidak melalui sektor manufaktur. Dalam beberapa hal, Indonesia telah terbukti berhasil dan mampu menarik sejumlah investor. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), besaran investasi asing langsung (Foreign Direct Investment) telah meningkat hampir dua kali lipat pada periode tahun terakhir, dimana lembaga pemeringkat kredit seperti Fitch Ratings dan Moody`s telah menaikkan status Indonesia menjadi investment grade. Beberapa langkah utama yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk memperbaiki iklim investasi di berbagai daerah di Indonesia adalah melalui penyederhanaan prosedur bisnis, perbaikan peraturan dan kebijakan terkait investasi, pengembangan sistem logistik nasional, perbaikan sistem informasi untuk proses ekspor dan impor, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Selain itu, Pemerintah Indonesia juga telah menyusun berbagai paket insentif dalam bentuk tax allowance dan tax holiday untuk beberapa sektor usaha strategis yang dianggap penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing. Namun demikian berdasarkan data World Bank (2013)5, disebutkan bahwa Indonesia saat ini masih berada pada peringkat 128 dari keseluruhan 185 negara yang disurvei dalam kriteria kemudahan melakukan bisnis (ease of doing business). Studi tersebut juga menunjukkan bahwa dalam kriteria kemudahan memulai bisnis (ease of starting a business), Indonesia masih berada pada peringkat 166. Hal ini diantaranya dikarenakan birokrasi Indonesia masih menerapkan banyak prosedur untuk usaha baru yang mencapai 9 prosedur yang membutuhkan waktu sampai dengan 47 hari kerja. Posisi Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan beberapa negara tetangga seperti Philipina, Vietnam, Thailand, Malaysia dan Singapura. Oleh karena itu dalam beberapa tahun terakhir, prioritas utama Indonesia haruslah berupaya untuk memperbaiki iklim investasi. Indonesia memiliki potensi yang besar untuk beralih menjadi HIC, karena didukung oleh beberapa faktor seperti fundamental ekonomi yang baik, Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah dan juga jumlah populasi penduduk yang besar. Secara demografis Indonesia didukung oleh tingginya jumlah kelompok usia kerja yang dapat berkontribusi bagi perekonomian nasional. Berdasarkan data Bank Dunia, lebih dari 60% total populasi penduduk Indonesia berusia dibawah 39 tahun, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki jumlah penduduk usia produktif yang signifikan. Studi Bank Dunia menyebutkan bahwa pola demografi dengan banyaknya jumlah proporsi penduduk usia kerja yang signifikan memberikan sejumlah demografic dividend bagi Indonesia karena faktor tersebut dapat membantu kinerja perekonomian. Namun demikian, disebutkan juga bahwa Indonesia tidak akan bisa melompat menjadi HIC apabila hanya bergantung kepada SDA dan murahnya harga tenaga kerja. Pertumbuhan Indonesia sangat menjanjikan, namun tidak bisa dipungkiri terdapat beberapa faktor risiko yang bisa menempatkan Indonesia ke dalam perangkap pendapatan menengah. Untuk itu, pemerintahan Indonesia perlu memperbaiki sistem ekonomi yang sudah berjalan. Para pembuat kebijakan harus bisa melakukan transformasi struktural dan memunculkan berbagai inovasi guna memperoleh manfaat yang optimal dari sumber pertumbuhan yang ada saat ini. Indonesia tidak bisa lagi hanya bergantung kepada SDA serta tenaga kerja murah, karena pada tingkatan tertentu spillover effect dari sumber pertumbuhan tersebut akan habis. Peningkatan kapasitas dan kompetensi SDM melalui pembangunan sistem pendidikan menengah dan tersier untuk menghasilkan SDM terampil dan profesional. SDM terampil merupakan unsur tak terpisahkan dari upaya meningkatkan value added dari sektor jasa dan manufaktur. Melalui perbaikan HRD (Human Resource Development) dan R&D (Research and Development) transformasi pembangunan dapat dijalankan dengan baik. Dalam hal ini tentunya peran seluruh stakeholder harus diperkuat. Pemerintah harus menyediakan anggaran yang cukup untuk meningkatkan SDM-nya. Namun di sisi lain, sektor swasta juga harus dilibatkan. Berbagai studi menyebutkan bahwa buruknya infrastruktur Indonesia merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan high cost economy dimana industri harus menanggung beban biaya logistik yang sangat besar. Infrastruktur dapat dikatakan sebagai lokomotif penggerak pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Perbaikan di sektor infrastruktur tentunya dapat mendorong minat investasi asing dan domestik. Keberadaan infrastruktur yang memadai akan berkontribusi kepada kelancaran distribusi barang dan jasa antarwilayah, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat, mengurangi angka kemiskinan dan mewujudkan stabilisasi makro ekonomi dan yang terpenting lagi dapat menghindarkan Indonesia dari perangkap pendapatan menengah. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja Egawa, Akio (2013). Will Income Inequality Cause a Middle-Income Trap in Asia?. Bruegel Working Paper 2013/06, October 2013. 1 Maria Carnovale, (2012). Developing Countries and the Middle-Income Trap: Predetermined to Fall?. New York University, May 2012. 2 Paus, Eva (2011): Latin America's Middle Income Trap. In Americas Quarterly 5 (1), checked on 24/01/2013 3 Bank Indonesia, (2013). Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional. Laporan Nusantara, Volume 8 Nomer 3, Oktober 2013. 4 World Bank (2013a), Doing Business 2013: Smarter Regulations for Small and Medium-Size Enterprises, World Bank, Washington, D.C. 5