Hubungan Sub Etnik pada Suku Minahasa Menggunakan

advertisement
Abstract
There have been many studies conducted to explain large scale human genetic
relationships within a wide range of areas of the world, as well as studies linking
culture and genetic variation in the Asia and Pacific region, including Indonesia.
Ethnic group of Minahasan tribe in North Celebes show similarity and diversity in
their values and expression, such as language. They are recognized until now.
Similar studies for many communities in eastern Indonesia have been conducted,
but more attention needed, because of the diversity of cultures, genetic and
historical trajectory. Study of genetic relationships using molecular markers provide
a strong possible response to interpret what's behind the relations of human cultures
and biodiversity in the Minahasa. This study aimed to describe of diversity and
genetic relationships based on molecular marker searches for several family name
in Minahasa that represent the names of families in this area. Molecular markers are
used that have been identified for the M9 Austronesian region. M9 is a molecular
marker haplotypes kromosome Y that can be used in tracing kinship relations based
on the inheritance of men. Cultural markers in this study using the similarity and
differences in certain basic words of several major ethnic sub is in Minahasa. The
method used the determination of the respondent, the isolation of DNA from saliva,
PCR amplification, sequencing DNA, data analysis with MEGA 4. The results
obtained from the primary M9 Y chromosome can amplify target with size that can
not be distinguished. The results of sequencing and alignment produces 127 bp with
5 non-consensus nucleotides. Genetically the closest relationships are the Tombulu
and Toulour. The language and culture of the closest relationships are the Tombulu
and Tonsea.
Key Words: Austronesia, Y Chromosome, Molecular Marker M9, MEGA 4,
Minahasa
Pendahuluan
Struktur genetik populasi manusia dan dinamikanya ditentukan oleh
sejumlah hal, yakni: perkawinan yang tidak acak (non-random mating), migrasi
individual-individual antar populasi, terbentuknya kelompok kecil yang terisolasi
secara reproduktif di dalam atau terpisah dari kelompok besar (genetik drift),
diintroduksinya mutasi ke dalam suatu populasi melalui mutasi, seleksi alamiah, dan
kombinasi kesemua gaya yang disebutkan (Mielke et al., 2006).
Struktur genetik tersebut dapat dikonstruksi melalui analisis pohon asal-usul
atau studi sebaran geografis (Cavalli-Sforsa, 1997). Analisis pohon penting untuk
memahami pergerakan populasi dan perpisahannya. Pendekatan ini membutuhkan
jumlah penanda yang sangat besar (Cavalli-Sforsa, 1997); sebaliknya, studi
geografis lebih tepat diterapkan menggunakan gen atau alel tunggal. Pendekatan ini
v
dapat membantu menyingkap lokasi-lokasi asal-usul mutasi, kemungkinan kejadian
berulang, dan sifat-sifat faktor selektif yang terlibat di dalam penyebaran gen/alel
tersebut, jika ada. Dua pendekatan ini penting dalam mempelajari kejadian genetik
drift dan migrasi.
Menurut Rosenberg et al., (2002) banyak studi yang telah dilakukan untuk
memetahkan hubungan-hubungan genetik skala besar dan dalam kisaran wilayah
yang luas. Demikian pula penelitian-penelitian yang mengkaitkan kultur dan variasi
genetik di wilayah Asia dan Pasifik, termasuk Indonesia. Namun yang lebih nyata
adalah studi-studi yang bersifat lebih lokal lebih banyak diungkapkan secara kultural
melalui pendekatan antropologis seperti penelitian Belwood (1976, 2003) tentang
budaya Lapita, Collins (1997, 1982, 1996, 2010) tentang sejarah, diversitas dan
kompleksitas bahasa di Indonesia Timur dan Sneddon (1975, 1978); tentang ProtoMinahasan.
Penggunaan
penanda
molekuler,
yang
jumlahnya
sangat
banyak,
merupakan pendekatan alternatif yang tepat untuk menyingkap struktur genetik dan
dinamika populasi manusia. Pemanfaatannya untuk mempelajari struktur populasi
sejumlah etnis di Indonesia yang telah dan sedang intensif dilakukan, antara lain:
penelitian menggunakan penanda molekuker untuk daerah Nias, Sumba, dan
Papua. Pendekatan ini menjadi sangat sinergis dengan pendekatan antropologis
dalam menyingkap sejarah suatu populasi khas (Jobling & Tyler-Smith, 2003,
Lansing et al, 2007; dan Mona et al, 2009). Penelitian ini akan memberi perhatian
pada studi variasi genetik menggunakan penanda molekuler dan mengkaitkannya
dengan variasi kultural-bahasa di daerah Minahasa, Sulawesi Utara.
Etnis Minahasa awalnya terdiri atas empat sub etnis: Tombulu, Tonsea,
Tontemboan, Tontumaratas termasuk Toulour. Suku Tombulu mendiami daerah
northwestern,
Tonsea
mendiami
daerah
northeast,
Tontemboan
mendiami
southwest, dan Tontumaratas di tenggara Minahasa. Daerah-daerah ini oleh
pemerintah Belanda kemudian dipisahkan menjadi distrik (walak) yang berbedabeda. Orang Tombulu terdiri atas Sarongsong, Tombariri, Kakaskasen, dan
Manado. Orang Tonsea menjadi distrik Tonsea dan daerah Kelabat atas dan
Kelabat bawah. Orang Tontemboan atau orang Tompakewa menjadi asal-usul
Kawangkoan, Langowan, Rumoong, Sonder, dan Tompaso. Orang Tumaratas dan
vi
Toulour mendiami distrik-distrik Kakas, Remboken, Touliang, dan Toulimambot
yang mengelilingi Danau Tondano (Makaliwe, 1981).
Gambar 1. Peta Lokasi Sub Etnis Minahasa
Kehadiran beberapa sub etnis, masyarakat suku Minahasa menunjukkan
kesamaman-kesamaan nilai tertentu, tetapi juga menunjukkan keanekaragamannya
yang diakui sampai sekarang. Oleh sebab itu, daerah yang terletak di ujung jazirah
Sulawesi ini, dalam perspektif human diversity dan human genetiks adalah tempat
yang strategis untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia telah menyebar ke
berbagai tempat di Indonesia dan Pasifik (Arif dkk, 2012; Belwood, 1976). Apakah
kesamaan dan perbedaan kebudayaan, dan posisi strategis ini tergambar pula di
dalam bangunan genetik populasi sub-suku sub-suku yang mendiami daerah ini,
menjadi penting dipahami.
Dengan demikian, dalam mengkaji studi ini, dilakukan kajian studi
antropologi molekuler, yakni analisis molekuler yang digunakan untuk menentukan
vii
hubungan dalam suatu populasi dimana kesamaan dan perbedaan genetik akan
menentukan apakah populasi itu berasal dari asal geografis yang sama atau berada
dalam haplogropup yang sama. Kajian ini penting juga dalam menelusuri pola
migrasi dan pemukiman suatu populasi dan berkembang dari waktu ke waktu.
Dalam studi molekuler ini, digunakan penanda molekuler M9.
Penanda
molekuler M9 adalah penanda molekuler haplotipe kromosome Y yang dapat
dimanfaatkan dalam menelusuri hubungan hubungan kekerabatan berdasarkan
pewarisan laki-laki. Haplotipe (Haplotipe adalah potongan DNA yang berbeda
dengan runutan homologinya pada satu atau lebih pasangan basa) SNP –single
nucleotide
polymorphism--
M9
(M9
CG).
urutan
primer
forward
5‟
GCAGCATATAAAACTTTCAGG 3‟ dan reverse 5‟GAAATGCATAATGAAGTAAGCG
3‟.
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran
keanekaragaman dan hubungan genetik berdasarkan penelusuran penanda
molekuler untuk beberapa marga di Minahasa yang mewakili nama-nama keluarga
di daerah ini.
Bahan dan Metode
Bahan Penelitian
Bahan penelitian berupa Genomic DNA Mini Kit GB100 (Geneaid), PCR Kit
2G
Fast
Ready
Mix
(Kapa
Biosystem),
primer
M9
(forward:
GCAGCATATAAAACTTTCAGG, reverse: GAAATGCATAATGAAGTAAGCG), H2O
terdeionisasi, etanol absolut, etanol 95%, agarose (Vivantis), etidium bromida, 100
bp DNA ladder (Geneaid), dan sampel yang digunakan adalah air liur dari manusia.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah microcentrifuge (Sigma
Sartorius), mikropipet, tips mikropipet 1000 μl, 100 μl, 10 μl dan 20 μl dan tabung
eppendorf (1,5 ml dan 2 ml), tabung reaksi, tabung PCR 0,2 ml, neraca analitik,
mesin PCR Biometra T-personal, termoblok (Biometra), pemanas (hot plate), beaker
glass, stirrer bar, vorteks, alat elektroforesis, UV transiluminator, sarung tangan dan
kamera digital (Samsung, 14 megapixel).
Metode
Pengambilan dan Preservasi Sampel
Sampel DNA diambil dari air liur orang Minahasa yang tinggal di sub-suku
Tontemboan, Tonsea, Toulour, Tombulu, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik
viii
dan Siau yang sudah mendapat persetujuan dari yang bersangkutan (lihat tabel 1.).
Yang bersangkutan diminta meludah di tempat yang sudah disediakan ± 5-10 ml.
Tonsea
Tolour
Tombulu
Tontemboan
Tonsawang
Ponosakan
Pasan
Bantik
Siau
Rumambi
Amar
Lengkong
Pangemanan
Mantiri
Korengkeng
Wanga
Mamesah
Supit
Tulandi
Malingkas
Kading
Langi
Rumimpunu
Tabel 1. Marga-Marga Sub-etnik Masyarakat Suku Minahasa Sebagai Responden
Penelitian
Sampel air liur dikumpulkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan ethanol
95% sebanyak 4-6 ml untuk preservasi, dan disimpan dalam ice box dengan suhu
0
4 C. Sampel dibawah ke Lab.Biologi FMIPA UNSRAT Manado, dan disimpan dalam
0
freezer dengan suhu -20 C. Setelah itu, sampel disentrifus dengan kecepatan 6000
x g selama 30 detik kemudian dibuang etanolnya. Supernatan yang terbentuk
digunakan untuk ekstraksi DNA menggunakan Genomic DNA Mini Kit Geneaid
(Blood / Cultured cell).
Isolasi DNA
Sebanyak 200 µL PBS Buffer (buffer resuspensi) ditambahkan dalam pellet
kemudian divorteks selama 5 detik. Selanjutnya, ditambahkan 200 µL GB Buffer
(buffer lisis) dan divorteks sampai homogen. Sampel diinkubasi selama 15 menit
0
pada suhu 70 C menggunakan termoblok dan setiap 3 menit dibolak-balik agar
homogen. Setelah diinkubasi, sampel disentrifus dengan kecepatan 6000 x g
selama 1 menit. Pelet dibuang dan supernatan dituang ke kolom silika yang tersedia
kemudian disentrifus dengan kecepatan 6000 x g selama 30 detik, filtratnya di
buang. Selanjutnya ditambahkan 400 µL W1 Buffer (untuk pencuci protein),
disentrifus dengan kecepatan 14000 x g selama 30 detik. Filtratnya dibuang
kemudian ditambahkan Wash buffer (untuk mencuci garam-garam dalam buffer
sebelumnya) sebanyak 600 µL, sentrifus dengan kecepatan 14000 x g selama 30
detik. Kolom silika kemudian disentrifus selama 2 menit untuk proses pengeringan,
sisa filtrat dibuang. Kolom silika dipindahkan ke microtube 1,5 ml kemudian
ditambahkan Elution Buffer (EB) pada membran sebanyak 100 µL. Sebelumnya,
0
Elution Buffer sudah dipanaskan sebelumnya pada suhu 70 C. Inkubasi selama 3
ix
menit kemudian disentrifus dengan kecepatan 14000 x g selama 1 menit. Setelah
itu filtrate disimpan dalam frezer untuk proses PCR.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Setiap sampel diambil 4 µL kemudian dicampur dengan 25 µL 2X Kapa 2G
Fast Ready Mix, 2 µL, primer M9-R (10 µM), 2 µL primer M9-F (10 µM) dan 19 µL
H2O sehingga total volume akhir 50 µL. Volume akhir tersebut dibagi dalam 2
tabung PCR masing-masing 25 µL untuk memenuhi batas maksimum tiap reaksi
yang disyaratkan produsen PCR kit. Dalam tiap reaksi PCR mengandung: 1X Kapa
2G Fast Ready Mix buffer, 1X loading dye, 1,25 Unit DNA Polimerase (2G), 1,5 mM
MgCl2, 0,2 mM masing-masing dNTPs, 0,4 µM primer M9 forward, 0,4 µM primer
M9 reverse dan 2 µL Template DNA
0
Sampel di proses dengan mesin PCR Biometra T-Personal pada suhu 94 C
selama 2 menit (tahap denaturasi awal) dan dilanjutkan dengan 40 siklus PCR;
0
0
denaturasi (94 C, 15 detik) – perlekatan primer (53 C, 15 detik) – ekstensi DNA
0
0
(72 C, 5 detik). Di akhir reaksi ditambahkan tahap ekstensi DNA akhir 72 C selama
1 menit.
Visualisasi produk PCR dilakukan melalui elektroforesis dengan cara
memasukkan 9,5 µL produk PCR dalam sumur elektroforesis ditambah 100 bp DNA
ladder dengan volume yang sama, kemudian dirunning dalam gel agarosa 1,5%
selama 30-40 menit pada tegangan 100 volt. Setelah itu, dilakukan perendaman
dalam EtBr dengan konsentrasi 0,01269 mM selama 5 menit. Hasil elektroforesis
lalu dilihat dengan UV transiluminator untuk melihat pita yang terbentuk. Produk
PCR yang tersisa sebanyak 40,5 µL dipakai untuk proses perunutan (sequencing).
Beberapa sampel seperti sampel 6A dan ampel Papua merupakan rePCR
yang diambil sebanyak 1 µL dari hasil PCR yang pertama dan dicampurkan ke
dalam reaksi PCR dengan volume akhir 50 µL.
Analisis Data
Analisis data menggunakan MEGA 4. MEGA 4 (Molecular Evolutionary
Genetiks Analysis Version 4) (Tamura,K., et.all., 2008) merupakan sebuah software
yang berfungsi sebagai pengambil data dari biologi dari web NCBI dan data hasil
sekuensing, di mana data-data tersebut akan diolah untuk menyelidiki, menemukan
dan meneliti DNA dan urutan protein. MEGA 4 memiliki urutan analisis yang berisi
suatu array inputan data dan berbagai hasil explorer akan disajikan dalam bentuk
x
visual. MEGA 4 pun dapat menangani dan mengedit dari sequence data, sequence
alignment, inferred phylogenetik trees dan memperkirakan jarak terjadinya evolusi
(Tamura dkk., 2008).
Analisis Data menggunakan teknik BLAST (Basic Local Alignment Search
Tool). BLAST merupakan program untuk membandingkan urutan nukleotida atau
protein ke database dan menghitung signifikansi statistik dari urutan tersebut.
BLAST dapat digunakan juga untuk menyimpulkan hubungan fungsional dan
evolusioner antara urutan DNA serta membantu mengidentifikasi anggota keluarga
gen (http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi).
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Penentuan Responden dan Isolasi DNA
Isolasi DNA dilakukan dengan mengambil sampel ±8 ml air liur responden
laki-laki yang mewakili anak suku / sub-suku tersebut. Adapun sub-suku yang
dijadikan sampel yakni, Tontemboan, Tonsea, Tombulu, Toulour, Tonsawang,
Pasan, Ponosakan, Bantik dan Siau. Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan
Genomic DNA Mini Kit GB100 (Geneaid). Hasil visualisasi isolasi DNA melalui
elektroforesis. Hasil elektroforesis menghasilkan pita DNA yang sangat lemah. Oleh
sebab itu, hasil isolasi tetap diteruskan ke tahap amplifikasi dengan PCR.
PCR Amplification DNA Genomik Menggunakan Primer M9
Ket: IC (Tonsea); 4C (Tombulu); 6C (Toulour); 9B (Tonsawang); 7C (Tontemboan); 12B (Pasan); 10 C
(Ponosakan); 13C (Bantik); S2(Siau); C+ (Kontrol + dari Papua).
Gambar 2. Visualisasi produk PCR dari Sampel DNA Sub-etnik Minahasa dalam gel 1,5%
agarose
xi
Hasil visualisasi produk PCR menunjukkan pita-pita DNA hasil PCR dari
sub-etnis Tonsea, Tombulu, Toulour, Tonsawang, Tontemboan, Pasan, Bantik, Siau
dan Papua (sebagai kontrol +). Dari 14 sampel yang diisolasi, ada 10 sampel yang
diambil secara random untuk PCR sampel dari marga Rumimpunu (Tonsea), marga
Supit (Tombulu), marga Korengkeng (Toulour), marga Wanga (Tonsawang), Marga
Mamesah (Tontemboan), Marga Tulandi (Pasan), marga Rumambi (Bantik) dan
marga Amar (Siau). Hasil pita DNA yang ditunjukkan oleh semua sampel tidak
dapat diperbedakan ukurannya, yakni pada ukuran 100 pb – 200 pb. Hal yang sama
dengan kontrol positif dari wilayah Papua. Hasil amplifikasi PCR yang positif dengan
primer M9 mengungkapkan bahwa, primer M9 mampu menempel pada target
(sampel DNA). Tentunya, hal ini mengindikasikan bahwa sampel-sampel tersebut
berasal dari laki-laki Ras Austronesia karena penanda molekuler yang digunakan
adalal penanda molekuler dari kromosom Y wilayah Austronesia. Bukan hanya
sampel-sampel dari sub-etnik dari suku Minahasa saja, tetapi termasuk kontrol
positif dari suku Dani di Papua juga.
Perunutan (Sequencing) DNA
Hasil amplifikasi PCR hanya memberikan informasi mengenai ukuran DNA
sampel yang ada tetapi belum mampu memberikan informasi mengenai perbedaan
dan persamaan pada tingkat nukleotida. Oleh karena itu, sampel DNA dirunutkan
dan hasilnya dapat dilihat pada tabel 2.
Kode/Nama Subsuku
2A (Tonsea)
5A (Tombulu)
6A (Toulour)
PA (Papua)
Sekuens DNA
NNNNNNNNNACTGCAAGAACGGCCTAAGATGGTTGAATCCTCTTTATTTTTCTTTAATTTAGACATGTTCAAACG
CTCAATGTCTTACATACTTAGTTATGTAAGTAAGGTAGCGCTTACTTCATTATGCATTTCCA
(n=137)
NCNNNNNANNNNCTGCAAGAACGGCCTAAGATGGTTGAATGCTCTTTATTTTTCTTTAATTTAGACATGTTCAAA
CGTTCAATGTCTTACATACTTACTTATGTAAGTAAGGTAGCGCTTACTTCATTATGCATTTCATG
(n=140)
#6a_F
CCCCAAAAAAGACTGCAAGAACGGCCTAAGATGGTTGAATGCTCTTTATTTTTCTTTAATTTAGACATGTTCAAA
CGTTCAATGTCTTACATACTTAGTTATGTAAGTAAGGTAGCGCTTACTTCATTATGCATTTCAGGGGG
(n=143)
#Pa_F
CCCCCAAAAAAAATGCAAGAACGGCCTAAGATGGTTGAATCCTCTTTATTTTTCTTTAATTTAGACATGTTCAAA
CGTTCAATGTCTTACATACTTAGTTATGTAAGTAAGGTAGCGCTTACTTCATTATGCATTTCAAA
(n=140)
Keterangan: n adalah jumlah nukleotida
Tabel 1. Hasil sekuensing DNA dari Sub-etnik di Minahasa dan Kontrol positif dari Suku Dani
di Papua
xii
Dari ke-10 sampel yang telah di-PCR, hanya 4 sampel saja yang
terkualifikasi untuk proses sekuensing. Keempat sampel tersebut adalah sampel 2A
dari sub-suku Tonsea, sampel 5A dari sub-suku Tombulu, sampel 6A dari sub-suku
Toulour dan sampel PA dari Papua sebagai kontrol positif. Panjang basa nukleotida
sampel mulai dari 134-146 basa.
Ket: A=Adenin, T=Timin, G=Guanin, C=Sitosin
Gambar 3. Hasil Sekuensing DNA Sub-etnik Tolour (6a_F), Tombulu (5A), Tonsea (2A)
setelah dipotong dalam proses alignment (jumlah site ke-1 sampai site ke-127)
Dari hasil penjajaran dari ke empat potongan DNA tersebut (Lihat gambar
3.) menjadi jelas mengenai lokasi homologi dan daerah-daerah yang memiliki
perbedaan identitas nukleotida. Penilikan terhadap persaman dan perbedaan dari
ke-empat runutan yang ada didapati bahwa ke-empat runutan tersebut memiliki
tingkat homologi yang tinggi, namun dari ke 127 nukleotida yang ada didapat 5
lokasi yang memiliki perbedaan identitas nukleotida, dalam bentuk mutasi titik.
Kelima perbedaan tersebut terdapat pada lokasi-lokasi site 1, site 29, site 86, site
126 dan site 127.
Pada posisi site 1, terdapat tiga basa nukelotida C untuk sub-suku Toulour
(6A_F), Tonsea (2A) dan Tombulu (5A) sedangkan 1 basa nukleotida A untuk suku
Papua (Pa_F). Pada posisi site ke-29, untuk sub-suku Toulour (6A_F) dan sub-suku
Tombulu (5A) sama-sama memiliki basa nukleotida G sedangkan sub-suku Tonsea
(2A) dan suku Papua (Pa_F) memiliki basa nukelotida C. Pada posisi site ke-86,
terdapat 3 basa nukelotida G pada sub-suku Toulour (6A_F), Tonsea (2A) dan suku
Papua (Pa-F) sedangkan sub-suku Tombulu (5A) terdapat 1 basa nukleotida G.
Pada posisi site ke 126 terdapat 3 basa nukelotida A untuk sub etnis Toulour
(6A_F), Tombulu (5A) dan suku Papua (Pa_F) dan sub-suku Tonsea (2A) memiliki 1
xiii
basa nukleotida C. Pada posisi akhir site yaitu site ke-127, sub-suku Tonsea (2A)
dan suku Papua (Pa_F) memiliki basa nukleotida A, sub-suku Toulour (6A_F)
memiliki basa nukelotida G dan sub-suku Tombulu (5A) memiliki basa nukelotida T.
Analisis Filogenetik Berdasarkan Kesamaan dan Perbedaan Nukleotida
Perbedaan dan persamaan nukleotida dapat dilihat menggunakan analisis
pohon filogeni. Seberapa besar persamaan dan perbedaan antara sub etnis
Tonsea, Toulour dan Tombulu dalam jumlah nukleotida dapat dilihat pada Gambar
4. Nukleotida-nukelotida dari sub-suku tersebut diinput ke Mega 4 dan dianalisis
menggunakan Phylogeny Reconstruction.
Analisis pohon filogeni menggunakan MEGA 4, dapat dilihat pada Gambar
4. Dalam gambar ini, jumlah persamaan nukleotida yang paling banyak adalah sub
etnis Toulour dan sub etnis Tombulu yang berjumlah 125 pb dari 127 pb. Sub etnis
Toulour dan sub etnis Tombulu dengan sub etnis Tonsea berjumlah 124 pb
sedangkan dengan Suku Dani (Papua) berjumlah 122 pb. Hasil akhir dari proses ini
dapat diketahui tingkat kekerabatan yang paling dekat yakni antara Tombulu dan
Toulour.
Gambar 4. Hubungan Kekerabatan berdasarkan Kesamaan Jumlah Nukleotida dari
DNA Sub-etnik Tolour (6a_F), Tombulu (5A), Tonsea (2A) pada Suku Minahasa
dan Suku Dani (Pa_F) di Papua (kontrol luar)
Pembahasan
Menurut penelitian Su, et al,.(2008), jumlah kandungan DNA dalam air liur lebih
sedikit daripada kandungan DNA dalam darah. Hal ini dibuktikan dengan
pengukuran kadar DNA melalui uji spektrofotometri, yakni dari salah satu sampel
yang diambil panjang peak rata-rata dari darah adalah 1.447 sedangkan panjang
peak dari air liur adalah 842. Kurangnya kadar DNA dalam sampel dapat
mempengaruhi hasil viualisasi dari isolasi DNA. Saat dielektroforesis, tidak
munculnya pita DNA tetapi bisa diamplifikasi melalui proses PCR dan bisa
xiv
dirunutkan. Dalam pengambilan sampel air liur juga bisa dikatakan lebih efisien
ditinjau dari kajian etika, manusia sebagai objek dalam penelitian.
Penelitian yang sama di suku Papua (Numberi, 2012), menggunakan darah
sebagai material hayati dengan primer M9 sebagai penanda molekuler memberikan
hasil yang positif, dalam artian primer M9 dan DNA-nya mampu diamplifikasi melalui
PCR sehingga salah satu sampel dari suku Papua ini, menjadi kontrol positif dalam
penelitian ini.
Hasil amplifikasi PCR sangat ditentukan oleh suhu perlekatan primernya
(annealing temperature). Menurut Kayser et al., (2001), suhu perlekatan primer M9
0
adalah 54 C. Dalam penelitian ini, suhu perlekatan primer yang digunakan adalah
0
53 C selama 15 detik dalam 40x siklus. Hasil visualisasi PCR dapat dilihat pada
gambar 2. (Lihat bagian hasil). Semua sampel menunjukkan kesamaan ukuran DNA
sekitar 100-200 pb.
Elektroforesis produk akhir hasil PCR yang positif yang ditunjukkan dengan
terbentuknya berkas DNA atau pita-pita DNA efektif dalam membedakan ukuran
DNA puluhan atau ratusan basa nukleotida, tetapi tidak dapat membedakan
perbedaan-perbedaan urutan DNA pada tingkat nukleotida. Oleh sebab itu, telah
dilakukan perunutan DNA (DNA sequencing) hasil PCR dari sub etnis Tonsea,
Toulour, Tombulu dan Papua untuk mengetahui perbedaan-perbedaan DNA dari
orang-orang dari sub-etnis yang berbeda. DNA hasil PCR mewakili materil hayati
dari sub-suku sub-suku tersebut dirunut menggunakan fasilitas perunutan DNA
Genetik Science Lab. Jakarta, dengan primer M9 (Forward dan Reverse). Produk
PCR awal yang dikirim untuk dirunut masing-masing sampel 50 µL.
Hasil perunutan DNA dari keempat sampel diedit menggunakan perangkat
lunak MEGA versi ke-4. Dalam pengeditan ini, jumlah runutan DNA dipotong kurang
lebih 10 basa nukelotida di bagian awal dan akhir site. Hal ini dimaksudkan agar
terjadinya pensejajaran (alignment) antara ke-4 sampel. Jumlah nukelotida setelah
mengalami pensejajaran yaitu 127 pb. Diantara 127 pb terdapat 5 mutasi titik. Ke-5
mutasi titik ini mengintepretasikan bahwa secara genetik 100% tidak sama, tetapi
hubungan kekerabatan antar sub-etnis di Minahasa bisa dikatakan cukup tinggi
tingkat homologinya.
Menilik identitas budaya dan tingkat kekerabatan hubungan budaya dapat
ditunjukkan penanda-pendanda budaya yang mendefinisikan siapa mereka dan
siapa yang bukan anggota dari masyarakat itu.
Hubungan etnis selain karena
identitas genetik, juga diperkuat atau memiliki kesamaan-kesamaan identitas
xv
budaya. Bahasa, khusus kata-kata dasar tertentu, dishare sesama anggota etnis
tertentu, merupakan salah satu petunjuk identitas budaya dari suatu etnis.
89 Tonsea
58
Tombulu
Tolour
Tontemboan
Tonsawang
15
10
5
0
Gambar 5. Hubungan kekerabatan beberapa Sub-etnik di Suku Minahasa dilihat dari
persentase jumlah kata dasar yang sama (Tamura K, 2007).
Dalam penelitian ini, untuk membandingkan dan melengkapi studi hubungan
genetik diantara sub-suku etnis di Minahasa menggunakan penanda molekuler,
dilakukakan penilaian kesamaan fonologi dan penulisan dari kata-kata dasar.
Tingkat persamaan budaya dan bahasa yang sangat tinggi diantara sub-etnis di
Minahasa lebih khususnya untuk sub etnis Tonsea-Tombulu-Toulour dapat dilihat
dari lokasi sub-etnis ini yang saling berdekatan. Kemungkinan terjadinya integrasi
budaya dan bahasa yang sangat cepat. Beberapa suku kata dasar yang
menyatakan tingkat kesamaan yang sangat tinggi diantara sub-etnis ini dapat dilihat
pada tabel 3.
Indonesia
Ttb
Tdo
Tbl
Tsa
Tswg
manusia
tou
tou
tou
tou
tou
bapa
amang
ama‟
ama‟
ama‟
amang
mata
weren
weren
eeren
weren
wellen
kepala
ro‟kos
kokong
ulu
udu
kohong
babi
wawi
tiéy
wawi
wawi
tiéy
anjing
asu
asu
asu
asu
balle‟
belut
kosei
kasili
kasili
kasidi
kasili
monyet
wolai
woléi
wale‟
angko‟
bakayu
rambut
wu‟uk
wu‟uk
wu‟uk
wu‟uk
utah
Tabel 3. Persamaan dan Perbedaan Kata Dasar Sub Etnis Minahasa (Sneddon, 1978)
xvi
Hubungan kekerabatan antar bangsa dapat dbuktikan dengan
rekonstruksi
unsur-unsur retensi (kesamaan atau pemertahanan) maupun inovasi (perubahan)
dari bahasa asal yang disebut proto bahasa baik pada tataran fonologi, leksikon,
maupun gramatikalnya (Masrukhi, 2002). Demikian halnya dengan hubungan
kekerabatan antar sub-suku di Minahasa. Beberapa kata yang penulisannya sama
dan intonasinya sama, seperti pada kata “Tou” dibaca “Tou” (akhiran “ou” dibaca
“ow”). Adapun pada beberapa kata yang penulisannya sama tetapi penyebutannya
berbeda seperti pada kata, “walé” dibaca “em bale” (tontemboan), “walé” (e dibaca
seperti jahe)(tonsea).
Secara kultural ataupun genetik dalam konsep keanekaragaman manusia
Indonesia khususnya “Tou” Minahasa (Orang Minahasa) sangat penting disingkap
sebagai sejarah masa lalu untuk membuat pertimbangan-pertimbangan kebijakan
mengenai cultural justice, dan pendefinisian apa itu “Manusia Indonesia”. Oleh
sebab itu, upaya untuk menyingkap sifat dasar keanekaragaman kultur dan hayati
manusia Indonesia, telah dipelajari oleh banyak kalangan, antara lain Belwood,
(1976), Sneddon, (1978) Collins (1982, 1996b, 2010).
Dalam proses migrasi manusia dari daratan Asia ke Asia Tenggara, Kepulauan
Pasifik dan Australia, posisi Pulau Sulawesi berada di jalur yang strategis karena
berada di zona Wallacea, zona yang terletak antara daratan Sunda di sebelah
barat dan daratan Sahul serta gugusan pulau Pacifik di sebelah timur, dan Australia
di sebelah selatan. Dengan posisi geografis tersebut, pulau Sulawesi menjadi
wilayah lintas budaya (cross culture) dari masa plestosen sampai masa holosen.
(Simanjuntak,2008)
Di Sulawesi Utara yakni Minahasa termasuk kepulauan Talaud, kawasan ini
sangat penting hingga disebut oleh Bellwood (1976) a junction-zone antara pulaupulau di Philipina, Indonesia Timur (Borneo, Sulawesi, Halmahera), dan Mikronesia
Barat dan Melanesia. Sedangkan di Sulawesi bagian Selatan, posisinya juga
penting karena menjanjikan jawaban tentang rute migrasi manusia prasejarah ke
kawasan Nusa Tenggara dan Australia. Perjalanan migrasi ini penting dalam
menelusuri siapakah orang minahasa dalam pendekatan antropologi molekuler.
Ada dua teori dalam pembahasan ini yang digunakan untuk menjelaskan
bagaimana ras austronesia (minahasa termasuk dalam ras ini) berada di Indonesia
dalam menjelaskan “kehadiran” orang minahasa. Teori yang pertama, yang dikenal
xvii
dengan teori “Out of Taiwan”, dan karena teori ini menjelaskan, melalui bukti
arkeologi – pembuatan pottery, budaya bertanam padi, dan benda-benda Neolithic
(Early Holocene) serta bahasa yang dipakai/dibawahnya, yakni bahasa Austronesia,
(yakni the family of languages spoken in the region of Southeast Asia and Oceania,
stretching as far as Easter Island on the east and including Madagascar on the
west)- berlangsung sangat cepat dari Taiwan, ke selatan di Filipina dan SangirThalaud, daratan Sulawesi, Nusa Tenggara, menyebar ke arah timur di Indonesia
bagian timur dan Pasifik, dan ke Barat di Jawa dan Madagaskar, serta jauh ke
selatan di New Zealand (Diamond & Belwood, 2003). Diduga bahwa masyarakat
pendatang ini menggantikan atau berhibridisasi dengan masyarakat yang
sebelumnya mendiami daerah ini, yakni Austromelanesid, diduga mengalami
hentakan perubahan bahasa (language shift).
Dalam kaitannya dengan pembuktian kehadiran budaya Pottery, Bellwood
(1975) untuk pertama kali melakukan eskavasi dan penelitian arkeologis daerah
Sulawesi Utara, yakni Minahasa dan Sangir Thalaud. Studi mereka menyimpulkan
urutan sejarah panjang 8000 prasejarah. Daerah ini oleh Bellwood dipelajari karena
lokasinya yang sangat strategik, yakni bahwa kedua daerah ini merupakan daerah
penyambung antara rantai pulau-pulau di Filipina dengan utara Indonesia
(Kalimantan, Sulawesi, dan Halmahera) serta sebelahy barat Mikronesia dan
Melanesia. Sejumlah bukti arkeologis di daerah sekitarnya menunjukkan bahwa
fakta-fakta ini dapat dirunut balik ke jaman Pleistocene: Gua Niah di Sarawak, Gua
Tabon di Palawan dan Gua-gua di Timor bagian timur, serta daerah Tolean di
Sulawesi Selatan. Di Melanesia, jaman Pleistocene dapat ditelusuri di dararan tinggi
Papua, serta kebudayaan keramik suku Lapita dalam periode 1500 BC sampai
tahun 1.Semua ini diyakini berasal dari pulau di Asia Tenggara (Bellwood, 1975).
Teori yang kedua adalah teori yang dikemukakan oleh Solheim, yang
disebut teori Nusantao Maritime Trading and Communication Network (NMTCN). Inti
dari hipotesis ini adalah konsep Nusantao. Istilah Nusantao berasal dari bahasa
Austronesia dengan akar kata “nusa” yang berarti selatan dan tau/tao yang berarti
„orang”. Jadi Nusantao berarti orang-orang yang berasal dari pulau-pulau di selatan.
Pandangan NMTCN nampaknya juga didukung oleh laporan Farads (2004),
yang menunjukkan
gen FMRI, yakni penanda molekuler pada lengan panjang
kromosom X, yang menunjukkan ciri khusus wilayah timur garis Wallacea; serta
xviii
lokus fragile-X nya menunjukkan tingkat keragaman yang lebih tinggi dibandingkan
dengan mereka yang ada di daratan China dan Jepang. Hal ini memberi dugaan
sumbangan genetik masyarakat kawasan Timur Indonesia dari orang-orang asli,
sebelum kedatangan Austronesia. Kedua teori migrasi ini, masih dalam konteks
antropologi dimana keduanya masih menggunakan bukti sejarah.
Dari kedua teori ini, pola orang Minahasa lebih mengikuti teori Out Of
Taiwan, bukti-bukti sejarah seperti budaya Jar di Taiwan dan Filiphina, budaya
Kurek di Minahasa, dan budaya Lapita di Polinesia dan Melanesia memperkuat
bahwa terjadinya pergerakan budaya dari Taiwan ke bagian timur Indonesia hingga
ke pasifik. Beberapa kata dasar di Minahasa masih sama dengan di Filiphina. Tentu
saja hal ini, mengindikasikan hubungan kekerabatan antara filiphina dan minahasa
masih dekat. Hal ini juga didukung dengan keadaan demografis Minahasa dan
Filiphina yang relativ dekat.
Merujuk pada hasil penelitian ini, primer M9 yang digunakan masih terlalu
umum untuk kawasan Austronesia. Penelitian dengan 4 sampel belum mampu
menjelaskan siapkah orang minahasa dalam konsep genetika populasi tetapi
apakah mereka memiliki persamaan dan perbedaan secara genetik dan kultural, itu
bisa dipastikan ada dengan melihat hasil perunutan DNA yang mengalami 5 mutasi
titik dan hasil persamaan dan perbedaan suku kata dasar diantara sub-etnis
Minahasa.
Kedekatan secara budaya dan bahasa, belum tentu secara genetik juga
dekat. Dapat dilihat dari hasil penelitian ini, dimana secara genetik yang paling
dekat adalah Tombulu dan Toulour. Hal ini diduga karena lokasi geografis yang
relativ dekat antar kedua sub-etnis ini dan dengan lokasi yang relativ dekat ini
menyebabkan terjadinya percampuran pernikahan (intermarriage). Dari tinjauan
bahasa yang paling dekat adalah Tonsea dan Tombulu. Hal ini diduga karena
persebaran pengguna bahasa Tonsea lebih banyak tersebar di sub etnis tombulu
daripada sub etnis Toulour.
Kesimpulan
Berdasarkan studi penelitian ini dapat disimpulkan bahwa isolasi DNA
dengan material air liur orang Minahasa berhasil dilakukan. Hasil isolasi
diamplifikasi melalui PCR dengan primer M9 menunjukkan terbentuknya pita DNA
xix
yang berukuran 100-200pb mengindikasikan primer M9 positif terhadap suku
Minahasa dan Minahasa positif tergolong Ras Austronesia. Ada 4 produk PCR yang
disekuensing yaitu, sampel dari sub-suku Tonsea, Toulour, Tombulu dan kontrol
positif dari Papua dan diperoleh 127 pb yang sudah bersih (setelah dialignment dan
dipotong) dan terdapat 5 posisi yang tidak konsensus di tingkat nukleotida. Secara
genetik yang paling dekat hubungan kekerabatannya yaitu Tombulu dan Toulour.
Secara bahasa yang paling dekat hubungan kekerabatannya yaitu Tombulu dan
Tonsea.
Saran
Dalam penelitian ini masih ada kekurangan-kekurangan sehingga, beberapa
pertimbangan untuk penelitian selanjutnya adalah sekuensing dapat dilakukan lebih
dari 1 kali untuk menghindari kesalahan pengkodean. Air liur sebagai material hayati
lebih efisien dalam menggunakan manusia sebagai objek penelitian ditinjau dari
segi etika. Jumlah sampel perlu diperbanyak tetapi tetap memperhatikan galur
murni sampel. Jumlah air liur dapat lebih diperbanyak sehingga visualisasi dengan
elektroforesis bisa maksimal. Perlu adanya marker spesifik untuk daerah minahasa
atau wilayah sulawesi secara umum.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yesus berkat kasih dan
penyertaan-Nya, skripsi ini boleh terselesaikan. Penulis juga menyampaikan terima
kasih kepada Beasiswa Unggulan P3SWOT yang sudah memberikan dana hibah
dalam penelitian ini. Terima kasih juga buat pembimbing skripsi Jubhar Ch.
Mangimbulude, M.Sc., yang sudah membimbing penulis baik dalam penelitian dan
penulisan skripsi dan Ir. Ferry F. Karwur, Ph.D yang sudah membantu penulis
dalam penelitian dan penulisan skripsi. Tak lupa juga ucapan terima kasih yang tak
terhingga buat semua responden sub-etnis Minahasa yang sudah bersedia menjadi
sampel penelitian dan Beivy J. Kolondam, M.Sc yang sudah membantu dalam
penelitian di Lab. Biologi Unsrat Manado. Yang terakhir, terima kasih juga buat
Keluarga Besar Sompie-Lenzun yang sudah memberikan support baik lewat doa
dan finansial, serta kepada teman-teman dan semua pihak yang sudah membantu
baik dalam penelitian dan penulisan skripsi. “Karena Tuhanlah yang memberikan
hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian. Ia menyediakan
pertolongan bagi orang jujur dan memlihara jalan orang-orang-Nya yang
setia.” (Amsal 2:6,7a dan 8b)
xx
Daftar Pustaka
Arif, dkk., 2012. Ekspedisi Cincin Api dalam Kompas Tanggal1 September 2012.
Cavalli-Sforza LL. 1997. Genes, Peoples, and Languages. Proc. Natl. Acad. Sci.
USA. 94, 7719-7724.
Collins, J. T. 1982. Linguistic research in Maluku: A report of recent fielwork.
Oceanic
Linguistics, 21: 73-146.
Collins, J. T. 1996. Bibliografi dialek Melayu di Indonesia Timur. Kuala Lumpur:
Dewan
Bahasa dan Pustaka
Collins, J. T. 2010.
Sejarah, Diversitas dan Kompleksitas Bahasa Melayu di
Indonesia Timur. Dlm. James T. Collins & Chong Shin (Ed.), Bahasa di
Selat Makassar dan Samudera Pasifik. Bangi: Institut Alam dan Tamadun
Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Bellwood, P. 1976. Archaeological Research in Minahasa and the Talaud Islands,
Northeastern Indonesia. Asian Perspectives, XIX(2): 240-288.
Diamond J & Bellwood, P. 2003. Farmers and Their Languages: The First
Expansions. Science 300: 597-603.
Henley, David E. F. 1996. Nationalism and Regionalism in a Colonial Context:
Minahasa in the Dutch East Indies. Verhandelingen. Leiden: KITLV Press.
Hurles, M.E. et al., 2002. Y Chromosomal evidence for the origins of Oceanicspeaking peoples. Genetics 160, 289-303.
Lansing, J.S., Murray P. Cox, Sean S. Downey, Brandon M. Gabler, Brian
Hallmark, Tatiana M. Karafet, Peter Norquest, John W. Schoenfelder,
Herawati Sudoyo, Joseph C. Watkins, and Michael F. Hammer, 2007.
Coevolution of languages and genes on the island of Sumba, eastern
Indonesia. PNAS 104, 16022-16026.
Jobling MA & Tyler-Smith C, 2003. The human Y Chromosome: An Evolutionary
Marker Comes of Age. Nature Reviews 4:598-612.
xxi
Karafet, T.M., Hallmark, B., Coxl. M.P., Sudoyo, H., Downey, S., Lansing, J.S.,
Hammer, M.F. 2010. Major East-West Division Underlies Y Chromosome
Stratification across Indonesia. Mol Biol Evol 27 (8): 1833-1844
Kayser M, Brauer S, Weiss G, Schiefenhovel W, Underhill PA, Stoneking M, 2001.
Independent Histories of Human Y Chromosomes from Melanesia and
Australia. Am. J. Genet. 68:173-190.
Makaliwe, W.H. 1981. A preliminary note on genealogy and intermarriage in the
Minahasa regency, North Sulawesi Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 137, p. 245
Masrukhi, 2002. Refleksi Fonologis Protobahasa Austronesia (PAN) Pada Bahasa
Lubu (LB). Humaniora Vol XIV No.1 tahun 2002. UGM
Mielke JH, Konigsberg LW, Relethford JH, 2006. Human Biological Variation.
Oxford University Press, 2006; 418p.
Numberi, Y. 2012. Amplifikasi PCR kromosom Y dari Beberapa Suku di Papua
dengan Penanda Molekuler Primer M9G. Thesis. Universitas Kristen Satya
Wacana. Salatiga
NCBI. (http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi).
Rosenberg NA, Pritchard JK, Weber JL, Cann HM, Kidd KK, Zhivotovsky LA,
Feldman MW, 2002. Genetik structure of human population. Science
298:2381-2385.
Simanjuntak, Truman, 2008, Austronesian in Sulawesi: its origin, Diaspora, and
living tradition, dalam Truman Simanjuntak (edt.) Austronesian in Sulawesi.
CPAS, hal: 215-251
Sneddon, J. N. 1975. Tondano Phonology and Grammar. Canberra: Dept. of
Linguistics, ResearchSchool
of
Pasific
Studies,
Australian National
University.
Sneddon, J.N., (1978). Proto-minahasan: Phonology, Morfology and Wordlist.
Canberra: Dept. of Linguistics, ResearchSchool of Pasific Studies,
Australian National University.
Stefano Mona, Katharina E. Grunz, Silke Brauer, Brigitte Pakendorf, Loredana
Castrı, Herawati Sudoyo, Sangkot Marzuki, Robert H. Barnes, Jorg
Schmidtke, Mark Stoneking, and Manfred Kayser, 2009. Genetik Admixture
xxii
History of Eastern Indonesia as Revealed by Y-Chromosome and
Mitochondrial DNA Analysis. Mol. Biol. Evol. 26(8):1865–1877. 2009.
Su Jeong Park,1 Ph.D.; Jong Yeol Kim,2 M.S.; Young Geun Yang,2 Ph.D.; and
Seung Hwan Lee,1 Ph.D. 2008. Direct STR Amplification from Whole Blood
and Blood- or Saliva-Spotted FTA_ without DNA Purification*. J Forensic
Sci, March 2008, Vol. 53, No. 2
Tamura, K., Dudley, J., Nei, M., & Kumar, S., 2008, MEGA4, Arizona: Center of
Evolutionary Functional Genomics Biodesign Institute Arizona State
University.
Underhill PA, Jin L, Lin AA, Mehdi SQ, Jenkins T, Vollrath D, Davis RW, CavalliSforza LL, and Oefner PJ, 1997. Detection of Numerous Y Chromosome
Biallelic
Polymorphisms
by
Denaturing
High-Performance
Liquid
Chromatography. Genome Researh 7:996-1005.
Watuseke, F. S. 1985. En Tinatéran e Lelila'an (Kamus) Walanda-Toudano.
Jakarta: [s. n.],
Watuseke, F.S. 1985. Sketsa Tatabahasa Tondano. Jakarta: [s. n.],.
Wijsman EM & Cavalli-Sforza, LL, 1984. Migration and Genetik Population
Structure with Special Reference to Human. Ann. Rev. Ecol. Syst 15:279301
xxiii
Download