Abstract There have been many studies conducted to explain large scale human genetic relationships within a wide range of areas of the world, as well as studies linking culture and genetic variation in the Asia and Pacific region, including Indonesia. Ethnic group of Minahasan tribe in North Celebes show similarity and diversity in their values and expression, such as language. They are recognized until now. Similar studies for many communities in eastern Indonesia have been conducted, but more attention needed, because of the diversity of cultures, genetic and historical trajectory. Study of genetic relationships using molecular markers provide a strong possible response to interpret what's behind the relations of human cultures and biodiversity in the Minahasa. This study aimed to describe of diversity and genetic relationships based on molecular marker searches for several family name in Minahasa that represent the names of families in this area. Molecular markers are used that have been identified for the M9 Austronesian region. M9 is a molecular marker haplotypes kromosome Y that can be used in tracing kinship relations based on the inheritance of men. Cultural markers in this study using the similarity and differences in certain basic words of several major ethnic sub is in Minahasa. The method used the determination of the respondent, the isolation of DNA from saliva, PCR amplification, sequencing DNA, data analysis with MEGA 4. The results obtained from the primary M9 Y chromosome can amplify target with size that can not be distinguished. The results of sequencing and alignment produces 127 bp with 5 non-consensus nucleotides. Genetically the closest relationships are the Tombulu and Toulour. The language and culture of the closest relationships are the Tombulu and Tonsea. Key Words: Austronesia, Y Chromosome, Molecular Marker M9, MEGA 4, Minahasa Pendahuluan Struktur genetik populasi manusia dan dinamikanya ditentukan oleh sejumlah hal, yakni: perkawinan yang tidak acak (non-random mating), migrasi individual-individual antar populasi, terbentuknya kelompok kecil yang terisolasi secara reproduktif di dalam atau terpisah dari kelompok besar (genetik drift), diintroduksinya mutasi ke dalam suatu populasi melalui mutasi, seleksi alamiah, dan kombinasi kesemua gaya yang disebutkan (Mielke et al., 2006). Struktur genetik tersebut dapat dikonstruksi melalui analisis pohon asal-usul atau studi sebaran geografis (Cavalli-Sforsa, 1997). Analisis pohon penting untuk memahami pergerakan populasi dan perpisahannya. Pendekatan ini membutuhkan jumlah penanda yang sangat besar (Cavalli-Sforsa, 1997); sebaliknya, studi geografis lebih tepat diterapkan menggunakan gen atau alel tunggal. Pendekatan ini v dapat membantu menyingkap lokasi-lokasi asal-usul mutasi, kemungkinan kejadian berulang, dan sifat-sifat faktor selektif yang terlibat di dalam penyebaran gen/alel tersebut, jika ada. Dua pendekatan ini penting dalam mempelajari kejadian genetik drift dan migrasi. Menurut Rosenberg et al., (2002) banyak studi yang telah dilakukan untuk memetahkan hubungan-hubungan genetik skala besar dan dalam kisaran wilayah yang luas. Demikian pula penelitian-penelitian yang mengkaitkan kultur dan variasi genetik di wilayah Asia dan Pasifik, termasuk Indonesia. Namun yang lebih nyata adalah studi-studi yang bersifat lebih lokal lebih banyak diungkapkan secara kultural melalui pendekatan antropologis seperti penelitian Belwood (1976, 2003) tentang budaya Lapita, Collins (1997, 1982, 1996, 2010) tentang sejarah, diversitas dan kompleksitas bahasa di Indonesia Timur dan Sneddon (1975, 1978); tentang ProtoMinahasan. Penggunaan penanda molekuler, yang jumlahnya sangat banyak, merupakan pendekatan alternatif yang tepat untuk menyingkap struktur genetik dan dinamika populasi manusia. Pemanfaatannya untuk mempelajari struktur populasi sejumlah etnis di Indonesia yang telah dan sedang intensif dilakukan, antara lain: penelitian menggunakan penanda molekuker untuk daerah Nias, Sumba, dan Papua. Pendekatan ini menjadi sangat sinergis dengan pendekatan antropologis dalam menyingkap sejarah suatu populasi khas (Jobling & Tyler-Smith, 2003, Lansing et al, 2007; dan Mona et al, 2009). Penelitian ini akan memberi perhatian pada studi variasi genetik menggunakan penanda molekuler dan mengkaitkannya dengan variasi kultural-bahasa di daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Etnis Minahasa awalnya terdiri atas empat sub etnis: Tombulu, Tonsea, Tontemboan, Tontumaratas termasuk Toulour. Suku Tombulu mendiami daerah northwestern, Tonsea mendiami daerah northeast, Tontemboan mendiami southwest, dan Tontumaratas di tenggara Minahasa. Daerah-daerah ini oleh pemerintah Belanda kemudian dipisahkan menjadi distrik (walak) yang berbedabeda. Orang Tombulu terdiri atas Sarongsong, Tombariri, Kakaskasen, dan Manado. Orang Tonsea menjadi distrik Tonsea dan daerah Kelabat atas dan Kelabat bawah. Orang Tontemboan atau orang Tompakewa menjadi asal-usul Kawangkoan, Langowan, Rumoong, Sonder, dan Tompaso. Orang Tumaratas dan vi Toulour mendiami distrik-distrik Kakas, Remboken, Touliang, dan Toulimambot yang mengelilingi Danau Tondano (Makaliwe, 1981). Gambar 1. Peta Lokasi Sub Etnis Minahasa Kehadiran beberapa sub etnis, masyarakat suku Minahasa menunjukkan kesamaman-kesamaan nilai tertentu, tetapi juga menunjukkan keanekaragamannya yang diakui sampai sekarang. Oleh sebab itu, daerah yang terletak di ujung jazirah Sulawesi ini, dalam perspektif human diversity dan human genetiks adalah tempat yang strategis untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia telah menyebar ke berbagai tempat di Indonesia dan Pasifik (Arif dkk, 2012; Belwood, 1976). Apakah kesamaan dan perbedaan kebudayaan, dan posisi strategis ini tergambar pula di dalam bangunan genetik populasi sub-suku sub-suku yang mendiami daerah ini, menjadi penting dipahami. Dengan demikian, dalam mengkaji studi ini, dilakukan kajian studi antropologi molekuler, yakni analisis molekuler yang digunakan untuk menentukan vii hubungan dalam suatu populasi dimana kesamaan dan perbedaan genetik akan menentukan apakah populasi itu berasal dari asal geografis yang sama atau berada dalam haplogropup yang sama. Kajian ini penting juga dalam menelusuri pola migrasi dan pemukiman suatu populasi dan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam studi molekuler ini, digunakan penanda molekuler M9. Penanda molekuler M9 adalah penanda molekuler haplotipe kromosome Y yang dapat dimanfaatkan dalam menelusuri hubungan hubungan kekerabatan berdasarkan pewarisan laki-laki. Haplotipe (Haplotipe adalah potongan DNA yang berbeda dengan runutan homologinya pada satu atau lebih pasangan basa) SNP –single nucleotide polymorphism-- M9 (M9 CG). urutan primer forward 5‟ GCAGCATATAAAACTTTCAGG 3‟ dan reverse 5‟GAAATGCATAATGAAGTAAGCG 3‟. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran keanekaragaman dan hubungan genetik berdasarkan penelusuran penanda molekuler untuk beberapa marga di Minahasa yang mewakili nama-nama keluarga di daerah ini. Bahan dan Metode Bahan Penelitian Bahan penelitian berupa Genomic DNA Mini Kit GB100 (Geneaid), PCR Kit 2G Fast Ready Mix (Kapa Biosystem), primer M9 (forward: GCAGCATATAAAACTTTCAGG, reverse: GAAATGCATAATGAAGTAAGCG), H2O terdeionisasi, etanol absolut, etanol 95%, agarose (Vivantis), etidium bromida, 100 bp DNA ladder (Geneaid), dan sampel yang digunakan adalah air liur dari manusia. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah microcentrifuge (Sigma Sartorius), mikropipet, tips mikropipet 1000 μl, 100 μl, 10 μl dan 20 μl dan tabung eppendorf (1,5 ml dan 2 ml), tabung reaksi, tabung PCR 0,2 ml, neraca analitik, mesin PCR Biometra T-personal, termoblok (Biometra), pemanas (hot plate), beaker glass, stirrer bar, vorteks, alat elektroforesis, UV transiluminator, sarung tangan dan kamera digital (Samsung, 14 megapixel). Metode Pengambilan dan Preservasi Sampel Sampel DNA diambil dari air liur orang Minahasa yang tinggal di sub-suku Tontemboan, Tonsea, Toulour, Tombulu, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik viii dan Siau yang sudah mendapat persetujuan dari yang bersangkutan (lihat tabel 1.). Yang bersangkutan diminta meludah di tempat yang sudah disediakan ± 5-10 ml. Tonsea Tolour Tombulu Tontemboan Tonsawang Ponosakan Pasan Bantik Siau Rumambi Amar Lengkong Pangemanan Mantiri Korengkeng Wanga Mamesah Supit Tulandi Malingkas Kading Langi Rumimpunu Tabel 1. Marga-Marga Sub-etnik Masyarakat Suku Minahasa Sebagai Responden Penelitian Sampel air liur dikumpulkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan ethanol 95% sebanyak 4-6 ml untuk preservasi, dan disimpan dalam ice box dengan suhu 0 4 C. Sampel dibawah ke Lab.Biologi FMIPA UNSRAT Manado, dan disimpan dalam 0 freezer dengan suhu -20 C. Setelah itu, sampel disentrifus dengan kecepatan 6000 x g selama 30 detik kemudian dibuang etanolnya. Supernatan yang terbentuk digunakan untuk ekstraksi DNA menggunakan Genomic DNA Mini Kit Geneaid (Blood / Cultured cell). Isolasi DNA Sebanyak 200 µL PBS Buffer (buffer resuspensi) ditambahkan dalam pellet kemudian divorteks selama 5 detik. Selanjutnya, ditambahkan 200 µL GB Buffer (buffer lisis) dan divorteks sampai homogen. Sampel diinkubasi selama 15 menit 0 pada suhu 70 C menggunakan termoblok dan setiap 3 menit dibolak-balik agar homogen. Setelah diinkubasi, sampel disentrifus dengan kecepatan 6000 x g selama 1 menit. Pelet dibuang dan supernatan dituang ke kolom silika yang tersedia kemudian disentrifus dengan kecepatan 6000 x g selama 30 detik, filtratnya di buang. Selanjutnya ditambahkan 400 µL W1 Buffer (untuk pencuci protein), disentrifus dengan kecepatan 14000 x g selama 30 detik. Filtratnya dibuang kemudian ditambahkan Wash buffer (untuk mencuci garam-garam dalam buffer sebelumnya) sebanyak 600 µL, sentrifus dengan kecepatan 14000 x g selama 30 detik. Kolom silika kemudian disentrifus selama 2 menit untuk proses pengeringan, sisa filtrat dibuang. Kolom silika dipindahkan ke microtube 1,5 ml kemudian ditambahkan Elution Buffer (EB) pada membran sebanyak 100 µL. Sebelumnya, 0 Elution Buffer sudah dipanaskan sebelumnya pada suhu 70 C. Inkubasi selama 3 ix menit kemudian disentrifus dengan kecepatan 14000 x g selama 1 menit. Setelah itu filtrate disimpan dalam frezer untuk proses PCR. Polymerase Chain Reaction (PCR) Setiap sampel diambil 4 µL kemudian dicampur dengan 25 µL 2X Kapa 2G Fast Ready Mix, 2 µL, primer M9-R (10 µM), 2 µL primer M9-F (10 µM) dan 19 µL H2O sehingga total volume akhir 50 µL. Volume akhir tersebut dibagi dalam 2 tabung PCR masing-masing 25 µL untuk memenuhi batas maksimum tiap reaksi yang disyaratkan produsen PCR kit. Dalam tiap reaksi PCR mengandung: 1X Kapa 2G Fast Ready Mix buffer, 1X loading dye, 1,25 Unit DNA Polimerase (2G), 1,5 mM MgCl2, 0,2 mM masing-masing dNTPs, 0,4 µM primer M9 forward, 0,4 µM primer M9 reverse dan 2 µL Template DNA 0 Sampel di proses dengan mesin PCR Biometra T-Personal pada suhu 94 C selama 2 menit (tahap denaturasi awal) dan dilanjutkan dengan 40 siklus PCR; 0 0 denaturasi (94 C, 15 detik) – perlekatan primer (53 C, 15 detik) – ekstensi DNA 0 0 (72 C, 5 detik). Di akhir reaksi ditambahkan tahap ekstensi DNA akhir 72 C selama 1 menit. Visualisasi produk PCR dilakukan melalui elektroforesis dengan cara memasukkan 9,5 µL produk PCR dalam sumur elektroforesis ditambah 100 bp DNA ladder dengan volume yang sama, kemudian dirunning dalam gel agarosa 1,5% selama 30-40 menit pada tegangan 100 volt. Setelah itu, dilakukan perendaman dalam EtBr dengan konsentrasi 0,01269 mM selama 5 menit. Hasil elektroforesis lalu dilihat dengan UV transiluminator untuk melihat pita yang terbentuk. Produk PCR yang tersisa sebanyak 40,5 µL dipakai untuk proses perunutan (sequencing). Beberapa sampel seperti sampel 6A dan ampel Papua merupakan rePCR yang diambil sebanyak 1 µL dari hasil PCR yang pertama dan dicampurkan ke dalam reaksi PCR dengan volume akhir 50 µL. Analisis Data Analisis data menggunakan MEGA 4. MEGA 4 (Molecular Evolutionary Genetiks Analysis Version 4) (Tamura,K., et.all., 2008) merupakan sebuah software yang berfungsi sebagai pengambil data dari biologi dari web NCBI dan data hasil sekuensing, di mana data-data tersebut akan diolah untuk menyelidiki, menemukan dan meneliti DNA dan urutan protein. MEGA 4 memiliki urutan analisis yang berisi suatu array inputan data dan berbagai hasil explorer akan disajikan dalam bentuk x visual. MEGA 4 pun dapat menangani dan mengedit dari sequence data, sequence alignment, inferred phylogenetik trees dan memperkirakan jarak terjadinya evolusi (Tamura dkk., 2008). Analisis Data menggunakan teknik BLAST (Basic Local Alignment Search Tool). BLAST merupakan program untuk membandingkan urutan nukleotida atau protein ke database dan menghitung signifikansi statistik dari urutan tersebut. BLAST dapat digunakan juga untuk menyimpulkan hubungan fungsional dan evolusioner antara urutan DNA serta membantu mengidentifikasi anggota keluarga gen (http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi). Hasil dan Pembahasan Hasil Penentuan Responden dan Isolasi DNA Isolasi DNA dilakukan dengan mengambil sampel ±8 ml air liur responden laki-laki yang mewakili anak suku / sub-suku tersebut. Adapun sub-suku yang dijadikan sampel yakni, Tontemboan, Tonsea, Tombulu, Toulour, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik dan Siau. Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan Genomic DNA Mini Kit GB100 (Geneaid). Hasil visualisasi isolasi DNA melalui elektroforesis. Hasil elektroforesis menghasilkan pita DNA yang sangat lemah. Oleh sebab itu, hasil isolasi tetap diteruskan ke tahap amplifikasi dengan PCR. PCR Amplification DNA Genomik Menggunakan Primer M9 Ket: IC (Tonsea); 4C (Tombulu); 6C (Toulour); 9B (Tonsawang); 7C (Tontemboan); 12B (Pasan); 10 C (Ponosakan); 13C (Bantik); S2(Siau); C+ (Kontrol + dari Papua). Gambar 2. Visualisasi produk PCR dari Sampel DNA Sub-etnik Minahasa dalam gel 1,5% agarose xi Hasil visualisasi produk PCR menunjukkan pita-pita DNA hasil PCR dari sub-etnis Tonsea, Tombulu, Toulour, Tonsawang, Tontemboan, Pasan, Bantik, Siau dan Papua (sebagai kontrol +). Dari 14 sampel yang diisolasi, ada 10 sampel yang diambil secara random untuk PCR sampel dari marga Rumimpunu (Tonsea), marga Supit (Tombulu), marga Korengkeng (Toulour), marga Wanga (Tonsawang), Marga Mamesah (Tontemboan), Marga Tulandi (Pasan), marga Rumambi (Bantik) dan marga Amar (Siau). Hasil pita DNA yang ditunjukkan oleh semua sampel tidak dapat diperbedakan ukurannya, yakni pada ukuran 100 pb – 200 pb. Hal yang sama dengan kontrol positif dari wilayah Papua. Hasil amplifikasi PCR yang positif dengan primer M9 mengungkapkan bahwa, primer M9 mampu menempel pada target (sampel DNA). Tentunya, hal ini mengindikasikan bahwa sampel-sampel tersebut berasal dari laki-laki Ras Austronesia karena penanda molekuler yang digunakan adalal penanda molekuler dari kromosom Y wilayah Austronesia. Bukan hanya sampel-sampel dari sub-etnik dari suku Minahasa saja, tetapi termasuk kontrol positif dari suku Dani di Papua juga. Perunutan (Sequencing) DNA Hasil amplifikasi PCR hanya memberikan informasi mengenai ukuran DNA sampel yang ada tetapi belum mampu memberikan informasi mengenai perbedaan dan persamaan pada tingkat nukleotida. Oleh karena itu, sampel DNA dirunutkan dan hasilnya dapat dilihat pada tabel 2. Kode/Nama Subsuku 2A (Tonsea) 5A (Tombulu) 6A (Toulour) PA (Papua) Sekuens DNA NNNNNNNNNACTGCAAGAACGGCCTAAGATGGTTGAATCCTCTTTATTTTTCTTTAATTTAGACATGTTCAAACG CTCAATGTCTTACATACTTAGTTATGTAAGTAAGGTAGCGCTTACTTCATTATGCATTTCCA (n=137) NCNNNNNANNNNCTGCAAGAACGGCCTAAGATGGTTGAATGCTCTTTATTTTTCTTTAATTTAGACATGTTCAAA CGTTCAATGTCTTACATACTTACTTATGTAAGTAAGGTAGCGCTTACTTCATTATGCATTTCATG (n=140) #6a_F CCCCAAAAAAGACTGCAAGAACGGCCTAAGATGGTTGAATGCTCTTTATTTTTCTTTAATTTAGACATGTTCAAA CGTTCAATGTCTTACATACTTAGTTATGTAAGTAAGGTAGCGCTTACTTCATTATGCATTTCAGGGGG (n=143) #Pa_F CCCCCAAAAAAAATGCAAGAACGGCCTAAGATGGTTGAATCCTCTTTATTTTTCTTTAATTTAGACATGTTCAAA CGTTCAATGTCTTACATACTTAGTTATGTAAGTAAGGTAGCGCTTACTTCATTATGCATTTCAAA (n=140) Keterangan: n adalah jumlah nukleotida Tabel 1. Hasil sekuensing DNA dari Sub-etnik di Minahasa dan Kontrol positif dari Suku Dani di Papua xii Dari ke-10 sampel yang telah di-PCR, hanya 4 sampel saja yang terkualifikasi untuk proses sekuensing. Keempat sampel tersebut adalah sampel 2A dari sub-suku Tonsea, sampel 5A dari sub-suku Tombulu, sampel 6A dari sub-suku Toulour dan sampel PA dari Papua sebagai kontrol positif. Panjang basa nukleotida sampel mulai dari 134-146 basa. Ket: A=Adenin, T=Timin, G=Guanin, C=Sitosin Gambar 3. Hasil Sekuensing DNA Sub-etnik Tolour (6a_F), Tombulu (5A), Tonsea (2A) setelah dipotong dalam proses alignment (jumlah site ke-1 sampai site ke-127) Dari hasil penjajaran dari ke empat potongan DNA tersebut (Lihat gambar 3.) menjadi jelas mengenai lokasi homologi dan daerah-daerah yang memiliki perbedaan identitas nukleotida. Penilikan terhadap persaman dan perbedaan dari ke-empat runutan yang ada didapati bahwa ke-empat runutan tersebut memiliki tingkat homologi yang tinggi, namun dari ke 127 nukleotida yang ada didapat 5 lokasi yang memiliki perbedaan identitas nukleotida, dalam bentuk mutasi titik. Kelima perbedaan tersebut terdapat pada lokasi-lokasi site 1, site 29, site 86, site 126 dan site 127. Pada posisi site 1, terdapat tiga basa nukelotida C untuk sub-suku Toulour (6A_F), Tonsea (2A) dan Tombulu (5A) sedangkan 1 basa nukleotida A untuk suku Papua (Pa_F). Pada posisi site ke-29, untuk sub-suku Toulour (6A_F) dan sub-suku Tombulu (5A) sama-sama memiliki basa nukleotida G sedangkan sub-suku Tonsea (2A) dan suku Papua (Pa_F) memiliki basa nukelotida C. Pada posisi site ke-86, terdapat 3 basa nukelotida G pada sub-suku Toulour (6A_F), Tonsea (2A) dan suku Papua (Pa-F) sedangkan sub-suku Tombulu (5A) terdapat 1 basa nukleotida G. Pada posisi site ke 126 terdapat 3 basa nukelotida A untuk sub etnis Toulour (6A_F), Tombulu (5A) dan suku Papua (Pa_F) dan sub-suku Tonsea (2A) memiliki 1 xiii basa nukleotida C. Pada posisi akhir site yaitu site ke-127, sub-suku Tonsea (2A) dan suku Papua (Pa_F) memiliki basa nukleotida A, sub-suku Toulour (6A_F) memiliki basa nukelotida G dan sub-suku Tombulu (5A) memiliki basa nukelotida T. Analisis Filogenetik Berdasarkan Kesamaan dan Perbedaan Nukleotida Perbedaan dan persamaan nukleotida dapat dilihat menggunakan analisis pohon filogeni. Seberapa besar persamaan dan perbedaan antara sub etnis Tonsea, Toulour dan Tombulu dalam jumlah nukleotida dapat dilihat pada Gambar 4. Nukleotida-nukelotida dari sub-suku tersebut diinput ke Mega 4 dan dianalisis menggunakan Phylogeny Reconstruction. Analisis pohon filogeni menggunakan MEGA 4, dapat dilihat pada Gambar 4. Dalam gambar ini, jumlah persamaan nukleotida yang paling banyak adalah sub etnis Toulour dan sub etnis Tombulu yang berjumlah 125 pb dari 127 pb. Sub etnis Toulour dan sub etnis Tombulu dengan sub etnis Tonsea berjumlah 124 pb sedangkan dengan Suku Dani (Papua) berjumlah 122 pb. Hasil akhir dari proses ini dapat diketahui tingkat kekerabatan yang paling dekat yakni antara Tombulu dan Toulour. Gambar 4. Hubungan Kekerabatan berdasarkan Kesamaan Jumlah Nukleotida dari DNA Sub-etnik Tolour (6a_F), Tombulu (5A), Tonsea (2A) pada Suku Minahasa dan Suku Dani (Pa_F) di Papua (kontrol luar) Pembahasan Menurut penelitian Su, et al,.(2008), jumlah kandungan DNA dalam air liur lebih sedikit daripada kandungan DNA dalam darah. Hal ini dibuktikan dengan pengukuran kadar DNA melalui uji spektrofotometri, yakni dari salah satu sampel yang diambil panjang peak rata-rata dari darah adalah 1.447 sedangkan panjang peak dari air liur adalah 842. Kurangnya kadar DNA dalam sampel dapat mempengaruhi hasil viualisasi dari isolasi DNA. Saat dielektroforesis, tidak munculnya pita DNA tetapi bisa diamplifikasi melalui proses PCR dan bisa xiv dirunutkan. Dalam pengambilan sampel air liur juga bisa dikatakan lebih efisien ditinjau dari kajian etika, manusia sebagai objek dalam penelitian. Penelitian yang sama di suku Papua (Numberi, 2012), menggunakan darah sebagai material hayati dengan primer M9 sebagai penanda molekuler memberikan hasil yang positif, dalam artian primer M9 dan DNA-nya mampu diamplifikasi melalui PCR sehingga salah satu sampel dari suku Papua ini, menjadi kontrol positif dalam penelitian ini. Hasil amplifikasi PCR sangat ditentukan oleh suhu perlekatan primernya (annealing temperature). Menurut Kayser et al., (2001), suhu perlekatan primer M9 0 adalah 54 C. Dalam penelitian ini, suhu perlekatan primer yang digunakan adalah 0 53 C selama 15 detik dalam 40x siklus. Hasil visualisasi PCR dapat dilihat pada gambar 2. (Lihat bagian hasil). Semua sampel menunjukkan kesamaan ukuran DNA sekitar 100-200 pb. Elektroforesis produk akhir hasil PCR yang positif yang ditunjukkan dengan terbentuknya berkas DNA atau pita-pita DNA efektif dalam membedakan ukuran DNA puluhan atau ratusan basa nukleotida, tetapi tidak dapat membedakan perbedaan-perbedaan urutan DNA pada tingkat nukleotida. Oleh sebab itu, telah dilakukan perunutan DNA (DNA sequencing) hasil PCR dari sub etnis Tonsea, Toulour, Tombulu dan Papua untuk mengetahui perbedaan-perbedaan DNA dari orang-orang dari sub-etnis yang berbeda. DNA hasil PCR mewakili materil hayati dari sub-suku sub-suku tersebut dirunut menggunakan fasilitas perunutan DNA Genetik Science Lab. Jakarta, dengan primer M9 (Forward dan Reverse). Produk PCR awal yang dikirim untuk dirunut masing-masing sampel 50 µL. Hasil perunutan DNA dari keempat sampel diedit menggunakan perangkat lunak MEGA versi ke-4. Dalam pengeditan ini, jumlah runutan DNA dipotong kurang lebih 10 basa nukelotida di bagian awal dan akhir site. Hal ini dimaksudkan agar terjadinya pensejajaran (alignment) antara ke-4 sampel. Jumlah nukelotida setelah mengalami pensejajaran yaitu 127 pb. Diantara 127 pb terdapat 5 mutasi titik. Ke-5 mutasi titik ini mengintepretasikan bahwa secara genetik 100% tidak sama, tetapi hubungan kekerabatan antar sub-etnis di Minahasa bisa dikatakan cukup tinggi tingkat homologinya. Menilik identitas budaya dan tingkat kekerabatan hubungan budaya dapat ditunjukkan penanda-pendanda budaya yang mendefinisikan siapa mereka dan siapa yang bukan anggota dari masyarakat itu. Hubungan etnis selain karena identitas genetik, juga diperkuat atau memiliki kesamaan-kesamaan identitas xv budaya. Bahasa, khusus kata-kata dasar tertentu, dishare sesama anggota etnis tertentu, merupakan salah satu petunjuk identitas budaya dari suatu etnis. 89 Tonsea 58 Tombulu Tolour Tontemboan Tonsawang 15 10 5 0 Gambar 5. Hubungan kekerabatan beberapa Sub-etnik di Suku Minahasa dilihat dari persentase jumlah kata dasar yang sama (Tamura K, 2007). Dalam penelitian ini, untuk membandingkan dan melengkapi studi hubungan genetik diantara sub-suku etnis di Minahasa menggunakan penanda molekuler, dilakukakan penilaian kesamaan fonologi dan penulisan dari kata-kata dasar. Tingkat persamaan budaya dan bahasa yang sangat tinggi diantara sub-etnis di Minahasa lebih khususnya untuk sub etnis Tonsea-Tombulu-Toulour dapat dilihat dari lokasi sub-etnis ini yang saling berdekatan. Kemungkinan terjadinya integrasi budaya dan bahasa yang sangat cepat. Beberapa suku kata dasar yang menyatakan tingkat kesamaan yang sangat tinggi diantara sub-etnis ini dapat dilihat pada tabel 3. Indonesia Ttb Tdo Tbl Tsa Tswg manusia tou tou tou tou tou bapa amang ama‟ ama‟ ama‟ amang mata weren weren eeren weren wellen kepala ro‟kos kokong ulu udu kohong babi wawi tiéy wawi wawi tiéy anjing asu asu asu asu balle‟ belut kosei kasili kasili kasidi kasili monyet wolai woléi wale‟ angko‟ bakayu rambut wu‟uk wu‟uk wu‟uk wu‟uk utah Tabel 3. Persamaan dan Perbedaan Kata Dasar Sub Etnis Minahasa (Sneddon, 1978) xvi Hubungan kekerabatan antar bangsa dapat dbuktikan dengan rekonstruksi unsur-unsur retensi (kesamaan atau pemertahanan) maupun inovasi (perubahan) dari bahasa asal yang disebut proto bahasa baik pada tataran fonologi, leksikon, maupun gramatikalnya (Masrukhi, 2002). Demikian halnya dengan hubungan kekerabatan antar sub-suku di Minahasa. Beberapa kata yang penulisannya sama dan intonasinya sama, seperti pada kata “Tou” dibaca “Tou” (akhiran “ou” dibaca “ow”). Adapun pada beberapa kata yang penulisannya sama tetapi penyebutannya berbeda seperti pada kata, “walé” dibaca “em bale” (tontemboan), “walé” (e dibaca seperti jahe)(tonsea). Secara kultural ataupun genetik dalam konsep keanekaragaman manusia Indonesia khususnya “Tou” Minahasa (Orang Minahasa) sangat penting disingkap sebagai sejarah masa lalu untuk membuat pertimbangan-pertimbangan kebijakan mengenai cultural justice, dan pendefinisian apa itu “Manusia Indonesia”. Oleh sebab itu, upaya untuk menyingkap sifat dasar keanekaragaman kultur dan hayati manusia Indonesia, telah dipelajari oleh banyak kalangan, antara lain Belwood, (1976), Sneddon, (1978) Collins (1982, 1996b, 2010). Dalam proses migrasi manusia dari daratan Asia ke Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik dan Australia, posisi Pulau Sulawesi berada di jalur yang strategis karena berada di zona Wallacea, zona yang terletak antara daratan Sunda di sebelah barat dan daratan Sahul serta gugusan pulau Pacifik di sebelah timur, dan Australia di sebelah selatan. Dengan posisi geografis tersebut, pulau Sulawesi menjadi wilayah lintas budaya (cross culture) dari masa plestosen sampai masa holosen. (Simanjuntak,2008) Di Sulawesi Utara yakni Minahasa termasuk kepulauan Talaud, kawasan ini sangat penting hingga disebut oleh Bellwood (1976) a junction-zone antara pulaupulau di Philipina, Indonesia Timur (Borneo, Sulawesi, Halmahera), dan Mikronesia Barat dan Melanesia. Sedangkan di Sulawesi bagian Selatan, posisinya juga penting karena menjanjikan jawaban tentang rute migrasi manusia prasejarah ke kawasan Nusa Tenggara dan Australia. Perjalanan migrasi ini penting dalam menelusuri siapakah orang minahasa dalam pendekatan antropologi molekuler. Ada dua teori dalam pembahasan ini yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana ras austronesia (minahasa termasuk dalam ras ini) berada di Indonesia dalam menjelaskan “kehadiran” orang minahasa. Teori yang pertama, yang dikenal xvii dengan teori “Out of Taiwan”, dan karena teori ini menjelaskan, melalui bukti arkeologi – pembuatan pottery, budaya bertanam padi, dan benda-benda Neolithic (Early Holocene) serta bahasa yang dipakai/dibawahnya, yakni bahasa Austronesia, (yakni the family of languages spoken in the region of Southeast Asia and Oceania, stretching as far as Easter Island on the east and including Madagascar on the west)- berlangsung sangat cepat dari Taiwan, ke selatan di Filipina dan SangirThalaud, daratan Sulawesi, Nusa Tenggara, menyebar ke arah timur di Indonesia bagian timur dan Pasifik, dan ke Barat di Jawa dan Madagaskar, serta jauh ke selatan di New Zealand (Diamond & Belwood, 2003). Diduga bahwa masyarakat pendatang ini menggantikan atau berhibridisasi dengan masyarakat yang sebelumnya mendiami daerah ini, yakni Austromelanesid, diduga mengalami hentakan perubahan bahasa (language shift). Dalam kaitannya dengan pembuktian kehadiran budaya Pottery, Bellwood (1975) untuk pertama kali melakukan eskavasi dan penelitian arkeologis daerah Sulawesi Utara, yakni Minahasa dan Sangir Thalaud. Studi mereka menyimpulkan urutan sejarah panjang 8000 prasejarah. Daerah ini oleh Bellwood dipelajari karena lokasinya yang sangat strategik, yakni bahwa kedua daerah ini merupakan daerah penyambung antara rantai pulau-pulau di Filipina dengan utara Indonesia (Kalimantan, Sulawesi, dan Halmahera) serta sebelahy barat Mikronesia dan Melanesia. Sejumlah bukti arkeologis di daerah sekitarnya menunjukkan bahwa fakta-fakta ini dapat dirunut balik ke jaman Pleistocene: Gua Niah di Sarawak, Gua Tabon di Palawan dan Gua-gua di Timor bagian timur, serta daerah Tolean di Sulawesi Selatan. Di Melanesia, jaman Pleistocene dapat ditelusuri di dararan tinggi Papua, serta kebudayaan keramik suku Lapita dalam periode 1500 BC sampai tahun 1.Semua ini diyakini berasal dari pulau di Asia Tenggara (Bellwood, 1975). Teori yang kedua adalah teori yang dikemukakan oleh Solheim, yang disebut teori Nusantao Maritime Trading and Communication Network (NMTCN). Inti dari hipotesis ini adalah konsep Nusantao. Istilah Nusantao berasal dari bahasa Austronesia dengan akar kata “nusa” yang berarti selatan dan tau/tao yang berarti „orang”. Jadi Nusantao berarti orang-orang yang berasal dari pulau-pulau di selatan. Pandangan NMTCN nampaknya juga didukung oleh laporan Farads (2004), yang menunjukkan gen FMRI, yakni penanda molekuler pada lengan panjang kromosom X, yang menunjukkan ciri khusus wilayah timur garis Wallacea; serta xviii lokus fragile-X nya menunjukkan tingkat keragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang ada di daratan China dan Jepang. Hal ini memberi dugaan sumbangan genetik masyarakat kawasan Timur Indonesia dari orang-orang asli, sebelum kedatangan Austronesia. Kedua teori migrasi ini, masih dalam konteks antropologi dimana keduanya masih menggunakan bukti sejarah. Dari kedua teori ini, pola orang Minahasa lebih mengikuti teori Out Of Taiwan, bukti-bukti sejarah seperti budaya Jar di Taiwan dan Filiphina, budaya Kurek di Minahasa, dan budaya Lapita di Polinesia dan Melanesia memperkuat bahwa terjadinya pergerakan budaya dari Taiwan ke bagian timur Indonesia hingga ke pasifik. Beberapa kata dasar di Minahasa masih sama dengan di Filiphina. Tentu saja hal ini, mengindikasikan hubungan kekerabatan antara filiphina dan minahasa masih dekat. Hal ini juga didukung dengan keadaan demografis Minahasa dan Filiphina yang relativ dekat. Merujuk pada hasil penelitian ini, primer M9 yang digunakan masih terlalu umum untuk kawasan Austronesia. Penelitian dengan 4 sampel belum mampu menjelaskan siapkah orang minahasa dalam konsep genetika populasi tetapi apakah mereka memiliki persamaan dan perbedaan secara genetik dan kultural, itu bisa dipastikan ada dengan melihat hasil perunutan DNA yang mengalami 5 mutasi titik dan hasil persamaan dan perbedaan suku kata dasar diantara sub-etnis Minahasa. Kedekatan secara budaya dan bahasa, belum tentu secara genetik juga dekat. Dapat dilihat dari hasil penelitian ini, dimana secara genetik yang paling dekat adalah Tombulu dan Toulour. Hal ini diduga karena lokasi geografis yang relativ dekat antar kedua sub-etnis ini dan dengan lokasi yang relativ dekat ini menyebabkan terjadinya percampuran pernikahan (intermarriage). Dari tinjauan bahasa yang paling dekat adalah Tonsea dan Tombulu. Hal ini diduga karena persebaran pengguna bahasa Tonsea lebih banyak tersebar di sub etnis tombulu daripada sub etnis Toulour. Kesimpulan Berdasarkan studi penelitian ini dapat disimpulkan bahwa isolasi DNA dengan material air liur orang Minahasa berhasil dilakukan. Hasil isolasi diamplifikasi melalui PCR dengan primer M9 menunjukkan terbentuknya pita DNA xix yang berukuran 100-200pb mengindikasikan primer M9 positif terhadap suku Minahasa dan Minahasa positif tergolong Ras Austronesia. Ada 4 produk PCR yang disekuensing yaitu, sampel dari sub-suku Tonsea, Toulour, Tombulu dan kontrol positif dari Papua dan diperoleh 127 pb yang sudah bersih (setelah dialignment dan dipotong) dan terdapat 5 posisi yang tidak konsensus di tingkat nukleotida. Secara genetik yang paling dekat hubungan kekerabatannya yaitu Tombulu dan Toulour. Secara bahasa yang paling dekat hubungan kekerabatannya yaitu Tombulu dan Tonsea. Saran Dalam penelitian ini masih ada kekurangan-kekurangan sehingga, beberapa pertimbangan untuk penelitian selanjutnya adalah sekuensing dapat dilakukan lebih dari 1 kali untuk menghindari kesalahan pengkodean. Air liur sebagai material hayati lebih efisien dalam menggunakan manusia sebagai objek penelitian ditinjau dari segi etika. Jumlah sampel perlu diperbanyak tetapi tetap memperhatikan galur murni sampel. Jumlah air liur dapat lebih diperbanyak sehingga visualisasi dengan elektroforesis bisa maksimal. Perlu adanya marker spesifik untuk daerah minahasa atau wilayah sulawesi secara umum. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yesus berkat kasih dan penyertaan-Nya, skripsi ini boleh terselesaikan. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Beasiswa Unggulan P3SWOT yang sudah memberikan dana hibah dalam penelitian ini. Terima kasih juga buat pembimbing skripsi Jubhar Ch. Mangimbulude, M.Sc., yang sudah membimbing penulis baik dalam penelitian dan penulisan skripsi dan Ir. Ferry F. Karwur, Ph.D yang sudah membantu penulis dalam penelitian dan penulisan skripsi. Tak lupa juga ucapan terima kasih yang tak terhingga buat semua responden sub-etnis Minahasa yang sudah bersedia menjadi sampel penelitian dan Beivy J. Kolondam, M.Sc yang sudah membantu dalam penelitian di Lab. Biologi Unsrat Manado. Yang terakhir, terima kasih juga buat Keluarga Besar Sompie-Lenzun yang sudah memberikan support baik lewat doa dan finansial, serta kepada teman-teman dan semua pihak yang sudah membantu baik dalam penelitian dan penulisan skripsi. “Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian. Ia menyediakan pertolongan bagi orang jujur dan memlihara jalan orang-orang-Nya yang setia.” (Amsal 2:6,7a dan 8b) xx Daftar Pustaka Arif, dkk., 2012. Ekspedisi Cincin Api dalam Kompas Tanggal1 September 2012. Cavalli-Sforza LL. 1997. Genes, Peoples, and Languages. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 94, 7719-7724. Collins, J. T. 1982. Linguistic research in Maluku: A report of recent fielwork. Oceanic Linguistics, 21: 73-146. Collins, J. T. 1996. Bibliografi dialek Melayu di Indonesia Timur. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Collins, J. T. 2010. Sejarah, Diversitas dan Kompleksitas Bahasa Melayu di Indonesia Timur. Dlm. James T. Collins & Chong Shin (Ed.), Bahasa di Selat Makassar dan Samudera Pasifik. Bangi: Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia. Bellwood, P. 1976. Archaeological Research in Minahasa and the Talaud Islands, Northeastern Indonesia. Asian Perspectives, XIX(2): 240-288. Diamond J & Bellwood, P. 2003. Farmers and Their Languages: The First Expansions. Science 300: 597-603. Henley, David E. F. 1996. Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in the Dutch East Indies. Verhandelingen. Leiden: KITLV Press. Hurles, M.E. et al., 2002. Y Chromosomal evidence for the origins of Oceanicspeaking peoples. Genetics 160, 289-303. Lansing, J.S., Murray P. Cox, Sean S. Downey, Brandon M. Gabler, Brian Hallmark, Tatiana M. Karafet, Peter Norquest, John W. Schoenfelder, Herawati Sudoyo, Joseph C. Watkins, and Michael F. Hammer, 2007. Coevolution of languages and genes on the island of Sumba, eastern Indonesia. PNAS 104, 16022-16026. Jobling MA & Tyler-Smith C, 2003. The human Y Chromosome: An Evolutionary Marker Comes of Age. Nature Reviews 4:598-612. xxi Karafet, T.M., Hallmark, B., Coxl. M.P., Sudoyo, H., Downey, S., Lansing, J.S., Hammer, M.F. 2010. Major East-West Division Underlies Y Chromosome Stratification across Indonesia. Mol Biol Evol 27 (8): 1833-1844 Kayser M, Brauer S, Weiss G, Schiefenhovel W, Underhill PA, Stoneking M, 2001. Independent Histories of Human Y Chromosomes from Melanesia and Australia. Am. J. Genet. 68:173-190. Makaliwe, W.H. 1981. A preliminary note on genealogy and intermarriage in the Minahasa regency, North Sulawesi Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 137, p. 245 Masrukhi, 2002. Refleksi Fonologis Protobahasa Austronesia (PAN) Pada Bahasa Lubu (LB). Humaniora Vol XIV No.1 tahun 2002. UGM Mielke JH, Konigsberg LW, Relethford JH, 2006. Human Biological Variation. Oxford University Press, 2006; 418p. Numberi, Y. 2012. Amplifikasi PCR kromosom Y dari Beberapa Suku di Papua dengan Penanda Molekuler Primer M9G. Thesis. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga NCBI. (http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi). Rosenberg NA, Pritchard JK, Weber JL, Cann HM, Kidd KK, Zhivotovsky LA, Feldman MW, 2002. Genetik structure of human population. Science 298:2381-2385. Simanjuntak, Truman, 2008, Austronesian in Sulawesi: its origin, Diaspora, and living tradition, dalam Truman Simanjuntak (edt.) Austronesian in Sulawesi. CPAS, hal: 215-251 Sneddon, J. N. 1975. Tondano Phonology and Grammar. Canberra: Dept. of Linguistics, ResearchSchool of Pasific Studies, Australian National University. Sneddon, J.N., (1978). Proto-minahasan: Phonology, Morfology and Wordlist. Canberra: Dept. of Linguistics, ResearchSchool of Pasific Studies, Australian National University. Stefano Mona, Katharina E. Grunz, Silke Brauer, Brigitte Pakendorf, Loredana Castrı, Herawati Sudoyo, Sangkot Marzuki, Robert H. Barnes, Jorg Schmidtke, Mark Stoneking, and Manfred Kayser, 2009. Genetik Admixture xxii History of Eastern Indonesia as Revealed by Y-Chromosome and Mitochondrial DNA Analysis. Mol. Biol. Evol. 26(8):1865–1877. 2009. Su Jeong Park,1 Ph.D.; Jong Yeol Kim,2 M.S.; Young Geun Yang,2 Ph.D.; and Seung Hwan Lee,1 Ph.D. 2008. Direct STR Amplification from Whole Blood and Blood- or Saliva-Spotted FTA_ without DNA Purification*. J Forensic Sci, March 2008, Vol. 53, No. 2 Tamura, K., Dudley, J., Nei, M., & Kumar, S., 2008, MEGA4, Arizona: Center of Evolutionary Functional Genomics Biodesign Institute Arizona State University. Underhill PA, Jin L, Lin AA, Mehdi SQ, Jenkins T, Vollrath D, Davis RW, CavalliSforza LL, and Oefner PJ, 1997. Detection of Numerous Y Chromosome Biallelic Polymorphisms by Denaturing High-Performance Liquid Chromatography. Genome Researh 7:996-1005. Watuseke, F. S. 1985. En Tinatéran e Lelila'an (Kamus) Walanda-Toudano. Jakarta: [s. n.], Watuseke, F.S. 1985. Sketsa Tatabahasa Tondano. Jakarta: [s. n.],. Wijsman EM & Cavalli-Sforza, LL, 1984. Migration and Genetik Population Structure with Special Reference to Human. Ann. Rev. Ecol. Syst 15:279301 xxiii