BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ikan Kerapu

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Ikan Kerapu
Secara umum ikan kerapu merupakan jenis ikan yang habitatnya berada di
bagian dasar perairan dan menyukai hidup di perairan karang, diantaranya celahcelah karang atau di dalam gua di dasar perairan. Kerapu hidup di dasar perairan
yang cukup dalam (pada kedalaman 70 meter) hingga pada dasar perairan dangkal
atau di muara sungai. Kerapu adalah ikan yang hidup di air yang berkadar garam
tinggi (air laut) hingga air yang berkadar garam rendah (payau) (Soesilo dan
Budiman, 2002).
Kerapu termasuk jenis ikan berkepala besar dengan mulut lebar dan tubuh
yang ditutupi sisik-sisik kecil. Terdapat duri-duri pada bagian tepi operculum
yang bergerigi. Sirip punggungnya memiliki dua bagian yang terpisah, bagian
pertama sirip punggung berbentuk duri-duri. Semua jenis kerapu mempunyai tiga
duri pada sirip dubur dan pada bagian tepi operculum (Kordi, 2001). Ikan kerapu
dinamakan grouper diperdagangan internasional dan dipasarkan dalam keadaan
hidup (Sunyoto dan Mustahal, 2002). Menurut Tupper dan Sheriff (2008) ikan
kerapu dapat mencapai panjang maksimum mulai dari hanya 12 cm (Paranthias
colonus) sampai 3 m (Epinephelus lanceolatus) (Gambar 2.1).
Kerapu adalah predator utama pada habitat terumbu karang dengan
pertumbuhan lambat, reproduksi lambat, berukuran besar dan jangka hidup yang
panjang cenderung membuat kerapu mengalami ekploitasi berlebihan. Ikan kerapu
6
memangsa jenis ikan-ikan kecil, plankton hewani (zooplankton), udang-udangan,
invertebrata dan hewan-hewan kecil lainnya (Tupper dan Sheriff, 2008).
Ikan
kerapu
merupakan
jenis
ikan
yang
bersifat
hermaphrodit
protogynous, dimana proses deferensiasi gonadnya berjalan dari fase betina ke
fase jantan atau ikan kerapu ini memulai siklus hidupnya sebagai ikan betina
kemudian berubah menjadi ikan jantan. Ikan kerapu juga bersifat hermaphrodit
synchroni artinya di dalam satu individu, gonadnya terdiri dari gamet jantan dan
gamet betina yang dapat mengalami maturasi dalam waktu yang sama sehingga
memungkinkan ikan melakukan pembuahan sendiri (Widodo, 2006).
Gambar 2.1 Epinephelus lanceolatus (Allen et al., 2003)
2.2 Klasifikasi Ikan Kerapu
Menurut Tucker (1999), kerapu termasuk dalam klas Actinopterygii, ordo
Perciformes, familia Serranidae yang diklasifikasikan dalam 14 genus dari
subfamili Epinephelinae dimana terdiri dari setengah spesies dalam famili
7
Serranidae. Ikan kerapu di dunia terdiri dari 159 spesies, sebanyak 46 spesies
terdapat di perairan Asia Tenggara, sementara di perairan Indonesia terdapat 39
spesies (Habibi et al. 2011). Spesies yang tersebar di perairan Indonesia ini terdiri
atas 7 genus yaitu Aethaloperca, Anyperodon, Cephalopholis, Cromileptes,
Epinephelus, Plectropomus, dan Variola (Rahayu, 2009). Identifikasi ikan kerapu
macan (Epinephelus fuscoguttatus) pertama kali dilakukan oleh Weber dan
Beaufort tahun 1931. Mereka mendeskripsikan ikan tersebut mempunyai bentuk
badan yang memanjang gepeng (compressed) dan agak membulat. Kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus) memiliki mulut lebar serong ke atas dengan bibir
bawah menonjol ke atas. Sirip ekor umumnya membulat (rounded). Sirip
punggung memanjang dimana bagian sirip yang keras berjumlah kurang lebih
sama dengan sirip lunaknya. Sirip keras bagian punggung berjumlah enam sampai
delapan buah, sedangkan bagian dubur berjumlah tiga buah. Warna dasar sawo
matang, perut bagian bawah agak keputihan dan pada badannya terdapat titik
berwarna merah kecoklatan serta tampak empat sampai enam baris warna gelap
yang melintang hingga keekornya. Terdapat bintik putih kecoklatan pada kepala,
badan, sirip dan bintik hitam pada bagian dorsal dan posterior. Badan ditutupi
sisik kecil mengkilap dan memiliki corak loreng (Antoro et al., 2004).
2.3 Ekologi dan Kebutuhan Lingkungan
Pada umumnya, dalam siklus hidup kerapu yang masih muda menyukai
perairan karang yang dangkal dengan kedalaman 0,5 – 3 meter, selanjutnya ketika
dewasa berenang ke perairan yang lebih dalam antara 7 – 40 meter. Telur dan
8
larva bersifat pelagis sedangkan kerapu muda hingga dewasa bersifat demersal.
Habitat favorit larva dan ikan kerapu muda adalah perairan pantai dengan dasar
pasir berkarang yang banyak ditumbuhi padang lamun (Tampubolon dan Mulyadi,
1989).
Parameter-parameter ekologis yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu
yaitu temperatur antara 24-31˚C, salinitas antara 30-33 ppt, kandungan oksigen
terlarut > 3,5 ppm dan derajat keasaman (pH) antara 7,8 – 8 (Yoshimitsu dan
Hiramatsu, 1986). Jika terjadi perubahan pH yang tidak terlalu mendadak, ikan
kerapu dapat mentolerir perubahan tersebut dengan batas maksimal toleransi pH
adalah 11 dan batas minimal adalah 4. Perairan dengan kondisi seperti ini, pada
umumnya terdapat di perairan terumbu karang (Asmawi, 1986).
2.4 Keragaman Genetik
Keragaman genetik merupakan keragaman sifat yang terdapat dalam
satu jenis. Keragaman genetik merujuk kepada berbagai macam informasi
genetik yang terkandung di dalam setiap makhluk hidup. Keragaman genetik
terjadi di dalam dan di antara populasi-populasi spesies serta di antara spesiesspesies. Keragaman genetik dapat muncul akibat adanya gen-gen dengan daerah
penyandi dan bukan penyandi yang berbeda-beda akibat proses mutasi (Sofro,
1994). Hal ini dapat mempengaruhi fenotipe suatu organisme yang dapat dilihat
dengan mata telanjang serta mempengaruhi reaksi individu terhadap lingkungan
tertentu. Selain mutasi, variasi genetik dari suatu populasi juga dapat diakibatkan
9
oleh adanya rekombinasi dan migrasi gen dari satu tempat ke tempat lain
(Suryanto, 2003).
Keragaman genetik memegang peranan penting dalam proses adaptasi dan
kelangsungan hidup suatu spesies (Frankham, 2005). Hilang atau berkurangnya
keragaman genetik dapat menyebabkan dampak yang fatal terhadap pertumbuhan,
perkembangan, fertilitas serta daya tahan tubuh terhadap penyakit yang
merupakan proses yang sangat penting dalam kehidupan untuk bertahan hidup dan
bereproduksi (Soelistyowati, 1996).
2.5 Penanda Genetik
Karakteristik dari suatu organisme dapat diketahui dengan menggunakan
berbagai macam teknik diantaranya dengan menggunakan penanda atau marka.
Secara umum ada tiga marka atau penanda yang biasa digunakan dalam bidang
biologi yaitu penanda morfologi, penanda biokimia dan penanda molekuler
(Mulyadiana, 2010). Dengan berkembangnya biologi molekuler, penanda
molekuler lebih banyak digunakan untuk mengidentifikasi spesies karena
memiliki tingkat akurasi yang tinggi, tidak dipengaruhi oleh lingkungan, serta
dapat digunakan pada semua tingkat perkembangan organisme. Penanda
molekuler merupakan penanda suatu organisme yang beracuan pada polimorfisme
fragmen DNA (Sunnuck, 2000).
DNA suatu organisme terletak pada inti sel, mitokondria, dan kloroflas.
DNA mitokondria telah banyak digunakan sebagai penanda genetik karena
memiliki banyak kelebihan dibandingkan DNA inti. DNA mitokondria memiliki
10
jumlah salinan DNA yang sangat banyak dalam satu sel. Dalam satu sel biasanya
hanya terdapat 2 salinan sekuens DNA inti, dan pada sel yang sama terdapat 10010.000 salinan genom mitokondria. Oleh sebab itu, untuk mengisolasi DNA
mitokondria lebih mudah daripada mengisolasi DNA inti, terutama dari sampel
yang terdegradasi atau sampel yang rusak. Selain itu, perbedaan sekuens DNA
mitokondria antara spesies hewan yang berkerabat sangat dekat pun dapat
mencapai 5 sampai 10 kali lipat dibandingkan dengan gen DNA inti (Avise dan
Walker, 1999).
Menurut Beaumont et al. (2010) DNA mitokondria ikan tersusun atas 13
gen penyandi protein, 2 gen penyandi RNA ribosom (rRNA), 22 gen penyandi
RNA transfer (tRNA) dan 1 daerah bukan penyandi (Gambar 2.2). Salah satu gen
yang banyak digunakan sebagai penanda adalah 16S rRNA. 16S rRNA adalah
salah satu DNA mitokondria kuat yang digunakan untuk meningkatkan
identifikasi spesies (Maggio et al., 2005). Gen ini paling tepat digunakan untuk
mendeteksi keragaman genetik pada kerapu karena daerah ini berfungsi identik
pada seluruh organisme serta tersedianya database spesies kerapu di GenBank
sebagian besar terdeteksi menggunakan 16S rRNA (Craig dan Hastings, 2007 ;
Ding et al., 2006).
11
Gambar 2.2 DNA Mitokondria Ikan (Beaumont et al., 2010)
2.6 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase chain reaction (PCR) adalah satu dari teknik yang paling
banyak diaplikasikan dalam biologi molekuler. PCR dikembangkan pertama kali
pada tahun 1985 oleh Kary Mullis (Handoyo dan Rudiretna, 2001). Teknik ini
merupakan teknik perbanyakan DNA secara in-vitro. Teknik ini memungkinkan
adanya amplifikasi antara dua region DNA yang diketahui hanya di dalam tabung
reaksi tanpa perlu memasukkannya ke dalam sel (in-vivo).
PCR dilandasi oleh struktur DNA. DNA merupakan double helix yang
terdiri dari dua buah pita yang berpasangan anti-paralel antara satu dengan yang
lain dan berikatan dengan ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen terbentuk antara basabasa yang komplementer, yaitu antara basa Adenine (A) dengan Thymine (T), dan
12
Guanine (G) dengan Cytosine (C). Basa-basa itu terikat dengan molekul gula,
deoksiribosa, dan setiap satu molekul gula berikatan dengan molekul gula melalui
ikatan fosfodiester (Lisdiyanti, 1997).
Lima bahan baku yang diperlukan untuk melakukan PCR adalah DNA
tatakan yaitu DNA tempat PCR dilakukan, primer, enzim taq polimerase,
nukleotida (dNTP), dan buffer polimerase. Sampel target merupakan DNA yang
ingin diamplifikasi. Primer merupakan untai DNA pendek yang menempel pada
fragmen DNA target, serta sebagai tempat awal terjadinya replikasi. Enzim taq
polimerase berfungsi untuk replikasi DNA. Larutan dNTP (mengandung dATP,
dGTP, dCTP, dan dTTP) perlu ditambahkan agar DNA polimerase dapat
membentuk kompleks rantai baru yang komplementer. Reaksi PCR membutuhkan
suatu buffer yang mengandung MgCl2 karena aktivitas enzim polimerase
dipengaruhi oleh konsentrasi ion Mg2+. Ion Mg2+ akan menstimulasi aktivitas
enzim secara maksimal pada konsentrasi 2 mM. Jika konsentrasinya lebih tinggi,
maka dapat bersifat sebagai inhibitor (Sambrook et al., 1989).
2.7 Sekuensing DNA
Urutan basa suatu DNA dapat diketahui dengan sekuensing DNA. Ada
dua metode yang digunakan dalam sekuensing yaitu metode Sanger atau dideoxy
atau chain-terminating, dan metode Maxam-Gilbert atau chemical. Metode
sekuensing DNA yang umum digunakan saat ini adalah metode Sanger yang
bertumpu pada penggunaan analog dari rantai deoksinukleotida tripospat (dNTP)
normal (Sanger,1980).
13
Analog-analog
dideoksinukleotida
deoksinukleotida
tripospat
(ddNTP).
tripospat
yang
Analog-analog
dimaksud
ini
sama
adalah
dengan
deoksinukleotida tripospat normal, tapi tidak memiliki gugus hidroksil pada ujung
3’-nya. Ujung 5’ molekul-molekul ddNTP dapat bereaksi dengan ujung 3’ dNTP
normal pada rantai DNA yang disintesis dengan bantuan enzim DNA polimerase
yang juga bertindak sebagai pengendali reaksi, yaitu apabila sudah berikatan
dengan satu jenis ddNTP (ddATP, ddGTP, ddCTP, atau ddTTP) maka tidak ada
nukleotida lain yang dapat ditambahkan karena ujung 3’nya tidak memiliki gugus
hidroksil (Sanger, 1980).
Komponen reaksi untuk tujuan sekuensing terdiri dari potongan DNA
yang akan disekuensing, primer, campuran dNTP (dATP, dGTP, dCTP, dan
dTTP, yang salah satunya diberi label radioaktif 32P) dengan konsentrasi normal,
dan enzim polimerase. Campuran keempat bahan yang dilarutkan di dalam larutan
penyangga tersebut kemudian dibagi rata ke dalam empat tabung. Masing-masing
tabung ditambahkan ddNTP yang berbeda (ddATP, ddGTP, ddCTP, atau ddTTP)
dengan konsentrasi rendah. Campuran diinkubasi pada suhu tinggi untuk
memisahkan rantai ganda DNA, yang kemudian diikuti dengan perlakuan suhu
rendah untuk memberikan peluang primer menempel pada DNA cetakan utas
tunggal pada situs yang spesifik di ujung 5’. Enzim polimerase akan membantu
sintesis rantai DNA melalui penambahan satu per satu basa yang jenisnya
ditentukan oleh DNA cetakan, mulai dari ujung 3’ primer. Adanya dNTP pada
konsentrasi normal reaksi akan terus berlanjut, tapi jika satu kali bereaksi dengan
ddNTP maka reaksi akan berhenti. Setelah proses inkubasi berakhir terdapat hasil
14
campuran reaksi dengan berbagai ukuran panjang rantai yang berakhir dengan
molekul T pada ujung 3’ dan semuanya memiliki ujung 5’ yang sama (ujung 5’
dari primer), masing-masing dengan jumlah salinan yang banyak. Proses inkubasi
yang sama juga dilakukan pada tiga dideoksinukleotida tripospat yang lain,
masing-masing dengan memberi campuran reaksi ddCTP, ddATP, dan ddGTP
yang dapat menghentikan reaksi pada posisi C, A, dan G secara berturut-turut
(Sanger, 1980).
Empat reaksi ini masing-masing kemudian dipisahkan menggunakan
elektroforesis gel akrilamid yang memiliki resolusi tinggi. Teknik ini memisahkan
rantai berdasarkan ukuran, rantai yang berukuran lebih kecil akan bergerak lebih
cepat sedangkan yang ukuran rantainya lebih besar akan bergerak lebih lambat.
Metode ini dapat membandingkan secara akurat dan cepat, serta dapat membaca
urutan basa sampai 300 nukleotida dari ujung 3’ primer. Empat lubang sisir pada
gel
akrilamid
masing-masing
akan
diisi
oleh
hasil
reaksi
dengan
dideoksinukleotida berbeda. Setiap sampel akan membentuk pola pita yang
berbeda dan ukuran nukleotida yang lebih pendek ditunjukkan oleh pita yang
terletak di bagian bawah gel. Urutan basa hasil sekuens kemudian dibaca dari
dasar (ujung 5’) ke atas (ujung 3’) gel (Gilbert, 2000).
Metode lanjutan dari metode dasar diatas telah dikembangkan Smith et al.
(1986). Mereka mengembangkan metode untuk analisis sekuens DNA dimana
deteksi fluoresensi dari fragmen DNA dicapai dengan cara terikatnya suatu
fluorophore secara kovalen ke primer oligonukleotida yang digunakan dalam
analisis sekuens DNA enzimatik. Sebuah fluorophore dengan warna berbeda
15
digunakan untuk setiap reaksi khusus untuk basa A, C, G, dan T. Campuran reaksi
digabungkan dan dielektroforesis dalam satu tabung gel poliakrilamid. Informasi
urutan sekuens DNA dapat dibaca langsung melalui program komputer. Metode
ini disebut metode sekuensing dye terminator.
2.8 Bioinformatika
Bioinformatika
merupakan
penerapan
teknik
komputasional
yang
digunakan untuk mempelajari dan mengorganisir informasi yang berhubungan
dengan biologi molekuler, struktur biokimia, enzimologi, biologi sel, fisiologi dan
patologi. Bioinformatika dapat mengorganisir dan menganalisis data kompleks
dengan ilmu biologi molekuler dan biokimia modern berdasarkan pada informasi
yang tersimpan di dalam sekuens nukleotida DNA. Dalam hal ini untuk dapat
menerapkan ilmu bioinformatika diperlukan program software yang terhubung
dengan situs web melalui internet. Salah satu organisasi yang memiliki situs web
sumber informasi perkembangan biologi molekuler adalah NCBI (National
Center for Biotechnology Information) dengan fasilitas Genbank yang merupakan
database sekuens nukleotida lebih dari 100.000 organisme (Mizrachi, 2002).
NCBI merupakan organisasi yang diperkenalkan pada tahun 1988 di
Amerika Serikat yang bertujuan untuk memproses data secara komputerisasi
dalam bidang biomedis dan biokimia. NCBI sendiri secara spesifik bergerak
dalam bidang pengembangan alat analisis untuk membantu dalam mengerti proses
genetik dan molekuler maupun sifat-sifat patogenik. Organisasi NCBI mempunyai
tujuan pokok, yaitu meliputi 1) menciptakan mekanisme otomatis yang dapat
16
menganalisis dan menyimpan data yang berhubungan dengan biologi molekuler,
genetik dan biokimia, 2) memfasilitasi penggunaan database dan perangkat lunak
yang tersedia kepada komunitas sains, seperti peneliti, pekerja dalam bidang
kesehatan maupun mahasiswa, 3) mengkoordinasi komunitas sains global di
seluruh dunia untuk mengumpulkan data genetik dan 4) melakukan penelitian
baru yang berhubungan dengan analisis struktur dan hubungan fungsional antara
molekul biologis secara komputerisasi (Rashidi dan Buehler, 2000). Situs NCBI
dapat diakses di www.ncbi.nlm.nih.gov.
Salah satu tools yang tersedia dalam situs NCBI ini adalah BLAST.
BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) merupakan suatu alat pencari yang
dapat menyesuaikan dan mencari sekuens yang mirip dengan sekuens meragukan
yang kita miliki melalui perbandingan sekuens pada DNA database GenBank
dalam waktu singkat. Ada 5 program utama dalam BLAST, yaitu : nucleotide
blast berfungsi untuk membandingkan suatu sekuens nukleotida yang kita miliki
dengan
database
sekuens
nukleotida,
protein
blast
berfungsi
untuk
membandingkan suatu sekuens asam amino yang kita miliki dengan database
sekuens protein, blastx berfungsi untuk membandingkan produk translasi konsep
6-frame sebuah sekuens nukleotida (translated nucleotide) yang kita miliki
dengan database sekuens protein , tblastn berfungsi untuk membandingkan suatu
sekuens protein yang kita miliki dengan database sekuens nukleotida yang secara
dinamis ditranslasi pada semua pembacaan 6 frame, dan tblastx berfungsi untuk
membandingkan suatu translasi 6 frame dari nukleotida (NCBI, 2009).
17
Salah satu software yang memiliki fitur BLAST adalah Molecular
Evolutionary Genetics Analysis (MEGA). MEGA adalah software yang
terintegrasi untuk melakukan sequence alignment, menyimpulkan pohon
filogenetik, web berbasis pengumpulan database, memperkirakan tingkat evolusi
molekuler, menyimpulkan urutan keturunan, dan pengujian hipotesis evolusi.
MEGA dikembangkan dengan tujuan menyediakan sentris biologi, perangkat alat
yang terintegrasi untuk analisis statistik DNA dan data sekuens protein dari sudut
pandang evolusi (Tamura et al., 2011). MEGA5 adalah perkembangan paling
terbaru dari software MEGA.
2.9 Kerangka Konsep
Indonesia
terletak
dalam
wilayah
Coral
Triangle
dengan
megabiodiversitas yang termasuk tertinggi di dunia (Carpenter et al., 2010).
Megabiodiversitas terjadi karena variasi spesies dan variasi genetik dalam spesies
yang sama sangat tinggi. Tingginya variasi spesies tersebut disebabkan oleh
banyak faktor, diantaranya adalah faktor wilayah, temperatur, stabilitas
lingkungan, dan proses geologikal (Mora et al., 2003).
Perairan Karangasem adalah perairan yang kaya akan terumbu karang.
Terumbu karang adalah indikator adanya ikan kerapu karena kerapu merupakan
jenis ikan yang habitatnya berada di bagian dasar perairan dan menyukai hidup di
perairan karang, diantaranya celah-celah karang atau di dalam gua di dasar
perairan (Soesilo dan Budiman, 2002). Parameter-parameter ekologis yang cocok
untuk ikan kerapu yaitu temperatur 24-31˚C, salinitas antara 30-33 ppt,
18
kandungan oksigen terlarut > 3,5 ppm dan derajat keasaman (pH) antara 7,8 – 8
(Yoshimitsu dan Hiramatsu, 1986). Perairan dengan kondisi ekologis tersebut
pada umumnya terdapat pada perairan terumbu karang (Asmawi, 1986). Dengan
kondisi ekologis tersebut memungkinkan tingginya variasi spesies kerapu di
perairan Karangasem.
Variasi spesies kerapu yang tinggi diikuti dengan variasi genetik kerapu
yang tinggi pula. Variasi genetik dapat muncul akibat adanya gen-gen dengan
daerah penyandi dan bukan penyandi yang berbeda-beda akibat proses mutasi
(Sofro, 1994). Hal ini dapat mempengaruhi fenotipe suatu organisme yang dapat
dilihat dengan mata telanjang serta mempengaruhi reaksi individu terhadap
lingkungan tertentu. Selain mutasi, variasi genetik dari suatu populasi juga dapat
diakibatkan oleh adanya rekombinasi dan migrasi gen dari satu tempat ke tempat
lain (Suryanto, 2003).
Identifikasi spesies ikan kerapu pada pasar ikan Karangasem dilakukan
dengan menggunakan analisis 16S rRNA DNA mitokondria. DNA mitokondria
saat ini banyak digunakan sebagai penanda molekuler untuk populasi genetik
kerapu. Menurut Avise dan Walker (1999), DNA mitokondria baik digunakan
untuk identifikasi spesies karena memiliki jumlah DNA yang sangat banyak
sehingga memudahkan untuk isolasi DNAnya. Salah satu gen DNA mitokondria
adalah 16S rRNA. 16S rRNA adalah salah satu DNA mitokondria kuat yang
digunakan untuk meningkatkan identifikasi spesies (Maggio et al., 2005). Gen ini
paling tepat digunakan untuk mendeteksi keragaman genetik pada kerapu karena
daerah ini berfungsi identik pada seluruh organisme serta tersedianya database
19
spesies kerapu di GenBank sebagian besar terdeteksi menggunakan 16S rRNA
(Craig dan Hastings, 2007 ; Ding et al., 2006). Dari pemikiran diatas maka spesies
dan genetik kerapu di pasar ikan Karangasem berdasarkan analisis 16S rRNA
DNA mitokondria adalah bervariasi.
Download