Jurnal POLITEIA|Vol.2.|No.1|Januari 2010 Kartika Retno Pratiwi ISSN: 0216-9290 Partisipasi Politik Elit Desa Partisipasi Politik Elit Desa dalam Pembentukan Kabupaten Bandung Barat (Tahun 1998-2007) KARTIKA RETNO PRATIWI Peneliti Muda - Lembaga Administrasi Negara, Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 Fax: 021-3864634, Email: [email protected] Diterima tanggal 31 April 2009/Disetujui tanggal 3 Mei 2009 This study analyses about the role and participation of village elite to make new regional government administration (Kabupaten). Focused on Kabupaten Bandung Barat this study using the elite approach to analyses who is the main actor inside this agenda. The result seen that village elite (bureaucratic, entrepreneurs) have three method to make the new regional government administration especially at case of Kabupaten Bandung Barat as a new regional enfoldment. In this case firstly village elite using his resources like knowledge, influence, and role to show this agenda. Secondly village elite making a link with government of Jawa Barat do the lobby to get supporting from regional government (Gubernur). Thirdly village elite making a networking with elite at center government to make this agenda successful. Without the role and participation of village elite, this agenda will be failed. So, in politics the role and political participation of elite is significant variable. Keywords: Political elite, Regional enfoldment, Political participation. Pendahuluan Sejak reformasi digulirkan beberapa tahun lalu, Indonesia banyak mengalami hal penting yang mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perkembangan yang terjadi di Indonesia itu terkait dengan perubahan yang mengarah pada perbaikan iklim demokrasi yang menjamin hak setiap warga negara dalam berpartisipasi menentukan arah pembangunan di daerahnya masing-masing. Perubahan-perubahan yang terjadi juga menyangkut berbagai bentuk reformasi hubungan pusat-daerah mulai dari yang bersifat sentralisasi, regionalisasi, provinsialisasi dan lokalisasi. Meskipun demikian, pada dasarnya kecenderungan perubahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di banyak negara adalah mengarah pada desentralisasi dan otonomi daerah. 1 Dalam hubungannya dengan perubahan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih cenderung pada desentralisasi dan otonomi daerah ini, Indonesia sangat mengalami betul upaya perluasan kewenangan dan fungsi daerah yang pada hakekatnya bertujuan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan/penyediaan jasa publik di tingkat lokal. 2 1 Armida S, Alisjahbana. Manajemen Otonomi Daerah: Implementasi Desentralisasi dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, Makalah Seminar Nasional “Solusi dan Evaluasi Kritis Masa Depan Ekonomi Indonesia” yang diselenggarakan Jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Pasundan, Bandung 20 Juli 1999. 2 Ibid. 1 Jurnal POLITEIA|Vol.2.|No.1|Januari 2010 Kartika Retno Pratiwi Kemudian seiring bergulirnya reformasi, salah satu aspirasi yang sangat menonjol sejak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah adalah tuntutan untuk melakukan pemekaran daerah. Semangat otonomi daerah yang berkembang sejak terbitnya UU No. 22 tahun 1999 ini telah mendorong kesadaran dan keberdayaan masyarakat daerah untuk membangun daerah dan menigkatkan kesejahteraan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masyarakat daerah itu sendiri. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah jo PP 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah memang memberikan ruang bagi terbentuknya daerah baru. Hal ini tercermin dari antusiasme berbagai komponen masyarakat di berbagai daerah yang secara dinamis, partisipatif dan demokratis menyampaikan aspirasi menuntut pembentukan daerah otonom baru sebagai pemekaran daerah otonom induknya yang dimungkinkan berdasarkan Pasal 4, 5 dan 6 UU nomor 22 tahun 1999 dan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dengan paradigma otonomi daerah yang secara konseptual jauh lebih baik dari pada Undang-undang no. 5 tahun 1974 pada hakikatnya telah mendorong terbentuknya dinamika baru sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Seiring dengan reformasi yang digulirkan dan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan institui pemerintahan daerah baik provinsi, kabupaten maupun kota juga telah cenderung berkembang semakin demokratis dan aspiratif. Hasilnya dewasa ini daerah otonom di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin bertambah, jumlah daerah otonom kabupaten/kota bahkan propinsi tersebut tampaknya akan terus bertambah sejalan dengan aspirasi yang berkembang di berbagai daerah3. 3 Desi Fernanda, Tinjauan Kritis Terhadap Persyaratan Pembentukan, Pemekaran, Penggabungan, dan Penghapusan Daerah Otonom Berdasarkan PP NO. 129 Tahun 2001, Jurnal Desentralisasi 3 (2004), hal. 11. 2 ISSN: 0216-9290 Partisipasi Politik Elit Desa Meski pada pekembangannya, pemekaran atau pembentukan daerah otonom baru ini sekarang tidak hanya didasarkan atas tuntutan agar wilayah lebih sejahtera dan mandiri namun juga ada daerah yang ingin membentuk daerah otonom baru didasarkan pada perbedaan atau kekhususan karakter budaya dari daerah lainnya. Pada tingkat lokal dengan adanya kebijakan otonomi daerah, tampaknya secara tidak sadar telah melahirkan persoalan-persoalan yang sangat pelik. Bahkan sejujurnya gairah otonomi daerah seringkali tak bisa dibedakan dengan gairah etnisitas atau berupa kebangkitan politik etnis yang mengarah pada etnocratic local government (pemerintah lokal yang berwatak etnik). Etnik di tingkat lokal cenderung menyadari keberadaannya sebagai “yang berkuasa di daerahnya sendiri disubordinasi secara politik dan ekonomi 4. Terlepas dari apakah pemekaran daerah atau pembentukan daerah baru banyak menimbulkan persoalan, namun kita dapat memahami bahwa mainstream dari otonomi daerah adalah desentralisasi dan demokrasi. Secara luas bentuk-bentuk desentralisasi diantaranya meliputi kasus-kasus dimana orang-orang dalam institusi atau otoritas tertentu dipilih melalui pemilu termasuk juga usaha masyarakat pada level lokal mempunyai beberapa pengaruh melalui pembentukan komite-komite lokal yang ditujukan untuk meningkatkan partisipasi aktif masyarakat. Dengan kata lain dalam lingkup yang luas, demokratisasi yang terjadi di level nasional harus didesentralisasikan ke tingkat lokal. Jika tidak ada desentralisasi, maka sama saja menjauhkan pemerintah dari masyarakat dan sekaligus mempersempit akses masyarakat dalam proses politik. Demokratisasi tidak hanya mencakup masalah pemilihan umum nasional atau check and balances antara DPR dan Presiden yang terjadi di Jakarta, melainkan yang jauh lebih penting adalah praktik demokrasi di tingkat lokal, termasuk partisipasi masyarakat dalam urusan publik yang berkenaan dengan hidupnya sehari-hari 5. 4 La Ode Ida, Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal dan Clean Governemnt, (Jakarta: PSPK, 2002), hal. 34. 5 Lihat Sutoro Eko, Dinamika Desentralisasi dan Demokrasi Lokal, Makalah disajikan dalam Jurnal POLITEIA|Vol.2.|No.1|Januari 2010 Kartika Retno Pratiwi Dengan cara ini maka pelibatan sebanyak mungkin partisipasi masyarakat dapat dilakukan secara umum sejak tahap perencanaan (terutama dalam proses pengambilan keputusan), pelaksanaan pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan (eksploitasi), sampai tahap evaluasi. Bentuk keterlibatan rakyat dalam penerapan kebijakan yang biasa dikenal sebagai kebijakan bottom-up ini dapat berbentuk pemikiran, tenaga, uang, maupun material. Dengan cara ini maka para partisipant akan lebih mempunyai rasa memiliki terhadap apa yang sudah diupayakan. Seperti aspirasi pembentukan daerah ini pun sudah tentu melibatkan partisipasi banyak pihak baik pemerintah pusat maupun daerah, baik dengan alasan kemampuan atau ketidakmampuan daerah maupun alasan lain seperti politik dan ekonomi, tak terkecuali di Jawa barat khususnya di Kabupaten Bandung. Di Kabupaten Bandung, pada level lokal seperti desa, masyarakat lewat wakil atau elitenya juga mempunyai kontribusi besar melalui motivasi maupun sumber-sumber daya yang digunakan untuk mempengaruhi keputusan sebuah pembentukan daerah otonom baru. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan menelaah peranan Elit desa dalam pembentukan Kabupaten Bandung Barat. Pendekatan dan Metode Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan prilaku elit. Fokusnya pada prilaku elit desa dalam pembentukan kabupaten Bandung Barat. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan wawancara dan studi pustaka serta dokumen. Wawancara dilakukan terhadap para elit desa yang berpartisipasi dalam pembentukan Kabupaten Bandung Barat. Berkaitan dengan hal pemekaran daerah atau pembentukan daerah baru khususnya Bandung Barat, maka studi ini fokus pada kajian tentang partisipasi politik elit desa sebagai entitas lokal yang memiliki otonomi berdasarkan kultur demokrasi dalam proses pembentukan Kabupaten Bandung Barat. Studi ini juga menguraikan tentang kepentingan elit desa berpartisipasi politik dalam Lokakarya “Wawasan Pembangunan Nasional” yang diselenggarakan oleh Yayasan Bina Masyarakat Mandiri (YBM2), Bogor, 17-19 September 2003. ISSN: 0216-9290 Partisipasi Politik Elit Desa pembentukan Kabupaten Bandung Barat, upaya elit desa melakukan kontak dengan pemerintah dalam proses pembentukan Kabupaten Bandung Barat, dan sumber daya–sumber daya yang digunakan elit desa untuk mendukung pembentukan Kabupaten Bandung Barat. Desentralisasi dan Prinsip Pendelegasian Wewenang Dalam konsep desentralisasi, ada alasan bahwa untuk memiliki desentralisasi, daerah yang berbeda dalam wilayah negara memiliki kebutuhan-kebutuhan yang berbeda. Hal ini tidak hanya berarti bahwa implementasi kebijakan nasional akan berbeda dari daerah satu dengan daerah lainnya karena keadaan daerah. Pengertian desentralisasi terbagi menjadi dua: desentralisasi territorial atau kewilayahan dan desentralisasi fungsional kewilayahan berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada wilayah di dalam negara. Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan wewenang kepada organisasi fungsional (atau teknis) yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat. Desentralisasi dengan demikian adalah prinsip pendelegasian wewenang dari pusat ke bagian-bagiannya, baik bersifat kewilayahan maupun kefungsian. Prinsip ini mengacu kepada fakta adanya span of control dari setiap organisasi sehingga organisasi perlu diselenggarakan secara “bersama-sama” 6. Cohen dan Peterson 7 mendefinisikan sentralisasi sebagai konsentrasi kewenangan administrasi pada sedikit tangan, dan desentralisasi didefinisikan sebagai suatu proses dimana kewenangan disebar dalam lingkup aktor dan organisasi yang lebih luas. Terkait dengan hal itu, satu dari kebutuhan dari negara modern adalah administrasi pemerintahan yang semakin dekat dengan masyarakat. Pengelolaan harian kebutuhan fungsi publik untuk mendapatkan akses lang6 Riant Nugroho D, Otonomi Daerah: Desentralisasi Tanpa Revolusi, (Yogyakarta:. 2000), hal. 42-44. 7 Cohen, John M & Stephen B. Peterson, Administrative Decentralization Strategies For Developing Countries, (Kumarian Press, 1999), hal. 20. 3 Jurnal POLITEIA|Vol.2.|No.1|Januari 2010 Kartika Retno Pratiwi sung lembaga-lembaga yang dapat mencapai individu-individu, keluarga, firma-firma atau asosiasi-asosiasi swasta. Administrasi (pemerintahan) harus disebar secara geografis untuk tujuan pendapatan daerah, menjaga keamanan dan ketertiban, registrasi pertanahan, provisi cash benefit dalam kebutuhan masyarakat dan aktivitas yang tidak dapat ditangani oleh aset nasional. 8 Hal ini juga berarti bahwa kondisi suatu daerah akan membutuhkan respon yang berbeda dari para pembuat keputusan dalam membuat prioritas yang ada dalam kebutuhan yang beragam dari daerah tertentu. Sebuah pelayanan campuran yang memadai dengan sumber daya-sumber daya yang dialokasikan harus dibuat untuk tiap-tiap daerah. Pelayanan-pelayanan ini ditentukan hanya dengan keputusan politik artinya bahwa untuk menentukan sebuah pelayanan juga memerlukan intervensi negara yang bergantung pada nilai-nilai dan ideologi. Belajar dari kasus Italia, Robert Putnam, misalnya, membangun argumen yang kuat bahwa desentralisasi menumbuhkan partisipasi dan tradisi kewargaan di tingkat lokal. Partisipasi demokratis warga telah membiakkan komitmen warga yang luas maupun hubungan-hubungan horisontal: kepercayaan (trust), toleransi, kerjasama, dan solidaritas yang membentuk apa yang disebut Putnam komunitas sipil (civic community 9). Indikator-indikator civic engagement -- solidaritas sosial dan partisipasi massal -- yang merentang pada gilirannya berkorelasi tinggi dengan kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas kehidupan demokratis. Selama seperempat abad terahir, desentralisasi politik di Itali telah secara luas mentransformasikan kultur politik elite dalam suatu arah yang demokratis. 8 B.C Smith, Decentralization The Territorial of The State, (UK: George Allen Unwim, 1985), hal. 47. 9 Robert Putnam, Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy (New Jersey: Princeton University Press, 1993). Gagasan Putnam tentang civic community ini sangat dipengaruhi oleh republikanisme dan pemikiran Tocqueville ketika dia mengkaji tentang kehidupan asosiasional sebagai basis demokrasi di Amerika Serikat. 4 ISSN: 0216-9290 Partisipasi Politik Elit Desa Pembentukan pemerintahan regional, yang kemudian mendapatkan sejumlah kekuasaan otonom yang signifikan dan kontrol atas sumber-sumber daya, menghasilkan suatu tipe perpolitikan yang secara ideologis tidak terlalu terpolarisasi, lebih moderat, toleran, pragmatis, lebih fleksibel dan suatu 'penerimaan mutual yang lebih besar di antara hampir semua partai'. Secara berangsur-angsur warga mulai mengidentifikasi diri dengan level pemerintahan lokal dan bahkan lebih menghargainya ketimbang pemerintahan nasional. Putnam juga menegaskan bahwa desentralisasi dan demokratisasi lokal mempunyai potensi besar untuk merangsang pertumbuhan organisasi-organisasi dan jaringan masyarakat sipil (civil society). Arena kehidupan komunitas dan lokal yang lebih menawarkan cakupan terbesar bagi organisasi-organisasi independen untuk membentuk dan mempengaruhi kebijakan. Pada level lokal, rintangan-rintangan sosial dan organisasional terhadap aksi kolektif lebih rendah dan problemproblem yang menuntut perhatian -- dari layanan sosial sampai transportasi dan lingkungan -- berdampak langsung pada kualitas hidup masyarakat. Tuntutan politik akan responsifitas atas kebutuhan-kebutuhan dari daerah-daerah tertentu ini dirasakan pada semua tingkat hirarki teritorial. Pemerintah kota akan membutuhkan ukuran/ tolok ukur secara administratif dan politik untuk membuat institusi daerah dalam pemahaman kebutuhan-kebutuhan khusus dari lingkungan tertentu. Khususnya sebuah daerah dengan tingkat kelangkaan sosial dan ekonomi yang tinggi. Misalnya, sebagaimana diketahui bahwa salah satu aspirasi yang sangat menonjol sejak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah era reformasi adalah tuntutan untuk melakukan pemekaran daerah Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah jo Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan penggabungan daerah memang memberikan ruang bagi terbentuknya daerah baru. Jurnal POLITEIA|Vol.2.|No.1|Januari 2010 Kartika Retno Pratiwi Berdasarkan PP itu, Daerah dibentuk berdasarkan syarat-syarat diantaranya kemampuan a) ekonomi, b) potensi daerah, c) sosial budaya, d) sosial politik, e) jumlah penduduk, f) luas daerah dan g) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Meski pemerintah telah memberikan kriteria untuk pembentukan sebuah daerah otonom baru namun persoalan yang telah lama hadir sebelum reformasi (Orde Baru) seperti kekecewaan akan atas tertindasnya hakhak dan persoalan keadilan sosial menjadi salah sebuah penyebab munculnya dorongandorongan untuk melakukan perubahan-perubahan politik sebagaimana yang telah terjadi di banyak negara 10. Dasar hukum pembentukan daerah kabupaten adalah pasal 5 ayat (1) undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah jo. Peraturan pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Khusus prosedur pembentukan daerah ini diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf j. Tetapi pengaturan mengenai prosedur mulai dari huruf a sampai dengan huruf j ini bercampur antara pembentukan propinsi dengan pembentukan kabupaten/kota. Jadi kalau prosedur pembentukan kabupaten hanya saja diatur oleh huruf a,b,d,e,f,g,h,I dan j yang melalui 9 tahapan. Berdasarkan pasal 16 ayat (1) huruf a PP 129/2000, prosedur pembentukan daerah itu dimulai dengan “adanya kemauan politik dari pemerintah dan masyarakat yang bersangkutan”. Menurut penjelasan Pasal 16 ayat (10 huruf a, yang dimaksud dengan kemauan politik dari pemerintah Daerah dan masyarakat adalah adanya pernyataan-pernyataan masyarakat melalui LSM-LSM, organisasi-organisasi politik dan lain-lain, pernyataan Gubernur, Bupati yang bersangkutan, yang selanjutnya dituangkan secara resmi dalam bentuk persetujuan tertulis baik melalui Kepala Daerah dan DPRD yang bersangkutan. ISSN: 0216-9290 Partisipasi Politik Elit Desa Proses Pembentukan Kabupaten Bandung Barat Semangat otonomi daerah yang berkembang sejak berlakukanya UU No. 22 tahun 1999 telah mendorong kesadaran dan keberdayaan masyarakat daerah untuk membangun daerah dan menigkatkan kesejahteraan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masyarakat daerah itu sendiri. Hal ini tercermin dari antusiasme berbagai komponen masyarakat di berbagai daerah yang secara dinamis, partisipatif dan demokratis menyampaikan aspirasi menuntut pembentukan daerah otonom baru sebagai pemekaran daerah otonom induknya yang dimungkinkan berdasarkan Pasal 4, 5 dan 6 UU nomor 22 tahun 1999 dan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Hasilnya dewasa ini daerah otonom di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin bertambah, jumlah daerah otonom kabupaten/kota bahkan propinsi tersebut tampaknya akan terus bertambah sejalan dengan aspirasi yang berkembang di berbagai daerah. Aspirasi yang berkembang atas pemekaran ini sekarang ini tidak hanya didasarkan atas tuntutan agar wilayah lebih sejahtera dan mandiri namun juga ada daerah yang ingin membentuk daerah otonom baru didasarkan pada perbedaan atau kekhususan karakter budaya dari daerah lainnya. Pada tingkat lokal dengan adanya kebijakan otonomi daerah, tampaknya secara tidak sadar telah melahirkan persoalan-persoalan yang sangat pelik. Bahkan sejujurnya gairah otonomi daerah seringkali tak bisa dibedakan dengan gairah etnisitas atau berupa kebangkitan politik etnis yang mengarah pada etnocratic local government (pemerintah lokal yang berwatak etnik). Etnik di tingkat lokal cenderung menyadari keberadaanya sebagai “yang berkuasa di daerahnya sendiri disubordinasi secara politik dan ekonomi 11. Alasan-alasan etnik ini juga sesuai dengan yang dijelaskan Geertz sebagai sentimen primordialisme 12. 10 Nuri Soeseno, “Multikulturalisme dalam TeoriTeori Politik Kontemporer”, dalam Reading Kit Nasionalisme dan Kewarganegaraan, (Jakarta: PPS Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006), hal 11. 11 La Ode Ida, op.cit., hal. 34. Maswadi Rauf, Konsensus Politik Sebuah penjajagan Teoritis, (Jakarta: Dirjen Dikti: 2000), hal. 23. 12 5 Jurnal POLITEIA|Vol.2.|No.1|Januari 2010 Kartika Retno Pratiwi Dengan berbagai sentimen primordialisme ini akan berpengaruh pada jenis-jenis pemerintahan selain alasan-alasan kebijakan publik yang mengarah pada dimensi teritorial seperti yang dijelaskan B.C Smith 13 bahwa mungkin akan disiapkan jika tipe sebuah daerah ini signifikan dalam beberapa bidang dalam kebijakan publik. Variasi wilayah ini sebagian dalam struktur industri dan dimensi ekonomi lain yang mungkin perlu realisasikan dalam sebuah lembaga yang memadai. Desentralisasi regional merupakan sebuah bagian ekspresi geografis dari kebutuhan umum pemerintah pusat untuk mengorganisasikan kegiatannya pada sub nasional level. Hal ini sama misalnya beberapa respon yang mungkin diluncurkan untuk mendorong demokratisasi dari sebuah kegiatan, membuat lembaga-lembaga wilayah lebih akuntabel kepada wilayah dibandingkan kepada pemerintah pusat. Kebutuhan-kebutuhan ini merupakan perluasan budaya politik yang membutuhkan bagian-bagian tertentu dari aparatur administratif lokal negara dan ditempatkan di bawah pengawasan, meskipun tidak seluruhnya merupakan pimpinan politik yang dipilih secara lokal. Sementara regionalisme fungsional telah ditranformasikan ke dalam regionalisme politik secara luas sebagai hasil dari para sosialis yang datang dengan kekuatan dan program reformasi yang mencakup kreasi untuk memilih anggota dewan perwakilan secara langsung dengan kemampuan fiskalnya sendiri. Hal yang perlu dicermati adalah federalisme yang mengkonstitusikan sebuah pembangunan yang lebih luas dari regionalisme ketika hal ini dipertimbangkan penting untuk membatasi kekuasaan pemerintah pusat dengan tujuan-tujuan konstitusional. Hal ini yang dimaksud oleh Preston King sebagai Decentralist Federalism hal ini merepresentasikan sebuah perpindahan dari negara kesatuan kepada sebuah negara yang memberikan perlindungan hukum kepada konstituennya. Jerman di tahun 1949 merupakan sebuah contoh kasus, dalam kebutuhan akan kepastian keberlangsungan sebuah bangsa, yang telah menjadi catatan dalam negara dengan multi 13 ISSN: 0216-9290 Partisipasi Politik Elit Desa etnik, dan hal ini telah dialami oleh banyak negara pasca kolonial. Di Indonesia kini bentuk yang paling halus dari regionalisasi dan federalisme adalah otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan konsep yang awal mulanya adalah dampak dari tuntutan demokrasi masyarakat lokal yang kemudian mengarah pada harapan masyarakat kepada pemerintahnya untuk melaksanakan pembangunan dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi di wilayah kerjanya. Di Indonesia Pemerintah juga sempat menyatakan akan memprioritaskan pembangunan berbagai kawasan seperti yang dilakukan di Jawa dan Sumatera. Ketidaktepatan antara perencanaan pembangunan yang dibuat pemerintah dengan masalah dan kebutuhan daerah terutama daerah dan kawasan yang telah tertinggal selama puluhan tahun sebenarnya berdampak lebih buruk dari pada yang bisa dibayangkan banyak orang. Ketidaktepatan perencanaan dalam pembangunan dan wilayah akan membawa dampak yang luas. Hal ini juga dapat terjadi dalam pembentukan, penggabungan dan penghapusan daerah. Karena yang terjadi di beberapa daerah adalah ketidakjelasan baik dari aspek tuntutan pembentukan wilayah maupun dalam aspek pemenuhan syarat-syarat pembentukan, diantaranya kemampuan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pentingnya kemampuan daerah dalam penyelenggaraan otonomi membawa kita pada batasan kemampuan daerah serta indikator kemampuan daerah dan tolok ukur keberhasilan daerah. Tolok ukur pengukuran kinerja yang digunakan otonomi daerah. berdasarkan PP No. 129 tahun 2000 khususnya pada pasal 3, belum mampu menggambarkan kinerja daerah dan capaian sebenarnya dari pemerintahan daerah. Sementara dari sisi potensi daerah, seberapa aset yang dimiliki daerah dalam penyelenggaraan otonomi belum dapat diukur secara akurat. Namun secara politik perlu pula dipertimbangkan bahwa daerah yang baru dibentuk tidak terlepas pula dari gambaran alasan seperti yang dijelaskan oleh Smith 14 dalam regionalisme dan federalisme. Misalnya kebu- Lihat, B. C Smith, loc.cit. 14 6 Ibid. Jurnal POLITEIA|Vol.2.|No.1|Januari 2010 Kartika Retno Pratiwi tuhan pusat akan delegasi kekuasaan untuk mengefisienkan administrasi pemerintahannya, atau karena keinginan masyarakat untuk jaminan kepastian hukum dan demokratisasi. Begitu pula dengan proses pembentukan Kabupaten Bandung Barat, masyarakat Bandung Barat melalui elit-elitnya berupaya mengajukan pemekaran wilayah dari induknya agar dapat mewujudkan daerah yang lebih maju serta mendapatkan pelayanan dan perhatian yang lebih dekat dari pemerintah. Pembentukan daerah otonom baru senantiasa memunculkan perdebatan menarik mulai dari hal-hal prinsip, seperti perlu tidaknya daerah otonom tersebut dibentuk, kesiapan menjadi daerah otonom; kapasitas yang dimiliki; sampai ke hal-hal yang teknis seperti berapa jumlah pegawai negeri sipil (PNS) yang diperlukan, bagaimana mekanisme rekrutmennya dan lain-lain. Pembentukan daerah baru dengan demikian menjadi hal sangat kompleks. Tidak sekadar memerlukan persetujuan dari seluruh elite dan massa, tapi juga ada sejumlah persyarat teknis, administratif dan kewilayahan yang perlu dipenuhi. Begitu juga Kabupaten Bandung Barat yang telah disahkan pembentukannya berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat, yang dilanjutkan dengan pelantikan Bupati sementara pada tanggal 19 Juni 2007 lalu. Berdasar pada pengkajian tentang tuntutan penataan wilayah (khususnya pemekaran Kabupaten Bandung) yang telah dilakukan sejak tahun 2002 hasilnya menunjukkan bahwa Kabupaten Bandung termasuk dalam kategori mampu untuk dimekarkan (dengan beberapa catatan kebijakan dan adanya time frame penguatan otonomi daerah selama 5-8 tahun) 15. Kemudian berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tahun 2004 oleh tim pengkajian Konsorsium Perguruan Tinggi menyimpulkan bahwa hanya wilayah Bandung Barat (dengan indeks 0,732) dan Bandung Tengah (dengan indeks 0,779) yang mencapai patokan lulus bersyarat (≥ 0.65), sementara wi la15 Lihat Dede Mariana, Menyoal Ibu Kota Kabupaten Bandung Barat, (Bandung: Pusat Pengkajian Kebijakan dan Pengembangan Wilayah FISIP Unpad, 2004). ISSN: 0216-9290 Partisipasi Politik Elit Desa yah Bandung Timur (dengan indeks 0,571) tidak layak menjadi kabupaten baru16. Hal ini tentu saja disambut gembira karena sejak tahun 1998, sebelum adanya undangundang otonomi daerah (UU No. 22 tahun 1999 diberlakukan) telah bergulir wacana pemekaran yang kemudian wacana ini kembali menguat pada tahun 2000 sejalan dengan dinamika sosial di wilayah tersebut. Aspirasi ini selanjutnya ditanggapi oleh Pemerintah Propinsi melalui Surat Gubernur Jawa Barat kepada Bupati Bandung No. 135/2655/Otda tentang Penelitian Rencana Pembentukan Kabupaten DT II (Dokumentasi Bagian Bina Tata Pemerintahan Umum Setda Kabupaten Bandung, 2003) 17. Melalui surat kepada Pimpinan DPRD Kabupaten Bandung, Bupati menyampaikan perkembangan aspirasi masyarakat dan pertimbangan eksekutif mengenai rencana pemekaran Kabupaten Bandung menjadi dua kabupaten terutama yang berkembang di wilayah bagian Barat Kabupaten Bandung (meliputi wilayah Padalarang, Cililin, dan Cikalong Wetan), dan wilayah Lembang termasuk dalam Kotif Cimahi (yang kemudian meningkat menjadi Kota Cimahi). Selanjutnya dinyatakan telah dilakukan penelitian yang menyimpulkan bahwa Kabupaten Bandung dibagi menjadi dua kabupaten, yakni: Kabupaten Bandung Timur yang terdiri dari 26 kecamatan dan Kabupaten Bandung Barat yang terdiri dari 15 kecamatan (Padalarang, Cililin, Cihampelas, Gunung Halu, Rongga, Sindangkerta, Cipongkor, Cipatat, Cikalong Wetan, Cipeundeuy, Cisarua, Parongpong, Ngamprah, Lembang). Berdasarkan surat Bupati tersebut terlihat bahwa aspirasi masyarakat yang menghendaki pemekaran berkembang terutama di kawasan Barat. Tuntutan ini ditujukan pada per16 Pemerintah Kabupaten Bandung, Laporan Akhir Studi Penentuan Ibukota Bandung Barat, (Bandung: Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah Universitas. Padjadjaran, 2004), hal. ii. 17 Laporan Akhir Penataan Wilayah Kabupaten Bandung (Bandung: Konsorsium Perguruan Tinggi Untuk Penataan Wilayah Kabupaten Bandung UNPAD-UNJANI-STPDN-ITB-UPI-UNPAS, 2004). 7 Jurnal POLITEIA|Vol.2.|No.1|Januari 2010 Kartika Retno Pratiwi kembangan pembangunan di kawasan ini tidak secepat di kawasan Bandung Timur, padahal secara geografis kawasan Bandung Barat tidak terlampau jauh dari ibukota provinsi, yakni Bandung. Ketimpangan antara potensi yang dimiliki dengan tingkat kesejahteraan dan pelayanan inilah yang kem-udian memicu tuntutan dari sejumlah kelompok masyarakat untuk membentuk Kabupaten Bandung Barat. Dukungan ini diberikan oleh Forum Ulama Bandung Barat (FUBB), Forum Peduli Bandung Barat (FPBB), dan Generasi Muda Bandung Barat (GMBB) yang gencar memperjuangkan dibentuknya Kabupaten Bandung Barat. Meski ada pendapat yang berbeda mengenai percepatan pembentukan Kabupaten Bandung Barat ini dari Forum 14 kecamatan (F14) yang diketuai Maman Suparman, namun Ketua KPKKB (Komite Pembentukan Kabupaten Bandung Barat) Endang Anwar dan Ketua Harian KPKBB yang juga Sekretaris Jenderal FUBB (Forum Ulama Bandung Barat) Zainal Abidin bahwa rencana pembentukan Kabupaten Bandung Barat didukung oleh ribuan ulama, tokoh pemuda dan lainlain yang merasa kecewa dengan minimnya perhatian Pemerintah Kabupaten Bandung18. Dengan sumber daya yang dimilliki dukungan juga datang melalui partisipasi elit desa diantaranya aparat pemerintah desa melalui organisasi Asosiasi BPD, Apdesi (Asosisasi Pemerintah Desa Indonesia), Asosiasi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa di Kabupaten Bandung Barat dan tokoh-tokoh masyarakat desa lainnya. Diantaranya mereka ikut hadir dalam penyampaian aspirasi masyarakat dalam jumlah besar ke Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung pada tanggal 7 Januari 2004 hingga perwakilan dari mereka diijinkan untuk berdialog dengan jajaran Musyawarah Pimpinan daerah (Muspida) Kabupaten Bandung. Pertemuan ini menghasilkan kata sepakat bahwa keputusan proses pemekaran akan dikeluarkan tanggal 10 Januari 2004 dalam mekanisme tersebut akan dilakukan studi kelayakan yang akan ISSN: 0216-9290 Partisipasi Politik Elit Desa melibatkan eksekutif, legislative, perguruan tinggi, LSM dan KPKBB 19. Sebelumnya pada tahun 2003 pada tanggal 30 Maret 2003, berbagai komponen masyarakat dari 15 kecamatan yang terdiri dari unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, Badan Perwakilan Desa (BPD), Ormas, LSM, dan Partai Politik, mendeklarasikan untuk terus memperjuangkan agar Kabupaten Bandung Barat cepat terwujud. Deklarasi ini disaksikan ratusan warga Bandung Barat. Kemudian pada tanggal 25 September 2003 terus berupaya menyampaikan aspirasinya ke kantor Bupati Bandung, penyampaian aspirasi ini dilanjutkan pada tanggal 8 Juli 2003 ke Komisi II DPR-RI di Jakarta yang diteruskan ke Mendagri 20. Masih banyak proses penyampaian aspirasi dan keterlibatan elit desa ini dalam menekan pemerintah untuk dapat mengupayakan tuntutan mereka. Hal ini menggambarkan bahwa dalam keputusan pembentukan Kabupaten Bandung Barat ini tidak hanya berkembang di tingkat elit pemerintahan, tetapi yang paling utama ada di tingkat masyarakat melalui elit-elitnya. Upaya mereka ini dengan sumber daya dimiliki mereka kerahkan demi tercapainya keputusan pembentukan Kabupaten Bandung Barat. Hal ini menggambarkan sebuah pengambilan keputusan yang melibatkan partisipasi masyarakat melalui elit-elit mereka tingkat desa dan dukungan sumber daya dalam berbagai arena diliberasi (permusyawaratan). Meski dalam perkembangannya, partisipasi politik mereka selain alasan utama yakni dapat membentuk Kabupaten Bandung Barat yang lebih mandiri dan sejahtera, beberapa dari elit ini juga memiliki kepentingan lain yakni dapat ikut serta dalam politik pemerintahan di Kabupaten Bandung Barat. Pemekaran sebagai Aspirasi Elit Desa Lahirnya Kabupaten Bandung Barat didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukkan Kabupaten Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat yang di19 18 8 Ibid., hal. 33. Perjalanan Pembentukan Kabupaten Bandung Barat menjadi daerah Otonom di Provinsi Jawa Barat, (Bandung: KPKBB, 2006), hal. 1. 20 Ibid, hal. 4. Jurnal POLITEIA|Vol.2.|No.1|Januari 2010 Kartika Retno Pratiwi syahkan pada tanggal 2 Januari 2007 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lahirnya undang-undang ini setelah melalui pertimbangan dan proses yang panjang di samping memperhatikan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Aspirasi dan keinginginan masyarakat itu dituangkan secara formal dalam Surat Keputusan DPRD Kabupaten Bandung No. 11 Tahun 2004 tanggal 20 Agustus 2004 tentang Persetujuan DPRD Kabupaten Bandung terhadap Pembentukan Kabupaten Bandung Barat. Kemudian surat usulan dari Bupati Bandung Di tingkat provinsi, lahir Surat Keputusan DPRD Prov. Jabar No.135/Kep.DPRD-7/2005 tentang Persetujuan DPRD terhadap pembentukkan Kabupaten Bandung Barat. Kemudian disusul dengan surat Gubernur Jawa Barat kepada Menteri Dalam Negeri bernomor 135.1/1197/ Desen tertanggal 11 April 2005 perihal Usul Pembentukan Kabupaten Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat. Hasil dari proses pembentukan Kabupaten Bandung Barat itu antara lain dijelaskan tentang cakupan luas Kabupaten Bandung Barat, yang terdiri dari 15 Kecamatan, yaitu: Lembang, Parongpong, Cisarua, Cikalongwetan, Cipeundeuy, Ngamprah, Cipatat, Padalarang, Batujajar, Cihampelas, Cililin, Cipongkor, Rongga, Sindangkerta. Jumlah desa keseluruhannya 165 desa dan belum ada status kelurahan. Dengan Luas wilayah Bandung Barat 1.305,77 Km2 dengan jumlah penduduk 1.408.550 jiwa, terdiri dari laki-laki 705.679 orang dan perempuan 702.871 orang. Kabupaten Bandung Barat merupakan salah satu dari sekian banyak kabupaten/ kota yang diajukan pembentukannya berdasarkan aspirasi dari masyarakat melalui elit-elitnya. Penyampaian aspirasi dan tekanan politik sebagai bagian partisipasi politik dilakukan elit desa dalam mendorong pemerintah Kabupaten Bandung untuk segera memberikan persetujuan atas tujuan dari perjuangan mereka. Elit desa ini merupakan tokoh-tokoh masyarakat, Kepala Desa melalui Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia (Apdesi), Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Asosiasi LKMD di wilayah Bandung Barat merupakan bagian dari kelompok yang ikut serta dalam proses memperjuangkan aspirasi pembentukan Kabupaten Bandung Barat ini ISSN: 0216-9290 Partisipasi Politik Elit Desa melalui organisasi-organisasi yakni Komite Pembentukan Kabupaten Bandung Barat (KPKBB) dan Forum 14 Kecamatan atau F-14. Kepentingan elit desa sebagian besar mempertimbangkan bahwa dasar pengusulan pemekaran Kabupaten Bandung dilandasi aspirasi masyarakat dalam rangka mewujudkan pelayanan masyarakat yang cepat, efektif dan efisisen yang kemudian diperkuat dengan asumsi-asumsi bahwa Kabupaten Bandung memiliki wilayah yang terlampau luas, sehingga masih ada wilayah yang belum terjangkau oleh pelayanan aparatur pemerintah secara efektif serta belum sepenuhnya terjangkau oleh kegiatan pembangunan. Dengan kepentingan itu lah maka hal tersebut membangkitkan semangat para elit desa yang melihat bahwa pemekaran akan mewujudkan selain itu wilayah kerja yang memadai akan memberikan peluang peningkatan pelayanan terhadap masyarakat dengan berbagai kegiatan pembangunan serta memberi peluang untuk tumbuhnya kehidupan demokrasi, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat lebih efektif. Dari aspek pendapatan, jumlah penduduk dan luas wilayah serta pertahanan dan keamanan cukup memiliki potensi dan berkemampuan untuk mengelola hak, wewenang dan tanggungjawab menyelenggarakan urusan pemerintah di daerah secara mandiri. Tapi ada juga diantara mereka yang ingin menduduki jabatan-jabatan baru meskipun cenderung terselubung. Upaya mereka yang sangat gencar ini disampaikan melalui partisipasi politik didasarkan kesamaan alasan dan kepentingan. Upaya ini dilakukan dengan melakukan kontak dengan pejabat baik politik dan administratif (pemerintah dan dewan) untuk menyampaikan tuntutan dan menyampaikan pokok-pokok pikiran akan perlunya pembentukan Kabupaten Bandung Barat (untuk kesejahteraan masyarakat, mandiri dan demokratis) baik di tingkat Pemerintah Kabupaten Bandung (induk), Pemerintah Provinsi Jawa barat dan Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri dan DPR-RI. Namun partisipasi politik elit desa ini terbelah ketika tidak merasakan kesamaan dalam cara mencapai tujuannya mereka. Partisipasi politik Elit desa di wilayah Bandung Barat ini terbelah karena mereka yang bernaung dalam Komite Pembentukan 9 Jurnal POLITEIA|Vol.2.|No.1|Januari 2010 Kartika Retno Pratiwi Kabupaten Bandung Barat (KPKBB), yang merupakan organisasi yang gencar memperjuangkan dibentuknya Kabupaten Bandung Barat dengan tekanan-tekanan politik kepada pihak Kabupaten Bandung maupun kepada Pemeritahan Provinsi maupun Pusat (Depdagri dan DPR RI), sedangkan kelompok lainnya adalah Forum 14 Kecamatan (F-14) yang juga mempunyai kepentingan yang sama mendorong pembentukan Kabupaten Bandung Barat yang mandiri dan sejahtera lebih memilih membangun jalur pihak pemerintah Kabupaten Bandung Induk. Usulan utama dari F-14 ini adalah tidak mendorong percepatan pembentukan Kabupaten Bandung Barat melainkan diawali studi kelayakan terlebih dahulu. Tuntutan tersebut berlangsung terus dengan diwarnai demo warga. Aspirasi percepatan itu pun, menurut H. Endang Anwar dilatarbelakangi kelayakan Bandung Barat menjadi daerah yang otonom, Ini bukanlah mengada-ada karena rencana pembentukan Kab. Bandung Barat itu sudah dibekali penelitian serta pengkajian oleh peneliti dari ITB dan STPDN. 21 Proses pengusulan pemekaran Kabupaten Bandung sempat tertunda karena pemerintah Kabupaten Bandung tidak memberikan ketegasan mana yang menjadi prioritas di antara alternatif, apakah akan menaikkan status Kotif Cimahi menjadi Kota atau memekarkan Kabupaten Bandung dengan membentuk Kabupaten Bandung Barat. Setelah Kota Cimahi terbentuk, para elit desa ini mencoba mengingatkan kembali pihak Pemkab Bandung untuk memikirkan serta menindaklanjuti keinginan yang sempat tertunda dengan proses percepatannya. Aspirasi percepatan itu pun dilatarbelakangi hasil pengujian kelayakan Bandung Barat menjadi daerah yang otonom. Pada awal wacana pembentukan Kabupaten Padalarang para elit yang bergabung dalam dua kelompok itu (termasuk juga elit-elit Ko21 Wawancara dengan H. Endang Anwar (Ketua Komite Pembentukan Kabupaten Bandung Barat/ seorang tokoh masyarakat dan pengusaha yang bergerak di bidang perkayuan yang tinggal di Kecamatan Padalarang/Motor pengerak Komite Pembentukan Kabupaten Bandung Barat (KPKBB) tanggal 17 November 2007 di Perumahan Padasuka, Cimahi. 10 ISSN: 0216-9290 Partisipasi Politik Elit Desa tif Cimahi) masih bersatu dan mereka berniat mengusulkan pembentukan Kabupaten Padalarang (akhirnya menjadi Kabupaten Bandung Barat) yang dengan ibukota pemerintahannya berada di Cimahi, namun karena terbit UU No. 22 tahun 1999 akhirnya Kota Administratif Cimahi naik menjadi Kota. Selain merasa ditinggalkan oleh elit Cimahi karena Kota Administratif Cimahi naik statusnya menjadi Kota, kendala lain adalah penundaan proses pembentukan kabupaten bandung barat dan pada saat elit desa Bandung Barat mendapat kendala karena pada saat mereka gencar melanjutkan perjuangan mereka yang sempat tertunda, Kota Cimahi berusaha mencari celah meluaskan wilayahnya dengan meminta beberapa kecamatan yang masuk wilayah Bandung Barat. Namun hal ini segera mendapat perlawanan dari para elit di Bandung Barat. Namun pada perkembangannya Kotif Cimahi menolak bergabung dengan Padalarang karena fakor pendapatran asli daerah seperti yang diungkapkan oleh H. Endang Anwar terkait masalah yang timbul dengan pihak Kota Cimahi: “..Memang waktu jadi kurang sepaham dengan elit cimahi, banyak tersinggunglah, karena masalah PAD, Cimahi yang dengan 3 kecamatan memilki PAD sejumlah 15 milyar sedangkan Padalarang dengan 15 kecamatan PAD-nya berjumlah 27 milyar. Jadi lebih besar Cimahi, sehingga orang cimahi memilih buat apa bersatu dengan Padalarang, nanti malah menyengsarakan kota Cimahi. Sedikit kecewa, namun akhirnya kami berpikir tentang saudara-saudara kita yang susah seperti di daerah Gunung halu, Rongga..”. 22 Sesuai aspirasi yang berkembang untuk mendukung proses pemekaran Kabupaten Bandung pemerintah terbentuklah tim teknis pengkajian penataan wilayah Kabupaten Bandung yang akan dimekarkan menjadi tiga wilayah yakni Bandung barat, Bandung Tengah dan Bandung Timur. Hasil pengkajian ini menunjukkan bahwa yang layak dibentuk menjadi Kabupaten baru adalah Bandung Barat dan Bandung Tengah. Terkait dengan rencana lokasi ibukota ini, Pemerintah Kabupaten Bandung juga melakukan Studi Penentuan Ibukota Kabupaten Bandung Barat pada tahun 2004, Dasar dari penentuan keempat alternatif tersebut adalah aspek orbitrasi, ke22 Wawancara dengan H. Endang Anwar, ibid. Jurnal POLITEIA|Vol.2.|No.1|Januari 2010 Kartika Retno Pratiwi ISSN: 0216-9290 Partisipasi Politik Elit Desa mudahan akses, dan ketersediaan fasilitas publik. Kedudukan ibukota bukan hanya sebagai pusat kegiatan pemerintahan dan perekonomian, tetapi juga memainkan peran strategis sebagai pusat pertumbuhan untuk mendorong perkembangan dan kesejahteraan di kecamatan-kecamatan sekitarnya. Barat di Propinsi Jawa Barat bertempat di Gedung DPR-RI di Jakarta. Hingga pada tanggal 2 Januari 2007 lalu RUU Pembentukan Kabupaten Bandung Barat itu disahkan oleh Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono dengan Undangundang Nomor 12 Tahun 2007. Hasil studi ini menyimpulkan bahwa untuk menentukan lokasi Kabupetan Bandung Barat perlu mempertimbangkan prospek pengembangan wilayahnya di masa mendatang tidak hanya berlandaskan pada kondisi eksisting yang sekarang ada. Karena itu penentuan ibukota ini dapat menjadi awal untuk merancang konsep pengembangan wilayah dan penataan ruang yang lebih komprehensif di Kabupaten Bandung Barat, sehingga perlu dipertimbangkan multiplier effect di masa mendatang. Rekomendasi dari studi ini mengusulkan Kecamatan Ngamprah dijadikan ibukota pemerintahan. Namun selain alasan ilmiah kecamatan Ngamprah yang sebelumnya tidak pernah masuk dalam daftar calon Ibukota Kabupaten, karena alasan politis menjadi calon Ibukota Kabupaten untuk menentang keinginan perluasan wilayah elit-elit lokal Kota Cimahi, kecamatan Ngamprah merupakan salah satu kecamatan yang diminta oleh Kota Cimahi. Sebagai salah satu wadah partisipasi politik terutama yang terkait dalam upaya mempengaruhi kebijakan adalah dengan menjadi anggota dalam sebuah organisasi. Begitu pula yang terjadi pada elit-elit desa di Bandung Barat dalam kesamaan kepentingan mereka untuk membentuk Kabupaten Bandung Barat. Seperti pada saat mulainya wacana Pemekaran Kabupaten Bandung yang memiliki 45 kecamatan yang dirasakan kurang memberi perhatian bagi sebagian besar masyarakat Bandung Barat karena pembangunan yang berjalan lambat, pelayanan publik yang kurang optimal, kondisi sosial budaya yang tidak berkembang jauh dari jangkauan pemerintah Kabupaten Bandung Induk. Dialog dan komunikasi dengan Pemerintah Pusat dalam hal ini Depdagri dan Komisi II DPR-RI baik ketika pada forum-forum yang dilakukan di pusat maupun di Kabupaten Bandung sendiri. Keinginan untuk tidak menunggu lama lagi terhadap realisasi pemekaran tersebut disampaikan dalam berbagai cara. Anggota Komisi II DPR yang hadir pun mengungkapkan optimismenya, terlebih lagi saat Pemerintah Kabupaten Bandung menyatakan sudah melengkapi seluruh persyaratan administratif. Kemudian juga mengikuti rapat dengan pemerintah Kabupaten Bandung dan Provinsi Jawa barat bertempat di gedung Bappeda Provinsi Jabar dalam rangka menerima rombongan tim dari DPOD, dilanjutkan dengan kunjungan lapangan ke kecamatankecamatan yang berada di wilayah cakupan calon Kabupaten Bandung Barat. Pada tanggal 8 Desember 2006 KPKBB mengikuti acara Sidang Paripurna DPR-RI mengenai pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Hal inilah yang membuat sebagian besar elit desa merasa tergerak hatinya untuk memikirkan dan memperjuangkan perbaikan nasib daerah dan masyarakatnya dengan berkumpul dan bergabung dalam organisasi-organisasi. Termasuk sebagian dari mereka memiliki sumber dana yang besar untuk membiayai aktivitas perjuangan dan mobilisasi baik di tingkat Pemerintah Kabupaten, Provinsi maupun di tingkat Pusat. Penutup Sistem politik merupakan organisasi, tempat masyarakat merumuskan dan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan umum. Elite, dimanapun tingkatannya termasuk desa selalu berkaitan dengan keinginan terciptanya tujuan kolektif dan cenderung untuk melihat kekuasaan sebagai suatu fasilitas dalam melaksanakan fungsi di dalam dan atas nama masyarakat. Dalam studi ini, peranan Elit desa dalam pembentukan Kabupaten Bandung Barat dianalisis dari tiga argumentasi utama, yaitu: Pertama, gagasan pembentukan Kabupaten Bandung Barat merupakan gambaran kepentingan dan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan elit lokal seperti tokoh masyarakat 11 Jurnal POLITEIA|Vol.2.|No.1|Januari 2010 Kartika Retno Pratiwi dan elit pemerintahan terutama desa. Elit Desa Kabupaten Bandung Barat terdiri para pengusaha, birokrat selain memiliki pengaruh kekuasaan karena kedudukan dan kharisma yang dimilikinya juga diantara mereka memiliki kemampuan dan penguasaan sumber daya, posisi dalam organisasi, status dalam pemerintahan dan penguasaan ilmu pengetahuannya. Kedua, Elit Desa Kabupaten Bandung Barat berupaya melakukan kontak baik kepada Kabupaten Bandung, pemerintah Provinsi Jawa Barat maupun Pusat. Faktor kesejahteraan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi partisipasi politik mereka dalam pembentukan Kabupaten Bandung Barat meskipun faktor politik seperti kepentingan akan kekuasaan setelah pembentukan Kabupaten Bandung Barat terwujud merupakan faktor yang menyertai. Ketiga, Dukungan elit di tingkat lain seperti di Kabupaten Bandung, pemerintah Provinsi Jawa Barat maupun Pusat merupakan upaya elit desa dalam membuat jaringan politik agar dapat mendukung untuk mendukung gagasan dan upaya mereka dalam pembentukan Kabupaten Bandung Barat. Daftar Pustaka Alisjahbana, Armida S. 1999. Manajemen Otonomi Daerah: Implementasi Desentralisasi dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Makalah Seminar Nasional “Solusi dan Evaluasi Kritis Masa Depan Ekonomi Indonesia” yang diselenggarakan Jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan. Fakultas Ekonomi, Universitas Pasundan, Bandung 20 Juli. Cohen, John M & Stephen B. Peterson. 1999. Administrative Decentralization Strategies For Developing Countries. Kumarian Press. Dede Mariana. 2004. Menyoal Ibu Kota Kabupaten Bandung Barat. Bandung: Pusat Pengkajian Kebijakan dan Pengembangan Wilayah FISIP Unpad. 12 ISSN: 0216-9290 Partisipasi Politik Elit Desa Eko, Sutoro. 2003. Dinamika Desentralisasi dan Demokrasi Lokal. Makalah disajikan dalam Lokakarya “Wawasan Pembangunan Nasional” yang diselenggarakan oleh Yayasan Bina Masyarakat Mandiri (YBM2). Bogor, 1719 September. Fernanda, Desi. 2004. Tinjauan Kritis Terhadap Persyaratan Pembentukan, Pemekaran, Penggabungan, dan Penghapusan Daerah Otonom Berdasarkan PP NO. 129 Tahun 2001. Jurnal Desentralisasi 3. Ida, La Ode. 2002. Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal dan Clean Governemnt. Jakarta: PSPK. Nugroho D, Riant. 2000. Otonomi Daerah: Desentralisasi Tanpa Revolusi. Yogyakarta. Putnam, Robert. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy. New Jersey: Princeton University Press. Rauf, Maswadi. 2000. Konsensus Politik Sebuah penjajagan Teoritis. Jakarta: Dirjen Dikti. Smith, B. C. 1985. Decentralization The Territorial of The State. George Allen Unwim. Soeseno, Nuri. 2006. “Multikulturalisme dalam Teori-Teori Politik Kontemporer”, dalam Reading Kit Nasionalisme dan Kewarganegaraan. Jakarta: PPS Ilmu Politik Universitas Indonesia. 2006. Perjalanan Pembentukan Kabupaten Bandung Barat menjadi daerah Otonom di Provinsi Jawa Barat. Bandung: KPKBB. 2004. Pemerintah Kabupaten Bandung. Laporan Akhir Studi Penentuan Ibukota Bandung Barat. Bandung: Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah Universitas. Padjadjaran. 2004. Laporan Akhir Penataan Wilayah Kabupaten Bandung. Bandung: Konsorsium Perguruan Tinggi Untuk Penataan Wilayah Kabupaten Bandung UNPAD-UNJANI-STPDNITB-UPI-UNPAS. Wawancara dengan H. Endang Anwar (Ketua Komite Pembentukan Kabupaten Bandung Barat/seorang tokoh masyarakat dan pengusaha yang bergerak di bidang perkayuan yang tinggal di Kecamatan Padalarang/ Motor pengerak Komite Pembentukan Kabupaten Bandung Barat (KPKBB) tanggal 17 November 2007 di Perumahan Padasuka, Cimahi.