plagiat merupakan tindakan tidak terpuji plagiat

advertisement
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
RELASI KUASA DALAM DINAMIKA WACANA DAN GERAKAN
KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora
(M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta
Oleh
Leonardo Budi Setiawan
096322002
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2013
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
RELASI KUASA DALAM DINAMIKA WACANA DAN GERAKAN
KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora
(M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta
Oleh
Leonardo Budi Setiawan
096322002
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2013
i PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
iii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
iv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
v
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
I Believe.
vi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PENGANTAR
Rasanya, sampai pada titik ini, banyak sekali pihak yang saya ucapkan
terimakasih. Menuliskan lembar ini menjadi bagian tersulit dibanding dengan
menuliskan lembar-lembar lain dalam tesis ini. Tapi, justru bagian inilah yang
terpenting karena tanpa keberadaan pihak-pihak yang telah membantu saya, tesis
ini tidak pernah akan terwujud. Pertama, saya sangat bersyukur karena keputusan
saya mendaftar Program Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas
Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, sangat didukung oleh keluarga. Keluarga saya
(Bp. Drs. A. Ngadina Hadiwiratmo, Ibu C.A. Siti Bugiati, S.Pd., G. Irawan
Setyanto H., serta keluarga besar) adalah rumah (house sekaligus home), tempat
saya beristirahat saat lelah dengan kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, keluarga
kedua saya yaitu gerombolan sahabat yang mungkin menjadikan rumah saya
sebagai rumah kedua. Untuk Fransisca Emi Hartanti yang telah menemani selama
hamper tujuh tahun, selesainya tesis ini berarti menjadi tahap selanjutnya untuk
perjalanan kita.
Saya mengucap terimakasih untuk para pengajar di IRB yang saya jumpai
di dalam kelas (Dr. J. Haryatmoko, SJ; Dr. Katrin Bandel; Dr. Celia Lowe, Dr.
George J. Aditjondro; Dr. St. Sunardi; Y. Devi Ardhiani, M.Hum; Dr.G. Budi
Subanar, SJ; Dr.Ishadi SK; Dr. Budiawan; Dr. Hary Susanto, SJ). Saya juga
sangat berterima kasih dengan para staff; Mbak Henkie, Mbak Desy, dan Mas
Mulyadi yang selalu ramah.
vii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Secara khusus saya mengucapkan terimakasih pada Romo Banar (Dr.G.
Budi Subanar, SJ ) dan Romo Budi (Dr.Alb.Budi Susanto, SJ) yang telah
membaca dan mengkritik ratusan halaman tulisan yang telah saya ketik. Kritik
para pembimbing tersebut membuat saya semakin terlatih untuk menulis.
Pendewasaan oleh kritik adalah hal yang saya dapatkan dari proses ini. Maka,
saya baru mengerti bahwa kerja penelitian yaitu: kecermatan dalam pengamatan
dan pembacaan, ketekunan dalam pemilahan dan pemilihan, serta ketertiban
dalam penulisan dan pelaporan.
Penulisan Tesis ini tidak akan pernah terjadi jika tanpa Pak Widihasto
yang bersedia meluangkan waktunya. Wawancara dengan beliau membuat saya
menemukan banyak informasi yang kemudian saya kembangkan sebagi temuan
data. Saya mengucap terimakasih pada beliau yang juga telah mengantarkan saya
kepada informan-informan lain.
Pembelajaran saya di IRB tidak hanya membuat saya mendapatkan banyak
ilmu tapi juga persahabatan. Saya bersyukur telah mempunyai kawan-kawan satu
angkatan; Abed, Agus, Mei, Rino, Probo, Virus, Vita, Iwan, Herlin, Mbak Lulud,
Anes, Lusi, Eli, Titus. Tuhan memberkati dan menjaga langkah kalian.
Saya merasa, selesainya Tesis ini bukanlah sebuah hasil akhir sejak saya
mulai menuliskannya dua tahun yang lalu. Tesis ini adalah sebuah awal penelitian
akan sebuah tema yang telah membuat saya gelisah selama beberapa tahun
terakhir. Hal yang sangat berharga dari proses ini yaitu: ‘Menulis adalah bekerja
untuk keabadian’.
viii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ABSTRAK
Leonardo Budi Setiawan (2013). Relasi Kuasa dalam Dinamika Wacana dan
Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Yogyakarta: Magister Ilmu Religi dan
Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Wacana Keistimewaan Yogyakarta secara umum ditafsirkan sebagai
Penetapan raja-raja di Yogyakarta menjadi gubernur dan wakil gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta. Wacana ini membuat adanya dorongan kelompokkelompok masyarakat yang kemudian disebut Gerakan Keistimewaan
Yogyakarta. Dinamika gerakan ini berkembang di tengah konflik penafsiran
tentang sejarah Yogyakarta.
Di tengah polemik ini, penafsiran mengenai makna Keistimewaan
Yogyakarta semakin berkembang. Semua penafsiran tersebut menggunaakan
penafsiran sejarah. Oleh karena itu, menjadi penting untuk mengetahui genealogi
keistimewaan Yogyakarta sebagai upaya untuk memberikan penafsiran secara
kritis tentang tema ini, bukan sekedar menjadikan sejarah sebagai alat legitimasi.
Dalam realitas yang terjadi dalam gerakan keistimewaan, dinamika yang
tercipta adalah penciptaan teknologi politik tertentu yang bertujuan mendapatkan
dukungan rakyat untuk memperkuat daya. Di sisi lain, ada hubungan-hubungan
unik yang tercipta di tengah resistensi di dalam gerakan sosial.
Oleh karena itu, analisis relasi kuasa ini diharapkan bisa memberikan
kontribusi bagi kajian terhadap fenomena gerakan politik lokal dan hubungannya
dengan sistem pemerintahan.
Kata Kunci: Wacana, Kuasa, Gerakan, Genealogi, Teknologi Politik
ix
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ABSTRACT
Leonardo Budi Setiawan (2013). Power Relation towards the dynamics of
discourse and movement of Yogyakarta Speciality. Yogyakarta: Magister Ilmu
Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
The Discourse of the Specialness of Yogyakarta is commonly interpretated
as establishment of Kings of Yogyakarta as governor and vice governor of The
Special District of Yogyakarta. This discourse has raised massive groups called
The Movement of the Specialness of Yogyakarta. The movement dynamics has
developed in the midst of conflict to interpret the history of Yogyakarta.
The polemics are raised in the interpretation about the meaning of the
Specialness of Yogyakarta. Thus, every argument based on the matter of history.
Therefore, understanding the genealogy is very significant as an effort to make a
critical interpretation. Then, history is not about legitimation.
Based on the experience in the movement, there was a creation of certain
Tecnology of Politics in order to gain people’s support. In other dimension,
unique relations were created in the resistence.
This analysis of the relation of power is aimed to give contribution
towards studies of local political movement and its relation to government.
Keywords: Discourse, Power, Movement, Genealogy, Technology of Politics
x
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ............................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS .............................................................. iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ............................. v
MOTTO ` ........................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
ABSTRAK ......................................................................................................... ix
ABSTRACT ........................................................................................................ x
DAFTAR ISI .................................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 7
E. Kerangka Teoritis ........................................................................................ 8
xi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
F. Tinjauan Pustaka....................................................................................... 12
G. Metodologi Penelitian ................................................................................ 16
H. Skema Penulisan ........................................................................................ 17
BAB II. SUAKA KEDAULATAN................................................................... 18
A. Otoritas Bertingkat ................................................................................... 19
1. Perebutan Pusat Kekuasaan ..........................................................................21
2. Negara Vasal di Jawa.....................................................................................25
3. Kontrak Politik ..............................................................................................27
B. Raja di dalam Republik .............................................................................31
C. Mempertanyakan Daerah Istimewa .........................................................32
D. Lahirnya Gerakan ......................................................................................34
1. Mobilisasi Massa. ............................................................................................36
2. Terbentuknya Dikotomi Sosial. .......................................................................45
BAB III. MENGUATNYA KELOMPOK PRO PENETAPAN ....................48
A. Gelombang Baru Pro Penetapan...............................................................52
1. Konsolidasi antar Pihak. ..................................................................................52
2. Aktor-aktor Gerakan. .......................................................................................60
3. Kelompok Elit Gerakan. ..................................................................................64
xii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
B. Mengembangkan Ideologi Keistimewaan ................................................65
1. Budaya Adiluhung. ..........................................................................................67
2. Negara Berdaulat .............................................................................................68
3. Jasa Besar Sang Raja .......................................................................................68
C. Siasat Perlawanan Gerakan ......................................................................70
1. Koalisi Taktis ...................................................................................................70
2. Memancing Media dengan Aksi Simbolik ......................................................75
3. Reproduksi Sejarah ..........................................................................................78
4. Penciptaan Musuh Bersama .............................................................................82
BAB IV. RELASI KUASA ................................................................................88
A. Negara dan Kedaulatan ............................................................................94
1. Kedaulatan Semu .............................................................................................95
2. Bom Waktu Kolonial: Dualisme. ....................................................................98
3. Pergeseran Kuasa Jawa. .................................................................................103
4. Kontrak (Politik) Pernikahan .........................................................................106
5. Renegosiasi Kontrak: Politik Balas Budi ......................................................111
B. Pemerintah dan Rakyat ...........................................................................116
1. Hubungan Rakyat dan Raja ...........................................................................116
2. Fundamentalisme Baru ..................................................................................118
xiii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3. Kelas Priyayi Baru .........................................................................................121
4. Menguasai rakyat ...........................................................................................122
5. Mitos Penjajah untuk Mobilisasi massa ........................................................125
C. Meributkan Wacana Kebenaran ............................................................128
1. Menafsir Demokrasi ......................................................................................128
2. Wajah Jahat Liberalisme ................................................................................132
BAB V. PENUTUP ..........................................................................................138
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................141
xiv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dalam suatu sesi, saat sidang kabinet pada tahun 2010 Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) berujar, “Namun, negara kita adalah negara hukum dan
demokrasi sesungguhnya. Oleh karena itu, nilai-nilai demokrasi tidak boleh
diabaikan karena tentu tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan, baik
dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi”. Tiba-tiba, pernyataan ini
menjadi perhatian media. Tema Keistimewaan Yogyakarta menjadi “bola panas”
yang dilontarkan presiden tahun itu. Paska pernyataan tersebut, berbulan-bulan
sesudahnya, gelombang protes dan aksi massa terus bergulir.
Di Yogyakarta, tema keistimewaan mulai menjadi perhatian publik pada
tahun 1998, tepat peristiwa reformasi yang memicu berkembangnya aspirasi yang
sebebas-bebasnya, muncullah kelompok-kelompok masyarakat yang mendukung
terpusatnya jabatan politik dengan posisi kultural raja di Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY). Singkatnya, posisi gubernur sudah seharusnya dimiliki oleh
raja yang berkuasa turun-temurun.
Pertanyaan tentang bentuk Keistimewaan Yogyakarta ini pertama kali
muncul saat meninggalnya Sultan Hamengku Buwono (HB) IX pada tahun 1989.
Ada problematisasi terkait dengan posisi gubernur yang setelah meninggalnya HB
IX. Masalah ini tidak berlangsung lama setelah Adipati Paku Alam (PA) VIII
yang tadinya adalah wakil Gubernur, bergeser menjadi pejabat Gubernur. 10
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2
tahun sesudahnya, status keistimewaan mulai benar-benar dipertanyakan ketika
PA VIII meninggal tahun 1998. Saat itu PA VIII menjabat sebagai Gubernur
Yogyakarta, menggantikan posisi HB IX yang meninggal. Dalam masa
pemerintahan baru paska Orde Baru, tercetus ide dari pemerintahan pusat untuk
mencalonkan figur lain, lepas dari kedua pribadi HB X maupun PA IX. DPRD
propinsi DIY sempat mengadakan pemilihan untuk menentukan jabatan gubernur.
Dorongan kuat untuk memperjelas keistimewaan Yogyakarta terlihat dari
menguatnya mobilisasi massa pada tahun 1998. Seiring dengan terbukanya
kebebasan beraspirasi paska Reformasi 1998, kelompok-kelompok masyarakat di
Yogyakarta mengorganisir massa untuk menyatakan tuntutan agar jabatan
gubernur dan wakil gubernur DIY dipegang oleh dua raja yang secara kultural
masih mempunyai kharisma yang kuat.
Paska pengerahan massa yang diorganisir oleh perangkat desa pada tahun
1998, mobilisasi massa terus terjadi. Momentum suksesi jabatan gubernur dan
wakil gubernur menjadi saat yang tepat bagi ribuan massa untuk menyampaikan
protes.
Pengembangan gagasan tentang Keistimewaan Yogyakarta menjadi
semakin kompleks. Banyak pengembangan gagasan dengan perspektif historis,
hukum, dan politik. Tema ini tidak sekedar menjadi persoalan teknis suksesi
jabatan gubernur dan wakil gubernur. Berkembanglah ragam kajian yang
multiperspektif untuk mengeksplorasi legitimasi-legitimasi fundamental tentang
Keistimewaan Yogyakarta dan derivasi penafsirannya.
Pada
perkembangannya,
dikenal
istilah
Gerakan
Keistimewaan
Yogyakarta. Saat perhatian publik meningkat atas isu ini, media massa
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3
memunculkan istilah pro penetapan untuk menyebut pihak-pihak baik pribadi
maupun kelompok yang beraspirasi bahwa esensi dari keistimewaan adalah
penetapan Sultan HB dan Adipati PA yang bertahta sebagai gubernur dan wakil
gubernur. Istilah ini masih terkesan ambigu. Mengingat konsep keistimewaan
masih menjadi area luas, banyak pihak bisa menafsirkan arti maupun
mengusulkan bentuk-bentuk Keistimewaan Yogyakarta. Oleh karena itu, perlu
penyebutan yang lebih relevan dan spesifik untuk menunjuk pada aktor-aktor
tertentu. Maka, sebutan Pro Penetapan dan Pro Pemilihan pada akhirnya tercipta
menjadi dua dikotomi yang meramaikan perdebatan keistimewaan ini.
Yang lebih marak yaitu arus pewacaanaan Keistimewaan Yogyakarta yang
semuanya menggunakan perspektif historis. Mendadak, sejarah menjadi sudut
pandang yang terkesan mutlak untuk melihat esensi Keistimewaan Yogyakarta.
Bambang Purwanto (2003) mengatakan bahwa tema Keistimewaan Yogyakarta
telah terbebani oleh sejarah. Artinya, dalam problematika tentang Keistimewaan
Yogyakarta, semua argumentasi mendasarkan pada penafsiran atas sejarah.1
Dari sisi pewacanaan, Keistimewaan Yogyakarta adalah telah menjadi
spektrum yang berkembang. Walaupun pada awalnya, wacana ini ditanggapi oleh
publik pada tahun 1998 dengan fokusnya pada penentuan jabatan gubernur dan
wakil gubernur, pembahasan tentang Keistimewaan Yogyakarta menjadi lebih
meluas. Semakin banyak pihak yang mencoba menggali bentuk-bentuk alternatif
keistimewaan yang tidak terkait dengan politik praktis penentuan jabatan kepala
1Dalam “Keistimewaan yang sarat beban Sejarah,” sebagai pengantar dalam buku
Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta yang diterbitkan oleh para peneliti IRE, Bambang
Purwanto mengungkapkan bahwa cara berpikir untuk memahami eksistensi Provinsi DIY telah
“terjebak dalam perangkap sejarah”. Sejarah tidak dilihat sebagai alat untuk memahami perubahan
dan kesinambungan secara prosesual tapi lebih menjadi beban. Lihat: Bambang Purwanto (2003).
“Keistimewaan yang sarat beban sejarah,” dlm. Rozaki, Abdur & Hariyanto, Titok (ed.).
Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta. Yogyakarta: IRE, hlm. xi - xxiv.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
4
daerah/gubernur
Maka benarlah apa yang diungkapkan oleh Rose (2004) dalam The Power
of Freedom bahwa imajinasi politik saat ini penuh dengan percampuranpercampuran yang tidak biasa dan aneh sehingga banyak hal tidak akan relevan
lagi dimasukan dalam kategori-kategori politik yang konvensional.
Terkait dengan Gerakan Keistimewaan Yogyakarta, kelompok masyarakat
ini tidak bisa ditempatkan dalam kategori politik tertentu seperti ekstrem kiri atau
kanan. Gerakan Keistimewaan Yogyakarta melakukan perlawanan terhadap
pemerintah pusat, tapi pada saat bersamaan gerakan ini juga mendukung
kekuasaan lokal sebagai alternatif yang terkesan bersebrangan dengan pemerintah
pusat.
Anderson
(2001)
melalui
bukunya
yang
fenomenal
Imagined
Communities, mengatakan bahwa bangsa adalah kumpulan komunitas yang
merumuskan diri mereka. Apa relevansi pernyataan Anderson ini? Penafsiran
historis yang menjadi dasar argumentasi kelompok-kelompok dalam tubuh besar
Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Sejarah kemudian menjadi pintu masuk
untuk menafsirkan konsep bangsa dan negara. Artinya, sampai pada saat ini,
persoalan definisi tentang bangsa, negara, ataupun negara-bangsa masih belum
selesai dijawab tuntas, atau tidak akan pernah pernah tuntas. Lebih dalam lagi,
melalui sejarah, berkembang pertanyaan-pertanyaan tentang bangsa dan negara
untuk menyelesaikan persoalan politik lokal di Yogyakarta.
Masalah dinamika politik lokal sangat memberikan pengaruh yang luas
yang cepat menyebar. Van Klinken (2010) membeberkan fakta bahwa eksistensi
kesultanan di Yogyakarta memberikan inspirasi bagi kesultanan-kesultanan lain di
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
5
Indonesia untuk mendapatkan legitimasi politik yang lebih luas dengan
mendapatkan posisi sebagai kepala daerah. Dari gejala ini terbaca bahwa ada
dorongan untuk mempertaruhkan modal kultural di ranah kekuasaan untuk
mendapatkan modal politik.
Di sisi lain, banyak yang berpendapat bahwa wacana ini bukan sekedar isu
otonomi
daerah
yang
juga
terjadi
di daerah
lain.
Soewarno (2011)
mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk keistimewaan Yogyakarta terletak pada
ranah: kepemimpinan, pertanahan, pariwisata, pendidikan, dan kebudayaan. Pada
lima bentuk ini, bentuk pertama hanya ada di Yogyakarta. Sedangkan, pada
bentuk yang lain bisa terjadi di daerah-daerah lain. Jadi, menghilangkan bentuk
pertama dari lima ragam keistimewaan ini sama saja dengan menghilangkan status
keistimewaan Yogyakarta.2
Penelitian ini tidak bermaksud untuk memberikan solusi praktis atau
kesimpulan legal-yuridis, namun lebih dekat mengungkap dinamika wacana dan
gerakan serta hubungan rumitnya dalam relasi kekuasaan. Di tengah ragam
penelitian tentang keistimewaan Yogyakarta, penulisan penelitian ini mengambil
fokus pada terciptanya relasi kuasa dalam gerakan sosial dan
wacana yang
membentuknya. Dengan catatan khusus, perspektif Foucault diaplikasikan untuk
melihat hubungan-hubungan kuasa ini.
Lebih khusus tentang gagasan soal negara ataupun bangsa, selalu menarik
mengingat bahasan ini menjadi berkembang. Benedict Andeson melalui Imagined
Communities memberikan penjelasan bahwa negara (state) bukanlah bangsa
2P.J. Soewarno. “Sultan HB X dan jabatan gubernur,” dlm. Monarki Yogya
Inskonstitusional?, Jakarta: Penerbit Kompas, hlm 134.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
6
(nation). Sedangkan bangsa adalah sebuah komunitas yang dibayangkan
(imagined community) oleh sejumlah orang yang merasa diikat oleh sejarah,
bahasa, budaya, dan teritori yang sama. Dikenal pula negara bangsa (nation-state)
yang menjadi umum kita kenal saat ini, dimana kebangsaan menjadi sumber
pembentukan suatu organisasi negara yang dijalankan oleh aparatur.
Sudut pandang dalam penulisan ini kurang dikembangkan oleh penulisanpenulisan kajian-kajian Keistimewaan Yogyakarta yang cenderung terseret dalam
kotak dikotomi ‘pro’ dan ‘kontra’, dengan terburu-buru memberikan solusi-solusi
praktis soal penentuan jabatan gubernur dan wakil gubernur sebagai pintu akhir
model keistimewaan. Disisi lain, penulisan ini adalah suatu upaya untuk tidak
menyerah pada definisi-definisi kaku, yang pada hakikatnya definisi selalu
berkembang dan tidak pernah selesai.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana genealogi Wacana Keistimewaan Yogyakarta?
2. Bagaimana mekanisme-mekanisme kuasa pada konstelasi antar subyek?
3. Bagaimana produksi pengetahuan soal kebenaran?
C.
TUJUAN PENELITIAN
1. Menjabarkan perkembangan wacana kedaulatan monarki di Jawa,
khususnya di Yogyakarta dari masa pra-kolonial, kolonial, dan paskakolonial
untuk
mencermati
hubungan-hubungan
kekuasaan
yang
melingkupinya. Pemaparan ini sekaligus memberikan alternatif cara
membaca sejarah secara kritis dengan metode genealogi agar masa lalu
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
7
menjadi pengetahuan yang menjadi pijakan untuk masa kini dan kebijakan
masa depan, bukan sekedar legitimasi politik.
2. Memaparkan bagaimana dinamika Gerakan Keistimewaan Yogyakarta
yang terwujud melalui kelompok Pro Penetapan saat mempengaruhi
pewacanaan tentang Yogyakarta. Pemaparan ini sekaligus membongkar
bagaimana sebuah gerakan menciptakan strategi, teknik, dan mekanisme
kuasa sebagai perwujudan perlawanan terhadap pemahaman dan pihak
tertentu yang bersebrangan.
3. Mengurai bagaimana produksi pengetahuan tentang kebenaran dalam
konteks relasi kuasa yang terwujud melalui hubungan-hubungan rumit
antara Wacana Keistimewaan Yogyakarta, bertumbuhnya Gerakan
Keistimewaan Yogyakarta.
D.
MANFAAT PENELITIAN
Bagi pengembangan Kajian Budaya dan ilmu sosial-humaniora yaitu ikut
mengaplikasikan sudut pandang keilmuan dalam melihat fenomena masyarakat.
Secara khusus, penelitian ini penting bagi kajian politik lokal untuk memperkaya
sudut pandang saat melihat fenomena sosial-politik dan kemunculan sebuah
gerakan sosial.
Untuk masyarakat yang ingin lebih memperdalam pengetahuan mengenai
sejarah Yogyakarta, penulisan ini bisa menjadi alternatif. Sedangkan, bagi pihakpihak yang terlibat dalam penentu kebijakan, penelitian ini bermaksud
memberikan kontribusi pemahaman agar ada sudut pandang yang kritis.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
E.
8
KERANGKA TEORITIS
Foucault menawarkan sudut pandang yang cukup luas untuk menganalisis wacana
dengan cara menggambarkan strukturnya dan membedah aspek-aspeknya.
Formulasi teori ini bertujuan menjabarkan bagaimana perspektif wacana, kuasa,
dan pemerintahan yang berlangsung dalam problematika Keistimewaan
Yogyakarta.
Foucault mengungkap bahwa kuasa terwujud dalam pengetahuan, yang
menjadi dasar menentukan kebenaran. Pengetahuan adalah sebuah sistem yang
menggerakkan dan mengatur prosedur yaitu; produksi, regulasi, distribusi,
sirkulasi, dan tindakan-tindakan pewacanaan.
Pengetahuan dengan sengaja diciptakan untuk menguasai dengan dijadikan
alat untuk menaklukkan. Misalnya, pengetahuan tersebut menjadi legitimasi bagi
kelompok tertentu untuk menguasai kelompok lainnya. Cara bekerja kekuasaan
dalam pengetahuan adalah penggolongan normal dan abnormal. Sekelompok
orang normal dengan dalil ilmiah, menentukan norma dan menyingkirkan
abnormalitas. Orang-orang yang dianggap abnormal menjadi obyek terdominasi.
Mereka menjadi sasaran dari praktek-praktek normalisasi melalui institusi atau
pengetahuan tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan mendefinisikan
dikotomi kaku sehingga kekuasaan terbentuk menjadi permainan benar dan salah.
Sifat kuasa itu menyebar, tidak tunggal. Daya-daya kuasa ada di setiap
hubungan-hubungan sosial. Kuasa tidak hanya daya yang mensubordinasi
sekelompok orang atau institusi-institusi yang beroperasi di ranah politik. Kuasa
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
9
juga dipahami sebagai sebuah proses yang menggerakkan dan mengaktifkan
bentuk-bentuk aksi, relasi atau susunan sosial.
Menganalisis dengan sudut pandang Foucault yaitu berpikir secara
konstruktivistik terhadap pengetahuan dengan membedah bangunan pengetahuan
tertentu. Hubungan erat antara kekuasaan dan pengetahuan menunjukkan adanya
problematisasi dalam setiap aspek kehidupan. Problematisasi tersebut tidak
alamiah melainkan konstruksi dari relasi kuasa yang membingkainya secara
historis. Oleh karena itu Foucault menawarkan suatu metode yang disebut
genealogi.
Genealogi adalah alternatif pendekatan atau cara berpikir dengan cara
menyusun konstitusi objek dengan latar belakang sejarah yang kemudian
membentuk konsep yang ada pada saat ini.3 Singkatnya, genealogi dimaknai
sebagai berikut; 1) Metode penelusuran historis. Metode ini tidak bertujuan untuk
mengetahui jalinan sejarah yang linear dan evolutif. Sebaliknya, genealogi
berurusan dengan pengetahuan yang spesifik dan terkait lokalitas tertentu. 2)
Penelusuran sejarah yang investigatif. Genealogi tidak menaruh perhatian pada
sejarah subyek yang seakan berkembang alamiah, sebagaimana menjadi ciri khas
penelusuran sejarah pada umumnya. Genealogi justru mencurigai semua hal yang
seakan-akan sudah lazim. 3) Sejarah masa kini. Genealogi tidak sekedar
menarasikan sejarah, tapi sejarah menjadi alat untuk menelusuri masa kini.
Foucault sendiri merumuskan tujuan genealogi yaitu pengungkapan
karakter masa kini yang berkait erat antara pengetahuan dengan aksi politik.
3Michel Foucault. “About the Beginnings of the Hermenuetics of the Self: Two Lectures
at Dartmouth.” Political Theory (1993): 198-227.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
10
Sebenarnya Foucault mengungkap dua manfaat genealogi. Pertama, mengetahui
masa kini dengan memahami produksi-produksi pengetahuan yang menjadi
karakter realitasnya. Kedua, dengan genealogi, realitas ini ditransformasikan
dengan membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam pemikiran dan
tindakan. Seakan Foucault ingin menganjurkan untuk melihat realitas masa kini
dan merefleksikannya dengan mempertanyakannya.
Dalam genealogi, Foucault menaruh perhatian pada teknik atau teknologi,
yaitu mekanisme yang tersusun dalam praktek-praktek untuk membentuk subyek
dengan pengelolaan atau manipulasi tertentu. Foucault menyatakan (1993: 203)
bahwa ada tiga tipe utama teknik, yaitu; 1) teknik-teknik yang membuat seseorang
untuk memproduksi, mentransformasi, dan memanipulasi banyak hal, 2) teknikteknik yang membuat seseorang menggunakan sistem tanda, 3) teknik-teknik
untuk menentukan perilaku orang-orang untuk mencapai tujuan tertentu. Teknikteknik ini disebut; teknik produksi, teknik manipulasi objek, teknik signifikansi
atau komunikasi, dan teknik dominasi. Teknik tersebut misalnya terwujud dalam
pernyataan-pernyataan yang secara lisan maupun tulisan yang mewakili pendapat
resmi.
Teknik-teknik ini terangkai bersama dalam relasi yang kompleks. Melalui
analisis
pada
teknik-teknik,
mekanisme-mekanisme
penting
untuk
mengartikulasikan kuasa yang menyusun subyek agar tersubyektivasi. Maka,
menjadi penting untuk menengarai teknik-teknik ini serta mekanismenya.
Caranya, dengan mengurai teknologi politik yaitu; teknik, strategi, dan
rasionalitas suatu pihak tertentu. Teknologi politik ini bisa diketahui dengan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
11
Pendisiplinan adalah tujuan yang ingin dicapai dari aplikasi teknologi diri.
Daya-daya pendisiplinan tersebar dimana saja untuk mengorganisir dan mengatur
‘tubuh-tubuh’ individu agar rapi dan teratur. Teknik ini nampak dalam keseharian
seperti yang terlihat dalam sekolah, rumah sakit, penjara, dan barak militer, yaitu
saat subyek diproduksi seakan-akan mereka yang mengatur diri mereka sendiri
untuk melayani tujuan tertentu.
Jadi, dengan mengetahui teknik-teknik yang bekerja untuk ‘membentuk’,
sehingga kita memahami bagaimana kita hidup dan berpikir. Teknik-teknik ini
membentuk subyek dengan: 1) memproduksi dan mengorganisir lingkungan
dimana para individu hidup, 2) menyusun sistem simbol yang signifikan dengan
tujuan memaksa individu untuk menciptakan pemahaman yang masuk akal untuk
diri mereka sendiri berdasarkan skema konseptual tertentu, dan 3) menekan
dengan kontrol langsung terhadap aksi dan kebiasaan manusia dengan cara yang
akhirnya membentuk pengalaman keseharian, tingkah laku, dan kebiasaan
individu dalam konteks masyarakat tertentu.
Teknik pembentukan diri pasti terjadi dalam setiap peradaban. Teknikteknik ini terbentuk nyata menjadi prosedur yang menganjurkan atau menetapkan
aturan-aturan tertentu untuk membentuk individu dalam rangka untuk membentuk
identitasnya, mengelolanya, dan merumuskannya dalam istilah-istilah tertentu
(Foucault 1997: 87). Proyek yang ingin dicapai oleh Foucault dengan mengurai
teknik-teknik pembentukan diri yaitu kembali pada tujuan genealogi, memahami
sejarah pembentukan subyek yang selalu terkait dengan konteks wacana kuasa
yang membentuknya.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
F.
12
TINJAUAN PUSTAKA
Musim semi penerbitan tema Keistimewaan Yogyakarta mulai marak paska
reformasi. Beberapa peneliti menuliskan Yogyakarta dengan sudut pandang
sejarah, hukum, dan pemerintahan. Tinjauan ini menjabarkan tentang beberapa
penelitian yang relevan. Dari berbagai terbitan, saya membuat beberapa
pengelompokan berdasarkan tendensi argumennya. Pertama, argumen yang tegas
memberikan kesimpulan bahwa pemaknaan utama atas Keistimewaan Yogyakarta
yaitu pada penetapan Sultan Hamengku Buwono X dan dan Adipati Paku IX
Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY. Kedua, argumen-argumen yang
tidak secara jelas menyatakan pendapat soal penetapan. Ketiga, argumen yang
menyatakan bahwa konsep keistimewaan tidak ditafsirkan sebagai penetapan
gubernur dan wakil gubernur.
Demokratisasi adalah salah satu kata kunci dalam penulisan tema
Keistimewaan Yogyakarta. Heru Wahyukismoyo (2004) dalam Keistimewaan
Jogja vs Demokratisasi menjabarkan tentang proses demokratisasi di dalam
Kasultanan Yogyakarta melalui beberapa fase, yang secara signifikan dirintis oleh
Sultan HB IX di lingkup istana. Sebelumnya, sebuah karya yang terkenal telah
ditulis oleh Selo Soemardjan, yaitu Perubahan Sosial di Yogyakarta. Dalam karya
tulis tersebut, Soemardjan merinci bagaimana demokratisasi mengalami
perubahan dalam konteks birokrasi. Walaupun pemerintahan Sultan HB IX
melakukan perubahan birokrasi, saat memasuki masa republik, perubahan terjadi
lagi terutama dalam birokrasi pemerintahan masyarakat desa.4
4Selo Soemardjan (2009). Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas Bambu
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
13
Penulisan dengan perspektif yang lebih kritis tentang demokratisasi adalah
buku berjudul Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta. Buku yang ditulis
oleh para peneliti pemerintahan tersebut memberikan gambaran bahwa isu ini
tidak semata-mata soal kepemimpinan raja-raja yang mempunyai hak khusus
sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui penetapan. Ada tiga isu
pokok, yaitu posisi kraton dalam konstelasi politik daerah, politik pertanahan, dan
otonomi daerah. Dengan eksplisit, dinyatakan pula bahwa, posisi gubernur dan
wakil gubernur yang dipilih melalui pemilihan adalah salah satu bentuk dari
demokratisasi.5
Dimensi politik identitas juga mulai dibicarakan. Gejala primordialisme
mulai meningkat. Kesadaran akan identitas menjadi orang Yogyakarta memicu
berkembangnya kelompok dari kawasan pedesaan. Paguyuban-paguyuban
perangkat desa menyatakan bahwa keistimewaan adalah urusan warga asli. Mulai
tercipta dikotomi identitas kultural antara warga asli dan pendatang.6
Ragam kajian tentang daerah mengungkapkan bahwa gejolak-gejolak
antara pemerintah pusat dengan daerah, bermula dari reformasi 1998 yang
membuka saluran aspirasi sebesar-besarnya setelah runtuhnya Orba. Kelompokkelompok yang mempunyai karakteristik dan tujuan beragam mulai bermunculan.
Mereka mempengaruhi perbincangan politis soal negara dan demokrasi. Gagasan
5Lihat: Abdur Rozaki & Titok Hariyanto(ed).2003. Membongkar Mitos Keistimewaan
Yogyakarta. Yogyakarta: IRE.
6Wawan Mashudi. 2009. “Komodifikasi Identitas: Reproduksi Wacana Asli dan
Pendatang dalam Debat Keistimewaan DIY,” dlm. Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan
Ruang/Space dalam Dinamika Politik di Indonesia dan Asia Tenggara. Salatiga: Percik.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
14
tentang bangsa, negara, dan daerah mulai dipertanyakan dengan gugatan atas
identitas, legitimasi negara, penindasan kultural, dan penjajahan politis.
Beberapa peneliti menjabarkan tentang fenomena menguatnya kekuatan
politik terwujud melalui Gerakan Adat untuk merebut kekuasaan di tingkat lokal.
Beragam komunitas adat melakukan resistensi dengan berkoalisi. Gejala ini
terlihat dari terbentuknya AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).7 Ada
kekecewaan terhadap model-model universal kemajuan yang terwujud dalam
proyek-proyek politik seperti Nasionalisme dan Sosialisme. Chaney (1994) dan
Jameson (1998) mengungkapkan gerakan adat yang muncul di berbagai penjuru
Indonesia mencerminkan putaran balik budaya (cultural turn) dalam dunia
intelektual. Keragaman budaya dipertahankan dan menyebabkan pergeseran
politik praktis. Situasi ini memunculkan simpati pada kelompok-kelompok
berbasis indigenitas dan etnisitas.
Masyarakat lokal menghidupkan kembali simbol-simbol budaya sebagai
resistensi pada kuasa negara dan ideologi pembangunan Orba. Kebangkitan para
raja ini menciptakan ranah dimana saling tarik ulurnya kaum komunitarian dan
kaum liberal. Dalam Kembalinya Para Sultan: Pentas Gerakan Komunitarian
dalam Politik Lokal (van klinken, 2010) terungkap bahwa para raja memainkan
peran simbolik dalam dinamika politik daerah.
Para intelektual kelas menengah di daerah-daerah melakukan renegosiasi
kekuasaan. Yang direnegosiasi yaitu kompetensi birokratis, kekuasaan politik,
pengaturan ekonomis, dan redefinisi identitas kelompok. Dengan perubahan
7Henley& Davidson. “Konservatisme Radikal: Aneka Wajah Politik Indonesia,” dlm.
Politik Lokal di Indonesia, hlm. 1.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
15
politik dan ekonomi yang cepat ini, mereka mengkonseptualkan diri mereka,
keterikatan pada daerah, dan hubungannya dengan Indonesia.Walaupun tercipta
bentukan identitas daerah yang unik, pada saat yang sama terwujud sebuah
budaya nasional. Maka, munculah ambivalensi, kompleksitas, dan kontradiksi.
Problema politik Identitas muncul di kajian-kajian tentang Mentawai dan
Minangkabau. Myrna Eindhoven (2007) menuliskan bahwa etnisitas mulai
menjadi motif dalam perubahan politik. Saat desentralisasi dimulai, orang-orang
Mentawai asli mengambil kesempatan untuk mencapai tujuan politik.Ideologi
etnik ‘asli’ kemudian menjadi senjata ampuh.8 Franz dan Keebet von BendaBeckman (2007) menulis tentang sistem adat nagari di Minangkabau yang
melibatkan para aktor politik daerah dan partisipan di tingkat propinsi, nasional,
dan internasional. Hal ini menunjukkan bahwa nagari sangat signifikan bagi
konstruksi identitas Minangkabau.9
Nordholt menulis tentang Ajeg Bali (ketahanan Bali). Perubahanperubahan politis di Bali ini dilihat dalam konteks Indonesia secara luas.10
Ekspresi atas perbedaan-perbedaan di masing-masing daerah ini dinyatakan
dengan cara yang serupa (Nordholt: 2007).
8Myrna Eindhoven. 2007 “Penjajah Baru? Identitas, Representasi, dan Pemerintahan di
Kepulauan Mentawai Pasca Orde Baru,” dlm. Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken (ed.).
Politik lokal di Indonesia. Jakarta: KILTV & YOI, hlm. 87 – 115.
9Franz & Keebet von Benda-Beckman. 2007. “Identitas-identitas Ambivalen:
Desentralisasi dan Komunitas-komunitas Politik Minangkabau,” dlm. Henk Schulte Nordholt &
Gerry van Klinken (ed.). Politik lokal di Indonesia. Jakarta: KILTV & YOI, hlm. 543 – 576.
10Henk Schulte Nordholt. 2007. “Bali: Sebuah Benteng Terbuka,” dlm. Henk Schulte
Nordholt & Gerry van Klinken (ed.). Politik lokal di Indonesia. Jakarta: KILTV & YOI, hlm. 505
– 542.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
G.
16
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian kualitatif ini adalah penelitian menggunakan analisis wacana kuasa
dengan perspektif Foucauldian. Dua pendekatan diaplikasikan sekaligus yaitu
pengamatan langsung dan analisis wacana.
Sumber data terdiri dari dua sumber yaitu: 1) hasil wawancara dengan
nara sumber, beberapa aktivis gerakan serta dilengkapi dengan catatan lapangan.
sumber-sumber kepustakaan berupa literatur historis tentang sejarah Yogyakarta,
dan 2) Sumber literatur mengenai informasi tentang pergerakan kelompok
penetapan.
Teknik Pengumpulan Data menggunakan dua pendekatan yaitu; 1)
Wawancara mendalam dan Pengalaman langsung di lapangan. 2) Pengumpulan
literatur data historis dan dan informasi tertulis tentang kejadian-kejadian tertentu
dari media massa dan dokumen-dokumen.
Teknik pengolahan data menggunakan metode analisis wacana kuasa
Foucauldian. Sebagaimana diungkapkan oleh Foucault, untuk mengetahui
teknologi politik, analisis harus memilah dan menempatkannya dalam ranah-ranah
khusus yang terkait dengan pengalaman fundamental tertentu.11 Oleh karena itu,
dari berbagai data yang terkumpul saat penelitian, akan dipilih dan dipilah
menjadi narasi peristiwa, kejadian, dan pemikiran tertentu. Narasi tersebut yang
menjadi pijakan untuk menganalisis dengan memetakan mekanisme kuasa yang
bekerja
11Disampaikan oleh Foucault dalam kuliah terbuka tentang Kuasa Pastoral dan Rasio
Politik, , “Kuasa Pastoral dan Rasio Politik” (1979). Dlm Carette, Jeremy R. (ed.). Agama,
Seksualitas, Kebudayaan (terj.). Yogyakarta: Jalasutra., hlm 195.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
H.
17
SKEMA PENULISAN
Penyajian tulisan hasil penelitian berjudul Relasi Kuasa dalam Dinamika Gerakan
dan Wacana Keistimewaan Yogyakarta ini dibagi atas lima bab. Sistematika
penulisannya sebagai berikut : Bab I yaitu Pendahuluan yang mencakup Latar
Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka
Teori, Tinjauan Pustaka, dan Metodologi Penelitian.
Bab II berjudul Suaka Kedaulatan, menuliskan lingkup historis tentang
sejarah kedaulatan dan pemerintahan di Yogyakarta. Bab ini menarasikan sejarah
kerajaan di Yogyakarta yang bertransformasi dari waktu ke waktu. Bagian akhir
bab ini menceritakan hasil penelusuran saya tentang narasi awal mula
terbentuknya Gerakan Keistimewaan Yogyakarta.
Bab III berjudul Menguatnya Kelompok Pro Penetapan, memaparkan hasil
temuan data penelitian. Bab ini adalah deskripsi mengenai kejadian tertentu dalam
kelompok Pro Penetapan yakni Sekber Keistimewaan.
Bab IV, Relasi Kuasa, adalah tulisan analisis atas temuan data. Penulisan
analisis ini dibagi dalam beberapa bagian yang disesuaikan dengan ranah-ranah
yang lebih spesifik.
Bab V menjadi penutup sekaligus Refleksi kritis saya sebagai seorang
peneliti.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
18
BAB II
SUAKA KEDAULATAN
Selama ini sejarah menjadi argumen utama untuk memperdebatkan eksistensi
Keistimewaan Yogyakarta. Tanpa bermaksud menjadikan sejarah sebagai kata
keramat, sejarah akan menjadi kata kunci untuk menelusuri perkembangan
makna.12 Perdebatan mengenai Keistimewaan Yogyakarta terkesan menjadi
bagaimana menafsirkan sejarah. Hal ini wajar, karena status daerah istimewa
sangat terkait dengan eksistensi monarki yang hidup di Jawa selama ratusan
tahun. Maka, deskripsi historis ini menjadi proses awal untuk menelusuri
keberadaan Yogyakarta yang berlatar belakang kerajaan. Oleh karena itu, sangat
signifikan untuk menjabarkan sejarah pemikiran tentang kedaulatan monarki di
Yogyakarta yang kemudian tetap bertahan pada paska pemerintahan kolonial,
serta saat ini hidup dalam ruang lingkup kedaulatan negara penerus (Successor
State) bernama Republik Indonesia.
Bab ini menjadi penjabaran historis tentang bagaimana struktur
pemerintahan di masa lalu yang memungkinkan kedaulatan ‘saling menumpuk’.
Artinya, tidak ada kekuasaan yang benar-benar tunggal dan tak terbagi. Dalam
konteks hubungan politik, kerajaan penguasa tidak pernah benar-benar
‘mematikan’ kerajaan-kerajaan kecil. Penguasa baru yang datang silih berganti
12Kalimat ini mengembangkan argumen Bambang Purwanto (2003) yang berpendapat
bahwa kata “sejarah” menjadi kata keramat kedua setelah “istimewa” dalam polemik soal
Keistimewaan Yogyakarta. Lihat: Purwanto, Bambang. 2003. “Keistimewaan yang sarat beban
sejarah,” dlm. Rozaki, Abdur & Hariyanto, Titok (ed.). Membongkar Mitos Keistimewaan
Yogyakarta. Yogyakarta: IRE, hlm. xi - xxiv.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
19
selalu menempatkan penguasa-penguasa dalam suatu suaka yang memungkinkan
mereka tetap hidup untuk memerintah rakyat dan mengelola wilayahnya.
Penelusuran latar belakang historis ini dimulai dengan narasi tentang
keberlangsungan kedaulatan negara13 pada kerajaan-kerajaan di Jawa. Kemudian,
berlanjut dengan mengungkap kembali momentum-momentum yang terkait
dengan pengalaman problema kekuasaan serta bagaimana hubungan antar pihak
yang tercipta di dalamnya.
A.
OTORITAS BERTINGKAT
Bahasan tentang Yogyakarta ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Kasultanan Yogyakarta)14 yang telah
hidup lama. Kerajaan ini mempunyai akar sejarah ratusan tahun dengan kerajaankerajaan Jawa jauh sebelum kapal-kapal dagang bangsa Eropa memasuki
Nusantara. Otoritas bertingkat sudah menjadi model politik sejak masa pra
13Istilah‘negara’ dalam penulisan ini mempunyai dua pemahaman. Pertama, negara
(state) untuk menyebut sebuah entitas politik termasuk kerajaan-kerajaan Jawa di masa lalu.
Kedua, negara (dalam cetak miring) adalah sebuah konsep wilayah dalam Kerajaan Mataram.
Negara adalah wilayah inti yang secara langsung diperintah oleh raja-raja Mataram. Istilah ini juga
untuk membedakannya dengan satuan wilayah lainnya seperti negaragung, mancanegara, dan
pasisiran.
14Nama awal dari Yogyakarta adalah Ngayogyakarta. Pada perkembangannya
penyebutan disederhanakan menjadi Yogyakarta saja. Tidak ada sumber-sumber yang memberikan
penjelasan tentang penghilangan suku kata Nga- tersebut. Maka, dalam penulisan ini, nama
Yogyakarta yang digunakan sebagai penyebutan.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
20
kolonial. Perwujudan otoritas bertingkat oleh beberapa penulis sejarah dikatakan
serupa dengan konsep otonomi daerah.15
Sistem bertingkat tersebut terdapat dalam keberadaan daerah-daerah
otonom dalam suatu Negara yang berbentuk kerajaan. Daerah otonom ini disebut
sebagai vasal yang artinya daerah taklukkan atau Negara jajahan. Kata ini juga
mempunyai makna sebagai suatu kondisi yang menunjukkan keterikatan atau
ketertundukkan.Vasal juga bisa diartikan sebagai daerah yang mempunyai
pemerintahan otonom (Dependent State) atau Negara Bagian. Hubungan antara
vasal dengan kerajaan induk diwujudkan dengan kesetiaan vasal melalui
persembahan upeti dan audiensi (pisowanan) secara periodik. Kesetian vasal pada
negara induk diukur dari upeti (wulu bekti) yang diberikan oleh para raja vasal
saat pisowanan tiga kali setahun pada saat hari besar keagaamaan (Idul Fitri, Idul
Adha, dan Maulud Nabi).16 Ketidaksediaan vasal dalam pemenuhan dua hal ini
berarti ada dorongan untuk separatisme yang berujung pada konflik atau
perpecahan.17
Onghokham menuliskan bahwa kekuasaan pemerintah pusat pada masa
kerajaan-kerajaan Jawa hanya menjadi ‘bayangan’. Artinya, pemerintah pusat,
15Agus Supangat dkk (2003) dalam Sejarah Maritim Indonesia: Menelusuri Jiwa Bahari
Bangsa dalam Proses Integrasi Bangsa (sejak zaman prasejarah hingga Abad XVII), menuliskan
bahwa akar konsep tentang otonomi daerah sudah ada sejak masa pra kolonial. Gejala ini nampak
dalam hubungan pusat dan daerah. Pada masa lalu, daerah tidak mengalami pengaturan langsung
dari pusat pemerintahan.
16Lihat Penjelasan Sartono Kartodirdjo, Alexander Sudewo, dan Suhardjo Hatmosuprobo
(1987) dalam Perkembangan Peradaban Para Priyayi. Secara praktis, kekuasaan raja di pusat
hanya menjadi ‘bayangan’ karena tidak memegang kendali secara langsung atas pemerintahan
kerajaan-kerajaan kecil di luar negaragung.
17Agus Supangat (ed.). 2003. Sejarah Maritim Indonesia: Menelusuri Jiwa Bahari
Bangsa dalam Proses Integrasi Bangsa (sejak zaman prasejarah hingga Abad XVII), hlm. 7-11.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
21
yakni raja dan para pejabat tidak memerintah secara langsung vasal sebagai
daerah taklukan. Daerah-daerah pinggiran tersebut tidak pernah ‘menikmati’
pemerintahan oleh raja di pusat pemerintahan melainkan secara nyata, rakyat
mengalami pemerintahan raja-raja kecil yaitu para bupati.18
1.
Perebutan Pusat Kekuasaan
Perebutan kekuasaan menjadi hal yang lazim dalam dinamika politik kerajaankerajaan di Jawa sebelum masa kolonial. Perebutan kekuasaan berbentuk
penaklukaan dan suksesi. Jadi, pada dasarnya, di dalam peta kekuasaan di Jawa,
benih-benih perebutan kekuasaan sudah berkembang.
Setelah melemahnya kerajaan besar Majapahit, Demak yang awalnya
hanya sebuah kabupaten atau kadipaten19 yang statusnya hanya vasal,
mempunyai kesempatan untuk berkembang. Demak menjadi kerajaan dan
Majapahit runtuh. Kerajaan Islam pertama di Jawa ini menandai babak baru dalam
sejarah kekuasaan di Jawa.20
18Ong Hok Ham (1983). Rakyat dan Negara, hlm. 90.
19Kabupaten adalah sebuah daerah yang dipimpin oleh seorang Bupati, sedangkan
Kadipaten dipimpin seorang Adipati. Di dalam literatur tentang kerajaan-kerajaan Jawa,
sebagaimana dituliskan oleh Sartono Kartodirdjo dkk dalam Perkembangan Peradaban Priyayi
daerah-daerah yang dipimpin oleh raja-raja bawahan ini disebut Kabupaten, kadang juga disebut
kadipaten. Setelah memasuki masa terpecahnya kerajaan Mataram menjadi empat kerajaan,
kabupaten adalah daerah pemerintahan yang dibawah Kasunanan Surakarta, Kasultanan
Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman.
20Semenjak pemerintahan Raden Patah dengan Kerajaan Demak di Jawa, ada empat
kejadian penting yaitu; 1) Mulainya jaman kerajaan Islam. 2) Berdirinya masjid Demak. 3)
Penyerangan pasukan Jawa atas orang Portugis di Malaka. 4) Mulainya tradisi restu para wali bagi
seseorang untuk menjadi raja di Jawa. Lihat: Moedjanto (2002) Suksesi dalam Sejarah Jawa,
Yogyakarta: Penerbit USD. hlm. 43
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
22
Suksesi biasanya menjadi benih perpecahan. Menurut catatan sejarah,
konflik sering bermula dari perselisihan antar bangsawan dan berujung pada
perang perebutan tahta. Selain itu, dengan melemahnya kerajaan induk, kerajaankerajaan vasal yang hidup di lingkup kekuasaannya berpeluang untuk mengambil
alih pusat kekuasaan.21
Sebuah vasal bisa menguat dan mengalahkan negara induknya. Hal ini
menjadi titik pijak untuk problema-problema kekuasaan yang terjadi setelahnya.
Kejadian melemahnya Majapahit yang digantikan oleh Demak terulang kembali.
Demak mulai melemah, membuat Pajang, salah satu vasalnya, untuk mengambil
alih pusat kekuasaan. Pusat kekuasaan Jawa yang berpindah ke Pajang ternyata
tidak abadi. Berkembanglah Mataram, dengan rajanya Panembahan Senapati yang
membalikkan keadaan. Mataram bertumbuh menjadi kerajaan yang kuat dan
berhasil menaklukkan Pajang. Perpindahan pusat kekuasaan Kerajaan Mataram
menjadikan Pajang dan Demak sebagai vasal. Mataram semakin menguat, pada
masa Sultan Agung, pasukan Mataram melakukan penyerbuan terhadap koloni
Belanda di Jayakarta (Batavia).
Secara
perlahan,
kolonialisme
menanamkan
kekuasaannya
dalam
kerajaan-kerajaan di Jawa.22 Koloni Belanda ini awalnya adalah vasal di dalam
21Moedjanto (2002), ibid, yang secara khusus meneliti tentang sejarah suksesi pada
kerajaan-kerajaan di Jawa memulai bahasannya pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Budha
sampai dengan masa kerajaan-kerajaan Islam, dan datangnya kolonialisme. Bukan suatu kebetulan
bahwa rentetan suksesi dari masa kerajaan ini sangat berhubungan. Dan terlihat bahwa, faktor
suksesi selalu menjadi penyebab utama dari pergeseran kekuasaan kerajaan pusat ke kerajaan
bawahan.
22Melalui serangkaian perjanjian-perjanjian yang terjadi pada tahun 1705, 1733, 1743,
dan 1746 Mataram mulai termutilasi dengan kehilangan wilayah-wilayahnya. Dan pada akhirnya,
perjanjian tahun 1749 yang ditandatangani oleh Paku Buwono II menyatakan bahwa Mataram
menyerahkan kedaulatan ke tangan VOC, menandai periode pemerintahan kolonial. Lihat:
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
23
Kerajaan Mataram. Pada perkembangannya, VOC (Kompeni) berbalik menjadikan
Mataram sebagai vasal (Moedjanto, 2002). Kedatangan pihak asing ini menjadi
titik pijak perubahan politik di Jawa dalam hal perebutan kekuasaan.
Kecenderungan berkonflik menjadi salah satu faktor lemah sehingga strategi
Devide et Impera, yang memecah kekuasaan, berlaku secara efektif.
Campur tangan Kompeni dalam kehidupan politik menyebabkan Mataram
melemah. Kompeni memanfaatkan situasi di tengah konflik para bangsawan saat
terjadi perkara suksesi, dengan memberikan dukungannya pada salah satu pihak.
Pemberian dukungan ini disertai dengan perjanjian bahwa Kompeni akan
mengambil alih sebagian wilayah tertentu. Kejadian inilah yang menyebabkan
Mataram kehilangan daerah-daerahnya; mancanegara dan pesisiran, yang
kemudian menjadi daerah administratif pemerintahan kolonial. Kerajaan Mataram
juga terpecah melalui perjanjian-perjanjian politik. Pada akhirnya, daerah-daerah
ini hidup dibawah kendali kompeni baik secara langsung maupun tidak langsung.
Intervensi Kompeni dalam kebijakan-kebijakan pemerintahan kerajaankerajaan lokal di Jawa tidak terhindarkan lagi karena pihak asing ini menunjukkan
daya tawar yang kuat dengan perdagangan dan bantuan persenjataan yang
membuat pemerintah kerajaan lokal berasa bergantung pada keberadaan Kompeni.
Maka, dengan mudahnya raja meminta bantuan Kompeni saat menghadapi
masalah-masalah yang mengancam kedaulatan negara.
Walaupun kedaulatan Mataram sudah jatuh ke tangan Kompeni, konflik
internal tetap terjadi. Perjanjian politik kembali disepakati pada tahun 1755 yang
Moedjanto (1987) Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram, Yogyakarta:
Kanisius.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
24
disebut sebagai Perjanjian Giyanti. Hasilnya, Kerajaan Mataram dibagi dua yaitu
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Setelah perjanjian ini, nama
Mataram tidak lagi digunakan. Kompeni melarang dua pecahan kerajaan
menggunakan nama Mataram dengan tujuan untuk melemahkannya (Moedjanto,
2002).
Konflik bermula dari protes Raden Mas Sujono / Pangeran Mangkubumi
terhadap raja Mataram, Susuhunan Paku Buwono II. Sebelumnya, telah terjadi
pemberontakan oleh seorang pangeran yaitu Raden Mas Said yang dikenal
sebagai Pangeran Sambernyawa. Sesuai dengan janji Susuhunan PB II,
Mangkubumi seharusnya mendapatkan jatah kepemilikan tanah karena telah
memenangkan perang. Atas anjuran Patih Pringgalaya dan Gubernur Van Imhoff,
Susuhunan PB II urung menepati janji. Hal inilah yang membuat Mangkumi
bergabung dengan Said untuk memulai pemberontakan melawan kerajaan
Mataram dan Kompeni. Perang 9 tahun ini berakhir dengan disepakatinya
Perjanjian Giyanti.
Konflik masih terjadi dan berujung pada pembagian wilayah. RM Said
menuntut hak atas penguasaan wilayah. Kembali lagi, Kompeni dan perwakilan
pihak-pihak yang berseteru berkumpul dalam Perjanjian Salatiga tahun 1757.
Perjanjian ini menjadi legalisasi dalam pembentukan sebuah Kerajaan baru
bernama Kadipaten Mangkunegaran. Pangeran Said naik tahta, bergelar Adipati
Mangku Negara I yang berkuasa atas separuh wilayah Kasunanan Surakarta.
Disintegrasi terjadi lagi di Kasultanan Yogyakarta. Inggris pada tahun 1813
membentuk sebuah kerajaan baru bernama Kadipaten Pakualaman, atas balas jasa
kepada Pangeran Nata Kusuma yang telah membantu Pasukan Inggris
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
25
menaklukkan Yogyakarta. Pangeran Natakusuma naik tahta bergelar Paku Alam I.
Sampai pada terbentuknya Kadipaten Pakualaman, kerajaan besar Mataram telah
terpecah menjadi empat kerajaan dibawah subordinasi pemerintah kolonial.
2.
Negara Vasal di Jawa
Dalam keberadaan vasal terlihat ada jenjang hirarki dalam kedaulatan penguasa
dan negara yang telah ditaklukkan. Maka, sistem ini menunjukkan adanya raja
atasan dan raja bawahan. Raja atasan bisa disebut kaisar dalam kebudayaan Eropa,
China atau Jepang. Sedangkan raja bawahan dalam tradisi Jawa menyebut diri
mereka Adipati atau Bupati.23
Pemecahan kekuasaan melalui pembagian wilayah kerajaan membuat
kerajaan-kerajaan kecil ini mempunyai pengelolaan yang rentan konflik.
Walaupun Mataram sudah dibagi secara teritorial menjadi Mataram Timur
(Surakarta)
dan
Mataram
Barat
(Yogyakarta),
masing-masing
kerajaan
mempunyai wilayah enclave. Kasultanan Yogyakarta mempunyai daerah kantong
di dalam wilayah Kasunanan Surakarta di sebelah timur, demikian juga
sebaliknya. Moedjanto menilai hal ini adalah kebijakan kolonial yang bermaksud
memecah belah Mataram agar terus berkonflik. Sedangkan Onghokham menilai
bahwa pembagian wilayah yang tersebar ini menyesuaikan logika penguasaan
raja-raja Jawa pada masa lalu yang menggunakan konsep cacah (keluarga petani).
Seorang penguasa feodal/raja-raja kecil yaitu para pangeran dan bupati atau para
23Dalam Perkembangan Peradaban Priyayi yang ditulis oleh Sartono Kartodirjo dkk,
istilah ‘bupati’ menjelaskan sebuah jabatan politik atas daerah-daerah di wilayah mancanegara
dan pasisir yang tidak lagi menjadi wilayah bawahan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta tapi sudah menjadi wilayah administratif kolonial. Sedangkan ‘Adipati’ menjadi
sebutan untuk gelar tertinggi yang dimiliki oleh para bangsawan di mancanegara dan pasisir.
Seorang Bupati mempunyai gelar Adipati.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
26
raja yang bergelar Adipati, Susuhunan, dan Sultan memperlihatkan seberapa besar
pengaruhnya dengan banyaknya jumlah pengikut. Maka, bisa dimengerti mengapa
pembagian wilayah antara Yogyakarta dan Surakarta banyak enclave.24
Sebutan ‘Sultan’ sebenarnya tidak lazim untuk seorang Sultan. Baru pada
saat VOC menaklukkan Mataram, gelar Sultan menjadi gelar untuk seorang Raja
bawahan. Gelar yang diadopsi dari timur tengah ini diyakini sebagai gelar raja
yang tinggi, melebihi gelar-gelar lain yang berkembang dalam tradisi Jawa. Gelar
ini juga menjadi legitimasi bagi Kerajaan Yogyakarta untuk menyaingi Kerajaan
Surakarta. Gelar ‘Sultan’ yang diperoleh dari timur tengah ini dipercaya menjadi
gelar yang lebih prestisius dibandingkan dengan gelar ‘Sunan’ yang digunakan
oleh raja di Surakarta.25
Untuk selanjutnya, kerajaan-kerajaan penerus Mataram (Kasunanan
Surakarta, Kasultanan Yogyakarta serta Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten
Pakualaman) juga menjadi negara-negara vasal dalam lingkup kekuasaan
pemerintah kolonial. Ketika pemerintah kolonial berganti, mulai dari VOC
(kumpeni/Kerajaan Holland), Hindia Perancis (Kerajaan Belanda-Perancis, pada
masa Gubernur Daendels), EIC (East Indian Company)/Hindia Timur (Kerajaan
24Ong Hok Ham (1983) dalam “Merosotnya Peranan Pribumi dalam Perdagangan
Komoditi” mengungkapkan bahwa konsep cacah ini tetap menjadi dasar dalam pembagian
wilayah. Hal ini bertentangan dengan Moedjanto (2002) dalam Suksesi dalam Sejarah Jawa yang
lebih menonjolkan peran kolonial dalam pembagian wilayah. Bagi Moedjanto tersebarnya wilayah
enclave adalah strategi politik untuk memelihara perseteruan antara Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta.
25Dengan terkesan memberikan penilaian, Moedjanto (2002) dalam Suksesi dalam
Sejarah Jawa mengungkapkan bahwa pemilihan gelar ‘Sultan’ oleh Pangeran Mangkubumi
menempatkannya lebih unggul daripada raja Surakarta yang menggunakan gelar ‘Sunan’.
Sebelumnya, saat masih melakukan pemberontakan, Mangkubumi sudah mengangkat diri menjadi
seorang raja dengan gelar ‘Sunan’. Moedjanto juga memberikan penjabaran bahwa gelar Sultan
dalam masyarakat Jawa saat itu menjadi sebutan untuk raja yang paling tinggi melebihi gelar lain
seperti Sunan atau Panembahan.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
27
Inggris/pada masa Gubernur Rafles), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland),
Angkatan Darat XVI (Kekaisaran Jepang), keberadaan kerajaan-kerajaan ini tetap
menjadi vasal.
Pemerintah Hindia Belanda, menempatkan kerajaan-kerajaan pecahan
Mataram ini pada daerah yang disesuaikan dengan sistem pemerintahan kolonial
di Jawa. Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran dimasukan dalam
sebuah karesidenan, yaitu Karesidenan Surakarta. Sedangkan Kasultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman berada di wilayah Karesidenan
Yogyakarta.26 Kedua karesidenan ini disebut Voorstenlanden yang artinya
wilayah raja-raja. Dalam prakteknya, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten
Pakualaman tetap mempunyai struktur-struktur pemerintahan. Bersama dengan
apparatus pemerintahan Hindia Belanda kedua kerajaan ini mengelola daerah
karesidenan Yogyakarta.
3.
Kontrak Politik
Kontrak Politik ialah kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah kolonial
kepada pihak kerajaan untuk menundukkannya sekaligus menetapkannya sebagai
vasal. Sebuah kontrak politik ditandatangani bersama oleh seorang calon sultan
dengan Gubernur Jendral VOC. Sejak penandatangan kontrak tersebut, putra
26Dalam masa pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman
meleburkan kedaulatannya dalam Kasultanan Yogyakarta. Sebagai sebuah vasal yang tunduk pada
Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman mempunyai dua pilihan yaitu, memilih berdaulat
penuh, atau mengikuti kebijakan kerajaan induk. Konflik di kerajaan tetangga juga terjadi dengan
ketidaksepahaman antara Kasunanan Surakarta dengan Kadipaten Mangkunegaran. Kadipaten
Pakualaman justru meleburkan kekuasaannya kedalam Kasultanan Yogyakarta. PA VIII
menyatakan bahwa integrasi Pakualaman ke dalam Kasultanan menjadi satu wilayah, tidak pernah
disesalinya walaupun pernah ada yang menyatakan kritik atas keputusannya tersebut.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
28
mahkota tersebut mendapatkan hak untuk mengelola kerajaan dan diangkat
menjadi raja walaupun secara resmi, kedaulatan dipegang oleh pemerintah
kolonial. Singkatnya, Kontrak Politik adalah instrumen penundukan kepada
sebuah negara dengan menjadikannya vasal.
Sebagai sebuah kesepakatan, kontrak politik tidak menunjukkan hubungan
kesetaraan. Kesepakatan ini lebih menunjukkan pola hubungan antara pemegang
kuasa atasan dengan pemegang kuasa bawahan.27 Maka terlihat bahwa hubungan
kerajaan-kerajaan di Jawa adalah daerah taklukan kolonial.
Oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, kontrak politik disusun
berdasarkan jangka waktu tertentu yang disebut kontrak panjang (korte
verklaring) dan kontrak panjang disebut (lange contracten). Daerah-daerah yang
mendapatkan kontrak panjang ini mempunyai struktur pemerintahan sendiri
walaupun tetap dalam kontrol pemerintah kolonial. Sedangkan, vasal yang
menyepakati kontrak pendek, kekuasaannya lebih terbatas.
Dibalik kontrak ini tersimpan agenda tersembunyi, yaitu pengurangan
wewenang raja secara perlahan. Akibatnya, sampai pada permulaan abad ke-20,
hanya tersisa dua kerajaan yang mendapatkan kontrak panjang yaitu Surakarta dan
Yogyakarta. Kedua kerajaan ini ditempatkan dalam dua sistem pemerintahan
bernama karesidenan yang diperintah oleh residen kolonial. Dengan demikian
kerajaan-kerajaan yang menandatangani kontrak panjang bisa disebut ‘separuh
27Moedjanto (1994) dalam Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman
menegaskan bahwa Kontrak Politik ini bukanlah perjanjian antar negara merdeka. Maka menjadi
jelas bahwa kontrak politik ini adalah kesepakatan antara negara/kerajaan pemenang dan
negara/kerajaan yang kalah.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
29
dijajah’. Keempat kerajaan yang menempati daerah vorstenlanden ini menempati
wilayah sebesar 7% di Jawa.28
Pangeran Dorojatun (Bendoro Raden Mas Dorojatun) sempat tidak
menyepakati butir-butir yang tertera dalam kontrak tersebut sehingga membuat
Yogyakarta mengalami kekosongan tahta selama beberapa bulan sepeninggal
Sultan HB VIII. Akhirnya, kontrak tersebut ditandatangani oleh sang putra
mahkota menjadi Sultan HB IX pada tahun 1940. Kontrak Politik tahun 1940 ini
menjadi Kontrak Politik terakhir antara Kasultanan dengan pemerintah kolonial.
Yogyakarta, sejak masa kolonial, dari HB I sampai HB IX terikat dengan
kontrak politik. Kontrak ini mengandung substansi bahwa adanya pengakuan
kedaulatan Kasultanan Yogyakarta oleh Belanda. Secara resmi, kedaulatan
Kasultanan Yogyakarta berada dibawah ‘kekaisaran’ Belanda melalui pemerintah
Hindia Belanda. Kerajaan-kerajaan eks-Mataram, seperti Yogyakarta disebut
sebagai pengelola ‘titipan’ kedaulatan negara yang dipegang oleh Kerajaan
Belanda.
Kontrak politik pada hakikatnya cukup signifikan dalam kehidupan legalpolitis di Yogyakarta. Bahkan, awal berdirinya kerajaan Yogyakarta juga
didahului sebuah kontrak politik. Jika kontrak politik disebut sebagai bentuk
legitimasi. Muatannya jelas; kerajaan-kerajaan ini tidak bisa dikatakan berdaulat
penuh. Kekuasaan tertinggi tetap berada pada kekuasaan yang menaunginya.
28Ungkapan “dijajah tidak langsung” tertulis dalam tulisan Mohammad Roem dalam
Atmakusumah (ed.). Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX.
(edisi revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
30
Kedaulatan ditentukan dalam kontrak politik. Melalui kontrak politik ini, sultan
diakui legitimasinya sebagai raja yang memerintah atas wilayahnya.
Mekanisme pengelolaan pemerintahan dalam negara vasal disusun oleh
pemerintah kolonial dengan memberikan hak pada penguasa setempat dengan
penyertaan
pejabat
kolonial.
Kerajaan
mendapatkan
intervensi
dengan
menempatkan seorang Patih yang diangkat oleh pemerintah kolonial. Seorang
Patih (Pepatih Dalem), yang dalam bahasa Belanda disebut Rijks-Bestuurder
mempunyai kesetiaan ganda, untuk Raja dan Gubernur Jendral pemerintah
kolonial.29 Pemerintah kolonial melihat posisi ini cukup strategis sehingga
merekayasa dengan kontrak politik untuk kepentingan mereka.
Pembagian otoritas dalam pemerintahan monarki bisa memunculkan
masalah yang rentan konflik internal. Raja sebagai kepala negara bisa berkonflik
dengan Patih yang mengelola pemerintahan. Di Kasultanan Yogyakarta,
pemilihan seorang Patih harus mendapatkan restu dari pemerintah kolonial.
Persoalan ini pernah menimbulkan konflik antara Sultan dengan Patih yang
ditunjuk oleh pemerintah kolonial. Dengan tujuan untuk mengurangi campur
tangan Belanda, Sultan HB IX tidak lagi mengangkat patih baru setelah patih
sebelumnya meninggal.
29Sebenarnya jabatan Patih sudah ada sebelum masa kolonial. Jabatan seorang patih
setara dengan Perdana Menteri di negara-negara yang masih mempertahankan bentuk monarki
seperti Inggris.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
B.
31
RAJA DI DALAM REPUBLIK
Narasi tentang Yogyakarta pada tahun 1946-1949 menjadi periode favorit yang
menjadi perhatian para pengkaji sejarah Keistimewaan Yogyakarta. Pada narasi
tersebut juga secara langsung menunjukkan peran Sultan HB IX dalam
keberlangsungan pemerintahan baru Republik Indonesia saat menghadapi situasi
kritis.
Bagaimana peran Sultan HB IX dalam masa kritis pemerintahan Republik
Indonesia ini terekam dalam buku Taktha untuk Rakyat. Dokumentasi tertulis
tersebut menceritakan bagaimana pengOrbanan Sultan HB IX secara material
pada tahun 1946 -1949. Bersama dengan Adipati PA VIII, kedua raja ini diyakini
menjadi salah satu faktor utama penyelamat pemerintahan Indonesia yang baru
saja memproklamasikan kemerdekaan.
Dengan melemahnya pemerintahan militer pasukan Jepang di Jawa,
pemerintah-pemerintah daerah swapraja mengalami kegamangan tersendiri. Tidak
ada kejelasan tentang masa depan pemerintahan di wilayah besar bekas Hindia
Belanda. Yogyakarta menjadi daerah swapraja pertama yang menyatakan ucapan
selamat atas terbentuknya negara Indonesia, dua hari setelah proklamasi.
Lebih dari dua minggu setelahnya, dua raja di Yogyakarta ini
mengeluarkan amanat bahwa ‘Nagari’ Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan
sebuah Daerah Istimewa dari ‘Negara’ Republik Indonesia.30 Pernyataan ini
30Walaupun dua istilah, ‘Nagari’ dan ‘Negara’, mempunyai arti yang sama, Sultan HB
IX menggunakan keduanya secara berbeda. Nagari, digunakan untuk menyebut Yogyakarta yang
memang sebuah vasal. Sedangkan Negara digunakan untuk menyebut Republik Indonesia,sebagai
satuan kekuasaan yang berkuasa diatasnya.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
32
menunjukkan bahwa keberadaan Yogyakarta menjadi bagian dari pemerintahan
negara baru bernama Indonesia. Pada saat yang sama, Yogyakarta menjadi
swapraja pertama yang menyatakan diri bergabung dengan Indonesia yang masih
belum jelas peluang hidupnya karena lahir ditengah status quo.
Tindakan pertama Sultan HB IX setelah menggabungkan wilayahnya ke
Republik Indonesia yaitu menawarkan wilayahnya untuk ibukota negara setelah
Jakarta tidak lagi memungkinkan sebagai pusat pemerintahan, mengingat sudah
dikuasai pasukan Belanda. Konsekuensinya, Sultan HB IX menyediakan semua
fasilitas agar pemerintahan tetap berjalan. Menurut penuturan Raja Yogyakarta
ini, gaji pejabat pemerintahan Indonesia juga ditanggung oleh kerajaan.
Perannya yang sangat penting dalam pemerintahan Republik Indonesia di
masa kritis ini juga dihubungkan dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret.
Selama masa Orde baru, peristiwa penyerangan kekuaatan militer Belanda di
Yogyakarta ini dipolitisir oleh Presiden Soeharto. Paska lengsernya Presiden
Soeharto tahun 1998, sejarah kembali diluruskan dengan menempatkan pribadi
Sultan HB IX sebagai pencetus gagasan peristiwa ini.
C.
MEMPERTANYAKAN DAERAH ISTIMEWA
Di era Orde Baru, dari 27 propinsi di seluruh Indonesia, terdapat tiga propinsi
yang berstatus istimewa atau khusus yaitu Daerah Istimewa Aceh (DIA), Daerah
Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Pada masa reformasi, dengan perubahan Undang-undang, DIA berubah menjadi
Nangroe Aceh Darusalam (NAD). Otonomi khusus juga diberikan kepada
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
33
Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat. Jadi, sudah ada lima propinsi pada masa
reformasi yang mempunyai status khusus atau istimewa.
Struktur asli pemerintahan di Yogyakarta sudah mengalami banyak
perubahan. Penyesuaian gaya pemerintahan ke dalam negara republik membuat
Yogyakarta memiliki struktur pemerintahan yang sama dengan propinsi-propinsi
lain. Hal ini membuat struktur birokrasi di Yogyakarta juga ‘disesuaikan’. Selo
Soemardjan merekam proses perubahan tersebut melalui karyanya yang terkenal,
Perubahan Sosial di Yogyakarta.
Maka, birokrasi Kraton tidak lagi berlaku dan jabatan-jabatan tertentu
harus bertransformasi. Pemerintah desa menjadi salah satu contoh, kepala desa
yang tadinya bertanggung jawab dan mempunyai loyalitas pada Sultan. Sejak
perubahan-perubahan ini, tidak ada struktur asli dalam pemerintahan kerajaan
yang masih dipakai dalam pemerintahan daerah.
Akhirnya, perubahan dari masyarakat monarki ke masyarakat republik,
kesan lama yang masih tertinggal yaitu dua pribadi raja, HB IX dan PA VIII yang
menjabat gubernur dan wakil gubernur. Maka, ditengah ketidakjelasan konsep
daerah istimewa, Yogyakarta menjadi terkesan istimewa dengan kedua rajanya
yang menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur.
Soewarno (2011) menuliskan, pada masa Orba, pernah ada upaya untuk
menghapuskan keistimewaan Yogyakarta. Gagasan yang bermula dari Presiden
Soeharto ini kemudian dilaksanakan Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI melalui salah
satu pasal RUU No 5/1974 yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Rumusan
dalam RUU tersebut akhirnya tidak jadi disepakati karena ditolak oleh Fraksi PDI
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
34
dan Fraksi PPP. Masih ada beberapa upaya lagi untuk menghapuskan
keistimewaan Yogyakarta setelahnya, saat Sultan HB IX tidak lagi bersedia
menjadi Wakil Presiden dan saat meninggalnya Sultan HB IX.
Muncul beberapa isu lagi untuk menghapuskan keistimewaan. Yogyakarta
tidak lagi istimewa setelah PA VIII meninggal dan penggabungan DIY dengan
Provinsi Jawa tengah, adalah dua rumor yang beredar. Kedua isu ini tidak
menjadi kenyataan karena rejim Orba terlanjur jatuh tahun 1998 saat PA VIII
masih menjabat sebagai gubernur DIY.
D.
LAHIRNYA GERAKAN
Dalam kajian-kajian mengenai gerakan sosial, mobilisasi massa biasanya menjadi
penanda penting dari lahirnya sebuah gerakan sosial tertentu.31 Walaupun
fenomena mobilisasi massa tidak selalu menjadi penentu utama, keberadaan
sebuah gerakan sangat dipengaruhi membesarnya mobilisasi massa.
Bagi para aktivis pro penetapan, mobilisasi massa memang menjadi
momentum untuk menyebut awal mula lahirnya Gerakan Keistimewaan
Yogyakarta. Akan tetapi ada versi yang berbeda tentang kapan persisnya gerakan
ini dimulai. Mulyadi, ketua Ismaya menyatakan bahwa Gerakan Keistimewaan
Yogyakarta mulai lahir semenjak lahirnya Ismaya pada bulan agustus tahun
31Hank Johnston dan Bert Klandermans. 1995. “The Cultural Analysis of Social
Movements,” dlm. Social Movements and Culture.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
35
1998.32 Hal ini menjadi versi yang dikritik oleh Hasto. Menurut Hasto, Gerakan
Keistimewaan Yogyakarta pertama muncul pada saat pelaksanaan event yang
kemudian lebih terkenal disebut Pisowanan Ageng, yang mana Hasto dan rekanrekannya ikut terlibat merencanakan acara tersebut.33
Berdasarkan dua penuturan tersebut, maka terbaca bahwa penafsiran akan
terlahirnya Gerakan Keistimewaan Yogyakarta tidak hanya satu versi. Baik
Mulyadi maupun Hasto yang sama-sama mendukung Sultan HB X menyatakan
bahwa pergerakan awal yang mereka lakukan pada tahun 1998 menjadi titik awal
dimulainya Gerakan Keistimewaan Yogyakarta.
Pemaparan dibawah ini adalah kemunculan gerakan keistimewaan
Yogyakarta sebagaimana terbaca dalam buku-buku populer yang membahas tema
Keistimewaan Yogyakarta.34 Sebagaimana diungkapkan oleh buku-buku ini,
pamor Sultan HB X mulai naik saat berlangsungnya gejolak mobilisasi massa
yang terjadi pada bulan Mei 1998. Oleh karena itu, perihal keterlibatan Sultan HB
X dalam pengendalian massa dianggap menjadi titik peristiwa penting untuk
menandai Gerakan Keistimewaan Yogyakarta.
32Mulyadi, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan (2009). Godean, Sleman,
Yogyakarta (2009).
33Wasana Putra, Widihasto, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Kantor Galang
Press, Baciro, Yogyakarta, (14 December 2011).
34Buku-buku yang ‘bertebaran’ saat mulai memanasnya tema Keistimewaan seakan
menjadi bacaan wajib bagi para aktivis maupun pemerhati Keistimewaan Yogyakarta. Pewacanaan
mengenai Keistimewaan Yogyakarta menjadi sangat dipengaruhi oleh narasi-narasi dalam bukubuku tersebut dan menjadi arus utama penafsiran.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
1.
36
Mobilisasi Massa35
Reformasi 1998 menandai sebuah masa transisi yang penuh ketidakpastian.
Pengerahan massa di jalan menjadi peristiwa yang sangat lazim. Kelompok massa
mahasiswa melakukan demonstrasi di setiap kota di Indonesia. Tidak hanya
mahasiswa, jalan-jalan di seluruh kota dipenuhi massa tanpa agenda yang jelas.
Dan terjadilah perusakan massal, pembakaran aset bangunan dan kendaraan, serta
penjarahan.36
Tanggal 20 Mei 1998, HB IX dan PA VIII, memberikan orasi di Alun-alun
utara kraton Yogyakarta. Event ini menyebabkan ribuan massa berkumpul di
tempat tersebut. Diyakini oleh banyak pihak, karena peristiwa ini, Yogyakarta
tidak mengalami dampak kerusakan yang lebih parah karena kumpulan massa bisa
dikendalikan dan tidak sampai memperluas dampak-dampak perusakan. Peristiwa
yang kemudian lebih dikenal dengan Pisowanan Ageng.
Peristiwa ini menjadi titik penafsiran atas terbentuknya gerakan
keistimewaan Yogyakarta. Pertama, pada momen ini, warga Yogyakarta dari
berbagai elemen masyarakat tanpa terorganisir tumpah ke jalan. Dari puluhan
tahun kehidupan sosial di Yogyakarta, baru pada momen tersebut muncul gerakan
massa yang memobilisasi ribuan orang, meskipun peristiwa ini sangat terkait
35Pemaparan dalam Sub bab “Mobilisasi Massa” ini menjadi titik awal penafsiran
tentang proses lahirnya Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Sejauh belum ada pemahaman yang
pasti, saya meminjam argumen pihak-pihak yang merepresentasikan golongan penetapan
sebagaimana dituliskan dalam buku-buku tentang tema keistimewaan Yogyakarta.
36Menurut catatan Sudomo Sunaryo, di Yogyakarta, amuk massa juga sudah terjadi.
Perusakan terjadi salah satunya di showroom mobil Timor, yang diketahui bersama milik Tomi
Hutomo Mandalaputra (Tomi Soeharto), anak Presiden Soeharto. Lihat: Baskoro, Haryadi &
Sunaryo, Sudomo. 2010. Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya: Merunut Sejarah, Mencermati
Perubahan, Menggagas Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 91.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
37
dengan tren demonstrasi pada tahun 1998. Kedua, faktor ketokohan dua raja di
Yogyakarta sangat berpengaruh pada terjadinya pengumpulan massa. Terkesan
bahwa peristiwa ini memperlihatkan pengaruh besar yang dimiliki kedua
pemimpin kultural ini dalam daya tarik untuk mobilisasi massa.37
Peristiwa Pisowanan Ageng ini selalu dijadikan rujukan untuk
menggambarkan bagaimana sikap hormat dan rasa tunduk kepada para raja, masih
ada dalam dinamika masyarakat Yogyakarta. Terlebih lagi, ketokohan Sultan HB
X yang cukup karismatik bagi masyarakat Yogyakarta. Berbagai media massa
mengungkapkan bagaimana kelompok massa dapat ‘dikendalikan’ paska
Pisowanan Ageng ini.38
Pisowanan Ageng sebenarnya adalah peristiwa kultural dari tradisi
masyarakat feodal di Jawa pada masa lalu. Pisowanan dilakukan oleh rakyat
kepada penguasa sebagai bentuk dari sikap tunduk. Dengan menyebut pengerahan
ribuan massa ke Alun-alun ini sebagai pisowanan, menunjukan adanya kesan
yang kuat bahwa peristiwa ini sebuah pertemuan akbar dimana rakyat menghadap
raja.
37Pada tahun 2003, terbit buku berjudul Pisowanan Ageng . Buku tersebut dianggap
terlalu mengagungkan peran Sultan HB X sehingga terkesan menafikan peran kelompokkelompok mahasiswa. Pada akhirnya, buku ini ditarik dari peredaran. Lihat: (Buku Pisowanan
Ageng Menuai Kritik 2003/http://www.suaramerdeka.com/harian/0310/14/dar16.htm). Akan
tetapi, saat memasuki masa panasnya perdebatan soal Keistimewaan Yogyakarta, perbincangan
mengenai Keistimewaan Yogyakarta kembali menjadikan peristiwa Pisowanan Ageng 1998
sebagai titik tolak.
38Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo (2010) dalam Catatan Perjalanan
Keistimewaan Yogya menuliskan bahwa sejumlah media massa baik dalam negri maupun luar
negri melaporkan bahwa terkendalinya massa di Yogyakarta karena efek dari penyelenggaraan
event besar Pisowanan Ageng. Semenjak peristiwa itu, perusakan-perusakan fasilitas bisa menjadi
menurun.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
38
Beberapa bulan setelah Pisowanan Ageng bulan Mei 1998, PA VIII, yang
menjabat sebagai gubernur DIY, meninggal dunia, menimbulkan permasalahan
baru. Kekosongan jabatan memicu pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang
berhak mengisi jabatan gubernur DIY. Mekanisme lama tetap dipertahankan yaitu
pemilihan gubernur oleh DPRD sebagai lembaga legislatif.
Ada
yang
tidak
menyetujui
kebijakan
pemerintah
pusat
untuk
menyelenggarakan pemilihan gubernur di tingkat DPRD. Persoalan ini memicu
berkembangnya gerakan massa dari kawasan pedesaan. Terbentuklah Ismaya,39
sebuah asosiasi/paguyuban yang menghimpun seluruh lurah di empat kabupaten
di DIY. Natasuwita, seorang lurah yang mempunyai hubungan kekerabatan
dengan mantan Presiden Soeharto ini, sengaja menghimpun kelompok perangkat
desa untuk mendukung penetapan Sultan HB X sebagai gubernur DIY.40 Sebagai
sebuah organisasi yang menghimpun pemimpin pemerintahan tingkat bawah,
tentu sangat memungkinkan untuk mengerahkan massa.41 Mobilisasi tidak lagi
terkesan spontan seperti yang terjadi pada Pisowanan Ageng beberapa bulan
sebelumnya. Ribuan massa secara terorganisir dimobilisasi oleh para lurah ini
untuk melakukan demonstrasi di pusat keramaian Kota Yogyakarta.
39Ismaya adalah akronim dari Ing Sedya Mematri Aslining Ngayogyakarta. Nama
‘Ismaya’ juga merepresentasikan seorang tokoh dalam epik wayang.Ismaya adalah seorang dewa
yang menjelma menjadi manusia melalui perwujudan Semar, pelayan para ksatria.
40Sebagaimana diungkapkan Mulyadi saat mengungkapkan tujuan dibentuknya Ismaya
yaitu sebagai bentuk dukungan untuk mendukung Sultan HB X sebagai gubernur DIY.
(Wawancara dengan H. Mulyadi di Godean, 2009)
41Paguyuban Ismaya yang merangkum para lurah di tingkat DIY, juga memiliki
underbow berupa paguyuban-paguyuban lurah di tingkat kabupaten. Paguyuban-paguyuban
tersebut yaitu; Tungguljati (Bantul), Bodronoyo (Kulon Progo), Suryondadari (Sleman), Semar
(Gunung Kidul). Selain itu, paguyuban lurah ini juga menjalin jejaring kerjasama dengan
paguyuban-paguyuban lain yang mempunyai kemiripan karakteristik. Jejaring ini dibangun
paguyuban yang merangkum para dukuh (kepala dusun).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
39
Pemicu dari gerakan para perangkat desa ini yaitu sikap Pemerintah pusat
tentang penentuan gubernur DIY. Pemerintah saat itu berencana menunjuk calon
lain. Ada tegangan yang terjadi antara kelompok masyarakat di Yogyakarta
dengan pemerintah pusat. Ini terkait siapa yang akan mengisi jabatan gubernur.
Pemerintah melalui Menteri Dalam Negri (Mendagri) Syarwan Hamid sedang
menyiapkan figur yang diusulkan untuk mengisi jabatan gubernur. Sedangkan, di
pembicaraan yang terjadi di DPRD Yogyakarta, ada nama yang diusulkan oleh
Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP). Sempat terjadi Pemilihan gubernur yang
dilaksanakan di tingkat DPRD. Di sisi lain, di tingkat masyarakat, semakin
membesar dukungan terhadap Sultan HB X agar menjabat sebagai gubernur
Yogyakarta.
Paska pengangkatan Sultan HB X sebagai Gubernur DIY, polemik
bagaikan bola salju yang terus bergulir. Dua tahun setelah pengangkatan Sultan
HB X sebagai gubernur, muncul tuntutan baru yaitu pengangkatan PA IX (yang
menggantikan PA VIII) sebagai wakil gubernur. Paku Alam IX akhirnya
mengalami pengangkatan sebagai wakil gubernur setelah melalui penetapan oleh
menteri dalam negeri. Tapi sebelumnya, ribuan massa sudah mengucapkan ikrar
untuk mengangkat PA IX sebagai wakil gubernur. Ribuan massa ini menyaksikan
ketika seorang tukang becak yang mengikrarkan pengangkatan Paku alam sebagai
wakil gubernur.
Dorongan untuk merumuskan keistimewaan Yogyakarta melalui RUU
keistimewaan berpijak pada UU No 3/1950 tentang pembentukan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Tuntutan ini memuncak dengan di bacakannya sebuah
maklumat yang disebut; ‘Maklumat Rakyat Yogyakarta’ pada sebuah aksi massa.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
40
Dalam salah satu butir isi maklumat tersebut, tercantum kalimat; ‘Rakyat
Yogyakarta berkeinginan untuk mempertahankan keistimewaan Yogyakarta,
seperti yang tertulis dalam UU No 3/ 1950’.42 Pembacaan maklumat atas nama
rakyat yang disertai aksi massa ini mendapatkan respons dari pemerintah pusat.
Tak lama setelah peristiwa itu, pemerintah pusat mengeluarkan surat penetapan
PA IX sebagai wakil gubernur DIY. Sampai pada titik ini, kedua pemimpin
kultural ( dua raja dalam wilayah DIY) telah mendapatkan jabatan politik yang
dulu juga dijabat oleh kedua pendahulu mereka (HB IX dan PA VIII).
Kendati kedua raja di DIY telah mendapatkan posisi sebagai gubernur dan
wakil gubernur, persoalan dalam Keistimewaan Yogyakarta belum selesai.
Indonesia paska reformasi tidak seperti masa Orba. Gejala demokratisasi terjadi di
setiap daerah dengan penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah).43 Para
kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur) yang terpilih akan memerintah
dalam waktu lima tahun (satu periode), hanya bisa memerintah satu periode lagi
jika terpilih lagi dalam pilkada.
Tepat pada ulang tahun HB X yang ke-62, tanggal 7 April 2007 di
Pagelaran Kraton Yogyakarta, HB X membacakan sebuah orasi budaya berjudul
“Meneguhkan kembali Takhta untuk Rakyat”. Dengan beberapa kalimat dalam
orasinya, Sultan HB X menyatakan ketidaksediaannya menjadi gubernur lagi pada
periode selanjutnya. Pernyataan Sultan ini, menimbulkan perdebatan dan
pembicaraan publik. Dalam orasinya tersebut, Sultan HB X menyatakan
42Lihat; Hadiwijoyo, Surya Sakti. 2009. Menggugat Keistimewaan Yogyakarta: Tarik
ulur kepentingan, Konflik elite, dan Isu perpecahan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher., hlm 167
43Akronim Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) kemudian diganti dengan Pemilukada
(Pemillihan Umum Kepala Daerah)
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
41
ketidaksediaannya menjadi gubernur lagi setelah masa jabatannya sebagai
gubernur habis pada tahun 2008.
Pernyataan kontroversial HB X ditanggapi dengan luar biasa oleh publik.
Beragam penafsiran muncul dalam menanggapi pernyataan tersebut. Mulai
banyak kelompok masyarakat yang kembali mengorganisir massa. Tujuannya,
untuk mempertanyakan maksud dari pernyataan tersebut.Situasi ini menjadi
semakin kabur dengan tidak banyaknya HB X memberikan penjelasan soal
maksud dan tujuan tentang pernyataannya tersebut.
Maka terjadilah sebuah acara, dimana ribuan masyarakat datang ke kraton
untuk bertemu dengan HB X. Peristiwa ini disebut sebagai pisowanan ageng.
Mengingat, sebuah event yang disebut sebagai pisowanan ageng juga pernah
terjadi pada tahun 1998, acara ini kemudian disebut Pisowanan Ageng II. Ribuan
massa memadati kraton.44
Mulyadi bahkan pernah mengordinasi para lurah untuk melakukan boikot
jika pemilukada untuk memilih gubernur dan calon gubernur tetap dilaksanakan.
Tentu saja, pelaksanaan pemilukada tidak akan terjadi jika struktur pemerintahan
tingkat bawah (desa) tidak beroperasi.45
Pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan untuk memperpanjang
masa jabatan selama satu periode lagi. Jadi, Sultan HB dan Adipati PA masih
berhak menduduki posisi sampai tahun 2011. Gerakan massa ini kemudian
44Sampai saat ini saya belum mendapatkan data tentang siapa saja yang terlibat
menyelenggarakan pertemuan yang disebut sebagai Pisowanan Ageng II ini.
45Mulyadi, wawancara 2009
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
42
menyurut setelah pemerintah mengeluarkan keputusan untuk memperpanjang
masa jabatan. Selama masa perpanjangan akan digunakan untuk menyusun
RUUK.
Bertahun-tahun pergerakan gelombang massa bisa disimpulkan dalam pola
yang sama. Habisnya masa jabatan kepala daerah, desakan massa, kemudian
respon pemerintah pusat yang memperpanjang masa jabatan kepala daerah. Ada
tegangan
antara
pemerintah
pusat
dengan
kelompok
masyarakat
yang
menginginkan ditetapkannya Sultan HB X dan Adipati PA IX sebagai Kepala
daerah dan wakil kepala daerah tanpa terhalang periode jabatan dan pemilukada.
Sistem yang disusun dalam RUU Keistimewaan ini disusun oleh JIP
(Jurusan Ilmu Pemerintahan) UGM. Draf ini pula yang menjadi acuan oleh
menteri dalam negeri (pemerintah pusat) untuk membuat aturan baku terkait
keistimewaan Yogyakarta. Sistem parardhya ini didasarkan pada pemahaman
bahwa adanya dikotomi antara kepala daerah dengan kepala pemerintahan yang
lazim ditemukan pada negara-negara yang menganut sistem pemerintahan
monarki konstitusional.
Pribadi seorang sultan sebagai penerus raja-raja dinasti Mataram adalah
simbol sosio-kultural Jawa di Yogyakarta. Maka, sebagian masyarakat
Yogyakarta menginginkan kepemimpinannya tanpa dibatasi masa jabatan.
Keyakinan tentang sebuah pusat kuasa simbolik ini dipahami betul oleh semua
pihak, baik pemerintah, masyarakat umum. Oleh karena itu, Sultan HB X dan
Adipati PA IX tetap diberikan posisi yang signifikan sebagai pemimpin tertinggi
tapi mempunyai keterbatasan khusus. Posisi ini dinamakan Parardhya, sebuah
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
43
lembaga yang terdiri dari Sultan HB dan Adipati PA yang bertahta. Lembaga ini
dibatasi perannya untuk masuk ke dalam ranah politik praksis.
Ternyata, kelompok-kelompok massa menolak lembaga Parardhya
tersebut. Pemahaman ini mereka tolak mentah-mentah. Posisi Gubernur sebagai
kepala pemerintahan harus diisi dengan orang yang sama dengan kepala daerah.
Maka, Sultan HB dan Adipati PA yang bertahta harus otomatis mengisi jabatan
gubernur dan wakil gubernur.
Dengan menempatkan Sultan HB dan Adipati PA dalam posisi simbolik
diyakini akan semakin menjauhkan interaksinya dengan rakyat. Posisi simbolik
ini
juga diduga akan mengurangi peran Sultan dalam pemerintahan karena
perannya hanya sejauh memberikan hak veto untuk pemilihan gubernur dan wakil
gubernur baru.
Sistem pemisahan wewenang ini dianggap hanya mengulangi strategi
memecah kekuasaan politik yang pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial.
Pada masa kerajaan pada zaman kolonial, pemerintahan internal diperintah oleh
seorang kepala pemerintahan yang disebut Patih. Dengan campur tangan
pemerintah kolonial Belanda, pemilihan Patih sangat ditentukan oleh dukungan
Belanda. Patih dianggap membawa kepentingan pemerintah kolonial.
Kelompok pro-penetapan gelombang awal, dalam hal ini kelompokkelompok yang mewakili perangkat desa. Dilihat dari latar belakang sosiokulturnya, mereka adalah representasi masyarakat tradisional. Selain domisili
mereka yang berada di kawasan rural, yang memungkinkan tradisi masih hidup
dan diyakini, secara tidak langsung mereka ditempatkan pada posisi ‘penjaga
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
44
tradisi’. Bagi para pendukung wacana pemilihan gubernur dan wakil gubernur, elit
desa ini memanipulasi keterikatan kultural sebagai pilihan politik. Mereka juga
dimanipulasi oleh pengaruh-pengaruh luar yang menggunakan kraton sebagai
satu-satunya identitas Yogyakarta.46
Dalam perkembangan sejarah, para perangkat desa adalah loyalis Sultan.
Sistem pemerintahan kerajaan di masa lalu menempatkan mereka menjadi bagian
dari struktur yang disebut pamong praja. Dalam perkembangannya, seiring dengan
masuknya Yogyakarta sebagai salah satu propinsi dalam lingkup Republik
Indonesia, membuat mereka harus mengurangi peran mereka yang signifikan
dalam pemerintahan.47 Para perangkat desa mempunyai keterikatan yang kuat
dengan tradisi kerajaan dan raja-rajanya. Pamong praja mempunyai loyalitas yang
tinggi terhadap Sultan. Walau Sultan ikut mendukung perubahan sistem
pemerintahan yang mengurangi hak-hak memerintah para pamong praja, tidak
muncul kritik atau gugatan terhadap Sultan. Mereka justru mengecam lembagalembaga lain. Singkatnya, Sultan tidak akan mereka gugat karena kesetiaan
terhadap Raja adalah prinsip yang mereka pegang sebagai pamong praja.48
46Bagi para peneliti IRE (Institute for Research and Empowering) dalam Membongkar
Mitos Keistimewaan Yogyakarta, dukungan perangkat desa ini adalah tarik menarik kekuasaan
untuk memanfaatkan resources yang ada. Para elit desa ingin membangkitkan romantisme antara
kraton dan desa yang sudah hilang selama lima puluh tahun. Selain itu, mereka juga menolak
intervensi kabupaten ke dalam rumah tangga desa. Kewenangan kabupaten dinilai terlalu besar
sehingga, para elit desa berkoalisi dengan kraton dan provinsi yang mempunyai kekuatan yang
lebih besar.
47Selo Soemardjan mendeskripsikan dengan rinci bagaimana proses ini terjadi pada
tahun 1950’an di Yogyakarta dengan bukunya yang terkenal, Perubahan Sosial di Yogyakarta.
48Loyalitas para perangkat desa terhadap Sultan bisa dicermati bahwa pada masa lalu,
mereka menjadi bagian dari birokrasi Kasultanan yang disebut pamong praja. Dalam
perkembangannya, seiring dengan masuknya Yogyakarta sebagai salah satu Provinsi dalam
lingkup Republik Indonesia, membuat mereka harus mengurangi peran mereka yang signifikan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2.
45
Terbentuknya Dikotomi Sosial
Istilah ‘Gerakan Keistimewaan Yogyakarta’, tidak bisa merepresentasikan semua
pihak yang berpendapat, berwacana dan bersikap soal tema keistimewaan.
Munculah istilah ‘pro’ dan ‘kontra’. Tapi, sebutan ‘kontra’, digunakan oleh pihak
yang menamakan diri ‘pro’ untuk menyebut pihak yang bersebrangan. Di satu sisi,
pihak yang mendapatkan gelar ‘kontra’ tidak menganggap sebutan tersebut
relevan. Yang terjadi adalah perbedaan penafsiran dalam memaknai arti
Keistimewaan Yogyakarta yang tidak semata berfokus pada mekanisme
penentuan jabatan gubernur sebagai istimewanya kondisi sosio-kultural-politik,
tanpa ada kaitan secara langsung dengan peran raja dalam kehidupan politik
praktis49.
Maka, ketika perdebatan mulai memanas, terciptalah dua istilah yang bisa
menampakkan dikotomi dalam pemetaan gerakan keistimewaan. Dikotomi
tersebut terbentuk melalui dua ungkapan ‘pro-penetapan’ dan ‘pro-pemilihan’.
‘Pro-Penetapan’ adalah sebutan bagi pihak-pihak yang menafsirkan keistimewaan
sebagai penetapan Sultan HB dan Adipati PA yang bertahta sebagai gubernur dan
wakil gubernur DIY dengan tidak terhambat oleh pembatasan masa jabatan.
Kemudian, ‘Pro-Pemilihan’ adalah sebutan untuk pihak-pihak yang beraspirasi
dalam pemerintahan. Para perangkat desa mempunyai keterikatan yang kuat dengan tradisi
kerajaan dan raja-rajanya. Sosiolog ternama Selo Soemardjan menjabarkan bagaimana loyalitas
para pamong praja ini kepada Sultan. Pamong praja mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap
Sultan walau beberapa kali Sultan ikut mendukung perubahan sistem pemerintahan yang
mengurangi hak-hak memerintah para pamong praja.
49Lihat: Eko, Sutoro. 2003. “Membuat Keistimewaan Lebih Istimewa”, dalam Rozaki,
Abdur & Hariyanto, Titok. (ed.). Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta. Yogyakarta: IRE,
hlm xv – xl.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
46
bahwa keistimewaan Yogyakarta tidak dimaknai secara tunggal dan utama
sebagai penetapan jabatan gubernur dan wakil gubernur.50
Presiden SBY, kabinet Indonesia Bersatu, dan Partai Demokrat menjadi
pihak-pihak yang dianggap sebagai ‘golongan’ Pro Penetapan. Sebutan Pro
Penetapan tidak cukup menjadi sebutan untuk mereka. Orang-orang atau lembaga
yang mendapatkan gelar Pro-Penetapan juga disebut sebagai golongan liberalis.
Kedua istilah ini (pro penetapan dan pro pemilihan) juga menunjukkan
pada sikap personal dalam menentukan pendapat tentang makna Keistimewaan
Yogyakarta. Jika ada seorang pribadi atau lembaga yang menyatakan bahwa
dirinya ‘Pro-Penetapan’, maka ungkapan tersebut menunjukkan posisinya dalam
perdebatan wacana ini. Paska pernyataan Presiden SBY tahun 2010, istilah ‘ProPenetapan’ lebih banyak digunakan untuk menyebut orang, kelompok, dan
lembaga yang mengaspirasikan penetapan gubernur dan wakil gubernur.
Sedangkan istilah ‘Pro-Pemilihan’ tidak digunakan oleh pihak-pihak yang tidak
menyetujui penetapan.51 Istilah ‘Pro-Pemilihan’ menjadi populer karena publikasi
media massa dan perbincangan dalam pergaulan masyarakat.
Dikotomi ‘Pro-Penetapan’ dan ‘Pro-Pemilihan’ ini berkembang menjadi
bangunan identitas yang tidak cukup sederhana. Istilah ini tidak hanya untuk
50Saat draf RUU sudah dibahas di tingkat DPRD, muncul polemik berkepanjangan
diantara dua kubu. Mayoritas warga setuju dengan penetapan, sedangkan pihak lain yang
kebanyakan pendatang, menghendaki pemilihan. Lihat Soewarno.2011. “Keistimewaan
Yogyakarta”, dlm. de Rosari, Aloysius Soni BL (ed.). Monarki Yogya Inskonstitusional?. Jakarta:
Penerbit Kompas, hlm. 17-29.
51Lihat buku Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta yang diterbitkan oleh IRE,
lembaga penelitian yang menganjurkan diadakannya pemilihan gubernur dan wakil gubernur di
DIY, tidak secara eksplisit menyebut ‘pro-pemilihan’. Demikian juga dengan terbitan lembagalembaga lain yang lebih suka menyebut sikap ini sebagai ‘pro-demokrasi’.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
47
menyebut ungkapan sikap atau pendapat pribadi. Dikotomi ini menjadi cerminan
dua golongan masyarakat yang saling meliyankan. Dan, di ranah pergaulan
masyarakat Yogyakarta, menjadi sulit jika seorang pribadi tidak terseret dalam
arus dikotomi ini. Sebagai contoh, saya sendiri sering mendapatkan pertanyaan
tentang sikap pribadi terhadap Keistimewaan Yogyakarta. “Sebenarnya, anda itu
pro penetapan atau pro pemilihan?”
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
48
BAB III
MENGUATNYA KELOMPOK PRO PENETAPAN
Pernyataan Presiden SBY tentang ‘demokrasi’ dan ‘monarki’ menyebabkan
gelombang protes di Yogyakarta. Berkembanglah unjuk rasa, kecaman, protes,
tentangan, kritik dari beragam pihak, terutama orang-orang tertentu yang terlibat
dalam kelompok-kelompok massa pendukung Sultan/ Kraton atau Pakualaman.
Berkembang pula pendapat-pendapat yang menentang pernyataan Presiden
tersebut sebagai ketidakpahaman pemerintah pusat tentang sejarah. Gejolak ini
dipicu juga dengan pemberitaan media massa baik cetak maupun elektronik
tentang silang pendapat soal pernyataan Presiden.
Ungkapan protes juga semakin semarak pada atribut-atribut jalanan.
Mendadak, bendera Haba berkibar di jalan-jalan. Bendera Haba yaitu bendera
dengan logo Kraton Yogyakarta. Logo ini berbentuk sebuah mahkota dengan
sayap di kedua sisinya. Dibawah mahkota terdapat dua abjad dalam alfabet Jawa;
‘Ha’ dan ‘Ba’. Haba adalah akronim dari Hamengku Buwana. Simbol ini
melambangkan Kraton/Kasultanan Yogyakarta sekaligus menjadi simbol dinasti
Hamengku Buwono. Saat ini simbol ini cenderung menjadi identifikasi atas
identitas Yogyakarta.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
49
Logo Haba (sumber: Media Sosial, http://www.facebook.com)
Bendera model ini menjadi tren. Sebelumnya, tidak banyak warga yang
akrab dengan pengibaran bendera ini. ‘Upacara Bendera’ terjadi dimana-mana.
Bendera tersebut terpasang di jalan-jalan, di setiap perempatan, di gardu ronda.
Bendera haba mudah ditemukan di toko-toko kelontong. Para pedagang kaki lima
menjualnya di pinggir-pinggir jalan.
Di saat yang sama, walikota Yogyakarta, Herry Zudianto mengungkapkan
keprihatinannya akan polemik keistimewaan Yogyakarta dan menganjurkan
penurunan bendera merah-putih setengah tiang. Anjuran ini sebenarnya implisit.
Herry Zudianto mengenakan busana tradisional Jawa dan mengibarkan bendera
Merah-Putih setengah tiang.52 Aksinya ini seakan menjadi ajakan yang
menginspirasi warga kota Yogyakarta dan sekitarnya, sehingga banyak ditemukan
bendera merah-putih berkibar setengah tiang. Aksi walikota ini bukanlah yang
pertama. Sebelumnya, banyak kelompok semisal kelompok dukuh maupun
kelompok masyarakat tertentu yang melakukan aksi simbolik pengibaran bendera
Haba dengan massa berbusana tradisional Jawa. Menjadi ironi, saat bendera haba
dikibarkan sepenuh tiang, bendera Merah-Putih diturunkan setengah tiang.
52Lihat: <http://www.tempo.co/read/news/2010/12/12/177298330/Kecewa-RUUK-DIYWali-Kota-Turunkan-Bendera-Setengah-Tiang>
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
50
Herry Zudianto, walikota Yogyakarta menyelenggarakan acara pengibaran bendera setengah tiang di halaman rumahnya. Lihat: Dengarkan Aspirasi Yogyakarta, http://www.kompas.com (Senin, 13 Desember 2010)
Simbol haba yang tadinya ‘sakral’ ini telah menjadi tren. Banyak orang
memasang stiker haba di kendaraannya. Tema keistimewaan Yogyakarta menjadi
inspirasi bagi penciptaan-penciptaan karya seni. Salah satu kelompok musik rap,
Jogja HipHop Foundation (JHF) meraih popularitas karena lagunya berjudul
‘Jogja Istimewa’.53
Keistimewaan Yogyakarta sampai pada tahun tersebut tidak lagi menjadi
isu yang disuarakan para demonstran atau wacana yang diperdebatkan oleh para
intelektual di sebuah talk show. Keistimewaan Yogyakarta menjadi tren sosial
yang terwujud dalam permainan simbolis melalui kesenian, simbol-simbol
jalanan, obrolan-obrolan warung kopi, dan penciptaan-penciptaan kreatif.
53Kelompok JHF (Jogja Hiphop Foundation) adalah gabungan beberapa penyanyi rap
yang menggunakan bahasa Jawa saat menyanyikan lagu-lagu mereka. Kelompok ini menyanyikan
lagu “Jogja Istimewa” saat tema Keistimewaan Yogyakarta sedang menjadi perhatian publik. Lagu
“Jogja Istimewa” menjadi semacam lagu jingle untuk perjuangan keistimewaan Yogyakarta. Pada
akhirnya, Sultan dan Kraton Yogyakarta memberikan penghargaan terhadap kelompok ini.
http://www.cekricek.co.id/musik/item/753-jogja-hip-hop-foundation-dianugerahi-duta-nagaringayogyakarta-hadiningrat.html
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
51
Pada saat itu juga beredar desain paspor ‘negara Yogyakarta’. Ada orangorang tertentu yang mendesain paspor negara Ngayogyakarta Hadiningrat. Desain
ini beredar di internet. Sebagian orang dengan iseng mencetak desain ini atau
menempelkan di tempat-tempat tertentu.
Desain Passport Ngayogyakarta (Sumber: Jejaring sosial Facebook dan Twitter)
Saat kemarahan terhadap pemerintah pusat dan Presiden SBY memuncak,
jalan-jalan kota adalah galeri protes dan propaganda. Selain bendera, banyak
spanduk dan poster yang mengungkap pernyataan-pernyataan tentang isu
Keistimewaan Yogyakarta. “Yogyakarta siap Referendum,” adalah ungkapan yang
paling populer. Spanduk dengan tulisan seperti ini, adalah spanduk pertama yang
beredar di jalan-jalan Yogyakarta secara masif. Gelombang spanduk dan pamflet
berikutnya sudah tidak terbendung seperti “Bergabung tak harus melebur”. Salah
satu yang paling provokatif yaitu; “Jika kau tetap memaksa, maka kami memilih
merdeka”. Sedangkan, “Konsisten Ijab Qobul” adalah ungkapan di spanduk yang
paling banyak ditemukan.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
A.
52
GELOMBANG BARU PRO PENETAPAN
Memasuki tahun 2011, Keistimewaan Yogyakarta menjadi isu yang sangat
semarak. Semakin banyak kelompok masyarakat yang terbentuk untuk
mendukung penetapan dan menyebut diri mereka Pro Penetapan. Selain itu,
jejaring komunikasi antar kelompok mulai mengarah ke koordinasi untuk
membentuk sebuah lembaga.
Fokus dalam pemaparan ini yaitu keberadaan Sekretariat Bersama
(Sekber) Keistimewaan. Pemilihan Sekber sebagai fokus penulisan karena
terbentuknya kelompok ini yang menjadi penanda periode lanjutan dari
gelombang Gerakan Keistimewaan. Sejak menguatnya Sekber pada tahun 2011,
kelompok ini mendominasi aksi-aksi protes yang terekam oleh media.
Menonjolnya Sekber, menempatkannya sebagai garda depan masyarakat
pendukung penetapan. Aksi-aksinya selalu nampak dalam media sehingga
terkesan menjadi representasi tunggal dari wajah Gerakan Keistimewaan.
1.
Konsolidasi antar Pihak
Pada tahun 2010, beberapa orang pendukung penetapan berkumpul dan
menggagas sebuah organisasi untuk mewadahi semua kelompok Pro Penetapan.
Hasto (Widihasto Wasanaputra) mengungkapkan, “Karena itulah Sekber dibentuk
pada bulan Januari 2010, sebagai ruang komunikasi. Tidak ada subordinasi
disini. Siapa yang mau bergabung, kami akan mengundangnya”. Terbentuklah
Sekber yang menjadi kelompok baru yang tidak berbadan hukum, tanpa struktur
yang mencerminkan organisasi resmi, melainkan lebih pantas disebut sebagai
forum.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
53
Para aktivis di dalamnya dengan sengaja tidak ingin membentuk sebuah
kelompok dengan legalitas tertentu. “Sekber itu bukan organisasi. Sekber ini
ruang komunikasi. Pengertian ruang komunikasi ya, jejaring sosial!,” ungkap
Hasto. Maka, secara formal, tidak ada Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
(AD/ART) seperti layaknya sebuah organisasi atau lembaga resmi. Juga tidak ada
struktur seperti pengurus organisasi. Pada prakteknya, hanya ada satu pemimpin
yang kadang disebut koordinator atau ketua.
Kelompok ini pernah disebut sebagai Sekber Gamawan, akronim dari
Sekretariat Bersama Gerakan keistimewaan. Istilah ini terkesan menyindir. Saat
itu, perhatian publik sedang tertuju pada Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri
(Mendagri) yang tidak menyetujui penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
Namun, forum ini kemudian lebih populer di media dengan sebutan Sekber
Keistimewaan.
Kantor penerbit Galang Press menjadi ‘kantor’ dari Sekber ini. Julius
Felicianus Tualaka, pemiliknya, juga ikut bergabung dengan Sekber. Maka
dipakailah kantor penerbitan ini sebagai tempat koordinasi. Di kantor Galang
Press ini, para aktivis gerakan mengadakan rapat-rapat penting yang terkait
dengan perancangan aksi.
Sekber, sebagai sebuah lembaga tidak mempunyai struktur organisasi yang
lengkap seperti organisasi resmi pada umumnya. Saat Sekber dibentuk, hanya satu
posisi yang terlihat yaitu koordinator yang dipegang oleh Hasto. Tidak ada
kepengurusan yang terstruktur, yang ada adalah kepanitiaan yang selalu berganti.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
54
Walaupun memungkinkan banyak pihak untuk bergabung, tidak semua
kelompok pro-penetapan bergabung dengan Sekber. Ismaya yang sebelumnya
sangat populer justru tidak bergabung. Dengan agak enggan mengungkapkan
tentang tidak bergabungnya Ismaya, Hasto mengutarakan; “Kita memang tidak
ingin mensubordinasi kelompok-kelompok yang bergabung dengan kita”.54
Secara tidak langsung dia menyatakan bahwa ada ketidaksepahaman antar
mereka. “Tapi Ismaya sebetulnya ikut andil dalam membidani lahirnya Sekber”,
ungkap Hasto, mencoba memberikan sisi positif dari ketidaksepahaman ini.55
Kelompok perangkat desa bahkan pernah bersinggungan dengan kelompok
Sekber. Dalam suatu penyelenggaraan acara, kelompok perangkat desa tidak ikut
serta. Ketua Paguyuban Dukuh (Pandu), Sukiman, mengatakan bahwa salah satu
acara yang diselenggarakan oleh Sekber tidak melibatkan kelompok perangkat
desa. Namun, dalam aksi besar yang melibatkan pengerahan massa semua
kelompok bekerjasama. Ismaya, bersama dengan kelompok-kelompok lain pernah
bergabung dalam mobilisasi ribuan massa yang memadati halaman gedung DPRD
Yogyakarta untuk mendukung penetapan. Demikian juga Pandu, kelompok ini
pernah
tercatat
sebagai
salah
satu
elemen
pada
sebuah
acara
yang
dikoordininasikan oleh Hasto. Sekber tidak bersebrangan pendapat sepenuhnya
dengan kelompok perangkat Desa. Ada beragam kelompok yang terbentuk dari
orang-orang yang berlatar belakang profesi sebagai perangkat Desa, semisal
Apdesi (Asosiasi perangkat desa seluruh Indonesia), Parade (Paguyuban aparat
Desa), dan Pandu (Paguyuban Dukuh). Kelompok-kelompok ini pernah
54Wawancara dengan Widihasto, 14 Desember 2011
55ibid
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
55
melakukan kerjasama dengan para Sekber terutama saat momen protes yang
membutuhkan mobilisasi massa besar-besaran.
Pada perkembangannya, masyarakat pedesaan ini bukanlah satu-satunya
wajah dalam gerakan pro-penetapan. Kelompok-kelompok pro-penetapan
mempunyai
keragaman
dengan
perbedaan
karakteristik
yang
melatar
belakanginya. Fenomena terbentuknya Sekber menunjukkan kelompok-kelompok
masyarakat yang plural dalam gerakan pro-penetapan menunjukkan eksistensinya
dengan membentuk koalisi baru.
Walaupun Sekber adalah kelompok yang baru terbentuk, mereka
menangkal anggapan bahwa mereka adalah orang-orang baru dalam Gerakan
Keistimewaan Yogyakarta. “Secara kelembagaan, Sekber memang baru, tapi
yang terlibat di dalamnya orang-orang lama.” Pernyataan Hasto ini sekaligus
ingin menunjukkan bahwa gelombang gerakan Keistimewaan yang diyakni
muncul pada tahun 1998 tidak hanya digerakkan oleh Ismaya yang
merepresentasikan para kepala desa dan masyarakat pedesaan. Hasto sendiri pada
tahun 1998 telibat dalam mengorganisir event besar yang kemudian disebut
Pisowanan Ageng. Hasto berpendapat bahwa pada momen Pisowanan Ageng
itulah gerakan keistimewaan dimulai. Alasannya, pada momen tersebut semua
elemen masyarakat di Yogyakarta secara spontan, tanpa terorganisir berkumpul di
Alun-alun. Hal ini tidak mungkin terjadi jika Kraton tidak mempunyai kharisma
yang cukup besar di mata masyarakat. Maka, mengingat sebagian besar para
aktivis di Sekber sudah mewacanakan bentuk-bentuk keistimewaan dengan
mendukung kraton atau dua pribadi raja di Yogyakarta, bisa disebut bahwa Sekber
adalah pergantian kulit dari orang-orang yang sama.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
56
Pendapat Hasto tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa dia dan
rekan-rekannya di Sekber sudah terlibat lama dalam perjuangan keistimewaan
Yogyakarta. Maka, peristiwa Pisowanan Ageng pada bulan Mei 1998 yang dipilih
sebagai momentum awal dimulainya perjuangan. Dengan kata lain, pada saat
itulah Gerakan Keistimewaan Yogyakarta terlahir. Sangat bisa dimengerti
mengapa kelompok Sekber menjadikan peristiwa Pisowanan Ageng Mei 1998 ini
sebagai titik tolak kelahiran Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Beberapa aktivis
Sekber termasuk Hasto ikut merencanakan dan mengorganisir pelaksanaan acara
ini. Acara ini sebenarnya disebut sebagai Gerakan Rakyat Mataram, tapi oleh
media massa dipopulerkan dengan tajuk Pisowanan Ageng.56 Untuk selanjutnya,
orang-orang yang terlibat dalam penyelenggaraan acara ini tetap terlibat dalam
aksi-aksi dalam konteks isu keistimewaan. Dengan lebih spesifik, mereka
menyatakan dukungan terhadap penetapan.57
Logo Sekber Keistimewaan (sumber: http://www.twitter.com/)
56Keterlibatan Hasto dalam pengorganisasian acara ini dituliskan dalam catatan
pribadinya di jejaring sosial. Hasto menuliskan dalam catatan pribadinya bahwa keterlibatannya
dalam event Gerakan Rakyat Mataram (Pisowanan Ageng) mulai dari perencanaan acara bersama
dengan beberapa orang yang terdiri dari kerabat kraton dan para seniman. Lihat; Wasana Putra,
Widihasto.
(27
Februari
2009).
Tribute
to
Mas
Sapto
Raharjo.
http://www.facebook.com/notes/widihasto-wasana-putra/tribute-to-mas-saptoraharjo/55066942660
57Di sisi lain, Hasto pada tahun 2003, ikut mengkritik penerbitan buku Pisowanan
Ageng: Sebuah Percakapan. Buku ini mendapat kritikan karena penulisan gejolak massa pada
bulan Mei 1998 cenderung mengagungkan peran Sultan HB X, tetapi peran kelompok-kelompok
mahasiswa cenderung dinafikan. Lihat: http://www.suaramerdeka.com/harian/0310/14/dar16.htm
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
57
Walaupun Hasto tidak secara spesifik mengatakan pihak mana atau siapa
yang menyebut bahwa Sekber adalah kelompok pejuang baru dalam perjuangan
keistimewaan, penulis membandingkan isu ini dengan pernyataan langsung
Mulyadi, Ketua Ismaya dalam sebuah wawancara (2009), yang menyatakan
bahwa perjuangan Gerakan Keistimewaan Yogyakarta dimulai dari terbentuknya
Ismaya pada tahun 1998. Saat penulis melakukan wawancara dengan Widihasto
pada tahun 2011, Hasto menyatakan bahwa pada tahun 2009 dia bersama rekanrekannya sudah terlibat dalam perjuangan Keistimewaan Yogyakarta. Seperti
yang diungkapkannya; “Jadi pada tahun 98 itu kami bersama-sama lah.”
Sekber dibentuk untuk mewadahi pihak-pihak pendukung penetapan yang
beragam, termasuk mereka yang tidak mempunyai basis organisasi. Jadi, Sekber
lebih bisa disebut sebagai sebuah forum yang menghimpun beragam orang yang
mempunyai kesamaan pendapat tentang keistimewaan Yogyakarta yaitu
penetapan gubernur dan wakil gubernur. Pihak-pihak yang bergabung dengan
Sekber baik secara pribadi maupun kelompok, disebut sebagai elemen. Ungkapan
‘elemen’ ini adanya kesetaraan antar pihak tersebut.58 Hasto enggan
menyebutkan siapa saja yang tergabung dalam elemen-elemen ini, tapi Julius
mengungkapkan pada bulan Desember 2011, sudah ada 72 elemen yang tergabung
di dalam Sekber.
Cara awal membuat konsolidasi ini dilakukan dengan pengamatan awal
bahwa
tema
keistimewaan
Yogyakarta
cukup
diminati
publik.
Hasto
mengidentifikasi bahwa tema keistimewaan Yogyakarta adalah tema kedua
58Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), elemen diartikan sebagai “zat yang
menjadi bagian dari komposisi materi utama”, “zat atau bilangan yang memiliki atom yang sama”.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
58
setelah tema reformasi yang bisa menyatukan beragam pihak. Maka, akan dengan
mudah mengumpulkan orang-orang dari beragam latar belakang untuk berkumpul.
“Strategi kami multisektoral,” ungkap Hasto, saat mengistilahkan strategi
gerakan yang dilakukan di Sekber. ‘Multisektoral’ ini menjadi kata kunci untuk
memahami bagaimana aksi-aksi kelompok penetapan dalam menyampaikan
aspirasinya dengan variatif. Gaya ‘multisektoral’ menjadi ciri baru yang
diartikulasikan oleh Sekber sebagai gelombang baru gerakan keistimewaan.
Mobilisasi massa secara besar-besaran tidak lagi menjadi bagian dari
strategi gerakan. “Kalau kita bisa melawan dengan 10 orang, kenapa harus
mengerahkan 1000 orang?,” ungkap Hasto. Ungkapan Hasto ini memang
mengkritik strategi gerakan yang hanya menggunakan pengerahan massa.
Mobilisasi dinilainya tidak efektif dan memboroskan energi. “Lain halnya dengan
Ismaya. Mereka bisanya pressure massa. Namanya juga perangkat desa.
Strateginya juga sektoral. Lha wong perangkat kok,” ungkapnya.
‘Multisektoral’ adalah istilah untuk menjelaskan bagaimana sebuah
gerakan menciptakan strategi dan melakukan aksi. Dengan strategi ini, Sekber
merencanakan aksi-aksi sebagai bentuk penyampaian aspirasi dengan bentukbentuk yang beragam. Maka terbentuklah peristiwa-peristiwa yang nampaknya
berbeda tapi berkaitan satu sama lain. Penghubung antar peristiwa ini yakni
Wacana Keistimewaan Yogyakarta. Secara sederhana, multisektoral ala Sekber
yaitu mengartikulasikan tema dengan berbagai cara. Maka tema ini akan semakin
luas dimengerti oleh publik.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
59
Masih mengritik kelompok perangkat desa, Hasto mengungkapkan bahwa
mereka bukanlah kelompok yang mampu mengembangkan aktivitas gerakan
secara
lebih
kreatif.
Dengan
membandingkan
dengan
Sekber,
Hasto
menambahkan bahwa dirinya adalah orang yang terbentuk dengan latar belakang
Students Movement, terlebih lagi saat mengakui keterlibatannya dalam pergerakan
mahasiswa pada tahun 1998. “Saya kan tahu teorinya,” imbuhnya saat
membicarakan tentang mengelola sebuah gerakan.
Hasto tidak merinci teori gerakan sosial apa yang diaplikasikannya dalam
Sekber. Namun, nampak jelas bahwa adanya aplikasi pengetahuan dalam
aktivitas-aktivitas gerakan sosial. Berkembangnya gerakan keistimewaan sampai
pada fase terbentuk dan berkembangnya Sekber sudah merambah ke ranah-ranah
lain diluar mobilisasi massa. Hal ini dimungkinkan karena adanya basis
pengetahuan yang cukup kuat untuk mengorganisir sebuah gerakan.
Mengorganisir gerakan bukan sekedar menggunakan mobilisasi massa.
Penyampaian
aksi
protes
sebagaimana
dilakukan
oleh
sekber
lebih
mengedepankan aksi-aksi simbolik. Dengan aksi simbolik ini, memungkinkan
untuk merangkum banyak orang
dalam berbagai kepentingan atau memiliki
kepedulian atau kepentingan yang sama.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
60
Sekber Keistimewaan saat pelaksanaan salah satu aksi simboliknya
(Sumber:http://detik.com)
Ada pemahaman bersama bahwa pemerintah pusat adalah penjajah baru.
Keberadaan pemerintah pusat saat ini melalui Presiden SBY, Kabinet Indonesia
Bersatu, dan Partai Demokrat adalah representasi penjajah. Keberadaan mereka
sama saja dengan pemerintah kolonial pada masa Hindia Belanda. Hasto sempat
mengkoordinasikan sebuah acara penyobekan bendera Belanda melalui jejaring
sosial Facebook. Salah seorang rekannya mengkritik bahwa penyobekan bendera
Belanda sudah tidak relevan. Pada saat pelaksanaan acara, adegan penyobekan
bendera tidak jadi dilaksanakan.
2.
Aktor-aktor gerakan
Para aktivis Sekber adalah orang-orang yang berdomisili di kawasan perkotaan
Yogyakarta dengan beragam latar belakang. Karakteristik ini berbeda dengan
kelompok perangkat desa yang tinggal di pedesaan dan mempunyai latar belakang
yang relatif sama. Pengusaha, spiritualis, dan seniman adalah profesi-profesi para
aktivis ini.
Keragaman tidak hanya terlihat dalam latar belakang profesi, tapi juga
etnisitas dan religi. Julius Felicianus Tualaka, pemilik Galang Press yang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
61
menyediakan kantor penerbitannya sebagai ‘base camp’ adalah warga Yogyakarta
yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Demikian juga Ki Demang
Syafifudin, adalah orang Sunda yang tinggal di Yogyakarta. Walaupun mereka
mempunyai latar belakang yang berbeda, orang-orang ini adalah warga
Yogyakarta yang berdomisili dan mempunyai mata pencaharian di Yogyakarta.
Sebagai contoh, Cak Harno warga keturunan Madura yang memimpin kelompok
FJR (Forum Jogja Rembug). Kelompok ini bergerak di bidang usaha keamanan
dan lahan parkir. Hasto mengungkapkan,“Kita memang tidak ingin primordial.
Lha ini orang NTT (sambil menunjuk Julius). Pak Tagor itu orang Batak. Cak
Harno itu Madura. Orang-orang itu malah militan. Mereka nggak terima Yogya
diperlakukan seperti ini”. Menegaskan tentang pluralnya latar belakang rekanrekannya di Sekber, Hasto menyatakan; “Kita memang ingin melunturkan kesan
primordial”.
Sangat kontras dengan karakteristik gelombang kelompok Pro Penetapan
sebelumnya yaitu Ismaya yang mewakili golongan perangkat desa membentuk
corak tertentu yang terlihat.59 Maka, massa yang terhimpun oleh kelompok
perangkat desa ini menampakan ciri yaitu, jawa, pedesaan, dan sangat terikat
dengan tradisi budaya jawa. Selain itu, pengembangan gagasan atas keaslian
Yogyakarta juga mulai mengarah ke meliyankan para pendatang yang tidak
59Kelompok besar yang berbasis masyarakat pedesaan ini turun-temurun menempati
wilayah dan terikat dengan tradisi yang erat dengan keberadaan Kraton. Pembacaan atas
karakteristik masyarakat dari golongan ini terlihat dari kepanjangan arti dari Ismaya (ing sedya
mematri aslining Ngayogyakarta), yang mengungkapkan bagaimana mempertahankan keaslian
Yogyakarta. Paparan lebih lanjut tentang dimensi politik identitas dalam wacana Keistimewaan
Yogyakarta dalam Mashudi, Wawan. “Komodifikasi Identitas: Reproduksi Wacana Asli dan
Pendatang dalam Debat Keistimewaan DIY,” dlm. Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan
Ruang/Space dalam Dinamika Politik di Indonesia dan Asia Tenggara. Salatiga: Percik, 2009.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
62
memahami keistimewaan Yogyakarta. Secara tidak langsung para pendatang telah
dicurigai menjadi penghambat dalam wacana penetapan.
Julius mengungkapkan; “Saya pernah ditanya oleh seseorang, kenapa
anda yang bukan orang Jawa dan beragama Katolik justru mendukung
keberadaan Kraton di Jawa yang mencerminkan Kerajaan Islam? Memangnya
ada masalah apa?, kata saya”.60 Di lain kesempatan Demang juga
mengungkapkan, “Saya justru salut pada rekan-rekan yang beragama nasrani.
Mereka mendukung satu-satunya Kerajaan Islam yang masih hidup di Indonesia”.
Sebagian aktivis memang mempunyai latar belakang non-muslim. Hal yang
mengembangkan motivasi mereka lebih dilandasi karena mereka adalah warga
Yogyakarta.
Keragaman latar belakang di Sekber menjadi wajar karena kondisi sosial
Kota Yogyakarta memang plural. Kota Madya Yogyakarta dan sekitarnya di
Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul terdapat ratusan sekolah dan perguruan
tinggi yang menyedot ribuan orang dari luar daerah. Sebagian dari mereka tetap
tinggal di Yogyakarta untuk bekerja atau berkeluarga. Para aktivis Sekber yang
berasal dari luar daerah, selain bekerja di Yogyakarta juga mempunyai istri orang
Yogyakarta.
Beberapa orang yang terlibat di kelompok pro-penetapan memang
mempunyai hubungan kedekatan dengan Kraton baik melalui kekerabatan atau
hubungan kerja. Tagor, salah satu yang terlibat di Sekber, dalam suatu pertemuan
60Wawancara, Julius, Desember 2011
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
63
Sekber yang dihadiri banyak orang pernah mengatakan bahwa dia melakukan
komunikasi dengan keluarga besar Kraton.
Hubungan-hubungan kedekatan dengan Kraton ini menjadi pengalaman
keseharian mereka dalam memainkan peran mereka baik secara ekonomis, politis,
maupun kultural. Sebagai contoh, Pak Bei (Tato) adalah representasi sebagian
golongan masyarakat pendukung penetapan. Sebagai abdi dalem, posisinya adalah
pelayan tradisi kraton yang mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap rajanya.
Pak Bei yang pernah menjadi komandan Banser NU ini juga mengikuti
Pisowanan Ageng 1998, yang dia sebut sebagai Gerakan Rakyat Yogyakarta
(GRY).
Suasana paguyuban terbentuk dalam interaksi pribadi. Kesamaan tujuan
untuk mendukung
penetapan membawa mereka dalam suasana keakraban.
Orang-orang dengan perbedaan latar belakang ini menjadi saling mengenal.
Suasana paguyuban ini menciptakan keakraban sehingga tercipta kedekatan yang
membuat mereka mengakses bidang-bidang lain di luar keseharian mereka. Isu
tentang keistimewaan tidak selalu menjadi topik pembicaraan. Dunia bisnis,
spiritualitas, kenalan, hantu dan hal-hal lain menjadi topik yang sering muncul
dalam pembicaraan-pembicaraan informal mereka.
Pergaulan di komunitas pro penetapan ini justru memperkuat jaringan
mereka. Seperti yang terlihat di dalam pergaulan, banyak orang dari berbagai latar
belakang ini berkumpul untuk mereka dengan mengenal satu sama lain. Saat saya
melakukan wawancara dengan Demang, dia mengungkapkan bahwa dia
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
64
mempunyai bisnis jasa persewaan,“Kalau anda ada event, bisa kontak saya,”
ujarnya.
Kelompok ini lebih menjadi semacam forum yang menghimpun beberapa
orang. Kemudian, forum ini membesar karena semakin banyak orang yang terlibat
di dalamnya. Semisal, Demang yang menjadi aktivis di Forum Persaudaraan Umat
Beriman (FPUB) dan Komunitas Sunda Wiwitan, kelompok etnis Sunda di
Yogyakarta. Kemudian, Cak Harno yang mempunyai organisasi bernama Forum
Jogja Rembug (FJR), sebuah kelompok yang bergerak di bisnis lahan parkir dan
bisnis lainnya.
3.
Kelompok Elit Gerakan
Walaupun tidak ada jajaran pengurus, kelompok ini mempunyai sekelompok kecil
orang yang menjadi elit gerakan. Mereka merumuskan konsep, menyusun strategi,
serta menentukan aksi. Jadi, tetap ada orang-orang tertentu yang bertindak sebagai
pengurus walaupun tidak pernah ada pengurus resmi.
Sekelompok ‘pemikir’ gerakan ini juga menjalin komunikasi dengan
Sultan HB X secara informal. Demang mengungkapkan bahwa Sultan HB X
pernah menghubungi mereka via sms ke ponsel masing-masing. Kelompok ini
disebut sebagai kelompok 11 karena jumlahnya 11 orang. Kemudian, kelompok
inti ini disebut kelompok 12, karena jumlahnya bertambah. ”Sri Sultan
menghubungi kami lewat SMS. Saat bertemu, kami membicarakan perkembangan
terbaru tentang keistimewaan”, ungkap Demang. Para elit gerakan ini yang
menjadi ‘otak’ dalam gerakan yang dioperasikan oleh Sekber. Bagaimana harus
mengembangkan atensi publik, menjaring banyak pihak yang terlibat, dan aksi-
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
65
aksi yang harus dilakukan, adalah poin-poin penting yang dibicarakan dalam
pertemuan-pertemuan terbatas yang dilakukan di ‘kantor’ ini.61
Di dalam Sekber, tidak ada batas-batas komunikasi yang kaku dalam
rangka membentuk jejaring. Para aktivis Sekber juga melakukan koordinasi
dengan pihak-pihak lain yang terlihat bukan menjadi bagian dari Sekber. Pihakpihak yang terjaring tidak terbatas institusi, tapi juga pribadi-pribadi yang
mempunyai peran penting.
Yang terjadi adalah Sekber menjadi ‘kelompok strategis informal’. Mereka
melakukan komunikasi dengan berbagai pihak, bergerak tanpa diketahui, dan
melakukan aksi secara sistematis, efektif, dan efeknya luas.
B.
MENGEMBANGKAN IDEOLOGI KEISTIMEWAAN
Secara lebih khusus, bagaimana menuliskan realitas gerakan sosial dengan
perspektif budaya bisa dilakukan dengan mengungkap beberapa aspek yaitu nilainilai bersama, perilaku, bahasa, tradisi, simbol, bentuk-bentuk lain yang dibuat
oleh orang-orang gerakan tersebut. Penanda (marker) untuk menggambarkan
dinamika dalam gerakan sosial yang paling nampak yaitu ideologi atau
seperangkat kepercayaan.62
61Wawancara dengan Ki Demang Syafifudin Desember 2011. Demang tidak bersedia
merinci siapa saja yang tergabung dalam kelompok 12 ini. Tapi secara tidak langsung Demang
memberikan informasi bahwa segelintir orang ini adalah kelompok inti Sekber yang di dalamnya
ada Hasto, Julius, dan dirinya sendiri.
62John Lofland (1995). “Charting Degrees of Movement Culture: Tasks of the Cultural
Cartographer,” dlm. Johnston & Klandermans (ed.). Social Movements and Culture.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
66
Dalam bahasan ini saya mencoba merekam bagaimana kalangan bawah
(dalam hal ini masyarakat pengikut gerakan penetapan) berceloteh tentang
keistimewaan Yogyakarta. Pada prinsipnya, konsep Keistimewaan Yogyakarta
dipahami sebagai penetapan Sultan HB dan Adipati PA yang bertahta sebagai
gubernur dan wakil gubernur tanpa dibatasi oleh periode tertentu. Penafsiran akan
keistimewaan dalam bentuk-bentuk yang lain bukan menjadi prioritas utama.
Sejarawan PJ Soewarno (2011) mengungkapkan bahwa bentuk keistimewaan di
Yogyakarta terletak pada pemilihan kepala daerah. Untuk bentuk-bentuk
penafsiran keistimewaan yang lain, tidak berbeda dengan daerah lain yang
mendapatkan otonomi khusus. Pendapat ini menjadi pendapat umum bagi para
aktivis pro penetapan di Sekber. Senada, para aktivis pro penetapan berulang kali
menyatakan; “Sultan is Gubernur, Gubernur is Sultan”. “Yang lain (penafsiran
yang lain) itu derivasinya,” sebagaimana diungkapkan oleh Hasto.
Sejauh belum ada kepastian tentang penetapan, maka bagi mereka
penetapan kedua pribadi Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam yang
bertahta sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY yang sah secara hukum. Maka
bisa disimpulkan pula, bahwa ideologi Keistimewaan Yogyakarta adalah posisi
raja sebagai kepala daerah.
Pertanyaan
selanjutnya
adalah,
bagaimana
ideologi
utama
ini
dikembangkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain yang dipopulerkan. Berikut
ini adalah pengetahuan-pengetahuan yang kemudian berkembang sebagai
pendukung pemahaman bahwa penetapan adalah penafsiran utama.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
1.
67
Budaya Adiluhung
Muncul pemahaman bahwa nilai-nilai tradisi budaya jawa yang ada di Yogyakarta
telah memberi inspirasi bagi para founding father untuk merumuskan ideologi
negara Indonesia. Hamah Sagrim, seorang koordinator mahasiswa asal Papua
yang mendukung keistimewaan Yogyakarta mengungkapkan bahwa nilai-nilai
lokal yang berkembang di tradisi budaya Jawa telah menjadi inspirasi bagi
pembentukan simbol dan ideologi negara. Sagrim mengungkapkan,”Bukankah
Garuda itu dari Jawa?”, dengan pertanyaan ini dia menafsirkan bahwa apa
simbol Negara diadopsi dari khasanah tradisi Jawa di Yogyakarta.
Keyakinan
ini
kemudian
diartikulasikan
berulang-berulang
dalam
pembicaraan informal di masyarakat. Seperti doktrin, wacana ini meluas.
Masyarakat umum pun banyak yang menjadikan wacana ini sebagai keyakinan
yang mengobarkan semangat untuk mendukung isu penetapan dalam wacana
keistimewaan Yogyakarta.
“Bagaimana mungkin, sebuah negara berani melawan negara lain yang
pernah ikut membantu melahirkan dan mengasuhnya saat kecil?”, ini sebuah
ungkapan yang beredar di dalam pembicaraan keseharian masyarakat pendukung
penetapan. tidak jelas siapa yang pertama mengungkapkan, tapi sudah meluas.
Ungkapan ini menandakan bahwa telah muncul imaji tentang Yogyakarta sebagai
sebuah negara berdaulat yang sudah seharusnya mendapatkan perlakuan khusus.
Pemerintahan SBY dan kabinetnya telah dianggap kuwalat. Dengan
membuat sistem pemilihan untuk menentukan jabatan gubernur dan wakil
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
68
gubernur, pemerintah pusat dianggap terlalu berani untuk menggoyahkan
kekuasaan mistis yang ada dalam keberadaan Sultan dan Kraton.
2.
Negara Berdaulat
Berkembanglah pendapat bahwa Yogyakarta pernah menjadi negara berdaulat.
Sebelum perbincangan tentang wacana keistimewaan, imaji bahwa Yogyakarta
pernah menjadi negara berdaulat hampir atau tidak pernah muncul dalam
perbincangan-perbincangan informal. Setelah isu keistimewaan menjadi populer,
banyak orang membicarakan tentang ‘negara’ Yogyakarta ini di masa lampau.
“Kami adalah pejuang”, ungkap salah seorang koordinator aktivis
kelompok pro-penetapan. “Sebenarnya, kami merasa lelah, siang-malam. Tapi ya
begini, yang namanya pejuang itu harus berjiwa patriotik”, dia menambahkan.
Keikutsertaannya dalam kelompok pro-penetapan diartikulasikan sebagai
perjuangan membela bangsa. Patriotisme, sebagai sebuah sikap membela bangsa,
dia wujudkan dalam aktivitas di kelompok pro-penetapan.
Kemudian, pemahaman bahwa Yogyakarta adalah negara berdaulat ini
berkembang ke arah penolakan penyebutan propinsi. Bagi mereka, Yogyakarta
memang bukan propinsi. Yogyakarta dipahami sebagai sebuah negara bagian
yang ‘dihaluskan’ dengan nama daerah istimewa.
3.
Jasa Besar Sang Raja
Narasi tentang pribadi Sultan HB IX menempati peran yang signifikan dalam
pemahaman besar ideologi keistimewaan. Pribadi Sultan HB IX dipahami sebagai
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
69
‘teladan fundamen nasionalisme Indonesia’. Pemahaman ini bermuara pada peran
Sultan HB IX saat revolusi fisik pada tahun 1946 – 1949.
Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan bagaimana peran Sultan HB IX
dalam memainkan perannya dalam keterlibatan melawan invasi pasukan Belanda.
Kisah historis tersebut menjadi grand narrative yang wajib diketahui oleh semua
orang, terutama mereka yang berniat memperjuangkan kepentingan Yogyakarta
menghadapi ‘serangan penjajah’ yaitu kebijakan politik pemerintahan SBY.
Pribadi Sultan HB IX adalah figur pahlawan utama dalam narasi besar
Keistimewaan Yogyakarta. Walau argumentasi tentang legitimasi keberadaan
daerah istimewa berakar dari keberadaan vasal pada masa kolonial, argumentasi
tentang legitimasi Keistimewaan Yogyakarta lebih banyak berkembang pada
narasi kehidupan sang raja, terutama aktivitas Sultan HB IX pada periode waktu
1946 – 1949.
Dalam pemikiran para aktivis gerakan, jasa besar Sultan HB IX pada saat
negara Indonesia mengalami masa krisis tersebut memperkuat argumen bahwa
konsep keistimewaan Yogyakarta sudah final dan tidak perlu dipertanyakan lagi.
Argumen berikut ini menjadi argumentasi bersama: “Jika Sultan HB IX
tidak mendukung keberadaan RI. Apakah sampai saat ini, Indonesia masih ada?”.
Maka,bagi mereka yang menyebut dirinya pro penetapan, pengesahan
keistimewaan dengan penetapan gubernur dan wakil gubernur sudah menjadi hak
yang sah bagi rakyat Yogyakarta karena jasa besar Sultan HB IX.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
C.
70
SIASAT PERLAWANAN GERAKAN
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa gaya multi sektoral menjadi
ciri khas dalam dinamika gerakan di Sekber. Mencermati multi sektoral ala
Sekber ini, membawa pemahaman ke arah bagaimana mengartikulasikan multi
sektoral dalam teknik-tekniknya. Berikut ini adalah beberapa teknik-teknik
signifikan yang dijalankan oleh Sekber dalam rangka mengaplikasikan strategi
multi-sektoral.
Walaupun Sekber melakukan beragam teknik, hanya beberapa yang
digarisbawahi dalam penulisan penelitian ini, yaitu; 1) Koalisi Taktis, 2)
Reproduksi Sejarah, 3) Permainan Simbolik, 4) Penciptaan Musuh Bersama.
Menjabarkan beberapa teknik ini terkait dengan relasi kuasa yang akan dijabarkan
di bab selanjutnya.
1.
Koalisi Taktis
Di Yogyakarta, ada beragam kelompok sosial. Kondisi ini dimanfaatkan oleh
Sekber untuk menghimpun banyak pihak. ”Kita cari orang-orang dari seluruh
Indonesia ada. Disini banyak wisma-wisma mahasiswa”, kata Julius. Hasto juga
mengungkapkan: “Semua anasir Nusantara itu ada di Jogja. Tinggal
menghubungi mereka. Kita tidak semata-mata memobilisasi mereka, tapi juga
memberikan pemahaman”.
‘Mobilisasi’ yang dimaksudkan adalah pengerahan massa untuk acaraacara tertentu yang dikoordinasikan oleh Sekber. Acara-acara ini simbolik.
Pengerahan massa tidak selalu menampakkan bentuk protes terbuka seperti
demonstrasi.“Untuk menyerang Jakarta, kami tidak bisa menggunakan isu lokal
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
71
saja. Harus ada isu nasional”. Sekber tidak ingin ‘sendirian’ untuk menyerang
pemerintah pusat. Selama ini kelompok pro-penetapan menjalin komunikasi
dengan pihak-pihak lain yang juga mempunyai ketidak sepahaman dengan
kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, untuk memperkuat diri, pihak-pihak lain
tersebut dihimpun menjadi satu pihak dengan satu gagasan.
“Kami melakukan koalisi taktis”, ungkapnya. Koalisi taktis ini artinya
bekerjasama dengan pihak-pihak yang sedang menggugat pemerintah pusat.
Dengan melakukan kerjasama ini, tema keistimewaan Yogyakarta akan semakin
dikenal oleh publik, sehingga memperkuat tekanan kepada pemerintah pusat.
Salah satu pihak yang diajak oleh Sekber berkoalisi taktis yaitu ormas Parade
Nusantara (Persatuan Aparat Desa Nusantara). Parade Nusantara adalah sebuah
ormas yang merangkum aparatur perangkat desa di seluruh Indonesia. Asosiasi ini
mempunyai agenda untuk memperjuangkan disahkannya UU perdesaan. Implikasi
dari disahkannya aturan ini yaitu pada alokasi dana sekian persen dari
APBN.“Dengan kerjasama ini, saya melihat keistimewaan Yogyakarta gaungnya
sudah nasional”, menjelaskan tujuan konkrit yang dicapai dalam koalisi taktis.
‘Ruang Komunikasi’ dan ‘Jejaring Sosial’ yang diungkapkan oleh Hasto
bisa menjelaskan bagaimana koalisi taktis ini dibentuk. Seperti jejaring sosial di
internet, Sekber menjalin komunikasi dan menghimpun sebanyak-banyaknya
kelompok-kelompok sosial yang ada di Yogyakarta. Kelompok-kelompok ini
dihimpun dan kemudian dikoordinasikan dalam program-program tertentu untuk
menyampaikan aspirasi tentang penetapan.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Pola
kerjasama
atau
gaya
berjejaring
yang
dilakukan
72
bersifat
‘transaksional’. “Transaksional itu ya artinya ya saling-silang”, ungkap Hasto
menyederhanakan maksud dari ‘transaksional’ ketika membicarakan tentang
komunikasi antar pihak dalam kegiatan-kegiatan di Sekber. Ungkapan
transaksional ini sekaligus menjelaskan bagaimana sebagian kelompok-kelompok
tertentu bekerjasama dengan Sekber dan saling menata antar kepentingan dalam
satu wahana yang sama.
***
Untuk mengetahui lebih dalam tentang keterlibatan kelompok-kelompok
yang merepresentasikan penduduk Yogyakarta yang berlatar belakang non Jawa.
Kelompok-kelompok massa ini sudah berinteraksi dengan kelompok-kelompok
pro penetapan, oleh karena itu, saya akan sejenak melihat ke belakang sebelum
terbentuknya Sekber Keistimewaan.
Dimulai dari kelompok-kelompok mahasiswa Papua di Yogyakarta. Para
mahasiswa
papua
di
Yogyakarta
mempunyai
banyak
organisasi
yang
menghimpun mereka dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Satu hal yang
menyatukan pemahaman mereka yaitu kesadaran akan identitas Papua yang
mereka miliki. Sebagian dari mereka berkumpul dalam kelompok-kelompok yang
secara kritis mewacanakan tema-tema yang terkait kondisi sosial politik di Papua.
Bahkan, sebelum Sekber terbentuk, sekelompok mahasiswa Papua yang
berdomisili
di
Yogyakarta
melakukan
aksi
dukungan
untuk
Wacana
Keistimewaan Yogyakarta. Pada saat pelaksanaan demonstrasi besar-besaran di
halaman gedung DPRD, para mahasiswa asal Papua ini ikut serta. Kehadiran
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
73
mereka dalam gelombang besar ribuan massa ini menarik perhatian. Dengan
kostum adat Papua lengkap dengan senjata tradisional, mereka menari-nari
membuat kamera para jurnalis tertuju pada mereka.63
Hamah Sagrim, aktivis mahasiswa asal Papua yang terlibat dalam
koordinasi aksi tersebut mengungkapkan bahwa aksi tersebut adalah mewakili
sikap seluruh warga Papua yang ada di Yogyakarta.64 Walaupun sebenarnya
beberapa aktivis pergerakan mahasiswa papua menuturkan bahwa aksi yang
dilakukan oleh beberapa kelompok mahasiswa papua itu tidak mewakili seluruh
pendapat mahasiswa papua atau kepentingan rakyat papua secara langsung.
Lechzy Degey salah satu aktivis kelompok mahasiswa di Yogyakarta
berpendapat, mereka yang terlibat dalam aksi dukungan tersebut adalah orangorang yang secara personal mempunyai kedekatan pribadi dengan para aktivis
gerakan pro-penetapan. Mereka adalah para mahasiswa Universitas Widya
Mataram Yogyakarta (UWMY) adalah sebuah Perguruan Tinggi yang didirikan
oleh Sultan HB IX.65
Walaupun Lechzy berpendapat bahwa aksi massa itu hanya mewakili
sebagian kecil kelompok mahasiswa Papua, dia mengakui bahwa organisasiorganisasi yang menghimpun warga Papua di Yogyakarta menyatakan
mendukung gagasan kelompok pro-penetapan. Salah satu kelompok yaitu,
63Pengamatan langsung (13 Desember 2010)
64Hamah Sagrim, wawancara (5 November 2011)
65Sebagai catatan, beberapa mahasiswa asal Papua ini direkrut oleh salah seorang
pengajar sekaligus rektor UWMY, Prof. Dr. Suyanto yang juga tergabung dalam salah satu
kelompok pro-penetapan yaitu Gerakan Keistimewaan Rakyat Yogyakarta (Gentaraja). Informasi
ini saya dapatkan dari salah seorang staf UWMY, 28 Januari 2011.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
74
Lembaga Intelektual Tanah Papua (LITP), menyatakan sikap resmi dukungannya
di kompleks Pura Pakualaman. Hal ini tidak mungkin dilakukan jika tidak ada
koordinasi antara kelompok-kelompok mahasiswa ini dengan kelompokkelompok pro penetapan. Sagrim pernah mengungkapkan bahwa dia pernah
berkumpul bersama kelompok-kelompok ‘elemen’ dalam suatu makan malam
bersama Sultan HB X.
Anak sulung dan anak bungsu adalah metafor yang digunakan kelompok
papua terhadap isu keistimewaan ini. Sagrim mengungkapkan, “Jika Yogyakarta
sebagai anak sulung diperlakukan seperti ini, bagaimana dengan kami yang anak
bungsu?”. Dukungan terhadap wacana keistimewaan Yogyakarta oleh kelompok
masyarakat Papua ini bertumpu pada permasalahan yang terjadi di Papua.
Demikian juga Lechzy yang berujar, “Tidak mungkin pohon manga berbuah
manggis. Pemerintah jangan sewenang-wenang. Demokrasi yang lebih cocok
untuk kita adalah demokrasi kesukuan”.
Hal serupa juga dilakukan oleh kelompok masyarakat Yogyakarta yang
berasal dari NTT. Sekelompok massa dengan latar belakang keturunan Flores
mengorganisir diri untuk bergabung dalam mobilisasi ribuan massa pendukung
penetapan di halaman gedung DPRD. Salah seorang peserta mengungkapkan,
mereka diorganisir salah seorang tokoh masyarakat NTT di Yogyakarta.66
.***
66Santo, salah seorang peserta aksi massa mengungkapkan bahwa beberapa warga
Yogyakarta keturunan NTT di Yogyakarta berkumpul untuk mengerahkan massa. Dia
menyebutkan bahwa dia dan teman-temannya diajak oleh seorang pengusaha keturunan NTT yang
memiliki Radio Sasando FM. Ketika saya menanyakan mengenai motivasi dukungannya untuk
mendukung keistimewaan Yogyakarta, dengan jujur dia mengakui tidak mengerti. Keterlibatnnya
hanya sekedar dimobilisasi.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
75
Setelah terbentuknya Sekber, dukungan masyarakat Yogyakarta yang
beragam latar belakang tersebut dilihat sebagai salah satu faktor yang menguatkan
aksi protes. Isu ketidakadilan memerankan peranan dalam jalinan koordinasi ini.
Pemerintah pusat terkesan menjadi musuh bersama. Terutama, kebijakankebijakan pemerintah pusat yang terepresentasikan melalui keberadaan Presiden
SBY dan Partai Demokrat. Menyadari potensi wacana ini, para aktivis Sekber
berkomunikasi juga dengan pihak-pihak lain yang berdomisili di Riau,
Kalimantan, Bali, dsb. Kemudian, wajah massa di Sekber menjadi terlihat
berwarna.
2.
Memancing Media dengan Aksi Simbolik
“Kalau dulu, mereka nggak bisa reka-reka (merencanakan) ngumpulke media…”,
Hasto mengungkapkan. Saat Sekber menguat, kesadaran untuk terlihat di media
menjadi lebih tinggi. Keberadaan media, menjadi hal yang signifikan untuk
membuat isu yang diwacanakan oleh gerakan menjadi semakin besar.
Pada masa maraknya gerakan pro-penetapan sebelum Sekber, media
memang membuat tema keistimewaan dikenal publik. Tapi, tema ini hanya
dikenal publik saat momentum-momentum tertentu yaitu pada saat menjelang
habisnya masa jabatan gubernur dan wakil gubernur. Saat momen-momen
tersebut, terjadi mobilisasi massa, maka sangat memungkinkan media
mengekspos peristiwa tersebut. Atensi media meningkat saat momentum
pernyataan Presiden SBY. Media baik cetak maupun elektronik selama
berminggu-minggu memberitakan protes terhadap pernyataan presiden ini.
Pemberitaan besar mulai menyurut saat ada peristiwa-peristiwa lain yang lebih
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
76
menarik fokus perhatian media massa. Tema keistimewaan Yogyakarta kembali
surut dan tidak lagi tampil di tajuk-tajuk utama media.
“Semoga masyarakat tetap mengawasi perkembangan keistimewaan
Yogyakarta. Jangan sampai ada pengalihan isu”, ungkap Hasto dihadapan
puluhan aktivis Sekber di Galang press pada bulan Desember 2011. Dilihat dari
ungkapan Hasto tersebut, memperlihatkan adanya kesadaran yang tinggi akan
pentingnya media sebagai bagian dari alat propaganda. Prinsip efektivitas dan
efisiensi menjadi prinsip yang penting untuk selalu menyuarakan pendapat agar
semakin dikenal publik secara luas. Dengan mobilisasi massa besar-besaran tidak
hanya ‘boros energi’ tapi juga tidak konstan.
Pemberitaan media kemudian dipilih untuk membuat gerakan semakin
membesar. Di tingkat lokal, media-media cetak yang ada di Yogyakarta sudah
bisa dipastikan akan memberikan perhatian yang lebih untuk tema keistimewaan
Yogyakarta. Koran Kedaulatan Rakyat (KR) yang menjadi koran lokal terbesar di
DIY mempunyai hubungan yang dekat dengan mantan Bupati Bantul, H. Idham
Samawi. Istri Idham, Ida Samawi yang menjadi Bupati Bantul setelahnya, bahkan
ikut turun ke jalan bersama ribuan massa dalam rangka mendukung penetapan.
Maka, media lokal ini memberikan space berita tentang polemik keistimewaan
Yogyakarta setiap harinya. Salah satu pemberitaan favorit adalah pemberitaan
tentang aktivitas di Sekber.
Menyadari pentingnya media, Sekber selalu mengkoordinasikan media
dengan mengundang wartawan. Hasilnya, aksi-aksi protes selalu menjadi berita di
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
77
media. Cara ini terbukti efektif, sepanjang tahun 2011 sampai 2012 aktivitas
selalu diberitakan di media-media cetak maupun online.
Sejak awal, kelompok-kelompok pro-penetapan sudah merebut media.
Tapi perhatian media tidak cukup, Sekber menciptakan aksi protes yang atraktif.
Protes mulai dikembangkan di ranah simbol-simbol. Berbicara tentang simbolsimbol sebagai bagian dari aksi protes, tanpa koordinasi, simbol visual berupa
bendera Haba, sudah menjadi tren visual yang menghiasi jalan-jalan di
Yogyakarta.
Pengibaran bendera Haba yang menjadi tren dalam masyarakat, ikut
dipopulerkan oleh Sekber. Dalam setiap aksinya, bendera haba selalu dikibarkan.
Sangat
dimungkinkan,
kelompok-kelompok
elemen
di
dalam
Sekber
memproduksi bendera ini dan menyebarkannya secara massif. Pemopuleran
bendera ini menjadi proses kreatif
yang menarik perhatian media sehingga
membuat fenomena ini diliput oleh media. Efeknya, pemasangan bendera haba
menjadi tren yang menjamur.
Sekber mengembangkan situasi ini. Kedekatan para aktivis Sekber dengan
kalangan seniman memungkinkan kelompok ini mengembangkan penciptaanpenciptaan yang kreatif dalam rangka meekspresikan protes. Maka dimulailah
aksi-aksi Sekber yang atraktif tanpa menggunakan mobilisasi massa besarbesaran. Aksi-aksi ini simbolik dan menimbulkan kesan. Keterlibatan orang-orang
dengan beragam latar belakang termasuk seniman membuat aksi-aksi protes
menjadi seperti halnya pertunjukan.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
78
Kadang, dalam aksi-aksinya, Sekber menampakkan nama-nama forum
yang berbeda. Nama-nama forum semacam Forum Masyarakat Yogyakarta
(FMY), Gerakan Rakyat Mataram (Geram),dsb. Walaupun punya banyak nama,
tapi orang-orangnya sama.
Menarik perhatian media dengan pertunjukan-pertunjukan atraktif yang
sarat simbol ini menjadi semacam promosi yang efektif dalam kegiatan marketing.
Para aktivis gerakan ini ingin membuat wacana yang dimainkan ini menjadi
semakin luas dikonsumsi oleh publik. Dengan aksi-aksi atraktif ini, secara tidak
langsung media berperan menjadi promosi untuk tema keistimewaan Yogyakarta.
Maka, terciptalah sebuah pasar pengetahuan yang membuat banyak orang
mengakses informasi dan mengonsumsi pengetahuan tentang tema keistimewaan
Yogyakarta sedikit demi sedikit.
3.
Reproduksi Sejarah
“Kalau saya, selalu menggunakan sejarah sebagai basis berpikir. Makanya,
dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh Sekber, ada kaitannya dengan
sejarah”, ungkap Hasto. Pak Bei, salah satu aktivis di Sekber yang pernah
menjadi komandan banser dengan lantang mengatakan, “Adik-adik belajar
sejarah dulu. Boleh saja berkegiatan tapi jangan lupa sejarah”. Anjuran tersebut
diungkapkannya kepada perwakilan sebuah kelompok mahasiswa. Di lain
kesempatan, saya pernah berbincang dengan beberapa orang yang terlibat dalam
Sekber. “Sejarahnya kan …”, “Lho, menurut Sejarah …”, “Faktanya, dalam
sejarah…”, kata ‘sejarah’ selalu diungkapkan ketika berbicara tentang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
79
keistimewaan Yogyakarta. ‘Sejarah’ menjadi kredo yang selalu diucapkan oleh
mereka yang berpendapat bahwa keistimewaan harus dipertahankan.
Ada apa dengan sejarah? Bambang Purwanto (2003) yang cenderung
posisi bersebrangan, mengritik bahwa basis pemikiran para pendukung
keistimewaan (pro-penetapan) terletak pada legitimasi historis. Padahal, legitimasi
historisnya tidak cukup kuat untuk dijadikan argumen. Alasan historis untuk
menyatakan keistimewaan yang dimiliki Yogyakarta mempunyai banyak
kelemahan dalam konteks sejarah sebagai ilmu. Argumen historis ditafsirkan
sewenang-wenang untuk legitimasi ambisi politik. “Sejarah menjadi kata keramat
yang kedua setelah istimewa”.67
Kelompok Pro-Penetapan mempunyai pandangannya sendiri. Mereka
menganggap pemerintah pusat dianggap mengalami amnesia sejarah. Kehilangan
memori sejarah ini yang kemudian menjadikan gerakan keistimewaan mencoa
mereproduksi ulang narasi sejarah atas keberadaan Yogyakarta dalam lingkup
kekuasaan Republik Indonesia. Caranya, dengan menceritakan kembali narasi
historis pada tahun 1940’an terutama pada periode 1946 – 1949, saat ibukota
Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta.
67Sebagaimana dituliskan oleh Bambang Purwanto dalam Keistimewaan yang sarat
beban sejarah. Sejarawan Bambang Purwanto menilai polemik keistimewaan Yogyakarta ini
penuh dengan beban sejarah. Argumen-argumen dari semua kelompok yang berpendapat tentang
Keistimewaan Yogyakarta mengandalkan legitimasi historis dan sebagian penafsiran atas sejarah
menjadi anakronis. Penilaian Bambang Purwanto bersebrangan dengan sejarawan-sejarawan lain
yang mendukung posisi sentral Sultan dan Adipati di Yogyakarta, sekaligus menunjukan posisinya
dalam dikotomi masyarakat soal keistimewaan. Tapi, yang digarisbawahi adalah bagaimana nama
‘daerah istimewa’ ini pertama kali terungkap. “Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pakualaman
berbentuk kerajaan yang merupakan Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia,”
pernyataan ini terdapat dalam amanat Sultan HB IX dan Adipati PA VIII dalam maklumat yang
dikenal sebagai maklumat 5 September 1945.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
80
Dengan dihapuskannya jabatan turun-temurun maka menjadi tindakan
yang tidak tahu balas budi. Keistimewaan Yogyakarta yang ditafsirkan sebagai
penetapan jabatan gubernur dan wakil gubernur secara turun temurun, sudah
menjadi hak istimewa yang seharusnya diterima oleh masyarakat Yogyakarta.
Tapi bisa dipahami karena tidak banyak orang yang mengetahui sejarah.
Terlebih lagi, sejarah telah diyakini banyak dimanipulasi oleh pemerintah untuk
tujuan-tujuan praktis kekuasaan pada masa Orba. Selepas Orba, sebagian
masyarakat Yogyakarta sebenarnya sedang ‘bergembira’ karena sudah diakuinya
Sultan HB IX sebagai orang yang berperan besar dibalik Serangan Oemoem 1
Maret, yang selama puluhan tahun menempatkan Letkol Soeharto yang menjadi
penguasa rezim Orba. Narasi Keistimewaan Yogyakarta akhirnya menjadi
rekonstruksi dari sejarah tentang kedaulatan Yogyakarta pada masa kolonial serta
perannya pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Selama masa polemik ini para intektual telah menjadi pewacana
interpretasi sejarah di media, diskusi ilmiah, seminar, serta publikasi tertulis
melalui artikel di buku dan media cetak. Reproduksi peristiwa bersejarah ini
semakin marak dengan munculnya buku-buku bergenre sejarah yang membahas
tentang keistimewaan Yogyakarta. Tercatat lebih dari belasan buku yang
mereproduksi ulang peristiwa bersejarah Ibukota Republik Indonsia saat berada
Yogyakarta.
Sekber mengambil posisi yang berbeda. Forum yang menghimpun
beragam pihak dari beragam latar belakang, ini mempunyai hubungan yang erat
dengan masyarakat awam. Maka, upaya pengenalan sejarah menggunakan cara
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
81
yang mudah dimengerti masyarakat umum. Pendidikan sejarah ala Sekber adalah
‘promosi sejarah’ dalam banyak bentuk-bentuk alternatif. Proses reproduksi ini
dilakukan dengan menyisipkan tema-tema sejarah yang terkait dalam acara-acara
tertentu yang sudah menjadi peristiwa lazim. Pendidikan sejarah ini ditujukan
pada masyarakat umum.
Reproduksi bukan dengan penerbitan buku melainkan dalam bentuk acaraacara. Reproduksi ini diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan yang bisa memancing
banyak
perhatian
masyarakat
luas.
Peristiwa-peristiwa
historis
tertentu
direproduksi bersamaan dengan penyelenggaraan acara-acara. Peristiwa historis
yang paling penting yaitu perpindahan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke
Yogyakarta pada bulan Januari 1946.
Legitimasi historis untuk keistimewaan Yogyakarta ada dalam dua
pemahaman pokok, yaitu hubungan kerajaan dengan pemerintah kolonial dan
Negara Indonesia.Kedua hal ini ditafsirkan sebagai dasar pengakuan tentang
keberadaan kerajaan yang berdaulat. Pertama, pemerintah Hindia Belanda
mengakui kedaulatan Yogyakarta. Kedua, peran besar kedua raja dalam revolusi
fisik Indonesia tahun 1945 – 1949. Peran besar kedua pemimpin Yogyakarta ini
ditafsirkan bahwa Yogyakarta pantas mendapatkan status istimewa.
Komunitas-komunitas di dalam lingkup gerakan sosial adalah ‘kelas
pembelajaran sejarah bersama’. Di dalam interaksi sosialnya, para pengikut
gerakan pro penetapan melakukan knowledge sharing tentang sejarah yogyakarta,
terutama yang terkait dengan narasi perjuangan kemerdekaan dan bergabungnya
Yogyakarta dengan Republik Indonesia. Knowledge sharing ini berlangsung
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
82
dalam diskusi-diskusi baik diskusi formal maupun diskusi informal. Dalam
diskusi ini masing-masing membicarakan dan mengetahui kisah-kisah historis
seputar Yogyakarta pada masa tahun 1940’an. Para aktivis gerakan pro penetapan
yang tergabung di dalam Sekber tidak terikat dalam keanggotaan yang mengikat
sehingga mereka juga banyak ‘tersebar’ dalam diskusi-diskusi tentang
keistimewaan Yogyakarta. Dalam aktivitas-aktivitas diskusi ini pula reproduksi
narasi historis tentang yogyakarta dilakukan.
Tiba-tiba masyarakat menjadikan tema sejarah masuk sebagai tema yang
muncul dalam kehidupan sehari-hari. Tiba-tiba banyak orang belajar sejarah tanpa
adanya guru sejarah yang mengajarkan sejarah di ruang kelas. Pembelajaran
sejarah ini berlangsung dari mulut ke mulut. Materi-materi yang disampaikan
ternyata tidak mereka temui dalam ranah-ranah formal. Interaksi antar personal
saat membicarakan tentang Yogyakarta menjadi kelas bersama yang cukup
interaktif.
4.
Penciptaan Musuh Bersama
“Mereka itu musuh kami, antek-antek liberal”68
Dalam perbincangan wacana tentang keistimewaan Yogyakarta, sikap yang
muncul tentu beragam, pro dan kontra. Bagi para pengikut kelompok propenetapan, pihak-pihak yang tidak menyetujui konsep keistimewaan Yogyakarta
sebagai penetapan adalah ‘musuh bersama’ yang harus mereka lawan.
68Demang, wawancara.2011
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
83
‘Liberal’ adalah sebuah label yang mereka sebut bagi pihak-pihak yang
dianggap bersebrangan dengan kelompok pro-penetapan. Cap liberal ini tercipta
karena bagi mereka liberalisme adalah sebuah paham barat yang sudah merasuki
pola pikir negara Indonesia. Dengan logika pikir liberalisme, konsep
keistimewaan Yogyakarta tentu tidak bisa diterima. Di dalam negara liberal, harus
ada penyeragaman antar daerah.
Dalam polemik ini siapa saja yang dianggap ‘liberal’? Pemerintah pusat
adalah ‘antek liberal’69 yang pertama diserang oleh kelompok pro-penetapan.
Pemerintah pusat dalam hal ini dianggap telah mengalami amnesia sejarah.
Pemerintah sudah terlalu banyak dipengaruhi ide-ide asing (dalam hal ini ideologi
barat) yang berpengaruh dalam kebijakan-kebijakan soal penyelenggaraan negara.
Padahal menurut para penggerak pro penetapan, negara Indonesia lahir tidak
dengan nafas liberalisme. Liberalisme telah dianggap merasuki kerangka berpikir
yang kemudian menciptakan paradigma sesat soal demokrasi. Nilai-nilai
demokrasi ditafsirkan dengan penyelenggaraan suksesi pemerintahan secara
prosedural. Singkatnya, dalam perspektif liberal, nilai-nilai demokratis ditafsirkan
dengan pelaksanaan Pemilukada.
Jika negara (pemerintah pusat) dianggap telah terpengaruh paham
liberalisme, orang-orang dan lembaga tertentu dianggap sebagai ‘antek-antek
liberalis’. Orang-orang atau lembaga ini memang secara implisit maupun eksplisit
menyatakan ‘kontra’ dengan pemahaman keistimewaan Yogyakarta ala kelompok
pro-penetapan.
69Istilah ‘antek liberal’ ini muncul di dalam pernyataan Demang saat menyebut pihakpihak yang dianggap menjadi batu penghalang dalam gagasan penetapan.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
84
Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) UGM mendapatkan cap ini selanjutnya.
Latar belakang permasalahan bermula tahun 2004 ketika banyak yang
mempertanyakan tentang landasan konstitusional keistimewaan yogyakarta. Lalu
muncullah RUU keistimewaan yogyakarta dengan berbagai versi. Yang dijadikan
rujukan oleh pemerintah yaitu RUU keistimewaan versi JIP. Di dalam versi
tersebut, posisi Sultan & PA tidak duduk sebagai Gubernur tetapi diposisikan
sebagai lembaga parardhya yang secara struktur berada di atas gubernur dan wakil
gubernur.
***
George Junus Aditjondro adalah seorang peneliti yang sedang tertarik pada
isu keistimewaan yogyakarta pada sisi status hukum Sultan Ground (SG) dan
Paku Alam Ground (PAG). Pada saat acara seminar tentang status hukum sultan
ground dan pa ground, dia mengeluarkan statement yang membuat kelompok pro
penetapan tersinggung. Walaupun ungkapan ini diakui oleh George sendiri hanya
bernada candaan, statement-nya menjadi bola panas.
Kecaman terhadap pernyataan Aditjondro berlanjut ke penyegelan rumah
kontrakannya di Deresan, Catur Tunggal, Sleman. Sekelompok massa menamakan
Forum Masyarakat Yogyakarta (FMY). Forum ini dibentuk atas inisiatif beberapa
aktivis Sekber saat berkumpul di kantor penerbit Galang Press di Baciro.
Beberapa orang membentuk sebuah kelompok dengan menunjuk Demang
koordinatornya. Forum ini mengumpulkan massa dan ‘mengeksekusi’ rumah
Aditjondro diikuti sejumlah wartawan media massa. Pamflet-pamflet bernada
usiran ditempelkan di tembok dan pintu rumah.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
85
Aksi semacam ini pernah juga dilakukan kepada beberapa tokoh yang
dianggap sebagai ‘batu penghalang’ disahkannya aturan pemerintah tentang
penetapan. Boediono, wakil presiden RI, Ickasul Amal, mantan rektor UGM dan
Hanafi Rais yang mencalonkan diri sebagai walikota Kodya Yogyakarta.
Konflik dengan Hanafi Rais bermula dari sentimen tertentu terhadap ayah
Hanafi, Amien Rais. Menurut penuturan beberapa aktivis Sekber, Amien Rais
pernah mengutarakan bahwa dia akan ‘membabat habis’ feodalisme. Ungkapan
ini diartikan sebagai rasa ketidaksukaannya pada eksistensi Kraton di Yogyakarta.
Beberapa aktivis juga menuturkan, terkait dengan wacana keistimewaan
Yogyakarta, Amien Rais menyatakan dukungannya. Tapi hal ini diragukan karena
pada saat yang sama, anaknya, Hanafi Rais sedang mencalonkan diri dalam
pemilukada kota Yogyakarta.
Tema keistimewaan Yogyakarta adalah vote getter dalam arena
pemilukada kota yogyakarta. Dari ketiga calon, semuanya menggunakan tema ini
untuk menarik dukungan masyarakat. Pada saat yang bersamaan, tema ini
memang sedang populer, jadi sangat wajar para kandidat ini menggunakan tema
ini sebagai bagian dari strategi menarik massa.
Kenyataan di lapangan berbicara lain, Hanafi Rais tidak mendapatkan
dukungan dari kelompok pro penetapan. Sentimen terhadap Amien Rais menjadi
penyebab dari sikap kontra mereka terhadapnya. Peristiwa puncak terjadi saat
kelompok Sekber menggelar aksi di Gedung Agung, Istana Presiden. Pada saat
yang bersamaan kelompok Hanafi Rais juga menggelar aksi di tempat yang sama.
Esoknya, salah satu media cetak menulis berita yang mengesankan Hanafi Rais
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
86
bergabung bersama kelompok-kelompok pro-penetapan untuk mendukung
keistimewaan Yogyakarta. Berita ini disambut dengan respon negatif oleh
kelompok-kelompok pro-penetapan. Selang beberapa hari, mereka melakukan
klarifikasi terhadap media yang bersangkutan dan menyatakan bahwa Hanafi Rais
bukan bagian dari mereka.
Menurut penuturan Demang, Sentimen para aktivis pro penetapan bermula
saat Amien Rais pernah mengungkapkan akan membabat habis feodalisme di
Jawa. Pernyataanya ditafsirkan sebagai ketidaksukaan Amien Rais pada
keberadaan Kraton di Yogyakarta. Cerita tentang Amien Rais beredar luas di
kalangan aktivis. Salah satu cerita lainnya yaitu, saat Amien Rais mencoba
mengumpulkan massa di perempatan kantor pos besar pada bulan Mei 1998,
bersamaan dengan Pisowanan Ageng. Sayangnya, massa hanya melewati kantor
pos besar untuk meramaikan perhelatan massa Pisowanan Ageng di Alun-alun
Utara, yang akan menampilkan Sultan HB X sebagai orator. Momen ini
ditafsirkan oleh para aktivis pro penetapan sebagai titik awal kebencian Amien
Rais terhadap Kraton. Versi selanjutnya, seperti yang diungkapkan oleh para
aktivis tersebut, Hanafi mencoba mengulangi strategi ayahnya untuk membonceng
popularitas Sultan di Yogyakarta. Kejadian ini terlihat saat Hanafi juga melakukan
aksi bersamaan dengan Sekber.
Othering, menjadi bagian dari artikulasi gerakan keistimewaan. Tidak
seperti othering di daerah lain dalam bentuk ‘putra daerah’ tidak muncul di sini.
Meliyankan juga dilakukan kepada siapa saja yang mempunyai gagasan antipenetapan walaupun mereka bukan pihak yang mempunyai hubungan secara
langsung. Tak terkecuali, meliyankan juga terjadi dalam perpecahan keluarga
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
87
besar istana. Kerabat Puro Pakualaman semenjak meninggalnya PA VIII
mengalami perpecahan internal. Adanya perbedaan pendapat tentang siapa yang
berhak naik tahta. Salah seorang pangeran yang menyatakan klaim atas haknya
ikut memainkan wacana dalam wacana Keistimewaan Yogyakarta.
Kelompok Sekber melakukan respons dengan melakukan aksi-aksi untuk
menentang kelompok arus lawan di dalam internal Puro Pakualaman. Sekber
menganggap bahwa aksi-aksi kelompok ini ditunggangi oleh pemerintah pusat
yang ingin melemahkan aspirasi masyarakat tentang penetapan. Kelompok arus
samping Pakualaman ini juga dinilai sebagai kelompok oportunis yang
memanfaatkan situasi dalam wacana keistimewaan Yogyakarta. Hasto dan Julius
mengungkapkan, kelompok massa yang mendukung Paku Alam versi lain ini
adalah kelompok bayaran. Kepentingan mereka ditunggangi oleh pihak-pihak
tertentu yang ingin menghalangi disahkannya penetapan gubernur dan wakil
gubernur.
Di Yogyakarta, para pendukung keistimewaan bukan hanya orang-orang
asli (putra daerah) Yogyakarta. Pengidentifikasian diri para pendukung
keistimewaan bukan berdasarkan batas-batas primordialisme tetapi pada batasbatas sikap pro dan kontra.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
88
BAB IV
RELASI KUASA
Kuasa itu menyebar dan saling terhubung di dalam dalam setiap relasi sosial.
Menjabarkan relasi kuasa, yaitu menengarai kejadian dan pihak yang saling
terhubung oleh kekuasaan dalam konteks wacana tertentu. Dengan kata lain,
dalam analisis kuasa, menjabarkan ‘bagaimana’ lebih penting daripada
menemukan ‘apa’. Jika bahasan sebelumnya (Bab II dan Bab III) berperan sebagai
pemaparan, pada bagian bagian ini, fokus beralih ke penguraian konstelasi antar
subyek yang sedang melakukan kontestasi dan lingkup wacana yang
membentuknya. Tujuan dari penelusuran ini yaitu memberikan kerangka pandang
yang luas tentang bagaimana berlangsungnya mekanisme kuasa. Tujuan ini bisa
dicapai dengan memproblematisasikan kembali hal-hal yang seakan-akan sudah
menjadi kebenaran umum.
Pembahasan dalam Bab ini dipecah dalam beberapa sub bab, yang masing
masing mencoba menjelaskan uraian ranah-ranah hubungan kuasa yang terjadi
dalam problematika Keistimewaan Yogyakarta. Pertama, Negara dan Kedaulatan
adalah penelusuran mengenai genealogi kedaulatan monarki di Yogyakarta.
Bahasan ini sekaligus menjelaskan hubungan-hubungan kuasa yang terjadi antar
pihak yang disebut negara pada masa pra kolonial sampai dengan paska kolonial
dengan menampilkan pergeseran tertentu yang mempengaruhinya sampai saat ini.
Kedua, Pemerintah dan Rakyat adalah penjabaran mengenai hubunganhubungan kuasa yang terjadi antar pihak yang berseteru. Penjabaran ini sekaligus
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
89
memberikan kaitan bagaimana hubungan-hubungan tersebut bergeser seiring
perubahan kondisi sosial politik.
Ketiga, Meributkan Wacana Kebenaran adalah perincian mengenai dalam
wacana kebenaran yang terwujud secara spesifik. Polemik tentang keistimewaan
adalah perang wacana tentang bagaimana menafsirkan kebenaran yang terwujud
dalam
pengetahuan
tertentu.
Jika
ditempatkan
pada
penciptaan
gaya
pemerintahan, menjadi tercipta pemahaman tertentu tentang norma-norma. Maka,
akan terwujud pula pengetahuan yang secara langsung maupun tidak langsung,
mendefinisikan tentang normalitas dan abnormalitas.
Karena menggunakan Foucault sebagai pintu masuk sekaligus pisau
analisis, saya akan memulai proses penulisan ini dengan beberapa langkah.
Langkah pertama, saya akan merinci siapa subyek yang saling terhubung dalam
relasi kuasa. Dalam analisis ini, saya merinci empat subyek sebagai berikut, yaitu:
Penguasa Atasan, Penguasa Bawahan, Kelompok Elit, dan Rakyat. Hubungan
antar empat subyek tersebut, saya gambarkan sebagai berikut:
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
90
Tanda anak panah yang menghubungkan antar subyek menunjukkan
hubungan kuasa yang merangkai subyek-subyek ini. Dengan kata lain, pada garisgaris tersebut kuasa yang sebenarnya mengalir dan saling menghubungkan antar
subyek dalam lingkaran kuasa. Dengan gambar ini, saya ingin menunjukkan
bagaimana para subyek hidup dalam lingkaran kuasa. Dan kuasa yang sebenarnya
tidak dimiliki secara dominan oleh salah satu subyek melainkan mengalir dan
menghubungkan mereka.
Kemudian saya mencoba melihat pola hubungan antar subyek dengan
merinci pola hubungan. Untuk memperjelas hubungan-hubungan ini, saya akan
menempatkan pada ranah-ranah atau momen-momen tertentu. Garis merah
menunjukkan alur praktek pendisiplinan, dengan kata lain ‘menguasai’.
Sebaliknya, garis hijau menunjukkan alur tindakan normatifnya, dengan kata lain
‘kepatuhan karena dikuasai’. Sebagai contoh, hubungan raja dan rakyat; raja
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
91
menguasai rakyat dengan sabda-sabda untuk menentramkan, dan rakyat patuh
kepada raja dengan dengan duduk dan mendengarkan.
Pada kenyataannya sebuah praktek pendisiplinan tidak selalu dibalas
dengan tindakan normatif. Misalnya, sebuah perintah yang dikeluarkan oleh
pemerintah tidak ditanggapi dengan kepatuhan melainkan perlawanan. Sebagai
ilustrasi, sekelompok murid menolak materi pengajaran seorang guru. Kondisi
inilah yang disebut resistensi.
Dengan skema-skema di bawah ini, saya mencoba menjelaskan secara
visual, bagaimana hubungan antar subyek terjadi. Skema di susun untuk
menggambarkan
momentumnya.
pergeseran-pergeseran
tertentu
berdasarkan
momentum-
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
92
Sejenak saya melihat bahwa hubungan-hubungan kuasa yang terjadi pada
masa kolonial, menunjukkan pola yang sama. Hal ini nampak dari selalu ada
subyek yang menjadi penguasa atasan. Jika, pada masa pra kolonial, penguasa
atasan adalah otoritas kerajaan-kerajaan di Jawa yang membawahi kerajaankerajaan kecil (vasal), sedangkan pada masa kolonial, penguasa atasan berubah
yaitu pemerintah kolonial yang menguasai kerajaan di Jawa yang berubah menjadi
vasal.
Skema-skema ini sekaligus menjelaskan bagaimana pergeseran-pergeseran
yang terjadi pada masa pra kolonial sampai dengan masa paska kolonial
sebagaimana sudah saya tuliskan dalam bab II. Penjelasan dalam analisis ini
bertujuan untuk lebih memberikan penekanan pada bagaimana hubungan ini
terjadi dan bagaimana pergeserannya.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
93
Seluruh penjelasan dalam analisis ini adalah penjabaran dari hubunganhubungan yang terjadi pada antar subyek. Penjelasan-penjelasan dalam analisis
yang terbagi dalam beberapa sub bab ini disusun saat mencermati pergeseran
artikulasi dalam hubungan antar subyek. Dua hal penting sebagai panduan untuk
menuliskan analisis dari skema-skema ini yaitu 1) kedudukan subyek dan
pergeserannya dalam konstitusi sosial budaya dan 2) wacana tertentu sebagai
konstruksi sosial yang berdasarkan prinsip penataan realitas, atau episteme.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
94
Sebagai catatan, saya tidak akan menjabarkan semua hal yang terkait
kompleksitas hubungan-hubungan antar subyek dalam momentum-momentum
yang saya tampilkan dalam skema-skema tersebut. Penulisan analisis ini hanya
mengembangkan bagian-bagian signifikan yang mempengaruhi dan dipengaruhi
oleh perkembangan Wacana Keistimewaan Yogyakarta saat mulai menguatnya
gerakan keistimewaan.
A.
NEGARA DAN KEDAULATAN
Semenjak pergunjingan mengenai Keistimewaan Yogyakarta semakin menguat,
ungkapan ‘Yogyakarta adalah negara yang lebih dulu berdaulat daripada
Indonesia’ sangat sering saya dengar. Kalimat tersebut sering diungkapkan orangorang yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas pro penetapan. Mereka yang
berbicara soal kedaulatan tersebut adalah kalangan masyarakat yang sehari-
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
95
harinya tidak bekerja di ranah-ranah akademis ataupun politik. Namun, tiba-tiba
mereka mempunyai keyakinan bahwa Yogyakarta dulu pernah menjadi negara
berdaulat sebelum terlahirnya Republik Indonesia. Maka, masyarakat umum
meyakini bahwa Yogyakarta memang sudah sewajarnya menjadi sebuah daerah
istimewa.
Maka menjadi penting untuk menelusuri bagaimana pemahaman soal
kedaulatan ini sebagai pintu masuk pembahasan. Jika Yogyakarta pernah menjadi
negara yang berdaulat, mengapa saat ini hanya puas sebagai daerah istimewa?
Bahkan, massa kelompok pro penetapan selalu membawa bendera merah putih
dalam setiap aksi-aksinya. Seakan-akan hal ini ambivalen. Di satu sisi menentang
kebijakan pemerintah, tapi di sisi lain mereka membawa simbol-simbol negara.
Akan tetapi, hal ini tidak bisa dimengerti tanpa memahami lebih dalam tentang
pemaknaan soal kedaulatan dan hubungan-hubungan kuasa yang melingkupinya.
1.
Kedaulatan Semu
Dalam dinamika politik di Jawa, kolaborasi pemerintahan ini sudah menjadi hal
yang lazim, bahkan sebelum masa kolonial. Dinamika pemerintahan di Jawa
memungkinkan adanya penguasa yang ‘saling menumpuk’. Dalam satu kerajaan,
bisa terjadi ada beberapa penguasa. Mereka menjadi raja atas wilayah dan
pengikutnya masing-masing. Tetapi, salah satu penguasa yang terkuat dan
menaklukkan penguasa yang lain berlaku sebagai raja atasan. Para penguasa lain
yang takluk tetap memerintah sebagai raja-raja bawahan sebagai Adipati. Daerah-
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
96
daerah yang diperintah oleh para raja bawahan ini disebut vasal. Sebuah vasal
pada prakteknya menjadi daerah otonom walaupun secara de jure merupakan
bagian dari negara atasan.
Setelah masuknya pengaruh asing, keberadaan vasal juga tidak
dihilangkan. Kerajaan-kerajaan lokal di nusantara yang ditaklukan oleh Belanda
tetap ditempatkan dalam ‘suaka’. Maka, kerajaan-kerajaan ini seakan-akan tetap
berkuasa dihadapan rakyat.
Penaklukan negara lokal dengan vasalisasi terjadi seperti permainan catur.
Pihak putih mengalahkan pihak hitam dan mengganti bidak-bidak hitam dengan
bidak-bidak putih yang bekerja di pihak hitam. Awalnya, keduanya saling
melawan. Pihak kolonial sedikit demi sedikit memasuki pemerintahan kerajaankerajaan Jawa. Dengan memutilasi kedaulatan dan wewenang kerajaan, hanya
tersisa raja dan struktur pemerintahan yang tidak berdaya. Akhirnya, posisi raja
seperti halnya dengan raja dalam permainan catur yang geraknya sangat terbatas.
Kerajaan Yogyakarta adalah salah satu vasal di dalam pemerintahan
Hindia Belanda. Kerajaan-kerajaan vasal di Jawa hanya ditempatkan untuk
kepentingan simbolik pada ritual-ritual adat. Di dalam pemerintahan, pengaruh
raja (Sunan, Sultan, atau Adipati) tidak bisa sepenuhnya kuat. Wewenang mereka
harus ditopang oleh birokrasi pemerintahan kolonial. Hanya saja, kesan
keagungan para raja ini masih kuat tertanam masyarakat.
Saya mencermati bahwa ada dua pemahaman penaklukkan yang berbeda
antara pemahaman Jawa dengan Eropa. Penguasaan sebuah wilayah bagi para
pendatang Eropa adalah penguasaan tanah. Hal berbeda yang berlaku bagi para
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
97
penguasa Jawa yaitu, penguasaan mereka atas wilayah tertentu yaitu penguasaan
atas orang-orang yang mendiami wilayah tersebut. Dengan perbedaan pandangan
ini, maka menjadi sewajarnya jika yang terjadi demikian: tanah telah dikuasai
pemerintah kolonial tapi rakyat tetap patuh pada raja-raja Jawa.
Jika sejarah tersebut saya gunakan untuk merefleksikan apa yang terjadi
saat ini, maka bisa dipahami bahwa kenapa ada rombongan besar pendukung raja
dalam dinamika politik di Yogyakarta. Ada beberapa hal yang digarisbawahi
yaitu: pertama, semenjak ratusan tahun, dari masa pra kolonial sampai paska
kolonial, rakyat selalu berhubungan secara langsung dengan raja. Keberadaan
pemerintah atas yang berganti selalu berganti tidak memutus hubungan antara
rakyat dan raja.
Kedua, rakyat adalah obyek kekuasaan raja. Semenjak Yogyakarta
menjadi vasal dalam pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan menjadi
sebuah daerah istimewa, rakyat tetap memberikan kesetiaannya pada figur
seorang raja. Pada masa lalu, terlihat dalam sistem cacah (keluarga petani).
Besarnya kekuasaan seorang penguasa Jawa yang bisa dilihat dari sebanyak apa
pengikutnya.
Maka, yang perlu digarisbawahi dalam pembahasan kedaulatan bertingkat
ini yakni kekuasaan sebuah negara-kerajaan di Jawa pada prakteknya semu.
Sebuah negara penakluk tidak benar-benar mengendalikan seluruh wilayah dan
rakyatnya. Sebagian wewenangnya tetap diberikan kepada negara bawahan untuk
memerintah. Kondisi ini yang menimbulkan penafsiran bahwa Yogyakarta pernah
menjadi negara yang berdaulat. Kenyataannya, Yogyakarta tidak pernah
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
98
berdaulat. Yogyakarta adalah sebuah bekas negara bagian di Pemerintahan Hindia
Belanda. Kerajaan Yogyakarta, tidak pernah berkuasa penuh, ia adalah bagian dari
pemerintahan yang lebih besar. Jika di masa lalu, Kasultanan Yogyakarta hidup
pada subordinasi pemerintah kolonial, saat ini ia hidup dengan subordinasi negara
paska kolonial dalam sebuah suaka bernama daerah istimewa.
2.
Bom Waktu Kolonial: Dualisme
Penelusuran eksistensi daerah istimewa ini selanjutnya tertuju pada masa kolonial,
saat pemerintah kolonial menjamin berlangsungnya sistem pemerintahan
tradisional.
70
Dengan skema tata hukum, masyarakat pribumi yang hidup di
wilayah tertentu, tetap hidup dengan aturan-aturan hukum adat. Terciptalah
dikotomi, ada penerapan hukum positif barat yang dianggap modern, tapi aturanaturan adat tetap dipertahankan. Masyarakat kolonial juga terbagi dalam dua
bagian besar yang hidup dengan dikotomi aturan. Adat menjadi
aset yang
“dipelihara” sebagai kolaborator efektif untuk mengelola rakyat. Maka. tugas
pemerintah kolonial untuk mengatur rakyat menjadi lebih ringan.
Pemerintahan kolonial mempunyai prinsip dualistik dalam menjalankan
pemerintahannya. Dualisme ini diaplikasikan dalam sendi-sendi pemerintahan.
Kita telah melihat dualisme yang tercipta dibalik dipeliharanya hukum-hukum
adat dengan pemahaman Adatrech, tapi corak ini juga diaplikasikan di hal-hal
70Problematika tentang hukum adat ini dibahas secara komprehensif oleh seorang ahli
hukum tata negara berkebangsaan Belanda, van Vollenhoven. Kajian tentang tata kelola hukum
adat ini kemudian disebut mazhab Leiden. Dengan mazhab Leiden yang menelurkan Adatrech
(kajian tentang hukum-hukum adat), yang dianut oleh para indolog, dia menganggap bahwa adat
itu juga sebuah gugusan aturan-aturan hukum seperti halnya hukum-hukum positif Eropa.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
99
lain, seperti memberikan otonomi pada masyarakat kampung untuk menyusun
sistem keamanan yang mandiri.71 Maka, tidak ada perbedaan yang signifikan
antara masa pra kolonial dan kolonial, bahwa tetap ada distribusi otoritas. Otoritas
kecil, yaitu ‘raja-raja kecil’ yang memerintah rakyat berhubungan dengan otoritas
besar yaitu pemerintahan kolonial.72
Dualisme ini menjamin adanya daerah-daerah Voorstenlanden di Jawa.
Lebih dari separuh wilayah Hindia Belanda mengalami dijajah secara tidak
langsung ini berbentuk pemerintahan adat dan pemerintahan kerajaan. Hal ini
sekaligus
menunjukkan
bahwa
pemerintah
kolonial
tidak
sepenuhnya
mengendalikan secara langsung sejumlah daerah dalam lingkup kekuasaannya
Kelompok kolonial yang segelintir menggunakan penguasa-penguasa lokal
untuk memerintah rakyat. Raja-raja di wilayah eks kerajaan Mataram tetap
memerintah rakyatnya. Birokrasi kerajaan juga tetap beroperasi. Tapi, tetap ada
kerjasama antara birokrasi kolonial dengan birokrasi kerajaan lokal. Maka, di
Yogyakarta ada dua pemerintah yang berkuasa. Sebagaimana diungkapkan oleh
Onghokham (1983) bahwa salah satu hal signifikan dalam kolonialisme pada
kerajaan-kerajaan tradisional di Jawa yaitu terintegrasinya penguasa-penguasa
pribumi, baik raja-raja kecil atau para bupati di daerah pinggiran maupun raja dan
71Lihat pemaparan Abidin Kusno dalam Penjaga Memori: Gardu di Perkotaan Jawa,
Yogyakarta: Ombak, 2007, hlm. 65 – 66. Walaupun tetap mengawasi wilayahnya secara
panaptikon, pemerintah kolonial memberikan keleluasaan pada penguasa-penguasa lokal/pribumi
untuk mengambil peran dalam pengendalian atau pengawasan masyarakat. Gardu menjadi contoh,
bagaimana pemerintah kolonial mendorong terciptanya sistem keamanan lokal berbasis kampung.
72Ong Hok Ham menuliskan bahwa pemerintah kolonial menjamin tetap hidupnya ‘rajaraja kecil’ yaitu bupati agar mengendalikan keamanan dan bisnis perkebunan tebu. Onghokham.
1983. ”Merosotnya Peranan Pribumi dalam Perdagangan Komoditi,” dlm. PRISMA no 8, Agustus
1983, Tahun XII
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 100
institusi kraton di pusat kekuasaan Jawa dengan birokrasi pemerintahan kolonial
Belanda.
Dengan pemaparan diatas saya mencoba menunjukkan bahwa hubungan
rakyat dengan pemerintah pusat selalu berjarak. Pemerintah lokal menjadi
perantara antara rakyat sebagai obyek kekuasaan dengan pemerintah pusat,
Walaupun dinamika politik lokal sudah memasuki masa kolonial, pemerintah
lokal tetap mendapatkan otoritas untuk mengelola rakyat atas nama pemerintah
atasan.
Hal penting dalam prinsip dualistik pemerintahan kolonial adalah soal
gaya kolaborasi memerintah. Kolaborasi pemerintahan kemudian memunculkan
pembagian kekuasaan. Demikian juga pemerintahan di vorstenlanden di Jawa
(Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta). Pemerintah kerajaan
mengelola wilayahnya bersama dengan pemerintah kolonial. Seperti halnya papan
catur, satu ranah yang sama terdapat sisi putih dan hitam yang tersebar.
Kembali ke bersatunya birokrasi kolonial dengan para penguasa feodal di
Jawa, hal ini menunjukkan bahwa pada perkembangannya kedudukan kultural
menjadi sama dengan jabatan politik. Pada prakteknya para bupati di daerah
pinggiran yang menjadi raja-raja kecil, berperan sebagai pejabat administratif
pemerintah. Walaupun hal ini tidak berlangsung di vorstenlanden, dengan adanya
pembagian tugas antara raja dan patih, pada masa Sultan HB IX, jabatan patih
dihapuskan. Maka, di Yogyakarta, jabatan pemimpin kultural juga menjadi
pemimpin birokrasi.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 101
Pada masa Sultan HB IX, birokrasi Kraton tidak lagi mempunyai peranan
yang penting. Peranan birokrasi kraton dihapuskan. Pemerintahan sepenuhnya
dikendalikan oleh birokrasi pemerintah Republik Indonesia. Satu-satunya posisi
yang tidak berubah yaitu kedua raja di Yogyakarta yang tetap memimpin
pemerintahan. Hal itu pun tetap dengan penyesuaian yakni dengan menjadi
Gubernur dan wakil gubernur.
Dengan perubahan dari monarki ke republik, kesan lama yang masih
tertinggal yaitu raja-raja yang menjabat gubernur dan wakil gubernur. Maka,
ditengah ketidakjelasan konsep keistimewaan, Yogyakarta tetap terkesan
istimewa. Struktur asli pemerintahan di Yogyakarta sudah mengalami banyak
perubahan. Penyesuaian gaya pemerintahan ini membuat Yogyakarta memiliki
birokrasi pemerintahan yang sama dengan propinsi-propinsi lain. Birokrasi Kraton
tidak lagi berlaku dan jabatan-jabatan tertentu harus bertransformasi (Soemardjan,
2009).73
Indonesia sebagai negara penerus (Successor State) cenderung tidak
menerapkan corak pemerintahan yang dualistik. Pada perkembangannya, negara
ini cenderung menciptakan gaya memerintah yang simetris dan monolitik. Seluruh
wilayah dibagi menjadi propinsi-propinsi yang mempunyai struktur sama.
Akibatnya, entitas-entitas politik seperti pemerintahan adat dan kerajaan vasal
yang dulu mendapatkan porsi pemerintahan pada masa kolonial menjadi
terhapuskan. Bom Waktu kolonial meledak saat prinsip dualistik ini tidak lagi
73Selo Soemardjan (2009) dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta, menggambarkan
bahwa para pejabat Kraton Yogyakarta, yaitu para pamong praja yang terdiri dari para lurah harus
menyesuaikan diri dengan perubahan susunan birokrasi pemerintahan. Mereka tidak lagi
bertanggung jawab kepada Sultan dan Kraton tapi kepada pemerintah.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 102
dipraktekkan oleh pemerintah baru, Republik Indonesia. Hal inilah yang
menimbulkan ‘gagap’ pada paska reformasi.74
Bagian terpenting yang menjadi ‘bom’ dan meledak pada paska kolonial
yaitu birokrasi kraton, para bangsawan, dan orang-orang dekat raja. Pada masa
kolonial mereka mendapatkan porsi dalam pemerintahan. Sebaliknya, pada masa
pemerintahan
Republik
Indonesia,
penentuan
struktur
birokrasi
tidak
menempatkan mereka menjadi bagian dari aparatur pemerintahan. Hal ini terlihat
pada para perangkat desa. Mereka adalah kelompok massa yang menjadi
gelombang pertama Gerakan keistimewaan Yogyakarta. Dengan melakukan
dukungan terhadap penetapan, maka ada harapan untuk mengembalikan peran
mereka yang lebih kuat dalam birokrasi pemerintahan di Yogyakarta seperti pada
masa lalu.
Jadi, pada daerah-daerah bekas vorstenlanden atau bekas vasal, rakyat
sudah terbiasa dengan dualisme aturan yang berlaku. Mengingat hanya ada satu
bekas daerah vasal di Indonesia, yaitu Yogyakarta, sangat bisa dimengerti bahwa
sebagian masyarakat masih ingin tetap mempertahankan bentuk-bentuk aturan
tradisional yang berlaku di daerahnya, walaupun tetap menerima aturan-aturan
yang digariskan oleh pemerintah pusat.
74Terinspirasi dari Yogyakarta, raja-raja serta masyarakat adat di Indonesia yang
terepresentasikan oleh AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) mencoba merebut posisiposisi dalam politik pemerintahan daerah.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 103
3.
Pergeseran Kuasa Jawa
Jika dilihat dengan sudut pandang kuasa Jawa, vasalisasi meruntuhkan daya kuasa
yang terepresentasikan dalam pribadi raja. Gagasan kuasa Jawa menunjukkan
bahwa keberadaan seorang raja sangat sentral dalam pemerintahan. Salah satu ciri
dalam pemerintahaan kerajaan yaitu mekanisme suksesi turun-temurun. Jadi,
kekuasaan itu tunggal, memusat, serta diturunkan ke generasi selanjutnya.75
Pusat kestabilan ini saling berkelindan. Ia tidak boleh berdiri pada satu
dimensi saja. Bukan sekedar pemimpin politik. Bukan sekedar pemimpin tradisi
atau ritual. Pemimpin dalam gagasan kuasa Jawa adalah pemimpin yang
membawa kendali dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Dalam
prakteknya, pusat kuasa ini terwujud dalam pribadi seorang Sultan yang menjadi
pemimpin yang multi dimensi. Gelar seorang Sultan yaitu Sayidin Panatagama
Kalifatullah, merepresentasikan kuasa total atas dimensi-dimensi tersebut. Seperti
diketahui bersama dalam rangkaian sejarah kebudayaan Jawa, ihwal raja dan
kekuasaannya memiliki peran yang sentral. Perjalanan hidup-mati sebuah kerajaan
mempengaruhi
konstruksi
budaya
masyarakat
dan
bagaimana
mereka
mengindentifikasi dirinya. Menjadi sebuah kewajaran, karena kerajaan adalah
tempat dimana nilai-nilai dibangun dan disebarkan kepada rakyat, sehingga
menjadi kepercayaan yang mengakar.
75Tentang gagasan kuasa jawa, lihat penulisan Anderson (2000) dan Moedjanto (1987)
yang menjabarkan bagaimana gagasan tentang kuasa beroperasi dalam kepemimpinan seorang
raja. Secara sederhana kuasa Jawa dijabarkan sebagai kuasa tunggal yang dimiliki oleh seorang
raja. Oleh karena itu, menjadi wajar ketika kepemimpinan seorang raja menjadi sangat sentral
terhadap dimensi-dimensi kehidupan rakyat.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 104
Pada prakteknya, kuasa raja yang sentralistis ini sebenarnya sudah runtuh.
Walaupun di hadapan rakyat pribadi seorang raja maupun institusinya (kraton),
otoritas raja sebenarnya semu. Hak dan wewenangnya untuk memerintah tidak sah
jika tidak direstui oleh pemerintah kolonial sebagai atasannya. Namun, imaji
kekuasaan raja masih terus dipertahankan di mata rakyat dengan menghidupkan
kisah-kisah tentang hubungan raja dengan hal-hal magis seperti hubungan raja
dengan kekuatan imajiner dari gunung Lawu, gunung Merapi atau Laut Jawa.
Kisah-kisah mengenai hubungan-hubungan khusus antara raja dengan
Tuhan atau dunia transendental seperti Nyi Roro Kidul, menjadi cara pembentukan
legitimasi kedaulatan raja di mata rakyat. oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa
kuasa yang dimiliki oleh seorang raja adalah kuasa yang diturunkan dari Tuhan.
Bentuk kuasa ini tunggal dan tidak terbagi, dalam tradisi Jawa disebut wahyu. Dan
kuasa ini bisa berpindah melalui jalur keturunan, yaitu melaui suksesi raja kepada
putra mahkota.
Saya mencermati legitimasi kekuasaan raja yang tadinya berasal dari
Tuhan, dialihkan menjadi berasal dari rakyat. Dalam gelar Sultan, terdapat frasa
Sayidin Kallifatulah Panatagama, gelar ini menampilakan arti bahwa pribadi
seorang raja menjadi perwakilan Tuhan di dunia. Dengan pemaknaan lain, karena
raja adalah perwakilan Tuhan di dunia, maka raja mempunyai wewenang untuk
memerintah rakyat. Jika dicermati lebih lanjut, semenjak pemerintahan Sultan HB
IX, muncul semboyan baru yaitu Tahta untuk Rakyat. Tidak bisa dipungkiri
bahwa Sultan HB IX adalah pribadi yang sudah mengenal gagasan-gagasan soal
demokrasi dan pemerintahan modern. Mungkin raja Yogyakarta ini mencoba
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 105
untuk melunturkan kesan feodal. Semboyan ini kemudian diperkuat oleh raja
penerusnya, Sultan HB X dengan semboyan Meneguhkan Tahta untuk Rakyat.
Dari semboyan ini saya mencoba mencermati bahwa kekuasaan raja yang
tadinya diyakini turun dari Tuhan bergeser menjadi diberikan oleh rakyat.
Keberadaan rakyat sangat signifikan untuk posisi raja. Tanpa ada dukungan
rakyat, seseorang tidak bisa menjadi raja. Dengan kata lain, tidak ada raja tanpa
pengikut. Oleh karena itu menjadi sewajarnya jika beberapa orang yang
bergabung di kelompok pro penetapan menyitir pepatah lama vox populi-vox dei,
suara rakyat adalah suara Tuhan.
Dalam perbincangan argumentatif mengenai Keistimewaan, ada satu
semboyan filosofis yang diungkap kembali yaitu manunggaling kawula gusti.
Semboyan yang diyakini bersama sebagai jargon perlawanan Pangeran
Mangkubumi ini, diungkap kembali dengan pemaknaan bahwa kekuasaan raja di
Yogyakarta berasal dari rakyat. Ungkapan simbolik ini ditegaskan kembali
dengan Tahta untuk Rakyat.
Mari kita mencermati kembali apa yang diungkapkan oleh para aktivis pro
penetapan; “arti demokrasi adalah kehendak rakyat. Jika rakyat menghendaki
demikian (dipimpin oleh raja), maka inilah demokrasi.” Bukan tidak mungkin
bahwa para pendukung raja ini memperluas kekuatan mereka dengan menarik
perhatian masyarakat, sehingga legitimasi wewenang raja tercipta karena besarnya
dukungan rakyat. Hal ini berhasil, sebagaimana diungkapkan oleh para aktivis pro
penetapan, Manunggaling Kawula Gusti dan Tahta untuk Rakyat diyakini sebagai
bentuk demokrasi di Yogyakarta.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 106
Saya akan kembali mencermati peristiwa pada tahun 2007. Sultan HB X
mengungkapkan ketidaksediaannya untuk dicalonkan kembali sebagai gubernur
DIY. Pernyataan tersebut ternyata membuat dukungan masyarakat untuk
penetapan semakin menguat. Sejumlah pengamat pemerintahan menganggap
pernyataan tersebut sebagai upaya untuk menjajagi dukungan publik di
Yogyakarta. Dari peristiwa ini terlihat bahwa peran rakyat sangat diperhitungkan
untuk memperkuat kekuasaan seorang penguasa. Sekaligus hal ini menjelaskan
adanya pergeseran tentang legitimasi kuasa seorang raja yang tadinya
mendasarkan kuasa dari Tuhan bergerak ke kuasa dari Rakyat. Maka, ungkapan
Sultan HB X pada tahun 2011 di sebuah stasiun televisi menjadi sulit
terbantahkan; “Tanya saja pada rakyat Jogja.”
Rakyat ditimpatkan dalam posisi yang penting untuk meneguhkan
kedudukan raja. Pergeseran yang terjadi tentang legitimasi kekuasaan raja yang
tadinya berasal dari Tuhan menjadi berasal dari rakyat, pada dasarnya mempunyai
tujuan yang sama yaitu: penguasaan atas rakyat. Dalam hal ini rakyat sebagai
kumpulan orang-orang yang mendiami wilayah tertentu selalu menjadi obyek
kekuasaan untuk diarahkan pada kepentingan tertentu, khususnya kepentingan
penguasa.
4.
Kontrak (Politik) Pernikahan
Kolonialisme mengenalkan budaya politik baru dalam peta politik di Jawa yaitu
perumusan legalitas melalui kesepakatan tertulis yang berlaku mengikat.
Momentum-momentum perjanjian politik secara tertulis ini yang membawa ke
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 107
perubahan signifikan dalam pemerintahan. Hal ini saya sebut sebagai logika
kontrak dalam budaya politik. Kontrak adalah kesepakatan antar dua pihak. Posisi
kedua pihak tidak selalu setara tapi keduanya mempunyai nilai tawar yang
dipertaruhkan. Dan faktanya, pihak kerajaan-kerajaan Jawa selalu kalah dalam
kesepakatan-kesepakatan tertulis yang diciptakan oleh pemerintah kolonial.
Mekanisme penundukan dengan perjanjian dengan VOC terjadi beberapa
kali sepanjang tahun 1700’an. VOC sepenuhnya menundukan Mataram dengan
perjanjian tahun 1949 yang menyebutkan bahwa raja menyerahkan negara
Mataram. VOC masih mengijinkan raja untuk memerintah dengan “kedaulatan
yang dipinjamkan.” Penandatangan perjanjian politik oleh raja tersebut
menandakan dimulainya periode kolonial.76
Kontrak politik tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menundukan.
Kontrak politik adalah alat kontrol. Pemerintah kolonial menyodorkan kontrak
politik kepada seorang putra mahkota yang akan naik tahta. Butir-butir aturan
dalam kontrak disusun sedemikian rupa untuk semakin mengurangi wewenang
raja. Gubernur Hindia Belanda, Lucien Adams menyodorkan draf kontrak politik
kepada Pangeran Dorodjatun. Mencermati ada ketidaksesuaian pada butir-butir
aturan
dalam
kontrak
politik
tersebut,
sang
Putra
mahkota
enggan
menandatangani. Sempat terjadi kekosongan tahta.
76Lihat Moedjanto (2002) melalui Suksesi dalam Sejarah Jawa, menuliskan bahwa
penandatangan surat perjanjian ini sebenarnya ditafsirkan secara keliru oleh pihak VOC. Dalam
surat perjanjian tersebut, tertulis ngaturaken yang artinya ‘menyerahkan’. Pihak VOC
menganggap bahwa ungkapan ini penyerahaan kedaulatan kerajaan. Moedjanto berpendapat
bahwa ungkapan ini sebenarnya ungkapan yang lazim diartikulasikan dalam gaya tutur maupun
lisan. Jadi, belum tentu juga perjanjian ini bermaksud menyerahkan kedaulatan. Lepas dari kritik
historis ini, posisi kerajaan Mataram sangat lemah dihadapan VOC sehingga tidak bisa
menunjukkan daya tawarnya.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 108
Perjanjian yang sebenarnya alat penundukan ini bahkan menjadi
legitimasi kelahiran Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti yang disepakati
antara kedua pihak bangsawan Mataram yang berseteru serta VOC, menjadi titik
peristiwa ini. Penundukan tertulis ini telah menjadi inisiasi atas hak memerintah
dinasti Hamengku Buwono. Singkatnya, perjanjian politik tertulis menunjukkan
bahwa eksistensi Yogyakarta sejak awal tidak pernah berdaulat penuh. Bahkan,
bisa dikatakan kedaulatan itu tidak dimiliki karena hanya dipinjamkan.
Dalam sebuah kontrak, ada unsur-unsur tertentu yang mutlak harus ada.
Kontrak yaitu perjanjian yang disepakati bersama antar dua belah pihak atau
lebih. Posisi masing-masing pihak bisa setara maupun tidak setara. Yang
dimaksudkan posisi dalam hubungan kontrak yaitu daya pihak yang melakukan
kontrak untuk menentukan atau merumuskan content dalam kontrak yang
disepakati bersama. Jika posisi masing-masing pihak setara, mereka mempunyai
daya yang sama untuk merumuskan ketentuan-ketentuan sebelum terjadinya
kesepakatan. Sebaliknya, jika ada pihak yang lebih dominan, ia menjadi lebih kuat
dalam menentukan bentuk-bentuk kesepakatan.
Sudah dijelaskan dalam penelusuran sejarah bahwa perjanjian-perjanjian
politik antara Kerajaan Mataram dengan Kompeni bukanlah perjanjian atau
kontrak yang setara antar pihak. Walaupun tidak setara, keduanya tetap
mempunyai daya tawar yang cukup kuat untuk bernegosiasi. Pada awalnya, posisi
kompeni bukan yang dominan, tapi karena perannya yang cukup kuat dalam hal
perdagangan dan militer, menjadikannya lebih dominan daripada para penguasa di
Jawa.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 109
Sebelumnya sudah terungkap bahwa salah dengan perjanjian politik,
terjadi perubahan posisi antara kerajaan Mataram dengan Kompeni. Mataram
pada akhirnya berbalik menjadi vasal, padahal sebelumnya Kompeni yang
menjadi vasal dalam lingkup kekuasaan kompeni. Maka, perjanjian politik, yang
pada perkembangannya disebut kontrak politik, membawa implikasi bagi kedua
belah pihak sebagai penanda kekuasaan.
Bagi Kompeni yang menjadi pihak dominan, kontrak politik menunjukkan
tiga hal pokok yang merinci kedudukannya. Pertama, kontrak ini adalah dasar
legitimasi kekuasaan. Dengan kata lain, kontrak menjadi alat penundukan. Secara
eksplisit, legitimasi ini tertera bahwa Kompeni menjadi pihak yang lebih kuat
untuk menentukan aturan, menjadi berdaulat, dan berkuasa atas tanah, dan
pemerintahan. Kedua, sesudah secara jelas terjadi penundukan yang menempatkan
posisi Kompeni sebagai pihak yang dominan dalam hubungan pemerintahan di
Jawa, kontrak politik adalah alat kontrol. Kontrak politik menjadi alat kontrol
karena di dalamnya mengandung pokok-pokok aturan sebagai dasar dalam
pemerintahan. Jadi kontrak politik sama saja dengan sebuah sistem tata kelola
pemerintahan. Maka, sistem pemerintahan inilah yang menjadi sistem kontrol bagi
penguasa lokal, dalam hal ini raja, oleh Kompeni sebagai pemerintah kolonial.
Bagi penguasa lokal, dalam hal ini raja dan pemerintah kerajaan (Sultan
dan kraton), kontrak politik juga menjadi penanda yang sangat penting bagi
kedudukan kuasanya. Pertama, dengan adanya kontrak politik, maka seseorang
bisa menjadi raja. Dari sini terlihat bahwa legalisasi kekuasaan raja berasal dari
pihak luar. Maka, kedaulatan raja menjadi semu karena pemerintah kolonial yang
sebenarnya mempunyai kedaulatan tersebut. Di sisi lain, posisi ini justru
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 110
menguntungkan posisi raja dan para bangsawan yang menjadi aparatur
pemerintahan, karena peran mereka dilebur menjadi bagian dari birokrasi
kolonial.
Saya akan mencermati bagaimana konsep legalisasi kedudukan politik
terwujud dalam logika kontrak. Secara lebih spesifik, hal ini terwujud dalam
model kontrak pernikahan. Publik di Yogyakarta ‘dipaksa’ setiap harinya
menngetahui perkembangan isu Keistimewaan Yogyakarta melalui spanduk yang
bertuliskan “Konsisten Ijab Qobul”. Spanduk putih dengan gambar seorang abdi
Dalem memegang senjata ini adalah satu jenis spanduk yang paling banyak
tersebar di sudut-sudut kota.
Tanpa banyak kata, propaganda kelompok pro penetapan dalam bentuk
frasa ini memberikan efek yang cukup kuat pada pemahaman masyarakat luas soal
tema ini. Walaupun tanpa menggunakan kata ‘keistimewaan’ masyarakat yang
melihat spanduk ini mengetahui bahwa frasa ini adalah pemaknaan resmi (dari
kelompok arus utama) tentang tema keistimewaan. Bahkan, propaganda ini
berhasil memancing keingintahuan serta memberikan pengetahuan bahwa
Keistimewaan Yogyakarta adalah sebuah kontrak perkawinan antara pemerintah
Republik Indonesia dengan Yogyakarta.
Dari titik ini, terbaca sebagaimana dipahami oleh golongan arus utama
keistimewaan, kedaulatan adalah soal perkawinan politik. Protes kepada
pemerintah dengan membuat analogi pernikahan ini sebuah proses untuk
menggugat sebuah kontrak. Dalam konsep pernikahan Islam, pihak yang
menyerahkan diri, mempunyai hak untuk menggugat cerai. Maka, hal ini yang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 111
dilakukan oleh pihak pro penetapan, yaitu melakukan gugatan atas pernikahan
politik antar Indonesia dan Yogyakarta pada tahun 1945.
5.
Renegosiasi Kontrak: Politik Balas Budi
Ada usaha untuk menegosiasikan kontrak politik. Dalam pengakuannya, HB IX
menceritakan bahwa dirinya menandatangani kontrak politik dengan setengah
hati. Kesediaannya untuk menandatangani kontrak itu karena bisikan gaib yang
mengatakan bahwa Belanda akan meninggalkan Jawa, maka tidak masalah untuk
menandatanganinya.77 Di sisi lain, pengungkapan bisikan gaib ini menyatakan
bahwa HB IX menegasikan kesepakatannya dalam kontrak politik. Pernyataannya
sekaligus merevisi bahwa kedaulatan negaranya tidak berasal dari pemerintah
kolonial dan dirinya bukanlah kolaborator kolonial yang dilegalkan dengan
kontrak.
Sebenarnya,
jauh
sebelumnya
pernah
ada
negosiasi
mempertahankan kedaulatan Kasultanan Yogyakarta. Awalnya,
untuk
Yogyakarta
adalah sebuah negosiasi dari terpecahnya kerajaan mataram yang melibatkan
pihak kolonial. Negosiasi ini menyebabkan adanya eksistensi kerajaan yang
sifatnya subordinatif. Kasultanan Yogyakarta dari masa ke masa hidup dalam
‘suaka’ kuasa yang mensubordinasinya. Penjajah berganti, Kasultanan tetap hidup
dengan pembatasan kekuasaan yang disepakati. Persoalan baru muncul ketika
masa paska kolonial, Kasultanan Yogyakarta tetap hidup melalui negosiasi
77Lihat penuturan Sultan Hamengku Buwono IX, dlm. Atmakusumah (ed.). Takhta untuk
Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. (edisi revisi). Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, hlm.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 112
‘tingkat atas’ antara pemimpin Kasultanan, Sultan HB IX dengan founding father
Republik Indonesia, Soekarno.
Ada
metamorfosa
bentuk
kontrak
politik.
Moedjanto
(1994)
mengungkapkan, selepas masa kolonial, Kontrak Politik tidak lagi berlaku.
Pengganti dari Kontrak Politik yaitu pernyataan kesetiaan terhadap Republik
Indonesia oleh Sultan HB IX dan Adipati PA VIII. Tetapi, harus dicermati bahwa
kontrak tidak bisa disepakati secara sepihak. Sebuah kontrak bisa dikatakan sah
bila bersifat tertulis dan disepakati oleh kedua belah pihak. Maka, yang lebih tepat
disebut kontrak politik pada saat ini yaitu undang-undang. Jadi bisa ditafsirkan
bahwa, jika dulu Kerajaan Yogyakarta tunduk pada pemerintah Belanda melalui
kontrak politik, saat ini tunduk pada pemerintah Indonesia melalui landasan
hukum tentang status keistimewaan. Maka kontrak politik telah menjadi undangundang atau peraturan yang menjadi legitimasi pemerintahan daerah.
Titik perhatian saya tentang perubahan-perubahan ini tertuju pada pihak
yang menegosiasikan kontrak serta mekanime negosiasinya. Pihak yang pertama
melakukan penundukan, dialah yang merumuskan penjabaran-penjabaran dalam
kontrak. Pemerintah kolonial menjadi perumus kontrak tersebut. Situasi ini
berbalik pada saat pernyataan penggabungan Yogyakarta ke dalam Republik
Indonesia. Perpindahan pemegang kedaulatan pemerintah kolonial ke negara
penerus membuat negara vasal membuat negara vasal memainkan peran untuk
mengamankan posisi politiknya. Sebagai vasal, Yogyakarta merumuskan sendiri
bentuk pemerintahannya. Perumusan ini terlihat pada HB IX yang menyatakan
bahwa Yogyakarta adalah sebuah daerah istimewa di dalam Republik Indonesia.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 113
Sebelum sebuah perjanjian disepakati, ada negosiasi antar pihak. Negosiasi
ini menghasilkan butir-butir kesepahaman yang dituliskan dalam perjanjian.
Sebelum ada kesepahaman, masing-masing pihak saling melakukan penawaran
agar kepentingannya bisa terakomodasikan. Tapi mekanisme tawar menawar pada
masa kolonial ini bukan antar dua pihak yang setara. Pihak kolonial mempunyai
daya tawar yang lebih tinggi sebagai penguasa.
Kontrak dan negosiasi ini masih terjadi sampai saat ini. Kelompok propenetapan memasang spanduk jalanan bertuliskan “konsisten ijab Qobul”.
Peristiwa bergabungnya Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia dimaknai
sebagai sebuah perjanjian atau kontrak dalam pernikahan. Sultan HB X
mengungkapkan analogi ijab qabul ini merupakan kesepakatan politik antara
Sultan HB IX dan Adipati PA VIII yang mewakili Yogyakarta dengan Soekarno
yang mewakili Republik Indonesia. Sebagai sebuah pernikahan ada yang pihak
yang menyerahkan dan menerima. Republik Indonesia sebagai pihak yang
menerima kemudian menyerahkan mas kawin berupa status khusus yaitu ‘daerah
istimewa’ yang setingkat propinsi.78
Yang terjadi kemudian adalah negosiasi atas hubungan politik ini.
Negosiasi hubungan politik sebenarnya telah dilakukan oleh Sultan HB IX dengan
menunjukan nilai tawarnya yang kuat. Dengan mempersilahkan Yogyakarta
sebagai ibukota Indonesia pada saat genting, Sultan HB IX berani menyatakan
bahwa Yogyakarta berstatus sebagai daerah istimewa. Hal ini tidak mungkin
78Lihat: Hamengku Buwono X. Kenapa Keistimewaan DIY harus dipertahankan?,
naskah dengar pendapat dengan DPR RI
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 114
dinegasi oleh pemerintah Indonesia mengingat peran HB IX dalam aksi
‘menyelamatkan’ Indonesia di masa genting tersebut.
Kontrak politik pada masa kolonial terjadi dengan inisiatif pihak yang
mendominasi dalam hal ini pemerintah kolonial Belanda. Kemudian, negosiasi
terjadi dengan inisiatif pihak bawahan yaitu kerajaan Yogyakarta dengan
pemerintah pusat sebagai pihak yang mendominasi. Entah dari pihak mana yang
mendominasi,
proses
ini
tetap
menjadi
negosiasi
kekuasaan
untuk
mempertahankan bentuk-bentuk kedaulatan monarki di Yogyakarta.
Konflik muncul ketika pihak yang ada di bawah menegosiasikan levelnya.
Dan permasalahan baru muncul ketika kontrak politik baru didefinisikan bersama
oleh kedua belah pihak yaitu antara negara atasan (Republik Indonesia) dengan
negara-negara bawahan (Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman)
yang bertransformasi menjadi DIY. Perbedaanya pada masa paska kolonial ini,
pihak bawahan mengambil inisiatif dalam mendefinisikan kontrak politik ini.
Salah satu argumen dalam mekanisme negosiasi ini adalah penolakan
penyebutan propinsi pada DIY. Saya ingin mencermati bagaimana penolakan
sebutan ini mengandung sebuah wacana kuasa. Pada masyarakat Jawa di masa
lalu, sebuah nama menunjukkan adanya jenjang kekuasaan. Hal ini terlihat dalam
penyematan gelar kebangsawanan yang berbentuk pada gelar magis sakral seperti
Kusumayudha,
Sasranegara,
dsb.
Gelar
tersebut
menyesuaikan
dengan
kedudukan, tinggi atau rendahnya, besar dan kecilnya kekuasaan. Dengan gelar
tertentu, maka subyek posisi tertentu yang terkait dengan hubungannya dengan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 115
raja79. Maka, dalam konteks wacana keistimewaan, persoalan nama menjadi
sangat penting karena nama menentukan hirarki kekuasaan.
Istilah ‘daerah istimewa’ memang pertama kali disebutkan oleh kedua raja
ini, setelah menggabungkan dua pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dan
Kadipaten Pakualaman. “Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pakualaman berbentuk
kerajaan yang merupakan Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia”,
pernyataan ini terdapat dalam amanat Sultan HB IX dan Adipati PA VIII dalam
maklumat yang dikenal sebagai maklumat 5 September 1945. Artinya, kedua raja
ini menyadari penuh bahwa Yogyakarta tidak akan menjadi negara merdeka.
Dengan belum adanya kejelasan masa depan, kedua raja ini memastikan posisi
atau status daerah yang tetap otonom di dalam Republik Indonesia. Oleh karena
itu penyebutan propinsi memang tidak dirinci sejak awal karena Indonesia juga
belum membuat aturan-aturan rinci tentang pemerintahan daerah. Dengan kata
lain, pada tahun tersebut (1945) memang belum ada propinsi di Indonesia.80
Saat mulai dibicarakan pengelolaan pemerintahan Daerah, Yogyakarta
disebut sebagai sebuah daerah istimewa, tanpa sebutan propinsi. Pada prakteknya,
implikasi dari pernyataan kedua tokoh ini yaitu penafsiran konsep keistimewaan
dengan tidak menyebutkan propinsi. Dua istilah (Provinsi dan Daerah Istimewa)
digunakan sekaligus, untuk menyebut Yogyakarta sebagai satuan pemerintahan.
79Ong Hok Ham (1983). Rakyat dan Negara, hlm. 80.
80Pengesahan atas Yogyakarta sebagai daerah istimewa terjadi lima tahun sesudahnya
pada tahun 1950 melalui UU No 19 /1950. Di tahun yang sama Republik Indonesia sudah mulai
leluasa untuk mengelola pemerintahan dalam negrinya karena pasukan Belanda sudah
meninggalkan Indonesia, ibukota kembali berlokasi di Jakarta, dan kedaulatan Republik Indonesia
sudah diakui dunia.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 116
Sultan HB IX tidak mempermasalahkan penyebutan tersebut. Sedangkan pada
masa Sultan HB X, sebutan provinsi mulai dipermasalahkan.
B.
PEMERINTAH DAN RAKYAT
Mendalami dukungan kelompok pro penetapan kepada Sultan HB IX dan Adipati
PA VIII untuk menempati jabatan gubernur dan wakil gubernur, membuat saya
mencermati bagaimana wacana keistimewaan ini bukan menjadi sekedar
dorongan untuk menetapkan jabatan politik. Pada bagian ini saya mencoba
mengungkap bagaimana hubungan antar subyek yang saling berinteraksi di jalinan
wacana yang tak nampak. Secara khusus, uraian ini akan merinci pihak-pihak
yang hidup di dalam dinamika ini yaitu; Raja, institusi Kraton, rakyat, dan
pemerintah pusat. Pihak-pihak ini menjadi subyek-subyek yang berkelindan dalam
tema keistimewaan sebagai sebuah wacana kuasa.
1.
Hubungan Rakyat dan Raja
Slogan Manunggaling Kawula Gusti menjadi pernyataan yang sering terungkap
saat orang sedang menjelaskan bahwa keistimewaan terkait dengan filosofi yang
sudah sejak lama hidup dalam kebudayaan Jawa, khususnya Yogyakarta. secara
tidak langsung Manunggaling Kawula Gusti tidak hanya menjadi slogan tapi
menjadi konsep dasar untuk menjelaskan hubungan antara penguasa dan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 117
pengikutnya. Hubungan vertikal ini yang menjadi jalan untuk menafsir hubunganhubungan yang terjadi saat membesarnya gerakan keistimewaan.
Secara lugas, Manunggaling Kawula Gusti bisa diartikan sebagai
bersatunya rakyat dan raja. Sebagaimana diyakini bersama oleh sebagian besar
masyarakat, slogan ini diciptakan sendiri oleh pendiri Yogyakarta, yaitu Pangeran
Mangkubumi. Oleh karena itu, slogan ini dianggap sebagai filosofi dasar untuk
memahami konstruksi keistimewaan Yogyakarta. Maka dengan mencermati
Manunggaling Kawula Gusti akan menjelaskan bagaimana hubungan rakyat
dengan raja yang terlembagakan secara politik.
Saat Sultan HB IX dan Adipati PA VIII terancam posisinya dalam
memegang jabatan politik, dukungan terhadap mereka meningkat. Dukungan
tidak hanya berasal dari para aktivis kelompok pro penetapan yang telah menjadi
golongan priyayi baru, tetapi oleh masyarakat Yogyakarta secara luas. Mengapa
peristiwa ini bisa terjadi? Sebenarnya, menjadi aneh pada masa ini ketika ribuan
orang mendukung raja untuk terus menjadi gubernur, yang sejatinya posisi
gubernur adalah jabatan publik. Sangat bisa dimaklumi jika peristiwa ini terjadi
ratusan tahun yang lalu saat ide-ide bernegara dari dunia barat belum masuk ke
tanah air ini. Tapi, penelusuran dalam bagian ini menjadi investigasi tentang
bagaimana budaya politik pada masa lalu juga terkait dengan tindakan sosial pada
masa kini
Kita akan melihat kembali tentang bagaimana pola hubungan antara raja
dan rakyat pada masa lampau di Jawa, khususnya di Yogyakarta. Titik pijak
penelusuran ini tertuju pada sistem cacah di kerajaan-kerajaan Jawa. Para
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 118
penguasa di Jawa (raja dan para pangeran/bangsawan), mempunyai kendali penuh
terhadap rakyat karena ukuran kekuasaan mereka bisa dilihat dari jumlah
pengikut. Maka bisa terlihat rakyat mempunyai kesetiaan yang tinggi terhadap
raja walaupun raja sudah tidak mempunyai kedaulatan penuh atas teritori tertentu.
Tanah bisa saja lepas dari kendali raja, tapi kesetiaan dari rakyat tetap menjadi
milik raja.
2.
Fundamentalisme Baru
Saat isu tentang keistimewaan Yogyakarta pertama kali berhembus, yakni pada
tahun 1998 sampai dengan tahun 2000-an, perhatian publik dan media massa
tertuju pada sekelompok masyarakat yang mendukung penetapan dan memberikan
penafsiran bahwa hal itu adalah keaslian Yogyakarta. Aksi mereka mendapatkan
dukungan dari sebagian penduduk Yogyakarta.
Pada kemunculan gelombang kedua kelompok-kelompok pro penetapan,
nuansa esensialisme sudah tidak lagi nampak. Yang nampak adalah pembentukan
identitas kolektif yang berdasarkan pemahaman yang saling dibagikan. Yang
membuat mereka merasa menjadi satu kelompok besar bukan kesamaan etnisitas
atau relijius melainkan satu pengetahuan (kesamaan penafsiran) tentang makna
keistimewaan Yogyakarta.
Saya melihat ada suatu gaya baru untuk mengidentifikasi dalam rangka
menciptakan identitas kolektif. Gaya mengidentifikasi ini yang kemudian
membentuk suatu fundamentalisme baru di ranah politik lokal. Bandingkan
dengan yang terjadi di Papua yang menciptakan fundamentalisme atas dasar ras
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 119
melanesia, sehingga terwujud dalam aturan yang tidak memperbolehkan orang
dari etnis lain untuk menjadi gubernur. Bandingkan pula dengan sentimen anti
pendatang di daerah-daerah lainnya. Di Yogyakarta, dinamikanya bergerak
dengan berbeda. Meliyankan pihak-pihak yang tidak menyetujui penetapan
menjadi tindakan yang dianggap wajar. Ada pemahaman bahwa menjadi orang
Jogja (kawula ngayogyakarta) bukan hanya untuk orang Jawa atau penduduk
yang tinggal di Yogyakarta tapi mereka yang mendukung keberadaan Sultan,
Kraton, dan Penetapan.
Dengan menyebut ‘istimewa’, maka ada dorongan untuk menerobos batas
penggolongan
etnisitas
dan
entitas
politik.
Identitas
istimewa
adalah
perkembangan mutakhir dari bentukan identitas yang tercipta di dalam orangorang Yogyakarta. Selama belum ada kejelasan secara legal tentang bentuk
keistimewaan Yogyakarta, orang-orang yang menyebut diri pro penetapan
memberikan penafsiran bahwa ‘istimewa’ itu juga melekat pada diri mereka.
Menjadi ‘istimewa’ terkesan sebuah kesadaran untuk menjadi berbeda dan harus
dimaklumi. Maka, menjadi ‘istimewa’ adalah proses bagaimana mereka
mengidentifikasi dirinya.
Identitas keistimewaan adalah bentukan identitas baru yang berkembang
saat tema Keistimewaan Yogyakarta sedang mencapai popularitas. Pada
perkembangannya, identitas ini mulai menjadi citra pembentukan warga
masyarakat Yogyakarta. Para pendukung penetapan, baik yang asli Jawa (orang
Jogja, sejak lahir) maupun penduduk Jogja yang pendatang (atau bukan berlatar
belakang suku jawa) menyatakan dukungan ini karena memiliki rasa kecintaan
atas daerah yogyakarta. Identitas ini terbentuk melewati batas-batas kategori jawa,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 120
penduduk jogja, atau orang asli jogja. Identitas ‘istimewa’ adalah identitas baru
yang terbentuk dalam dinamika kehidupan masyarakat Yogyakarta. ‘Istimewa’
tidak hanya menunjuk kepada para penduduk daerah yogyakarta atau orang-orang
Jawa. Konstruksi identitas istimewa terbentuk dalam konteks dukungan terhadap
penetapan.
Dipicu oleh kuatnya resistensi, pembentukan identitas mulai mengarah
menjadi fundamentalisme. Fundamentalisme tidak lagi terbentuk dalam
kelompok-kelompok keagamaan tapi juga terjadi dalam kelompok pro penetapan.
Sebagai perbandingan, gerakan keagamaan bertumbuh pesat melewati batas-batas
negara, bangsa, dan bahasa. Gerakan keistimewaan juga mulai berkembang
mendapatkan dukungan besar saat mulai menerjang batasan-batasan kedaerahan.
Gerakan keistimewaan merangkum orang-orang yang bukan orang asli
Yogyakarta. Sumber pembentukan identitasnya justru berkembang pada ideologi
yaitu sikap dukungan pada bentuk penafsiran tertentu dalam konsep keistimewaan
Yogyakarta.
Singkatnya, ada kecenderungan untuk meleburkan dukungan terhadap
penetapan dengan menjadi orang Yogyakarta. Jika orang tertentu disebut sebagai
Orang Jogja maka sudah pasti dia adalah pro penetapan. Sebaliknya, walaupun
ada orang-orang yang tinggal di Yogyakarta tapi tidak sependapat tentang
penetapan, maka mereka tidak pantas menjadi orang Jogja.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 121
3.
Kelas Priyayi Baru
Di sisi yang berbeda, kelompok pro penetapan telah menjadi priyayi baru di
tengah situasi yang penuh ketegangan. Sedikit melirik ke masa lalu, kelas priyayi
adalah golongan keluarga dan orang terdekat raja yang juga ikut menjalankan
pemerintahan. Pada kenyataannya, kelompok priyayi ini berhubungan secara
langsung dengan rakyat. Seorang raja sangat membutuhkan peran para priyayi ini
karena mereka bertindak atas nama raja atau menjadi kaki tangan raja untuk
memerintah rakyat. Jika kita cermati, dalam gejolak keistimewaan Yogyakarta,
Sultan HB X tidak pernah terlihat mempunyai inisiatif yang cukup pro aktif. Yang
terlihat justru aksi diam yang membuat publik semakin bertanya-tanya.
Mengapa saya menyatakan bahwa para aktivis kelompok-kelompok pro
penetapan ini menjadi priyayi kelas baru? Pertama, keberadaannya menjadi kelas
perantara antara raja dengan rakyat. Raja tidak pernah ditampilkan untuk
memperjuangkan kepentingannya. Melalui kelas perantara ini, kepentingan raja
diperjuangkan. Kelompok pro penetapan bertindak dan melakukan aksinya untuk
kepentingan Sultan HB X, Adipati PA IX dan Kraton. Melalui pembicaraanpembicaraan informal, mereka bertemu dan dan berkoordinasi. Walaupun raja
tidak secara nyata hadir dalam mobilisasi massa, tapi perannya cukup besar untuk
mempengaruhi mobilisasi massa tersebut.
Para elit gerakan, yakni para aktivis inti kelompok pro penetapan
cenderung menjadi kelompok eksklusif. Walau mereka mengembangan jaringan
seluas-luasnya untuk mobilisasi massa, mereka menjadi menciptakan kelompok
orang terpercaya untuk Kraton. Seperti yang sudah diungkapkan oleh aktivisnya,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 122
pola hubungan dalam gerakan besar keistimewaan bersifat transaksional. Maka
bisa ditafsirkan bahwa setiap tindakan akan memperhitungkan hasil-hasil tertentu
dalam transaksi. Atau aktivitas dukungan tersebut juga suatu bentuk transaksi.
Maka, dalam gejolak keistimewaan ini, ada proses perubahan sosial yaitu
terciptanya kelas sosial baru yang tidak didasarkan oleh pola keturunan melainkan
oleh bentuk dukungan. Kelas sosial ini menjadi sangat signifikan dalam hubungan
rakyat dengan raja karena di kelas inilah semua tema-tema politik berkelindan dan
bisa mengakibatkan gerakan massa.
4.
Menguasai rakyat
Salah satu hal yang menjadi penekanan dalam terbentuknya kelas priyai baru ini
yaitu adanya peran untuk memerintah rakyat. Memerintah bukan berarti
mengambil peran dalam struktur birokrasi dalam pemerintahan administratif.
Memerintah berarti menjadi operator agenda politik tertentu yang tujuannya
mengatur atau mengarahkan rakyat. Dalam konteks polemik keistimewaan, peran
memerintah berarti bagaimana mendapatkan dukungan rakyat dan mengendalikan
rakyat untuk tujuan tertentu.
Pada prakteknya, kelas perantara memainkan perannya untuk memerintah
rakyat melalui propaganda-propaganda dan pengawasan-pengawasan tertentu.
Propaganda dilakukan dengan menyebarkan pengetahuan-pengetahuan tentang
tema keistimewaan Yogyakarta yang tujuan akhirnya mendapatkan dukungan
publik. Sedangkan bentuk pengawasan dilaksanakan dengan ‘menyingkirkan’
pihak-pihak tertentu yang dianggap bersebrangan dengan versi resmi.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 123
Saya memulai merinci mekanisme kuasa ini dengan menggaris bawahi
salah satu teknik yaitu legitimasi historis. Dengan sejarah, orang mengkonstruksi
masa depannya. Cara seperti ini sudah lazim diterapkan oleh pemerintah untuk
menciptakan konstruksi identitas nasionalnya. Sejarah perjuangan kemerdekaan
Republik Indonesia misalnya, menjadi legitimasi untuk ideologi pembentukan
bangsa Indonesia. Ada versi penafsiran sejarah untuk menampilkan kebenaran
resmi.
Versi sejarah resmi juga sedang ditampilkan oleh kelompok pro
penetapan. Caranya dengan melakukan rekonstruksi narasi-narasi sejarah arus
samping yang menceritakan peran besar Sultan HB IX saat mengOrbankan
asetnya mendukung Republik Indonesia. Sejarah sebagai alat legitimasi.
Bagaimana
gerakan
sosial
ini
mengkomunikasikan
ideologinya
dengan
‘pendidikan sejarah’ melalui rekonstruksi sejarah, reproduksi peristiwa historis,
sampai pada terbentuknya narasi historis ini sebagai paradigma umum tentang
keistimewaan Yogyakarta.
Mekanisme selanjutnya yaitu pada praktek pendisiplinan dengan
kekerasan. Mereka yang menjadi golongan pro pemilihan dianggap sebagai
pembangkang. Kata ‘pembangkang’ berarti orang yang melawan aturan resmi.
Dari hal ini terlihat bahwa kelompok pro penetapan menggiring masyarakat ke
dalam satu pemahaman tunggal. Maka mayoritas terkesan mempunyai hak untuk
mendominasi minoritas.
Negara melakukan opressi dengan kekuatan senjata, yang dilakukan oleh
kelompok pro penetapan adalah melakukan kekerasan simbolik. Teknik
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 124
meliyankan adalah salah satu bentuk kekerasan simbolik ini. Cap ‘liberalis’ yang
disematkan
kepada
seluruh
pihak
yang
tidak
mendukung
penetapan,
menempatkan para pendukung pemilihan pada satu kutub yang sama.
Mekanisme selanjutnya yaitu, bagaimana wacana kebenaran resmi yang
terwujud dalam ideologi negara digunakan sebagai basis pemikiran. Ideologi yang
‘dimainkan’ yaitu dasar-dasar negara; Pancasila dan UUD 1945. Gerakan
keistimewaan tidak menciptakan ideologi baru untuk menggantikan dasar-dasar
negara ini. Yang terjadi adalah, penggunaan ideologi yang sama untuk melawan
pemerintah. Pancasila dan UUD 1945 tidak diganti atau direvisi tapi justru
ditafsirkan secara berbeda. Maka, ideologi negara berbalik menjadi ‘senjata
makan tuan’ bagi pemerintah.
Dengan menggembangkan gagasan pada ideologi negara (Pancasila),
kelompok pro penetapan mengambil jarak tertentu dalam hubungan perlawanan
dengan pemerintah. Jika dibandingkan dengan gerakan-gerakan perlawanan lokal
yang berkembang di Indonesia, seperti Aceh dan Papua, kelompok pro penetapan
di Yogyakarta tidak mau disebut separatis. Mereka tidak melawan untuk
memisahkan diri tapi memberikan penafsiran yang berbeda tentang gaya-gaya
pemerintahan yang lebih bersahabat untuk masalah-masalah pemerintahan lokal.
Dengan melihat bagaimana kelompok pro penetapan menggunakan
nasionalisme sebagai kata kunci, kita melihat bagaimana gerakan keistimewaan
Yogyakarta sebagai gerakan lokal yang melawan pemerintah pusat, menggunakan
cara yang kreatif untuk memaknai nasionalisme. Hal ini tidak terjadi sebelumnya,
nasionalisme menguat melalui gerakan yang melakukan resistensi. Maka, ideologi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 125
negara menjadi terlihat lentur. Artinya, ideologi negara tidak hanya diaplikasikan
untuk pembentukan identitas bangsa atau negara, tapi bisa menjadi alat untuk
mengkritik negara. Jika, ideologi negara sebelumnya terkesan menjadi urusan elit
politik di pusat, saat ini penafsiran ideologi negara menjadi fenomena bagi
gerakan lokal.
5.
Mitos Penjajah untuk Mobilisasi massa
Di Yogyakarta, lebih dari satu abad sebelumnya, sebuah gerakan besar pernah
terjadi. Di bawah kendali Diponegoro, seorang pangeran pemberontak dari
Kasultanan Yogyakarta melawan keluarganya sendiri dan Belanda. Barisan militer
Pangeran Diponegoro menguat menjadi gerakan rakyat yang melawan kekuatan
pasukan Belanda. Dari peristiwa ini, terlihat adanya kemunculan suatu gerakan
besar rakyat untuk melawan kekuatan asing.
Fenomena perlawanan Pangeran Diponegoro ini memperlihatkan ada tiga
aspek yang signifikan. Pertama, meluasnya dukungan rakyat karena adanya figur
‘pembebas’ yang terwujud dalam pribadi Pangeran Diponegoro yang mengangkat
dirinya sebagai Sultan Herucakra, tapi ironisnya raja baru ini tidak pernah bertahta
ataupun mendapatkan pengakuan kedaulatan. Ada paham mesianistik yang
menjadi dasar gerakan masyarakat di Jawa. Membesarnya gerakan masyarakat
lokal Jawa yang mendukung Diponegoro dalam Perang Jawa, karena harapan
besar masyarakat pada waktu itu tentang seorang pemimpin besar yang akan
membebaskan rakyat dari penindasan.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 126
Dasar legalitas raja tidak pernah kuat tanpa pengakuan pihak asing yang
menjadi ‘kuasa atasan’. Sebagai contoh, Pangeran Mangkubumi benar-benar
diakui sebagai raja setelah ada perundingan yang berujung pada kesepakatan
politik antara pihak Pangeran Mangkubumi, Sunan PB II sebagai raja Mataram
(Surakarta), dan VOC (Belanda). Demikian juga Pangeran Diponegoro tidak
pernah diakui sebagai raja walaupun sudah mengangkat dirinya menjadi Sultan
Herucakra. Lebih ironis lagi, negosiasi dengan pihak VOC menyebabkan
Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan, bukannya Seperti Pangeran
Mangkubumi dan Pangeran Said (Pangeran Sambernyawa) yang mengakhiri
perundingan dengan memperoleh kedaulatan negara.
Terlihat ada pola bahwa, selalu ada musuh asing yang harus dilawan.
Musuh tersebut yaitu pihak kolonial yang berwujud pasukan bersenjata VOC atau
pemerintah kolonial Belanda di Jawa. Oleh karena itu, para pangeran tersebut
pada perkembangannya ditetapkan sebagai pahlawan nasional karena aksi mereka
melakukan perlawanan bersenjata terhadap VOC. Disisi lain, mereka adalah
pemberontak bagi keluarga dan kerajaan. Setelah lewat 100 tahun, Pangeran
Diponegoro baru terbebas dari cap pemberontak Kerajaan Yogyakarta setelah
Sultan HB IX mencabutnya statusnya sebagai pemberontak.
Dalam polemik Keistimewaan Yogyakarta, imaji tentang rakyat yang
bersatu bersama dengan bangsawan untuk melawan penjajah asing tercipta dan
diciptakan kembali. Narasi historis tentang heroisme Pangeran Diponegoro
menjadi tema menarik yang diungkapkan kembali untuk membangkitkan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 127
semangat perjuangan rakyat.81 Dengan kata lain, narasi historik tersebut telah
menjadi propaganda perjuangan. Terlihat, jargon Manunggaling Kawula Gusti
menjadi semakin populer. Menguatnya dukungan rakyat pada kepemimpinan
lokal yang berakar pada tradisi terkesan menjadi antitesis dari kebijakan-kebijakan
pemerintah pusat yang sudah bercitra negatif karena korupsi.
Bila perlawanan Pangeran Diponegoro dan bangsawan lain di masa lalu
menjadi sumber inspirasi perjuangan melawan pihak asing, dilema bagi para
pejuang lokal saat berhadapan dengan pihak-pihak satu daerah yang bersebrangan
pendapat juga menjadi bagian dari dinamika politik. Para bangsawan pemberontak
pada masa lalu berhadapan dengan keluarganya yang berkolaborasi dengan
pemerintah penjajah. Demikian juga, kelompok-kelompok Pro Penetapan juga
harus berhadapan dengan orang-orang dan lembaga yang tidak sependapat tentang
mekanisme penentuan jabatan gubernur dan wakil gubernur.
Secara kritis, gerakan besar para pangeran di masa lalu tersebut tidak akan
pernah sama dengan mobilisasi massa dalam Gerakan Keistimewaan Yogyakarta
saat ini tapi kemiripan tertentu yang menjadi aspek-aspek yang khas. Pertama,
walau terlalu prematur untuk menyatakan pribadi Sultan HB X sebagai ratu adil
atau satria piningit, atau sebutan lain bagi mesias Jawa, tapi ada faktor penting
yang harus ada dalam perjuangan rakyat yaitu keberadaan raja. Kedua,
pengungkapan kembali kisah-kisah pangeran-pangeran yang heroik ini bertujuan
untuk mengkonsolidasikan sebuah integralisme politik untuk melawan kekuatan
81Dalam salah satu pernyataan yang dibacakan oleh Widihasto mewakili Gerakan Rakyat
Mataram Bersatu (GRMB), ada narasi tentang perjuangan Pangeran Diponegoro melawan
Penjajah Belanda. Pengungkapan narasi ini secara tidak langsung menyamakan perjuangan
kelompok pro penetapan melawan pemerintah pusat yang seperti penjajah.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 128
asing. Saat ini, kekuatan asing tersebut diidentifikasikan sebagai pemerintah
pusat.
C.
MERIBUTKAN WACANA KEBENARAN
Pada pembahasan sebelumnya telah memetakan hubungan-hubungan antar pihak
sebagai subyek-subyek yang hidup dalam konstelasi kuasa. Bagian ini
menjabarkan bagaimana kuasa terwujud dalam pengetahuan-pengetahuan tertentu.
1.
Menafsir Demokrasi
Seperti sudah diungkapkan sebelumnya, polemik soal Keistimewaan Yogyakarta
menjadi semakin panas saat Presiden SBY secara tidak langsung mengungkapkan
bahwa keberadaan monarki bertentangan dengan nilai demokrasi. Dibalik
pernyataan presiden tersebut, ada dua gagasan yang sebenarnya sedang
dipertentangkan. Dua gagasan tersebut yaitu monarki melawan demokrasi.
Mengingat dua hal tersebut diungkapkan oleh seorang presiden, maka
pernyataannya menjadi sebuah wacana kebenaran dalam kebijakan pemerintahan
daerah.
Secara tidak langsung pernyataan tersebut menggiring pada sebuah
gagasan tentang hal yang dianggap benar dan hal lain dianggap menyimpang. Ada
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 129
dua hal yang dianggap antagonistik yaitu monarki dengan demokrasi. Artinya,
keberadaan sebuah monarki bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dalam
pemerintahan negara. Maka, terbaca sebuah dikotomi yang mana demokrasi
diposisikan sebagai sebuah normalitas. Sebaliknya, monarki ditempatkan sebagai
abnormalitas.
Selanjutnya, kebenaran bernama demokrasi ini bekerja melalui ritual untuk
merayakan kebenaran. Ritual ini bernama Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilihan
umum menjadi ritual dari sebuah pengetahuan resmi yang disebut demokrasi.
Pengetahuan ilmiah tentang hidup bernegara terwujud dalam sebuah mantra
bernama demokrasi. Artinya, dengan diselenggarakannya sebuah pemilu, menjadi
pembenaran adanya demokrasi.
Demokrasi bukanlah pengetahuan baru. Semenjak pemerintahan Soekarno,
yang disebut sebagai Orde Lama oleh Soeharto untuk menyebut masa
pemerintahaannya Orde Baru, demokrasi sudah menjadi pengetahuan besar yang
menjadi inspirasi untuk kepemimpinan dua penguasa besar Indonesia ini melalui
demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila gaya Orba. Akan tetapi gelombang
besar perubahan pada tahun 1998 membuktikan bahwa selama berpuluh-puluh
tahun pengetahuan bernama demokrasi tersebut ternyata tidak demokratis, dan
hanya menghasilkan ritual yang bernama Pemilu. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa pemilu pada zaman Orba hanyalah sebuah panggung pertunjukan yang
esensi demokrasinya dipertanyakan.
Ada usaha untuk merevisi pengetahuan soal demokrasi dengan menata
kembali (reform) ritualitas Pemilu. Yang terjadi adalah penciptaan desain baru
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 130
pemilu yaitu, pemilukada (pemilihan Umum Kepala dan Wakil Kepala Daerah).
Hasil nyata dari pemilukada ini yaitu adanya penentuan jabatan gubernur dan
wakil gubernur melalui pemilihan secara langsung oleh penduduk daerah tersebut.
Maka, hal inilah yang disebut sebagai demokratis.
Sebagai sebuah ritual yang mewujudnyatakan sebuah pengetahuan
kebenaran bernama demokrasi, pelaksanaan pemilu mulai dipertanyakan.
Problematisasi ini muncul dari kelompok pro penetapan. Dengan nada nyinyir,
mereka menyebutnya ‘Demokrasi Prosedural’. Dengan kata lain, pelaksanaan
pemilu hanya bertujuan melaksanakan prosedur pemilihan saja tapi hasilnya
belum tentu demokratis. Bahkan, muncul anggapan jika pelaksanaan pemilu
menghasilkan efek yang jauh dari esensi demokrasi.
Dalam kecamuk ini, lagi-lagi ada dikotomi yang terbaca, yaitu antara
demokratis (sebagai yang normal) dan tidak demokratis (sebagai yang abnormal).
Dengan sebuah pengetahuan bernama demokrasi, ada daya untuk menentukan
bentuk-bentuk normalitas dalam pemerintahan yaitu melalui praktek pemilihan
umum. Masalahnya, kelompok pro penetapan yang sudah berhasil mengambil
hati sebagian besar masyarakat Yogyakarta, tidak mengganggap pemilukada
sebagai hal yang baik untuk mereka. Pada titik ini, hubungan yang terjadi seperti
seorang pasien yang menolak resep obat yang diberikan oleh dokter seraya
menggugat bahwa dirinya tidak sakit.
Yang menarik dicermati dalam peristiwa ini yaitu, bagaimana rumusan
utama tentang demokrasi sedang ditantang dengan pemaknaan lain yang kurang
kurang lazim. Ukuran-ukuran demokratis yang dirumuskan oleh pemerintah pusat
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 131
dianggap tidak lagi relevan. Jika pelaksanaan pemilukada bertujuan untuk
meningkatkan partisipasi rakyat dalam memilih pemimpin, tujuan tersebut sedang
dihadang dengan pernyataan bahwa rakyat sudah memilih pemimpinnya. Maka,
pemilukada menjadi tidak penting bagi mereka karena ukuran yang dianggap
demokratis sudah tercapai.
Sikap kelompok pro penetapan ini menjadi antitesis pada cara
melaksanakan demokrasi dengan prosedur pemilu. Ada perbedaan cara pandang
antara penentu kebijakan (presiden, kabinet, dan kementerian dalam negri) dengan
kelompok-kelompok pro penetapan yang didukung oleh sebagian besar
masyarakat di Yogyakarta. Jika merentang jalinan perkembangan demokratisasi di
Indonesia, apa yang terjadi di Yogyakarta menjadi sebuah titik pergeseran.
Semenjak tahun 1998, ratusan pemilihan umum telah dilakukan untuk
menentukan para pemimpin daerah. Keterlibatan jutaan orang untuk terlibat dalam
proses ini menjadi peserta, seakan menjadi ukuran kesuksesan pelaksanaan
demokrasi. Akan tetapi, ada cara pandang yang berubah saat melihat ukuran
demokrasi, yaitu pada hasil demokrasi bukan pada mekanisme pemilihan. Maka,
dalam kehidupan politik, kebenaran menjadi ruang terbuka, tergantung siapa yang
menafsirkan karena kebenaran dalam politik adalah alat untuk mendominasi dan
alat untuk melawan balik.
Pemilu menjadi bentuk penyeragaman yang diberlakukan untuk semua
daerah atas nama demokrasi. Ciri keseragaman ini mengharuskan adanya suatu
bentuk yang simetris. Bertolak dari istilah simetris ini, maka pemerintahan dalam
suatu negara harus mempunyai poros (pusat), yang mana pinggiran mempunyai
bentuk dan ukuran yang sama dengan pinggiran yang lain. Bentuk ini
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 132
menciptakan sebuah pusat yang bersifat tunggal dan pinggiran-pinggiran yang
berbentuk ‘sama rata’. Implikasinya, pusat terkesan menjadi dominan, karena
menjadi sentris dalam suatu susunan. Letak dan bentuk unsur-unsur pinggir ini
yang
menciptakan
keseimbangan.
Dengan
menguatnya
tuntutan
untuk
‘mengistimewakan’ Yogyakarta ini, maka dengan logika simetri tersebut, akan
tercipta ketidakseimbangan.
Di Indonesia, keseimbangan dalam logika simetri, selama ini dipahami
sebagai ‘persatuan & kesatuan’ atau istilah NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia). Prakteknya, seluruh daerah terbagi-bagi dalam satuan bernama
provinsi. Kemudian, bagaimana jadinya kalau beberapa sisi mempunyai bentuk
yang berbeda? Sebuah susunan akan kehilangan prinsip keseimbangan.
2.
Wajah Jahat Liberalisme
Salah satu argumentasi kelompok pro penetapan yaitu pemilukada cenderung
bernuansa liberalisme karena pemilukada cenderung menjadi pasar politik.
Artinya, di perhelatan besar bernama pemilukada, ada dana besar yang mengalir.
Para kontestan yang berlaga akan semakin mudah untuk memenangkan suara jika
mempunyai modal biaya yang sangat besar. Maka, rakyat akan mudah tertipu oleh
daya-daya uang. Dari ungkapan-ungkapan mereka, sangat terkesan bahwa
liberalisme merasuk ke semua prosedur pemerintahan sehingga mengakibatkan
kekuatan uang bersatu dengan kekuatan politik yang kemudian menindas rakyat
kecil (wong cilik).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 133
Saat mengartikulasikan gagasan liberalisme, tiba-tiba liberalisme menjadi
terlihat ‘sangat jahat’. Liberalisme terkesan sebagai ajaran sesat, sedangkan
mereka yang tidak sependapat, dianggap sebagai liberalis. Secara lebih khusus,
kaum liberalis di Yogyakarta adalah mereka yang dikategorikan sebagai
kelompok pro pemilihan. Liberalisme menjadi sasaran kemarahan. Makian ‘antekantek liberal’, rasa-rasanya hampir mirip dengan penyebutan ‘antek-antek
komunis/PKI’.
Dengan pengembangan gagasan tentang liberalisme sebagai musuh
bersama, maka kelompok pro penetapan menunjukkan bahwa pelaksanaan
pemilukada di Yogyakarta bukan menjadi sebuah resep yang sehat bagi
demokratisasi melainkan hanya menjadi toksin yang merusak sendi-sendi filosofi
kultural masyarakat Yogyakarta. Mungkin hal ini terdengar berlebihan. Akan
tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah kelompok pro penetapan yang didukung
oleh sebagian besar masyarakat merasa menjadi obyek kekuasaan. Dan gagasan
soal liberalisme adalah upaya melawan balik usaha normalisasi yang dilakukan
oleh pemerintah melalui sistem cangkok demokrasi yang disebut pilkada.
Mengapa liberalisme terlihat sangat menakutkan? Liberalisme akan
berperan besar meruntuhkan gaya-gaya pemerintahan yang feodalistik karena
paham ini memang berkembang di atas kuburan feodalisme. Menguatnya
liberalisme membuat pemerintahan feodal yang ada di negara-negara monarki
absolut terjatuh. Banyak pemerintahan monarki yang runtuh. Sebagian dari
monarki yang bertahan bermetamorfosis menjadi monarki konstitusional.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 134
Di sisi lain, luasnya ruang lingkup untuk membahas tentang liberalisme
membuat saya mencermati pada melunturnya kategori-kategori politik yang
berkembang saat liberalisme nampak sebagai satu-satunya pilihan di jaman ini.
Dugaan bahwa kapitalisme akan menjadi sistem pemerintahan yang ideal didunia
setelah runtuhnya ideologi sosialisme-komunisme telah terbantahkan. Yang
terjadi justru, terbentuknya sistem-sistem pemerintahan yang menggabungkan
semua sisi positif dari ideologi atau sistem yang pernah hidup. Sebagai contoh,
komunisme di Republik Rakyat China (RRC) tidak lagi nampak berwajah
totaliter. Pengembangan kawasan-kawasan ekonomi bebas seperti Hongkong dan
Shanghai. Maka, menjadi semakin tidak jelas lagi dikotomi dan kategori yang
selama ini dipercaya oleh publik.
Dugaan bahwa kapitalisme akan menjadi sistem pemerintahan yang ideal
didunia setelah runtuhnya ideologi sosialisme-komunisme telah terbantahkan.
Yang
terjadi
justru,
terbentuknya
sistem-sistem
pemerintahan
yang
menggabungkan semua sisi positif dari ideologi atau sistem yang pernah hidup.
Sebagai contoh, komunisme di RRC tidak lagi nampak berwajah totaliter.
Pengembangan kawasan-kawasan ekonomi bebas seperti Hongkong dan
Shanghai. Maka, menjadi semakin tidak jelas lagi dikotomi (benar dan salah) dan
kategori-kategori mapan yang selama ini dipercaya.
Ada kecurigaan bahwa wacana demokratisasi yang disodorkan oleh
pemerintah mengandung nilai liberalisasi ekonomi yang nampak dalam
pelaksanaan pemilu. Kekawatiran kelompok pro penetapan cukup beralasan.
Pelaksanaan pemilu pada paska reformasi, secara prosedur sudah benar. Di sisi
lain, pemilu menciptakan perputaran ekonomi yang bernominal besar. Jual-beli
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 135
kepentingan ini membuat pihak yang bermodal besar akan mempunyai peluang
yang lebih besar untuk memenangkan pilihan.
Di sisi lain, kelompok pro penetapan bisa saja keliru menengarai bahwa
liberalisme tidak hanya nampak dalam pelaksanaan Pemilu. Yang lebih penting
adalah melihat bagaimana liberalisasi ekonomi menciptakan struktur-strukturnya
dalam suatu daerah. Sangat memungkinkan bahwa Sultan dan Kraton
bisa
dimasuki struktur-struktur ekonomi liberal.
Secara ringkas, dalam pewacanaan keistimewaan Yogyakarta, gagasan
liberalisme menjadi counter knowledge. Gagasan ini muncul saat kelompok pro
penetapan melawan definisi normalitas politik bernama demokrasi yang berwajah
pemilu. Kelompok pro penetapan yang menempatkan sebagai pendukung
abnormalitas politik, mencoba melawan dengan mendefinisikan ulang normalitas.
Akhirnya, yang disebut demokratis belum tentu normal, karena yang disebut
normal itu ternyata liberal. Apalagi, terminologi ‘liberal’ sudah cukup
mendapatkan kesan negatif. Contohnya, ekonomi liberal. Munculnya gagasan soal
liberalisme menunjukan hal menarik yaitu ada rasa curiga terhadap wacana
asing.Wacana resmi yang kemudian disebut demokrasi prosedural ini dianggap
tidak sesuai dengan nilai-nilai tradisi.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 136
BAB V
PENUTUP
Membayangkan Politik Alternatif
Sampai penelitian ini ditulis, perkembangan wacana keistimewaan Yogyakarta
sudah memasuki tahapan yang diharapkan oleh publik. Rencana Undang-Undang
Keistimewaan Yogyakarta (RUUK) sudah disahkan menjadi Undang-undang
Keistimewaan Yogyakarta (UUK). Sultan HB X dan Adipati PA IX untuk
kesekian kalinya diangkat kembali menjadi gubernur dan wakil gubernur DIY.
Saat ini pemerintah daerah sedang menyusun rencana lanjutan tentang apa
yang harus dilakukan setelah penetapan gubernur dan wakil gubernur. Pada saat
yang sama, muncul kebingungan untuk merumuskan definisi kebudayaan dan
bagaimana mengimplementasikan keistimewaan dalam ranah peraturan daerah.
Menuliskan relasi kuasa dengan sudut pandang Kajian Budaya yaitu
merinci mekanisme kuasa dan pengetahuan yang tersembunyi dalam relasi sosial
antar aktor maupun institusi. Mekanisme ini menyakup kuasa untuk memberi
nama, kuasa untuk menampilkan kebenaran umum, kuasa untuk menciptakan
versi resmi, dan kuasa untuk menampilkan dunia sosial yang terlegitimasi.
Mengetahui bagaimana mekanisme ini bekerja dalam wacana dan artikulasinya.
Mekanisme ini diartikulasikan oleh semua pihak di zona kontestasi atas makna.82
Ada interkoneksi yang kuat antara wacana kuasa yang terwujud dalam
pengetahuan dalam berkembangnya gerakan sosial dalam problematisasi
82Chris Barker (2008). Cultural Studies: Theory & Practice
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 137
Keistimewaan Yogyakarta. Dalam hal ini, antara pemerintah pusat dan
Sultan/Kraton sebagai pihak kuat yang memproduksi pengetahuan dengan
gerakan sosial yang merepresentasikan rakyat kebanyakan menjadi saling
berhubungan. Semua pihak, walaupun terlihat antagonistik, adalah subyek-subyek
hasil bentukan wacana kuasa yang saling bernegosiasi.
Keistimewaan Yogyakarta adalah utopia baru atas pemerintahan politik,
sosial, dan budaya. Wilayah ini (yang tidak hanya dipahami sebagai batas-batas
geografis) menjadi alternatif dalam ekosistem sosial di Indonesia. Mengulangi apa
yang diungkapkan oleh Rose (2004) bahwa dugaan tentang menjadi semakin
kuatnya liberalisme tidak terjadi, walaupun sosialisme telah jatuh dengan
hancurnya negara adidaya Uni Soviet.
83
Ideologi liberalisme ternyata tidak
semakin mempertajam kehidupan politik di dunia.Yang semakin berkembang
justru bentuk-bentuk politik (baru) yang tidak bisa dimasukkan dalam kategori
kanan atau kiri. Pada masa ini, kemunculan imajinasi-imajinasi politik alternatif
bermunculan seiring dengan kekecewaan akan pemerintah pada saat ini.
Keistimewaan Yogyakarta adalah pembayangan akan sebuah sistem
politik alternatif. Yang dimaksudkan sebagai alternatif adalah sebuah sistem
pemerintahan yang bersih dari praktek-praktek negatif pemerintahan seperti
korupsi yang justru subur saat pemerintah bekerja atas nama demokrasi.
Representasi raja yang masih campur tangan dalam urusan pemerintahan, diyakini
bisa menjadi pilihan alternatif untuk mengurangi praktek-praktek negatif tersebut.
Argumen ini dikembangkan oleh para penggerak pro-penetapan dengan
83Nikolas Rose. Power of Freedom, hlm 11.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 138
memaparkan bukti-bukti tentang ‘prestasi’ bersih Yogyakarta dalam hal korupsi
dan hal-hal seperti pendidikan, anti-kekerasan, dan multikulturalisme. Walaupun
tidak bisa mendefinisikan rumusan alternatifnya, masyarakat dihadapkan pada
pilihan yang menarik tentang bentuk pemerintahan.
Yang terjadi saat ini adalah berkembangnya dukungan untuk bentukbentuk pemerintahan alternatif. Jika dulu keberadaan monarki menunjukkan
adanya feodalisme yang diyakini menjadi budaya politik yang anti demokrasi, saat
ini justru menjadi pilihan untuk membendung pengaruh-pengaruh negatif dari
modernisme. Yang terbaca adalah, adanya pergeseran dari yang tadinya terkesan
negatif menjadi lebih terkesan positif. Justru, tantangannya pada gagasan
mengenai bentuk pemerintahan yang mengelaborasi tema-tema globalisasi dan
lokalisasi.
Bertolak dari pemahaman bangsa sebagai sebuah komunitas reka bayang,
konstruksi kebangsaan Indonesia masih tetap berlangsung. Bangsa lebih tepat
dikatakan sebagai komunitas yang (masih) membayangkan (communities which is
still imagining) dalam proses membayangkan komunitas besar yang ideal
(imagining community). Kebangsaan Indonesia yang representasinya muncul dari
penafsiran atas nasionalisme, demokrasi, dan dasar-dasar negara.
Oleh karena itu, menjadi hal yang wajar saat sekelompok warga asal Papua
mendukung penetapan. Bagi mereka musuh besar mereka sama yaitu pemerintah
pusat yang sudah dirasuki ideologi asing. Menurut mereka, untuk bisa menjamin
kesatuan sebagai sebuah Negara yang multi bangsa, sistem demokrasi harus
disusun sedemikian rupa menjadi demokrasi kesukuan. Pernyataan mereka
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 139
mencerminkan adanya pembayangan mengenai Indonesia yang tidak lazim bahwa
setiap daerah berhak mempunyai kekhususan berdasarkan tradisi masing-masing.
Namun, yang menarik dicermati adalah, pemahaman mengenai bangsa dan
Negara menjadi tidak linear.
Konsepsi bangsa dan negara tidak selalu harmonis seperti rel kereta api.
Dalam berbagai negara di dunia, persitegangan ini terjadi, yang kemudian
memunculkan konflik. Terciptalah sistem-sistem baru hasil dari penggabunganpenggabungan unik, seperti satu bangsa dua negara seperti China dengan
Hongkong atau satu negara dengan dua bangsa seperti Belgia dengan dikotomi
rakyatnya yang berbahasa Belanda dan Perancis. Maka, menjadi wajar bahwa di
beberapa negara, ada sistem yang
sengaja dibuat untuk mengakomodasi
perbedaan dalam konflik. Ada bangsa tanpa negara, negara tanpa bangsa, negara
dengan banyak bangsa, dan satu bangsa yang berbagi negara.
Fenomena keistimewaan Yogyakarta mengembangkan pemaknaan baru
dalam mendefinisikan bentuk-bentuk pemerintahan yang tidak lazim. Hal ini yang
diperjuangkan oleh kelompok-kelompok lokal, sebuah peluang bagi monarki
untuk hidup dalam sebuah republik. Bentuk monarki untuk level daerah juga ada
di Malaysia yang merupakan gabungan negara-negara bagian berbentuk kerajaan.
Melalui tegangan-tegangan yang terjadi antara kepentingan daerah dengan
pemerintah pusat, pengecualian sistem hukum diciptakan. Hal ini seperti yang
terjadi di Aceh, saat pergolakan senjata diakhiri dengan kesepakatan untuk
menciptakan sistem hukum yang berbeda. Aceh mempunyai kewenangan untuk
mengatur daerahnya sendiri dengan ketentuan-ketentuan khusus. Dengan begitu,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 140
tercipta kategori sistem pemerintahan yang umum dan khusus di propinsipropinsi. Hal serupa juga terjadi di Papua. Seiring berjalannya waktu, konstruksikonstruksi mapan soal pemerintahan mulai dipertanyakan. Benarkah sistem ini
ideal? Pertanyaan semacam ini menjadi dorongan bagi kelompok-kelompok lokal
kedaerahan untuk mempertanyakan sistem pemerintahan yang tidak cocok dengan
situasi dan kondisi setempat.
Penelitian
soal
Keistimewaan
Yogyakarta
masih
memungkinkan
dikembangkan lagi. Dengan sudut pandang Kajian Budaya, Keistimewaan
Yogyakarta menjadi ranah yang cukup luas untuk dianalisis. Pertama, peran para
‘pejuang keistimewaan’ paska diresmikannya UUK menjadi tema menarik dalam
penelitian. Dengan meneliti para aktivis pro penetapan, maka akan diketahui
dalam ranah apa saja mereka mengartikulasikan keistimewaan dalam situasi yang
berbeda. Kedua, penelitian tentang bagaimana masyarakat, baik pemerintah
daerah dan kelompok-kelompok masyarakat yang mencoba menafsirkan bentukbentuk keistimewaan penting dilakukan. Konsep keistimewaan masih menjadi
lentur. Konsep ini menjadi ranah dimana setiap pihak di dalamnya memainkan
peranan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 141
DAFTAR PUSTAKA
Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta, and Pusat Studi Kebudayaan UGM.
Menjadi Jogja: Menghayati Jati Diri dan Transformasi Yogyakarta.
Yogyakarta: Panitia HUT ke-250 Kota Yogyakarta, 2006.
Anderson, Benedict R. O'G. Komunitas-komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist
Press & Pustaka Pelajar, 2001.
—. Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Yogyakarta: Mata
Bangsa, 2000.
Atmakusumah, ed. Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan
Hamengku Buwono IX. edisi revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2011.
Barker, Chris. Cultural Studies: Theory & Practice. 3rd. London: SAGE
Publications Ltd., 2008.
Baskoro, Haryadi, and Sudomo Sunaryo. Catatan Perjalanan Keistimewaan
Yogya: Merunut Sejarah, Mencermati Perubahan, Menggagas Masa
Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
—. Wasiat HB IX: Yogyakarta Kota Republik. Yogyakarta: Galang Press, 2011.
Bei, Tato, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Kantor Galang Press
(Baciro), Yogyakarta, (14 Desember 2011).
Billig, Michael. "Rhetorical Psychology, Ideological Thinking, and Imagining
Nationhood." In Social Movements and Culture, edited by Bert
Klandermans, & Hank Johnston, 64 – 81. Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1995.
Degey, Lechzy, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Babarsari, Yogyakarta,
(1 Mei 2011).
Degey, Lechzy, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Babarsari, Yogyakarta,
(21 Mei 2011).
Eko, Sutoro. “Membuat Keistimewaan lebih istimewa.” Dalam Membongkar
Mitos Keistimewaan Yogyakarta, disunting oleh Abdur Rozaki, & Titok
Hariyanto. Yogyakarta: IRE, 2003.
Fasseur, C. “Dilemma zaman kolonial: Van Vollenhoven dan perseteruan antara
hukum adat dan hukum Barat di Indonesia.” Dalam Adat dalam Politik
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 142
Indonesia, disunting oleh Jamie S. Davidson, David Henley, & Sandra
Moniaga, 57-76. Jakarta: KITLV & YOI, 2010.
Felicianus, Julius, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Kantor Galang
Press, Baciro, Yogyakarta, (14 December 2011).
Foucault, Michel. Kegilaan dan Peradaban. . Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002.
—. Pengetahuan dan metode. Yogyakarta: Jalasutra, 2011.
—. Arkeologi Pengetahuan. . Yogyakarta: IRCiSoD, 2012.
—. Discipline and Punish. London: Allen Lane, 1977.
Foucault, Michel. “Kuasa Pastoral dan Rasio Politik (1979).” Dalam Agama,
Seksualitas, Kebudayaan, disunting oleh Jeremy R Carette, 193 – 224.
Yogyakarta: Jalasutra, 2011.
—. Wacana Kuasa/Pengetahuan. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002.
Hadiwijoyo, Surya Sakti. Menggugat Keistimewaan Yogyakarta: Tarik ulur
kepentingan, Konflik elite, dan Isu perpecahan. Yogyakarta: Pinus Book
Publisher, 2009.
Hamengku Buwono X. “Kenapa Keistimewaan DIY harus dipertahankan?”
naskah dengar pendapat dengan DPR RI. t.thn.
Houben, Vincent J.H. Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 18301870. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002.
Jae Bong Park. Preventing Ethnic Violance in Indonesia: Civil Society
Engagement in Yogyakarta during The Economic Crisis of 1998. PhD
Thesis, University of New South Wales, 2008.
"jogja hip-hop foundation dianugerahi duta nagari Ngayogyakarta Hadiningrat."
n.d.: http://www.cekricek.co.id/musik/item/753/.
Johnston, Hank. In A Methodology for Frame Analysis: From Discourse to
Cognitive Schemata, edited by Bert Klandermans, & Hank Johnston, 217240. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1995.
Kartodirdjo, Sartono. Tjatatan tentang segi-segi messianistis dalam sejarah
Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1959.
Kartodirdjo, Sartono, A. Sudewo, and Suhardjo Hatmosuprobo. Perkembangan
Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 143
"Kecewa RUUK DIY Wali Kota Turunkan Bendera Setengah Tiang." n.d.:
http://www.tempo.co/read/news/2010/12/12/177298330/.
Kendall, Gavin, and Gary Wickham. Using Foucault’s Methods. London: Sage
Publications Ltd., 1999.
Kusno, Abidin. Penjaga Memori: Gardu di Perkotaan Jawa. Yogyakarta: Ombak,
2007.
Lofland, John. "Charting Degrees of Movement Culture: Task of The Cultural
Cartographer ." In Social Movements and Culture, edited by Hank
Johnston, & Bert Klandermans, 188-. Minneapolis: University of
Minnesota Press, n.d.
Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya 3. Warisan Kerajaan-kerajaan
Konsentris. Jakata: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Maksum, Irwan Ridwan. "Otonomi Yogyakarta." In Monarki Yogya
Inskonstitusional?, edited by Aloysius Soni BL de Rosari, 159-163.
Jakarta: Penerbit Kompas, 2011.
Masudi, Wawan. “Komodifikasi Identitas: Reproduksi Wacana Asli dan
Pendatang dalam Debat Keistimewaan DIY.” Dalam Politik Identitas:
Agama, Etnisitas, dan Ruang/Space dalam Dinamika Politik di Indonesia,
disunting oleh Widya P. Setyanto, & Pulungan Halomoan. Salatiga:
Percik, 2009.
Melucci, Alberto. "The Process of Collective Identity ." In Social Movements and
Culture, edited by Hank Johnston, & Bert Klandermans, 41-64.
Minneapolis: University of Minnesota Press, 1995.
Moedjanto, G. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987.
Moedjanto, G. "Eksistensi Daerah Istimewa Yogyakarta." In Monarki Yogya
Inskonstitusional?, edited by Aloysius Soni BL de Rosari, 13-16. Jakarta:
Penerbit Kompas, 2011.
—. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1994.
—. Suksesi dalam Sejarah Jawa. Yogyakarta: Penerbitan USD, 2002.
Mulyadi, interview by Leo Budi Setiawan. Yogyakarta, Godean, Sleman, (2009).
OngHokHam. Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis
Nusantara. Jakarta: Penerbit Kompas, 2002.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 144
OngHokHam. "Merosotnya Peranan Pribumi dalam Perdagangan Komoditi."
Prisma XII no 8 (Agustus 1983).
—. Rakyat dan Negara. Jakarta: LP3ES & Penerbit Sinar Harapan, 1983.
Panitya Peringatan Kota Jogjakarta 200 tahun. Kota Jogjakarta 200 tahun.
Yogyakarta: Panitya Peringatan Kota Jogjakarta 200 tahun– Sub Panitya
Penerbitan, 1956.
Pour, Julius. “Sultan Yogya 40 Tahun Bertakhta.” Dalam Sepanjang Hayat
bersama Rakyat: 100 tahun Hamengku Buwono IX, disunting oleh Julius
Pour, & Nur Adji, 48-60. Jakarta: Penerbit Kompas, 2012.
Purwanto, Bambang. “Keistimewaan yang sarat beban sejarah.” Dalam
Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta, disunting oleh Abdur
Rozaki, & Titok Hariyanto, xi-xxiv. Yogyakarta: IRE, 2003.
Rose, Nikolas. Powers of Freedom: Reframing Political Thought. Cambridge:
Cambridge University Press, 2004.
Rozaki, Abdur, dan Titok Hariyanto, . Membongkar Mitos Keistimewaan
Yogyakarta. Yogyakarta: IRE, 2003.
Sagrim, Hamah, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Asrama Mahasiswa
Papua, Muja-Muju, Yogyakarta, (5 November 2011).
Soemardjan, Selo. Selo Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas
Bambu, 2009.
Soewarno, P.J. "Keistimewaan Yogyakarta." In Monarki Yogya
Inskonstitusional?, edited by Aloysius Soni BL de Rosari, 17-29. Jakarta:
Penerbit Kompas, 2011.
Soewarno, P.J. "Sultan HB X dan Jabatan Gubernur." In Monarki Yogya
Inskonstitusional?, edited by Aloysius Soni BL de Rosari, 134-137.
Jakarta: Penerbit Kompas, 2011.
Sri Paku Alam VIII. “Kontak dan Kerja Sama Erat Menyatukan Kesultanan dan
Pakualaman.” Dalam Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan
Hamengku Buwono IX, disunting oleh Atmakusumah, 308-313. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2011.
"Stefanus Widihasto Wasana Putra." n.d.
http://www.pemilu.asia/?opt=3&s=6&y=2004&id=39989.
Suara Merdeka. “Buku Pisowanan Ageng Menuai Kritik.” 14 Oktober 2003:
http://www.suaramerdeka.com/harian/0310/14/dar16.htm.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI 145
Supangat, Agus, ed. Sejarah Maritim Indonesia: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa
dalam Proses Integrasi Bangsa (sejak zaman prasejarah hingga Abad
XVII) . Semarang: Pusat Kajian Sejarah dan Budaya Maritim Asia
Tenggara, Universitas Diponegoro Semarang, 2003.
Swidler, Ann. "Cultural Power and Social Movements." In Social Movements and
Culture, edited by Hank Johnston, & Bert Klandermans, 25 – 40.
Minneapolis: University of Minnesota Press, 1995.
Syafifudin, Demang, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Baciro,
Yogyakarta, (16 Desember 2011).
Wahyukismo, Heru. Keistimewaan Jogja vs Demokratisasi. Yogyakarta: Bigraf
Publishing, 2004.
Wasana Putra, Widihasto, interview by Leonardo Budi Setiawan. Kantor Galang
Press, Baciro, Yogyakarta, (December 14, 2011).
—. "Press Release Kirab Budaya Pengukuhan Yogyakarta Kota Republik ." n.d.
http://www.facebook.com/notes/widihasto-wasana-putra/release-kirabbudaya-pengukuhan-yogyakarta-kota-republik-selasa-4-januari-2011s/494628347660.
Yunianto, Tri. Daulat Raja Menuju Daulat Rakyat: Demokratisasi Pemerintahan
di Yogyakarta. Solo: Cakra Books, 2010.
Download