PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI RELASI KUASA DALAM DINAMIKA WACANA DAN GERAKAN KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA Tesis Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Oleh Leonardo Budi Setiawan 096322002 Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2013 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI RELASI KUASA DALAM DINAMIKA WACANA DAN GERAKAN KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA Tesis Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Oleh Leonardo Budi Setiawan 096322002 Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2013 i PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI ii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI iii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI iv PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI v PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI I Believe. vi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PENGANTAR Rasanya, sampai pada titik ini, banyak sekali pihak yang saya ucapkan terimakasih. Menuliskan lembar ini menjadi bagian tersulit dibanding dengan menuliskan lembar-lembar lain dalam tesis ini. Tapi, justru bagian inilah yang terpenting karena tanpa keberadaan pihak-pihak yang telah membantu saya, tesis ini tidak pernah akan terwujud. Pertama, saya sangat bersyukur karena keputusan saya mendaftar Program Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, sangat didukung oleh keluarga. Keluarga saya (Bp. Drs. A. Ngadina Hadiwiratmo, Ibu C.A. Siti Bugiati, S.Pd., G. Irawan Setyanto H., serta keluarga besar) adalah rumah (house sekaligus home), tempat saya beristirahat saat lelah dengan kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, keluarga kedua saya yaitu gerombolan sahabat yang mungkin menjadikan rumah saya sebagai rumah kedua. Untuk Fransisca Emi Hartanti yang telah menemani selama hamper tujuh tahun, selesainya tesis ini berarti menjadi tahap selanjutnya untuk perjalanan kita. Saya mengucap terimakasih untuk para pengajar di IRB yang saya jumpai di dalam kelas (Dr. J. Haryatmoko, SJ; Dr. Katrin Bandel; Dr. Celia Lowe, Dr. George J. Aditjondro; Dr. St. Sunardi; Y. Devi Ardhiani, M.Hum; Dr.G. Budi Subanar, SJ; Dr.Ishadi SK; Dr. Budiawan; Dr. Hary Susanto, SJ). Saya juga sangat berterima kasih dengan para staff; Mbak Henkie, Mbak Desy, dan Mas Mulyadi yang selalu ramah. vii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Secara khusus saya mengucapkan terimakasih pada Romo Banar (Dr.G. Budi Subanar, SJ ) dan Romo Budi (Dr.Alb.Budi Susanto, SJ) yang telah membaca dan mengkritik ratusan halaman tulisan yang telah saya ketik. Kritik para pembimbing tersebut membuat saya semakin terlatih untuk menulis. Pendewasaan oleh kritik adalah hal yang saya dapatkan dari proses ini. Maka, saya baru mengerti bahwa kerja penelitian yaitu: kecermatan dalam pengamatan dan pembacaan, ketekunan dalam pemilahan dan pemilihan, serta ketertiban dalam penulisan dan pelaporan. Penulisan Tesis ini tidak akan pernah terjadi jika tanpa Pak Widihasto yang bersedia meluangkan waktunya. Wawancara dengan beliau membuat saya menemukan banyak informasi yang kemudian saya kembangkan sebagi temuan data. Saya mengucap terimakasih pada beliau yang juga telah mengantarkan saya kepada informan-informan lain. Pembelajaran saya di IRB tidak hanya membuat saya mendapatkan banyak ilmu tapi juga persahabatan. Saya bersyukur telah mempunyai kawan-kawan satu angkatan; Abed, Agus, Mei, Rino, Probo, Virus, Vita, Iwan, Herlin, Mbak Lulud, Anes, Lusi, Eli, Titus. Tuhan memberkati dan menjaga langkah kalian. Saya merasa, selesainya Tesis ini bukanlah sebuah hasil akhir sejak saya mulai menuliskannya dua tahun yang lalu. Tesis ini adalah sebuah awal penelitian akan sebuah tema yang telah membuat saya gelisah selama beberapa tahun terakhir. Hal yang sangat berharga dari proses ini yaitu: ‘Menulis adalah bekerja untuk keabadian’. viii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI ABSTRAK Leonardo Budi Setiawan (2013). Relasi Kuasa dalam Dinamika Wacana dan Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Yogyakarta: Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Wacana Keistimewaan Yogyakarta secara umum ditafsirkan sebagai Penetapan raja-raja di Yogyakarta menjadi gubernur dan wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Wacana ini membuat adanya dorongan kelompokkelompok masyarakat yang kemudian disebut Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Dinamika gerakan ini berkembang di tengah konflik penafsiran tentang sejarah Yogyakarta. Di tengah polemik ini, penafsiran mengenai makna Keistimewaan Yogyakarta semakin berkembang. Semua penafsiran tersebut menggunaakan penafsiran sejarah. Oleh karena itu, menjadi penting untuk mengetahui genealogi keistimewaan Yogyakarta sebagai upaya untuk memberikan penafsiran secara kritis tentang tema ini, bukan sekedar menjadikan sejarah sebagai alat legitimasi. Dalam realitas yang terjadi dalam gerakan keistimewaan, dinamika yang tercipta adalah penciptaan teknologi politik tertentu yang bertujuan mendapatkan dukungan rakyat untuk memperkuat daya. Di sisi lain, ada hubungan-hubungan unik yang tercipta di tengah resistensi di dalam gerakan sosial. Oleh karena itu, analisis relasi kuasa ini diharapkan bisa memberikan kontribusi bagi kajian terhadap fenomena gerakan politik lokal dan hubungannya dengan sistem pemerintahan. Kata Kunci: Wacana, Kuasa, Gerakan, Genealogi, Teknologi Politik ix PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI ABSTRACT Leonardo Budi Setiawan (2013). Power Relation towards the dynamics of discourse and movement of Yogyakarta Speciality. Yogyakarta: Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. The Discourse of the Specialness of Yogyakarta is commonly interpretated as establishment of Kings of Yogyakarta as governor and vice governor of The Special District of Yogyakarta. This discourse has raised massive groups called The Movement of the Specialness of Yogyakarta. The movement dynamics has developed in the midst of conflict to interpret the history of Yogyakarta. The polemics are raised in the interpretation about the meaning of the Specialness of Yogyakarta. Thus, every argument based on the matter of history. Therefore, understanding the genealogy is very significant as an effort to make a critical interpretation. Then, history is not about legitimation. Based on the experience in the movement, there was a creation of certain Tecnology of Politics in order to gain people’s support. In other dimension, unique relations were created in the resistence. This analysis of the relation of power is aimed to give contribution towards studies of local political movement and its relation to government. Keywords: Discourse, Power, Movement, Genealogy, Technology of Politics x PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL ............................................................................................. i LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. ii LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii PERNYATAAN KEASLIAN TESIS .............................................................. iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ............................. v MOTTO ` ........................................................................................................ vi KATA PENGANTAR .................................................................................... vii ABSTRAK ......................................................................................................... ix ABSTRACT ........................................................................................................ x DAFTAR ISI .................................................................................................... xi BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A. Latar Belakang ............................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6 D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 7 E. Kerangka Teoritis ........................................................................................ 8 xi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI F. Tinjauan Pustaka....................................................................................... 12 G. Metodologi Penelitian ................................................................................ 16 H. Skema Penulisan ........................................................................................ 17 BAB II. SUAKA KEDAULATAN................................................................... 18 A. Otoritas Bertingkat ................................................................................... 19 1. Perebutan Pusat Kekuasaan ..........................................................................21 2. Negara Vasal di Jawa.....................................................................................25 3. Kontrak Politik ..............................................................................................27 B. Raja di dalam Republik .............................................................................31 C. Mempertanyakan Daerah Istimewa .........................................................32 D. Lahirnya Gerakan ......................................................................................34 1. Mobilisasi Massa. ............................................................................................36 2. Terbentuknya Dikotomi Sosial. .......................................................................45 BAB III. MENGUATNYA KELOMPOK PRO PENETAPAN ....................48 A. Gelombang Baru Pro Penetapan...............................................................52 1. Konsolidasi antar Pihak. ..................................................................................52 2. Aktor-aktor Gerakan. .......................................................................................60 3. Kelompok Elit Gerakan. ..................................................................................64 xii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI B. Mengembangkan Ideologi Keistimewaan ................................................65 1. Budaya Adiluhung. ..........................................................................................67 2. Negara Berdaulat .............................................................................................68 3. Jasa Besar Sang Raja .......................................................................................68 C. Siasat Perlawanan Gerakan ......................................................................70 1. Koalisi Taktis ...................................................................................................70 2. Memancing Media dengan Aksi Simbolik ......................................................75 3. Reproduksi Sejarah ..........................................................................................78 4. Penciptaan Musuh Bersama .............................................................................82 BAB IV. RELASI KUASA ................................................................................88 A. Negara dan Kedaulatan ............................................................................94 1. Kedaulatan Semu .............................................................................................95 2. Bom Waktu Kolonial: Dualisme. ....................................................................98 3. Pergeseran Kuasa Jawa. .................................................................................103 4. Kontrak (Politik) Pernikahan .........................................................................106 5. Renegosiasi Kontrak: Politik Balas Budi ......................................................111 B. Pemerintah dan Rakyat ...........................................................................116 1. Hubungan Rakyat dan Raja ...........................................................................116 2. Fundamentalisme Baru ..................................................................................118 xiii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 3. Kelas Priyayi Baru .........................................................................................121 4. Menguasai rakyat ...........................................................................................122 5. Mitos Penjajah untuk Mobilisasi massa ........................................................125 C. Meributkan Wacana Kebenaran ............................................................128 1. Menafsir Demokrasi ......................................................................................128 2. Wajah Jahat Liberalisme ................................................................................132 BAB V. PENUTUP ..........................................................................................138 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................141 xiv PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu sesi, saat sidang kabinet pada tahun 2010 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berujar, “Namun, negara kita adalah negara hukum dan demokrasi sesungguhnya. Oleh karena itu, nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan karena tentu tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi”. Tiba-tiba, pernyataan ini menjadi perhatian media. Tema Keistimewaan Yogyakarta menjadi “bola panas” yang dilontarkan presiden tahun itu. Paska pernyataan tersebut, berbulan-bulan sesudahnya, gelombang protes dan aksi massa terus bergulir. Di Yogyakarta, tema keistimewaan mulai menjadi perhatian publik pada tahun 1998, tepat peristiwa reformasi yang memicu berkembangnya aspirasi yang sebebas-bebasnya, muncullah kelompok-kelompok masyarakat yang mendukung terpusatnya jabatan politik dengan posisi kultural raja di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Singkatnya, posisi gubernur sudah seharusnya dimiliki oleh raja yang berkuasa turun-temurun. Pertanyaan tentang bentuk Keistimewaan Yogyakarta ini pertama kali muncul saat meninggalnya Sultan Hamengku Buwono (HB) IX pada tahun 1989. Ada problematisasi terkait dengan posisi gubernur yang setelah meninggalnya HB IX. Masalah ini tidak berlangsung lama setelah Adipati Paku Alam (PA) VIII yang tadinya adalah wakil Gubernur, bergeser menjadi pejabat Gubernur. 10 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2 tahun sesudahnya, status keistimewaan mulai benar-benar dipertanyakan ketika PA VIII meninggal tahun 1998. Saat itu PA VIII menjabat sebagai Gubernur Yogyakarta, menggantikan posisi HB IX yang meninggal. Dalam masa pemerintahan baru paska Orde Baru, tercetus ide dari pemerintahan pusat untuk mencalonkan figur lain, lepas dari kedua pribadi HB X maupun PA IX. DPRD propinsi DIY sempat mengadakan pemilihan untuk menentukan jabatan gubernur. Dorongan kuat untuk memperjelas keistimewaan Yogyakarta terlihat dari menguatnya mobilisasi massa pada tahun 1998. Seiring dengan terbukanya kebebasan beraspirasi paska Reformasi 1998, kelompok-kelompok masyarakat di Yogyakarta mengorganisir massa untuk menyatakan tuntutan agar jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY dipegang oleh dua raja yang secara kultural masih mempunyai kharisma yang kuat. Paska pengerahan massa yang diorganisir oleh perangkat desa pada tahun 1998, mobilisasi massa terus terjadi. Momentum suksesi jabatan gubernur dan wakil gubernur menjadi saat yang tepat bagi ribuan massa untuk menyampaikan protes. Pengembangan gagasan tentang Keistimewaan Yogyakarta menjadi semakin kompleks. Banyak pengembangan gagasan dengan perspektif historis, hukum, dan politik. Tema ini tidak sekedar menjadi persoalan teknis suksesi jabatan gubernur dan wakil gubernur. Berkembanglah ragam kajian yang multiperspektif untuk mengeksplorasi legitimasi-legitimasi fundamental tentang Keistimewaan Yogyakarta dan derivasi penafsirannya. Pada perkembangannya, dikenal istilah Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Saat perhatian publik meningkat atas isu ini, media massa PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 3 memunculkan istilah pro penetapan untuk menyebut pihak-pihak baik pribadi maupun kelompok yang beraspirasi bahwa esensi dari keistimewaan adalah penetapan Sultan HB dan Adipati PA yang bertahta sebagai gubernur dan wakil gubernur. Istilah ini masih terkesan ambigu. Mengingat konsep keistimewaan masih menjadi area luas, banyak pihak bisa menafsirkan arti maupun mengusulkan bentuk-bentuk Keistimewaan Yogyakarta. Oleh karena itu, perlu penyebutan yang lebih relevan dan spesifik untuk menunjuk pada aktor-aktor tertentu. Maka, sebutan Pro Penetapan dan Pro Pemilihan pada akhirnya tercipta menjadi dua dikotomi yang meramaikan perdebatan keistimewaan ini. Yang lebih marak yaitu arus pewacaanaan Keistimewaan Yogyakarta yang semuanya menggunakan perspektif historis. Mendadak, sejarah menjadi sudut pandang yang terkesan mutlak untuk melihat esensi Keistimewaan Yogyakarta. Bambang Purwanto (2003) mengatakan bahwa tema Keistimewaan Yogyakarta telah terbebani oleh sejarah. Artinya, dalam problematika tentang Keistimewaan Yogyakarta, semua argumentasi mendasarkan pada penafsiran atas sejarah.1 Dari sisi pewacanaan, Keistimewaan Yogyakarta adalah telah menjadi spektrum yang berkembang. Walaupun pada awalnya, wacana ini ditanggapi oleh publik pada tahun 1998 dengan fokusnya pada penentuan jabatan gubernur dan wakil gubernur, pembahasan tentang Keistimewaan Yogyakarta menjadi lebih meluas. Semakin banyak pihak yang mencoba menggali bentuk-bentuk alternatif keistimewaan yang tidak terkait dengan politik praktis penentuan jabatan kepala 1Dalam “Keistimewaan yang sarat beban Sejarah,” sebagai pengantar dalam buku Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta yang diterbitkan oleh para peneliti IRE, Bambang Purwanto mengungkapkan bahwa cara berpikir untuk memahami eksistensi Provinsi DIY telah “terjebak dalam perangkap sejarah”. Sejarah tidak dilihat sebagai alat untuk memahami perubahan dan kesinambungan secara prosesual tapi lebih menjadi beban. Lihat: Bambang Purwanto (2003). “Keistimewaan yang sarat beban sejarah,” dlm. Rozaki, Abdur & Hariyanto, Titok (ed.). Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta. Yogyakarta: IRE, hlm. xi - xxiv. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 4 daerah/gubernur Maka benarlah apa yang diungkapkan oleh Rose (2004) dalam The Power of Freedom bahwa imajinasi politik saat ini penuh dengan percampuranpercampuran yang tidak biasa dan aneh sehingga banyak hal tidak akan relevan lagi dimasukan dalam kategori-kategori politik yang konvensional. Terkait dengan Gerakan Keistimewaan Yogyakarta, kelompok masyarakat ini tidak bisa ditempatkan dalam kategori politik tertentu seperti ekstrem kiri atau kanan. Gerakan Keistimewaan Yogyakarta melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat, tapi pada saat bersamaan gerakan ini juga mendukung kekuasaan lokal sebagai alternatif yang terkesan bersebrangan dengan pemerintah pusat. Anderson (2001) melalui bukunya yang fenomenal Imagined Communities, mengatakan bahwa bangsa adalah kumpulan komunitas yang merumuskan diri mereka. Apa relevansi pernyataan Anderson ini? Penafsiran historis yang menjadi dasar argumentasi kelompok-kelompok dalam tubuh besar Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Sejarah kemudian menjadi pintu masuk untuk menafsirkan konsep bangsa dan negara. Artinya, sampai pada saat ini, persoalan definisi tentang bangsa, negara, ataupun negara-bangsa masih belum selesai dijawab tuntas, atau tidak akan pernah pernah tuntas. Lebih dalam lagi, melalui sejarah, berkembang pertanyaan-pertanyaan tentang bangsa dan negara untuk menyelesaikan persoalan politik lokal di Yogyakarta. Masalah dinamika politik lokal sangat memberikan pengaruh yang luas yang cepat menyebar. Van Klinken (2010) membeberkan fakta bahwa eksistensi kesultanan di Yogyakarta memberikan inspirasi bagi kesultanan-kesultanan lain di PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 5 Indonesia untuk mendapatkan legitimasi politik yang lebih luas dengan mendapatkan posisi sebagai kepala daerah. Dari gejala ini terbaca bahwa ada dorongan untuk mempertaruhkan modal kultural di ranah kekuasaan untuk mendapatkan modal politik. Di sisi lain, banyak yang berpendapat bahwa wacana ini bukan sekedar isu otonomi daerah yang juga terjadi di daerah lain. Soewarno (2011) mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk keistimewaan Yogyakarta terletak pada ranah: kepemimpinan, pertanahan, pariwisata, pendidikan, dan kebudayaan. Pada lima bentuk ini, bentuk pertama hanya ada di Yogyakarta. Sedangkan, pada bentuk yang lain bisa terjadi di daerah-daerah lain. Jadi, menghilangkan bentuk pertama dari lima ragam keistimewaan ini sama saja dengan menghilangkan status keistimewaan Yogyakarta.2 Penelitian ini tidak bermaksud untuk memberikan solusi praktis atau kesimpulan legal-yuridis, namun lebih dekat mengungkap dinamika wacana dan gerakan serta hubungan rumitnya dalam relasi kekuasaan. Di tengah ragam penelitian tentang keistimewaan Yogyakarta, penulisan penelitian ini mengambil fokus pada terciptanya relasi kuasa dalam gerakan sosial dan wacana yang membentuknya. Dengan catatan khusus, perspektif Foucault diaplikasikan untuk melihat hubungan-hubungan kuasa ini. Lebih khusus tentang gagasan soal negara ataupun bangsa, selalu menarik mengingat bahasan ini menjadi berkembang. Benedict Andeson melalui Imagined Communities memberikan penjelasan bahwa negara (state) bukanlah bangsa 2P.J. Soewarno. “Sultan HB X dan jabatan gubernur,” dlm. Monarki Yogya Inskonstitusional?, Jakarta: Penerbit Kompas, hlm 134. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 6 (nation). Sedangkan bangsa adalah sebuah komunitas yang dibayangkan (imagined community) oleh sejumlah orang yang merasa diikat oleh sejarah, bahasa, budaya, dan teritori yang sama. Dikenal pula negara bangsa (nation-state) yang menjadi umum kita kenal saat ini, dimana kebangsaan menjadi sumber pembentukan suatu organisasi negara yang dijalankan oleh aparatur. Sudut pandang dalam penulisan ini kurang dikembangkan oleh penulisanpenulisan kajian-kajian Keistimewaan Yogyakarta yang cenderung terseret dalam kotak dikotomi ‘pro’ dan ‘kontra’, dengan terburu-buru memberikan solusi-solusi praktis soal penentuan jabatan gubernur dan wakil gubernur sebagai pintu akhir model keistimewaan. Disisi lain, penulisan ini adalah suatu upaya untuk tidak menyerah pada definisi-definisi kaku, yang pada hakikatnya definisi selalu berkembang dan tidak pernah selesai. B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana genealogi Wacana Keistimewaan Yogyakarta? 2. Bagaimana mekanisme-mekanisme kuasa pada konstelasi antar subyek? 3. Bagaimana produksi pengetahuan soal kebenaran? C. TUJUAN PENELITIAN 1. Menjabarkan perkembangan wacana kedaulatan monarki di Jawa, khususnya di Yogyakarta dari masa pra-kolonial, kolonial, dan paskakolonial untuk mencermati hubungan-hubungan kekuasaan yang melingkupinya. Pemaparan ini sekaligus memberikan alternatif cara membaca sejarah secara kritis dengan metode genealogi agar masa lalu PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 7 menjadi pengetahuan yang menjadi pijakan untuk masa kini dan kebijakan masa depan, bukan sekedar legitimasi politik. 2. Memaparkan bagaimana dinamika Gerakan Keistimewaan Yogyakarta yang terwujud melalui kelompok Pro Penetapan saat mempengaruhi pewacanaan tentang Yogyakarta. Pemaparan ini sekaligus membongkar bagaimana sebuah gerakan menciptakan strategi, teknik, dan mekanisme kuasa sebagai perwujudan perlawanan terhadap pemahaman dan pihak tertentu yang bersebrangan. 3. Mengurai bagaimana produksi pengetahuan tentang kebenaran dalam konteks relasi kuasa yang terwujud melalui hubungan-hubungan rumit antara Wacana Keistimewaan Yogyakarta, bertumbuhnya Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. D. MANFAAT PENELITIAN Bagi pengembangan Kajian Budaya dan ilmu sosial-humaniora yaitu ikut mengaplikasikan sudut pandang keilmuan dalam melihat fenomena masyarakat. Secara khusus, penelitian ini penting bagi kajian politik lokal untuk memperkaya sudut pandang saat melihat fenomena sosial-politik dan kemunculan sebuah gerakan sosial. Untuk masyarakat yang ingin lebih memperdalam pengetahuan mengenai sejarah Yogyakarta, penulisan ini bisa menjadi alternatif. Sedangkan, bagi pihakpihak yang terlibat dalam penentu kebijakan, penelitian ini bermaksud memberikan kontribusi pemahaman agar ada sudut pandang yang kritis. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI E. 8 KERANGKA TEORITIS Foucault menawarkan sudut pandang yang cukup luas untuk menganalisis wacana dengan cara menggambarkan strukturnya dan membedah aspek-aspeknya. Formulasi teori ini bertujuan menjabarkan bagaimana perspektif wacana, kuasa, dan pemerintahan yang berlangsung dalam problematika Keistimewaan Yogyakarta. Foucault mengungkap bahwa kuasa terwujud dalam pengetahuan, yang menjadi dasar menentukan kebenaran. Pengetahuan adalah sebuah sistem yang menggerakkan dan mengatur prosedur yaitu; produksi, regulasi, distribusi, sirkulasi, dan tindakan-tindakan pewacanaan. Pengetahuan dengan sengaja diciptakan untuk menguasai dengan dijadikan alat untuk menaklukkan. Misalnya, pengetahuan tersebut menjadi legitimasi bagi kelompok tertentu untuk menguasai kelompok lainnya. Cara bekerja kekuasaan dalam pengetahuan adalah penggolongan normal dan abnormal. Sekelompok orang normal dengan dalil ilmiah, menentukan norma dan menyingkirkan abnormalitas. Orang-orang yang dianggap abnormal menjadi obyek terdominasi. Mereka menjadi sasaran dari praktek-praktek normalisasi melalui institusi atau pengetahuan tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan mendefinisikan dikotomi kaku sehingga kekuasaan terbentuk menjadi permainan benar dan salah. Sifat kuasa itu menyebar, tidak tunggal. Daya-daya kuasa ada di setiap hubungan-hubungan sosial. Kuasa tidak hanya daya yang mensubordinasi sekelompok orang atau institusi-institusi yang beroperasi di ranah politik. Kuasa PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 9 juga dipahami sebagai sebuah proses yang menggerakkan dan mengaktifkan bentuk-bentuk aksi, relasi atau susunan sosial. Menganalisis dengan sudut pandang Foucault yaitu berpikir secara konstruktivistik terhadap pengetahuan dengan membedah bangunan pengetahuan tertentu. Hubungan erat antara kekuasaan dan pengetahuan menunjukkan adanya problematisasi dalam setiap aspek kehidupan. Problematisasi tersebut tidak alamiah melainkan konstruksi dari relasi kuasa yang membingkainya secara historis. Oleh karena itu Foucault menawarkan suatu metode yang disebut genealogi. Genealogi adalah alternatif pendekatan atau cara berpikir dengan cara menyusun konstitusi objek dengan latar belakang sejarah yang kemudian membentuk konsep yang ada pada saat ini.3 Singkatnya, genealogi dimaknai sebagai berikut; 1) Metode penelusuran historis. Metode ini tidak bertujuan untuk mengetahui jalinan sejarah yang linear dan evolutif. Sebaliknya, genealogi berurusan dengan pengetahuan yang spesifik dan terkait lokalitas tertentu. 2) Penelusuran sejarah yang investigatif. Genealogi tidak menaruh perhatian pada sejarah subyek yang seakan berkembang alamiah, sebagaimana menjadi ciri khas penelusuran sejarah pada umumnya. Genealogi justru mencurigai semua hal yang seakan-akan sudah lazim. 3) Sejarah masa kini. Genealogi tidak sekedar menarasikan sejarah, tapi sejarah menjadi alat untuk menelusuri masa kini. Foucault sendiri merumuskan tujuan genealogi yaitu pengungkapan karakter masa kini yang berkait erat antara pengetahuan dengan aksi politik. 3Michel Foucault. “About the Beginnings of the Hermenuetics of the Self: Two Lectures at Dartmouth.” Political Theory (1993): 198-227. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 10 Sebenarnya Foucault mengungkap dua manfaat genealogi. Pertama, mengetahui masa kini dengan memahami produksi-produksi pengetahuan yang menjadi karakter realitasnya. Kedua, dengan genealogi, realitas ini ditransformasikan dengan membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam pemikiran dan tindakan. Seakan Foucault ingin menganjurkan untuk melihat realitas masa kini dan merefleksikannya dengan mempertanyakannya. Dalam genealogi, Foucault menaruh perhatian pada teknik atau teknologi, yaitu mekanisme yang tersusun dalam praktek-praktek untuk membentuk subyek dengan pengelolaan atau manipulasi tertentu. Foucault menyatakan (1993: 203) bahwa ada tiga tipe utama teknik, yaitu; 1) teknik-teknik yang membuat seseorang untuk memproduksi, mentransformasi, dan memanipulasi banyak hal, 2) teknikteknik yang membuat seseorang menggunakan sistem tanda, 3) teknik-teknik untuk menentukan perilaku orang-orang untuk mencapai tujuan tertentu. Teknikteknik ini disebut; teknik produksi, teknik manipulasi objek, teknik signifikansi atau komunikasi, dan teknik dominasi. Teknik tersebut misalnya terwujud dalam pernyataan-pernyataan yang secara lisan maupun tulisan yang mewakili pendapat resmi. Teknik-teknik ini terangkai bersama dalam relasi yang kompleks. Melalui analisis pada teknik-teknik, mekanisme-mekanisme penting untuk mengartikulasikan kuasa yang menyusun subyek agar tersubyektivasi. Maka, menjadi penting untuk menengarai teknik-teknik ini serta mekanismenya. Caranya, dengan mengurai teknologi politik yaitu; teknik, strategi, dan rasionalitas suatu pihak tertentu. Teknologi politik ini bisa diketahui dengan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 11 Pendisiplinan adalah tujuan yang ingin dicapai dari aplikasi teknologi diri. Daya-daya pendisiplinan tersebar dimana saja untuk mengorganisir dan mengatur ‘tubuh-tubuh’ individu agar rapi dan teratur. Teknik ini nampak dalam keseharian seperti yang terlihat dalam sekolah, rumah sakit, penjara, dan barak militer, yaitu saat subyek diproduksi seakan-akan mereka yang mengatur diri mereka sendiri untuk melayani tujuan tertentu. Jadi, dengan mengetahui teknik-teknik yang bekerja untuk ‘membentuk’, sehingga kita memahami bagaimana kita hidup dan berpikir. Teknik-teknik ini membentuk subyek dengan: 1) memproduksi dan mengorganisir lingkungan dimana para individu hidup, 2) menyusun sistem simbol yang signifikan dengan tujuan memaksa individu untuk menciptakan pemahaman yang masuk akal untuk diri mereka sendiri berdasarkan skema konseptual tertentu, dan 3) menekan dengan kontrol langsung terhadap aksi dan kebiasaan manusia dengan cara yang akhirnya membentuk pengalaman keseharian, tingkah laku, dan kebiasaan individu dalam konteks masyarakat tertentu. Teknik pembentukan diri pasti terjadi dalam setiap peradaban. Teknikteknik ini terbentuk nyata menjadi prosedur yang menganjurkan atau menetapkan aturan-aturan tertentu untuk membentuk individu dalam rangka untuk membentuk identitasnya, mengelolanya, dan merumuskannya dalam istilah-istilah tertentu (Foucault 1997: 87). Proyek yang ingin dicapai oleh Foucault dengan mengurai teknik-teknik pembentukan diri yaitu kembali pada tujuan genealogi, memahami sejarah pembentukan subyek yang selalu terkait dengan konteks wacana kuasa yang membentuknya. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI F. 12 TINJAUAN PUSTAKA Musim semi penerbitan tema Keistimewaan Yogyakarta mulai marak paska reformasi. Beberapa peneliti menuliskan Yogyakarta dengan sudut pandang sejarah, hukum, dan pemerintahan. Tinjauan ini menjabarkan tentang beberapa penelitian yang relevan. Dari berbagai terbitan, saya membuat beberapa pengelompokan berdasarkan tendensi argumennya. Pertama, argumen yang tegas memberikan kesimpulan bahwa pemaknaan utama atas Keistimewaan Yogyakarta yaitu pada penetapan Sultan Hamengku Buwono X dan dan Adipati Paku IX Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY. Kedua, argumen-argumen yang tidak secara jelas menyatakan pendapat soal penetapan. Ketiga, argumen yang menyatakan bahwa konsep keistimewaan tidak ditafsirkan sebagai penetapan gubernur dan wakil gubernur. Demokratisasi adalah salah satu kata kunci dalam penulisan tema Keistimewaan Yogyakarta. Heru Wahyukismoyo (2004) dalam Keistimewaan Jogja vs Demokratisasi menjabarkan tentang proses demokratisasi di dalam Kasultanan Yogyakarta melalui beberapa fase, yang secara signifikan dirintis oleh Sultan HB IX di lingkup istana. Sebelumnya, sebuah karya yang terkenal telah ditulis oleh Selo Soemardjan, yaitu Perubahan Sosial di Yogyakarta. Dalam karya tulis tersebut, Soemardjan merinci bagaimana demokratisasi mengalami perubahan dalam konteks birokrasi. Walaupun pemerintahan Sultan HB IX melakukan perubahan birokrasi, saat memasuki masa republik, perubahan terjadi lagi terutama dalam birokrasi pemerintahan masyarakat desa.4 4Selo Soemardjan (2009). Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas Bambu PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 13 Penulisan dengan perspektif yang lebih kritis tentang demokratisasi adalah buku berjudul Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta. Buku yang ditulis oleh para peneliti pemerintahan tersebut memberikan gambaran bahwa isu ini tidak semata-mata soal kepemimpinan raja-raja yang mempunyai hak khusus sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui penetapan. Ada tiga isu pokok, yaitu posisi kraton dalam konstelasi politik daerah, politik pertanahan, dan otonomi daerah. Dengan eksplisit, dinyatakan pula bahwa, posisi gubernur dan wakil gubernur yang dipilih melalui pemilihan adalah salah satu bentuk dari demokratisasi.5 Dimensi politik identitas juga mulai dibicarakan. Gejala primordialisme mulai meningkat. Kesadaran akan identitas menjadi orang Yogyakarta memicu berkembangnya kelompok dari kawasan pedesaan. Paguyuban-paguyuban perangkat desa menyatakan bahwa keistimewaan adalah urusan warga asli. Mulai tercipta dikotomi identitas kultural antara warga asli dan pendatang.6 Ragam kajian tentang daerah mengungkapkan bahwa gejolak-gejolak antara pemerintah pusat dengan daerah, bermula dari reformasi 1998 yang membuka saluran aspirasi sebesar-besarnya setelah runtuhnya Orba. Kelompokkelompok yang mempunyai karakteristik dan tujuan beragam mulai bermunculan. Mereka mempengaruhi perbincangan politis soal negara dan demokrasi. Gagasan 5Lihat: Abdur Rozaki & Titok Hariyanto(ed).2003. Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta. Yogyakarta: IRE. 6Wawan Mashudi. 2009. “Komodifikasi Identitas: Reproduksi Wacana Asli dan Pendatang dalam Debat Keistimewaan DIY,” dlm. Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang/Space dalam Dinamika Politik di Indonesia dan Asia Tenggara. Salatiga: Percik. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 14 tentang bangsa, negara, dan daerah mulai dipertanyakan dengan gugatan atas identitas, legitimasi negara, penindasan kultural, dan penjajahan politis. Beberapa peneliti menjabarkan tentang fenomena menguatnya kekuatan politik terwujud melalui Gerakan Adat untuk merebut kekuasaan di tingkat lokal. Beragam komunitas adat melakukan resistensi dengan berkoalisi. Gejala ini terlihat dari terbentuknya AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).7 Ada kekecewaan terhadap model-model universal kemajuan yang terwujud dalam proyek-proyek politik seperti Nasionalisme dan Sosialisme. Chaney (1994) dan Jameson (1998) mengungkapkan gerakan adat yang muncul di berbagai penjuru Indonesia mencerminkan putaran balik budaya (cultural turn) dalam dunia intelektual. Keragaman budaya dipertahankan dan menyebabkan pergeseran politik praktis. Situasi ini memunculkan simpati pada kelompok-kelompok berbasis indigenitas dan etnisitas. Masyarakat lokal menghidupkan kembali simbol-simbol budaya sebagai resistensi pada kuasa negara dan ideologi pembangunan Orba. Kebangkitan para raja ini menciptakan ranah dimana saling tarik ulurnya kaum komunitarian dan kaum liberal. Dalam Kembalinya Para Sultan: Pentas Gerakan Komunitarian dalam Politik Lokal (van klinken, 2010) terungkap bahwa para raja memainkan peran simbolik dalam dinamika politik daerah. Para intelektual kelas menengah di daerah-daerah melakukan renegosiasi kekuasaan. Yang direnegosiasi yaitu kompetensi birokratis, kekuasaan politik, pengaturan ekonomis, dan redefinisi identitas kelompok. Dengan perubahan 7Henley& Davidson. “Konservatisme Radikal: Aneka Wajah Politik Indonesia,” dlm. Politik Lokal di Indonesia, hlm. 1. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 15 politik dan ekonomi yang cepat ini, mereka mengkonseptualkan diri mereka, keterikatan pada daerah, dan hubungannya dengan Indonesia.Walaupun tercipta bentukan identitas daerah yang unik, pada saat yang sama terwujud sebuah budaya nasional. Maka, munculah ambivalensi, kompleksitas, dan kontradiksi. Problema politik Identitas muncul di kajian-kajian tentang Mentawai dan Minangkabau. Myrna Eindhoven (2007) menuliskan bahwa etnisitas mulai menjadi motif dalam perubahan politik. Saat desentralisasi dimulai, orang-orang Mentawai asli mengambil kesempatan untuk mencapai tujuan politik.Ideologi etnik ‘asli’ kemudian menjadi senjata ampuh.8 Franz dan Keebet von BendaBeckman (2007) menulis tentang sistem adat nagari di Minangkabau yang melibatkan para aktor politik daerah dan partisipan di tingkat propinsi, nasional, dan internasional. Hal ini menunjukkan bahwa nagari sangat signifikan bagi konstruksi identitas Minangkabau.9 Nordholt menulis tentang Ajeg Bali (ketahanan Bali). Perubahanperubahan politis di Bali ini dilihat dalam konteks Indonesia secara luas.10 Ekspresi atas perbedaan-perbedaan di masing-masing daerah ini dinyatakan dengan cara yang serupa (Nordholt: 2007). 8Myrna Eindhoven. 2007 “Penjajah Baru? Identitas, Representasi, dan Pemerintahan di Kepulauan Mentawai Pasca Orde Baru,” dlm. Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken (ed.). Politik lokal di Indonesia. Jakarta: KILTV & YOI, hlm. 87 – 115. 9Franz & Keebet von Benda-Beckman. 2007. “Identitas-identitas Ambivalen: Desentralisasi dan Komunitas-komunitas Politik Minangkabau,” dlm. Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken (ed.). Politik lokal di Indonesia. Jakarta: KILTV & YOI, hlm. 543 – 576. 10Henk Schulte Nordholt. 2007. “Bali: Sebuah Benteng Terbuka,” dlm. Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken (ed.). Politik lokal di Indonesia. Jakarta: KILTV & YOI, hlm. 505 – 542. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI G. 16 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian kualitatif ini adalah penelitian menggunakan analisis wacana kuasa dengan perspektif Foucauldian. Dua pendekatan diaplikasikan sekaligus yaitu pengamatan langsung dan analisis wacana. Sumber data terdiri dari dua sumber yaitu: 1) hasil wawancara dengan nara sumber, beberapa aktivis gerakan serta dilengkapi dengan catatan lapangan. sumber-sumber kepustakaan berupa literatur historis tentang sejarah Yogyakarta, dan 2) Sumber literatur mengenai informasi tentang pergerakan kelompok penetapan. Teknik Pengumpulan Data menggunakan dua pendekatan yaitu; 1) Wawancara mendalam dan Pengalaman langsung di lapangan. 2) Pengumpulan literatur data historis dan dan informasi tertulis tentang kejadian-kejadian tertentu dari media massa dan dokumen-dokumen. Teknik pengolahan data menggunakan metode analisis wacana kuasa Foucauldian. Sebagaimana diungkapkan oleh Foucault, untuk mengetahui teknologi politik, analisis harus memilah dan menempatkannya dalam ranah-ranah khusus yang terkait dengan pengalaman fundamental tertentu.11 Oleh karena itu, dari berbagai data yang terkumpul saat penelitian, akan dipilih dan dipilah menjadi narasi peristiwa, kejadian, dan pemikiran tertentu. Narasi tersebut yang menjadi pijakan untuk menganalisis dengan memetakan mekanisme kuasa yang bekerja 11Disampaikan oleh Foucault dalam kuliah terbuka tentang Kuasa Pastoral dan Rasio Politik, , “Kuasa Pastoral dan Rasio Politik” (1979). Dlm Carette, Jeremy R. (ed.). Agama, Seksualitas, Kebudayaan (terj.). Yogyakarta: Jalasutra., hlm 195. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI H. 17 SKEMA PENULISAN Penyajian tulisan hasil penelitian berjudul Relasi Kuasa dalam Dinamika Gerakan dan Wacana Keistimewaan Yogyakarta ini dibagi atas lima bab. Sistematika penulisannya sebagai berikut : Bab I yaitu Pendahuluan yang mencakup Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Tinjauan Pustaka, dan Metodologi Penelitian. Bab II berjudul Suaka Kedaulatan, menuliskan lingkup historis tentang sejarah kedaulatan dan pemerintahan di Yogyakarta. Bab ini menarasikan sejarah kerajaan di Yogyakarta yang bertransformasi dari waktu ke waktu. Bagian akhir bab ini menceritakan hasil penelusuran saya tentang narasi awal mula terbentuknya Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Bab III berjudul Menguatnya Kelompok Pro Penetapan, memaparkan hasil temuan data penelitian. Bab ini adalah deskripsi mengenai kejadian tertentu dalam kelompok Pro Penetapan yakni Sekber Keistimewaan. Bab IV, Relasi Kuasa, adalah tulisan analisis atas temuan data. Penulisan analisis ini dibagi dalam beberapa bagian yang disesuaikan dengan ranah-ranah yang lebih spesifik. Bab V menjadi penutup sekaligus Refleksi kritis saya sebagai seorang peneliti. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 18 BAB II SUAKA KEDAULATAN Selama ini sejarah menjadi argumen utama untuk memperdebatkan eksistensi Keistimewaan Yogyakarta. Tanpa bermaksud menjadikan sejarah sebagai kata keramat, sejarah akan menjadi kata kunci untuk menelusuri perkembangan makna.12 Perdebatan mengenai Keistimewaan Yogyakarta terkesan menjadi bagaimana menafsirkan sejarah. Hal ini wajar, karena status daerah istimewa sangat terkait dengan eksistensi monarki yang hidup di Jawa selama ratusan tahun. Maka, deskripsi historis ini menjadi proses awal untuk menelusuri keberadaan Yogyakarta yang berlatar belakang kerajaan. Oleh karena itu, sangat signifikan untuk menjabarkan sejarah pemikiran tentang kedaulatan monarki di Yogyakarta yang kemudian tetap bertahan pada paska pemerintahan kolonial, serta saat ini hidup dalam ruang lingkup kedaulatan negara penerus (Successor State) bernama Republik Indonesia. Bab ini menjadi penjabaran historis tentang bagaimana struktur pemerintahan di masa lalu yang memungkinkan kedaulatan ‘saling menumpuk’. Artinya, tidak ada kekuasaan yang benar-benar tunggal dan tak terbagi. Dalam konteks hubungan politik, kerajaan penguasa tidak pernah benar-benar ‘mematikan’ kerajaan-kerajaan kecil. Penguasa baru yang datang silih berganti 12Kalimat ini mengembangkan argumen Bambang Purwanto (2003) yang berpendapat bahwa kata “sejarah” menjadi kata keramat kedua setelah “istimewa” dalam polemik soal Keistimewaan Yogyakarta. Lihat: Purwanto, Bambang. 2003. “Keistimewaan yang sarat beban sejarah,” dlm. Rozaki, Abdur & Hariyanto, Titok (ed.). Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta. Yogyakarta: IRE, hlm. xi - xxiv. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 19 selalu menempatkan penguasa-penguasa dalam suatu suaka yang memungkinkan mereka tetap hidup untuk memerintah rakyat dan mengelola wilayahnya. Penelusuran latar belakang historis ini dimulai dengan narasi tentang keberlangsungan kedaulatan negara13 pada kerajaan-kerajaan di Jawa. Kemudian, berlanjut dengan mengungkap kembali momentum-momentum yang terkait dengan pengalaman problema kekuasaan serta bagaimana hubungan antar pihak yang tercipta di dalamnya. A. OTORITAS BERTINGKAT Bahasan tentang Yogyakarta ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Kasultanan Yogyakarta)14 yang telah hidup lama. Kerajaan ini mempunyai akar sejarah ratusan tahun dengan kerajaankerajaan Jawa jauh sebelum kapal-kapal dagang bangsa Eropa memasuki Nusantara. Otoritas bertingkat sudah menjadi model politik sejak masa pra 13Istilah‘negara’ dalam penulisan ini mempunyai dua pemahaman. Pertama, negara (state) untuk menyebut sebuah entitas politik termasuk kerajaan-kerajaan Jawa di masa lalu. Kedua, negara (dalam cetak miring) adalah sebuah konsep wilayah dalam Kerajaan Mataram. Negara adalah wilayah inti yang secara langsung diperintah oleh raja-raja Mataram. Istilah ini juga untuk membedakannya dengan satuan wilayah lainnya seperti negaragung, mancanegara, dan pasisiran. 14Nama awal dari Yogyakarta adalah Ngayogyakarta. Pada perkembangannya penyebutan disederhanakan menjadi Yogyakarta saja. Tidak ada sumber-sumber yang memberikan penjelasan tentang penghilangan suku kata Nga- tersebut. Maka, dalam penulisan ini, nama Yogyakarta yang digunakan sebagai penyebutan. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 20 kolonial. Perwujudan otoritas bertingkat oleh beberapa penulis sejarah dikatakan serupa dengan konsep otonomi daerah.15 Sistem bertingkat tersebut terdapat dalam keberadaan daerah-daerah otonom dalam suatu Negara yang berbentuk kerajaan. Daerah otonom ini disebut sebagai vasal yang artinya daerah taklukkan atau Negara jajahan. Kata ini juga mempunyai makna sebagai suatu kondisi yang menunjukkan keterikatan atau ketertundukkan.Vasal juga bisa diartikan sebagai daerah yang mempunyai pemerintahan otonom (Dependent State) atau Negara Bagian. Hubungan antara vasal dengan kerajaan induk diwujudkan dengan kesetiaan vasal melalui persembahan upeti dan audiensi (pisowanan) secara periodik. Kesetian vasal pada negara induk diukur dari upeti (wulu bekti) yang diberikan oleh para raja vasal saat pisowanan tiga kali setahun pada saat hari besar keagaamaan (Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulud Nabi).16 Ketidaksediaan vasal dalam pemenuhan dua hal ini berarti ada dorongan untuk separatisme yang berujung pada konflik atau perpecahan.17 Onghokham menuliskan bahwa kekuasaan pemerintah pusat pada masa kerajaan-kerajaan Jawa hanya menjadi ‘bayangan’. Artinya, pemerintah pusat, 15Agus Supangat dkk (2003) dalam Sejarah Maritim Indonesia: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa dalam Proses Integrasi Bangsa (sejak zaman prasejarah hingga Abad XVII), menuliskan bahwa akar konsep tentang otonomi daerah sudah ada sejak masa pra kolonial. Gejala ini nampak dalam hubungan pusat dan daerah. Pada masa lalu, daerah tidak mengalami pengaturan langsung dari pusat pemerintahan. 16Lihat Penjelasan Sartono Kartodirdjo, Alexander Sudewo, dan Suhardjo Hatmosuprobo (1987) dalam Perkembangan Peradaban Para Priyayi. Secara praktis, kekuasaan raja di pusat hanya menjadi ‘bayangan’ karena tidak memegang kendali secara langsung atas pemerintahan kerajaan-kerajaan kecil di luar negaragung. 17Agus Supangat (ed.). 2003. Sejarah Maritim Indonesia: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa dalam Proses Integrasi Bangsa (sejak zaman prasejarah hingga Abad XVII), hlm. 7-11. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 21 yakni raja dan para pejabat tidak memerintah secara langsung vasal sebagai daerah taklukan. Daerah-daerah pinggiran tersebut tidak pernah ‘menikmati’ pemerintahan oleh raja di pusat pemerintahan melainkan secara nyata, rakyat mengalami pemerintahan raja-raja kecil yaitu para bupati.18 1. Perebutan Pusat Kekuasaan Perebutan kekuasaan menjadi hal yang lazim dalam dinamika politik kerajaankerajaan di Jawa sebelum masa kolonial. Perebutan kekuasaan berbentuk penaklukaan dan suksesi. Jadi, pada dasarnya, di dalam peta kekuasaan di Jawa, benih-benih perebutan kekuasaan sudah berkembang. Setelah melemahnya kerajaan besar Majapahit, Demak yang awalnya hanya sebuah kabupaten atau kadipaten19 yang statusnya hanya vasal, mempunyai kesempatan untuk berkembang. Demak menjadi kerajaan dan Majapahit runtuh. Kerajaan Islam pertama di Jawa ini menandai babak baru dalam sejarah kekuasaan di Jawa.20 18Ong Hok Ham (1983). Rakyat dan Negara, hlm. 90. 19Kabupaten adalah sebuah daerah yang dipimpin oleh seorang Bupati, sedangkan Kadipaten dipimpin seorang Adipati. Di dalam literatur tentang kerajaan-kerajaan Jawa, sebagaimana dituliskan oleh Sartono Kartodirdjo dkk dalam Perkembangan Peradaban Priyayi daerah-daerah yang dipimpin oleh raja-raja bawahan ini disebut Kabupaten, kadang juga disebut kadipaten. Setelah memasuki masa terpecahnya kerajaan Mataram menjadi empat kerajaan, kabupaten adalah daerah pemerintahan yang dibawah Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman. 20Semenjak pemerintahan Raden Patah dengan Kerajaan Demak di Jawa, ada empat kejadian penting yaitu; 1) Mulainya jaman kerajaan Islam. 2) Berdirinya masjid Demak. 3) Penyerangan pasukan Jawa atas orang Portugis di Malaka. 4) Mulainya tradisi restu para wali bagi seseorang untuk menjadi raja di Jawa. Lihat: Moedjanto (2002) Suksesi dalam Sejarah Jawa, Yogyakarta: Penerbit USD. hlm. 43 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 22 Suksesi biasanya menjadi benih perpecahan. Menurut catatan sejarah, konflik sering bermula dari perselisihan antar bangsawan dan berujung pada perang perebutan tahta. Selain itu, dengan melemahnya kerajaan induk, kerajaankerajaan vasal yang hidup di lingkup kekuasaannya berpeluang untuk mengambil alih pusat kekuasaan.21 Sebuah vasal bisa menguat dan mengalahkan negara induknya. Hal ini menjadi titik pijak untuk problema-problema kekuasaan yang terjadi setelahnya. Kejadian melemahnya Majapahit yang digantikan oleh Demak terulang kembali. Demak mulai melemah, membuat Pajang, salah satu vasalnya, untuk mengambil alih pusat kekuasaan. Pusat kekuasaan Jawa yang berpindah ke Pajang ternyata tidak abadi. Berkembanglah Mataram, dengan rajanya Panembahan Senapati yang membalikkan keadaan. Mataram bertumbuh menjadi kerajaan yang kuat dan berhasil menaklukkan Pajang. Perpindahan pusat kekuasaan Kerajaan Mataram menjadikan Pajang dan Demak sebagai vasal. Mataram semakin menguat, pada masa Sultan Agung, pasukan Mataram melakukan penyerbuan terhadap koloni Belanda di Jayakarta (Batavia). Secara perlahan, kolonialisme menanamkan kekuasaannya dalam kerajaan-kerajaan di Jawa.22 Koloni Belanda ini awalnya adalah vasal di dalam 21Moedjanto (2002), ibid, yang secara khusus meneliti tentang sejarah suksesi pada kerajaan-kerajaan di Jawa memulai bahasannya pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Budha sampai dengan masa kerajaan-kerajaan Islam, dan datangnya kolonialisme. Bukan suatu kebetulan bahwa rentetan suksesi dari masa kerajaan ini sangat berhubungan. Dan terlihat bahwa, faktor suksesi selalu menjadi penyebab utama dari pergeseran kekuasaan kerajaan pusat ke kerajaan bawahan. 22Melalui serangkaian perjanjian-perjanjian yang terjadi pada tahun 1705, 1733, 1743, dan 1746 Mataram mulai termutilasi dengan kehilangan wilayah-wilayahnya. Dan pada akhirnya, perjanjian tahun 1749 yang ditandatangani oleh Paku Buwono II menyatakan bahwa Mataram menyerahkan kedaulatan ke tangan VOC, menandai periode pemerintahan kolonial. Lihat: PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 23 Kerajaan Mataram. Pada perkembangannya, VOC (Kompeni) berbalik menjadikan Mataram sebagai vasal (Moedjanto, 2002). Kedatangan pihak asing ini menjadi titik pijak perubahan politik di Jawa dalam hal perebutan kekuasaan. Kecenderungan berkonflik menjadi salah satu faktor lemah sehingga strategi Devide et Impera, yang memecah kekuasaan, berlaku secara efektif. Campur tangan Kompeni dalam kehidupan politik menyebabkan Mataram melemah. Kompeni memanfaatkan situasi di tengah konflik para bangsawan saat terjadi perkara suksesi, dengan memberikan dukungannya pada salah satu pihak. Pemberian dukungan ini disertai dengan perjanjian bahwa Kompeni akan mengambil alih sebagian wilayah tertentu. Kejadian inilah yang menyebabkan Mataram kehilangan daerah-daerahnya; mancanegara dan pesisiran, yang kemudian menjadi daerah administratif pemerintahan kolonial. Kerajaan Mataram juga terpecah melalui perjanjian-perjanjian politik. Pada akhirnya, daerah-daerah ini hidup dibawah kendali kompeni baik secara langsung maupun tidak langsung. Intervensi Kompeni dalam kebijakan-kebijakan pemerintahan kerajaankerajaan lokal di Jawa tidak terhindarkan lagi karena pihak asing ini menunjukkan daya tawar yang kuat dengan perdagangan dan bantuan persenjataan yang membuat pemerintah kerajaan lokal berasa bergantung pada keberadaan Kompeni. Maka, dengan mudahnya raja meminta bantuan Kompeni saat menghadapi masalah-masalah yang mengancam kedaulatan negara. Walaupun kedaulatan Mataram sudah jatuh ke tangan Kompeni, konflik internal tetap terjadi. Perjanjian politik kembali disepakati pada tahun 1755 yang Moedjanto (1987) Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram, Yogyakarta: Kanisius. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 24 disebut sebagai Perjanjian Giyanti. Hasilnya, Kerajaan Mataram dibagi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Setelah perjanjian ini, nama Mataram tidak lagi digunakan. Kompeni melarang dua pecahan kerajaan menggunakan nama Mataram dengan tujuan untuk melemahkannya (Moedjanto, 2002). Konflik bermula dari protes Raden Mas Sujono / Pangeran Mangkubumi terhadap raja Mataram, Susuhunan Paku Buwono II. Sebelumnya, telah terjadi pemberontakan oleh seorang pangeran yaitu Raden Mas Said yang dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa. Sesuai dengan janji Susuhunan PB II, Mangkubumi seharusnya mendapatkan jatah kepemilikan tanah karena telah memenangkan perang. Atas anjuran Patih Pringgalaya dan Gubernur Van Imhoff, Susuhunan PB II urung menepati janji. Hal inilah yang membuat Mangkumi bergabung dengan Said untuk memulai pemberontakan melawan kerajaan Mataram dan Kompeni. Perang 9 tahun ini berakhir dengan disepakatinya Perjanjian Giyanti. Konflik masih terjadi dan berujung pada pembagian wilayah. RM Said menuntut hak atas penguasaan wilayah. Kembali lagi, Kompeni dan perwakilan pihak-pihak yang berseteru berkumpul dalam Perjanjian Salatiga tahun 1757. Perjanjian ini menjadi legalisasi dalam pembentukan sebuah Kerajaan baru bernama Kadipaten Mangkunegaran. Pangeran Said naik tahta, bergelar Adipati Mangku Negara I yang berkuasa atas separuh wilayah Kasunanan Surakarta. Disintegrasi terjadi lagi di Kasultanan Yogyakarta. Inggris pada tahun 1813 membentuk sebuah kerajaan baru bernama Kadipaten Pakualaman, atas balas jasa kepada Pangeran Nata Kusuma yang telah membantu Pasukan Inggris PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 25 menaklukkan Yogyakarta. Pangeran Natakusuma naik tahta bergelar Paku Alam I. Sampai pada terbentuknya Kadipaten Pakualaman, kerajaan besar Mataram telah terpecah menjadi empat kerajaan dibawah subordinasi pemerintah kolonial. 2. Negara Vasal di Jawa Dalam keberadaan vasal terlihat ada jenjang hirarki dalam kedaulatan penguasa dan negara yang telah ditaklukkan. Maka, sistem ini menunjukkan adanya raja atasan dan raja bawahan. Raja atasan bisa disebut kaisar dalam kebudayaan Eropa, China atau Jepang. Sedangkan raja bawahan dalam tradisi Jawa menyebut diri mereka Adipati atau Bupati.23 Pemecahan kekuasaan melalui pembagian wilayah kerajaan membuat kerajaan-kerajaan kecil ini mempunyai pengelolaan yang rentan konflik. Walaupun Mataram sudah dibagi secara teritorial menjadi Mataram Timur (Surakarta) dan Mataram Barat (Yogyakarta), masing-masing kerajaan mempunyai wilayah enclave. Kasultanan Yogyakarta mempunyai daerah kantong di dalam wilayah Kasunanan Surakarta di sebelah timur, demikian juga sebaliknya. Moedjanto menilai hal ini adalah kebijakan kolonial yang bermaksud memecah belah Mataram agar terus berkonflik. Sedangkan Onghokham menilai bahwa pembagian wilayah yang tersebar ini menyesuaikan logika penguasaan raja-raja Jawa pada masa lalu yang menggunakan konsep cacah (keluarga petani). Seorang penguasa feodal/raja-raja kecil yaitu para pangeran dan bupati atau para 23Dalam Perkembangan Peradaban Priyayi yang ditulis oleh Sartono Kartodirjo dkk, istilah ‘bupati’ menjelaskan sebuah jabatan politik atas daerah-daerah di wilayah mancanegara dan pasisir yang tidak lagi menjadi wilayah bawahan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta tapi sudah menjadi wilayah administratif kolonial. Sedangkan ‘Adipati’ menjadi sebutan untuk gelar tertinggi yang dimiliki oleh para bangsawan di mancanegara dan pasisir. Seorang Bupati mempunyai gelar Adipati. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 26 raja yang bergelar Adipati, Susuhunan, dan Sultan memperlihatkan seberapa besar pengaruhnya dengan banyaknya jumlah pengikut. Maka, bisa dimengerti mengapa pembagian wilayah antara Yogyakarta dan Surakarta banyak enclave.24 Sebutan ‘Sultan’ sebenarnya tidak lazim untuk seorang Sultan. Baru pada saat VOC menaklukkan Mataram, gelar Sultan menjadi gelar untuk seorang Raja bawahan. Gelar yang diadopsi dari timur tengah ini diyakini sebagai gelar raja yang tinggi, melebihi gelar-gelar lain yang berkembang dalam tradisi Jawa. Gelar ini juga menjadi legitimasi bagi Kerajaan Yogyakarta untuk menyaingi Kerajaan Surakarta. Gelar ‘Sultan’ yang diperoleh dari timur tengah ini dipercaya menjadi gelar yang lebih prestisius dibandingkan dengan gelar ‘Sunan’ yang digunakan oleh raja di Surakarta.25 Untuk selanjutnya, kerajaan-kerajaan penerus Mataram (Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta serta Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman) juga menjadi negara-negara vasal dalam lingkup kekuasaan pemerintah kolonial. Ketika pemerintah kolonial berganti, mulai dari VOC (kumpeni/Kerajaan Holland), Hindia Perancis (Kerajaan Belanda-Perancis, pada masa Gubernur Daendels), EIC (East Indian Company)/Hindia Timur (Kerajaan 24Ong Hok Ham (1983) dalam “Merosotnya Peranan Pribumi dalam Perdagangan Komoditi” mengungkapkan bahwa konsep cacah ini tetap menjadi dasar dalam pembagian wilayah. Hal ini bertentangan dengan Moedjanto (2002) dalam Suksesi dalam Sejarah Jawa yang lebih menonjolkan peran kolonial dalam pembagian wilayah. Bagi Moedjanto tersebarnya wilayah enclave adalah strategi politik untuk memelihara perseteruan antara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. 25Dengan terkesan memberikan penilaian, Moedjanto (2002) dalam Suksesi dalam Sejarah Jawa mengungkapkan bahwa pemilihan gelar ‘Sultan’ oleh Pangeran Mangkubumi menempatkannya lebih unggul daripada raja Surakarta yang menggunakan gelar ‘Sunan’. Sebelumnya, saat masih melakukan pemberontakan, Mangkubumi sudah mengangkat diri menjadi seorang raja dengan gelar ‘Sunan’. Moedjanto juga memberikan penjabaran bahwa gelar Sultan dalam masyarakat Jawa saat itu menjadi sebutan untuk raja yang paling tinggi melebihi gelar lain seperti Sunan atau Panembahan. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 27 Inggris/pada masa Gubernur Rafles), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), Angkatan Darat XVI (Kekaisaran Jepang), keberadaan kerajaan-kerajaan ini tetap menjadi vasal. Pemerintah Hindia Belanda, menempatkan kerajaan-kerajaan pecahan Mataram ini pada daerah yang disesuaikan dengan sistem pemerintahan kolonial di Jawa. Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran dimasukan dalam sebuah karesidenan, yaitu Karesidenan Surakarta. Sedangkan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman berada di wilayah Karesidenan Yogyakarta.26 Kedua karesidenan ini disebut Voorstenlanden yang artinya wilayah raja-raja. Dalam prakteknya, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman tetap mempunyai struktur-struktur pemerintahan. Bersama dengan apparatus pemerintahan Hindia Belanda kedua kerajaan ini mengelola daerah karesidenan Yogyakarta. 3. Kontrak Politik Kontrak Politik ialah kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah kolonial kepada pihak kerajaan untuk menundukkannya sekaligus menetapkannya sebagai vasal. Sebuah kontrak politik ditandatangani bersama oleh seorang calon sultan dengan Gubernur Jendral VOC. Sejak penandatangan kontrak tersebut, putra 26Dalam masa pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman meleburkan kedaulatannya dalam Kasultanan Yogyakarta. Sebagai sebuah vasal yang tunduk pada Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman mempunyai dua pilihan yaitu, memilih berdaulat penuh, atau mengikuti kebijakan kerajaan induk. Konflik di kerajaan tetangga juga terjadi dengan ketidaksepahaman antara Kasunanan Surakarta dengan Kadipaten Mangkunegaran. Kadipaten Pakualaman justru meleburkan kekuasaannya kedalam Kasultanan Yogyakarta. PA VIII menyatakan bahwa integrasi Pakualaman ke dalam Kasultanan menjadi satu wilayah, tidak pernah disesalinya walaupun pernah ada yang menyatakan kritik atas keputusannya tersebut. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 28 mahkota tersebut mendapatkan hak untuk mengelola kerajaan dan diangkat menjadi raja walaupun secara resmi, kedaulatan dipegang oleh pemerintah kolonial. Singkatnya, Kontrak Politik adalah instrumen penundukan kepada sebuah negara dengan menjadikannya vasal. Sebagai sebuah kesepakatan, kontrak politik tidak menunjukkan hubungan kesetaraan. Kesepakatan ini lebih menunjukkan pola hubungan antara pemegang kuasa atasan dengan pemegang kuasa bawahan.27 Maka terlihat bahwa hubungan kerajaan-kerajaan di Jawa adalah daerah taklukan kolonial. Oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, kontrak politik disusun berdasarkan jangka waktu tertentu yang disebut kontrak panjang (korte verklaring) dan kontrak panjang disebut (lange contracten). Daerah-daerah yang mendapatkan kontrak panjang ini mempunyai struktur pemerintahan sendiri walaupun tetap dalam kontrol pemerintah kolonial. Sedangkan, vasal yang menyepakati kontrak pendek, kekuasaannya lebih terbatas. Dibalik kontrak ini tersimpan agenda tersembunyi, yaitu pengurangan wewenang raja secara perlahan. Akibatnya, sampai pada permulaan abad ke-20, hanya tersisa dua kerajaan yang mendapatkan kontrak panjang yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Kedua kerajaan ini ditempatkan dalam dua sistem pemerintahan bernama karesidenan yang diperintah oleh residen kolonial. Dengan demikian kerajaan-kerajaan yang menandatangani kontrak panjang bisa disebut ‘separuh 27Moedjanto (1994) dalam Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menegaskan bahwa Kontrak Politik ini bukanlah perjanjian antar negara merdeka. Maka menjadi jelas bahwa kontrak politik ini adalah kesepakatan antara negara/kerajaan pemenang dan negara/kerajaan yang kalah. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 29 dijajah’. Keempat kerajaan yang menempati daerah vorstenlanden ini menempati wilayah sebesar 7% di Jawa.28 Pangeran Dorojatun (Bendoro Raden Mas Dorojatun) sempat tidak menyepakati butir-butir yang tertera dalam kontrak tersebut sehingga membuat Yogyakarta mengalami kekosongan tahta selama beberapa bulan sepeninggal Sultan HB VIII. Akhirnya, kontrak tersebut ditandatangani oleh sang putra mahkota menjadi Sultan HB IX pada tahun 1940. Kontrak Politik tahun 1940 ini menjadi Kontrak Politik terakhir antara Kasultanan dengan pemerintah kolonial. Yogyakarta, sejak masa kolonial, dari HB I sampai HB IX terikat dengan kontrak politik. Kontrak ini mengandung substansi bahwa adanya pengakuan kedaulatan Kasultanan Yogyakarta oleh Belanda. Secara resmi, kedaulatan Kasultanan Yogyakarta berada dibawah ‘kekaisaran’ Belanda melalui pemerintah Hindia Belanda. Kerajaan-kerajaan eks-Mataram, seperti Yogyakarta disebut sebagai pengelola ‘titipan’ kedaulatan negara yang dipegang oleh Kerajaan Belanda. Kontrak politik pada hakikatnya cukup signifikan dalam kehidupan legalpolitis di Yogyakarta. Bahkan, awal berdirinya kerajaan Yogyakarta juga didahului sebuah kontrak politik. Jika kontrak politik disebut sebagai bentuk legitimasi. Muatannya jelas; kerajaan-kerajaan ini tidak bisa dikatakan berdaulat penuh. Kekuasaan tertinggi tetap berada pada kekuasaan yang menaunginya. 28Ungkapan “dijajah tidak langsung” tertulis dalam tulisan Mohammad Roem dalam Atmakusumah (ed.). Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. (edisi revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 30 Kedaulatan ditentukan dalam kontrak politik. Melalui kontrak politik ini, sultan diakui legitimasinya sebagai raja yang memerintah atas wilayahnya. Mekanisme pengelolaan pemerintahan dalam negara vasal disusun oleh pemerintah kolonial dengan memberikan hak pada penguasa setempat dengan penyertaan pejabat kolonial. Kerajaan mendapatkan intervensi dengan menempatkan seorang Patih yang diangkat oleh pemerintah kolonial. Seorang Patih (Pepatih Dalem), yang dalam bahasa Belanda disebut Rijks-Bestuurder mempunyai kesetiaan ganda, untuk Raja dan Gubernur Jendral pemerintah kolonial.29 Pemerintah kolonial melihat posisi ini cukup strategis sehingga merekayasa dengan kontrak politik untuk kepentingan mereka. Pembagian otoritas dalam pemerintahan monarki bisa memunculkan masalah yang rentan konflik internal. Raja sebagai kepala negara bisa berkonflik dengan Patih yang mengelola pemerintahan. Di Kasultanan Yogyakarta, pemilihan seorang Patih harus mendapatkan restu dari pemerintah kolonial. Persoalan ini pernah menimbulkan konflik antara Sultan dengan Patih yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial. Dengan tujuan untuk mengurangi campur tangan Belanda, Sultan HB IX tidak lagi mengangkat patih baru setelah patih sebelumnya meninggal. 29Sebenarnya jabatan Patih sudah ada sebelum masa kolonial. Jabatan seorang patih setara dengan Perdana Menteri di negara-negara yang masih mempertahankan bentuk monarki seperti Inggris. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI B. 31 RAJA DI DALAM REPUBLIK Narasi tentang Yogyakarta pada tahun 1946-1949 menjadi periode favorit yang menjadi perhatian para pengkaji sejarah Keistimewaan Yogyakarta. Pada narasi tersebut juga secara langsung menunjukkan peran Sultan HB IX dalam keberlangsungan pemerintahan baru Republik Indonesia saat menghadapi situasi kritis. Bagaimana peran Sultan HB IX dalam masa kritis pemerintahan Republik Indonesia ini terekam dalam buku Taktha untuk Rakyat. Dokumentasi tertulis tersebut menceritakan bagaimana pengOrbanan Sultan HB IX secara material pada tahun 1946 -1949. Bersama dengan Adipati PA VIII, kedua raja ini diyakini menjadi salah satu faktor utama penyelamat pemerintahan Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaan. Dengan melemahnya pemerintahan militer pasukan Jepang di Jawa, pemerintah-pemerintah daerah swapraja mengalami kegamangan tersendiri. Tidak ada kejelasan tentang masa depan pemerintahan di wilayah besar bekas Hindia Belanda. Yogyakarta menjadi daerah swapraja pertama yang menyatakan ucapan selamat atas terbentuknya negara Indonesia, dua hari setelah proklamasi. Lebih dari dua minggu setelahnya, dua raja di Yogyakarta ini mengeluarkan amanat bahwa ‘Nagari’ Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan sebuah Daerah Istimewa dari ‘Negara’ Republik Indonesia.30 Pernyataan ini 30Walaupun dua istilah, ‘Nagari’ dan ‘Negara’, mempunyai arti yang sama, Sultan HB IX menggunakan keduanya secara berbeda. Nagari, digunakan untuk menyebut Yogyakarta yang memang sebuah vasal. Sedangkan Negara digunakan untuk menyebut Republik Indonesia,sebagai satuan kekuasaan yang berkuasa diatasnya. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 32 menunjukkan bahwa keberadaan Yogyakarta menjadi bagian dari pemerintahan negara baru bernama Indonesia. Pada saat yang sama, Yogyakarta menjadi swapraja pertama yang menyatakan diri bergabung dengan Indonesia yang masih belum jelas peluang hidupnya karena lahir ditengah status quo. Tindakan pertama Sultan HB IX setelah menggabungkan wilayahnya ke Republik Indonesia yaitu menawarkan wilayahnya untuk ibukota negara setelah Jakarta tidak lagi memungkinkan sebagai pusat pemerintahan, mengingat sudah dikuasai pasukan Belanda. Konsekuensinya, Sultan HB IX menyediakan semua fasilitas agar pemerintahan tetap berjalan. Menurut penuturan Raja Yogyakarta ini, gaji pejabat pemerintahan Indonesia juga ditanggung oleh kerajaan. Perannya yang sangat penting dalam pemerintahan Republik Indonesia di masa kritis ini juga dihubungkan dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Selama masa Orde baru, peristiwa penyerangan kekuaatan militer Belanda di Yogyakarta ini dipolitisir oleh Presiden Soeharto. Paska lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998, sejarah kembali diluruskan dengan menempatkan pribadi Sultan HB IX sebagai pencetus gagasan peristiwa ini. C. MEMPERTANYAKAN DAERAH ISTIMEWA Di era Orde Baru, dari 27 propinsi di seluruh Indonesia, terdapat tiga propinsi yang berstatus istimewa atau khusus yaitu Daerah Istimewa Aceh (DIA), Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pada masa reformasi, dengan perubahan Undang-undang, DIA berubah menjadi Nangroe Aceh Darusalam (NAD). Otonomi khusus juga diberikan kepada PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 33 Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat. Jadi, sudah ada lima propinsi pada masa reformasi yang mempunyai status khusus atau istimewa. Struktur asli pemerintahan di Yogyakarta sudah mengalami banyak perubahan. Penyesuaian gaya pemerintahan ke dalam negara republik membuat Yogyakarta memiliki struktur pemerintahan yang sama dengan propinsi-propinsi lain. Hal ini membuat struktur birokrasi di Yogyakarta juga ‘disesuaikan’. Selo Soemardjan merekam proses perubahan tersebut melalui karyanya yang terkenal, Perubahan Sosial di Yogyakarta. Maka, birokrasi Kraton tidak lagi berlaku dan jabatan-jabatan tertentu harus bertransformasi. Pemerintah desa menjadi salah satu contoh, kepala desa yang tadinya bertanggung jawab dan mempunyai loyalitas pada Sultan. Sejak perubahan-perubahan ini, tidak ada struktur asli dalam pemerintahan kerajaan yang masih dipakai dalam pemerintahan daerah. Akhirnya, perubahan dari masyarakat monarki ke masyarakat republik, kesan lama yang masih tertinggal yaitu dua pribadi raja, HB IX dan PA VIII yang menjabat gubernur dan wakil gubernur. Maka, ditengah ketidakjelasan konsep daerah istimewa, Yogyakarta menjadi terkesan istimewa dengan kedua rajanya yang menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur. Soewarno (2011) menuliskan, pada masa Orba, pernah ada upaya untuk menghapuskan keistimewaan Yogyakarta. Gagasan yang bermula dari Presiden Soeharto ini kemudian dilaksanakan Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI melalui salah satu pasal RUU No 5/1974 yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Rumusan dalam RUU tersebut akhirnya tidak jadi disepakati karena ditolak oleh Fraksi PDI PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 34 dan Fraksi PPP. Masih ada beberapa upaya lagi untuk menghapuskan keistimewaan Yogyakarta setelahnya, saat Sultan HB IX tidak lagi bersedia menjadi Wakil Presiden dan saat meninggalnya Sultan HB IX. Muncul beberapa isu lagi untuk menghapuskan keistimewaan. Yogyakarta tidak lagi istimewa setelah PA VIII meninggal dan penggabungan DIY dengan Provinsi Jawa tengah, adalah dua rumor yang beredar. Kedua isu ini tidak menjadi kenyataan karena rejim Orba terlanjur jatuh tahun 1998 saat PA VIII masih menjabat sebagai gubernur DIY. D. LAHIRNYA GERAKAN Dalam kajian-kajian mengenai gerakan sosial, mobilisasi massa biasanya menjadi penanda penting dari lahirnya sebuah gerakan sosial tertentu.31 Walaupun fenomena mobilisasi massa tidak selalu menjadi penentu utama, keberadaan sebuah gerakan sangat dipengaruhi membesarnya mobilisasi massa. Bagi para aktivis pro penetapan, mobilisasi massa memang menjadi momentum untuk menyebut awal mula lahirnya Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Akan tetapi ada versi yang berbeda tentang kapan persisnya gerakan ini dimulai. Mulyadi, ketua Ismaya menyatakan bahwa Gerakan Keistimewaan Yogyakarta mulai lahir semenjak lahirnya Ismaya pada bulan agustus tahun 31Hank Johnston dan Bert Klandermans. 1995. “The Cultural Analysis of Social Movements,” dlm. Social Movements and Culture. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 35 1998.32 Hal ini menjadi versi yang dikritik oleh Hasto. Menurut Hasto, Gerakan Keistimewaan Yogyakarta pertama muncul pada saat pelaksanaan event yang kemudian lebih terkenal disebut Pisowanan Ageng, yang mana Hasto dan rekanrekannya ikut terlibat merencanakan acara tersebut.33 Berdasarkan dua penuturan tersebut, maka terbaca bahwa penafsiran akan terlahirnya Gerakan Keistimewaan Yogyakarta tidak hanya satu versi. Baik Mulyadi maupun Hasto yang sama-sama mendukung Sultan HB X menyatakan bahwa pergerakan awal yang mereka lakukan pada tahun 1998 menjadi titik awal dimulainya Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Pemaparan dibawah ini adalah kemunculan gerakan keistimewaan Yogyakarta sebagaimana terbaca dalam buku-buku populer yang membahas tema Keistimewaan Yogyakarta.34 Sebagaimana diungkapkan oleh buku-buku ini, pamor Sultan HB X mulai naik saat berlangsungnya gejolak mobilisasi massa yang terjadi pada bulan Mei 1998. Oleh karena itu, perihal keterlibatan Sultan HB X dalam pengendalian massa dianggap menjadi titik peristiwa penting untuk menandai Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. 32Mulyadi, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan (2009). Godean, Sleman, Yogyakarta (2009). 33Wasana Putra, Widihasto, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Kantor Galang Press, Baciro, Yogyakarta, (14 December 2011). 34Buku-buku yang ‘bertebaran’ saat mulai memanasnya tema Keistimewaan seakan menjadi bacaan wajib bagi para aktivis maupun pemerhati Keistimewaan Yogyakarta. Pewacanaan mengenai Keistimewaan Yogyakarta menjadi sangat dipengaruhi oleh narasi-narasi dalam bukubuku tersebut dan menjadi arus utama penafsiran. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 1. 36 Mobilisasi Massa35 Reformasi 1998 menandai sebuah masa transisi yang penuh ketidakpastian. Pengerahan massa di jalan menjadi peristiwa yang sangat lazim. Kelompok massa mahasiswa melakukan demonstrasi di setiap kota di Indonesia. Tidak hanya mahasiswa, jalan-jalan di seluruh kota dipenuhi massa tanpa agenda yang jelas. Dan terjadilah perusakan massal, pembakaran aset bangunan dan kendaraan, serta penjarahan.36 Tanggal 20 Mei 1998, HB IX dan PA VIII, memberikan orasi di Alun-alun utara kraton Yogyakarta. Event ini menyebabkan ribuan massa berkumpul di tempat tersebut. Diyakini oleh banyak pihak, karena peristiwa ini, Yogyakarta tidak mengalami dampak kerusakan yang lebih parah karena kumpulan massa bisa dikendalikan dan tidak sampai memperluas dampak-dampak perusakan. Peristiwa yang kemudian lebih dikenal dengan Pisowanan Ageng. Peristiwa ini menjadi titik penafsiran atas terbentuknya gerakan keistimewaan Yogyakarta. Pertama, pada momen ini, warga Yogyakarta dari berbagai elemen masyarakat tanpa terorganisir tumpah ke jalan. Dari puluhan tahun kehidupan sosial di Yogyakarta, baru pada momen tersebut muncul gerakan massa yang memobilisasi ribuan orang, meskipun peristiwa ini sangat terkait 35Pemaparan dalam Sub bab “Mobilisasi Massa” ini menjadi titik awal penafsiran tentang proses lahirnya Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Sejauh belum ada pemahaman yang pasti, saya meminjam argumen pihak-pihak yang merepresentasikan golongan penetapan sebagaimana dituliskan dalam buku-buku tentang tema keistimewaan Yogyakarta. 36Menurut catatan Sudomo Sunaryo, di Yogyakarta, amuk massa juga sudah terjadi. Perusakan terjadi salah satunya di showroom mobil Timor, yang diketahui bersama milik Tomi Hutomo Mandalaputra (Tomi Soeharto), anak Presiden Soeharto. Lihat: Baskoro, Haryadi & Sunaryo, Sudomo. 2010. Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya: Merunut Sejarah, Mencermati Perubahan, Menggagas Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 91. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 37 dengan tren demonstrasi pada tahun 1998. Kedua, faktor ketokohan dua raja di Yogyakarta sangat berpengaruh pada terjadinya pengumpulan massa. Terkesan bahwa peristiwa ini memperlihatkan pengaruh besar yang dimiliki kedua pemimpin kultural ini dalam daya tarik untuk mobilisasi massa.37 Peristiwa Pisowanan Ageng ini selalu dijadikan rujukan untuk menggambarkan bagaimana sikap hormat dan rasa tunduk kepada para raja, masih ada dalam dinamika masyarakat Yogyakarta. Terlebih lagi, ketokohan Sultan HB X yang cukup karismatik bagi masyarakat Yogyakarta. Berbagai media massa mengungkapkan bagaimana kelompok massa dapat ‘dikendalikan’ paska Pisowanan Ageng ini.38 Pisowanan Ageng sebenarnya adalah peristiwa kultural dari tradisi masyarakat feodal di Jawa pada masa lalu. Pisowanan dilakukan oleh rakyat kepada penguasa sebagai bentuk dari sikap tunduk. Dengan menyebut pengerahan ribuan massa ke Alun-alun ini sebagai pisowanan, menunjukan adanya kesan yang kuat bahwa peristiwa ini sebuah pertemuan akbar dimana rakyat menghadap raja. 37Pada tahun 2003, terbit buku berjudul Pisowanan Ageng . Buku tersebut dianggap terlalu mengagungkan peran Sultan HB X sehingga terkesan menafikan peran kelompokkelompok mahasiswa. Pada akhirnya, buku ini ditarik dari peredaran. Lihat: (Buku Pisowanan Ageng Menuai Kritik 2003/http://www.suaramerdeka.com/harian/0310/14/dar16.htm). Akan tetapi, saat memasuki masa panasnya perdebatan soal Keistimewaan Yogyakarta, perbincangan mengenai Keistimewaan Yogyakarta kembali menjadikan peristiwa Pisowanan Ageng 1998 sebagai titik tolak. 38Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo (2010) dalam Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya menuliskan bahwa sejumlah media massa baik dalam negri maupun luar negri melaporkan bahwa terkendalinya massa di Yogyakarta karena efek dari penyelenggaraan event besar Pisowanan Ageng. Semenjak peristiwa itu, perusakan-perusakan fasilitas bisa menjadi menurun. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 38 Beberapa bulan setelah Pisowanan Ageng bulan Mei 1998, PA VIII, yang menjabat sebagai gubernur DIY, meninggal dunia, menimbulkan permasalahan baru. Kekosongan jabatan memicu pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang berhak mengisi jabatan gubernur DIY. Mekanisme lama tetap dipertahankan yaitu pemilihan gubernur oleh DPRD sebagai lembaga legislatif. Ada yang tidak menyetujui kebijakan pemerintah pusat untuk menyelenggarakan pemilihan gubernur di tingkat DPRD. Persoalan ini memicu berkembangnya gerakan massa dari kawasan pedesaan. Terbentuklah Ismaya,39 sebuah asosiasi/paguyuban yang menghimpun seluruh lurah di empat kabupaten di DIY. Natasuwita, seorang lurah yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan mantan Presiden Soeharto ini, sengaja menghimpun kelompok perangkat desa untuk mendukung penetapan Sultan HB X sebagai gubernur DIY.40 Sebagai sebuah organisasi yang menghimpun pemimpin pemerintahan tingkat bawah, tentu sangat memungkinkan untuk mengerahkan massa.41 Mobilisasi tidak lagi terkesan spontan seperti yang terjadi pada Pisowanan Ageng beberapa bulan sebelumnya. Ribuan massa secara terorganisir dimobilisasi oleh para lurah ini untuk melakukan demonstrasi di pusat keramaian Kota Yogyakarta. 39Ismaya adalah akronim dari Ing Sedya Mematri Aslining Ngayogyakarta. Nama ‘Ismaya’ juga merepresentasikan seorang tokoh dalam epik wayang.Ismaya adalah seorang dewa yang menjelma menjadi manusia melalui perwujudan Semar, pelayan para ksatria. 40Sebagaimana diungkapkan Mulyadi saat mengungkapkan tujuan dibentuknya Ismaya yaitu sebagai bentuk dukungan untuk mendukung Sultan HB X sebagai gubernur DIY. (Wawancara dengan H. Mulyadi di Godean, 2009) 41Paguyuban Ismaya yang merangkum para lurah di tingkat DIY, juga memiliki underbow berupa paguyuban-paguyuban lurah di tingkat kabupaten. Paguyuban-paguyuban tersebut yaitu; Tungguljati (Bantul), Bodronoyo (Kulon Progo), Suryondadari (Sleman), Semar (Gunung Kidul). Selain itu, paguyuban lurah ini juga menjalin jejaring kerjasama dengan paguyuban-paguyuban lain yang mempunyai kemiripan karakteristik. Jejaring ini dibangun paguyuban yang merangkum para dukuh (kepala dusun). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 39 Pemicu dari gerakan para perangkat desa ini yaitu sikap Pemerintah pusat tentang penentuan gubernur DIY. Pemerintah saat itu berencana menunjuk calon lain. Ada tegangan yang terjadi antara kelompok masyarakat di Yogyakarta dengan pemerintah pusat. Ini terkait siapa yang akan mengisi jabatan gubernur. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negri (Mendagri) Syarwan Hamid sedang menyiapkan figur yang diusulkan untuk mengisi jabatan gubernur. Sedangkan, di pembicaraan yang terjadi di DPRD Yogyakarta, ada nama yang diusulkan oleh Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP). Sempat terjadi Pemilihan gubernur yang dilaksanakan di tingkat DPRD. Di sisi lain, di tingkat masyarakat, semakin membesar dukungan terhadap Sultan HB X agar menjabat sebagai gubernur Yogyakarta. Paska pengangkatan Sultan HB X sebagai Gubernur DIY, polemik bagaikan bola salju yang terus bergulir. Dua tahun setelah pengangkatan Sultan HB X sebagai gubernur, muncul tuntutan baru yaitu pengangkatan PA IX (yang menggantikan PA VIII) sebagai wakil gubernur. Paku Alam IX akhirnya mengalami pengangkatan sebagai wakil gubernur setelah melalui penetapan oleh menteri dalam negeri. Tapi sebelumnya, ribuan massa sudah mengucapkan ikrar untuk mengangkat PA IX sebagai wakil gubernur. Ribuan massa ini menyaksikan ketika seorang tukang becak yang mengikrarkan pengangkatan Paku alam sebagai wakil gubernur. Dorongan untuk merumuskan keistimewaan Yogyakarta melalui RUU keistimewaan berpijak pada UU No 3/1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Tuntutan ini memuncak dengan di bacakannya sebuah maklumat yang disebut; ‘Maklumat Rakyat Yogyakarta’ pada sebuah aksi massa. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 40 Dalam salah satu butir isi maklumat tersebut, tercantum kalimat; ‘Rakyat Yogyakarta berkeinginan untuk mempertahankan keistimewaan Yogyakarta, seperti yang tertulis dalam UU No 3/ 1950’.42 Pembacaan maklumat atas nama rakyat yang disertai aksi massa ini mendapatkan respons dari pemerintah pusat. Tak lama setelah peristiwa itu, pemerintah pusat mengeluarkan surat penetapan PA IX sebagai wakil gubernur DIY. Sampai pada titik ini, kedua pemimpin kultural ( dua raja dalam wilayah DIY) telah mendapatkan jabatan politik yang dulu juga dijabat oleh kedua pendahulu mereka (HB IX dan PA VIII). Kendati kedua raja di DIY telah mendapatkan posisi sebagai gubernur dan wakil gubernur, persoalan dalam Keistimewaan Yogyakarta belum selesai. Indonesia paska reformasi tidak seperti masa Orba. Gejala demokratisasi terjadi di setiap daerah dengan penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah).43 Para kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur) yang terpilih akan memerintah dalam waktu lima tahun (satu periode), hanya bisa memerintah satu periode lagi jika terpilih lagi dalam pilkada. Tepat pada ulang tahun HB X yang ke-62, tanggal 7 April 2007 di Pagelaran Kraton Yogyakarta, HB X membacakan sebuah orasi budaya berjudul “Meneguhkan kembali Takhta untuk Rakyat”. Dengan beberapa kalimat dalam orasinya, Sultan HB X menyatakan ketidaksediaannya menjadi gubernur lagi pada periode selanjutnya. Pernyataan Sultan ini, menimbulkan perdebatan dan pembicaraan publik. Dalam orasinya tersebut, Sultan HB X menyatakan 42Lihat; Hadiwijoyo, Surya Sakti. 2009. Menggugat Keistimewaan Yogyakarta: Tarik ulur kepentingan, Konflik elite, dan Isu perpecahan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher., hlm 167 43Akronim Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) kemudian diganti dengan Pemilukada (Pemillihan Umum Kepala Daerah) PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 41 ketidaksediaannya menjadi gubernur lagi setelah masa jabatannya sebagai gubernur habis pada tahun 2008. Pernyataan kontroversial HB X ditanggapi dengan luar biasa oleh publik. Beragam penafsiran muncul dalam menanggapi pernyataan tersebut. Mulai banyak kelompok masyarakat yang kembali mengorganisir massa. Tujuannya, untuk mempertanyakan maksud dari pernyataan tersebut.Situasi ini menjadi semakin kabur dengan tidak banyaknya HB X memberikan penjelasan soal maksud dan tujuan tentang pernyataannya tersebut. Maka terjadilah sebuah acara, dimana ribuan masyarakat datang ke kraton untuk bertemu dengan HB X. Peristiwa ini disebut sebagai pisowanan ageng. Mengingat, sebuah event yang disebut sebagai pisowanan ageng juga pernah terjadi pada tahun 1998, acara ini kemudian disebut Pisowanan Ageng II. Ribuan massa memadati kraton.44 Mulyadi bahkan pernah mengordinasi para lurah untuk melakukan boikot jika pemilukada untuk memilih gubernur dan calon gubernur tetap dilaksanakan. Tentu saja, pelaksanaan pemilukada tidak akan terjadi jika struktur pemerintahan tingkat bawah (desa) tidak beroperasi.45 Pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan untuk memperpanjang masa jabatan selama satu periode lagi. Jadi, Sultan HB dan Adipati PA masih berhak menduduki posisi sampai tahun 2011. Gerakan massa ini kemudian 44Sampai saat ini saya belum mendapatkan data tentang siapa saja yang terlibat menyelenggarakan pertemuan yang disebut sebagai Pisowanan Ageng II ini. 45Mulyadi, wawancara 2009 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 42 menyurut setelah pemerintah mengeluarkan keputusan untuk memperpanjang masa jabatan. Selama masa perpanjangan akan digunakan untuk menyusun RUUK. Bertahun-tahun pergerakan gelombang massa bisa disimpulkan dalam pola yang sama. Habisnya masa jabatan kepala daerah, desakan massa, kemudian respon pemerintah pusat yang memperpanjang masa jabatan kepala daerah. Ada tegangan antara pemerintah pusat dengan kelompok masyarakat yang menginginkan ditetapkannya Sultan HB X dan Adipati PA IX sebagai Kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa terhalang periode jabatan dan pemilukada. Sistem yang disusun dalam RUU Keistimewaan ini disusun oleh JIP (Jurusan Ilmu Pemerintahan) UGM. Draf ini pula yang menjadi acuan oleh menteri dalam negeri (pemerintah pusat) untuk membuat aturan baku terkait keistimewaan Yogyakarta. Sistem parardhya ini didasarkan pada pemahaman bahwa adanya dikotomi antara kepala daerah dengan kepala pemerintahan yang lazim ditemukan pada negara-negara yang menganut sistem pemerintahan monarki konstitusional. Pribadi seorang sultan sebagai penerus raja-raja dinasti Mataram adalah simbol sosio-kultural Jawa di Yogyakarta. Maka, sebagian masyarakat Yogyakarta menginginkan kepemimpinannya tanpa dibatasi masa jabatan. Keyakinan tentang sebuah pusat kuasa simbolik ini dipahami betul oleh semua pihak, baik pemerintah, masyarakat umum. Oleh karena itu, Sultan HB X dan Adipati PA IX tetap diberikan posisi yang signifikan sebagai pemimpin tertinggi tapi mempunyai keterbatasan khusus. Posisi ini dinamakan Parardhya, sebuah PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 43 lembaga yang terdiri dari Sultan HB dan Adipati PA yang bertahta. Lembaga ini dibatasi perannya untuk masuk ke dalam ranah politik praksis. Ternyata, kelompok-kelompok massa menolak lembaga Parardhya tersebut. Pemahaman ini mereka tolak mentah-mentah. Posisi Gubernur sebagai kepala pemerintahan harus diisi dengan orang yang sama dengan kepala daerah. Maka, Sultan HB dan Adipati PA yang bertahta harus otomatis mengisi jabatan gubernur dan wakil gubernur. Dengan menempatkan Sultan HB dan Adipati PA dalam posisi simbolik diyakini akan semakin menjauhkan interaksinya dengan rakyat. Posisi simbolik ini juga diduga akan mengurangi peran Sultan dalam pemerintahan karena perannya hanya sejauh memberikan hak veto untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur baru. Sistem pemisahan wewenang ini dianggap hanya mengulangi strategi memecah kekuasaan politik yang pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial. Pada masa kerajaan pada zaman kolonial, pemerintahan internal diperintah oleh seorang kepala pemerintahan yang disebut Patih. Dengan campur tangan pemerintah kolonial Belanda, pemilihan Patih sangat ditentukan oleh dukungan Belanda. Patih dianggap membawa kepentingan pemerintah kolonial. Kelompok pro-penetapan gelombang awal, dalam hal ini kelompokkelompok yang mewakili perangkat desa. Dilihat dari latar belakang sosiokulturnya, mereka adalah representasi masyarakat tradisional. Selain domisili mereka yang berada di kawasan rural, yang memungkinkan tradisi masih hidup dan diyakini, secara tidak langsung mereka ditempatkan pada posisi ‘penjaga PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 44 tradisi’. Bagi para pendukung wacana pemilihan gubernur dan wakil gubernur, elit desa ini memanipulasi keterikatan kultural sebagai pilihan politik. Mereka juga dimanipulasi oleh pengaruh-pengaruh luar yang menggunakan kraton sebagai satu-satunya identitas Yogyakarta.46 Dalam perkembangan sejarah, para perangkat desa adalah loyalis Sultan. Sistem pemerintahan kerajaan di masa lalu menempatkan mereka menjadi bagian dari struktur yang disebut pamong praja. Dalam perkembangannya, seiring dengan masuknya Yogyakarta sebagai salah satu propinsi dalam lingkup Republik Indonesia, membuat mereka harus mengurangi peran mereka yang signifikan dalam pemerintahan.47 Para perangkat desa mempunyai keterikatan yang kuat dengan tradisi kerajaan dan raja-rajanya. Pamong praja mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap Sultan. Walau Sultan ikut mendukung perubahan sistem pemerintahan yang mengurangi hak-hak memerintah para pamong praja, tidak muncul kritik atau gugatan terhadap Sultan. Mereka justru mengecam lembagalembaga lain. Singkatnya, Sultan tidak akan mereka gugat karena kesetiaan terhadap Raja adalah prinsip yang mereka pegang sebagai pamong praja.48 46Bagi para peneliti IRE (Institute for Research and Empowering) dalam Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta, dukungan perangkat desa ini adalah tarik menarik kekuasaan untuk memanfaatkan resources yang ada. Para elit desa ingin membangkitkan romantisme antara kraton dan desa yang sudah hilang selama lima puluh tahun. Selain itu, mereka juga menolak intervensi kabupaten ke dalam rumah tangga desa. Kewenangan kabupaten dinilai terlalu besar sehingga, para elit desa berkoalisi dengan kraton dan provinsi yang mempunyai kekuatan yang lebih besar. 47Selo Soemardjan mendeskripsikan dengan rinci bagaimana proses ini terjadi pada tahun 1950’an di Yogyakarta dengan bukunya yang terkenal, Perubahan Sosial di Yogyakarta. 48Loyalitas para perangkat desa terhadap Sultan bisa dicermati bahwa pada masa lalu, mereka menjadi bagian dari birokrasi Kasultanan yang disebut pamong praja. Dalam perkembangannya, seiring dengan masuknya Yogyakarta sebagai salah satu Provinsi dalam lingkup Republik Indonesia, membuat mereka harus mengurangi peran mereka yang signifikan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2. 45 Terbentuknya Dikotomi Sosial Istilah ‘Gerakan Keistimewaan Yogyakarta’, tidak bisa merepresentasikan semua pihak yang berpendapat, berwacana dan bersikap soal tema keistimewaan. Munculah istilah ‘pro’ dan ‘kontra’. Tapi, sebutan ‘kontra’, digunakan oleh pihak yang menamakan diri ‘pro’ untuk menyebut pihak yang bersebrangan. Di satu sisi, pihak yang mendapatkan gelar ‘kontra’ tidak menganggap sebutan tersebut relevan. Yang terjadi adalah perbedaan penafsiran dalam memaknai arti Keistimewaan Yogyakarta yang tidak semata berfokus pada mekanisme penentuan jabatan gubernur sebagai istimewanya kondisi sosio-kultural-politik, tanpa ada kaitan secara langsung dengan peran raja dalam kehidupan politik praktis49. Maka, ketika perdebatan mulai memanas, terciptalah dua istilah yang bisa menampakkan dikotomi dalam pemetaan gerakan keistimewaan. Dikotomi tersebut terbentuk melalui dua ungkapan ‘pro-penetapan’ dan ‘pro-pemilihan’. ‘Pro-Penetapan’ adalah sebutan bagi pihak-pihak yang menafsirkan keistimewaan sebagai penetapan Sultan HB dan Adipati PA yang bertahta sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY dengan tidak terhambat oleh pembatasan masa jabatan. Kemudian, ‘Pro-Pemilihan’ adalah sebutan untuk pihak-pihak yang beraspirasi dalam pemerintahan. Para perangkat desa mempunyai keterikatan yang kuat dengan tradisi kerajaan dan raja-rajanya. Sosiolog ternama Selo Soemardjan menjabarkan bagaimana loyalitas para pamong praja ini kepada Sultan. Pamong praja mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap Sultan walau beberapa kali Sultan ikut mendukung perubahan sistem pemerintahan yang mengurangi hak-hak memerintah para pamong praja. 49Lihat: Eko, Sutoro. 2003. “Membuat Keistimewaan Lebih Istimewa”, dalam Rozaki, Abdur & Hariyanto, Titok. (ed.). Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta. Yogyakarta: IRE, hlm xv – xl. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 46 bahwa keistimewaan Yogyakarta tidak dimaknai secara tunggal dan utama sebagai penetapan jabatan gubernur dan wakil gubernur.50 Presiden SBY, kabinet Indonesia Bersatu, dan Partai Demokrat menjadi pihak-pihak yang dianggap sebagai ‘golongan’ Pro Penetapan. Sebutan Pro Penetapan tidak cukup menjadi sebutan untuk mereka. Orang-orang atau lembaga yang mendapatkan gelar Pro-Penetapan juga disebut sebagai golongan liberalis. Kedua istilah ini (pro penetapan dan pro pemilihan) juga menunjukkan pada sikap personal dalam menentukan pendapat tentang makna Keistimewaan Yogyakarta. Jika ada seorang pribadi atau lembaga yang menyatakan bahwa dirinya ‘Pro-Penetapan’, maka ungkapan tersebut menunjukkan posisinya dalam perdebatan wacana ini. Paska pernyataan Presiden SBY tahun 2010, istilah ‘ProPenetapan’ lebih banyak digunakan untuk menyebut orang, kelompok, dan lembaga yang mengaspirasikan penetapan gubernur dan wakil gubernur. Sedangkan istilah ‘Pro-Pemilihan’ tidak digunakan oleh pihak-pihak yang tidak menyetujui penetapan.51 Istilah ‘Pro-Pemilihan’ menjadi populer karena publikasi media massa dan perbincangan dalam pergaulan masyarakat. Dikotomi ‘Pro-Penetapan’ dan ‘Pro-Pemilihan’ ini berkembang menjadi bangunan identitas yang tidak cukup sederhana. Istilah ini tidak hanya untuk 50Saat draf RUU sudah dibahas di tingkat DPRD, muncul polemik berkepanjangan diantara dua kubu. Mayoritas warga setuju dengan penetapan, sedangkan pihak lain yang kebanyakan pendatang, menghendaki pemilihan. Lihat Soewarno.2011. “Keistimewaan Yogyakarta”, dlm. de Rosari, Aloysius Soni BL (ed.). Monarki Yogya Inskonstitusional?. Jakarta: Penerbit Kompas, hlm. 17-29. 51Lihat buku Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta yang diterbitkan oleh IRE, lembaga penelitian yang menganjurkan diadakannya pemilihan gubernur dan wakil gubernur di DIY, tidak secara eksplisit menyebut ‘pro-pemilihan’. Demikian juga dengan terbitan lembagalembaga lain yang lebih suka menyebut sikap ini sebagai ‘pro-demokrasi’. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 47 menyebut ungkapan sikap atau pendapat pribadi. Dikotomi ini menjadi cerminan dua golongan masyarakat yang saling meliyankan. Dan, di ranah pergaulan masyarakat Yogyakarta, menjadi sulit jika seorang pribadi tidak terseret dalam arus dikotomi ini. Sebagai contoh, saya sendiri sering mendapatkan pertanyaan tentang sikap pribadi terhadap Keistimewaan Yogyakarta. “Sebenarnya, anda itu pro penetapan atau pro pemilihan?” PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 48 BAB III MENGUATNYA KELOMPOK PRO PENETAPAN Pernyataan Presiden SBY tentang ‘demokrasi’ dan ‘monarki’ menyebabkan gelombang protes di Yogyakarta. Berkembanglah unjuk rasa, kecaman, protes, tentangan, kritik dari beragam pihak, terutama orang-orang tertentu yang terlibat dalam kelompok-kelompok massa pendukung Sultan/ Kraton atau Pakualaman. Berkembang pula pendapat-pendapat yang menentang pernyataan Presiden tersebut sebagai ketidakpahaman pemerintah pusat tentang sejarah. Gejolak ini dipicu juga dengan pemberitaan media massa baik cetak maupun elektronik tentang silang pendapat soal pernyataan Presiden. Ungkapan protes juga semakin semarak pada atribut-atribut jalanan. Mendadak, bendera Haba berkibar di jalan-jalan. Bendera Haba yaitu bendera dengan logo Kraton Yogyakarta. Logo ini berbentuk sebuah mahkota dengan sayap di kedua sisinya. Dibawah mahkota terdapat dua abjad dalam alfabet Jawa; ‘Ha’ dan ‘Ba’. Haba adalah akronim dari Hamengku Buwana. Simbol ini melambangkan Kraton/Kasultanan Yogyakarta sekaligus menjadi simbol dinasti Hamengku Buwono. Saat ini simbol ini cenderung menjadi identifikasi atas identitas Yogyakarta. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 49 Logo Haba (sumber: Media Sosial, http://www.facebook.com) Bendera model ini menjadi tren. Sebelumnya, tidak banyak warga yang akrab dengan pengibaran bendera ini. ‘Upacara Bendera’ terjadi dimana-mana. Bendera tersebut terpasang di jalan-jalan, di setiap perempatan, di gardu ronda. Bendera haba mudah ditemukan di toko-toko kelontong. Para pedagang kaki lima menjualnya di pinggir-pinggir jalan. Di saat yang sama, walikota Yogyakarta, Herry Zudianto mengungkapkan keprihatinannya akan polemik keistimewaan Yogyakarta dan menganjurkan penurunan bendera merah-putih setengah tiang. Anjuran ini sebenarnya implisit. Herry Zudianto mengenakan busana tradisional Jawa dan mengibarkan bendera Merah-Putih setengah tiang.52 Aksinya ini seakan menjadi ajakan yang menginspirasi warga kota Yogyakarta dan sekitarnya, sehingga banyak ditemukan bendera merah-putih berkibar setengah tiang. Aksi walikota ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, banyak kelompok semisal kelompok dukuh maupun kelompok masyarakat tertentu yang melakukan aksi simbolik pengibaran bendera Haba dengan massa berbusana tradisional Jawa. Menjadi ironi, saat bendera haba dikibarkan sepenuh tiang, bendera Merah-Putih diturunkan setengah tiang. 52Lihat: <http://www.tempo.co/read/news/2010/12/12/177298330/Kecewa-RUUK-DIYWali-Kota-Turunkan-Bendera-Setengah-Tiang> PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 50 Herry Zudianto, walikota Yogyakarta menyelenggarakan acara pengibaran bendera setengah tiang di halaman rumahnya. Lihat: Dengarkan Aspirasi Yogyakarta, http://www.kompas.com (Senin, 13 Desember 2010) Simbol haba yang tadinya ‘sakral’ ini telah menjadi tren. Banyak orang memasang stiker haba di kendaraannya. Tema keistimewaan Yogyakarta menjadi inspirasi bagi penciptaan-penciptaan karya seni. Salah satu kelompok musik rap, Jogja HipHop Foundation (JHF) meraih popularitas karena lagunya berjudul ‘Jogja Istimewa’.53 Keistimewaan Yogyakarta sampai pada tahun tersebut tidak lagi menjadi isu yang disuarakan para demonstran atau wacana yang diperdebatkan oleh para intelektual di sebuah talk show. Keistimewaan Yogyakarta menjadi tren sosial yang terwujud dalam permainan simbolis melalui kesenian, simbol-simbol jalanan, obrolan-obrolan warung kopi, dan penciptaan-penciptaan kreatif. 53Kelompok JHF (Jogja Hiphop Foundation) adalah gabungan beberapa penyanyi rap yang menggunakan bahasa Jawa saat menyanyikan lagu-lagu mereka. Kelompok ini menyanyikan lagu “Jogja Istimewa” saat tema Keistimewaan Yogyakarta sedang menjadi perhatian publik. Lagu “Jogja Istimewa” menjadi semacam lagu jingle untuk perjuangan keistimewaan Yogyakarta. Pada akhirnya, Sultan dan Kraton Yogyakarta memberikan penghargaan terhadap kelompok ini. http://www.cekricek.co.id/musik/item/753-jogja-hip-hop-foundation-dianugerahi-duta-nagaringayogyakarta-hadiningrat.html PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 51 Pada saat itu juga beredar desain paspor ‘negara Yogyakarta’. Ada orangorang tertentu yang mendesain paspor negara Ngayogyakarta Hadiningrat. Desain ini beredar di internet. Sebagian orang dengan iseng mencetak desain ini atau menempelkan di tempat-tempat tertentu. Desain Passport Ngayogyakarta (Sumber: Jejaring sosial Facebook dan Twitter) Saat kemarahan terhadap pemerintah pusat dan Presiden SBY memuncak, jalan-jalan kota adalah galeri protes dan propaganda. Selain bendera, banyak spanduk dan poster yang mengungkap pernyataan-pernyataan tentang isu Keistimewaan Yogyakarta. “Yogyakarta siap Referendum,” adalah ungkapan yang paling populer. Spanduk dengan tulisan seperti ini, adalah spanduk pertama yang beredar di jalan-jalan Yogyakarta secara masif. Gelombang spanduk dan pamflet berikutnya sudah tidak terbendung seperti “Bergabung tak harus melebur”. Salah satu yang paling provokatif yaitu; “Jika kau tetap memaksa, maka kami memilih merdeka”. Sedangkan, “Konsisten Ijab Qobul” adalah ungkapan di spanduk yang paling banyak ditemukan. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI A. 52 GELOMBANG BARU PRO PENETAPAN Memasuki tahun 2011, Keistimewaan Yogyakarta menjadi isu yang sangat semarak. Semakin banyak kelompok masyarakat yang terbentuk untuk mendukung penetapan dan menyebut diri mereka Pro Penetapan. Selain itu, jejaring komunikasi antar kelompok mulai mengarah ke koordinasi untuk membentuk sebuah lembaga. Fokus dalam pemaparan ini yaitu keberadaan Sekretariat Bersama (Sekber) Keistimewaan. Pemilihan Sekber sebagai fokus penulisan karena terbentuknya kelompok ini yang menjadi penanda periode lanjutan dari gelombang Gerakan Keistimewaan. Sejak menguatnya Sekber pada tahun 2011, kelompok ini mendominasi aksi-aksi protes yang terekam oleh media. Menonjolnya Sekber, menempatkannya sebagai garda depan masyarakat pendukung penetapan. Aksi-aksinya selalu nampak dalam media sehingga terkesan menjadi representasi tunggal dari wajah Gerakan Keistimewaan. 1. Konsolidasi antar Pihak Pada tahun 2010, beberapa orang pendukung penetapan berkumpul dan menggagas sebuah organisasi untuk mewadahi semua kelompok Pro Penetapan. Hasto (Widihasto Wasanaputra) mengungkapkan, “Karena itulah Sekber dibentuk pada bulan Januari 2010, sebagai ruang komunikasi. Tidak ada subordinasi disini. Siapa yang mau bergabung, kami akan mengundangnya”. Terbentuklah Sekber yang menjadi kelompok baru yang tidak berbadan hukum, tanpa struktur yang mencerminkan organisasi resmi, melainkan lebih pantas disebut sebagai forum. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 53 Para aktivis di dalamnya dengan sengaja tidak ingin membentuk sebuah kelompok dengan legalitas tertentu. “Sekber itu bukan organisasi. Sekber ini ruang komunikasi. Pengertian ruang komunikasi ya, jejaring sosial!,” ungkap Hasto. Maka, secara formal, tidak ada Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) seperti layaknya sebuah organisasi atau lembaga resmi. Juga tidak ada struktur seperti pengurus organisasi. Pada prakteknya, hanya ada satu pemimpin yang kadang disebut koordinator atau ketua. Kelompok ini pernah disebut sebagai Sekber Gamawan, akronim dari Sekretariat Bersama Gerakan keistimewaan. Istilah ini terkesan menyindir. Saat itu, perhatian publik sedang tertuju pada Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang tidak menyetujui penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Namun, forum ini kemudian lebih populer di media dengan sebutan Sekber Keistimewaan. Kantor penerbit Galang Press menjadi ‘kantor’ dari Sekber ini. Julius Felicianus Tualaka, pemiliknya, juga ikut bergabung dengan Sekber. Maka dipakailah kantor penerbitan ini sebagai tempat koordinasi. Di kantor Galang Press ini, para aktivis gerakan mengadakan rapat-rapat penting yang terkait dengan perancangan aksi. Sekber, sebagai sebuah lembaga tidak mempunyai struktur organisasi yang lengkap seperti organisasi resmi pada umumnya. Saat Sekber dibentuk, hanya satu posisi yang terlihat yaitu koordinator yang dipegang oleh Hasto. Tidak ada kepengurusan yang terstruktur, yang ada adalah kepanitiaan yang selalu berganti. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 54 Walaupun memungkinkan banyak pihak untuk bergabung, tidak semua kelompok pro-penetapan bergabung dengan Sekber. Ismaya yang sebelumnya sangat populer justru tidak bergabung. Dengan agak enggan mengungkapkan tentang tidak bergabungnya Ismaya, Hasto mengutarakan; “Kita memang tidak ingin mensubordinasi kelompok-kelompok yang bergabung dengan kita”.54 Secara tidak langsung dia menyatakan bahwa ada ketidaksepahaman antar mereka. “Tapi Ismaya sebetulnya ikut andil dalam membidani lahirnya Sekber”, ungkap Hasto, mencoba memberikan sisi positif dari ketidaksepahaman ini.55 Kelompok perangkat desa bahkan pernah bersinggungan dengan kelompok Sekber. Dalam suatu penyelenggaraan acara, kelompok perangkat desa tidak ikut serta. Ketua Paguyuban Dukuh (Pandu), Sukiman, mengatakan bahwa salah satu acara yang diselenggarakan oleh Sekber tidak melibatkan kelompok perangkat desa. Namun, dalam aksi besar yang melibatkan pengerahan massa semua kelompok bekerjasama. Ismaya, bersama dengan kelompok-kelompok lain pernah bergabung dalam mobilisasi ribuan massa yang memadati halaman gedung DPRD Yogyakarta untuk mendukung penetapan. Demikian juga Pandu, kelompok ini pernah tercatat sebagai salah satu elemen pada sebuah acara yang dikoordininasikan oleh Hasto. Sekber tidak bersebrangan pendapat sepenuhnya dengan kelompok perangkat Desa. Ada beragam kelompok yang terbentuk dari orang-orang yang berlatar belakang profesi sebagai perangkat Desa, semisal Apdesi (Asosiasi perangkat desa seluruh Indonesia), Parade (Paguyuban aparat Desa), dan Pandu (Paguyuban Dukuh). Kelompok-kelompok ini pernah 54Wawancara dengan Widihasto, 14 Desember 2011 55ibid PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 55 melakukan kerjasama dengan para Sekber terutama saat momen protes yang membutuhkan mobilisasi massa besar-besaran. Pada perkembangannya, masyarakat pedesaan ini bukanlah satu-satunya wajah dalam gerakan pro-penetapan. Kelompok-kelompok pro-penetapan mempunyai keragaman dengan perbedaan karakteristik yang melatar belakanginya. Fenomena terbentuknya Sekber menunjukkan kelompok-kelompok masyarakat yang plural dalam gerakan pro-penetapan menunjukkan eksistensinya dengan membentuk koalisi baru. Walaupun Sekber adalah kelompok yang baru terbentuk, mereka menangkal anggapan bahwa mereka adalah orang-orang baru dalam Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. “Secara kelembagaan, Sekber memang baru, tapi yang terlibat di dalamnya orang-orang lama.” Pernyataan Hasto ini sekaligus ingin menunjukkan bahwa gelombang gerakan Keistimewaan yang diyakni muncul pada tahun 1998 tidak hanya digerakkan oleh Ismaya yang merepresentasikan para kepala desa dan masyarakat pedesaan. Hasto sendiri pada tahun 1998 telibat dalam mengorganisir event besar yang kemudian disebut Pisowanan Ageng. Hasto berpendapat bahwa pada momen Pisowanan Ageng itulah gerakan keistimewaan dimulai. Alasannya, pada momen tersebut semua elemen masyarakat di Yogyakarta secara spontan, tanpa terorganisir berkumpul di Alun-alun. Hal ini tidak mungkin terjadi jika Kraton tidak mempunyai kharisma yang cukup besar di mata masyarakat. Maka, mengingat sebagian besar para aktivis di Sekber sudah mewacanakan bentuk-bentuk keistimewaan dengan mendukung kraton atau dua pribadi raja di Yogyakarta, bisa disebut bahwa Sekber adalah pergantian kulit dari orang-orang yang sama. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 56 Pendapat Hasto tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa dia dan rekan-rekannya di Sekber sudah terlibat lama dalam perjuangan keistimewaan Yogyakarta. Maka, peristiwa Pisowanan Ageng pada bulan Mei 1998 yang dipilih sebagai momentum awal dimulainya perjuangan. Dengan kata lain, pada saat itulah Gerakan Keistimewaan Yogyakarta terlahir. Sangat bisa dimengerti mengapa kelompok Sekber menjadikan peristiwa Pisowanan Ageng Mei 1998 ini sebagai titik tolak kelahiran Gerakan Keistimewaan Yogyakarta. Beberapa aktivis Sekber termasuk Hasto ikut merencanakan dan mengorganisir pelaksanaan acara ini. Acara ini sebenarnya disebut sebagai Gerakan Rakyat Mataram, tapi oleh media massa dipopulerkan dengan tajuk Pisowanan Ageng.56 Untuk selanjutnya, orang-orang yang terlibat dalam penyelenggaraan acara ini tetap terlibat dalam aksi-aksi dalam konteks isu keistimewaan. Dengan lebih spesifik, mereka menyatakan dukungan terhadap penetapan.57 Logo Sekber Keistimewaan (sumber: http://www.twitter.com/) 56Keterlibatan Hasto dalam pengorganisasian acara ini dituliskan dalam catatan pribadinya di jejaring sosial. Hasto menuliskan dalam catatan pribadinya bahwa keterlibatannya dalam event Gerakan Rakyat Mataram (Pisowanan Ageng) mulai dari perencanaan acara bersama dengan beberapa orang yang terdiri dari kerabat kraton dan para seniman. Lihat; Wasana Putra, Widihasto. (27 Februari 2009). Tribute to Mas Sapto Raharjo. http://www.facebook.com/notes/widihasto-wasana-putra/tribute-to-mas-saptoraharjo/55066942660 57Di sisi lain, Hasto pada tahun 2003, ikut mengkritik penerbitan buku Pisowanan Ageng: Sebuah Percakapan. Buku ini mendapat kritikan karena penulisan gejolak massa pada bulan Mei 1998 cenderung mengagungkan peran Sultan HB X, tetapi peran kelompok-kelompok mahasiswa cenderung dinafikan. Lihat: http://www.suaramerdeka.com/harian/0310/14/dar16.htm PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 57 Walaupun Hasto tidak secara spesifik mengatakan pihak mana atau siapa yang menyebut bahwa Sekber adalah kelompok pejuang baru dalam perjuangan keistimewaan, penulis membandingkan isu ini dengan pernyataan langsung Mulyadi, Ketua Ismaya dalam sebuah wawancara (2009), yang menyatakan bahwa perjuangan Gerakan Keistimewaan Yogyakarta dimulai dari terbentuknya Ismaya pada tahun 1998. Saat penulis melakukan wawancara dengan Widihasto pada tahun 2011, Hasto menyatakan bahwa pada tahun 2009 dia bersama rekanrekannya sudah terlibat dalam perjuangan Keistimewaan Yogyakarta. Seperti yang diungkapkannya; “Jadi pada tahun 98 itu kami bersama-sama lah.” Sekber dibentuk untuk mewadahi pihak-pihak pendukung penetapan yang beragam, termasuk mereka yang tidak mempunyai basis organisasi. Jadi, Sekber lebih bisa disebut sebagai sebuah forum yang menghimpun beragam orang yang mempunyai kesamaan pendapat tentang keistimewaan Yogyakarta yaitu penetapan gubernur dan wakil gubernur. Pihak-pihak yang bergabung dengan Sekber baik secara pribadi maupun kelompok, disebut sebagai elemen. Ungkapan ‘elemen’ ini adanya kesetaraan antar pihak tersebut.58 Hasto enggan menyebutkan siapa saja yang tergabung dalam elemen-elemen ini, tapi Julius mengungkapkan pada bulan Desember 2011, sudah ada 72 elemen yang tergabung di dalam Sekber. Cara awal membuat konsolidasi ini dilakukan dengan pengamatan awal bahwa tema keistimewaan Yogyakarta cukup diminati publik. Hasto mengidentifikasi bahwa tema keistimewaan Yogyakarta adalah tema kedua 58Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), elemen diartikan sebagai “zat yang menjadi bagian dari komposisi materi utama”, “zat atau bilangan yang memiliki atom yang sama”. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 58 setelah tema reformasi yang bisa menyatukan beragam pihak. Maka, akan dengan mudah mengumpulkan orang-orang dari beragam latar belakang untuk berkumpul. “Strategi kami multisektoral,” ungkap Hasto, saat mengistilahkan strategi gerakan yang dilakukan di Sekber. ‘Multisektoral’ ini menjadi kata kunci untuk memahami bagaimana aksi-aksi kelompok penetapan dalam menyampaikan aspirasinya dengan variatif. Gaya ‘multisektoral’ menjadi ciri baru yang diartikulasikan oleh Sekber sebagai gelombang baru gerakan keistimewaan. Mobilisasi massa secara besar-besaran tidak lagi menjadi bagian dari strategi gerakan. “Kalau kita bisa melawan dengan 10 orang, kenapa harus mengerahkan 1000 orang?,” ungkap Hasto. Ungkapan Hasto ini memang mengkritik strategi gerakan yang hanya menggunakan pengerahan massa. Mobilisasi dinilainya tidak efektif dan memboroskan energi. “Lain halnya dengan Ismaya. Mereka bisanya pressure massa. Namanya juga perangkat desa. Strateginya juga sektoral. Lha wong perangkat kok,” ungkapnya. ‘Multisektoral’ adalah istilah untuk menjelaskan bagaimana sebuah gerakan menciptakan strategi dan melakukan aksi. Dengan strategi ini, Sekber merencanakan aksi-aksi sebagai bentuk penyampaian aspirasi dengan bentukbentuk yang beragam. Maka terbentuklah peristiwa-peristiwa yang nampaknya berbeda tapi berkaitan satu sama lain. Penghubung antar peristiwa ini yakni Wacana Keistimewaan Yogyakarta. Secara sederhana, multisektoral ala Sekber yaitu mengartikulasikan tema dengan berbagai cara. Maka tema ini akan semakin luas dimengerti oleh publik. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 59 Masih mengritik kelompok perangkat desa, Hasto mengungkapkan bahwa mereka bukanlah kelompok yang mampu mengembangkan aktivitas gerakan secara lebih kreatif. Dengan membandingkan dengan Sekber, Hasto menambahkan bahwa dirinya adalah orang yang terbentuk dengan latar belakang Students Movement, terlebih lagi saat mengakui keterlibatannya dalam pergerakan mahasiswa pada tahun 1998. “Saya kan tahu teorinya,” imbuhnya saat membicarakan tentang mengelola sebuah gerakan. Hasto tidak merinci teori gerakan sosial apa yang diaplikasikannya dalam Sekber. Namun, nampak jelas bahwa adanya aplikasi pengetahuan dalam aktivitas-aktivitas gerakan sosial. Berkembangnya gerakan keistimewaan sampai pada fase terbentuk dan berkembangnya Sekber sudah merambah ke ranah-ranah lain diluar mobilisasi massa. Hal ini dimungkinkan karena adanya basis pengetahuan yang cukup kuat untuk mengorganisir sebuah gerakan. Mengorganisir gerakan bukan sekedar menggunakan mobilisasi massa. Penyampaian aksi protes sebagaimana dilakukan oleh sekber lebih mengedepankan aksi-aksi simbolik. Dengan aksi simbolik ini, memungkinkan untuk merangkum banyak orang dalam berbagai kepentingan atau memiliki kepedulian atau kepentingan yang sama. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 60 Sekber Keistimewaan saat pelaksanaan salah satu aksi simboliknya (Sumber:http://detik.com) Ada pemahaman bersama bahwa pemerintah pusat adalah penjajah baru. Keberadaan pemerintah pusat saat ini melalui Presiden SBY, Kabinet Indonesia Bersatu, dan Partai Demokrat adalah representasi penjajah. Keberadaan mereka sama saja dengan pemerintah kolonial pada masa Hindia Belanda. Hasto sempat mengkoordinasikan sebuah acara penyobekan bendera Belanda melalui jejaring sosial Facebook. Salah seorang rekannya mengkritik bahwa penyobekan bendera Belanda sudah tidak relevan. Pada saat pelaksanaan acara, adegan penyobekan bendera tidak jadi dilaksanakan. 2. Aktor-aktor gerakan Para aktivis Sekber adalah orang-orang yang berdomisili di kawasan perkotaan Yogyakarta dengan beragam latar belakang. Karakteristik ini berbeda dengan kelompok perangkat desa yang tinggal di pedesaan dan mempunyai latar belakang yang relatif sama. Pengusaha, spiritualis, dan seniman adalah profesi-profesi para aktivis ini. Keragaman tidak hanya terlihat dalam latar belakang profesi, tapi juga etnisitas dan religi. Julius Felicianus Tualaka, pemilik Galang Press yang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 61 menyediakan kantor penerbitannya sebagai ‘base camp’ adalah warga Yogyakarta yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Demikian juga Ki Demang Syafifudin, adalah orang Sunda yang tinggal di Yogyakarta. Walaupun mereka mempunyai latar belakang yang berbeda, orang-orang ini adalah warga Yogyakarta yang berdomisili dan mempunyai mata pencaharian di Yogyakarta. Sebagai contoh, Cak Harno warga keturunan Madura yang memimpin kelompok FJR (Forum Jogja Rembug). Kelompok ini bergerak di bidang usaha keamanan dan lahan parkir. Hasto mengungkapkan,“Kita memang tidak ingin primordial. Lha ini orang NTT (sambil menunjuk Julius). Pak Tagor itu orang Batak. Cak Harno itu Madura. Orang-orang itu malah militan. Mereka nggak terima Yogya diperlakukan seperti ini”. Menegaskan tentang pluralnya latar belakang rekanrekannya di Sekber, Hasto menyatakan; “Kita memang ingin melunturkan kesan primordial”. Sangat kontras dengan karakteristik gelombang kelompok Pro Penetapan sebelumnya yaitu Ismaya yang mewakili golongan perangkat desa membentuk corak tertentu yang terlihat.59 Maka, massa yang terhimpun oleh kelompok perangkat desa ini menampakan ciri yaitu, jawa, pedesaan, dan sangat terikat dengan tradisi budaya jawa. Selain itu, pengembangan gagasan atas keaslian Yogyakarta juga mulai mengarah ke meliyankan para pendatang yang tidak 59Kelompok besar yang berbasis masyarakat pedesaan ini turun-temurun menempati wilayah dan terikat dengan tradisi yang erat dengan keberadaan Kraton. Pembacaan atas karakteristik masyarakat dari golongan ini terlihat dari kepanjangan arti dari Ismaya (ing sedya mematri aslining Ngayogyakarta), yang mengungkapkan bagaimana mempertahankan keaslian Yogyakarta. Paparan lebih lanjut tentang dimensi politik identitas dalam wacana Keistimewaan Yogyakarta dalam Mashudi, Wawan. “Komodifikasi Identitas: Reproduksi Wacana Asli dan Pendatang dalam Debat Keistimewaan DIY,” dlm. Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang/Space dalam Dinamika Politik di Indonesia dan Asia Tenggara. Salatiga: Percik, 2009. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 62 memahami keistimewaan Yogyakarta. Secara tidak langsung para pendatang telah dicurigai menjadi penghambat dalam wacana penetapan. Julius mengungkapkan; “Saya pernah ditanya oleh seseorang, kenapa anda yang bukan orang Jawa dan beragama Katolik justru mendukung keberadaan Kraton di Jawa yang mencerminkan Kerajaan Islam? Memangnya ada masalah apa?, kata saya”.60 Di lain kesempatan Demang juga mengungkapkan, “Saya justru salut pada rekan-rekan yang beragama nasrani. Mereka mendukung satu-satunya Kerajaan Islam yang masih hidup di Indonesia”. Sebagian aktivis memang mempunyai latar belakang non-muslim. Hal yang mengembangkan motivasi mereka lebih dilandasi karena mereka adalah warga Yogyakarta. Keragaman latar belakang di Sekber menjadi wajar karena kondisi sosial Kota Yogyakarta memang plural. Kota Madya Yogyakarta dan sekitarnya di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul terdapat ratusan sekolah dan perguruan tinggi yang menyedot ribuan orang dari luar daerah. Sebagian dari mereka tetap tinggal di Yogyakarta untuk bekerja atau berkeluarga. Para aktivis Sekber yang berasal dari luar daerah, selain bekerja di Yogyakarta juga mempunyai istri orang Yogyakarta. Beberapa orang yang terlibat di kelompok pro-penetapan memang mempunyai hubungan kedekatan dengan Kraton baik melalui kekerabatan atau hubungan kerja. Tagor, salah satu yang terlibat di Sekber, dalam suatu pertemuan 60Wawancara, Julius, Desember 2011 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 63 Sekber yang dihadiri banyak orang pernah mengatakan bahwa dia melakukan komunikasi dengan keluarga besar Kraton. Hubungan-hubungan kedekatan dengan Kraton ini menjadi pengalaman keseharian mereka dalam memainkan peran mereka baik secara ekonomis, politis, maupun kultural. Sebagai contoh, Pak Bei (Tato) adalah representasi sebagian golongan masyarakat pendukung penetapan. Sebagai abdi dalem, posisinya adalah pelayan tradisi kraton yang mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap rajanya. Pak Bei yang pernah menjadi komandan Banser NU ini juga mengikuti Pisowanan Ageng 1998, yang dia sebut sebagai Gerakan Rakyat Yogyakarta (GRY). Suasana paguyuban terbentuk dalam interaksi pribadi. Kesamaan tujuan untuk mendukung penetapan membawa mereka dalam suasana keakraban. Orang-orang dengan perbedaan latar belakang ini menjadi saling mengenal. Suasana paguyuban ini menciptakan keakraban sehingga tercipta kedekatan yang membuat mereka mengakses bidang-bidang lain di luar keseharian mereka. Isu tentang keistimewaan tidak selalu menjadi topik pembicaraan. Dunia bisnis, spiritualitas, kenalan, hantu dan hal-hal lain menjadi topik yang sering muncul dalam pembicaraan-pembicaraan informal mereka. Pergaulan di komunitas pro penetapan ini justru memperkuat jaringan mereka. Seperti yang terlihat di dalam pergaulan, banyak orang dari berbagai latar belakang ini berkumpul untuk mereka dengan mengenal satu sama lain. Saat saya melakukan wawancara dengan Demang, dia mengungkapkan bahwa dia PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 64 mempunyai bisnis jasa persewaan,“Kalau anda ada event, bisa kontak saya,” ujarnya. Kelompok ini lebih menjadi semacam forum yang menghimpun beberapa orang. Kemudian, forum ini membesar karena semakin banyak orang yang terlibat di dalamnya. Semisal, Demang yang menjadi aktivis di Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) dan Komunitas Sunda Wiwitan, kelompok etnis Sunda di Yogyakarta. Kemudian, Cak Harno yang mempunyai organisasi bernama Forum Jogja Rembug (FJR), sebuah kelompok yang bergerak di bisnis lahan parkir dan bisnis lainnya. 3. Kelompok Elit Gerakan Walaupun tidak ada jajaran pengurus, kelompok ini mempunyai sekelompok kecil orang yang menjadi elit gerakan. Mereka merumuskan konsep, menyusun strategi, serta menentukan aksi. Jadi, tetap ada orang-orang tertentu yang bertindak sebagai pengurus walaupun tidak pernah ada pengurus resmi. Sekelompok ‘pemikir’ gerakan ini juga menjalin komunikasi dengan Sultan HB X secara informal. Demang mengungkapkan bahwa Sultan HB X pernah menghubungi mereka via sms ke ponsel masing-masing. Kelompok ini disebut sebagai kelompok 11 karena jumlahnya 11 orang. Kemudian, kelompok inti ini disebut kelompok 12, karena jumlahnya bertambah. ”Sri Sultan menghubungi kami lewat SMS. Saat bertemu, kami membicarakan perkembangan terbaru tentang keistimewaan”, ungkap Demang. Para elit gerakan ini yang menjadi ‘otak’ dalam gerakan yang dioperasikan oleh Sekber. Bagaimana harus mengembangkan atensi publik, menjaring banyak pihak yang terlibat, dan aksi- PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 65 aksi yang harus dilakukan, adalah poin-poin penting yang dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan terbatas yang dilakukan di ‘kantor’ ini.61 Di dalam Sekber, tidak ada batas-batas komunikasi yang kaku dalam rangka membentuk jejaring. Para aktivis Sekber juga melakukan koordinasi dengan pihak-pihak lain yang terlihat bukan menjadi bagian dari Sekber. Pihakpihak yang terjaring tidak terbatas institusi, tapi juga pribadi-pribadi yang mempunyai peran penting. Yang terjadi adalah Sekber menjadi ‘kelompok strategis informal’. Mereka melakukan komunikasi dengan berbagai pihak, bergerak tanpa diketahui, dan melakukan aksi secara sistematis, efektif, dan efeknya luas. B. MENGEMBANGKAN IDEOLOGI KEISTIMEWAAN Secara lebih khusus, bagaimana menuliskan realitas gerakan sosial dengan perspektif budaya bisa dilakukan dengan mengungkap beberapa aspek yaitu nilainilai bersama, perilaku, bahasa, tradisi, simbol, bentuk-bentuk lain yang dibuat oleh orang-orang gerakan tersebut. Penanda (marker) untuk menggambarkan dinamika dalam gerakan sosial yang paling nampak yaitu ideologi atau seperangkat kepercayaan.62 61Wawancara dengan Ki Demang Syafifudin Desember 2011. Demang tidak bersedia merinci siapa saja yang tergabung dalam kelompok 12 ini. Tapi secara tidak langsung Demang memberikan informasi bahwa segelintir orang ini adalah kelompok inti Sekber yang di dalamnya ada Hasto, Julius, dan dirinya sendiri. 62John Lofland (1995). “Charting Degrees of Movement Culture: Tasks of the Cultural Cartographer,” dlm. Johnston & Klandermans (ed.). Social Movements and Culture. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 66 Dalam bahasan ini saya mencoba merekam bagaimana kalangan bawah (dalam hal ini masyarakat pengikut gerakan penetapan) berceloteh tentang keistimewaan Yogyakarta. Pada prinsipnya, konsep Keistimewaan Yogyakarta dipahami sebagai penetapan Sultan HB dan Adipati PA yang bertahta sebagai gubernur dan wakil gubernur tanpa dibatasi oleh periode tertentu. Penafsiran akan keistimewaan dalam bentuk-bentuk yang lain bukan menjadi prioritas utama. Sejarawan PJ Soewarno (2011) mengungkapkan bahwa bentuk keistimewaan di Yogyakarta terletak pada pemilihan kepala daerah. Untuk bentuk-bentuk penafsiran keistimewaan yang lain, tidak berbeda dengan daerah lain yang mendapatkan otonomi khusus. Pendapat ini menjadi pendapat umum bagi para aktivis pro penetapan di Sekber. Senada, para aktivis pro penetapan berulang kali menyatakan; “Sultan is Gubernur, Gubernur is Sultan”. “Yang lain (penafsiran yang lain) itu derivasinya,” sebagaimana diungkapkan oleh Hasto. Sejauh belum ada kepastian tentang penetapan, maka bagi mereka penetapan kedua pribadi Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam yang bertahta sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY yang sah secara hukum. Maka bisa disimpulkan pula, bahwa ideologi Keistimewaan Yogyakarta adalah posisi raja sebagai kepala daerah. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana ideologi utama ini dikembangkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain yang dipopulerkan. Berikut ini adalah pengetahuan-pengetahuan yang kemudian berkembang sebagai pendukung pemahaman bahwa penetapan adalah penafsiran utama. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 1. 67 Budaya Adiluhung Muncul pemahaman bahwa nilai-nilai tradisi budaya jawa yang ada di Yogyakarta telah memberi inspirasi bagi para founding father untuk merumuskan ideologi negara Indonesia. Hamah Sagrim, seorang koordinator mahasiswa asal Papua yang mendukung keistimewaan Yogyakarta mengungkapkan bahwa nilai-nilai lokal yang berkembang di tradisi budaya Jawa telah menjadi inspirasi bagi pembentukan simbol dan ideologi negara. Sagrim mengungkapkan,”Bukankah Garuda itu dari Jawa?”, dengan pertanyaan ini dia menafsirkan bahwa apa simbol Negara diadopsi dari khasanah tradisi Jawa di Yogyakarta. Keyakinan ini kemudian diartikulasikan berulang-berulang dalam pembicaraan informal di masyarakat. Seperti doktrin, wacana ini meluas. Masyarakat umum pun banyak yang menjadikan wacana ini sebagai keyakinan yang mengobarkan semangat untuk mendukung isu penetapan dalam wacana keistimewaan Yogyakarta. “Bagaimana mungkin, sebuah negara berani melawan negara lain yang pernah ikut membantu melahirkan dan mengasuhnya saat kecil?”, ini sebuah ungkapan yang beredar di dalam pembicaraan keseharian masyarakat pendukung penetapan. tidak jelas siapa yang pertama mengungkapkan, tapi sudah meluas. Ungkapan ini menandakan bahwa telah muncul imaji tentang Yogyakarta sebagai sebuah negara berdaulat yang sudah seharusnya mendapatkan perlakuan khusus. Pemerintahan SBY dan kabinetnya telah dianggap kuwalat. Dengan membuat sistem pemilihan untuk menentukan jabatan gubernur dan wakil PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 68 gubernur, pemerintah pusat dianggap terlalu berani untuk menggoyahkan kekuasaan mistis yang ada dalam keberadaan Sultan dan Kraton. 2. Negara Berdaulat Berkembanglah pendapat bahwa Yogyakarta pernah menjadi negara berdaulat. Sebelum perbincangan tentang wacana keistimewaan, imaji bahwa Yogyakarta pernah menjadi negara berdaulat hampir atau tidak pernah muncul dalam perbincangan-perbincangan informal. Setelah isu keistimewaan menjadi populer, banyak orang membicarakan tentang ‘negara’ Yogyakarta ini di masa lampau. “Kami adalah pejuang”, ungkap salah seorang koordinator aktivis kelompok pro-penetapan. “Sebenarnya, kami merasa lelah, siang-malam. Tapi ya begini, yang namanya pejuang itu harus berjiwa patriotik”, dia menambahkan. Keikutsertaannya dalam kelompok pro-penetapan diartikulasikan sebagai perjuangan membela bangsa. Patriotisme, sebagai sebuah sikap membela bangsa, dia wujudkan dalam aktivitas di kelompok pro-penetapan. Kemudian, pemahaman bahwa Yogyakarta adalah negara berdaulat ini berkembang ke arah penolakan penyebutan propinsi. Bagi mereka, Yogyakarta memang bukan propinsi. Yogyakarta dipahami sebagai sebuah negara bagian yang ‘dihaluskan’ dengan nama daerah istimewa. 3. Jasa Besar Sang Raja Narasi tentang pribadi Sultan HB IX menempati peran yang signifikan dalam pemahaman besar ideologi keistimewaan. Pribadi Sultan HB IX dipahami sebagai PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 69 ‘teladan fundamen nasionalisme Indonesia’. Pemahaman ini bermuara pada peran Sultan HB IX saat revolusi fisik pada tahun 1946 – 1949. Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan bagaimana peran Sultan HB IX dalam memainkan perannya dalam keterlibatan melawan invasi pasukan Belanda. Kisah historis tersebut menjadi grand narrative yang wajib diketahui oleh semua orang, terutama mereka yang berniat memperjuangkan kepentingan Yogyakarta menghadapi ‘serangan penjajah’ yaitu kebijakan politik pemerintahan SBY. Pribadi Sultan HB IX adalah figur pahlawan utama dalam narasi besar Keistimewaan Yogyakarta. Walau argumentasi tentang legitimasi keberadaan daerah istimewa berakar dari keberadaan vasal pada masa kolonial, argumentasi tentang legitimasi Keistimewaan Yogyakarta lebih banyak berkembang pada narasi kehidupan sang raja, terutama aktivitas Sultan HB IX pada periode waktu 1946 – 1949. Dalam pemikiran para aktivis gerakan, jasa besar Sultan HB IX pada saat negara Indonesia mengalami masa krisis tersebut memperkuat argumen bahwa konsep keistimewaan Yogyakarta sudah final dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Argumen berikut ini menjadi argumentasi bersama: “Jika Sultan HB IX tidak mendukung keberadaan RI. Apakah sampai saat ini, Indonesia masih ada?”. Maka,bagi mereka yang menyebut dirinya pro penetapan, pengesahan keistimewaan dengan penetapan gubernur dan wakil gubernur sudah menjadi hak yang sah bagi rakyat Yogyakarta karena jasa besar Sultan HB IX. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI C. 70 SIASAT PERLAWANAN GERAKAN Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa gaya multi sektoral menjadi ciri khas dalam dinamika gerakan di Sekber. Mencermati multi sektoral ala Sekber ini, membawa pemahaman ke arah bagaimana mengartikulasikan multi sektoral dalam teknik-tekniknya. Berikut ini adalah beberapa teknik-teknik signifikan yang dijalankan oleh Sekber dalam rangka mengaplikasikan strategi multi-sektoral. Walaupun Sekber melakukan beragam teknik, hanya beberapa yang digarisbawahi dalam penulisan penelitian ini, yaitu; 1) Koalisi Taktis, 2) Reproduksi Sejarah, 3) Permainan Simbolik, 4) Penciptaan Musuh Bersama. Menjabarkan beberapa teknik ini terkait dengan relasi kuasa yang akan dijabarkan di bab selanjutnya. 1. Koalisi Taktis Di Yogyakarta, ada beragam kelompok sosial. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Sekber untuk menghimpun banyak pihak. ”Kita cari orang-orang dari seluruh Indonesia ada. Disini banyak wisma-wisma mahasiswa”, kata Julius. Hasto juga mengungkapkan: “Semua anasir Nusantara itu ada di Jogja. Tinggal menghubungi mereka. Kita tidak semata-mata memobilisasi mereka, tapi juga memberikan pemahaman”. ‘Mobilisasi’ yang dimaksudkan adalah pengerahan massa untuk acaraacara tertentu yang dikoordinasikan oleh Sekber. Acara-acara ini simbolik. Pengerahan massa tidak selalu menampakkan bentuk protes terbuka seperti demonstrasi.“Untuk menyerang Jakarta, kami tidak bisa menggunakan isu lokal PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 71 saja. Harus ada isu nasional”. Sekber tidak ingin ‘sendirian’ untuk menyerang pemerintah pusat. Selama ini kelompok pro-penetapan menjalin komunikasi dengan pihak-pihak lain yang juga mempunyai ketidak sepahaman dengan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, untuk memperkuat diri, pihak-pihak lain tersebut dihimpun menjadi satu pihak dengan satu gagasan. “Kami melakukan koalisi taktis”, ungkapnya. Koalisi taktis ini artinya bekerjasama dengan pihak-pihak yang sedang menggugat pemerintah pusat. Dengan melakukan kerjasama ini, tema keistimewaan Yogyakarta akan semakin dikenal oleh publik, sehingga memperkuat tekanan kepada pemerintah pusat. Salah satu pihak yang diajak oleh Sekber berkoalisi taktis yaitu ormas Parade Nusantara (Persatuan Aparat Desa Nusantara). Parade Nusantara adalah sebuah ormas yang merangkum aparatur perangkat desa di seluruh Indonesia. Asosiasi ini mempunyai agenda untuk memperjuangkan disahkannya UU perdesaan. Implikasi dari disahkannya aturan ini yaitu pada alokasi dana sekian persen dari APBN.“Dengan kerjasama ini, saya melihat keistimewaan Yogyakarta gaungnya sudah nasional”, menjelaskan tujuan konkrit yang dicapai dalam koalisi taktis. ‘Ruang Komunikasi’ dan ‘Jejaring Sosial’ yang diungkapkan oleh Hasto bisa menjelaskan bagaimana koalisi taktis ini dibentuk. Seperti jejaring sosial di internet, Sekber menjalin komunikasi dan menghimpun sebanyak-banyaknya kelompok-kelompok sosial yang ada di Yogyakarta. Kelompok-kelompok ini dihimpun dan kemudian dikoordinasikan dalam program-program tertentu untuk menyampaikan aspirasi tentang penetapan. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Pola kerjasama atau gaya berjejaring yang dilakukan 72 bersifat ‘transaksional’. “Transaksional itu ya artinya ya saling-silang”, ungkap Hasto menyederhanakan maksud dari ‘transaksional’ ketika membicarakan tentang komunikasi antar pihak dalam kegiatan-kegiatan di Sekber. Ungkapan transaksional ini sekaligus menjelaskan bagaimana sebagian kelompok-kelompok tertentu bekerjasama dengan Sekber dan saling menata antar kepentingan dalam satu wahana yang sama. *** Untuk mengetahui lebih dalam tentang keterlibatan kelompok-kelompok yang merepresentasikan penduduk Yogyakarta yang berlatar belakang non Jawa. Kelompok-kelompok massa ini sudah berinteraksi dengan kelompok-kelompok pro penetapan, oleh karena itu, saya akan sejenak melihat ke belakang sebelum terbentuknya Sekber Keistimewaan. Dimulai dari kelompok-kelompok mahasiswa Papua di Yogyakarta. Para mahasiswa papua di Yogyakarta mempunyai banyak organisasi yang menghimpun mereka dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Satu hal yang menyatukan pemahaman mereka yaitu kesadaran akan identitas Papua yang mereka miliki. Sebagian dari mereka berkumpul dalam kelompok-kelompok yang secara kritis mewacanakan tema-tema yang terkait kondisi sosial politik di Papua. Bahkan, sebelum Sekber terbentuk, sekelompok mahasiswa Papua yang berdomisili di Yogyakarta melakukan aksi dukungan untuk Wacana Keistimewaan Yogyakarta. Pada saat pelaksanaan demonstrasi besar-besaran di halaman gedung DPRD, para mahasiswa asal Papua ini ikut serta. Kehadiran PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 73 mereka dalam gelombang besar ribuan massa ini menarik perhatian. Dengan kostum adat Papua lengkap dengan senjata tradisional, mereka menari-nari membuat kamera para jurnalis tertuju pada mereka.63 Hamah Sagrim, aktivis mahasiswa asal Papua yang terlibat dalam koordinasi aksi tersebut mengungkapkan bahwa aksi tersebut adalah mewakili sikap seluruh warga Papua yang ada di Yogyakarta.64 Walaupun sebenarnya beberapa aktivis pergerakan mahasiswa papua menuturkan bahwa aksi yang dilakukan oleh beberapa kelompok mahasiswa papua itu tidak mewakili seluruh pendapat mahasiswa papua atau kepentingan rakyat papua secara langsung. Lechzy Degey salah satu aktivis kelompok mahasiswa di Yogyakarta berpendapat, mereka yang terlibat dalam aksi dukungan tersebut adalah orangorang yang secara personal mempunyai kedekatan pribadi dengan para aktivis gerakan pro-penetapan. Mereka adalah para mahasiswa Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY) adalah sebuah Perguruan Tinggi yang didirikan oleh Sultan HB IX.65 Walaupun Lechzy berpendapat bahwa aksi massa itu hanya mewakili sebagian kecil kelompok mahasiswa Papua, dia mengakui bahwa organisasiorganisasi yang menghimpun warga Papua di Yogyakarta menyatakan mendukung gagasan kelompok pro-penetapan. Salah satu kelompok yaitu, 63Pengamatan langsung (13 Desember 2010) 64Hamah Sagrim, wawancara (5 November 2011) 65Sebagai catatan, beberapa mahasiswa asal Papua ini direkrut oleh salah seorang pengajar sekaligus rektor UWMY, Prof. Dr. Suyanto yang juga tergabung dalam salah satu kelompok pro-penetapan yaitu Gerakan Keistimewaan Rakyat Yogyakarta (Gentaraja). Informasi ini saya dapatkan dari salah seorang staf UWMY, 28 Januari 2011. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 74 Lembaga Intelektual Tanah Papua (LITP), menyatakan sikap resmi dukungannya di kompleks Pura Pakualaman. Hal ini tidak mungkin dilakukan jika tidak ada koordinasi antara kelompok-kelompok mahasiswa ini dengan kelompokkelompok pro penetapan. Sagrim pernah mengungkapkan bahwa dia pernah berkumpul bersama kelompok-kelompok ‘elemen’ dalam suatu makan malam bersama Sultan HB X. Anak sulung dan anak bungsu adalah metafor yang digunakan kelompok papua terhadap isu keistimewaan ini. Sagrim mengungkapkan, “Jika Yogyakarta sebagai anak sulung diperlakukan seperti ini, bagaimana dengan kami yang anak bungsu?”. Dukungan terhadap wacana keistimewaan Yogyakarta oleh kelompok masyarakat Papua ini bertumpu pada permasalahan yang terjadi di Papua. Demikian juga Lechzy yang berujar, “Tidak mungkin pohon manga berbuah manggis. Pemerintah jangan sewenang-wenang. Demokrasi yang lebih cocok untuk kita adalah demokrasi kesukuan”. Hal serupa juga dilakukan oleh kelompok masyarakat Yogyakarta yang berasal dari NTT. Sekelompok massa dengan latar belakang keturunan Flores mengorganisir diri untuk bergabung dalam mobilisasi ribuan massa pendukung penetapan di halaman gedung DPRD. Salah seorang peserta mengungkapkan, mereka diorganisir salah seorang tokoh masyarakat NTT di Yogyakarta.66 .*** 66Santo, salah seorang peserta aksi massa mengungkapkan bahwa beberapa warga Yogyakarta keturunan NTT di Yogyakarta berkumpul untuk mengerahkan massa. Dia menyebutkan bahwa dia dan teman-temannya diajak oleh seorang pengusaha keturunan NTT yang memiliki Radio Sasando FM. Ketika saya menanyakan mengenai motivasi dukungannya untuk mendukung keistimewaan Yogyakarta, dengan jujur dia mengakui tidak mengerti. Keterlibatnnya hanya sekedar dimobilisasi. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 75 Setelah terbentuknya Sekber, dukungan masyarakat Yogyakarta yang beragam latar belakang tersebut dilihat sebagai salah satu faktor yang menguatkan aksi protes. Isu ketidakadilan memerankan peranan dalam jalinan koordinasi ini. Pemerintah pusat terkesan menjadi musuh bersama. Terutama, kebijakankebijakan pemerintah pusat yang terepresentasikan melalui keberadaan Presiden SBY dan Partai Demokrat. Menyadari potensi wacana ini, para aktivis Sekber berkomunikasi juga dengan pihak-pihak lain yang berdomisili di Riau, Kalimantan, Bali, dsb. Kemudian, wajah massa di Sekber menjadi terlihat berwarna. 2. Memancing Media dengan Aksi Simbolik “Kalau dulu, mereka nggak bisa reka-reka (merencanakan) ngumpulke media…”, Hasto mengungkapkan. Saat Sekber menguat, kesadaran untuk terlihat di media menjadi lebih tinggi. Keberadaan media, menjadi hal yang signifikan untuk membuat isu yang diwacanakan oleh gerakan menjadi semakin besar. Pada masa maraknya gerakan pro-penetapan sebelum Sekber, media memang membuat tema keistimewaan dikenal publik. Tapi, tema ini hanya dikenal publik saat momentum-momentum tertentu yaitu pada saat menjelang habisnya masa jabatan gubernur dan wakil gubernur. Saat momen-momen tersebut, terjadi mobilisasi massa, maka sangat memungkinkan media mengekspos peristiwa tersebut. Atensi media meningkat saat momentum pernyataan Presiden SBY. Media baik cetak maupun elektronik selama berminggu-minggu memberitakan protes terhadap pernyataan presiden ini. Pemberitaan besar mulai menyurut saat ada peristiwa-peristiwa lain yang lebih PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 76 menarik fokus perhatian media massa. Tema keistimewaan Yogyakarta kembali surut dan tidak lagi tampil di tajuk-tajuk utama media. “Semoga masyarakat tetap mengawasi perkembangan keistimewaan Yogyakarta. Jangan sampai ada pengalihan isu”, ungkap Hasto dihadapan puluhan aktivis Sekber di Galang press pada bulan Desember 2011. Dilihat dari ungkapan Hasto tersebut, memperlihatkan adanya kesadaran yang tinggi akan pentingnya media sebagai bagian dari alat propaganda. Prinsip efektivitas dan efisiensi menjadi prinsip yang penting untuk selalu menyuarakan pendapat agar semakin dikenal publik secara luas. Dengan mobilisasi massa besar-besaran tidak hanya ‘boros energi’ tapi juga tidak konstan. Pemberitaan media kemudian dipilih untuk membuat gerakan semakin membesar. Di tingkat lokal, media-media cetak yang ada di Yogyakarta sudah bisa dipastikan akan memberikan perhatian yang lebih untuk tema keistimewaan Yogyakarta. Koran Kedaulatan Rakyat (KR) yang menjadi koran lokal terbesar di DIY mempunyai hubungan yang dekat dengan mantan Bupati Bantul, H. Idham Samawi. Istri Idham, Ida Samawi yang menjadi Bupati Bantul setelahnya, bahkan ikut turun ke jalan bersama ribuan massa dalam rangka mendukung penetapan. Maka, media lokal ini memberikan space berita tentang polemik keistimewaan Yogyakarta setiap harinya. Salah satu pemberitaan favorit adalah pemberitaan tentang aktivitas di Sekber. Menyadari pentingnya media, Sekber selalu mengkoordinasikan media dengan mengundang wartawan. Hasilnya, aksi-aksi protes selalu menjadi berita di PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 77 media. Cara ini terbukti efektif, sepanjang tahun 2011 sampai 2012 aktivitas selalu diberitakan di media-media cetak maupun online. Sejak awal, kelompok-kelompok pro-penetapan sudah merebut media. Tapi perhatian media tidak cukup, Sekber menciptakan aksi protes yang atraktif. Protes mulai dikembangkan di ranah simbol-simbol. Berbicara tentang simbolsimbol sebagai bagian dari aksi protes, tanpa koordinasi, simbol visual berupa bendera Haba, sudah menjadi tren visual yang menghiasi jalan-jalan di Yogyakarta. Pengibaran bendera Haba yang menjadi tren dalam masyarakat, ikut dipopulerkan oleh Sekber. Dalam setiap aksinya, bendera haba selalu dikibarkan. Sangat dimungkinkan, kelompok-kelompok elemen di dalam Sekber memproduksi bendera ini dan menyebarkannya secara massif. Pemopuleran bendera ini menjadi proses kreatif yang menarik perhatian media sehingga membuat fenomena ini diliput oleh media. Efeknya, pemasangan bendera haba menjadi tren yang menjamur. Sekber mengembangkan situasi ini. Kedekatan para aktivis Sekber dengan kalangan seniman memungkinkan kelompok ini mengembangkan penciptaanpenciptaan yang kreatif dalam rangka meekspresikan protes. Maka dimulailah aksi-aksi Sekber yang atraktif tanpa menggunakan mobilisasi massa besarbesaran. Aksi-aksi ini simbolik dan menimbulkan kesan. Keterlibatan orang-orang dengan beragam latar belakang termasuk seniman membuat aksi-aksi protes menjadi seperti halnya pertunjukan. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 78 Kadang, dalam aksi-aksinya, Sekber menampakkan nama-nama forum yang berbeda. Nama-nama forum semacam Forum Masyarakat Yogyakarta (FMY), Gerakan Rakyat Mataram (Geram),dsb. Walaupun punya banyak nama, tapi orang-orangnya sama. Menarik perhatian media dengan pertunjukan-pertunjukan atraktif yang sarat simbol ini menjadi semacam promosi yang efektif dalam kegiatan marketing. Para aktivis gerakan ini ingin membuat wacana yang dimainkan ini menjadi semakin luas dikonsumsi oleh publik. Dengan aksi-aksi atraktif ini, secara tidak langsung media berperan menjadi promosi untuk tema keistimewaan Yogyakarta. Maka, terciptalah sebuah pasar pengetahuan yang membuat banyak orang mengakses informasi dan mengonsumsi pengetahuan tentang tema keistimewaan Yogyakarta sedikit demi sedikit. 3. Reproduksi Sejarah “Kalau saya, selalu menggunakan sejarah sebagai basis berpikir. Makanya, dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh Sekber, ada kaitannya dengan sejarah”, ungkap Hasto. Pak Bei, salah satu aktivis di Sekber yang pernah menjadi komandan banser dengan lantang mengatakan, “Adik-adik belajar sejarah dulu. Boleh saja berkegiatan tapi jangan lupa sejarah”. Anjuran tersebut diungkapkannya kepada perwakilan sebuah kelompok mahasiswa. Di lain kesempatan, saya pernah berbincang dengan beberapa orang yang terlibat dalam Sekber. “Sejarahnya kan …”, “Lho, menurut Sejarah …”, “Faktanya, dalam sejarah…”, kata ‘sejarah’ selalu diungkapkan ketika berbicara tentang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 79 keistimewaan Yogyakarta. ‘Sejarah’ menjadi kredo yang selalu diucapkan oleh mereka yang berpendapat bahwa keistimewaan harus dipertahankan. Ada apa dengan sejarah? Bambang Purwanto (2003) yang cenderung posisi bersebrangan, mengritik bahwa basis pemikiran para pendukung keistimewaan (pro-penetapan) terletak pada legitimasi historis. Padahal, legitimasi historisnya tidak cukup kuat untuk dijadikan argumen. Alasan historis untuk menyatakan keistimewaan yang dimiliki Yogyakarta mempunyai banyak kelemahan dalam konteks sejarah sebagai ilmu. Argumen historis ditafsirkan sewenang-wenang untuk legitimasi ambisi politik. “Sejarah menjadi kata keramat yang kedua setelah istimewa”.67 Kelompok Pro-Penetapan mempunyai pandangannya sendiri. Mereka menganggap pemerintah pusat dianggap mengalami amnesia sejarah. Kehilangan memori sejarah ini yang kemudian menjadikan gerakan keistimewaan mencoa mereproduksi ulang narasi sejarah atas keberadaan Yogyakarta dalam lingkup kekuasaan Republik Indonesia. Caranya, dengan menceritakan kembali narasi historis pada tahun 1940’an terutama pada periode 1946 – 1949, saat ibukota Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. 67Sebagaimana dituliskan oleh Bambang Purwanto dalam Keistimewaan yang sarat beban sejarah. Sejarawan Bambang Purwanto menilai polemik keistimewaan Yogyakarta ini penuh dengan beban sejarah. Argumen-argumen dari semua kelompok yang berpendapat tentang Keistimewaan Yogyakarta mengandalkan legitimasi historis dan sebagian penafsiran atas sejarah menjadi anakronis. Penilaian Bambang Purwanto bersebrangan dengan sejarawan-sejarawan lain yang mendukung posisi sentral Sultan dan Adipati di Yogyakarta, sekaligus menunjukan posisinya dalam dikotomi masyarakat soal keistimewaan. Tapi, yang digarisbawahi adalah bagaimana nama ‘daerah istimewa’ ini pertama kali terungkap. “Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pakualaman berbentuk kerajaan yang merupakan Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia,” pernyataan ini terdapat dalam amanat Sultan HB IX dan Adipati PA VIII dalam maklumat yang dikenal sebagai maklumat 5 September 1945. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 80 Dengan dihapuskannya jabatan turun-temurun maka menjadi tindakan yang tidak tahu balas budi. Keistimewaan Yogyakarta yang ditafsirkan sebagai penetapan jabatan gubernur dan wakil gubernur secara turun temurun, sudah menjadi hak istimewa yang seharusnya diterima oleh masyarakat Yogyakarta. Tapi bisa dipahami karena tidak banyak orang yang mengetahui sejarah. Terlebih lagi, sejarah telah diyakini banyak dimanipulasi oleh pemerintah untuk tujuan-tujuan praktis kekuasaan pada masa Orba. Selepas Orba, sebagian masyarakat Yogyakarta sebenarnya sedang ‘bergembira’ karena sudah diakuinya Sultan HB IX sebagai orang yang berperan besar dibalik Serangan Oemoem 1 Maret, yang selama puluhan tahun menempatkan Letkol Soeharto yang menjadi penguasa rezim Orba. Narasi Keistimewaan Yogyakarta akhirnya menjadi rekonstruksi dari sejarah tentang kedaulatan Yogyakarta pada masa kolonial serta perannya pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selama masa polemik ini para intektual telah menjadi pewacana interpretasi sejarah di media, diskusi ilmiah, seminar, serta publikasi tertulis melalui artikel di buku dan media cetak. Reproduksi peristiwa bersejarah ini semakin marak dengan munculnya buku-buku bergenre sejarah yang membahas tentang keistimewaan Yogyakarta. Tercatat lebih dari belasan buku yang mereproduksi ulang peristiwa bersejarah Ibukota Republik Indonsia saat berada Yogyakarta. Sekber mengambil posisi yang berbeda. Forum yang menghimpun beragam pihak dari beragam latar belakang, ini mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat awam. Maka, upaya pengenalan sejarah menggunakan cara PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 81 yang mudah dimengerti masyarakat umum. Pendidikan sejarah ala Sekber adalah ‘promosi sejarah’ dalam banyak bentuk-bentuk alternatif. Proses reproduksi ini dilakukan dengan menyisipkan tema-tema sejarah yang terkait dalam acara-acara tertentu yang sudah menjadi peristiwa lazim. Pendidikan sejarah ini ditujukan pada masyarakat umum. Reproduksi bukan dengan penerbitan buku melainkan dalam bentuk acaraacara. Reproduksi ini diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan yang bisa memancing banyak perhatian masyarakat luas. Peristiwa-peristiwa historis tertentu direproduksi bersamaan dengan penyelenggaraan acara-acara. Peristiwa historis yang paling penting yaitu perpindahan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta pada bulan Januari 1946. Legitimasi historis untuk keistimewaan Yogyakarta ada dalam dua pemahaman pokok, yaitu hubungan kerajaan dengan pemerintah kolonial dan Negara Indonesia.Kedua hal ini ditafsirkan sebagai dasar pengakuan tentang keberadaan kerajaan yang berdaulat. Pertama, pemerintah Hindia Belanda mengakui kedaulatan Yogyakarta. Kedua, peran besar kedua raja dalam revolusi fisik Indonesia tahun 1945 – 1949. Peran besar kedua pemimpin Yogyakarta ini ditafsirkan bahwa Yogyakarta pantas mendapatkan status istimewa. Komunitas-komunitas di dalam lingkup gerakan sosial adalah ‘kelas pembelajaran sejarah bersama’. Di dalam interaksi sosialnya, para pengikut gerakan pro penetapan melakukan knowledge sharing tentang sejarah yogyakarta, terutama yang terkait dengan narasi perjuangan kemerdekaan dan bergabungnya Yogyakarta dengan Republik Indonesia. Knowledge sharing ini berlangsung PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 82 dalam diskusi-diskusi baik diskusi formal maupun diskusi informal. Dalam diskusi ini masing-masing membicarakan dan mengetahui kisah-kisah historis seputar Yogyakarta pada masa tahun 1940’an. Para aktivis gerakan pro penetapan yang tergabung di dalam Sekber tidak terikat dalam keanggotaan yang mengikat sehingga mereka juga banyak ‘tersebar’ dalam diskusi-diskusi tentang keistimewaan Yogyakarta. Dalam aktivitas-aktivitas diskusi ini pula reproduksi narasi historis tentang yogyakarta dilakukan. Tiba-tiba masyarakat menjadikan tema sejarah masuk sebagai tema yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Tiba-tiba banyak orang belajar sejarah tanpa adanya guru sejarah yang mengajarkan sejarah di ruang kelas. Pembelajaran sejarah ini berlangsung dari mulut ke mulut. Materi-materi yang disampaikan ternyata tidak mereka temui dalam ranah-ranah formal. Interaksi antar personal saat membicarakan tentang Yogyakarta menjadi kelas bersama yang cukup interaktif. 4. Penciptaan Musuh Bersama “Mereka itu musuh kami, antek-antek liberal”68 Dalam perbincangan wacana tentang keistimewaan Yogyakarta, sikap yang muncul tentu beragam, pro dan kontra. Bagi para pengikut kelompok propenetapan, pihak-pihak yang tidak menyetujui konsep keistimewaan Yogyakarta sebagai penetapan adalah ‘musuh bersama’ yang harus mereka lawan. 68Demang, wawancara.2011 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 83 ‘Liberal’ adalah sebuah label yang mereka sebut bagi pihak-pihak yang dianggap bersebrangan dengan kelompok pro-penetapan. Cap liberal ini tercipta karena bagi mereka liberalisme adalah sebuah paham barat yang sudah merasuki pola pikir negara Indonesia. Dengan logika pikir liberalisme, konsep keistimewaan Yogyakarta tentu tidak bisa diterima. Di dalam negara liberal, harus ada penyeragaman antar daerah. Dalam polemik ini siapa saja yang dianggap ‘liberal’? Pemerintah pusat adalah ‘antek liberal’69 yang pertama diserang oleh kelompok pro-penetapan. Pemerintah pusat dalam hal ini dianggap telah mengalami amnesia sejarah. Pemerintah sudah terlalu banyak dipengaruhi ide-ide asing (dalam hal ini ideologi barat) yang berpengaruh dalam kebijakan-kebijakan soal penyelenggaraan negara. Padahal menurut para penggerak pro penetapan, negara Indonesia lahir tidak dengan nafas liberalisme. Liberalisme telah dianggap merasuki kerangka berpikir yang kemudian menciptakan paradigma sesat soal demokrasi. Nilai-nilai demokrasi ditafsirkan dengan penyelenggaraan suksesi pemerintahan secara prosedural. Singkatnya, dalam perspektif liberal, nilai-nilai demokratis ditafsirkan dengan pelaksanaan Pemilukada. Jika negara (pemerintah pusat) dianggap telah terpengaruh paham liberalisme, orang-orang dan lembaga tertentu dianggap sebagai ‘antek-antek liberalis’. Orang-orang atau lembaga ini memang secara implisit maupun eksplisit menyatakan ‘kontra’ dengan pemahaman keistimewaan Yogyakarta ala kelompok pro-penetapan. 69Istilah ‘antek liberal’ ini muncul di dalam pernyataan Demang saat menyebut pihakpihak yang dianggap menjadi batu penghalang dalam gagasan penetapan. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 84 Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) UGM mendapatkan cap ini selanjutnya. Latar belakang permasalahan bermula tahun 2004 ketika banyak yang mempertanyakan tentang landasan konstitusional keistimewaan yogyakarta. Lalu muncullah RUU keistimewaan yogyakarta dengan berbagai versi. Yang dijadikan rujukan oleh pemerintah yaitu RUU keistimewaan versi JIP. Di dalam versi tersebut, posisi Sultan & PA tidak duduk sebagai Gubernur tetapi diposisikan sebagai lembaga parardhya yang secara struktur berada di atas gubernur dan wakil gubernur. *** George Junus Aditjondro adalah seorang peneliti yang sedang tertarik pada isu keistimewaan yogyakarta pada sisi status hukum Sultan Ground (SG) dan Paku Alam Ground (PAG). Pada saat acara seminar tentang status hukum sultan ground dan pa ground, dia mengeluarkan statement yang membuat kelompok pro penetapan tersinggung. Walaupun ungkapan ini diakui oleh George sendiri hanya bernada candaan, statement-nya menjadi bola panas. Kecaman terhadap pernyataan Aditjondro berlanjut ke penyegelan rumah kontrakannya di Deresan, Catur Tunggal, Sleman. Sekelompok massa menamakan Forum Masyarakat Yogyakarta (FMY). Forum ini dibentuk atas inisiatif beberapa aktivis Sekber saat berkumpul di kantor penerbit Galang Press di Baciro. Beberapa orang membentuk sebuah kelompok dengan menunjuk Demang koordinatornya. Forum ini mengumpulkan massa dan ‘mengeksekusi’ rumah Aditjondro diikuti sejumlah wartawan media massa. Pamflet-pamflet bernada usiran ditempelkan di tembok dan pintu rumah. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 85 Aksi semacam ini pernah juga dilakukan kepada beberapa tokoh yang dianggap sebagai ‘batu penghalang’ disahkannya aturan pemerintah tentang penetapan. Boediono, wakil presiden RI, Ickasul Amal, mantan rektor UGM dan Hanafi Rais yang mencalonkan diri sebagai walikota Kodya Yogyakarta. Konflik dengan Hanafi Rais bermula dari sentimen tertentu terhadap ayah Hanafi, Amien Rais. Menurut penuturan beberapa aktivis Sekber, Amien Rais pernah mengutarakan bahwa dia akan ‘membabat habis’ feodalisme. Ungkapan ini diartikan sebagai rasa ketidaksukaannya pada eksistensi Kraton di Yogyakarta. Beberapa aktivis juga menuturkan, terkait dengan wacana keistimewaan Yogyakarta, Amien Rais menyatakan dukungannya. Tapi hal ini diragukan karena pada saat yang sama, anaknya, Hanafi Rais sedang mencalonkan diri dalam pemilukada kota Yogyakarta. Tema keistimewaan Yogyakarta adalah vote getter dalam arena pemilukada kota yogyakarta. Dari ketiga calon, semuanya menggunakan tema ini untuk menarik dukungan masyarakat. Pada saat yang bersamaan, tema ini memang sedang populer, jadi sangat wajar para kandidat ini menggunakan tema ini sebagai bagian dari strategi menarik massa. Kenyataan di lapangan berbicara lain, Hanafi Rais tidak mendapatkan dukungan dari kelompok pro penetapan. Sentimen terhadap Amien Rais menjadi penyebab dari sikap kontra mereka terhadapnya. Peristiwa puncak terjadi saat kelompok Sekber menggelar aksi di Gedung Agung, Istana Presiden. Pada saat yang bersamaan kelompok Hanafi Rais juga menggelar aksi di tempat yang sama. Esoknya, salah satu media cetak menulis berita yang mengesankan Hanafi Rais PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 86 bergabung bersama kelompok-kelompok pro-penetapan untuk mendukung keistimewaan Yogyakarta. Berita ini disambut dengan respon negatif oleh kelompok-kelompok pro-penetapan. Selang beberapa hari, mereka melakukan klarifikasi terhadap media yang bersangkutan dan menyatakan bahwa Hanafi Rais bukan bagian dari mereka. Menurut penuturan Demang, Sentimen para aktivis pro penetapan bermula saat Amien Rais pernah mengungkapkan akan membabat habis feodalisme di Jawa. Pernyataanya ditafsirkan sebagai ketidaksukaan Amien Rais pada keberadaan Kraton di Yogyakarta. Cerita tentang Amien Rais beredar luas di kalangan aktivis. Salah satu cerita lainnya yaitu, saat Amien Rais mencoba mengumpulkan massa di perempatan kantor pos besar pada bulan Mei 1998, bersamaan dengan Pisowanan Ageng. Sayangnya, massa hanya melewati kantor pos besar untuk meramaikan perhelatan massa Pisowanan Ageng di Alun-alun Utara, yang akan menampilkan Sultan HB X sebagai orator. Momen ini ditafsirkan oleh para aktivis pro penetapan sebagai titik awal kebencian Amien Rais terhadap Kraton. Versi selanjutnya, seperti yang diungkapkan oleh para aktivis tersebut, Hanafi mencoba mengulangi strategi ayahnya untuk membonceng popularitas Sultan di Yogyakarta. Kejadian ini terlihat saat Hanafi juga melakukan aksi bersamaan dengan Sekber. Othering, menjadi bagian dari artikulasi gerakan keistimewaan. Tidak seperti othering di daerah lain dalam bentuk ‘putra daerah’ tidak muncul di sini. Meliyankan juga dilakukan kepada siapa saja yang mempunyai gagasan antipenetapan walaupun mereka bukan pihak yang mempunyai hubungan secara langsung. Tak terkecuali, meliyankan juga terjadi dalam perpecahan keluarga PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 87 besar istana. Kerabat Puro Pakualaman semenjak meninggalnya PA VIII mengalami perpecahan internal. Adanya perbedaan pendapat tentang siapa yang berhak naik tahta. Salah seorang pangeran yang menyatakan klaim atas haknya ikut memainkan wacana dalam wacana Keistimewaan Yogyakarta. Kelompok Sekber melakukan respons dengan melakukan aksi-aksi untuk menentang kelompok arus lawan di dalam internal Puro Pakualaman. Sekber menganggap bahwa aksi-aksi kelompok ini ditunggangi oleh pemerintah pusat yang ingin melemahkan aspirasi masyarakat tentang penetapan. Kelompok arus samping Pakualaman ini juga dinilai sebagai kelompok oportunis yang memanfaatkan situasi dalam wacana keistimewaan Yogyakarta. Hasto dan Julius mengungkapkan, kelompok massa yang mendukung Paku Alam versi lain ini adalah kelompok bayaran. Kepentingan mereka ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu yang ingin menghalangi disahkannya penetapan gubernur dan wakil gubernur. Di Yogyakarta, para pendukung keistimewaan bukan hanya orang-orang asli (putra daerah) Yogyakarta. Pengidentifikasian diri para pendukung keistimewaan bukan berdasarkan batas-batas primordialisme tetapi pada batasbatas sikap pro dan kontra. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 88 BAB IV RELASI KUASA Kuasa itu menyebar dan saling terhubung di dalam dalam setiap relasi sosial. Menjabarkan relasi kuasa, yaitu menengarai kejadian dan pihak yang saling terhubung oleh kekuasaan dalam konteks wacana tertentu. Dengan kata lain, dalam analisis kuasa, menjabarkan ‘bagaimana’ lebih penting daripada menemukan ‘apa’. Jika bahasan sebelumnya (Bab II dan Bab III) berperan sebagai pemaparan, pada bagian bagian ini, fokus beralih ke penguraian konstelasi antar subyek yang sedang melakukan kontestasi dan lingkup wacana yang membentuknya. Tujuan dari penelusuran ini yaitu memberikan kerangka pandang yang luas tentang bagaimana berlangsungnya mekanisme kuasa. Tujuan ini bisa dicapai dengan memproblematisasikan kembali hal-hal yang seakan-akan sudah menjadi kebenaran umum. Pembahasan dalam Bab ini dipecah dalam beberapa sub bab, yang masing masing mencoba menjelaskan uraian ranah-ranah hubungan kuasa yang terjadi dalam problematika Keistimewaan Yogyakarta. Pertama, Negara dan Kedaulatan adalah penelusuran mengenai genealogi kedaulatan monarki di Yogyakarta. Bahasan ini sekaligus menjelaskan hubungan-hubungan kuasa yang terjadi antar pihak yang disebut negara pada masa pra kolonial sampai dengan paska kolonial dengan menampilkan pergeseran tertentu yang mempengaruhinya sampai saat ini. Kedua, Pemerintah dan Rakyat adalah penjabaran mengenai hubunganhubungan kuasa yang terjadi antar pihak yang berseteru. Penjabaran ini sekaligus PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 89 memberikan kaitan bagaimana hubungan-hubungan tersebut bergeser seiring perubahan kondisi sosial politik. Ketiga, Meributkan Wacana Kebenaran adalah perincian mengenai dalam wacana kebenaran yang terwujud secara spesifik. Polemik tentang keistimewaan adalah perang wacana tentang bagaimana menafsirkan kebenaran yang terwujud dalam pengetahuan tertentu. Jika ditempatkan pada penciptaan gaya pemerintahan, menjadi tercipta pemahaman tertentu tentang norma-norma. Maka, akan terwujud pula pengetahuan yang secara langsung maupun tidak langsung, mendefinisikan tentang normalitas dan abnormalitas. Karena menggunakan Foucault sebagai pintu masuk sekaligus pisau analisis, saya akan memulai proses penulisan ini dengan beberapa langkah. Langkah pertama, saya akan merinci siapa subyek yang saling terhubung dalam relasi kuasa. Dalam analisis ini, saya merinci empat subyek sebagai berikut, yaitu: Penguasa Atasan, Penguasa Bawahan, Kelompok Elit, dan Rakyat. Hubungan antar empat subyek tersebut, saya gambarkan sebagai berikut: PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 90 Tanda anak panah yang menghubungkan antar subyek menunjukkan hubungan kuasa yang merangkai subyek-subyek ini. Dengan kata lain, pada garisgaris tersebut kuasa yang sebenarnya mengalir dan saling menghubungkan antar subyek dalam lingkaran kuasa. Dengan gambar ini, saya ingin menunjukkan bagaimana para subyek hidup dalam lingkaran kuasa. Dan kuasa yang sebenarnya tidak dimiliki secara dominan oleh salah satu subyek melainkan mengalir dan menghubungkan mereka. Kemudian saya mencoba melihat pola hubungan antar subyek dengan merinci pola hubungan. Untuk memperjelas hubungan-hubungan ini, saya akan menempatkan pada ranah-ranah atau momen-momen tertentu. Garis merah menunjukkan alur praktek pendisiplinan, dengan kata lain ‘menguasai’. Sebaliknya, garis hijau menunjukkan alur tindakan normatifnya, dengan kata lain ‘kepatuhan karena dikuasai’. Sebagai contoh, hubungan raja dan rakyat; raja PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 91 menguasai rakyat dengan sabda-sabda untuk menentramkan, dan rakyat patuh kepada raja dengan dengan duduk dan mendengarkan. Pada kenyataannya sebuah praktek pendisiplinan tidak selalu dibalas dengan tindakan normatif. Misalnya, sebuah perintah yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak ditanggapi dengan kepatuhan melainkan perlawanan. Sebagai ilustrasi, sekelompok murid menolak materi pengajaran seorang guru. Kondisi inilah yang disebut resistensi. Dengan skema-skema di bawah ini, saya mencoba menjelaskan secara visual, bagaimana hubungan antar subyek terjadi. Skema di susun untuk menggambarkan momentumnya. pergeseran-pergeseran tertentu berdasarkan momentum- PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 92 Sejenak saya melihat bahwa hubungan-hubungan kuasa yang terjadi pada masa kolonial, menunjukkan pola yang sama. Hal ini nampak dari selalu ada subyek yang menjadi penguasa atasan. Jika, pada masa pra kolonial, penguasa atasan adalah otoritas kerajaan-kerajaan di Jawa yang membawahi kerajaankerajaan kecil (vasal), sedangkan pada masa kolonial, penguasa atasan berubah yaitu pemerintah kolonial yang menguasai kerajaan di Jawa yang berubah menjadi vasal. Skema-skema ini sekaligus menjelaskan bagaimana pergeseran-pergeseran yang terjadi pada masa pra kolonial sampai dengan masa paska kolonial sebagaimana sudah saya tuliskan dalam bab II. Penjelasan dalam analisis ini bertujuan untuk lebih memberikan penekanan pada bagaimana hubungan ini terjadi dan bagaimana pergeserannya. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 93 Seluruh penjelasan dalam analisis ini adalah penjabaran dari hubunganhubungan yang terjadi pada antar subyek. Penjelasan-penjelasan dalam analisis yang terbagi dalam beberapa sub bab ini disusun saat mencermati pergeseran artikulasi dalam hubungan antar subyek. Dua hal penting sebagai panduan untuk menuliskan analisis dari skema-skema ini yaitu 1) kedudukan subyek dan pergeserannya dalam konstitusi sosial budaya dan 2) wacana tertentu sebagai konstruksi sosial yang berdasarkan prinsip penataan realitas, atau episteme. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 94 Sebagai catatan, saya tidak akan menjabarkan semua hal yang terkait kompleksitas hubungan-hubungan antar subyek dalam momentum-momentum yang saya tampilkan dalam skema-skema tersebut. Penulisan analisis ini hanya mengembangkan bagian-bagian signifikan yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perkembangan Wacana Keistimewaan Yogyakarta saat mulai menguatnya gerakan keistimewaan. A. NEGARA DAN KEDAULATAN Semenjak pergunjingan mengenai Keistimewaan Yogyakarta semakin menguat, ungkapan ‘Yogyakarta adalah negara yang lebih dulu berdaulat daripada Indonesia’ sangat sering saya dengar. Kalimat tersebut sering diungkapkan orangorang yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas pro penetapan. Mereka yang berbicara soal kedaulatan tersebut adalah kalangan masyarakat yang sehari- PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 95 harinya tidak bekerja di ranah-ranah akademis ataupun politik. Namun, tiba-tiba mereka mempunyai keyakinan bahwa Yogyakarta dulu pernah menjadi negara berdaulat sebelum terlahirnya Republik Indonesia. Maka, masyarakat umum meyakini bahwa Yogyakarta memang sudah sewajarnya menjadi sebuah daerah istimewa. Maka menjadi penting untuk menelusuri bagaimana pemahaman soal kedaulatan ini sebagai pintu masuk pembahasan. Jika Yogyakarta pernah menjadi negara yang berdaulat, mengapa saat ini hanya puas sebagai daerah istimewa? Bahkan, massa kelompok pro penetapan selalu membawa bendera merah putih dalam setiap aksi-aksinya. Seakan-akan hal ini ambivalen. Di satu sisi menentang kebijakan pemerintah, tapi di sisi lain mereka membawa simbol-simbol negara. Akan tetapi, hal ini tidak bisa dimengerti tanpa memahami lebih dalam tentang pemaknaan soal kedaulatan dan hubungan-hubungan kuasa yang melingkupinya. 1. Kedaulatan Semu Dalam dinamika politik di Jawa, kolaborasi pemerintahan ini sudah menjadi hal yang lazim, bahkan sebelum masa kolonial. Dinamika pemerintahan di Jawa memungkinkan adanya penguasa yang ‘saling menumpuk’. Dalam satu kerajaan, bisa terjadi ada beberapa penguasa. Mereka menjadi raja atas wilayah dan pengikutnya masing-masing. Tetapi, salah satu penguasa yang terkuat dan menaklukkan penguasa yang lain berlaku sebagai raja atasan. Para penguasa lain yang takluk tetap memerintah sebagai raja-raja bawahan sebagai Adipati. Daerah- PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 96 daerah yang diperintah oleh para raja bawahan ini disebut vasal. Sebuah vasal pada prakteknya menjadi daerah otonom walaupun secara de jure merupakan bagian dari negara atasan. Setelah masuknya pengaruh asing, keberadaan vasal juga tidak dihilangkan. Kerajaan-kerajaan lokal di nusantara yang ditaklukan oleh Belanda tetap ditempatkan dalam ‘suaka’. Maka, kerajaan-kerajaan ini seakan-akan tetap berkuasa dihadapan rakyat. Penaklukan negara lokal dengan vasalisasi terjadi seperti permainan catur. Pihak putih mengalahkan pihak hitam dan mengganti bidak-bidak hitam dengan bidak-bidak putih yang bekerja di pihak hitam. Awalnya, keduanya saling melawan. Pihak kolonial sedikit demi sedikit memasuki pemerintahan kerajaankerajaan Jawa. Dengan memutilasi kedaulatan dan wewenang kerajaan, hanya tersisa raja dan struktur pemerintahan yang tidak berdaya. Akhirnya, posisi raja seperti halnya dengan raja dalam permainan catur yang geraknya sangat terbatas. Kerajaan Yogyakarta adalah salah satu vasal di dalam pemerintahan Hindia Belanda. Kerajaan-kerajaan vasal di Jawa hanya ditempatkan untuk kepentingan simbolik pada ritual-ritual adat. Di dalam pemerintahan, pengaruh raja (Sunan, Sultan, atau Adipati) tidak bisa sepenuhnya kuat. Wewenang mereka harus ditopang oleh birokrasi pemerintahan kolonial. Hanya saja, kesan keagungan para raja ini masih kuat tertanam masyarakat. Saya mencermati bahwa ada dua pemahaman penaklukkan yang berbeda antara pemahaman Jawa dengan Eropa. Penguasaan sebuah wilayah bagi para pendatang Eropa adalah penguasaan tanah. Hal berbeda yang berlaku bagi para PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 97 penguasa Jawa yaitu, penguasaan mereka atas wilayah tertentu yaitu penguasaan atas orang-orang yang mendiami wilayah tersebut. Dengan perbedaan pandangan ini, maka menjadi sewajarnya jika yang terjadi demikian: tanah telah dikuasai pemerintah kolonial tapi rakyat tetap patuh pada raja-raja Jawa. Jika sejarah tersebut saya gunakan untuk merefleksikan apa yang terjadi saat ini, maka bisa dipahami bahwa kenapa ada rombongan besar pendukung raja dalam dinamika politik di Yogyakarta. Ada beberapa hal yang digarisbawahi yaitu: pertama, semenjak ratusan tahun, dari masa pra kolonial sampai paska kolonial, rakyat selalu berhubungan secara langsung dengan raja. Keberadaan pemerintah atas yang berganti selalu berganti tidak memutus hubungan antara rakyat dan raja. Kedua, rakyat adalah obyek kekuasaan raja. Semenjak Yogyakarta menjadi vasal dalam pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan menjadi sebuah daerah istimewa, rakyat tetap memberikan kesetiaannya pada figur seorang raja. Pada masa lalu, terlihat dalam sistem cacah (keluarga petani). Besarnya kekuasaan seorang penguasa Jawa yang bisa dilihat dari sebanyak apa pengikutnya. Maka, yang perlu digarisbawahi dalam pembahasan kedaulatan bertingkat ini yakni kekuasaan sebuah negara-kerajaan di Jawa pada prakteknya semu. Sebuah negara penakluk tidak benar-benar mengendalikan seluruh wilayah dan rakyatnya. Sebagian wewenangnya tetap diberikan kepada negara bawahan untuk memerintah. Kondisi ini yang menimbulkan penafsiran bahwa Yogyakarta pernah menjadi negara yang berdaulat. Kenyataannya, Yogyakarta tidak pernah PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 98 berdaulat. Yogyakarta adalah sebuah bekas negara bagian di Pemerintahan Hindia Belanda. Kerajaan Yogyakarta, tidak pernah berkuasa penuh, ia adalah bagian dari pemerintahan yang lebih besar. Jika di masa lalu, Kasultanan Yogyakarta hidup pada subordinasi pemerintah kolonial, saat ini ia hidup dengan subordinasi negara paska kolonial dalam sebuah suaka bernama daerah istimewa. 2. Bom Waktu Kolonial: Dualisme Penelusuran eksistensi daerah istimewa ini selanjutnya tertuju pada masa kolonial, saat pemerintah kolonial menjamin berlangsungnya sistem pemerintahan tradisional. 70 Dengan skema tata hukum, masyarakat pribumi yang hidup di wilayah tertentu, tetap hidup dengan aturan-aturan hukum adat. Terciptalah dikotomi, ada penerapan hukum positif barat yang dianggap modern, tapi aturanaturan adat tetap dipertahankan. Masyarakat kolonial juga terbagi dalam dua bagian besar yang hidup dengan dikotomi aturan. Adat menjadi aset yang “dipelihara” sebagai kolaborator efektif untuk mengelola rakyat. Maka. tugas pemerintah kolonial untuk mengatur rakyat menjadi lebih ringan. Pemerintahan kolonial mempunyai prinsip dualistik dalam menjalankan pemerintahannya. Dualisme ini diaplikasikan dalam sendi-sendi pemerintahan. Kita telah melihat dualisme yang tercipta dibalik dipeliharanya hukum-hukum adat dengan pemahaman Adatrech, tapi corak ini juga diaplikasikan di hal-hal 70Problematika tentang hukum adat ini dibahas secara komprehensif oleh seorang ahli hukum tata negara berkebangsaan Belanda, van Vollenhoven. Kajian tentang tata kelola hukum adat ini kemudian disebut mazhab Leiden. Dengan mazhab Leiden yang menelurkan Adatrech (kajian tentang hukum-hukum adat), yang dianut oleh para indolog, dia menganggap bahwa adat itu juga sebuah gugusan aturan-aturan hukum seperti halnya hukum-hukum positif Eropa. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 99 lain, seperti memberikan otonomi pada masyarakat kampung untuk menyusun sistem keamanan yang mandiri.71 Maka, tidak ada perbedaan yang signifikan antara masa pra kolonial dan kolonial, bahwa tetap ada distribusi otoritas. Otoritas kecil, yaitu ‘raja-raja kecil’ yang memerintah rakyat berhubungan dengan otoritas besar yaitu pemerintahan kolonial.72 Dualisme ini menjamin adanya daerah-daerah Voorstenlanden di Jawa. Lebih dari separuh wilayah Hindia Belanda mengalami dijajah secara tidak langsung ini berbentuk pemerintahan adat dan pemerintahan kerajaan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah kolonial tidak sepenuhnya mengendalikan secara langsung sejumlah daerah dalam lingkup kekuasaannya Kelompok kolonial yang segelintir menggunakan penguasa-penguasa lokal untuk memerintah rakyat. Raja-raja di wilayah eks kerajaan Mataram tetap memerintah rakyatnya. Birokrasi kerajaan juga tetap beroperasi. Tapi, tetap ada kerjasama antara birokrasi kolonial dengan birokrasi kerajaan lokal. Maka, di Yogyakarta ada dua pemerintah yang berkuasa. Sebagaimana diungkapkan oleh Onghokham (1983) bahwa salah satu hal signifikan dalam kolonialisme pada kerajaan-kerajaan tradisional di Jawa yaitu terintegrasinya penguasa-penguasa pribumi, baik raja-raja kecil atau para bupati di daerah pinggiran maupun raja dan 71Lihat pemaparan Abidin Kusno dalam Penjaga Memori: Gardu di Perkotaan Jawa, Yogyakarta: Ombak, 2007, hlm. 65 – 66. Walaupun tetap mengawasi wilayahnya secara panaptikon, pemerintah kolonial memberikan keleluasaan pada penguasa-penguasa lokal/pribumi untuk mengambil peran dalam pengendalian atau pengawasan masyarakat. Gardu menjadi contoh, bagaimana pemerintah kolonial mendorong terciptanya sistem keamanan lokal berbasis kampung. 72Ong Hok Ham menuliskan bahwa pemerintah kolonial menjamin tetap hidupnya ‘rajaraja kecil’ yaitu bupati agar mengendalikan keamanan dan bisnis perkebunan tebu. Onghokham. 1983. ”Merosotnya Peranan Pribumi dalam Perdagangan Komoditi,” dlm. PRISMA no 8, Agustus 1983, Tahun XII PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 100 institusi kraton di pusat kekuasaan Jawa dengan birokrasi pemerintahan kolonial Belanda. Dengan pemaparan diatas saya mencoba menunjukkan bahwa hubungan rakyat dengan pemerintah pusat selalu berjarak. Pemerintah lokal menjadi perantara antara rakyat sebagai obyek kekuasaan dengan pemerintah pusat, Walaupun dinamika politik lokal sudah memasuki masa kolonial, pemerintah lokal tetap mendapatkan otoritas untuk mengelola rakyat atas nama pemerintah atasan. Hal penting dalam prinsip dualistik pemerintahan kolonial adalah soal gaya kolaborasi memerintah. Kolaborasi pemerintahan kemudian memunculkan pembagian kekuasaan. Demikian juga pemerintahan di vorstenlanden di Jawa (Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta). Pemerintah kerajaan mengelola wilayahnya bersama dengan pemerintah kolonial. Seperti halnya papan catur, satu ranah yang sama terdapat sisi putih dan hitam yang tersebar. Kembali ke bersatunya birokrasi kolonial dengan para penguasa feodal di Jawa, hal ini menunjukkan bahwa pada perkembangannya kedudukan kultural menjadi sama dengan jabatan politik. Pada prakteknya para bupati di daerah pinggiran yang menjadi raja-raja kecil, berperan sebagai pejabat administratif pemerintah. Walaupun hal ini tidak berlangsung di vorstenlanden, dengan adanya pembagian tugas antara raja dan patih, pada masa Sultan HB IX, jabatan patih dihapuskan. Maka, di Yogyakarta, jabatan pemimpin kultural juga menjadi pemimpin birokrasi. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 101 Pada masa Sultan HB IX, birokrasi Kraton tidak lagi mempunyai peranan yang penting. Peranan birokrasi kraton dihapuskan. Pemerintahan sepenuhnya dikendalikan oleh birokrasi pemerintah Republik Indonesia. Satu-satunya posisi yang tidak berubah yaitu kedua raja di Yogyakarta yang tetap memimpin pemerintahan. Hal itu pun tetap dengan penyesuaian yakni dengan menjadi Gubernur dan wakil gubernur. Dengan perubahan dari monarki ke republik, kesan lama yang masih tertinggal yaitu raja-raja yang menjabat gubernur dan wakil gubernur. Maka, ditengah ketidakjelasan konsep keistimewaan, Yogyakarta tetap terkesan istimewa. Struktur asli pemerintahan di Yogyakarta sudah mengalami banyak perubahan. Penyesuaian gaya pemerintahan ini membuat Yogyakarta memiliki birokrasi pemerintahan yang sama dengan propinsi-propinsi lain. Birokrasi Kraton tidak lagi berlaku dan jabatan-jabatan tertentu harus bertransformasi (Soemardjan, 2009).73 Indonesia sebagai negara penerus (Successor State) cenderung tidak menerapkan corak pemerintahan yang dualistik. Pada perkembangannya, negara ini cenderung menciptakan gaya memerintah yang simetris dan monolitik. Seluruh wilayah dibagi menjadi propinsi-propinsi yang mempunyai struktur sama. Akibatnya, entitas-entitas politik seperti pemerintahan adat dan kerajaan vasal yang dulu mendapatkan porsi pemerintahan pada masa kolonial menjadi terhapuskan. Bom Waktu kolonial meledak saat prinsip dualistik ini tidak lagi 73Selo Soemardjan (2009) dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta, menggambarkan bahwa para pejabat Kraton Yogyakarta, yaitu para pamong praja yang terdiri dari para lurah harus menyesuaikan diri dengan perubahan susunan birokrasi pemerintahan. Mereka tidak lagi bertanggung jawab kepada Sultan dan Kraton tapi kepada pemerintah. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 102 dipraktekkan oleh pemerintah baru, Republik Indonesia. Hal inilah yang menimbulkan ‘gagap’ pada paska reformasi.74 Bagian terpenting yang menjadi ‘bom’ dan meledak pada paska kolonial yaitu birokrasi kraton, para bangsawan, dan orang-orang dekat raja. Pada masa kolonial mereka mendapatkan porsi dalam pemerintahan. Sebaliknya, pada masa pemerintahan Republik Indonesia, penentuan struktur birokrasi tidak menempatkan mereka menjadi bagian dari aparatur pemerintahan. Hal ini terlihat pada para perangkat desa. Mereka adalah kelompok massa yang menjadi gelombang pertama Gerakan keistimewaan Yogyakarta. Dengan melakukan dukungan terhadap penetapan, maka ada harapan untuk mengembalikan peran mereka yang lebih kuat dalam birokrasi pemerintahan di Yogyakarta seperti pada masa lalu. Jadi, pada daerah-daerah bekas vorstenlanden atau bekas vasal, rakyat sudah terbiasa dengan dualisme aturan yang berlaku. Mengingat hanya ada satu bekas daerah vasal di Indonesia, yaitu Yogyakarta, sangat bisa dimengerti bahwa sebagian masyarakat masih ingin tetap mempertahankan bentuk-bentuk aturan tradisional yang berlaku di daerahnya, walaupun tetap menerima aturan-aturan yang digariskan oleh pemerintah pusat. 74Terinspirasi dari Yogyakarta, raja-raja serta masyarakat adat di Indonesia yang terepresentasikan oleh AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) mencoba merebut posisiposisi dalam politik pemerintahan daerah. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 103 3. Pergeseran Kuasa Jawa Jika dilihat dengan sudut pandang kuasa Jawa, vasalisasi meruntuhkan daya kuasa yang terepresentasikan dalam pribadi raja. Gagasan kuasa Jawa menunjukkan bahwa keberadaan seorang raja sangat sentral dalam pemerintahan. Salah satu ciri dalam pemerintahaan kerajaan yaitu mekanisme suksesi turun-temurun. Jadi, kekuasaan itu tunggal, memusat, serta diturunkan ke generasi selanjutnya.75 Pusat kestabilan ini saling berkelindan. Ia tidak boleh berdiri pada satu dimensi saja. Bukan sekedar pemimpin politik. Bukan sekedar pemimpin tradisi atau ritual. Pemimpin dalam gagasan kuasa Jawa adalah pemimpin yang membawa kendali dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Dalam prakteknya, pusat kuasa ini terwujud dalam pribadi seorang Sultan yang menjadi pemimpin yang multi dimensi. Gelar seorang Sultan yaitu Sayidin Panatagama Kalifatullah, merepresentasikan kuasa total atas dimensi-dimensi tersebut. Seperti diketahui bersama dalam rangkaian sejarah kebudayaan Jawa, ihwal raja dan kekuasaannya memiliki peran yang sentral. Perjalanan hidup-mati sebuah kerajaan mempengaruhi konstruksi budaya masyarakat dan bagaimana mereka mengindentifikasi dirinya. Menjadi sebuah kewajaran, karena kerajaan adalah tempat dimana nilai-nilai dibangun dan disebarkan kepada rakyat, sehingga menjadi kepercayaan yang mengakar. 75Tentang gagasan kuasa jawa, lihat penulisan Anderson (2000) dan Moedjanto (1987) yang menjabarkan bagaimana gagasan tentang kuasa beroperasi dalam kepemimpinan seorang raja. Secara sederhana kuasa Jawa dijabarkan sebagai kuasa tunggal yang dimiliki oleh seorang raja. Oleh karena itu, menjadi wajar ketika kepemimpinan seorang raja menjadi sangat sentral terhadap dimensi-dimensi kehidupan rakyat. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 104 Pada prakteknya, kuasa raja yang sentralistis ini sebenarnya sudah runtuh. Walaupun di hadapan rakyat pribadi seorang raja maupun institusinya (kraton), otoritas raja sebenarnya semu. Hak dan wewenangnya untuk memerintah tidak sah jika tidak direstui oleh pemerintah kolonial sebagai atasannya. Namun, imaji kekuasaan raja masih terus dipertahankan di mata rakyat dengan menghidupkan kisah-kisah tentang hubungan raja dengan hal-hal magis seperti hubungan raja dengan kekuatan imajiner dari gunung Lawu, gunung Merapi atau Laut Jawa. Kisah-kisah mengenai hubungan-hubungan khusus antara raja dengan Tuhan atau dunia transendental seperti Nyi Roro Kidul, menjadi cara pembentukan legitimasi kedaulatan raja di mata rakyat. oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa kuasa yang dimiliki oleh seorang raja adalah kuasa yang diturunkan dari Tuhan. Bentuk kuasa ini tunggal dan tidak terbagi, dalam tradisi Jawa disebut wahyu. Dan kuasa ini bisa berpindah melalui jalur keturunan, yaitu melaui suksesi raja kepada putra mahkota. Saya mencermati legitimasi kekuasaan raja yang tadinya berasal dari Tuhan, dialihkan menjadi berasal dari rakyat. Dalam gelar Sultan, terdapat frasa Sayidin Kallifatulah Panatagama, gelar ini menampilakan arti bahwa pribadi seorang raja menjadi perwakilan Tuhan di dunia. Dengan pemaknaan lain, karena raja adalah perwakilan Tuhan di dunia, maka raja mempunyai wewenang untuk memerintah rakyat. Jika dicermati lebih lanjut, semenjak pemerintahan Sultan HB IX, muncul semboyan baru yaitu Tahta untuk Rakyat. Tidak bisa dipungkiri bahwa Sultan HB IX adalah pribadi yang sudah mengenal gagasan-gagasan soal demokrasi dan pemerintahan modern. Mungkin raja Yogyakarta ini mencoba PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 105 untuk melunturkan kesan feodal. Semboyan ini kemudian diperkuat oleh raja penerusnya, Sultan HB X dengan semboyan Meneguhkan Tahta untuk Rakyat. Dari semboyan ini saya mencoba mencermati bahwa kekuasaan raja yang tadinya diyakini turun dari Tuhan bergeser menjadi diberikan oleh rakyat. Keberadaan rakyat sangat signifikan untuk posisi raja. Tanpa ada dukungan rakyat, seseorang tidak bisa menjadi raja. Dengan kata lain, tidak ada raja tanpa pengikut. Oleh karena itu menjadi sewajarnya jika beberapa orang yang bergabung di kelompok pro penetapan menyitir pepatah lama vox populi-vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Dalam perbincangan argumentatif mengenai Keistimewaan, ada satu semboyan filosofis yang diungkap kembali yaitu manunggaling kawula gusti. Semboyan yang diyakini bersama sebagai jargon perlawanan Pangeran Mangkubumi ini, diungkap kembali dengan pemaknaan bahwa kekuasaan raja di Yogyakarta berasal dari rakyat. Ungkapan simbolik ini ditegaskan kembali dengan Tahta untuk Rakyat. Mari kita mencermati kembali apa yang diungkapkan oleh para aktivis pro penetapan; “arti demokrasi adalah kehendak rakyat. Jika rakyat menghendaki demikian (dipimpin oleh raja), maka inilah demokrasi.” Bukan tidak mungkin bahwa para pendukung raja ini memperluas kekuatan mereka dengan menarik perhatian masyarakat, sehingga legitimasi wewenang raja tercipta karena besarnya dukungan rakyat. Hal ini berhasil, sebagaimana diungkapkan oleh para aktivis pro penetapan, Manunggaling Kawula Gusti dan Tahta untuk Rakyat diyakini sebagai bentuk demokrasi di Yogyakarta. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 106 Saya akan kembali mencermati peristiwa pada tahun 2007. Sultan HB X mengungkapkan ketidaksediaannya untuk dicalonkan kembali sebagai gubernur DIY. Pernyataan tersebut ternyata membuat dukungan masyarakat untuk penetapan semakin menguat. Sejumlah pengamat pemerintahan menganggap pernyataan tersebut sebagai upaya untuk menjajagi dukungan publik di Yogyakarta. Dari peristiwa ini terlihat bahwa peran rakyat sangat diperhitungkan untuk memperkuat kekuasaan seorang penguasa. Sekaligus hal ini menjelaskan adanya pergeseran tentang legitimasi kuasa seorang raja yang tadinya mendasarkan kuasa dari Tuhan bergerak ke kuasa dari Rakyat. Maka, ungkapan Sultan HB X pada tahun 2011 di sebuah stasiun televisi menjadi sulit terbantahkan; “Tanya saja pada rakyat Jogja.” Rakyat ditimpatkan dalam posisi yang penting untuk meneguhkan kedudukan raja. Pergeseran yang terjadi tentang legitimasi kekuasaan raja yang tadinya berasal dari Tuhan menjadi berasal dari rakyat, pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu: penguasaan atas rakyat. Dalam hal ini rakyat sebagai kumpulan orang-orang yang mendiami wilayah tertentu selalu menjadi obyek kekuasaan untuk diarahkan pada kepentingan tertentu, khususnya kepentingan penguasa. 4. Kontrak (Politik) Pernikahan Kolonialisme mengenalkan budaya politik baru dalam peta politik di Jawa yaitu perumusan legalitas melalui kesepakatan tertulis yang berlaku mengikat. Momentum-momentum perjanjian politik secara tertulis ini yang membawa ke PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 107 perubahan signifikan dalam pemerintahan. Hal ini saya sebut sebagai logika kontrak dalam budaya politik. Kontrak adalah kesepakatan antar dua pihak. Posisi kedua pihak tidak selalu setara tapi keduanya mempunyai nilai tawar yang dipertaruhkan. Dan faktanya, pihak kerajaan-kerajaan Jawa selalu kalah dalam kesepakatan-kesepakatan tertulis yang diciptakan oleh pemerintah kolonial. Mekanisme penundukan dengan perjanjian dengan VOC terjadi beberapa kali sepanjang tahun 1700’an. VOC sepenuhnya menundukan Mataram dengan perjanjian tahun 1949 yang menyebutkan bahwa raja menyerahkan negara Mataram. VOC masih mengijinkan raja untuk memerintah dengan “kedaulatan yang dipinjamkan.” Penandatangan perjanjian politik oleh raja tersebut menandakan dimulainya periode kolonial.76 Kontrak politik tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menundukan. Kontrak politik adalah alat kontrol. Pemerintah kolonial menyodorkan kontrak politik kepada seorang putra mahkota yang akan naik tahta. Butir-butir aturan dalam kontrak disusun sedemikian rupa untuk semakin mengurangi wewenang raja. Gubernur Hindia Belanda, Lucien Adams menyodorkan draf kontrak politik kepada Pangeran Dorodjatun. Mencermati ada ketidaksesuaian pada butir-butir aturan dalam kontrak politik tersebut, sang Putra mahkota enggan menandatangani. Sempat terjadi kekosongan tahta. 76Lihat Moedjanto (2002) melalui Suksesi dalam Sejarah Jawa, menuliskan bahwa penandatangan surat perjanjian ini sebenarnya ditafsirkan secara keliru oleh pihak VOC. Dalam surat perjanjian tersebut, tertulis ngaturaken yang artinya ‘menyerahkan’. Pihak VOC menganggap bahwa ungkapan ini penyerahaan kedaulatan kerajaan. Moedjanto berpendapat bahwa ungkapan ini sebenarnya ungkapan yang lazim diartikulasikan dalam gaya tutur maupun lisan. Jadi, belum tentu juga perjanjian ini bermaksud menyerahkan kedaulatan. Lepas dari kritik historis ini, posisi kerajaan Mataram sangat lemah dihadapan VOC sehingga tidak bisa menunjukkan daya tawarnya. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 108 Perjanjian yang sebenarnya alat penundukan ini bahkan menjadi legitimasi kelahiran Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti yang disepakati antara kedua pihak bangsawan Mataram yang berseteru serta VOC, menjadi titik peristiwa ini. Penundukan tertulis ini telah menjadi inisiasi atas hak memerintah dinasti Hamengku Buwono. Singkatnya, perjanjian politik tertulis menunjukkan bahwa eksistensi Yogyakarta sejak awal tidak pernah berdaulat penuh. Bahkan, bisa dikatakan kedaulatan itu tidak dimiliki karena hanya dipinjamkan. Dalam sebuah kontrak, ada unsur-unsur tertentu yang mutlak harus ada. Kontrak yaitu perjanjian yang disepakati bersama antar dua belah pihak atau lebih. Posisi masing-masing pihak bisa setara maupun tidak setara. Yang dimaksudkan posisi dalam hubungan kontrak yaitu daya pihak yang melakukan kontrak untuk menentukan atau merumuskan content dalam kontrak yang disepakati bersama. Jika posisi masing-masing pihak setara, mereka mempunyai daya yang sama untuk merumuskan ketentuan-ketentuan sebelum terjadinya kesepakatan. Sebaliknya, jika ada pihak yang lebih dominan, ia menjadi lebih kuat dalam menentukan bentuk-bentuk kesepakatan. Sudah dijelaskan dalam penelusuran sejarah bahwa perjanjian-perjanjian politik antara Kerajaan Mataram dengan Kompeni bukanlah perjanjian atau kontrak yang setara antar pihak. Walaupun tidak setara, keduanya tetap mempunyai daya tawar yang cukup kuat untuk bernegosiasi. Pada awalnya, posisi kompeni bukan yang dominan, tapi karena perannya yang cukup kuat dalam hal perdagangan dan militer, menjadikannya lebih dominan daripada para penguasa di Jawa. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 109 Sebelumnya sudah terungkap bahwa salah dengan perjanjian politik, terjadi perubahan posisi antara kerajaan Mataram dengan Kompeni. Mataram pada akhirnya berbalik menjadi vasal, padahal sebelumnya Kompeni yang menjadi vasal dalam lingkup kekuasaan kompeni. Maka, perjanjian politik, yang pada perkembangannya disebut kontrak politik, membawa implikasi bagi kedua belah pihak sebagai penanda kekuasaan. Bagi Kompeni yang menjadi pihak dominan, kontrak politik menunjukkan tiga hal pokok yang merinci kedudukannya. Pertama, kontrak ini adalah dasar legitimasi kekuasaan. Dengan kata lain, kontrak menjadi alat penundukan. Secara eksplisit, legitimasi ini tertera bahwa Kompeni menjadi pihak yang lebih kuat untuk menentukan aturan, menjadi berdaulat, dan berkuasa atas tanah, dan pemerintahan. Kedua, sesudah secara jelas terjadi penundukan yang menempatkan posisi Kompeni sebagai pihak yang dominan dalam hubungan pemerintahan di Jawa, kontrak politik adalah alat kontrol. Kontrak politik menjadi alat kontrol karena di dalamnya mengandung pokok-pokok aturan sebagai dasar dalam pemerintahan. Jadi kontrak politik sama saja dengan sebuah sistem tata kelola pemerintahan. Maka, sistem pemerintahan inilah yang menjadi sistem kontrol bagi penguasa lokal, dalam hal ini raja, oleh Kompeni sebagai pemerintah kolonial. Bagi penguasa lokal, dalam hal ini raja dan pemerintah kerajaan (Sultan dan kraton), kontrak politik juga menjadi penanda yang sangat penting bagi kedudukan kuasanya. Pertama, dengan adanya kontrak politik, maka seseorang bisa menjadi raja. Dari sini terlihat bahwa legalisasi kekuasaan raja berasal dari pihak luar. Maka, kedaulatan raja menjadi semu karena pemerintah kolonial yang sebenarnya mempunyai kedaulatan tersebut. Di sisi lain, posisi ini justru PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 110 menguntungkan posisi raja dan para bangsawan yang menjadi aparatur pemerintahan, karena peran mereka dilebur menjadi bagian dari birokrasi kolonial. Saya akan mencermati bagaimana konsep legalisasi kedudukan politik terwujud dalam logika kontrak. Secara lebih spesifik, hal ini terwujud dalam model kontrak pernikahan. Publik di Yogyakarta ‘dipaksa’ setiap harinya menngetahui perkembangan isu Keistimewaan Yogyakarta melalui spanduk yang bertuliskan “Konsisten Ijab Qobul”. Spanduk putih dengan gambar seorang abdi Dalem memegang senjata ini adalah satu jenis spanduk yang paling banyak tersebar di sudut-sudut kota. Tanpa banyak kata, propaganda kelompok pro penetapan dalam bentuk frasa ini memberikan efek yang cukup kuat pada pemahaman masyarakat luas soal tema ini. Walaupun tanpa menggunakan kata ‘keistimewaan’ masyarakat yang melihat spanduk ini mengetahui bahwa frasa ini adalah pemaknaan resmi (dari kelompok arus utama) tentang tema keistimewaan. Bahkan, propaganda ini berhasil memancing keingintahuan serta memberikan pengetahuan bahwa Keistimewaan Yogyakarta adalah sebuah kontrak perkawinan antara pemerintah Republik Indonesia dengan Yogyakarta. Dari titik ini, terbaca sebagaimana dipahami oleh golongan arus utama keistimewaan, kedaulatan adalah soal perkawinan politik. Protes kepada pemerintah dengan membuat analogi pernikahan ini sebuah proses untuk menggugat sebuah kontrak. Dalam konsep pernikahan Islam, pihak yang menyerahkan diri, mempunyai hak untuk menggugat cerai. Maka, hal ini yang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 111 dilakukan oleh pihak pro penetapan, yaitu melakukan gugatan atas pernikahan politik antar Indonesia dan Yogyakarta pada tahun 1945. 5. Renegosiasi Kontrak: Politik Balas Budi Ada usaha untuk menegosiasikan kontrak politik. Dalam pengakuannya, HB IX menceritakan bahwa dirinya menandatangani kontrak politik dengan setengah hati. Kesediaannya untuk menandatangani kontrak itu karena bisikan gaib yang mengatakan bahwa Belanda akan meninggalkan Jawa, maka tidak masalah untuk menandatanganinya.77 Di sisi lain, pengungkapan bisikan gaib ini menyatakan bahwa HB IX menegasikan kesepakatannya dalam kontrak politik. Pernyataannya sekaligus merevisi bahwa kedaulatan negaranya tidak berasal dari pemerintah kolonial dan dirinya bukanlah kolaborator kolonial yang dilegalkan dengan kontrak. Sebenarnya, jauh sebelumnya pernah ada negosiasi mempertahankan kedaulatan Kasultanan Yogyakarta. Awalnya, untuk Yogyakarta adalah sebuah negosiasi dari terpecahnya kerajaan mataram yang melibatkan pihak kolonial. Negosiasi ini menyebabkan adanya eksistensi kerajaan yang sifatnya subordinatif. Kasultanan Yogyakarta dari masa ke masa hidup dalam ‘suaka’ kuasa yang mensubordinasinya. Penjajah berganti, Kasultanan tetap hidup dengan pembatasan kekuasaan yang disepakati. Persoalan baru muncul ketika masa paska kolonial, Kasultanan Yogyakarta tetap hidup melalui negosiasi 77Lihat penuturan Sultan Hamengku Buwono IX, dlm. Atmakusumah (ed.). Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. (edisi revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 112 ‘tingkat atas’ antara pemimpin Kasultanan, Sultan HB IX dengan founding father Republik Indonesia, Soekarno. Ada metamorfosa bentuk kontrak politik. Moedjanto (1994) mengungkapkan, selepas masa kolonial, Kontrak Politik tidak lagi berlaku. Pengganti dari Kontrak Politik yaitu pernyataan kesetiaan terhadap Republik Indonesia oleh Sultan HB IX dan Adipati PA VIII. Tetapi, harus dicermati bahwa kontrak tidak bisa disepakati secara sepihak. Sebuah kontrak bisa dikatakan sah bila bersifat tertulis dan disepakati oleh kedua belah pihak. Maka, yang lebih tepat disebut kontrak politik pada saat ini yaitu undang-undang. Jadi bisa ditafsirkan bahwa, jika dulu Kerajaan Yogyakarta tunduk pada pemerintah Belanda melalui kontrak politik, saat ini tunduk pada pemerintah Indonesia melalui landasan hukum tentang status keistimewaan. Maka kontrak politik telah menjadi undangundang atau peraturan yang menjadi legitimasi pemerintahan daerah. Titik perhatian saya tentang perubahan-perubahan ini tertuju pada pihak yang menegosiasikan kontrak serta mekanime negosiasinya. Pihak yang pertama melakukan penundukan, dialah yang merumuskan penjabaran-penjabaran dalam kontrak. Pemerintah kolonial menjadi perumus kontrak tersebut. Situasi ini berbalik pada saat pernyataan penggabungan Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Perpindahan pemegang kedaulatan pemerintah kolonial ke negara penerus membuat negara vasal membuat negara vasal memainkan peran untuk mengamankan posisi politiknya. Sebagai vasal, Yogyakarta merumuskan sendiri bentuk pemerintahannya. Perumusan ini terlihat pada HB IX yang menyatakan bahwa Yogyakarta adalah sebuah daerah istimewa di dalam Republik Indonesia. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 113 Sebelum sebuah perjanjian disepakati, ada negosiasi antar pihak. Negosiasi ini menghasilkan butir-butir kesepahaman yang dituliskan dalam perjanjian. Sebelum ada kesepahaman, masing-masing pihak saling melakukan penawaran agar kepentingannya bisa terakomodasikan. Tapi mekanisme tawar menawar pada masa kolonial ini bukan antar dua pihak yang setara. Pihak kolonial mempunyai daya tawar yang lebih tinggi sebagai penguasa. Kontrak dan negosiasi ini masih terjadi sampai saat ini. Kelompok propenetapan memasang spanduk jalanan bertuliskan “konsisten ijab Qobul”. Peristiwa bergabungnya Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia dimaknai sebagai sebuah perjanjian atau kontrak dalam pernikahan. Sultan HB X mengungkapkan analogi ijab qabul ini merupakan kesepakatan politik antara Sultan HB IX dan Adipati PA VIII yang mewakili Yogyakarta dengan Soekarno yang mewakili Republik Indonesia. Sebagai sebuah pernikahan ada yang pihak yang menyerahkan dan menerima. Republik Indonesia sebagai pihak yang menerima kemudian menyerahkan mas kawin berupa status khusus yaitu ‘daerah istimewa’ yang setingkat propinsi.78 Yang terjadi kemudian adalah negosiasi atas hubungan politik ini. Negosiasi hubungan politik sebenarnya telah dilakukan oleh Sultan HB IX dengan menunjukan nilai tawarnya yang kuat. Dengan mempersilahkan Yogyakarta sebagai ibukota Indonesia pada saat genting, Sultan HB IX berani menyatakan bahwa Yogyakarta berstatus sebagai daerah istimewa. Hal ini tidak mungkin 78Lihat: Hamengku Buwono X. Kenapa Keistimewaan DIY harus dipertahankan?, naskah dengar pendapat dengan DPR RI PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 114 dinegasi oleh pemerintah Indonesia mengingat peran HB IX dalam aksi ‘menyelamatkan’ Indonesia di masa genting tersebut. Kontrak politik pada masa kolonial terjadi dengan inisiatif pihak yang mendominasi dalam hal ini pemerintah kolonial Belanda. Kemudian, negosiasi terjadi dengan inisiatif pihak bawahan yaitu kerajaan Yogyakarta dengan pemerintah pusat sebagai pihak yang mendominasi. Entah dari pihak mana yang mendominasi, proses ini tetap menjadi negosiasi kekuasaan untuk mempertahankan bentuk-bentuk kedaulatan monarki di Yogyakarta. Konflik muncul ketika pihak yang ada di bawah menegosiasikan levelnya. Dan permasalahan baru muncul ketika kontrak politik baru didefinisikan bersama oleh kedua belah pihak yaitu antara negara atasan (Republik Indonesia) dengan negara-negara bawahan (Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman) yang bertransformasi menjadi DIY. Perbedaanya pada masa paska kolonial ini, pihak bawahan mengambil inisiatif dalam mendefinisikan kontrak politik ini. Salah satu argumen dalam mekanisme negosiasi ini adalah penolakan penyebutan propinsi pada DIY. Saya ingin mencermati bagaimana penolakan sebutan ini mengandung sebuah wacana kuasa. Pada masyarakat Jawa di masa lalu, sebuah nama menunjukkan adanya jenjang kekuasaan. Hal ini terlihat dalam penyematan gelar kebangsawanan yang berbentuk pada gelar magis sakral seperti Kusumayudha, Sasranegara, dsb. Gelar tersebut menyesuaikan dengan kedudukan, tinggi atau rendahnya, besar dan kecilnya kekuasaan. Dengan gelar tertentu, maka subyek posisi tertentu yang terkait dengan hubungannya dengan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 115 raja79. Maka, dalam konteks wacana keistimewaan, persoalan nama menjadi sangat penting karena nama menentukan hirarki kekuasaan. Istilah ‘daerah istimewa’ memang pertama kali disebutkan oleh kedua raja ini, setelah menggabungkan dua pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. “Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pakualaman berbentuk kerajaan yang merupakan Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia”, pernyataan ini terdapat dalam amanat Sultan HB IX dan Adipati PA VIII dalam maklumat yang dikenal sebagai maklumat 5 September 1945. Artinya, kedua raja ini menyadari penuh bahwa Yogyakarta tidak akan menjadi negara merdeka. Dengan belum adanya kejelasan masa depan, kedua raja ini memastikan posisi atau status daerah yang tetap otonom di dalam Republik Indonesia. Oleh karena itu penyebutan propinsi memang tidak dirinci sejak awal karena Indonesia juga belum membuat aturan-aturan rinci tentang pemerintahan daerah. Dengan kata lain, pada tahun tersebut (1945) memang belum ada propinsi di Indonesia.80 Saat mulai dibicarakan pengelolaan pemerintahan Daerah, Yogyakarta disebut sebagai sebuah daerah istimewa, tanpa sebutan propinsi. Pada prakteknya, implikasi dari pernyataan kedua tokoh ini yaitu penafsiran konsep keistimewaan dengan tidak menyebutkan propinsi. Dua istilah (Provinsi dan Daerah Istimewa) digunakan sekaligus, untuk menyebut Yogyakarta sebagai satuan pemerintahan. 79Ong Hok Ham (1983). Rakyat dan Negara, hlm. 80. 80Pengesahan atas Yogyakarta sebagai daerah istimewa terjadi lima tahun sesudahnya pada tahun 1950 melalui UU No 19 /1950. Di tahun yang sama Republik Indonesia sudah mulai leluasa untuk mengelola pemerintahan dalam negrinya karena pasukan Belanda sudah meninggalkan Indonesia, ibukota kembali berlokasi di Jakarta, dan kedaulatan Republik Indonesia sudah diakui dunia. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 116 Sultan HB IX tidak mempermasalahkan penyebutan tersebut. Sedangkan pada masa Sultan HB X, sebutan provinsi mulai dipermasalahkan. B. PEMERINTAH DAN RAKYAT Mendalami dukungan kelompok pro penetapan kepada Sultan HB IX dan Adipati PA VIII untuk menempati jabatan gubernur dan wakil gubernur, membuat saya mencermati bagaimana wacana keistimewaan ini bukan menjadi sekedar dorongan untuk menetapkan jabatan politik. Pada bagian ini saya mencoba mengungkap bagaimana hubungan antar subyek yang saling berinteraksi di jalinan wacana yang tak nampak. Secara khusus, uraian ini akan merinci pihak-pihak yang hidup di dalam dinamika ini yaitu; Raja, institusi Kraton, rakyat, dan pemerintah pusat. Pihak-pihak ini menjadi subyek-subyek yang berkelindan dalam tema keistimewaan sebagai sebuah wacana kuasa. 1. Hubungan Rakyat dan Raja Slogan Manunggaling Kawula Gusti menjadi pernyataan yang sering terungkap saat orang sedang menjelaskan bahwa keistimewaan terkait dengan filosofi yang sudah sejak lama hidup dalam kebudayaan Jawa, khususnya Yogyakarta. secara tidak langsung Manunggaling Kawula Gusti tidak hanya menjadi slogan tapi menjadi konsep dasar untuk menjelaskan hubungan antara penguasa dan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 117 pengikutnya. Hubungan vertikal ini yang menjadi jalan untuk menafsir hubunganhubungan yang terjadi saat membesarnya gerakan keistimewaan. Secara lugas, Manunggaling Kawula Gusti bisa diartikan sebagai bersatunya rakyat dan raja. Sebagaimana diyakini bersama oleh sebagian besar masyarakat, slogan ini diciptakan sendiri oleh pendiri Yogyakarta, yaitu Pangeran Mangkubumi. Oleh karena itu, slogan ini dianggap sebagai filosofi dasar untuk memahami konstruksi keistimewaan Yogyakarta. Maka dengan mencermati Manunggaling Kawula Gusti akan menjelaskan bagaimana hubungan rakyat dengan raja yang terlembagakan secara politik. Saat Sultan HB IX dan Adipati PA VIII terancam posisinya dalam memegang jabatan politik, dukungan terhadap mereka meningkat. Dukungan tidak hanya berasal dari para aktivis kelompok pro penetapan yang telah menjadi golongan priyayi baru, tetapi oleh masyarakat Yogyakarta secara luas. Mengapa peristiwa ini bisa terjadi? Sebenarnya, menjadi aneh pada masa ini ketika ribuan orang mendukung raja untuk terus menjadi gubernur, yang sejatinya posisi gubernur adalah jabatan publik. Sangat bisa dimaklumi jika peristiwa ini terjadi ratusan tahun yang lalu saat ide-ide bernegara dari dunia barat belum masuk ke tanah air ini. Tapi, penelusuran dalam bagian ini menjadi investigasi tentang bagaimana budaya politik pada masa lalu juga terkait dengan tindakan sosial pada masa kini Kita akan melihat kembali tentang bagaimana pola hubungan antara raja dan rakyat pada masa lampau di Jawa, khususnya di Yogyakarta. Titik pijak penelusuran ini tertuju pada sistem cacah di kerajaan-kerajaan Jawa. Para PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 118 penguasa di Jawa (raja dan para pangeran/bangsawan), mempunyai kendali penuh terhadap rakyat karena ukuran kekuasaan mereka bisa dilihat dari jumlah pengikut. Maka bisa terlihat rakyat mempunyai kesetiaan yang tinggi terhadap raja walaupun raja sudah tidak mempunyai kedaulatan penuh atas teritori tertentu. Tanah bisa saja lepas dari kendali raja, tapi kesetiaan dari rakyat tetap menjadi milik raja. 2. Fundamentalisme Baru Saat isu tentang keistimewaan Yogyakarta pertama kali berhembus, yakni pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2000-an, perhatian publik dan media massa tertuju pada sekelompok masyarakat yang mendukung penetapan dan memberikan penafsiran bahwa hal itu adalah keaslian Yogyakarta. Aksi mereka mendapatkan dukungan dari sebagian penduduk Yogyakarta. Pada kemunculan gelombang kedua kelompok-kelompok pro penetapan, nuansa esensialisme sudah tidak lagi nampak. Yang nampak adalah pembentukan identitas kolektif yang berdasarkan pemahaman yang saling dibagikan. Yang membuat mereka merasa menjadi satu kelompok besar bukan kesamaan etnisitas atau relijius melainkan satu pengetahuan (kesamaan penafsiran) tentang makna keistimewaan Yogyakarta. Saya melihat ada suatu gaya baru untuk mengidentifikasi dalam rangka menciptakan identitas kolektif. Gaya mengidentifikasi ini yang kemudian membentuk suatu fundamentalisme baru di ranah politik lokal. Bandingkan dengan yang terjadi di Papua yang menciptakan fundamentalisme atas dasar ras PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 119 melanesia, sehingga terwujud dalam aturan yang tidak memperbolehkan orang dari etnis lain untuk menjadi gubernur. Bandingkan pula dengan sentimen anti pendatang di daerah-daerah lainnya. Di Yogyakarta, dinamikanya bergerak dengan berbeda. Meliyankan pihak-pihak yang tidak menyetujui penetapan menjadi tindakan yang dianggap wajar. Ada pemahaman bahwa menjadi orang Jogja (kawula ngayogyakarta) bukan hanya untuk orang Jawa atau penduduk yang tinggal di Yogyakarta tapi mereka yang mendukung keberadaan Sultan, Kraton, dan Penetapan. Dengan menyebut ‘istimewa’, maka ada dorongan untuk menerobos batas penggolongan etnisitas dan entitas politik. Identitas istimewa adalah perkembangan mutakhir dari bentukan identitas yang tercipta di dalam orangorang Yogyakarta. Selama belum ada kejelasan secara legal tentang bentuk keistimewaan Yogyakarta, orang-orang yang menyebut diri pro penetapan memberikan penafsiran bahwa ‘istimewa’ itu juga melekat pada diri mereka. Menjadi ‘istimewa’ terkesan sebuah kesadaran untuk menjadi berbeda dan harus dimaklumi. Maka, menjadi ‘istimewa’ adalah proses bagaimana mereka mengidentifikasi dirinya. Identitas keistimewaan adalah bentukan identitas baru yang berkembang saat tema Keistimewaan Yogyakarta sedang mencapai popularitas. Pada perkembangannya, identitas ini mulai menjadi citra pembentukan warga masyarakat Yogyakarta. Para pendukung penetapan, baik yang asli Jawa (orang Jogja, sejak lahir) maupun penduduk Jogja yang pendatang (atau bukan berlatar belakang suku jawa) menyatakan dukungan ini karena memiliki rasa kecintaan atas daerah yogyakarta. Identitas ini terbentuk melewati batas-batas kategori jawa, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 120 penduduk jogja, atau orang asli jogja. Identitas ‘istimewa’ adalah identitas baru yang terbentuk dalam dinamika kehidupan masyarakat Yogyakarta. ‘Istimewa’ tidak hanya menunjuk kepada para penduduk daerah yogyakarta atau orang-orang Jawa. Konstruksi identitas istimewa terbentuk dalam konteks dukungan terhadap penetapan. Dipicu oleh kuatnya resistensi, pembentukan identitas mulai mengarah menjadi fundamentalisme. Fundamentalisme tidak lagi terbentuk dalam kelompok-kelompok keagamaan tapi juga terjadi dalam kelompok pro penetapan. Sebagai perbandingan, gerakan keagamaan bertumbuh pesat melewati batas-batas negara, bangsa, dan bahasa. Gerakan keistimewaan juga mulai berkembang mendapatkan dukungan besar saat mulai menerjang batasan-batasan kedaerahan. Gerakan keistimewaan merangkum orang-orang yang bukan orang asli Yogyakarta. Sumber pembentukan identitasnya justru berkembang pada ideologi yaitu sikap dukungan pada bentuk penafsiran tertentu dalam konsep keistimewaan Yogyakarta. Singkatnya, ada kecenderungan untuk meleburkan dukungan terhadap penetapan dengan menjadi orang Yogyakarta. Jika orang tertentu disebut sebagai Orang Jogja maka sudah pasti dia adalah pro penetapan. Sebaliknya, walaupun ada orang-orang yang tinggal di Yogyakarta tapi tidak sependapat tentang penetapan, maka mereka tidak pantas menjadi orang Jogja. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 121 3. Kelas Priyayi Baru Di sisi yang berbeda, kelompok pro penetapan telah menjadi priyayi baru di tengah situasi yang penuh ketegangan. Sedikit melirik ke masa lalu, kelas priyayi adalah golongan keluarga dan orang terdekat raja yang juga ikut menjalankan pemerintahan. Pada kenyataannya, kelompok priyayi ini berhubungan secara langsung dengan rakyat. Seorang raja sangat membutuhkan peran para priyayi ini karena mereka bertindak atas nama raja atau menjadi kaki tangan raja untuk memerintah rakyat. Jika kita cermati, dalam gejolak keistimewaan Yogyakarta, Sultan HB X tidak pernah terlihat mempunyai inisiatif yang cukup pro aktif. Yang terlihat justru aksi diam yang membuat publik semakin bertanya-tanya. Mengapa saya menyatakan bahwa para aktivis kelompok-kelompok pro penetapan ini menjadi priyayi kelas baru? Pertama, keberadaannya menjadi kelas perantara antara raja dengan rakyat. Raja tidak pernah ditampilkan untuk memperjuangkan kepentingannya. Melalui kelas perantara ini, kepentingan raja diperjuangkan. Kelompok pro penetapan bertindak dan melakukan aksinya untuk kepentingan Sultan HB X, Adipati PA IX dan Kraton. Melalui pembicaraanpembicaraan informal, mereka bertemu dan dan berkoordinasi. Walaupun raja tidak secara nyata hadir dalam mobilisasi massa, tapi perannya cukup besar untuk mempengaruhi mobilisasi massa tersebut. Para elit gerakan, yakni para aktivis inti kelompok pro penetapan cenderung menjadi kelompok eksklusif. Walau mereka mengembangan jaringan seluas-luasnya untuk mobilisasi massa, mereka menjadi menciptakan kelompok orang terpercaya untuk Kraton. Seperti yang sudah diungkapkan oleh aktivisnya, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 122 pola hubungan dalam gerakan besar keistimewaan bersifat transaksional. Maka bisa ditafsirkan bahwa setiap tindakan akan memperhitungkan hasil-hasil tertentu dalam transaksi. Atau aktivitas dukungan tersebut juga suatu bentuk transaksi. Maka, dalam gejolak keistimewaan ini, ada proses perubahan sosial yaitu terciptanya kelas sosial baru yang tidak didasarkan oleh pola keturunan melainkan oleh bentuk dukungan. Kelas sosial ini menjadi sangat signifikan dalam hubungan rakyat dengan raja karena di kelas inilah semua tema-tema politik berkelindan dan bisa mengakibatkan gerakan massa. 4. Menguasai rakyat Salah satu hal yang menjadi penekanan dalam terbentuknya kelas priyai baru ini yaitu adanya peran untuk memerintah rakyat. Memerintah bukan berarti mengambil peran dalam struktur birokrasi dalam pemerintahan administratif. Memerintah berarti menjadi operator agenda politik tertentu yang tujuannya mengatur atau mengarahkan rakyat. Dalam konteks polemik keistimewaan, peran memerintah berarti bagaimana mendapatkan dukungan rakyat dan mengendalikan rakyat untuk tujuan tertentu. Pada prakteknya, kelas perantara memainkan perannya untuk memerintah rakyat melalui propaganda-propaganda dan pengawasan-pengawasan tertentu. Propaganda dilakukan dengan menyebarkan pengetahuan-pengetahuan tentang tema keistimewaan Yogyakarta yang tujuan akhirnya mendapatkan dukungan publik. Sedangkan bentuk pengawasan dilaksanakan dengan ‘menyingkirkan’ pihak-pihak tertentu yang dianggap bersebrangan dengan versi resmi. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 123 Saya memulai merinci mekanisme kuasa ini dengan menggaris bawahi salah satu teknik yaitu legitimasi historis. Dengan sejarah, orang mengkonstruksi masa depannya. Cara seperti ini sudah lazim diterapkan oleh pemerintah untuk menciptakan konstruksi identitas nasionalnya. Sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia misalnya, menjadi legitimasi untuk ideologi pembentukan bangsa Indonesia. Ada versi penafsiran sejarah untuk menampilkan kebenaran resmi. Versi sejarah resmi juga sedang ditampilkan oleh kelompok pro penetapan. Caranya dengan melakukan rekonstruksi narasi-narasi sejarah arus samping yang menceritakan peran besar Sultan HB IX saat mengOrbankan asetnya mendukung Republik Indonesia. Sejarah sebagai alat legitimasi. Bagaimana gerakan sosial ini mengkomunikasikan ideologinya dengan ‘pendidikan sejarah’ melalui rekonstruksi sejarah, reproduksi peristiwa historis, sampai pada terbentuknya narasi historis ini sebagai paradigma umum tentang keistimewaan Yogyakarta. Mekanisme selanjutnya yaitu pada praktek pendisiplinan dengan kekerasan. Mereka yang menjadi golongan pro pemilihan dianggap sebagai pembangkang. Kata ‘pembangkang’ berarti orang yang melawan aturan resmi. Dari hal ini terlihat bahwa kelompok pro penetapan menggiring masyarakat ke dalam satu pemahaman tunggal. Maka mayoritas terkesan mempunyai hak untuk mendominasi minoritas. Negara melakukan opressi dengan kekuatan senjata, yang dilakukan oleh kelompok pro penetapan adalah melakukan kekerasan simbolik. Teknik PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 124 meliyankan adalah salah satu bentuk kekerasan simbolik ini. Cap ‘liberalis’ yang disematkan kepada seluruh pihak yang tidak mendukung penetapan, menempatkan para pendukung pemilihan pada satu kutub yang sama. Mekanisme selanjutnya yaitu, bagaimana wacana kebenaran resmi yang terwujud dalam ideologi negara digunakan sebagai basis pemikiran. Ideologi yang ‘dimainkan’ yaitu dasar-dasar negara; Pancasila dan UUD 1945. Gerakan keistimewaan tidak menciptakan ideologi baru untuk menggantikan dasar-dasar negara ini. Yang terjadi adalah, penggunaan ideologi yang sama untuk melawan pemerintah. Pancasila dan UUD 1945 tidak diganti atau direvisi tapi justru ditafsirkan secara berbeda. Maka, ideologi negara berbalik menjadi ‘senjata makan tuan’ bagi pemerintah. Dengan menggembangkan gagasan pada ideologi negara (Pancasila), kelompok pro penetapan mengambil jarak tertentu dalam hubungan perlawanan dengan pemerintah. Jika dibandingkan dengan gerakan-gerakan perlawanan lokal yang berkembang di Indonesia, seperti Aceh dan Papua, kelompok pro penetapan di Yogyakarta tidak mau disebut separatis. Mereka tidak melawan untuk memisahkan diri tapi memberikan penafsiran yang berbeda tentang gaya-gaya pemerintahan yang lebih bersahabat untuk masalah-masalah pemerintahan lokal. Dengan melihat bagaimana kelompok pro penetapan menggunakan nasionalisme sebagai kata kunci, kita melihat bagaimana gerakan keistimewaan Yogyakarta sebagai gerakan lokal yang melawan pemerintah pusat, menggunakan cara yang kreatif untuk memaknai nasionalisme. Hal ini tidak terjadi sebelumnya, nasionalisme menguat melalui gerakan yang melakukan resistensi. Maka, ideologi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 125 negara menjadi terlihat lentur. Artinya, ideologi negara tidak hanya diaplikasikan untuk pembentukan identitas bangsa atau negara, tapi bisa menjadi alat untuk mengkritik negara. Jika, ideologi negara sebelumnya terkesan menjadi urusan elit politik di pusat, saat ini penafsiran ideologi negara menjadi fenomena bagi gerakan lokal. 5. Mitos Penjajah untuk Mobilisasi massa Di Yogyakarta, lebih dari satu abad sebelumnya, sebuah gerakan besar pernah terjadi. Di bawah kendali Diponegoro, seorang pangeran pemberontak dari Kasultanan Yogyakarta melawan keluarganya sendiri dan Belanda. Barisan militer Pangeran Diponegoro menguat menjadi gerakan rakyat yang melawan kekuatan pasukan Belanda. Dari peristiwa ini, terlihat adanya kemunculan suatu gerakan besar rakyat untuk melawan kekuatan asing. Fenomena perlawanan Pangeran Diponegoro ini memperlihatkan ada tiga aspek yang signifikan. Pertama, meluasnya dukungan rakyat karena adanya figur ‘pembebas’ yang terwujud dalam pribadi Pangeran Diponegoro yang mengangkat dirinya sebagai Sultan Herucakra, tapi ironisnya raja baru ini tidak pernah bertahta ataupun mendapatkan pengakuan kedaulatan. Ada paham mesianistik yang menjadi dasar gerakan masyarakat di Jawa. Membesarnya gerakan masyarakat lokal Jawa yang mendukung Diponegoro dalam Perang Jawa, karena harapan besar masyarakat pada waktu itu tentang seorang pemimpin besar yang akan membebaskan rakyat dari penindasan. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 126 Dasar legalitas raja tidak pernah kuat tanpa pengakuan pihak asing yang menjadi ‘kuasa atasan’. Sebagai contoh, Pangeran Mangkubumi benar-benar diakui sebagai raja setelah ada perundingan yang berujung pada kesepakatan politik antara pihak Pangeran Mangkubumi, Sunan PB II sebagai raja Mataram (Surakarta), dan VOC (Belanda). Demikian juga Pangeran Diponegoro tidak pernah diakui sebagai raja walaupun sudah mengangkat dirinya menjadi Sultan Herucakra. Lebih ironis lagi, negosiasi dengan pihak VOC menyebabkan Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan, bukannya Seperti Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Said (Pangeran Sambernyawa) yang mengakhiri perundingan dengan memperoleh kedaulatan negara. Terlihat ada pola bahwa, selalu ada musuh asing yang harus dilawan. Musuh tersebut yaitu pihak kolonial yang berwujud pasukan bersenjata VOC atau pemerintah kolonial Belanda di Jawa. Oleh karena itu, para pangeran tersebut pada perkembangannya ditetapkan sebagai pahlawan nasional karena aksi mereka melakukan perlawanan bersenjata terhadap VOC. Disisi lain, mereka adalah pemberontak bagi keluarga dan kerajaan. Setelah lewat 100 tahun, Pangeran Diponegoro baru terbebas dari cap pemberontak Kerajaan Yogyakarta setelah Sultan HB IX mencabutnya statusnya sebagai pemberontak. Dalam polemik Keistimewaan Yogyakarta, imaji tentang rakyat yang bersatu bersama dengan bangsawan untuk melawan penjajah asing tercipta dan diciptakan kembali. Narasi historis tentang heroisme Pangeran Diponegoro menjadi tema menarik yang diungkapkan kembali untuk membangkitkan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 127 semangat perjuangan rakyat.81 Dengan kata lain, narasi historik tersebut telah menjadi propaganda perjuangan. Terlihat, jargon Manunggaling Kawula Gusti menjadi semakin populer. Menguatnya dukungan rakyat pada kepemimpinan lokal yang berakar pada tradisi terkesan menjadi antitesis dari kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang sudah bercitra negatif karena korupsi. Bila perlawanan Pangeran Diponegoro dan bangsawan lain di masa lalu menjadi sumber inspirasi perjuangan melawan pihak asing, dilema bagi para pejuang lokal saat berhadapan dengan pihak-pihak satu daerah yang bersebrangan pendapat juga menjadi bagian dari dinamika politik. Para bangsawan pemberontak pada masa lalu berhadapan dengan keluarganya yang berkolaborasi dengan pemerintah penjajah. Demikian juga, kelompok-kelompok Pro Penetapan juga harus berhadapan dengan orang-orang dan lembaga yang tidak sependapat tentang mekanisme penentuan jabatan gubernur dan wakil gubernur. Secara kritis, gerakan besar para pangeran di masa lalu tersebut tidak akan pernah sama dengan mobilisasi massa dalam Gerakan Keistimewaan Yogyakarta saat ini tapi kemiripan tertentu yang menjadi aspek-aspek yang khas. Pertama, walau terlalu prematur untuk menyatakan pribadi Sultan HB X sebagai ratu adil atau satria piningit, atau sebutan lain bagi mesias Jawa, tapi ada faktor penting yang harus ada dalam perjuangan rakyat yaitu keberadaan raja. Kedua, pengungkapan kembali kisah-kisah pangeran-pangeran yang heroik ini bertujuan untuk mengkonsolidasikan sebuah integralisme politik untuk melawan kekuatan 81Dalam salah satu pernyataan yang dibacakan oleh Widihasto mewakili Gerakan Rakyat Mataram Bersatu (GRMB), ada narasi tentang perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Penjajah Belanda. Pengungkapan narasi ini secara tidak langsung menyamakan perjuangan kelompok pro penetapan melawan pemerintah pusat yang seperti penjajah. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 128 asing. Saat ini, kekuatan asing tersebut diidentifikasikan sebagai pemerintah pusat. C. MERIBUTKAN WACANA KEBENARAN Pada pembahasan sebelumnya telah memetakan hubungan-hubungan antar pihak sebagai subyek-subyek yang hidup dalam konstelasi kuasa. Bagian ini menjabarkan bagaimana kuasa terwujud dalam pengetahuan-pengetahuan tertentu. 1. Menafsir Demokrasi Seperti sudah diungkapkan sebelumnya, polemik soal Keistimewaan Yogyakarta menjadi semakin panas saat Presiden SBY secara tidak langsung mengungkapkan bahwa keberadaan monarki bertentangan dengan nilai demokrasi. Dibalik pernyataan presiden tersebut, ada dua gagasan yang sebenarnya sedang dipertentangkan. Dua gagasan tersebut yaitu monarki melawan demokrasi. Mengingat dua hal tersebut diungkapkan oleh seorang presiden, maka pernyataannya menjadi sebuah wacana kebenaran dalam kebijakan pemerintahan daerah. Secara tidak langsung pernyataan tersebut menggiring pada sebuah gagasan tentang hal yang dianggap benar dan hal lain dianggap menyimpang. Ada PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 129 dua hal yang dianggap antagonistik yaitu monarki dengan demokrasi. Artinya, keberadaan sebuah monarki bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dalam pemerintahan negara. Maka, terbaca sebuah dikotomi yang mana demokrasi diposisikan sebagai sebuah normalitas. Sebaliknya, monarki ditempatkan sebagai abnormalitas. Selanjutnya, kebenaran bernama demokrasi ini bekerja melalui ritual untuk merayakan kebenaran. Ritual ini bernama Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilihan umum menjadi ritual dari sebuah pengetahuan resmi yang disebut demokrasi. Pengetahuan ilmiah tentang hidup bernegara terwujud dalam sebuah mantra bernama demokrasi. Artinya, dengan diselenggarakannya sebuah pemilu, menjadi pembenaran adanya demokrasi. Demokrasi bukanlah pengetahuan baru. Semenjak pemerintahan Soekarno, yang disebut sebagai Orde Lama oleh Soeharto untuk menyebut masa pemerintahaannya Orde Baru, demokrasi sudah menjadi pengetahuan besar yang menjadi inspirasi untuk kepemimpinan dua penguasa besar Indonesia ini melalui demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila gaya Orba. Akan tetapi gelombang besar perubahan pada tahun 1998 membuktikan bahwa selama berpuluh-puluh tahun pengetahuan bernama demokrasi tersebut ternyata tidak demokratis, dan hanya menghasilkan ritual yang bernama Pemilu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemilu pada zaman Orba hanyalah sebuah panggung pertunjukan yang esensi demokrasinya dipertanyakan. Ada usaha untuk merevisi pengetahuan soal demokrasi dengan menata kembali (reform) ritualitas Pemilu. Yang terjadi adalah penciptaan desain baru PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 130 pemilu yaitu, pemilukada (pemilihan Umum Kepala dan Wakil Kepala Daerah). Hasil nyata dari pemilukada ini yaitu adanya penentuan jabatan gubernur dan wakil gubernur melalui pemilihan secara langsung oleh penduduk daerah tersebut. Maka, hal inilah yang disebut sebagai demokratis. Sebagai sebuah ritual yang mewujudnyatakan sebuah pengetahuan kebenaran bernama demokrasi, pelaksanaan pemilu mulai dipertanyakan. Problematisasi ini muncul dari kelompok pro penetapan. Dengan nada nyinyir, mereka menyebutnya ‘Demokrasi Prosedural’. Dengan kata lain, pelaksanaan pemilu hanya bertujuan melaksanakan prosedur pemilihan saja tapi hasilnya belum tentu demokratis. Bahkan, muncul anggapan jika pelaksanaan pemilu menghasilkan efek yang jauh dari esensi demokrasi. Dalam kecamuk ini, lagi-lagi ada dikotomi yang terbaca, yaitu antara demokratis (sebagai yang normal) dan tidak demokratis (sebagai yang abnormal). Dengan sebuah pengetahuan bernama demokrasi, ada daya untuk menentukan bentuk-bentuk normalitas dalam pemerintahan yaitu melalui praktek pemilihan umum. Masalahnya, kelompok pro penetapan yang sudah berhasil mengambil hati sebagian besar masyarakat Yogyakarta, tidak mengganggap pemilukada sebagai hal yang baik untuk mereka. Pada titik ini, hubungan yang terjadi seperti seorang pasien yang menolak resep obat yang diberikan oleh dokter seraya menggugat bahwa dirinya tidak sakit. Yang menarik dicermati dalam peristiwa ini yaitu, bagaimana rumusan utama tentang demokrasi sedang ditantang dengan pemaknaan lain yang kurang kurang lazim. Ukuran-ukuran demokratis yang dirumuskan oleh pemerintah pusat PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 131 dianggap tidak lagi relevan. Jika pelaksanaan pemilukada bertujuan untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam memilih pemimpin, tujuan tersebut sedang dihadang dengan pernyataan bahwa rakyat sudah memilih pemimpinnya. Maka, pemilukada menjadi tidak penting bagi mereka karena ukuran yang dianggap demokratis sudah tercapai. Sikap kelompok pro penetapan ini menjadi antitesis pada cara melaksanakan demokrasi dengan prosedur pemilu. Ada perbedaan cara pandang antara penentu kebijakan (presiden, kabinet, dan kementerian dalam negri) dengan kelompok-kelompok pro penetapan yang didukung oleh sebagian besar masyarakat di Yogyakarta. Jika merentang jalinan perkembangan demokratisasi di Indonesia, apa yang terjadi di Yogyakarta menjadi sebuah titik pergeseran. Semenjak tahun 1998, ratusan pemilihan umum telah dilakukan untuk menentukan para pemimpin daerah. Keterlibatan jutaan orang untuk terlibat dalam proses ini menjadi peserta, seakan menjadi ukuran kesuksesan pelaksanaan demokrasi. Akan tetapi, ada cara pandang yang berubah saat melihat ukuran demokrasi, yaitu pada hasil demokrasi bukan pada mekanisme pemilihan. Maka, dalam kehidupan politik, kebenaran menjadi ruang terbuka, tergantung siapa yang menafsirkan karena kebenaran dalam politik adalah alat untuk mendominasi dan alat untuk melawan balik. Pemilu menjadi bentuk penyeragaman yang diberlakukan untuk semua daerah atas nama demokrasi. Ciri keseragaman ini mengharuskan adanya suatu bentuk yang simetris. Bertolak dari istilah simetris ini, maka pemerintahan dalam suatu negara harus mempunyai poros (pusat), yang mana pinggiran mempunyai bentuk dan ukuran yang sama dengan pinggiran yang lain. Bentuk ini PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 132 menciptakan sebuah pusat yang bersifat tunggal dan pinggiran-pinggiran yang berbentuk ‘sama rata’. Implikasinya, pusat terkesan menjadi dominan, karena menjadi sentris dalam suatu susunan. Letak dan bentuk unsur-unsur pinggir ini yang menciptakan keseimbangan. Dengan menguatnya tuntutan untuk ‘mengistimewakan’ Yogyakarta ini, maka dengan logika simetri tersebut, akan tercipta ketidakseimbangan. Di Indonesia, keseimbangan dalam logika simetri, selama ini dipahami sebagai ‘persatuan & kesatuan’ atau istilah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Prakteknya, seluruh daerah terbagi-bagi dalam satuan bernama provinsi. Kemudian, bagaimana jadinya kalau beberapa sisi mempunyai bentuk yang berbeda? Sebuah susunan akan kehilangan prinsip keseimbangan. 2. Wajah Jahat Liberalisme Salah satu argumentasi kelompok pro penetapan yaitu pemilukada cenderung bernuansa liberalisme karena pemilukada cenderung menjadi pasar politik. Artinya, di perhelatan besar bernama pemilukada, ada dana besar yang mengalir. Para kontestan yang berlaga akan semakin mudah untuk memenangkan suara jika mempunyai modal biaya yang sangat besar. Maka, rakyat akan mudah tertipu oleh daya-daya uang. Dari ungkapan-ungkapan mereka, sangat terkesan bahwa liberalisme merasuk ke semua prosedur pemerintahan sehingga mengakibatkan kekuatan uang bersatu dengan kekuatan politik yang kemudian menindas rakyat kecil (wong cilik). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 133 Saat mengartikulasikan gagasan liberalisme, tiba-tiba liberalisme menjadi terlihat ‘sangat jahat’. Liberalisme terkesan sebagai ajaran sesat, sedangkan mereka yang tidak sependapat, dianggap sebagai liberalis. Secara lebih khusus, kaum liberalis di Yogyakarta adalah mereka yang dikategorikan sebagai kelompok pro pemilihan. Liberalisme menjadi sasaran kemarahan. Makian ‘antekantek liberal’, rasa-rasanya hampir mirip dengan penyebutan ‘antek-antek komunis/PKI’. Dengan pengembangan gagasan tentang liberalisme sebagai musuh bersama, maka kelompok pro penetapan menunjukkan bahwa pelaksanaan pemilukada di Yogyakarta bukan menjadi sebuah resep yang sehat bagi demokratisasi melainkan hanya menjadi toksin yang merusak sendi-sendi filosofi kultural masyarakat Yogyakarta. Mungkin hal ini terdengar berlebihan. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah kelompok pro penetapan yang didukung oleh sebagian besar masyarakat merasa menjadi obyek kekuasaan. Dan gagasan soal liberalisme adalah upaya melawan balik usaha normalisasi yang dilakukan oleh pemerintah melalui sistem cangkok demokrasi yang disebut pilkada. Mengapa liberalisme terlihat sangat menakutkan? Liberalisme akan berperan besar meruntuhkan gaya-gaya pemerintahan yang feodalistik karena paham ini memang berkembang di atas kuburan feodalisme. Menguatnya liberalisme membuat pemerintahan feodal yang ada di negara-negara monarki absolut terjatuh. Banyak pemerintahan monarki yang runtuh. Sebagian dari monarki yang bertahan bermetamorfosis menjadi monarki konstitusional. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 134 Di sisi lain, luasnya ruang lingkup untuk membahas tentang liberalisme membuat saya mencermati pada melunturnya kategori-kategori politik yang berkembang saat liberalisme nampak sebagai satu-satunya pilihan di jaman ini. Dugaan bahwa kapitalisme akan menjadi sistem pemerintahan yang ideal didunia setelah runtuhnya ideologi sosialisme-komunisme telah terbantahkan. Yang terjadi justru, terbentuknya sistem-sistem pemerintahan yang menggabungkan semua sisi positif dari ideologi atau sistem yang pernah hidup. Sebagai contoh, komunisme di Republik Rakyat China (RRC) tidak lagi nampak berwajah totaliter. Pengembangan kawasan-kawasan ekonomi bebas seperti Hongkong dan Shanghai. Maka, menjadi semakin tidak jelas lagi dikotomi dan kategori yang selama ini dipercaya oleh publik. Dugaan bahwa kapitalisme akan menjadi sistem pemerintahan yang ideal didunia setelah runtuhnya ideologi sosialisme-komunisme telah terbantahkan. Yang terjadi justru, terbentuknya sistem-sistem pemerintahan yang menggabungkan semua sisi positif dari ideologi atau sistem yang pernah hidup. Sebagai contoh, komunisme di RRC tidak lagi nampak berwajah totaliter. Pengembangan kawasan-kawasan ekonomi bebas seperti Hongkong dan Shanghai. Maka, menjadi semakin tidak jelas lagi dikotomi (benar dan salah) dan kategori-kategori mapan yang selama ini dipercaya. Ada kecurigaan bahwa wacana demokratisasi yang disodorkan oleh pemerintah mengandung nilai liberalisasi ekonomi yang nampak dalam pelaksanaan pemilu. Kekawatiran kelompok pro penetapan cukup beralasan. Pelaksanaan pemilu pada paska reformasi, secara prosedur sudah benar. Di sisi lain, pemilu menciptakan perputaran ekonomi yang bernominal besar. Jual-beli PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 135 kepentingan ini membuat pihak yang bermodal besar akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk memenangkan pilihan. Di sisi lain, kelompok pro penetapan bisa saja keliru menengarai bahwa liberalisme tidak hanya nampak dalam pelaksanaan Pemilu. Yang lebih penting adalah melihat bagaimana liberalisasi ekonomi menciptakan struktur-strukturnya dalam suatu daerah. Sangat memungkinkan bahwa Sultan dan Kraton bisa dimasuki struktur-struktur ekonomi liberal. Secara ringkas, dalam pewacanaan keistimewaan Yogyakarta, gagasan liberalisme menjadi counter knowledge. Gagasan ini muncul saat kelompok pro penetapan melawan definisi normalitas politik bernama demokrasi yang berwajah pemilu. Kelompok pro penetapan yang menempatkan sebagai pendukung abnormalitas politik, mencoba melawan dengan mendefinisikan ulang normalitas. Akhirnya, yang disebut demokratis belum tentu normal, karena yang disebut normal itu ternyata liberal. Apalagi, terminologi ‘liberal’ sudah cukup mendapatkan kesan negatif. Contohnya, ekonomi liberal. Munculnya gagasan soal liberalisme menunjukan hal menarik yaitu ada rasa curiga terhadap wacana asing.Wacana resmi yang kemudian disebut demokrasi prosedural ini dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai tradisi. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 136 BAB V PENUTUP Membayangkan Politik Alternatif Sampai penelitian ini ditulis, perkembangan wacana keistimewaan Yogyakarta sudah memasuki tahapan yang diharapkan oleh publik. Rencana Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta (RUUK) sudah disahkan menjadi Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta (UUK). Sultan HB X dan Adipati PA IX untuk kesekian kalinya diangkat kembali menjadi gubernur dan wakil gubernur DIY. Saat ini pemerintah daerah sedang menyusun rencana lanjutan tentang apa yang harus dilakukan setelah penetapan gubernur dan wakil gubernur. Pada saat yang sama, muncul kebingungan untuk merumuskan definisi kebudayaan dan bagaimana mengimplementasikan keistimewaan dalam ranah peraturan daerah. Menuliskan relasi kuasa dengan sudut pandang Kajian Budaya yaitu merinci mekanisme kuasa dan pengetahuan yang tersembunyi dalam relasi sosial antar aktor maupun institusi. Mekanisme ini menyakup kuasa untuk memberi nama, kuasa untuk menampilkan kebenaran umum, kuasa untuk menciptakan versi resmi, dan kuasa untuk menampilkan dunia sosial yang terlegitimasi. Mengetahui bagaimana mekanisme ini bekerja dalam wacana dan artikulasinya. Mekanisme ini diartikulasikan oleh semua pihak di zona kontestasi atas makna.82 Ada interkoneksi yang kuat antara wacana kuasa yang terwujud dalam pengetahuan dalam berkembangnya gerakan sosial dalam problematisasi 82Chris Barker (2008). Cultural Studies: Theory & Practice PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 137 Keistimewaan Yogyakarta. Dalam hal ini, antara pemerintah pusat dan Sultan/Kraton sebagai pihak kuat yang memproduksi pengetahuan dengan gerakan sosial yang merepresentasikan rakyat kebanyakan menjadi saling berhubungan. Semua pihak, walaupun terlihat antagonistik, adalah subyek-subyek hasil bentukan wacana kuasa yang saling bernegosiasi. Keistimewaan Yogyakarta adalah utopia baru atas pemerintahan politik, sosial, dan budaya. Wilayah ini (yang tidak hanya dipahami sebagai batas-batas geografis) menjadi alternatif dalam ekosistem sosial di Indonesia. Mengulangi apa yang diungkapkan oleh Rose (2004) bahwa dugaan tentang menjadi semakin kuatnya liberalisme tidak terjadi, walaupun sosialisme telah jatuh dengan hancurnya negara adidaya Uni Soviet. 83 Ideologi liberalisme ternyata tidak semakin mempertajam kehidupan politik di dunia.Yang semakin berkembang justru bentuk-bentuk politik (baru) yang tidak bisa dimasukkan dalam kategori kanan atau kiri. Pada masa ini, kemunculan imajinasi-imajinasi politik alternatif bermunculan seiring dengan kekecewaan akan pemerintah pada saat ini. Keistimewaan Yogyakarta adalah pembayangan akan sebuah sistem politik alternatif. Yang dimaksudkan sebagai alternatif adalah sebuah sistem pemerintahan yang bersih dari praktek-praktek negatif pemerintahan seperti korupsi yang justru subur saat pemerintah bekerja atas nama demokrasi. Representasi raja yang masih campur tangan dalam urusan pemerintahan, diyakini bisa menjadi pilihan alternatif untuk mengurangi praktek-praktek negatif tersebut. Argumen ini dikembangkan oleh para penggerak pro-penetapan dengan 83Nikolas Rose. Power of Freedom, hlm 11. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 138 memaparkan bukti-bukti tentang ‘prestasi’ bersih Yogyakarta dalam hal korupsi dan hal-hal seperti pendidikan, anti-kekerasan, dan multikulturalisme. Walaupun tidak bisa mendefinisikan rumusan alternatifnya, masyarakat dihadapkan pada pilihan yang menarik tentang bentuk pemerintahan. Yang terjadi saat ini adalah berkembangnya dukungan untuk bentukbentuk pemerintahan alternatif. Jika dulu keberadaan monarki menunjukkan adanya feodalisme yang diyakini menjadi budaya politik yang anti demokrasi, saat ini justru menjadi pilihan untuk membendung pengaruh-pengaruh negatif dari modernisme. Yang terbaca adalah, adanya pergeseran dari yang tadinya terkesan negatif menjadi lebih terkesan positif. Justru, tantangannya pada gagasan mengenai bentuk pemerintahan yang mengelaborasi tema-tema globalisasi dan lokalisasi. Bertolak dari pemahaman bangsa sebagai sebuah komunitas reka bayang, konstruksi kebangsaan Indonesia masih tetap berlangsung. Bangsa lebih tepat dikatakan sebagai komunitas yang (masih) membayangkan (communities which is still imagining) dalam proses membayangkan komunitas besar yang ideal (imagining community). Kebangsaan Indonesia yang representasinya muncul dari penafsiran atas nasionalisme, demokrasi, dan dasar-dasar negara. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajar saat sekelompok warga asal Papua mendukung penetapan. Bagi mereka musuh besar mereka sama yaitu pemerintah pusat yang sudah dirasuki ideologi asing. Menurut mereka, untuk bisa menjamin kesatuan sebagai sebuah Negara yang multi bangsa, sistem demokrasi harus disusun sedemikian rupa menjadi demokrasi kesukuan. Pernyataan mereka PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 139 mencerminkan adanya pembayangan mengenai Indonesia yang tidak lazim bahwa setiap daerah berhak mempunyai kekhususan berdasarkan tradisi masing-masing. Namun, yang menarik dicermati adalah, pemahaman mengenai bangsa dan Negara menjadi tidak linear. Konsepsi bangsa dan negara tidak selalu harmonis seperti rel kereta api. Dalam berbagai negara di dunia, persitegangan ini terjadi, yang kemudian memunculkan konflik. Terciptalah sistem-sistem baru hasil dari penggabunganpenggabungan unik, seperti satu bangsa dua negara seperti China dengan Hongkong atau satu negara dengan dua bangsa seperti Belgia dengan dikotomi rakyatnya yang berbahasa Belanda dan Perancis. Maka, menjadi wajar bahwa di beberapa negara, ada sistem yang sengaja dibuat untuk mengakomodasi perbedaan dalam konflik. Ada bangsa tanpa negara, negara tanpa bangsa, negara dengan banyak bangsa, dan satu bangsa yang berbagi negara. Fenomena keistimewaan Yogyakarta mengembangkan pemaknaan baru dalam mendefinisikan bentuk-bentuk pemerintahan yang tidak lazim. Hal ini yang diperjuangkan oleh kelompok-kelompok lokal, sebuah peluang bagi monarki untuk hidup dalam sebuah republik. Bentuk monarki untuk level daerah juga ada di Malaysia yang merupakan gabungan negara-negara bagian berbentuk kerajaan. Melalui tegangan-tegangan yang terjadi antara kepentingan daerah dengan pemerintah pusat, pengecualian sistem hukum diciptakan. Hal ini seperti yang terjadi di Aceh, saat pergolakan senjata diakhiri dengan kesepakatan untuk menciptakan sistem hukum yang berbeda. Aceh mempunyai kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri dengan ketentuan-ketentuan khusus. Dengan begitu, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 140 tercipta kategori sistem pemerintahan yang umum dan khusus di propinsipropinsi. Hal serupa juga terjadi di Papua. Seiring berjalannya waktu, konstruksikonstruksi mapan soal pemerintahan mulai dipertanyakan. Benarkah sistem ini ideal? Pertanyaan semacam ini menjadi dorongan bagi kelompok-kelompok lokal kedaerahan untuk mempertanyakan sistem pemerintahan yang tidak cocok dengan situasi dan kondisi setempat. Penelitian soal Keistimewaan Yogyakarta masih memungkinkan dikembangkan lagi. Dengan sudut pandang Kajian Budaya, Keistimewaan Yogyakarta menjadi ranah yang cukup luas untuk dianalisis. Pertama, peran para ‘pejuang keistimewaan’ paska diresmikannya UUK menjadi tema menarik dalam penelitian. Dengan meneliti para aktivis pro penetapan, maka akan diketahui dalam ranah apa saja mereka mengartikulasikan keistimewaan dalam situasi yang berbeda. Kedua, penelitian tentang bagaimana masyarakat, baik pemerintah daerah dan kelompok-kelompok masyarakat yang mencoba menafsirkan bentukbentuk keistimewaan penting dilakukan. Konsep keistimewaan masih menjadi lentur. Konsep ini menjadi ranah dimana setiap pihak di dalamnya memainkan peranan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 141 DAFTAR PUSTAKA Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta, and Pusat Studi Kebudayaan UGM. Menjadi Jogja: Menghayati Jati Diri dan Transformasi Yogyakarta. Yogyakarta: Panitia HUT ke-250 Kota Yogyakarta, 2006. Anderson, Benedict R. O'G. Komunitas-komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist Press & Pustaka Pelajar, 2001. —. Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000. Atmakusumah, ed. Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. edisi revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011. Barker, Chris. Cultural Studies: Theory & Practice. 3rd. London: SAGE Publications Ltd., 2008. Baskoro, Haryadi, and Sudomo Sunaryo. Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya: Merunut Sejarah, Mencermati Perubahan, Menggagas Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. —. Wasiat HB IX: Yogyakarta Kota Republik. Yogyakarta: Galang Press, 2011. Bei, Tato, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Kantor Galang Press (Baciro), Yogyakarta, (14 Desember 2011). Billig, Michael. "Rhetorical Psychology, Ideological Thinking, and Imagining Nationhood." In Social Movements and Culture, edited by Bert Klandermans, & Hank Johnston, 64 – 81. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1995. Degey, Lechzy, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Babarsari, Yogyakarta, (1 Mei 2011). Degey, Lechzy, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Babarsari, Yogyakarta, (21 Mei 2011). Eko, Sutoro. “Membuat Keistimewaan lebih istimewa.” Dalam Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta, disunting oleh Abdur Rozaki, & Titok Hariyanto. Yogyakarta: IRE, 2003. Fasseur, C. “Dilemma zaman kolonial: Van Vollenhoven dan perseteruan antara hukum adat dan hukum Barat di Indonesia.” Dalam Adat dalam Politik PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 142 Indonesia, disunting oleh Jamie S. Davidson, David Henley, & Sandra Moniaga, 57-76. Jakarta: KITLV & YOI, 2010. Felicianus, Julius, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Kantor Galang Press, Baciro, Yogyakarta, (14 December 2011). Foucault, Michel. Kegilaan dan Peradaban. . Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002. —. Pengetahuan dan metode. Yogyakarta: Jalasutra, 2011. —. Arkeologi Pengetahuan. . Yogyakarta: IRCiSoD, 2012. —. Discipline and Punish. London: Allen Lane, 1977. Foucault, Michel. “Kuasa Pastoral dan Rasio Politik (1979).” Dalam Agama, Seksualitas, Kebudayaan, disunting oleh Jeremy R Carette, 193 – 224. Yogyakarta: Jalasutra, 2011. —. Wacana Kuasa/Pengetahuan. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002. Hadiwijoyo, Surya Sakti. Menggugat Keistimewaan Yogyakarta: Tarik ulur kepentingan, Konflik elite, dan Isu perpecahan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2009. Hamengku Buwono X. “Kenapa Keistimewaan DIY harus dipertahankan?” naskah dengar pendapat dengan DPR RI. t.thn. Houben, Vincent J.H. Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 18301870. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002. Jae Bong Park. Preventing Ethnic Violance in Indonesia: Civil Society Engagement in Yogyakarta during The Economic Crisis of 1998. PhD Thesis, University of New South Wales, 2008. "jogja hip-hop foundation dianugerahi duta nagari Ngayogyakarta Hadiningrat." n.d.: http://www.cekricek.co.id/musik/item/753/. Johnston, Hank. In A Methodology for Frame Analysis: From Discourse to Cognitive Schemata, edited by Bert Klandermans, & Hank Johnston, 217240. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1995. Kartodirdjo, Sartono. Tjatatan tentang segi-segi messianistis dalam sejarah Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1959. Kartodirdjo, Sartono, A. Sudewo, and Suhardjo Hatmosuprobo. Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 143 "Kecewa RUUK DIY Wali Kota Turunkan Bendera Setengah Tiang." n.d.: http://www.tempo.co/read/news/2010/12/12/177298330/. Kendall, Gavin, and Gary Wickham. Using Foucault’s Methods. London: Sage Publications Ltd., 1999. Kusno, Abidin. Penjaga Memori: Gardu di Perkotaan Jawa. Yogyakarta: Ombak, 2007. Lofland, John. "Charting Degrees of Movement Culture: Task of The Cultural Cartographer ." In Social Movements and Culture, edited by Hank Johnston, & Bert Klandermans, 188-. Minneapolis: University of Minnesota Press, n.d. Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya 3. Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Jakata: Gramedia Pustaka Utama, 2008. Maksum, Irwan Ridwan. "Otonomi Yogyakarta." In Monarki Yogya Inskonstitusional?, edited by Aloysius Soni BL de Rosari, 159-163. Jakarta: Penerbit Kompas, 2011. Masudi, Wawan. “Komodifikasi Identitas: Reproduksi Wacana Asli dan Pendatang dalam Debat Keistimewaan DIY.” Dalam Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang/Space dalam Dinamika Politik di Indonesia, disunting oleh Widya P. Setyanto, & Pulungan Halomoan. Salatiga: Percik, 2009. Melucci, Alberto. "The Process of Collective Identity ." In Social Movements and Culture, edited by Hank Johnston, & Bert Klandermans, 41-64. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1995. Moedjanto, G. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987. Moedjanto, G. "Eksistensi Daerah Istimewa Yogyakarta." In Monarki Yogya Inskonstitusional?, edited by Aloysius Soni BL de Rosari, 13-16. Jakarta: Penerbit Kompas, 2011. —. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994. —. Suksesi dalam Sejarah Jawa. Yogyakarta: Penerbitan USD, 2002. Mulyadi, interview by Leo Budi Setiawan. Yogyakarta, Godean, Sleman, (2009). OngHokHam. Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara. Jakarta: Penerbit Kompas, 2002. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 144 OngHokHam. "Merosotnya Peranan Pribumi dalam Perdagangan Komoditi." Prisma XII no 8 (Agustus 1983). —. Rakyat dan Negara. Jakarta: LP3ES & Penerbit Sinar Harapan, 1983. Panitya Peringatan Kota Jogjakarta 200 tahun. Kota Jogjakarta 200 tahun. Yogyakarta: Panitya Peringatan Kota Jogjakarta 200 tahun– Sub Panitya Penerbitan, 1956. Pour, Julius. “Sultan Yogya 40 Tahun Bertakhta.” Dalam Sepanjang Hayat bersama Rakyat: 100 tahun Hamengku Buwono IX, disunting oleh Julius Pour, & Nur Adji, 48-60. Jakarta: Penerbit Kompas, 2012. Purwanto, Bambang. “Keistimewaan yang sarat beban sejarah.” Dalam Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta, disunting oleh Abdur Rozaki, & Titok Hariyanto, xi-xxiv. Yogyakarta: IRE, 2003. Rose, Nikolas. Powers of Freedom: Reframing Political Thought. Cambridge: Cambridge University Press, 2004. Rozaki, Abdur, dan Titok Hariyanto, . Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta. Yogyakarta: IRE, 2003. Sagrim, Hamah, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Asrama Mahasiswa Papua, Muja-Muju, Yogyakarta, (5 November 2011). Soemardjan, Selo. Selo Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas Bambu, 2009. Soewarno, P.J. "Keistimewaan Yogyakarta." In Monarki Yogya Inskonstitusional?, edited by Aloysius Soni BL de Rosari, 17-29. Jakarta: Penerbit Kompas, 2011. Soewarno, P.J. "Sultan HB X dan Jabatan Gubernur." In Monarki Yogya Inskonstitusional?, edited by Aloysius Soni BL de Rosari, 134-137. Jakarta: Penerbit Kompas, 2011. Sri Paku Alam VIII. “Kontak dan Kerja Sama Erat Menyatukan Kesultanan dan Pakualaman.” Dalam Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, disunting oleh Atmakusumah, 308-313. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011. "Stefanus Widihasto Wasana Putra." n.d. http://www.pemilu.asia/?opt=3&s=6&y=2004&id=39989. Suara Merdeka. “Buku Pisowanan Ageng Menuai Kritik.” 14 Oktober 2003: http://www.suaramerdeka.com/harian/0310/14/dar16.htm. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 145 Supangat, Agus, ed. Sejarah Maritim Indonesia: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa dalam Proses Integrasi Bangsa (sejak zaman prasejarah hingga Abad XVII) . Semarang: Pusat Kajian Sejarah dan Budaya Maritim Asia Tenggara, Universitas Diponegoro Semarang, 2003. Swidler, Ann. "Cultural Power and Social Movements." In Social Movements and Culture, edited by Hank Johnston, & Bert Klandermans, 25 – 40. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1995. Syafifudin, Demang, wawancara oleh Leonardo Budi Setiawan. Baciro, Yogyakarta, (16 Desember 2011). Wahyukismo, Heru. Keistimewaan Jogja vs Demokratisasi. Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2004. Wasana Putra, Widihasto, interview by Leonardo Budi Setiawan. Kantor Galang Press, Baciro, Yogyakarta, (December 14, 2011). —. "Press Release Kirab Budaya Pengukuhan Yogyakarta Kota Republik ." n.d. http://www.facebook.com/notes/widihasto-wasana-putra/release-kirabbudaya-pengukuhan-yogyakarta-kota-republik-selasa-4-januari-2011s/494628347660. Yunianto, Tri. Daulat Raja Menuju Daulat Rakyat: Demokratisasi Pemerintahan di Yogyakarta. Solo: Cakra Books, 2010.