i Laporan Studi Pustaka (KPM 403) KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR DAN LAUT MUH DHIAURRAHMAN DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 ii PERNYATAAN Saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut” benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, Juni 2015 Muh Dhiaurrahman NIM. I34110100 iii ABSTRAK MUH DHIAURRAHMAN. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut. Mendapatkan bimbingan dari Dr. Satyawan Sunito Wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki sumber daya yang sangat besar. Potensi perikanan dan lingkungan yang ada diharapkan bisa memberikan dampak terhadap pengambil manfaat. Akan tetapi kekayaan demografi yang dimiliki Indonesia tersebut belum diikuti dengan model pengelolaan yang menjamin keberlanjutan sumber daya. Model yang ada masih diwarisi dari model pengelolaan yang menempatkan pemerintah pusat sebagai pemegang kontrol tertinggi. Padahal masyarakat di setiap daerah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Penerapan model pengelolaan berbasis masyarakat terbukti dapat memberikan hasil yang lebih baik daripada model terpusat. Efisiensi pengelolaan, mereduksi konflik nelayan, dan keberlanjutan sumber daya adalah hal yang didapatkan dari model pengelolaan berbasis kearifan lokal, yang menempatkan partisipasi masyarakat sebagai kuncinya. Kata kunci: model pengelolaan, berkelanjutan, keberlanjutan ABSTRACT MUH DHIAURRAHMAN. Local Knowledge in Marine and Coastal Management. Supervised by Dr. Satyawan Sunito Indonesia’s coastal and marine has a very large resource. Fishery potential and existing environtment is expected to have an impact on the beneficiaries. But whealth which is owned by Indonesia demographic is not followed by a management model that ensures the sustainability of the resource. There is still inherited models of management model that puts the central government as the holder of highest control. Whereas people in every region has different characteristics. The implementation of community-based management model is proven to provide better results than a centralized model. Management efficiency, fisherman conflict reduce and the sustainability of the resource is obtained from the management model based on local wisdom, which puts the participation of society as the key. Keyword: local knowledge, management model, sustainability, iv LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Muh Dhiaurrahman Nomor Pokok : I34110100 Judul : Keraifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembagan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Satyawan Sunito NIP. 19520326 199103 1 001 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengambangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Siti Amanah, MSc NIP. 19670903 199212 2 001 Tanggal Pengesahan v PRAKATA Segala puji dan syukur hanya kepada Allah SWT, atas rezeki yang tak henti-henti diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka ini yang berjudul “Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut”. Laporan Studi Pustaka ini disusun untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi Psutaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Satyawan Sunito selaku dosen pembimbing. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada ayahanda Ashri Rahim yang selalu menghidupkan semangat penulis lewat perhatiannya juga kepada ibunda Nur Khaeraty yang selalu menyebutkan nama penulis dalam setiap doa-doanya meski tanpa diminta. Ucapan terima kasih juga dialamatkan kepada Dr. Satyawan Sunito selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan saran, kritik dan motivasi selama proses penulisan Studi Pustaka ini. Sahabat rekan-rekan sebimbingan, keluarga IKAMI Sulsel, dan teman-teman keluarga besar Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 48 atas kebersamaannya selama ini serta pelajaran yang didapat bersama. Ucapan terakhir penulis alamatkan kepada semua sahabat, teman dan rekan yang selalu mendukung dan memberikan semangat kepada penulis dalam penyelesaian laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga meminta maaf jika dalam proses dan hasil laporan ini terdapat kesalahan. Penulis berharap agar laporan studi pustaka ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun kepada pembaca dalam memahami Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut. Bogor, Juni 2015 Muh Dhiaurrahman NIM. I34110100 vi DAFTAR ISI PENDAHULUAN..................................................................................................................... 1 Latar Belakang................................................................................................................... 1 Tujuan Penelitian ............................................................................................................... 2 Metode Penulisan .............................................................................................................. 2 Ringkasan dan Analisis Pustaka ................................................................................................ 3 Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di Kampung Kuta ......................... 3 Menuju Desentralisasi Kelautan ........................................................................................ 6 Pesisir dan Laut untuk Rakyat ......................................................................................... 11 Hak Ulayat Laut di Era Otonomi Daerah sebagai Solusi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan: Kasus awig-awig di Lombok Barat ......................................................... 19 Pemberdayaan Masyarakat Miskin Berbasis Kearifan Lokal .......................................... 23 Dinamika, Struktur Sosial dalam Ekosistem Pesisir ....................................................... 28 Manajemen Pembangunan Kepulauan dan Pesisir .......................................................... 33 Analisis Keberlanjutan Lilifuk : Tinjauan Persepsi Masyarakat Lokal ...............36 Lubuk Larangan : Dinamika Pengetahuan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Perairan Sungai di Kabupaten Lima Puluh Kota ...........40 Konstruksi Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Indonesia ........ 44 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN ................................................................................ 57 Pengelolaan Sumber Daya Pesisir ................................................................................... 57 Kearifan Lokal ................................................................................................................. 60 Karakteristik Sosial Ekonomi Nelayan............................................................................ 61 SIMPULAN ............................................................................................................................ 63 Usulan Kerangka Analisis untuk Penelitian .................................................................... 64 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 65 RIWAYAT HIDUP ................................................................................................................. 68 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki luas perairan laut sebesar 5,8 juta km² (75% dari total wilayah Indonesia) yang terdiri dari 0,3 juta km² perairan laut territorial; 2,8 juta km² perairan laut nusantara; 2,7 juta km² laut ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia). Dalam wilayah laut seluas itu terdapat sekitar 17,504 pulau dan dirangkai oleh garis pantai sepanjang 95.181 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah yang dimiliki Kanada. Kondisi tersebut membuat Indonesia menjadi negara dengan potensi produksi lestari perikanan terbesar di dunia, sekitar 65 juta ton/tahun (Kealutan dan Perikanan dalam Angka, 2011). Potensi laut yang dimiliki oleh Indonesia ini membutuhkan model pengelolaan yang tepat agar kelestarian sumber daya yang ada tetap terjaga. Model pengelolaan yang ada saat ini masih cenderung bersifat government based management dimana pemerintah pusat sangat memegang kontrol dari sumber daya yang ada. Model ini menempatkan pemerintah pusat sebagai pengambil keputusan tertinggi dan cenderung bersifat sentralistik, khususnya pada era 1966-1998. Padahal setiap wilayah memiliki karakteristik yang berbeda-beda, termasuk dalam model pengelolaan sumber daya. Akibatnya, peran komunitas lokal mulai tereduksi yang berujung pada model pengelolaan yang tidak efisien, konflik antarnelayan, dan degradasi sumber daya perikanan. UU No 31/2004 Pasal 6 tentang Perikanan, menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat didukung menjadi dasar konstitusi bagi pengelolaan berbasis kearifan lokal. Hal ini membuat pengelolaan sumber daya alam akan dilaksanakan mulai dari tingkat daerah sampai ke pusat dan akan mereduksi peran negara yang selama ini terlalu dominan. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam yang dimiliki secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Kearifan lokal tersebut merupakan hak-hak kepemilikan (property rights) yang tidak hanya diartikan sebagai penguasaan terhadap suatu kawasan, akan tetapi juga sebagai salah satu bentuk strategi dalam melindungi sumber daya dari kegiatan perikanan yang merusak (destructive fishing) dan berlebihan (over exploited) (Solichin 2010). Praktek pengelolaan perikanan berbasis kearifan lokal tersebut terbukti mampu menciptakan perikanan berkelanjutan, baik dari aspek sosial ekonomi, ekologi, komunitas maupun kelembagaan.. Oleh karena itu, penting untuk melihat dampak pengelolaan berbasis kearifan lokal terhadap keberlanjutan sumber daya alam. 2 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis model pengelolaan sumber daya berbasis kearifan lokal, 2. Mengidentifikasi karakteristik sosial-ekonomi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut berbasis kearifan lokal Metode Penulisan Metode penulisan studi pustaka ini menggunakan data sekunder yang berasal dari kajian n literature mengenai topic yang dibahas. Literatur yang digunakan antara lain buku teks, bab dalam buku kompilasi, artikel dalam jurnal imliah, disertasi, serta peraturan perundang-udangan. Kajian pustaka selanjutnya diringkas, dianalisis dan disintesis untuk memperoleh kajian yang lebih mendalam sebagai bahan penelitian. 3 Ringkasan dan Analisis Pustaka Judul Tahun : Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di Kampung Kuta : 2010 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Tia Oktaviani Sumarna Aulia dan Arya Hadi Dharmawan Nama Jurnal : Sodality Volume(Edisi):hal : 88(2014): 53-63 Alamat URL/doi : 4(2010):335-346 Tanggal diunduh : 4 Maret 2015 Pengelolaan sumber daya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia, dan sebaliknya pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat manusia (Fauzi, 2004). Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan sumber daya alam yang baik agar menghasilkan manfaat yang sebesarbesarnya bagi manusia dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri. Salah satu sumberdaya yang penting untuk keberlanjutan kehidupan makhluk hidup terutama manusia adalah air. Pengelolaan sumberdaya air harus disesuaikan dengan kondisi lokal pada setiap daerah karena setiap daerah memiliki karakterisitik yang berbeda-beda pula. Saleh dan Rasul (2008) menjelaskan bahwa pengelolaan sumber daya air merupakan upaya pendayagunaan sumber-sumber air secara terpadu dengan upaya pengendalian dan pelestariannya. Pada komunitas tertentu dapat ditemukan kearifan lokal yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam sebagai tata pengaturan lokal yang telah ada sejak masa lalu dengan sejarah adaptasi yang lama. Salah satu kampung yang menarik untuk dikaji lebih dalam adalah Kampung Kuta yang terletak di Desa Karangpaningan, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Kampung ini dikategorikan sebagai kampung adat karena mempunyai kesamaan dalam bentuk dan bahan fisik rumah, adanya ketua adat, dan adat istiadat yang mengikat masyarakatnya (Mustafid, 2009). Perumusan masalah dari penelitian ini adalah 1) bagaimana bentuk kearifan lokal sebagai upaya menyelamatkan sumber daya air yang terdapat di Kampung 4 Kuta? 2) bagaimana implementasi kearifan lokal dalam menjaga kelestarian sumber daya air? Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk kearifan lokal sebagai upaya meneyelamatkan sumber daya air yang terdapat di Kampung Kuta dan menganalisa implementasi kearifan lokal dalam menjaga kelestarian sumber daya air. Kearifan lokal di Kampung Kuta dalam pengelolaan sumberdaya air melalui hutan keramat bermanfaat dalalam menjaga keseimbangan alam, keberlanjutan sumber daya air dan terpeliharanya tatanan hidup bermasyarakat. Mengacu pada Sirtha (2003) sebagaimana dikutip oleh Sartini (2004), kearifan lokal mencakup bentuk-bentuk tentang suumber daya air tersebut. Bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa; nilai, norma, kepercayaan, sanksi dan aturan-aturan khusus. Bentuk kearifan lokal akan menghasilkan suatu bentuk implementasi dalam menjaga keberlanjutan sumber daya air. Kearifan lokal ini akan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal dalam proses pelaksanaannya. Kedua faktor ini sangat memungkinakan akan menyebabkan terjadinya perubahan karifan lokal. Berikut kerangka pemikiran dari penelitian ini. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Air Bentuk Kearifan Lokal: Faktor Eksternal Nilai Norma Kepercayaan Sanksi Aturan-aturan khusus Implementasi Kearifan Lokal Faktor Internal 5 Keterangan: : meliputi : menghasilkan Sumberdaya yair yang dimanfaatkan untuk kebutuhan ritual nyipuh adalah sumber daya air yang berada di dalam Hutan Keramat. Seseorang yang melakukan nyipuh akan membasuh diri (berwudhu) di kawah/telaga dan Ciasihan yang terdapat dalam hutan keramat. Selain untuk membasuh diri, air dari kawah dan Ciasihan boleh dibawa pulang dengan dimasukkan ke dalam botol. Botol yang dibawa diisi air setengah dari kawah dan setengah lagi untuk dipenuhi dengan Air Ciasihan yang terlewati ketika pulang. Apabila ada air yang tertelan, tidak boleh diludahkan harus terus diminum. Sumber daya air yag terdapat di dalam Hutan Keramat hanya digunakan untuk keperluan ritual nyipuh yang ditemani kuncen. Pengelolaan Hutan Keramat merupakan bagian dari budaya pamali yang memiliki norma-norma dan merupakan suatu bentuk konservasi hutan yang dilakukan hingga saat ini oleh masyarakat Kampung Kuta. Pengelolaan hutan erat kaitannya dengan pengelolaan sumber daya air yang ada di dalamnya. Sumber daya air yang ada di dalam Hutan Keramat tidak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya pelarangan dalam memanfaatkan sumber daya yang ada dalam hutan keramat demi kelestarian Hutan Keramat. Adanya budaya pamali dalam pengelolaan Hutan Keramat yang terbukti menjaga kelestarian ekosistem di dalamnya maka sumber daya air yang ada di dalamnya pun terjaga dengan baik. Budaya pamali di Kampung Kuta tidak mengalami perubahan dan peluruhan kearifan lokal. Hal ini karena masyarakat masih memegang teguh amanah yang disampaikan oleh leluhur mereka dan budaya pamali sudah menjadi landasan bagi kehidupan masyarakat Kampung Kuta. Terdapat pergeseran budaya dalam bentuk rumah yang berbeda dari yang lainnya. Namun hal ini tidak menjadi alasan dikatakannya perubahan kearifan lokal. Adanya pergeseran pembuatan rumah muncul akibat faktor perpindahan atau masuknya penduduk lain ke Kampung Kuta dan kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Adanya pergeseran atauran pembuatan rumah merupakan salah satu ancaman terhadap kelestrian kearifan lokal budaya pamali. Selain itu, penggunanaan Sanyo juga dapat mengancam kelestarian kearifan lokal yang akan berdampak pada hancurnya keselestarian lingkungan. Kearifan lokal budaya pamali diturunkan dari generasi ke generasi, yaitu dari generasi tua ke generasi muda sejak mereka kecil. Moda transfer of knowledge dilakukan dengan lisan/oral melalui cerita-cerita yang disampaikan melalui dongeng. Pendekatan melalui keluarga menjadi bentuk sosialisasi yang efektif untuk kelanggengan kearifan lokal pamali 6 . Kearifan lokal yang berupa budaya pamali berhasil menaga kelestarian hutan dan sumberdaya air di Kampung Kuta. Kearifan lokal ini merupakan bentuk aplikasi konservasi hutan dan air dengan berlandaskan budaya pamali yang telah dilakukan secaa turun temurun. Keberhasilan Kampung Kuta dalam melestarikan budaya pamali, yaitu: 1. Melestarikan rumah adat dusun kuta, 2. Melestarikan hutan lindung (Hutan Keramat) dan satwa yang ada di dalamnya, 3. Melestarikan sumber-sumber mata air melalui penanaman/pemeliharaan tanaman tahuanan sekitar mata air, 4. Melestarikan kesenaian setempat seperti ronggeng tayub, terbang, dan gondang buhun, 5. Melestarikan upacara adat setempat, yaitu Nyuguh, Hajat Bumi, dan Babarit. Judul Tahun : Menuju Desentralisasi Kelautan : 2002 Jenis Pustaka : Buku Bentuk Pustaka : Cetak Nama Penulis : Arif Satria dkk Sejak diberlakukannya UU No. 22/1999, otonomi daerah telah menjadi lingkungan strategis baru yang mesti dijadikan variabel dalam formulasi berbagai kebijakan, termasuk di dalamnya kebijakan dari sektor perikanan dan kelautan. Sentralisme yang diterapkan di masa lalu telah menyebabkan banyak permasalahan, termasuk kerusakan sumberdaya pesisir dan lautan. Sistem sentralisme ini terbukti belum mampu mengakomodasi kepentigan berbagai kelompok masyarakat yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Penerapan undang-undang tersebut akan membuat sumberdaya pesisir tidak lagi bersifat terbuka (open access) melainkan terkontrol (controlled access), dan pemerintahan daerah beserta masyarakat lokal (termasuk nelayan) diharapkan mampu bertanggung jawab mengendalikan pengelolaan sumberdaya kelautan agar tetap terjaga. Buku ini merupakan kumpulan dari berbagai penelitian yang dilakukan di sejumlah daerah, baik secara desk study maupun studi lapang. Ini dilakukan untuk 7 mengeksplorasi persoalan desentralisasi baik secara teoritis maupun empiris. Penelitian dilakukan di berbagai daerah, di antaranya adalah Kabupaten Trenggalek, Kota Batam dan Kabupaten Karimun, Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros, dan Kabupaten Pangkajene Kepulauan, dan beberapa kota lainnya. Schlager dan Ostrom (1992) dalam Ostrom (1997) mengenalkan konsep bundles of right yang mencoba menengahi kebingungan tentang perdebatan masalah common property dan open access regimes, antara common pool resources dan common property regimes, dan antara resource system dan the law of resources units yang menyangkut hak milik sumberdaya, termasuk sumberdaya kelautan. Berdasarkan pengelolaan dan pemanfaatan atas wilayah laut sebagaimana diatur dalam UU No. 22/1999, tentang Perspektif “hak kepemilikan” dalam bundles of rights adalah: (i) access, yaitu hak untuk memasuki wilayah fisik laut dalam batasan 12 mil maupun 4 mil dalam menikmati keuntungan yang tidak dikurangi, (ii) withdrawl, yaitu hak untuk memperoleh unit sumberdaya kelautan atau produk system sumberdaya kelautan, (iii) management, yaitu hak untuk mengatur pola penggunaan secara internal dan mengubah sumberdaya kelautan dengan membuat perbaikan, misalnya rehabilitasi terumbu karang dan mangrove, (iv) exclution, yaitu hak untuk menentukan siapa yang akan memiliki access dan withdrawl rights, dan bagaimana hak-hak itu dipindahkan, (v) alienation, yaitu hak untuk menjual atau menyewakan management dan excultion rights. Konsep ini dapat dipegang oleh individu maupun kolektif secara keseluruhan maupun sebagian saja. Desentralisasi sendiri menurut World Resource Institute mengandung pengertian seperangkat program dan kebijakan yang dirancang untuk mewujudkan keseimbangan atas kewenangan (otoritas) dan tanggung jawab terhadap pengelolaan sumberdaya alam (Khan dan Fauzi, 2001). Beberapa aspek positif yang menyangkut pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan antara lain menyangkut pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan antara lain menyangkut efektivitas pengaturan, efisiensi ekonomi, dan pemerataan distribusi. Efektivitas pengaturan akan membuat masalah-masalah yang ditimbulkan akan jauh lebih mudah untuk dikendalikan karena aturan main yang menyangkut hak kepemilikan sumberdaya pada tingkat lokal secara tidak langsung akan memberikan hak kepemilikan (property rights) kepada pemerintah daerah. Pemeritah daerah kemudian akan dapat mengelola sumber daya secara lebih rasional mengingat ketersediaan sumber daya serta terdegradasinya sumber daya akan menentukan tingkat kemakmuran pada daerah yang bersangkutan. Pada tingkat lokal, desentralisasi diharapkan akan membawa dampak positif pada terkukuhkannya 8 kembali (restore) hak-hak kepemilikan tradisional yang dalam sistem sentralistik kurang berkembang dengan baik. Masalah kepemilikan laut memang menjadi bahan perdebatan yang cukup kompleks, sebelum akhirnya Konvensi PBB pada tahun 1982 menyepakati bahwa laut merupakan pusaka bersama umat manusia. Pada lingkup nasional, ternyata kepemilikan laut dianut oleh beberapa bagian kawasan timur Indonesia (KTI). Hal ini disebabkan karena nelayan setempat masuk pada taraf hidup yang subsitensi. Untuk kelompok komunitas yang mengenal tradisi kepemilikan laut disebut sebagai hak ulayat laut (HUL) yang memiliki variable pokok menyangkut (i) wilayah; (ii) unit pemilik sosial; (iii) legalitas (legality) beserta pelaksanaannya. Wilayah dalam konteks pengaturan HUL tidak hanya terbatas pada pembatasan luas wilayah, tetapi juga pada eksklusivitas wilayah. Eksklusivitas wilayah ini dapat juga berlaku pada sumberdaya kelautan, teknologi yang digunakan, tingkat eksploitasinya, dan batasbatas yang bersifat temporal. Unit pemilik sosial dari sumberdaya laut berdasarkan HUL di berbagai daerah memiliki keanekaragaman secara individu, kelompok kekerabatan, komunitas desa, sampai negara (Wahyono et al 2000). Perspektif Sosial-Ekonomi: Karakteristik Masyarakat Pesisir dan Konflik Nelayan Masyarakat pesisir erat kaitannya dengan nelayan karena sebagian besar mata pencaharian penduduk daerah pesisir adalah nelayan. Karaktersitik nelayan berbeda dengan karakteristik masyarakat petani. Masyarakat petani menghadapi sumberdaya yang terkontrol dan output yang relatif dapat diprediksi. Sifat produksi yang demikian memungkinkan tetapnya lokasi produksi sehingga menyebabkan mobilitas usaha yang lebih rendah dan elemen risiko pun tidak besar. Karakteristik tersebut sangat berbeda dengan nelayan. Nelayan menghadapi sumber daya yang hingga saat ini masih bersifat open access. Karakteristik sumberdaya ini menyebabkan nelayan mesti berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal, sehingga elemen risiko menjadi sangat tinggi. Karakteristik lain dari nelayan dapat dilihat dari sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, struktur sosial, dan posisi sosial nelayan. Sistem pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya didapatkan dari warisan orangtua atau pendahulu mereka berdasarkan pengalaman empiris. Sementara itu, dari sistem kepercayaan, nelayan masih percaya bahwa laut memiliki kekuatan magis sehingga diperlakukan perlakuan-perlakuan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin. Dari aspek struktur sosial, masyarakat nelayan umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan risiko dan ketidakpastian. Bagi nelayan, 9 menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya karena pada patron-klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Sedangkan posisi sosial nelayan di kebanyakan masyarakat memiliki status yang relatif rendah. Salah satu ciri nelayan kecil (small scale fisher) adalah ketiadaan kemampuan untuk memberi pengaruh pada kebijakan publik karena nelayan selalu dalam posisi dependen dan marjinal (Goodwin 1990 dalam Satria 2001). Semakin besar penguasaan kapital, semakin besar pula kesempatan untuk memberi pengaruh pada proses politik. Perspektif Pengelolaan Sumberdaya Laut: Pentingnya Posisi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Laut Secara umum, rezim pengelolaan sumberdaya laut yang diterapkan di Indonesia masih berbasis pemerintah pusat (government based management). Pada rezim ini pemerintah bertindak sebagai pelaksana mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan, sedangkan kelompok-kelompok masyarakat pengguna (user group) hanya menerima informasi tentang produk-produk kebijakan dari pemerintah. Dalam pelaksanaannya, pengelolaan berbasis pemerintah pusat ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain: (1) aturan-aturan yang dibuat kurang terinternalisasi dalam masyarakat sehingga sulit untuk ditegakkan; (2) biaya transaksi yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan dan pengawasan sangat besar sehingga menyebabkan lemahnya penegakan hukum. Konsep yang kemudian dihasilkan untuk meng-counter rezim pengelolaan berbasis pemerintah pusat adalah pengelolaan berbasis masyarakat (community based management). Carter (1996) dalam Dirjen Bangda dan PKSPL (1998) mendefinisikan pengelolaan berbasis masyarakat sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pengambilan keputusan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah berada di tangan organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut. Berbeda dengan pengelolaan berbasis pemerintah pusat, biaya pelaksanaan dan pengawasan dalam pengelolaan berbasis masyarakat jauh lebih rendah. Hal ini dikarenakan pengambilan keputusan dan inisiatif dilakukan pada tingkat lokal sehingga semakin menyentuh aspirasi masyarakat. Pengakuan masyarakat terhadap aturan atau kebijakan yang dibuat semakin kuat sehingga hukum akan lebih mudah ditegakkan. Model pengelolaan inipun akan memberikan inisiatif bagi masyarakat untuk mandiri dalam wadah-wadah organisasi di tingkat lokal, dan pengawasan 10 terhadap pelaksanaan lokal pun semakin efektif dan lebih kuat karena dilakukan oleh masyarakat secara lembaga, tidak individual. Pengelolaan berbasis masyarakat yang sangat mengutamakan prakarsa masyarakat menuntut antara lain kemampuan manajerial dan kedewasaan bermasyarakat yang merata, karena proses pengelolaan sumberdaya laut diserahkan pada organisasi-organisasi masyarakat. Untuk mengakomodasi permasalahanpermasalahan dalam pengelolaan sumberdaya laut yang berbasis pemerintah pusat, maka disusunlah sebuah model kolaboratif yang memadukan unsur pemerintah dan kelompok pengguna dalam pengelolaan yang dikenal dengan co-management. Sen and Raakjaer Nielsen dan Nielsen & Thomas Vedsmand (1999) mendefinisikan comanagement sebagai sebuah susunan dimana tanggung jawab terhadap pengelolaan sumberdaya dibagi antara pemerintah dan kelompok pengguna (user groups). Pendekatan co-management bertujuan untuk melaksanakan pengelolaan sumberdaya laut dengan menyatukan lembaga-lembaga terkait terutama masyarakat dan pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya dalam setiap proses pengelolaan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengawasan. Pomeroy & William (1994) dalam Basuki & Nikijuluw menyatakan bahwa proses co-management dapat terjadi dalam bentuk: (1) lembaga pemerintah secara formal mengakui aturan-aturan yang secara informal sudah diimplementasikan oleh nelayan, (2) otoritas pelaksanaan suatu peraturan formal diserahkan dari pemerintah kepada nelayan. Namun, akan lain kondisinya bagi daerah yang tidak memiliki lembaga informal/lembaga tradisional yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya alam. Itulah mengapa dikatakan bahwa susunan dalam co-management bukanlah sebuah struktur yang statis terhadap hak dan aturan melainkan sebuah proses dinamis dalam menciptakan sebuah struktur lembaga yang baru (Nielsen & T. Vedsmand, 1999). Pelaksanaan co-management dalam jangka panjang diyakini akan memberikan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik, yaitu: (1) meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya SDA dalam menunjang kehidupan; (2) meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga mampu berperan serta dalam setiap tahapan-tahapan pengelolaan secara terpadu; (3) meningkatkan pendapatan (income) masyarakat, dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan (Dirjen Bangda & PKSPL, 1998). Co-management merupakan alternatif pilihan yang mengkombinasikan antara sistem manajemen yang top-down dan bottom-up, dengan kata lain co-management menggabungkan antara pengelolaan sentralistis yang dilakukan oleh pemerintah (government based management) dengan pengelolaan berbasis masyarakat 11 (community based management). Hirarki tertinggi dari tatanan kegiatannya pun berada di antara kedua model utama ini yaitu pada tataran hubungan kerjasama (cooperative), selanjutnya consultative dan advisory. PKSPL (2001) membagi comanagement berdasarkan hirarki tatanan kegiatannya menjadi beberapa tipe, yaitu tipe instructive, consultative, cooperative, advisory, dan informative. Judul Tahun : Pesisir dan Laut untuk Rakyat : 2009 Jenis Pustaka : Buku Bentuk Pustaka : Cetak Nama Penulis : Arif Satria Tipe-tipe hak kepemilikan menurut Ostrom and Schlager (1990) adalah sebagai berikut: 1. Hak Akses (access right): Hak untuk masuk ke wilayah sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non-ekstraktif. 2. Hak Pemanfaatan (withdrawl rigts): Hak untuk memanfaatkan sumberdaya atau hak untuk berproduksi. 3. Hak Pengelolaan (management rights): Hak untuk menentukan aturan operasional pemanfaatan sumberdaya 4. Hak eksklusi (exculsion rights): Hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tesebut dialihkan ke pihak lain. 5. Hak Pengalihan (alienation rights): Hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut di atas. Hak-hak tersebut di atas akan mementukan status kepemilikan SDP. Tabel 1 menunjukkan pihak yang hanya mendapat hak akses, maka statusnya hanyalah sebagai authorized entrant. Sementara itu, pihak yang memiliki hak akses dan hak pemanfaaran dikategorikan sebagai authorized user. Adapun pihak yang memiliki akses, hak pemanfaatan, hingga hak pengelolaan, maka disebut claimant. Pihak yang memiliki ketiga hal tersebut, termasuk hak eksklusi, statusnya disebut sebagai proprietor, dan bila memiliki semua hak tersebut beserta hak pengalihan maka disebut sebagai owner. Struktur tesebut bersifat dinamis dan dapat berubah sewaktuwaktu. 12 Tabel 1. Status Kepemilikan Sumberdaya Alam Tipe Hak Owner Proprietor Claimant Authorized User Authorized Entrant Akses x x x X x Pemanfaatan x x x X Pengelolaan x x x Eksklusi X x Pengalihan X Sumber: Ostrom and Schlager (1996) Pertanyaan selanjutnya adalah siapa saja yang berhak atas kepemilikan sumberdaya alam tersebut? Untuk itulah Bromley menyebut paling tidak ada empat rezim kepemilikan yaitu: akses terbuka (open access), negara (state property), swasta (private property), dan masyarakat (communal property). Pertama, di dalam akses terbuka, tidak ada pengaturan tentang apa, kapan, dimana, siapa, dan bagaimana sumber daya alam dimanfaatkan, serta bagaimana terjadinya persaingan bebas (free for all). Dalam pemanfaatan sumber daya alam, dapat memicu terjadinya tragedy of the common, kerusakan sumberdaya, konflik antarpelaku dan kesenjangan ekonomi. Kedua, rezim negara berada di tingkat daerah hingga pusat. Hak kepemilikan ini perlu berlaku pada sumberdaya yang menjadi hajat hidup orang banyak. Pengelolaan sumberdaya milik negara membutuhkan biaya transaksi yang tinggi, terutama pada tahap pelaksanaan, pemantauan, dan pengawasan karena sulitnya melaksanakan aturan dan menegakkan hukum. Ketiga, rezim swasta, baik individual maupun korporat. Rezim kepemilikan ini biasanya merupakan hak kepemilikan yang bersifat temporal karena izin pemanfaatan yang diberikan oleh pemerintah. Pemanfaatan sumber daya milik swasta adalah tujuan komersil dengan penggunaan teknologi tinggi. Kendala yang dihadapi adalah komitmen pihak swasta terhadap kelestarian sumberdaya alam yang relatif rendah dan cenderung terabaikan. Keempat, rezim komunal atau masyarakat bersifat turun temurun lokal dan spesifik. Aturan-aturan pengelolaan dapat bersifat tertulis dan tidak tertulis. Peraturan dibuat berdasarkan pengetahuan lokal dan pelaksanaannya lebih efektif. Ciri lainnya 13 adalah memiliki resolusi konflik melalui mekanisme kelembagaan dan memiliki model produksi yang khas, serta memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya. Pengelolaan SDP Oleh Masyarakat: Visi, Batasan, dan Ruang Lingkup Pengelolaan SDP oleh masyarakat dijadikan alternatif solusi karena terbukti memberikan sejumlah manfaat karena adanya jaminan mata pencaharian, kesamaan akses terhadap SDP dan mekanisme resolusi konflik, serta berorientasi pada keberlanjutan (Berkes,1989:11-13). Merujuk pada konsep Berkes dan Scott, Satria (2006) mengidentifikasi tiga dimensi pengelolaan SDP oleh masyarakat. Pertama, dimensi normatif. Dimensi ini berisi sistem nilai yang menjadi dasar bagi proses pengelolaan SDP. Kedua, adalah dimensi regulatif, yang berisi tata pengelolaan dan SDP. Untuk kasus perikanan, Ruddle (1999) mencoba mengidentifikasi unsur-unsur tata pengelolaan sebagai berikut: 1. Batas Wilayah: Ada kejelasan batas wilayah yang kriterianya adalah mengandung sumberdaya yang bernilai bagi masyarakat. 2. Aturan: Berisi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang. Dalam dunia perikanan, aturan tersebut biasanya mencakup kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang boleh menangkap. 3. Hak: Pengertian hak bisa mengacu kepada seperangkat hak kepemilikan yang dirumuskan Ostrom and Schlager. 4. Pemegang otoritas: Merupakan organisasi atau lemabga yang dibentuk masyarakat yang bersifat formal maupun informal untuk kepentingan mekanisme pengambilan keputusan. Ada pengurus dan disesuaikan dengan kondisi. 5. Sanksi: Untuk menegakkan aturan diperlukan sanksi sehingga berlakunya sanksi merupakan indikator berjalan tidaknya suatu aturan. Ada beberapa tipe sanksi: sanksi sosial (seperti dipermalukan atau dikucilkan masyarakat), sanksi ekonomi (denda, penyitaan barang), sanksi formal (memiliki mekanisme pengadilan formal), dan sanksi fisik (pemukulan). Ostrom (1990) telah mencoba mengantarkan beberapa indikator kinerja insitusi pengelolaan sumberdaya. Indikator tersebut adalah sebagai berikut: a. Kejelasan batas wilayah: batas wilayah dirumuskan secara jelas sehingga setiap orang mudah untuk mengidentifikasi dan mengenalnya. 14 b. Kesesuaian aturan dengan kondisi lokal: memiliki aturan-aturan yang tepat untuk kepentingan kelestarian sumberdaya, perlindungan ekonomi lokal, serta penguatan sistem sosial dan aturan-aturan tersebut mudah ditegakkan dan mudah diawasi. c. Aturan disusun dan dikelola oleh pengguna sumberdaya: masyarakat mampu membuat aturan yang didasarkan atas pertimbangan saintifik, pengetahuan lokal, maupun kearifan lokal melalu mekanisme lembaga lokal. d. Adanya kelembagaan lokal yang berfungsi mengatur mekanisme pengelolaan, membuat aturan, merevisi aturan, serta mekanisme pengambilan keputusan. e. Pelaksana pengawasan yang dihormati masyarakat: masyarakat memiliki instrument dan mekanisme pengawasan sendiri dengan para pelaku pengawasan yang mendapat legitimasi masyarakat. f. Berlakunya sanksi: ukuran keberhasilan suatu aturan adalah tegaknya sanksi bagi para pelanggarnya, baik sanksi sosial, sanksi administratif maupun sanksi ekonomi. g. Mekanisme penyelesaian konflik: masyarakat memiliki mekanisme alternatif dalam penyelesaian konflik di luar mekanisme formal. h. Kuatnya pengakuan dari pemerintah dan dapat berbentuk undang-udang, peraturan pemerintah, atau peraturan daerah. i. Adanya ikatan atau jaringan dengan lembaga luar. Jaringan dengan dunia luar yang dimaksud adalah baik jaringan antar komunitas (bridging social capital) maupun dengan di luar komunitas seperti perguruan tinggi, LSM, maupun swasta (linking social capital). Ketiga, dimensi kognitif, yang berisi teknik pengelolaan dan pengetahuan lokal (local knowledge). Pengetahuan lokal seringkali bersanding dengan beberapa istilah seperti pengetahuan ekologis tradisional atau pengetahuan asli. Tetapi Ruddle (2000) lebih memilih menggunakan istilah pengetahuan lokal dan mengidentifikasi karakteristik pengetahuan lokal sebagai berikut: 15 a. Bersifat jangka panjang, empiris, berbasis observasi lokal yang disesuaikan dengan kondisi lokal dan mampu mencakup sejumlah variasi lokal, serta bersifat rinci. b. Berorientasi pada hal-hal praktis dan yang menyangkut perilaku, serta fokus pada tipe-tipe sumberdaya dan spesies. c. Terstruktur sehingga sebenarnya kompatibel dengan konsep biologi dan ekologi barat, khususnya terkait dengan kesadaran akan keterkaitan ekologis dan pentingnya konservasi SDP. d. Bersifat dimanis Ketiga dimensi tersebut terkait satu sama lain. Artinya, dimensi normatif akan mempengaruhi dimensi regulatif yang berisi aturan dalam pengelolaan SDP. Tata aturan tersebut dibuat berdasarkan sistem pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat (dimensi kognitif). Dengan demikian, pengelolaan oleh masyarakat merupakan sebuah sistem yang di dalamnya terdapat unsur-unsur yang saling terkait. Langkah-langkah Peningkatan Kapasitas Masyarakat Dengan visi pengelolaan SDP oleh masyarakat, maka ada beberapa langkah yang perlu dilakukan (Satria 2007). Pertama, penentuan dan pengidentifikasian mekanisme pengelolaan SDP berbasis masyarakat. Paling sedikit terdapat tiga mekanisme yaitu: a. Mekanisme aturan adat (Model 1). Mekanisme ini masih bertumpu pada berlakunya aturan adat dalam pengelolaan SDP. Salah satu contoh yang populer di bidang perikanan adalah masih berlakunya Sasi di Maluku dan Panglima Laot di Aceh. b. Mekanisme reaktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai lokal yang telah pudar (Model 2). Mekanisme ini bertumpu pada sejarah yang membuktikan bahwa di era sebelumnya telah berkembang aturan adat tentang pengelolaan SDP, namun karena perkembangan jaman, institusi pengelolaan tersebut pudar, baik disebabkan oleh factor politik, budaya, maupun ekonomi. Salah satu contoh menarik dalam model ini adalah berlakunya kembali awig-awig di Lombok Barat. c. Mekanisme intervensi pihak luar untuk membuat model baru (Model 3). Mekanisme ini sama sekali tidak bertumpu pada pengetahuan historis maupun aturan lokal, melainkan sama sekali baru dan justru bertumpu dari pengalaman komunitas lain. Pada umumnya, proses pembelajaran suatu 16 komunitas dengan komunitas lainnya difasilitasi LSM, pemerintah, atau perguruan tinggi. Kedua, adalah pengembangan kapasitas lokal dalam pengelolaan SDP, yang mencakup dimensi normatif, dimensi regulatif, dan dimensi kognitif. Arah pengembangan kapasitas lokal tersebut juga tergantung dari pilihan model yang akan dikembangkan. Tabel 2. Arah Pengembangan Kapasitas Masyarakat Dimensi Model 1 Model 2 Normatif Peningkatan resiliensi budaya Regulatif Kognitif Kodifikasi aturan nilai Sosialisasi dan internalisasi nilainilai lama yang positif bagi kelestarian SDP, ekonomi, dan sosial Penguatan jaringan Identifikasi, inventarisasi, dan formulasi secara tertulis mengenai pengetahuan lokal yang ada Sarana prasarana Kerjasama dengan sains Pengembangan kapasitas dan Identifikasi, inventarisasi, dan revitalisasi aturan lama yang telah pudar Pengembangan kapasitas organisasi Penguatan jaringan Sarana prasarana Model 3 Sosialisasi dan internalisasi nilainilai lokal dan nilai agama untuk Identifikasi, inventarisasi, dan formulasi secara tertulis mengenai pengetahuan lokal yang dulunya pernah ada Kerjasama dengan sains dan Pengembangan kapasitas organisasi Pendidikan pengelolaan SDP Penguatan jaringan Pembelajaran dari kisah sukses 17 pengelolaan SDP, Pembelajaran dari kisah sukses komunitas lain dari lain komunitas Ketiga, perbaikan sistem hukum yang terkait dengan pengelolaan SDP sehingga bisa mengikuti eksistensi sistem pengelolaan SDP berbasis masyarakat. Diharapkan pengakuan itu bisa juga muncul di aneka produk perundangan lain, seperti kehutanan, pertanian, dan lain sebagainya. Keempat, perguruan tinggi juga sudah saatnya mengembangkan pendekatan transdisiplin. Pendekatan interdisiplin dan multidisiplin saat ini tidak cukup untuk mengatasi problem pengelolaan SDP. Pendekatan transdisiplin memungkinkan integrasi antara sains dan pengetahuan lokal. Hal ini dikarenakan pendekatan tersebut beyond service. Kesejahteraan Nelayan Selama ini wisata bahari diagung-agungkan sebagai salah satu pendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Kondisi seperti ini penting untuk diwaspadai mengingat selama ini kawasan konservasi selalu dianggap sumber potensial untuk wisata bahari yang pada gilirannya nanti dapat menjadi sumber pertumbuhan baru. Seolah-olah kesejahteraan masyarakat pesisir otomatis meningkat begitu kawasan konservasi ditetapkan. Padahal kesejahteraan nelayan terkait dengan dua hal, yakni akses pada pemanfaatan sumber daya dan akses kontrol pada pengelolaan sumber daya. Semakin kecil akses pada kedua hal tersebut, maka sudah dapat diduga bahwa kesejahteraan nelayan akan semakin terancam. Hal ini terbukti di beberapa kawasan konservasi dan taman nasional laut, yakni nelayan semakin terbatas aksesnya kepada pemanfaatan karena daerah tangkapannya menjadi zona inti yang dilindungi. Hal ini pula yang membuat banyak nelayan dan pemerintah daerah alergi terhadap istilah konservasi, meski kasus-kasus tersebut terjadi pada kawasan konservasi versi lama yang didesain secara sentralistik tanpa melibatkan Pemda, apalagi nelayan. Sementara itu kawasan konservasi versi baru yang lebih desentralistik melalu bentuk KKLD (kawasan konservasi laut daerah) belum dapat diimplementasikan karena terbentur pada desain institusionalnya. Artinya, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan terkait dengan bentuk dan model kelembagaan KKLD, termasuk mekanisme partisipasi masyarakat serta pembiayannya. Saat ini baru Kabupaten Berau yang relatif lebih maju dibanding lainnya. Di Berau, masyarakat sudah diberi kesempatan membuat zonasi versi mereka sendiri berdasarkan pengetahunannya (local knowledge). Ternyata apa yang dihasilkan masyarakat tersebut tidak jauh berbeda dengan versi ilmiah yang dibuat para ahli. Namun, dengan masyarakat terlibat dalam proses penentuan zonasi 18 tersebut, ini akan membuat kawsan konservasi menjadi lebih legitimate. Dan, legitimasi masyarakat ini adalah faktor terpenting dalam konservasi. Krisis Ekosistem Pesisir: Pengelolaan Versus Pembangunan Krisis kawasan pesisir kini mulai terasa. Banjir, abrasi, intrusi air laut, dan rusaknya biota di perairan adalah ongkos lingkungan dan sosial yang mesti dibayar. Saat ini kondisi mangrove yang masih baik hanya 30 persen. Sementara kondisi terumbu karang dalam kondisi sangat baik hanya 5.8 persen (SLHI, 2005). Sebenarnya ini bukan hanya masalah Indonesia. Tetapi juga dunia. Bayangkan saja terumbu karang di dunia 27 persen telah rusak. Jika ini tidak diantisipasi, maka diperkirakan pada tahun 2010 yang rusak akan mencapai 40 persen, dan tahun 2030 bisa mencapai 58 persen. Fakta ekologis seperti inilah yang mendorong berkembangnya pengelolaan pesisir (coastal management), disingkat coast-man. Namun, krisis ekologis ini juga diiringi krisis sosial ekonomi mengingat kemiskinan masyarakat pesisir masih relatif tinggi yakni 32 persen. Sisi Positif UU No 27/2007 Salah satu sisi positif UU No 27.2007 adalah dibukanya ruang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir, baik dimulai dari perencanaan, implementasi (pemanfaatan, konservasi, mitigasi, rehabilitasi), maupun pengawasan dan pengendalian. Terobosan penting dalam aturan ini terdapat dalam pasal 61 yang mengakui eksistensi hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Ini merupakan UU pertama pasca kemerdekaan yang mengakui eksistensi masyarakat adat. Pemberian ruang partisipasi dan pengakuan hak adat adalah terobosan baru yang positif. Untuk itu agenda berikutnya adalah bagaimana menerjemahkan amanat UU No 27/2007 ke dalam peraturan pemerintah (PP) maupun peratuan menteri (Permen). 19 Judul Tahun : Hak Ulayat Laut di Era Otonomi Daerah sebagai Solusi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan: Kasus awig-awig di Lombok Barat : 2007 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk Pustaka : Cetak Nama Penulis : Solikhin dan Arif Satria Nama Jurnal : Sodality Volume(Edisi):hal : 1(April) Tujuan dan Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di pesisir wilayah Lombok Barat bagian utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat pada bulan Juni-Juli 2002. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan rekonstruksi dan revitalisasi hak ulayat laut di Kabupaten Lombok Barat menjadi sebuah kebijakan pengelolaan perikanan di era otonomi daerah, dan menjelaskan peran awig-awig dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Metode pengumpulan dara dalam penelitian ini menggunakan metode triangulasi. Metode ini dapat diartikan sebagai kombinasi sumber data yang memadukan setidaknya tiga metode, seperti pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen (Sitorus, 1998). Kelebihan dari metode ini adalah saling menutupi kelemahan antara satu metode dengan metode lainnya sehingga hasil yang diharapkan dari realitas sosial masyarakat menjadi lebih valid. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam dengan pengumpulan data kualitatif melalui catatan harian atau catatan lapang. Menurut Sitorus (1998) catatan harian berisi data kualitatif hasil pengamatan dan wawancara di lapangan dalam bentuk uraian rinci maupun kutipan langsung. Analisis yang digunakan adalah analisis sosial. Kartono (1996) menjelaskan beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam menganalisis sosial, yaitu: (1) menimbang data; (2) klasifikasi data; dan (3) formulasi konsep-konsep. Hasil dan Pembahasan Kerusakan sumberdaya ikan dan laut sekarang disebabkan oleh tidak adanya rencana pengelolaan yang jelas di era sebelumnya dan kuatnya hegemoni negara (pemerintah pusat). Hegemoni negara tesebut tercermin dalam kebijakan perikanan yang mempunyai ciri utama: (1) didasarkan pada doktrin milik bersama (common 20 property), (2) sentralistik (proses produksi dan substansinya), dan (3) mengabaikan atau anti pluralisme hukum (Saad, 2003). Doktrin milik bersama (common property) mengindikasikam ketidakjelasan tentang kapan, siapa, dan bagaimana proses penangkapan dan pengambilan sumberdaya perikanan sehingga wilayah perairan laut nasional menjadi arena pertarungan antarpelaku perikanan di bawah kekuasaan “hukum rimba atau hukum samudera”. Sementara, sentralistik dan anti pluralisme semakin mempertajam konflik antarpelaku perikanan dan tumpang tindih wilayah penangkapan ikan (fishing ground). Sentralistik juga dianggap sebagai sebuah legalisasi persekongkolan kaum komprador, yaitu pemerintah, pengusaha, dan aparat penegak hukum dalam rangka eksploitasi sumberdaya ikan. Ketiga hal ini memunculkan eksternalitas negatif yaitu gejala tangkap lebih (overfishing), rusaknya terumbu karang akibat pengeboman dan penggunaan potassium sianida, rusaknya hutan mangrove dan lain sebagainya (Satria et. al., 2002a). Pergantian rezim pemerintahan kemudian membawa perubahan dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya. Paradigma pembangunan yang sentralistik menjadi desentralistik, seperti hadirnya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan oleh UU No. 32 Tahun 2004, yang di dalamnya memuat aturan kewenangan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di tingkat daerah. Perubahan aturan perundangan ini merupakan pintu menuju terciptanya regulated and sustainable fisheries. Hal ini dikarenakan (Satria, et.al., 2002b), yaitu: pertama, konsep desentralisasi memberikan peluang partisipasi bagi seluruh stakeholder masyarakat perikanan. Kedua, adanya UU No. 2/1999 merupakan kekuatan hukum yang mengakui eksistensi institusi lokal yang ada di beberapa daerah dalam mengelola sumberdaya ikan. Ketiga, penerapan UU No. 2/1999 secara ekonomi menciptakan efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan karena terbentuknya zonasi penangkapan yang adil antara nelayan kecil dengan nelayan besar. Keempat, desentralisasi merupakan wujud demokratisasi, karena kesempatan berpartisipasi nelayan lokal memudahkan dalam proses menyalurkan aspirasi dan kontrol sosial dalam suatu kebijakan. 21 Identifikasi Sosial dan Budaya Hukum Non Formal Kelembagaan Lokal: Kearifan lokal Hukum adat Faktor-faktor pembentukan Rekonstruksi kelembagaan Lokal Proses pembentukan Revitalisasi dan Implementasi Awig-awig LMNLU Secara empiris pengelolaan perikanan yang berbasiskan kearifan lokal (hak ulayat laut) telah mampu menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Akan tetapi dalam perkembangannya, praktik pengelolaan perikanan yang berbasis kearifan lokal lambat laun mengalami kepunahan akibat kebijakan yang sentralistis di era orde baru. Sesuai amanat Pasal 3 dan 10 UU No. 22/1999 tentang hak dan kewajiban Pemerintah Daerah (Pemda) dalam menciptakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan, maka seharusnya masing-masing Pemda membuat model kebijakan pembangunan yang jelas untuk wilayah pesisir dan laut. Bagi daerah yang mempunyai kearifan lokal atau model pengelolaan CBM, maka tinggal melengkapi menjadi model Co-management yang lebih kompleks. Hak ulayat tradisional yang mulai memudar disamping disebabkan oleh kebijakan pengelolaan yang bersifat top-down, juga dipengaruhi oleh perubahanperubahan yang terjadi di lingkungan masyarakat itu sendiri, misalnya pergeseran budaya berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan, faktor ekonomi dan lain sebagainya. Oleh karena itu, solusi untuk permasalahan di atas adalah pemberian hak 22 pengelolaan kepada masyarakat setempat (lokal) sesuai dengan keadaan sosial ekonomi, politik, budaya, dan karateristik sumberdaya yang hidup di sekitarnya. Salah satu model pengelolaan sumberdaya perikanan dan laut berbasis hak ulayat terdapat di Lombok Utara. Pertama, terdapat model pengelolaan berbasis masyarakat (CBM). Kelebihan model ini adalah dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat, karena sesuai dengan aspirasi dan keinginan masyarakat serta budaya lokal, juga mudahnya pengawasan yang dilakukan langsung oleh masyarakat terhadap lingkungan sumberdaya, sehingga dapat menjaga kelestarian sumberdaya. Kekurangan dari model ini adalah hanya berlaku spesifik lokal di tingkat desa, sehingga tidak bisa menyelesaikan masalah yang sifatnya global untuk suatu kawasan perairan. Selain itu, faktor eksternal sangat mempengaruhi seperti pertambahan penduduk, perubahan komposisi usia penduduk, faktor pasar, politik legal atau perubahan sistem pemerintahan dan lain sebagainya. Sumber legalitasnya yang tidak tertulis membuat upacara sawen (upacara adat di Lombok Utara) lama kelamaan menghilang. Kedua, meghilangnya upacara adat Sawen pada 1965 menyebabkan munculnya pengelolaan perikanan oleh pemerintah pusat (Centralized Government Management/CGM) dengan aparat TNI dan Polisi sebagai penegak hukumnya. Keterbatasan jumlah personel penegak hukumnya menjadikan model ini bersifat destruktif atau tidak ramah lingkungan. Selain itu, pengawasan dan pengendalian membutuhkan modal yang cukup besar. Salah satu hal yang fatal juga adalah tidak adanya keterlibatan masyarakat dari perencanaan hingga pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan. Dengan demikian, kuatnya keinginan masyarakat untuk melakukan rekonstruksi dan revitalisasi hak ulayat laut menjadi awig-awig lembaga musyawarah nelayan Lombok Utara (LMNLU) sebagai aturan bersama secara tertulis dalam mengelola sumberdaya ikan disebabkan oleh kelemahan model CBM (upacara adat sawen) dan kegagalan model CGM. Munculnya awig-awig sebagai model pengelolaan sumberdaya perikanan dan laut disebabkan oleh konflik yang disebabkan oleh rusaknya lingkungan (ekologi), pertambahan penduduk (demografi), lapangan pekerjaan yang semakin sedikit (mata pencaharian), lingkungan politik legal, perubahan teknologi dan perubahan tingkat komersialisasi (pasar). Untuk menjaga kelestarian sumberdaya, masyarakat Lombok Utara kemudian membentuk awig-awig secara tertulis sebagai aturan main. Kekuatan awig-awig ini merupakan kesadaran kolektif (collective consciousness) dan sebagai strategi adaptasi masyarakat nelayan. 23 Kesimpulan Terbentuknya awig-awig merupakan proses kesadaran kelompok masyarakat kecamatan Gangga yang disebabkan oleh rusaknya ekosistem perairan laut, sehingga awig-awig menjadi strategi adaptasi masyarakat nelayan untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Proses pembentukan awig-awig dimulai dari tahapan informal, yaitu berupa ungkapan-ungkapan keprihatinannya terhadap kondisi sumberdaya perairan laut yang rusak sehingga mempengaruhi hasil tangkapan nelayan. Sementara tahapan formal dimulai dari rapat-rapat internal kelompok hingga rapat besar dengan melibatkan pemerintah dan masyarakat nelayan lainnya dengan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan lokal dalam mengatur penangkapan ikan, yaitu awig-awig di Lombik Utara. Setelah itu, hasil tangkapan tersebut disosialisasikan kepada seluruh masyarakat Pulau Lombok dengan berbagai media, seperti tulisan (poster) dan lisan (media dakwah) oleh para pemuka agama Islam. Pemberlakuan awig-awig telah meminimalisir konflik, baik koflik antarnelayan lokal yang disebabkan oleh perbedaan alat tangkap yang beroperasi di zona 3 mil, seperti alat tangkap tradisional dengan alat tangkap purse seine dan jaring bendera (gillnet), maupun konflik antara nelayan lokal dengan nelayan luar. Judul Tahun : Pemberdayaan Masyarakat Miskin Berbasis Kearifan Lokal : 2009 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk Pustaka : Cetak Nama Penulis : Saharuddin Nama Jurnal : Sodality Volume(Edisi):hal : 1(April) Fokus penelitian ini adalah isu kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan belajar pada praktek-praktek implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di daerah. Sampai mana kebijakan tersebut telah mempertimbangkan kearifan lokal dan sampai mana pula kearifan itu bisa menjadi salah satu media pemberdayaan. Kearifan lokal merupakan strategi adaptasi yang memang muncul dari dalam masyarakat itu sendiri dalam membenahi masalah-masalah sosial yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat. Kearifan lokal ini tumbuh dari hasil interaksi antara masyarakat dan lingkungannya. Berbagai masalah yang timbul di tengah masyarakat 24 diatasi dengan kebijakan yang lebih bersifat top-down dan hierarchy. Sudah saatnya pendekatan tersebut diganti dengan pendekatan yang terpadu antarsektor. Keluarnya UU Otonomi Daerah Nomor 32 tahun 2004 membuka peluang untuk pengentasan masalah sosial –yang salah satunya adalah kemiskinan. Kewenagan pemerintah daerah menterjemahkan kebijakan nasional dengan menyesuaikan dengan kondisi setempat, termasuk menggunakan kearifan lokal sebagai input penanggulangan kemiskinan di tingkat daerah. Berkaitan dengan kearifan lokal, terdapat lima isu strategis yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan masyarakat asli, sebagai input penanggulangan kemiskinan pada tingkat masyarakat, yaitu: (i) Menghormati dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, (ii) Komitmen global terhadap pembangunan sosial masyarakat adat sesuai dengan konvensi yang diselenggarakan oleh ILO, (iii) Isu pelestarian lingkungan dan menghindari keterdesakan komunitas asli dari eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan. (iv) Meniadakan marginalisasi masyarakat asli dalam pembangunan nasional, (v) Memperkuat nilai-nilai kearifan masyarakat setempat dengan cara mengintegrasikannya dalam desain kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan. Model pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal mengandung arti peletakan nilai-nilai setempat sebagai input penanggulangan kemiskinan. Dalam hal ini, kebijakan penanggulangan kemiskinan perlu menempatkan kearifan lokal sebagai input pokok dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan. Istilah peletakan nilai-nilai setempat (kearifan lokal) di sini lebih dimaknai sebagai apresiasi terhadap praktek-praktek penanggulangan kemiskinan yang diinisiasi oleh pelaku-pelaku tingkat lokal dengan menjadikan kebijakan nasional sebagai rambu-rambu dalam membangun kerjasama sinergitas pada berbagai sektor dalam penanggulangan kemiskinan tersebut. Konsep dan Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Model pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal mengandung arti peletakan nilai-nilai setempat sebagai input penanggulangan kemiskinan. Setiap masyarakat mempunyai karakteristik sendiri yang belum tentu dimiliki oleh masyarakat lainnya. Nilai budaya yang mereka anut terdiri dari pandangan hidup dan keyakinan, keduanya dibungkus oleh ethos (pedoman etika berkenaan dengan baik dan tidak baik). Kebudayaan adalah sistem pengetahuan yang digunakan oleh manusia untuk membentuk tindakan mereka, dan menginterpretasikan perilaku orang lain (Spradley, 1987:3). Salah satu tujuan pemberdayaan masyarakat adalah terciptanya permbangunan. Paradgima pembangunan yang digunakan adalah (people centre development) yang menempatkan masyarakat sebagai fokus maupun sumber utama pembangunan. Pembangunan masyarakat dapat difahami melalui tiga orientasi yaitu: (1) upaya pengadaan pelayanan dasar sebagai kelengkapan dari strategi kebutuhan pokok, diidentikkan dengan peningkatan pelayanan sosial dan pemberian 25 fasilitas sosial, seperti fasilitas kesehatan, peningkatan gizi, pendidikan, dan sanitasi untuk kesejahteraan masyarakat; (2) upaya terencana untuk mencapai tujuan lebih kompleks dan bervariasi, guna mencapai tujuan sosial yang lebih sulit diukur seperti keadilan, pemerataan, peningkatan budaya, kedamaian, serta adanya kesempatan yang sama; dan (3) upaya peningkatan kemampuan manusia untuk berbuat dan meningkatkan postensialitasnya, memobilisasi antusiasmenya untuk berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan terkait dengan diri mereka. Kerangka Analisis Tulisan ini menggunakan dua model analisis, yakni: (1) analisis hubungan ekologis sebagai dasar pembentuk aktivitas masyarakat dengan basis kearifannya dengan aktivitas hubungan multipihak yang kemungkinan mempengaruhi dan terpengaruh oleh aspek-aspek kearifan lokal; (2) analisis hubungan antarpihak di atas wilayah ekologis dimana masyarakat kearifan lokal terjadi. Hasil Pengamatan Kajian dilaksanakan di Desa Pasar Seluma Kecamatan Seluma Selatan dan Desa Rawasari Kecamatan Seluma Timur, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Beberapa alasan yang dikemukakan dalam menetapkan komunitas tunggal sebagai pusat perhatian adalah (1) desa tersebut mengalami pergeseran dari pertanian pangan dan nelayan menjadi perkebunan sawit rakyat, (2) Pasar Seluma adalah desa berpenduduk Serawai asli. Aspek yang diamati tulisan ini adalah (1) Bagaimanakah kearifan lokal berhubungan kuat dengan upaya penanggulangan kemiskinan pada sektor perikanan dan pertanian (2) Bagaimana kearifan lokal suatu daerah berkontribusi dan mengalami dinamikanya sendiri ketika bersentuhan dengan sektorsektor modern? Masyarakat Pasar Seluma awalnya hidup sebagai nelayan di wilayah pesisir meskipun tidak secara intensif melaut. Sumberdaya perikanan yang ada di wilayah mereka cukup kuat untuk menarik nelayan dari daerah Bengkulu untuk datang. Akan tetapi hasil tangkapan dari wilayah mereka dibawa lagi ke Bengkulu kemudian dipasarkan oleh pedagang kecil kembali ke wilayah Pasar Seluma. Kondisi ini membuat warga berkeinginan untuk membentuk pelabuhan perikanan agar hasil tangkapan bisa dinikmati warga. Kondisi perekonomian warga yang cukup memprihatinkan membuat mereka mencari alternatif lain. Meskipun mereka mempunyai lahan yang cukup luas untuk dikembangkan, tapi mereka belum memiliki kemampuan sendiri. Terutama pada budidaya kelapa sawit yang menjadi primadona di wilayah ini. Jika dihitung secara kasar, sebenarnya penghasilan dari kelapa sawit cukup untuk menghidupi mereka. Tapi belum cukup untuk anak cucu mereka nanti. Kehadiran PT AA sebagai 26 perusahaan kelapa sawit di daerah ini sedikit banyak membawa perubahan bagi masyarakat. Setidaknya masyarakat bisa belajar bagaimana mengelola lahan yang mereka miliki yang umumnya merupakan lahan gambut untuk ditanami kelapa sawit. Akan tetapi pihak perusahaan tidak ingin membagi pengetahuan yang dimilikinya kepada warga. Oleh karenanya warga belajar kepada etnis Batak yang banyak menjadi karyawan di perusahaan ini. Kebetulan juga karyawan dari perusahaan sawit ini kebanyakan adalah orang Batak. Salah seorang tokoh masyarakat kemudian berinisiatif untuk bertemu dengan anggota DPRD yang pernah berkampanye di daerah mereka untuk membantu memfasilitasi penanaman sawit. Akhirnya dibukalah lahan dengan cara pembakaran hutan. Awalnya luas lahan yang hendak dibuka adalah 50 ha. Tapi meluas menjadi 150 ha. Setelah itu, mereka mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa bantuan padi gogo secara cuma-cuma sehingga ditanamlah padi gogo di kebun mereka. Mereka berjumlah 49 orang yang masuk ke dalam organisasi petani padi gogo ini. Kemudian bergeserlah mereka setelah menanam padi gogo ke tanaman jagung dan kacang tanah, kemudian bergeser dari pertanian ke perikanan. Tolok Ukur Kemiskinan: Cara Pandan Pemerintah vs Masyarakat Masyarakat memiliki latar belakang yang berbeda sehingga bisa menimbulkan persepsi yang berbeda tentang kondisi sosial ekonomi mereka. Penghasilan yang diterima keluarga batih (inti) selama ini sering dianggap sebagai tolak ukur kemiskinan. Sederhananya bahan pembuat rumah dan keadaan kondisi kesehatan sehari-hari juga tidak lepas dari perhitungan. Pada umumnya yang dijadikan tolok ukur kemiskinan adalah perasaan diri yang kurang dari orang lain khususnya akses yang diperoleh dalam hal pendidikan, ekonomi, dan agama. Jadi bukan ketidakpunyaan barang dan pekerjaan serta kondisi rumah yang dipunyai oleh seseorang atau sebuah keluarga batih. Hal ini sangat berbeda dari konsep pemerintah yang memandang dari segi ekonomi dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Sehingga penanggulangan kemiskinan atau program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah terlihat tidak berhasil menghilangkan apa yang dirasakan oleh masyarakat sebagai kondisi miskin. Proses Penanggulangan Program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah pada prinsipnya dilaksanakan dengan menggunakan persepsi masyarakat sehingga sering terjadi ketidaktepatan antara cara dan capaian yang ditetapkan oleh pemerintah dengan cara dan capaian yang dilaksanakan oleh masyarakat. Status sosial masyarakat di setiap daerah berbeda-beda sehingga tolok ukur kemiskinan juga 27 berbeda. Pemberian bantuan yang melibatkan masyarakat juga dianggap bisa menimbulkan ego sektoral tatkala orang yang merasa senasib dengan penerima bantuan malah tidak mendapatkan bantuan. Padahal hal yang perlu diperhatikan adalah kebersamaan masyarakat yang tetap terjaga setelah adanya bantuan. Rekomendasi Dengan bentuk masyarakat Indonesia yang majemuk dan multikultur maka interpretasi yang terjadi terhadap lingkungan hidupnya (alam, sosial dan binaan) akan berbeda-beda antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Walaupun mempunyai pola hidup yang sama tetapi karena berlatar belakang suku bangsa yang berbeda maka dapat terjadi pemahaman yang berbeda terhadap suatu kondisi. Begitu juga walaupun yang mempunyai latar belaang sukubangsa yang sama tetapi mempunyai pola hidup yang berbeda, maka tetap saja pemahaman terhadap lingkungannya juga akan menghasilkan bentuk yang berbeda. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka demi melaksanakan rogram pengentasan kemiskinan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu kiranya melakukan beberapa aktivitas yang berangkat dari usaha menginventarisasikan konsep-konsep atau persepsi tentang masalah sosial dan juga kemiskinan dari sudut pandang komuniti atau masyarakat yang mengalaminya. Berbagai cara dilakukan dengan usaha mengidentifikasi suku bangsa dengan kebiasaannya dan juga terkait dengan pola hidup sebagai bentuk usaha mata pencaharian masyarakat yang ada. Kearifan lokal menjadi inti dari usaha mengentaskan kemiskinan yang ada dan tumbuh di masyarakat sebagai sasaran dari proses penerapan program pengentasan kemiskinan. Di samping itu, sebagai pemerintah yang melaksanakan dan menerapkan program pemerintah tersebut maka perlu diperhatikan sistem penerapan yang ada yang terkait dengan sistem birokrasi pemerintah yang mendominasi budaya nasional. Oleh karena itu sifat kesukubangsaan dan kelompok serta ras dan agama di dalam arena nasional perlu dihilangkan untuk menjaga kewibawaan pemerintah sebagai acuan dalam bertindak dan berinteraksi bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. 28 Judul : Dinamika, Struktur Sosial dalam Ekosistem Pesisir Tahun : 2010 Jenis Pustaka : Buku Bentuk Pustaka : Cetak Nama Penulis : Edi Susilo Literatur ini merupakan disertasi penulis yang dituangkan ke dalam bentuk buku dengan tujuan untuk memberikan sumbangan keilmuan dan langkah praktis bagi upaya meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat pesisir. Buku ini terdiri dari 6 bab. Bagian pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, fokus penelitian dan kerangka pemikiran teoritik. Bagian dua berisi tinjauan pustaka. Bagian ketiga berisi metode penelitian yang mencakup; pendekatan, paradigma fakta sosial, lokasi dan tahapan penelitian, defenisi konsep, teknik pengumpulan data, penelusuran awal peristiwa dalam kehidupan masyarakat, rancangan analisis data, dan kerangka analisis kapasitas ruang dan titik kritis struktur sosial. Bagian keempat merupakan contoh kasus yang diangkat, yaitu Dusun Karanggongso. Bagian kelima memaparkan dinamika struktur sosial masyarakat Karanggongso berikut lini waktunya. Sedangkan bagian keenam berisi kesimpulan dan implikasi. Latar Belakang Masyarakat nelayan secara umum di Indonesia dalam tataran evolusi sosiobudaya berbeda pada perkembangan awal. Sukadana (1983), menyampaikan bahwa perubahan antroposphere dalam kehidupan manusia ada enam tingkatan, mulai dari: food gather, hunting and fishing, pastoral nomad, agriculture, industry, dan terakhir urban. Koentjaraningrat (1985) juga menggunakan pendekatan evolusi ini, yang dimulai dari meramu, perikanan, dan kemudian pertanian (dari perladangan berpindah sampai pertanian menetap). Dengan demikian, perspektif evolusioner masih relevan digunakan sebagai dasar memahami dinamika masyarakat nelayan, apalagi dalam kehidupan masyarakat nelayan yang terikat habitat. Kajian terhadap struktur sosial memberikan makna bahwa struktur memiliki daya tampung yang dinamis, dapat berkembang sesuai dengan perjalanan sejarah sosial masyarakat bersangkutan. Interaksi antara masyarakat lokal dengan masyarakat dari lingkungan sosial luar akan direspon sesuai dengan daya tampung atau kapasitas ruang struktur sosial. Struktur sosial sendiri menurut Radcliff -Brown (1968) adalah 29 suatu keberlanjutan susunan orang-orang dalam hubungan-hubungan yang dibatasi atau dikendalikan oleh institusi-institusi, yaitu norma-norma atau pola-pola tingkah laku yang dibangun masyarakat. Jika elemen yang baru masuk dapat diterima dalam struktur sosial, makan elemen baru tersebut menjadi bagian dari struktur. Sebaliknya, jika elemen baru tidak mampu berintegrasi dengan struktur, akan menguras kapasitas ruang struktur, yang akan menyebabkan daya tampung struktur sosial semakin sempit. Berdasarkan latar belakang tersebut, disertasi ini berusaha untuk mendeskripsikan perubahan kapasitas ruang struktur sosial masyarakat nelayan dengan menemukan titik kritis tertentu, sejalan dengan dinamika structural dan perjalanan sejarah sosial dari masyarakat bersangkutan. Perumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut; 1. Bagaimana perkembangan struktur sosial masyarakat sejak dari pembentukan awal, sekitar tahun 1950-an sampai pada saat penelitian dilaksanakan tahun 2008/2009? 2. Bagaimanakah dinamika kapasitas ruang struktur sosial memberikan daya tampung terhadap elemen-elemen baru yang berasal dari lingkungan lokal maupun lingkungan sosial luar? 3. Apakah dalam perubahan struktur masyarakat nelayan yang didekati dengan teori evolusi sosial dapat ditemukan titik-titik kritis struktur sosial yang menjadi sebuah tanda perubahan dari kapasitas ruang yang sempit menjadi kapasitas ruang yang luas dan sebaliknya? Tinjauan Pustaka Istilah struktur sosial digunakan secara umum untuk menjelaskan satuan atau kelompok yang memiliki hubungan sosial satu sama lain, yang relatif abadi untuk membentuk pola-pola tingkah laku dan hubugan sosial dalam sebuah sistem sosial. Struktur sosial dinyatakan pula sebagai institusi-institusi dan noram-norma sosial yang menjadi bangunan sistem sosial yang menjadi sebuah pedoman bagi tingkah laku aktor-aktor dalam keseluruhan sistem sosial. Stuktur sosial dapat diidentifikasi sebagai: (1) hubungan timbal balik satuan atau suatu kelompok dengan satuan atau kelompok lainnya, (2) sebagai pola-pola yang abadi dari tingkah laku para partisipan dalam sebuah sistem sosial dalam kaitannya dengan yang lain, dan (3) sebagai norma-norma yang telah terinstitusionalisasi atau kerangka-kerangka pengetahuan yang terstruktur yang mendasari tindakan-tindakan para pelaku dalam sistem sosial. Metode Penelitian 30 Secara umum dikenal adanya pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan gabungan keduanya. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan subyektivitas bersifat mikro sampai makro. Pendekatan ini digunakan untuk mengungkap keunikan yang ada pada individu, kelompok, organisasi atau institusi tertentu. Berdasarkan pemetaan metode penelitian model rasional, maka tipe kajian ini adalah berbasis pada subyek kajian “holistik-subyektivisme”, yang mana pendekatan teori yang sesuai adalah fungsionalisme (Fatchan, 2005). Moloeng (2007) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai suatu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Bungin (2001) menyatakan bahwa format desain penelitian kualitatif perlu disususn khusus dengan pertimbangan: (1) desain penelitian kualitatif itu adalah penelitinya sendiri, (2) masalah dan tujuan penelitian kualitatif yang amat beragam dan kasuistik sehingga sulit membuat kesamaan desain penelitian yang bersifat umum, (3) ragam ilmu sosial yang variannya bermacam-macam sehingga memiliki tujuan dan kepentingan yang berbeda-beda pula terhadap penelitan kualitatif. Lokasi dan Tahapan Penelitian Penelitian dilaksanakan di salah satu kawasan Teluk Prigi, sebuah kawasan pantai di selatan Kabupaten Trenggalek, Propinsi Jawa Timur, yaitu di sebuah dusun bernama Karanggongso. Dusun ini merupakan bagian dari desa Tasikmadu secara administratif dan secara ekologis adalah bagian dari Teluk Prigi. Tahap pertama penelitian dilakukan dengan kajian pustaka terhadap berbagai riset yang dilakukan di kawasan teluk ini, baik yang dilakukan oleh mahasiswa, peneliti perorangan, peneliti dari kelembagaan tertentu, dan hasil-hasil riset dan laporan kegiatan proyek Cofish. Tahap kedua melakukan analisis perubahan struktur dengan melakukan identifkasi komponen-komponen pembentuk struktur, dengan menganalisis waktu interpretasi dan proses integrasi dengan struktur lokal. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa langkah. Pertama adalah melakukan pengumpulan bahan dokumen, yaitu berupa laporan penelitian tentang masyarakat nelayan yang relevan dengan judul disertasi. Kedua adalah melakukan observasi, terutama terhadap aktivitas masyarakat pesisir di dalam melakukan pemanfaatan sumber daya pesisir. Ketiga adalah dengan melakukan wawancara dengan informan dan informan kunci. Wawancara dalam tahap pertama dilakukan oleh peneliti sendiri yang tinggal di rumah seorang responden. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawacara (terlampir) dengan menggunakan life history. Para key informant dan informant, ditentukan secara teknik 31 snowball, dengan acuan berawal pada key informant yang pernah digunakan dalam riset oleh peneliti pada tahun 1991. Dinamika Struktur Sosial Masyarakat Karanggongso Deskripsi dinamika struktur mengikuti periodisasi dari penelitian terdahulu (Susilo, et al, 2003), yang membagi kehidupan masyarakat nelayan pancing menjaditiga periode (isolasi, terbuka-1, dan terbuka-2), dan mengikuti arah bahasan terhadap kapasistas ruang dan titik kritis struktur sosial. A. Struktur Sosial di Masa Isolasi (<1975) Sebelum tahun 1975 dianggap sebagai masa isolasi karena jalan akses dari Karanggongso ke Pantai Prigi dibuka pada tahun tersebut. Seorang juragan jaring tarik bernama RMN meluaskan usahanya dari Subteluk Ketawang ke Karanggongso. Ia memberikan fasilitas kepada warga masyarakat untuk membuat akses jalan di sebelah barat Pasir Putih. Sebelum itu, masyarakat menggunakan jalan setapak menyusuri tebing dan tembus ke muara Ledong, yang sekarang menjadi areal Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi. Pada dasarnya masyarakat di Karanggongso bukanlah suatu generasi yang hidup dari sumber daya laut. Mereka berasal dari kebudayaan pertanian, yang kemudian beradaptasi pada lingkungan pesisir, terutama dalam kegiatan penangkapan ikan. Oleh karena itu sektor pertanian sejak awal sampai saat ini merupakan sumber ekonomi yang penting bagi masyarakat Karanggongso. Masyarakat juga menggunakan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan. Pemanfaatan hasil hutan dilakukan dengan dua cara, yaitu membudidayakan tanaman pangan (agriculture) dan melakukan pengambilan hasil hutan (gathering). Mereka menggunakan lahan hutan untuk melakukan budidaya tanaman ketela. Dinamika masyarakat Karanggongso di tahun 1950-an tidak jauh berbeda dengan kondisi pedesaan di awal terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agresi Belanda ke-2 sekitar tahun 1948 lebih memberikan pengaruh pada kehidupan masyrakat di Subteluk Ketawang dan desa-desa di sepanjang jalan raya. Di Karanggongso pada awalnya hanya merupakan sebuah satuan wilayah rukun tetangga (RT). Struktur pemerintahan kemudian menjadi sebuah dusun yang diperoleh oleh seorang Uceng atau Kepala Dusun. Penggambaran dinamika struktur dilakukan dengan menampilkan berbagai peristiwa yang diperkirakan memberikan pengaruh kuat di dalam menggerakkan kehidupan masyarakat, baik yang berkait dengan kegiatan ekonomi maupun aspekaspek sosial politik yang melibatkan sebagian besar masyarakat. Selama masa isloasi ada sekitar tiga buah peristiwa penting, yaitu adanya akses masyarakat mengelola 32 sumber daya hutan, peristiwa bukaan alas, gestok, dan terbukanya kawasan ini dari isloasi geografis. B. Stuktur Sosial di Masa Terbuka-1 (1975-1990) Pada masa Terbuka-1 ditandai oleh beberapa peristiwa, antara lain dibangunnya jembatan di sungai Gedangan dan “Gupakan Warak” (tempat berkubang badak) dengan kerja bakti. Kegiatan pariwisata juga mulai memasuki wilayah Karanggongso, terutama Pasit Putih, sebagaimana perkembangan akses ke Pantai Prigi, maupun secara lebih luas ke wilayah Kecamatan Watulimo, yang ditandai dengan dibangunnya jalan aspal, bergantinya angkutan umum dari kendaraan jenis Jeep ke Colt station, dan masuknya jaringan listrik. Kegiatan nelayan masih didominasi oleh pancing ulur, disamping alat tangkap ikan lain seperti jaring tarik dan paying. Pada masa ini ada seorang pendeta bernama Lugano yang mengintroduksikan kelembagaan nelayan (Lembaga Pengembangan Nelayan, LPK) yang mengoperasikan alat tangkap purse seine dengan sistem bagi hasil yang bebeda dengan sistem yang telah ada sebelumnya. Masa terbuka-1 terutama ditandai oleh kemudahan akses bagi orang di luar Karanggongso masuk ke wilayah ini, juga sebaliknya bagi warga Karanggongso keluar wilayahnya. Hubungan ekonomi dengan kawasan terluk juga semakin terbuka. Investor juga mulai memasuki wilayah ini, baik untuk kegiatan perikanan maupun pariwisata. C. Struktur Sosial pada Masa Terbuka-2 (1991-2008) Tahun 1991 dianggap sebagai awal dari Masa Terbuka-2 karena usaha penangkapan ubur-ubur dijalankan oleh masyarakat Karanggongso. Usaha ini dimulai oleh seorang pengusaha ubur-ubur dengan PT. Mahera. Selain itu juga semakin mendunia ketika ikan layur menjadi komoditas ekspor. Dikembangkannya rumpon laut dalam penangkapan ikan dengan pancing mengalami perubahan yang mendasar, baik pada teknologi alat tangkap maupun kebiasaan melaut yang lebih dari satu hari (one day fishing) dan peningkatan upaya armada penangkapan pancing, dari perahu kunthing ke perahu sekoci. Nelayan purse seine juga menggunakan rumpon untuk mempermudah menemukan daerah penangkapan. Masa terbuka-2 dapat disebut sebagai masuknya globalisasi dalam Dusun Karanggongso. Pengaspalan jalan, pembukaan JLS, teknologi informasi, jaringan listrik, dan jaringan pasar internasional untuk ubur-ubur dan layur telah memberikan kapasitas ruang struktur sosial menjadi semakin luas. Struktur yang terbentuk semakin kompleks dan dinamis. 33 Kesimpulan Perubahan struktur sosial secara umum diamati mulai tahun 1950-an sampai dengan 2008 dapat dikategorikan ke dalam tiga masa, yaitu masa isolasi (<1975), masa terbuka-1 (1975-1990), dan masa terbuka-2 (1990-2008). Penyebab utama perubahan struktur adalah masuknya unsur-unsur pembentuk struktur dari luar (individu, sistem), atau karena meningkatnya akses masyarakat terhadap perubahan di lingkungan lokal, misalnya terhadap sektor pertanian di hutan, pariwisata, atau pengolahan produk perikanan. Dinamika kapasitas ruang struktur sosial di ekosistem pesisir Karanggongso selama masa pengamatan yaitu dalam tiga masa kehidupan (isolasi, terbuka-1, dan terbuka-2), secara umum dapat dijelaskan ada dua indikator yang penting. Pertama adalah indikator obyektif yaitu berupa ketersediaan peluang bekerja dan berusaha dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir. Kedua, tingkat aksesibilitas individu dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir. Kapasitas ruang struktur sosial yang secara obyektif berkembang meluas tidak selalu diikuti oleh tingkat kemampuan akses individu atau sistem yang ada dalam struktur sosial. Judul : Manajemen Pembangunan Kepulauan dan Pesisir Tahun : 2009 Jenis Pustaka : Buku Bentuk Pustaka : Cetak Nama Penulis : Elfindri dkk Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari Elfindri, Jemmy Rumengan, Syamsul Bahrum, Tengku Dahril, Rimilton Riduan, dan Zainal Abidin. Mengingat bahwa yang memiliki pulau-pulau kecil hanyalah Indonesia, maka untuk belajar manajemen pembangunan kepulauan tidak mungkin ke negara maju seperti Ameriak, Eropa atau Jepang sekalipun. Atas dasar keunikan itu, penulis mencoba merangkul apa saja yang difikirkan, yang pernah dikerjakan oleh penulis bersama ini serta bagaimana konsep ke depan tentang pengembangan pelayanan kepada masyarakat pesisir. Elfri Buku ini terdiri dari 12 bab. Bab pertama menjelaskan secara umum tentang kepulauan. Disusul dengan pembahasan tentang menjelajahi pemahaman suku laut dan inventaris dan analisa persoalan: kasus kepri, berturut-turut pada bab kedua dan ketiga. Potret kemiskinan dan program aksi penanganan dijelaskan pada bab 4. Bab 34 kelima menyajikan gambaran pemerataan pelayanan kesehatan kepulauan. Contoh kasus untuk manajemen pembangunan kepulauan mulai dijelaskan dengan mengangkat kasus Batam sebagai contoh pusat pertumbuhan di bab ketujuh. Dijadikannya Batam sebagai contoh kasus membuat pembuktian efek rembes Batam dimasukkan ke dalam bab delapan. Pandangan secara makro mulai ditunjukkan oleh pembahasan bab ke Sembilan, yaitu berisi fungsi ganda birokrasi pemerintahan. Bab kesepuluh menjelaskan berisi gagasan membangun industry kelautan. Bab kesebelas menggambarkan penggunaan kelompok dampingan mempercepat program pembangunan masyarakat kepulauan dan pesisiran. Bab terakhir mengetengahkan konsep masa depan pembangunan kepulauan dan pesisir blue print. Kepulauan Indonesia adalah negara yang memiliki kepulauan terbanyak di dunia. Sebab sekitar tujuhbelas ribu pulau terhampar; dari Sabang sampai ke Merauke. Pulau-pulau utama, Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Irian telah menghiasi peta dunia. Kawasan kepulauan dari berbagai ciri geografis memiliki banyak keunikan. Pertama, bahwa untuk mencapai daerah kepulauan memerlukan transportasi laut sebagai sarana utama, dan infrastruktur lain yang memerlukannya. Sehingga dengan jarak tempuh yang jauh, bisa saja kawasan kepulauan menjadi daerah tertinggal dari percaturan pembangunan kabupaten pusat. Kedua, daerah kepulauan ditandai dengan wilayah pemukiman masyarakat pesisir dan suku laut. Dimana komunitas kepulauan sangat berbeda dengan komunitas daratan. Komunitas kepulauan terbiasa hidup terpisah dengan kemajuan daerah daratan. Kehidupan masyarakat pesisir sangat tergantung pada musim. Ketiga, membangun daerah kepulauan sangat bervariasi, tergantung kepada besarnya pulau-pulau dan lanskap tanahnya. Dengan demikian, perlu pemahaman khusus, bagaimana seni membangun daerah kepulauan. Bagaimana percepatan pembangunan dapat diwujudkan sebagai salah satu bentuk mempercepat pemerataan hasil-hasil pembangunan. Daerah-daerah kepulauan ditandai dengan berbagai dimensi kesempatan yang dimilikinya. Diantara beberapa prospek yang perlu dikelola kemudian adalah begitu unggulnya sumber daya laut yang dimiliki. Sehingga setidaknya beberapa aspek berikut dapat dijadikan sebagai daya tarik daerah kepulauan adalah sebagai berikut: a. Pengakuan antarpulau. Pengangkutan antarpulau membutuhkan bisnis ikutan, termasuk sarana dan prasarana pelabuhan. b. Wisata Penyelaman. Wisata penyelaman pada titik lokasi yang indah alam dalam pantainya, terumbu karang, berbagai jenis ikan dan fauna lainnya dapat menjadikan daya tarik tersendiri. 35 c. Eksplorasi potensi laut seperti minyak dan gas bumi. Upaya eksplorasi minyak dan gas lepas pantai juga memungkinkan berkembangnya daerah kepulauan. d. Wilayah pesisir pantai yang indah. Kualitas pasir dan kelandaian pantai juga dapat menjadikan kawasan kepulauan menjadi daya tarik tersendiri, khususnya bagi pelancong yang menyukai olahraga tepian pantai. e. Penangkapan ikan komersial dan budidaya ikan komersial. Selain penangkapan komersial, kemudian budidaya ikan juga sangat potensial dikembangkan di daerah kepulauan. Khususnya bagi daerah dimana kualitas airnya dan suhu sesuai dengan kondisi teknis air untuk budidaya. f. Pengembangan binatang dan tumbuhan laut. Pengembangan tumbuhan laut seperti rumput laut serta pembudidayaan mutiara adalah komoditas-komoditas yang juga memberukan nilai yang tinggi di pasar. g. Wisata terumbu karang. Terumbu karang selain budidayanya, juga memiliki lanskap dan kecantikan tersendiri. Pembudidayaan dan pelestariannya adalah gerakan yang juga penting pada masa yang akan datang. h. Penangkaran ikan langka. i. Fasilitas pariwisata, berupa hotel, restoran dan sebagainya. j. Kegiatan olahraga bahari, seperti selancar angin, jet cross, layar, perahu cepat, perahu naga dan sebagainya. k. Binatang langka kepulauan; seperti Komodo, Kupu-kupu, Kera dan lainnya. Menjelajahi Pemahaman Suku Laut Suku laut sangat tergantung pada kemurahan dan kemurkaan alam. Determinisme geografis ini ditunjukkan pada kemampuan melakukan adaptasi naturan dengan musim yang berubah. Faktor internal misalnya berkembang adanya perasaan rendah diri (sense of inferiority complex), tumbuhnya budaya kemiskinan (the culture of poverty) yang transgenerasional. Mereka miskin karena miskin (the poverty of culture). Sedangkan kondisi eksternal berkaitan dengan lingkaran setan kemiskinan dan keterpinggiran (the vicious circles of poverty and marginalization) adalah ketidakmampuan pemerintah membuat suatu pola pengentasan kemiskinan yang terstruktur dan berkeseinambungan. Suku laut seringkali hanya dianggap sebagai obyek dari pembangunan, juga menjadi obyek dari sejumlah LSM yang menjadikan mereka pemalas berbudaya fatalism. Kegiatan dalam bentuk “cash and crash program” memang diperlukan tetapi 36 harus bersifat permberdayaan buan pemberian sumbangan. Marjinalisasi suku laut diperparah dengan phenomena stereotype sosial yang cenderung menyisihkan mereka dalam tatanan pergaulan sosial yang luas di tingkat kampung atau pulau bahkan kota. Judul : Analisis Keberlanjutan Lilifuk: Tinjauan Persepsi Masyarakat Lokal Tahun : 2009 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk Pustaka : Elektonik Nama Penulis : Maharani Yulisti, Nendah Kurniasari dan Christina Yuliaty Nama Jurnal : Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Volume(Edisi):hal : 9(1) Alamat URL/doi : Tanggal diunduh : 7 Mei 2015 Penelitian ini mengkaji persepsi masyarakat mengenai keberlanjutan Lilifuk di Kabupaten Kupang. Lilifuk adalah kawasan di laut berbentuk kolam yang tergenang saat surut sehingga ikan terperangkap di dalamnya. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bolok dan Desa Kuanheum, Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang pada Oktober 2012 dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode studi kasus dan triangulasi digunakan dalam penelitian ini. Wawancara mendalam dilakukan terhadap tetua adat, kepala desa, dan perwakilan lembaga swadaya masyarakat. Data diambil dari 30 responden dan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pendahuluan Pengelolaan sumberdaya alam merupakan upaya pelestarian dan perlindungan keanekaragaman biologi pada tingkat genetik, spesies, ekosistem, serta menjamin kekayaan alam, binatang dan tumbuhan di seluruh kepulauan Indonesia. Sumberdaya alam yang lestari dapat menjamin keberlanjutan produksi dan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya akan bedampak pada kesejahteraan (Mitchell et al., 2000). Kearifan lokal masyarakat adat merupakan segala bentuk pengetahuan, keyakinan pemahaman maupun wawasan serta adat istiadat atau etika masyarakat yang menuntun perilaku kehidupan mereka di dalam komunitas ekologisnya (Keraf, 2010). Keberadaan Lilifuk di Kabupaten Kupang merupakan suatu bentuk kearifan lokal 37 dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Peran serta masyarakat dalam pengelolan suatu daerah perlindungan laut berbasis masyarakat dalam bentuk kearifan lokal merupakan wujud tanggung jawab masyarakat dalam menjaga dan melestarikan sumber daya kelautan dan perikanan sehingga dapat memberi manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Kajian mengenai persepsi masyarakat terhadap suatu pengelolaan sumberdaya mutlak diperlukan untuk mengetahui sejauh mana peran masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tersebut. Metodologi Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Kombinasi metode studi kasus dan triangulasi digunakan dalam penelitian ini yang memadukan pengamatan, wawancara dan analisis dokumen (Sitorus, 1998). Menurut Idrus (2009), studi kasus merupakan desain penelitian pada pendekatan kualitatif maupun kuantitatif yang mempelajari suatu individu maupun unit sosial tertentu secara mendalam yang bersifat alami, holistik, mengandung unsur budaya, serta memiliki pendekatan fenomologi. Kelebihan dari metode ini adalah dapat saling menutupi kelemahan antara satu metode tersebut dengan metode lainnya sehingga hasil yang diharapkan mengenai realitas sosial ini lebih valid menggambarkan kearifan lokal masyarakat kelautan dan perikanan dalam pengelolaan dan pelestarian sumberdaya Lilifuk dan mekanismenya. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari analisis dokumen yang bersifat hasil penelitian seperti buku, makalah, dan skripsi. Untuk pengumpulan data primer, dilakukan dengan pengamatan dan wawancara mendalam (indepth interview) serta wawancara yang dipandu dengan instrumen penelitian berupa kuesioner. Data yanag diperoleh dianalisis dengan kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif. Hasil wawancara indepth interview dianalisis dengan cara deskriptif interpretatif, yaitu peneliti memaparkan data secara keseluruhan kemudian menginterpretasikan dengan melalui tahapan sebagai berikut: 1. Pengorganisasian data, pada proses ini data dipilh dan diurutkan yang sesuai dengan kajian yang dilakukan 2. Pemaknaan dengan ciri signifikasi, selanjutnya dihubungkan dengan idealisasi deskripsi yang dihasilkan disesuaikan dengan teori. 3. Mendeskripsikan data sebagai hasil analisis dalam bentuk laporan 4. Membuat simpulan tentang hasil analisis 5. Verifikasi atau memeriksa kembali. 38 Hasil dan Pembahasan Lilifuk merupakan suatu kawasan di perairan laut yang berbentuk kolam yang tergenang pada saat air laut surut. Lilifuk ini ditutup dari aktivitas penangkapan ikan sehari-hari dan dibuka untuk sekali atau dua kali dalam setahun sesuai dengan kesepakatan untuk dimanfaatkan. Lilifuk tersebut merupakan hak milik dari suatu suku tertentu dengan pengelolaannya dilindungi oleh hukum adat. Batas-batas wilayah Lilifuk ditutup sebagai daerah konservasi. Batas tersebut juga diberi tanda. Awalnya tanda diberikan berupa batu. Namun karena batu-batu tersebut sering dibongkar pada saat dibuka, maka batas tersebut diganti dengan menggunakan kayu. Kepemilikan Lilifuk oleh suatu suku tertentu adalah karena sejarah awalnya ditemukan wilayah tersebut oleh salah satu anggota suku tersebut sehingga diklaim sebagai miliknya secara adat. Komponen masyarakat yang berperan dalam kearifan lokal pengelolaan Lilifuk terbagi dalam 5 unsur yaitu tokoh agama, tokoh adat, pemerintah desa, masyarakat dan orang luar desa. Tokoh adat memiliki peran sebagai penjaga sumber daya tersebut khususnya ikan yang ada di dalam Lilifuk serta membantu pemerintah desa dalam menghimpun informasi tentang adanya gangguan pencurian ikan di dalam wilayah tersebut. Tokoh agama dan pemerintah desa bersama-sama memiliki peran sebagai pengambil kebijakan, pertimbangan, serta pemberian dukungan di dalam penerapan aturan yang sudah dibuat. Masyarakat memiliki peran menjaga daerah tersebut dan mentaati peratuan yang sudah dibuat dalam rangka Lilifuk tersebut. Penangkapan ikan pada saat dibukanya Lilifuk dilakukan oleh masyarakat desa maupun dari luar desa tersebut. Penangkapan ikan tersebut biasanya dilakukan dalam dua hari tergantung dari keputusan pemilik Lilifuk. Pembukaan Lilifuk biasanya dimulai dengan pesta adat dan ritual agama sebelum dilakukannya panen ikan di wilayah tersebut. Lilifuk merupakan suatu bentuk hak ulayat laut. Hak penguasaan masyarakat hukum atas tanah, air sungai, pantai, tumbuh-tumbuhan liar, satwa liar di dalam lingkungan guna kepentingan masyarakat hukum sendiri dan anggota-anggotanya serta orang luar yang membayar retribusi untuk itu dinamakan hak ulayat (Hanaf, 1994 dalam Yulianto, 2008). Hal ini diperkuat oleh UU. No. 22 Tahun 1999 yang merupakan kekuatan hukum yang mengakui eskstensi institusi lokal yang ada di beberapa daerah dalam mengelola sumberdaya ikan. Beberapa manfaat diperoleh oleh masyarakat dari Lilifuk ini, baik mafaat ekonomi, sosial maupun lingkungan. Manfaat ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat adalah manfaat individu maupun rumah tangganya karena dapat menambah penghasilan dari penangkapan ikan pada saat buka Lilifuk. Manfaat sosial dirasakan oleh masyarakat untuk kehidupan kelompok atau lingkungan sosialnya seperti meningkatkan hubungan sosial antara satu rumah tangga dengan rumah tangga lainnya serta menjaga hubungan sosial dengan tetangga sekitarnya yang ikut pada 39 waktu buka Lilifuk, bahkan dengan masyarakat di luar desa tersebut. Lilifuk ini juga memberikan manfaat bagi lingkungan ekologinya. Dengan menerapkan penutupan Lilifuk selama setahun, maka ikan yang ada di sekitarnya ikut terjaga. Ikan akan terlebih dahulu besar dan memijah sehingga keberlanjutan sumber daya ikan terjaga, disamping sumber daya perikanan lainnya. Dengan adanya Lilifuk, masyarakat akan menjaga lingkungannya dengan baik dengan tidak membuang sampah sembarangan di laut dan pantai dan tidak menggunakan alat tangkap yang merusak sumber daya. Keberlanjutan Lilifuk akan selalu dijaga oleh masyarakat, karena dengan merusaknya berarti masyarakat akan mendapatkan dampaknya juga. Selain manfaat dan kendala dalam Lilifuk, mekanisme pengambilan keputusan dalam Lilifuk juga penting dalam keberlanjutan Lilifuk. Hal ini akan mempengaruhi masyarakat untuk mengambil sikap dalam mendukung keberlanjutan atau sebaliknya menghilangkan Lilifuk. Selain itu, sayangnya dalam pelaksanaan pengelolaan Lilifuk ini tidak ada zona inti di dalamnya yang dapat menjaga kelestarian sumber daya secara berkelanjutan. Perdes yang sedang disusun oleh pemerintah desa atas keinginan masyarakat yang didukung oleh lembaga swadaya masyarakat setempat menginisiasi zona inti yang harus dikelola dalam Lilifuk. Lilifuk memiliki manfaat yang cukup besar bagi masyarakat, maka perlu dipikirkan bagaimana menjaga keberlanjutan Lilifuk. Sebanyak 31% responden dari penelitian ini menyatakan bahwa masyarakat harus menjaga dan melindungi kelestarian serta memperbaiki lingkungan merupakan prioritas utama untuk menjaga keberlanjutan Lilifuk. Dukungan dan pengawasan pemerintah diperlukan dalam keberlanjutan Lilifuk merupakan prioritas kedua menurut masyarakat dengan jumlah responden sebanyak 27.3% karena menurut pendapat masyarakat bahwa perhatian pemerintah daerah masih kurang dalam menjaga kelestraian Lilifuk. Lebih lanjut, sebanyak 19.1% responden menyebutkan perlunya penerapan aturan dan sanksi hukum yang tegas, sehingga pelanggaran terhadap aturan yang telah disepakati harus diberi sanksi sesuai dengan aturan yang telah disepakati. Kesimpulan Lilifuk bermanfaat secara berkelanjutan bagi masyarakat baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungannya namun harus memperhatikan aspek-aspek pengelolaan berkelanjutan. Masyarakat lokal yang terlibat dan yang mendapatkan dampak dari pengelolaan tersebut baik langsung maupun tidak langsung dapat berperan serta memberikan kontribusi yang nyata dalam menjaga keberadaan Lilifuk. 40 Judul : Lubuk Larangan: Dinamika Pengetahuan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Perairan Sungai di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun : 2014 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk Pustaka : Elektonik Nama Penulis : Christina Yuliaty dan Fatriyandi Nur Priyatna Nama Jurnal : Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Volume(Edisi):hal : 9(1) Alamat URL/doi : Tanggal diunduh : 7 Mei 2015 Tulisan ini menggambarkan bagaimana masyarakat lokal memiliki pengetahuan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan perairan sungai. Pengetahuan ini berwujud nilai kearifan lokal, falsafah hidup, religi dan norma-norma hukum lokal yang digunakan dalam pemanfaatan sumber daya. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2012 pada masyarakat Minang Nagari Sialang Kecamatan Kapur IX, Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat yang menetap di daerah aliran sungai Batang Kapur. Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan cara observasi langsung, wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah. Analisis deksriptif kualitatif dilakukan melalui pendekatan studi kasus terkait dengan pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya perikanan perairan sungai secara lokal. Pendahuluan Kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya muncul dalam bentuk pantangan atau larangan. Keduanya memiliki landasan filosofis yang berbeda. Pantagan memiliki corak religio-magis sementara larangan terkait dengan aturan hukum adat (Lubis, 2005). Meskipun memiliki landasan yang berbeda, keduanya berpihak pada keseimbangan alam dan jaminan kehidupan bagi anggota masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya berbasis kearifan lokal ini sudah didukung oleh keluarnya UU No. 32 Tahun 2009. Solihin & Satria (2007) menyatakan bahwa solusi untuk mengatasi permasalahan terkait pengelolaan sumber daya adalah dengan pemberian hak pengelolaan kepada masyarakat lokal sesuai dengan keadaan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan karakteristik sumber daya di sekitarnya. 41 Lubuk larangan merupakan salah satu bentuk kearifan yang berkembang pada masyarakat lokal dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan perairan sungai di Sumatera Barat. Lubuk larangan tersebut merupakan perwujudan prinsip konservasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap sumber daya perikanan perairan sungai. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan pengetahuan lokal masyarakat Minang dalam pengelolaan sumber daya perikanan di sungai yang dinamakan Lubuk Larangan. Juga bertujuan untuk mengkaji dinamika pengetahuan yang terjadi. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Tan (1994) menuliskan bahwa penelitian yang bersifat deksriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu-individu, keadaan, gejala, atau untuk menentukan frekuensi atau persebaran. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh melalui penelitian lapangan (field research) dalam bentuk observasi lapangan, wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah (foucus group discussion). Observasi lapangan dilakukan untuk melihat secara langsung dan mencatat kondisi lubuk larangan, pembagian zona lubuk dan aktivitas masyarakat di sekitar lubuk larangan. Wawancara mendalam dilakukan dengan informan kunci (key informant) untuk memperoleh data mengenai sejarah, aturan lubuk larangan, pelaksanaan penegakan aturan serta pengawasannya. Sementara itu data sekunder diperoleh dari kepustakaan (library research) terkait dengan hasil penelitian sebelumnya baik mengenai kearifan lokal, pengetahuan lokal dan pengelolaan sumber daya. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, melalui proses editing dalam kategorisasi dan penafsiran data (Moloeng, 2006). Tabel 1. Metode yang Digunakan, Status Informan dan Jenis Informasi Metode yang Digunakan Purposive Sampling Status Informan Tetua Adat Wali Desa) Nagari Jenis Informasi Sejarah dan latar belakang pengelolaan sumberdaya (Kepala Sejarah desa dan peran serta pemerintah dalam pengelolaan sumber daya Ketua POKMASWAS Pelaksanaan pengawasan pada kawasan Lubuk Larangan 42 Hasil dan Pembahasan Lubuk larangan adalah model pengelolan perikanan yang berbasiskan masyarakat dengan cara melakukan penutupan sementara suatu kawasan penangkapan ikan di perairan umum daratan, khususnya daerah aliran sungai dalam kurun waktu tertentu. Lubuk larangan ditandai oleh perbedaan kecepatan aliran sungai. Wilayah yang relatif tenang aliran sungainya ditetapkan sebagai wilayah lubuk larangan, karena umumnya pada daerah yang tenang ikan berkembang biak (Suhana, 2009). Pemanfaatan ikan pada lubuk larangan ditujukan untuk pembangunan masjid dan pembiayaan kegiatan nagari. Masyarakat atau warga nagari hanya dapat melakukan penangkapan ikan di zona pemanfaatan yang terletak di luar zona inti. Lubuk larangan memiliki 3 fungsi, yaitu ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Fungsi ekologis adalah melindungi keberadaan jenis ikan lokal, menjadi lokasi pemijahan ikan, menjaga kebersihan lingkungan sungai. Secara ekonomi berfungsi untuk membuka lapangan pekerjaan saat lubuk larangan menjadi sarana rekreasi dan menjadi sumber penghasilan tambahan saat lubuk larangan dibuka, sumber dana bagi pembangunan desa, menjadi sumber ketahanan pangan bagi masyarakat. Secara sosial budaya larangan berfungsi melestarikan kearifan lokal yang berasal dari nenek moyang mereka, kelestarian lubuk larangan juga ikut serta melestarikan kelembagaan adat, menjadi sarana untuk meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kelestarian sumber daya (Yliaty et al., 2010). Lubuk larangan mengatur bagaimana masyarakat memperlakukan alamnya, sumber daya yang menjadi sumber penghidupan mereka. Aturan ini berisi pertama tentang wilayah mana dari sungai yang menjadi lubuk larangan. Kedua, pembagian zona dalam lubuk larangan, mana yang menjadi zona inti, pemanfaatan maupun zona penyangga. Ketiga, sanksi sosial maupun sanksi ekonomi atau denda. Pengelolaan Lubuk Larangan Anak Nagari merupakan hasil kesepakatan atau kesepakatan bersama dari Kerapatan Adat Nagari (KAN), Wali Nagari, tokoh pemuda dan tokoh agama. Kerapatan adat Nagari sendiri adalah lembaga permusyawaratan nagari. Lubuk larangan Anak Nagari hanya membagi wilayah perairan menjadi dua zona, yaitu zona inti dan zona produktif (pemanfaatan). Hal ini sedikit berbeda dengan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Data Ikan yang membagi zona konservasi menjadi tiga, yaitu zona inti, zina penyangga, dan zona pemanfaatan. Zona inti di dalam lubuk larangan berfungsi sebagai zona konservasi. Zona ini merupakan zona perlindungan dan pelestarian sumberdaya perikanan yang dikhususkan bagi perkembangbiakan ikan sehingga tidak boleh dimanfaatkan. Pengikatan wilayah larangan pada lubuk larangan dilakukan melalui proses pemberian mantera atau yang disebut dengan uduh. Uduh berfungsi sebagai mantra 43 yang bertujuan untuk memagari lubuk sehingga tidak ada pencurian. Penguduhan dinilai efektif dalam pelaksanaan lubuk larangan. Penguduhan ini membuktikan bahwa kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya memang umumnya dikemas dalam terminologi pantangan yang menunjukkan corak religious-magis dan larangan yang berbentuk aturan hukum adat, yang meskipun memiliki landasan yang berbeda namun keduanya memberi efek positif bagi konservasi sumber daya (Lubis, 2005). Lubuk Larangan sebagai Mekanisme Distribusi Hak Berdasarkan Peraturan Nagari (PERNAG) Sialang No. 02 tahun 2011, distribusi penerima manfaat hasil panen untuk Lubuk Larangan Anak Nagari atau Pantai Lokna, sebagai berikut: a. Kas Pemuda Nagari dan Pemuda Jorong sebesar 50% b. Operasional Pokmaswas sebesar 20% c. Pemberdayaan Adat sebesar 10% d. Pemerintah Adat Nagari Sialang 10% e. Lembaga Swadaya Nagari 10% Pembukaan Lubuk Larangan umumnya untuk membiayai kegiatan nagari, seperti pembangunan fisik nagari dan kegiatan kemasyarakatan. Antara lain pembiayaan kegiatan perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan, Upacara Adat ‘Pulang Mamak’ yaitu acara dimana semua anggota masyarakat nagari berkumpul termasuk yang sudah merantau yang diadakan bertepatan dengan Hari Raya Lebaran. Kontekstualisasi dan Dinamika Lubuk Larangan Pengetahuan lokal seperti halnya budaya bukan sesuatu yang terberikan dan memiliki sifat yang tetap, melainkan bersifat dinamis karena manusia sebagai bagian dari masyarkat mengalami proses belajar sepanjang hidupnya. Kontak dengan pihak luar, interpretasi individu dapat menjadi penyebab terjadinya perubahan (Winarto & Choesin, 2001). Hal ini juga terjadi dalam Lubuk Larangan. Saat ini penggunaan unduh mengalami pergeseran. Dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam., pengunduhan mengalami proses kontekstualisasi. Unduh saat ini diganti dengan doa yang bernafaskan Islam yang kemudian termanifestasi dalam pembagian wilayah zona pemanfaatan lubuk larangan berdasarkan kepentingan organisasi keagamaan yang ada di nagari. Dinamika pengelolaan Lubuk Larangan juga terjadi akibat adanya perubahan struktur pemerintah. Berlakunya sistem pemerintahan desa sebagai hasil adopsi dari sistem pemerintahan di Jawa sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1979 turut mempengaruhi sistem lubuk larangan. Saat ini pemilihan kepala desa ditentukan langsung oleh pejabat di atasnya (Camat). Pemerintah membentuk Lembaga Musyawah Desa (LMD) yang di dalamnya terdapat unsur ninik mamak. Namun 44 fungsi pengawasan terhadap pemerintah tidak dapat dilakukan oleh kedua lembaga ini sebab keduanya dipilih oleh kepala desa (Astuti et al., 2009). Kesimpulan Praktik pengelolaan sumber daya seperti Lubuk Larangan ini dapat menjadi bahan dalam pengembangan pengelolaan sumber daya di Indonesia. Yang perlu diperhatikan, pertama, penyempurnaan bentuk pengelolaan Lubuk Larangan ataupun praktek pengelolaan sumber daya lainnya sehingga tidak terjebak dalam romantismenya saja. Kedua, pengelolaan sumber daya yang ada di suatu masyarakat tidak serta merta dapat diterapkan di masyarakat lain. Penyempurnaan bentuk pengelolaan sumber daya dengan melalui pengayaan dan pembaharuan pengetahuan lokal perlu dilakukan tanpa melupakan kedinamisan sebuah pengetahuan sehingga tercipta pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. Judul : Konstruksi Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Indonesia Tahun : 2011 Jenis Pustaka : Buku Bentuk Pustaka : Cetak Nama Penulis : Luky Adrianto Buku ini disusun untuk mengelaborasi beberapa praktik pengelolaan perikanan lokal, baik yang berbasis pada adat yang saat ini berlaku maupun dari hasil kesepakatan lokal yang digunakan sebagai dasar bagi pengelolaan perikanan. Dengan menggunakan pendekatan investigasi in-situ, tinjauan kritis terhadap peluang adopsi kelembagaan lokal/adat dalam pengelolaan perikanan formal dilakukan. Melalui tinjauan kritis ini, diidentifikasi beberapa pintu masuk (entry points) dari adopsi pengelolaan perikanan berbasis kelembagaan lokal/adat terhadap pengelolaan perikanan sesuai dengan amanat UU Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, khususnya Pasal 6. Buku ini disusun menggunakan struktur sebagai berikut. Bab I menyajikan pendahulan yang berisi pentingnya pemahaman tentang pengelolaan perikanan yang efektif, mengadopso pengetahuan lokal/adat, dan berbasis ko-manajemen. Kemudian diikuti dengan Bab 2 yang menyajikan kerangka teoritik adopso pengetahuan lokal/adat dalam pengelolaan perikanan. Bab 3 mengulas kerangka pengelolaan perikanan di Indonesia yang menggunakan basis pengetahuan lokal/adat, dimana 45 disajikan sembilan jenis pengelolaan perikanan berbasis pengetahuan lokal/adat. Bab ini diikuti dengan Bab 4 yang membahas kerangka adopsi pengetahuan lokal/adat ke dalam pengelolaan perikanan dalam konteks saat ini dan peluangnya di masa depan. Terakhir, Bab 5, menyajikan beberapa pointers kesimpulan yang dapat diambil dari adopsi pengetahuan lokal/adat ke dalam pengelolaan perikanan di Indonesia. Pendahuluan Praktik-praktik hukum adat laut seperti Sasi di Maluku dan Papua, Panglima Laot di Aceh atau awig-awig di Bali dan Nusa Tenggara Barat merupakan sedikit dari banyaknya contoh sistem adat perikanan ini. Namun dalam perkembangannya, praktik ini tereduksi oleh rezim pengelolaan yang didominasi oleh pemerintah (command and control regime). Sebagai akibatnya, peran komunitas lokal menjadi terduksi, hanya menjadi obyek pembangunan daripada subjek. Reduksi peran komunitas membuat pengelolaan perikanan menjadi tidak efisien. Pengelolaan perikanan melibatkan banyak pihak seperti pemerintah, nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan, Perguruan Tinggi/Lembaga Riset/LSM, hingga pengguna sumber daya lain. Dengan kompleksitas tersebut, kontekstual pengelolaan perikanan (fisheries management) kemudian berevolusi menjadi tata kelola perikanan (fisheries governance). Dalam kerangka hukum, UU No. 31/2004 tentang perikanan menyebutkan dengan jelas bahwa pengelolaan perikanan dilakukan dengan prinsip kemitraan seperti yang tercantum dalam Pasal 2 UU No.31/2004, yaitu: “pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.”Selanjutnya, pengelolaan perikanan juga harus mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal seperti yang diamanatkan dalam Pasal 6 UU No. 31/2004, yaitu: “pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran masyarakat.” Dengan uraian tersebut, kerangka pembentukan dan implementasi pengelolaan perikanan di Indonesia yang berbasis pada pengetahuan lokal dan dilaksanakan secara kolaboratif sudah tersedia. Tinggal membutuhkan dukungna politik yang lebih kuat dengan berpijak pada prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan dan berbasis ekosistem. Kerangka Teori Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan Perikanan Hukum adat memiliki dua unsur yaitu: (1) unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat; dan (2) unsur psikologis, bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, artinya adat mempunyai kekuatan hukum (Wingjodipoero 1967). Oleh karena itu, unsur inilah yang menimbulkan adanya kewajiban hukum (opinioyuris necessitatis). Selanjutnya, Wingjodipoero (1967) menjelaskan bahwa di dalam kehidupan masyarakat hukum adat, umumnya terdapat tiga bentuk hukum adat, yaitu: 46 1. Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum); merupakan bagian yang terbesar. 2. Hukum yang tertulis (jus scriptum); hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan perundang-udnagan yang dikeluarkan oleh raja-raja atau sultan. 3. Uraian-uraian hukum secara tertulis, lazimnya uraian-uraian ini adalah suatu hasil penelitian (research) yang dibukukan. Menurut Gadgil, Berkes and Folke (1993) dalam Berkes (1995), pengetahuan tradisional/lokal adalah kumulatif penetahuan dan kepercayaan (beliefs) secara turun menurun antar generasi tentang kehidupan masyarakat baik terkait antarindividu dalam masyarakat maupun hubungan antara masyarakat dan lingkungan. Secara sederhana, pengetahuan lokal dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang digunakan oleh komunitas untuk bertahan hidup dalam sebuah tipe lingkungan tertentu (Pameroy and Rivera-Guieb, 2006). Sementara itu, Ruddle (2000) menyatakan bahwa praktik pengelolaan perikanan berbasis pengetahuan lokal/adat (local/customary knowledge) paling tidak memiliki 4 ciri umum yaitu, bahwa: (1) praktik ini sudah berlangsung lama, empiris dan dilakukan di suatu tempat (spesifik terhadap lokasi tertentu), mengadopsi perubahan-perubahan lokal, dan dalam beberapa hal sangat detil; (2) praktik ini bersifat praktis, berorientasi pada perilaku masyarakat, tidak jarang spesifik untuk tipe sumber daya dan jenis ikan tertentu yang dianggap sangat penting; (3) praktik ini bersifat structural, memiliki perhatian yang kuat (strong awareness) terhadap sumber daya dan lingkungan sehingga dalam beberapa hal sesuai dengan konsep-konsep ilmiah ekologis dan biologis, misalnya dalam konteks konektivitas ekologis dan konservasi sumberdaya perairan; dan (4) praktik ini sangat dinamik sehingga adaptif terhadap perubahan dan tekanan-tekanan ekologis (ecological perturbations) dan kemudian mengadopsi adaptasi terhadap perubahan tersebut ke dalam inti dari pengetahuan lokal yang menjadi basis pengelolaan perikanan. Praktik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Kearifan Lokal Bentuk sasi di daerah Ambalau diberlakukan pada dua bentuk jenis sumberdaya, yaitu untuk sumberdaya di laut disebut dengan Sasi Laut. Sasi darat mengatur sumberdaya hutan (kayu dan rotan) serta pertanian dan perkebunan (kelapa, cengkeh, kakao dan pala). Sedangkan sasi laut mengatur pemanfaatan hasil laut berupa kima (Tridacna), lola (Trochus niloticus), teripang/timun laut (Holothuroidea), lobster (nephropidae) yang bagi masyarakat Ambalau merupakan hasil laut milik bersama (common property). Pada praktiknya, hukum sasi laut di Pulau Ambalau telah dipahami dan secara turun temurun berlaku. Dalam implementasinya, sasi telah menjadi mekanisme pengaturan yang sangat efektif karena masyarakat Ambalau sangat menghormati 47 hukum adat tersebut, sebagaimana juga menghormati hukum agamanya (Islam). Meskipun demikian, beberapa kali terjadi juga pelanggaran terhadap aturan-aturan sasi sehingga berlaku sanksi terhadap pelanggarnya. Dalam perjalanannya, sasi di Ambalau telah mengalami evolusi kelembagaan, jika tadinya sasi terkait hanya dengan adat, maka seiring dengan waktu, maka sasi menjadi bagian praktik kehidupan sosial yang menyatu dengan lembaga agama. Pengaturan sasi lebih menyangkut pada ketersediaan sumberdaya alam yang disasi. Masyarakat Pulau Ambalau walaupun wilayahnya dikelilingi oleh laut, tapi tidak semuanya bergantung ke laut. Hanya komoditas tertentu saja yang disasi seperti teripang yang laku di pasaran. Penutupan sasi dilakukan melalui pengumuman di masjid setelah diadakan musyawarah di tingkat masyarakat. Penutupan ini biasanya memakan waktu sampai 2 tahun, sampai dianggap bahwa komoditas tersebut sudah melimpah kembali sumber dayanya. Sedangkan pembukaan sasi, yang didahului oleh upacara adat biasanya dilakukan selama 2-3 minggu, untuk diambil manfaatnya untuk kepentingan masyarakat atau untuk kemakmuran masjid. Bagi pelanggar, akan dikenakan sanksi berupa sanksi adat dan sanksi ekonomi. Sanksi adat lebih bersifat pembuktian terhadap kebenaran pelanggaran yang dilakukan, yang berakibat pada kecelakaan jika tertuduh terbukti melakukan pelanggaran. Sanksi ekonomi dilakukan dengan membayar sebesar Rp 75000 per komoditi yang diambil dan digunakan untuk kemakmuran masjid. Masyarakat memegang peran sebagai kontrol sosial terhadap aturan ini. Bila ada yang melanggar, masyarakat melaporkan pelanggaran ini kepada imam masjid dan dihadirkan saksi untuk memperkuat tudingan tersebut. Sedangkan pelanggar juga diberi hak untuk membela. 48 Jenis Kearifan Lokal Batas pengelolaan Sistem Aturan Sistem Hak Sistem Sanksi Monitoring dan Evaluasi Otoritas Sasi Laut Berbasis Masjid di Pulau Ambalau Kabupaten Buru Selatan Seluruh wilayah laut di desa tersebut, dengan tanda batas wilayah darat yang biasanya berupa tanda alam (natural sign) seperti tanjung, karang, dan pulau, tegak lurus ke arah laut, sedangkan batas wilayah dari arah darat ke arah laut sampai pada meti, batas pasang surut Belum dibuat secara tertulis, sehingga tidak ada aturan baku. Namun demikian seluruh warga sangat paham dengan aturan yang belaku. Tidak diatur oleh satu pihak secara eksklusif karena sumberdaya besifat common property. Selain hak memanfaatkan , masyarakat juga punya hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan pengawasan. Terdapat sanksi adat dan sanksi ekonomi Dilakukan secara bersamasama. Terdapat untus kesetaraan dalam hak (equality) termasuk hak mengawasi. Tidak dikenal secara khusus struktur organisasi resmi pengelola sasi, namun semua masyarakat menyepakati bahwa setiap keputusan harus dimusayawarahka n. 49 air laut. Rompong di Pulau Barrang Caddi, Kota Makassar Radius kurang lebih 1 hektare dari romping tidak boleh melakukan penangkapan ikan tanpa seijin pemiliki rompong Tidak ada aturan tertulis. Terdapat aturan bagi hasil penangkapan ikan antara parrompong dengan nelayan yang umumnya 20:80 Hak kepemilikan secara pribadi oleh parrompong Tidak ada sistem sanksi yang bersifak kaku karena penyelesaian pelanggaran diadakan secara kekeluargaan. Di beberapa lokasi di Sulawesi Selatan, ada sanksi berupa pelemparan batu ke kapal yang melanggar sampai pembakaran perahu. Pemantauan sehari-hari dilakukan parrompong karena sifat kepemilikan yang individual Parrompong mempunyai hak untuk memberikan akses kepada para nelayan atau untuk sport fishing. Awig-awig di Lombok Barat bagian Utara Sejauh 3 mil dari pinggir pantai dan bersifat eksklusif, menggunakan Dipengaruhi oleh aturan pemerintah dalam menciptakan pengelolaan Bersifat individual, asalkan alat yang digunakan sesuai aturan Jika melanggar, akan membuat surat pernyataan tidak akan Kegiatan pemantauan sehari-hari dilakukan oleh segenap pengurus Dipengaruhi oleh hukum formal yang diamanahkan kepada pemerintah daerah setempat. 50 tanda atau batas alam seperi wilayah terumbu karang. sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan. Aturan secara tertulis yang disepakati. Untuk nelayan luar, harus menggunakan surat izin dari dinas kelautan dan perikanan setempat mengulangi perbuatannya dan denda uang maksimal Rp 10.000.000 untuk kemudian dilepas kembali. LMNLU (Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Utara). Jika kembali melanggar, oknum akan ditangkap dan kapal akan dibakar Apabila tetap melanggar, kelompok nelayan akan melakukan pemukulan massal tapi tidak sampi mati. Panglima Laot di Aceh Wewenang Hukum berlaku Peran tertinggi Mekanisme sesuai dengan sama di seluruh dimiliki pengambilan tingkatan wilayah NAD, Panglima keputusan Kegiatan pemantauan sehari-hari Otoritas berada di Panglima Laot dan lembaga adat laut. 51 hierarkisnya. Panglima laot di tingkat provinsi memiliki wewenang tingkat provinsi tetapi lebih bersifat koordinatif, sehingga tidak memiliki kekuasaan. Panglima laot kabupaten/kota memiliki wilayah kewenangan di wilayah pesisir laut yang menjadi wewenang tingkat kabupaten/kota . Panglima laut Lhok memiliki namun panglima laut kabupaten/kota memiliki aturan sendiri dalam pelaksanaan dan penerapannya di lapangan, tetapi bukan pada ha-hal substantive agar menghindari konflik. Laot. Pihak yang bertanggung jawab dalam melestarikan adat dan kebiasaan yang berlangsung di masyarakat. dilakukan oleh panglima laut lhok. Apabila masalah tidak selesai, akan diambil oleh penglima laut kabupaten/kota . Sistem ini memiliki struktur dimana apabila terjadi pelanggaran, maka harus diselesaikan terlebih dahulu pada struktur paling bawah dimana terjadi pelanggaran. Sanksi yang diterapkan adalah: 1) seluruh hasil tangkapan disita menjadi milik lembaga adat laut, 2) dilakukan oleh masyarakat atau panglima laot. 52 kewenangan di wilayah di suatu pemukiman nelayan. Pengelolaan Ekosistem Laut Dangkal berbasis Sea Farming di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu DKI Jakarta Area atau lahan budidaya yang ditetapkan sebagai wilayah sea farming adalah seluruh wilayah yang penetapannya dilakukan oleh kepala daerah yang didahului dengan pelibatan masyarakat dalam inventarisasi. dilarang melaut sedikitnya 3 hari dan setinggitingginya 7 hari. Kuncinya adalah right based fisheries yang untuk pengelolaan secara terbuka agar menghindari konflik, menuju perikanan berkelanjutan. Masa Turun ke Masyarakat Tidak memiliki batas Laut (Leffa Lamalera antara dan Tradisi area yang jelas Nung) Kelompok usaha atau anggota sea farming memanfaatkan wilayah sesuai dengan peruntukannya , juga berhak mendapatkan pembinaan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan kemampuanny a di bidang budidaya perikanan. Sesuai denga aturan perundangudnagan yang berlaku. Pengendalian internal oleh kelompok usaha sea farming dan lembaga sea farming; pengenalian oleh pemerintah kabupaten; dan pengawasan oleh masyarakat luas. Terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, seksiseksi yaitu keamanan dan hubungan masyarakat. 53 Berburu Paus dan pasti. Lokasinya adalah di Laut Sawu sebagai habitat Paus, sehingga batasannya adalah di mana ikan paus muncul bulan MeiSemptember. Bulan-bulan ini umumnya banyak ikan paus muncul. Masa Selingan Turun ke Laut; Masa ini adalah di luar jadwal menangkap ikan, yaitu antara OktoberApril. Cara Pembagian Hasil Tangkapan: Kepala untuk tuan tanah (leffo tana alep); bagian untuk awak perahu (meng alep); bagian untuk keluarga suku pemilik perahu (rekka 54 uma alep); bagian porsi bersama, yaitu jatah bersama rekka uma alep dan para ameng atau orang yang membantu saat perahu melaut dan mendarat. Mane’e Kabupaten Talaud Sulawesi Utara Pada perairan terumbu karang, tersebar pada sembilan tempat di tiga pulau, Proses penentuan lokasi dilakukan dengan rapat adat. Hukum adat Eha’ (penutupan laut) ditetapkan melalui musyawarah adat bersama pemerintah setempat dan lembaga agama. Penangkapan biasanya dilakukan sekali setahun pada setiap lokasi sekitar bulan Mei dan Juni; dimana pada saat itu diperkirakan cuaca baik dan laut tenang tidak bergelombang. Daerah penangkapan ikan diproteksi atau ditutup selama satu Sanksi moral, hukuman badan atau denda dalam bentuk uang yang jumlahnya ditentukan dalam sidang lemabga adat. Petugas Eha’ yang berfungsi sebagai pengawas melakukan pengawasan secara tidak langsung dan melakukan monitoring di lokasi Mane’e. Petugas Eha’ disebut mangageha, berfungsi sebagai pengawas yang dirahasiakan identitasnya. 55 tahun. Hasil tangkapan ikan dibagikan kepada seluruh masyarakat kampung yang hadir, apabila hasil berlimpah, maka masyarakat yang tinggal di luar desa akan mendapatkan bagian. Pengelolaan Daerah Perlindunga n Laut (DPL) Irwor Ikwan Iba Kabupaten Raja Ampat Papua Barat (Penerapan Perdes yang diperkuat Sasi) Mempunya luas sekitar 289 ha dari total wilayah administrative Kampung Yenbekwan sekitar 80.598 ha. Lokasi tersebut ditandai dengan batas berupa tandatanda alam Bersifat tertulis, yaitu Peraturan Kampung (Perkam) Nomor: 001/DPL/PKYNBKWN/200 8 tentang Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat, untuk Berlaku hak komunitas Kampung, bahwa anggota kelompok pengelola dipilih dari perwakilan kelompok konservasi dan pengawas, yang berkedudukan di bawah dan Menggunakan sistem denda dan sanksi adat. Apabila si pelaku melakukan pengulangan pelanggaran, maka di samping dikenai sanksi denda sejumlah uang, penyitaan hasil Meskipun pengawasan terhadap DPL dapat dilakukan oleh kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) , namun seluruh masyarakat kampung Dikelola oleh Kelompok Pengelola DPL yang disebut lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPS-TK). Kelompok pengelola ini dipilih dari perwakilan anggota kelompok konservasi dan 56 dan/atau selanjutnya tanda-tanda disebut Perkam lain seperti DPL-BM. papan informasi yang mudah diketahui masyarakat. bertanggung jawab kepada kepala kampung. tangkapan dan alat tangkap serta kewajiban sosial, juga Masingpelaku akan masing diserahkan anggota kepada pihak masyarakat kepolisian berhak terlibat untuk diproses dalam sesuai pengelolaan ketentuan DPL untuk hukum pidana mengambil yang berlaku. ikan, wisata ataupun melintasi perairannya. ikut bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap DPL. pengawas yang bertugas mengelola daerah perlindungan laut berdasarkan surat keputusan kepala kampung dan diketahui oleh Bamuskam. RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Wilayah Indonesia yang lebih dari setengahnya adalah lautan menyimpan sumber daya pesisir dan laut yang sangat besar. Oleh karena itu dibuuthkan model pengelolaan yang tepat untuk menjamin keberlangsungannya. Pengelolaan sumber daya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia, dan sebaliknya pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat manusia (Fauzi 2004). Model pengelolaan tersebut tidak lepas dari status kepemilikan dan pemanfaatan yang melekat pada sumber daya. Bromley dalam Satria (2009) menyebut paling tidak ada empat rezim kepemilikan yaitu: akses terbuka (open access), negara (state), swasta (private property), dan masyarakat (communal property). Munculnya rezim kepemilikan sumber daya ini tidak lepas dari sifatnya yang milik bersama (common property), sehingga membutuhkan model pengelolaan yang bisa menjamin kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu pembahasan mengenai pengelolaan sumber daya pesisir dan laut menjadi sangat penting. Menurut UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan menejemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sedangkan wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut. Sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya non hayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terikat dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan gelombang laut serta energy gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir. Menurut Satria (2002), rezim pengelolaan yang diterapkan di Indonesia saat ini masih berbasis pemerintah pusat (government based management) yang mengakibatkan aturan yang dibuat kurang terinternalisasi sehinga sulit ditegakkan dan biaya transaksi yang sangat besar untuk menegakkan aturan sehingga menyebabkan lemahnya pengawasan. Sentralisme yang diterapkan di masa lalu telah menyebabkan banyak permasalahan, termasuk kerusakan sumber daya pesisir dan lautan. Sentralisme ini terbukti belum mampu mengakomodasi kepentingan berbagai kelompok masyarakat yang berasal dari latar belakang yang berbeda (Satria et al. 58 2002). Kelemahan model ini kemudian disiasati dengan model pengelolaan berbasis masyarakat yang menempatkan mayarakat sebagai pelaku utama pengelolaan sumber daya yang ada di dalamnya, mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai pada tahap kontrol. Untuk kasus perikanan, Ruddle dalam Satria (2009) menjelaskan bahwa untuk kasus perikanan, unsur-unsur tata pengelolaan sebagai berikut; a. Batas Wilayah: Ada kejelasan batas wilayah yang kriterianya adalah mengandung sumberdaya yang bernilai bagi masyarakat. b. Aturan: Berisi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang. Dalam dunia perikanan, aturan tersebut biasanya mencakup kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang boleh menangkap. c. Hak: Pengertian hak bisa mengacu kepada seperangkat hak kepemilikan yang dirumuskan Ostrom and Schlager (1990) meliputi hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, hak eksklusif, dan hak pengalihan. d. Pemegang otoritas: Merupakan organisasi atau lembaga yang dibentuk masyarakat yang bersifat formal maupun informal untuk kepentingan mekanisme pengambilan keputusan. Ada pengurus dan disesuaikan dengan kondisi. e. Sanksi: Untuk menegakkan aturan diperlukan sanksi sehingga berlakunya sanksi merupakan indikator berjalan tidaknya suatu aturan. Ada beberapa tipe sanksi: sanksi sosial (seperti dipermalukan atau dikucilkan masyarakat), sanksi ekonomi (denda, penyitaan barang), sanksi formal (memiliki mekanisme pengadilan formal), dan sanksi fisik (pemukulan). Berdasarakan pengelolaan dan pemanfaatan atas wilayah laut sebagaimana diatur dalam UU No. 22/1999 tentang Perspektif Hak Kepemilikan dalam bundles of right adalah: (i) access, yaitu hak untuk memasuki wilayah fisik laut dalam batasan 12 mil maupun 4 mil dalam menikmati keuntungan yang tidak dikurangi, (ii) withdrawl, yaitu hak untuk memperoleh unit sumber daya kelautan atau produk sistem sumber daya kelautan, (iii) management, yaitu hak untuk mengatur pola penggunaan secara internal dan mengubah sumber daya (Satria 2002). Tujuan dari pengelolaan berbasis masyarakat adalah pengelolaan yang mengarah kepada bagaimana sumber daya ikan (SDI) yang ada saat ini mampu memenuhi kebutuhan sekarang dan kebutuhan generasi yang akan datang, di mana aspek keberlanjutan meliputi aspek ekologi, sosial ekonomi, masyarakat dan institusi. Pengelolaan SDI berkelanjutan tidak melarang aktifitas penangkapan ikan yang bersifat ekonomi/komersial,tetapi menagnjurkan dengan persayaratan bahwa tingkat pemanfaatan tidak melampaui daya dukung (carrying capacity) lingkungan perairan atau kemampuan pulih SDI, sehingga generasi mendatang tetap memilki aset sumber daya alam yang sama atau lebih banyak dari generasi saat ini (Mallawa 2006). Meminjam istilah Bengen dalam Mallawa (2006), suatu pengelolaan dikatakan berkelanjutan apabila kegiatan tersebut 59 dapat mencapai tiga tujua pembangunan yaitu berkelanjutan secara ekologi, sosial, dan ekonomi. Menurut UNESCO dikutip dari Mallawa (2006), bahwa untuk mempertahankan fungsi dari ekosistem, telah direncanakan suatu strategi pengelolaan yang dikenal dengan istilah World Conservational Strategy. Strategi tersebut menjelaskan bahwa ada lima pendekatan dasar pengelolaan konservasi, yaitu: a. Zonasi (zoning) Penentuan untuk semua, atau bagian spesifik dari area yang dikelola, tujuan khusus penggunaan dan izin masuk. b. Penutupan Secara Periodik (Periodic Closure) Hal ini dapat seperti penutupan singkat (short-term closure) selama sebagian waktu dalam satu tahun misalnya waktu pemijahan dari berbagai spesies, atau penutupan dalam waktu beberapa tahun untuk membuat pulih habitat yang rusak oleh manusia atau faktor alam lainnya. c. Pembatasan Hasil (Yield Constraints) Determinasi tingkat pemanfatan yang diperbolehkan untuk ikan produk laut lainnya. d. Pembatasan Peralatan Meliputi pelaranagan bahan peledak, racun dan teknik penangkapan dan panen lainnya yang dapat merusak fisik terumbu karang, penentuan ukuran mata jaring yang memungkinkan ikan-ikan kecil tumbuh sampai umur siap memijah, dan pelarangan penggunaan jangkar dengan desain tertentu yang sangat merusak. e. Pengurangan Dampak Meliputi penentuan batasan bahan pencemar yang diperbolehkan dan penentuan jumlah penyelam reef walkers, dan jumlah kapal ukuran kecil yang diperbolehkan. Pengelolaan SDP oleh masyarakat dijadikan alternatif karena terbukti mampu memberikan sejumlah manfaat karena adanya jaminan mata pencaharian, kesamaan akses terhadap SDP dan mekanisme resolusi konflik, serta berorientasi pada keberlanjutan (Berkes dalam Satria 2009). Hal ini didukung oleh pernyataan Pamarick et al. dalam Kordi et al. (2015) bahwa masyarakat tradisional pada umumnya sangat mengenal dengan baik lingkungan di sekitarnya. Mereka berasal dari berbagai ekosistem yang ada di Indonesia dan telah lama hidup berdampingan dengan alam secara harmonis, dan mengenal cara-cara menmanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. 60 Kearifan Lokal Kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia,yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama (Babcock 1999 dalam Arafah 2002). Sedangkan menurut Ridwan (2007) kearifan lokal dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak atau bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian tersebut disusun secara etimologi, dimana wisdom/kerifan dipahami seabgai kemampuan seseorang dengan menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap seabgai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi. Umumnya kearifan lokal diwujudkan dengan cara tersendiri yang unik dalam norma budaya dalam ritual dan tradisi masyarakat. Sartini (2004) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam ini mempengaruhi fungsi kearifan lokal menjadi beragam pula. Fungsi tersebut antara lain adalah: 1. 2. 3. 4. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam. Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia. Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Berfungsi sebgai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan Sementara itu dalam memelihara kearifan lokal agar tetap bertahan perlu diperhatikan tantangan-tantangan yang akan dihadapi di masa mendatang, menurut Suhartini (2009) tantangan-tantangan kearifan lokal adalah: 1. Jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk yang tinggi akan memengaruhi kebutuhan pangan dan berbagai produksi lainnya untuk mencukupi kebutuhan manusia; 2. Teknologi modern dan budaya, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang cepat menyebabkan kebudayaan berubah cepat pula, selain itu juga seperti yang telah dijelaskan di atas, perkembangan teknologi modern menghilangkan sakralitas alam yang dipercayai masyarakat adat secara turun-temurun; 3. Modal besar, kedatangan modal besar yang telah mengeksploitasi sumber daya alam, dapat menghilangkan akses masyarakat setempat pada sumber daya yang sudah turun-temurun ditinggalinya, seperti yang telah disebutkan di atas, hilangnya alam berarti hilang pula kearifan lokal tersebut; 61 4. Kemiskinan dan kesenjangan, kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok seringkali menimbulkan masalah-masalah sosial dalam pemanfaatam sumber daya alam. Karakteristik Sosial Ekonomi Nelayan Secara sosiologis, karakteristik masyarakat nelayan berbeda dengan krakteristik masyarakat petani seiring dengan perbedaan karakteristik sumber daya yang dihadapi. Masyarakat petani menghadapi sumber daya terkontrol, yakni pengelolaan lahan untuk produksi suatu komoditas dengan output yang relatif bisa diprediksi. Dengan sifat produksi yang demikian memungkinkan tetapnya lokasi produksi sehingga menyebabkan mobilitas usaha yang relative rendah dan elemen risiko pun tidak besar. Dalam hal ini, petani ikan tergolong masyarakat petani karena relatif miripnya sifat sumber daya yang dihadapi, yaitu petani ikan (budidaya) mengetahui berapa, di mana, dan kapan ikan ditangkap sehingga pola pemanenan lebih terkontrol. Pola pemanenan yang terkontrol tersebut tentu disebabkan karena adanya input yang terkontrol pula. Petani ikan tahu berapa input produksi (benih, makanan, teknik, dsb.) yang mesti tersedia untuk mencapai output yang akan dihasilkan (Satria 2009). Karakteristik tersebut berbeda sama sekali dengan nelayan. Nelayan menghadapi akses sumber daya yang hingga saat ini masih bersifat open access. Karakteristik sumber daya seperti ini menyebabkan nelayan mesti berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal, yang dengan demikian elemen risiko menjadi sangat tinggi. Kondisi sumber daya yang berisiko tersebut menyebabkan nelayan memiliki karakter keras, tegas, dan terbuka (Satria 2009). SIMPULAN Berdasarkan pemaparan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal merupakan pengetahuan masyarakat tentang suatu teknik atau pandangan masyarakat terhadap lingkugannya dan cara bersikap terhadap lingkungan yang ada. Kearifan lokal ini bersifat lokalitas, yang hanya dapat dijumpai pada lokasi tertentu saja. Keunikan karakter dari setiap wilayah menyebabkan kearifan lokal juga berbedabeda. Meskipun secara umum dapat disebutkan bahwa kearifan lokal umumnya memiliki bentuk berupa nilai-nilai, norma, kepercayaan, sanksi, dan aturan khusus. Sifat kearifan lokal adalah tidak tertulis karena diturunkan melalui generasi ke generasi. Meskipun demikian, sifat ini tidak mengurangi kekuatan kearifan lokal pada masyarakat yang memegang suatu kearifan tertentu karena umumnya sudah terinternalisasi dalam masyarakat. Ada beberapa fungsi yang umumnya dapat dijumpai dalam kearifan lokal, di antaranya adalah untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam dan pengembangan sumber daya manusia. Pengelolaan sumber daya alam, khususnya sumber daya pesisir dan laut sempat mengalami rezim dimana pemerintah pusat memegang kendali dalam pengelolaannya (government based development). Rezim ini menempatkan setiap masalah yang ada di daerah diatasi dengan kebijakan yang sama, tanpa mempertimbangkan karakteristik dan ciri yang unik yang dimiliki tiap daerah. Pemerintah pusat sebagai pemegang kebijakan untuk sumber daya yang ada di daerah bisa kapan saja memberikan hak pengelolaan kepada pihak luar. Hal ini menyebabkan terabaikannya nilai-nilai lokal dan seperangkat kelembagaan yang ada di daerah, sehingga turut mempengaruhi kearifan lokal yang sudah lama terbentuk. Pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang melibatkan partisipasi masyarakat lokal menjadi kajian penting mengingat sifat sumber daya pesisir dan laut yang masih common property. Sifat yang melekat pada sumber daya ini menyebabkan sesiapa saja berhak mengambil manfaat dari sumber daya yang ada. Pemeritah sebagai pemegang regulasi kemudian menetapkan aturan terhadap ekstraksi sumber daya pesisir dan laut. Hal ini juga dituangkan dalam berbagai peraturan yang dibuat, bahwa pengelolaan sumber daya pesisir dan laut dilimpahkan kekuasaannya ke pemerintah daerah agar efektivitas pengelolaannya lebih tinggi, menyediakan resolusi konflik, dan pengawasan yang kuat. Keberadaan masyarakat lokal juga tidak luput dari perhatian pemerintah, seperti dituangkan dalam peraturan yang menetapkan kemitraan dengan masyarakat lokal sebagai salah satu prinsip pengelolaan. Keterlibatan masyarakat lokal ditunjukkan dengan berbagai bentuk. Misalnya kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut berupa; Panglima Laot di Aceh, awig-awig di Lombok, Sasi di Maluku, dan banyak lagi. 64 Usulan Kerangka Analisis untuk Penelitian Pengelolaan Sentralistis a. Masuknya pihak luar b. Marjinalisasi kelembagaan lokal Nilai Karakteristik Masyarakat: - Sosial - Ekonomi Kearifan Lokal Norma Kepercayaan Sanksi Aturan Khusus Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Keterangan: : Hubungan mempengaruhi : Terdiri dari : Hubungan saling mempengaruhi Pertanyaan penelitian: a. Bagaimana pengelolaan sentralistis mempengaruhi kearifan lokal masyarakat? b. Bagaimana bentuk pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang berbasis kearifan lokal? c. Bagaimana karakteristik sosial-ekonomi masyarakat mempengaruhi kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut? DAFTAR PUSTAKA Adrianto L, Amin MAA, Solihin A, Hartoto DI. 2011. Konstruksi Lokal Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Indonesia. Bogor (ID): IPB Press. Arafah, N. 2002. Pengetahuan Lokal Suku Moronene dalam Sistem Pertanian di Sulawesi Tenggara. Program Pascarasarjana Institut Pertanian Bogor. Aulia TOS, Dharmawan AH. 2010. Kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya air di Kampung Kuta. Sodality. 4(2010):335-346. Elfindri, Rumengan J, Bachrum S. 2009. Manajemen Pembangunan Kepulauan dan Pesisir. Jakarta (ID): Baduose Media. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta (ID): Pustaka Utama. [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan dalam Angka. Indonesia: Pusat data, Statistik dan Informasi. Kordi K, Ghufran MH. 2015. Pengelolaan Perikanan Indonesia: Catatan Mengenai Potensi, Permasalahan, dan Prospeknya. Yogyakarta (ID): Pustaka Baru Press. Mallawa A. 2006. Disajikan pada Lokakarya Agenda Penelitian Program Coremap II Kabupaten Selayar, 9-10 September 2006. Staf Pengajar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas Makassar. Ridwan NA. 2007. Landasan keilmuan kearifan lokal. Jurnal Studi Islam dan Budaya. [internet]. [diunduh pada 20 Juni 2015]. Dapat diunduh dari: https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2& cad=rja&uact=8&ved=0CCUQFjAB&url=http%3A%2F%2Fdownload.porta lgaruda.org%2Farticle.php%3Farticle%3D49104%26val%3D3909&ei=ieuK VYaqKMeMuAT25aIBw&usg=AFQjCNHkR6bSU2LjCU7tAsT20BAG58hW5g&sig2=WcWvB 5Nxt2tuBXX4c9hu9g&bvm=bv.96339352,d.c2E Saharuddin. 2009. Pemberdayaan masyarakat miskin berbasis kearifan lokal. Sodality. 1(April). Sartini. 2004. Menggali kearifan lokal nusantara sebuah kajian filsafat. Jurnal Filsafat., jilid 37 Nomor 2(2004). Diunduh pada 20 Juni 2015 pukul 13.49. Dapat diunduh di https://www.google.co.id/?gws_rd=cr&ei=lwyFVe2IYbguQSry4CYCQ#q=Menggali+Kearifan+Lokal+Nusantara+Sebuah+Kajian+Filsafa t. 66 Satria A. 2009. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta (ID): LKiS. Satria A. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor (ID): IPB Press. Satria et al. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. Jakarta (ID): Cidesindo. Solikhin, Satria A. 2007. Hak ulayat laut di era otonomi daerah sebagai solusi pengelolaan perikanan berkelanjutan: Kasus awig-awig di Lombok Barat. Sodality. 1(April). Saharuddin. 2009. Pemberdayaan masyarakat miskin berbasis kearifan lokal. Sodality. 1(April). Suhartini. 2009. Kajian kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. [internet]. [diunduh 20 Juni 2015]. Hal 206-218. Dapat diunduh dari: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Ir.%20Suhartini,%20MS./S htn%20Semnas%20MIPA%2009%20Kearifan%20Lokal.pdf Susilo E. 2010. Dinamika, Struktur Sosial dalam Ekosistem Pesisir. Malang (ID): UB Press. [UU] Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. [UU] Perubahan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 (2013) Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. [UU] Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. [UU] Undang-Undang No. 22/1999 tentang Perspektif Hak Kepemilikan. Yuliaty C, Priyatna FN. 2014. Lubuk larangan: Dinamika pengetahuan lokal masyarakat dalam pengelolaan sumber daya perikanan perairan sungai di Kabupaten Lima Puluh Kota. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Volume 9 (2014). [internet] dapat diunduh di http://bbpse.litbang.kkp.go.id/index.php/download-new/download/14-vol-9-no1-tahun-2014/33-lubuk-larangan-dinamika-pengetahuan-lokal-masyarakat-dalampengelolaan-sumber-daya-perikanan-perairan-sungai-di-kabupaten-lima-puluhkota. Yulisti M, Kurniasari N, Yuliaty C. 2009. Analisis keberlanjutan lilifuk: Tinjauan perepsi masyarakat lokal. Jurnal Sosial Ekonomi dan Perikanan. Volume 9(2014). [internet] dapat diunduh di bbpse.litbang.kkp.go.id/index.php/component/jdownloads/summary/14-vol9-no-1-tahun-2014/31-analisis-keberlanjutan-lilifuk-tinjauan-persepsimasyarakat-lokal. 67 68 RIWAYAT HIDUP Muh Dhiaurrahman dilahirkan di Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 27 Mei 1993. Penulis merupakan anak ke empat dari enam bersaudara pasangan Ashri H. Rahim dan Nur Khaeraty. Penulis memulai pendidikan formalnya pada tahun 1998 di TK Darul Istiqamah, dilanjutkan dengan menempuh Madrasah Ibtidaiyah Swasta Darul Istiqamah pada tahun 1999. Pada tahun 2005, penulis menyelesaikan pendidikan dasar dan lanjut ke pendidikan menengah pertama pada tahun yang sama di Madrasah Tsanawiyah Darul Istiqamah. Setelah kurang lebih sembilan tahun mendapat bimbingan dari Darul Istiqamah, penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Maros pada tahun 2008. Selanjutnya pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Tulis. Selain aktif di kegiatan akademik, penulis juga aktif di kegiatan organisasi kemahsiswaaan dan kepanitiaan. Penulis banyak belajar di Forum Silaturrahmi Dewan Mushalla Asrama dan UKM Koran Kampus IPB pada tahun pertama. Pada tahun kedua, penulis menjadi wakil ketua di Forum Syiar Islam FEMA. Selain itu, penulis juga aktif di Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa/Pelajar Indonesia Sulawesi Selatan (IKAMI Sulsel) Cabang Bogor pada tahun 2011-2014. Menjadi asisten untuk Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam juga sempat dirasakan penulis pada tahun 2013. Selain aktif dalam organisasi, penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan seperti Kepanitiaan Olimpiade Asrama pada tahun 2012, Panitia Gebyar Nusantara 2012 untuk Omda IKAMI Sulsel. Pada tahun yang sama penulis juga menjadi panitia untuk kegiatan IKAMI Goes to Orphanage. Selanjutnya penulis dipercayakan menjadi Ketua Panitia Masa Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2013.