Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di

advertisement
i
Laporan Studi Pustaka (KPM 403)
KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA
PESISIR DAN LAUT
MUH DHIAURRAHMAN
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
ii
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Kearifan Lokal
dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut” benar hasil karya saya sendiri
yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga
manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan
oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah.
Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia
mempertanggungjawabkan pernyataan ini.
Bogor, Juni 2015
Muh Dhiaurrahman
NIM. I34110100
iii
ABSTRAK
MUH DHIAURRAHMAN. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir
dan Laut. Mendapatkan bimbingan dari Dr. Satyawan Sunito
Wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki sumber daya yang sangat besar. Potensi
perikanan dan lingkungan yang ada diharapkan bisa memberikan dampak terhadap
pengambil manfaat. Akan tetapi kekayaan demografi yang dimiliki Indonesia tersebut
belum diikuti dengan model pengelolaan yang menjamin keberlanjutan sumber daya.
Model yang ada masih diwarisi dari model pengelolaan yang menempatkan
pemerintah pusat sebagai pemegang kontrol tertinggi. Padahal masyarakat di setiap
daerah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Penerapan model pengelolaan
berbasis masyarakat terbukti dapat memberikan hasil yang lebih baik daripada model
terpusat. Efisiensi pengelolaan, mereduksi konflik nelayan, dan keberlanjutan sumber
daya adalah hal yang didapatkan dari model pengelolaan berbasis kearifan lokal, yang
menempatkan partisipasi masyarakat sebagai kuncinya.
Kata kunci: model pengelolaan, berkelanjutan, keberlanjutan
ABSTRACT
MUH DHIAURRAHMAN. Local Knowledge in Marine and Coastal Management.
Supervised by Dr. Satyawan Sunito
Indonesia’s coastal and marine has a very large resource. Fishery potential and
existing environtment is expected to have an impact on the beneficiaries. But whealth
which is owned by Indonesia demographic is not followed by a management model
that ensures the sustainability of the resource. There is still inherited models of
management model that puts the central government as the holder of highest control.
Whereas people in every region has different characteristics. The implementation of
community-based management model is proven to provide better results than a
centralized model. Management efficiency, fisherman conflict reduce and the
sustainability of the resource is obtained from the management model based on local
wisdom, which puts the participation of society as the key.
Keyword: local knowledge, management model, sustainability,
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa : Muh Dhiaurrahman
Nomor Pokok
: I34110100
Judul
: Keraifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan
Laut
dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembagan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Satyawan Sunito
NIP. 19520326 199103 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengambangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc
NIP. 19670903 199212 2 001
Tanggal Pengesahan
v
PRAKATA
Segala puji dan syukur hanya kepada Allah SWT, atas rezeki yang tak henti-henti
diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi
Pustaka ini yang berjudul “Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir
dan Laut”. Laporan Studi Pustaka ini disusun untuk memenuhi syarat kelulusan MK
Studi Psutaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Satyawan
Sunito selaku dosen pembimbing. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada
ayahanda Ashri Rahim yang selalu menghidupkan semangat penulis lewat
perhatiannya juga kepada ibunda Nur Khaeraty yang selalu menyebutkan nama
penulis dalam setiap doa-doanya meski tanpa diminta. Ucapan terima kasih juga
dialamatkan kepada Dr. Satyawan Sunito selaku dosen pembimbing yang senantiasa
memberikan saran, kritik dan motivasi selama proses penulisan Studi Pustaka ini.
Sahabat rekan-rekan sebimbingan, keluarga IKAMI Sulsel, dan teman-teman
keluarga besar Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 48 atas
kebersamaannya selama ini serta pelajaran yang didapat bersama. Ucapan terakhir
penulis alamatkan kepada semua sahabat, teman dan rekan yang selalu mendukung
dan memberikan semangat kepada penulis dalam penyelesaian laporan Studi Pustaka
ini. Penulis juga meminta maaf jika dalam proses dan hasil laporan ini terdapat
kesalahan.
Penulis berharap agar laporan studi pustaka ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis maupun kepada pembaca dalam memahami Kearifan Lokal dalam
Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut.
Bogor, Juni 2015
Muh Dhiaurrahman
NIM. I34110100
vi
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN..................................................................................................................... 1
Latar Belakang................................................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ............................................................................................................... 2
Metode Penulisan .............................................................................................................. 2
Ringkasan dan Analisis Pustaka ................................................................................................ 3
Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di Kampung Kuta ......................... 3
Menuju Desentralisasi Kelautan ........................................................................................ 6
Pesisir dan Laut untuk Rakyat ......................................................................................... 11
Hak Ulayat Laut di Era Otonomi Daerah sebagai Solusi Pengelolaan Perikanan
Berkelanjutan: Kasus awig-awig di Lombok Barat ......................................................... 19
Pemberdayaan Masyarakat Miskin Berbasis Kearifan Lokal .......................................... 23
Dinamika, Struktur Sosial dalam Ekosistem Pesisir ....................................................... 28
Manajemen Pembangunan Kepulauan dan Pesisir .......................................................... 33
Analisis Keberlanjutan Lilifuk : Tinjauan Persepsi Masyarakat Lokal ...............36
Lubuk Larangan : Dinamika Pengetahuan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan Perairan Sungai di Kabupaten Lima Puluh Kota ...........40
Konstruksi Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Indonesia ........ 44
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN ................................................................................ 57
Pengelolaan Sumber Daya Pesisir ................................................................................... 57
Kearifan Lokal ................................................................................................................. 60
Karakteristik Sosial Ekonomi Nelayan............................................................................ 61
SIMPULAN ............................................................................................................................ 63
Usulan Kerangka Analisis untuk Penelitian .................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 65
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................................. 68
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki luas perairan laut sebesar 5,8 juta km² (75% dari total wilayah
Indonesia) yang terdiri dari 0,3 juta km² perairan laut territorial; 2,8 juta km² perairan
laut nusantara; 2,7 juta km² laut ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia). Dalam
wilayah laut seluas itu terdapat sekitar 17,504 pulau dan dirangkai oleh garis pantai
sepanjang 95.181 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah
yang dimiliki Kanada. Kondisi tersebut membuat Indonesia menjadi negara dengan
potensi produksi lestari perikanan terbesar di dunia, sekitar 65 juta ton/tahun
(Kealutan dan Perikanan dalam Angka, 2011).
Potensi laut yang dimiliki oleh Indonesia ini membutuhkan model pengelolaan yang
tepat agar kelestarian sumber daya yang ada tetap terjaga. Model pengelolaan yang
ada saat ini masih cenderung bersifat government based management dimana
pemerintah pusat sangat memegang kontrol dari sumber daya yang ada. Model ini
menempatkan pemerintah pusat sebagai pengambil keputusan tertinggi dan
cenderung bersifat sentralistik, khususnya pada era 1966-1998. Padahal setiap
wilayah memiliki karakteristik yang berbeda-beda, termasuk dalam model
pengelolaan sumber daya. Akibatnya, peran komunitas lokal mulai tereduksi yang
berujung pada model pengelolaan yang tidak efisien, konflik antarnelayan, dan
degradasi sumber daya perikanan.
UU No 31/2004 Pasal 6 tentang Perikanan, menyebutkan bahwa pengelolaan
perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus
mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran
serta masyarakat didukung menjadi dasar konstitusi bagi pengelolaan berbasis
kearifan lokal. Hal ini membuat pengelolaan sumber daya alam akan dilaksanakan
mulai dari tingkat daerah sampai ke pusat dan akan mereduksi peran negara yang
selama ini terlalu dominan.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kearifan lokal dalam mengelola sumber
daya alam yang dimiliki secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Kearifan lokal
tersebut merupakan hak-hak kepemilikan (property rights) yang tidak hanya diartikan
sebagai penguasaan terhadap suatu kawasan, akan tetapi juga sebagai salah satu
bentuk strategi dalam melindungi sumber daya dari kegiatan perikanan yang merusak
(destructive fishing) dan berlebihan (over exploited) (Solichin 2010). Praktek
pengelolaan perikanan berbasis kearifan lokal tersebut terbukti mampu menciptakan
perikanan berkelanjutan, baik dari aspek sosial ekonomi, ekologi, komunitas maupun
kelembagaan.. Oleh karena itu, penting untuk melihat dampak pengelolaan berbasis
kearifan lokal terhadap keberlanjutan sumber daya alam.
2
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Menganalisis model pengelolaan sumber daya berbasis kearifan lokal,
2. Mengidentifikasi karakteristik sosial-ekonomi masyarakat dalam pengelolaan
sumber daya pesisir dan laut berbasis kearifan lokal
Metode Penulisan
Metode penulisan studi pustaka ini menggunakan data sekunder yang berasal dari
kajian n literature mengenai topic yang dibahas. Literatur yang digunakan antara lain
buku teks, bab dalam buku kompilasi, artikel dalam jurnal imliah, disertasi, serta
peraturan perundang-udangan. Kajian pustaka selanjutnya diringkas, dianalisis dan
disintesis untuk memperoleh kajian yang lebih mendalam sebagai bahan penelitian.
3
Ringkasan dan Analisis Pustaka
Judul
Tahun
: Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Air
di Kampung Kuta
: 2010
Jenis Pustaka
: Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Tia Oktaviani Sumarna Aulia dan Arya Hadi
Dharmawan
Nama Jurnal
: Sodality
Volume(Edisi):hal
: 88(2014): 53-63
Alamat URL/doi
: 4(2010):335-346
Tanggal diunduh
: 4 Maret 2015
Pengelolaan sumber daya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan
umat manusia, dan sebaliknya pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan
berdampak buruk bagi umat manusia (Fauzi, 2004). Oleh karena itu, diperlukan
pengelolaan sumber daya alam yang baik agar menghasilkan manfaat yang sebesarbesarnya bagi manusia dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu
sendiri. Salah satu sumberdaya yang penting untuk keberlanjutan kehidupan makhluk
hidup terutama manusia adalah air. Pengelolaan sumberdaya air harus disesuaikan
dengan kondisi lokal pada setiap daerah karena setiap daerah memiliki karakterisitik
yang berbeda-beda pula. Saleh dan Rasul (2008) menjelaskan bahwa pengelolaan
sumber daya air merupakan upaya pendayagunaan sumber-sumber air secara terpadu
dengan upaya pengendalian dan pelestariannya. Pada komunitas tertentu dapat
ditemukan kearifan lokal yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam sebagai
tata pengaturan lokal yang telah ada sejak masa lalu dengan sejarah adaptasi yang
lama. Salah satu kampung yang menarik untuk dikaji lebih dalam adalah Kampung
Kuta yang terletak di Desa Karangpaningan, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten
Ciamis, Jawa Barat. Kampung ini dikategorikan sebagai kampung adat karena
mempunyai kesamaan dalam bentuk dan bahan fisik rumah, adanya ketua adat, dan
adat istiadat yang mengikat masyarakatnya (Mustafid, 2009).
Perumusan masalah dari penelitian ini adalah 1) bagaimana bentuk kearifan
lokal sebagai upaya menyelamatkan sumber daya air yang terdapat di Kampung
4
Kuta? 2) bagaimana implementasi kearifan lokal dalam menjaga kelestarian sumber
daya air? Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk kearifan
lokal sebagai upaya meneyelamatkan sumber daya air yang terdapat di Kampung
Kuta dan menganalisa implementasi kearifan lokal dalam menjaga kelestarian sumber
daya air.
Kearifan lokal di Kampung Kuta dalam pengelolaan sumberdaya air melalui
hutan keramat bermanfaat dalalam menjaga keseimbangan alam, keberlanjutan
sumber daya air dan terpeliharanya tatanan hidup bermasyarakat. Mengacu pada
Sirtha (2003) sebagaimana dikutip oleh Sartini (2004), kearifan lokal mencakup
bentuk-bentuk tentang suumber daya air tersebut. Bentuk kearifan lokal yang ada
dalam masyarakat dapat berupa; nilai, norma, kepercayaan, sanksi dan aturan-aturan
khusus. Bentuk kearifan lokal akan menghasilkan suatu bentuk implementasi dalam
menjaga keberlanjutan sumber daya air. Kearifan lokal ini akan dipengaruhi oleh
faktor internal dan faktor eksternal dalam proses pelaksanaannya. Kedua faktor ini
sangat memungkinakan akan menyebabkan terjadinya perubahan karifan lokal.
Berikut kerangka pemikiran dari penelitian ini.
Kearifan Lokal
dalam Pengelolaan
Sumberdaya Air
 Bentuk Kearifan
Lokal:
Faktor Eksternal
 Nilai
 Norma
 Kepercayaan
 Sanksi
 Aturan-aturan
khusus
Implementasi
Kearifan Lokal
Faktor Internal
5
Keterangan:
: meliputi
: menghasilkan
Sumberdaya yair yang dimanfaatkan untuk kebutuhan ritual nyipuh adalah
sumber daya air yang berada di dalam Hutan Keramat. Seseorang yang melakukan
nyipuh akan membasuh diri (berwudhu) di kawah/telaga dan Ciasihan yang terdapat
dalam hutan keramat. Selain untuk membasuh diri, air dari kawah dan Ciasihan boleh
dibawa pulang dengan dimasukkan ke dalam botol. Botol yang dibawa diisi air
setengah dari kawah dan setengah lagi untuk dipenuhi dengan Air Ciasihan yang
terlewati ketika pulang. Apabila ada air yang tertelan, tidak boleh diludahkan harus
terus diminum. Sumber daya air yag terdapat di dalam Hutan Keramat hanya
digunakan untuk keperluan ritual nyipuh yang ditemani kuncen. Pengelolaan Hutan
Keramat merupakan bagian dari budaya pamali yang memiliki norma-norma dan
merupakan suatu bentuk konservasi hutan yang dilakukan hingga saat ini oleh
masyarakat Kampung Kuta. Pengelolaan hutan erat kaitannya dengan pengelolaan
sumber daya air yang ada di dalamnya. Sumber daya air yang ada di dalam Hutan
Keramat tidak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari. Hal
ini disebabkan adanya pelarangan dalam memanfaatkan sumber daya yang ada dalam
hutan keramat demi kelestarian Hutan Keramat. Adanya budaya pamali dalam
pengelolaan Hutan Keramat yang terbukti menjaga kelestarian ekosistem di dalamnya
maka sumber daya air yang ada di dalamnya pun terjaga dengan baik.
Budaya pamali di Kampung Kuta tidak mengalami perubahan dan peluruhan
kearifan lokal. Hal ini karena masyarakat masih memegang teguh amanah yang
disampaikan oleh leluhur mereka dan budaya pamali sudah menjadi landasan bagi
kehidupan masyarakat Kampung Kuta. Terdapat pergeseran budaya dalam bentuk
rumah yang berbeda dari yang lainnya. Namun hal ini tidak menjadi alasan
dikatakannya perubahan kearifan lokal. Adanya pergeseran pembuatan rumah muncul
akibat faktor perpindahan atau masuknya penduduk lain ke Kampung Kuta dan
kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Adanya
pergeseran atauran pembuatan rumah merupakan salah satu ancaman terhadap
kelestrian kearifan lokal budaya pamali. Selain itu, penggunanaan Sanyo juga dapat
mengancam kelestarian kearifan lokal yang akan berdampak pada hancurnya
keselestarian lingkungan. Kearifan lokal budaya pamali diturunkan dari generasi ke
generasi, yaitu dari generasi tua ke generasi muda sejak mereka kecil. Moda transfer
of knowledge dilakukan dengan lisan/oral melalui cerita-cerita yang disampaikan
melalui dongeng. Pendekatan melalui keluarga menjadi bentuk sosialisasi yang
efektif untuk kelanggengan kearifan lokal pamali
6
.
Kearifan lokal yang berupa budaya pamali berhasil menaga kelestarian hutan
dan sumberdaya air di Kampung Kuta. Kearifan lokal ini merupakan bentuk aplikasi
konservasi hutan dan air dengan berlandaskan budaya pamali yang telah dilakukan
secaa turun temurun. Keberhasilan Kampung Kuta dalam melestarikan budaya
pamali, yaitu:
1. Melestarikan rumah adat dusun kuta,
2. Melestarikan hutan lindung (Hutan Keramat) dan satwa yang ada di
dalamnya,
3. Melestarikan sumber-sumber mata air melalui penanaman/pemeliharaan
tanaman tahuanan sekitar mata air,
4. Melestarikan kesenaian setempat seperti ronggeng tayub, terbang, dan
gondang buhun,
5. Melestarikan upacara adat setempat, yaitu Nyuguh, Hajat Bumi, dan Babarit.
Judul
Tahun
: Menuju Desentralisasi Kelautan
: 2002
Jenis Pustaka
: Buku
Bentuk Pustaka
: Cetak
Nama Penulis
: Arif Satria dkk
Sejak diberlakukannya UU No. 22/1999, otonomi daerah telah menjadi
lingkungan strategis baru yang mesti dijadikan variabel dalam formulasi berbagai
kebijakan, termasuk di dalamnya kebijakan dari sektor perikanan dan kelautan.
Sentralisme yang diterapkan di masa lalu telah menyebabkan banyak permasalahan,
termasuk kerusakan sumberdaya pesisir dan lautan. Sistem sentralisme ini terbukti
belum mampu mengakomodasi kepentigan berbagai kelompok masyarakat yang
berasal dari latar belakang yang berbeda. Penerapan undang-undang tersebut akan
membuat sumberdaya pesisir tidak lagi bersifat terbuka (open access) melainkan
terkontrol (controlled access), dan pemerintahan daerah beserta masyarakat lokal
(termasuk nelayan) diharapkan mampu bertanggung jawab mengendalikan
pengelolaan sumberdaya kelautan agar tetap terjaga.
Buku ini merupakan kumpulan dari berbagai penelitian yang dilakukan di
sejumlah daerah, baik secara desk study maupun studi lapang. Ini dilakukan untuk
7
mengeksplorasi persoalan desentralisasi baik secara teoritis maupun empiris.
Penelitian dilakukan di berbagai daerah, di antaranya adalah Kabupaten Trenggalek,
Kota Batam dan Kabupaten Karimun, Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Kabupaten
Maros, dan Kabupaten Pangkajene Kepulauan, dan beberapa kota lainnya.
Schlager dan Ostrom (1992) dalam Ostrom (1997) mengenalkan konsep
bundles of right yang mencoba menengahi kebingungan tentang perdebatan masalah
common property dan open access regimes, antara common pool resources dan
common property regimes, dan antara resource system dan the law of resources units
yang menyangkut hak milik sumberdaya, termasuk sumberdaya kelautan.
Berdasarkan pengelolaan dan pemanfaatan atas wilayah laut sebagaimana diatur
dalam UU No. 22/1999, tentang Perspektif “hak kepemilikan” dalam bundles of
rights adalah: (i) access, yaitu hak untuk memasuki wilayah fisik laut dalam batasan
12 mil maupun 4 mil dalam menikmati keuntungan yang tidak dikurangi, (ii)
withdrawl, yaitu hak untuk memperoleh unit sumberdaya kelautan atau produk
system sumberdaya kelautan, (iii) management, yaitu hak untuk mengatur pola
penggunaan secara internal dan mengubah sumberdaya kelautan dengan membuat
perbaikan, misalnya rehabilitasi terumbu karang dan mangrove, (iv) exclution, yaitu
hak untuk menentukan siapa yang akan memiliki access dan withdrawl rights, dan
bagaimana hak-hak itu dipindahkan, (v) alienation, yaitu hak untuk menjual atau
menyewakan management dan excultion rights. Konsep ini dapat dipegang oleh
individu maupun kolektif secara keseluruhan maupun sebagian saja.
Desentralisasi sendiri menurut World Resource Institute mengandung
pengertian seperangkat program dan kebijakan yang dirancang untuk mewujudkan
keseimbangan atas kewenangan (otoritas) dan tanggung jawab terhadap pengelolaan
sumberdaya alam (Khan dan Fauzi, 2001). Beberapa aspek positif yang menyangkut
pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan antara lain menyangkut pengelolaan
sumberdaya perikanan dan kelautan antara lain menyangkut efektivitas pengaturan,
efisiensi ekonomi, dan pemerataan distribusi.
Efektivitas pengaturan akan membuat masalah-masalah yang ditimbulkan
akan jauh lebih mudah untuk dikendalikan karena aturan main yang menyangkut hak
kepemilikan sumberdaya pada tingkat lokal secara tidak langsung akan memberikan
hak kepemilikan (property rights) kepada pemerintah daerah. Pemeritah daerah
kemudian akan dapat mengelola sumber daya secara lebih rasional mengingat
ketersediaan sumber daya serta terdegradasinya sumber daya akan menentukan
tingkat kemakmuran pada daerah yang bersangkutan. Pada tingkat lokal,
desentralisasi diharapkan akan membawa dampak positif pada terkukuhkannya
8
kembali (restore) hak-hak kepemilikan tradisional yang dalam sistem sentralistik
kurang berkembang dengan baik.
Masalah kepemilikan laut memang menjadi bahan perdebatan yang cukup
kompleks, sebelum akhirnya Konvensi PBB pada tahun 1982 menyepakati bahwa
laut merupakan pusaka bersama umat manusia. Pada lingkup nasional, ternyata
kepemilikan laut dianut oleh beberapa bagian kawasan timur Indonesia (KTI). Hal ini
disebabkan karena nelayan setempat masuk pada taraf hidup yang subsitensi. Untuk
kelompok komunitas yang mengenal tradisi kepemilikan laut disebut sebagai hak
ulayat laut (HUL) yang memiliki variable pokok menyangkut (i) wilayah; (ii) unit
pemilik sosial; (iii) legalitas (legality) beserta pelaksanaannya. Wilayah dalam
konteks pengaturan HUL tidak hanya terbatas pada pembatasan luas wilayah, tetapi
juga pada eksklusivitas wilayah. Eksklusivitas wilayah ini dapat juga berlaku pada
sumberdaya kelautan, teknologi yang digunakan, tingkat eksploitasinya, dan batasbatas yang bersifat temporal. Unit pemilik sosial dari sumberdaya laut berdasarkan
HUL di berbagai daerah memiliki keanekaragaman secara individu, kelompok
kekerabatan, komunitas desa, sampai negara (Wahyono et al 2000).
Perspektif Sosial-Ekonomi: Karakteristik Masyarakat Pesisir dan Konflik
Nelayan
Masyarakat pesisir erat kaitannya dengan nelayan karena sebagian besar mata
pencaharian penduduk daerah pesisir adalah nelayan. Karaktersitik nelayan berbeda
dengan karakteristik masyarakat petani. Masyarakat petani menghadapi sumberdaya
yang terkontrol dan output yang relatif dapat diprediksi. Sifat produksi yang demikian
memungkinkan tetapnya lokasi produksi sehingga menyebabkan mobilitas usaha
yang lebih rendah dan elemen risiko pun tidak besar. Karakteristik tersebut sangat
berbeda dengan nelayan. Nelayan menghadapi sumber daya yang hingga saat ini
masih bersifat open access. Karakteristik sumberdaya ini menyebabkan nelayan mesti
berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal, sehingga elemen risiko menjadi
sangat tinggi. Karakteristik lain dari nelayan dapat dilihat dari sistem pengetahuan,
sistem kepercayaan, struktur sosial, dan posisi sosial nelayan. Sistem pengetahuan
tentang teknik penangkapan ikan umumnya didapatkan dari warisan orangtua atau
pendahulu mereka berdasarkan pengalaman empiris. Sementara itu, dari sistem
kepercayaan, nelayan masih percaya bahwa laut memiliki kekuatan magis sehingga
diperlakukan perlakuan-perlakuan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan
ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin. Dari aspek struktur
sosial, masyarakat nelayan umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien.
Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan
penangkapan ikan yang penuh dengan risiko dan ketidakpastian. Bagi nelayan,
9
menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah yang penting untuk menjaga
kelangsungan kegiatannya karena pada patron-klien merupakan institusi jaminan
sosial ekonomi. Sedangkan posisi sosial nelayan di kebanyakan masyarakat memiliki
status yang relatif rendah. Salah satu ciri nelayan kecil (small scale fisher) adalah
ketiadaan kemampuan untuk memberi pengaruh pada kebijakan publik karena
nelayan selalu dalam posisi dependen dan marjinal (Goodwin 1990 dalam Satria
2001). Semakin besar penguasaan kapital, semakin besar pula kesempatan untuk
memberi pengaruh pada proses politik.
Perspektif Pengelolaan Sumberdaya Laut: Pentingnya Posisi Masyarakat dalam
Pengelolaan Sumberdaya Laut
Secara umum, rezim pengelolaan sumberdaya laut yang diterapkan di
Indonesia masih berbasis pemerintah pusat (government based management). Pada
rezim ini pemerintah bertindak sebagai pelaksana mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, hingga pengawasan, sedangkan kelompok-kelompok masyarakat
pengguna (user group) hanya menerima informasi tentang produk-produk kebijakan
dari pemerintah.
Dalam pelaksanaannya, pengelolaan berbasis pemerintah pusat ini memiliki
beberapa kelemahan, antara lain: (1) aturan-aturan yang dibuat kurang terinternalisasi
dalam masyarakat sehingga sulit untuk ditegakkan; (2) biaya transaksi yang harus
dikeluarkan untuk pelaksanaan dan pengawasan sangat besar sehingga menyebabkan
lemahnya penegakan hukum.
Konsep yang kemudian dihasilkan untuk meng-counter rezim pengelolaan
berbasis pemerintah pusat adalah pengelolaan berbasis masyarakat (community based
management). Carter (1996) dalam Dirjen Bangda dan PKSPL (1998) mendefinisikan
pengelolaan berbasis masyarakat sebagai suatu strategi
untuk mencapai
pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pengambilan keputusan
pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah berada di tangan
organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut.
Berbeda dengan pengelolaan berbasis pemerintah pusat, biaya pelaksanaan
dan pengawasan dalam pengelolaan berbasis masyarakat jauh lebih rendah. Hal ini
dikarenakan pengambilan keputusan dan inisiatif dilakukan pada tingkat lokal
sehingga semakin menyentuh aspirasi masyarakat. Pengakuan masyarakat terhadap
aturan atau kebijakan yang dibuat semakin kuat sehingga hukum akan lebih mudah
ditegakkan. Model pengelolaan inipun akan memberikan inisiatif bagi masyarakat
untuk mandiri dalam wadah-wadah organisasi di tingkat lokal, dan pengawasan
10
terhadap pelaksanaan lokal pun semakin efektif dan lebih kuat karena dilakukan oleh
masyarakat secara lembaga, tidak individual.
Pengelolaan berbasis masyarakat yang sangat mengutamakan prakarsa
masyarakat menuntut antara lain kemampuan manajerial dan kedewasaan
bermasyarakat yang merata, karena proses pengelolaan sumberdaya laut diserahkan
pada organisasi-organisasi masyarakat. Untuk mengakomodasi permasalahanpermasalahan dalam pengelolaan sumberdaya laut yang berbasis pemerintah pusat,
maka disusunlah sebuah model kolaboratif yang memadukan unsur pemerintah dan
kelompok pengguna dalam pengelolaan yang dikenal dengan co-management. Sen
and Raakjaer Nielsen dan Nielsen & Thomas Vedsmand (1999) mendefinisikan comanagement sebagai sebuah susunan dimana tanggung jawab terhadap pengelolaan
sumberdaya dibagi antara pemerintah dan kelompok pengguna (user groups).
Pendekatan co-management bertujuan untuk melaksanakan pengelolaan sumberdaya
laut dengan menyatukan lembaga-lembaga terkait terutama masyarakat dan
pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya dalam setiap proses pengelolaan,
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengawasan.
Pomeroy & William (1994) dalam Basuki & Nikijuluw menyatakan bahwa
proses co-management dapat terjadi dalam bentuk: (1) lembaga pemerintah secara
formal mengakui aturan-aturan yang secara informal sudah diimplementasikan oleh
nelayan, (2) otoritas pelaksanaan suatu peraturan formal diserahkan dari pemerintah
kepada nelayan. Namun, akan lain kondisinya bagi daerah yang tidak memiliki
lembaga informal/lembaga tradisional yang mengatur tentang pengelolaan
sumberdaya alam. Itulah mengapa dikatakan bahwa susunan dalam co-management
bukanlah sebuah struktur yang statis terhadap hak dan aturan melainkan sebuah
proses dinamis dalam menciptakan sebuah struktur lembaga yang baru (Nielsen & T.
Vedsmand, 1999).
Pelaksanaan co-management dalam jangka panjang diyakini akan
memberikan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik, yaitu: (1) meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya SDA dalam menunjang kehidupan; (2)
meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga mampu berperan serta dalam setiap
tahapan-tahapan pengelolaan secara terpadu; (3) meningkatkan pendapatan (income)
masyarakat, dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan serta
berwawasan lingkungan (Dirjen Bangda & PKSPL, 1998).
Co-management merupakan alternatif pilihan yang mengkombinasikan antara
sistem manajemen yang top-down dan bottom-up, dengan kata lain co-management
menggabungkan antara pengelolaan sentralistis yang dilakukan oleh pemerintah
(government based management) dengan pengelolaan berbasis masyarakat
11
(community based management). Hirarki tertinggi dari tatanan kegiatannya pun
berada di antara kedua model utama ini yaitu pada tataran hubungan kerjasama
(cooperative), selanjutnya consultative dan advisory. PKSPL (2001) membagi comanagement berdasarkan hirarki tatanan kegiatannya menjadi beberapa tipe, yaitu
tipe instructive, consultative, cooperative, advisory, dan informative.
Judul
Tahun
: Pesisir dan Laut untuk Rakyat
: 2009
Jenis Pustaka
: Buku
Bentuk Pustaka
: Cetak
Nama Penulis
: Arif Satria
Tipe-tipe hak kepemilikan menurut Ostrom and Schlager (1990) adalah sebagai
berikut:
1. Hak Akses (access right): Hak untuk masuk ke wilayah sumberdaya yang
memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non-ekstraktif.
2. Hak Pemanfaatan (withdrawl rigts): Hak untuk memanfaatkan sumberdaya
atau hak untuk berproduksi.
3. Hak Pengelolaan (management rights): Hak untuk menentukan aturan
operasional pemanfaatan sumberdaya
4. Hak eksklusi (exculsion rights): Hak untuk menentukan siapa yang boleh
memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tesebut dialihkan ke pihak lain.
5. Hak Pengalihan (alienation rights): Hak untuk menjual atau menyewakan
sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut di atas.
Hak-hak tersebut di atas akan mementukan status kepemilikan SDP. Tabel 1
menunjukkan pihak yang hanya mendapat hak akses, maka statusnya hanyalah
sebagai authorized entrant. Sementara itu, pihak yang memiliki hak akses dan hak
pemanfaaran dikategorikan sebagai authorized user. Adapun pihak yang memiliki
akses, hak pemanfaatan, hingga hak pengelolaan, maka disebut claimant. Pihak yang
memiliki ketiga hal tersebut, termasuk hak eksklusi, statusnya disebut sebagai
proprietor, dan bila memiliki semua hak tersebut beserta hak pengalihan maka
disebut sebagai owner. Struktur tesebut bersifat dinamis dan dapat berubah sewaktuwaktu.
12
Tabel 1. Status Kepemilikan Sumberdaya Alam
Tipe Hak
Owner
Proprietor
Claimant
Authorized
User
Authorized
Entrant
Akses
x
x
x
X
x
Pemanfaatan
x
x
x
X
Pengelolaan
x
x
x
Eksklusi
X
x
Pengalihan
X
Sumber: Ostrom and Schlager (1996)
Pertanyaan selanjutnya adalah siapa saja yang berhak atas kepemilikan
sumberdaya alam tersebut? Untuk itulah Bromley menyebut paling tidak ada empat
rezim kepemilikan yaitu: akses terbuka (open access), negara (state property), swasta
(private property), dan masyarakat (communal property).
Pertama, di dalam akses terbuka, tidak ada pengaturan tentang apa, kapan,
dimana, siapa, dan bagaimana sumber daya alam dimanfaatkan, serta bagaimana
terjadinya persaingan bebas (free for all). Dalam pemanfaatan sumber daya alam,
dapat memicu terjadinya tragedy of the common, kerusakan sumberdaya, konflik
antarpelaku dan kesenjangan ekonomi.
Kedua, rezim negara berada di tingkat daerah hingga pusat. Hak kepemilikan
ini perlu berlaku pada sumberdaya yang menjadi hajat hidup orang banyak.
Pengelolaan sumberdaya milik negara membutuhkan biaya transaksi yang tinggi,
terutama pada tahap pelaksanaan, pemantauan, dan pengawasan karena sulitnya
melaksanakan aturan dan menegakkan hukum.
Ketiga, rezim swasta, baik individual maupun korporat. Rezim kepemilikan
ini biasanya merupakan hak kepemilikan yang bersifat temporal karena izin
pemanfaatan yang diberikan oleh pemerintah. Pemanfaatan sumber daya milik swasta
adalah tujuan komersil dengan penggunaan teknologi tinggi. Kendala yang dihadapi
adalah komitmen pihak swasta terhadap kelestarian sumberdaya alam yang relatif
rendah dan cenderung terabaikan.
Keempat, rezim komunal atau masyarakat bersifat turun temurun lokal dan
spesifik. Aturan-aturan pengelolaan dapat bersifat tertulis dan tidak tertulis. Peraturan
dibuat berdasarkan pengetahuan lokal dan pelaksanaannya lebih efektif. Ciri lainnya
13
adalah memiliki resolusi konflik melalui mekanisme kelembagaan dan memiliki
model produksi yang khas, serta memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya.
Pengelolaan SDP Oleh Masyarakat: Visi, Batasan, dan Ruang Lingkup
Pengelolaan SDP oleh masyarakat dijadikan alternatif solusi karena terbukti
memberikan sejumlah manfaat karena adanya jaminan mata pencaharian, kesamaan
akses terhadap SDP dan mekanisme resolusi konflik, serta berorientasi pada
keberlanjutan (Berkes,1989:11-13). Merujuk pada konsep Berkes dan Scott, Satria
(2006) mengidentifikasi tiga dimensi pengelolaan SDP oleh masyarakat. Pertama,
dimensi normatif. Dimensi ini berisi sistem nilai yang menjadi dasar bagi proses
pengelolaan SDP. Kedua, adalah dimensi regulatif, yang berisi tata pengelolaan dan
SDP. Untuk kasus perikanan, Ruddle (1999) mencoba mengidentifikasi unsur-unsur
tata pengelolaan sebagai berikut:
1. Batas Wilayah: Ada kejelasan batas wilayah yang kriterianya adalah
mengandung sumberdaya yang bernilai bagi masyarakat.
2. Aturan: Berisi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang. Dalam dunia
perikanan, aturan tersebut biasanya mencakup kapan, dimana, bagaimana,
dan siapa yang boleh menangkap.
3. Hak: Pengertian hak bisa mengacu kepada seperangkat hak kepemilikan
yang dirumuskan Ostrom and Schlager.
4. Pemegang otoritas: Merupakan organisasi atau lemabga yang dibentuk
masyarakat yang bersifat formal maupun informal untuk kepentingan
mekanisme pengambilan keputusan. Ada pengurus dan disesuaikan
dengan kondisi.
5. Sanksi: Untuk menegakkan aturan diperlukan sanksi sehingga berlakunya
sanksi merupakan indikator berjalan tidaknya suatu aturan. Ada beberapa
tipe sanksi: sanksi sosial (seperti dipermalukan atau dikucilkan
masyarakat), sanksi ekonomi (denda, penyitaan barang), sanksi formal
(memiliki mekanisme pengadilan formal), dan sanksi fisik (pemukulan).
Ostrom (1990) telah mencoba mengantarkan beberapa indikator kinerja
insitusi pengelolaan sumberdaya. Indikator tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Kejelasan batas wilayah: batas wilayah dirumuskan secara jelas sehingga
setiap orang mudah untuk mengidentifikasi dan mengenalnya.
14
b.
Kesesuaian aturan dengan kondisi lokal: memiliki aturan-aturan yang
tepat untuk kepentingan kelestarian sumberdaya, perlindungan ekonomi
lokal, serta penguatan sistem sosial dan aturan-aturan tersebut mudah
ditegakkan dan mudah diawasi.
c.
Aturan disusun dan dikelola oleh pengguna sumberdaya: masyarakat
mampu membuat aturan yang didasarkan atas pertimbangan saintifik,
pengetahuan lokal, maupun kearifan lokal melalu mekanisme lembaga
lokal.
d.
Adanya kelembagaan lokal yang berfungsi mengatur mekanisme
pengelolaan, membuat aturan, merevisi aturan, serta mekanisme
pengambilan keputusan.
e.
Pelaksana pengawasan yang dihormati masyarakat: masyarakat memiliki
instrument dan mekanisme pengawasan sendiri dengan para pelaku
pengawasan yang mendapat legitimasi masyarakat.
f.
Berlakunya sanksi: ukuran keberhasilan suatu aturan adalah tegaknya
sanksi bagi para pelanggarnya, baik sanksi sosial, sanksi administratif
maupun sanksi ekonomi.
g.
Mekanisme penyelesaian konflik: masyarakat memiliki mekanisme
alternatif dalam penyelesaian konflik di luar mekanisme formal.
h.
Kuatnya pengakuan dari pemerintah dan dapat berbentuk undang-udang,
peraturan pemerintah, atau peraturan daerah.
i.
Adanya ikatan atau jaringan dengan lembaga luar. Jaringan dengan dunia
luar yang dimaksud adalah baik jaringan antar komunitas (bridging social
capital) maupun dengan di luar komunitas seperti perguruan tinggi, LSM,
maupun swasta (linking social capital).
Ketiga, dimensi kognitif, yang berisi teknik pengelolaan dan pengetahuan
lokal (local knowledge).
Pengetahuan lokal seringkali bersanding dengan beberapa istilah seperti
pengetahuan ekologis tradisional atau pengetahuan asli. Tetapi Ruddle (2000) lebih
memilih menggunakan istilah pengetahuan lokal dan mengidentifikasi karakteristik
pengetahuan lokal sebagai berikut:
15
a. Bersifat jangka panjang, empiris, berbasis observasi lokal yang disesuaikan
dengan kondisi lokal dan mampu mencakup sejumlah variasi lokal, serta
bersifat rinci.
b. Berorientasi pada hal-hal praktis dan yang menyangkut perilaku, serta
fokus pada tipe-tipe sumberdaya dan spesies.
c. Terstruktur sehingga sebenarnya kompatibel dengan konsep biologi dan
ekologi barat, khususnya terkait dengan kesadaran akan keterkaitan
ekologis dan pentingnya konservasi SDP.
d. Bersifat dimanis
Ketiga dimensi tersebut terkait satu sama lain. Artinya, dimensi normatif akan
mempengaruhi dimensi regulatif yang berisi aturan dalam pengelolaan SDP. Tata
aturan tersebut dibuat berdasarkan sistem pengetahuan lokal yang dimiliki
masyarakat (dimensi kognitif). Dengan demikian, pengelolaan oleh masyarakat
merupakan sebuah sistem yang di dalamnya terdapat unsur-unsur yang saling terkait.
Langkah-langkah Peningkatan Kapasitas Masyarakat
Dengan visi pengelolaan SDP oleh masyarakat, maka ada beberapa langkah
yang perlu dilakukan (Satria 2007). Pertama, penentuan dan pengidentifikasian
mekanisme pengelolaan SDP berbasis masyarakat. Paling sedikit terdapat tiga
mekanisme yaitu:
a. Mekanisme aturan adat (Model 1). Mekanisme ini masih bertumpu pada
berlakunya aturan adat dalam pengelolaan SDP. Salah satu contoh yang
populer di bidang perikanan adalah masih berlakunya Sasi di Maluku dan
Panglima Laot di Aceh.
b. Mekanisme reaktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai lokal yang telah pudar
(Model 2). Mekanisme ini bertumpu pada sejarah yang membuktikan
bahwa di era sebelumnya telah berkembang aturan adat tentang
pengelolaan SDP, namun karena perkembangan jaman, institusi
pengelolaan tersebut pudar, baik disebabkan oleh factor politik, budaya,
maupun ekonomi. Salah satu contoh menarik dalam model ini adalah
berlakunya kembali awig-awig di Lombok Barat.
c. Mekanisme intervensi pihak luar untuk membuat model baru (Model 3).
Mekanisme ini sama sekali tidak bertumpu pada pengetahuan historis
maupun aturan lokal, melainkan sama sekali baru dan justru bertumpu dari
pengalaman komunitas lain. Pada umumnya, proses pembelajaran suatu
16
komunitas dengan komunitas lainnya difasilitasi LSM, pemerintah, atau
perguruan tinggi.
Kedua, adalah pengembangan kapasitas lokal dalam pengelolaan SDP, yang
mencakup dimensi normatif, dimensi regulatif, dan dimensi kognitif. Arah
pengembangan kapasitas lokal tersebut juga tergantung dari pilihan model yang akan
dikembangkan.
Tabel 2. Arah Pengembangan Kapasitas Masyarakat
Dimensi
Model 1
Model 2
Normatif
Peningkatan
resiliensi
budaya
Regulatif
Kognitif
 Kodifikasi aturan
nilai
Sosialisasi
dan
internalisasi nilainilai lama yang
positif
bagi
kelestarian
SDP,
ekonomi,
dan
sosial
 Penguatan jaringan
 Identifikasi,
inventarisasi, dan
formulasi secara
tertulis mengenai
pengetahuan
lokal yang ada
 Sarana
prasarana
 Kerjasama
dengan sains
 Pengembangan
kapasitas
dan
 Identifikasi,
inventarisasi, dan
revitalisasi aturan
lama yang telah
pudar
 Pengembangan
kapasitas organisasi
 Penguatan jaringan
 Sarana
prasarana
Model 3
Sosialisasi
dan
internalisasi nilainilai lokal dan nilai
agama
untuk
 Identifikasi,
inventarisasi, dan
formulasi secara
tertulis mengenai
pengetahuan
lokal
yang
dulunya pernah
ada
 Kerjasama
dengan sains
dan
 Pengembangan
kapasitas organisasi
 Pendidikan
pengelolaan SDP
 Penguatan jaringan
 Pembelajaran
dari kisah sukses
17
pengelolaan SDP,
 Pembelajaran dari
kisah
sukses
komunitas lain
dari
lain
komunitas
Ketiga, perbaikan sistem hukum yang terkait dengan pengelolaan SDP
sehingga bisa mengikuti eksistensi sistem pengelolaan SDP berbasis masyarakat.
Diharapkan pengakuan itu bisa juga muncul di aneka produk perundangan lain,
seperti kehutanan, pertanian, dan lain sebagainya.
Keempat, perguruan tinggi juga sudah saatnya mengembangkan pendekatan
transdisiplin. Pendekatan interdisiplin dan multidisiplin saat ini tidak cukup untuk
mengatasi problem pengelolaan SDP. Pendekatan transdisiplin memungkinkan
integrasi antara sains dan pengetahuan lokal. Hal ini dikarenakan pendekatan tersebut
beyond service.
Kesejahteraan Nelayan
Selama ini wisata bahari diagung-agungkan sebagai salah satu pendorong
peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Kondisi seperti ini penting untuk
diwaspadai mengingat selama ini kawasan konservasi selalu dianggap sumber
potensial untuk wisata bahari yang pada gilirannya nanti dapat menjadi sumber
pertumbuhan baru. Seolah-olah kesejahteraan masyarakat pesisir otomatis meningkat
begitu kawasan konservasi ditetapkan. Padahal kesejahteraan nelayan terkait dengan
dua hal, yakni akses pada pemanfaatan sumber daya dan akses kontrol pada
pengelolaan sumber daya. Semakin kecil akses pada kedua hal tersebut, maka sudah
dapat diduga bahwa kesejahteraan nelayan akan semakin terancam. Hal ini terbukti di
beberapa kawasan konservasi dan taman nasional laut, yakni nelayan semakin
terbatas aksesnya kepada pemanfaatan karena daerah tangkapannya menjadi zona inti
yang dilindungi. Hal ini pula yang membuat banyak nelayan dan pemerintah daerah
alergi terhadap istilah konservasi, meski kasus-kasus tersebut terjadi pada kawasan
konservasi versi lama yang didesain secara sentralistik tanpa melibatkan Pemda,
apalagi nelayan.
Sementara itu kawasan konservasi versi baru yang lebih
desentralistik melalu bentuk KKLD (kawasan konservasi laut daerah) belum dapat
diimplementasikan karena terbentur pada desain institusionalnya. Artinya, masih
banyak pekerjaan yang harus diselesaikan terkait dengan bentuk dan model
kelembagaan KKLD, termasuk mekanisme partisipasi masyarakat serta
pembiayannya. Saat ini baru Kabupaten Berau yang relatif lebih maju dibanding
lainnya. Di Berau, masyarakat sudah diberi kesempatan membuat zonasi versi mereka
sendiri berdasarkan pengetahunannya (local knowledge). Ternyata apa yang
dihasilkan masyarakat tersebut tidak jauh berbeda dengan versi ilmiah yang dibuat
para ahli. Namun, dengan masyarakat terlibat dalam proses penentuan zonasi
18
tersebut, ini akan membuat kawsan konservasi menjadi lebih legitimate. Dan,
legitimasi masyarakat ini adalah faktor terpenting dalam konservasi.
Krisis Ekosistem Pesisir: Pengelolaan Versus Pembangunan
Krisis kawasan pesisir kini mulai terasa. Banjir, abrasi, intrusi air laut, dan
rusaknya biota di perairan adalah ongkos lingkungan dan sosial yang mesti dibayar.
Saat ini kondisi mangrove yang masih baik hanya 30 persen. Sementara kondisi
terumbu karang dalam kondisi sangat baik hanya 5.8 persen (SLHI, 2005).
Sebenarnya ini bukan hanya masalah Indonesia. Tetapi juga dunia. Bayangkan saja
terumbu karang di dunia 27 persen telah rusak. Jika ini tidak diantisipasi, maka
diperkirakan pada tahun 2010 yang rusak akan mencapai 40 persen, dan tahun 2030
bisa mencapai 58 persen. Fakta ekologis seperti inilah yang mendorong
berkembangnya pengelolaan pesisir (coastal management), disingkat coast-man.
Namun, krisis ekologis ini juga diiringi krisis sosial ekonomi mengingat kemiskinan
masyarakat pesisir masih relatif tinggi yakni 32 persen.
Sisi Positif UU No 27/2007
Salah satu sisi positif UU No 27.2007 adalah dibukanya ruang partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir, baik dimulai dari perencanaan,
implementasi (pemanfaatan, konservasi, mitigasi, rehabilitasi), maupun pengawasan
dan pengendalian. Terobosan penting dalam aturan ini terdapat dalam pasal 61 yang
mengakui eksistensi hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.
Ini merupakan UU pertama pasca kemerdekaan yang mengakui eksistensi masyarakat
adat. Pemberian ruang partisipasi dan pengakuan hak adat adalah terobosan baru yang
positif. Untuk itu agenda berikutnya adalah bagaimana menerjemahkan amanat UU
No 27/2007 ke dalam peraturan pemerintah (PP) maupun peratuan menteri (Permen).
19
Judul
Tahun
: Hak Ulayat Laut di Era Otonomi Daerah sebagai
Solusi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan: Kasus
awig-awig di Lombok Barat
: 2007
Jenis Pustaka
: Jurnal
Bentuk Pustaka
: Cetak
Nama Penulis
: Solikhin dan Arif Satria
Nama Jurnal
: Sodality
Volume(Edisi):hal
: 1(April)
Tujuan dan Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di pesisir wilayah Lombok Barat bagian utara,
Provinsi Nusa Tenggara Barat pada bulan Juni-Juli 2002. Tujuan dari penelitian ini
adalah menjelaskan rekonstruksi dan revitalisasi hak ulayat laut di Kabupaten
Lombok Barat menjadi sebuah kebijakan pengelolaan perikanan di era otonomi
daerah, dan menjelaskan peran awig-awig dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.
Metode pengumpulan dara dalam penelitian ini menggunakan metode triangulasi.
Metode ini dapat diartikan sebagai kombinasi sumber data yang memadukan
setidaknya tiga metode, seperti pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen
(Sitorus, 1998). Kelebihan dari metode ini adalah saling menutupi kelemahan antara
satu metode dengan metode lainnya sehingga hasil yang diharapkan dari realitas
sosial masyarakat menjadi lebih valid. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara
mendalam dengan pengumpulan data kualitatif melalui catatan harian atau catatan
lapang. Menurut Sitorus (1998) catatan harian berisi data kualitatif hasil pengamatan
dan wawancara di lapangan dalam bentuk uraian rinci maupun kutipan langsung.
Analisis yang digunakan adalah analisis sosial. Kartono (1996) menjelaskan beberapa
tahapan yang harus dilakukan dalam menganalisis sosial, yaitu: (1) menimbang data;
(2) klasifikasi data; dan (3) formulasi konsep-konsep.
Hasil dan Pembahasan
Kerusakan sumberdaya ikan dan laut sekarang disebabkan oleh tidak adanya
rencana pengelolaan yang jelas di era sebelumnya dan kuatnya hegemoni negara
(pemerintah pusat). Hegemoni negara tesebut tercermin dalam kebijakan perikanan
yang mempunyai ciri utama: (1) didasarkan pada doktrin milik bersama (common
20
property), (2) sentralistik (proses produksi dan substansinya), dan (3) mengabaikan
atau anti pluralisme hukum (Saad, 2003).
Doktrin milik bersama (common property) mengindikasikam ketidakjelasan
tentang kapan, siapa, dan bagaimana proses penangkapan dan pengambilan
sumberdaya perikanan sehingga wilayah perairan laut nasional menjadi arena
pertarungan antarpelaku perikanan di bawah kekuasaan “hukum rimba atau hukum
samudera”. Sementara, sentralistik dan anti pluralisme semakin mempertajam konflik
antarpelaku perikanan dan tumpang tindih wilayah penangkapan ikan (fishing
ground). Sentralistik juga dianggap sebagai sebuah legalisasi persekongkolan kaum
komprador, yaitu pemerintah, pengusaha, dan aparat penegak hukum dalam rangka
eksploitasi sumberdaya ikan. Ketiga hal ini memunculkan eksternalitas negatif yaitu
gejala tangkap lebih (overfishing), rusaknya terumbu karang akibat pengeboman dan
penggunaan potassium sianida, rusaknya hutan mangrove dan lain sebagainya (Satria
et. al., 2002a).
Pergantian rezim pemerintahan kemudian membawa perubahan dalam
kebijakan pengelolaan sumberdaya. Paradigma pembangunan yang sentralistik
menjadi desentralistik, seperti hadirnya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan oleh UU No. 32 Tahun
2004, yang di dalamnya memuat aturan kewenangan pengelolaan sumberdaya
kelautan dan perikanan di tingkat daerah. Perubahan aturan perundangan ini
merupakan pintu menuju terciptanya regulated and sustainable fisheries. Hal ini
dikarenakan (Satria, et.al., 2002b), yaitu: pertama, konsep desentralisasi memberikan
peluang partisipasi bagi seluruh stakeholder masyarakat perikanan. Kedua, adanya
UU No. 2/1999 merupakan kekuatan hukum yang mengakui eksistensi institusi lokal
yang ada di beberapa daerah dalam mengelola sumberdaya ikan. Ketiga, penerapan
UU No. 2/1999 secara ekonomi menciptakan efisiensi dan efektivitas penangkapan
ikan karena terbentuknya zonasi penangkapan yang adil antara nelayan kecil dengan
nelayan besar. Keempat, desentralisasi merupakan wujud demokratisasi, karena
kesempatan berpartisipasi nelayan lokal memudahkan dalam proses menyalurkan
aspirasi dan kontrol sosial dalam suatu kebijakan.
21
Identifikasi Sosial
dan Budaya
Hukum Non Formal
Kelembagaan
Lokal:
Kearifan lokal
Hukum adat
Faktor-faktor
pembentukan
Rekonstruksi
kelembagaan Lokal
Proses
pembentukan
Revitalisasi dan
Implementasi
Awig-awig
LMNLU
Secara empiris pengelolaan perikanan yang berbasiskan kearifan lokal (hak
ulayat laut) telah mampu menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Akan tetapi
dalam perkembangannya, praktik pengelolaan perikanan yang berbasis kearifan lokal
lambat laun mengalami kepunahan akibat kebijakan yang sentralistis di era orde baru.
Sesuai amanat Pasal 3 dan 10 UU No. 22/1999 tentang hak dan kewajiban
Pemerintah Daerah (Pemda) dalam menciptakan pengelolaan sumberdaya kelautan
dan perikanan yang berkelanjutan, maka seharusnya masing-masing Pemda membuat
model kebijakan pembangunan yang jelas untuk wilayah pesisir dan laut. Bagi daerah
yang mempunyai kearifan lokal atau model pengelolaan CBM, maka tinggal
melengkapi menjadi model Co-management yang lebih kompleks.
Hak ulayat tradisional yang mulai memudar disamping disebabkan oleh
kebijakan pengelolaan yang bersifat top-down, juga dipengaruhi oleh perubahanperubahan yang terjadi di lingkungan masyarakat itu sendiri, misalnya pergeseran
budaya berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan, faktor ekonomi dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, solusi untuk permasalahan di atas adalah pemberian hak
22
pengelolaan kepada masyarakat setempat (lokal) sesuai dengan keadaan sosial
ekonomi, politik, budaya, dan karateristik sumberdaya yang hidup di sekitarnya.
Salah satu model pengelolaan sumberdaya perikanan dan laut berbasis hak
ulayat terdapat di Lombok Utara. Pertama, terdapat model pengelolaan berbasis
masyarakat (CBM). Kelebihan model ini adalah dapat diterima oleh semua lapisan
masyarakat, karena sesuai dengan aspirasi dan keinginan masyarakat serta budaya
lokal, juga mudahnya pengawasan yang dilakukan langsung oleh masyarakat
terhadap lingkungan sumberdaya, sehingga dapat menjaga kelestarian sumberdaya.
Kekurangan dari model ini adalah hanya berlaku spesifik lokal di tingkat desa,
sehingga tidak bisa menyelesaikan masalah yang sifatnya global untuk suatu kawasan
perairan. Selain itu, faktor eksternal sangat mempengaruhi seperti pertambahan
penduduk, perubahan komposisi usia penduduk, faktor pasar, politik legal atau
perubahan sistem pemerintahan dan lain sebagainya. Sumber legalitasnya yang tidak
tertulis membuat upacara sawen (upacara adat di Lombok Utara) lama kelamaan
menghilang.
Kedua, meghilangnya upacara adat Sawen pada 1965 menyebabkan
munculnya pengelolaan perikanan oleh pemerintah pusat (Centralized Government
Management/CGM) dengan aparat TNI dan Polisi sebagai penegak hukumnya.
Keterbatasan jumlah personel penegak hukumnya menjadikan model ini bersifat
destruktif atau tidak ramah lingkungan. Selain itu, pengawasan dan pengendalian
membutuhkan modal yang cukup besar. Salah satu hal yang fatal juga adalah tidak
adanya keterlibatan masyarakat dari perencanaan hingga pelaksanaan kebijakan yang
ditetapkan.
Dengan demikian, kuatnya keinginan masyarakat untuk melakukan
rekonstruksi dan revitalisasi hak ulayat laut menjadi awig-awig lembaga musyawarah
nelayan Lombok Utara (LMNLU) sebagai aturan bersama secara tertulis dalam
mengelola sumberdaya ikan disebabkan oleh kelemahan model CBM (upacara adat
sawen) dan kegagalan model CGM.
Munculnya awig-awig sebagai model pengelolaan sumberdaya perikanan
dan laut disebabkan oleh konflik yang disebabkan oleh rusaknya lingkungan
(ekologi), pertambahan penduduk (demografi), lapangan pekerjaan yang semakin
sedikit (mata pencaharian), lingkungan politik legal, perubahan teknologi dan
perubahan tingkat komersialisasi (pasar). Untuk menjaga kelestarian sumberdaya,
masyarakat Lombok Utara kemudian membentuk awig-awig secara tertulis sebagai
aturan main. Kekuatan awig-awig ini merupakan kesadaran kolektif (collective
consciousness) dan sebagai strategi adaptasi masyarakat nelayan.
23
Kesimpulan
Terbentuknya awig-awig merupakan proses kesadaran kelompok masyarakat
kecamatan Gangga yang disebabkan oleh rusaknya ekosistem perairan laut, sehingga
awig-awig menjadi strategi adaptasi masyarakat nelayan untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya. Proses pembentukan awig-awig dimulai dari tahapan
informal, yaitu berupa ungkapan-ungkapan keprihatinannya terhadap kondisi
sumberdaya perairan laut yang rusak sehingga mempengaruhi hasil tangkapan
nelayan. Sementara tahapan formal dimulai dari rapat-rapat internal kelompok hingga
rapat besar dengan melibatkan pemerintah dan masyarakat nelayan lainnya dengan
menghasilkan kesepakatan-kesepakatan lokal dalam mengatur penangkapan ikan,
yaitu awig-awig di Lombik Utara. Setelah itu, hasil tangkapan tersebut
disosialisasikan kepada seluruh masyarakat Pulau Lombok dengan berbagai media,
seperti tulisan (poster) dan lisan (media dakwah) oleh para pemuka agama Islam.
Pemberlakuan awig-awig telah meminimalisir konflik, baik koflik
antarnelayan lokal yang disebabkan oleh perbedaan alat tangkap yang beroperasi di
zona 3 mil, seperti alat tangkap tradisional dengan alat tangkap purse seine dan jaring
bendera (gillnet), maupun konflik antara nelayan lokal dengan nelayan luar.
Judul
Tahun
: Pemberdayaan Masyarakat Miskin Berbasis Kearifan
Lokal
: 2009
Jenis Pustaka
: Jurnal
Bentuk Pustaka
: Cetak
Nama Penulis
: Saharuddin
Nama Jurnal
: Sodality
Volume(Edisi):hal
: 1(April)
Fokus penelitian ini adalah isu kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan
belajar pada praktek-praktek implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di
daerah. Sampai mana kebijakan tersebut telah mempertimbangkan kearifan lokal dan
sampai mana pula kearifan itu bisa menjadi salah satu media pemberdayaan.
Kearifan lokal merupakan strategi adaptasi yang memang muncul dari dalam
masyarakat itu sendiri dalam membenahi masalah-masalah sosial yang berkenaan
dengan kehidupan masyarakat. Kearifan lokal ini tumbuh dari hasil interaksi antara
masyarakat dan lingkungannya. Berbagai masalah yang timbul di tengah masyarakat
24
diatasi dengan kebijakan yang lebih bersifat top-down dan hierarchy. Sudah saatnya
pendekatan tersebut diganti dengan pendekatan yang terpadu antarsektor.
Keluarnya UU Otonomi Daerah Nomor 32 tahun 2004 membuka peluang
untuk pengentasan masalah sosial –yang salah satunya adalah kemiskinan.
Kewenagan pemerintah daerah menterjemahkan kebijakan nasional dengan
menyesuaikan dengan kondisi setempat, termasuk menggunakan kearifan lokal
sebagai input penanggulangan kemiskinan di tingkat daerah. Berkaitan dengan
kearifan lokal, terdapat lima isu strategis yang perlu diperhatikan dalam
pemberdayaan masyarakat asli, sebagai input penanggulangan kemiskinan pada
tingkat masyarakat, yaitu: (i) Menghormati dan menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia, (ii) Komitmen global terhadap pembangunan sosial masyarakat adat sesuai
dengan konvensi yang diselenggarakan oleh ILO, (iii) Isu pelestarian lingkungan dan
menghindari keterdesakan komunitas asli dari eksploitasi sumberdaya alam yang
berlebihan. (iv) Meniadakan marginalisasi masyarakat asli dalam pembangunan
nasional, (v) Memperkuat nilai-nilai kearifan masyarakat setempat dengan cara
mengintegrasikannya dalam desain kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan. Model pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal mengandung
arti peletakan nilai-nilai setempat sebagai input penanggulangan kemiskinan. Dalam
hal ini, kebijakan penanggulangan kemiskinan perlu menempatkan kearifan lokal
sebagai input pokok dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan. Istilah peletakan
nilai-nilai setempat (kearifan lokal) di sini lebih dimaknai sebagai apresiasi terhadap
praktek-praktek penanggulangan kemiskinan yang diinisiasi oleh pelaku-pelaku
tingkat lokal dengan menjadikan kebijakan nasional sebagai rambu-rambu dalam
membangun kerjasama sinergitas pada berbagai sektor dalam penanggulangan
kemiskinan tersebut.
Konsep dan Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat
Model pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal mengandung arti
peletakan nilai-nilai setempat sebagai input penanggulangan kemiskinan. Setiap
masyarakat mempunyai karakteristik sendiri yang belum tentu dimiliki oleh
masyarakat lainnya. Nilai budaya yang mereka anut terdiri dari pandangan hidup dan
keyakinan, keduanya dibungkus oleh ethos (pedoman etika berkenaan dengan baik
dan tidak baik). Kebudayaan adalah sistem pengetahuan yang digunakan oleh
manusia untuk membentuk tindakan mereka, dan menginterpretasikan perilaku orang
lain (Spradley, 1987:3). Salah satu tujuan pemberdayaan masyarakat adalah
terciptanya permbangunan. Paradgima pembangunan yang digunakan adalah (people
centre development) yang menempatkan masyarakat sebagai fokus maupun sumber
utama pembangunan. Pembangunan masyarakat dapat difahami melalui tiga orientasi
yaitu: (1) upaya pengadaan pelayanan dasar sebagai kelengkapan dari strategi
kebutuhan pokok, diidentikkan dengan peningkatan pelayanan sosial dan pemberian
25
fasilitas sosial, seperti fasilitas kesehatan, peningkatan gizi, pendidikan, dan sanitasi
untuk kesejahteraan masyarakat; (2) upaya terencana untuk mencapai tujuan lebih
kompleks dan bervariasi, guna mencapai tujuan sosial yang lebih sulit diukur seperti
keadilan, pemerataan, peningkatan budaya, kedamaian, serta adanya kesempatan
yang sama; dan (3) upaya peningkatan kemampuan manusia untuk berbuat dan
meningkatkan postensialitasnya, memobilisasi antusiasmenya untuk berpartisipasi
aktif dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan terkait dengan diri mereka.
Kerangka Analisis
Tulisan ini menggunakan dua model analisis, yakni: (1) analisis hubungan
ekologis sebagai dasar pembentuk aktivitas masyarakat dengan basis kearifannya
dengan aktivitas hubungan multipihak yang kemungkinan mempengaruhi dan
terpengaruh oleh aspek-aspek kearifan lokal; (2) analisis hubungan antarpihak di atas
wilayah ekologis dimana masyarakat kearifan lokal terjadi.
Hasil Pengamatan
Kajian dilaksanakan di Desa Pasar Seluma Kecamatan Seluma Selatan dan
Desa Rawasari Kecamatan Seluma Timur, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu.
Beberapa alasan yang dikemukakan dalam menetapkan komunitas tunggal sebagai
pusat perhatian adalah (1) desa tersebut mengalami pergeseran dari pertanian pangan
dan nelayan menjadi perkebunan sawit rakyat, (2) Pasar Seluma adalah desa
berpenduduk Serawai asli. Aspek yang diamati tulisan ini adalah (1) Bagaimanakah
kearifan lokal berhubungan kuat dengan upaya penanggulangan kemiskinan pada
sektor perikanan dan pertanian (2) Bagaimana kearifan lokal suatu daerah
berkontribusi dan mengalami dinamikanya sendiri ketika bersentuhan dengan sektorsektor modern?
Masyarakat Pasar Seluma awalnya hidup sebagai nelayan di wilayah pesisir
meskipun tidak secara intensif melaut. Sumberdaya perikanan yang ada di wilayah
mereka cukup kuat untuk menarik nelayan dari daerah Bengkulu untuk datang. Akan
tetapi hasil tangkapan dari wilayah mereka dibawa lagi ke Bengkulu kemudian
dipasarkan oleh pedagang kecil kembali ke wilayah Pasar Seluma. Kondisi ini
membuat warga berkeinginan untuk membentuk pelabuhan perikanan agar hasil
tangkapan bisa dinikmati warga.
Kondisi perekonomian warga yang cukup memprihatinkan membuat mereka
mencari alternatif lain. Meskipun mereka mempunyai lahan yang cukup luas untuk
dikembangkan, tapi mereka belum memiliki kemampuan sendiri. Terutama pada
budidaya kelapa sawit yang menjadi primadona di wilayah ini. Jika dihitung secara
kasar, sebenarnya penghasilan dari kelapa sawit cukup untuk menghidupi mereka.
Tapi belum cukup untuk anak cucu mereka nanti. Kehadiran PT AA sebagai
26
perusahaan kelapa sawit di daerah ini sedikit banyak membawa perubahan bagi
masyarakat. Setidaknya masyarakat bisa belajar bagaimana mengelola lahan yang
mereka miliki yang umumnya merupakan lahan gambut untuk ditanami kelapa sawit.
Akan tetapi pihak perusahaan tidak ingin membagi pengetahuan yang dimilikinya
kepada warga. Oleh karenanya warga belajar kepada etnis Batak yang banyak
menjadi karyawan di perusahaan ini. Kebetulan juga karyawan dari perusahaan sawit
ini kebanyakan adalah orang Batak.
Salah seorang tokoh masyarakat kemudian berinisiatif untuk bertemu dengan
anggota DPRD yang pernah berkampanye di daerah mereka untuk membantu
memfasilitasi penanaman sawit. Akhirnya dibukalah lahan dengan cara pembakaran
hutan. Awalnya luas lahan yang hendak dibuka adalah 50 ha. Tapi meluas menjadi
150 ha. Setelah itu, mereka mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa bantuan
padi gogo secara cuma-cuma sehingga ditanamlah padi gogo di kebun mereka.
Mereka berjumlah 49 orang yang masuk ke dalam organisasi petani padi gogo ini.
Kemudian bergeserlah mereka setelah menanam padi gogo ke tanaman jagung dan
kacang tanah, kemudian bergeser dari pertanian ke perikanan.
Tolok Ukur Kemiskinan: Cara Pandan Pemerintah vs Masyarakat
Masyarakat memiliki latar belakang yang berbeda sehingga bisa menimbulkan
persepsi yang berbeda tentang kondisi sosial ekonomi mereka. Penghasilan yang
diterima keluarga batih (inti) selama ini sering dianggap sebagai tolak ukur
kemiskinan. Sederhananya bahan pembuat rumah dan keadaan kondisi kesehatan
sehari-hari juga tidak lepas dari perhitungan. Pada umumnya yang dijadikan tolok
ukur kemiskinan adalah perasaan diri yang kurang dari orang lain khususnya akses
yang diperoleh dalam hal pendidikan, ekonomi, dan agama. Jadi bukan
ketidakpunyaan barang dan pekerjaan serta kondisi rumah yang dipunyai oleh
seseorang atau sebuah keluarga batih. Hal ini sangat berbeda dari konsep pemerintah
yang memandang dari segi ekonomi dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Sehingga
penanggulangan kemiskinan atau program pengentasan kemiskinan yang dilakukan
oleh pemerintah terlihat tidak berhasil menghilangkan apa yang dirasakan oleh
masyarakat sebagai kondisi miskin.
Proses Penanggulangan
Program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah pada
prinsipnya dilaksanakan dengan menggunakan persepsi masyarakat sehingga sering
terjadi ketidaktepatan antara cara dan capaian yang ditetapkan oleh pemerintah
dengan cara dan capaian yang dilaksanakan oleh masyarakat. Status sosial
masyarakat di setiap daerah berbeda-beda sehingga tolok ukur kemiskinan juga
27
berbeda. Pemberian bantuan yang melibatkan masyarakat juga dianggap bisa
menimbulkan ego sektoral tatkala orang yang merasa senasib dengan penerima
bantuan malah tidak mendapatkan bantuan. Padahal hal yang perlu diperhatikan
adalah kebersamaan masyarakat yang tetap terjaga setelah adanya bantuan.
Rekomendasi
Dengan bentuk masyarakat Indonesia yang majemuk dan multikultur maka
interpretasi yang terjadi terhadap lingkungan hidupnya (alam, sosial dan binaan) akan
berbeda-beda antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Walaupun mempunyai
pola hidup yang sama tetapi karena berlatar belakang suku bangsa yang berbeda
maka dapat terjadi pemahaman yang berbeda terhadap suatu kondisi. Begitu juga
walaupun yang mempunyai latar belaang sukubangsa yang sama tetapi mempunyai
pola hidup yang berbeda, maka tetap saja pemahaman terhadap lingkungannya juga
akan menghasilkan bentuk yang berbeda. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka demi
melaksanakan rogram pengentasan kemiskinan guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat perlu kiranya melakukan beberapa aktivitas yang berangkat dari usaha
menginventarisasikan konsep-konsep atau persepsi tentang masalah sosial dan juga
kemiskinan dari sudut pandang komuniti atau masyarakat yang mengalaminya.
Berbagai cara dilakukan dengan usaha mengidentifikasi suku bangsa dengan
kebiasaannya dan juga terkait dengan pola hidup sebagai bentuk usaha mata
pencaharian masyarakat yang ada.
Kearifan lokal menjadi inti dari usaha mengentaskan kemiskinan yang ada
dan tumbuh di masyarakat sebagai sasaran dari proses penerapan program
pengentasan kemiskinan. Di samping itu, sebagai pemerintah yang melaksanakan dan
menerapkan program pemerintah tersebut maka perlu diperhatikan sistem penerapan
yang ada yang terkait dengan sistem birokrasi pemerintah yang mendominasi budaya
nasional. Oleh karena itu sifat kesukubangsaan dan kelompok serta ras dan agama di
dalam arena nasional perlu dihilangkan untuk menjaga kewibawaan pemerintah
sebagai acuan dalam bertindak dan berinteraksi bagi masyarakat Indonesia secara
keseluruhan.
28
Judul
: Dinamika, Struktur Sosial dalam Ekosistem Pesisir
Tahun
: 2010
Jenis Pustaka
: Buku
Bentuk Pustaka
: Cetak
Nama Penulis
: Edi Susilo
Literatur ini merupakan disertasi penulis yang dituangkan ke dalam bentuk
buku dengan tujuan untuk memberikan sumbangan keilmuan dan langkah praktis
bagi upaya meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat pesisir. Buku ini terdiri dari
6 bab. Bagian pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,
perumusan masalah, tujuan penelitian, fokus penelitian dan kerangka pemikiran
teoritik. Bagian dua berisi tinjauan pustaka. Bagian ketiga berisi metode penelitian
yang mencakup; pendekatan, paradigma fakta sosial, lokasi dan tahapan penelitian,
defenisi konsep, teknik pengumpulan data, penelusuran awal peristiwa dalam
kehidupan masyarakat, rancangan analisis data, dan kerangka analisis kapasitas ruang
dan titik kritis struktur sosial. Bagian keempat merupakan contoh kasus yang
diangkat, yaitu Dusun Karanggongso. Bagian kelima memaparkan dinamika struktur
sosial masyarakat Karanggongso berikut lini waktunya. Sedangkan bagian keenam
berisi kesimpulan dan implikasi.
Latar Belakang
Masyarakat nelayan secara umum di Indonesia dalam tataran evolusi sosiobudaya berbeda pada perkembangan awal. Sukadana (1983), menyampaikan bahwa
perubahan antroposphere dalam kehidupan manusia ada enam tingkatan, mulai dari:
food gather, hunting and fishing, pastoral nomad, agriculture, industry, dan terakhir
urban. Koentjaraningrat (1985) juga menggunakan pendekatan evolusi ini, yang
dimulai dari meramu, perikanan, dan kemudian pertanian (dari perladangan berpindah
sampai pertanian menetap). Dengan demikian, perspektif evolusioner masih relevan
digunakan sebagai dasar memahami dinamika masyarakat nelayan, apalagi dalam
kehidupan masyarakat nelayan yang terikat habitat.
Kajian terhadap struktur sosial memberikan makna bahwa struktur memiliki
daya tampung yang dinamis, dapat berkembang sesuai dengan perjalanan sejarah
sosial masyarakat bersangkutan. Interaksi antara masyarakat lokal dengan masyarakat
dari lingkungan sosial luar akan direspon sesuai dengan daya tampung atau kapasitas
ruang struktur sosial. Struktur sosial sendiri menurut Radcliff -Brown (1968) adalah
29
suatu keberlanjutan susunan orang-orang dalam hubungan-hubungan yang dibatasi
atau dikendalikan oleh institusi-institusi, yaitu norma-norma atau pola-pola tingkah
laku yang dibangun masyarakat. Jika elemen yang baru masuk dapat diterima dalam
struktur sosial, makan elemen baru tersebut menjadi bagian dari struktur. Sebaliknya,
jika elemen baru tidak mampu berintegrasi dengan struktur, akan menguras kapasitas
ruang struktur, yang akan menyebabkan daya tampung struktur sosial semakin
sempit. Berdasarkan latar belakang tersebut, disertasi ini berusaha untuk
mendeskripsikan perubahan kapasitas ruang struktur sosial masyarakat nelayan
dengan menemukan titik kritis tertentu, sejalan dengan dinamika structural dan
perjalanan sejarah sosial dari masyarakat bersangkutan.
Perumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Bagaimana perkembangan struktur sosial masyarakat sejak dari pembentukan
awal, sekitar tahun 1950-an sampai pada saat penelitian dilaksanakan tahun
2008/2009?
2. Bagaimanakah dinamika kapasitas ruang struktur sosial memberikan daya
tampung terhadap elemen-elemen baru yang berasal dari lingkungan lokal
maupun lingkungan sosial luar?
3. Apakah dalam perubahan struktur masyarakat nelayan yang didekati dengan
teori evolusi sosial dapat ditemukan titik-titik kritis struktur sosial yang
menjadi sebuah tanda perubahan dari kapasitas ruang yang sempit menjadi
kapasitas ruang yang luas dan sebaliknya?
Tinjauan Pustaka
Istilah struktur sosial digunakan secara umum untuk menjelaskan satuan atau
kelompok yang memiliki hubungan sosial satu sama lain, yang relatif abadi untuk
membentuk pola-pola tingkah laku dan hubugan sosial dalam sebuah sistem sosial.
Struktur sosial dinyatakan pula sebagai institusi-institusi dan noram-norma sosial
yang menjadi bangunan sistem sosial yang menjadi sebuah pedoman bagi tingkah
laku aktor-aktor dalam keseluruhan sistem sosial.
Stuktur sosial dapat diidentifikasi sebagai: (1) hubungan timbal balik satuan
atau suatu kelompok dengan satuan atau kelompok lainnya, (2) sebagai pola-pola
yang abadi dari tingkah laku para partisipan dalam sebuah sistem sosial dalam
kaitannya dengan yang lain, dan (3) sebagai norma-norma yang telah
terinstitusionalisasi atau kerangka-kerangka pengetahuan yang terstruktur yang
mendasari tindakan-tindakan para pelaku dalam sistem sosial.
Metode Penelitian
30
Secara umum dikenal adanya pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan gabungan
keduanya. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan subyektivitas bersifat mikro
sampai makro. Pendekatan ini digunakan untuk mengungkap keunikan yang ada pada
individu, kelompok, organisasi atau institusi tertentu. Berdasarkan pemetaan metode
penelitian model rasional, maka tipe kajian ini adalah berbasis pada subyek kajian
“holistik-subyektivisme”, yang mana pendekatan teori yang sesuai adalah
fungsionalisme (Fatchan, 2005). Moloeng (2007) mendefinisikan penelitian kualitatif
sebagai suatu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan,
dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode
ilmiah. Bungin (2001) menyatakan bahwa format desain penelitian kualitatif perlu
disususn khusus dengan pertimbangan: (1) desain penelitian kualitatif itu adalah
penelitinya sendiri, (2) masalah dan tujuan penelitian kualitatif yang amat beragam
dan kasuistik sehingga sulit membuat kesamaan desain penelitian yang bersifat
umum, (3) ragam ilmu sosial yang variannya bermacam-macam sehingga memiliki
tujuan dan kepentingan yang berbeda-beda pula terhadap penelitan kualitatif.
Lokasi dan Tahapan Penelitian
Penelitian dilaksanakan di salah satu kawasan Teluk Prigi, sebuah kawasan
pantai di selatan Kabupaten Trenggalek, Propinsi Jawa Timur, yaitu di sebuah dusun
bernama Karanggongso. Dusun ini merupakan bagian dari desa Tasikmadu secara
administratif dan secara ekologis adalah bagian dari Teluk Prigi.
Tahap pertama penelitian dilakukan dengan kajian pustaka terhadap berbagai
riset yang dilakukan di kawasan teluk ini, baik yang dilakukan oleh mahasiswa,
peneliti perorangan, peneliti dari kelembagaan tertentu, dan hasil-hasil riset dan
laporan kegiatan proyek Cofish. Tahap kedua melakukan analisis perubahan struktur
dengan melakukan identifkasi komponen-komponen pembentuk struktur, dengan
menganalisis waktu interpretasi dan proses integrasi dengan struktur lokal.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa langkah. Pertama
adalah melakukan pengumpulan bahan dokumen, yaitu berupa laporan penelitian
tentang masyarakat nelayan yang relevan dengan judul disertasi. Kedua adalah
melakukan observasi, terutama terhadap aktivitas masyarakat pesisir di dalam
melakukan pemanfaatan sumber daya pesisir. Ketiga adalah dengan melakukan
wawancara dengan informan dan informan kunci. Wawancara dalam tahap pertama
dilakukan oleh peneliti sendiri yang tinggal di rumah seorang responden. Wawancara
dilakukan dengan menggunakan pedoman wawacara (terlampir) dengan
menggunakan life history. Para key informant dan informant, ditentukan secara teknik
31
snowball, dengan acuan berawal pada key informant yang pernah digunakan dalam
riset oleh peneliti pada tahun 1991.
Dinamika Struktur Sosial Masyarakat Karanggongso
Deskripsi dinamika struktur mengikuti periodisasi dari penelitian terdahulu
(Susilo, et al, 2003), yang membagi kehidupan masyarakat nelayan pancing
menjaditiga periode (isolasi, terbuka-1, dan terbuka-2), dan mengikuti arah bahasan
terhadap kapasistas ruang dan titik kritis struktur sosial.
A. Struktur Sosial di Masa Isolasi (<1975)
Sebelum tahun 1975 dianggap sebagai masa isolasi karena jalan akses dari
Karanggongso ke Pantai Prigi dibuka pada tahun tersebut. Seorang juragan jaring
tarik bernama RMN meluaskan usahanya dari Subteluk Ketawang ke Karanggongso.
Ia memberikan fasilitas kepada warga masyarakat untuk membuat akses jalan di
sebelah barat Pasir Putih. Sebelum itu, masyarakat menggunakan jalan setapak
menyusuri tebing dan tembus ke muara Ledong, yang sekarang menjadi areal
Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi.
Pada dasarnya masyarakat di Karanggongso bukanlah suatu generasi yang
hidup dari sumber daya laut. Mereka berasal dari kebudayaan pertanian, yang
kemudian beradaptasi pada lingkungan pesisir, terutama dalam kegiatan penangkapan
ikan. Oleh karena itu sektor pertanian sejak awal sampai saat ini merupakan sumber
ekonomi yang penting bagi masyarakat Karanggongso. Masyarakat juga
menggunakan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan. Pemanfaatan hasil hutan
dilakukan dengan dua cara, yaitu membudidayakan tanaman pangan (agriculture) dan
melakukan pengambilan hasil hutan (gathering). Mereka menggunakan lahan hutan
untuk melakukan budidaya tanaman ketela.
Dinamika masyarakat Karanggongso di tahun 1950-an tidak jauh berbeda
dengan kondisi pedesaan di awal terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Agresi Belanda ke-2 sekitar tahun 1948 lebih memberikan pengaruh pada kehidupan
masyrakat di Subteluk Ketawang dan desa-desa di sepanjang jalan raya. Di
Karanggongso pada awalnya hanya merupakan sebuah satuan wilayah rukun tetangga
(RT). Struktur pemerintahan kemudian menjadi sebuah dusun yang diperoleh oleh
seorang Uceng atau Kepala Dusun.
Penggambaran dinamika struktur dilakukan dengan menampilkan berbagai
peristiwa yang diperkirakan memberikan pengaruh kuat di dalam menggerakkan
kehidupan masyarakat, baik yang berkait dengan kegiatan ekonomi maupun aspekaspek sosial politik yang melibatkan sebagian besar masyarakat. Selama masa isloasi
ada sekitar tiga buah peristiwa penting, yaitu adanya akses masyarakat mengelola
32
sumber daya hutan, peristiwa bukaan alas, gestok, dan terbukanya kawasan ini dari
isloasi geografis.
B. Stuktur Sosial di Masa Terbuka-1 (1975-1990)
Pada masa Terbuka-1 ditandai oleh beberapa peristiwa, antara lain
dibangunnya jembatan di sungai Gedangan dan “Gupakan Warak” (tempat berkubang
badak) dengan kerja bakti. Kegiatan pariwisata juga mulai memasuki wilayah
Karanggongso, terutama Pasit Putih, sebagaimana perkembangan akses ke Pantai
Prigi, maupun secara lebih luas ke wilayah Kecamatan Watulimo, yang ditandai
dengan dibangunnya jalan aspal, bergantinya angkutan umum dari kendaraan jenis
Jeep ke Colt station, dan masuknya jaringan listrik.
Kegiatan nelayan masih didominasi oleh pancing ulur, disamping alat tangkap
ikan lain seperti jaring tarik dan paying. Pada masa ini ada seorang pendeta bernama
Lugano yang mengintroduksikan kelembagaan nelayan (Lembaga Pengembangan
Nelayan, LPK) yang mengoperasikan alat tangkap purse seine dengan sistem bagi
hasil yang bebeda dengan sistem yang telah ada sebelumnya.
Masa terbuka-1 terutama ditandai oleh kemudahan akses bagi orang di luar
Karanggongso masuk ke wilayah ini, juga sebaliknya bagi warga Karanggongso
keluar wilayahnya. Hubungan ekonomi dengan kawasan terluk juga semakin terbuka.
Investor juga mulai memasuki wilayah ini, baik untuk kegiatan perikanan maupun
pariwisata.
C. Struktur Sosial pada Masa Terbuka-2 (1991-2008)
Tahun 1991 dianggap sebagai awal dari Masa Terbuka-2 karena usaha
penangkapan ubur-ubur dijalankan oleh masyarakat Karanggongso. Usaha ini dimulai
oleh seorang pengusaha ubur-ubur dengan PT. Mahera. Selain itu juga semakin
mendunia ketika ikan layur menjadi komoditas ekspor. Dikembangkannya rumpon
laut dalam penangkapan ikan dengan pancing mengalami perubahan yang mendasar,
baik pada teknologi alat tangkap maupun kebiasaan melaut yang lebih dari satu hari
(one day fishing) dan peningkatan upaya armada penangkapan pancing, dari perahu
kunthing ke perahu sekoci. Nelayan purse seine juga menggunakan rumpon untuk
mempermudah menemukan daerah penangkapan.
Masa terbuka-2 dapat disebut sebagai masuknya globalisasi dalam Dusun
Karanggongso. Pengaspalan jalan, pembukaan JLS, teknologi informasi, jaringan
listrik, dan jaringan pasar internasional untuk ubur-ubur dan layur telah memberikan
kapasitas ruang struktur sosial menjadi semakin luas. Struktur yang terbentuk
semakin kompleks dan dinamis.
33
Kesimpulan
Perubahan struktur sosial secara umum diamati mulai tahun 1950-an sampai
dengan 2008 dapat dikategorikan ke dalam tiga masa, yaitu masa isolasi (<1975),
masa terbuka-1 (1975-1990), dan masa terbuka-2 (1990-2008). Penyebab utama
perubahan struktur adalah masuknya unsur-unsur pembentuk struktur dari luar
(individu, sistem), atau karena meningkatnya akses masyarakat terhadap perubahan di
lingkungan lokal, misalnya terhadap sektor pertanian di hutan, pariwisata, atau
pengolahan produk perikanan.
Dinamika kapasitas ruang struktur sosial di ekosistem pesisir Karanggongso
selama masa pengamatan yaitu dalam tiga masa kehidupan (isolasi, terbuka-1, dan
terbuka-2), secara umum dapat dijelaskan ada dua indikator yang penting. Pertama
adalah indikator obyektif yaitu berupa ketersediaan peluang bekerja dan berusaha
dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir. Kedua, tingkat aksesibilitas
individu dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir. Kapasitas ruang
struktur sosial yang secara obyektif berkembang meluas tidak selalu diikuti oleh
tingkat kemampuan akses individu atau sistem yang ada dalam struktur sosial.
Judul
: Manajemen Pembangunan Kepulauan dan Pesisir
Tahun
: 2009
Jenis Pustaka
: Buku
Bentuk Pustaka
: Cetak
Nama Penulis
: Elfindri dkk
Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari Elfindri, Jemmy Rumengan,
Syamsul Bahrum, Tengku Dahril, Rimilton Riduan, dan Zainal Abidin. Mengingat
bahwa yang memiliki pulau-pulau kecil hanyalah Indonesia, maka untuk belajar
manajemen pembangunan kepulauan tidak mungkin ke negara maju seperti Ameriak,
Eropa atau Jepang sekalipun. Atas dasar keunikan itu, penulis mencoba merangkul
apa saja yang difikirkan, yang pernah dikerjakan oleh penulis bersama ini serta
bagaimana konsep ke depan tentang pengembangan pelayanan kepada masyarakat
pesisir.
Elfri Buku ini terdiri dari 12 bab. Bab pertama menjelaskan secara umum tentang
kepulauan. Disusul dengan pembahasan tentang menjelajahi pemahaman suku laut
dan inventaris dan analisa persoalan: kasus kepri, berturut-turut pada bab kedua dan
ketiga. Potret kemiskinan dan program aksi penanganan dijelaskan pada bab 4. Bab
34
kelima menyajikan gambaran pemerataan pelayanan kesehatan kepulauan. Contoh
kasus untuk manajemen pembangunan kepulauan mulai dijelaskan dengan
mengangkat kasus Batam sebagai contoh pusat pertumbuhan di bab ketujuh.
Dijadikannya Batam sebagai contoh kasus membuat pembuktian efek rembes Batam
dimasukkan ke dalam bab delapan. Pandangan secara makro mulai ditunjukkan oleh
pembahasan bab ke Sembilan, yaitu berisi fungsi ganda birokrasi pemerintahan. Bab
kesepuluh menjelaskan berisi gagasan membangun industry kelautan. Bab kesebelas
menggambarkan penggunaan kelompok dampingan mempercepat program
pembangunan masyarakat kepulauan dan pesisiran. Bab terakhir mengetengahkan
konsep masa depan pembangunan kepulauan dan pesisir blue print.
Kepulauan
Indonesia adalah negara yang memiliki kepulauan terbanyak di dunia. Sebab
sekitar tujuhbelas ribu pulau terhampar; dari Sabang sampai ke Merauke. Pulau-pulau
utama, Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Irian telah menghiasi peta dunia.
Kawasan kepulauan dari berbagai ciri geografis memiliki banyak keunikan.
Pertama, bahwa untuk mencapai daerah kepulauan memerlukan transportasi laut
sebagai sarana utama, dan infrastruktur lain yang memerlukannya. Sehingga dengan
jarak tempuh yang jauh, bisa saja kawasan kepulauan menjadi daerah tertinggal dari
percaturan pembangunan kabupaten pusat. Kedua, daerah kepulauan ditandai dengan
wilayah pemukiman masyarakat pesisir dan suku laut. Dimana komunitas kepulauan
sangat berbeda dengan komunitas daratan. Komunitas kepulauan terbiasa hidup
terpisah dengan kemajuan daerah daratan. Kehidupan masyarakat pesisir sangat
tergantung pada musim. Ketiga, membangun daerah kepulauan sangat bervariasi,
tergantung kepada besarnya pulau-pulau dan lanskap tanahnya. Dengan demikian,
perlu pemahaman khusus, bagaimana seni membangun daerah kepulauan. Bagaimana
percepatan pembangunan dapat diwujudkan sebagai salah satu bentuk mempercepat
pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Daerah-daerah kepulauan ditandai dengan berbagai dimensi kesempatan yang
dimilikinya. Diantara beberapa prospek yang perlu dikelola kemudian adalah begitu
unggulnya sumber daya laut yang dimiliki. Sehingga setidaknya beberapa aspek
berikut dapat dijadikan sebagai daya tarik daerah kepulauan adalah sebagai berikut:
a. Pengakuan antarpulau. Pengangkutan antarpulau membutuhkan bisnis ikutan,
termasuk sarana dan prasarana pelabuhan.
b. Wisata Penyelaman. Wisata penyelaman pada titik lokasi yang indah alam
dalam pantainya, terumbu karang, berbagai jenis ikan dan fauna lainnya dapat
menjadikan daya tarik tersendiri.
35
c. Eksplorasi potensi laut seperti minyak dan gas bumi. Upaya eksplorasi
minyak dan gas lepas pantai juga memungkinkan berkembangnya daerah
kepulauan.
d. Wilayah pesisir pantai yang indah. Kualitas pasir dan kelandaian pantai juga
dapat menjadikan kawasan kepulauan menjadi daya tarik tersendiri,
khususnya bagi pelancong yang menyukai olahraga tepian pantai.
e. Penangkapan ikan komersial dan budidaya ikan komersial. Selain
penangkapan komersial, kemudian budidaya ikan juga sangat potensial
dikembangkan di daerah kepulauan. Khususnya bagi daerah dimana kualitas
airnya dan suhu sesuai dengan kondisi teknis air untuk budidaya.
f. Pengembangan binatang dan tumbuhan laut. Pengembangan tumbuhan laut
seperti rumput laut serta pembudidayaan mutiara adalah komoditas-komoditas
yang juga memberukan nilai yang tinggi di pasar.
g. Wisata terumbu karang. Terumbu karang selain budidayanya, juga memiliki
lanskap dan kecantikan tersendiri. Pembudidayaan dan pelestariannya adalah
gerakan yang juga penting pada masa yang akan datang.
h. Penangkaran ikan langka.
i. Fasilitas pariwisata, berupa hotel, restoran dan sebagainya.
j. Kegiatan olahraga bahari, seperti selancar angin, jet cross, layar, perahu cepat,
perahu naga dan sebagainya.
k. Binatang langka kepulauan; seperti Komodo, Kupu-kupu, Kera dan lainnya.
Menjelajahi Pemahaman Suku Laut
Suku laut sangat tergantung pada kemurahan dan kemurkaan alam.
Determinisme geografis ini ditunjukkan pada kemampuan melakukan adaptasi
naturan dengan musim yang berubah. Faktor internal misalnya berkembang adanya
perasaan rendah diri (sense of inferiority complex), tumbuhnya budaya kemiskinan
(the culture of poverty) yang transgenerasional. Mereka miskin karena miskin (the
poverty of culture). Sedangkan kondisi eksternal berkaitan dengan lingkaran setan
kemiskinan dan keterpinggiran (the vicious circles of poverty and marginalization)
adalah ketidakmampuan pemerintah membuat suatu pola pengentasan kemiskinan
yang terstruktur dan berkeseinambungan.
Suku laut seringkali hanya dianggap sebagai obyek dari pembangunan, juga
menjadi obyek dari sejumlah LSM yang menjadikan mereka pemalas berbudaya
fatalism. Kegiatan dalam bentuk “cash and crash program” memang diperlukan tetapi
36
harus bersifat permberdayaan buan pemberian sumbangan. Marjinalisasi suku laut
diperparah dengan phenomena stereotype sosial yang cenderung menyisihkan mereka
dalam tatanan pergaulan sosial yang luas di tingkat kampung atau pulau bahkan kota.
Judul
: Analisis Keberlanjutan Lilifuk: Tinjauan Persepsi
Masyarakat Lokal
Tahun
: 2009
Jenis Pustaka
: Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektonik
Nama Penulis
: Maharani Yulisti, Nendah Kurniasari dan Christina
Yuliaty
Nama Jurnal
: Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Volume(Edisi):hal
: 9(1)
Alamat URL/doi
:
Tanggal diunduh
: 7 Mei 2015
Penelitian ini mengkaji persepsi masyarakat mengenai keberlanjutan Lilifuk di
Kabupaten Kupang. Lilifuk adalah kawasan di laut berbentuk kolam yang tergenang
saat surut sehingga ikan terperangkap di dalamnya. Penelitian ini dilaksanakan di
Desa Bolok dan Desa Kuanheum, Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang pada
Oktober 2012 dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode studi kasus dan
triangulasi digunakan dalam penelitian ini. Wawancara mendalam dilakukan terhadap
tetua adat, kepala desa, dan perwakilan lembaga swadaya masyarakat. Data diambil
dari 30 responden dan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.
Pendahuluan
Pengelolaan sumberdaya alam merupakan upaya pelestarian dan perlindungan
keanekaragaman biologi pada tingkat genetik, spesies, ekosistem, serta menjamin
kekayaan alam, binatang dan tumbuhan di seluruh kepulauan Indonesia. Sumberdaya
alam yang lestari dapat menjamin keberlanjutan produksi dan pendapatan masyarakat
yang pada akhirnya akan bedampak pada kesejahteraan (Mitchell et al., 2000).
Kearifan lokal masyarakat adat merupakan segala bentuk pengetahuan, keyakinan
pemahaman maupun wawasan serta adat istiadat atau etika masyarakat yang
menuntun perilaku kehidupan mereka di dalam komunitas ekologisnya (Keraf, 2010).
Keberadaan Lilifuk di Kabupaten Kupang merupakan suatu bentuk kearifan lokal
37
dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Peran serta masyarakat dalam pengelolan
suatu daerah perlindungan laut berbasis masyarakat dalam bentuk kearifan lokal
merupakan wujud tanggung jawab masyarakat dalam menjaga dan melestarikan
sumber daya kelautan dan perikanan sehingga dapat memberi manfaat bagi
masyarakat sekitarnya. Kajian mengenai persepsi masyarakat terhadap suatu
pengelolaan sumberdaya mutlak diperlukan untuk mengetahui sejauh mana peran
masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tersebut.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Kombinasi
metode studi kasus dan triangulasi digunakan dalam penelitian ini yang memadukan
pengamatan, wawancara dan analisis dokumen (Sitorus, 1998). Menurut Idrus (2009),
studi kasus merupakan desain penelitian pada pendekatan kualitatif maupun
kuantitatif yang mempelajari suatu individu maupun unit sosial tertentu secara
mendalam yang bersifat alami, holistik, mengandung unsur budaya, serta memiliki
pendekatan fenomologi. Kelebihan dari metode ini adalah dapat saling menutupi
kelemahan antara satu metode tersebut dengan metode lainnya sehingga hasil yang
diharapkan mengenai realitas sosial ini lebih valid menggambarkan kearifan lokal
masyarakat kelautan dan perikanan dalam pengelolaan dan pelestarian sumberdaya
Lilifuk dan mekanismenya. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari
data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari analisis dokumen yang
bersifat hasil penelitian seperti buku, makalah, dan skripsi. Untuk pengumpulan data
primer, dilakukan dengan pengamatan dan wawancara mendalam (indepth interview)
serta wawancara yang dipandu dengan instrumen penelitian berupa kuesioner.
Data yanag diperoleh dianalisis dengan kombinasi metode kualitatif dan
kuantitatif. Hasil wawancara indepth interview dianalisis dengan cara deskriptif
interpretatif, yaitu peneliti memaparkan data secara keseluruhan kemudian
menginterpretasikan dengan melalui tahapan sebagai berikut:
1. Pengorganisasian data, pada proses ini data dipilh dan diurutkan yang sesuai
dengan kajian yang dilakukan
2. Pemaknaan dengan ciri signifikasi, selanjutnya dihubungkan dengan idealisasi
deskripsi yang dihasilkan disesuaikan dengan teori.
3. Mendeskripsikan data sebagai hasil analisis dalam bentuk laporan
4. Membuat simpulan tentang hasil analisis
5. Verifikasi atau memeriksa kembali.
38
Hasil dan Pembahasan
Lilifuk merupakan suatu kawasan di perairan laut yang berbentuk kolam yang
tergenang pada saat air laut surut. Lilifuk ini ditutup dari aktivitas penangkapan ikan
sehari-hari dan dibuka untuk sekali atau dua kali dalam setahun sesuai dengan
kesepakatan untuk dimanfaatkan. Lilifuk tersebut merupakan hak milik dari suatu
suku tertentu dengan pengelolaannya dilindungi oleh hukum adat.
Batas-batas wilayah Lilifuk ditutup sebagai daerah konservasi. Batas tersebut
juga diberi tanda. Awalnya tanda diberikan berupa batu. Namun karena batu-batu
tersebut sering dibongkar pada saat dibuka, maka batas tersebut diganti dengan
menggunakan kayu. Kepemilikan Lilifuk oleh suatu suku tertentu adalah karena
sejarah awalnya ditemukan wilayah tersebut oleh salah satu anggota suku tersebut
sehingga diklaim sebagai miliknya secara adat.
Komponen masyarakat yang berperan dalam kearifan lokal pengelolaan
Lilifuk terbagi dalam 5 unsur yaitu tokoh agama, tokoh adat, pemerintah desa,
masyarakat dan orang luar desa. Tokoh adat memiliki peran sebagai penjaga sumber
daya tersebut khususnya ikan yang ada di dalam Lilifuk serta membantu pemerintah
desa dalam menghimpun informasi tentang adanya gangguan pencurian ikan di dalam
wilayah tersebut. Tokoh agama dan pemerintah desa bersama-sama memiliki peran
sebagai pengambil kebijakan, pertimbangan, serta pemberian dukungan di dalam
penerapan aturan yang sudah dibuat. Masyarakat memiliki peran menjaga daerah
tersebut dan mentaati peratuan yang sudah dibuat dalam rangka Lilifuk tersebut.
Penangkapan ikan pada saat dibukanya Lilifuk dilakukan oleh masyarakat
desa maupun dari luar desa tersebut. Penangkapan ikan tersebut biasanya dilakukan
dalam dua hari tergantung dari keputusan pemilik Lilifuk. Pembukaan Lilifuk
biasanya dimulai dengan pesta adat dan ritual agama sebelum dilakukannya panen
ikan di wilayah tersebut. Lilifuk merupakan suatu bentuk hak ulayat laut. Hak
penguasaan masyarakat hukum atas tanah, air sungai, pantai, tumbuh-tumbuhan liar,
satwa liar di dalam lingkungan guna kepentingan masyarakat hukum sendiri dan
anggota-anggotanya serta orang luar yang membayar retribusi untuk itu dinamakan
hak ulayat (Hanaf, 1994 dalam Yulianto, 2008). Hal ini diperkuat oleh UU. No. 22
Tahun 1999 yang merupakan kekuatan hukum yang mengakui eskstensi institusi
lokal yang ada di beberapa daerah dalam mengelola sumberdaya ikan.
Beberapa manfaat diperoleh oleh masyarakat dari Lilifuk ini, baik mafaat
ekonomi, sosial maupun lingkungan. Manfaat ekonomi yang dirasakan oleh
masyarakat adalah manfaat individu maupun rumah tangganya karena dapat
menambah penghasilan dari penangkapan ikan pada saat buka Lilifuk. Manfaat sosial
dirasakan oleh masyarakat untuk kehidupan kelompok atau lingkungan sosialnya
seperti meningkatkan hubungan sosial antara satu rumah tangga dengan rumah tangga
lainnya serta menjaga hubungan sosial dengan tetangga sekitarnya yang ikut pada
39
waktu buka Lilifuk, bahkan dengan masyarakat di luar desa tersebut. Lilifuk ini juga
memberikan manfaat bagi lingkungan ekologinya. Dengan menerapkan penutupan
Lilifuk selama setahun, maka ikan yang ada di sekitarnya ikut terjaga. Ikan akan
terlebih dahulu besar dan memijah sehingga keberlanjutan sumber daya ikan terjaga,
disamping sumber daya perikanan lainnya. Dengan adanya Lilifuk, masyarakat akan
menjaga lingkungannya dengan baik dengan tidak membuang sampah sembarangan
di laut dan pantai dan tidak menggunakan alat tangkap yang merusak sumber daya.
Keberlanjutan Lilifuk akan selalu dijaga oleh masyarakat, karena dengan merusaknya
berarti masyarakat akan mendapatkan dampaknya juga.
Selain manfaat dan kendala dalam Lilifuk, mekanisme pengambilan keputusan
dalam Lilifuk juga penting dalam keberlanjutan Lilifuk. Hal ini akan mempengaruhi
masyarakat untuk mengambil sikap dalam mendukung keberlanjutan atau sebaliknya
menghilangkan Lilifuk. Selain itu, sayangnya dalam pelaksanaan pengelolaan Lilifuk
ini tidak ada zona inti di dalamnya yang dapat menjaga kelestarian sumber daya
secara berkelanjutan. Perdes yang sedang disusun oleh pemerintah desa atas
keinginan masyarakat yang didukung oleh lembaga swadaya masyarakat setempat
menginisiasi zona inti yang harus dikelola dalam Lilifuk.
Lilifuk memiliki manfaat yang cukup besar bagi masyarakat, maka perlu
dipikirkan bagaimana menjaga keberlanjutan Lilifuk. Sebanyak 31% responden dari
penelitian ini menyatakan bahwa masyarakat harus menjaga dan melindungi
kelestarian serta memperbaiki lingkungan merupakan prioritas utama untuk menjaga
keberlanjutan Lilifuk. Dukungan dan pengawasan pemerintah diperlukan dalam
keberlanjutan Lilifuk merupakan prioritas kedua menurut masyarakat dengan jumlah
responden sebanyak 27.3% karena menurut pendapat masyarakat bahwa perhatian
pemerintah daerah masih kurang dalam menjaga kelestraian Lilifuk. Lebih lanjut,
sebanyak 19.1% responden menyebutkan perlunya penerapan aturan dan sanksi
hukum yang tegas, sehingga pelanggaran terhadap aturan yang telah disepakati harus
diberi sanksi sesuai dengan aturan yang telah disepakati.
Kesimpulan
Lilifuk bermanfaat secara berkelanjutan bagi masyarakat baik secara ekonomi,
sosial, maupun lingkungannya namun harus memperhatikan aspek-aspek pengelolaan
berkelanjutan. Masyarakat lokal yang terlibat dan yang mendapatkan dampak dari
pengelolaan tersebut baik langsung maupun tidak langsung dapat berperan serta
memberikan kontribusi yang nyata dalam menjaga keberadaan Lilifuk.
40
Judul
: Lubuk Larangan: Dinamika Pengetahuan Lokal
Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya
Perikanan Perairan Sungai di Kabupaten Lima Puluh
Kota
Tahun
: 2014
Jenis Pustaka
: Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektonik
Nama Penulis
: Christina Yuliaty dan Fatriyandi Nur Priyatna
Nama Jurnal
: Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Volume(Edisi):hal
: 9(1)
Alamat URL/doi
:
Tanggal diunduh
: 7 Mei 2015
Tulisan ini menggambarkan bagaimana masyarakat lokal memiliki
pengetahuan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan perairan sungai. Pengetahuan
ini berwujud nilai kearifan lokal, falsafah hidup, religi dan norma-norma hukum lokal
yang digunakan dalam pemanfaatan sumber daya. Penelitian dilaksanakan pada tahun
2012 pada masyarakat Minang Nagari Sialang Kecamatan Kapur IX, Kabupaten
Lima Puluh Kota Sumatera Barat yang menetap di daerah aliran sungai Batang
Kapur. Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan data
dilakukan dengan cara observasi langsung, wawancara mendalam dan diskusi
kelompok terarah. Analisis deksriptif kualitatif dilakukan melalui pendekatan studi
kasus terkait dengan pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya perikanan
perairan sungai secara lokal.
Pendahuluan
Kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya muncul
dalam bentuk pantangan atau larangan. Keduanya memiliki landasan filosofis yang
berbeda. Pantagan memiliki corak religio-magis sementara larangan terkait dengan
aturan hukum adat (Lubis, 2005). Meskipun memiliki landasan yang berbeda,
keduanya berpihak pada keseimbangan alam dan jaminan kehidupan bagi anggota
masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya berbasis kearifan lokal ini sudah didukung
oleh keluarnya UU No. 32 Tahun 2009. Solihin & Satria (2007) menyatakan bahwa
solusi untuk mengatasi permasalahan terkait pengelolaan sumber daya adalah dengan
pemberian hak pengelolaan kepada masyarakat lokal sesuai dengan keadaan sosial,
ekonomi, politik, budaya, dan karakteristik sumber daya di sekitarnya.
41
Lubuk larangan merupakan salah satu bentuk kearifan yang berkembang pada
masyarakat lokal dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan perairan sungai di
Sumatera Barat. Lubuk larangan tersebut merupakan perwujudan prinsip konservasi
yang dilakukan oleh masyarakat terhadap sumber daya perikanan perairan sungai.
Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan pengetahuan lokal masyarakat Minang
dalam pengelolaan sumber daya perikanan di sungai yang dinamakan Lubuk
Larangan. Juga bertujuan untuk mengkaji dinamika pengetahuan yang terjadi.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Tan (1994)
menuliskan bahwa penelitian yang bersifat deksriptif bertujuan menggambarkan
secara tepat sifat-sifat suatu individu-individu, keadaan, gejala, atau untuk
menentukan frekuensi atau persebaran. Data yang digunakan adalah data primer yang
diperoleh melalui penelitian lapangan (field research) dalam bentuk observasi
lapangan, wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah (foucus group
discussion). Observasi lapangan dilakukan untuk melihat secara langsung dan
mencatat kondisi lubuk larangan, pembagian zona lubuk dan aktivitas masyarakat di
sekitar lubuk larangan. Wawancara mendalam dilakukan dengan informan kunci (key
informant) untuk memperoleh data mengenai sejarah, aturan lubuk larangan,
pelaksanaan penegakan aturan serta pengawasannya. Sementara itu data sekunder
diperoleh dari kepustakaan (library research) terkait dengan hasil penelitian
sebelumnya baik mengenai kearifan lokal, pengetahuan lokal dan pengelolaan sumber
daya. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, melalui proses
editing dalam kategorisasi dan penafsiran data (Moloeng, 2006).
Tabel 1. Metode yang Digunakan, Status Informan dan Jenis Informasi
Metode yang
Digunakan
Purposive Sampling
Status Informan
Tetua Adat
Wali
Desa)
Nagari
Jenis Informasi
Sejarah
dan
latar
belakang
pengelolaan
sumberdaya
(Kepala Sejarah desa dan peran
serta pemerintah dalam
pengelolaan sumber daya
Ketua POKMASWAS
Pelaksanaan pengawasan
pada kawasan Lubuk
Larangan
42
Hasil dan Pembahasan
Lubuk larangan adalah model pengelolan perikanan yang berbasiskan
masyarakat dengan cara melakukan penutupan sementara suatu kawasan
penangkapan ikan di perairan umum daratan, khususnya daerah aliran sungai dalam
kurun waktu tertentu. Lubuk larangan ditandai oleh perbedaan kecepatan aliran
sungai. Wilayah yang relatif tenang aliran sungainya ditetapkan sebagai wilayah
lubuk larangan, karena umumnya pada daerah yang tenang ikan berkembang biak
(Suhana, 2009). Pemanfaatan ikan pada lubuk larangan ditujukan untuk
pembangunan masjid dan pembiayaan kegiatan nagari. Masyarakat atau warga nagari
hanya dapat melakukan penangkapan ikan di zona pemanfaatan yang terletak di luar
zona inti.
Lubuk larangan memiliki 3 fungsi, yaitu ekologi, ekonomi dan sosial budaya.
Fungsi ekologis adalah melindungi keberadaan jenis ikan lokal, menjadi lokasi
pemijahan ikan, menjaga kebersihan lingkungan sungai. Secara ekonomi berfungsi
untuk membuka lapangan pekerjaan saat lubuk larangan menjadi sarana rekreasi dan
menjadi sumber penghasilan tambahan saat lubuk larangan dibuka, sumber dana bagi
pembangunan desa, menjadi sumber ketahanan pangan bagi masyarakat. Secara sosial
budaya larangan berfungsi melestarikan kearifan lokal yang berasal dari nenek
moyang mereka, kelestarian lubuk larangan juga ikut serta melestarikan kelembagaan
adat, menjadi sarana untuk meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kelestarian
sumber daya (Yliaty et al., 2010).
Lubuk larangan mengatur bagaimana masyarakat memperlakukan alamnya,
sumber daya yang menjadi sumber penghidupan mereka. Aturan ini berisi pertama
tentang wilayah mana dari sungai yang menjadi lubuk larangan. Kedua, pembagian
zona dalam lubuk larangan, mana yang menjadi zona inti, pemanfaatan maupun zona
penyangga. Ketiga, sanksi sosial maupun sanksi ekonomi atau denda. Pengelolaan
Lubuk Larangan Anak Nagari merupakan hasil kesepakatan atau kesepakatan
bersama dari Kerapatan Adat Nagari (KAN), Wali Nagari, tokoh pemuda dan tokoh
agama. Kerapatan adat Nagari sendiri adalah lembaga permusyawaratan nagari.
Lubuk larangan Anak Nagari hanya membagi wilayah perairan menjadi dua zona,
yaitu zona inti dan zona produktif (pemanfaatan). Hal ini sedikit berbeda dengan
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Data Ikan yang
membagi zona konservasi menjadi tiga, yaitu zona inti, zina penyangga, dan zona
pemanfaatan. Zona inti di dalam lubuk larangan berfungsi sebagai zona konservasi.
Zona ini merupakan zona perlindungan dan pelestarian sumberdaya perikanan yang
dikhususkan bagi perkembangbiakan ikan sehingga tidak boleh dimanfaatkan.
Pengikatan wilayah larangan pada lubuk larangan dilakukan melalui proses
pemberian mantera atau yang disebut dengan uduh. Uduh berfungsi sebagai mantra
43
yang bertujuan untuk memagari lubuk sehingga tidak ada pencurian. Penguduhan
dinilai efektif dalam pelaksanaan lubuk larangan. Penguduhan ini membuktikan
bahwa kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya memang umumnya dikemas
dalam terminologi pantangan yang menunjukkan corak religious-magis dan larangan
yang berbentuk aturan hukum adat, yang meskipun memiliki landasan yang berbeda
namun keduanya memberi efek positif bagi konservasi sumber daya (Lubis, 2005).
Lubuk Larangan sebagai Mekanisme Distribusi Hak
Berdasarkan Peraturan Nagari (PERNAG) Sialang No. 02 tahun 2011,
distribusi penerima manfaat hasil panen untuk Lubuk Larangan Anak Nagari atau
Pantai Lokna, sebagai berikut:
a. Kas Pemuda Nagari dan Pemuda Jorong sebesar 50%
b. Operasional Pokmaswas sebesar 20%
c. Pemberdayaan Adat sebesar 10%
d. Pemerintah Adat Nagari Sialang 10%
e. Lembaga Swadaya Nagari 10%
Pembukaan Lubuk Larangan umumnya untuk membiayai kegiatan nagari,
seperti pembangunan fisik nagari dan kegiatan kemasyarakatan. Antara lain
pembiayaan kegiatan perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan, Upacara Adat
‘Pulang Mamak’ yaitu acara dimana semua anggota masyarakat nagari berkumpul
termasuk yang sudah merantau yang diadakan bertepatan dengan Hari Raya Lebaran.
Kontekstualisasi dan Dinamika Lubuk Larangan
Pengetahuan lokal seperti halnya budaya bukan sesuatu yang terberikan dan
memiliki sifat yang tetap, melainkan bersifat dinamis karena manusia sebagai bagian
dari masyarkat mengalami proses belajar sepanjang hidupnya. Kontak dengan pihak
luar, interpretasi individu dapat menjadi penyebab terjadinya perubahan (Winarto &
Choesin, 2001). Hal ini juga terjadi dalam Lubuk Larangan. Saat ini penggunaan
unduh mengalami pergeseran. Dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.,
pengunduhan mengalami proses kontekstualisasi. Unduh saat ini diganti dengan doa
yang bernafaskan Islam yang kemudian termanifestasi dalam pembagian wilayah
zona pemanfaatan lubuk larangan berdasarkan kepentingan organisasi keagamaan
yang ada di nagari. Dinamika pengelolaan Lubuk Larangan juga terjadi akibat adanya
perubahan struktur pemerintah. Berlakunya sistem pemerintahan desa sebagai hasil
adopsi dari sistem pemerintahan di Jawa sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1979 turut
mempengaruhi sistem lubuk larangan. Saat ini pemilihan kepala desa ditentukan
langsung oleh pejabat di atasnya (Camat). Pemerintah membentuk Lembaga
Musyawah Desa (LMD) yang di dalamnya terdapat unsur ninik mamak. Namun
44
fungsi pengawasan terhadap pemerintah tidak dapat dilakukan oleh kedua lembaga
ini sebab keduanya dipilih oleh kepala desa (Astuti et al., 2009).
Kesimpulan
Praktik pengelolaan sumber daya seperti Lubuk Larangan ini dapat menjadi
bahan dalam pengembangan pengelolaan sumber daya di Indonesia. Yang perlu
diperhatikan, pertama, penyempurnaan bentuk pengelolaan Lubuk Larangan ataupun
praktek pengelolaan sumber daya lainnya sehingga tidak terjebak dalam
romantismenya saja. Kedua, pengelolaan sumber daya yang ada di suatu masyarakat
tidak serta merta dapat diterapkan di masyarakat lain. Penyempurnaan bentuk
pengelolaan sumber daya dengan melalui pengayaan dan pembaharuan pengetahuan
lokal perlu dilakukan tanpa melupakan kedinamisan sebuah pengetahuan sehingga
tercipta pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan.
Judul
: Konstruksi Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan di Indonesia
Tahun
: 2011
Jenis Pustaka
: Buku
Bentuk Pustaka
: Cetak
Nama Penulis
: Luky Adrianto
Buku ini disusun untuk mengelaborasi beberapa praktik pengelolaan
perikanan lokal, baik yang berbasis pada adat yang saat ini berlaku maupun dari hasil
kesepakatan lokal yang digunakan sebagai dasar bagi pengelolaan perikanan. Dengan
menggunakan pendekatan investigasi in-situ, tinjauan kritis terhadap peluang adopsi
kelembagaan lokal/adat dalam pengelolaan perikanan formal dilakukan. Melalui
tinjauan kritis ini, diidentifikasi beberapa pintu masuk (entry points) dari adopsi
pengelolaan perikanan berbasis kelembagaan lokal/adat terhadap pengelolaan
perikanan sesuai dengan amanat UU Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan,
khususnya Pasal 6.
Buku ini disusun menggunakan struktur sebagai berikut. Bab I menyajikan
pendahulan yang berisi pentingnya pemahaman tentang pengelolaan perikanan yang
efektif, mengadopso pengetahuan lokal/adat, dan berbasis ko-manajemen. Kemudian
diikuti dengan Bab 2 yang menyajikan kerangka teoritik adopso pengetahuan
lokal/adat dalam pengelolaan perikanan. Bab 3 mengulas kerangka pengelolaan
perikanan di Indonesia yang menggunakan basis pengetahuan lokal/adat, dimana
45
disajikan sembilan jenis pengelolaan perikanan berbasis pengetahuan lokal/adat. Bab
ini diikuti dengan Bab 4 yang membahas kerangka adopsi pengetahuan lokal/adat ke
dalam pengelolaan perikanan dalam konteks saat ini dan peluangnya di masa depan.
Terakhir, Bab 5, menyajikan beberapa pointers kesimpulan yang dapat diambil dari
adopsi pengetahuan lokal/adat ke dalam pengelolaan perikanan di Indonesia.
Pendahuluan
Praktik-praktik hukum adat laut seperti Sasi di Maluku dan Papua, Panglima
Laot di Aceh atau awig-awig di Bali dan Nusa Tenggara Barat merupakan sedikit dari
banyaknya contoh sistem adat perikanan ini. Namun dalam perkembangannya,
praktik ini tereduksi oleh rezim pengelolaan yang didominasi oleh pemerintah
(command and control regime). Sebagai akibatnya, peran komunitas lokal menjadi
terduksi, hanya menjadi obyek pembangunan daripada subjek. Reduksi peran
komunitas membuat pengelolaan perikanan menjadi tidak efisien. Pengelolaan
perikanan melibatkan banyak pihak seperti pemerintah, nelayan, pembudidaya ikan,
pengolah ikan, Perguruan Tinggi/Lembaga Riset/LSM, hingga pengguna sumber
daya lain. Dengan kompleksitas tersebut, kontekstual pengelolaan perikanan
(fisheries management) kemudian berevolusi menjadi tata kelola perikanan (fisheries
governance). Dalam kerangka hukum, UU No. 31/2004 tentang perikanan
menyebutkan dengan jelas bahwa pengelolaan perikanan dilakukan dengan prinsip
kemitraan seperti yang tercantum dalam Pasal 2 UU No.31/2004, yaitu: “pengelolaan
perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan,
keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.”Selanjutnya,
pengelolaan perikanan juga harus mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal
seperti yang diamanatkan dalam Pasal 6 UU No. 31/2004, yaitu: “pengelolaan
perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus
mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran
masyarakat.” Dengan uraian tersebut, kerangka pembentukan dan implementasi
pengelolaan perikanan di Indonesia yang berbasis pada pengetahuan lokal dan
dilaksanakan secara kolaboratif sudah tersedia. Tinggal membutuhkan dukungna
politik yang lebih kuat dengan berpijak pada prinsip-prinsip pengelolaan perikanan
berkelanjutan dan berbasis ekosistem.
Kerangka Teori Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan Perikanan
Hukum adat memiliki dua unsur yaitu: (1) unsur kenyataan, bahwa adat itu
dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat; dan (2) unsur psikologis,
bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, artinya adat mempunyai kekuatan
hukum (Wingjodipoero 1967). Oleh karena itu, unsur inilah yang menimbulkan
adanya kewajiban hukum (opinioyuris necessitatis). Selanjutnya, Wingjodipoero
(1967) menjelaskan bahwa di dalam kehidupan masyarakat hukum adat, umumnya
terdapat tiga bentuk hukum adat, yaitu:
46
1. Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum); merupakan bagian yang
terbesar.
2. Hukum yang tertulis (jus scriptum); hanya sebagian kecil saja, misalnya
peraturan perundang-udnagan yang dikeluarkan oleh raja-raja atau sultan.
3. Uraian-uraian hukum secara tertulis, lazimnya uraian-uraian ini adalah suatu
hasil penelitian (research) yang dibukukan.
Menurut Gadgil, Berkes and Folke (1993) dalam Berkes (1995), pengetahuan
tradisional/lokal adalah kumulatif penetahuan dan kepercayaan (beliefs) secara turun
menurun antar generasi tentang kehidupan masyarakat baik terkait antarindividu
dalam masyarakat maupun hubungan antara masyarakat dan lingkungan. Secara
sederhana, pengetahuan lokal dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang
digunakan oleh komunitas untuk bertahan hidup dalam sebuah tipe lingkungan
tertentu (Pameroy and Rivera-Guieb, 2006).
Sementara itu, Ruddle (2000) menyatakan bahwa praktik pengelolaan
perikanan berbasis pengetahuan lokal/adat (local/customary knowledge) paling tidak
memiliki 4 ciri umum yaitu, bahwa: (1) praktik ini sudah berlangsung lama, empiris
dan dilakukan di suatu tempat (spesifik terhadap lokasi tertentu), mengadopsi
perubahan-perubahan lokal, dan dalam beberapa hal sangat detil; (2) praktik ini
bersifat praktis, berorientasi pada perilaku masyarakat, tidak jarang spesifik untuk
tipe sumber daya dan jenis ikan tertentu yang dianggap sangat penting; (3) praktik ini
bersifat structural, memiliki perhatian yang kuat (strong awareness) terhadap sumber
daya dan lingkungan sehingga dalam beberapa hal sesuai dengan konsep-konsep
ilmiah ekologis dan biologis, misalnya dalam konteks konektivitas ekologis dan
konservasi sumberdaya perairan; dan (4) praktik ini sangat dinamik sehingga adaptif
terhadap perubahan dan tekanan-tekanan ekologis (ecological perturbations) dan
kemudian mengadopsi adaptasi terhadap perubahan tersebut ke dalam inti dari
pengetahuan lokal yang menjadi basis pengelolaan perikanan.
Praktik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Kearifan Lokal
Bentuk sasi di daerah Ambalau diberlakukan pada dua bentuk jenis
sumberdaya, yaitu untuk sumberdaya di laut disebut dengan Sasi Laut. Sasi darat
mengatur sumberdaya hutan (kayu dan rotan) serta pertanian dan perkebunan
(kelapa, cengkeh, kakao dan pala). Sedangkan sasi laut mengatur pemanfaatan hasil
laut berupa kima (Tridacna), lola (Trochus niloticus), teripang/timun laut
(Holothuroidea), lobster (nephropidae) yang bagi masyarakat Ambalau merupakan
hasil laut milik bersama (common property).
Pada praktiknya, hukum sasi laut di Pulau Ambalau telah dipahami dan secara
turun temurun berlaku. Dalam implementasinya, sasi telah menjadi mekanisme
pengaturan yang sangat efektif karena masyarakat Ambalau sangat menghormati
47
hukum adat tersebut, sebagaimana juga menghormati hukum agamanya (Islam).
Meskipun demikian, beberapa kali terjadi juga pelanggaran terhadap aturan-aturan
sasi sehingga berlaku sanksi terhadap pelanggarnya. Dalam perjalanannya, sasi di
Ambalau telah mengalami evolusi kelembagaan, jika tadinya sasi terkait hanya
dengan adat, maka seiring dengan waktu, maka sasi menjadi bagian praktik
kehidupan sosial yang menyatu dengan lembaga agama.
Pengaturan sasi lebih menyangkut pada ketersediaan sumberdaya alam yang
disasi. Masyarakat Pulau Ambalau walaupun wilayahnya dikelilingi oleh laut, tapi
tidak semuanya bergantung ke laut. Hanya komoditas tertentu saja yang disasi seperti
teripang yang laku di pasaran. Penutupan sasi dilakukan melalui pengumuman di
masjid setelah diadakan musyawarah di tingkat masyarakat. Penutupan ini biasanya
memakan waktu sampai 2 tahun, sampai dianggap bahwa komoditas tersebut sudah
melimpah kembali sumber dayanya. Sedangkan pembukaan sasi, yang didahului oleh
upacara adat biasanya dilakukan selama 2-3 minggu, untuk diambil manfaatnya untuk
kepentingan masyarakat atau untuk kemakmuran masjid. Bagi pelanggar, akan
dikenakan sanksi berupa sanksi adat dan sanksi ekonomi. Sanksi adat lebih bersifat
pembuktian terhadap kebenaran pelanggaran yang dilakukan, yang berakibat pada
kecelakaan jika tertuduh terbukti melakukan pelanggaran. Sanksi ekonomi dilakukan
dengan membayar sebesar Rp 75000 per komoditi yang diambil dan digunakan untuk
kemakmuran masjid. Masyarakat memegang peran sebagai kontrol sosial terhadap
aturan ini. Bila ada yang melanggar, masyarakat melaporkan pelanggaran ini kepada
imam masjid dan dihadirkan saksi untuk memperkuat tudingan tersebut. Sedangkan
pelanggar juga diberi hak untuk membela.
48
Jenis
Kearifan
Lokal
Batas
pengelolaan
Sistem Aturan
Sistem Hak
Sistem Sanksi
Monitoring
dan
Evaluasi
Otoritas
Sasi
Laut
Berbasis
Masjid
di
Pulau
Ambalau
Kabupaten
Buru
Selatan
Seluruh
wilayah laut di
desa tersebut,
dengan tanda
batas wilayah
darat
yang
biasanya
berupa tanda
alam (natural
sign) seperti
tanjung,
karang,
dan
pulau, tegak
lurus ke arah
laut,
sedangkan
batas wilayah
dari arah darat
ke arah laut
sampai pada
meti,
batas
pasang surut
Belum dibuat
secara tertulis,
sehingga tidak
ada
aturan
baku. Namun
demikian
seluruh warga
sangat paham
dengan aturan
yang belaku.
Tidak diatur
oleh satu pihak
secara
eksklusif
karena
sumberdaya
besifat
common
property.
Selain
hak
memanfaatkan
, masyarakat
juga
punya
hak
untuk
terlibat dalam
pengambilan
keputusan dan
pengawasan.
Terdapat
sanksi adat dan
sanksi
ekonomi
Dilakukan
secara
bersamasama.
Terdapat
untus
kesetaraan
dalam
hak
(equality)
termasuk hak
mengawasi.
Tidak
dikenal
secara
khusus
struktur organisasi
resmi
pengelola
sasi, namun semua
masyarakat
menyepakati
bahwa
setiap
keputusan harus
dimusayawarahka
n.
49
air laut.
Rompong di
Pulau
Barrang
Caddi, Kota
Makassar
Radius kurang
lebih 1 hektare
dari romping
tidak
boleh
melakukan
penangkapan
ikan
tanpa
seijin pemiliki
rompong
Tidak
ada
aturan tertulis.
Terdapat aturan
bagi
hasil
penangkapan
ikan
antara
parrompong
dengan nelayan
yang umumnya
20:80
Hak
kepemilikan
secara pribadi
oleh
parrompong
Tidak
ada
sistem sanksi
yang bersifak
kaku
karena
penyelesaian
pelanggaran
diadakan
secara
kekeluargaan.
Di
beberapa
lokasi
di
Sulawesi
Selatan,
ada
sanksi berupa
pelemparan
batu ke kapal
yang
melanggar
sampai
pembakaran
perahu.
Pemantauan
sehari-hari
dilakukan
parrompong
karena sifat
kepemilikan
yang
individual
Parrompong
mempunyai
hak
untuk memberikan
akses kepada para
nelayan atau untuk
sport fishing.
Awig-awig
di Lombok
Barat bagian
Utara
Sejauh 3 mil
dari
pinggir
pantai
dan
bersifat
eksklusif,
menggunakan
Dipengaruhi
oleh
aturan
pemerintah
dalam
menciptakan
pengelolaan
Bersifat
individual,
asalkan
alat
yang
digunakan
sesuai aturan
Jika
melanggar,
akan membuat
surat
pernyataan
tidak
akan
Kegiatan
pemantauan
sehari-hari
dilakukan
oleh segenap
pengurus
Dipengaruhi oleh
hukum
formal
yang diamanahkan
kepada pemerintah
daerah setempat.
50
tanda
atau
batas
alam
seperi wilayah
terumbu
karang.
sumberdaya
kelautan
dan
perikanan yang
berkelanjutan.
Aturan secara
tertulis
yang
disepakati.
Untuk nelayan
luar,
harus
menggunakan
surat izin dari
dinas kelautan
dan perikanan
setempat
mengulangi
perbuatannya
dan
denda
uang maksimal
Rp 10.000.000
untuk
kemudian
dilepas
kembali.
LMNLU
(Lembaga
Musyawarah
Nelayan
Lombok
Utara).
Jika kembali
melanggar,
oknum akan
ditangkap dan
kapal
akan
dibakar
Apabila tetap
melanggar,
kelompok
nelayan akan
melakukan
pemukulan
massal
tapi
tidak
sampi
mati.
Panglima
Laot di Aceh
Wewenang
Hukum berlaku Peran tertinggi Mekanisme
sesuai dengan sama di seluruh dimiliki
pengambilan
tingkatan
wilayah NAD, Panglima
keputusan
Kegiatan
pemantauan
sehari-hari
Otoritas berada di
Panglima Laot dan
lembaga adat laut.
51
hierarkisnya.
Panglima laot
di
tingkat
provinsi
memiliki
wewenang
tingkat
provinsi tetapi
lebih bersifat
koordinatif,
sehingga tidak
memiliki
kekuasaan.
Panglima laot
kabupaten/kota
memiliki
wilayah
kewenangan di
wilayah pesisir
laut
yang
menjadi
wewenang
tingkat
kabupaten/kota
.
Panglima laut
Lhok memiliki
namun
panglima laut
kabupaten/kota
memiliki aturan
sendiri dalam
pelaksanaan
dan
penerapannya
di
lapangan,
tetapi
bukan
pada
ha-hal
substantive agar
menghindari
konflik.
Laot.
Pihak
yang
bertanggung
jawab dalam
melestarikan
adat
dan
kebiasaan
yang
berlangsung di
masyarakat.
dilakukan oleh
panglima laut
lhok. Apabila
masalah tidak
selesai, akan
diambil oleh
penglima laut
kabupaten/kota
. Sistem ini
memiliki
struktur
dimana apabila
terjadi
pelanggaran,
maka
harus
diselesaikan
terlebih dahulu
pada struktur
paling bawah
dimana terjadi
pelanggaran.
Sanksi
yang
diterapkan
adalah:
1)
seluruh hasil
tangkapan
disita menjadi
milik lembaga
adat laut, 2)
dilakukan
oleh
masyarakat
atau
panglima
laot.
52
kewenangan di
wilayah
di
suatu
pemukiman
nelayan.
Pengelolaan
Ekosistem
Laut
Dangkal
berbasis Sea
Farming di
Pulau
Panggang,
Kepulauan
Seribu DKI
Jakarta
Area
atau
lahan budidaya
yang
ditetapkan
sebagai
wilayah
sea
farming adalah
seluruh
wilayah yang
penetapannya
dilakukan oleh
kepala daerah
yang didahului
dengan
pelibatan
masyarakat
dalam
inventarisasi.
dilarang
melaut
sedikitnya
3
hari
dan
setinggitingginya
7
hari.
Kuncinya
adalah
right
based fisheries
yang
untuk
pengelolaan
secara terbuka
agar
menghindari
konflik, menuju
perikanan
berkelanjutan.
Masa Turun ke
Masyarakat Tidak
memiliki batas Laut
(Leffa
Lamalera
antara
dan Tradisi area yang jelas Nung)
Kelompok
usaha
atau
anggota
sea
farming
memanfaatkan
wilayah sesuai
dengan
peruntukannya
, juga berhak
mendapatkan
pembinaan dan
pelatihan
dalam rangka
meningkatkan
kemampuanny
a di bidang
budidaya
perikanan.
Sesuai denga
aturan
perundangudnagan yang
berlaku.
Pengendalian
internal oleh
kelompok
usaha
sea
farming dan
lembaga sea
farming;
pengenalian
oleh
pemerintah
kabupaten;
dan
pengawasan
oleh
masyarakat
luas.
Terdiri dari ketua,
sekretaris,
bendahara, seksiseksi
yaitu
keamanan
dan
hubungan
masyarakat.
53
Berburu
Paus
dan
pasti.
Lokasinya
adalah di Laut
Sawu sebagai
habitat Paus,
sehingga
batasannya
adalah di mana
ikan
paus
muncul
bulan
MeiSemptember.
Bulan-bulan ini
umumnya
banyak
ikan
paus muncul.
Masa Selingan
Turun ke Laut;
Masa ini adalah
di luar jadwal
menangkap
ikan,
yaitu
antara OktoberApril.
Cara
Pembagian
Hasil
Tangkapan:
Kepala untuk
tuan
tanah
(leffo
tana
alep);
bagian
untuk
awak
perahu (meng
alep);
bagian
untuk keluarga
suku
pemilik
perahu (rekka
54
uma
alep);
bagian
porsi
bersama, yaitu
jatah bersama
rekka uma alep
dan para ameng
atau orang yang
membantu saat
perahu melaut
dan mendarat.
Mane’e
Kabupaten
Talaud
Sulawesi
Utara
Pada perairan
terumbu
karang,
tersebar pada
sembilan
tempat di tiga
pulau, Proses
penentuan
lokasi
dilakukan
dengan rapat
adat.
Hukum
adat
Eha’
(penutupan
laut) ditetapkan
melalui
musyawarah
adat
bersama
pemerintah
setempat
dan
lembaga agama.
Penangkapan
biasanya
dilakukan
sekali setahun
pada
setiap
lokasi sekitar
bulan Mei dan
Juni; dimana
pada saat itu
diperkirakan
cuaca baik dan
laut
tenang
tidak
bergelombang.
Daerah
penangkapan
ikan diproteksi
atau
ditutup
selama
satu
Sanksi moral,
hukuman
badan
atau
denda dalam
bentuk uang
yang
jumlahnya
ditentukan
dalam sidang
lemabga adat.
Petugas Eha’
yang
berfungsi
sebagai
pengawas
melakukan
pengawasan
secara tidak
langsung dan
melakukan
monitoring
di
lokasi
Mane’e.
Petugas
Eha’
disebut
mangageha,
berfungsi sebagai
pengawas
yang
dirahasiakan
identitasnya.
55
tahun.
Hasil
tangkapan ikan
dibagikan
kepada seluruh
masyarakat
kampung yang
hadir, apabila
hasil
berlimpah,
maka
masyarakat
yang tinggal di
luar desa akan
mendapatkan
bagian.
Pengelolaan
Daerah
Perlindunga
n
Laut
(DPL) Irwor
Ikwan Iba
Kabupaten
Raja Ampat
Papua Barat
(Penerapan
Perdes yang
diperkuat
Sasi)
Mempunya
luas
sekitar
289 ha dari
total wilayah
administrative
Kampung
Yenbekwan
sekitar 80.598
ha.
Lokasi
tersebut
ditandai
dengan batas
berupa tandatanda
alam
Bersifat tertulis,
yaitu Peraturan
Kampung
(Perkam)
Nomor:
001/DPL/PKYNBKWN/200
8
tentang
Pengelolaan
Daerah
Perlindungan
Laut Berbasis
Masyarakat,
untuk
Berlaku hak
komunitas
Kampung,
bahwa anggota
kelompok
pengelola
dipilih
dari
perwakilan
kelompok
konservasi dan
pengawas,
yang
berkedudukan
di bawah dan
Menggunakan
sistem denda
dan
sanksi
adat. Apabila
si
pelaku
melakukan
pengulangan
pelanggaran,
maka
di
samping
dikenai sanksi
denda
sejumlah uang,
penyitaan hasil
Meskipun
pengawasan
terhadap
DPL dapat
dilakukan
oleh
kelompok
masyarakat
pengawas
(Pokmaswas)
,
namun
seluruh
masyarakat
kampung
Dikelola
oleh
Kelompok
Pengelola
DPL
yang
disebut
lembaga Pengelola
Sumberdaya
Terumbu Karang
(LPS-TK).
Kelompok
pengelola
ini
dipilih
dari
perwakilan
anggota kelompok
konservasi
dan
56
dan/atau
selanjutnya
tanda-tanda
disebut Perkam
lain
seperti DPL-BM.
papan
informasi yang
mudah
diketahui
masyarakat.
bertanggung
jawab kepada
kepala
kampung.
tangkapan dan
alat
tangkap
serta
kewajiban
sosial,
juga
Masingpelaku
akan
masing
diserahkan
anggota
kepada pihak
masyarakat
kepolisian
berhak terlibat
untuk diproses
dalam
sesuai
pengelolaan
ketentuan
DPL
untuk
hukum pidana
mengambil
yang berlaku.
ikan,
wisata
ataupun
melintasi
perairannya.
ikut
bertanggung
jawab
melakukan
pengawasan
terhadap
DPL.
pengawas
yang
bertugas
mengelola daerah
perlindungan laut
berdasarkan surat
keputusan kepala
kampung
dan
diketahui
oleh
Bamuskam.
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN
Pengelolaan Sumber Daya Pesisir
Wilayah Indonesia yang lebih dari setengahnya adalah lautan menyimpan sumber
daya pesisir dan laut yang sangat besar. Oleh karena itu dibuuthkan model
pengelolaan yang tepat untuk menjamin keberlangsungannya. Pengelolaan sumber
daya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia, dan sebaliknya
pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat
manusia (Fauzi 2004). Model pengelolaan tersebut tidak lepas dari status kepemilikan
dan pemanfaatan yang melekat pada sumber daya. Bromley dalam Satria (2009)
menyebut paling tidak ada empat rezim kepemilikan yaitu: akses terbuka (open
access), negara (state), swasta (private property), dan masyarakat (communal
property). Munculnya rezim kepemilikan sumber daya ini tidak lepas dari sifatnya
yang milik bersama (common property), sehingga membutuhkan model pengelolaan
yang bisa menjamin kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu
pembahasan mengenai pengelolaan sumber daya pesisir dan laut menjadi sangat
penting.
Menurut UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu
pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber
daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan
dan menejemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sedangkan wilayah pesisir
adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan di laut. Sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah
sumber daya hayati, sumber daya non hayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa
lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun,
mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral
dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terikat dengan
kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan
dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan gelombang laut serta energy
gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir.
Menurut Satria (2002), rezim pengelolaan yang diterapkan di Indonesia saat
ini masih berbasis pemerintah pusat (government based management) yang
mengakibatkan aturan yang dibuat kurang terinternalisasi sehinga sulit ditegakkan
dan biaya transaksi yang sangat besar untuk menegakkan aturan sehingga
menyebabkan lemahnya pengawasan. Sentralisme yang diterapkan di masa lalu telah
menyebabkan banyak permasalahan, termasuk kerusakan sumber daya pesisir dan
lautan. Sentralisme ini terbukti belum mampu mengakomodasi kepentingan berbagai
kelompok masyarakat yang berasal dari latar belakang yang berbeda (Satria et al.
58
2002). Kelemahan model ini kemudian disiasati dengan model pengelolaan berbasis
masyarakat yang menempatkan mayarakat sebagai pelaku utama pengelolaan sumber
daya yang ada di dalamnya, mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, sampai pada tahap kontrol. Untuk kasus perikanan, Ruddle dalam Satria
(2009) menjelaskan bahwa untuk kasus perikanan, unsur-unsur tata pengelolaan
sebagai berikut;
a. Batas Wilayah: Ada kejelasan batas wilayah yang kriterianya adalah
mengandung sumberdaya yang bernilai bagi masyarakat.
b. Aturan: Berisi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang. Dalam dunia
perikanan, aturan tersebut biasanya mencakup kapan, dimana, bagaimana,
dan siapa yang boleh menangkap.
c. Hak: Pengertian hak bisa mengacu kepada seperangkat hak kepemilikan
yang dirumuskan Ostrom and Schlager (1990) meliputi hak akses, hak
pemanfaatan, hak pengelolaan, hak eksklusif, dan hak pengalihan.
d. Pemegang otoritas: Merupakan organisasi atau lembaga yang dibentuk
masyarakat yang bersifat formal maupun informal untuk kepentingan
mekanisme pengambilan keputusan. Ada pengurus dan disesuaikan
dengan kondisi.
e. Sanksi: Untuk menegakkan aturan diperlukan sanksi sehingga berlakunya
sanksi merupakan indikator berjalan tidaknya suatu aturan. Ada beberapa
tipe sanksi: sanksi sosial (seperti dipermalukan atau dikucilkan
masyarakat), sanksi ekonomi (denda, penyitaan barang), sanksi formal
(memiliki mekanisme pengadilan formal), dan sanksi fisik (pemukulan).
Berdasarakan pengelolaan dan pemanfaatan atas wilayah laut sebagaimana diatur
dalam UU No. 22/1999 tentang Perspektif Hak Kepemilikan dalam bundles of right
adalah: (i) access, yaitu hak untuk memasuki wilayah fisik laut dalam batasan 12 mil
maupun 4 mil dalam menikmati keuntungan yang tidak dikurangi, (ii) withdrawl,
yaitu hak untuk memperoleh unit sumber daya kelautan atau produk sistem sumber
daya kelautan, (iii) management, yaitu hak untuk mengatur pola penggunaan secara
internal dan mengubah sumber daya (Satria 2002). Tujuan dari pengelolaan berbasis
masyarakat adalah pengelolaan yang mengarah kepada bagaimana sumber daya ikan
(SDI) yang ada saat ini mampu memenuhi kebutuhan sekarang dan kebutuhan
generasi yang akan datang, di mana aspek keberlanjutan meliputi aspek ekologi,
sosial ekonomi, masyarakat dan institusi. Pengelolaan SDI berkelanjutan tidak
melarang aktifitas penangkapan ikan yang bersifat ekonomi/komersial,tetapi
menagnjurkan dengan persayaratan bahwa tingkat pemanfaatan tidak melampaui
daya dukung (carrying capacity) lingkungan perairan atau kemampuan pulih SDI,
sehingga generasi mendatang tetap memilki aset sumber daya alam yang sama atau
lebih banyak dari generasi saat ini (Mallawa 2006). Meminjam istilah Bengen dalam
Mallawa (2006), suatu pengelolaan dikatakan berkelanjutan apabila kegiatan tersebut
59
dapat mencapai tiga tujua pembangunan yaitu berkelanjutan secara ekologi, sosial,
dan ekonomi.
Menurut UNESCO dikutip dari Mallawa (2006), bahwa untuk mempertahankan
fungsi dari ekosistem, telah direncanakan suatu strategi pengelolaan yang dikenal
dengan istilah World Conservational Strategy. Strategi tersebut menjelaskan bahwa
ada lima pendekatan dasar pengelolaan konservasi, yaitu:
a. Zonasi (zoning)
Penentuan untuk semua, atau bagian spesifik dari area yang dikelola, tujuan
khusus penggunaan dan izin masuk.
b. Penutupan Secara Periodik (Periodic Closure)
Hal ini dapat seperti penutupan singkat (short-term closure) selama sebagian
waktu dalam satu tahun misalnya waktu pemijahan dari berbagai spesies, atau
penutupan dalam waktu beberapa tahun untuk membuat pulih habitat yang
rusak oleh manusia atau faktor alam lainnya.
c. Pembatasan Hasil (Yield Constraints)
Determinasi tingkat pemanfatan yang diperbolehkan untuk ikan produk laut
lainnya.
d. Pembatasan Peralatan
Meliputi pelaranagan bahan peledak, racun dan teknik penangkapan dan
panen lainnya yang dapat merusak fisik terumbu karang, penentuan ukuran
mata jaring yang memungkinkan ikan-ikan kecil tumbuh sampai umur siap
memijah, dan pelarangan penggunaan jangkar dengan desain tertentu yang
sangat merusak.
e. Pengurangan Dampak
Meliputi penentuan batasan bahan pencemar yang diperbolehkan dan
penentuan jumlah penyelam reef walkers, dan jumlah kapal ukuran kecil yang
diperbolehkan.
Pengelolaan SDP oleh masyarakat dijadikan alternatif karena terbukti mampu
memberikan sejumlah manfaat karena adanya jaminan mata pencaharian, kesamaan
akses terhadap SDP dan mekanisme resolusi konflik, serta berorientasi pada
keberlanjutan (Berkes dalam Satria 2009). Hal ini didukung oleh pernyataan
Pamarick et al. dalam Kordi et al. (2015) bahwa masyarakat tradisional pada
umumnya sangat mengenal dengan baik lingkungan di sekitarnya. Mereka berasal
dari berbagai ekosistem yang ada di Indonesia dan telah lama hidup berdampingan
dengan alam secara harmonis, dan mengenal cara-cara menmanfaatkan sumber daya
alam secara berkelanjutan.
60
Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam
kebudayaan suatu kelompok manusia,yang merupakan hasil pengamatan selama
kurun waktu yang lama (Babcock 1999 dalam Arafah 2002). Sedangkan menurut
Ridwan (2007) kearifan lokal dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan
akal budinya (kognisi) untuk bertindak atau bersikap terhadap sesuatu, objek atau
peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian tersebut disusun secara
etimologi, dimana wisdom/kerifan dipahami seabgai kemampuan seseorang dengan
menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap seabgai hasil penilaian
terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi.
Umumnya kearifan lokal diwujudkan dengan cara tersendiri yang unik dalam norma
budaya dalam ritual dan tradisi masyarakat. Sartini (2004) menjelaskan bahwa
bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma,
kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam ini
mempengaruhi fungsi kearifan lokal menjadi beragam pula. Fungsi tersebut antara
lain adalah:
1.
2.
3.
4.
Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia.
Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Berfungsi sebgai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan
Sementara itu dalam memelihara kearifan lokal agar tetap bertahan perlu
diperhatikan tantangan-tantangan yang akan dihadapi di masa mendatang, menurut
Suhartini (2009) tantangan-tantangan kearifan lokal adalah:
1. Jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk yang tinggi akan memengaruhi
kebutuhan pangan dan berbagai produksi lainnya untuk mencukupi
kebutuhan manusia;
2. Teknologi modern dan budaya, perkembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan yang cepat menyebabkan kebudayaan berubah cepat pula,
selain itu juga seperti yang telah dijelaskan di atas, perkembangan
teknologi modern menghilangkan sakralitas alam yang dipercayai
masyarakat adat secara turun-temurun;
3. Modal besar, kedatangan modal besar yang telah mengeksploitasi sumber
daya alam, dapat menghilangkan akses masyarakat setempat pada sumber
daya yang sudah turun-temurun ditinggalinya, seperti yang telah
disebutkan di atas, hilangnya alam berarti hilang pula kearifan lokal
tersebut;
61
4. Kemiskinan dan kesenjangan, kesulitan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan pokok seringkali menimbulkan masalah-masalah sosial dalam
pemanfaatam sumber daya alam.
Karakteristik Sosial Ekonomi Nelayan
Secara sosiologis, karakteristik masyarakat nelayan berbeda dengan krakteristik
masyarakat petani seiring dengan perbedaan karakteristik sumber daya yang dihadapi.
Masyarakat petani menghadapi sumber daya terkontrol, yakni pengelolaan lahan
untuk produksi suatu komoditas dengan output yang relatif bisa diprediksi. Dengan
sifat produksi yang demikian memungkinkan tetapnya lokasi produksi sehingga
menyebabkan mobilitas usaha yang relative rendah dan elemen risiko pun tidak besar.
Dalam hal ini, petani ikan tergolong masyarakat petani karena relatif miripnya sifat
sumber daya yang dihadapi, yaitu petani ikan (budidaya) mengetahui berapa, di
mana, dan kapan ikan ditangkap sehingga pola pemanenan lebih terkontrol. Pola
pemanenan yang terkontrol tersebut tentu disebabkan karena adanya input yang
terkontrol pula. Petani ikan tahu berapa input produksi (benih, makanan, teknik, dsb.)
yang mesti tersedia untuk mencapai output yang akan dihasilkan (Satria 2009).
Karakteristik tersebut berbeda sama sekali dengan nelayan. Nelayan menghadapi
akses sumber daya yang hingga saat ini masih bersifat open access. Karakteristik
sumber daya seperti ini menyebabkan nelayan mesti berpindah-pindah untuk
memperoleh hasil maksimal, yang dengan demikian elemen risiko menjadi sangat
tinggi. Kondisi sumber daya yang berisiko tersebut menyebabkan nelayan memiliki
karakter keras, tegas, dan terbuka (Satria 2009).
SIMPULAN
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal
merupakan pengetahuan masyarakat tentang suatu teknik atau pandangan masyarakat
terhadap lingkugannya dan cara bersikap terhadap lingkungan yang ada. Kearifan
lokal ini bersifat lokalitas, yang hanya dapat dijumpai pada lokasi tertentu saja.
Keunikan karakter dari setiap wilayah menyebabkan kearifan lokal juga berbedabeda. Meskipun secara umum dapat disebutkan bahwa kearifan lokal umumnya
memiliki bentuk berupa nilai-nilai, norma, kepercayaan, sanksi, dan aturan khusus.
Sifat kearifan lokal adalah tidak tertulis karena diturunkan melalui generasi ke
generasi. Meskipun demikian, sifat ini tidak mengurangi kekuatan kearifan lokal pada
masyarakat yang memegang suatu kearifan tertentu karena umumnya sudah
terinternalisasi dalam masyarakat. Ada beberapa fungsi yang umumnya dapat
dijumpai dalam kearifan lokal, di antaranya adalah untuk konservasi dan pelestarian
sumber daya alam dan pengembangan sumber daya manusia.
Pengelolaan sumber daya alam, khususnya sumber daya pesisir dan laut sempat
mengalami rezim dimana pemerintah pusat memegang kendali dalam pengelolaannya
(government based development). Rezim ini menempatkan setiap masalah yang ada
di daerah diatasi dengan kebijakan yang sama, tanpa mempertimbangkan
karakteristik dan ciri yang unik yang dimiliki tiap daerah. Pemerintah pusat sebagai
pemegang kebijakan untuk sumber daya yang ada di daerah bisa kapan saja
memberikan hak pengelolaan kepada pihak luar. Hal ini menyebabkan terabaikannya
nilai-nilai lokal dan seperangkat kelembagaan yang ada di daerah, sehingga turut
mempengaruhi kearifan lokal yang sudah lama terbentuk.
Pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang melibatkan partisipasi masyarakat
lokal menjadi kajian penting mengingat sifat sumber daya pesisir dan laut yang masih
common property. Sifat yang melekat pada sumber daya ini menyebabkan sesiapa
saja berhak mengambil manfaat dari sumber daya yang ada. Pemeritah sebagai
pemegang regulasi kemudian menetapkan aturan terhadap ekstraksi sumber daya
pesisir dan laut. Hal ini juga dituangkan dalam berbagai peraturan yang dibuat, bahwa
pengelolaan sumber daya pesisir dan laut dilimpahkan kekuasaannya ke pemerintah
daerah agar efektivitas pengelolaannya lebih tinggi, menyediakan resolusi konflik,
dan pengawasan yang kuat. Keberadaan masyarakat lokal juga tidak luput dari
perhatian pemerintah, seperti dituangkan dalam peraturan yang menetapkan
kemitraan dengan masyarakat lokal sebagai salah satu prinsip pengelolaan.
Keterlibatan masyarakat lokal ditunjukkan dengan berbagai bentuk. Misalnya
kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut berupa; Panglima Laot
di Aceh, awig-awig di Lombok, Sasi di Maluku, dan banyak lagi.
64
Usulan Kerangka Analisis untuk Penelitian
Pengelolaan Sentralistis
a. Masuknya pihak luar
b. Marjinalisasi
kelembagaan lokal
Nilai
Karakteristik Masyarakat:
- Sosial
- Ekonomi
Kearifan Lokal
Norma
Kepercayaan
Sanksi
Aturan Khusus
Pengelolaan Sumber Daya
Pesisir
Keterangan:
: Hubungan mempengaruhi
: Terdiri dari
: Hubungan saling mempengaruhi
Pertanyaan penelitian:
a. Bagaimana pengelolaan sentralistis mempengaruhi kearifan lokal
masyarakat?
b. Bagaimana bentuk pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang berbasis
kearifan lokal?
c. Bagaimana karakteristik sosial-ekonomi masyarakat mempengaruhi
kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut?
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto L, Amin MAA, Solihin A, Hartoto DI. 2011. Konstruksi Lokal Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan di Indonesia. Bogor (ID): IPB Press.
Arafah, N. 2002. Pengetahuan Lokal Suku Moronene dalam Sistem Pertanian di
Sulawesi Tenggara. Program Pascarasarjana Institut Pertanian Bogor.
Aulia TOS, Dharmawan AH. 2010. Kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya
air di Kampung Kuta. Sodality. 4(2010):335-346.
Elfindri, Rumengan J, Bachrum S. 2009. Manajemen Pembangunan Kepulauan dan
Pesisir. Jakarta (ID): Baduose Media.
Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi.
Jakarta (ID): Pustaka Utama.
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan dalam
Angka. Indonesia: Pusat data, Statistik dan Informasi.
Kordi K, Ghufran MH. 2015. Pengelolaan Perikanan Indonesia: Catatan Mengenai
Potensi, Permasalahan, dan Prospeknya. Yogyakarta (ID): Pustaka Baru
Press.
Mallawa A. 2006. Disajikan pada Lokakarya Agenda Penelitian Program Coremap II
Kabupaten Selayar, 9-10 September 2006. Staf Pengajar Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan Unhas Makassar.
Ridwan NA. 2007. Landasan keilmuan kearifan lokal. Jurnal Studi Islam dan Budaya.
[internet]. [diunduh pada 20 Juni 2015]. Dapat diunduh dari:
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&
cad=rja&uact=8&ved=0CCUQFjAB&url=http%3A%2F%2Fdownload.porta
lgaruda.org%2Farticle.php%3Farticle%3D49104%26val%3D3909&ei=ieuK
VYaqKMeMuAT25aIBw&usg=AFQjCNHkR6bSU2LjCU7tAsT20BAG58hW5g&sig2=WcWvB
5Nxt2tuBXX4c9hu9g&bvm=bv.96339352,d.c2E
Saharuddin. 2009. Pemberdayaan masyarakat miskin berbasis kearifan lokal.
Sodality. 1(April).
Sartini. 2004. Menggali kearifan lokal nusantara sebuah kajian filsafat. Jurnal
Filsafat., jilid 37 Nomor 2(2004). Diunduh pada 20 Juni 2015 pukul 13.49.
Dapat
diunduh
di
https://www.google.co.id/?gws_rd=cr&ei=lwyFVe2IYbguQSry4CYCQ#q=Menggali+Kearifan+Lokal+Nusantara+Sebuah+Kajian+Filsafa
t.
66
Satria A. 2009. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta (ID): LKiS.
Satria A. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor (ID): IPB Press.
Satria et al. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. Jakarta (ID): Cidesindo.
Solikhin, Satria A. 2007. Hak ulayat laut di era otonomi daerah sebagai solusi
pengelolaan perikanan berkelanjutan: Kasus awig-awig di Lombok Barat.
Sodality. 1(April).
Saharuddin. 2009. Pemberdayaan masyarakat miskin berbasis kearifan lokal.
Sodality. 1(April).
Suhartini. 2009. Kajian kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan. [internet]. [diunduh 20 Juni 2015]. Hal 206-218. Dapat
diunduh
dari:
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Ir.%20Suhartini,%20MS./S
htn%20Semnas%20MIPA%2009%20Kearifan%20Lokal.pdf
Susilo E. 2010. Dinamika, Struktur Sosial dalam Ekosistem Pesisir. Malang (ID): UB
Press.
[UU] Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
[UU] Perubahan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 (2013) Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
[UU] Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil.
[UU] Undang-Undang No. 22/1999 tentang Perspektif Hak Kepemilikan.
Yuliaty C, Priyatna FN. 2014. Lubuk larangan: Dinamika pengetahuan lokal
masyarakat dalam pengelolaan sumber daya perikanan perairan sungai di
Kabupaten Lima Puluh Kota. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan
Perikanan. Volume 9 (2014). [internet] dapat diunduh di
http://bbpse.litbang.kkp.go.id/index.php/download-new/download/14-vol-9-no1-tahun-2014/33-lubuk-larangan-dinamika-pengetahuan-lokal-masyarakat-dalampengelolaan-sumber-daya-perikanan-perairan-sungai-di-kabupaten-lima-puluhkota.
Yulisti M, Kurniasari N, Yuliaty C. 2009. Analisis keberlanjutan lilifuk: Tinjauan
perepsi masyarakat lokal. Jurnal Sosial Ekonomi dan Perikanan. Volume
9(2014). [internet] dapat diunduh di
bbpse.litbang.kkp.go.id/index.php/component/jdownloads/summary/14-vol9-no-1-tahun-2014/31-analisis-keberlanjutan-lilifuk-tinjauan-persepsimasyarakat-lokal.
67
68
RIWAYAT HIDUP
Muh Dhiaurrahman dilahirkan di Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan pada
tanggal 27 Mei 1993. Penulis merupakan anak ke empat dari enam bersaudara
pasangan Ashri H. Rahim dan Nur Khaeraty. Penulis memulai pendidikan formalnya
pada tahun 1998 di TK Darul Istiqamah, dilanjutkan dengan menempuh Madrasah
Ibtidaiyah Swasta Darul Istiqamah pada tahun 1999. Pada tahun 2005, penulis
menyelesaikan pendidikan dasar dan lanjut ke pendidikan menengah pertama pada
tahun yang sama di Madrasah Tsanawiyah Darul Istiqamah. Setelah kurang lebih
sembilan tahun mendapat bimbingan dari Darul Istiqamah, penulis melanjutkan
pendidikan di SMA Negeri 1 Maros pada tahun 2008. Selanjutnya pada tahun 2011
penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Tulis.
Selain aktif di kegiatan akademik, penulis juga aktif di kegiatan organisasi
kemahsiswaaan dan kepanitiaan. Penulis banyak belajar di Forum Silaturrahmi
Dewan Mushalla Asrama dan UKM Koran Kampus IPB pada tahun pertama. Pada
tahun kedua, penulis menjadi wakil ketua di Forum Syiar Islam FEMA. Selain itu,
penulis juga aktif di Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa/Pelajar Indonesia Sulawesi
Selatan (IKAMI Sulsel) Cabang Bogor pada tahun 2011-2014. Menjadi asisten untuk
Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam juga sempat dirasakan penulis pada tahun
2013. Selain aktif dalam organisasi, penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan
seperti Kepanitiaan Olimpiade Asrama pada tahun 2012, Panitia Gebyar Nusantara
2012 untuk Omda IKAMI Sulsel. Pada tahun yang sama penulis juga menjadi panitia
untuk kegiatan IKAMI Goes to Orphanage. Selanjutnya penulis dipercayakan
menjadi Ketua Panitia Masa Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2013.
Download