Modul Etik UMB [TM14]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
KORUPSI DARI SISI PANCASILA SEBAGAI
ETIKA POLITIK
Pokok Bahasan
Fakultas
Program Studi
Fakultas Ekonomi dan
bisnis
Etik
Tatap Muka
13
Kode MK
Disusun Oleh
90004
Drs.Eddy Hermawan
Abstract
Kompetensi
Korupsi dari sisi pancasila sbg etika
Politik
Agar mahasiswa mengetahui korupsi
dari sisi pancasila sbg etika poliitk
Pembahasan
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
Pancasila adalah sebagai dasar negara indonesia, memegang peranan penting
dalam setiap aspek kehidupan masyarakat indonesia. Sebagai ideologi bangsa pancasila
memegang peranan besar dalam membentuk pola pikir bangsa indonesia sehingga dapat
dihargai sebagai salah satu bangsa yang beradap di dunia.
Secara substantif etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku
etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan
moral. Korupsi suatu tindakan mengambil hak seseorang biasanya korupsi identik
mengambil hak rakyat demi kepentingan pribadi ataupun kelompoknya. Para oknum yang
korupsi disebut dengan koruptor. Dan juga didirikan badan untuk memberantas korupsi yaitu
“Komisi Pemberantasan Korupsi” yang biasa disingkat KPK.
Dalam negara dan masyarakat indonesia, cara mendapatkan dan menggunakan
kekuasaan tentu diikuti dengan prinsip-prinsip dasar yang dipolakan dalam nilai-nilai dasar
moral yang dianut oleh pancasila.
2.
Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah “Korupsi dipandang Dari Sisi Pancasila
Sebagai Etika Politik” adalah sebagai berikut:
a.
Apa yang dimaksud dengan etika?
b.
Apa yang dimaksud dengan pancasila sebagai etika politik?
c.
Apakah yang dimaksud dengan etika politik indonesia?
d.
Bagaimanakah Korupsi dipandang dari sisi pancasila sebagai etika politik?
2015
2
Etik
Drs.Eddy Hermawan
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian etika
Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti
watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan
perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk
jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan
melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.
Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat
perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan
etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku
Etika merupakan ilmu-ilmu kemanusian (humaniora) yang membahas sistem-sistem
pemikiran yang mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika sebagai ilmu dibagi
dua, yaitu:
1.
Etika umum
Etika umum membahas prinsip-prinsip umum yang berlaku bagi setiap tindakan
manusia. Dalam falsafah barat dan timur,seperti cina: aliran-aliran pemikiran etika beraneka
ragam tetapi pada prinsipnya membicarakan aas-asas dari tindakan dan perbuatan
manusia,serta sistem nilai apa yang terkandung di dalamnya.
2.
Etika khusus
Etika khusus dibagi menjadi dua yaitu etika individual dan etika sosial. Etika individual
membahas kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri dan dengan kepercayaan agama
yang dianutnya serta panggilan nuraninya,kewajibannya dan tanggung jawabnya terhadap
tuhannya. Sedangkan etika sosial membahas kewajiban serta norma-norma sosial yang
seharusnya dipatuhi dalam hubungan sesama manusia.
B.
Pancasila sebagai etika politik
Pengertian politik berasal dari kata “Politics”, yang memiliki makna bermacam –
macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkutproses penentuan
tujuan – tujuan.
Etika politik adalah cabang dari filsafat politik yang membicarakan perilaku atau
perbuatan-perbuatan politik untuk dinilai dari segi baik atau buruknya. Filsafat politik adalah
seperangkat keyakinan masyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dibela dan
diperjuangkan oleh para penganutnya, seperti komunisme dan demokrasi.
Secara
substantif
pengertian
etika
politik
tidak
dapat
dipisahkan
dengan
subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu, etika politik berkaitan
erat dengan
2015
3
bidang
Etik
Drs.Eddy Hermawan
pembahasan
moral.hal
ini
berdasarkan
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kenyataan
bahwa
pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka
kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainnya, karena
yang dimaksud
adalah
kewajiban
manusia
sebagai
manusia,
walaupun
dalam
hubungannya dengan masyarakat, bangsa maupun negara etika politik tetap meletakkan
dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika
politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk
yang beradab
dan
berbudaya
berdasarkan
suatu
kenyataan
bahwa
masyarakat,
bangsa maupun negara bisa berkembang ke arah keadaan yang tidak baik dalam arti moral.
Tujuan etika politik adalah mengarahkan kehidupan politik yang lebih baik, baik
bersama dan untuk orang lain, dalam rangka membangun institusi-institusi politik yang adil.
Etika politik membantu untuk menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan
kolektif,
dan
struktur-struktur
politik
yang
ada.
Penekanan
adanya
korelasi
ini
menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika
individual perilaku individu dalam bernegara.
Nilai-nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik. Dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan Negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam Negara dijalankan
sesuai dengan:
1.
Legitimasi hukum yaitu prinsip yang menunjukkan penerimaan keputusan pemimpin
pemerintah dan pejabat oleh (sebagian besar) publik atas dasar bahwa perolehan para
pemimpin ‘dan pelaksanaan kekuasaan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku pada
masyarakat umum dan nilai-nilai politik atau moral.
2.
Legitimasi demokratis yaitu prinsip yang bermusyawarah dalam mengambil keputusan.
3.
Legitimasi moral yaitu setiap keputusan yang diambil sarat dengan nilai moral dan etika.
C.
Etika politik indonesia
Dalam negara dan masyarakat indonesia, cara mendapatkan dan menggunakan
kekuasaan tentu diikuti dengan prinsip-prinsip dasar yang dipolakan dalam nilai-nilai dasar
moral yang dianut oleh pancasila. Hakikat ilmu politik adalah kratologi yaitu ilmu tentang
kekuasaan yang didapatkan secara demokrasi dan sekaligus menggunakannya secara
demokrasi pula.
Demokrasi menurut hatta adalah demokrasi sosial yakni meliputi seluruh lingkungan
hidup yang menentukan nasib manusia. Ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita
demokrasi sosial yaitu:
a.
Paham sosialis barat, menarik perhatian pendiri negara karena dasar-dasar
perikemanusiaan yang dibela dan menjadi tujuannya.
b.
Ajaran islam yang menuntut kebenaran dan keadilan illahi dalam masyarakat.
c.
Pengetahuan bahwa masyarakat indonesia berdasarkan kolektivisme.
2015
4
Etik
Drs.Eddy Hermawan
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Pokok-pokok yang perlu diperhatikan jika ingin melaksanakan demokrasi yang sehat
yang diciptakannya dalam praktik politik kenegaraan. Sesuai TAP MPR No.VI/MPR/2001
dinyatakan etika kehidupan berbangsa adalah rumusan yang bersumber dari ajaran agama
yang bersifat universal dan nilai-nilai budaya bangsa yang terjamin dalam pancasila sebagai
acuan dalam berfikir,bersikap, dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
D.
Korupsi dipandang dari sisi etika politik
Sebagai suatu kejahatan luar biasa, korupsi memiliki banyak wajah. Dalam sektor
produksi, korupsi ada dari hulu sampai hilir, dari anak-anak sekolah sampai presiden, dari
konglomerat sampai kyai.
Kwik Kian Gie, Ketua Bappenas, menyebut lebih dari Rp 300 Triliun dana dari
penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun penggelapan hasil sumberdaya alam,
menguap kekantong para koruptor.
Korupsi bisa diiringi dengan kolusi, membuat keputusan yang diambil oleh pejabat
Negara menjadi titik optimal. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundangundangan aneh semacam UU energi, juga RUU SDA, impor gula dan beras dan sebagainya
dituding banyak pihak kebijakan yang sangat kolutif karena di belakangnya ada motivasi
korupsi.
Bentuk korupsi terhadap uang Negara tidak hanya terhadap utang luar negeri.
Namun, juga utang domestik dalam bentuk obligasi rekap bank-bank sebesar Rp 650 Triliun.
Skandal BLBI yang tak kunjng usai setidaknya menunjukkan terjadinya korupsi tingkat tinggi
di kalangan pejabat keuangan, kenglomerat serta banker. Kasus yang masih belum cukup
lama adalah skandal bank century pun telah menyebabkan uang lenyap, namun pelakunya
tak ada yang ditangkap.
Kasus korupsi BNI dengan nilai 1,7 triliun rupiah yang ternyata kemudian juga diikuti
dengan bank pelat merah yaitu BRI dalam kasus jual-beli quota haji di wilayah kewenangan
Depag, dan kasus “tarif” untuk calon legislatif untuk nomor-nomor jadi yang bernilai hingga
ratusan juta rupiah.
Tidak hanya itu, korupsi pun terjadi di daerah-daerah setingkat propinsi dan kota.
Dalam harian Jurnal Bogor di bulan juni 2009 memberitakan bahwa sekitar 90 persen
bantuan dana sosial (bansos) dari pemerintah jawa barat dipastikan diselewengkan.
Menurut Kepala Kejaksaan tinggi (Kejati) Drs. H.M. Amari, SH. MH, dari total dana yang
disalurkan ke semua daerah di Jabar termasuk bogor itu, hanya 10% saja yang sampai
kemasyarakat. Sementara yang 90 % nya tidak tersalurkan oleh penerima bansos, seperti
pengurus politik yayasan,panitia pembangunan rumah ibadah, dan lembaga pendidikan.
2015
5
Etik
Drs.Eddy Hermawan
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Kejadian yang sangat mencoreng lembaga pemerintahan adalah, kejadian
penyelewengan atau penggelapan uang pajak oleh gayus dan rekan-rekannya yang ber
triliun-triliun besarnya dan hingga sampai saat ini kasus ini belum selesai juga.
Tentu saja tindakan korupsi sangatlah merugikan berbagai pihak. Korupsi juga
membuat semakin bertambahnya kesenjangan akibat buruknya distribusi kekayaan. Bila
sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah demikian menjauh, maka korupsi juga makin
melebarkan kesenjangan itu karena uang terdistribusi secara tidak sehat (tidak mengikuti
kaedah-kaedah ekonomi sebagaimana mestinya).
Koruptor makin kaya, dan yang miskin makin miskin. Akibatnya lainnya, karena uang
gampang diperoleh, sikap konsumtif jadi terangsang. Tidak ada dorongan ke pola produktif,
sehingga timbul inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi.
Begitu dahsyatnya korupsi yang mendarah daging di indonesia. Korupsi merupakan
penyimpangan pancasila sebagai etika politik karena akibat dari korupsi tidak hanya
dirasakan oleh rakyat sebagai korban korupsi tetapi juga dirasakan oleh koruptor itu sendiri,
seperti di jauhi oleh masyarakat dan keluarga koruptor juga di asingkan dalam pergaulan
bermasyarakat.
APAKAH KORUPSI MELANGGAR ETIKA ?
A. Pembuka
Apakah korupsi melanggar etika?, ya, iyalah... anak kecil aja tau... . Tapi bagaimana
penjelasan secara teorinya?. Untuk menjawab hal tersebut, walaupun sangat terbatas
berikut saya coba menjawabnya berdasarkan pemikiran-pemikiran para ahli. Dalam hal ini,
kasus korupsi anggota DPR RI sebagai acuan pembandingnya.
Individu yang sedang mengenggam kekuasaan (sebagai anggota DPR RI), bukanlah
individu yang semuanya dikaruniai kualitas moral yang lebih tinggi dari orang kebanyakan.
Secara moral mereka sama saja dengan rakyat yang mereka wakili. Bahkan mereka jauh
lebih rentan terhadap kesalahan dan kejatuhan. Mengapa?, karena mereka memiliki
kekuasaan, yang dalam dirinya selalu mengandung kecenderungan untuk disalahgunakan.
Realitas sekarang ini bahwa anggota DPR RI cenderung dalam melaksanakan fungsifungsinya
2015
6
lebih
memperlihatkan
Etik
Drs.Eddy Hermawan
pertarungan
kekuatan
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dan
kepentingan
tanpa
memperhatikan yang idealnya, dan tidak tunduk kepada apa yang seharusnya, sehingga
yang terjadi mengabaikan apa yang sepatutnya dilakukan. Sementara itu, ditengah-tengah
kehidupan kita terjadi pertarungan kepentingan pribadi dan kelompok antar para elite politik
(anggota DPR RI). Selain itu, money politic yang dilakukan oleh sebagian para politisi dalam
meraih jabatan sebagai anggota DPR RI dipertonton dengan mencolok tanpa merasa malu
dan bersalah, sehingga menampakkan sebagian para anggota DPR RI tidak tahu lagi
membedakan antara yang halal dan haram dan antara yang benar dan salah (ingat hanya
sebagian anggota DPR RI yang demikian).
Kemudian, keadaan ini diperparah oleh kasus-kasus korupsi yang belakangan
membawa para anggota DPR RI ke jeruji-jeruji penjara. Harapan masyarakat setelah
jatuhnya pemerintahan Orde Baru masalah Korupsi Kolusi Nepotisme akan hilang, tetapi
kenyataannya justru sebaliknya korupsi semakin hari semakin meningkat, sehingga etika
dikalangan anggota DPR RI yang kenyataannya menjadi pemimpin formal bangsa ini
cenderung semakin terpuruk. Serta tampaknya sebagian anggota DPR RI tidak lagi mampu
membedakan antara wewenang mereka dan bukan, antara kebijakan dan tindakan yang
benar dan yang salah.
Terkait dengan hal itu, fakta tergambar dengan sangat jelas dan secara kasatmata
dilihat oleh publik sebagai kenyataan perilaku yang tidak saja tercela tetapi juga melanggar
hukum. Fakta tersebut terlihat dari beberapa kasus yang menimpa anggota DPR RI, antara
lain :
1.
Bulyan Royan (anggota DPR RI Masa Bakti 2004-2009), tertangkap tangan oleh KPK terkait
kasus suap. Bulyan Royan tertangkap tangan di Plaza Senayan Jakarta, dalam kasus
penyimpangan
penggunaan
anggaran
dari
Departemen
Perhubungan
(http://www.kompas.com., diakses tanggal 17 Maret 2011).
2. Al Amin Nasution (anggota DPR RI Masa Bakti 2004-2009), tertangkap tangan oleh KPK
terkait dengan kasus alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau
(http://www.kompas.com., diakses tanggal 17 Maret 2011).
3.
Sarjan Tahir (anggota DPR RI Masa Bakti 2004-2009), ditangkap terkait kasus pengalihan
fungsi
hutan
bakau
menjadi
pelabuhan
di
Banyuasin,
Sumatera
Selatan
(http://www.kompas.com., diakses tanggal 17 Maret 2011).
4. Saleh Djasit (anggota DPR RI Masa Bakti 2004-2009), terkait kasus saat menjabat sebagai
gubernur Riau (http://www.kompas.com., diakses tanggal 17 Maret 2011).
2015
7
Etik
Drs.Eddy Hermawan
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
5. Kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, KPK menahan 19
politisi (mantan/anggota DPR RI) yaitu Ni Luh Mariani Tirtasari, Engelina Pattiasina, Paskah
Suzetta, Soetanto Pranoto, Poltak Sitorus, Sofyan Usman, HM Danial Tanjung, Matheos
Pormes, Achmad Hafiz Zawawi, Martin Bria Seran, M Iqbal, Soewarno, Baharudin
Aritonang, TM Nurliff, Asep Ruchimat Sudjana, Reza kamarullah, Panda Nababan, Agus
Condro, dan Max Moein (http://www.vivanews.com., diakses tanggal 18 Maret 2011).
B. Teori
1. Etika
Etika, etik, atau ethic berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti character
(Inggris), watak atau sifat, dan adat kebiasaan. Ethos merupakan suatu studi yang
sistematik tentang hakekat konsep nilai-nilai baik, buruk, apa yang seharusnya, yang benar
atau yang salah, dan prinsip-prinsip umum yang dapat memberikan alasan tertentu dalam
penggunaan penilaian terhadap sesuatu hal (Garna, 2001).
Selain itu, ethos juga disebut filsafat moral, yang berasal dari bahasa Latin mos,
mores, artinya cara hidup, adat istiadat atau istiadat (Garna, 2001). Selanjutnya menurut
Suryaningrat (dalam Garna, 2001) bahwa dalam bahasa Indonesia kata etika relatif jarang
digunakan, untuk arti yang serupa meliputi etika, biasanya kata yang dipakai adalah susila,
moral, akhlak, sopan santun, dan tata karma, yang kemudian dalam pemakaiannya dapat
memiliki tekanan pengertian tertentu yang tergantung pada lingkupnya.
Terkait dengan hal tersebut, maka menurut Garna (2001) bahwa :
Etika menjiwai dan memberi pedoman dalam pergaulan hidup, serta mengandung sejumlah
penilaian tentang perbuatan manusia, yang menurut ungkapan itu maka etika menjadi ilmu
tentang azas moral, akhlak, sopan santun, budi pekerti, dan tata karma. Ajaran, sebagai apa
yang dikemukakan, etiket adalah anjuran tentang baik buruknya perbuatan; dan moral
adalah ajaran tentang baik buruknya perbuatan, kelakuan dan kewajiban manusia,
sedangkan susila berarti sopan, beradab, baik budi pekerti. Kesusilaan ialah pengetahuan
tentang adab; dan tata karma ialah aturan tentang sopan santun atau hormat, yang dalam
lingkup ini etika dapat berarti adat istiadat (custom).
2015
8
Etik
Drs.Eddy Hermawan
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Senada dengan pendapat diatas, maka menurut Vos (dalam Garna, 2001) etika
adalah ilmu tentang kesusilaan atau moral. Moral (mos, mores) berarti kaidah, aturan, atau
norma, yang dikaitkan dengan etika maka etika berarti pengetahuan tentang norma dari
perbuatan dan tingkah laku manusia yang berhubungan dengan baik dan tidak baik.
Kemudian, menurut Garna (2001) moral adalah berbagai hal yang mendorong
manusia melakukan tindakan yang baik sebagai suatu kewajiban atau norma. Apabila
demikian maka moral itu juga dapat bermakna atau berfungsi sebagai sarana untuk
mengukur benar atau tidak benarnya tingkah laku serta tindakan manusia.
Selanjutnya, moralitas menurut Garna (2001) digunakan untuk menentukan sampai
sejauh mana seseorang itu mempunyai dorongan melaksanakan tindakannya sesuai
dengan prinsip etika dan moral. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki moralitas, namun
tingkat moralitas masing-masing manusia berbeda, perbedaannya terletak pada kuat
tidaknya dorongan setiap manusia dalam mencari kebenaran dan kebaikan, karena pada
hakekatnya masing-masing manusia selalu mencari kebenaran dan kebaikan.
Selain itu, Garna (2001) juga mengungkapkan bahwa istilah etika memiliki makna
yang lebih mendalam dari kata moral, apabila kata moral menyatakan tindakan atau
perbuatan lahirian seseorang, maka etika bukan hanya menyangkut tentang perbuatan
lahirian saja, tetapi mencakup kaidah dan motif perbuatan seseorang yang lebih dalam dari
apa yang tampak.
Terkait dengan hal tersebut, Ndraha (2006) mengungkapkan bahwa disamping etika
dan moral terdapat konsep lain yaitu etiket. Menurut Nugroho (dalam Ndraha, 2006) bahwa
etiket hanya melihat perilaku luar manusia, perilaku formal yang disepakati dalam kondisikondisi atau situasi khusus, berbeda dengan etika yang lebih mengamati ruang batiniah,
yang mungkin berbeda dengan apa yang ada diluar.
Oleh karena itu, menurut Ndraha (2006) :
Perilaku luar manusia itu terdapat fenomena lain yang kualitasnya sebagai berikut : (1)
bersumber dari kesadaran (2) oleh sebab itu bersifat universal (3) kesadaran itu
menunjukkan mana yang baik, benar, utama, patut, dan berguna, dan mana yang
sebaliknya (4) tertanam kuat-kuat secara sadar di dalam jiwa (5) digunakan secara
konsisten (6) sanksinya jika dilanggar datang dari yang ditanggung secara sukarela oleh diri
sendiri. Jika sumber normanya yang sedemikian itu disebut kesadaran etik, dan norma itu
sendiri disebut etika, maka ada etika sebagai norma (norma etik) dan ada etika sebagai
subBOK Filsafat.
2015
9
Etik
Drs.Eddy Hermawan
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dengan demikian, menurut Ndraha (2006) bahwa :
Kesadaran etik melahirkan pertimbangan etik. Berdasarkan pertimbangan etik diambil
keputusan etik. Keputusan etik disusul dengan tindakan etik yang terlihat melalui perilaku
etik. Perilaku etik itulah kemudian yang dapat diamati dan diukur. Kesadaran etik,
pertimbangan etik, dan keputusan etik sulit diamati, karena terjadi di dalam diri yang
bersangkutan. Tetapi tindakan etik, yang terlihat melalui perilaku etik bisa diukur menurut
tingkat keetikan atau etikalitas, karena terjadi dalam hubungan antar warga masyarakat,
dapat diamati dan direkam.
Selanjutnya, bagaimanakah perintah atau norma susila itu dapat mengikat kelakuan, dan
dari manakah kekuatan yang menyebabkan norma tersebut mengikat, serta mengapakah
dilarang melanggar aturan atau norma susila itu?. Maka menurut Suryaningrat (dalam
Garna, 2001) ada enam kategori dari berbagai aliran filsafat atau pandangan etika yang
menyangkut tentang sesuatu yang baik sekaligus jawaban atas pertanyaan tersebut, antara
lain :
1. Etika teleologisme, bahwa sesuatu yang dipandang baik adalah sesuatu yang sesuai dengan
kehendak Tuhan, demikian sebaliknya.
2. Etika hedonistik, bahwa yang dianggap baik itu ialah perbutan yang dapat mendatangkan
kesenangan, kenikmatan atau kepuasaan rasa.
3.
Etika eudaemonisme, bahwa yang dianggap baik ialah yang mendatangkan kebahagiaan.
4.
Etika utilistik, bahwa tolok ukur perbuatan baik adalah menurut guna, tidak peduli
bagaimana menurut umum, yang penting berguna bagi yang melakukannya. Tolok ukurnya
berlaku hanya untuk seseorang saja (individual), dan manakala berlaku bagi suatu
masyarakat maka disebut sosial.
5.
Etika vitalistik, bahwa perbuatan baik itu tergantung oleh seberapa kuat pemilik dari
kekuasaan atau kekuatan, karena itu orang atau kelompok yang baik adalah orang atau
kelompok yang terkuat.
6.
Etika naturalistik, bahwa perbuatan baik itu adalah ungkapan dari proses dan wujud
kesadaran manusia yang menghormati pada pribadi manusia sendiri. Tindakan yang baik
adalah tindakan yang sesuai dengan derajat manusia dan kodrat kemanusiaannya.
2015
10
Etik
Drs.Eddy Hermawan
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Kemudian Shidarta (2006) menegaskan bahwa :
Dalam konteks etika anggota DPR berarti menyangkut tentang sistem nilai yang menjadi
pegangan atau pedoman anggota DPR, mengenai apa yang tidak patut dilakukan selama
menjalankan tugas sebagai anggota DPR. Nilai-nilai tersebut dirumuskan dalam suatu
norma tertulis yang kemudian disebut Kode Etik, sehingga jelas kiranya apabila etika
diartikan dalam dua hal yakni sebagai sistem nilai dan sebagai ilmu atau cabang filsafat.
Selain itu, dalam konteks etika politik dijelaskan oleh Ricoeur (dalam Haryatmoko,
2003) bahwa pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan yakni pertama, upaya hidup
baik bersama dan untuk orang lain..., kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan...,
ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Kemudian, Ricoeur (dalam Haryatmoko,
2003) juga menegaskan bahwa tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik,
bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan
membangun institusi-institusi yang adil.
Selanjutnya Haryatmoko (2003) menyimpulkan bahwa :
Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang lain". Pada
tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau
warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang
lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak
mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah
negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral.
2. Kekuasaan dan Trias Politika
Keberadaan suatu kekuasaan dalam suatu negara tidak bisa dinafikan, melalui
kekuasaan, seseorang bisa mempengaruhi orang lain untuk mencapai kepentingan
bersama. Hal ini menurut Budiardjo (2009) dapat dilihat dari perumusan yang umumnya
dikenal yakni kekuasaan adalah kemampuan seseorang pelaku untuk mempengaruhi
perilaku seorang pelaku lain, sehingga perilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari
2015
11
Etik
Drs.Eddy Hermawan
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
pelaku yang mempunyai kekuasaan. Dalam perumusan ini pelaku bisa berupa seorang,
sekelompok orang, atau suatu kolektivitas.
Senada dengan pemikiran diatas juga diungkapkan oleh Laswell dan Kaplan (dalam
Budiardjo, 2009) yaitu kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau
sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok orang lain ke arah
tujuan dari pihak pertama.
Berkaitan dengan konsep kekuasaan diatas, dalam sebuah praktek ketatanegaraan
tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan
sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter. Oleh karena untuk
menghindari hal tersebut maka harus ada pemisahan kekuasaan negara. Sebagaimana
konsep trias politika yang dikemukakan oleh Montesquieu (dalam Syafiie, 2002) yakni
kekuasaan legislatif yaitu pembuat undang-undang, kekuasaan eksekutif (presiden) yaitu
pelaksana undang-undang, kekuasaan yudikatif yaitu yang mengadili (badan peradilan).
Namun demikian, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia mengenai
konsep trias politika diatas, maka menurut Budiardjo (2009) bahwa ketiga undang-undang
dasar di Indonesia tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin trias politika dianut,
tetapi karena ketiga undang-undang dasar menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional,
maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia mengatur trias politika dalam arti pembagian
kekuasaan, bukan pemisahan kekuasaan.
3. Perwakilan
Lembaga perwakilan muncul karena asas demokrasi langsung tidak mungkin lagi
dapat dijalankan, disebabkan bertambahnya penduduk, luasnya wilayah negara dan
bertambah rumitnya urusan kenegaraan. Oleh karena itu, menurut Fatwa (2004) :
Perwakilan merupakan mekanisme untuk merealisasikan gagasan normatif bahwa
pemerintahan harus dijalankan dengan kehendak rakyat. Dengan demikian, yang
bekepentingan terhadap lembaga perwakilan ini adalah rakyat, karena rakyat merupakan
pihak yang diwakili atau selaku pihak yang menyerahkan kekuasaan/mandat untuk mewakili
opini, sikap, dan kepentingannya kepada lembaga perwakilan didalam proses politik dan
pemerintahan.
2015
12
Etik
Drs.Eddy Hermawan
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Selain itu, menurut Crespo (dalam Feulner dan Solechah, 2008) prinsip perwakilan
memiliki dua aspek utama, yakni :
Aspek pertama berarti bahwa parlemen harus mencerminkan kehendak rakyat seperti yang
disuarakan selama pemilihan umum (pemilu) secara demokratis dan pilihan pemilih untuk
wakil-wakil mereka dan partai politik. Aspek kedua yang merupakan perwakilan dari
keanekaragaman sosial masyarakat dari segi jender, bahasa, agama, etnisitas, minoritas,
atau
karakteristik politis yang signifikan lainnya.
Kemudian, menurut Feulner dan Solechah (2008) bahwa :
Anggota DPR selain wakil rakyat juga merupakan representasi dari Partai Politik yang
menghantarkannya. Mendengar, menyalurkan, maupun memperjuangkan aspirasi rakyat
sejatinya merupakan bagian dari kewajiban anggota DPR yang juga kader partai politik
dalam rangka menjalankan fungsi maupun tanggung-jawabnya.
Peran utama dari lembaga perwakilan adalah sebagai badan pembuat hukum, dan
sebagai himpunan wakil rakyat. Selain itu, peran lainnya seperti pengawasan dan sosialisasi
terjadi melalui pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga ini. Diberbagai negara terdapat
perbedaan dalam merumuskan fungsi badan perwakilan. Namun demikian, ada persamaan
hakekat tentang fungsi lembaga perwakilan antar negara, maka secara keseluruhan
menurut Sanit (1985) fungsi badan perwakilan ialah perundang-undangan, keuangan,
pengawasan, pemilihan pejabat, dan internasional.
4. Korupsi
Kata Latin corruptus, (corrupt) menimbulkan serangkaian gambaran kejahatan; kata itu
berarti apa saja yang merusak keutuhan. Ada nada moral pada kata tersebut (Klitgaard,
2005).
Sementara itu, salah satu definisi korupsi menurut kamus lengkap Webster’s Third
New International Dictionary (dalam Klitgaard, 2005) adalah ajakan (dari seorang pejabat
politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang semestinya (misalnya suap) untuk
melakukan pelanggaran tugas.
2015
13
Etik
Drs.Eddy Hermawan
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Selain itu, Klitgaard (2005)
mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku yang
menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau
uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau
melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.
Kemudian, Philip (dalam Saidi, dkk, 2006) menjelaskan bahwa paling tidak ada tiga
pengertian luas yang dapat digunakan untuk berbagai pembahasan tentang korupsi, yaitu :
Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kantor publik (public office-centered
corruption), yang didefinisikan tindakan pejabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas
publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Kedua, pengertian korupsi yang
dikaitkan dampaknya dengan kepentingan umum (public interest-centered). Jenis korupsi ini
bisa terjadi jika pemegang kekuasaan atau pejabat publik, yang menerima imbalan tertentu,
sehingga merusak kepentingan publik. Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat pada pasar
(market-centered) dengan menggunakan teori pilihan publik, sosial dan ekonomi di dalam
kerangka analisa politik. Dalam konteks ini korupsi dianggap “lembaga” ekstra legal yang
digunakan individu atau kelompok untuk mendapatkan pengaruh terhadap kebijakan dan
tindakan birokrasi.
Atas dasar ketiga pengertian korupsi diatas, maka Leiken (dalam Saidi, dkk, 2006)
merumuskan pengertian korupsi, yakni korupsi adalah penggunaan kekuasaan publik untuk
mendapatkan keuntungan (material) pribadi atau kemanfaatan politik.
Sedangkan tindak pidana korupsi menurut pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Selain itu, tindak pidana korupsi menurut pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Kemudian dalam Bagian Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik
dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar
2015
14
Etik
Drs.Eddy Hermawan
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu
dilakukan dengan cara luar biasa.
Selanjutnya, Pope (dalam Saidi, dkk, 2006) menegaskan bahwa :
Korupsi dapat terjadi jika ada kesempatan dan keinginan dalam waktu bersamaan.
Kesempatan (structural) dan keinginan (cultural) sangat memegang penjelasan kunci
bagaimana korupsi itu bisa terjadi. Jika masalah peluang lebih berkaitan dengan adatidaknya kontrol, maka masalah keinginan lebih berkaitan dengan integritas moralitas yang
dimiilki aktor. Keduanya, tidak bisa saling menafikan. Jika ada kesempatan tetapi tidak ada
keinginan, maka korupsi tidak akan terjadi. Sebaliknya, jika ada keinginan tetapi tidak ada
kesempatan maka korupsi juga tidak akan terjadi.
Sedangkan tipologi korupsi menurut Alatas (dalam Saidi, dkk, 2006) ialah :
1.
Korupsi transaktif yaitu korupsi yang terjadi dalam bentuk suap antara pemberi dan
penerima dalam bentuk saling menguntungkan (simbiose mutualistik).
2.
Korupsi ekstortif yaitu korupsi yang terjadi akibat pungutan paksa dari pejabat atas jasa
yang diberikan, sedangkan pihak luar terpaksa harus memberi karena terpaksa.
3.
Korupsi invensif yaitu pemberian hadiah atau jasa sebagai upaya investasi guna
memperoleh kemudahan di masa yang akan datang.
4.
Korupsi nepotistik yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam
pengangkatan pada kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi kerabat dekat.
5. Korupsi otogentik yaitu korupsi yang terjadi jika seorang penjabat menjual informasi rahasia
kepada para peserta tender dengan imbalan tertentu.
6. Korupsi suportif yaitu korupsi yang dilakukan secara jamaah dalam satu bagian dengan
tujuan untuk melindungi dan mempertahankan praktik korupsi yang dilakukan secara
kolektif.
C. Apakah Korupsi Melanggar Etika
2015
15
Etik
Drs.Eddy Hermawan
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dalam konteks teori kekuasaan, dikatakan bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan
di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau
kelompok orang lain ke arah tujuan dari pihak pertama (Laswell dan Kaplan dalam
Budiardjo, 2009). Dalam hal ini, ditinjau dari tujuan kekuasaan anggota DPR RI hakekatnya
adalah untuk mencapai tujuan negara Republik Indonesia yaitu untuk menyelenggarakan
kesejahteraan dan kecerdasan rakyat Indonesia.
Oleh karena anggota DPR RI adalah wakil dari rakyat dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara, maka teori kekuasaan diatas bersesuaian dengan teori perwakilan
dimana menurut Fatwa (2004) bahwa :
Perwakilan merupakan mekanisme untuk merealisasikan gagasan normatif bahwa
pemerintahan harus dijalankan dengan kehendak rakyat. Dengan demikian, yang
bekepentingan terhadap lembaga perwakilan ini adalah rakyat, karena rakyat merupakan
pihak yang diwakili atau selaku pihak yang menyerahkan kekuasaan/mandat untuk mewakili
opini, sikap, dan kepentingannya kepada lembaga perwakilan didalam proses politik dan
pemerintahan.
Selain itu, anggota DPR RI adalah juga sebagai politikus, maka menurut konsep etika
politik yang dijelaskan oleh Haryatmoko (2003) bahwa politikus yang baik adalah jujur,
santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki
keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya, serta
memiliki keutamaan-keutamaan moral.
Terkait dengan etika, maka etika (ethos) merupakan hakekat konsep nilai-nilai baik,
buruk, apa yang seharusnya, yang benar atau yang salah, dan prinsip-prinsip umum yang
dapat memberikan alasan tertentu dalam penggunaan penilaian terhadap sesuatu hal.
Dengan mengambil contoh istilah perikemanusiaan, maka perikemanusiaan merupakan
merupakan batas antara ada dan tidak ada perikemanusiaan, dan batas tersebut disebut
ethos. Kata asal etika itu berarti pagar untuk membatasi gerak ternak agar supaya ternak
tidak berkeliaran, dan tetap berada dalam lingkungan pagar tersebut. Lebih lanjut, ethos
berarti batas, atau membatasi gerakan dan perbuatan, dan karena yang mampu melakukan
perbuatan itu adalah manusia, maka ethos dimaksudkan sebagai batas perbuatan manusia.
Dengan demikian, perbuatan yang baik adalah perbuatan yang boleh dilakukan, atau
perbuatan yang seharusnya, ataupun perbuatan yang sebaiknya dilakukan, yang berada
dalam lingkungan batas tersebut. Jadi perbuatan seperti itu yang digolongkan sebagai
2015
16
Etik
Drs.Eddy Hermawan
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
perbuatan yang baik, perbuatan yang etik karena dilakukan dalam ethos (Suryaningrat
dalam Garna, 2001).
Sementara itu, apakah korupsi merupakan perbuatan yang baik?. Korupsi ditinjau dari
asal katanya yakni corruptus, (corrupt) adalah perbuatan yang menimbulkan serangkaian
gambaran kejahatan; kata itu berarti apa saja yang merusak keutuhan (Klitgaard, 2005).
Kemudian, definisi korupsi adalah sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas
resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi
(perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan
beberapa tingkah laku pribadi (Klitgaard, 2005).
Selain itu tindakan korupsi adalah pertama, setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Kedua,
setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang
dapat
merugikan keuangan negara
atau
perekonomian negara (pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan, dan kaitan antara berbagai teori-teori
diatas, serta peraturan perundangan yang ada, maka jelas kiranya bahwa KORUPSI
(dengan mengacu pada kasus korupsi anggota DPR RI) ADALAH PERBUATAN atau
TINDAKAN YANG MELANGGAR ETIKA.
Wassalam ....
2015
17
Etik
Drs.Eddy Hermawan
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Etika merupakan cabang falsafah dan sekaligus merupakan suatu cabang dari ilmuilmu kemanusiaan (humaniora). Sebagai cabang falsafah ia membahas sistem-sistem
pemikiran yang mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Sebagai cabang ilmu ia
membahas bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu.
Pengertian 'politik' berasal dari kosa kata 'politics', yang memiliki makna bermacammacam kegiatan dalam suatu sistem politik atau `negara' yang menyangkut proses
penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan di ikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu.
pengambilan keputusan atau 'clecisionmaking' mengenai apakah yang menjadi tujuan dari
sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala
prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan
bukan tujuan pribadi seseorang (privat goals). Selain itu politik menyangkut kegiatan
berbagai kelompok termasuk portal politik, lembaga masyarakat maupun perseorangan.
korupsi merupakan Tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan
kekuasaannya guna mengeduk keuntungan pribadi atau kelompok dan sangat merugikan
kepentingan umum dan sangat bertentangan dengan norma-norma yang berlaku
2.
Saran
Setelah membaca makalah ini penulis menyarankan kepada pembaca Hendaknya
sebagai
warga
negara
khususnya
mahasiswa
lebih
memahami
pancasila
dan
maknanya,dan apa saja cita-cita pancasila agar di kemudian hari sebagai calon pemimpin
masa depan mahasiswa dapat memimpin negara indonesia, serta tidak adanya
penyalahgunaan pancasila seperti masa orde baru.
2015
18
Etik
Drs.Eddy Hermawan
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Adnan, m. Fachari.2003. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tingi Padang:UNP Press
Budiardjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
Fatwa, A.M. 2004. Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi. Jakarta. PT RajaGrafindo
Persada.
Frank Feulner, dan Solechah. 2008. Peran Perwakilan Parlemen. Jakarta. Sekretariat Jenderal
DPR RI dan UNDP.
Garnas, K. Judistira. 2001. Filsafat dan Etika Pemerintahan. Bandung. Primaco Akademika.
Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.
Klitgaard, Robert. 2005. Membasmi Korupsi. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Ndraha, Taliziduhu. 2006. Kybernologi : Sebuah Scientific Enterprise. Tangerang. Sirao Credentia
Center.
Saidi, Anas. dkk. 2006. Pemberantasan Korupsi dan Pemerintahan yang Bersih. Jakarta. LIPI
Press.
Shidarta. 2006. Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir. Bandung. PT. Refrika
Aditama.
Syafiie, Inu Kencana. 2002. Sistem Pemerintahan Indonesia (Edisi Revisi). Rineka Cipta, Jakarta.
http://www.kompas.com., diakses tanggal 17 Maret 2011
http://www.vivanews.com., diakses tanggal 18 Maret 2011
2015
19
Etik
Drs.Eddy Hermawan
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2015
20
Etik
Drs.Eddy Hermawan
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download