Perspektif, Penggolongan dan Assessment Perilaku Abnormal Kuliah Psikologi Abnormal, Dosen: Ir. Henrikus, SPsi, CHT Perspektif Dalam pertemuan kali ini kita mempelajari perspektif-perspektif kontemporer yang utama tentang perilaku abnormal, yaitu : 1. Perspektif biologis, model medis mewakili perspektif biologis tentang perilaku abnormal, mengacu pada pendekatan yang menekankan peran faktor biologis dalam menjelaskan perilaku abnormal dan penerapan penanganan yang berbasis biologis dalam menangani gangguan psikologis. Sebagai contoh, pola-pola perilaku tertentu (rasa malu) mungkin memiliki komponen genetis yang kuat namun tidak dapat dianggap "simtom-simtom" dari "gangguan" yang mendasarinya. Genetis memainkan peran besar dalam berbagai bentuk perilaku abnormal, sebagaimana akan kita lihat dalam keseluruhan teks. Kita juga mengetahui bahwa faktor-faktor biologis lainnya, terutama berfungsinya sistem-sistem saraf, terlibat dalam perkembangan perilaku abnormal (Cravchik & Goldman, 2000). Karena itu perlu mempelajari bagaimana sistem saraf tersusun dan bagaimana sel-sel saraf saling berkomunikasi satu dengan lainnya. Ketidakteraturan dalam kerja sistem neurotransmiter di otak berkaitan erat dengan pola-pola perilaku abnormal, contoh, depresi berkaitan dengan disfungsi yang melibatkan neurotransmiter norepinefrin dan serotonin. Ketidakteraturan fungsi serotin juga berpengaruh pada gangguan makan. Penyakit Alzheimer (Alzheimer's disease), penyakit otak di mana terdapat kehilangan ingatan dan fungsi kognitif secara progresif, karena neurotransmiter asetilkolin di otak. Ketidakteraturan yang melibatkan neurotransmiter dopamin tampaknya terlibat dalam skizofrenia Orang-orang yang mengalami skizofrenia mungkin menggunakan lebih banyak dopamin yang tersedia di otak daripada orang-oranz lain yang tidak mengalami skizofrenia. Hasilnya mungkin 1 adalah halusinasi, pembicaraan yang tidak koheren, dan pemikiran delusional. Obat-obat antipsikotik yang digunakan untuk menangani skizofrenia bekerja dengan memblok reseptor dopamin di otak. Neurotransmitter Fungsi Perilaku Asetikolin (Ach) Mengendalikan kontraksi otot dan pembentukan ingatan Bila kurang terjadi Alzheimer Dopamin Mengatur kontraksi Penggunaan berlebih dari otot dan prosesdopa min di otak mungkin proses mental berperan dalam perkembangan yang meliputi skizofrenia belajar, ingatan, dan emosi Norepinefrin Proses-proses mental yang terlibat dalam belajar Ketidakseimbangannya dikaitkan dengan gangguan mood seperti depresi dan ingatan Serotonin Contohnya: Aprazolam (SANAX) Pengatur kondisi mood, kepuasan, dan tidur Ketidakteraturan mungkin berperan dalam depresi dan gangguan makan Semangat, motivasi Namun demikian, untuk berbagai gangguan lain penyebab yang tepat tetap tidak diketahui. Pada kasus-kasus lain, seperti skizofrenia, faktorfaktor biologis, terutama genetis, tampaknya berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan pembuat stres dalam perkembangan gangguan. 2 Pengaruh genetis dapat terjadi pada ranah yang luas dari gangguan psikologis, termasuk skizofrenia, gangguan bipolar (manik depresi), depresi mayor, alkoholisme, autisme, demensia akibat penyakit Alzheimer, gangguan kecemasan, disleksia, dan gangguan kepribadian antisosial. Ketika faktor genetis memainkan peran, faktor tersebut melibatkan interaksi yang kompleks dari berbagai gen. Kita belum menemukan gangguan kesehatan mental spesifik yang dapat dijelaskan oleh cacat atau variasi dari satu gen tunggal belum ditemukan bahwa faktor genetis saja yang menjadi penyebab gangguan kesehatan mental tertentu. Faktor lingkungan juga memainkan peran yang penting. 2. Perspektif Psikologis, model-model psikologis utama tentang perilaku abnormal dipengaruhi oleh perspektif psikodinamika mencerminkan pandangan pandangan Freud dan para pengikutnya, yang meyakini bahwa perilaku abnormal berasal dari penyebab-penyebab psikologis berdasarkan kekuatan-kekuatan psikis mendasar dalam kepribadian. Para teoretikus belajar mengemukakan bahwa prinsip-prinsip belajar dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku abnormal maupun normal. Para teoretikus humanistik meyakini bahwa penting untuk memahami hambatan-hambatan yang dihadapi orang ketika mereka berjuang untuk memperoleh aktualisasi diri dan keautentikan. Para teoretikus kognitif memfokus pada peran dari pikiran-pikiran yang terdistorsi dan menipu diri sendiri dalam menjelaskan perilaku abnormal. Dalam teorinya S.Freud menggolongkan kepribadian seseorang dalam 3 komponen dasar: Id, dipengaruhi oleh insting dasar manusia yaitu: seks dan agresi, yang menjadi dasar motivasi tindakan dan bekerja berdasarkan prinsip pleasure. Bersifat serakah, menuntut dan tidak mempunyai kontrol diri alamiah. Ego adalah komponen yang bersifat realistis, dan komponen ini memaksimalkan kepuasan berdasarkan kenyataan yang ada. 3 Superego, berisikan moral dan nilai nilai sosial si individu, berfungsi sebagai conscience, menciptakan perasaan bersalah bila norma norma sosial dilanggar. Ketiga komponen diatas yang bekerja terus menerus mengontrol seseorang, misalnya keinginan seksual berakar di Id, tetapi superego bertugas melakukan gratifikasi moralitas, misalnya perasaan berdosa, dan ego mempertimbangkan untung ruginya tindakan. Bila Id menjadi saja yang dominan maka bisa saja terjadi tindakan tindakan asusila, misalnya perkosaan atau tindakan kekerasan yang lain. Menurut Freud bahwa seseorang yang kita kenal, bahkan diri kita, atau personaliti kita dibentuk oleh masa lalu dan dipengaruhi sebagian besar oleh ketidaksadaran kita. Karena itu perlu kita mengetahui 5 tahap perkembangan psikologi untuk menganalisa masalah yang ada pada seseorang saat ini apakah berkaitan dengan masalalunya khususnya masa kanak kanaknya. Kelima tahapan itu adalah: 1. Fase Oral, karakteristiknya adalah menerima gratifikasi melalui mulut: misalnya mengisap, menangis, atau menyelidiki benda memakai mulut. Fase ini pada usia 18 sampai 24 bulan. Pada fase ini hanya Id yang berperan. Fase ini dicirikan dengan ketidakmampuan menunda keinginan dan egois dan sifat menuntut. 2. Fase Anal, pada usia 42 dan 48 bulan, anak anak mendapatkan kepuasan dari anal, pada fase ini anak anak belajar mengetahui bahwa melalui proses toilet training mereka memberi pengaruh pada orang lain dan belajar merubah kebiasaannya untuk mendapatkan kepuasan dari pujian orang tuanya. Pada fase ini Ego mulai berkembang untuk menerima realitas. 3. Fase phallic, usia 5-6 years, pada fase ini superego mulai berkembang, dan mereka mendapat pengalaman dari konflik seksual. Pada fase ini anak laki laki punya bersifat incestuous pada ibunya yang di dorong oleh Id nya yang disebut Oedipal complex, pada fase 4 ini Ego mampu memutuskan konsekuensi tindakan apakah akan mendapatkan ketidak persetujuan dari rivalnya yaitu ayahnya. Dan mulai mengadopsi nilai nilai dan keyakinan yang dilihat pada ayahnya dimana Superego mulai dikembangkannya. Begitu pula pada anak wanita pada tahap ini juga timbul Penis Envy, sampai akhirnya mengadopsi nilai nilai dari ibunya membentuk Superego wanitanya juga. 4. Fase latent, dimana individu menyalurkan kebutuhan seks dan agresinya melalui ketertarikan pada lawan jenisnya, aktivitas olah raga dan hobbi. 5. Fase Genital, yang berlangsung mulai awal puber sampai sisa usia, dimana in dividu digerakkan oleh seks dan agresi. Bila individu sehat akan disalurkan melalui hubungan sosial misalnya; hubungan seksual, Ambisi, Karier, dsb. Dan bila tidak tersalurkan akan menumpuk sampai akhirnya tak terbendung, sehingga timbul tindakan tidak terkontrol, karena dipengaruhi oleh Unconscious. Untukm mencegah tindakan tindakan tak terkontrol individu membloknya melalui berbagai macam mekanisme tak sadar (unconscious mechanisms). Untuk menambah pengetahuan tentang gejala gejala dan tanda tanda psikologis yang timbul karena fase fase perkembangan yang tidak sempurna sebagai berikut adalah: 1. Fase Oral, problemnya : Depression, narcissism, dependence 2. Fase Anal, problemnya: Obsessive-compulsive disorder, sadomasochism 3. Fase Phallic, problemnya: Gender identity problems, antisocial personality 4. Fase Latent, problemnya: Over or lack self control. 5. Fase Genital, problemnya: Genital Identity diffusion. 5 3. Perspektif Sosiokultural, Para teoretikus sosio kultural meyakini bahwa kita butuh memperluas pandangan kita tentang perilaku abnormal dengan mengikutsertakan peran dari penyakit-penyakit sosial dalam masyarakat, termasuk kemiskinan, rasisme, dan kekurangan kesempatan, dalam berkembangnya pola-pola perilaku abnormal. 4. Perspektif biopsikososial mencari pemahaman perilaku abnormal berdasarkan hubungan antara faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosiokultural dalam perilaku abnormal. Penggolongan perilaku abnormal Penggolongan perilaku abnormal sudah ada sejak dahulu kala. Hippocrates menggolongkan perilaku abnormal atas dasar teorinya tentang cairan tubuh. Walaupun teorinya terbukti cacat, ia sampai pada sejumlah kategori diagnostik yang umumnya sesuai dengan yang ada dalam sistem diagnostik modern. Uraiannya tentang melankolia, sebagai contoh, serupa dengan konsepsi depresi sekarang ini. Sepanjang Abad Pertengahan, pihak otoritas atau yang berwenang menggolongkan perilaku abnormal atas penyebab: karena kerasukan setan dan karena sebab-sebab alamiah. Psikiater Jerman abad ke-19 Emil Kraepelin adalah orang yang dianggap sebagai teoretikus modern pertama yang mengembangkan model penggolongan yang komprehensif berdasarkan pada karakteristikkarakteristik pembeda, atau simtom, yang dikaitkan dengan pola perilaku abnormal. Sistem klasifikasi yang paling umum digunakan saat ini sebagian besar adalah pengembangan dan perluasan dari karya Kraepelin. Penggolongan penting karena penggolongan adalah inti ilmu pengetahuan. Tanpa pemberian label dan pengorganisasian pola perilaku abnormal, peneliti tidak bisa mengkomunikasikan penemuan mereka kepada yang lain, dan kemajuan ke arah pemahaman gangguan akan terhenti. Lebih dari itu, keputusan penting dibuat dengan didasarkan pada penggolongan. Gangguan psikologis tertentu memberi respons yang lebih baik pada suatu 6 terapi dibanding pada terapi lainnya atau berespons lebih baik terhadap suatu pengobatan dibanding pengobatan lainnya. Penggolongan juga membantu klinisi meramalkan perilaku. Beberapa pola perilaku abnormal, seperti skizofrenia, boleh dikatakan mengikuti rangkaian perkembangan yang dapat diramalkan. Penggolongan juga membantu para peneliti mengidentifikasi populasi dengan pola perilaku abnormal yang serupa. Dengan menggolongkan sekelompok orang sebagai penderita depresi, peneliti mungkin mampu mengidentifikasi faktor-faktor umum yang membantu menjelaskan timbulnya depresi itu. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association. DSM menggolongkan pola perilaku abnormal sebagai gangguan mental atas dasar kriteria diagnostik yang spesifik. DSM pertama kali diperkenalkan pada tahun 1952. Di dalam DSM, pola perilaku abnormal digolongkan sebagai "gangguan mental." Gangguan mental mencakup distres emosional (secara khusus depresi atau kecemasan) dan/ataupun hendaya (impairment) yang signifikan pada fungsi psikologis. Fungsi yang rusak melibatkan berbagai kesulitan dalam memenuhi tanggung jawab di tempat kerja, dalam keluarga, atau dalam masyarakat luas. Hal tersebut mencakup pula perilaku yang menempatkan seseorang pada risiko mengalami penderitaan pribadi, sakit, atau kematian. Diagnosis gangguan mental dalam DSM mensyaratkan bahwa pola perilaku tersebut tidak mewakili suatu respons yang sesuai secara budaya atau yang diduga muncul pada peristiwa stres berat, seperti kehilangan orang tercinta. Orang-orang yang menunjukkan tanda-tanda kedukaan setelah kematian orang yang dicinta tidak dianggap terganggu, sekalipun perilaku mereka mengalami hendaya secara signifikan. Akan tetapi, jika perilaku mereka tetap terganggu secara signifikan setelah satu periode waktu yang cukup lama, diagnosis gangguan mental mungkin menjadi sesuai. Kriteria gangguan kecemasan menyeluruh. 1. Timbulnya kecemasan yang berlebihan dan kekhawatiran pada hampir setiap hari selama masa enam bulan atau lebih. 7 2. Kecemasan dan kekhawatiran tidak terbatas pada satu atau beberapa hal atau peristiwa. 3. Kesukaran mengendalikan perasaan khawatir. 4. Kehadiran sejumlah ciri-ciri yang diasosiasikan dengan kecemasan dan kekhawatiran, seperti berikut: mengalami kegelisahan atau perasaan resah, menjadi mudah lelah, mempunyai kesukaran berkonsentrasi atau memiliki pikiran yang kosong, perasaan mudah marah, mengalami ketegangan otot, mengalami kesukaran tidur atau tetap tertidur atau mengalami tidur yang gelisah dan tidur yang tidak memuaskan, Mengalami distres emosional atau hendaya sosial, pekerjaan, atau bidang-bidang fungsi lain sebagai akibat kecemasan, kekhawatiran, atau simtom-simtom fisik yang terkait, Kekhawatiran atau kecemasan ini tidak berhubungan dengan ciri-ciri gangguan lain. Gangguan bukan merupakan akibat dari suatu penyalahgunaan obat atau suatu kondisi medis umum dan tidak terjadi dalam konteks gangguan lain. Ciri-ciri DSM DSM bersifat deskriptif, namun tidak bersifat menjelaskan. DSM menguraikan ciri-ciri diagnostik-atau, dalam istilah medis, simtom-simtom dari perilaku abnormal dan bukan berusaha menjelaskan penyebabnya. 1. Menggunakan kriteria diagnostik yang spesifik. Klinisi sampai pada suatu diagnosis dengan cara mencocokkan perilaku klien dengan kriteria yang menggambarkan pola perilaku abnormal ("gangguan mental") tertentu. Kategori diagnostik dideskripsikan melalui ciri-ciri esensial (kriteria yang harus ada supaya diagnosis dapat ditegakkan) dan ciri-ciri asosiatif (kriteria yang sering diasosiasikan dengan gangguan tetapi tidak esensial dalam penegakan diagnosis). 2. Pola perilaku abnormal yang mempunyai ciri-ciri klinis sama dikelompokkan menjadi satu. Pola perilaku abnormal dikategorisasi menurut ciri-ciri klinis yang sama-sama dimiliki, bukan spekulasi teoretis 8 tentang penyebabnya. Sebagai contoh, pola perilaku abnormal yang terutama ditandai oleh kecemasan, digolongkan sebagai gangguan kecemasan. Perilaku-perilaku yang terutama ditandai oleh gangguan mood digolongkan sebagai gangguan mood. 3. Sistem bersifat multiaksial. DSM memakai suatu sistem assessment yang multiaksial atau multidimensional yang menyediakan jangkauan informasi yang luas tentang fungsi individu, tidak hanya suatu diagnosis saja Sistem ini berisi aksis-aksis berikut: 1. Aksis I meliputi suatu penggolongan Sindrom (syndromes) Klinis, yang mencakup secara luas berbagai macam kelompok diagnostik. Di sini tercakup gangguan kecemasan, gangguan mood, skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya, gangguan penyesuaian, dan gangguan yang umumnya pertama kali didiagnosis pada masa bayi, masa kanak-kanak, atau masa remaja (kecuali retardasi mental, yang dikodekan pada Aksis II). Aksis I juga mencakup penggolongan Kondisi-kondisi Lainnya yang Mungkin Merupakan Fokus Perhatian Klinis. Ini adalah kondisi-kondisi atau permasalahan yang mungkin menjadi fokus diagnosis dan terapi, seperti problem dalam relasi, problem pekerjaan atau akademik, duka cita, tetapi yang tidak dapat jelas didefinisikan sebagai gangguan psikologis. Tercakup di sini, suatu kategori dari faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi-kondisi medis, seperti kecemasan yang muncul sebagai kondisi asmatik, atau gejala depresi yang memperlambat kesembuhan setelah operasi. 2. Aksis II, Gangguan-gangguan Kepribadian, mencakup pola perilaku maladatif yang sangat kaku dan bertahan. Biasanya merusak hubungan antarpribadi dan adaptasi sosial, termasuk gangguan kepribadian antisosial, paranoid, narsisistik, dan gangguan kepribadian ambang. Retardasi mental juga dikodekan pada Aksis II. 3. Aksis III Kondisi-kondisi Medis Umum, gangguan dan kondisi medis yang mungkin penting bagi pemahaman atau pengobatanan gangguan mental individu. Misalnya, seandainya hipotiroid (hypothyroidism) merupakan penyebab langsung dari gangguan mood individu (seperti depresi berat), 9 itu akan dikodekan di Aksis III. Kondisi medis yang mempengaruhi penanganan atau pemahaman suatu gangguan mental tetapi bukan penyebab langsung dari gangguan juga dituliskan pada Aksis III. Sebagai contoh, adanya gangguan jantung mungkin menentukan apakah rangkaian terapi obat tertentu dapat digunakan pada seseorang yang mengalami depresi. 4. Aksis IV, Problem Psikososial dan Lingkungan, daftar problem psikososial dan lingkungan yang diyakini mempengaruhi diagnosis, penanganan, atau prognosis suatu gangguan mental. Ada tiga pendekatan utama untuk menunjukkan reliabilitas teknik assessment 1.Konsistensi Internal, Teknik-teknik korelasional digunakan untuk menunjukkan apakah bagian bagian atau item-item yang berbeda dari suatu instrumen assessment, seperti tes atau skala kepribadian, memberi hasil yang konsisten satu sama lain dan pada instrumen secara keseluruhan. Konsistensi internal (internal consistency) krusial untuk tes yang bertujuan mengukur trait tunggal atau dimensi konstruk. Ketika bagian atau item-item individual dari suatu tes memiliki korelasi yang tinggi, kita dapat mengasumsikan bahwa mereka mengukur trait atau konstruk yang sama. Misalnya, bila responsrespons terhadap suatu rangkaian item pada suatu skala depresi tidak mempunyai korelasi yang tinggi satu sama lain, tidak ada dasar untuk berasumsi bahwa item-item tersebut mengukur satu konstruk atau dimensi umum tunggal-dalam hal ini, depresi. Beberapa tes berisi penilaian yang multidimensional. Tes tersebut berisi subskala atau faktorfaktor yang mengukur dimensi-dimensi konstruk yang berbeda. Salah satu contoh tes yang multidemensional adalah Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI), yang menilai berbagai dimensi perilaku abnormal. Dalam hal semacam ini, subskala di dalam tes dimaksudkan untuk mengukur trait individual, seperti sub skala hipokondriasis dan depresi. Di dalam subskala diharapkan adanya konsistensi internal, tetapi antara subskala tidak perlu berkorelasi satu sama lain, kecuali jika trait yang akan diukur memang saling berhubungan. 10 2.Stabilitas Temporal, Metode assessment yang reliabel juga mempunyai stabilitas temporal (temporal stability), yaitu stabilitas dari waktu ke waktu. Mereka memberi hasil yang serupa pada kesempatan-kesempatan berbeda. Kita tidak akan mempercayai timbangan yang memberi hasil berbeda setiap kali kita menimbang badan. Kecuali kita makan secara rakus atau melaparkan diri sebelum menimbang badan lagi. Prinsip yang sama berlaku bagi metode-metode assessment psikologis. Stabilitas temporal diukur melalui reliabilitas tes tes-ulang (test-retest reliability), yang memperlihatkan korelasi antara dua administrasi tes yang dipisahkan oleh periode waktu. Makin tinggi korelasi, semakin besar stabilitas temporal reliabilitas tesulang-tes. 3.Reliabilitas Antarpenilai (interrater reliability), Juga disebut interjudge reliability-biasanya menjadi sangat penting pada pembuatan keputusan diagnostik dan untuk peng¬ukuran yang menuntut penilaian atas perilaku. Suatu sistem diagnostik tidak dapat dipercaya kecuali jika para ahli penilai mencapai persetujuan dengan diagnosis mereka yang dibuat atas dasar sistem tersebut. Sebagai contoh, dua orang guru diminta untuk menggunakan suatu skala assessment perilaku untuk mengevaluasi agresivitas, hiperaktivitas, dan sosiabilitas anak. Tingkat kesesuaian hasil antara para penilai akan menjadi sebuah indeks dari skala reliabilitas. Validitas Validitas dari alat ukur atau teknik assessment mengacu pada sampai derajat mana instrumen tersebut mengukur apa yang ingin diukur. Ada berbagai jenis validitas, seperti validitas isi (content), kriteria (criterion), dan konstruk (construct). Validitas isi (content validity), derajat yang menunjukkan sejauh mana isi suatu tes merupakan suatu sampel yang representatif dari isi yang dirancang akan diukur oleh tes tersebut. Validitas permukaan (face validity), derajat yang menunjukan sejauh mana isi dari suatu tes tampak seperti berhubungan dengan 11 menggambarkan konstruk atau trait yang diukur. Validitas kriteria (criterian validity) menggambarkan derajat sejauh mana si teknik assessment berkorelasi dengan suatu kriteria eksternal lain yang independen (standar), yang mempunyai tujuan yang sama dengan instrumen yang dinilai. Validitas konkuren (concurrent validity) adalah derajat sejauh mana respons-respons tes me prediksi skor pada kriteria ukuran yang diambil pada waktu yang kira-kira sama. Kebanyakan psiko beranggapan bahwa inteligensi mempengaruhi keberhasilan akademis. Validitas kongkuren skor intelegensi dengan demikian sering dipelajari dengan mengorelasikan skor tes dengan kriteria sept nilai di sekolah dan assessment kemampuan oleh guru. Validitas konstruk (construct validity) adalah derajat sejauh mana suatu tes berkorespondensi dengan model teoretis dari konstruk atau trait yang akan diukur. Perhatikan suatu tes yang bertujuan mengukur kecemasan. Faktor- Faktor Etnik dan Sosiokultural dalam Assessment Perilaku Abnormal Teknik-teknik assessment mungkin valid dan reliabel di dalam satu budaya tetapi tidak di dalam budaya yang lain, bahkan bila alat ukur tersebut diterjemahkan dengan tepat (Bolton, 2001; Kleinman, 1987). Contohnya; Di dalam suatu studi, Chan (1991) menggunakan versi bahasa Cina dari Beck Depression Inventory (BDI), suatu inventori depresi yang digunakan secara luas di Amerika Serikat, untuk suatu kelompok mahasiswa Cina dan pasien psikiatri di Hong Kong. BDI Cina memenuhi uji reliabilitas, sebagaimana dinilai melalui konsistensi internal, dan validitas. Namun, para penyelidik lain menemukan bahwa orang-orang Cina baik di Hong Kong maupun di Republik Rakyat Cina cenderung untuk mencapai skor lebih tinggi pada suatu subskala MMPI Cina, yang mensugestikan respons yang menyimpang (Cheung, Song, & Butcher, 1991). Skor yang lebih tinggi ini tampaknya mencerminkan perbedaan budaya, bukan psikopatologi yang lebih parah (Cheung dkk., 1991; Cheung & Ho, 1997). 12 Metode-Metode Assessment Suatu assessment yang teliti memberi sangat banyak informasi tentang kepribadian klien dan fungsi kognitifnya. Informasi ini membantu klinisi memperoleh suatu pemahaman yang lebih luas tentang permasalahan klien mereka dan merekomendasikan bentuk pengobatan yang sesuai. Wawancara Klinis Wawancara klinis adalah sarana assessment yang paling banyak digunakan. Wawancara digunakan oleh semua ahli dan asisten ahli yang berperan membantu. Wawancara tersebut biasanya merupakan kontak tatap muka pertama antara klien dengan klinisi. Klinisi sering kali memulai dengan meminta klien untuk menguraikan keluhan yang ada dengan kata-kata mereka sendiri. Mereka mungkin mengatakan sesuatu seperti, "Dapatkah Anda menceritakan kepada saya permasalahan yang Anda hadapi belakangan ini?" Kemudian klinisi biasanya bertanya lebih mendalam tentang aspek-aspek keluhan, seperti abnormalitas perilaku dan perasaan tak nyaman, peristiwa di sekitar munculnya masalah, riwayat peristiwa lampau, dan bagaimana masalah tersebut mempengaruhi berfungsinya klien sehari-hari. Klinisi mungkin menjajaki peristiwa yang mungkin menjadi faktor pencetus, seperti perubahan keadaan kehidupan, hubungan sosial, pekerjaan, atau pendidikan. Pewawancara mendorong klien untuk menguraikan masalah dengan kata-katanya sendiri dalam rangka memahaminya dari sudut pandang klien. Walaupun format proses wawancara pertama mungkin berbeda-beda dari klinisi satu ke klinisi lain, kebanyakan wawancara meliput topik seperti ini: 1. Data identifikasi. Informasi mengenai karakteristik sosio-demografi klien: alamat dan nomor telepon, status perkawinan, umur, jenis kelamin, karakteristik ras/etnik, agama, pekerjaan, susunan keluarga, dan seterusnya. 2. Deskripsi permasalahan (-permasalahan) yang ada. Bagaimana klien 13 mempersepsi permasalahan? Perilaku, pikiran, atau perasaan yang menggangu? Bagaimana hal itu mempengaruhi berfungsinya klien? Kapan hal itu dimulai? 3. Riwayat psikososial. Informasi tentang riwayat perkembangan klien: bidang pendidikan, sosial, dan riwayat pekerjaan; hubungan keluarga pada masa kanak-kanak, 4. Riwayat medis psikiater. Riwayat perawatan psikiater dan medis serta hospitalisasi: Apakah problem saat ini adalah suatu episode terulang dari problem sebelumnya? Bagaimana ditanganinya di masa lalu? Apakah pengobatan berhasil? Mengapa ya, mengapa tidak? 5. Problem-problem medis pengobatan. Deskripsi tentang problem medis dan pengobatan yang ada sekarang, termasuk obat-obatnya. Klinisi waspada tentang kemungkinan pengaruh masalah medis terhadap masalah psikologis yang sekarang ada. Sebagai contoh, obat untuk kondisi-kondisi medis tertentu dapat mempengaruhi mood dan level umum dari keterangsangan seseorang. Bentuk-Bentuk Wawancara Ada tiga jenis umum dari wawancara klinis: 1. Wawancara tidak terstruktur (bebas), 2. Wawancara semiterstruktur, dan 3. Wawancara terstruktur. Pada wawancara tidak terstruktur (unstructured interview), klinisi mengadopsi gaya bertanya sendiri, tidak mengikuti bentuk standar. Pada wawancara semi-terstruktur (semi-structured interview), klinisi mengikuti suatu garis besar pertanyaan umum yang dirancang untuk mengumpulkan informasi penting tetapi bebas untuk bertanya dengan urutan apa saja dan pindah ke arah lain dalam rangka mengikuti informasi yang penting secara klinis. Pada suatu wawancara terstruktur (structured interview), wawancara mengikuti 14 serangkaian pertanyaan yang ditetapkan lebih dulu dan dengan urutan tertentu. Jenis Jenis Test Yang Dipakai Self-report Di dalam tes kepribadian self-report (self-report personality test), individu individu memberi respons terhadap sekumpulan item tentang perasaan, pikiran, pertimbangan, sikap, minat, keyakinan mereka, dan semacamnya Beck Depression Inventori (BDI) Minnesota Multiphasic Personaliry Inventory (MMPI) Millon Clinical Multi axial Inventory (MCMI) Tes-tes Proyeksi (projective tests) Berbeda dengan tes-tes objektif, tidak menawarkan pilihan respons yang jelas. Klien dihadapkan pada stimuli yang ambigu, seperti noda tinta atau gambar samar-samar, dan diminta untuk mendeskripsikan stimuli itu kelihatannya seperti apa atau membuat cerita tentang objek. Tes Rorschach, berupaya menggali respons seseorang terhadap noda tinta untuk mengungkapkan aspek kepribadiannya, dikembangkan oleh seorang psikiater Swiss, Hermann Rorsch¬ach (1884-1922). Thematic Apperception Test (TAT) dikembangkan oleh psikolog Henry Murray (1943) di Harvard University pada sekitar tahun 1930-an. Apperception adalah suatu kata Prancis yang dapat diterjemahkan sebagai "interpretasi (ide atau impresi baru) 15 berdasarkan ide-ide yang sudah ada (struktur kognitif) dan pengalaman masa lalu." TAT terdiri dari serangkaian kartu, seperti itu yang ditunjukkan pada Gambar 3.5, masing-masingnya melukiskan suatu peristiwa ambigu. Responden diminta untuk mengarang cerita tentang kartu itu. Diasumsikan cerita mereka merefleksikan pengalaman dan pandangan mereka tentang kehidupan-dan, barangkali, juga memberi penjelasan mengenai konflik dan kebutuhan mereka yang paling mendalam. Assessment neuropsikologis (neuropsychological) Tehnik digunakan untuk mengevaluasi apakah problem psikologis merefleksikan kerusakan neurologis atau defek otak yang mendasarinya. Ketika diduga adanya hendaya neurologis, suatu evaluasi neurologis mungkin diajukan oleh seorang neurolog-seorang dokter yang mengkhususkan gangguan-gangguan pada sistem saraf. Seorang neuropsikolog klinis mungkin pula dimintai konsultasi untuk mengadministrasikan teknik assessment neuropsikologis, seperti observasi perilaku dan tes psikologis, untuk mengungkapkan tanda-tanda kemungkinan adanya kerusakan otak. Pengujian neuropsikologis mungkin digunakan bersama-sama dengan teknik foto jaringan otak seperti MRI dan CT untuk menjelaskan hubungan antara fungsi otak dan abnormalitas yang mendasarinya (Fiez, 2001). Hasil pengujian neuropsikologis selain dapat menunjukkan bahwa pasien menderita kerusakan otak dapat juga menunjukkan bagian-bagian dari otak yang terkena. Bender Visual Motor Gestalt Test , terdiri dari figur geometris yang menggambarkan berbagai prinsip persepsi Gestalt. Klien diminta untuk menyalin sembilan desain geometris (lihat Gambar 3.6). Tanda-tanda kerusakan otak mencakup rotasi gambar, distorsi bentuk dan ketidaktepatan dalam menilai ukuran gambar dalam hubungannya satu sama lain. Pemeriksa kemudian meminta klien untuk mengambar kembali desain berdasarkan ingatannya, sebab kerusakan neurologis dapat merusak fungsi memori. The Holstead-Reitan Neuropsychological Battery Psikolog Ralph Reitan 16 mengembangkan battery tersebut dengan mengadaptasikan tes yang digunakan oleh mentornya, Ward Halstead, seorang psikolog eksperimen, untuk mempelajari hubungan otak-perilaku pada individu yang mempunyai kerusakan organik. Battery tersebut berisi tes yang mengukur fungsi perseptual, intelektual, dan keterampilan motorik, serta kinerja (performance). Luria Nebraska Test Battery, didasarkan pada karya neuropsikolog Rusia A.R. Luria dan dikembangkan oleh para psikolog di Universitas Nebraska (C]. Golden, Hammeke, & Purisch, 1980). Seperti HalsteadReitan, Luria Nebraska mengungkapkan pola defisit keterampilan yang dapat memberi petunjuk adanya lokasi tertentu dari kerusakan otak. Luria Nebraska lebih efisien dalam administrasinya dibanding HalsteadReitan, karena hanya menuntut sekitar sepertiga waktunya untuk menyelesaikan. Tes ini menilai berbagai macam keterampilan. Mengukur keterampilan taktil, kinestetik dan spasial; keterampilan motorik yang kompleks; keterampilan auditori; keterampilan menangkap dan mengekspresikan pembicaraan; keterampilan membaca, menulis dan berhitung; dan fungsi inteligensi umum dan memori Behavioral Assessment Model penilaian tradisional yaitu, pendekatan psikometrik (psychometric approach), menyatakan bahwa tes psikologis mengungkapkan tanda-tanda dari trait atau disposisi yang relatif stabil yang berperan besar dalam menentukan perilaku orang. Pendekatan psikometrik bertujuan untuk menggolongkan orang berdasarkan tipe kepribadian menurut trait seperti kecemasan, introver-ekstraver, obsesif, hostile, impulsif, dan agresif. Model ini mengilhami pengembangan tes-tes berdasar trait seperti Rorschach, TAT, dan MMPI. Sebuah model alternatif, behavioral assessment, menggunakan hasil tes sebagai sampel perilaku yang terjadi pada situasi spesifik dan bukan sebagai tanda-tanda dari tipe atau trait kepribadian yang mendasarinya. Menurut pendekatan behavioral, perilaku terutama ditentukan oleh faktor17 faktor situasional atau lingkungan, seperti penguatan dan sinyal-sinyal stimulus (stimulus cues). Model behavioral telah mengilhami pengembangan teknik-teknik yang bertujuan untuk meneliti perilaku individu dalam setting semirip mungkin dengan situasi nyata, sehingga memaksimalkan hubungan antara situasi tes dan kriteria nyata. Perilaku mungkin diamati dan diukur dalam setting seperti rumah, sekolah, atau lingkungan kerja. Pemeriksa bisa juga mencoba untuk membuat simulasi situasi di dalam klinik atau laboratorium yang merupakan situasi yang analog (analogues) dengan problem yang dihadapi individu dalam kehidupan sehari-hari. Self-Monitoring Melatih klien untuk mencatat atau memonitor perilaku bermasalah di dalam kehidupan mereka sehari-hari adalah metode lain untuk menghubungkan perilaku bermasalah dengan setting di mana perilaku itu terjadi (Cone, 1999; Korotirsch & Nelson-Gray, 1999). Dalam se/fmonitoring, klien mengambil tanggung jawab untuk menilai perilaku bermasalah tersebut di dalam setting alamiah di mana perilaku itu terjadi. Self-monitoring memungkinkan pengukuran secara langsung dari perilaku bermasalah pada saat dan di tempat di mana perilaku itu terjadi. Perilaku yang dapat dengan mudah dihitung, seperti memasukkan makanan, merokok, menggigit kuku, menarik-narik rambut, periode belajar, atau aktivitas sosial adalah sangat cocok untuk self-monitoring. Pada umumnya klien sangat menyadari frekuensi terjadinya perilaku ini dan konteks situasionalnya. Self-monitoring juga dapat menghasilkan pengukuran yang sangat akurat, sebab perilaku tersebut dicatat ketika hal itu terjadi, bukan hasil rekonstruksi dari memonitoring. Pengukuran AnaLog Pengukuran analog (Analog Measures) merupakan simulasi dari setting 18 alamiah di mana perilaku berlangsung, tetapi dilaksanakan di laboratorium atau setting terkontrol. Latihan-latihan bermain peran adalah sarana analog yang umum. Klinisi tidak bisa sepanjang hari mengikuti klien yang mempunyai kesulitan untuk mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap figur otoritas. Sebagai gantinya, klinisi mungkin bertumpu pada latihan bermain peran, misalnya meminta klien memerankan seseorang yang sedang memper-tanyakan nilai yang kurang adil. Suatu adegan dideskripsikan kepada klien, misalnya: "Anda telah bekerja sangat keras menulis makalah dan mendapat nilai yang sangat rendah, misalnya D atau F. Anda mendekati sang dosen, yang kemudian bertanya, 'Apakah ada masalah?' Apa yang Anda lakukan sekarang?" Cara klien memerankan adegan tersebut mungkin mengungkapkan defisit dalam self-expression yang dapat dibicarakan dalam terapi atau pelatihan asertivitas. Behavioral Approach Task (BAT) (Lang & Lazovik, 1963), adalah suatu sarana analog populer yang dipakai sebagai pendekatan untuk orang yang fobia kepada suatu objek yang ditakuti, seperti seekor ular. Perilaku pendekatan dipecah ke dalam tingkatan-tingkatan respons, seperti melihat ke arah ular dari sekitar 20 kaki, menyentuh kotak penyimpanan ular, dan menyentuh ular itu. BAT menyediakan pengukuran langsung dari suatu respons kepada suatu stimulus dalam suatu situasi yang terkontrol. Perilaku pendekatan subjek dapat dikuantifikasi dengan menetapkan suatu skor bagi masing-masing tingkatan pendekatan. SkaLa Penilaian PeriLaku Suatu skala penilaian perilaku (behavioral rating scale) adalah suatu daftar checklist yang menyediakan informasi tentang frekuensi, intensitas, dan rentang perilaku bermasalah. Skala penilaian perilaku berbeda dengan inventori kepribadian self-report, di mana Item-item dalam skala penilaian perilaku menilai perilaku spesifik dan bukan karakteristik-karakteristik kepribadian, minat, atau sikap. Skala penilaian perilaku sering kali digunakan oleh orang tua untuk 19 menilai perilaku bermasalah anak-anak. Child Behavior Problem Checklist (CBCL) (Achenbach, 1978; Achenbach & Edelbrock, 1979), misalnya, meminta orangtua untuk menilai anak-anak mereka pada lebih dari 100 perilaku bermasalah yang spesifik. Assessment Kognitif Assessment kognitif mencakup pengukuran kognisi-pikiran-pikiran, keyakinan-keyakinan, dan sikap sikap. Terapis kognitif percaya bahwa orang-orang yang mempunyai kognisi diri-self-defiating atau disfungsional, berisiko lebih besar untuk mengembangkan problem emosional, seperti depresi bila berhadapan dengan pengaiman hidup yang menekan atau mengecewakan. Terapis kognitif membantu klien menggantikan pola berpikir disfungsional dengan pola berpikir self-enhancing, pola berpikir yang rasional. Pengukuran Fisiologis Kita dapat juga belajar tentang perilaku abnormal dengan mempelajari respons fisiologis orang. Kecemasan, misalnya, diasosiasikan dengan bangkitnya saraf simpatis dari sistem saraf otonom. Orang-orang yang cemas menunjukkan peningkatan tekanan darah dan degup jantung, yang dapat diukur secara langsung melalui denyut nadi dan alat ukur tekanan darah. Orang-orang juga berkeringat lebih banyak ketika mereka cemas. Bila kita berkeringat, kulit kita menjadi basah, meningkatkan kemampuannya untuk menimbulkan listrik. Keringat dapat diukur melalui respons elektrodermal atau galvanic skin response (GSR). (Galvanic berasal dari nama dokter dan ahli fisika Italia, Luigi Galvani, seorang pelopor di dalam riset tentang listrik.) Hasil pengukuran GSR menilai jumlah listrik yang melalui dua titik pada kulit, pada umumnya tangan. Diasumsikan bahwa taraf kecemasan seseorang berkorelasi dengan jumlah listrik yang disalurkan lewat kulit. 20 Teknik-teknik Pemetaan Pencatatannya. Gambar Otak (Brain-Imaging) dan Kemajuan teknologi medis telah memberi kemungkinan untuk mempelajari kerja otak tanpa harus dioperasi. Salah satu yang paling umum adalah electro¬encephalograph (EEG), yang merupakan suatu perekaman aktivitas elektrik otak. EEG mendeteksi jumlah menit dari aktivitas elektrik pada otak atau gelombang otak, yang ditimbulkan di antara elektrodaelektroda. Pola gelombang otak tertentu diasosiasikan dengan keadaan mental seperti relaksasi dan dengan beberapa tingkat kelelapan tidur yang berbeda. EEG digunakan untuk menguji pola gelombang otak yang diasosiasikan dengan gangguan psikologis, seperti skizofrenia, dan dengan kerusakan otak. Juga digunakan untuk mempelajari berbagai pola perilaku abnormal. EEG juga digunakan oleh personil medis untuk mengungkapkan kelainan otak seperti tumor. 21