Perspektif, Penggolongan dan Assessment Perilaku

advertisement
Perspektif, Penggolongan dan Assessment Perilaku Abnormal
Kuliah Psikologi Abnormal, Dosen: Ir. Henrikus, SPsi, CHT
Perspektif
Dalam pertemuan kali ini kita mempelajari perspektif-perspektif kontemporer
yang utama tentang perilaku abnormal, yaitu :
1. Perspektif biologis, model medis mewakili perspektif biologis tentang
perilaku abnormal, mengacu pada pendekatan yang menekankan
peran faktor biologis dalam menjelaskan perilaku abnormal dan
penerapan penanganan yang berbasis biologis dalam menangani
gangguan psikologis. Sebagai contoh, pola-pola perilaku tertentu (rasa
malu) mungkin memiliki komponen genetis yang kuat namun tidak
dapat dianggap "simtom-simtom" dari "gangguan" yang mendasarinya.
Genetis memainkan peran besar dalam berbagai bentuk perilaku
abnormal, sebagaimana akan kita lihat dalam keseluruhan teks. Kita
juga mengetahui bahwa faktor-faktor biologis lainnya, terutama
berfungsinya sistem-sistem saraf, terlibat dalam perkembangan
perilaku abnormal (Cravchik & Goldman, 2000). Karena itu perlu
mempelajari bagaimana sistem saraf tersusun dan bagaimana sel-sel
saraf saling berkomunikasi satu dengan lainnya.
Ketidakteraturan dalam kerja sistem neurotransmiter di otak berkaitan
erat dengan pola-pola perilaku abnormal, contoh, depresi berkaitan
dengan disfungsi yang melibatkan neurotransmiter norepinefrin dan
serotonin. Ketidakteraturan fungsi serotin juga berpengaruh pada
gangguan makan. Penyakit Alzheimer (Alzheimer's disease), penyakit
otak di mana terdapat kehilangan ingatan dan fungsi kognitif secara
progresif, karena neurotransmiter asetilkolin di otak. Ketidakteraturan
yang melibatkan neurotransmiter dopamin tampaknya terlibat dalam
skizofrenia Orang-orang yang mengalami skizofrenia mungkin
menggunakan lebih banyak dopamin yang tersedia di otak daripada
orang-oranz lain yang tidak mengalami skizofrenia. Hasilnya mungkin
1
adalah halusinasi, pembicaraan yang tidak koheren, dan pemikiran
delusional. Obat-obat antipsikotik yang digunakan untuk menangani
skizofrenia bekerja dengan memblok reseptor dopamin di otak.
Neurotransmitter
Fungsi
Perilaku
Asetikolin (Ach)
Mengendalikan
kontraksi otot dan
pembentukan
ingatan
Bila kurang terjadi
Alzheimer
Dopamin
Mengatur kontraksi Penggunaan berlebih dari
otot dan prosesdopa min di otak mungkin
proses mental
berperan dalam
perkembangan
yang meliputi
skizofrenia
belajar, ingatan,
dan emosi
Norepinefrin
Proses-proses
mental yang
terlibat dalam
belajar
Ketidakseimbangannya
dikaitkan dengan
gangguan mood seperti
depresi
dan ingatan
Serotonin
Contohnya:
Aprazolam (SANAX)
Pengatur kondisi
mood, kepuasan,
dan tidur
Ketidakteraturan mungkin
berperan dalam depresi
dan gangguan makan
Semangat,
motivasi
Namun demikian, untuk berbagai gangguan lain penyebab yang tepat
tetap tidak diketahui. Pada kasus-kasus lain, seperti skizofrenia, faktorfaktor biologis, terutama genetis, tampaknya berinteraksi dengan
faktor-faktor lingkungan pembuat stres dalam perkembangan
gangguan.
2
Pengaruh genetis dapat terjadi pada ranah yang luas dari gangguan
psikologis, termasuk skizofrenia, gangguan bipolar (manik depresi),
depresi mayor, alkoholisme, autisme, demensia akibat penyakit
Alzheimer, gangguan kecemasan, disleksia, dan gangguan kepribadian
antisosial. Ketika faktor genetis memainkan peran, faktor tersebut
melibatkan interaksi yang kompleks dari berbagai gen. Kita belum
menemukan gangguan kesehatan mental spesifik yang dapat
dijelaskan oleh cacat atau variasi dari satu gen tunggal belum
ditemukan bahwa faktor genetis saja yang menjadi penyebab
gangguan kesehatan mental tertentu. Faktor lingkungan juga
memainkan peran yang penting.
2. Perspektif Psikologis, model-model psikologis utama tentang perilaku
abnormal dipengaruhi oleh perspektif psikodinamika mencerminkan
pandangan pandangan Freud dan para pengikutnya, yang meyakini
bahwa perilaku abnormal berasal dari penyebab-penyebab psikologis
berdasarkan kekuatan-kekuatan psikis mendasar dalam kepribadian.
Para teoretikus belajar mengemukakan bahwa prinsip-prinsip belajar
dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku abnormal maupun normal.
Para teoretikus humanistik meyakini bahwa penting untuk memahami
hambatan-hambatan yang dihadapi orang ketika mereka berjuang
untuk memperoleh aktualisasi diri dan keautentikan. Para teoretikus
kognitif memfokus pada peran dari pikiran-pikiran yang terdistorsi dan
menipu diri sendiri dalam menjelaskan perilaku abnormal.
Dalam teorinya S.Freud menggolongkan kepribadian seseorang dalam
3 komponen dasar:

Id, dipengaruhi oleh insting dasar manusia yaitu: seks dan agresi,
yang menjadi dasar motivasi tindakan dan bekerja berdasarkan
prinsip pleasure. Bersifat serakah, menuntut dan tidak mempunyai
kontrol diri alamiah.

Ego adalah komponen yang bersifat realistis, dan komponen ini
memaksimalkan kepuasan berdasarkan kenyataan yang ada.
3

Superego, berisikan moral dan nilai nilai sosial si individu, berfungsi
sebagai conscience, menciptakan perasaan bersalah bila norma
norma sosial dilanggar.
Ketiga komponen diatas yang bekerja terus menerus mengontrol
seseorang, misalnya keinginan seksual berakar di Id, tetapi superego
bertugas melakukan gratifikasi moralitas, misalnya perasaan berdosa,
dan ego mempertimbangkan untung ruginya tindakan. Bila Id menjadi
saja yang dominan maka bisa saja terjadi tindakan tindakan asusila,
misalnya perkosaan atau tindakan kekerasan yang lain.
Menurut Freud bahwa seseorang yang kita kenal, bahkan diri kita, atau
personaliti kita dibentuk oleh masa lalu dan dipengaruhi sebagian besar
oleh ketidaksadaran kita. Karena itu perlu kita mengetahui 5 tahap
perkembangan psikologi untuk menganalisa masalah yang ada pada
seseorang saat ini apakah berkaitan dengan masalalunya khususnya
masa kanak kanaknya. Kelima tahapan itu adalah:
1. Fase Oral, karakteristiknya adalah menerima gratifikasi melalui mulut:
misalnya mengisap, menangis, atau menyelidiki benda memakai
mulut. Fase ini pada usia 18 sampai 24 bulan. Pada fase ini hanya Id
yang berperan. Fase ini dicirikan dengan ketidakmampuan
menunda keinginan dan egois dan sifat menuntut.
2. Fase Anal, pada usia 42 dan 48 bulan, anak anak mendapatkan
kepuasan dari anal, pada fase ini anak anak belajar mengetahui
bahwa melalui proses toilet training mereka memberi pengaruh pada
orang lain dan belajar merubah kebiasaannya untuk mendapatkan
kepuasan dari pujian orang tuanya. Pada fase ini Ego mulai
berkembang untuk menerima realitas.
3. Fase phallic, usia 5-6 years, pada fase ini superego mulai
berkembang, dan mereka mendapat pengalaman dari konflik seksual.
Pada fase ini anak laki laki punya bersifat incestuous pada ibunya
yang di dorong oleh Id nya yang disebut Oedipal complex, pada fase
4
ini Ego mampu memutuskan konsekuensi tindakan apakah akan
mendapatkan ketidak persetujuan dari rivalnya yaitu ayahnya. Dan
mulai mengadopsi nilai nilai dan keyakinan yang dilihat pada ayahnya
dimana Superego mulai dikembangkannya. Begitu pula pada anak
wanita pada tahap ini juga timbul Penis Envy, sampai akhirnya
mengadopsi nilai nilai dari ibunya membentuk Superego wanitanya
juga.
4. Fase latent, dimana individu menyalurkan kebutuhan seks dan
agresinya melalui ketertarikan pada lawan jenisnya, aktivitas olah
raga dan hobbi.
5. Fase Genital, yang berlangsung mulai awal puber sampai sisa usia,
dimana in dividu digerakkan oleh seks dan agresi. Bila individu
sehat akan disalurkan melalui hubungan sosial misalnya; hubungan
seksual, Ambisi, Karier, dsb. Dan bila tidak tersalurkan akan
menumpuk sampai akhirnya tak terbendung, sehingga timbul
tindakan tidak terkontrol, karena dipengaruhi oleh Unconscious.
Untukm mencegah tindakan tindakan tak terkontrol individu
membloknya melalui berbagai macam mekanisme tak sadar
(unconscious mechanisms).
Untuk menambah pengetahuan tentang gejala gejala dan tanda tanda
psikologis yang timbul karena fase fase perkembangan yang tidak sempurna
sebagai berikut adalah:
1. Fase Oral, problemnya : Depression, narcissism, dependence
2. Fase Anal, problemnya: Obsessive-compulsive disorder,
sadomasochism
3. Fase Phallic, problemnya: Gender identity problems, antisocial
personality
4. Fase Latent, problemnya: Over or lack self control.
5. Fase Genital, problemnya: Genital Identity diffusion.
5
3. Perspektif Sosiokultural, Para teoretikus sosio kultural meyakini bahwa
kita butuh memperluas pandangan kita tentang perilaku abnormal
dengan mengikutsertakan peran dari penyakit-penyakit sosial dalam
masyarakat, termasuk kemiskinan, rasisme, dan kekurangan
kesempatan, dalam berkembangnya pola-pola perilaku abnormal.
4. Perspektif biopsikososial mencari pemahaman perilaku abnormal
berdasarkan hubungan antara faktor-faktor biologis, psikologis, dan
sosiokultural dalam perilaku abnormal.
Penggolongan perilaku abnormal
Penggolongan perilaku abnormal sudah ada sejak dahulu kala.
Hippocrates menggolongkan perilaku abnormal atas dasar teorinya tentang
cairan tubuh. Walaupun teorinya terbukti cacat, ia sampai pada sejumlah
kategori diagnostik yang umumnya sesuai dengan yang ada dalam sistem
diagnostik modern. Uraiannya tentang melankolia, sebagai contoh, serupa
dengan konsepsi depresi sekarang ini. Sepanjang Abad Pertengahan, pihak
otoritas atau yang berwenang menggolongkan perilaku abnormal atas
penyebab: karena kerasukan setan dan karena sebab-sebab alamiah.
Psikiater Jerman abad ke-19 Emil Kraepelin adalah orang yang dianggap
sebagai teoretikus modern pertama yang mengembangkan model
penggolongan yang komprehensif berdasarkan pada karakteristikkarakteristik pembeda, atau simtom, yang dikaitkan dengan pola perilaku
abnormal. Sistem klasifikasi yang paling umum digunakan saat ini sebagian
besar adalah pengembangan dan perluasan dari karya Kraepelin.
Penggolongan penting karena penggolongan adalah inti ilmu
pengetahuan. Tanpa pemberian label dan pengorganisasian pola perilaku
abnormal, peneliti tidak bisa mengkomunikasikan penemuan mereka kepada
yang lain, dan kemajuan ke arah pemahaman gangguan akan terhenti. Lebih
dari itu, keputusan penting dibuat dengan didasarkan pada penggolongan.
Gangguan psikologis tertentu memberi respons yang lebih baik pada suatu
6
terapi dibanding pada terapi lainnya atau berespons lebih baik terhadap
suatu pengobatan dibanding pengobatan lainnya.
Penggolongan juga membantu klinisi meramalkan perilaku. Beberapa
pola perilaku abnormal, seperti skizofrenia, boleh dikatakan mengikuti
rangkaian perkembangan yang dapat diramalkan. Penggolongan juga
membantu para peneliti mengidentifikasi populasi dengan pola perilaku
abnormal yang serupa. Dengan menggolongkan sekelompok orang sebagai
penderita depresi, peneliti mungkin mampu mengidentifikasi faktor-faktor
umum yang membantu menjelaskan timbulnya depresi itu.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), yang
diterbitkan oleh American Psychiatric Association. DSM menggolongkan pola
perilaku abnormal sebagai gangguan mental atas dasar kriteria diagnostik
yang spesifik. DSM pertama kali diperkenalkan pada tahun 1952. Di dalam
DSM, pola perilaku abnormal digolongkan sebagai "gangguan mental."
Gangguan mental mencakup distres emosional (secara khusus depresi atau
kecemasan) dan/ataupun hendaya (impairment) yang signifikan pada fungsi
psikologis. Fungsi yang rusak melibatkan berbagai kesulitan dalam
memenuhi tanggung jawab di tempat kerja, dalam keluarga, atau dalam
masyarakat luas. Hal tersebut mencakup pula perilaku yang menempatkan
seseorang pada risiko mengalami penderitaan pribadi, sakit, atau kematian.
Diagnosis gangguan mental dalam DSM mensyaratkan bahwa pola
perilaku tersebut tidak mewakili suatu respons yang sesuai secara budaya
atau yang diduga muncul pada peristiwa stres berat, seperti kehilangan
orang tercinta. Orang-orang yang menunjukkan tanda-tanda kedukaan
setelah kematian orang yang dicinta tidak dianggap terganggu, sekalipun
perilaku mereka mengalami hendaya secara signifikan. Akan tetapi, jika
perilaku mereka tetap terganggu secara signifikan setelah satu periode waktu
yang cukup lama, diagnosis gangguan mental mungkin menjadi sesuai.
Kriteria gangguan kecemasan menyeluruh.
1. Timbulnya kecemasan yang berlebihan dan kekhawatiran pada hampir
setiap hari selama masa enam bulan atau lebih.
7
2. Kecemasan dan kekhawatiran tidak terbatas pada satu atau beberapa
hal atau peristiwa.
3. Kesukaran mengendalikan perasaan khawatir.
4. Kehadiran sejumlah ciri-ciri yang diasosiasikan dengan kecemasan dan
kekhawatiran, seperti berikut: mengalami kegelisahan atau perasaan
resah, menjadi mudah lelah, mempunyai kesukaran berkonsentrasi atau
memiliki pikiran yang kosong, perasaan mudah marah, mengalami
ketegangan otot, mengalami kesukaran tidur atau tetap tertidur atau
mengalami tidur yang gelisah dan tidur yang tidak memuaskan,
Mengalami distres emosional atau hendaya sosial, pekerjaan, atau
bidang-bidang fungsi lain sebagai akibat kecemasan, kekhawatiran,
atau simtom-simtom fisik yang terkait, Kekhawatiran atau kecemasan ini
tidak berhubungan dengan ciri-ciri gangguan lain. Gangguan
bukan
merupakan akibat dari suatu penyalahgunaan obat atau suatu kondisi
medis umum dan tidak terjadi dalam konteks gangguan lain.
Ciri-ciri DSM
DSM bersifat deskriptif, namun tidak bersifat menjelaskan. DSM menguraikan
ciri-ciri diagnostik-atau, dalam istilah medis, simtom-simtom dari perilaku
abnormal dan bukan berusaha menjelaskan penyebabnya.
1. Menggunakan kriteria diagnostik yang spesifik. Klinisi sampai pada suatu
diagnosis dengan cara mencocokkan perilaku klien dengan kriteria yang
menggambarkan pola perilaku abnormal ("gangguan mental") tertentu.
Kategori diagnostik dideskripsikan melalui ciri-ciri esensial (kriteria yang
harus ada supaya diagnosis dapat ditegakkan) dan ciri-ciri asosiatif (kriteria
yang sering diasosiasikan dengan gangguan tetapi tidak esensial dalam
penegakan diagnosis).
2. Pola perilaku abnormal yang mempunyai ciri-ciri klinis sama
dikelompokkan menjadi satu. Pola perilaku abnormal dikategorisasi
menurut ciri-ciri klinis yang sama-sama dimiliki, bukan spekulasi teoretis
8
tentang penyebabnya. Sebagai contoh, pola perilaku abnormal yang
terutama ditandai oleh kecemasan, digolongkan sebagai gangguan
kecemasan. Perilaku-perilaku yang terutama ditandai oleh gangguan mood
digolongkan sebagai gangguan mood.
3. Sistem bersifat multiaksial. DSM memakai suatu sistem assessment yang
multiaksial atau multidimensional yang menyediakan jangkauan informasi
yang luas tentang fungsi individu, tidak hanya suatu diagnosis saja
Sistem ini berisi aksis-aksis berikut:
1. Aksis I meliputi suatu penggolongan Sindrom (syndromes) Klinis, yang
mencakup secara luas berbagai macam kelompok diagnostik. Di sini
tercakup gangguan kecemasan, gangguan mood, skizofrenia dan
gangguan psikotik lainnya, gangguan penyesuaian, dan gangguan yang
umumnya pertama kali didiagnosis pada masa bayi, masa kanak-kanak,
atau masa remaja (kecuali retardasi mental, yang dikodekan pada Aksis
II). Aksis I juga mencakup penggolongan Kondisi-kondisi Lainnya yang
Mungkin Merupakan Fokus Perhatian Klinis. Ini adalah kondisi-kondisi
atau permasalahan yang mungkin menjadi fokus diagnosis dan terapi,
seperti problem dalam relasi, problem pekerjaan atau akademik, duka
cita, tetapi yang tidak dapat jelas didefinisikan sebagai gangguan
psikologis. Tercakup di sini, suatu kategori dari faktor-faktor psikologis
yang mempengaruhi kondisi-kondisi medis, seperti kecemasan yang
muncul sebagai kondisi asmatik, atau gejala depresi yang memperlambat
kesembuhan setelah operasi.
2. Aksis II, Gangguan-gangguan Kepribadian, mencakup pola perilaku
maladatif yang sangat kaku dan bertahan. Biasanya merusak hubungan
antarpribadi dan adaptasi sosial, termasuk gangguan kepribadian
antisosial, paranoid, narsisistik, dan gangguan kepribadian ambang.
Retardasi mental juga dikodekan pada Aksis II.
3. Aksis III Kondisi-kondisi Medis Umum, gangguan dan kondisi medis yang
mungkin penting bagi pemahaman atau pengobatanan gangguan mental
individu. Misalnya, seandainya hipotiroid (hypothyroidism) merupakan
penyebab langsung dari gangguan mood individu (seperti depresi berat),
9
itu akan dikodekan di Aksis III. Kondisi medis yang mempengaruhi
penanganan atau pemahaman suatu gangguan mental tetapi bukan
penyebab langsung dari gangguan juga dituliskan pada Aksis III. Sebagai
contoh, adanya gangguan jantung mungkin menentukan apakah
rangkaian terapi obat tertentu dapat digunakan pada seseorang yang
mengalami depresi.
4. Aksis IV, Problem Psikososial dan Lingkungan, daftar problem psikososial
dan lingkungan yang diyakini mempengaruhi diagnosis, penanganan,
atau prognosis suatu gangguan mental.
Ada tiga pendekatan utama untuk menunjukkan reliabilitas teknik
assessment
1.Konsistensi Internal, Teknik-teknik korelasional digunakan untuk
menunjukkan apakah bagian bagian atau item-item yang berbeda dari
suatu instrumen assessment, seperti tes atau skala kepribadian, memberi
hasil yang konsisten satu sama lain dan pada instrumen secara
keseluruhan. Konsistensi internal (internal consistency) krusial untuk tes
yang bertujuan mengukur trait tunggal atau dimensi konstruk. Ketika
bagian atau item-item individual dari suatu tes memiliki korelasi yang tinggi,
kita dapat mengasumsikan bahwa mereka mengukur trait atau konstruk
yang sama. Misalnya, bila responsrespons terhadap suatu rangkaian item
pada suatu skala depresi tidak mempunyai korelasi yang tinggi satu sama
lain, tidak ada dasar untuk berasumsi bahwa item-item tersebut mengukur
satu konstruk atau dimensi umum tunggal-dalam hal ini, depresi. Beberapa
tes berisi penilaian yang multidimensional. Tes tersebut berisi subskala
atau faktorfaktor yang mengukur dimensi-dimensi konstruk yang berbeda.
Salah satu contoh tes yang multidemensional adalah Minnesota
Multiphasic Personality Inventory (MMPI), yang menilai berbagai dimensi
perilaku abnormal. Dalam hal semacam ini, subskala di dalam tes
dimaksudkan untuk mengukur trait individual, seperti sub skala
hipokondriasis dan depresi. Di dalam subskala diharapkan adanya
konsistensi internal, tetapi antara subskala tidak perlu berkorelasi satu
sama lain, kecuali jika trait yang akan diukur memang saling berhubungan.
10
2.Stabilitas Temporal, Metode assessment yang reliabel juga mempunyai
stabilitas temporal (temporal stability), yaitu stabilitas dari waktu ke waktu.
Mereka memberi hasil yang serupa pada kesempatan-kesempatan
berbeda. Kita tidak akan mempercayai timbangan yang memberi hasil
berbeda setiap kali kita menimbang badan. Kecuali kita makan secara
rakus atau melaparkan diri sebelum menimbang badan lagi. Prinsip yang
sama berlaku bagi metode-metode assessment psikologis. Stabilitas
temporal diukur melalui reliabilitas tes tes-ulang (test-retest reliability), yang
memperlihatkan korelasi antara dua administrasi tes yang dipisahkan oleh
periode waktu. Makin tinggi korelasi, semakin besar stabilitas temporal
reliabilitas tesulang-tes.
3.Reliabilitas Antarpenilai (interrater reliability), Juga disebut interjudge
reliability-biasanya menjadi sangat penting pada pembuatan keputusan
diagnostik dan untuk peng¬ukuran yang menuntut penilaian atas perilaku.
Suatu sistem diagnostik tidak dapat dipercaya kecuali jika para ahli penilai
mencapai persetujuan dengan diagnosis mereka yang dibuat atas dasar
sistem tersebut. Sebagai contoh, dua orang guru diminta untuk
menggunakan suatu skala assessment perilaku untuk mengevaluasi
agresivitas, hiperaktivitas, dan sosiabilitas anak. Tingkat kesesuaian hasil
antara para penilai akan menjadi sebuah indeks dari skala reliabilitas.
Validitas
Validitas dari alat ukur atau teknik assessment mengacu pada sampai
derajat mana instrumen tersebut mengukur apa yang ingin diukur. Ada
berbagai jenis validitas, seperti validitas isi (content), kriteria (criterion), dan
konstruk (construct).
 Validitas isi (content validity), derajat yang menunjukkan sejauh mana
isi suatu tes merupakan suatu sampel yang representatif dari isi yang
dirancang akan diukur oleh tes tersebut.
 Validitas permukaan (face validity), derajat yang menunjukan sejauh
mana isi dari suatu tes tampak seperti berhubungan dengan
11
menggambarkan konstruk atau trait yang diukur.
 Validitas kriteria (criterian validity) menggambarkan derajat sejauh mana
si teknik assessment berkorelasi dengan suatu kriteria eksternal lain
yang independen (standar), yang mempunyai tujuan yang sama dengan
instrumen yang dinilai.
 Validitas konkuren (concurrent validity) adalah derajat sejauh mana
respons-respons tes me prediksi skor pada kriteria ukuran yang diambil
pada waktu yang kira-kira sama. Kebanyakan psiko beranggapan
bahwa inteligensi mempengaruhi keberhasilan akademis. Validitas
kongkuren skor intelegensi dengan demikian sering dipelajari dengan
mengorelasikan skor tes dengan kriteria sept nilai di sekolah dan
assessment kemampuan oleh guru.
 Validitas konstruk (construct validity) adalah derajat sejauh mana suatu
tes berkorespondensi dengan model teoretis dari konstruk atau trait
yang akan diukur. Perhatikan suatu tes yang bertujuan mengukur
kecemasan.
Faktor- Faktor Etnik dan Sosiokultural dalam Assessment Perilaku Abnormal
Teknik-teknik assessment mungkin valid dan reliabel di dalam satu budaya
tetapi tidak di dalam budaya yang lain, bahkan bila alat ukur tersebut diterjemahkan
dengan tepat (Bolton, 2001; Kleinman, 1987).
Contohnya; Di dalam suatu studi, Chan (1991) menggunakan versi bahasa Cina dari
Beck Depression Inventory (BDI), suatu inventori depresi yang digunakan secara
luas di Amerika Serikat, untuk suatu kelompok mahasiswa Cina dan pasien psikiatri
di Hong Kong. BDI Cina memenuhi uji reliabilitas, sebagaimana dinilai melalui
konsistensi internal, dan validitas. Namun, para penyelidik lain menemukan bahwa
orang-orang Cina baik di Hong Kong maupun di Republik Rakyat Cina cenderung
untuk mencapai skor lebih tinggi pada suatu subskala MMPI Cina, yang
mensugestikan respons yang menyimpang (Cheung, Song, & Butcher, 1991). Skor
yang lebih tinggi ini tampaknya mencerminkan perbedaan budaya, bukan
psikopatologi yang lebih parah (Cheung dkk., 1991; Cheung & Ho, 1997).
12
Metode-Metode Assessment
Suatu assessment yang teliti memberi sangat banyak informasi tentang kepribadian
klien dan fungsi kognitifnya. Informasi ini membantu klinisi memperoleh suatu
pemahaman yang lebih luas tentang permasalahan klien mereka dan
merekomendasikan bentuk pengobatan yang sesuai.
Wawancara Klinis
Wawancara klinis adalah sarana assessment yang paling banyak digunakan.
Wawancara digunakan oleh semua ahli dan asisten ahli yang berperan
membantu. Wawancara tersebut biasanya merupakan kontak tatap muka
pertama antara klien dengan klinisi. Klinisi sering kali memulai dengan
meminta klien untuk menguraikan keluhan yang ada dengan kata-kata
mereka sendiri. Mereka mungkin mengatakan sesuatu seperti, "Dapatkah
Anda menceritakan kepada saya permasalahan yang Anda hadapi
belakangan ini?" Kemudian klinisi biasanya bertanya lebih mendalam
tentang aspek-aspek keluhan, seperti abnormalitas perilaku dan perasaan
tak nyaman, peristiwa di sekitar munculnya masalah, riwayat peristiwa
lampau, dan bagaimana masalah tersebut mempengaruhi berfungsinya klien
sehari-hari. Klinisi mungkin menjajaki peristiwa yang mungkin menjadi faktor
pencetus, seperti perubahan keadaan kehidupan, hubungan sosial,
pekerjaan, atau pendidikan. Pewawancara mendorong klien untuk
menguraikan masalah dengan kata-katanya sendiri dalam rangka
memahaminya dari sudut pandang klien.
Walaupun format proses wawancara pertama mungkin berbeda-beda dari
klinisi satu ke klinisi lain, kebanyakan wawancara meliput topik seperti ini:
1. Data identifikasi. Informasi mengenai karakteristik sosio-demografi klien:
alamat dan nomor telepon, status perkawinan, umur, jenis kelamin,
karakteristik ras/etnik, agama, pekerjaan, susunan keluarga, dan
seterusnya.
2. Deskripsi permasalahan (-permasalahan) yang ada. Bagaimana klien
13
mempersepsi permasalahan?
Perilaku, pikiran, atau perasaan yang menggangu? Bagaimana hal itu
mempengaruhi berfungsinya klien? Kapan hal itu dimulai?
3. Riwayat psikososial. Informasi tentang riwayat perkembangan klien:
bidang pendidikan, sosial, dan riwayat pekerjaan; hubungan keluarga
pada masa kanak-kanak,
4. Riwayat medis psikiater. Riwayat perawatan psikiater dan medis serta
hospitalisasi:
Apakah problem saat ini adalah suatu episode terulang dari problem
sebelumnya? Bagaimana ditanganinya di masa lalu? Apakah pengobatan
berhasil? Mengapa ya, mengapa tidak?
5. Problem-problem medis pengobatan. Deskripsi tentang problem medis
dan pengobatan yang ada sekarang, termasuk obat-obatnya. Klinisi
waspada tentang kemungkinan pengaruh masalah medis terhadap
masalah psikologis yang sekarang ada. Sebagai contoh, obat untuk
kondisi-kondisi medis tertentu dapat mempengaruhi mood dan level
umum dari keterangsangan seseorang.
Bentuk-Bentuk Wawancara
Ada tiga jenis umum dari wawancara klinis:
1. Wawancara tidak terstruktur (bebas),
2. Wawancara semiterstruktur, dan
3. Wawancara terstruktur.
Pada wawancara tidak terstruktur (unstructured interview), klinisi mengadopsi
gaya bertanya sendiri, tidak mengikuti bentuk standar. Pada wawancara
semi-terstruktur (semi-structured interview), klinisi mengikuti suatu garis
besar pertanyaan umum yang dirancang untuk mengumpulkan informasi
penting tetapi bebas untuk bertanya dengan urutan apa saja dan pindah ke
arah lain dalam rangka mengikuti informasi yang penting secara klinis. Pada
suatu wawancara terstruktur (structured interview), wawancara mengikuti
14
serangkaian pertanyaan yang ditetapkan lebih dulu dan dengan urutan
tertentu.
Jenis Jenis Test Yang Dipakai
Self-report
Di dalam tes kepribadian self-report (self-report personality test), individu
individu memberi respons terhadap sekumpulan item tentang perasaan,
pikiran, pertimbangan, sikap, minat, keyakinan mereka, dan semacamnya
 Beck Depression Inventori (BDI)
 Minnesota Multiphasic Personaliry Inventory (MMPI)
 Millon Clinical Multi axial Inventory (MCMI)
Tes-tes Proyeksi (projective tests)
Berbeda dengan tes-tes objektif, tidak menawarkan pilihan respons yang jelas. Klien
dihadapkan pada stimuli yang ambigu, seperti noda tinta atau gambar samar-samar,
dan diminta untuk mendeskripsikan stimuli itu kelihatannya seperti apa atau
membuat cerita tentang objek.
 Tes Rorschach, berupaya menggali respons seseorang terhadap noda tinta
untuk mengungkapkan aspek kepribadiannya,
dikembangkan oleh seorang psikiater Swiss, Hermann
Rorsch¬ach (1884-1922).
 Thematic Apperception Test (TAT) dikembangkan oleh psikolog Henry Murray
(1943) di Harvard University pada sekitar tahun 1930-an.
Apperception adalah suatu kata Prancis yang dapat
diterjemahkan sebagai "interpretasi (ide atau impresi baru)
15
berdasarkan ide-ide yang sudah ada (struktur kognitif) dan pengalaman masa
lalu." TAT terdiri dari serangkaian kartu, seperti itu yang ditunjukkan pada
Gambar 3.5, masing-masingnya melukiskan suatu peristiwa ambigu.
Responden diminta untuk mengarang cerita tentang kartu itu. Diasumsikan
cerita mereka merefleksikan pengalaman dan pandangan mereka tentang
kehidupan-dan, barangkali, juga memberi penjelasan mengenai konflik dan
kebutuhan mereka yang paling mendalam.
Assessment neuropsikologis (neuropsychological)
Tehnik digunakan untuk mengevaluasi apakah problem psikologis
merefleksikan kerusakan neurologis atau defek otak yang mendasarinya.
Ketika diduga adanya hendaya neurologis, suatu evaluasi neurologis
mungkin diajukan oleh seorang neurolog-seorang dokter yang
mengkhususkan gangguan-gangguan pada sistem saraf. Seorang
neuropsikolog
klinis
mungkin
pula
dimintai
konsultasi
untuk
mengadministrasikan teknik assessment neuropsikologis, seperti observasi
perilaku dan tes psikologis, untuk mengungkapkan tanda-tanda kemungkinan
adanya kerusakan otak. Pengujian neuropsikologis mungkin digunakan
bersama-sama dengan teknik foto jaringan otak seperti MRI dan CT untuk
menjelaskan hubungan antara fungsi otak dan abnormalitas yang
mendasarinya (Fiez, 2001). Hasil pengujian neuropsikologis selain dapat
menunjukkan bahwa pasien menderita kerusakan otak dapat juga
menunjukkan bagian-bagian dari otak yang terkena.
 Bender Visual Motor Gestalt Test , terdiri dari figur geometris yang
menggambarkan berbagai prinsip persepsi Gestalt. Klien diminta untuk
menyalin sembilan desain geometris (lihat Gambar 3.6). Tanda-tanda
kerusakan otak mencakup rotasi gambar, distorsi bentuk dan ketidaktepatan
dalam menilai ukuran gambar dalam hubungannya satu sama lain. Pemeriksa
kemudian meminta klien untuk mengambar kembali desain berdasarkan
ingatannya, sebab kerusakan neurologis dapat merusak fungsi memori.
 The Holstead-Reitan Neuropsychological Battery Psikolog Ralph Reitan
16
mengembangkan battery tersebut dengan mengadaptasikan tes yang
digunakan oleh mentornya, Ward Halstead, seorang psikolog eksperimen,
untuk mempelajari hubungan otak-perilaku pada individu yang mempunyai
kerusakan organik. Battery tersebut berisi tes yang mengukur fungsi
perseptual, intelektual, dan keterampilan motorik, serta kinerja (performance).
 Luria Nebraska Test Battery, didasarkan pada karya neuropsikolog Rusia
A.R. Luria dan dikembangkan oleh para psikolog di Universitas
Nebraska (C]. Golden, Hammeke, & Purisch, 1980). Seperti HalsteadReitan, Luria Nebraska mengungkapkan pola defisit keterampilan yang
dapat memberi petunjuk adanya lokasi tertentu dari kerusakan otak.
Luria Nebraska lebih efisien dalam administrasinya dibanding HalsteadReitan, karena hanya menuntut sekitar sepertiga waktunya untuk
menyelesaikan. Tes ini menilai berbagai macam keterampilan.
Mengukur keterampilan taktil, kinestetik dan spasial; keterampilan
motorik yang kompleks; keterampilan auditori; keterampilan menangkap
dan mengekspresikan pembicaraan; keterampilan membaca, menulis
dan berhitung; dan fungsi inteligensi umum dan memori
Behavioral Assessment
Model penilaian tradisional yaitu, pendekatan psikometrik (psychometric
approach), menyatakan bahwa tes psikologis mengungkapkan tanda-tanda
dari trait atau disposisi yang relatif stabil yang berperan besar dalam
menentukan perilaku orang. Pendekatan psikometrik bertujuan untuk
menggolongkan orang berdasarkan tipe kepribadian menurut trait seperti
kecemasan, introver-ekstraver, obsesif, hostile, impulsif, dan agresif. Model
ini mengilhami pengembangan tes-tes berdasar trait seperti Rorschach, TAT,
dan MMPI.
Sebuah model alternatif, behavioral assessment, menggunakan hasil
tes sebagai sampel perilaku yang terjadi pada situasi spesifik dan bukan
sebagai tanda-tanda dari tipe atau trait kepribadian yang mendasarinya.
Menurut pendekatan behavioral, perilaku terutama ditentukan oleh faktor17
faktor situasional atau lingkungan, seperti penguatan dan sinyal-sinyal
stimulus (stimulus cues).
Model behavioral telah mengilhami pengembangan teknik-teknik yang
bertujuan untuk meneliti perilaku individu dalam setting semirip mungkin
dengan situasi nyata, sehingga memaksimalkan hubungan antara situasi tes
dan kriteria nyata. Perilaku mungkin diamati dan diukur dalam setting seperti
rumah, sekolah, atau lingkungan kerja. Pemeriksa bisa juga mencoba untuk
membuat simulasi situasi di dalam klinik atau laboratorium yang merupakan
situasi yang analog (analogues) dengan problem yang dihadapi individu
dalam kehidupan sehari-hari.
Self-Monitoring
Melatih klien untuk mencatat atau memonitor perilaku bermasalah di dalam
kehidupan mereka sehari-hari adalah metode lain untuk menghubungkan
perilaku bermasalah dengan setting di mana perilaku itu terjadi (Cone, 1999;
Korotirsch & Nelson-Gray, 1999). Dalam se/fmonitoring, klien mengambil
tanggung jawab untuk menilai perilaku bermasalah tersebut di dalam setting
alamiah di mana perilaku itu terjadi.
Self-monitoring memungkinkan pengukuran secara langsung dari perilaku
bermasalah pada saat dan di tempat di mana perilaku itu terjadi. Perilaku
yang dapat dengan mudah dihitung, seperti memasukkan makanan,
merokok, menggigit kuku, menarik-narik rambut, periode belajar, atau
aktivitas sosial adalah sangat cocok untuk self-monitoring. Pada umumnya
klien sangat menyadari frekuensi terjadinya perilaku ini dan konteks
situasionalnya. Self-monitoring juga dapat menghasilkan pengukuran yang
sangat akurat, sebab perilaku tersebut dicatat ketika hal itu terjadi, bukan
hasil rekonstruksi dari memonitoring.
Pengukuran AnaLog
Pengukuran analog (Analog Measures) merupakan simulasi dari setting
18
alamiah di mana perilaku berlangsung, tetapi dilaksanakan di laboratorium
atau setting terkontrol. Latihan-latihan bermain peran adalah sarana analog
yang umum. Klinisi tidak bisa sepanjang hari mengikuti klien yang
mempunyai kesulitan untuk mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap
figur otoritas. Sebagai gantinya, klinisi mungkin bertumpu pada latihan
bermain peran, misalnya meminta klien memerankan seseorang yang
sedang memper-tanyakan nilai yang kurang adil. Suatu adegan
dideskripsikan kepada klien, misalnya: "Anda telah bekerja sangat keras
menulis makalah dan mendapat nilai yang sangat rendah, misalnya D atau F.
Anda mendekati sang dosen, yang kemudian bertanya, 'Apakah ada
masalah?' Apa yang Anda lakukan sekarang?" Cara klien memerankan
adegan tersebut mungkin mengungkapkan defisit dalam self-expression yang
dapat dibicarakan dalam terapi atau pelatihan asertivitas.
Behavioral Approach Task (BAT) (Lang & Lazovik, 1963), adalah suatu
sarana analog populer yang dipakai sebagai pendekatan untuk orang yang
fobia kepada suatu objek yang ditakuti, seperti seekor ular. Perilaku
pendekatan dipecah ke dalam tingkatan-tingkatan respons, seperti melihat ke
arah ular dari sekitar 20 kaki, menyentuh kotak penyimpanan ular, dan
menyentuh ular itu. BAT menyediakan pengukuran langsung dari suatu
respons kepada suatu stimulus dalam suatu situasi yang terkontrol. Perilaku
pendekatan subjek dapat dikuantifikasi dengan menetapkan suatu skor bagi
masing-masing tingkatan pendekatan.
SkaLa Penilaian PeriLaku
Suatu skala penilaian perilaku (behavioral rating scale) adalah suatu daftar
checklist yang menyediakan informasi tentang frekuensi, intensitas, dan
rentang perilaku bermasalah. Skala penilaian perilaku berbeda dengan
inventori kepribadian self-report, di mana Item-item dalam skala penilaian
perilaku menilai perilaku spesifik dan bukan karakteristik-karakteristik
kepribadian, minat, atau sikap.
Skala penilaian perilaku sering kali digunakan oleh orang tua untuk
19
menilai perilaku bermasalah anak-anak. Child Behavior Problem Checklist
(CBCL) (Achenbach, 1978; Achenbach & Edelbrock, 1979), misalnya,
meminta orangtua untuk menilai anak-anak mereka pada lebih dari 100
perilaku bermasalah yang spesifik.
Assessment Kognitif
Assessment kognitif mencakup pengukuran kognisi-pikiran-pikiran,
keyakinan-keyakinan, dan sikap sikap. Terapis kognitif percaya bahwa
orang-orang yang mempunyai kognisi diri-self-defiating atau disfungsional,
berisiko lebih besar untuk mengembangkan problem emosional, seperti
depresi bila berhadapan dengan pengaiman hidup yang menekan atau
mengecewakan. Terapis kognitif membantu klien menggantikan pola berpikir
disfungsional dengan pola berpikir self-enhancing, pola berpikir yang
rasional.
Pengukuran Fisiologis
Kita dapat juga belajar tentang perilaku abnormal dengan mempelajari
respons fisiologis orang. Kecemasan, misalnya, diasosiasikan dengan
bangkitnya saraf simpatis dari sistem saraf otonom. Orang-orang yang
cemas menunjukkan peningkatan tekanan darah dan degup jantung, yang
dapat diukur secara langsung melalui denyut nadi dan alat ukur tekanan
darah. Orang-orang juga berkeringat lebih banyak ketika mereka cemas. Bila
kita berkeringat, kulit kita menjadi basah, meningkatkan kemampuannya
untuk menimbulkan listrik. Keringat dapat diukur melalui respons
elektrodermal atau galvanic skin response (GSR). (Galvanic berasal dari
nama dokter dan ahli fisika Italia, Luigi Galvani, seorang pelopor di dalam
riset tentang listrik.) Hasil pengukuran GSR menilai jumlah listrik yang melalui
dua titik pada kulit, pada umumnya tangan. Diasumsikan bahwa taraf
kecemasan seseorang berkorelasi dengan jumlah listrik yang disalurkan
lewat kulit.
20
Teknik-teknik
Pemetaan
Pencatatannya.
Gambar
Otak
(Brain-Imaging)
dan
Kemajuan teknologi medis telah memberi kemungkinan untuk
mempelajari kerja otak tanpa harus dioperasi. Salah satu yang paling umum
adalah electro¬encephalograph (EEG), yang merupakan suatu perekaman
aktivitas elektrik otak. EEG mendeteksi jumlah menit dari aktivitas elektrik
pada otak atau gelombang otak, yang ditimbulkan di antara elektrodaelektroda. Pola gelombang otak tertentu diasosiasikan dengan keadaan
mental seperti relaksasi dan dengan beberapa tingkat kelelapan tidur yang
berbeda. EEG digunakan untuk menguji pola gelombang otak yang
diasosiasikan dengan gangguan psikologis, seperti skizofrenia, dan dengan
kerusakan otak. Juga digunakan untuk mempelajari berbagai pola perilaku
abnormal. EEG juga digunakan oleh personil medis untuk mengungkapkan
kelainan otak seperti tumor.
21
Download