BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendirian Mahkamah Pidana Internasional (MPI) Empat Pengadilan Pidana Ad Hoc Internasional telah dibentuk selama abad ke- 20 yakni; International Military at Nuremberg, Tokyo Tribunal, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), dan International Crimminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Kelebihan dan kekurangan dari keempat Mahkamah ini secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pendirian dari Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court yang selanjutnya disebut sebagai MPI). Khususnya dalam Draf International Law Commission (ILC) tahun 1994 tentang MPI, mendapat pengaruh yang sangat besar dari Statuta ICTY.1 Di bawah ini akan diuraikan secara singkat mengenai Mahkamah-mahkamah Pidana Ad hoc tersebut dan berbagai kritikan-kritikan masyarakat internasional yang mewarnai kinerja keempat mahkamah ad hoc tersebut yang pada akhirnya bermuara pada pendirian MPI. Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg adalah sebuah pengadilan yang dibentuk oleh empat Negara pemenang perang setelah Perang Dunia II untuk mengadili warganegara Jerman. Empat Negara tersebut adalah Inggris, Perancis, Uni Soviet dan AS yang bertindak atas nama “semua negara”. Mahkamah ini telah mengadili 24 terdakwa penjahat perang Nazi di mana 3 terdakwa dibebaskan, 12 dihukum mati, 3 dipenjara seumur hidup dan 4 dihukum penjara.2 Namun, tidak semua pelaku kejahatan yang merupakan pemimpin Nazi tersebut dihadapkan ke pengadilan, bahkan kebebasan dari penghukuman yang mereka terima nampak sebagai suatu balas jasa atas apa yang telah mereka lakukan dan mereka mendapat pengampunan atas kejahatan mereka tersebut.3 Mahkamah, yang dibentuk berdasarkan perjanjian London tanggal 8 Agustus 1945 ini, juga dikritik sebagai Mahkamah bagi pemenang perang (victor’s justice) karena semua jaksa dan hakim berasal dari kekuatan sekutu, bukan dari Negara yang netral. Semua terdakwa dan pembelanya berasal dari Jerman, dan mereka mendapat fasilitas yang sangat terbatas dalam mempersiapkan kasus-kasus 1 Report of the ILC on the Work of Its 46th Sess, UN GAOR, 49th Sess, Supp No. 10(A/49/10). Diambil dari Kriangsak Kittichaisaree, International Criminal Law, Oxford University Press, January, 2001, p. 27. 2 Kriangsak…ibid, p.18 . 3 Geoffrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan : Perjuangan Untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia2002, p. 252 1 mereka serta mendapatkan pemberitahuan mengenai bukti-bukti penuntutan.4 Sehingga jelas Mahkamah ini bukanlah Mahkamah yang imparsial. Terlepas dari segala kekurangan dan kegagalannya, Mahkamah Nuremberg sangat berarti bagi penegakkan hak asasi manusia internasional karena telah meletakan prinsipprinsip dasar pertanggungjawaban pidana secara individu (yang tertuang dalam Nuremberg Principle). Selain itu, definsi kejahatan terhadap kemanusiaan yang diatur dalam Pasal 6(c) Piagam Nuremberg, belum pernah ditemukan dalam Konvensi-konvensi sebelumnya. Mahkamah ini juga secara tegas menolak prinsip ‘impunitas kedaulatan negara’ seperti yang tertuang dalam pasal 7 Piagam Nuremberg. Mahkamah Internasional Timur Jauh, atau dikenal dengan Mahkamah Tokyo, juga merupakan mahkamah yang didirikan sekutu (berdasarkan deklarasi Mc Arthur) untuk mengadili penjahat perang. Julukan Victors Justice juga melekat dalam Mahkamah ini karena: Jepang tidak diijinkan untuk membawa AS ke hadapan Mahkamah Tokyo atas tindakan pemboman Hiroshima dan Nagasaki yang dilakukan AS, dan Jepang juga tidak diijinkan untuk mengadili Uni Soviet atas pelanggarannya terhadap perjanjian kenetralan tanggal 13 April 1941.5 Selain itu praktek impunitas juga sangat jelas terjadi dalam Mahkamah ini ketika Amerika Serikat memutuskan untuk tidak membawa Kaisar Hirohito ke meja pengadilan, tapi justru melanggengkan kedudukannya dalam 3 Kekaisaran Jepang. 6 Hal ini sangat bertolak belakang mengingat sumbangan yang paling besar dari Pengadilan ini adalah konsep “pertanggungjawaban komando” ketika mengadili Jenderal Tomoyuki Yamashita (teori ini kemudian menjadi dasar penuntutan di ICTY atas kasus Mladic dan Karadzic). Impunitas lain yang dipraktekan dalam pengadilan ini adalah tidak diadilinya para industrialis Jepang yang menjajakan perang serta pemimpin-pemimpin nasionalis yang senang kekerasan. Hampir setengah abad setelah Perang Dunia berakhir, masyarakat internasional kembali dikejutkan dengan praktek pembersihan etnis yang lagi-lagi terjadi di Eropa yakni di Negara bekas Yugoslavia. Konflik di Bosnia-Herzegovina, sejak April 1992 dan berakhir bulan November 1995, merupakan praktek pembersihan etnis yang kekejamannya sudah mencapai tingkat yang tidak pernah dialami Eropa sejak Perang Dunia II. Kamp-kamp konsentrasi, perkosaan yang sistematis, pembunuhan besar-besaran, penyiksaan, dan pemindahan penduduk sipil secara massal adalah bukti-bukti yang tidak dapat diingkari yang 4 Ibid, p.271 Lihat. Y Onuma, “The Tokyo Trial : Between Law and Politics, in C.Hosoya.N.Ando, Y.Onuma and R Minear (eds), The Tokyo War Crimes Trial : An Internasional Symposium (Kodansha, 1986), p.45. Diambil dari Kriangsak…Op.cit,p. 19 6 Geoffrey Robertson…Op.Cit, p. 252 5 2 akhirnya mendorong Dewan Keamanan PBB untuk mendirikan International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia (ICTY) berdasarkan Resolusi 808 tanggal 22 February 1993, dengan pertimbangan bahwa sudah meluasnya tindakan pelanggaran terhadap hukum humaniter termasuk praktek pembersihan etnis sehingga sangat mengancam perdamaian dan keamanan internasional.7 Berbagai kritikan kembali muncul seiring terbentuknya ICTY ini, banyak kalangan yang menganggap bahwa mahkamah ini hanyalah kebetulan belaka mengingat berbagai kegagalan diplomasi dan sanksi serta penolakan PBB untuk mengorbankan tentara keamanannya melalui intervensi bersenjata membuat mahkamah terhadap penjahat perang sebagai alat satu-satunya untuk menyelamatkan muka PBB.8 Walaupun mahkamah ini bukan lagi merupakan keadilan pemenang perang namun justru dikenal sebagai keadilan yang selektif (selective justice) karena hanya mendirikan Mahkamah untuk mengadili kejahatan yang dilakukan di Negara-negara tertentu, serta Mahkamah ini juga Walaupun mahkamah ini bukan lagi merupakan keadilan pemenang perang namun justru dikenal sebagai keadilan yang selektif (selective justice) karena hanya mendirikan Mahkamah untuk mengadili kejahatan yang dilakukan di Negara-negara tertentu, serta Mahkamah ini juga jelas berdasarkan pada anti-Serbian bias.9 Selain itu, Mahkamah ini juga tidak mengadili angkatan jelas berdasarkan pada anti-Serbian bias.9 Selain itu, Mahkamah ini juga tidak mengadili angkatan bersenjata NATO yang ikut melakukan pemboman di Negara bekas Yugoslavia. Padahal, sangatlah jelas serangan udara yang dilakukan NATO terhadap Kosovo seharusnya menuntut pertanggungjawaban para pemimpin NATO atas pilihan target pemboman yang mereka lakukan karena jelas merupakan pelanggaran terhadap hukum perang.10 Kritikan yang sama mengenai “selective justice” juga ditujukan kepada PBB ketika Dewan Keamanannya mendirikan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan 955 tanggal 8 November 1994 di kota Arusha, Tanzania. Pengadilan ini didirikan untuk merespon terjadinya praktek genosida, serta kejahatan terhadap kemanusiaan yang sudah meluas yang terjadi di Rwanda. 11 Banyak kalangan menilai, ICTY dan ICTR ini hanyalah Mahkamah Internasional yang didirikan dengan alasan yang sangat politis, dan berdasarkan prinsip yang abstrak dan tidak jelas. 7 Florence Hartman, Bosnia, diambil dari Roy Gutman and David Rieff, Crimes of War : What Public Shuld Know, W.W Norton Company, New York-London, 1999, p. 53 8 Geoffrey Robertson, …Op.Cit, p. 352-353. 9 Antonio Cassese, International Criminal Law, Oxford University Press, 2003, p. 337. 10 Professor Jeremy Rabkin, The UN Criminal Tribunal for Yugoslavia and Rwanda : International Justice or Show of Justice?, diambil dari William Driscoll, Joseph Zompetti and Suzette W. Zompetti, The International Criminal Court: Global Politcs and The Quest for Justice, The International Debate Education Association, New York, 2004, p. 131 11 Kriangsak Kittichaisaree, Op.Cit,p. 24 3 Bagaimana dengan penyiksaan yang terjadi di Beijing terhadap anggota Falun Gong hingga meninggal dan menjual organ-organ vital mereka? Bagaimana dengan pembunuhan besarbesaran di Shabra dan Shatila terhadap wanita dan anak-anak Palestina? Akankah pelaku kejahatan-kejahatan tersebut juga dibawa ke Mahkamah seperti halnya Mahkamah untuk Yugoslavia dan Rwanda? Akankah PBB memiliki keberanian untuk itu? Selective Justice adalah keadilan yang ditunda dan itu sama saja dengan victors justice.12 Berbagai kekurangan dan kegagalan dari mahkamah-mahkamah internasional di atas akhirnya menggerakkan PBB untuk melaksanakan konferensi pada tahun 1998 untuk mendirikan suatu Mahkamah Pidana yang permanen yang diharapkan dapat menyempurnakan berbagai kelemahan dari Mahkamah Internasional sebelumnya. Aspirasi untuk mendirikan MPI telah muncul di era 1980-an melalui proposal yang diajukan Negaranegara Amerika Latin (yang diketuai oleh Trinidad dan Tobago) kepada Majelis Umum PBB.13 Selanjutnya, setelah pendirian ICTY dan ICTR, Majelis Umum PBB mendirikan Komite yang bernama Komite Persiapan untuk pendirian MPI (PreparatoryCommittee for The Establishment of an International Criminal Court), yang telah bertemu enam kali sejak 1996-1998 untuk mempersiapkan teks Konvensi sebagai dasar MPI.14 Puncak dari proses yang panjang tersebut adalah disahkannya Statuta MPI dalam Konferensi di Roma tanggal 17 Juli 1998 sehingga Statuta tersebut akhirnya dikenal dengan nama Statuta Roma. Seperti yang tertuang dalam Mukadimah dari Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional, bahwa Mahkamah ini bertujuan untuk mewujudkan keadilan yang global (Global Justice), memutuskan rantai kekebalan hukum (impunity) bagi para pelaku kejahatan, serta mengefektifkan kinerja mekanisme hukum nasional dalam menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida. A. Pendirian Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) MPI didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998, ketika 120 negara berpartisipasi dalam “United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court” telah mesahkan Statuta Roma tersebut.15 12 Taki, Unpopular Truht: Selective Justice, from “Slobodamnation”, New York Press, Volume 14, issued 28. This Article was found at http : // www.issues-views.com 13 Surat tanggal 21 Agustus 1989 dari Perwakilan Permanen Trinidad dan Tobago kepada Sekretaris Jenderal PBB, UNGAOR, 47th Sess, Annex 44, Agenda item 152, Un.Doc.A/44/195 (1989), diambil dari Kriangsak Kittichasairee, … Op.Cit,p. 27. 14 Kriangsak Kittichaisaree, Op.Cit,p. 24 15 15 William Driscoll, Joseph Zompetti and Suzette W. Zompetti, The International Criminal Court: Global Politcs and The Quest for Justice, The International Debate Education Association, New York, 2004,p.30 4 Dalam pengesahan Statuta Roma tersebut, 21 negara abstain, dan 7 negara menentang termasuk Amerika Serikat, Cina, Israel, dan India.16 Kurang dari empat tahun sejak Konferensi diselenggarakan, Statuta yang merupakan dasar pendirian Mahkamah bagi kejahatan yang paling serius yakni genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang serta kejahatan agresi ini, sudah berlaku efektif sejak 1 Juli 2002 yakni setelah 60 negara meratifikasinya. Ini adalah waktu yang sangat cepat jika dibandingkan dengan perjanjian multilateral lain dan jauh lebih cepat dari waktu yang diharapkan oleh masyaratakat internasional. Hingga saat ini telah ada 108 negara peratifikasi Statuta Roma.17 Mahkamah Pidana Internasional (MPI) sendiri secara resmi dibuka di Den Haag tanggal 11 Maret 1998 dalam sebuah upacara khusus yang dihadiri oleh Ratu Beatrix dari Belanda serta Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan.18 Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan pidana internasional pertama yang sifatnya permanen. Mahkamah Pidana Internasional yang berkedudukan di Denhaag, Belanda ini dibentuk berdasarkan Statuta yang ditandatangani di Roma pada bulan Juli 1998 (selanjutnya disebut Statuta Roma). Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan pidana internasional pertama yang sifatnya permanen. Mahkamah Pidana Internasional yang berkedudukan di Denhaag, Belanda ini dibentuk berdasarkan Statuta yang ditandatangani di Roma pada bulan Juli 1998 (selanjutnya disebut Statuta Roma). Statuta Roma ini baru mulai berlaku pada 1 Juli 2002, sesuai dengan yang diamanatkan dalam pasal 126 Statuta : “this statute shall enter into force on the first day of the month after the 60th day following the date of the deposit of the 60th instrument of ratification, acceptance, approval or accession with the Secretary-General of the United Nations” 16 ibid, p. 131. Berdasarkan data tanggal 28 Juli 2008 dari www.iccnow.org 18 Hans Peter Kaul, Developments at The International Criminal Court : Construction Site for More Justice: The ICC After Two Years, April 2005, p. 170. 17 5 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka untuk membatasi permasalahan yang akan dibahas penulis merumuskan ke dalam rumusan masalah sebagai berikut : 1. Tujuan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional 2. Bagaimana Yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) ? 3. Bagaimana Struktur dan Prosedur Mahkamah Pidana Internasional dalam menangani kasus Internasional ? C. Manfaat Penulisan 1. Manfaat Teoritis Penulisan ini diharapkan dapat memberikan deskripsi tentang hukum pidana internasional dan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional berkaitan dengan Pasal Statuta Roma 2. Manfaat Praktis Penuliasan ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis mengenai yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam kaitannya dengan Pasal Statuta Roma. D. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui dan menganalisis yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional berkaitan dengan Pasal Statuta Roma 2. Mengetahui dan menganalisis Mahkamah Pidana Internasional dalam hukum pidana Internasional berkaitan dengan Pasal Statuta Roma. 6 BAB II PEMBAHASAN A. Hukum Pidana Internasional Hukum Pidana Internasional telah diakui merupakan disiplin baru dalam ilmu hukum sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua (1945). Langkah-langkah untuk menemukan disiplin hokum baru dimulai dengan beberapa hambatan diantaranya, memepersoalkan pertanggungjawaban pidana kaisar Wilhelm II dari Rusia (setelah berakhirnya perang dunia kesatu, tahun 1919) karena kebijakannya selaku kepala negara yang telah diduga kuat melakukan kejahatan genosida. Upaya ini mengalami kegagalan karena belum adanya kesepakatan di kalangan ahli hukum Internasional mengenai masalah ini. Hambatan utama lain adalah prinsip kedaulatan negara yang menarik perhatian masyarakat Internasional. namun sejak berakhirnya perang dunia ke-II, posisi hukum pidana internasional diakui semakin penting dan relevan. Hukum Pidana Internasional dapat didefinisikan sebagai, cabang ilmu hukum yang menguraikan dan menjelaskan persentuhan aspek hukum nasional dan hukum internasional. akan tetapi tidak jelas “karakter” dan “jenis kelamin” sesungguhnya dari hukum pidana internasional. jalinan aspek hukum nasional dan hukum internasional merupakan keunikan hukum pidana internasional. Hukum Pidana Internasional ”International Criminal Law” adalah cabang ilmu hukum baru yang memiliki aspek hukum (pidana) nasional, dan aspek hukum internasional, kedua aspek hukum tersebut bersifat komplementer satu sama lain.19 B. Tinjauan Teoritis 1. A Irmanputra Sidin yang mengatakan “ICC bukanlah pengadilan the first resort, tetapi the last of the last resort karena itu tidak akan merusak kedaulatan domestik negara peserta. ICC menggunakan prinsip remedi domestik bahwa negara peserta tetap mengadili terlebih dahulu pelaku pelanggaran HAM berat”. Ini sejalan dengan penjelasan tentang ICC yang dipublikasikan dalam situs ICC yang mengatakan “As noted, the ICC is not intended to replace national courts. Domestic judicial systems remain the first line of accountability in prosecuting these crimes. The ICC ensures 19 Bassiouni, memberikan batas lingkup pengertian “hukum pidana internasional”dengan membedakan antara aspek hukum intrnasional dari hukum pidana (nasional). 7 that those who commit the most serious human rights crimes are punished even if national courts are unable or unwilling to do so. Indeed, the possibility of an ICC proceeding may encourage national prosecutions in states that would otherwise avoid bringing war criminals to trial.” Dengan demikian jelas terlihat bahwa ICC adalah pengadilan pelengkap (komplemen) bagi pengadilan nasional.20 2. Bassioun Menurut Bassioun hukum pidana Internasional adalah suatu hasil pertemuan pemikiran dua disiplin hukum yang telah muncul dan berkembang secara berbeda serta saling melengkapi dan mengisi. Kedua disiplin hukum ini adalah aspek-aspek hukum pidana dari hukum pidana Internasional dan aspek-aspek internasional dari hukum pidana. Jenis-jenis tindak pidana Internasional menurut Bassiouni adalah sebagai berijkut : 20 Agression. War crimes. Unlawfull use of weapons Crime against humanity. Genocide. Racial Discrimination and apartheid. Slyvery and related crimes. Torture Unlawfull human Experimentation. Piracy. Aircraft highjacking Threat and use of force against internationally protected person Taking of civilan hostages Drug offences International traffic in obscene publicatio Destruction and\or theft of national treasures Environmental protection Theft of nuclear materials http://www.un.org/law/icc/ [2] Ibid[3] A Irmanputra Sidin, Berjalan Menuju Roma (Refleksi Berlakunya Statuta Roma). 8 Unlawfull use of the mails Interference of the submarine cables Falsification and counterfeiting Bribery of foreign public officials 3. Dautricourt Dautricourt di dalam karya tulisnya : ”the concept of international criminal jurisdictiondefinition and limitation of the subject”menyebutkan beberapa international crime sebagai berikut : 1) Terrorism. 2) Slavery. 3) The slave trade (perdagangan budak). 4) Traffic in women and children (perdangangan wanita dan anak). 5) Traffic in narcotic drugs (perdagangan illegal narkotika). 6) Traffic in pornographic (peredaran publikasi pornografi) 7) Piracy ( pembajakan di laut). 8) Areal highjacking (Pembajakan di udara) 9) Counterfeiting ( Pemalsuan mata uang. 10) The destruction of submarine cables (pengrusakan kabel-kabel di bawah laut). 4. Schwarzenberger Schwarzenberger tidak memberikan definisi melainkan 6 pengertian tentang hukum pidana Internasional sebagai berikut : a. Hukum pidana internasional dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasioanal yang memiliki lingkp kejahatan-kejahatan yang melanggar kepentingan masyarakat Internasional, akan tetapi kewenangan melaksanakan penangkapan, penahanan dan peradilan atas pelaku-pelakunya diserahkan kepada Yurisdiksi criminal Negara yang berkepentingan dalam batas-batas teritorial Negara tersebut. b. Hukum pidana internasional dalam arti aspek Internasional yang ditetapkan sebagai ketentuan dalam hukum pidana Nasional menyangkut kejadian-kejadian dimana suatu Negara yang terikat pada hukum Intrernasional berkewajiban memperhatikan sanksi- 9 sanksi atas tindakan perorangan sebagaimana ditetapkan didalam hukum pidana Nasionalnya. c. Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan Internasional yang terdapat didalam hukum Pidana Nasional yaitu : Ketentuan-ketebntuan didalam hukum Internasional yang memberikan kewenangan atas Negara Nasional untuk mengambil tindakan atas tindak pidana tertentu dalam batas Yurisdiksi kriminilnya dan memberikan kewenangan pula kepada Negara nasional untuk menerepkan yurisdiksi mkriminil diluar batas teritorialnya terhadap tindak pidana tertentu, sesuai dengan ketentuan-ketentuan didalam hukum Internasional. d. Hukum pidana Internasional dalam arti ketentuan hukum pidana Nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa yang bweradab adalah ketentuan-ketentuan didalam hukum pidana Nasional yang dianggap sesuai atau sejalan dengan tuntutan kepentingan masyarakat Internasional. e. Hukum pidana Internasional dalam arti hukum kerjasama Internasional dalam mekanisme administrasi peradilan pidana Nasional adalah semua aktifitas atau kegiatan penegakan hukum pidana Nasional yang memerlukan kerja sama antar Negara, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. f. Hukum pidana Internasional dalam arti kata mareriil merupakan objek pembahasan dari hukum pidana Internasional yang telah ditetapkan oleh PBB sebagai kejahatan Internasional dan merupakan pelanggaran atas de iure gentium, seperti piracy, agresi, kejahatan perang, genocide, dan lalu lintas illegal perdagangan narkotika. C. Tinjauan Yuridis Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dalam mengadili individu-individu yang bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan didasarkan pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 4 dan Pasal 7 Statuta Roma sebagai dasar legal formal internasional dan selain itu, jus cogens, hukum kebiasaan internasional yang relevan-konstruktif bagi penegakan hukum HAM, keadilan, doktrin-doktrin yang relecan-kosntruktif bagi penegakan hukum Ham serta yurisdiksi universal bagi penegakan HAM. Dasar-dasar ini satu sama lain bersifat setara dan harus disinergikan oleh Mahkamah dan komunitas dunia dalam menjalankan kompetensinya ini dan menegakkan HAM. Kompetensi itu sendiri mengikat seluruh anggota komunitas internasional tanpa pengecualian. Pengadilan baru resmi keberadaannya pada tanggal 1 Juli 2002, setelah 60 negara meratifikasi Statuta Roma. ICC memiliki landasan hukum yaitu Statuta Roma, dan 10 mempunyai badan-badan seperti kepresidenan, divisi banding, divisi pengadilan, divisi prapengadilan, kantor jaksa penuntut serta kepaniteraan.21Pembukaan Statuta Roma menjelaskan bagaimana telah terjadinya kekejaman yang tidak dapat dibayangkan, yang sangat mengguncang dunia. Mengakui bahwa kekejaman yang terjadi sangat mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan umat manusia di dunia. Kejahatan yang menjadi perhatian dari dunia internasional tidak dapat dibiarkan begitu saja tanpa adanya hukuman, atau tuntutan ke pengadilan. Mahkamah berupaya untuk menghilangkan impunity atau kekebalan hukum bagi para pelaku kejahatan yang dinilai bersalah dan bertanggung jawab atas tindakan yang telah dilakukan. Mahkamah dapat menjalankan tugas, fungsi serta kekuasaannya didasarkan pada Statuta yang telah diputuskan sebelumnya terhadap suatu wilayah dari negara anggota maupun suatu wilayah yang bukan anggota dengan adanya perjanjian-perjanjian khusus. DASAR HUKUM 1. Statuta Roma 2. The Rules of Procedure and Evidence 3. The Elements of Crimes 4. The Regulations of the Court 5. The Regulations of the Office of the Prosecutor 6. The Regulations of the Registry 7. The Code of Professional Conduct for counsel 8. The Code of Judicial Ethics 9. Staff rules of the International Criminal Court 10. The Staff Regulations 11. The Financial Regulations and Rules 12. The Agreement on the Privileges and Immunities of the International Criminal Court 13. Agreement between the International Criminal Court and the United Nations 14. The Headquarters Agreement with the Host State 15. Setiap bahan lain yang akan diputuskan oleh Presidensi berkonsultasi dengan Jaksa dan / atau Panitera. D. ANALISA 21Pasal 34 Statuta Roma., Mahkamah terdiri dari organ-organ sebagai berikut: (a)Kepresidenan; (b)Divisi Banding; Divisi Peradilan, Divisi Pra-Peradilan; (c)Kantor Penuntut Umum; dan (d)Kepaniteraan 11 Upaya penegakan hukum pidana internasional melalui Mahkamah Pidana Internasional merupakan langkah maju bagi perlindungan hak asasi manusia. Melihat sebelumnya pembentukan pengadilan pidana internasional cenderung lebih bermuatan politis dengan mengenyampingkan asas legalitas dan asas retroaktif, kehadiran Mahkamah Pidana Internasional diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hukum demi menjaga perdamaian dan kedamaian internasional. Namun melihat bagaimana pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap Negara bukan peserta Statuta Roma dengan diberikannya wewenang kepada Dewan Keamanan PBB sesuai BAB VII Piagam PBB untuk mengajukan suatu situasi kepada Mahkamah Pidana Internasional, dimana tidak ada indikator yang jelas kapan suatu situasi dianggap mengancam perdamaian dan keamanan internasional Hal yang paling fundamental untuk dilakukan adalah mendorong negara- negara untuk menyelesaikan permasalahan baik domestik maupun permasalahan internasional dengan cara damai serta tetap menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Disamping itu setiap Negara juga harus melengkapi piranti hukum nasionalnya untuk mengadili pelakupelaku kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional dan menjalankan proses peradilan yang independen dan tidak memihak terhadap para pelaku kejahatan serius tersebut, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum umum dalam hukum internasional. Maka dengan demikian setiap Negara akan melindungi kedaulatan negaranya. Berdasarkan hal-hal sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa tidak mudah untuk mengadili mauun menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ataupun yang berkaitan dengan nilai-nilai kemunusiaan, baik oleh badan peradilan (Pidana) Nasional maupun badan peradilan pidana Internasional, meskipun masyarakat Internasional sepakat bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan semacam itu diberlakukan yurisdiksi universal. Kendala-kendala yang timbul dalam proses peradilannya terletak pada faktor kedaulatan Negara yang termenipestasikan pada ada atau kemauan politik (political will), baik untuk mengadili sendiri pelakunya, mengekstradisikannya kepada Negara lain yang memintanya, ataupun menyerahkan proses peradilannya kepada badan peradilan pidana Internasional (Internasional Criminal Court). Disamping itu, dimensi politik dari kejahatan kemanusiaan juga sangat besar pengruhnya terhadap kelancaran dalam proses penerapan hukumnya, meskipun terhadap kejahatan kemanusiaan diberlakukan yurisdiksi universal. Negara-negara yang didalam wilayahnya dituduh telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan sangat berat untuk menerima proses penyelidikan oleh suatu badan atau komisi internasional untuk menyelidiknya apalagi jika terbukti dan kemudian diteruskan dengan menbentuk badan peradilan pidana Internasional ad hoc untuk mengadili pelakunya yang tidak lain 12 dari warga negaranya sendiri, apalagi apabila pelakunya adalah merupakan bagian dari kelompok atau pemerintah yang sedang berkuasa. Konsep yurisdiksi universal untuk kejahatan kemanusiaan adalah solusi yang ditawarkan oleh hukum internasional atas tontonan permbebasan hukuman (impunity) dari para tirani dan penyiksa yang melindungi diri dengan imunitas domestik, amnesty dan pemberian maaf. Mereka dapat bersembunyi tetapi didalam dunia yang memiliki yurisdiksi universal terhadap kejahatan yang bersangkutan, mereka tidak dapat lari. Meskipun demikian, prinsip yurisdiksi universal merupaka satu-satunya jalan untuk menjamin para tersangka tidak memperoleh tempat persembunyian. Pilihannya adalah mengekstradisikan atau menghukum pelaku. 13 BAB III KESIMPULAN A. KESIMPULAN Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dalam mengadili individu-individu yang bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan didasarkan pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 4 dan Pasal 7 Statuta Roma sebagai dasar legal formal internasional dan selain itu, jus cogens, hukum kebiasaan internasional yang relevan-konstruktif bagi penegakan hukum HAM, keadilan, doktrin-doktrin yang relecan-kosntruktif bagi penegakan hukum Ham serta yurisdiksi universal bagi penegakan HAM. Dasar-dasar ini satu sama lain bersifat setara dan harus disinergikan oleh Mahkamah dan komunitas dunia dalam menjalankan kompetensinya ini dan menegakkan HAM. Kompetensi itu sendiri mengikat seluruh anggota komunitas internasional tanpa pengecualian. Tujuan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, adalah termasuk : meningkatkan keadilan distributif; memfasilitasi aksi dari korban; pencatatan sejarah; pemaksaan pentaatan nilai-nilai internasional memperkuat resistensi individual; pendidikan untuk generasi sekarang dan di masa yang akan datang; mencegah penindasan berkelanjutan atas HAM. Yurisdiksi atau kewenangan yang dimiliki oleh MPI untuk menegakkan aturan hukum internasional adalah memutus perkara terbatas terhadap perilaku kejahatan berat oleh warga negara dari negara yang telah meratifikasi statuta mahkamah. Pasal 5-8 statuta mahkamah menentukan 4 (empat) jenis kejahatan berat, yaitu sebagai berikut: 1. Kejahatan genosida (the crime of genocide), yaitu tindakan jahat yang berupaya untuk memusnahkan keseluruhan atau sebagian dari suatu bangsa, etnik, ras ataupun kelompok keagamaan tertentu. 2. Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), yaitu tindakan penyerangan yang luas atau sistematis terhadap populasi penduduk sipil tertentu. 3. Kejahatan perang (war crimes), 4. Kejahatan agresi (the crime of aggression), yaitu tindakan kejahatan yang berkaitan dengan ancaman terhadap perdamaian. 14 Keterikatan Negara bukan peserta terhadap yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional disebabkan kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional merupakan international crimes, yang merupakan bagian dari jus cogens. Hal ini dapat dilihat dari Statuta Roma merupakan perjanjian bersifat universal yang memiliki tujuan untuk membentuk norma dalam hukum internasional dan kejahatan yang diatur berasak dari hukum kebiasaan internasional. Mahkamah Pidana Internasional dapat memberlakukan yurisdiksinya dengan mekanisme pasal 13 ayat b Statuta Roma yakni ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan suatu situasi kepada Jaksa Mahkamah dengan bertindak berdasarkan BAB VII Piagam PBB. Mahkamah Pidana Internasional baru dapat memberlakukan yurisdiksinya ketika Negara bukan peserta terbukti tidak ingin atau tidak mampu untuk menuntut, mengadili secara efektif pelaku kejahatan tersebut. B. JAWABAN IDENTIFIKASI MASALAH 1. Tujuan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah pidana internasional merupakan lembaga parlemen yang memiliki kekuatan untuk memberlakukan yuridikasinya terhadap pelaku tindak pidana internasional yang paling serius sebagaimana diatur dalam statuta roma. Tujuan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, adalah termasuk : meningkatkan keadilan distributif; memfasilitasi aksi dari korban; pencatatan sejarah; pemaksaan pentaatan nilai-nilai internasional memperkuat resistensi individual; pendidikan untuk generasi sekarang dan di masa yang akan datang; mencegah penindasan berkelanjutan atas HAM. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Mahkamah Pidana Internasional harus melaksanakan tugasnya dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip predictability, consistency, dan keterbukaan serta kejujuran. Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat Permanen atau ICC sampai saat terjadinya kejahatan internasional di bekas jajahan Yugoslavia dan Rwanda belum terbentuk dan berjalan efektif, sekalipun Statuta Roma mengenai Mahkamah Pidana Internasional sudah diadopsi pada tahun 1998. 15 Prinsip Komplementaritas atau Complementarily Principle Prinsip ini dicantumkan dalam Pasal 1 Statuta Roma (1998), sebagai berikut:“An International Criminal Court shall be a permanent institution and shall have the power to exercise its jurisdiction over persons for the most serious crimes of international concern, … shall be complementary to nationalcriminal jurisdiction.” Pengertian “complementary” atau komplementaritas sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 Statuta Roma tersebut, adalah bahwa telah disepakati secara bulat oleh seluruh peserta, bahwa jurisdiksi (pengadilan) nasional memiliki tanggung jawab utama untuk melaksanakan penyidikan dan penuntutan setiap kejahatan internasional yang menjadi wewenang Mahkamah Pidana Internasional. Prinsip ini menunjukan bagaimana hubungan antara Mahkamah Pidana Internasional dengan Pengadilan Nasional. Berdasarkan prinsip tersebut, maka ada 2 (dua) hal yang esensial sebagai berikut: 1. Mahkamah Pidana Internasional merupakan kepanjangan tangan/wewenang dari pengadilan nasional dari suatu negara; bahwa sesungguhnya bekerjanya Mahkamah Pidana Internasional tidak serta merta mengganti kedudukan pengadilan nasional. Kedua hal yang bersifat esensial tersebut diatas, dapat diukur dari standar penerimaan ataustandards of admissibility (Pasal 17 ayat (1) Statuta Roma-1998), yang mensyaratkan keadaan bahwa Mahkamah Pidana Internasional harus menentukan bahwa suatu kasus adalah tidak dapat diterima oleh Mahkamah, jika : Kasus kejahatan internasional sedang disidik atau dituntut oleh sejumlah negara yang memiliki jurisdiksi atas kejahatan internasional tersebut kecuali : negara yang bersangkutan tidak mau (unwilling) atau tidak mampu secara bersungguh-sungguh (unable genuinely) melaksanakan penyidikan atau penuntutan. Kasus kejahatan internasional tersebut telah disidik oleh negara yang bersangkutan, akan tetapi negara yang bersangkutan telah menetapkan untuk tidak menuntut tersangka/terdakwa, kecuali tindakan tersebut disebabkan oleh tidak adanya kehendak atau ketidakmampuan negara yang bersangkutan untuk secara bersungguhsunguh melakukan penuntutan. Terdakwa sudah diadili dan peradilan Mahkamah Pidana Internasional tidak dapat dilaksanakan berdasarkan Pasal 20 ayat (3). Kasus tersebut tidak bersifat serius untuk diteruskan dan di adili oleh Mahkamah. 2. Prinsip “ne bis in idem” (double jeopardy) Prinsip ini diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Statuta Roma (1998) yang berbunyi : “No person shall be tried before another court for a crime referred to in article 5 for which that person has already been convicted or acquitted by the Court” Terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 angka 2 diatas, terdapat kekecualian dalam Pasal 20 ayat 3 yang berbunyi sebagai berikut 16 : “No person who has been tried by another Court for conduct also proscribed under articles 6, 7, or 8 shall be tried by the Court with respect to the same conduct unless the proceedings in the Court: Were the purposes of shielding the person concerned from criminal responsibility for crimes within the jurisdiction of the court; or Otherwise were not conducted independently or impartially in accordance with the norms of due process recognized by international law and were conducted in manner which, in circumstances, was inconsistent with an intent to bring the person concerned to justice. Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat 3 tersebut diatas ditegaskan, bahwa terhadap kejahatan-kejahatangenocide, crime against humanity and war crimes sebagaimana tercantum dalam Pasal 6, 7, dan 8, prinsip ne bis in idem dapat dikesampingkan hanya dalam 2 (dua) keadaan sebagimana telah diuraikan di atas, yaitu: Pengadilan nasional dilaksanakan untuk melindungi seseorang/kelompok orang dari pertanggungjawaban pidana; Pengadilan nasional tidak dilaksanakan secara bebas dan mandiri sesuai dengam normanorma “due process” yang diakui Hukum Internasional dan tidak sejalan dengan tujuan membawa keadilan bagi orang/kelompok orang yang bersang3) Prinsip “nullum crimen sine lege” Prinsip ini diatur dalam Pasal 22 yang sangat dikenal dengan asas legalitas merupakan tiang yang kokoh dan memperkuat supremasi hukum. Yang sangat penting dari Statuta Roma (1998) mengenai asas ini adalah bagi Pasal 22 ayat 2 yang berbunyi: “The definition of crime shall be strictly construed and shall not be extended by analogy. In case of ambiguity, the definition shall be interpreted in favour of the person being investigated, prosecuted or convicted”. Dari ketentuan tersebut diatas jelas bahwa sejalan dengan asas “praduga tak bersalah” (presumption of innocence) jika adakeragu-raguan mengenai materi muatan dalam Statuta Roma ini, kepada seseorang yang sedang disidik, dituntut, atau diadili. 2. Yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) Pasal 5 Statuta Roma memberikan yurisdiksi ICC atas empat kelompok kejahatan, yang merujuk sebagai "kejahatan yang paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan22", yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan dari kejahatan agresi. Statuta mendefinisikan masingmasing kejahatan kecuali agresi dikarenakan dalam agresi statuta menyatakan bahwa 22 http://www.mahkamah pidana internasional. Adedidikirawan’s Blog.htm 17 pengadilan tidak akan melaksanakan yurisdiksinya atas kejahatan agresi sampai saat pihak menyatakan setuju pada definisi kejahatan dan berangkat dari kondisi di mana kejahatan agresi mungkin dapat dituntut. Syarat utama bagi eksisnya yurisdiksi oleh Pasal 12 (2) Statuta dinyatakan dalam hal ; 1. Kejahatan yang dilakukan terjadi didalam wilayah negara peserta. 2. Kewarganegaraan dari si pelaku adalah negara yang menjadi negara peserta atas Statuta. Yurisdiksi atau kewenangan yang dimiliki oleh MPI untuk menegakkan aturan hukum internasional adalah memutus perkara terbatas terhadap perilaku kejahatan berat oleh warga negara dari negara yang telah meratifikasi statuta mahkamah.23 a. Jurisdiksi Perkara (Ratione Materiae)ICC mempunyai Jurisdiksi mengenai pokok perkara yang menjadi perhatian utama yaitu genosida (genoside), kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan agresi (agression).24 a) Genosida menurut Statuta merupakan suatu tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan seluruh atau sebagian dari kelompok etnis, kelompok nasional, ras maupun keagamaan. Tindakan-tindakan tersebut seperti; b) Membunuh anggota dari kelompok-kelompok tersebut, c) Menimbulkan luka atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok tersebut, d) Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik baik keseluruhan maupun sebagian e) Memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut, f) Memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lainnya. g) Kejahatan Perang Kejahatan perang yang menjadi jurisdiksi dari Mahkamah berkaitan dengan tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari suatu renacana atau kebijakan, sebagai bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut.25 Kejahatan perang yang dimaksudkan oleh Statuta yaitu pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tanggal 12 23 Elements of Crimes International Criminal Court , 2011. www.icc-cpi.int, Hal. 1 Pasal 6 Statuta Roma 25 Pasal 7 Statuta Roma 24 18 Agustus 1949. Pelanggaran terhadap orang-orang atau hak milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi yang berkaitan dengan;26 a) Pembunuhan yang dilakukan dengan sadar, b) Penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis, c) Secara sadar menyebabkan penderitaan berat atau luka serius terhadap badan atau kesehatan, d) Perusakan yang luas dan perampasan hak milik yang tidak dibenarkan oleh kebutuhan meiliter dan dilakukan secara tidak sah dan tanpa alasan, e) Memaksa seorang tawanan perang atau orang lain yang dilindungi untuk berdinas dalam pasukan dari suatu kekuatan yang bermusuhan, f) Secara sadar merampas hak-hak seseorang tawanan perang atau orang lain yang dilindungi atas pengadilan yang jujur dan adil g) Deportasi yang tidak sah atau pemindahan atau penahanan yang tidak sah, h) Serta menahan atau menyandera seseorang. Kejahatan terhadap kemanusiaan menurut Statuta merupakan suatu tindakan yang dilakukan sebgai bagian dari serangan yang luas atau sistematik yang ditujukkan kepada suatu kelompok penduduk sipil. Tindakan penyerangan tersebut seperti;27 a) Pembunuhan, b) Pemusnahan, c) Perbudakan, d) Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa, e) Memenjarakan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturanaturan dasar hukum internasional, f) Penyiksaan, g) Pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat, h) Penganiyaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektifitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan hukum internasional yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahakamah, i) Penghilangan secara paksa, 26 27 Elizabeth Wilmshurst, Defenition Of Aggression, United Nations Audiovisual Library of International Law Pasal 5 ayat 2 Statuta Roma 19 j) Kejahatan apartheid, k) Perbuatan tidak manusiawi lainnya dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka serius terhadap badan atau mental serta kesehatan fisik. b. Jurisdiksi Waktu (Ratione Temporis) Perkara-perkara yang akan diadili oleh ICC sesuai Jurisdiksinya setelah mulai berlakunya Statuta Roma pada tanggal 1 Juli 2002. c. Jurisdiksi Teritorial (Ratione Loci) a) Tindak pidana yang dilakukan di dalam wilayah suatu negara peserta Statuta dengan tidak melihat kewarganegaraan dari pelaku kejahatan. b) Tindak pidana yang dilakukan dalam wilayah negara-negara yang menerima Jurisdiksi Pengadilan atas pernyataan ad hoc. c) Tindak pidana yang dilakukan dalam wilayah suatu negara, atas dasar pelimpahan perkara oleh DK PBB. d. Jurisdiksi Individu (Ratione Personae) a) Warga negara dari negara anggota yang melakukan tindak pidana sesuai dengan pasal 12 ayat 2b. b) Warga negara dari negara bukan anggota yang telah menerima Jurisdiksi Pengadilan berdasarkan pernyataan ad hoc sesuai dengan pasal 12 ayat 3. c) Terkait dengan tanggung jawab pidana perorangan, pengadilan dapat menjalankan Jurisdiksinya terhadap siapa saja, tidak membedakan baik pejabat pemerintah, kepala negara, anggota parlemen dan lain-lain atau bukan d) Pengadilan dapat melaksanakan Jurisdiksinya kepada setiap atasan atau petinggi baik komandan militer atau atasan sipil, yang memiliki komando serta pengawasan yang efektif terhadap bawahannya sesuai dengan pasal 28 Statuta Mahkamah Pidana Internasional memiliki yurisdiksi atas kejahatan serius di bawah hukum internasional yang dilakukan di wilayah Negara Pihak atau oleh warga Negara dari Negara Pihak. Selain itu, Mahkamah Pidana Internasional memiliki yurisdiksi atas situasi di negara manapun di mana situasi disebut Dewan Keamanan PBB bertindak di bawah Bab VII dari Piagam PBB. Ketika Jaksa menerima rujukan tersebut, Statuta mensyaratkan bahwa Jaksa melakukan pemeriksaan pendahuluan, atau analisis, dari informasi yang tersedia dalam 20 rangka untuk menentukan apakah ada dasar memadai untuk melanjutkan dengan penyelidikan. Untuk melakukan analisis ini, Jaksa bisa mencari informasi dari Negara, Organ Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi antar pemerintah atau non-pemerintah, atau sumber terpercaya lainnya. Dalam membuat rujukan kepada Mahkmah Pidana Internasional tersebut Jaksa harus mempertimbangkan:28 a. Yurisdiksi, informasi yang tersedia memberikan dasar memadai untuk percaya bahwa kejahatan di dalam yurisdiksi Mahkamah telah atau sedang dilakukan; b. Pemeriksaan pendahuluan untuk menentukan diterima/ tidaknya suatu situasi yang diajukan kepada Mahkamah, situasi yang akan diterima memerlukan pertimbangan kegawatan dan apakah proses pengadilan nasional benar-benar sedang dilaksanakan sehubungan dengan kasus ini; c. Kepentingan keadilan, dengan mempertimbangkan beratnya kejahatan dan kepentingan korban, ada alasan substansial untuk percaya bahwa penyelidikan tidak akan melayani kepentingan keadilan. Pengadilan ICC mempunyai yuridiksi untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan ketika: • Kejahatan dilakukan di wilayah yang telah meratifikasi Statuta Roma. • Kejahatan dilakukan oleh warga negara yang telah meratifikasi Statuta Roma. • Negara yang belum meratifikasi statuta Roma telah memutuskan untuk menerima yuridiksi pengadilan atas kejahatan tersebut. • Kejahatan dilakukan dalam situasi yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional dan Dewan Keamanan PBB sudah mengajukan situasi tersebut ke muka Pengadilan berdasarkan bab 7 Piagam PBB. Pemberlakuan yurisdiksi ICC harus memenuhi prinsip admissibility(penerima) yang memuat dua kriteria yaitu: ketidakinginan (unwillingness) secara sungguh-sungguh untuk melaksanakan yurisdiksi nasional dan ketidakmampuan (inability) untuk melaksanakan yurisdiksi nasional secara benar. Prinsip ini menegaskan bahwa yurisdiksi ICC hanya dapat menggantikan yurisdiksipengadilan nasional jika pengadilan nasional telah menunjukkan ketidak mampuan atau ketidak ingginan untuk menuntut dan mengadili kejahatan serius yang terjadi di negaranya. 28 ICC - The Prosecutor of the ICC opens investigation in Darfur, Press Realease, http://www.icc-cpi.int/ Loc.it 21 Kriteria untuk membuktikan ketidakinginan yang sungguh-sungguh dari pengadilan nasional untuk mengadili dicantumkan dalam Pasal 17 (2) dan (3) yang menegaskan sebagai berikut: 1. Bahwa proses peradilan telah dilaksanakan dengan maksud untuk melindungi seseorang dari pertanggung jawaban pidana atas kejahatan yang telah dilakukannya; 2. Bahwa proses peradilan telah ditunda-tunda tanpa ada alasan yang dapat dipertanggung jawabkan sehingga bertentangan dengan maksud dan tujuan diajukannya seseorang ke muka sidang pengadilan;dan 3. Bahwa proses peradilan tidak dilaksanakan secara bebas dan independen. Kriteria untuk menentukan adanya ketidakmampuan pengadilan nasional adalah bahwa, telah terjadi suatu keadaan yang kolaps atau kacau terhadap sarana dan prasarana pengadilan nasional sehingga pengadilan tidak mampu menghadirkan tertuduh atau mengajukan bukti-bukti yang cukup dan kesaksian atau tidak dapat melaksanakan tugasnya secara optimal. Prinsip komplementaritas memegang peran yang sangat strategis dalam menjembatani kepentingan nasional (kedulatan negara) dan kepentingan kerjasamainternasional dalam pemberantasan kejahatan internasional. Didalam proses pembahasan Statuta Roma 1998, prinsip komplementaritas diterima seluruh peserta konvensi dan diakui sebagai salah satu jalan keluar terbaik dan sangat bijaksana untuk mengatasi kebuntuan pendapat antara negara dan mengensampingkan intervensi lembaga internasional kedalam urusan dalam negeri dan negara peserta yang berkehendak mengenyampingkan kedaulatan negara yang bersifat absolut. Beberapa hal yang dapat dilakukan dengan dibentuknya ICC adalah ICC dapat menjadi lembaga yang dapat menghindari terjadinya impunity yang selama ini dinikmati oleh individu-individu yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia secara internasional. ICC dapat membantu menyediakan insentif dan petunjuk pelaksanaan kepada setiap negara yang ingin melakukan penuntutan terhadap individuindividu yang bertanggungjawab terhadap kejahatan atas kemanusiaan di pengadilan negara mereka masing-masing. Selanjutnya ICC juga akan menjadi lembaga terakhir yang akan melakukan tuntutan terhadap individu yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang tidak dituntut di negaranya diakibatkan oleh tidak adanya kemampuan ataupun kemauan dari 22 negara tersebut untuk melakukan penuntutan. Jadi dalam hal ini ICC akan menjadi semacam benteng terakhir keadilan bagi korban kejahatan tehadap kemanusiaan. 3. Struktur dan Prosedur Mahkamah Pidana Internasional dalam menangani kasus Internasional ICC diatur oleh Majelis Negara Pihak. ICC terdiri dari empat organ, yaitu Kepresidenan, Divisi Yudisial, Kantor Kejaksaan, dan Registry. Selain itu, Pengadilan juga mencakup sejumlah kantor semi-otonom seperti Kantor Penasihat Umum bagi korban dan Kantor Penasehat Umum Pertahanan. Kantor ini berada di bawah Registry untuk keperluan administrasi tetapi dinyatakan bahwa fungsi kantor-kantor tersebut sepenuhnya independen. Majelis Negara Pihak juga telah membentuk Trust Fund untuk kepentingan korban kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan dan keluarga korban-korban.29 1. Majelis Negara Pihak Majelis Negara-negara Pihak, dapat disebut sebagai manajemen pengawas pengadilan dan badan legislatif. Majelis Negara Pihak terdiri dari satu wakil dari masing-masing pihak negara. Masing-masing pihak negara memiliki satu suara dan "setiap upaya" harus dibuat untuk mencapai keputusan melalui konsensus (kesepakatan bersama mengenai suatu pendapat, pendirian, yang diperoleh melalui kebulatan suara). Jika konsensus tidak dapat dicapai, keputusan diambil melalui pemungutan suara. Majelis dipimpin oleh seorang presiden dan dua wakil presiden, yang dipilih oleh anggota ke-tahun istilah tiga. Majelis bertemu di sesi penuh setahun sekali di New York atau Den Haag, dan mungkin juga mengadakan sesi khusus jika keadaan memerlukan atau darurat. Sesi sendiri bersifat terbuka untuk negara pengamat dan organisasi non-pemerintah. Majelis memilih para hakim dan jaksa, memutuskan pengadilan anggaran, mengadopsi teks penting (seperti Aturan Prosedur dan Bukti ), dan menyediakan pengawasan manajemen untuk organ-organ lain pengadilan. Pasal 46 dari Roma Statuta memungkinkan Majelis untuk menghapus dari ICC seorang hakim atau jaksa yang "ditemukan telah melakukan pelanggaran serius dalam tugasnya" atau "tidak dapat melaksanakan fungsi yang diperlukan oleh Negara". Para pihak menyatakan tidak dapat mengganggu fungsi peradilan dari pengadilan. Perselisihan tentang kasus-kasus individu diselesaikan oleh Divisi Yudisial. 2. Kepresidenan 29 http://www.mahkamah pidana internasional. Adedidikirawan’s Blog.htm. 23 Kepresidenan merupakan salah satu dari empat Organ Pengadilan. Kepresidenan terdiri dari Presiden dan Wakil Presiden pertama dan kedua, yang semuanya dipilih oleh mayoritas mutlak dari Hakim Pengadilan dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu tiga tahun. Kepresidenan, yang bertanggung jawab untuk ; administrasi yang tepat dari Pengadilan, dengan pengecualian pada Kantor Kejaksaan, dan fungsi lainnya diberikan kepada kepresidenan sesuai dengan Statuta Roma. Sejak 11 Maret 2009, Keprsidenan dijabat oleh Hakim Sang-Hyun Song (Korea Selatan) sebagai Presiden. Hakim Fatoumata Dembele Diarra (Mali) sebagai Wakil Presiden Pertama, dan Hakim Peter Kaul Hans (Jerman) sebagai Wakil Presiden Kedua. Kepresidenan memiliki tiga bidang utama dari tanggung jawab yang diembanya, yaitu: a. Peradilan/ fungsi hukum Dalam melaksanakan fungsi peradilan/ hukum, Kepresidenan bertugas memberikan kewenangan kasus merupakan kasus ke Divisi Yudisial (Chambers). Melakukan judicial review terhadap keputusan-keputusan tertentu dan menyimpulkan Panitera Pengadilan serta melakukan perjanjian kerjasama yang luas dengan Dewan keamanan PBB serta negaranegara non-pihak, terutama Amerika Serikat. b. Administrasi. Dengan pengecualian pada Kantor Kejaksaan, Presidensi bertanggung jawab untuk administrasi yang tepat bagi Pengadilan dan mengawasi pekerjaan Registry. Kepresidenan akan mengkoordinasikan dan mencari persetujuan Jaksa pada semua hal yang menjadi perhatian bersama. c. Hubungan eksternal. Di antara tanggung jawab Kepresidenan di bidang hubungan eksternal adalah untuk menjaga hubungan dengan negara dan entitas lain dan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan pemahaman tentang Pengadilan. 3. Divisi Yudisial/ Chambers Divisi Yudisial terdiri dari 18 hakim pengadilan, yang melaksanakan fungsi peradilan dari pengadilan. Divisi Yudisial dibagi menjadi 3 (tiga) divisi, yaitu: 1. Divisi Banding 2. Divisi Trial 3. Divisi Pra-Trial 24 Menurut Pasal 39 (1) dari Statuta Roma, tugas hakim untuk Divisi didasarkan pada sifat dari fungsi yang harus dilakukan oleh setiap Divisi dan kualifikasi serta pengalaman dari para hakim terpilih ICC. Hal ini diatur sedemikian rupa agar setiap divisi berisi kombinasi keahlian dalam hukum pidana dan prosedur dalam hukum internasional. Dalam divisi yudisial, dikenal istilah kamar banding yang terdiri dari lima hakim dari Divisi Banding. Pre-Trial dan Trial Chambers terdiri dari tiga hakim masing-masing, banyak fungsi dari Pre-Trial Chamber dapat dilakukan oleh Hakim Tunggal. Hakim Ketua dari Chamber dipilih oleh hakim dari Kamar yang bersangkutan. The Appeals Chamber decides on a Presiding Judge for each appeal. Kamar Banding memutuskan pada Hakim Ketua untuk masing-masing banding. Hakim dipilih ke pengadilan oleh Majelis Negara Pihak. Masa kerja sembilan tahun dan umumnya tidak memenuhi syarat untuk pemilihan kembali. Semua hakim harus warga negara dari negara pihak pada Statuta Roma, dan tidak ada dua hakim yang berasal dari negara yang sama. Hakim dapat diberhentikan dari jabatannya jika ia "ditemukan telah melakukan pelanggaran serius dalam masa tugasnya " atau tidak mampu melakukan pekerjaan atau fungsinya. Penghapusan hakim membutuhkan sepertiga suara mayoritas hakim lain dan mayoritas dua pertiga anggota majelis negara pihak. 4. Kantor Kejaksaan Kantor Kejaksaan (OTP) adalah salah satu dari empat organ ICC dan terdiri dari tiga Divisi yaitu: 1. Divisi Penuntutan. 2. Divisi Investigasi. 3. Divisi Yuridiksi, Pelengkap dan Kerjasama. Kantor Kejaksaan bertanggung jawab untuk melakukan investigasi dan penuntutan. Hal ini dipimpin oleh Jaksa, yang dibantu oleh dua jaksa Deputi. Statuta Roma menetapkan bahwa Kantor Kejaksaan harus bertindak secara independen, karena itu, tidak ada anggota dari Kantor dapat meminta atau bertindak atas instruksi dari sumber eksternal, seperti negara, organisasi internasional , organisasi non-pemerintah atau individu. Jaksa dapat membuka penyelidikan di bawah tiga kondisi berikut: 1. Ketika situasi disebut kepadanya oleh pihak negara; 2. Ketika situasi disebut kepadanya oleh Dewan Keamanan PBB, yang bertindak untuk mengatasi ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional; atau 25 3. Ketika Pra-Trial Chamber memberikan wewenang untuk membuka penyelidikan berdasarkan informasi yang diterima dari sumber lain, seperti individu atau organisasi non-pemerintah. Setiap orang yang sedang diselidiki atau dituntut dapat meminta diskualifikasi seorang jaksa penuntut dari setiap kasus jika "di mana kenetralan mereka cukup mungkin diragukan atas dasar apapun". Permintaan untuk diskualifikasi jaksa diputuskan oleh Divisi Banding. Jaksa dapat diberhentikan dari jabatannya oleh mayoritas mutlak dari pihak negara jika ia "ditemukan telah melakukan pelanggaran serius dalam tugasnya" atau tidak dapat menjalankan fungsi atau tugasnya. Saat ini Kantor Kejaksaan (OTP) dipimpin oleh Luis Moreno Ocampo, Jaksa, yang mulai menjabat pada tanggal 16 Juni 2003. Fatou Bensouda , Wakil Jaksa, bertanggung jawab Divisi Penuntutan; Michel de Smedt sebagai Kepala Divisi Investigasi; dan Phakiso Mochochoko sebagai Kepala Divisi Yurisdiksi, Pelengkap dan Kerjasama. 5. Registry Registry adalah salah satu dari empat organ Mahkamah Pidana Internasional dan bertanggung jawab atas aspek administrasi non-yudisial dan pelayanan Pengadilan. Registry dipimpin oleh Panitera yang merupakan petugas administrasi utama Pengadilan. Semua tugas yang dilakukan oleh Registry berada dalam dukungan yang jelas dari tujuan strategis Pengadilan yang dituangkan dalam Rencana Strategis ICC. Cakupun tanggung jawab Registry antara lain, "administrasi masalah bantuan hukum, manajemen pengadilan, korban dan hal-hal saksi, penasihat pertahanan, unit penahanan , dan layanan tradisional yang diberikan oleh administrasi di organisasi internasional, seperti keuangan, terjemahan, bangunan manajemen, pengadaan dan personil ". Pekerjaan Registry ditandai oleh kenyataan bahwa ia harus tetap menjadi organ netral setiap saat untuk menjamin dukungan dari semua fungsi ICC. Registry sadar bahwa, efisiensi kualitas transparansi, dan ketepatan waktu kegiatannya memberikan dampak pada pencapaian tujuan Pengadilan. Registry dipandu oleh kerangka hukum dan dengan standar internasional dan juga memandang ke depan, terutama ketika menyangkut masalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. PROSEDUR 1. Hak-hak Terdakwa 26 Statuta Roma menyatakan bahwa semua orang (terdakwa) dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah setelah putusan pengadilan, dan menetapkan hak-hak tertentu dari terdakwa selama investigasi. Ini termasuk hak untuk mendapat informasi atas tuduhan terhadapnya, hak untuk memiliki seorang pengacara yang ditunjuk (gratis), hak atas pengadilan yang cepat, dan hak untuk memeriksa saksi terhadap dirinya dan untuk mendapatkan kehadiran dan pemeriksaan saksi-saksi atas namanya. Beberapa berpendapat bahwa perlindungan yang ditawarkan oleh ICC tidak mencukupi. Menurut salah satu pengamat konservatif, Heritage Foundation , "Amerika yang muncul sebelum pengadilan akan ditolak dasar hak-hak konstitusionalnya seperti pengujian oleh hakim, perlindungan dari bahaya ganda, dan hak untuk menghadapi penuduh." Sedangkan, The Human Rights Watch berpendapat bahwa standar-standar ICC sudah cukup, mengatakan, "ICC memiliki salah satu daftar yang luas karena sebagian besar proses jaminan mencukupi", termasuk "praduga tak bersalah, hak untuk menasihati, hak untuk menyajikan bukti dan menanyai para saksi, hak untuk tetap diam, hak untuk hadir di persidangan, hak untuk memiliki biaya membuktikan tanpa keraguan, dan perlindungan terhadap bahaya ganda “. Menurut David Scheffer , yang memimpin delegasi AS untuk Konferensi Roma (dan yang memilih menentang penerapan perjanjian), "ketika kami merundingkan Statuta Roma, kami selalu sangat dekat pada, 'Apakah ini memenuhi tes konstitusional AS, mengenai pembentukan pengadilan dan hak-hak proses yang diberikan kepada terdakwa? '. Dan kami sangat yakin pada akhirnya Statuta Roma menyatakan bahwa hak-hak proses hukum, pada kenyataannya, dilindungi, dan bahwa perjanjian ini tidak memenuhi tes konstitusional." Untuk menjamin "kesetaraan hukum" antara dan penuntutan dan tim pembela, ICC telah membentuk Kantor independen Umum Penasihat untuk Pertahanan (OPCD) untuk menyediakan dukungan logistik, saran dan informasi kepada terdakwa dan nasihat mereka. OPCD juga membantu untuk menjaga hak-hak terdakwa selama tahap awal penyelidikan.30 2. Korban dan Saksi Salah satu inovasi besar Statuta Pengadilan Pidana Internasional dan Peraturan Prosedur dan Bukti adalah serangkaian hak yang diberikan kepada korban. Untuk pertama kalinya dalam sejarah peradilan pidana internasional, korban memiliki kemungkinan di 30 Publikasi ICC pada situs resmi http://www.un.org/law/icc/ 27 bawah Statuta untuk menyampaikan pandangan dan pengamatan mereka di hadapan Pengadilan. Partisipasi sebelum Pengadilan dapat melalui berbagai tahapan proses dan dapat mengambil bentuk yang berbeda. Meskipun akhirnya, hakim yang berwenang untuk memberikan petunjuk mengenai waktu dan cara partisipasi. Partisipasi dalam proses Pengadilan dalam kebanyakan kasus terjadi melalui perwakilan hukum dan akan dilakukan "dengan cara yang tidak merugikan atau konsisten dengan hak-hak tertuduh dan persidangan yang adil dan tidak memihak". Berdasarkan Statuta Roma, korban memiliki kesempatan untuk memberikan suara dalam pengadilan dan bahkan jika perlu, dapat memperoleh reparasi untuk penderitaan mereka. Hal ini adalah bentuk keseimbangan antara keadilan retributif dan restoratif yang akan memungkinkan ICC untuk tidak hanya membawa penjahat ke pengadilan, tetapi juga untuk membantu para korban membangun kembali kehidupan mereka. Dalam Pasal 68 (1) dari Statuta Roma disebutkan bahwa Pengadilan harus mengambil tindakan yang tepat untuk melindungi keamanan, fisik dan psikologis kesejahteraan, martabat dan privasi para korban dan saksi. Untuk mencapai tujuan tersebut, menurut Pasal 43 (6), Panitera telah membentuk Unit Korban dan Saksi dalam Registry untuk memberikan perlindungan dan pengaturan keamanan, konseling, dan bantuan lain bagi saksi, korban yang muncul sebelum Mahkamah dan orang lain yang beresiko karena kesaksian. Pada tanggal 29 dan 30 Januari 2009, Panitera menyelenggarakan pertemuan tentang perlindungan korban dan saksi di tempat kedudukan Pengadilan di Den Haag. Pertemuan diselenggarakan dalam rangka untuk menjelaskan bagaimana sistem perlindungan beroperasi, apa tantangan yang dihadapi dan apa faktor pendukung Mahkamah dan factor yg dibutuhkan mahkamah untuk memenuhi mandatnya. Pertemuan itu juga dimaksudkan sebagai forum diskusi untuk memungkinkan suatu sudut pandang yang berbeda yang berasal dari perspektif organisasi non-pemerintah, dan mitra institusi Mahkamah. BAGAIMANA CARA KERJA ICC ? Pihak Negara atau Dewan Keamanan PBB dapat merujuk situasi kejahatan dalam yurisdiksi ICC kepada Jaksa. Jaksa mengevaluasi informasi yang tersedia dan dimulai penyelidikan kecuali jika jaksa menentukan bahwa tidak ada dasar yang memadai untuk melakukan penyelidikan. Dalam melakukannya, ia menerima dan menganalisis informasi yang disampaikan oleh berbagai sumber terpercaya. Jika Jaksa menyimpulkan ada dasar 28 memadai untuk melanjutkan investigasi, maka ia mengajukannya kepada Pre-Trial Chamber untuk memberikan kuasa penyelidikan. Penyelidikan Jaksa itu mencakup semua fakta dan bukti yang relevan untuk penilaian pertanggungjawaban pidana. Jaksa menyelidiki bukti-bukti yang memberatkan dan atau yang mendukung tertuduh dalam keadaan sama dan sepenuhnya menghormati hak-hak tertuduh. Selama durasi penyelidikan, setiap situasi adalah merupakan ditugaskan ke Pre-Trial Chamber. Kamar Pra-Trial bertanggung jawab atas aspek-aspek dari proses yudisial. Diantara fungsinya, Kamar Pra-Trial, pada penerapan Jaksa, dapat mengeluarkan surat perintah penangkapan atau panggilan untuk muncul jika ada alasan yang kuat untuk percaya bahwa seseorang melakukan kejahatan dalam yurisdiksi ICC.31 Setelah seseorang ingin telah menyerah atau sukarela muncul sebelum Pengadilan, Kamar Pra-Trial memegang sidang untuk mengkonfirmasi biaya yang akan menjadi dasar sidang. Setelah konfirmasi biaya, kasus ditugaskan ke Trial Chamber dari tiga hakim. Trial Chamber bertanggung jawab untuk melakukan proses yang adil dan cepat dengan penghormatan penuh terhadap hak-hak tertuduh. Terdakwa dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah oleh Jaksa Penuntut tanpa diragukan lagi. Terdakwa berhak untuk melakukan pembelaan secara langsung atau melalui pengacara yang dipilihnyanya. Korban juga dapat berpartisipasi dalam proses secara langsung atau melalui wakil-wakil hukum mereka. Setelah kesimpulan dari proses, Trial Chamber memberikan keputusannya, yaitu membebaskan atau menghukum terdakwa. Jika terdakwa bersalah, Trial Chamber memberikan hukuman untuk jangka waktu tertentu hingga tiga puluh tahun atau, bila dibenarkan oleh bukti ekstrem kejahatan dan keadaan individu terpidana, bisa dijatuhi penjara seumur hidup. Trial Chamber juga dapat memerintahkan reparasi kepada korban. Sepanjang Pre-Trial dan fase Trial, terdakwa, Jaksa atau suatu Negara yang bersangkutan dapat melakukan banding atas keputusan Chambers seperti yang ditetapkan dalam Statuta. Menyusul keputusan Trial Chamber, Jaksa atau terdakwa dapat mengajukan keberatan atas keputusan atau pendapat sebagaimana diatur dalam Statuta Roma. Hukum perwakilan korban, terpidana atau pemilik aset yang terkena dampak negatif dapat banding untuk menuntut reparasi. Semua banding diputuskan oleh Kamar Banding lima hakim. 31 http://www.mahkamah pidana internasional. Adedidikirawan’s Blog.htm. 29 BAB IV DAFTAR PUSTAKA Allison Morris dan Warrant Young, Reforming Criminal Justice: The Potential of Restorative Justice, dalam Restorative Justice Philosophy to Practice, Edited by Heather Strang and John Braithwaite, The Australian National University, Asghate Publishing, Ltd, 2000. Antonio Cassese, International Criminal Law, Oxford University Press, 2003, hal. 337. Ceunfin Frans, Hak-Hak Asasi Manusia, Pendasaran dalam Filsafat hukum dan Filsafat Politik, Penerbit Ldaler,Maumere,2004. Conde, H.Victor, A Handbook of International Human Rights Terminology, Lincoln University of Nebraska Press, 1999. Elizabeth Wilmshurst, Defenition Of Aggression, United Nations Audiovisual Library of International Law.hal.57 Florence Hartman, Bosnia, diambil dari Roy Gutman and David Rieff, Crimes of War : What Public Shuld Know, W.W.hal.78 Geoffrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan : Perjuangan Untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia2002, hal. 252 Hestor Gross Espiell, “Humanitarian Law and Human Rights”, dalam Januzy Symonides (editor), Human Rights: Concept and Standards, Paris: UNESCO, 2000. Human Rights Watch, Genosida,Kejahatan Perang,dan Kejahatan Terhadap kemanusiaan,Saripati Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat dalam Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda Jilid I, ELSAM,Jakarta,2007 30 Human Rights Watch, Genosida,Kejahatan Perang,dan Kejahatan Terhadap kemanusiaan,Saripati Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat dalam Pengadilan Pidana Internasional untuk Yugoslaviaa Jilid II, ELSAM,Jakarta,2007. ibid, p. 131. Ibid, p.271 Kriangsak…ibid, hal.18 Kriangsak Kittichaisaree, Op.Cit,p. 24 Pasal 5 ayat 2 Statuta Roma Pasal 6 Statuta Roma Pasal 7 Statuta Roma Pasal 34 Statuta Roma., Mahkamah terdiri dari organ-organ sebagai berikut: (a)Kepresidenan; (b)Divisi Banding; Divisi Peradilan, Divisi Pra-Peradilan; (c)Kantor Penuntut Umum; dan (d)Kepaniteraan Professor Jeremy Rabkin, The UN Criminal Tribunal for Yugoslavia and Rwanda : International Justice or Show of Justice?, diambil dari William Driscoll, Joseph Zompetti and Suzette W. Zompetti, The International Criminal Court: Global Politcs and The Quest for Justice, The International Debate Education Association, New York, 2004, p. 131 Ratner Steven R & Abrams Jason S, Melampaui Warisan Nuremberg, Pertanggungjawaban untuk Kejahatan Terhadap Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional,ELSAM. 2008. Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama,Bandung,2000 31 Report of the ILC on the Work of Its 46th Sess, UN GAOR, 49th Sess, Supp No. 10(A/49/10). Diambil dari Kriangsak Kittichaisaree, International Criminal Law, Oxford University Press, January, 2001, hal. 27. ARTIKEL DAN INTERNET Berdasarkan data tanggal 28 Juli 2008 dari www.iccnow.org Hans Peter Kaul, Developments at The International Criminal Court : Construction Site for More Justice: The ICC After Two Years, April 2005, p. 170. Elements of Crimes International Criminal Court , 2011. www.icc-cpi.int, Hal. 1 Geoffrey Robertson, …Op.Cit, p. 352-353. http://www.un.org/law/icc/ [2] Ibid[3] A Irmanputra Sidin, Berjalan Menuju Roma (Refleksi Berlakunya Statuta Roma). http://www.mahkamah pidana internasional.Adedidikirawan’s Blog.htm ICC - The Prosecutor of the ICC opens investigation in Darfur, Press Realease, http://www.icc-cpi.int/ Loc.it Lihat. Y Onuma, “The Tokyo Trial : Between Law and Politics, in C.Hosoya.N.Ando, Y.Onuma and R Minear (eds), The Tokyo War Crimes Trial : An Internasional Symposium (Kodansha, 1986), p.45. Diambil dari Kriangsak…Op.cit,p. 19 Norton Company, New York-London, 1999, p. 53 Publikasi ICC pada situs resmi http://www.un.org/law/icc/ Surat tanggal 21 Agustus 1989 dari Perwakilan Permanen Trinidad dan Tobago kepada Sekretaris Jenderal PBB, UNGAOR, 47th Sess, Annex 44, Agenda item 152, 32 Taki, Unpopular Truht: Selective Justice, from “Slobodamnation”, New York Press, Volume 14, issued 28. This Article was found at http : // www.issues-views.com Un.Doc.A/44/195 (1989), diambil dari Kriangsak Kittichasairee, … Op.Cit,p. 27. William Driscoll, Joseph Zompetti and Suzette W. Zompetti, The International Criminal Court: Global Politcs and The Quest for Justice, The International Debate Education Association, New York, 2004,p.30 33