mengembangkan sistem jaminan sosial

advertisement
MEMBANGUN SISTEM JAMINAN SOSIAL
YANG DAPAT TERLAKSANA, EFISIEN, DAN ADIL
Agustus, 2004
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS)
1
PENGANTAR
Tulisan ini merupakan ringkasan diskusi dalam seminar sehari dengan
tema Menuju Suatu Sistem Jaminan Sosial Yang Dapat
Diimplementasikan yang diselenggarakan oleh BAPPENAS. Tulisan ini
merupakan sumbangan pemikiran bagi semua pihak yang terlibat dalam
pengembangan dan penyempurnaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Pengembangan SJSN merupakan tugas yang sangat besar untuk itu
diperlukan kearifan dari kita semua agar mempertimbangkan semua
masukan yang diberikan. Masukan ini didorong oleh kenyataan adanya
keinginan masyarakat untuk mendapatkan sistem jaminan sosial yang
memadai dan didasarkan atas keinginan untuk mewujudkan cita-cita tersebut
melalui tahapan-tahapan sesuai dengan daya dukung perekonomian yang
ada. Salah satu pertimbangan penting adalah mengetahui jumlah biaya yang
diperlukan, dari mana sumber dana akan diperoleh, serta tata cara
pengelolaan dana tersebut. Dalam kaitan ini maka kajian teknis-ekonomi
termasuk analisa aktuaria mutlak diperlukan.
Untuk memperoleh bahan seminar secara lengkap dapat menghubungi
Direktorat Ketenagakerjaan dan Analisa Ekonomi, BAPPENAS.
Semoga bermanfaat bagi kita semua.
2
MEMBANGUN SISTEM JAMINAN SOSIAL
YANG DAPAT TERLAKSANA, EFISIEN, DAN ADIL
Pendahuluan
Laporan ini merupakan ringkasan diskusi dalam seminar sehari dengan tema
Menuju Suatu Sistem Jaminan Sosial Yang Dapat Diimplementasikan yang
diselenggarakan oleh BAPPENAS. Berbagai kekuatan dan kelemahan dalam Rancangan
Undang-undang Jaminan Sosial Nasional (RUU JAMSOSNAS) dibahas dalam seminar
sehari tersebut. Untuk memperluas cakrawala, seminar membahas pula pengalaman
negara lain dalam penerapan sistem jaminan sosial.
Laporan ini akan dibagi kedalam 4 bagian. Bagian pertama, mengulas RUU
JAMSOSNAS sebagai latar belakang serta pandangan berbagai pihak atas RUU tersebut.
Bagian kedua, membahas berbagai isu penting berkaitan dengan pengembangan sistem
jaminan sosial. Bagian ketiga membahas beberapa alternatif sistem JAMSOSNAS
berdasarkan pengalaman negara lain. Bagian keempat membahas usulan perbaikan bagi
penyempurnaan RUU JAMSOSNAS.
I.
Latar Belakang
Gagasan utama dalam RUU JAMSOSNAS yang sedang dibahas oleh DPR antara
lain adalah sebagai berikut:
1.
JAMSOSNAS untuk pensiun dilaksanakan melalui badan tunggal pemerintah
(monopoli) menggunakan apa yang disebut dengan manfaat pasti (defined benefit)
yang dibiayai secara pay-as-you-go melalui iuran dari pekerja dan pemberi kerja.
2.
Untuk jaminan kesehatan dilaksanakan pula melalui suatu badan tunggal pemerintah
yang dibiayai melalui iuran pekerja, pemberi kerja dan pemerintah. Manfaat
pelayanan yang diberikan cukup komprehensif, mulai dari pelayanan preventif
seperti imunisasi dan pelayanan keluarga berencana sampai pelayanan penyakit
berat seperti penyakit jantung dan gagal ginjal.
3.
JAMSOSNAS, utamanya untuk jaminan kesehatan, akan mencakup seluruh pekerja
formal dan informal serta masyarakat miskin.
3
4.
Dibentuk suatu Dewan Tripartit yang akan mengawasi kebijakan JAMSOSNAS dan
pelaksanaannya termasuk membawahi lembaga pemerintah yang menangani
jaminan sosial.
5.
Mengubah Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) dari badan usaha milik
negara yang berorientasi laba menjadi organisasi nir-laba.
Sangat jelas bahwa masyarakat menginginkan adanya suatu jaminan sosial
terutama jaminan sosial dalam bentuk uang pensiun dan jaminan kesehatan. Namun
demikian, terdapat berbagai desakan untuk mempertajam dan memikirkan kembali
beberapa rumusan dalam RUU JAMSOSNAS. Desakan datang dari berbagai
stakeholders termasuk dari pekerja, pengusaha, badan-badan pemerintah yang menangani
asuransi dan jaminan sosial, berbagai lembaga penelitian, serta berbagai pakar termasuk
pakar ekonomi dan sosial. Beberapa hal yang perlu dipertajam dan dilakukan penelitian
yang mendalam adalah:
1.
Keberlanjutan jangka panjang dari pembiayaan JAMSOSNAS. Program
pensiun menggunakan defined benefit dan pay-as-you-go membutuhkan kecermatan
dan kedalaman dalam memperhitungkan arus penerimaan dan pengeluarannya
dalam jangka panjang.
2.
Cakupan program. Program JAMSOSNAS yang mencakup seluruh pekerja
formal, informal dan masyarakat miskin dalam satu payung perlu dikaji dengan baik
kelayakannya (feasibility).
3.
Monopoli penyelenggara. JAMSOSNAS secara terpusat akan menghilangkan
pilihan bagi masyarakat untuk menentukan jenis dan perusahaan jaminan sosial
yang
sesuai dengan kebutuhannya. Disamping itu, pemusatan terhadap satu
lembaga untuk menangani JAMSOSNAS akan rawan dari penyalahgunaan dan
intervensi politik.
4.
Dampak peningkatan kontribusi dari para pekerja, pengusaha dan pemerintah
yang besarnya diperkirakan berkisar antara 7–20 %. Untuk itu perlu dilakukan
penelitian
mengenai
dampak
peningkatan
kontribusi
terhadap
penciptaan
kesempatan kerja terutama pekerja dengan upah sekitar upah minimum.
4
5.
Proses penyusunan RUU. Berbagai stakeholders merasa tidak dilibatkan oleh
komite JAMSOSNAS yang terkesan bekerja secara tertutup. Komite JAMSOSNAS
tidak pernah memberikan perhitungan besarnya biaya yang dibutuhkan (analisa
aktuaria) serta dampaknya terhadap peningkatan kontribusi bagi pekerja, pengusaha
dan pemerintah. Sampai saat ini belum tergambar secara jelas adanya kajian dan
analisa mengenai besarnya iuran, siapa yang akan menanggung, serta bagaimana
manajemen keuangan akan dilaksanakan baik untuk jangka pendek maupun jangka
panjang.
II.
Isu Strategis Dalam Mengembangkan JAMSOSNAS
Apabila suatu pemerintahan mencanangkan untuk melaksanakan suatu sistem
jaminan sosial, sebenarnya pemerintah tersebut berjanji kepada para pekerja dan anggota
keluarganya akan masa depan kesejahteraan mereka. Janji ini tidak saja diberikan kepada
para pekerja pada saat ini yang akan pensiun dalam jangka waktu 15 sampai 30 tahun
mendatang, tetapi mencakup juga generasi pekerja yang akan datang. Bila janji tersebut
gagal dipenuhi maka kredibilitas pemerintah yang telah dibangun dengan susah payah
akan sulit dipulihkan. Pengalaman negara lain dalam mengelola program pensiunnya
seringkali menunjukkan bahwa pemerintahan berikutnya biasanya gagal dalam
memenuhi janjinya yang disebabkan karena perhitungan yang tidak tepat. Ketidaktepatan
perhitungan biasanya karena terlalu tingginya perkiraan (over estimate) akan pemasukan
dan rendahnya perkiraan (under estimate) akan biaya yang harus ditanggung dari
program tersebut. Akibatnya generasi berikutnya harus menanggung beban dengan
membayar pajak lebih tinggi atau memperoleh santunan jaminan sosial dengan jumlah
yang lebih kecil dari yang dijanjikan. Baru-baru ini Pemerintah Jepang mengumumkan
kepada rakyatnya bahwa manfaat yang diperoleh oleh para pensiunan akan dikurangi
agar program pensiun dapat berkelanjutan. Sedangkan di Philipina, pemerintah terpaksa
meningkatkan pajak dan tidak menaikkan santunan sejak tahun 2001. Dengan demikian
perencanaan dalam pengembangan JAMSOSNAS merupakan sesuatu yang sangat serius.
Perencanaan untuk membangun JAMSOSNAS harus dipikirkan secara matang dengan
menyerap masukan dari semua pihak serta didasarkan pada ekspektasi yang realistis.
Beberapa isu strategis dalam pengembangan JAMSOSNAS adalah sebagai berikut:
5
1.
Tujuan dari kebijakan publik yang diambil. JAMSOSNAS adalah suatu
kebijakan publik dengan demikian harus jelas tujuan yang ingin dicapai. Apakah
tujuannya mendorong agar pekerja formal menabung bagi hari tuanya? Apakah
tujuannya agar pekerja formal mengasuransikan dirinya terhadap penyakit berat dan
kecelakaan? Apakah sistem JAMSOSNAS yang akan kita laksanakan direncanakan
untuk memiliki unsur pemerataan? Apakah tujuannya untuk juga melindungi
pekerja informal? Untuk memenuhi tujuan yang berbeda tersebut diperlukan
berbagai kebijakan dan program yang berbeda pula. Misalnya, program
JAMSOSNAS yang mengharuskan peserta untuk mengiur sangat tidaklah tepat bagi
pekerja informal. Pekerja informal di Indonesia jumlahnya sangat besar (sekitar
70% dari angkatan kerja) dan sangat tersebar diseluruh pelosok perdesaan sampai
perkotaan. Biaya untuk memungut iuran ini akan sangat mahal dan tidak sebanding
dengan jumlah iuran yang dapat dikumpulkan. Dengan kata lain kuranglah tepat
kalau program JAMSOSNAS akan dibangun hanya menggunakan satu pilar untuk
mencakup semua jenis manfaat dan mencakup seluruh lapisan masyarakat. Program
JAMSOSNAS harus dibangun melalui beberapa pilar. Bagi masyarakat miskin
program JAMSOSNAS akan lebih baik diselenggarakan melalui program tersendiri
yang dibiayai oleh dana pemerintah.
2.
Keberlanjutan pembiayaan JAMSOSNAS. Cara pembiayaan yang berbeda
sangat mempengaruhi keberlanjutan pembiayaan (financial sustainability) dari
program jaminan sosial. Untuk itu, pada saat kita merancang sistem jaminan sosial,
perlu diketahui dengan benar apa implikasi yang timbul dari skenario pembiayaan
yang berbeda. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa, program pensiun
yang menjanjikan defined benefit dibiayai dari pungutan dari pekerja (payroll taxes)
dan menggunakan cara pay-as-you-go, biasanya mengalami kesulitan keuangan dan
akhirnya menyebabkan hutang publik yang besar. Program kesehatan universal yang
dikelola oleh negara biasanya berujung pada kesulitan keuangan. Banyak negara
maju maupun berkembang, yang mulai mengembangkan program pensiun seperti di
atas sekitar pertengahan abad ke 20, untuk 40 tahun pertama memang dapat berjalan
dengan baik. Hal ini disebabkan orang yang bekerja jumlahnya masih banyak
sedangkan orang yang pensiun pada saat program dimulai masih sedikit. Tetapi
6
pada saat banyak orang memasuki masa pensiun dan rasio dari jumlah pekerja
dengan jumlah orang pensiun mengecil maka biaya yang harus dikeluarkan
meningkat dengan pesat sementara pemasukan tidak berubah banyak. Hal ini terjadi
pada negara tetangga kita Philipina. Pemerintah Philipina memperkenalkan program
pensiun menggunakan defined benefit pada tahun 1950 dengan kontribusi 6 % dari
gaji pekerja. Pada tahun 1990 pemerintah Philipina mulai merasakan kesulitan yang
diakibatkan oleh besarnya biaya yang harus dikeluarkan karena jumlah orang yang
pensiun mencapai puncaknya. Biaya yang harus ditanggung meningkat dari 1 %
PDB pada tahun 1990 menjadi 4 % PDB pada tahun 1999, hutang publik yang
ditimbulkannya adalah US 21 miliar pada tahun 2000. Untuk menanggulangi ini
pemerintah Philipina meningkatkan kontribusi menjadi 9,4 % dan tidak
meningkatkan manfaat sejak tahun 2001. Dengan demikian dapat diambil pelajaran
bahwa skema jaminan sosial menggunakan defined benefit sangat rawan terhadap
kesulitan keuangan di masa depan. Banyak negara sekarang berpindah ke skema
iuran pasti (defined contribution) yang mengaitkan antara iuran yang dibayarkan
oleh pekerja dengan besarnya manfaat yang akan diperoleh. Untuk itu kecermatan
perhitungan aktuaria sangat dibutuhkan. Sebagai gambaran, pada saat ini hanya
sekitar 10 % penduduk Indonesia menjadi anggota dana pensiun dan hanya 15 %
yang mempunyai asuransi kesehatan. Program TASPEN yang sekarang berjalan
mewajibkan setiap pegawai negeri membayar iuran sebesar 4,75 % dari
pendapatannya kepada PT TASPEN. Pada saat ini pemerintah sebagai pemberi kerja
memang belum ikut memberikan iuran, tetapi pada saat membayar uang pensiun
pegawai, dengan menggunakan skema defined benefit, pemerintah membayar 77,5
% yang dibebankan kepada APBN. Sisanya dibayar oleh PT TASPEN. Dana
pensiun bagi pegawai negeri tersebut diperkirakan akan mengalami defisit pada
tahun 2006. Kalau JAMSOSNAS dimaksudkan untuk mencakup seluruh
masyarakat maka perlu dilakukan studi yang mendalam mengenai jumlah biaya
yang
diperlukan
serta
sumber
pembiayaannya.
Pengembangan
program
JAMSOSNAS dengan mengabaikan perhitungan aktuaria akan menimbulkan beban
dikemudian hari.
7
3.
Peranan pemerintah dan swasta dalam penyelenggaraan jaminan sosial.
Berdasarkan pengalaman negara lain program pensiun yang dikelola oleh
pemerintah memberikan tingkat manfaat (return) yang kecil kepada para pekerja
dibandingkan dengan program yang dikelola oleh swasta. Selain itu pelayanan yang
diberikan juga kadang kurang memuaskan dibandingkan dengan program yang
dikelola oleh swasta. Manajer investasi program pensiun swasta mempunyai insentif
yang lebih tinggi untuk melakukan investasi yang terbaik, namun demikian bukan
berarti pengelolaan oleh swasta bukan tanpa masalah. Untuk itu peranan pemerintah
dalam regulasi keuangan program pensiun serta dalam pengawasan sangat
diperlukan. Dalam kasus negara berkembang seperti Indonesia peran pemerintah
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelenggarakan program
JAMSOSNAS pasti masih akan besar. Namun demikian bukan berarti
menghilangkan
peran
stakeholders
lainnya.
Lebih
jauh
lagi
sebenarnya
pengembangan suatu sistem JAMSOSNAS jangan sampai menghilangkan
kebebasan bagi calon peserta untuk memilih program dan perusahaan mana yang
sesuai
dengan
kebutuhannya.
Isu
good
governance
dalam
pelaksanaan
JAMSOSNAS perlu mendapat perhatian terutama di negara yang birokrasinya
terkenal sarat dengan KKN. Program yang sudah ada seperti JAMSOSTEK
mempunyai angka tunggakan iuran yang tinggi, nilai pengembalian investasi yang
rendah, serta manfaat yang rendah pula. Dari potensi peserta JAMSOSTEK yaitu 22
juta pekerja formal, hanya sekitar 9 juta yang benar-benar secara teratur membayar
iuran tiap bulannya. Bila pelaksanaan terpusat hanya pada birokrasi pemerintah
tanpa memberikan ruang gerak bagi pihak swasta maka rasanya akan sulit untuk
mendorong terciptanya sistem JAMSOSNAS yang efisien.
4.
Dampak program jaminan sosial terhadap penciptaan kesempatan kerja.
Kalau kita cermati pasar tenaga kerja pada saat ini maka akan jelas terlihat bahwa
jumlah pekerja informal masih lebih dari dua kali jumlah pekerja formal. Jumlah
pekerja informal pada saat ini berjumlah sekitar 70 juta orang sedangkan pekerja
formalnya berjumlah sekitar 30 juta orang. Dapat dibayangkan kesulitan yang akan
dihadapi kalau pekerja informal yang jumlahnya 70 juta dan tersebar diseluruh
pelosok
Indonesia
harus
mengiur
program
JAMSOSNAS.
Dilihat
dari
8
pendapatannya maka pekerja kita baik di desa dan di kota yang berstatus kepala
rumah tangga masih didominasi oleh mereka yang berpendapatan antara 600-800
ribu rupiah perbulannya. Mereka yang berstatus kepala rumah tangga yang
berpendapatan di atas 1 juta rupiah perbulan hanyalah sekitar 4,5 juta orang. Upah
minimum di DKI saat ini sekitar 800 rupiah perbulannya. Dengan upah minimum
sebesar inipun masih banyak pekerja yang memperoleh upah di bawah upah
minimum. Dan mereka yang beruntung memperoleh upah minimum masih
merasakan betapa beratnya memenuhi kebutuhan untuk hidup sehari-hari. Dengan
demikian peningkatan iuran bagi pekerja bila tidak direncanakan dengan baik bisa
jadi memberatkan dan bahkan berpotensi mengurangi kesempatan kerja formal.
Angka-angka ini bisa saja tidak akurat, namun demikian kecermatan perhitungan
konsekuensi biaya yang diperlukan untuk mendanai program JAMSOSNAS tidak
dapat diabaikan begitu saja. Keadaan pasar tenaga kerja masih belum
menggembirakan. Lapangan pekerjaan formal terus berkurang selama kurun waktu
2001 sampai 2003. Padahal diketahui bahwa sebagian besar dari pekerja kita di
sektor tersebut adalah pekerja yang kurang terampil (sekitar 50 % adalah lulusan SD
dan SD ke bawah). Dengan demikian bila sampai mereka di PHK dari pekerjaan
formal maka dapat terbayangkan akan sangat lama bagi mereka untuk memperoleh
pekerjaan formal lagi. Untuk itu menjaga agar lapangan kerja formal tetap
bertumbuh adalah cita-cita kita bersama. Apabila iuran yang nantinya akan dipungut
untuk membiayai program JAMSOSNAS dirasakan sangat berat baik oleh pekerja
maupuan pemberi kerja maka kemungkinan menciutnya lapangan pekerja formal
tidak dapat dihindari. Parahnya lagi adalah bahwa korban dari PHK tadi biasanya
adalah pekerja yang kurang terampil atau pekerja yang berusia muda atau pekerja
wanita. Bertambahnya pengangguran usia muda sangat tidak menguntungkan
mengingat jumlah penganggur usia muda terus meningkat jumlahnya beberapa
tahun terakhir ini.
9
III. Pengalaman Negara Lain
Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional:
1.
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa penyelenggaraan jaminan
sosial dilaksanakan melalui tiga pilar dengan penyelenggara yang berbeda.
Banyak negara baik negara maju maupun berkembang melakukan perombakan,
terutama yang berkaitan dengan skema defined benefit, dalam rangka menghindari
kesulitan di kemudian hari. Perombakan sistem jaminan sosial kebanyakan menuju
sistem jaminan sosial tiga pilar. Pilar pertama adalah sistem JAMSOSNAS yang
merupakan program jaring pengaman sosial. Program ini dilakukan oleh pemerintah
bertujuan untuk melindungi penduduk usia lanjut atau mereka yang tergolong
miskin. Dalam hal ini maka skema defined benefit dapat digunakan secara hati-hati.
Namun cakupan dan ragam dari program ini sangat tergantung dari kemampuan
pemerintah. Pilar kedua adalah sistem JAMSOSNAS bagi pekerja formal dengan
skema defined contribution. Manfaat yang akan diperoleh sesuai dengan jumlah
iuran yang dipungut. Program ini dapat dilaksanakan oleh swasta dan pemerintah.
Pilar ketiga merupakan program sukarela untuk peserta yang menginginkan manfaat
yang lebih baik bagi kebutuhan hari tua mereka. Akan sangat tidak bijaksana bila
memaksakan sistem JAMSOSNAS bagi negara besar dan beragam ini ke dalam satu
pilar.
2.
Pemerintah mempunyai beberapa peran penting. Pertama, pemerintah berperan
dalam membuat regulasi yang berkaitan dengan rambu-rambu pengelolaan dana
JAMSOSNAS. Kedua, pemerintah diharapkan tetap berperan untuk melaksanakan
pilar JAMSOSNAS yang merupakan bagian dari sistem jaring pengaman sosial.
Misalnya di Nepal, pemerintah di sana memberikan manfaat yang merata bagi orang
lanjut usia (berusia di atas 70 tahun) yang tidak mampu.
3.
Kesempatan dalam memilih perusahaan yang melaksanakan JAMSOSNAS.
Sekitar 30 negara menggunakan sistem jaminan sosial tiga pilar. Namun demikian
negara-negara ini menggunakan pendekatan yang berbeda dalam rangka
memberikan
pilihan
bagi
peserta
dalam
memilih
perusahaan
yang
menyelenggarakan jaminan sosial. Di Amerika Latin digunakan apa yang
10
dinamakan model pasar eceran (retail market). Artinya pekerja dapat memilih
dengan
bebas
perusahaan
penyelenggara
jaminan
sosial
sesuai
dengan
kebutuhannya. Kelemahannya adalah banyak sekali pilihan yang kadang
membingungkan dan juga dengan harga yang lebih mahal. Negara-negara OECD
menggunakan apa yang dinamakan model pasar kelompok (group market). Model
ini menyerahkan kepada pemberi kerja dan serikat pekerja untuk memilih
perusahaan penyelenggara mana yang akan digunakan oleh seluruh pekerja dalam
perusahaan tersebut. Dengan model ini biaya administrasi menjadi lebih rendah.
Model terakhir adalah model pasar kelembagaan (institutional market) dimana
pemerintah melakukan pengumpulan dana dari seluruh pekerja dan menegosiasikan
dengan perusahaan penyelenggara melalui proses tender yang transparan.
Perusahaan internasional atau patungan diperbolehkan mengikuti tender ini. Model
ini dapat menekan biaya sekaligus memberikan manfaat yang baik.
Pengalaman Negara Lain Dalam Mengelola Program Jaminan Kesehatan:
Pengalaman negara Kolombia dalam mereformasi program jaminan kesehatannya
sangat menarik untuk dikemukakan. Pada awalnya pemerintah Kolombia membatasi
pilihan perusahaan asuransi kepada satu perusahaan penyelenggara (monopoli) dalam
melaksanakan
program jaminan kesehatannya. Namun karena banyaknya keluhan
terhadap kualitas program kesehatan ini maka pemerintah melakukan reformasi yang
sangat mendasar. Program jaminan kesehatan pada dasarnya dibagi dua: Pertama adalah
asuransi kesehatan wajib bagi pekerja formal yang disebut social health insurance (SHI).
Kedua adalah program jaminan kesehatan bagi pekerja informal dan masyarakat miskin.
Pemerintah Kolombia membuka account dimana pekerja formal anggota SHI
mengiur sebesar 11 % dari pendapatannya untuk program ini. Pembayaran sebesar 11 %
dari pendapatan ini ditanggung 1/3 oleh pekerja dan 2/3 oleh pemberi kerja. Pengelolaan
account ini tidak diserahkan kepada sebuah perusahaan pemerintah tetapi kepada tiga
bank. Pemerintah menetapkan standard dan jenis layanan komprehensif yang harus
dicakup dalam SHI. Selanjutnya pemerintah melakukan seleksi kepada perusahaan
asuransi penyelenggara jaminan kesehatan. Perusahaan yang mengikuti seleksi ini dapat
11
berbentuk perusahaan pemerintah, swasta, atau swasta asing. Dari seleksi ini terpilih 28
perusahaan peserta penyelenggara jaminan kesehatan. Pekerja peserta SHI dapat memilih
salah satu dari 28 perusahaan ini sebagai penyelenggara jaminan kesehatan untuk pekerja
itu sendiri dan keluarganya. Setelah pekerja menetapkan pilihannya maka uang premi
akan dibayarkan dari account tadi langsung kepada perusahaan asuransi penyelenggara
jaminan kesehatan. Bila sudah memilih salah satu perusahaan penyelenggara maka
pekerja tidak diperbolehkan untuk pindah perusahaan minimal dalam 3 tahun. Perusahaan
asuransi penyelenggara jaminan kesehatan ini dapat bekerja sama dengan berbagai rumah
sakit pemerintah dan swasta yang ada atau dapat juga melaksanakan sebagian dari
pelayanan kesehatannya sendiri.
Program jaminan kesehatan bagi pekerja informal dan masyarakat miskin
disubsidi oleh peserta pekerja formal dan pemerintah. Jumlah pekerja formal yang
dicakup oleh SHI berjumlah sekitar 30 % dari penduduk. Penduduk miskin dan pekerja
informal berjumlah sekitar 60 %. Mereka ini tidak mampu untuk membayar iuran
jaminan kesehatan. Untuk itu pemerintah melakukan subsidi yang diambil dari anggaran
pemerintah dan juga sumbangan 1 % dari pendapatan pekerja formal. Program jaminan
kesehatan bersubsidi ini dilaksanakan melalui pemerintah daerah. Pemerintah daerah
melakukan seleksi untuk memilih siapa yang berhak menerima bantuan uang iuran
jaminan kesehatan. Setelah pemerintah daerah menentukan siapa yang berhak menerima
maka pemerintah pusat mengirim dana tadi ke pemerintah daerah dan dana tersebut
dibayarkan sebagai uang premi jaminan kesehatan kepada perusahaan penyelenggara
jaminan kesehatan yang dipilih oleh pekerja informal dan penduduk miskin tadi. Dari
60% penduduk yang tergolong pekerja informal dan miskin tadi hanya sekitar 30 % yang
berhak untuk memperoleh bantuan jaminan kesehatan atau hanya sekitar 20 % dari
populasi. Dengan demikian masih ada sekitar 40 % penduduk yang tidak tercakup dalam
program jaminan kesehatan. Mereka ini tidak tergolong miskin sehingga tidak berhak
untuk memperoleh bantuan jaminan kesehatan tetapi tidak cukup mampu untuk
membayar premi SHI sebesar 11 % dari pendapatan. Selain itu kebanyakan masyarakat
yang dicakup adalah masyarakat perkotaan dan hanya sebagian masyarakat perdesaan. Ini
merupakan tantangan berat yang sedang terus diupayakan untuk dipecahkan oleh
pemerintah Kolombia.
12
Model jaminan kesehatan di negara Chili juga merupakan model lain yang
menarik untuk dipertimbangkan. Reformasi jaminan kesehatan di Chili dilakukan mulai
tahun 1980an. Jaminan kesehatan dibagi dua, bagi peserta yang mampu mengikuti
program kesehatan yang disebut dengan ISAPRE sedangkan bagi yang tidak mampu
mengikuti program yang disebut FONASA. ISAPRE adalah program asuransi jaminan
kesehatan yang terdiri dari 18 perusahaan asuransi kesehatan swasta. Kriteria dari mampu
atau tidak adalah dengan melihat 7 % dari pendapatan calon peserta. Seandainya 7 % dari
pendapatan calon peserta sesuai dengan premi yang harus dibayarkan kepada ISAPRE
maka pekerja tadi dapat memilih untuk masuk sebagai peserta ISAPRE atau FONASA.
Namun bila penghasilan pekerja tadi tidak mencukupi maka tidak ada pilihan kecuali
menjadi peserta FONASA.
ISAPRE didanai dari iuran peserta yang besarnya adalah 7 % dari pendapatan
pekerja dan bagi yang menginginkan manfaat yang lebih luas dapat membayar iuran
tambahan. ISAPRE ini lah yang menjual paket-paket asuransi kesehatan kepada pekerja.
Sampai saat ini ada kurang lebih 10.000 paket kesehatan yang dapat dibeli melalui
ISAPRE. Untuk melaksanakan pelayanan kesehatan ISAPRE bekerja sama dengan
penyelenggara layanan kesehatan swasta. Pemerintah menetapkan standar manfaat
kesehatan yang harus dipenuhi oleh ISAPRE tetapi pemerintah tidak memberikan subsidi
kepada ISAPRE. Sedangkan FONASA murni dikelola oleh pemerintah, selain dibiayai
dari 7 % iuran pekerja pemerintah juga memberikan tambahan sebesar iuran yang
terkumpul dari pekerja. Jaringan penyedia layanan kesehatan FONASA adalah gabungan
antara penyedia layanan kesehatan pemerintah dan swasta.
13
Pertimbangan Teoritis Dalam Merancang Jaminan Sosial Kesehatan
Bentuk penyelenggaraan jaminan kesehatan sangat berbeda antara penyelenggaraan jaminan
kesehatan di Kolombia dan di Chili. Kalau kita ingin mencermati lebih dalam, sebetulnya apa yang ingin
dicapai dari masing-masing cara penyelenggaraan jaminan kesehatan yang berbeda tersebut?
Menghindari kegagalan pasar untuk pasar asuransi kesehatan. Masalah terbesar dalam pasar
asuransi kesehatan adalah adanya informasi yang sangat asimetris antara perusahaan asuransi dengan
peserta berkaitan dengan resiko yang dihadapi oleh perusahaan. Orang yang paling mengetahui mengenai
kondisi kesehatannya adalah si peserta itu sendiri. Bagi perusahaan akan sangat mahal untuk mengetahui
kondisi kesehatan dari masyarakat peserta dengan akurat. Membiarkannya kepada pasar akan berakibat
tidak terpenuhinya jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin dan para lanjut usia. Salah satu jalan,
walaupun bukan first best, adalah mewajibkan perusahaan asuransi mengenakan premi sebesar resiko
kesehatan rata-rata masyarakat. Dengan demikian diharapkan dapat terjadi subsidi silang antara yang
mampu dan yang tidak mampu. Tetapi cara ini akan memberikan insentif bagi peserta yang mempunyai
resiko kesehatan kecil untuk tidak mengikuti program tersebut karena premium yang dibayarkan lebih
tinggi dari resiko yang dihadapi. Sebaliknya bagi perusahaan asuransi akan lebih memilih peserta yang
mempunyai resiko kecil. Penyelenggaraan jaminan kesehatan di Kolombia dirancang untuk menghindari
hal ini dengan mewajibkan setiap pekerja yang mampu untuk mengikuti program jaminan kesehatan,
sedangkan bagi yang tidak mampu ditangani oleh pemerintah.
Menghindari kegagalan pasar untuk pasar jasa pelayanan kesehatan. Masalah terbesar dalam
pasar ini juga adanya informasi yang asimetris antara pasien dan pemberi jasa pelayanan kesehatan
berkaitan dengan persepsi pelayanan kesehatan. Sebagai contoh, bagi pasien yang terpenting adalah
cepatnya pelayanan diberikan, dari sisi dokter ketelitian sehingga membutuhkan waktu pemeriksaan yang
lebih lama merupakan hal yang penting. Bila dibiarkan kepada pasar maka kompetisi akan terfokus kepada
cepatnya pelayanan tetapi berpotensi mengorbankan kualitas. Permasalahan ini merupakan tantangan dari
sistem penyelenggaraan jaminan kesehatan di Kolombia.
Menghindari kegagalan pemerintah. Untuk mengatasi kegagalan pasar pemerintah melakukan
intervensi. Namun intervensi yang dilakukan bukan tanpa masalah. KKN adalah salah satu kegagalan
pemerintah yang sering dijumpai di negara manapun. Tetapi tanpa adanya regulasi pemerintah, perilaku
rent-seeking dari berbagai pelaku akan sulit dihindari. Pengalaman Kolombia dalam mengundang pihak
swasta untuk berpartisipasi diimbangi oleh regulasi yang jelas dari pemerintah. Baik pemerintah ataupun
pasar secara sendiri-sendiri tidak dapat memecahkan masalah, untuk itu tetap dibutuhkan peran dari
keduanya.
Menghindari masalah pembiayaan dikemudian hari. Dalam perdebatan mengenai sistem
jaminan kesehatan yang adil sering dikemukakan bahwa masyarakat membayar sesuai dengan
kemampuannya tetapi dalam memperoleh pelayanan kesehatan tergantung dari kebutuhannya. Dari sinilah
timbul gagasan yang disebut dengan pooling dana. Dengan dana yang dikumpulkan dimungkinkan terjadi
subsidi silang dari masyarakat yang beresiko rendah tetapi mampu kepada masyarakat yang beresiko tinggi
tetapi tidak mampu. Tetapi cara pooling ini bukan tanpa masalah, semakin besar pooling ini maka premi
yang dibayar oleh peserta menjadi tidak terkait dengan resiko yang dihadapi oleh peserta tadi. Hal ini
menimbulkan insentif bagi yang mampu tetapi beresiko kecil untuk menghindari pembayaran iuran.
Dengan kata lain, bagi sebagian masyarakat, manfaat yang diterima tidak sebanding dengan premi yang
harus dibayarkan. Sistem jaminan kesehatan yang ada di Kolombia menghadapi masalah ini. Chili berusaha
mengatasi masalah ini dengan tidak melakukan pooling dana diantara ISAPRE apalagi dengan FONASA.
Sistem di Kolombia didesain agar para perusahaan asuransi memfokuskan pada pelayanan yang dapat
menekan biaya serendah mungkin melalui resiko yang ditanggung bersama. Sebaliknya ISAPRE di Chili
kurang mempunyai insentif untuk menekan biaya karena ISAPRE bertindak sebagai perusahaan asuransi
dimana perserta dapat membayar lebih untuk layanan yang lebih baik.
Selain itu, hal yang dapat kita cermati dari sistem jaminan kesehatan di Kolombia dan Chili adalah
digunakannya sistem asuransi melalui cara defined contribution bagi masyarakat yang dianggap mampu
serta adanya kebebasan bagi masyarakat untuk memilih perusahaan penyelenggara jaminan kesehatan.
Peran pemerintah masih sangat besar terutama dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan bagi masyarakat
miskin tetapi tidak menghilangkan keikutsertaan perusahaan swasta. Adanya pilihan ini sudah tentu sangat
penting bagi masyarakat dalam upaya memperoleh layanan jaminan kesehatan yang dapat memenuhi
kebutuhannya.
14
IV.
Usulan Penyempurnaan
Para peserta seminar BAPPENAS Menuju Suatu Sistem Jaminan Sosial Yang
Dapat Diimplementasikan sepakat bahwa Indonesia membutuhkan adanya suatu sistem
jaminan nasional yang dapat dilaksanakan, efisien, serta adil. Namun demikian dengan
RUU Sistem Jaminan Sosial Nasional yang sedang dibahas oleh DPR dirasakan banyak
hal yang perlu disempurnakan.
Dari pengalaman berbagai negara yang melakukan reformasi sistem jaminan
sosial sesungguhnya kita mempunyai banyak pilihan. Sudah tentu tidak ada satu model
yang serta merta cocok dengan keadaan Indonesia. Namun demikian model apapun yang
akan dipilih harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan ekonomi, struktur pasar
kerja, keterbatasan anggaran pemerintah, serta yang terpenting adanya pilihan bagi
pekerja untuk dapat memilih perusahaan penyelenggara jaminan sosial. Selain itu
pengalaman baik dan buruk dari negara lain sebaiknya kita jadikan bahan pertimbangan.
Secara umum usulan para peserta seminar untuk menyempurnakan RUU Sistem Jaminan
Sosial Nasional, adalah sebagai berikut:
1.
Membangun konsensus serta melakukan analisa aktuaria. Disarankan untuk
membentuk kelompok kerja yang terdiri dari seluruh stakeholders meliputi serikat
pekerja, pengusaha, peneliti dan akademisi, pelaksana program jaminan sosial yang
ada, serta dari pihak pemerintah. Kelompok kerja ini melapor kepada panitia kerja
DPR yang sedang membahas RUU JAMSOSNAS. Kelompok kerja ini bertugas
untuk mencari konsensus dalam bentuk jaminan sosial yang diinginkan, siapa
penerimanya, serta siapa pelaksananya. Selain itu kelompok kerja melakukan analisa
aktuaria untuk mengetahui besarnya biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan
program JAMSOSNAS.
2.
Saran di atas memang membutuhkan waktu yang cukup lama, namun demikian
untuk pengembangan suatu program JAMSOSNAS yang komprehensif disarankan
untuk dilakukan. Dalam waktu yang pendek beberapa perbaikan yang dapat
dilaksanakan adalah: Pertama, merancang sistem JAMSOSNAS tiga pilar. Dengan
demikian penanganan pekerja informal dan masyarakat miskin dilakukan tersendiri.
Kedua, mengganti skema defined benefit menjadi defined contribution bagi program
15
pensiun. Ketiga, melibatkan pihak swasta dalam memberikan pelayanan agar
masyarakat mempunyai pilihan. Dengan demikian tidak perlu melebur perusahaan
penyelenggara jaminan sosial milik pemerintah yang sudah ada. Keempat,
melakukan analisa aktuaria untuk mengetahui berapa biaya yang dibutuhkan serta
bagaimana membiayainya. Beberapa permasalahan pokok beserta saran dilampirkan
dalam tabel berikut.
16
Tabel 1
Beberapa Permasalahan Pokok Dalam RUU JAMSOSNAS
Materi Dalam RUU
Isu dan Saran Pelaksanaannya
Skema defined benefit dalam program Program jaminan pensiun menggunakan
jaminan pensiun.
skema defined benefit merupakan skema
yang sudah sejak lama dianut di banyak
negara tetapi skema ini rawan insolvensi
keuangan,
mudah
terjebak
dalam
ketidakmampuan untuk membayar utang
tepat waktu.
Saran:
Mengganti skema defined benefit menjadi
defined
contribution.
Selanjutnya
melakukan analisa aktuaria.
Menjanjikan manfaat hari tua yang Sudah benar untuk menggunakan skema
dibayarkan semuanya sekaligus pada saat defined contribution. Dengan demikian
pensiun berdasarkan skema defined yang terpenting adalah menjaga agar
contribution
(sama
seperti
skema investasi yang dilakukan memberikan
Jamsostek).
manfaat yang besar.
Saran:
Melibatkan
sektor
swasta
dalam
pelaksanaannya. Pengelolaan investasi
melalui
sektor
publik
seringkali
memberikan tingkat manfaat yang lebih
rendah dibandingkan dengan skema-skema
yang dikelola secara kompetitif.
Jaminan kesehatan sosial.
Pelaksanaan jaminan kesehatan hanya
melalui satu perusahaan berpotensi pada
pelayanan yang tidak memuaskan. Adanya
pilihan bagi masyarakat merupakan esensi
kehidupan bermasyarakat dalam era
demokrasi.
Saran:
Masyarakat menginginkan adanya pilihan
dalam memilih perusahaan penyelenggara
jaminan kesehatan. Penyelenggara jaminan
kesehatan swasta harus dilibatkan. Seperti
Kolombia
misalnya,
terdapat
28
perusahaan yang dapat dipilih.
17
Materi Dalam RUU
Isu dan Saran Pelaksanaannya
Dewan wali amanat (trust) tripartit terdiri Tidak jelas, bagaimana suatu ‘dewan wali
dari wakil-wakil pemerintah, pengusaha amanat’ akan dapat melindungi lembaga
dan
serikat
pekerja,
diangkat
diberhentikan oleh Presiden.
dan jaminan sosial yang dimonopoli oleh
negara dari campur tangan politik.
Saran:
Penyelenggaraan jaminan sosial sebaiknya
tidak dilaksanakan melalui satu pilar satu
pelaku. Disarankan untuk menggunakan
penyelenggaraan 3 pilar.
Penyelenggara
asuransi
dan
jaminan Lembaga-lembaga jaminan sosial yang
sosial yang sudah ada seperti Taspen, dimonopoli
Jamsostek, ASKES akan dilaksanakan di efisien,
negara
memberikan
cenderung
tidak
pelayanan
yang
bawah bimbingan dewan wali amanat. buruk, dan rawan korupsi.
Tujuan dasarnya adalah supaya semua Saran:
lembaga
tersebut
digabungkan
negara.
menjadi
akhirnya
satu
dapat Diinginkan kerangka kompetitif yang
lembaga memberikan beberapa kemungkinan pada
pekerja untuk memilih sendiri manajer
dan perusahaan penyelenggara asuransi
yang mereka kehendaki sesuai dengan
kebutuhannya. Penyelenggara yang sudah
ada lebih baik diminta untuk memperbaiki
kinerjanya tanpa harus digabung.
18
Materi Dalam RUU
Isu dan Saran Pelaksanaannya
Program JAMSOSNAS, utamanya jaminan Tidak mungkin mengikutsertakan pekerja
kesehatan, bersifat wajib untuk semua informal dalam skema iuran. Akan sangat
pekerja, termasuk pekerja informal.
mahal untuk memungut iuran dari pekerja
informal yang jumlahnya jauh lebih besar
dari pekerja formal dan tempatnya yang
sangat
tersebar.
Dalam
program
JAMSOSTEK, untuk pekerja formal saja
tidak sampai setengahnya yang secara
teratur membayar iuran.
Saran:
Oleh sebab itu hendaknya dibentuk
program terpisah untuk jaminan sosial bagi
pekerja informal dan masyarakat miskin
yang dibiayai dari pajak secara umum.
Pengenaan pajak atas upah (payroll taxes) Pengenaan tambahan pungutan yang tinggi
sebesar 17-20% bagi pekerja untuk cenderung menyebabkan orang berusaha
membiayai program JAMSOSNAS.
mengelak membayar pajak dan hilangnya
lapangan pekerjaan formal. Pekerja yang
berupah rendah dan biasanya tidak
terampil serta usia muda biasanya akan
lebih dahulu menjadi korban hilangnya
lapangan kerja formal.
Saran:
Dilakukan analisa yang mendalam
mengenai dampak pengenaan pajak atas
upah terhadap penciptaan kesempatan
kerja.
Sumber:
Lokakarya Internasional Menuju Suatu Sistem Jaminan Sosial Yang Dapat
Diimplementasikan, diselenggarakan oleh BAPPENAS, tanggal 24 Juni 2004,
di Hotel Borobudur, Jakarta.
19
Lokakarya Satu Hari
Menuju Suatu Sistem Jaminan Sosial Yang Dapat Diimplementasikan
Pembicara:
1. Dr. Soekarno Wirokartono
Deputi Bidang Ekonomi, BAPPENAS
2. Dra. Leila Retna Komala, MA
Deputi Bidang Sumber Daya Manusia & Kebudayaan, BAPPENAS
3. Dr. Bambang Widianto
Direktur Ketenagakerjaan dan Analisis Ekonomi, BAPPENAS
4. Dr. Estelle James
International Pension Specialist, USA
5. Alex Arifianto
Lembaga Penelitian SMERU
6. Rizaldy Capulong
Deputy Chief of the Actuarial Department
Philippine Social Security Commission
7. Professor Mukul Asher
National University of Singapore
8. Ramon Castono - Yepes
Health Specialist, Colombia
9. Dr. Mochammad Ikhsan
LPEM - FEUI
10. Menno Pradhan
World Bank
11. John Anggelini
Asian Development Bank
Moderator:
1. Rekson Silaban
Ketua Umum Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
(SBSI)
2. Ari Perdana
CSIS
3. Bismo Sanyoto
Sektretaris Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
(SBSI)
20
Download