PERAKITAN TANAMAN TRANSGENIK TAHAN HAMA Bahagiawati Amirhusin Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jalan Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111 ABSTRAK Perakitan tanaman transgenik tahan hama merupakan teknologi alternatif yang dapat dipakai dalam pengendalian hama. Meskipun terdapat kontroversi tentang tanaman transgenik tahan hama, area tanaman transgenik tahan hama secara global terus meningkat. Perakitan tanaman transgenik merupakan kegiatan yang memerlukan dana besar, tenaga peneliti berkualitas, serta fasilitas yang mahal sehingga selayaknya kegiatan ini diprogramkan dengan sebaik-baiknya. Secara teknis, perakitan tanaman transgenik memerlukan kerja sama beberapa peneliti dengan disiplin ilmu yang berbeda, antara lain entomologi, kultur jaringan, biologi molekuler, dan pemuliaan tanaman. Kata kunci: Rekayasa genetika, tanaman transgenik, tahan hama ABSTRACT Developing transgenic plant resistant to insect pest Genetic engineering can be used as an alternative technique to develop plant resistant to insect. Despite a globally controversial of advantages and disadvantages on using transgenic plant to manage pests and diseases, the area planted for transgenic plant resistant to insect increased. Developing transgenic plant resistant to insect needs a large amount of fund and qualified human resources and a relative expensive facilities and equipments. Because of that, a good program should be developed to optimize the utilization of available budget, human resources and also facilities. Several scientists from different scientific background (entomology, tissue culture, molecular biology, plant breeding) are needed to work together in the program to develop transgenic plant resistant to insect. Keywords: Genetic engineering, transgenic plants, pest resistance K erugian yang disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman diperkirakan mencapai 37% dari total produksi, dan 13% di antaranya karena serangan hama. Di Amerika Serikat, kerugian akibat serangan hama jika diuangkan mencapai US$7,70 miliar per tahun atau Rp61,60 triliun per tahun (Bent dan Yu 1999). Teknologi yang sampai saat ini sering digunakan untuk pengendalian hama adalah insektisida. Teknologi ini cukup populer karena efeknya dapat dilihat dalam waktu relatif singkat setelah aplikasi dan insektisida mudah didapatkan bila diperlukan. Namun, teknologi ini relatif mahal terutama bagi petani di negara sedang berkembang, serta berbahaya bagi manusia, hewan, spesies bukan sasaran, dan lingkungan jika Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004 aplikasinya tidak sesuai dengan prosedur. Teknologi lain yang dapat dipakai sebagai komponen pengendalian hama adalah varietas tahan. Penggunaan varietas tahan untuk pengendalian hama telah menunjukkan keampuhannya, misalnya varietas unggul tahan wereng (VUTW) untuk pengendalian wereng cokelat pada padi. Namun, tidak semua hama mempunyai varietas tahannya, dan jika pun ada, jumlah plasma nutfah yang mengandung gen tahan sangat terbatas. Berkembangnya teknologi rekombinan DNA telah membuka peluang untuk merakit tanaman tahan hama melalui rekayasa genetika. Teknologi ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan teknologi kon- vensional, yaitu: 1) dapat memperluas pengadaan sumber gen resisten karena sumber gen tidak hanya dapat diperoleh dari tanaman dalam satu spesies tetapi juga dari tanaman lain spesies, genus atau famili, bahkan dari bakteri, fungi, dan mikroorganisme lainnya; 2) dapat memindahkan gen spesifik ke bagian yang spesifik pula pada tanaman; 3) dapat menelusuri stabilitas gen yang dipindahkan atau yang diintroduksikan ke tanaman dalam setiap generasi tanaman; 4) memungkinkan mengintroduksi beberapa gen tertentu dalam satu event transformasi sehingga dapat memperpendek waktu perakitan tanaman dengan resistensi ganda (multiple resistance); 5) dapat menelusuri dan mempelajari perilaku gen yang diintroduksi dalam lingkungan tertentu, 1 seperti kemampuan gen suatu tanaman untuk pindah ke tanaman lain spesies (outcrossing), dan dampak negatif dari gen tersebut dalam tanaman tertentu terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran. STATUS TANAMAN TRANSGENIK TAHAN HAMA Perakitan tanaman transgenik berkembang pesat setelah adanya laporan pertama kali tentang perakitan tanaman transgenik pada tahun 1984 (Horsch et al. 1984). Perakitan tanaman transgenik tahan hama merupakan salah satu bidang yang mendapat perhatian besar dalam perbaikan tanaman. Perakitan tanaman transgenik tahan hama umumnya mempergunakan gen dari Bacillus thuringiensis (Bt). Pada tahun 1995, tanaman transgenik pertama mulai tersedia bagi petani di Amerika Serikat, yaitu jagung hibrida yang mengandung gen cry IA(b), Maximizer, yang dibuat oleh Novartis, tanaman kapas yang mengandung gen cry IA(c), Bollgard, dan kentang yang mengandung gen cry 3A, Newleaf, yang dibuat oleh Monsanto. Pada tahun 1996, luas area pertanaman jagung transgenik hanya 158 ha, namun pada tahun 1997 dan 1998 luas area ini meningkat masingmasing menjadi 1,20−1,60 juta hektar dan 6,70 juta hektar (Matten 1998). Sampai dengan tahun 1998, lebih dari 10 jenis tanaman telah berhasil ditransformasi untuk mendapatkan tanaman transgenik tahan hama. Tanaman tersebut meliputi tembakau, tomat, kentang, kapas, padi, jagung, popular, whitespruce, kacang garden pea, kacang hijau, stroberi, dan kanola (Schuler et al. 1998). Penanaman tanaman transgenik tahan hama yang mengandung gen Bt dapat mengurangi penggunaan pestisida secara nyata. Di Amerika Serikat, penggunaan insektisida mencapai US$8,11 miliar per tahun, 30% di antaranya diaplikasikan pada tanaman sayuran dan buah-buahan, 23% pada kapas, dan 15% pada padi. Dari US$8,11 miliar ini, sekitar US$2,69 miliar dapat dihemat dengan penggunaan tanaman transgenik Bt. Di Asia, biaya yang digunakan untuk pengendalian hama padi mencapai US$1 miliar, dan pada kapas sekitar US$1,90 miliar per tahun. Dengan aplikasi teknologi 2 tanaman transgenik, biaya yang dapat dihemat mencapai US$1,20 miliar pada kapas. Pada tanaman padi diperkirakan sekitar US$400 juta biaya insektisida untuk penggerek batang dapat dihemat dengan penggunaan tanaman transgenik Bt (Krattiger 1997). Meskipun ada pro dan kontra terhadap tanaman transgenik, area tanaman transgenik meningkat dari tahun ke tahun (Tabel 1). Pada tahun 2000, area tanaman transgenik mencapai 8,30 juta hektar (James 1998; 2000). Tanaman transgenik tahan hama ini tidak hanya ditanam di negara-negara maju, namun juga di beberapa negara berkembang seperti Argentina, Cina, Meksiko, dan Indonesia. Untuk kapas Bt, luas pertanaman secara global meningkat dari 3,70 juta hektar pada tahun 1999 menjadi 5,30 juta hektar pada tahun 2000 (James 2000). Di Amerika Serikat, keuntungan yang diperoleh petani kapas dengan menanam kapas Bt mencapai US$70/ha pada tahun 1997 (Krattiger 1997). Di Indonesia, pada tahun 2000 telah dicoba menanam kapas transgenik Bollgard di Sulawesi Selatan seluas 5.000 ha. Menurut Makkarasang (2001), keuntungan yang diperoleh petani kapas di Sulawesi Selatan mencapai Rp3− 4 juta/ha/musim tanam. REKAYASA GENETIKA TANAMAN TRANSGENIK TAHAN HAMA Di Indonesia, perakitan tanaman transgenik telah dilakukan di berbagai lembaga penelitian, antara lain di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian dan Unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan yang berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Pusat Penelitian Antar Universitas seperti di Institut Pertanian Bogor (IPB). Komoditas yang diteliti dan direkayasa meliputi padi untuk ketahanan terhadap penggerek batang dan wereng cokelat, kedelai untuk ketahanan terhadap penggerek polong, ubi jalar untuk hama boleng, dan kakao untuk ketahanan terhadap penggerek buah kakao (Tabel 2). Kegiatan penelitian dimulai sejak tahun 1995, namun hingga kini belum ada tanaman hasil rekayasa genetika peneliti Indonesia yang dilepas. Usaha perakitan tanaman transgenik tahan hama memerlukan dana yang relatif tinggi dan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Di samping itu juga diperlukan fasilitas dan peralatan yang relatif mahal. Oleh karena itu, perakitan tanaman transgenik tahan hama ini harus diprogramkan secara matang guna memaksimumkan penggunaan sumber daya yang ada. Dalam program perakitan tanaman transgenik diperlukan kerja sama antarpeneliti dari berbagai disiplin ilmu, seperti disiplin ilmu serangga (entomologi), kultur jaringan, biologi molekuler, dan pemuliaan tanaman. Keterkaitan disiplin ilmu ini dalam perakitan tanaman transgenik tahan hama sangat erat. Peran masing-masing disiplin ilmu dalam perakitan tanaman transgenik tahan hama diuraikan berikut ini. Entomologi Penentuan jenis hama target dan gen tahan yang akan digunakan Sebelum tanaman transgenik dirakit, perlu dilakukan penentuan prioritas jenis atau spesies hama yang akan dikendalikan Tabel 1. Luas pertanaman tanaman transgenik berdasarkan karakter yang diintroduksi, 1997−2000. Luas pertanaman (juta ha) Karakter Toleran herbisida Tahan hama Tahan hama dan herbisida 1997 1998 1999 2000 6,90 4 < 0,10 19,80 7,70 0,30 28,10 8,90 2,90 32,70 8,30 3,20 Sumber: James (1998; 2000). Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004 Tabe1 2. Kegiatan penelitian rekayasa genetika di Indonesia. Tanaman Karakter Gen1 Institusi 2 Jagung Kacang tanah Kakao Kedelai Padi Pin II CP Bt Pin II Bt, GNA BB Biogen BB Biogen, IPB Balit Perkebunan BB Biogen BB Biogen, P3B LIPI Pepaya Tahan penggerek batang Tahan peanut stripe virus Tahan penggerek buah Tahan penggerek polong Tahan penggerek batang, wereng cokelat Tahan papaya ring spot virus CP Tebu Tembakau Ubi jalar Tahan penggerek batang Tahan tobacco mosaic virus Tahan hama boleng Bt CP Pin II BB Biogen, Balitsa, Balitbu P3GI Balittas BB Biogen Pin II = proteinase inhibitor II; CP = coat protein; Bt = Bacillus thuringiensis; GNA = Galanthus nivalis. 2 BB Biogen = Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian; Balitsa = Balai Penelitian Tanaman Sayuran; Balitbu = Balai Penelitian Tanaman Buah; Balittas = Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat; P3B LIPI = Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; P3GI = Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia; Balit. Perkebunan = Balai Penelitian Perkebunan; IPB = Institut Pertanian Bogor. Sumber: Sugiono (2002). 1 dengan tanaman transgenik yang akan dirakit. Untuk keperluan ini umumnya akan dicari hama yang tidak mempunyai sumber gen tahan dari spesies tanaman inangnya, misalnya hama penggerek batang padi, penggerek batang jagung, hama kepik, dan hama pengisap polong. Setelah itu ditentukan kandidat gen tahan yang akan dipakai, misalnya Bt-toksin, proteinase inhibitor (PI) atau gen tahan lainnya (Bahagiawati 2000). Jika pilihan jatuh pada Bt-toksin, kemudian ditentukan gen Bt atau gen cry yang akan digunakan. Sampai saat ini paling sedikit telah dikenal enam golongan gen cry dan masing-masing gen mempunyai hama target tertentu. Untuk PI harus ditentukan kelas PI yang akan digunakan. PI yang digunakan untuk pengendalian hama terdiri atas tiga kelas, yaitu serine PI, cysteine PI, dan aspartyl PI. Baik Bt-toksin maupun PI dapat menghambat pertumbuhan serangga dengan mengganggu proses pencernaannya. Untuk mengetahui insektisida protein yang mempunyai potensi untuk menghambat pertumbuhan hama target dapat dilakukan percobaan in vitro atau in vivo. Beberapa penelitian in vitro (dalam tabung uji) telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh produk dari suatu gen tahan terhadap enzim-enzim yang terdapat dalam sistem pencernaan suatu jenis serangga. Penelitian dilakukan Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004 dengan mengekstraksi saluran pencernaan serangga untuk mengisolasi enzimenzimnya. Dari penelitian ini dapat diketahui jenis enzim pencernaan yang dominan pada spesies hama tersebut dan insektisida protein yang dapat dipakai untuk menghambat aktivitas pencernaan hama (Liang et al. 1991; Ceciliani et al. 1997). Penelitian in vivo dapat dilakukan dengan membuat makanan buatan atau menyemprot tanaman atau bagian tanaman dengan gen produk (protein) dari kandidat gen, dilanjutkan dengan infestasi serangga target dan pengamatan pertumbuhan serangga. Dari penelitian ini dapat diketahui potensi insektisida protein dalam menghambat pertumbuhan serangga, serta dosis yang dibutuhkan untuk dapat membunuh serangga hama dimaksud (Steffens et al. 1978; Murdock et al. 1988; Kuroda et al. 1996). Konfirmasi ketahanan tanaman transgenik tahan hama target Setelah ditentukan kandidat gen yang akan digunakan dalam proses transformasi, pekerjaan selanjutnya dapat diserahkan ke disiplin ilmu lain seperti kultur jaringan dan biologi molekuler. Peran ahli serangga (entomolog) diperlukan kembali apabila tim transformasi telah mendapatkan tanaman putative transformant. Ahli serangga diperlukan untuk menentukan kemampuan gen yang terekspresi pada tanaman transgenik dalam menahan perkembangan hama target (McManus dan Burgess 1995; Graham et al. 1997). Pada kasus-kasus tertentu, meskipun transgen (gen yang diintroduksi ke tanaman) telah terekspresi pada level yang tinggi pada tanaman transgenik, namun keberadaannya belum mampu menghambat pertumbuhan hama target (Nandi et al. 1999). Setelah dilakukan pengujian di laboratorium dan rumah kaca, penelitian dilanjutkan di lapangan (uji terbatas pada daerah terisolasi) untuk mengetahui penampilan tanaman transgenik di lapangan (Delanay et al. 1989; Koziel et al. 1993). Pengaruh tanaman transgenik terhadap hama target dan nontarget terutama musuh alaminya (Hoffmann et al. 1992; Pilcher et al. 1997) juga harus diketahui untuk memenuhi persyaratan sebelum tanaman transgenik dilepas, dan juga sebagai bahan dalam perakitan paket pengendalian hama terpadu (PHT) tanaman transgenik yang akan dilepas tersebut. Perakitan teknologi PHT tanaman transgenik Peran entomolog selanjutnya diperlukan dalam menentukan paket sistem bercocok tanam tanaman transgenik tahan hama. Entomolog diharapkan dapat memberikan informasi mengenai cara memantau hama yang dapat dilakukan oleh petani. Pemantauan ini penting untuk menentukan perlu atau tidaknya petani menyemprot pestisida untuk mengendalikan hama pada pertanaman tersebut. Monitoring juga perlu dilakukan pada musuh alami hama yang terdapat pada ekosistem pertanaman tanaman transgenik itu. Sebagai contoh, sistem paket penanaman kentang transgenik yang mengandung gen cry 3A telah diajukan oleh Fieldman dan Stone (1997). Kultur Jaringan Kultur jaringan merupakan disiplin ilmu yang sangat menentukan keberhasilan proses transformasi. Kultur jaringan merupakan gabungan antara ilmu dan seni dalam menumbuhkan sel tanaman, jaringan atau organ tanaman dari pohon induk 3 pada media buatan. Kultur jaringan tanaman terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu kultur unorganized tissue dan kultur organized tissue. Kultur unorganized tissue terdiri atas beberapa sistem kultur, seperti kultur kalus, kultur suspensi, kultur protoplas, dan kultur anther, sedangkan kultur organized tissue terdiri atas kultur meristem, shoot tip, node culture, kultur embrio dan root culture (George 1993). Dalam perakitan tanaman transgenik, ahli kultur jaringan diperlukan dalam penyediaan sel atau jaringan target, transformasi dan seleksi, serta regenerasi sel atau jaringan transgenik. Tabe1 3. Teknik transformasi yang populer digunakan dan tanaman transgenik yang dihasilkan. Teknik transformasi Agrobakterium Penyediaan sel atau jaringan target Jika jenis tanaman yang akan ditransformasi telah ditetapkan, langkah berikutnya adalah menentukan bagian tanaman yang akan digunakan sebagai eksplan serta media untuk induksi kalus regenerasi atau organogenesis. Jenis media akan menentukan keberhasilan kultur jaringan dan transformasi (Vasil dan Vasil 1983; Wan et al. 1995). Media ini biasanya terdiri atas vitamin, hormon, asam amino, dan sumber energi dalam bentuk sukrosa, dan untuk media padat diperlukan agar atau gelating agent lainnya. Media yang digunakan dalam pembentukan kalus atau undifferentiate tissues berbeda dengan media untuk pembentukan organ. Hal ini bergantung pada komposisi hormon tumbuh auksin dan sitokinin. Untuk tanaman padi, jaringan yang sangat responsif dan merupakan sumber sel yang sangat baik untuk mendapatkan tanaman transgenik padi adalah sel kalus dari embrio. Penggunaan selsel kalus yang sedang tumbuh aktif memperbanyak diri (actively growing embryogenic calli) dapat menjamin efisiensi transformasi yang tinggi (Hei et al. 1997). Transformasi dan seleksi Beberapa teknik transformasi yang dikenal adalah elektroforesis, gene-gun, dan dengan mempergunakan bakteri Agrobakterium. Tabel 3 menunjukkan teknik transformasi dan contoh spesies tanaman yang berhasil ditransformasi dengan teknik tersebut (Dale et al. 1993). 4 DNA uptake into isolated protoplast Penembakan mikroproyektil Spesies tanaman Tahun dilaporkan Actinidia deliciosa (kiwi) Beta vulgaris (sugarbeet) Brassica napus (rapeseed) Brassica rapa (turnip-rape) Carica papaya (pepaya) Cucumis sativus (mentimun) Cucumis melo (melon) Dendranthema indicum (krisan) Dianthus caryophyllus (anyelir) Fragaria sp. (stroberi) Glycine max (kedelai) Gossypium hirsutum (kapas) Helianthus annus (bunga matahari) Juglans regia (walnut) Linum usitatissimum (flax) Lycopersicum esculentum (tomat) Medicago sativa (alfalfa) Nicotiana tabacum (tembakau) Pisum sativum (kacang panjang) Populus (popular) Prunus domestica (plum) Solanum tuberosum (kentang) Vitus vinifera (anggur) Vigna radiata (kacang hijau) Oryza sativa (padi) Zea mays (jagung) Brassica napus (rapeseed) Brassica oleracea (kubis) Fragaria sp. (stroberi) Glycine max (kedelai) Lactusa sativa (lettuce) Oryza sativa (padi) Zea mays (jagung) Avena sativa (oat) Carica papaya (pepaya) Glycine max (kedelai) Gossypium hirsutum (kapas) Oryza sativa (padi) Picea glauca (whitespruce) Populus (popular) Triticum sativum (gandum) Zea mays (jagung) 1991 1990; 1992 1989 1992 1993 1990; 1991 1991 1991 1991 1990 1988 1987 1987 1988 1988 1988 1991 1984 1987; 1990 1991 1991 1988 1990 1996 1996 1996 1987 1991 1992 1987 1989 1989 1988 1992 1992 1990 1990 1991 1993 1991 1992 1990 Sumber: Dale et al. (1993). Sel atau jaringan yang telah tertransformasi dipisahkan dari jaringan yang tidak tertransformasi untuk menghindarkan terjadinya jaringan yang dichotume. Di samping itu, sel yang tidak tertransformasi akan tumbuh lebih baik dari sel-sel yang tertransformasi (Hinchee et al. 1994) sehingga harus dibuang. Seleksi dilakukan dengan beberapa kali subkultur sehingga diyakini bahwa jaringan atau sel yang hidup atau lolos dari seleksi (diseleksi dengan media yang berisi herbisida atau antibiotik) bukan escape. Jenis agen atau bahan yang digunakan untuk seleksi tergantung pada gen seleksi yang digunakan. Gen seleksi ini dapat berupa antibiotik seperti neomycin phosphotransferase (NPT II) yang menyebabkan resistensi terhadap antibiotik kanamisin, atau gen bar yang menyebabkan resistensi terhadap herbisida seperti basta (PPT) dan bialafos. Di samping selectable marker, transformasi juga dilakukan dengan menyertakan gen reporter (reporter genes). Ada beberapa reporter genes yang dipakai untuk transformasi, antara lain GUS ((β-glucoridase), LUC Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004 (luciferase), dan antosianin (Hinchee et al. 1994). Regenerasi sel atau jaringan transgenik Jika transformasi dilakukan dengan embriogenesis maka ahli kultur jaringan dituntut untuk dapat meregenerasikan sel atau jaringan yang sudah tertransformasi itu menjadi plantlet. Pada komoditas tertentu, regenerasi sel atau jaringan transgenik menjadi plantlet sulit dilakukan sehingga diperlukan kejelian mata untuk melihat jaringan yang embriogenik. Jaringan embriogenik yang telah tertransformasi ditumbuhkan pada media regenerasi untuk mendapatkan plantlet yang normal bentuknya. Biologi Molekuler Tanaman Disiplin ilmu biologi molekuler sangat diperlukan dalam perakitan tanaman transgenik, terutama dalam bidang penelitian berikut ini. 1) Konstruksi dan rekonstruksi plasmid atau vektor. Konstruksi plasmid atau vektor harus cocok untuk proses transformasi. Konstruksi diperlukan untuk mendapatkan ekspresi transgen yang tinggi atau optimum. Beberapa komponen dalam plasmid atau vektor yang dapat ditukar sesuai dengan kebutuhan adalah promoter, gen reporter, gen seleksi, dan gen yang akan diintroduksi itu sendiri. Melalui perakitan ini diharapkan gen yang diintroduksi dapat terekspresi secara maksimum pada jaringan tanaman. 2) Konfirmasi keberadaan transgen serta kestabilannya. Konfirmasi keberadaan dan integrasi transgen dapat dilakukan dengan polymerase chain reaction (PCR) dan Southern-blot. PCR hanya dapat menginformasikan ada atau tidaknya sekuen transgen sesuai dengan primer yang dipakai (Arpaia et al. 1997; Register 1997). PCR merupakan cara yang populer digunakan karena dapat menganalisis secara cepat sampel yang banyak jumlahnya. Meskipun demikian, PCR mempunyai beberapa kelemahan. Sampel yang positif PCR hanya menunjukkan adanya sekuen yang homolog dengan primer dan berada Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004 pada jarak yang memungkinkan dihasilkannya produk PCR. Namun, hasil PCR tidak dapat memberi informasi tentang asal DNA yang teramplifikasi, apakah dari kontaminan atau dari sampel yang diinginkan. Hasil PCR juga tidak dapat menunjukkan apakah template tersebut sudah terintegrasi ke dalam genom tanaman atau belum (Register 1997). Penelitian menunjukkan bahwa hanya 85% dari total tanaman transgenik yang positif PCR juga positif mengandung DNA dan protein yang dimaksudkan (Arpaia et al. 1997). Untuk mengetahui apakah seluruh basa yang ada dalam transgen terintegrasi dalam genom tanaman perlu dilakukan Southern-blot. Southern blot juga dapat menginformasikan jumlah copy gen yang terintegrasi dan pengaturan kembali pada transgen setelah terintegrasi dalam genom tanaman. 3) Konfirmasi ekspresi dari gen yang diintroduksi serta kestabilannya. Setelah diketahui ada gen yang diintroduksi pada tanaman, perlu dilakukan analisis untuk mengetahui apakah gen tersebut dapat terekspresi pada tanaman target. Analisis dapat dilakukan dengan dot-blot (ELISA) maupun Western-blot. Keberadaan suatu transgen pada tanaman belum menunjukkan bahwa gen tersebut dapat terekspresi. Untuk mengekspresikan dirinya, gen memerlukan seperangkat sistem untuk memulai proses ekspresi tersebut. Gen atau DNA di dalam nukleus harus dapat ditranskrip menjadi mRNA. Selanjutnya mRNA ini harus dapat keluar dari nukleus ke sitoplasma yang kemudian mengadakan proses translasi untuk menghasilkan protein sesuai dengan template DNA-nya. Dalam proses ekspresi ini banyak hal yang dapat terjadi sehingga gen tidak dapat menghasilkan protein yang dimaksud. Hal ini dikenal dengan istilah gene silencing, suatu kasus di mana ditemukan keberadaan sekuen DNA transgen dalam tanaman transgenik tetapi gen tersebut tidak dapat membentuk protein yang diinginkan. Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebabnya adalah terjadinya metilasi DNA dan co-suppressing dari sekuen yang homolog (Meyer 1995). Setelah gen yang diintroduksi dapat terintegrasi dan terekspresi, selanjutnya proses ini memerlukan disiplin ilmu serangga dan pemuliaan tanaman untuk memastikan gen yang terekpresi pada tanaman transgenik dapat berfungsi sebagai insektisida dalam pengendalian hama tertentu serta untuk mengetahui kestabilan transgen. Pemuliaan Tanaman Sebelum transformasi tanaman dimulai, perlu ditentukan varietas (genotipe) tanaman yang akan digunakan sebagai target sel atau jaringan untuk ditransformasi. Hal ini disebabkan tidak semua varietas responsif terhadap kultur jaringan (Hodges et al. 1986). Setelah transgen dipastikan terkandung dalam tanaman transgenik, selanjutnya ditentukan apakah transgen tersebut diturunkan pada keturunannya mengikuti rasio Mendelian (Amstrong et al. 1993; Schroeder et al. 1993). Dalam upaya perbaikan tanaman transgenik perlu dilakukan penyilangan antara tanaman transgenik dan galur elit untuk mendapatkan tanaman transgenik tahan hama yang mempunyai sifat agronomi yang diinginkan pula. Untuk maksud tersebut dapat digunakan teknik molekuler guna menyeleksi keturunan dari tanaman transgenik, seperti seleksi restriction fragment length polymorphism (RFLP), dan random amplified polymorphic DNA-PCR (RAPD-PCR). Melalui pemuliaan diharapkan dapat diperoleh tanaman transgenik yang mampu bersaing dengan tanaman nontransgenik, antara lain dalam potensi hasil tinggi yang dapat dicapai oleh petani. KESIMPULAN Perakitan tanaman transgenik merupakan kegiatan yang membutuhkan biaya mahal dan waktu lama serta memerlukan kerja sama peneliti dari berbagai disiplin ilmu. Tanaman transgenik yang akan dihasilkan dari suatu program penelitian tidak saja harus dapat berkompetisi dengan tanaman nontransgenik yang sejenis yang telah ditanam oleh petani, tetapi juga harus lolos uji lainnya seperti keamanan terhadap kesehatan manusia, hewan, dan organisme bukan sasaran lainnya. 5 Pada era globalisasi, saingan tidak saja berasal dari peneliti atau perusahaan dalam negeri, tetapi juga dari peneliti dan perusahaan multinasional. Oleh karena itu, peneliti Indonesia harus dapat berkompetisi agar produk rekayasa genetika yang dihasilkan mampu bersaing dengan produk luar negeri baik di pasaran lokal maupun internasional. Hei, Y., T. Komari, and T. Kubo. 1997. Transformation of rice mediated by Agrobacterium tumefaciens. Plant Mol. Biol. 35: 205−218. (Hemiptera). Biosci. Biotech. Biochem. 60: 209−212. DAFTAR PUSTAKA Amstrong, C.L., G.B. Parker, J.C. Pershing, S.M. Brown, P.R. Sanders, D.R. Duncan, T. Stone, D.A. DeBoer, J. Hart, A.R. Howe, F.M. Morrish, W.L. Petersen, B.J. Reich, R. Rodriquez, C.G. Santino, S.J. Sato, W. Schuler, S.R. Sims, S. Stehling, L.J. Tarochione, and M.E. Fromm. 1993. Field evaluation of European corn borer control in progeny of 173 transgenic corn events expressing an insecticidal protein from Bacillus thuringiensis. Crop Sci. 35: 550−557. Arpaia, S., G. Mennella, V. Onofaro, E. Perri, F. Sunseri, and G.L. Rotino. 1997. Production of transgenic eggplant (Solanum melongena L.) resistant to Colorado potato beetle (Leptinotarsa decemlineata say). Theor. Appl. Genet. 95: 329−334. Hinchee, M.A.W., D.R. Corbin, C.L. Armstrong, J.E. Fry, S.S. Sato, D.L. DeBoer, W.L. Petersen, T.A. Armstrong, D.V. ConnorWard, J.G. Layton, and R.B. Horsch. 1994. Plant transformation. p. 231−270. In I.K. Vasil and T.A. Thorpe (Eds.). Plant Cell and Tissue Culture. Kluwer Acad. Dordrecht, Netherlands. Hodges, T.K., K.K. Kamo, C.W. Imbrie, and M.R. Becwar. 1986. Genotype specificity of somatic embryogenesis and regeneration in maize. Bio/Technology 4: 219−223. Bent, A.F. and I.C. Yu. 1999. Applications of molecular biology to plant disease and insect resistance. Adv. Agron. 66: 251−297. Hoffmann, M.P., F.G. Zalom, L.T. Wilson, J.M. Smilanick, L.D. Malyj, J. Kiser, V.A. Hilder, and W.M. Barnes. 1992. Field evaluation of transgenic tobacco containing genes encoding Bacillus thuringiensis σ-endotoxin or cowpea trypsin inhibitor: efficacy against Helicoverpa zea (Lepidoptera: Nuctuidae). J. Econ. Entomol. 85: 2.516−2.522. Ceciliani, F., R. Iori, M. Mortrino, M. Odoardi, and S. Ronchi. 1997. A trypsin inhibitor from snail medic seeds active against pest proteases. Phytochemistry 44: 393−398. Horsch, R.B., R.T. Fraley, S.G. Rogers, P.R. Sander, A. Lloyd, and H. Hoffman. 1984. Inheritance of functional genes in plants. Science 223: 496−498. Dale, P.J., J.A. Irwin, and J.A. Scheffer. 1993. The experimental and commercial release of transgenic crop plants. Plant Breed. 111: 1−22. James, C. 1998. Global review of commercialized transgenic crops: 1998. ISAAA Briefs No. 8. 1998. Ithaca, New York. 43 pp. Bahagiawati, A. 2000. Peranan dan potensi dietary insecticidal protein dalam rekayasa genetika tanaman tahan hama. Buletin AgroBio 3(2): 74−79. Delanay, X., B.J. La Vallee, R.K. Proksch, R.L. Fuchs, S.R. Sims, J.T. Greenplate, P.G. Marrone, R.B. Dodson, J.J. Augustine, J.G. Layton, and D.A. Fischhoff. 1989. Field performance of transgenic tomato plants expressing the Bacillus thuringiensis var. kurstaki insect control protein. Bio/ Technology 7: 1.265−1.269. Fieldman, J. and T. Stone. 1997. The development of a comprehensive resistance management plan for potatoes expressing the cry 3A endotoxin. p. 49−61. In N. Carozzi and M. Koziel (Eds.). Advance in Insect Control: the role of transgenic plants. Taylor and Francis. George, E.F. 1993. Plant tissue culture techniques. In Plant Propagation by Tissue Culture. Part I. The technology, exegenetics. p. 3−36. Edington. Graham, J., R.J. McNicol, and K. Greig. 1997. Towards genetic based insect resistance in strawberry using the cowpea trypsin inhibitor gene. Ann. Appl. Biol. 127: 163−173. 6 James, C. 2000. Global review of commercialized transgenic crops: 1998. ISAAA Briefs No. 21. 2000. Ithaca, New York. 15 pp. Koziel, M.G., G.L. Beland, C. Bowman, N.B. Carozzi, R. Crenshaw, L. Crossland, J. Dawson, N. Desai, M. Hill, S. Kadwell, K. Launis, K. Lewis, D. Maddox, K. McPherson, M.R. Meggji, E. Merlin, R. Rhodes, G.W. Warren, M. Wright, and S.V. Evola. 1993. Field performance of elite transgenic maize plants expressing an insecticidal protein derived from Bacillus thuringiensis. Bio/ Technology 11: 194−200. Krattiger, A.F. 1997. Insect resistance in crops: a case study of Bacillus thuringiensis (Bt) and its transfer to developing countries. ISAAA Briefs No. 2: Ithaca, New York. p. 42. Kuroda, M., M. Ishimoto, K. Suzuki, H. Kondo, K. Abe, K. Kitamura, and S. Arai. 1996. Oryza cystatin exhibit growth-inhibitory and lethal effects on different species of bean insect pests, Callosobruchus chinensis (Coleoptera) and Riptortus clavatus Liang, C., G. Brookhart, G.H. Feng, G.R. Reeck, and K.J. Kramer. 1991. Inhibition of digestion proteinases of stored grain coleoptera by Oryza cystatin, a cysteine proteinase inhibitor from rice seed. Federation of European Biochemical Societies (FEBS) 278: 139−142. Makkarasang. 2001. Potensi kapas Bt (Bollgard) dalam perekonomian Sulawesi Selatan. Naskah disampaikan dalam seminar Kophalindo dan Yayasan Asa Nusantara. Matten, S. 1998. EPA regulation of resistance management of Bt plantpesticide. Paper presented at A Joint Annual Meeting ESA and APS, Las Vegas, Nevada, 8−12 November 1998. McManus, M.T. and P.J. Burgess. 1995. Effect of the soybean Kunitz trypsin inhibitor on growth and digestive protease of larvae of Spodoptera litura. J. Insect Physiol. 41: 731−738. Meyer, P. 1995. Variation of transgene expression in plants. Euphytica 85: 359−366. Murdock, L.L., R.E. Shade, and M.A. Pomeroy. 1988. Effects of E-64, a cysteine proteinase inhibitor, on cowpea weevil growth, development, and fecundity. Environ. Entomol. 17: 467−469. Nandi, A.K., D. Basu, S. Das, and S.K. Sen. 1999. High level of soybean trypsin inhibitor gene in transgenic tobacco plants failed to confer resistance against damage caused by Helicoverpa armigera. J. Bio. Sci. 24: 445− 452. Pilcher, C.D., J.J. Obrycki, M.E. Rice, and L.C. Lewis. 1997. Preimaginal development, survival, and field abundance of insect predators on transgenic Bacillus thuringiensis corn. Environ. Entomol. 26: 446− 454. Register, C.J. 1997. Approaches to evaluating the transgenic status of transformed plants. TibTech 15: 141−146. Schuler, T.H., G.M. Poppy, B.R. Kerry, and 1. Denholm. 1998. Insect resistant transgenic plants. TibTech. 16: 168−175. Schroeder, H.E., A.H. Schotz, T. Richardson, D. Spencer, and T.J.V. Higgins. 1993. Transformation and regeneration of two cultivars of pea (Pisum sativum L.). Plant Physiol. 101: 751−757. Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004 Steffens, R., F.R. Fox, and B. Kassell. 1978. Effect of trypsin inhibitors on growth and metamorphosis of corn borer larvae Ostrinia nubilalis. J. Agric. Food Chem. 26: 170− 174. cultural products. International seminar on Ecology and Health Safety Aspects of Genetically Modified Agriculture Products. The State University of Manado, Tondano, North Sulawesi, 16−17 May 2002. Sugiono, M. 2002. Research development and application of genetically modified agri- Vasil, C.L. and I.K. Vasil. 1983. Improved efficiency of somatic embryogenesis and Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004 plant regeneration in tissue cultures of maize (Zea mays L.). Theor. Appl. Genet. 66: 285− 289. Wan, Y., J.M. Widholm, and P.G. Lemaux. 1995. Type I callus as a bombardment treat for generating fertile transgenic maize (Zea mays L.). Planta 196: 7−14. 7