perakitan tanaman transgenik tahan hama

advertisement
PERAKITAN TANAMAN TRANSGENIK
TAHAN HAMA
Bahagiawati Amirhusin
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian,
Jalan Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111
ABSTRAK
Perakitan tanaman transgenik tahan hama merupakan teknologi alternatif yang dapat dipakai dalam pengendalian
hama. Meskipun terdapat kontroversi tentang tanaman transgenik tahan hama, area tanaman transgenik tahan
hama secara global terus meningkat. Perakitan tanaman transgenik merupakan kegiatan yang memerlukan dana
besar, tenaga peneliti berkualitas, serta fasilitas yang mahal sehingga selayaknya kegiatan ini diprogramkan dengan
sebaik-baiknya. Secara teknis, perakitan tanaman transgenik memerlukan kerja sama beberapa peneliti dengan
disiplin ilmu yang berbeda, antara lain entomologi, kultur jaringan, biologi molekuler, dan pemuliaan tanaman.
Kata kunci: Rekayasa genetika, tanaman transgenik, tahan hama
ABSTRACT
Developing transgenic plant resistant to insect pest
Genetic engineering can be used as an alternative technique to develop plant resistant to insect. Despite a globally
controversial of advantages and disadvantages on using transgenic plant to manage pests and diseases, the area
planted for transgenic plant resistant to insect increased. Developing transgenic plant resistant to insect needs a
large amount of fund and qualified human resources and a relative expensive facilities and equipments. Because of
that, a good program should be developed to optimize the utilization of available budget, human resources and also
facilities. Several scientists from different scientific background (entomology, tissue culture, molecular biology,
plant breeding) are needed to work together in the program to develop transgenic plant resistant to insect.
Keywords: Genetic engineering, transgenic plants, pest resistance
K
erugian yang disebabkan oleh
hama dan penyakit tanaman diperkirakan mencapai 37% dari total
produksi, dan 13% di antaranya karena
serangan hama. Di Amerika Serikat,
kerugian akibat serangan hama jika
diuangkan mencapai US$7,70 miliar
per tahun atau Rp61,60 triliun per tahun
(Bent dan Yu 1999).
Teknologi yang sampai saat ini
sering digunakan untuk pengendalian
hama adalah insektisida. Teknologi ini
cukup populer karena efeknya dapat dilihat dalam waktu relatif singkat setelah
aplikasi dan insektisida mudah didapatkan bila diperlukan. Namun, teknologi
ini relatif mahal terutama bagi petani di
negara sedang berkembang, serta berbahaya bagi manusia, hewan, spesies
bukan sasaran, dan lingkungan jika
Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004
aplikasinya tidak sesuai dengan prosedur.
Teknologi lain yang dapat dipakai
sebagai komponen pengendalian hama
adalah varietas tahan. Penggunaan
varietas tahan untuk pengendalian hama
telah menunjukkan keampuhannya,
misalnya varietas unggul tahan wereng
(VUTW) untuk pengendalian wereng
cokelat pada padi. Namun, tidak semua
hama mempunyai varietas tahannya, dan
jika pun ada, jumlah plasma nutfah yang
mengandung gen tahan sangat terbatas.
Berkembangnya teknologi rekombinan DNA telah membuka peluang
untuk merakit tanaman tahan hama
melalui rekayasa genetika. Teknologi ini
mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan teknologi kon-
vensional, yaitu: 1) dapat memperluas
pengadaan sumber gen resisten karena
sumber gen tidak hanya dapat diperoleh
dari tanaman dalam satu spesies tetapi
juga dari tanaman lain spesies, genus atau
famili, bahkan dari bakteri, fungi, dan
mikroorganisme lainnya; 2) dapat memindahkan gen spesifik ke bagian yang
spesifik pula pada tanaman; 3) dapat
menelusuri stabilitas gen yang dipindahkan atau yang diintroduksikan
ke tanaman dalam setiap generasi
tanaman; 4) memungkinkan mengintroduksi beberapa gen tertentu dalam
satu event transformasi sehingga dapat
memperpendek waktu perakitan tanaman
dengan resistensi ganda (multiple
resistance); 5) dapat menelusuri dan
mempelajari perilaku gen yang diintroduksi dalam lingkungan tertentu,
1
seperti kemampuan gen suatu tanaman
untuk pindah ke tanaman lain spesies
(outcrossing), dan dampak negatif dari
gen tersebut dalam tanaman tertentu
terhadap lingkungan dan organisme
bukan sasaran.
STATUS TANAMAN
TRANSGENIK TAHAN
HAMA
Perakitan tanaman transgenik berkembang pesat setelah adanya laporan
pertama kali tentang perakitan tanaman
transgenik pada tahun 1984 (Horsch et
al. 1984). Perakitan tanaman transgenik
tahan hama merupakan salah satu bidang
yang mendapat perhatian besar dalam
perbaikan tanaman. Perakitan tanaman
transgenik tahan hama umumnya mempergunakan gen dari Bacillus thuringiensis (Bt). Pada tahun 1995, tanaman
transgenik pertama mulai tersedia bagi
petani di Amerika Serikat, yaitu jagung
hibrida yang mengandung gen cry IA(b),
Maximizer, yang dibuat oleh Novartis,
tanaman kapas yang mengandung gen
cry IA(c), Bollgard, dan kentang yang
mengandung gen cry 3A, Newleaf, yang
dibuat oleh Monsanto. Pada tahun 1996,
luas area pertanaman jagung transgenik
hanya 158 ha, namun pada tahun 1997 dan
1998 luas area ini meningkat masingmasing menjadi 1,20−1,60 juta hektar dan
6,70 juta hektar (Matten 1998). Sampai
dengan tahun 1998, lebih dari 10 jenis
tanaman telah berhasil ditransformasi
untuk mendapatkan tanaman transgenik
tahan hama. Tanaman tersebut meliputi
tembakau, tomat, kentang, kapas, padi,
jagung, popular, whitespruce, kacang
garden pea, kacang hijau, stroberi, dan
kanola (Schuler et al. 1998).
Penanaman tanaman transgenik
tahan hama yang mengandung gen Bt
dapat mengurangi penggunaan pestisida
secara nyata. Di Amerika Serikat, penggunaan insektisida mencapai US$8,11
miliar per tahun, 30% di antaranya
diaplikasikan pada tanaman sayuran
dan buah-buahan, 23% pada kapas, dan
15% pada padi. Dari US$8,11 miliar ini,
sekitar US$2,69 miliar dapat dihemat
dengan penggunaan tanaman transgenik
Bt. Di Asia, biaya yang digunakan untuk
pengendalian hama padi mencapai US$1
miliar, dan pada kapas sekitar US$1,90
miliar per tahun. Dengan aplikasi teknologi
2
tanaman transgenik, biaya yang dapat
dihemat mencapai US$1,20 miliar pada
kapas. Pada tanaman padi diperkirakan
sekitar US$400 juta biaya insektisida
untuk penggerek batang dapat dihemat
dengan penggunaan tanaman transgenik
Bt (Krattiger 1997).
Meskipun ada pro dan kontra terhadap tanaman transgenik, area tanaman
transgenik meningkat dari tahun ke tahun
(Tabel 1). Pada tahun 2000, area tanaman
transgenik mencapai 8,30 juta hektar
(James 1998; 2000). Tanaman transgenik
tahan hama ini tidak hanya ditanam di
negara-negara maju, namun juga di
beberapa negara berkembang seperti
Argentina, Cina, Meksiko, dan Indonesia.
Untuk kapas Bt, luas pertanaman secara
global meningkat dari 3,70 juta hektar
pada tahun 1999 menjadi 5,30 juta hektar
pada tahun 2000 (James 2000). Di Amerika
Serikat, keuntungan yang diperoleh
petani kapas dengan menanam kapas Bt
mencapai US$70/ha pada tahun 1997
(Krattiger 1997). Di Indonesia, pada
tahun 2000 telah dicoba menanam kapas
transgenik Bollgard di Sulawesi Selatan
seluas 5.000 ha. Menurut Makkarasang
(2001), keuntungan yang diperoleh petani
kapas di Sulawesi Selatan mencapai Rp3−
4 juta/ha/musim tanam.
REKAYASA GENETIKA
TANAMAN TRANSGENIK
TAHAN HAMA
Di Indonesia, perakitan tanaman transgenik telah dilakukan di berbagai lembaga
penelitian, antara lain di Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian dan Unit Penelitian Bioteknologi
Perkebunan yang berada di bawah Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
serta Pusat Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) dan Pusat Penelitian
Antar Universitas seperti di Institut
Pertanian Bogor (IPB). Komoditas yang
diteliti dan direkayasa meliputi padi
untuk ketahanan terhadap penggerek
batang dan wereng cokelat, kedelai untuk
ketahanan terhadap penggerek polong,
ubi jalar untuk hama boleng, dan kakao
untuk ketahanan terhadap penggerek
buah kakao (Tabel 2). Kegiatan penelitian
dimulai sejak tahun 1995, namun hingga
kini belum ada tanaman hasil rekayasa
genetika peneliti Indonesia yang dilepas.
Usaha perakitan tanaman transgenik
tahan hama memerlukan dana yang relatif
tinggi dan sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas. Di samping itu juga
diperlukan fasilitas dan peralatan yang
relatif mahal. Oleh karena itu, perakitan
tanaman transgenik tahan hama ini harus
diprogramkan secara matang guna memaksimumkan penggunaan sumber daya
yang ada.
Dalam program perakitan tanaman
transgenik diperlukan kerja sama antarpeneliti dari berbagai disiplin ilmu, seperti
disiplin ilmu serangga (entomologi),
kultur jaringan, biologi molekuler, dan
pemuliaan tanaman. Keterkaitan disiplin
ilmu ini dalam perakitan tanaman transgenik tahan hama sangat erat. Peran
masing-masing disiplin ilmu dalam perakitan tanaman transgenik tahan hama
diuraikan berikut ini.
Entomologi
Penentuan jenis hama target dan
gen tahan yang akan digunakan
Sebelum tanaman transgenik dirakit, perlu
dilakukan penentuan prioritas jenis atau
spesies hama yang akan dikendalikan
Tabel 1. Luas pertanaman tanaman transgenik berdasarkan karakter yang
diintroduksi, 1997−2000.
Luas pertanaman (juta ha)
Karakter
Toleran herbisida
Tahan hama
Tahan hama dan herbisida
1997
1998
1999
2000
6,90
4
< 0,10
19,80
7,70
0,30
28,10
8,90
2,90
32,70
8,30
3,20
Sumber: James (1998; 2000).
Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004
Tabe1 2. Kegiatan penelitian rekayasa genetika di Indonesia.
Tanaman
Karakter
Gen1
Institusi 2
Jagung
Kacang tanah
Kakao
Kedelai
Padi
Pin II
CP
Bt
Pin II
Bt, GNA
BB Biogen
BB Biogen, IPB
Balit Perkebunan
BB Biogen
BB Biogen, P3B LIPI
Pepaya
Tahan penggerek batang
Tahan peanut stripe virus
Tahan penggerek buah
Tahan penggerek polong
Tahan penggerek batang, wereng
cokelat
Tahan papaya ring spot virus
CP
Tebu
Tembakau
Ubi jalar
Tahan penggerek batang
Tahan tobacco mosaic virus
Tahan hama boleng
Bt
CP
Pin II
BB Biogen, Balitsa,
Balitbu
P3GI
Balittas
BB Biogen
Pin II = proteinase inhibitor II; CP = coat protein; Bt = Bacillus thuringiensis; GNA =
Galanthus nivalis.
2
BB Biogen = Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya
Genetik Pertanian; Balitsa = Balai Penelitian Tanaman Sayuran; Balitbu = Balai Penelitian
Tanaman Buah; Balittas = Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat; P3B LIPI = Pusat
Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; P3GI =
Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia; Balit. Perkebunan = Balai Penelitian
Perkebunan; IPB = Institut Pertanian Bogor.
Sumber: Sugiono (2002).
1
dengan tanaman transgenik yang akan
dirakit. Untuk keperluan ini umumnya
akan dicari hama yang tidak mempunyai
sumber gen tahan dari spesies tanaman
inangnya, misalnya hama penggerek
batang padi, penggerek batang jagung,
hama kepik, dan hama pengisap polong.
Setelah itu ditentukan kandidat gen tahan
yang akan dipakai, misalnya Bt-toksin,
proteinase inhibitor (PI) atau gen tahan
lainnya (Bahagiawati 2000). Jika pilihan
jatuh pada Bt-toksin, kemudian ditentukan gen Bt atau gen cry yang akan
digunakan. Sampai saat ini paling sedikit
telah dikenal enam golongan gen cry dan
masing-masing gen mempunyai hama
target tertentu. Untuk PI harus ditentukan kelas PI yang akan digunakan. PI yang
digunakan untuk pengendalian hama
terdiri atas tiga kelas, yaitu serine PI,
cysteine PI, dan aspartyl PI. Baik Bt-toksin
maupun PI dapat menghambat pertumbuhan serangga dengan mengganggu
proses pencernaannya. Untuk mengetahui
insektisida protein yang mempunyai
potensi untuk menghambat pertumbuhan
hama target dapat dilakukan percobaan in
vitro atau in vivo.
Beberapa penelitian in vitro (dalam
tabung uji) telah dilakukan untuk
mengetahui pengaruh produk dari suatu
gen tahan terhadap enzim-enzim yang
terdapat dalam sistem pencernaan suatu
jenis serangga. Penelitian dilakukan
Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004
dengan mengekstraksi saluran pencernaan serangga untuk mengisolasi enzimenzimnya. Dari penelitian ini dapat
diketahui jenis enzim pencernaan yang
dominan pada spesies hama tersebut dan
insektisida protein yang dapat dipakai
untuk menghambat aktivitas pencernaan
hama (Liang et al. 1991; Ceciliani et al.
1997).
Penelitian in vivo dapat dilakukan
dengan membuat makanan buatan atau
menyemprot tanaman atau bagian tanaman dengan gen produk (protein) dari
kandidat gen, dilanjutkan dengan infestasi serangga target dan pengamatan
pertumbuhan serangga. Dari penelitian ini
dapat diketahui potensi insektisida
protein dalam menghambat pertumbuhan
serangga, serta dosis yang dibutuhkan
untuk dapat membunuh serangga hama
dimaksud (Steffens et al. 1978; Murdock
et al. 1988; Kuroda et al. 1996).
Konfirmasi ketahanan tanaman
transgenik tahan hama target
Setelah ditentukan kandidat gen yang
akan digunakan dalam proses transformasi, pekerjaan selanjutnya dapat
diserahkan ke disiplin ilmu lain seperti
kultur jaringan dan biologi molekuler.
Peran ahli serangga (entomolog) diperlukan kembali apabila tim transformasi
telah mendapatkan tanaman putative
transformant. Ahli serangga diperlukan
untuk menentukan kemampuan gen yang
terekspresi pada tanaman transgenik
dalam menahan perkembangan hama
target (McManus dan Burgess 1995;
Graham et al. 1997). Pada kasus-kasus
tertentu, meskipun transgen (gen yang
diintroduksi ke tanaman) telah terekspresi
pada level yang tinggi pada tanaman
transgenik, namun keberadaannya belum
mampu menghambat pertumbuhan hama
target (Nandi et al. 1999).
Setelah dilakukan pengujian di
laboratorium dan rumah kaca, penelitian
dilanjutkan di lapangan (uji terbatas
pada daerah terisolasi) untuk mengetahui penampilan tanaman transgenik di
lapangan (Delanay et al. 1989; Koziel et
al. 1993). Pengaruh tanaman transgenik
terhadap hama target dan nontarget
terutama musuh alaminya (Hoffmann et
al. 1992; Pilcher et al. 1997) juga harus
diketahui untuk memenuhi persyaratan
sebelum tanaman transgenik dilepas, dan
juga sebagai bahan dalam perakitan
paket pengendalian hama terpadu (PHT)
tanaman transgenik yang akan dilepas
tersebut.
Perakitan teknologi PHT
tanaman transgenik
Peran entomolog selanjutnya diperlukan
dalam menentukan paket sistem bercocok
tanam tanaman transgenik tahan hama.
Entomolog diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai cara memantau hama
yang dapat dilakukan oleh petani. Pemantauan ini penting untuk menentukan
perlu atau tidaknya petani menyemprot
pestisida untuk mengendalikan hama
pada pertanaman tersebut. Monitoring
juga perlu dilakukan pada musuh alami
hama yang terdapat pada ekosistem
pertanaman tanaman transgenik itu.
Sebagai contoh, sistem paket penanaman
kentang transgenik yang mengandung
gen cry 3A telah diajukan oleh Fieldman
dan Stone (1997).
Kultur Jaringan
Kultur jaringan merupakan disiplin ilmu
yang sangat menentukan keberhasilan
proses transformasi. Kultur jaringan
merupakan gabungan antara ilmu dan seni
dalam menumbuhkan sel tanaman, jaringan
atau organ tanaman dari pohon induk
3
pada media buatan. Kultur jaringan
tanaman terbagi dalam dua kelompok
besar, yaitu kultur unorganized tissue
dan kultur organized tissue. Kultur
unorganized tissue terdiri atas beberapa
sistem kultur, seperti kultur kalus, kultur
suspensi, kultur protoplas, dan kultur
anther, sedangkan kultur organized
tissue terdiri atas kultur meristem, shoot
tip, node culture, kultur embrio dan root
culture (George 1993). Dalam perakitan
tanaman transgenik, ahli kultur jaringan
diperlukan dalam penyediaan sel atau
jaringan target, transformasi dan seleksi,
serta regenerasi sel atau jaringan transgenik.
Tabe1 3. Teknik transformasi yang populer digunakan dan tanaman
transgenik yang dihasilkan.
Teknik transformasi
Agrobakterium
Penyediaan sel atau jaringan
target
Jika jenis tanaman yang akan ditransformasi telah ditetapkan, langkah berikutnya adalah menentukan bagian tanaman
yang akan digunakan sebagai eksplan
serta media untuk induksi kalus regenerasi atau organogenesis. Jenis media
akan menentukan keberhasilan kultur
jaringan dan transformasi (Vasil dan Vasil
1983; Wan et al. 1995). Media ini biasanya terdiri atas vitamin, hormon, asam
amino, dan sumber energi dalam bentuk
sukrosa, dan untuk media padat diperlukan agar atau gelating agent lainnya.
Media yang digunakan dalam pembentukan kalus atau undifferentiate
tissues berbeda dengan media untuk
pembentukan organ. Hal ini bergantung
pada komposisi hormon tumbuh auksin
dan sitokinin.
Untuk tanaman padi, jaringan yang
sangat responsif dan merupakan sumber
sel yang sangat baik untuk mendapatkan
tanaman transgenik padi adalah sel
kalus dari embrio. Penggunaan selsel kalus yang sedang tumbuh aktif
memperbanyak diri (actively growing
embryogenic calli) dapat menjamin
efisiensi transformasi yang tinggi (Hei et
al. 1997).
Transformasi dan seleksi
Beberapa teknik transformasi yang dikenal
adalah elektroforesis, gene-gun, dan
dengan mempergunakan bakteri Agrobakterium. Tabel 3 menunjukkan teknik
transformasi dan contoh spesies tanaman
yang berhasil ditransformasi dengan
teknik tersebut (Dale et al. 1993).
4
DNA uptake into
isolated protoplast
Penembakan
mikroproyektil
Spesies tanaman
Tahun dilaporkan
Actinidia deliciosa (kiwi)
Beta vulgaris (sugarbeet)
Brassica napus (rapeseed)
Brassica rapa (turnip-rape)
Carica papaya (pepaya)
Cucumis sativus (mentimun)
Cucumis melo (melon)
Dendranthema indicum (krisan)
Dianthus caryophyllus (anyelir)
Fragaria sp. (stroberi)
Glycine max (kedelai)
Gossypium hirsutum (kapas)
Helianthus annus (bunga matahari)
Juglans regia (walnut)
Linum usitatissimum (flax)
Lycopersicum esculentum (tomat)
Medicago sativa (alfalfa)
Nicotiana tabacum (tembakau)
Pisum sativum (kacang panjang)
Populus (popular)
Prunus domestica (plum)
Solanum tuberosum (kentang)
Vitus vinifera (anggur)
Vigna radiata (kacang hijau)
Oryza sativa (padi)
Zea mays (jagung)
Brassica napus (rapeseed)
Brassica oleracea (kubis)
Fragaria sp. (stroberi)
Glycine max (kedelai)
Lactusa sativa (lettuce)
Oryza sativa (padi)
Zea mays (jagung)
Avena sativa (oat)
Carica papaya (pepaya)
Glycine max (kedelai)
Gossypium hirsutum (kapas)
Oryza sativa (padi)
Picea glauca (whitespruce)
Populus (popular)
Triticum sativum (gandum)
Zea mays (jagung)
1991
1990; 1992
1989
1992
1993
1990; 1991
1991
1991
1991
1990
1988
1987
1987
1988
1988
1988
1991
1984
1987; 1990
1991
1991
1988
1990
1996
1996
1996
1987
1991
1992
1987
1989
1989
1988
1992
1992
1990
1990
1991
1993
1991
1992
1990
Sumber: Dale et al. (1993).
Sel atau jaringan yang telah tertransformasi dipisahkan dari jaringan yang
tidak tertransformasi untuk menghindarkan terjadinya jaringan yang dichotume.
Di samping itu, sel yang tidak tertransformasi akan tumbuh lebih baik dari
sel-sel yang tertransformasi (Hinchee
et al. 1994) sehingga harus dibuang.
Seleksi dilakukan dengan beberapa kali
subkultur sehingga diyakini bahwa
jaringan atau sel yang hidup atau lolos
dari seleksi (diseleksi dengan media
yang berisi herbisida atau antibiotik)
bukan escape. Jenis agen atau bahan
yang digunakan untuk seleksi tergantung pada gen seleksi yang digunakan.
Gen seleksi ini dapat berupa antibiotik
seperti neomycin phosphotransferase
(NPT II) yang menyebabkan resistensi
terhadap antibiotik kanamisin, atau gen
bar yang menyebabkan resistensi terhadap herbisida seperti basta (PPT) dan
bialafos. Di samping selectable marker,
transformasi juga dilakukan dengan
menyertakan gen reporter (reporter
genes). Ada beberapa reporter genes
yang dipakai untuk transformasi, antara lain GUS ((β-glucoridase), LUC
Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004
(luciferase), dan antosianin (Hinchee et
al. 1994).
Regenerasi sel atau jaringan
transgenik
Jika transformasi dilakukan dengan
embriogenesis maka ahli kultur jaringan
dituntut untuk dapat meregenerasikan sel
atau jaringan yang sudah tertransformasi
itu menjadi plantlet. Pada komoditas
tertentu, regenerasi sel atau jaringan
transgenik menjadi plantlet sulit dilakukan sehingga diperlukan kejelian mata
untuk melihat jaringan yang embriogenik.
Jaringan embriogenik yang telah tertransformasi ditumbuhkan pada media
regenerasi untuk mendapatkan plantlet
yang normal bentuknya.
Biologi Molekuler Tanaman
Disiplin ilmu biologi molekuler sangat
diperlukan dalam perakitan tanaman
transgenik, terutama dalam bidang
penelitian berikut ini.
1) Konstruksi dan rekonstruksi plasmid
atau vektor. Konstruksi plasmid atau
vektor harus cocok untuk proses transformasi. Konstruksi diperlukan untuk
mendapatkan ekspresi transgen
yang tinggi atau optimum. Beberapa
komponen dalam plasmid atau vektor
yang dapat ditukar sesuai dengan
kebutuhan adalah promoter, gen
reporter, gen seleksi, dan gen yang
akan diintroduksi itu sendiri. Melalui
perakitan ini diharapkan gen yang
diintroduksi dapat terekspresi secara
maksimum pada jaringan tanaman.
2) Konfirmasi keberadaan transgen
serta kestabilannya. Konfirmasi keberadaan dan integrasi transgen dapat
dilakukan dengan polymerase chain
reaction (PCR) dan Southern-blot.
PCR hanya dapat menginformasikan
ada atau tidaknya sekuen transgen
sesuai dengan primer yang dipakai
(Arpaia et al. 1997; Register 1997).
PCR merupakan cara yang populer
digunakan karena dapat menganalisis
secara cepat sampel yang banyak
jumlahnya. Meskipun demikian, PCR
mempunyai beberapa kelemahan.
Sampel yang positif PCR hanya
menunjukkan adanya sekuen yang
homolog dengan primer dan berada
Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004
pada jarak yang memungkinkan
dihasilkannya produk PCR. Namun,
hasil PCR tidak dapat memberi
informasi tentang asal DNA yang
teramplifikasi, apakah dari kontaminan atau dari sampel yang diinginkan. Hasil PCR juga tidak dapat
menunjukkan apakah template tersebut sudah terintegrasi ke dalam
genom tanaman atau belum (Register
1997). Penelitian menunjukkan bahwa
hanya 85% dari total tanaman transgenik yang positif PCR juga positif
mengandung DNA dan protein yang
dimaksudkan (Arpaia et al. 1997).
Untuk mengetahui apakah seluruh
basa yang ada dalam transgen terintegrasi dalam genom tanaman perlu
dilakukan Southern-blot. Southern
blot juga dapat menginformasikan
jumlah copy gen yang terintegrasi dan
pengaturan kembali pada transgen
setelah terintegrasi dalam genom
tanaman.
3) Konfirmasi ekspresi dari gen yang
diintroduksi serta kestabilannya.
Setelah diketahui ada gen yang
diintroduksi pada tanaman, perlu
dilakukan analisis untuk mengetahui
apakah gen tersebut dapat terekspresi
pada tanaman target. Analisis dapat
dilakukan dengan dot-blot (ELISA)
maupun Western-blot. Keberadaan
suatu transgen pada tanaman belum
menunjukkan bahwa gen tersebut
dapat terekspresi. Untuk mengekspresikan dirinya, gen memerlukan
seperangkat sistem untuk memulai
proses ekspresi tersebut. Gen atau
DNA di dalam nukleus harus dapat
ditranskrip menjadi mRNA. Selanjutnya mRNA ini harus dapat keluar dari
nukleus ke sitoplasma yang kemudian
mengadakan proses translasi untuk
menghasilkan protein sesuai dengan
template DNA-nya. Dalam proses
ekspresi ini banyak hal yang dapat
terjadi sehingga gen tidak dapat
menghasilkan protein yang dimaksud.
Hal ini dikenal dengan istilah gene
silencing, suatu kasus di mana
ditemukan keberadaan sekuen DNA
transgen dalam tanaman transgenik
tetapi gen tersebut tidak dapat
membentuk protein yang diinginkan.
Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebabnya adalah terjadinya
metilasi DNA dan co-suppressing
dari sekuen yang homolog (Meyer
1995).
Setelah gen yang diintroduksi dapat
terintegrasi dan terekspresi, selanjutnya
proses ini memerlukan disiplin ilmu
serangga dan pemuliaan tanaman untuk
memastikan gen yang terekpresi pada
tanaman transgenik dapat berfungsi
sebagai insektisida dalam pengendalian
hama tertentu serta untuk mengetahui
kestabilan transgen.
Pemuliaan Tanaman
Sebelum transformasi tanaman dimulai,
perlu ditentukan varietas (genotipe)
tanaman yang akan digunakan sebagai
target sel atau jaringan untuk ditransformasi. Hal ini disebabkan tidak semua
varietas responsif terhadap kultur
jaringan (Hodges et al. 1986).
Setelah transgen dipastikan terkandung dalam tanaman transgenik,
selanjutnya ditentukan apakah transgen
tersebut diturunkan pada keturunannya
mengikuti rasio Mendelian (Amstrong et
al. 1993; Schroeder et al. 1993). Dalam
upaya perbaikan tanaman transgenik
perlu dilakukan penyilangan antara tanaman transgenik dan galur elit untuk
mendapatkan tanaman transgenik tahan
hama yang mempunyai sifat agronomi
yang diinginkan pula. Untuk maksud
tersebut dapat digunakan teknik molekuler guna menyeleksi keturunan dari
tanaman transgenik, seperti seleksi
restriction fragment length polymorphism (RFLP), dan random amplified
polymorphic DNA-PCR (RAPD-PCR).
Melalui pemuliaan diharapkan dapat
diperoleh tanaman transgenik yang
mampu bersaing dengan tanaman nontransgenik, antara lain dalam potensi hasil
tinggi yang dapat dicapai oleh petani.
KESIMPULAN
Perakitan tanaman transgenik merupakan
kegiatan yang membutuhkan biaya
mahal dan waktu lama serta memerlukan
kerja sama peneliti dari berbagai disiplin
ilmu. Tanaman transgenik yang akan
dihasilkan dari suatu program penelitian
tidak saja harus dapat berkompetisi
dengan tanaman nontransgenik yang
sejenis yang telah ditanam oleh petani,
tetapi juga harus lolos uji lainnya seperti
keamanan terhadap kesehatan manusia,
hewan, dan organisme bukan sasaran
lainnya.
5
Pada era globalisasi, saingan tidak
saja berasal dari peneliti atau perusahaan
dalam negeri, tetapi juga dari peneliti dan
perusahaan multinasional. Oleh karena
itu, peneliti Indonesia harus dapat
berkompetisi agar produk rekayasa
genetika yang dihasilkan mampu bersaing dengan produk luar negeri baik di
pasaran lokal maupun internasional.
Hei, Y., T. Komari, and T. Kubo. 1997.
Transformation of rice mediated by Agrobacterium tumefaciens. Plant Mol. Biol. 35:
205−218.
(Hemiptera). Biosci. Biotech. Biochem. 60:
209−212.
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, C.L., G.B. Parker, J.C. Pershing, S.M.
Brown, P.R. Sanders, D.R. Duncan, T. Stone,
D.A. DeBoer, J. Hart, A.R. Howe, F.M.
Morrish, W.L. Petersen, B.J. Reich, R.
Rodriquez, C.G. Santino, S.J. Sato, W. Schuler,
S.R. Sims, S. Stehling, L.J. Tarochione, and
M.E. Fromm. 1993. Field evaluation of
European corn borer control in progeny of
173 transgenic corn events expressing an
insecticidal protein from Bacillus thuringiensis. Crop Sci. 35: 550−557.
Arpaia, S., G. Mennella, V. Onofaro, E. Perri, F.
Sunseri, and G.L. Rotino. 1997. Production
of transgenic eggplant (Solanum melongena
L.) resistant to Colorado potato beetle
(Leptinotarsa decemlineata say). Theor.
Appl. Genet. 95: 329−334.
Hinchee, M.A.W., D.R. Corbin, C.L. Armstrong,
J.E. Fry, S.S. Sato, D.L. DeBoer, W.L.
Petersen, T.A. Armstrong, D.V. ConnorWard, J.G. Layton, and R.B. Horsch. 1994.
Plant transformation. p. 231−270. In I.K.
Vasil and T.A. Thorpe (Eds.). Plant Cell and
Tissue Culture. Kluwer Acad. Dordrecht,
Netherlands.
Hodges, T.K., K.K. Kamo, C.W. Imbrie, and M.R.
Becwar. 1986. Genotype specificity of
somatic embryogenesis and regeneration in
maize. Bio/Technology 4: 219−223.
Bent, A.F. and I.C. Yu. 1999. Applications of
molecular biology to plant disease and insect
resistance. Adv. Agron. 66: 251−297.
Hoffmann, M.P., F.G. Zalom, L.T. Wilson, J.M.
Smilanick, L.D. Malyj, J. Kiser, V.A. Hilder,
and W.M. Barnes. 1992. Field evaluation of
transgenic tobacco containing genes encoding Bacillus thuringiensis σ-endotoxin
or cowpea trypsin inhibitor: efficacy against
Helicoverpa zea (Lepidoptera: Nuctuidae).
J. Econ. Entomol. 85: 2.516−2.522.
Ceciliani, F., R. Iori, M. Mortrino, M. Odoardi,
and S. Ronchi. 1997. A trypsin inhibitor
from snail medic seeds active against pest
proteases. Phytochemistry 44: 393−398.
Horsch, R.B., R.T. Fraley, S.G. Rogers, P.R.
Sander, A. Lloyd, and H. Hoffman. 1984.
Inheritance of functional genes in plants.
Science 223: 496−498.
Dale, P.J., J.A. Irwin, and J.A. Scheffer. 1993.
The experimental and commercial release
of transgenic crop plants. Plant Breed. 111:
1−22.
James, C. 1998. Global review of commercialized
transgenic crops: 1998. ISAAA Briefs No.
8. 1998. Ithaca, New York. 43 pp.
Bahagiawati, A. 2000. Peranan dan potensi
dietary insecticidal protein dalam rekayasa
genetika tanaman tahan hama. Buletin
AgroBio 3(2): 74−79.
Delanay, X., B.J. La Vallee, R.K. Proksch, R.L.
Fuchs, S.R. Sims, J.T. Greenplate, P.G.
Marrone, R.B. Dodson, J.J. Augustine, J.G.
Layton, and D.A. Fischhoff. 1989. Field
performance of transgenic tomato plants
expressing the Bacillus thuringiensis var.
kurstaki insect control protein. Bio/
Technology 7: 1.265−1.269.
Fieldman, J. and T. Stone. 1997. The development of a comprehensive resistance management plan for potatoes expressing the
cry 3A endotoxin. p. 49−61. In N. Carozzi
and M. Koziel (Eds.). Advance in Insect
Control: the role of transgenic plants.
Taylor and Francis.
George, E.F. 1993. Plant tissue culture techniques.
In Plant Propagation by Tissue Culture. Part
I. The technology, exegenetics. p. 3−36.
Edington.
Graham, J., R.J. McNicol, and K. Greig. 1997.
Towards genetic based insect resistance in
strawberry using the cowpea trypsin inhibitor
gene. Ann. Appl. Biol. 127: 163−173.
6
James, C. 2000. Global review of commercialized
transgenic crops: 1998. ISAAA Briefs No.
21. 2000. Ithaca, New York. 15 pp.
Koziel, M.G., G.L. Beland, C. Bowman, N.B.
Carozzi, R. Crenshaw, L. Crossland, J.
Dawson, N. Desai, M. Hill, S. Kadwell, K.
Launis, K. Lewis, D. Maddox, K. McPherson,
M.R. Meggji, E. Merlin, R. Rhodes, G.W.
Warren, M. Wright, and S.V. Evola. 1993.
Field performance of elite transgenic maize
plants expressing an insecticidal protein
derived from Bacillus thuringiensis. Bio/
Technology 11: 194−200.
Krattiger, A.F. 1997. Insect resistance in crops:
a case study of Bacillus thuringiensis (Bt)
and its transfer to developing countries.
ISAAA Briefs No. 2: Ithaca, New York. p.
42.
Kuroda, M., M. Ishimoto, K. Suzuki, H. Kondo,
K. Abe, K. Kitamura, and S. Arai. 1996.
Oryza cystatin exhibit growth-inhibitory
and lethal effects on different species of
bean insect pests, Callosobruchus chinensis
(Coleoptera) and Riptortus clavatus
Liang, C., G. Brookhart, G.H. Feng, G.R. Reeck,
and K.J. Kramer. 1991. Inhibition of
digestion proteinases of stored grain
coleoptera by Oryza cystatin, a cysteine
proteinase inhibitor from rice seed. Federation of European Biochemical Societies
(FEBS) 278: 139−142.
Makkarasang. 2001. Potensi kapas Bt (Bollgard)
dalam perekonomian Sulawesi Selatan.
Naskah disampaikan dalam seminar Kophalindo dan Yayasan Asa Nusantara.
Matten, S. 1998. EPA regulation of resistance
management of Bt plantpesticide. Paper
presented at A Joint Annual Meeting ESA
and APS, Las Vegas, Nevada, 8−12 November 1998.
McManus, M.T. and P.J. Burgess. 1995. Effect
of the soybean Kunitz trypsin inhibitor on
growth and digestive protease of larvae of
Spodoptera litura. J. Insect Physiol. 41:
731−738.
Meyer, P. 1995. Variation of transgene expression in plants. Euphytica 85: 359−366.
Murdock, L.L., R.E. Shade, and M.A. Pomeroy.
1988. Effects of E-64, a cysteine proteinase
inhibitor, on cowpea weevil growth, development, and fecundity. Environ. Entomol. 17:
467−469.
Nandi, A.K., D. Basu, S. Das, and S.K. Sen. 1999.
High level of soybean trypsin inhibitor gene
in transgenic tobacco plants failed to confer
resistance against damage caused by
Helicoverpa armigera. J. Bio. Sci. 24: 445−
452.
Pilcher, C.D., J.J. Obrycki, M.E. Rice, and L.C.
Lewis. 1997. Preimaginal development,
survival, and field abundance of insect
predators on transgenic Bacillus thuringiensis corn. Environ. Entomol. 26: 446−
454.
Register, C.J. 1997. Approaches to evaluating
the transgenic status of transformed plants.
TibTech 15: 141−146.
Schuler, T.H., G.M. Poppy, B.R. Kerry, and 1.
Denholm. 1998. Insect resistant transgenic
plants. TibTech. 16: 168−175.
Schroeder, H.E., A.H. Schotz, T. Richardson, D.
Spencer, and T.J.V. Higgins. 1993. Transformation and regeneration of two cultivars
of pea (Pisum sativum L.). Plant Physiol.
101: 751−757.
Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004
Steffens, R., F.R. Fox, and B. Kassell. 1978.
Effect of trypsin inhibitors on growth and
metamorphosis of corn borer larvae Ostrinia
nubilalis. J. Agric. Food Chem. 26: 170−
174.
cultural products. International seminar on
Ecology and Health Safety Aspects of
Genetically Modified Agriculture Products.
The State University of Manado, Tondano,
North Sulawesi, 16−17 May 2002.
Sugiono, M. 2002. Research development and
application of genetically modified agri-
Vasil, C.L. and I.K. Vasil. 1983. Improved
efficiency of somatic embryogenesis and
Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004
plant regeneration in tissue cultures of maize
(Zea mays L.). Theor. Appl. Genet. 66: 285−
289.
Wan, Y., J.M. Widholm, and P.G. Lemaux. 1995.
Type I callus as a bombardment treat for
generating fertile transgenic maize (Zea
mays L.). Planta 196: 7−14.
7
Download