SKRIPSI PENGAKUAN AMERIKA SERIKAT TERHADAP CINA RRC DAN CINA TAIWAN Oleh F.C.L.Rieuwpassa B11110338 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014 SKRIPSI PENGAKUAN AMERIKA SERIKAT TERHADAP CINA RRC DAN CINA TAIWAN Oleh F.C.L.Rieuwpassa B11110338 Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Bagian Hukum Internasional Pada FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014 ii PENGESAHAN SKRIPSI PENGAKUAN AMERIKA SERIKAT TERHADAP CINA RRC DAN CINA TAIWAN DISUSUN DAN DIAJUKAN OLEH F.C.L.RIEUWPASSA B111 10 338 TELAH DIPERTAHANKAN DIHADAPAN PANITIA UJIAN SKRIPSI YANG DIBENTUK DALAM RANGKA PENYELESAIAN STUDI PROGRAM SARJANA BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL PROGRAM STUDI HUKUM ILMU FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN PADA HARI KAMIS 30 OKTOBER DINYATAKAN DITERIMA PANITIA UJIAN KETUA SEKETARIS Prof. Dr. Alma Manuputty, S.H., M.H. NIP. 194603121969022001 Dr. Iin Karita Sakharina, S.H., M.A. NIP.197701202001122001 A.N.DEKAN WAKIL DEKAN BIDANG AKADEMIK Prof.Dr.Ir.Abrar Saleng,S.H.,M.H. NIP.19630419198903003 iii PERSETUJUAN PEMBIMBING Diterangkan bahwa skripsi mahasiswa: Nama : F. C. L. Rieuwpassa Nomor Induk : B111 10 338 Bagian : Hukum Internasional Judul : PENGAKUAN AMERIKA SERIKAT TERHADAP CINA RRC DAN CINA TAIWAN Telah memenuhi syarat untuk diajukan dalam Ujian Skripsi Makassar, 30 oktober 2014 Pembimbing I Prof. Dr. Alma Manuputty, S.H., M.H. NIP. 194603121969022001 Pembimbing II Dr. Iin Karita Sakharina, S.H., M.A. NIP.197701202001122001 iv PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI Diterangkan bahwa skripsi mahasiswa : Nama : F.C.L.RIEUWPASSA No.Pokok : B111 10 338 Bagian : Hukum Internasional Judul Skripsi : Pengakuan Amerika Serikat terhadap Cina RRC dan Cina Taiwan. Memenuhi syarat untuk diajukan dalam ujian skripsi sebagai ujian akhir program studi Makassar,Oktober 2014 a.n. Dekan Wakil Dekan Bidang Akademik Prof.Dr.Ir.Abrar Saleng,S.H.,M.H. NIP.19630419198903003 v ABSTRAK Pengakuan Amerika Serikat Terhadap Cina RRC dan Cina Taiwan, F.C.L Rieuwpassa, B 111 10 338, Program Studi Hukum Internasional, Universitas Hasanuddin, dibawah bimbingan Alma Manuputty dan Iin Karita One China Policy atau Kebijakan satu Cina yang dipegang teguh oleh Republik Rakyat Cina dengan sentrum pemerintahan di Beijing menetapkan bahwa hanya ada satu Cina yang berdaulat dan memiliki aspek legalitas sebagai negara, yaitu Republik Rakyat Cina. Kebijakan Satu menyatakan bahwa Republik Rakyat Cina adalah pemerintah resmi Cina daratan (termasuk Tibet), Hong Kong, Macau danTaiwan. Relasi segitiga antara Amerika, Cina, dan Taiwan terlihat pada komitmen masing-masing negara tersebut untuk meraih national interest masingmasing tanpa terhambat oleh klausul dalam kesepakatan yang telah mereka ratifikasi. Dalam hal ini Amerika Serikat sebagai Negara adiakuasa memainkan double standar diantara RRC dan Taiwan. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normative deskriptif analisis, Konsep yang dipakai Konsep Negara, Konsep Pengakuan (recognition), dan Konsep Nation Interest. Pengumpulan data melalui sumber hukum primer, sumber hukum sekudender, dan sumber hukum tersier. Dari hasil penelitian penulis mendapat kesimpulan penelitian, Hubungan antara Cina dan Taiwan memang tidak dapat dipisahkan dari campur tangan Amerika. Hal ini memang sudah terjadi sejak Civil War berkecamuk antara komunisme dan nasionalisme. Bahkan ada konspirasi yang dilakukan Amerika yang juga melibatkan Cina dalam politik internasional. Jadi dapat dikatakan bahwa Amerika Serikat memiliki pengaruh dalam kelangsungan rezim yang ada (memang bersifat politis), dimana Amerika juga turut serta dalam proses konflik maupun damai dari negara Cina dan Taiwan, bahkan dapat dikatakan kerjasama yang ada pun difasilitasi oleh Amerika, karena sebagai hegemoni, Amerika membutuhkan kerjasama Cina Taiwan untuk meningkatkan stabilitas (khususnya perekonomian) di Asia Timur. Perubahan sikap Amerika terhadap Taiwan didasari atas pertimbangan-pertimbangan kepentingan ekonomi, politik dan keamanan. Walaupun Amerika tidak harus selalu mendukung seluruh posisi Taiwan secara total di lingkup internasional. Amerika harus melakukan apa yang menjadi kepentingan Amerika tanpa harus melepas pengakuan terhadap RRC. Kata Kunci : Negara, Pengakuan Internasional vi ABSTRACT Recognition of the United States against China PRC and China Taiwan,F.C.L Rieuwpassa, International Legal Studies Program, University of Hasanuddin ,Advised by Alma Manuputty Iin Karita One China Policy or Policies of the Chinese that were held by the People's Republic of China in Beijing with the centrum rule specifies that there is only one China and that sovereign states have a legal aspect, namely the People's Republic of China. The policy states that the People's Republic of China is a government official mainland China (including Tibet), Hong Kong, Macau and Taiwan. Triangular relations between the U.S., China, and Taiwan looks on the commitment of each country to win their respective national interest without hampered by a clause in the agreement that they have ratified. In this regard the United States as the country adiakuasa playing double standard between the PRC and Taiwan. This study used a descriptive analysis of normative legal research, concept used State Concept, Concept Recognition (recognition), and the Concept of Nation Interest. Data collection through primary legal source, the legal source sekudender, and tertiary sources of law. From the results of the study authors to the conclusion of the study, relations between China and Taiwan is inseparable from American intervention. This had been going on since the Civil War raged between communism and nationalism. There is even a conspiracy by America which also involve China in international politics. So it can be said that the United States has influence in the continuity of the existing regime (indeed political), where the United States also participated in the conflict and the peace process of the countries of China and Taiwan, it can even be said that there was cooperation facilitated by the United States, because as hegemony, the United States needs the cooperation of China Taiwan to increase stability (especially economic) in East Asia. Changes in American attitudes toward Taiwan is based on the considerations of economic interests, political and security. Although America does not have to always support Taiwan's entire position in total in the international sphere. America must do what is in the interests of America without having to remove the recognition of the RRC. Keywords: State, International Recognition vii Kata Pengantar “Puji Tuhan”! saya sudah dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya dengan hasil yang memuaskan. Karena itu saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada 1. Semua pihak yakni “Keluarga Besar Fakultas Hukum Univertas Hasanuddin” yang telah membantu saya dalam pembuatan skripsi ini terutama selama masa perkuliahan sampai saat ujian akhir, pada jurusan Hukum Internasional. 2. Secara khusus untuk pembimbing Prof.Dr.Alma Manuputty,S.H.,M.H. dan Dr. Iin Karita Sakharina,S.H.,M.A. yang dengan begitu sabar serta tulus membimbing saya, sehingga skripsi ini berhasil dengan baik dan sempurna. 3. Terima kasih setinggi-tingginya bagi “Mama, Papa dan Kakak ”juga Keluarga Besar saya yang sangat mengasihi dan selalu membantu saya dalam segala hal. Tuhan memberkati kalian semua!!! Harapan Saya, semoga skripsi ini bermakna dan bermanfaat bagi yang membacanya. Sekiranya dalam penulisan skripsi ini terasa belum lengkap, sekali lagi besar harapan saya kiranya ada pengembangan dan penelitian lebih lanjut yang dapat melengkapi tujuan dari penulisan ini. Makassar, Oktober 2014 F.C.L.Rieuwpassa viii DAFTAR ISI Halaman Judul…………………………………………………………………..i Pengesahan Skripsi.................................................................................iii Persetujuan Pembimbing……………………………………………………iv Persetujuan Menempuh Ujian ……………………...………………………v Abstrak…………………………………………………………...…………….vi Kata Pengantar ……………………………………………………………...viii Daftar isi………………………………………………..……………………….ix BAB I : Pendahuluan…………………………………………………………..1 A. Latar Belakang…………………………………………………………….1 B. Rumusan Masalah……………………………………………….……….7 C. Tujuan Penelitian………………………………………………………….7 D. Manfaat Penelitian…………………………………………………..……8 BAB II : Tinjauan Pustaka ……………………………………………………9 A. Konsep Negara……………………………………………………………9 B. Konsep dan Teori Pengakuan (Recognition)…………………………18 C. Masalah Pengakuan (“Recognition”) dalam Hukum Internasional…36 BAB III : Metode Penelitian………………………………………………….54 A. Tipe Penelitian…………………………………………………………...54 B. Sumber Data……………………………………………………………..55 C. Teknik Analisa Data……………………………………………………..56 ix BAB IV : Pembahasan……….………………………………………………57 A. Bentuk Pengakuan Amerika Serikat terhadap Cina RRC dan Cina Taiwan…………………………………………………………………….62 B. Faktor-Faktor yang mempengaruhi terjadinya Double Standar Pengakuan (Recognition) Amerika Serikat terhadap Cina RR dan CinaTaiwa.........................................................................................80 BAB V : Penutup…………………………………………………………….112 A. Kesimpulan……………………………………………………………..112 B. Saran…………………………………………………………………….115 Daftar Pustaka……………………………………………………………….116 x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang . Negara adalah subjek dari hukum internasional yang sifatnya dinamis. Identitas dan jumlah negara dalam masyarakat internasional tidak selalu tetap, melainkan berubah-ubah dari waktu ke waktu.Sebelum menjadi suatu negara, negara tersebut sebelumnya harus memiliki pengakuan (recognition) menjadi sebuah negara. Munculnya sebuah negara dalam lingkungan internasional dapat melalui berbagai macam cara, damai, revolusi, peperangan dll. Kemunculan suatu negara harus mendapat pengakuan dari negara lain, apakah suatu negara menyetujui negara yang baru muncul tersebut. Sebelum memberikan pengakuan terhadap suatu negara, suatu negara harus memikirkan matang-matang apa dampak dan keuntungan dari pemberian pengakuan. Pengakuan lebih merupakan manifestasi kepentingan politik daripada kepentingan hukum. One China Policy atau Kebijakan satu Cina yang dipegang teguh oleh Republik Rakyat Cina dengan sentrum pemerintahan di Beijing menetapkan bahwa hanya ada satu Cina yang berdaulat dan memiliki aspek legalitas sebagai negara, yaitu Republik Rakyat Cina.Kebijakan Satu menyatakan resmi Cina bahwa Republik Rakyat daratan (termasuk Tibet), Hong Cina adalah pemerintah Kong, Macau danTaiwan. Semua negara yang ingin melakukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina harus menerapkan kebijakan ini dan menghindari hubungan resmi dengan Republik Cina (Taiwan).1 Sedangkan eksistensi Republik Cina (Taiwan) dengan sentrum pemerintahan di Taipe diklaim sebagai bagian dari Republik Rakyat Cina.Taiwan menjadi sebuah wilayah yang mempunyai syarat-syarat sebagai negara berdaulat namun tidak mempunyai kedaulatan di dunia internasional karena kurangnya pengakuan dan dukungan diplomatik.Saat ini, negara-negara yang masih berhubungan diplomatik dengan Republik Cina berjumlah 25 negara, mayoritas adalah negara-negara kecil yang tidak mempunyai pengaruh besar di percaturan politik internasional. Ada beberapa alasan mengapa Cina tetap mempertahankan Taiwan sebagai bagian integral dari Cina; Pertama, sejak perpecahan tahun 1949, Cina belum pernah menyatakan Taiwan sebagai suatu negara merdeka yang berdiri sendiri.Cina malah menganggap Taiwan sebagai provinsi yang membangkang dan belum waktunya saja untuk kembali reunifikasi dengan Cina Daratan; Kedua, Cina melihat Taiwan sebagai daerah kepulauan yang subur dan menyimpan banyak potensi ekonomi.Sumbangan pertumbuhan ekonomi Taiwan bagi pembangunan ekonomi Cina diperkirakan mencapai 20 persen.Sumbangan tersebut diperoleh melalui perdagangan bilateral. Dari 300 miliar dolar AS investasi langsung yang telah dimanfaatkan oleh Cina sejak tahun 1995, sekitar 70 1Kebijakan satu Cina, http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_Satu_Cina, diakses tanggal 14 November 2013,pukul. 19.44 Wita 2 persen berasal dari Taiwan, Hong Kong, Korea Selatan, Jepang, dan beberapa negara Asia Tenggara lain;Ketiga, Cina memiliki ambisi yang besar menjadi negara raksasa yang tangguh di kawasan Asia dan bahkan di dunia. Dengan jumlah penduduknya yang sekarang lebih dari satu miliar, Cina menjadi negara terkaya dalam sumber daya manusia (SDM). 2 Jika Taiwan bersedia menggabungkan diri, maka potensi Cina menjadi tambah besar. Sumber daya manusia akan terserap melalui sektor industri, manufaktur, perumahan, otomotif dan sebagainya yang menjadi ciri khas Taiwan. Dengan demikian tenaga kerja Cina langsung terserap di berbagai lapangan kerja yang tersedia dalam berbagai bidang di Taiwan dan Hong Kong. Bagi Taiwan, kebijakan reunifikasi dan ”Satu Cina”, merupakan mimpi masa silam Cina. Mimpi itu sulit untuk tercapai mengingat setelah berada di bawah pemerintahan sendiri (pasca perpecahan tahun 1949) Taiwan tampil sebagai negara yang turut mempelopori kemajuan ekonomi di Asia.Tidak tangung-tanggung International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) pernah memasukan Taiwan sebagai salah satu macan Asia atau One of tiger of Asia. 2 Taiwan dan Kebijakan satu Cina. http://gorissahdan.blogspot.com/p/opini.html diakses tanggal 14 November 2013, Pukul 20.06 Wita 3 Gelar ini disamping merupakan bagian dari pengakuan internasional terhadap (perekonomian) Taiwan juga memposisikan Taiwan sejajar dengan bangsa-bangsa lain sebagai suatu entitas (bangsa) yang berdiri sendiri. Pihak Beijing mendeklarasikan kepada forum internasional bahwa pihak Taiwan sudah selayaknya tunduk pada kebijakan satu Cina ini, karena Taiwan telah terikat pada konsensus yang telah disepakati oleh perwakilan kedua belah pihak pada tahun 1992 di Hongkong.Oleh karena itu, pihak Beijing menganggap bahwa eksistensi kebijakan yang hanya mengakui adanya satu Cina ini merupakan status quo yang tidak dapat diganggu gugat. Namun mantan presiden Taiwan, Chen Shui-bian, menolak untuk mengakui doktrin kebijakan satu Cina ini.Bahkan, esensialnya sejak 1949, sinergi antara Cina and Taiwan tidak pernah terwujud.Taiwan terus mengupayakan negosiasi demi meraih kedaulatan penuh sebagai satu negara yang tidak identik dengan Republik Rakyat Cina. Dalam praktiknya, Republik Rakyat Cina menetapkan satu regulasi mutlak dalam berinteraksi dengan dunia internasional, yaitu dengan menerapkan satu mekanisme absolut bahwa setiap negara yang ingin menjalin hubungan diplomatik dengan RRC wajib menghindari hubungan diplomatik dengan Taiwandengan alasan bahwa Taiwan telah terdaftar dalam zona yang berada dalam teritori kedaulatan Cina. Maka, ketika Amerika Serikat memutuskan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan 4 RRC, Amerika Serikat pun mendeklarasikan kesepakatannya terhadap kebijakan “Hanya ada satu Cina, dan Taiwan merupakan bagian dari Cina” melalui penandatanganan Joint Communiqué pada 1979. Bahkan menurut catatan historis, pasca penandatangan kesepakatan tersebut, Amerika yang ketika itu di bawah rezim Presiden Jimmy Carter bersungguh-sungguh menunjukkan komitmennya untuk mengimplementasikan klausul yang tercantum dalam kesepakatan dengan pihak RRC tersebut, sehingga akhirnya Amerika Serikat mengambil kebijakan untuk mengakhiri hubungan diplomatik dengan Taiwan. Namun ternyata kebijakan ini merupakan taktik sementara belaka untuk membangun kredibilitas di mata RRC, karena terbukti dalam kurun waktu satu bulan kemudian, formulasi Taiwan Relations Act yang dirilis oleh Taiwan pada 1979 juga – ternyata meraih dukungan dari Amerika Serikat. Aksi Amerika Serikat ini mengindikasikasikan sikap ambigu terhadap hubungannya dengan RRC.Apalagi ternyata posisi double standard Amerika tersebut tidak hanya berhenti dalam kasus ratifikasi Taiwan Relations Act, namun terus berlanjut hingga aksi penjualan persenjataan kepada Taiwan yang berlangsung selama bertahun-tahun. Kebijakan ini merupakan wujud kongkrit dari komitmen Amerika Serikat untuk menjamin keamanan di teritori Taiwan, walaupun aksi ini melanggar perjanjian antara Amerika dengan Cina.Jaminan ini pun 5 semakin terlihat jelas selama rezim George W. Bush. Sebagai bukti otentiknya, pada tahun 2002, Bush pernah mengeluarkan statementyang sangat kontroversial yang menekankan bahwa Amerika Serikat akan melakukan apapun demi membantu Taiwan melindungi teritorinya.Bahkan setelah memasuki rezim Obama pun, Amerika Serikat masih terus konsisten menjadi provider persenjataan bagi Taiwan. Korelasi teori ini dengan relasi segitiga antara Amerika, Cina, dan Taiwan terlihat pada komitmen masing-masing negara tersebut untuk meraih national interest masing-masing tanpa terhambat oleh klausul dalam kesepakatan yang telah mereka ratifikasi. Sebagai data otentiknya: jika mengacu pada konsensus tahun 1992, Taiwan seharusnya mengakui eksistensinya sebagai bagian dari teritori RRC, namun Taiwan bersikeras untuk meraih independensi penuh untuk menjadi negara yang berdaulat. Demikian juga halnya posisi Amerika Serikat, seharusnya setelah meratifikasi Joint Communiqué pada1 Januari 1979 yang mengindikasikan kesediaan Amerika untuk mengakui hanya ada satu Cina sebagai negara yang berdaulat, dan Taiwan merupakan bagian yang tidak teralienasi dari teritori Cina maka seharusnya Amerika mematuhi klausul itu. Namun faktanya malah karena terbentur dengan kepentingan nasionalnya sendiri, Amerika memutuskan untuk mengenyampingkan kesepakatannya dengan Cina melalui aksi meratifikasi Taiwan Relations Act pada tahun yang sama. Taiwan Relation Act inilah yang akhirnya memungkinkan Amerika 6 Serikat untuk meraih profit dengan menjadi pasar utama yang menjamin suplai persenjataan bagi Taiwan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam berinteraksi di percaturan internasional, setiap negara cenderung melakukan apapun demi meraih kepentingan nasionalnya, apapun bentuk strategi dan taktik dilegitimasi demi meraih kepentingan masing-masing tanpa menghiraukan poin-poin normatif ataupun aspek legalitas. B. Rumusan Masalah Memperhatikan luasnya cakupan masalah yang akan diteliti maka penulis membatasinya pada: 1. Bagaimana bentuk pengakuan/recognition Amerika Serikat terhadap Cina RRC dan Cina Taiwan? 2. Apa faktor faktor yang mempengaruhi Double Standard Amerika Serikat dalam interaksinya dengan Cina RRC maupun Cina Taiwan ? C. Tujuan Penelitian a. Mendeskripsikan dan menganalisis pengakuan Amerika Serikat terhadap Cina RRC dan Cina Taiwan. b. Mendeskripsikan dan menganalisis faktor pengakuan Amerika Serikat terhadap Cina RRC dan Cina Taiwan. 7 D. Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis : 1. Menunjukan secara ilmiah mengenai pengakuan Amerika Serikat terhadap Cina RRC dan Cina Taiwan 2. Dalam wilayah akademis, memperkaya khasanah kajian ilmu hukum untuk pengembangan keilmuan, khususnya hukum internasional. Manfaat Praktis : 1. Memberikan bahan rujukan kepada masyarakat yang berminat dalam memahami realitas hukum internasional. 2. Memberikan informasi tentang pengakuan Amerika Serikat terhadap Cina RRC dan Cina Taiwan. 8 BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini yang akan dibahas ada dua aspek yaitu: Konsep Negara, Konsep Pengakuan, Keduanya akan diuraikan lebih lanjut. A. Konsep Negara Sudah menjadi kodrat alam, bahwa manusia sejak dahulu kala selalu hidup bersama-sama dalam suatu kelompok (zoon politicon). Dalam kelompok manusia itulah mereka berjuang bersama-sama mempertahankan hidupnya mencari makan, melawan bahaya dan bencana serta melanjutkan keturunannya. Mereka berinteraksi, mengadakan hubungan sosial. Untuk mempertahankan hak mereka untuk dapat hidup di tempat tinggal tertentu yang mereka anggap baik untuk sumber penghidupan, diperlukan seseorang atau sekelompok kecil orangorang yang ditugaskan mengatur dan memimpin kelompoknya. Kepada pemimpin kelompok inilah diberikan kekuasaan-kekuasaan tertentu dan kelompok manusia tadi diharuskan menaati peraturan-peraturan perintah pemimpinnya.3 Negara adalah lanjutan dari kehendak manusia bergaul antara seorangdengan orang lainnya dalam rangka menyempurnakan segala kebutuhan hidupnya.Semakin luasnya pergaulan manusia tadi maka semakin banyak kebutuhannya,maka bertambah besar kebutuhannya 3 C.S.T. Kansil, Ilmu Negara Umum dan Indonesia (Jakarta :PT Pradnya Paramita,2001), hlm. 133. 9 kepada sesuatu organisasi negara yang akanmelindungi dan memelihara hidupnya. Secara etimologi, negara dapatditerjemahkan dari kata-kata asing staat (bahasa Belanda), state (bahasa Inggris) dan Etat (bahasa Prancis). Asalnya adalah bahasa latin yang berarti menaruh dalam keadaan berdiri; membuat berdiri;menempatkan4. Pada dasarnya tidak ada suatu definisi yang tepat terhadap pengertian suatu Negara. Namun kita dapat mengambil beberapa pengertian suatu negara berdasarkan pengertian-pengertian oleh para ahli yang dapat dijadikan sebagai suatu sumber hukum atau biasa disebut dengan doktrin para sarjana. Sertapengertian suatu negara berdasarkan hukum internasional yang dapat kita ambil dari Konvensi Montevidio tahun 1933. Menurut Plato, negara adalah suatu tubuh yang senantiasa maju, berevolusi dan terdiri dari orang-orang (individu-individu) yang timbul atau ada karena masing-masing dari orang itu secara sendiri-sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan dan keinginannya yang beraneka ragam, yang menyebabkan mereka harus bekerja sama untuk memenuhi kepentingan mereka bersama. Kesatuan inilah yang kemudian disebut masyarakat atau negara5. Dari pengerian yang disampaikan sarjana ini dapat diketahui bahwa suatu negara ada karena hubungan manusia 5 Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta : Liberty, 1980), hlm. 17. 10 dengan sesamanya karena manusia menyadari tidak dapat hidup secara sendiri-sendiri dalam pemenuhan kebutuhannya, atau berdasarkan doktrin yang diajarkan oleh Aristoteles biasa kita kenal dengan istilah zoon political. Menurut Thomas Hobbes bahwa negara adalah suatu tubuh yang dibuat oleh orang banyak beramai-ramai, yang masing-masing berjanji akan memakainya menjadi alat untuk keamanan dan pelindungan mereka6. Berdasarkan pengertian yang disampaikan oleh sarjana ini adalah bahwa suatu negara terbentuk oleh sekumpulan manusia yang menyatukan dirinya dan kemudian mengadakan perjanjian antar sesama mereka untuk menjadikan negara yang mereka bentuk sendiri sebagai alat untuk keamanan dan perlindungan bagi mereka (Teori Perjanjian Masyarakat atau teori kontrak sosial). Dari sini juga dapat diketahui bahwa negara dibentuk dalam rangka memberikan rasa aman dan perlindungan bagi masing-masing mereka, yang berarti juga bahwa manusia menyadari mereka dapat menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus) dalam pencapaian kepentingan masing-masing mereka, yang kemudian dalam skala yang besar dapat menyebabkan terjadinya perlawanan atau perang (bellum omnium contra omnes). 6Samidjo, Op.Cit., hlm. 29. 11 Menurut George Jellinek yang juga disebut sebagai Bapak Negara memberikan pengertian tentang Negara yang merupakan organisasi kekuasaan dari kelompok manusia yang telah berdiam di suatu wilayah tertentu. Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut dengan kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada7. Sesuai dengan pelaku utama hubungan internasional adalah negara, maka yang menjadi perhatian utama hukum internasional adalah hak dan kewajiban serta kepentingan negara. Negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, bahkan menjadi subjek hukum internasional yang pertama dan utama serta terpenting (par excellence). Negara menjadi subjek hukum internasional yang pertama-tama, sebab kenyataan 7 http://www.wikipedia.com,-tentang NEGARA.-html, tanggal 15 September 2013 Pukul 19.36 Wita. 12 menunjukkan bahwa yang pertama-tama yang mengadakan hubungan internasional. Negara sebagai suatu kesatuan politik dalam hukum internasional yang juga sifatnya keterutamaannya maka suatu negara harus memiliki unsur-unsur tertentu berdasarkan hukum internasional. Aturan hukum internasional yang disediakan masyarakat internasional dapat dipastikan berupa aturan tingkah laku yang harus ditaati oleh negara apabila mereka saling mengadakan hubungan kerjasama8. Untuk lebih jelasnya lagi dalam merumuskan pengertian suatu negara berdasarkan hukum internasional dapat kita lihat pada ketentuan Konvensi Montevideo tahun 1993 mengenai hak-hak dan kewajiban- kewajiban negara (Rights and Duties of States) yang menyebutkan bahwa suatu negara dapat dikatakan sebagai subjek hukum internasional apabila telah memiliki unsur-unsur, yaitu9: a. Penduduk yang tetap, Penduduk yang dimaksud disini yaitu sekumpulan manusia yang hidup bersama di suatu tempat tertentu sehingga merupakan satu kesatuan masyarakat yang diatur oleh suatu tertib hukum nasional, tidak harus yang berasal dari rumpun, etnis, suku, latar belakang kebudayaan, agama ataupun bahasa yang sama. Akan tetapi penduduk tersebut haruslah menetap di suatu tempat, walaupun sudah ada penduduk asli yang mendiami tempat tersebut. 8 Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional (Yogyakarta: Liberty, 1990), hlm. 12. Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional (Jakarta, Penerbit : RajaGrafindo, 2003), hal. 3. 9 13 b. Wilayah tertentu, Untuk wilayah suatu negara tidak dipengaruhi batas ukurannya. Walaupun pernah terjadi negara yang wilayah negaranya kecil tidak dapat menjadi anggota PBB. Akan tetapi sejak tetapi sejak tahun 1990. Negara seperti Andorra, Liechtenstein, Monaco, Nauru, San Marino dan Tuvalu telah bergabung menjadi anggota PBB. c. Pemerintah (penguasa yang berdaulat), Yang dimaksud dengan pemerintah yang berdaulat yaitu kekuasaan yang tertinggi yang merdeka dari pengaruh kekuasaan lain di muka bumi. Akan tetapi kekuasaan yang dimiliki oleh suatu negara terbatas pada wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu. Maksudnya adalah bahwa dalam kedaulatan suatu negara terbatas pada kedaulatan negara lain. Suatu negara harus memiliki pemerintah, baik seorang atau beberapa orang yang mewakili warganya sebagai badan politik serta hukum di negaranya, dan pertahanan wilayah negaranya. Pemerintah penjamin dengan stabilitas kedaulatan internal yang dalam dimiliknya merupakan negaranya, disamping merupakan penjamin kemampuan memenuhi kewajibannya dalam pergaulan internasional. Pemerintah inilah yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam rangka mencapai kepentingan nasional negaranya, baik itu di dalam negaranya dalam rangka mempertahankan integritas negaranya, maupun di luar negaranya melaksanakan politik luar negeri untuk suatu tujuan tertentu. 14 d. Kemampuan lainnya, mengadakan Unsur keempat hubungan ini secara dengan negara-negara mandiri merujuk pada kedaulatan dan kemerdekaan. Kemerdekaan dan kedaulatan merupakan 2 (dua) posisi yang tak terpisahkan sebagai subjek hukum internasional. Suatu negara dinyatakan mempunyai kedaulatan apabila memiliki kemerdekaan atau negara dianggap mempunyai kemerdekaan, apabila memiliki kedaulatan. Pemerintahan suatu negara haruslah merdeka dan berdaulat, sehingga wilayah negaranya tidak tunduk pada kekuasaan negara lain dan berarti juga bahwa negara tersebut bebas melakukan hubungan kerjasama internasional dengan negara manapun Sewajarnya adalah kalau suatu negara memiliki kapasitas untuk mengadakan hubungan kerjasama internasional dengan negara lain untuk tujuan tujuan yang hendak dicapai oleh negara tersebut. Akan tetapi untuk menjadi suatu negara yang berdaulat dalam prakteknya memerlukan pengakuan bagi negara lain10. Kalau 4 (empat) unsur diatas tadi merupakan persyaratan secara hukum internasional terbentuknya suatu negara, maka ada juga yang menjadi unsur politik terbentuknya suatu negara yang jugadapat berakibat hukum. Unsur yang dimaksud adalah pengakuan (recognition).Pengakuan dalam hukum internasional termasuk persoalan yang cukup rumitkarena sekaligus melibatkan maslah hukum dan politik. Unsur-unsur hukum danpolitik sulit 10 Anthony Aust, Handbook of International Law (United Kingdom: Cambridge University Press, 2005), hlm. 17. 15 untuk dipisahkan secara jelas karena pemberian dan penolakan suatu pengakuan oleh suatu negara dipengaruhi pertimbangan politik, sedangkanakibatnya mempunyai ikatan hukum. Kesulitan juga berasal dari fakta bahwa hukum internasional tidak mengharuskan suatu negara untuk mengakui negar alain atau pemerintahan lain seperti halnya juga bahwa suatu negara atau pemerintahan tidak mempunyai hak untuk diakui oleh negara lain. Tidak ada keharusan untuk mengakui seperti juga ada kewajiban untuk tidak mengakui. Negara sebagai subjek hukum internasional merupakan pendukung hak-hak dan kewajiban internasional. Hukum Internasional memberikan hak-hak yang sama kepada negara, yaitu : a. Hak suatu negara melaksanakan kedaulatan dan jurisdiksi penuhatas wilayah dan rakyatnya; b. Hak memberi izin masuk dan mengeluarkan orang asing dariwilayah negaranya; c. Hak perolehan kekebalan diplomatik (immunitas) dan hak istimewa (privilege) bagi perwakilan diplomatiknya di negaraasing; d. Hak mengambil tindakan bela diri dalam situasi tertentu; e. Setiap negara berhak secara bebas memilih dan mengembangkan system politik, ekonomi dan budaya negaranya. Disamping hak-haknya diatas, setiap negara secara global dibebani kewajiban yang pada dasarnya bertujuan untuk ikut serta menciptakan danmemelihara ketertiban dan perdamaian dunia. Dengan demikian 16 kedaulatan suatunegara dibatasi oleh hukum internasional dalam rangka pemeliharaan perdamaiandan ketertiban internasional. Ini berarti bahwa prinsip par in paren non habetimperium dapat dikesampingkan. Secara umum kewajiban-kewajiban negaratersebut antara lain: a. Tidak melakukan tindakan kedaulatan di wilayah negara lain yangberdaulat b. Tidak melakukan intervensi urusan dalam negeri negara lain, termasuk menjaga stabilitasnegara lain dengan tidak mendukungatau memberi bantuan yang mengandung unsur subversive denganmaksud menggulingkan pemerintahan yang sudah ada dan sahsuatu negara; c. Tidak menggunakan perang sebagai instrumen kebijakan dalamnegeri; d. Menjaga agar keadaan negaranya tidak mengancam perdamaiandunia; e. Tidak merangsang timbulnya perselisihan saudara di wilayah lain; f. Tidak melakukan tindakan yang mencemarkan wilayah negara lain; g. Menyelesaikan sengketa yang timbul antar negara secara damai; 17 B. Konsep dan Teori Pengakuan (recognition). Para sarjana hukum internasional pada umumnya sependapat bahwa “pengakuan” (Inggris: recognition, Perancis: reconnaissance, Jerman : anerkennung) adalah suatu hal yang sangat penting dalam hubungan antar negara, sebelum negara baru dapat mengadakan hubungan yang lengkap dan sempurna dengan negara lain, baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya terlebih dahulu harus melalui pintu pengakuan.11Akan tetapi tidak berarti tanpa pengakuan dari negara lain, suatu negara baru tidak dapat melangsungkan hidupnya. Demikian pula suatu negara baru tidak dilahirkan karena adanya pengakuan yang diberikan negara lain. Terlepas dari pemberian pengakuan itu, negara tersebut telah memiliki atribut kedaulatan, tetapi baru setelah pengakuan dari negara lain, maka negara yang bersangkutan dapat menggunakan atribut kedaulatan sebaik-baiknya. Fungsi pengakuan adalah untuk menjamin suatu negara baru dapat menduduki tempat yang wajar sebagai suatu organisme politik yang merdeka dan berdaulat ditengah-tengah keluarga bangsa bangsa-bangsa, sehingga secara aman dan sempurna dapat mengadakan hubungan dengan negara-negara lainnya, tanpa mengkhawatirkan bahwa kedudukannya sebagai kesatuan politik itu akan diganggu oleh negaranegara yang telah ada. 11S. Tasrif, SH, Hukum Internasional tentang Pengakuan dalam Teori dan Praktek (Jakarta: 1986). Hal 3 18 Bentuk pengakuan oleh Oppenheim- Lauterpacht dirinci sebagai berikut : 12 1. Recognition of state (pengakuan negara), 2. Recognition of new heads of government of old states (pengakuan kepala pemerintah baru oleh negara lama) 3. Recognition of government and representation in the United Nation ( pengakuan pemerintah dan perwakilan dalam PBB) 4. Recognition of belligerency ( pengakuan beligerensi) 5. Recognition of insurgency (pengakuan pemberontakan) 6. Recognition of new traditional titles and international situations (pengakuan hak-hak teritorial dan situasi internasional baru) Pengakuan sebagaimana nampak dalam praktek Negara-negara lebih banyak merupakan persoalan politik daripada hukum.Apabila dilihat dari segi hakekat, fungsi, dan pengaruh akibat hukum pengakuan, terdapat dua aliran.Terhadap teori deklaratif dan teori konstitutif. Terhadap teori deklaratif J.L Brierly berpendapat: “a state may exist without being recognized, and it if does exist in fact, then whether or not it has been formally recognized by other states, it has to be treated by them as a state”13 Dengan demikian, tanpa pengakuan pun suatu Negara itu dapat berdiri dan jika ia berdiri sebagai suatu kenyataan, maka apakah ia diakui secara resmi atau tidak oleh Negara lainnya, Negara itu tetap punya hak diberlakukan seperti Negara-negara lainnya.Manakala suatu Negara 12Ibid. Hal. 5 13Syahmin.Hukum Internasional Publik.(Bandung: 1992) hal. 115 19 berdiri sebagai fakta, ia segera merupakan subjek hukum internasional, terlepas dari kehendak-kehendak lainnya Pengakuan ada dua jenis, yaitu pengakuan terhadap negara baru serta pengakuan terhadap pemerintahan baru. Institut Hukum Internasional (theInstitute of International Law) mendefinisikan pengakuan terhadap suatu negara baru sebagai suatu tindakan satu atau lebih negara untuk mengakui suatu kesatuan masyarakat yang terorganisir yang mendiami wilayah tertentu, bebas dari negara lain serta mampu menaati kewajiban-kewajiban hukum internaisonal dan menganggapnya sebagai anggota masyarakat internasional.Dalam masalah pengakuan terhadap suatu negara terdapat dua teori, yaitu teori konstitutif dan deklaratif. Teori konstitutif berpendapat bahwa suatu negara dapat diterima sebagai anggota masyarakat internasional dan memperoleh statusnya sebagai subjek hukum internasional hanya melalui pengakuan.Sedangkan teori deklaratif lahir sebagai reaksi dari teori konstitutif yang menyebutkan bahwa pengakuan hanyalah merupakan penerimaan suatu negara oleh negara-negara lainnya. Jika mengacu pada instrument hukum internasional mengenai hak-hak dan kewajiban negara yang terdapat dalam Konvensi Montevideo 1933, maka pengakuan terhadap suatu negara bersifat deklaratif yang menyebutkan “The political existance of the state is independent of recognition byother states. Even before recognition of a state has the right to defend its integrityand independence to provide for it conservation and prosperity, 20 and consequently,to organize itself as it sees fit, to legislate upon its interest, administer its services,and to define the jurisdiction and competence of its courts”14. Pada intinya bahwa hukum internasional menganggap bahwa kedaulatan suatu negara baru tidak dipengaruhi oleh pengakuan negara lain. Keberadaan negara-negara baru tersebut tidak harus diikuti oleh pengakuan negara-negara di dunia. Tanpa pengakuan dari negara lain, suatu negara tetap memiliki hak untuk mempertahankan kesatuan dan kemerdekaan negaranya demi mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bagi negaranya. Serta untuk menegakkan kekuasaan dan kewenangan pengadilan di negaranya. Faktanya banyak negara yang lahir di dunia tanpa adanya pernyataan pengakuan, tetapi bukan berarti bahwa kelahiran negara baru itu ditolak oleh negara-negara lain. Hans Kelsen mengajarkan pengakuan suatu Negara mempunyai dua segi yaitu: 15 1. Negara yang akan memberikan pengakuan itu meyakinkan dirinya bahwa masyarakat yang hendak diakui sebagai Negara itu betul-betul memiliki syarat menurut hukum internasional untuk menjadi Negara (legal recognition) 2. Negara yang akan memberikan pengakuan itu menyatakan kesediaannya untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Negara yang baru diakui itu. (political recognition). 14Pasal 3 Konvensi Montevidio 1933. Internasional Publik.(Bandung: 1992) hal. 116 15Syahmin.Hukum 21 Sama dengan pengakuan terhadap suatu negara baru, pengakuan terhadap pemerintahan baru tidak terlepas dari kepentingan politik semata-mata. Pengakuan terhadap pemerintahan yang baru berkaitan dengan unsur negara yang ketiga yaitu pemerintah yang berdaulat, serta unsur kemampuan mengadakan hubungan kerjasama dengan negara lain. Dalam memberikan pengakuan biasanya ada beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan negara lain untuk mengakuinya, yaitu : a. Pemerintahan pemerintahan yang yang permanent. baru tersebut Artinya dapat adalah apakah mempertahankan kekuasaannya dalam jangka waktu yang lama (reasonable prospect of permanence), b. Pemerintah yang ditaati oleh rakyatnya. Artinya apakah dengan adanya pemerintah yang berkuasa tersebut, rakyat di negara tersebutmematuhinya (obedience of the people), c. Penguasaan wilayah secara efektif. Artinya apakah pemerintah baru tersebut menguasai secara efektif sebagian besar wilayah negaranya,Pemerintah tersebut juga harus stabil, d. Pemerintah tersebut harus mampu dan bersedia memenuhi kewajiban-kewajiban internasionalnya. e. Kesanggupan dan kemauan untuk melaksanakan kewajibankewajiban internasional. Pada dasarnya pengakuan terhadap negara baru dan pemerintahan baru berakibat hukum bagi negara yang diakui dan negara 22 yang mengakui (diplomatik).Pengakuan juga berakibat hukum pada tindakan-tindakan negara yang diakui diberlakukan sah dan keabsahannya itu tidak dapat diuji. Tindakan-tindakan negara yang dimaksud juga harus berdasarkan hukum internasional. Secara umum dikatakan bahwa pengakuan diberikan harus dengan kepastian. Artinya, pihak yang memberi pengakuan harus benar memiliki legitimasi yang kuat sehingga pengakuan dapat terus dipertahankan secara hukum dan politik internasional. Ada beberapa teori dalam pengakuan: 1. Teori Deklaratoir 2. Teori Konstitutif 3. Teori Pemisah atau Jalan Tengah. Menurut penganut Teori Deklaratoir, pengakuan hanyalah sebuah pernyataan formal saja bahwa suatu negara telah lahir atau ada. Artinya, ada atau tidaknya pengakuan tidak mempunyai akibat apa pun terhadap keberadaan suatu negara sebagai subjek hukum internasional. Dengan kata lain, ada atau tidaknya pengakuan tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban suatu negara dalam hubungan internasional. 23 Berbeda dengan penganut Teori Deklaratoir, menurut penganut Teori Konstitutif, pengakuan justru sangat penting. Sebab pengakuan menciptakan penerimaan terhadap suatu negara sebagai anggota masyarakat internasional. Artinya, pengakuan merupakan prasyarat bagi ada-tidaknya kepribadian personality) suatu negara. hukum internasional (international legal Dengan kata lain, tanpa pengakuan, suatu negara bukan atau belumlah merupakan subjek hukum internasional. Karena adanya perbedaan pendapat yang bertolak belakang itulah lantas lahir teori yang mencoba memberikan jalan tengah. Teori ini juga disebut Teori Pemisah karena, menurut teori ini, harus dipisahkan antara kepribadian hukum suatu negara dan pelaksanaan hak dan kewajiban dari pribadi hukum itu. Untuk menjadi sebuah pribadi hukum, suatu negara tidak memerlukan pengakuan. Namun, agar pribadi hukum itu dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hukum internasional maka diperlukan pengakuan oleh negara-negara lain. Ada dua macam atau jenis pengakuan, yaitu :16 1. Pengakuan de Facto; dan 2. Pengakuan de Jure. Pengakuan de facto, secara sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap suatu fakta. Maksudnya, pengakuan ini diberikan jika 16 Macam-macam Pengakuan http://lawfile.blogspot.com/2012/01/macam-macampengakuan-terhadap.html diakses pada tanggal 25 juni 2014 24 faktanya suatu negara itu memang ada. Oleh karena itu, bertahan atau tidaknya pengakuan ini tergantung pada fakta itu sendiri, apa fakta itu (yakni negara yang diberi pengakuan tadi) bisa bertahan atau tidak. Dengan demikian, pengakuan ini bersifat sementara. Lebih lanjut, karena sifatnya hanya memberikan pengakuan terhadap suatu fakta maka pengakuan ini tidak perlu mempersoalkan sah atau tidaknya pihak yang diakui itu. Sebab, bilamana negara yang diakui (atau fakta itu) ternyata tidak bisa bertahan, maka pengakuan ini pun akan berakhir dengan sendirinya. Berbeda dengan pengakuan de facto yang bersifat sementara, pengakuan de jure adalah pengakuan yang bersifat permanen. Pengakuan ini diberikan apabila negara yang akan memberikan pengakuan itu sudah yakin betul bahwa suatu negara yang baru lahir itu akan bisa bertahan. Oleh karena itu, biasanya suatu negara akan memberikan pengakuan de facto terlebih dahulu baru kemudian de jure. Namun tidak selalu harus demikian. Sebab bisa saja suatu negara, tanpa melalui pemberian pengakuan de facto, langsung memberikan pengakuan de jure. Biasanya pengakuan de jure akan diberikan apabila : 1. Penguasa di negara (baru) itu benar-benar menguasai (secara formal maupun substansial) wilayah dan rakyat yang berada di bawah kekuasaannya; 2. Rakyat di negara itu, sebagian besar, mengakui dan menerima penguasa (baru) itu; 25 3. Ada kesediaan dari pihak yang akan diakui itu untuk menghormati hukum internasional. Negara dapat memaksakan kehendaknya karena telah dimilikinya alasan-alasan atau dasar-dasar pembenaran tindakan dari penguasa dengan melalui suatu teori pembenaran negara ( Recht vaar diging theorieen )17Setelah mendeklarasikan berdirinya sebuah negara maka harus ada pengakuan dari negara lain baik secara de facto maupun de yure. Secara de yure adalah pengakuan seluas-luasnya dan bersifat tetap terhadap muncul atau timbulnya atau terbentuknya suatu negara dikarenakan terbentuknya negara baru secara yuridis atau berdasarkan hukum18.Pengakuan ini diimplementasikan dengan dibukanya hubungan diplomatik terhadap negara baru tersebut.“Wilayah merupakan aspek penting dalam pengakuan atas suatu negara secara de facto”19 wilayah menunjukan batasan geografis dari kewenangan sebuah negara. Ada dua cara pemberian pengakuan, yaitu :20 1. Secara tegas (expressed recognition); dan 2. Secara diam-diam atau tersirat (implied recognition). 17 Abu Daud Busroh. Ilmu Negara. ( Jakarta : Bumi Aksara, 1990 ) hal 2. Ibid, 47 19 ibid 20 Pemberian Pengakuan http://rheinaldyy2likesrin.wordpress.com/author/likesrin/page/10/ diakes pada tanggal 27 juni 2014 18 26 Pengakuan secara tegas maksudnya, pengakuan itu diberikan secara tegas melalui suatu pernyataan resmi. Sedangkan pengakuan secara diam-diam atau tersirat maksudnya adalah bahwa adanya pengakuan itu dapat disimpulkan dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh suatu negara (yang mengakui). Beberapa tindakan atau peristiwa yang dapat dianggap sebagai pemberian pengakuan secara diam-diam adalah : 1. Pembukaan hubungan diplomatik (dengan negara yang diakui secara diam-diam itu); 2. Kunjungan resmi seorang kepala negara (ke negara yang diakui secara diam-diam itu); 3. Pembuatan perjanjian yang bersifat politis (dengan negara yang diakui secara diam-diam itu). Dalam dunia modern seperti saat ini menjadi sesuatu yang mustahil akan terjadinya negara atau pemerintahan baru kecuali dengan cara memisahkan diri, atau melebur menjadi suatu negara yang baru. Pada saat inilah negara atau pemerintahan baru baik secara pemisahan atau peleburan membutuhkan bukti akan berdirinya suatu negara atau pemerintahan baru yang sering di sebut sebagai pengakuan atas negara atau pemerintahan baru, yang selanjutnya menjadi teori baru dalam hal pembentukan negara 27 Pengakuan terlebih dahulu harus yakin bahwa pihak yang akan diberi pengakuan itu telah benar-benar memenuhi kualifikasi sebagai pribadi internasional atau memiliki kepribadian hukum internasional (international legal personality). Sehingga, apabila pengakuan itu diberikan maka pengakuan itu akan berlaku untuk selamanya dalam pengertian selama pihak yang diakui itu tidak kehilangan kualifikasinya sebagai pribadi hukum menurut hukum internasional Namun, dalam diskursus akademik, satu pertanyaan penting kerapkali muncul yaitu apakah suatu pengakuan yang diberikan oleh suatu negara dapat ditarik kembali. Pertanyaan ini berkait dengan persoalan diperbolehkan atau tidaknya memberikan persyaratan terhadap pengakuan. Terhadap persoalan di atas, ada perbedaan pendapat di kalangan sarjana yang dapat digolongkan ke dalam dua golongan:21 (1) Golongan pertama adalah mereka yang berpendapat bahwa pengakuan dapat ditarik kembali jika pengakuan itu diberikan dengan syarat-syarat tertentu dan ternyata pihak yang diakui kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan itu; (2) Golongan kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa, sekalipun pengakuan diberikan dengan disertai syarat, tidak dapat 21 Ibid. 28 ditarik kembali, sebab tidak dipenuhinya syarat itu tidak menghilang eksistensi pihak yang telah diakui tersebut. Pengakuan lebih merupakan manifestasi kepentingan politik daripada kepentingan hukum.Pengakuan internasional kepada suatu Negara, pemerintah atau belligeren cenderung menonjolkan aspek kepentingan. Ada atau tidaknya suatu kepentingan politik akan berpengaruh terhadap diberikannya atau tidak suatu pengakuan. Penggabungan, pemisahan dan penggantian pemerintahan baru, berarti terjadi perubahan pemerintahan.Persoalan yang bentuk dihadapi Negara oleh suatu atau Negara bentuk atau pemerintahan baru dari sudut pandang hukum internasional adalah berkaitan dengan masalah “pengakuan” (recognition). Persoalan yang timbul adalah apakah suatu pemerintahan atau Negara baru memerlukan adanya suatu pengakuan internasional, sehingga dari sudut hukum internasional dapat dianggap mampu melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain. Pengakuan apabila sudah menjadi ius cogen22, maka secara hukum, pengakuan mutlak diberikan karena wajib bagi setiap pergantian, perubahan dan penggabungan Negara atau pemerintahan baru. Dengan kata lain, setiap pemerintahan atau Negara baru akan menjadi subjek 22Pengakuan dan Praktek Hukum http://akbarkurnia.blogspot.com/2011/06/pengakuandalam-teori-dan-praktek-hukum.html diakses tanggal 27 juli 2014 29 hukum internasional akan sah apabila sudah mendapat pengakuan atau diakui oleh masyarakat internasional. Persyaratan semacam itu tidak dibenarkan karena dianggap sebagai pemaksaan kehendak secara sepihak. Hal demikian dipandang tidak layak karena pengakuan yang pada hakikatnya merupakan pernyataan sikap yang bersifat sepihak disertai dengan persyaratan yang membebani pihak yang hendak diberi pengakuan. Pertimbangan persyaratan dalam lain yang memberikan tidak membenarkan pengakuan (yang pemberian berarti tidak membenarkan pula adanya penarikan kembali pengakuan) adalah bahwa memberi pengakuan itu bukanlah kewajiban yang ditentukan oleh hukum internasional. Artinya, bersedia atau tidak bersedianya suatu negara memberikan pengakuan terhadap suatu peristiwa atau fakta baru tertentu sepenuhnya berada di tangan negara itu sendiri. Dengan kata lain, apakah suatu negara akan memberikan pengakuannya atau tidak, hal itu sepenuhnya merupakan pertimbangan subjektif negara yang bersangkutan. Persoalan lain yang timbul adalah bahwa dikarenakan tidak adanya ukuran obejktif untuk pemberian pengakuan itu maka secara akademik menjadi pertanyaan apakah pengakuan itu merupakan bagian dari atau bidang kajian hukum internasional ataukah bidang kajian dari politik internasional. Secara keilmuan, pertanyaan ini sulit dijawab karena 30 praktiknya pengakuan itu lebih sering diberikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan subjektif yang bersifat politis daripada hukum. Oleh sebab itulah, banyak pihak yang memandang pengakuan itu sebagai bagian dari politik internasional, bukan hukum internasional. Namun, dikarenakan pengakuan itu membawa implikasi terhadap masalah-masalah hukum internasional, hukum nasional, bahkan juga putusan-putusan badan peradilan internasional maupun nasional, bagian terbesar ahli hukum internasional menjadikan pengakuan sebagai bagian dari pembahasan hukum internasional, khususnya dalam kaitanya dengan substansi pembahasan tentang negara sebagai subjek hukum internasional. Yang baru saja kita bicarakan adalah pengakuan terhadap suatu negara. Dalam praktik hubungan internasional hingga saat ini, pengakuan ternyata bukan hanya diberikan terhadap suatu negara. Ada berbagai macam bentuk pemberian pengakuan, yakni (termasuk pengakuan terhadap suatu negara): 1. Pengakuan negara baru. Jelas, pengakuan ini diberikan kepada suatu negara (entah berupa pengakuan de facto maupun de jure). 2. Pengakuan pemerintah baru. Dalam hal ini dipisahkan antara pengakuan terhadap negara dan pengakuan terhadap pemerintahnya 31 (yang berkuasa). Hal ini biasanya terjadi jika corak pemerintahan yang lama dan yang baru sangaat kontras perbedaannya. 3. Pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan kepada sekelompok pemberontak yang sedang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahnya sendiri di suatu negara. Dengan memberikan pengakuan ini, bukan berarti negara yang mengakui itu berpihak kepada pemberontak. Dasar pemikiran pemberian pengakuan ini semata-mata adalah pertimbangan kemanusiaan. Sebagaimana diketahui, pemberontak lazimnya melakukan pemberontakan karena memperjuangkan suatu keyakinan politik tertentu yang berbeda dengan keyakinan politik pemerintah yang sedang berkuasa. Oleh karena itu, mereka sebenarnya bukanlah penjahat biasa. Dan itulah maksud pemberian pengakuan ini, yaitu agar pemberontak tidak diperlakukan sama dengan kriminal biasa. Namun, pengakuan ini sama sekali tidak menghalangi penguasa (pemerintah) yang sah untuk menumpas pemberontakan itu. 4. Pengakuan beligerensi. Pengakuan ini mirip dengan pengakuan sebagai pemberontak. Namun, sifat pengakuan ini lebih kuat daripada pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan bilamana pemberontak itu telah demikian kuatnya sehingga seolah-olah ada dua pemerintahan yang sedang bertarung. Konsekuensi dari pemberian pengakuan ini, antara lain, beligeren dapat memasuki pelabuhan negara yang mengakui, dapat mengadakan pinjaman, dll. 32 5. Pengakuan sebagai bangsa. Pengakuan ini diberikan kepada suatu bangsa yang sedang berada dalam tahap membentuk negara. Mereka dapat diakui sebagai subjek hukum internasional. Konsekuensi hukumnya sama dengan konsekuensi hukum pengakuan beligerensi. 6. Pengakuan hak-hak teritorial dan situasi internasional baru (sesungguhnya isinya adalah “tidak mengakui hak-hak dan situasi internasional baru”). Bentuk pengakuan ini bermula dari peristiwa penyerbuan Jepang ke Cina. Peristiwanya terjadi pada tahun 1931 di mana Jepang menyerbu Manchuria, salah satu provinsi Cina, dan mendirikan negara boneka di sana (Manchukuo). Padahal Jepang adalah salah satu negara penandatangan Perjanjian Perdamaian Paris 1928 (juga dikenal sebagai Kellogg-Briand Pact atau Paris Pact), sebuah perjanjian pengakhiran perang. Dalam perjanjian itu terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa negara-negara penanda tangan sepakat untuk menolak penggunaan perang sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Dengan demikian maka penyerbuan Jepang itu jelas bertentangan dengan perjanjian yang ikut ditandatanganinya. Oleh karena itulah, penyerbuan Jepang ke Manchuria itu diprotes keras oleh Amerika Serikat melalui menteri luar negerinya, Stimson, yang menyatakan bahwa Amerika Serikat “tidak mengakui hak-hak teritorial dan situasi internasional baru” yang ditimbulkan oleh penyerbuan itu. Inilah sebabnya pengakuan ini juga dikenal sebagai Stimson’s Doctrine of Non-Recognition. 33 Pengakuan juga dikatakan rumit, karena pada kenyataannya tidak ada ketentuan yang pasti dalam hukum internasional yang mengatur masalah ini, terlebih lagi besarnya pengaruh faktor politik dalam hal pengakuan. Starke memberikan rumusan pengakuan (“recognition”) secara lengkap sebagai berikut:23 “The free act by which one or more States acknowledge the existence on a definite territory of a human society politically organized, independent of any other existing State, and capable of observing the obligations of international law, and by which they manifest their intention to consider it a member of the international community.” Berdasarkan rumusan di atas, maka pengakuan pada intinya merupakan tindakan yang bersifat bebas dari negara untuk mengakui eksistensi negara lain.Starke menunjukkan pula, bahwa teori declaration mendapat dukungan dari asas-asas yang berlaku dalam masalah pengakuan, yaitu : a. Jika timbul persoalan dalam badan pengadilan negara-negara baru mengenai lahirnya negara itu, tidak penting untuk memperhatikan bilamana mulai berlakunya perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain yang memberikan pengakuan itu jika semua unsur kenegaraan secara nyata telah dipenuhi, maka saat itulah yang menentukan lahirnya negara tersebut. b. Pengakuan terhadap suatu negara mempunyai akibat 23 ANALISIS DECLARATION http://tauhukums.blogspot.com/2013/03/analisis-declaration-ofindependence-in.html diakses tanggal 27 juni 2014 34 surat(retroaktif) sampai saat lahirnya negara itu secara nyata sebagai negara merdeka. Asas ini juga berlaku terhadap perkara-perkara di pengadilan yang dimulai sebelum tanggal diberikannya pengakuan itu. Jika diteliti praktek yang berlaku mengenai persoalan pengakuan ini, terdapat kenyataan bahwa hanya negara-negara yang menentang lahirnya suatu negara yang membuat pernyataan, sedangkan pada umumnya pengakuan yang diberikan pada suatu negara yang baru lahir hanya bersifat implisit, yaitu tampak adanya pengakuan dalam bentuk pernyataan-pernyataan, kecuali negara yang baru lahir tersebut membuat arti dan hubungan yang khusus dengan negara-negara tertentu. Tidak banyak negara lahir di tahun 1960an dan 1970-an, terutama negara kecil di kawasan Afrika, Pasifik dan Karibia, tanpa disambut berbagai pernyataan pengakuan tetapi itu bukan berarti bahwa kelahirannya ditolak oleh masyarakat internasional.Tetapi ada beberapa pengecualian dimana kelahiran suatu negara ditentang oleh masyarakat internasional dengan merujuk pada sikap PBB. 35 C. Masalah Pengakuan (“Recognition”) dalam Hukum Internasional Di tingkat internasional adalah sudah lazim apabila suatu negara yang terlebih dahulu eksis memberikan pengakuan atas keberadaan negara atau pemerintahan yang lebih muda usianya. Sebagai contoh, pada masa dekolonisasi, negara-negara yang menjadi korban kolonisasi sangat gencar mencari pengakuan akan eksistensinya sebagai sebuah negara yang tidak kalah berdaulatnya daripada negara-negara ekskoloninya. Namun, dalam praktek, pengakuan lebih banyak diberikan karena kalkulasi yang bersifat politis daripada hukum.24 Pada umumnya, para penulis berpendapat bahwa masalah pengakuan merupakan masalah yang paling rumit di dalam hukum internasional.Mengenai hal ini, Akehurst berpendapat bahwa pengakuan merupakan salah satu topik yang paling sulit dalam hukum internasional karena merupakan percampuran dari politik, hukum internasional dan hukum nasional. Hal itu dinyatakan sebagai berikut: “Recognition is one of the most difficult topics in internatinonal law. It is a confusing mixture of politics, international and municipal law.”25 Pengakuan juga dikatakan rumit, karena pada kenyataannya tidak ada ketentuan yang pasti dalam hukum internasional yang mengatur masalah ini, terlebih lagi besarnya pengaruh faktor politik dalam hal 24Jahawir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006, hlm. 131. 25Michael Akehurst, A Modern Introduction to International Law, London: George Allen dan Unwin, 1982, hlm. 57. 36 pengakuan.Starke memberikan rumusan pengakuan (“recognition”) secara lengkap sebagai berikut:26 “The free act by which one or more States acknowledge the existence on a definite territory of a human society politically organized, independent of any other existing State, and capable of observing the obligations of international law, and by which they manifest their intention to consider it a member of the international community.” Berdasarkan rumusan di atas, maka pengakuan pada intinya merupakan tindakan yang bersifat bebas dari negara untuk mengakui eksistensi negara lain.Sementara itu, semakin berkembangnya hubungan interaksi manusia telah melahirkan perkembangan baru dibidang hubungan internasional.Negara yang telah ada menggabungkan diri mereka melalui penggolongan klasifikasi tertentu dalam wadah suatu organisasi internasional. Dalam penggolongan organisasi kesamaan internasional yang dikenal mendasarinya beberapa seperti macam organisasi internasional publik yang didasarkan hubungan negara yang disebut organisasi internasional publik, organisasi internasional privat maupun universal.Ada juga organisasi internasional yang berdasarkan prinsip regional dan sub-regional 27 26J.G. 27 Starke, Introduction to International Law, London: Butterworth, 1989, hlm. 151 Sumaryo. Suryokusumo. Organisasi Internasional. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press) 1987. Hal. 37 37 Pada kenyataannya sekarang, organisasi internasional telah diakui sebagai subjek hukum internasional yang setara dengan subjek hukum internasional yang lainnya di mata hukum internasional.Yang dimaksud dengan subjek hukum internasional adalah semua yang menurut ketentuan hukum diakui mempunyai kemampuan untuk bertindak.Hukum internasional mengenal subjek seperti negara, organisasi internasional dan kesatuan-kesatuan lainnya.Karena itu kemampuan untuk bertindak pada hakekatnya merupakan personalitas dari subjek hukum internasional tersebut. Tiap organisasi internasional memiliki personalitas hukum sendiri dalam hukum internasional.Hal tersebut menyangkut hak dan kewajiban organisasi internasional di mata hukum internasional.Dengan demikian subjek hukum yang ada dibawah sistem hukum internasional merupakan personalitas hukum yang mampu melaksanakan hak dan kewajiban tersebut 28 Pengakuan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional sudah banyak diterima oleh wewenang hukum di dunia antara lain oleh International Court of Justice yang biasa dikenal di Indonesia dengan istilah Mahkamah Internasional. International Court of Justice yang di pelopori oleh kasus Reparation for Injuries Suffered in the 28 Sumaryo. Suryokusumo. Organisasi Internasional.Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press) 1987. Hal. 45 38 Service of the United Nations Case (ICJ Reports, 1949 : 178-179) . Dalam kasus ini International Court of Justice telah menyatakan bahwa United Nations (Perserikatan Bangsa Bangsa) merupakan subjek internasional dan mampu untuk melaksanakan hak dan kewajiban internasional dan karena itu badan tersebut mempunyai kapasitas untuk mempertahankan haknya dalam rangka mengajukan tuntutan internasional 29 Dalam hal hubungannya dengan negara, organisasi internasional dapat memberikan juga perwakilan sebagai representasinya di sebuah negara.Hubungan itu ditandai dengan adanya perjanjian antara organisasi internasional yang bersangkutan dengan sebuah negara.Perwakilan tersebut dapat juga dikategorikan perwakilan diplomatik oleh hukum internasional dengan ketentuan tertentu yang diatur dengan perjanjian terlebih dahulu. Menurut catatan sejarah, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berdiri pada tanggal 24 Oktober 1945 dengan dipelopori oleh lima negara, yaitu: Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, dan Republik Rakyat Cina. Sejarah Berdirinya PBB dilatarbelakangi oleh sebuah citacita untuk menciptakan perdamaian diantara negara-negara di dunia setelah sebelumnya mengalami dua peperangan besar.Perang dunia I yang berlangsung antara tahun 1914 -1918, dan perang dunia II yang terjadi antara tahun 1939-1945. 29 Ibid. Hal. 46 39 Masalah perwakilan Cina di PBB adalah masalah antara dua pemerintahan di Cina yang sama-sama menginginkan pengakuan politik di PBB Pada mulanya masalah ini berakar dari masalah dalam negeri Cina yaitu adanya revolusi yang dilakukan oleh Partai Komunis Cina untuk menggulingkan rezim Nasionalis. Rezim Nasionalis ini kemudian terusir ke pulau Taiwan.Masalah ini kemudian berkembang menjadimasalah internasional akibat campur tangan Amerika Serikat dan Uni Soviet.Isu yang kemudian munculadalah ada dua pemerintahan di Cina yang samasama merasa berhak menempatkan wakilnya di PBB. Pada awalnya wakil Cina di PBB adalah pihak nasionalis dukungan Amerika Serikat.Namun kemudian, denganadanya perluasan keanggotaan PBB dengan masuknya negara-negara Asia-Afrika yang baru merdekamenjadi anggota PBB, dukungan terhadap pihak komunis, dalam hal ini RRC, mulai mengalir.Perubahanyang drastis justru datang dari sikap Amerika Serikat yang semula menentang keanggotaan RRC, menjadibersikap netral. Indikasi ini disambut oleh negara-negara sekutu Amerika Serikat sebagai upaya pendekatanAmerika Serikat dengan RRC. Hal ini mencapai puncaknya dengan diputuskannya RRC sebagai wakil sahCina di forum internasional PBB pad a tanggal 25 Oktober 1971. Dewan Keamanan ditugaskan untuk menjaga perdamaian dan keamanan antar negara.Jika organ-organ lain dari PBB hanya bisa membuat 'rekomendasi' untuk pemerintah negara anggota, Dewan Keamanan memiliki kekuatan untuk membuat keputusan yang mengikat 40 bahwa pemerintah negara anggota telah sepakat untuk melaksanakan, menurut ketentuan Piagam Pasal 25.30Keputusan Dewan dikenal sebagai Resolusi Dewan Keamanan PBB. D. Konsep National Interest / Kepentingan Nasional Kepentingan nasional (national interest) adalah konsep yang paling populer dalam analisa hubungan internasional, baik untuk mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, maupun menganjurkan perilaku internasional. Teori Kepentingan Nasional (National Interest), dalam teori ini menjelasakan bahwa untuk kelangsungan hidup suatu Negara maka negara harus memenuhi kebutuhan negaranya dengan kata lain yaitu mencapai kepentingan nasionalnya. Dengan tercapainya kepentingan nasional maka negara akan berjalan dengan stabil, baik dari segi politik, ekonomi, sosial, maupun pertahanan keamanan dengan kata lain jika kepentingan nasional terpenuhi maka negara akan tetapsurvive. Kepentingan nasional merupakan tujuan mendasar dan faktor paling menentukan yang memadu para pembuat keputusan dalam merumuskan politik luar negeri .31 30 ^ "UN Charter: Chapter V: The Security Council, Article 25 (Inggris)". Diakses 24 April 2011. (melalui Wikipedia) 31Wibowo, P. Y. (2013, January 8). Indonesia Cerdas. Retrieved may 19, 2013, from Kepentingan Nasional: http://priska.p.ht/2013/01/kepentingan-nasional/ 41 Dalam menganalisa motif politis di balik Kebijakan One China Policy maupun Kebijakan Double Standard Amerika Serikat dalam interaksinya dengan Cina maupun Taiwan ini, teori yang paling relevan untuk menjelaskan kasus ini adalah teori yang diciptakan oleh Hans J. Morgenthau. Hans J. Morgenthau, kepentingan nasional (national interest) merupakan pilar utama bagi teorinya tentang politik luar negeri dan politik internasional yang realis. Pendekatan morgenthau ini begitu terkenal sehingga telah menjadi suatu paradigma dominan dalam studi politik internasional sesudah Perang Dunia II. Pemikiran Morgenthau didasarkan pada premis bahwa strategi diplomasi harus didasarkan pada kepentingan nasional, bukan pada alasan-alasan moral, legal dan ideologi yang dianggapnya utopis dan bahkan berbahaya.Ia menyatakan kepentingan nasional setiap negara adalah mengejar kekuasaan, yaitu apa saja yang bisa membentuk dan mempertahankan pengendalian suatu negara atas negara lain. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini bisa diciptakan melalui teknik-teknik paksaan maupun kerja sama.Demikianlan Morgenthau membangun konsep abstrak yang artinya tidak mudah di definisikan, yaitu kekuasaan (power) dan kepentingan (interest), yang dianggapnya sebagai sarana dan sekaligus tujuan dari tindakan politik internasional. Para pengkritiknya,terutama ilmuan dari aliran saintifik, menuntut definisi operasional yang jelas yentang konsep-konsep dasar itu. Tetapi 42 Morgenthau tetap bertahan pada pendapatnya bahwa konsep-konsep abstrak seperti kekuasaan dan kepentingan itu tidak dapat dan tidak boleh dikuantifikasikan. Menurut Morgenthau:32 ”Kepentingan nasional adalah kemampuan minimum negara untuk melindungi, dan mempertahankan identitas fisik, politik, dan kultur dari gangguan negara lain. Dari tinjauan ini para pemimpin negara menurunkan kebijakan spesifik terhadap negara lain yang sifatnya kerjasama atau konflik” Tentang kaitan antara “kepentingan nasional” dengan “kepentingan regional.”Sekali lagi Morgenthau menyatakan bahwa kepentingan nasional mendahului kepentingan regional.Bagi teoritisi ini, aliansi yang bermanfaat harus dilandasi oleh keuntungan dan keamanan timbal balik negaranegara yang ikut serta, bukan pada ikatan-ikatan ideologis atau moral. Suatu aliansi regional yang tidak betul-betul memenuhi kepentingan negara yang ikut serta, tidak mungkin bertahan atau tidak akan efektif dalam jangka panjang.Kepentingan nasional sering dijadikan tolok ukur atau kriteria pokok bagi para pengambil keputusan (decision makers) masing-masing negara sebelum merumuskan dan menetapkan sikap atau tindakan. Bahkan setiap langkah kebijakan luar negeri (Foreign Policy) perlu dilandaskan kepada kepentingan nasional dan diarahkan untuk mencapai serta melindungi apa yang dikategorikan atau ditetapkan sebagai ”Kepentingan Nasional” 33 32 Morgenthau, H. J. (1951). In Defense of the National Interest: A Critical Examination of American Foreign Policy. New York: University Press of America. 33Rudy, T. (2002). Study Strategis dalam transformasi sistem Internasional Pasca Perang dingin. Bandung: Refika Aditama. Hal 16 43 Teori ini memberikan gambaran bahwa dalam interaksi di level internasional, setiap negara bertendensi untuk berjuang memperoleh dan memperluas kekuasaan (struggle for power) demi meraih national interestnya masing-masing, tanpa mempertimbangkan kriteria moralistik maupun legalistik. National Interest adalah kepentingan suatu negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, seperti keamanan.Interests sering negara, kemakmuran kebebasan, kali ekonomi, kemerdekaan, dihubungankan dan ataupun dengan pertahanan kekuasaan politik.34National interests tidak jauh dengan hal kemiliteran, jadi sangat penting bagi suatu negara untuk dapat menguasai militer demi mendapatkan kepentingan nasionalnya ataupun mempertahankan negaranya dari serangan negara lain. Menurut Carl von Clausewitz, semua sikap negara di dunia internasional ini termotivasi dalam kebutuhannya untuk survive dan mensejahterakan negaranya. Untuk menjaga interests-nya tersebut, negara secara rasional harus memutuskan untuk pergi ke medan perang. Tak ada alasan lagi untuk tidak pergi ke medan perang 34John W. Mountcastle dalam Michael G. Roskin. 1994. National Interest: From Abstraction To Strategy 44 demikepentingannya tersebut.35Donald Neuchterlin juga turut menjelaskan bahwa terdapat 4 macam national interest berdasarkan relative intensity.36 Basic Interest at Stake merupakan kepentingan suatu negara, yaitu : mempertahankan negara, kemakmuran ekonomi, kekuasaan, serta mempromosikan hal-hal yang dimiliki. Keempat kepentingan nasional tersebut kemudian dianalisis dengan Intensity of Interest, yaitu‘Survival’ (keamanan negara agar dapat bertahan dari ancaman negara lain), ‘Vital’ interest (bahaya serius akan terjadi kecuali mereka menggunakan kekuatannya, seperti tentara),‘Major’ interest (hampir sama dengan vital interest, namun tidak menggunakan kekuatan militer dalam mempertahankan negaranya), dan ‘Peripheral’ interest (berdampak terhadap semua kepentingan negara, tetapi tidak mengancam negara secara keseluruhan).37 Korelasi national interest ini dengan relasi segitiga antara Amerika, Cina, dan Taiwan terlihat pada komitmen masing-masing negara tersebut untuk meraih national interest masing-masing tanpa terhambat oleh klausul dalam kesepakatan yang telah mereka ratifikasi. Sebagai data otentiknya: jika mengacu pada konsensus tahun 1992, Taiwan seharusnya mengakui eksistensinya sebagai bagian dari teritori RRC, 35Carl von Clausewitz dalam Michael G. Roskin. 1994. National Interest: From Abstraction To Strategy. hal. 2 36Donald Neuchterlin dalam Stephen D. Sklenka. 2007 Strategy, National Interests, And Means To An End. hal. 4 37 ibid 45 namun Taiwan bersikeras untuk meraih independensi penuh untuk menjadi negara yang berdaulat. Demikian juga halnya posisi Amerika Serikat, seharusnya setelah meratifikasi Joint Communiqué pada 1 Januari 1979 yang mengindikasikan kesediaan Amerika untuk mengakui hanya ada satu Cina sebagai negara yang berdaulat, dan Taiwan merupakan bagian yang tidak teralienasi dari teritori Cina maka seharusnya Amerika mematuhi klausul itu. Namun faktanya malah karena terbentur dengan kepentingan nasionalnya sendiri, Amerika memutuskan untuk mengenyampingkan kesepakatannya dengan Cina melalui aksi meratifikasi Taiwan Relations Act pada tahun yang sama. Taiwan Relation Act inilah yang akhirnya memungkinkan Amerika Serikat untuk meraih profit dengan menjadi pasar utama yang menjamin suplai persenjataan bagi Taiwan.Hal ini menunjukkan bahwa dalam berinteraksi di percaturan internasional, setiap negara cenderung melakukan apapun demi meraih kepentingan nasionalnya, apapun bentuk strategi dan taktik dilegitimasi – demi meraih kepentingan masing-masing tanpa menghiraukan poin-poin normatif ataupun aspek legalitas. 1. Kerja Sama Internasional Dalam kerjasama antar negara masalah bukan hanya terletak pada identifikasi sasaran-sasaran bersama dan metode untuk mencapainya, tetapi terletak pada pencapaian sasaran itu. Kerja sama akan di usahakan 46 apabila manfaat yang di peroleh di perkirakan akan lebih besar daripada konsekuensi-konsekuensi yang harus di tanggungnya. Oleh sebab itu keberhasilan kerja sama dapat di ukur dari perbandingan besarnya manfaat yang di capai terhadap konsekuensi yang di tanggung. Di samping itu keberhasilan kerja sama di tentukan oleh sifat dari tujuan kerja sama yang hendak di capai.Dalam suatu kerja sama internasional, Dr.budiono mengelompokannya dalam empat bentuk:38 a). Kerja sama fungsional, Kerja sama fungsional permasalahan maupun metode kerja samanya menjadi semakin kompleks di sebabkan oleh semakin banyaknya lembaga kerja sama yang ada. Walaupun terdapat kompleksitas permasalahan dalam kerja sama fungsional baik itu di bidang ekonomi maupun sosial, untuk pemecahannya di perlukan kesepakatan dan keputusan politik. Dengan kata lain, kerja sama fungsional tidak dapat di lepaskan dari power. b). Kerja Sama Global, Sejarah kerja sama global dapat di telisuri kembali dari terbentuknya kerjasama Westphalia (1648) dan merupakan akar dari kerja sama global. Selanjutnya terciptanya suatu bentuk kerja sama global di dorong dari pengalaman pahit Negara-negara yang mengalami dampak akibat pecahnya PD 1 dan PD 2, dan kemudian pada tanggal 26 juni 1945 sebuah perjanjian yang bernama perjanjian 38 Kusumohamidjojo Budiono, Hubungan Internasional Kerangka Studi Analitis, Jakarta: Bina Cipta, 1987, Hal. 42 47 sanfransisco yang merupakan titik tolok dari berdirinya perserikatan bangsa-bangsa (PBB) yang merupakan forum kerja sama global. c). Kerja sama regional merupakan kerja sama antar negara yang secara geografis letaknya berdekatan. Adapun yang menentukan dalam kerja sama regional selain kedekatan geografis, kesamaan pandangan di bidang politik dan kebudayaan maupun perbedaan struktur produktifitas ekonomi ikut juga menentukan pula apakah kerja sama tersebut dapat di wujudkan. d). Kerja Sama Ideologi Dalam suatu bentuk kerja sama ideologi suatu batas-batas territorial tidaklah relevan. Kerja sama ideologi lebih banyak di pakai oleh kelompok kepentingan yang ingin berusaha mencapai tujuannya dengan memanfaatkan berbagai kemungkinan yang terbuka di forum global. 2. Segitiga Strategic Triangle strategis merupakan salah satu konsep yang menggambarkan kondisi sistem internasional yang terbagi-bagi oleh tiga kekuatan utama yang berkuasa.Konsep ini muncul ketika Perang Dingin dimulai dan sistem internasional seakan dikuasai oleh dua negara adikuasa yang saling bersaing secara ideologis, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Cina muncul dan menyatakan diri sebagai negara perwakilan dari dunia ketiga yang akan melengkapi segitiga strategis tersebut. Hubungan di antara ketiga aktor ini sangat variatif, dengan kata lain baik 48 kerjasama, konflik, maupun kompetisi terjadi di antara mereka. Seperti yang kita lihat, tidak ada hubungan yang terlalu erat antar aktor, bahkan bisa dikatakan bahwa ketiganya memiliki hubungan yang saling bersaing, apabila ada kerjasama 39maka hal itu pun demi keuntungannya masing- masing. Terkait masalah penelitian penulis mengambarkannya sebagai relasi segitiga antara AS, Cina, Taiwan ini dapat disebut sebagai Segitiga Strategis, yaitu: 1. AS X Cina 2. AS X Taiwan 3. Cina X Taiwan Relasi ini tidaklah dibangun karena adanya kedekatan psikologis ataupun emosional antar aktor, melainkan karena adanya kepentingan yang terkait di antara para aktor, bahkan juga rivalitas. 3. Security Dillema Security dilemma adalah sebuah konsep yang menjelaskan tentang kondisi dimana suatu negara meningkatkan kapasitas keamanan nasionalnya dengan menambah kapabilitas militer, dimana aksi yang dilakukan oleh negara ini dianggap ancaman oleh negara lain. Hal ini kemudian mengakibatkan negara lain itu juga meningkatkan kapabilitas militernya. Kondisi ini akhirnya mengakibatkan penurunan tingkat keamanan itu sendiri. 39http://diplomacy945.blogspot.com/2010/06/relasi-segitiga-antara-amerika-serikat.html diakses tanggal 27 juni 2014 49 Security dilemma pada dasarnya merupakan refleksi dari kesulitan pemerintah suatu negara untuk menentukan pilihan kebijakan keamanan. Jika suatu negara mengurangi usaha – usaha memperkuat keamanan dengan tujuan untuk membangun hubungan yang damai dengan negara lain, negara itu justru menjadi rawan diserang oleh negara lain. Namun jika negara itu meningkatkan kapasitas keamanan, justru akan mengundang prasangka negatif dan kecurigaan dari negara lain, sehingga keadaan ini bisa memicu terjadinya perlombaan senjata. Security dilemma seringkali muncul karena adanya tanda ambigu yang umum muncul dari perencanaan militer. Security dilemma atau Spiral model adalah terminologi dalam ilmu Hubungan Internasional yang diperkenalkan oleh John H. Herz melalui bukunya Political Realism and Political Idealism tahun 1951.John Herz yang menciptakan istilah Security Dilemma dan menguraikan sebagai berikut: "Kelompok dan individu yang hidup bersama satu sama lain tanpa diatur dalam sebuah kesatuan yang lebih tinggi harus mengkhawatirkan keamanan mereka dari diserang, menjadi sasaran, didominasi, atau dimusnahkan oleh individu atau kelompok lain"40 Terminologi ini mengacu pada situasi di mana ketika suatu negara melakukan upaya untuk memperkuat pertahanan dan keamanannya dengan cara mempercangggih kapabilitas militeristik atau bahkan 40 The Security Dilemma: A Conceptual Analysis http://prezi.com/tpefagshiycs/the-securitydilemma-a-conceptual-analysis/ diakses tanggal 27 juni 2014 50 membangun aliansi, maka akan menstimulasi negara lain untuk melakukan hal yang sama, karena merasa terancam. Krisis Cina-Taiwan ini juga melibatkan konsep ini.Hal ini terbukti dalam kasus kebijakan Taiwan untuk membeli persenjataan dari AS, bahkan hingga mengalokasikan anggaran tahunan besar untuk memperkuat militer-nya.Sebenarnya hal ini bukanlah disebabkan oleh keinginan Taiwan untuk mempersiapkan aksi separatisme semata.Melainkan juga karena didororong oleh kekhawatiran terhadap Cina.Cina kini semakin mempercanggih kapabilitas militeristiknya, bahkan beberapa senjata nuklir, seperti ballistic missiles sudah diarahkan ke teritori Taiwan. Sehingga hal ini memaksa Taiwan untuk selalu waspada dan mempersiapkan kekuatan militernya sebagai upaya preventif apabila Cina menyerangnya. 4. Variabel Sistemile Adanya hubungan dalam suatu sistem antara unit satu terhadap yang lain maka muncullah variabel sistemik. Disini perhatian diarahkan kepada variabel eksternal yang berpengaruh terhadap keputusankeputusan politik luar negeri dari negara-negara yang kita amati atau analisis. Kita melihat bahwa politik luar negeri dari sistem yang dipengaruhi oleh system balance of power akan berbeda dari politik luar negeri dari negara-negara yang dipengaruhi oleh sistem bipolar perang dingin. Dengan kata lain bahwa system balance of power akan 51 memberikan dampak yang berbeda daripada sistem bipolar perang dingin dalam sistem internasional terhadap politik luar negeri suatu negara. Variabel sistemile bertalian erat dengan kebijaksanaan- kebijaksanaan maupun tindakan negara lain di mana kebijaksanaan maupun tindakan tersebut dapat merangsang politik luar negeri negara lain. Para penstudi hubungan internasional beraliran tradisional beranggapan bahwa politik luar negeri merupakan sekumpulan respons terhadap tantangan dan kesempatan eksternal. Politik luar negeri tidak bias dipisahkan dari tujuan negara. Adapun tujuan tersebut adalah untuk mempertahankan apa yang sudah dimiliki atau untuk mencapai serta memaksimalkan kesempatan-kesempatan dalam batas-batas prudensi guna memperoleh yang baru dan yang berkaitan dengan apa yang sudah dicapai. Respon yang diberikan oleh suatu negara terhadap tantangan maupun kesempatan yang terbuka tidak akan lepas dari tujuan negara. 41 Untuk menganalisis variabel yang mempengaruhi sikap ambigu Amerika dalam relasi segitiganya dengan Cina dan Taiwan ini, maka variabel yang paling relevan adalah Variabel Sistemile yang diadopsi dari pemikiran James N. Rosenau dan disempurnakan oleh Holsti yang menyebutkan bahwa kebijakan suatu negara juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang merujuk pada situasi politik internasional. 41 Suprapto, Hubungan Internasional : Sistem, Interaksi, Dan Perilaku, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997, Hal. 189 52 Korelasi teori ini dengan sikap Amerika adalah bahwa sikap ambigu Amerika Serikat ini juga mutlak dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu konstelasi politik multipolar saat ini yang diwarnai dengan klasterisasi kekuatan akibat regionalisme, serta rivalitas antar negara-negara sejagad raya khususnya antara negara-negara besar yang memliki kapabilitas dan potensi yang kompetitif. Sehingga semasa rezim Jimmy Carter, hingga Obama, sikap ambigu Amerika Serikat ini tetap dilestarikan, bahkan pada rezim George W. Bush, Amerika menunjukkan komitmennya untuk melindungi Taiwan. Hal ini terjadi bukan hanya karena Amerika memiliki komitmen untuk meraih keuntungan ekonomis lewat perdagangan senjata dengan Taiwan, namun juga karena dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu ancaman kebangkitan kekuatan Cina.Cina kini dikenal sebagai pusat gravitasi ekonomi di Asia, apalagi kini Cina sangat berambisi untuk memperkuat posisinya di peta Asia dengan membangun koalisi regional yang semakin massif dan ekspansif. Otomatis apabila hal ini terus dibiarkan, maka hegemoni Amerika di Asia akan dirampas oleh Cina. Sehingga Amerika sengaja memanfaatkan konflik Cina dengan Taiwan ini sebagai senjata strategis untuk melawan Cina. 53 BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan cara untuk memperoleh data yang akurat, lengkap, serta dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah sehingga tujuan penelitian dapat dicapai. Metode penelitian, di dalam penelitian, merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang proses penyelesaian suatu permasalahan yang akan dibahas sehingga akan diperoleh hasil yang bersifat ilmiah dan mempunyai nilai validitas yang tinggi serta mempunyai tingkat rehabilitas (mantap dan dapat dipercaya) yang besar. Seorang peneliti di dalam melakukan penelitian biasanya menggunakan metode tertentu. Karena tanpa adanya suatu metode, peneliti tidak akan menemukan, merumuskan, menganalisis serta memahami permasalahan yang dihadapinya. A. Tipe Penelitian Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif, maka metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis-normatif. Untuk pengkayaan kajian dilengkapi dengan pendekatan historis, komparatif, bahkan pendekatan yang komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya seperti ilmu politik dan ilmu ekonomi yang digunakan secara integratif.Tipe penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yakni mengkonsepkan hukum sebagai norma, kaidah, asas, atau dogma-dogma, dengan 54 menggunakan pendekatan literatur42yang dijelaskan secara deskriptif berdasarkan permasalahan dengan berbagai aturan-aturan hukum dan literatur, serta mencari suatu opini hukum tentang masalah yang menjadi objek permasalahanPenelitian ini adalah deskriptif analisis yaitu penelitian diarahkan untuk menggambarkan fakta dengan argument yang tepat. Penelitian dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. B. Sumber Data Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan menggunakan studikepustakaan, bahan hukum yang diperoleh adalah: a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengakuan Negara b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu berupa buku-buku, hasil penelitian, karya ilmiah dari kalanga hukum dan sebagainya. c. Bahan Hukum Tersier atau Bahan Hukum Penunjang, yakni bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain. 42 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2005) Hal. 96 55 C. Teknik Analisa Data Bahan Hukum yang telah diperoleh kemudian dan diklarifikasi, untuk mempemudah proses analisa, analisa bahan hukum yang diperoleh menggunakan teknik kualitatif43 dimana peneliti mencari, memilih, menghimpun aturan-aturan hukum atau prinsip-prinsip hukum dan datadata yang diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif. Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. 44 Metode analisis data yang dipergunakan adalah analisis data kualitatif, yaitu proses penyusunan, mengkatagorikan data kualitatif, mencari pola atau tema dengan maksud memahami maknanya. Pada penyusunan karya tulis ilmiah ini, data terutama diperoleh dari bahan pustaka dimana pengolahan, analisis dan konstruksi datanya dilaksanakan dengan cara penelitian yang menggunakan metode kualitatif yang merupakan suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif serta komparatif. 43Hamidi. Metode Penelitian Kualitatif.Hal. 8 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991), hal.103. 44 56 BAB IV PEMBAHASAN Pembahasan mengenai pengakuan internasional ini semoga ada manfaatnya, oleh karena tetap merupakan suatu masalah aktual yang menyangkut berbagai bidang hubungan antar negara. Masyarakat internasional merupakan masyarakat yang dinamis berubah dari waktu ke waktu ada negara yang dikuasai negara lain dan ada pula negara baru yang lahir.45 Demikian pula pemerintah lama terguling, pemerintah baru lahir.Lahirnya negara/ pemerintah tersebut ada yang melalui cara-cara damai, ada pula yang melalui cara-cara kekerasan.Perubahan-perubahan ini menyebabkan anggota masyarakat internasional lainnya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu mau menyetujui atau menolaknya. Tanpa mendapatkan pengakuan ini negara tersebut akan mengalami kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan negara lainnya. Negara yang belum mendapatkan pengakuan dapat memberi kesan dalam negara lain bahwa negara tersebut tidak mampu menjalankan kewajiban-kewajiban internasional. Oppenheim mengatakan bahwa pengakuan merupakan suatu pernyataan kemampuan suatu negara baru.46Nampaklah bahwa negaranegara dalam memberikan pengakuan ini semata-mata hanya didasarkan 45http://andamemangluarbiasa.blogspot.com/2013/03/pengakuan-dalam-hukum-internasional- di.html diakses 27 juni 2014 46Sumber : http://fisipunsil.blogspot.com/2010/04/unsur-terbentuknya-negara.html 57 pada alasan-alasan politis, bukan alasan hukum. Dari praktek negaranegara tidak ada keseragaman dan tidak menunjukkan adanya aturanaturan hukum dalam masalah pengakuan ini.Namun dengan diakuinya suatu negara/pemerintah baru, konsekuensi yang ditimbulkannya dapat berupa konsekuensi politis tertentu dan konsekuensi yuridis antara negara yang diakui dengan Negara yang mengakui. Konsekuensi politis misalnya, antara kedua negara dapat dengan leluasa mengadakan hubungan diplomatik, sedangkan konsekuensi yuridis misalnya berupa: Pertama, pengakuan tersebut merupakan pembuktian atas keadaan yang sebenarnya, Kedua, pengakuan menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu dalam mengembalikan tingkat hubungan diplomatik antara negara yang mengakui dan yang diakui; Ketiga, pengakuan memperkokoh status hukum negara yang diakui dihadapan pengadilan negara yang mengakui. Selain alasan politis pemberian pengakuan suatu Negara kepada negara lain terlebih dahulu harus ada keyakinan bahwa negara baru tersebut telah memenuhi unsur-unsur minimum suatu negara menurut hukum internasional dan pemerintah baru tersebut menguasai dan mampu memimpin wilayahnya.47Adapun unsur-unsur lain dari pemberian pengakuan yaitu: Pertama, pemerintah dalam negara baru tersebut harus mendapatkan kekuasaannya melalui cara-cara konsitutisional, kedua, 47http://www.negarahukum.com/hukum/pengakuan-dalam-hukum-internasional.html diakes 27 juni 2014 58 negara tersebut harus mampu bertanggung jawab terhadap negara lain. Berangkat dari fakta-fakta tersebut, maka dicoba memberikan definisi tentang pengakuan, yaitu tindakan politis suatu negara untuk mengakui negara baru sebagai subjek hukum internasional yang mengakibatkan hukum tertentu. Ketegangan yang terjadi akibat perdebatan antara unifikasi CinaTaiwan versus independensi Taiwan ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Doktrin konsensus tahun 1992 tentang One China Policy terbukti tidak memiliki signifikansi untuk menundukkan Taiwan di bawah bendera Cina. Apalagi seiring berkembangnya waktu, populasi di Taiwan cenderung telah mengidentifikasi diri mereka sebagai Taiwanese, bukan Chinese. Hal ini mengindikasikan konflik Cina-Taiwan merupakan rivalitas nasionalisme, bukan lagi perkara kontadiksi ideologis. Awal hubungan Cina dengan Taiwan pun dapat dikatakan merupakan hubungan yang konfrontatif penuh perselisihan.Karena, menilik dari sejarah hubungan keduanya, dulunya merupakan kesatuan Cina yang kemudian terpecah akibat perang saudara antara kaum komunis dan kaum nasionalis. Kemudian perang (secara fisik) diakhiri dengan kemenangan Cina Komunis pimpinan Mao Zedong tahun 1949 yang kemudian memproklamirkan berdirinya Republik Rakyat Cina, serta mengusir cina Nasionalis Cheng Kay-Sek ke Pulau Formosa (saat ini disebut Taiwan). 59 Perselisihan diantara mereka tidak selesai begitu saja.Dalam politik hubungan internasional, mereka berdua masih saja bersikap bertentangan. Di satu sisi, Cina menganggap bahwa Taiwan adalah penghianat atau pemberontak terhadap Pemerintah Pusat (yaitu Republik Rakyat Cina) dan Cina masih menganggap bahwa Taiwan merupakan bagian dari wilayah Cina bukannya bagian Cina yang memerdekakan diri dan berdaulat. Di lain sisi, Taiwan menganggap bahwa dirinya telah berdiri sebagai sebuah negara yang berdaulat yang berhak melakukan hubungan dengan negara lain sebagai sebuah negara. Dan dapat dikatakan bahwa yang sangat mempengaruhi peruncingan perselisihan antara Cina dan Taiwan adalah Amerika. Dalam perkembangannya pun, Taiwan masih tetap saja dibayangbayangi Amerika dalam gerak-geriknya di dunia internasional. Bahkan dalam PBB pun terjadi persaingan sengit antara siapa yang akan menjadi wakil resmi Cina dalam PBB, Republik Rakyat Cina atau Republik Cina.Akhirnya yang menjadi wakil resmi dewan keamanan tetap adalah Cina.48 Hubungan mereka masih tetap belum berubah, begitu pula Amerika sebagai pihak yang menjadi penggerak Taiwan, masih mengakui Taiwan sebagai representasi dari Cina dan dengan Doktrin Truman nya berusaha membendung komunis termasuk di wilayah Asia Timur. Pada saat pecah Perang Korea 1950, untuk mengamankan Taiwan dari usaha penaklukan 48 http://michantroublemaker.blogspot.com/2010/07/perluasan-kerjasama-cina-dan-taiwan.html 60 komunis maka AS mengirim Pasukan ke-7 serta menghadang intervensi Cina di dalam perang tersebut. Kemudian pada tahun 1954 Amerika dan Republik Cina menandatangani pakta pertahanan bersama –dengan tujuan yang samamelindungi Formosa dari komunis dengan dalih menjaga perdamaian dunia. Akan tetapi kemudian ternyata terjadi diplomasi rahasia antara Amerika dan Cina. Amerika ingin Membuat evolusi sejarah, yaitu hubungan cina dan amerika yang dulunya konfrontatif dan berlawanan dapat berubah menjadi saling bekerjasama dalam membangun dunia.Mereka berperan seolah mereka berkonfrontasi dan berlawanan apalagi ideologinya, sehingga mereka pun menjalankan rencana mereka. Amerika mengatakan bahwa mereka pada dasarnya tidak akan menghalangi niat dan kepentingan Cina terhadap Taiwan, karena Amerika menganggap bahwa Cina sangat berpotensi untuk menjadi negara yang raising dan berpengaruh di bangsa Asia khususnya negara-negara IndoCina. Dia berusaha mendekati cina karena dengan kerjasamanya bersama Cina, stabilitas dunia terjaga 49 Menurut penulis Amerika menggunakan permasalahan Taiwan memperkuat bargaining positionnya terhadap Taiwan.Perang di Indo-Cina pun ternyata Cina dan Amerika telah mengaturnya. AS menjadikan jepang sebagai negara pembalance Cina di Asia timur. Amerika memilih Cina 49http://michantroublemaker.blogspot.com/2010/07/perluasan-kerjasama-cina-dantaiwan.html 61 karena cina tidak memiliki kecenderungan untuk ekspansionis (yang tentunya dapat mengancam hegemoni Amerika) karena telah merubah sistemnya. Jepang memiliki potensi infrastruktur untuk membangun dan ekspansionis. A. Bentuk Pengakuan Amerika Serikat terhadap Cina RRC dan Cina Taiwan Konflik antara Cina dan Taiwan sejatinya adalah masalah internal antara kedua negara.Namun persengketaan antar kedua negara serumpun ini telah menjadi perhatian dunia karena telah menganggu stabilitas keamanan kawasan Asia Timur.Persengketaan yang berpotensi menjadi konflik terbuka antara kedua negara memperkeruh situasi di wilayah ini.Kekhawatiran terjadinya konflik terbuka antar dua negara ini karena Taiwan telah memiliki angkatan bersenjatanya sendiri.Angkatan bersenjata yang dimiliki oleh Taiwan cukup untuk membela diri dari serangan Cina. Pada awal banyak masalah yang dihadapi oleh Taiwan yang akan memisahkan diri dari Cina, salah satunya adalah menjauhnya AS dari dukungan terhadap rejim Chiang Kai Shek menyusul kegagalan misi Mashall pada Januari 1947. Presiden AS Harry Trumman mendeklarasikan ketidakberpihakan AS dalam konflik internal Cina pada Januari 1950 dengan menyatakan bahwa: 62 “The United States Government will not pursue a course which will lead to involvement in the civil conflict in China. Similarly, the United States Government will not provide military aid or advice to Chinese forces on Formosa”50 Beberapa dekade yang lalu nama Taiwan tidak terlalu terkenal dalam dinamika hubungan internasional. Pulau kecil di timur pulau Hainan ini lebih dikenal sebagai China Taipei. Sebutan China Taipei ini sendiri sebenarnya untuk menggambarkan lebih jelas akan posisi Taiwan itu sendiri. Kata “China”, untuk menggambarkan bahwa pulau tersebut merupakan bagian dari Cina, dan kata “Taipei” untuk menunjukkan identitas Taiwan yang beribukota di Taipei.51 Sebelum berbicara lebih jauh tentang Taiwan, perlu untuk melihat sejarah Taiwan, jauh ke belakang. Sejarah Taiwan mulai dicatat pada pertengahan abad ke-17, yaitu pada saat Taiwan dijajah oleh Belanda.Pulau yang lebih dikenal sebagai pulau Formosa ini menjadi salah satu pulau tempat pangkalan militer Belanda.52 Akan tetapi, penjajahan Belanda tidaklah bertahan lama setelah seorang loyalis Dinasti Ming bernama Cheng Cheng-Kung membebaskan Taiwan dan mendirikan Kerajaan Tungning (1662-1683) yang beribukota di Tainan.Selanjutnya, Taiwan kembali menjadi rebutan.Dinasti Qing atau biasa disebut sebagai Dinasti Manchuria berusaha untuk menjadikan 50“President Truman’s Statement on U.S. Policy Respecting the Status of Formosa, 5 January 1950,” American Foreign Policy, 1950–1955, Basic Documents, Vol. 2, Washington, DC: USGPO, 1961, p. 1669 dalam Bernard. Cole D. Op. Cit, hlm 17. 51 Robert O. Keohane, 1984, After Hegemony: Cooperation and Discord in The World Political Economy, New Jersey., Princetion University Press. Hal 47 -132 52 ibid 63 Taiwan sebagai bagiannya.Serangan Dinasti Qing yang berasal dari daratan Tiongkok di bawah pimpinan Laksamana Shi Lang, terus menerus dijalankan.Sampai Akhirnya Dinasti Qing berhasil merebut Taiwan dari Kerajaan Tungning, dan menguasainya hingga Jepang menyerang pada tahun 1895.53 Taiwan terus berada di bawah protektorat Jepang hingga Perang Dunia II berkahir. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, Taiwan kemudian dikembalikan kepada pemerintah Republik Cina, pimpinan Dr. Sun Yat Sen. Dr. Sun Yat Sen yang juga merupakan ketua partai Kuomintang, merupakan pendiri Republik Cina di Nanjing. Akan tetapi, posisi Taiwan kembali berubah ketika terjadi perang saudara di Cina daratan antara Partai Nasionalis Kuomintang dan Partai Komunis.Perang yang berakhir di tahun 1949 ini dimenangkan oleh kubu komunis yang kemudian membuat Kuomintang tergusur dan lari ke Taiwan. Di Taiwan, Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek kemudian mendirikan pemerintahan yang tetap diberi nama Republik Cina. Chiang Kai-shek mendirikan pemerintahan ini dengan tujuan untuk tetap mempertahankan filosofis nasionalis, dan berusaha membangun kekuatan untuk pada akhirnya kembali merebut Cina daratan. Pasca Perang Korea tahun 1950, Presiden AS Harry S. Truman menempatkan Pasukan Laut Ketujuh (The Seventh Fleet) di Taiwan untuk mencegah serangan komunis RRC ke Taiwan.Hal ini adalah intervensi 53 http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/01/15/konflik-china-taiwan-333467.html 64 pertama kalinya dalam konflik Cina (daratan) dan Taiwan (pulau).Washington menilai bahwa Taipei mampu menghalau komunis di Asia dan menyediakan bahan-bahan yang diperlukan dalam rangka menjaga keamanan seperti keamanan dan peralatan militer.54 Pada bulan Desember 1954, AS dan pihak-pihak yang berwenang di Taiwan mengesahkan Perjanjian Pertahanan Bersama (Mutual-Defense Treaty) yang menetapkan posisi Taiwan berada dalam naungan AS.Hal ini dinilai salah karena campur tangan AS terlalu jauh dalam konflik yang melibatkan RRC dan mengakibatkan konflik tersebut berlangsung dalam jangka panjang.Isu ini juga membuat ketegangan hubungan antara Washington dan Beijing. Selama Perang Dingin, AS melakukan hubungan kembali dengan RRC sebagai upaya untuk pencegahan terhadap ekspansi Uni Soviet. RRC sebagai negara yang kuat menjadi mitra strategis bagi AS untuk menghadapi ekspansi tersebut. Ancaman nuklir Uni Soviet akan mengganggu keamanan dunia dan mengganggu kepentingan nasional Amerika Serikat. RRC bagi Amerika Serikat adalah mitra strategis dari ancaman nuklir Uni Soviet.55 One China Policy berarti hanya ada satu Cina yaitu Cina daratan (RRC), Tibet, Hongkong, Makau, Xinjiang, maupun Taiwan adalah bagian dari Cina. Hal ini adalah alasan utama bahwa RRC dan Taiwan harus 54 55 http://irwanawrie.blogspot.com/2012/06/konflik-china-taiwan-dan-intervensi.html ibid 65 melakukan unifikasi. Dalam kasus yang dialami oleh AS, One China Policy dalam Shanghai Communique pada tahun 1972 menyatakan: “The United States acknowledges that Chinese on either side of the Taiwan Strait maintain there is but one China and that Taiwan is a part of China. The United States does not challenge that position.”,56 Maka dari itu penulis dapat menarik benang merah bahwa One China Policy yang dipahami AS berbeda dengan yang digariskan RRC ke dunia internasional, yaitu RRC dan Taiwan berada pada satu pemerintahan. AS tidak menyatakan dengan tegas mengenai apakah Taiwan adalah negara merdeka atau tidak, sebaliknya AS menyatakan penjelasannya terhadap klaim RRC bahwa Taiwan adalah bagian dari Cina. One China Policy juga menjadi prasyarat bagi pemerintahan Cina untuk berdialog mengenai cross-strait relations dengan kelompok yang datang dari Taiwan. Kebijakan ini menolak rumusan Two Cina atau One Cina, One Taiwan dan dengan jelas bahwa upaya pembagian kedaulatan Cina akan berakibat kepada perang militer. RRC telah menawarkan dialog dengan partai-partai di Taiwan dan pemerintahan di Taiwan berdasarkan konsensus tahun 1993 yang menyatakan bahwa ada satu Cina, tetapi terdapat pemahaman yang berbeda mengenai “satu Cina’ di kedua negara.57 56http://irwanawrie.blogspot.com/2012/06/konflik-china-taiwan-dan-intervensi.htmldiakses pada tanggal 27 juni 2014 57 http://irwanawrie.blogspot.com/2012/06/konflik-china-taiwan-dan-intervensi.html 66 Taiwan adalah sumber utama dalam konflik Cina – Amerika. Hal ini tidak hanya disebabkan penjualan senjata ke Taiwan oleh Amerika secara terus-menerus, tapi juga disebabkan perlawanan Cina terhadap keinginan Taiwan untuk meningkatkan status internasionalnya. Cina menunjukkan perlawanannya dengan mengarahkan pengujian misilnya dekat Pulau Formosa.Amerika merespon dengan menempatkan angkatan lautny di tempat yang dapat melindungi Taiwan di Selat Taiwan.Meskipun Li Denghui menang, status kemrdekaan Taiwan dapat membawa kepada ketegangan dalam hubungan Cina – Amerika.58 Kebijakan dan tindakan Cina dalam hubungan Laut Cina Selatan juga dapat merusak tujuan Amerika untuk mencapai stabilitas dalam wilayah itu.Juga terdapat pertanyaan yang lebih luas, yaitu bagaimana Cina memposisikan dirinya sendiri dalam pola wilayah yang multikutub.Posisi ini berdampak langsung terhadap hubungan Cina – Amerika. Jika Cina menjalin hubungan dengan Amerika dan Jepang, ini akan membawa kerrjasama besar antara Cina dan Amerika. Jika Cina menjalin hubungan dengan negara-negara yang bermasalah dengan Amerika, seperti Rusia, maka Cina dan Rusia akan bersama-sama bersikap anti Amerika. Situasi ini akan menjadi masalah serius bagi Amerika. Tahun 1996, Clinton memutuskan bahwa Amerika harus mencari strategi untuk bersatu daripada bertentangan dengan Cina.59 58 http://puksipuksi.blogspot.com/2011/04/hubungan-republik-rakyat-cina-amerika.html 59http://kyotoreview.org/issue-15/tiga-tindakan-yang-harus-diutamakan-dalam-memelihara- perdamaian-dan-stabilitas-di-laut-cina-selatan/ 67 Menurut analisa penulis setelah Perang Dingin berakhir dan menyisakan AS sebagai satu-satunya kekuatan unggul di dunia. Dunia pun terunipolarisasi oleh kekuatan tersebut sehingga perkembangan segala aspek kehidupan seolah berkaca pada apa yang ada di AS. Negara-negara di berbagai belahan dunia pun berlomba-lomba untuk menarik perhatian AS agar AS mau menanamkan investasi di negaranya. Berbagai upaya dilakukan agar AS mau bekerja sama dan ikut mendorong pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut. AS pun tak mau menyianyiakan kesempatan ini dan justru semakin lebar mengepakkan sayap pengaruhnya. Dari pandangan itulah kemudian penulis melihat Cina bangkit dan berusaha keras untuk menyamakan kekuatannya dengan AS, hasilnya pun dapat kita lihat pada saat ini.Namun, faktor tersebut juga telah diendus oleh AS, oleh karena itu AS berusaha menghalangi unifikasi Cina dan Taiwan.AS menjadikan Taiwan sebagai “Perisai” untuk mencegah bangkitnya Cina karena apabila Cina bangkit itu berarti komunis juga kembali bangkit.Kehadiran intervensi AS di Taiwan terus mengusik Cina, namun AS mengatakan bahwa kerjasama dan kehadiran AS di Taiwan dikarenakan adanya faktor sejarah. Namun perlu disadari bahwa intervensi dan hubungan kerjasama tersebut justru dapat mendorong munculnya konflik dengan Cina, padahal AS secara jelas telah memaparkan ketidakinginan mereka berperang melawan Cina karena 68 dampak kerugian justru akan banyak didapat oleh keduanya apabila berperang. Dalam usaha menjalankan “containment policy”-nya, AS lebih memperkuat lagi posisinya dengan menginfiltrasi lebih dalam tentang keadaan politik di Taiwan.Taiwan yang pernah melakukan kerjasama dengan AS tentu secara cepat dapat menangkap nilai-nilai demokrasi dan liberal yang dibawa AS ke wilayahnya.Lewat “penanaman kembali” ideologinya, AS kembali membina dan “menyetir” Taiwan. Dengan ini AS telah berhasil menggunakan Taiwan sebagai “Democratic Window” dengan tujuan untuk mempromosikan sebuah reformasi politik dengan mengangkat demokrasi ke wilayah Cina 60 Menurut penulis telah nampak jelas bahwa AS bertujuan untuk mempersulit unifikasi Cina dan Taiwan lewat perbedaan ideologi antara keduanya sehingga yang terjadi justru ketegangan hubungan akibat dari perbedaan pijakan. Hal ini lah yang kemudian mendorong pemerintah Cina, Deng Xiaoping, memberlakukan kebijakan “one country two system” di mana muncul sistem yang berbeda pada wilayah Taiwan dengan pemerintah Republik Rakyat Cina yang berpusat di Beijing kecuali permasalahan pertahanan luar negeri. Namun hal ini tetap sulit dijalankan karena hingga saat ini banyak negara yang belum mengakui status Taiwan sebagai negara yang berdaulat. 60 Kennedy, Andrew Bingham. 2007. China's Perceptions of U.S. Intentions toward Taiwan: How Hostile a Hegemon? Dalam Asian Survey, Vol. 47, No. 2 California : University of California Press. Hal. 268-287. 69 Namun, dengan adanya konsep ini Deng Xiaoping telah berusaha membuka sebuah peluang yang dinilai potensial untuk Cina dan Taiwan melakukan reunifikasi.Dan dalam prakteknya "one country, two systems" memang telah berhasil mengakomodasi reunifikasi antara Cina dan Taiwan.Kebijakan Deng Xiaoping ini juga mengupayakan sebuah langkah untuk merevitalisasi perdamaian dengan Taiwan.Oleh karena itu konsep ini banyak diterima dengan hangat oleh orang-orang Cina baik di Mainland-nya maupun di luar Cina.Kemajuan besar pun berhasil dicapai Cina dalam tujuannya menjalin hubungan baik dengan Taiwan.Namun ada beberapa kendala yang dihadapi Cina, yaitu ketika terjadi protes masyarakat Taiwan atas implikasi kebijakan pemerintah RRC dalam konteks otonomi di Hong Kong 61 Bila dikaitkan dengan isu Taiwan dan upaya Beijing merealisasikan reunifikasi dengan Taiwan, kebijakan-kebijakan represif Beijing terhadap Hong Kong justru akan memperkuat gerakan-gerakan proindependen di Taiwan. Bahkan kelompok minoritas di Taiwan yang proreunifikasi dapat berubah pikiran melihat kejadian-kejadian di Hong Kong.62 Menurut penulis, pemerintah RRC harus berhati-hati dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya di daerah-daerah administratif khususnya.Beijing telah lama menawarkan model ini dalam rangka reunifikasi, bahkan model ini telah dibuat versi yang “diperbaiki” oleh 61 Rigger, Shelley. 2006. Taiwan Rising Rationalism: Generations, Politics and Taiwanese Nationalism. Washington: East-West Center. Hal. 1-73. 62 Koran Tempo - 10 July 2004. http://csis.or.id/post/hong-kong-taiwan-dan-demokrasi 70 Beijing dan diberikan khusus untuk Taiwan.Versi baru model ini menjanjikan Taiwan dapat mempertahankan bentuk pemerintahan demokratisnya, otonomi yang tinggi meliputi kekuasaan dalam hal administratif, legislatif, peradilan independen, angkatan bersenjata, dan juga hubungan khusus dengan dunia internasional.Tetapi model “one country two system” ini tidak mampu meraih antusiasme warga Taiwan. Oleh karena itu, pemerintah Beijing harus memberlakukan strategi baru untuk menghadapi Taiwan karena Hong Kong dan Taiwan memang merupakan dua isu yang berbeda, baik dari segi latar belakang maupun kondisi pada saat ini. Taiwan telah menjadi entitas politik dengan identitas politik dan ideologi yang berbeda bila dibandingkan dengan Hong Kong. Pada 25 April 2001, ketika George W. Bush masih berkuasa, dia mengeluarkan sebuah statement yang sangat kontroversial dalam sebuah interview yang dilakukan oleh ABC Television, saat itu Bush mendapat sebuah pertanyaan tentang langkah apa yang akan dilakukan Amerika Serikat apabila Taiwan diserang, saat itu Bush menjawab bahwa “The United States would do “Whatever it takes to help Taiwan defend herself.”63 Hal ini seolah mengindikasikan keberpihakan Amerika Serikat terhadap Taiwan.Padahal sebenarnya kebijakan Amerika untuk memberi asistensi khusus kepada Taiwan ini sangat bertentangan dengan kesepakatan yang telah dibuat oleh Amerika dengan Cina dalam Joint Communiqué, yang diratifikasi pada 1 Januari 1979. 63 Vinod K. Aggarwal, 2008. Northeast Asia: Ripe for Integration. Hal 84 71 Esensialnya Joint Communiqué ini merupakan persetujuan Amerika untuk mengakui eksistensi satu Cina, dan Taiwan sebagai teritori yang berada di menghindari bawah niat bendera untuk Cina, menjalin sehingga hubungan Amerika seharusnya diplomatik dengan Taiwan. Namun ternyata klausul tersebut dilanggar oleh Amerika, diawali dengan keputusan Act (TRA) pada Amerika 1979, untuk sebulan meratifikasi Taiwan pasca Relations penandatangananJoint Communiqué .64 Cina mererima baik uluran tangan Amerika Serikat dan di sepakatilah suatu perjanjian hubungan baik antara Cina dan Amerika Serikat yang disebut Shanghai-Communique(Komunike Shanghai) tahun 1972. Isi dari Komunike Shanghai itu berbunyi: 1. Kedua negara berhasrat mengurangi bahaya konflik militer internasional; 2. Tidak satupun diantara mereka ( baik Cina maupun Amerika Serikat) akan mengusahakan hegemoni di Kawasan Asia Pasifik atau di sesuatu kawasan lain di dunia dan masing-masing pihak menentang usaha-usaha oleh sesuatu negara lain atau kelompok negara lain untuk membangun hegemoni semacam itu; 3. Tidak satupun diantara mereka bersedia berunding atas nama sesuatu pihak ketiga, atau masuk kedalam persetujuan-persetujuan 64 http://www.ait.org.tw/en/taiwan-relations-act.html 72 atau saling pengertian dengan lainnya yang ditujukan kepada negara lain; 4. Amerika Serikat mengakui posisi Cina bahwa hanya ada satu Cina dan Taiwan adalah bagian dari Cina; 5. Kedua belah pihak percaya bahwa pemulihan hubungan CinaAmerika Serikat bukan saja demi kepentingan rakyat-rakyat Cina dan Amerika, akan tetapi juga memberikan sumbangan bagi usaha menciptakan perdamaian di Asia dan di dunia. Walaupun telah disepakati Komunike Shanghai ini masih ada ganjalan dalam hubungan kedua negara yaitu mengenai Status Taiwan (pasal 4 dari Komunike). Apalagi dalam Komunike Bersama (Joint Communique) antara Amerika Serikat dan Cina pada Agustus 1982 disepakati tiga pasal mengenai Status Taiwan yaitu: 1. here is but one China, and Taiwan is part of China; 2. The Chinese on both sides of the Taiwan Strait should resolve their dispute peacefully; 3. U.S. sales of militery equipment to the government on Taiwan should be for defensive purposes only, and should be reduced as the threat of the use of force to resolve the conflict recerdes.65 65http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-sengketa-internasional-dalam-kasus-laut- cina.html. PROF. DR. S.M. NOOR, S.H., M.H. · FEBRUARY 8, 2012 73 Melihat kedua komunike di atas maka terdapat ganjalan yang sangat mendasar dari hubungan kedua negara yaitu masalah status Taiwan. Sampai hari ini Amerika Serikat masih segan melepas Taiwan sementara Cina terus-menerus menuntut agar Taiwan diserahkan pada Cina. Akibat lain dari Komunike Shanghai ialah semakin memburuknya hubungan Cina dengan Vietnam. Seringnya terjadi konflik perbatasan antara kedua negara terutana serangan pasukan-pasukan Cina kedalam wilayah Vietnam pada 17 Pebruari 1979. Insiden-insiden berdarah antara Cina dan Vietnam sebetulnya telah ada ketika Cina melancarkan penyerbuan ke Pulau Hainan di Teluk Tonkin dan melakukan okupasi di pulau itu pada Juli 1974, penyerbuan itu kemudian dilancarkan sampai ke Kepulauan Paracel dan menduduki gugus kepulauan tersebut. Selain dari itu pula semakin memanasnya insiden-insiden perbatasan antara Korea Utara dan Korea Selatan, tidak saja insiden-insiden di daratan, tetapi juga di laut yaitu Laut Kuning dan Laut Jepang. Berdasarkan beberapa pemikiran di atas merupakan akumulasi untuk memasuki sengketa Laut Cina seperti telah dikemukakan di atas maka sengketa Laut Cina merupakan sengketa yang seringkali status hukumnya tidak jelas, disamping itu pengaruh solusi politik yang demikian besarnya. Beberapa wilayah yang sering menimbulkan kerawanan dan 74 mengancam perdamaian serta keselamatan ummat manusia. Bukan saja masalah tuntutan wilayah kedaulatan yang berpengaruh besar atau merupakan faktor dominan dalam sengketa tetapi lebih dari itu faktor ideologi yang berbeda yang seringkali menimbulkan kesenjangan dalam penyelesaian sengketa di Laut Cina. Ironisnya kesepakatan dalam TRA inilah yang akhirnya meligitimasi Taiwan untuk memperoleh suplai persenjataan dari Amerika Serikat melalui transaksi perdagangan bilateral.Oleh karena itu Cina terus memprotes kebijakan Amerika ini. Namun Amerika berargumen bahwa aksi Amerika untuk menjalin hubungan dengan Taiwan ini bukanlah hal yang melanggar kesepakatan Joint Communiqué.66 Hubungan militer Amerika Serikat-Taiwan yang dituangkan dalam Taiwan Relation Act tahun 1979 (TRA), mengindikasikan bahwa Amerika Serikat akan membantu Taiwan dalam penyediaan perlengkapan militer dan peningkatan kapabilitas militernya. Hal ini merupakan upaya Taiwan untuk menangkal ancaman dan mengimbangi kekuatan militer Cina, Perjanjian inilah yang menjadi perselisihan utama antara AS-Cina dimana Cina memandang bahwa penjualan persenjataan melanggar kedaulatan wilayah juga meningkatkan kerentanan hubungan Cina-Taiwan dalam upaya pertahanan dan keamanan di wilayah Taiwan. Melihat perkembangan tersebut, Cina merasa perlu untuk merespon dan 66http://diplomacy945.blogspot.com/2010/06/relasi-segitiga-antara-amerika-serikat.html diakses 27 juli 2014 75 memperingatkan Taiwan, bahwa Cina tidak akan menoleransi kemerdekaan Taiwan dan Amerika Serikat dalam hal ini akan tetap berusaha mendukung Taiwan dalam pengadaan persenjataan dan jasa yang sangat diperlukan untuk mempertahankan kapabilitas keamanan Taiwan. Berdasarkan klarifikasi dari pihak Amerika seperti yang tercantum dalam The China/Taiwan: Evolution of the "One China" Policyreport of the Congressional Research Service pada 9 Juli, 2007, ada beberapa poin yang menjustifikasi hubungan AS dengan Taiwan, yaitu: Dalam 3 putaran Joint Communique yang melibatkan Cina-AS pada 1972, 1979, hingga 1982, sebenarnya intepretasi “Satu Cina” bagi Amerika adalah posisi satu Cina berada di kedua sisi Teluk Taiwan, AS tidak pernah mengakui secara eksplisit kedaulatan Cina atas Taiwan, namun AS tidak memandang Taiwan sebagai negara yang berdaulat, tetapi lebih cenderung menganggap Taiwan adalah sebuah teritori dengan status yang belum jelas.67 Bahkan sebagai jawaban atas protes Cina yang mengira Amerika akan membantu separatisme Taiwan, Bush pun pernah memberi ultimatum kepada Taiwan bahwa Amerika akan menghentikan dukungannya kepada Taiwan apabila Taiwan memulai aksi separatisme terhadap Cina. Shirley A. Kan, China/Taiwan: Evolution of the “One China” Policy—Key Statements from Washington, Beijing, and Taipei, Congressional Research Service, www.crs.gov 67 76 Namun di bawah rezim Obama sendiri, tidak terlihat adanya komitmen Amerika untuk memutuskan hubungan dengan Taiwan, tidak ada kecenderungan Amerika untuk merevisi klausul dalam TRA, distribusi instrumen militeristik ke Taiwan tetap dijamin oleh Amerika. Melihat kebijakan ini, Cina pun bereaksi keras dengan memformulasikan 3 bentuk sanksi untuk Amerika Serikat, yaitu:68 1. Menunda military-to-military exchanges; 2. Menunda pertemuan level dewan kementerian untuk membicarakan international security, Kontrol Militer, dan weapons nonproliferation; 3. Memperkenalkan formulasi sanksi baru di kemudian hari untuk perusahaan-perusahaan pertahanan Amerika Serikat (U.S. defense firms) yang terlibat dalam transaksi jual beli persenjataan dengan Taiwan; Namun sejauh ini sanksi yang telah diimplementasikan oleh pihak Cina adalah pembatalan pertemuan dengan James Steinberg,Deputy Secretary of State di Beijing. Sanksi yang lain sedang dipertimbangkan relevansi dan efeknya bagi kelangsungan hubungan bilateral Cina dan Amerika, karena hal ini menyangkut kepentingan kedua negara yang saling terkait. 68 ibid 77 Kebijakan AS terhadap Taiwan memang sangat ambigu karena AS masih menganggap pentingnya menjalin hubungan baik dengan Cina. Tetapi, disisi lain AS memiliki kerjasama keamanan tidak resmi dengan Taiwan yang masih menjadi kontroversi dan polemik dalam hubungan AS dan Cina. Pada tahun 1979 sebagai syarat normalisasi hubungan antara AS dan Cina, AS harus membatalkan perjanjian kerjasama militer dengan Taiwan yang dibuat pada tahun 1954.Namun, hal ini tetap dipertahankan oleh pihak AS dengan alasan bahwa kerjasama tersebut bersifat tidak resmi. Ambiguitasi AS pada masalah ini secara jelas terlihat melalui Taiwan Relation Act ( TRA )1979 untuk mempertahankan Pulau tersebut sebagai kesepakatan perjanjian tersebut69Sementara pada tahun yang sama AS mengubah pengakuan diplomatiknya dari Taipei kepada Beijing tahun 1979, mengakui “satu Cina”70 Implementasi dari dukungan dan perlindungan terhadap Taiwan adalah dengan mempersenjatainya dengan berbagai senjata canggih.Hal ini terlihat dari persenjataan yang dimiliki sebagian besar dipasok dari AS.Suplai persenjataan yang dilakukan oleh AS seringkali menimbulkan ketegangan dengan Cina. Salah satu isu tersebut adalah penjualan Rudal canggih Patriot untuk mengamankan wilayah Taiwan dari serangan rudal Cina. Walaupun hal ini akan membuat ketegangan antara AS dan Cina 69Michael S. Chase. “ US Taiwan Security Cooperation : Enhancing An Unofficial Relationship” dalam Dangerous Strait. Nancy Tucker. Bernkopf, ed. ( New York : Columbia University Press, 2005 ), hlm 174. 70“ AS Akan Jual Rudal Patriot Ke Taiwan” Antara News, 7 Januari 2010. http://www.antaranews.com/berita/1262850250/as-akan-jual-rudal-patriot-ke-taiwan 78 kembali terjadi, namun AS menegaskan akan tetap menjual rudal tersebut seperti yang ditegaskan departemen pertahanan AS pada 6 Januari 201071Penjualan ini dilakukan untuk mempertahankan pulau ini karena sekitar 150072rudal Cina telah diarahkan ke pulau ini.73 Isu lain yang sempat menghangatkan hubungan AS dan Cina adalah rencana penjualan 66 unit pesawat tempur F-16 kepada Taiwan, pada tahun 1992 AS menjual 150 unit F-16 dengan kemampuan minimal74. Keinginan untuk menambah armda tempur adalah demi mengamankan wilayah udara dari kemungkinan serangan yang datang dari Cina melalui udara.Angkatan udara Cina juga memiliki lebih dari 700 pesawat tempur yang ditempatkan dalam jarak 1.000 kilometer dari Taiwan. Sejumlah pesawat tempur itu telah dilengkapi dengan fasilitas pengisian bahan bakar di udara sehingga dapat digunakan untuk memperpanjang durasi penyerbuan udara ke Taiwan.75 71 “ AS Jual Rudal Patriot ke Taiwan” Kompas, 7 Januari 2010. http://internasional.kompas.com/read/2010/01/07/17011557/AS.Jual.Rudal.Patriot.ke.Taiwan 72 Pernyataan Departemen Pertahanan Taiwan ,“Taiwan : Cina Mempunyai 1500 Rudal” Vivanews.com, 21 Oktober 2009, http://dunia.vivanews.com/news/read/98817taiwan__cina_punya_1500_rudal 73 Taniputera,Ivan.2009.The History of Cina.Ar-Ruz Media:Jogjakarta 74 Nurfajri Budi Nugroho. “ Imbangi China, Taiwan Beli Jet F-16” Okzone.com, http://international.okezone.com/read/2009/09/28/18/260560/18/imbangi-china-taiwan-belijet-f-16 75 Syaril Sadikin,” Ada kemungkinan RRC bersikap lebih lunak dalam menghadapi soal Taiwan, dalam Sinar Harapan (Jakarta, 30-11-1983) Hal.8. isi perjanjian, The Taiwan issue hal. 251-253. 79 Tetapi untuk menjaga hubungan baik dengan Cina, AS harus melakukan berbagai syarat yang diajukan oleh Cina.Cina mengajukan tujuh syarat yang mereka sebut rintangan dalam menjalin hubungan baik antar kedua negara.Dalam tujuh persyaratan yang diajukan Cina penghentian penjualan senjata ke Taiwan menjadi poin pertama yang diajukan. Persyaratan ini menjadi dilemma tersendiri bagi AS yang ingin menjalin hubungan baik dengan Cina tetapi disisi lain AS harus mengamankan Taiwan. Kebijakan yang diambil oleh AS akan bertumpu pada pilihan logis untuk menentukan mana yang lebih sesuai dengan kepentingan nasionalnya pada kondisi tertentu. B. Faktor faktor yang mempengaruhi terjadinya Double Standar pengakuan recognition Amerika Serikat terhadap Cina RRC dan Cina Taiwan Kepentingan Amerika Serikat terhadap Cina sebagai emerging power di Asia dalam aspek ekonomi dan militer tentulah sangat krusial, begitu pun dengan Taiwan yang menjadi salah satu mitra ekonomi penting bagi Amerika Serikat dan juga sebagai negara yang memerlukan dukungan internasional terhadap demokratisasi di dalam negerinya. Amerika Serikat kemudian tidak ingin kehilangan kesempatan dalam mewujudkan kepentingannya di Asia Timur apabila hanya menjalin hubungan diplomatis yang baik dengan salah satu di antara kedua negara 80 tersebut, lantas merenggangkan hubungan diplomatisnya dengan yang lain. Strategic Ambiguity pun menjadi bukti politik strategis Amerika yang dikenal sebagai negara superpower dan selalu berusha untuk memanfaatkan segala peluang yang ada dalam melancarkan kepentingan nasionalnya. Sisi positif yang diperolah Amerika Serikat melalui pengimplementasian kebijakan Strategic Ambiguity tersebut adalah pencapaian balance of interest atas Cina dan Taiwan, dimana melalui kebijakan tersebut, Amerika Serikat mampu mencapai stabilitas relasi multilateral dengan negara-negara di Asia Timur, dimana pada satu sisi, Amerika Serikat mampu membentuk hubungan konstruktif mutualistik dengan Cina ,terutama dalam hal ekonomi, serta mampu pula memberikan stimulus dukungan terhadap Taiwan untuk senantiasa mengimplementasikan mekanisme demokrasinya secara damai. Dengan mensejajarkan posisi Cina dan Taiwan sebagai mitra Amerika Serikat melalui kebijakan Strategic Ambiguity. Amerika Serikat pun tidak perlu mengeluarkan biaya dalam proses perdagangan dengan Taiwan melalui jalur laut yang pada dasarnya ditempuh di area laut perbatasan antara Cina dan Tai wan, karena jalur laut tersebut merupakan jalur laut internasional. Sisi negatif yang diperoleh Amerika Serikat terkait dengan pengimplementasian kebijakan Strategic Ambiguity tersebut adalah bahwasanya situasi stabil dalam hal keberadaan posisi Amerika Serikat 81 diantara dua negara ini tidak dijamin dapat terus bertahan lama, mengingat pemerintah Cina tetap bersikerasuntuk m elakkan reunifikasiatas Taiwan terhadap Cina, hal tersebut terutama terus disuarakan oleh presiden CinaJiang Zemin, sementara Taiwan tetap bersikeras untuk menjadi republik mandiri yang menjadikan demokrasi sebagai platform utama politik kenegaraannya Keterlibatan AS dalam hubungan Cina-Taiwan pun pada akhirnya menimbulkan bipolar balance of power di wilayah Taiwan. Disatu sisi AS yang merupakan kekuatan tunggal hegemoni pasca Perang Dingin berupaya mempertahankan posisinya sebagai negara adikuasa di wilayah Taiwan, salah satunya melalui upaya balancing dengan Taiwan, namun disatu sisi lainnya muncul Cina sebagai kekuatan baru di dalam dinamika sistem internasional yang berusaha menghadang laju AS di Taiwan. Namun pertentangan antara Cina dan AS di wilayah Taiwan tersebut tidak direspon secara koersif oleh kubu Cina. Pemerintah Cina dalam upaya pencapaian kepentingan nasionalnya di wilayah Taiwan menganggap penggunaan kapabilitas militer sudah sangat tidak relevan semenjak Taiwan mengadakan perjanjian TRA dengan AS.76 76 Lieutenant Colonel Douglas Frison. China’s less aggressive approach to Taiwan reunification: a change in strategy or tactics? Laporan Penelitian U.S. Army War College Carlisle Barrack, Pennsylvania,2004. 82 1. Pengakuan Amerika Serikat Terhadap Cina RRC Hubungan AS terhadap Cina menjadi penting dalam memperluas kerjasama dan memperkuat posisi AS terhadap kekuatan baru yang muncul di setiap wilayah di dunia.Pertumbuhan ekonomi Asia yang drastis membuka peluang AS untuk memperkuat keterlibatannya di kawasan ini melalui organisasi regional, dialog baru, serta diplomasi tingkat tinggi. Tidak hanya itu, kemajuan militer Cina membuat AS dan Sekutu berusaha memantau Cina dan memastikan diri bahwa kemajuan militer Cina tidak akan berdampak buruk terhadap mereka. Langkah yang tepat yaitu mendorong Cina untuk berkontribusi terhadap perdamaian, keamanan, dan kemakmuran secara global.Cara ini terlihat dari upaya AS untuk mendorong Cina menurunkan perselisihan dengan Taiwan. Dari sini dapat diketahui bahwa bila Cina sepakat menjunjung perdamaian maka AS tidak perlu khawatir terhadap kekuatan Cina dikemudian hari. a. Ekonomi Setelah tiga tahun mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, Cina berkembang menjadi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia. AS berusaha menjalin kerjasama untuk menyeimbangkan ekonomi global dan menghilangkan hambatan dagang serta investasi bilateral diantara kedua negara. AS berusaha mendorong Cina untuk membuka pasar dan peluang investasi yang baru bagi bisnis internasional.Hasilnya adalah Cina bersedia untuk bergabung dengan World Trade Organization (WTO) pada bulan Desember 83 2001.Bergabungnya Cina dengan WTO meningkatkan hubungan dagang antara Cina dan AS.Ekspor AS ke Cina meningkat sebanyak 81 persen dalam tiga tahun pertama keanggotaan Cina di WTO, dibandingkan hanya sejumlah 34 % pada tiga tahun terakhir sebelum Cina bergabung dengan WTO. Di lain sisi, import dari Cina meningkat 92% dalam tiga tahun pertama keanggotaan Cina di WTO yang sebelumnya hanya berjumlah 46% di tiga tahun sebelumnya. Investasi AS di Cina juga berkembang sedikit demi sedikit di tahun 1980. Menurut data dari Kementrian Perdagangan Cina, antara tahun 1979 dan 1989 investasi langsung AS di Cina hanya berjumlah 1.7 juta dolar.77 Namun ketika Cina melakukan reformasi ekonomi membuka berbagai sektor bagi investasi asing, investasi AS mulai meningkat drastis. AS merupakan negara penghasil manufaktur terbesar di dunia, menghasilkan 20 persen manufaktur global.Meskipun manufaktur Cina hanya menyumbang sejumlah 8 persen, namun ekspansi perdagangan Cina sejak 2001 cukup mempengaruhi lapangan pekerjaan Amerika. 78 Cina memiliki kebijakan mata uang yang menyebabkan ketegangan dengan AS. Dalam hal mata uang, Cina sengaja memanipulasi nilai mata uang dalam rangka untuk meningkatkan ekspor. Mata uang Cina diturunkan sebanyak 40% dari dolar AS.Pembicaraan mengenai masalah ini telah mendominasi pertemuan-pertemuan AS dan Cina.Kementerian 77 John Tierney Jr, About Face to China, 1971, h. 130 78 ibid 84 Keuangan AS menyatakan bahwa penurunan nilai mata uang ini berpengaruh pada lapangan pekerjaan di AS dan merugikan kompetisi barang dan jasa global.Dari pihak Cina, Cina menolak mengakui bahwa penurunan nilai mata uang Cina yang menyebabkan ketidakseimbangan perdagangan global dan menganggap AS telah mengkambing-hitamkan masalah ekonomi global kepada negaranya. Menurut penulis model ekonomi yang berbeda dari kedua negara telah menyebabkan ketidakpercayaan diantara keduanya. AS percaya bahwa Cina telah mencapai keberhasilan ekonomi dengan cara yang berbeda, dan tidak selalu adil dalam mematuhi aturan. Kritik tersebut menunjukkan ketergantungan Cina yang kuat pada ekspor untuk pertumbuhan dan kebijakan pemerintah RRC untuk menjaga mata uang Cina agar secara artifisial tetap rendah, untuk membuat ekspor Cina lebih menarik bagi negara-negara pengimpor. Kondisi ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan global. Di saat Amerika mengalami defisit dalam perdagangan dunia, tingginya selisih impor dibandingkan ekspor; Cina berada di posisi yang lain. Meski pada akhirnya sempat tergerus krisis keuangan global, secara umum perdagangan Cina mencatat surplus. Melalui G20, AS menjadikan isu ini sebagai gerbong arus utama yang dibahas. Salah satu upaya efektif untuk menstimulasi ekonomi global lebih bergerak, stabil, dan tumbuh, yakni dengan meminimalisasi kesenjangan dalam hal ketidakseimbangan global tersebut. 85 b. Bidang Politik Di bidang politik hubungan antara AS dan Cina lebih terkosentrasi dalam upaya penegakan HAM di wilayah Cina ini juga terkait dengan tujuan dalam National Security Strategy (NSS) Amerika Serikat yang mengedepankan aspek nilai (values) yaitu demokrasi dan HAM. Adapun implementasi dari NSS terhadap hubungan antara AS dengan Cina disampaikan dalam kasus pelanggaran HAM di Tibet dan pengukuhan status Taiwan oleh Cina.79 Menurut penulis hubungan antara AS dengan Cina diwarnai dengan hubungan pragmatis di bidang perpolitikan terutama mengenai intervensi Cina ke Taiwan yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara dan sebaliknya oleh pemerintah Cina justru menuding keikutsertaan AS merupakan bentuk pelanggaran kedaulatan Taiwan terhadap pengakuan Cina, karena telah mendukung dan mengakui kedaulatan Taiwan serta memberikan bantuan militer sebagai bentuk dukungan tersebut. Adapun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah AS, yaitu mengupayakan Cina untuk memberikan hak kemerdekaan yang diakui secara de facto dan de jure terhadap pemerintahan pemerintahan Taiwan, hal ini disampaikan pemerintah AS terutama dalam isu-isu pembahasan HAM di ranah PBB dan dalam pertemuan bilateral kedua negara. Momentum terhadap kasus ini terakhir disampaikan melalui Kongres 79 http://retnosawitri.blogspot.com/2012/12/hubungan-bilateral-as-dan-china.html 86 pertemuan ke 110 dengan agenda the election of a new, pro-engagement government in Taiwan pada Maret 2008, bersamaan dengan ancaman boikot terhadap Olympiade Beijing.80 Adapun upaya yang telah dilakukan AS yaitu mengintervensi Cina melalui suatu kerangka kebijakan yaitu The Tibetan Policy Act of 2002 yang secara umum mengarahkan eksekutif Cina untuk mengupayakan adanya dialog antara pemerintahan Cina dengan Dalai lama dan wakil-wakilnya yang menyangkut perbaikan hubungan antara kedua negara dan mengupayakan adanya pembebasan tahanan politik dan agama Tibet di Cina, mendukung pembangunan ekonomi, pelestarian budaya, kelestarian lingkungan, dan tujuan lainnya di Tibet, dan melaksanakan kegiatan lain demi "dukungan dan aspirasi terhadap rakyat Tibet untuk melindungi identitas mereka." Selain itu adanya peringatan terhadap pemerintah Cina atas indikasi pelanggaran HAM melalui agenda perundingan antara pemerintah AS dan Cina yang disampaikan melalui agenda a crackdown against demonstrations in Tibet pada Maret 2008 pada Kongres relasi antara Cina-AS ke 110 di Beijing.81 Adanya pemerintahan memperluas keikutsertaan Cina dengan pengaruhnya AS dalam Tibet terhadap upaya merupakan geografis perdamaian antara upaya AS dalam Cina dan dapat 80 Susan V.Lawrence dan Thomas Lum dalam CRS Report R41108, U.S.-China Relations: Policy Issue. 81 Ewen MacAskill and Tania Branigan. 2009 “Obama Presses Hu Jintao on Human Rights During White House Welcome,” Guardian.co.uk, 87 meningkatkan reputational power di tubuh Cina itu sendiri melalui upayaupaya perdamaian dan penyelesaian sengketa. Secara umum hubungan politik antara AS dengan Cina dalam hal ini mengalami eskalasi terutama terhadap isu Taiwan dan Tibetan namun atas pertimbangan aspek strategis Cina sebagai mitra potensial AS di bidang ekonomi, sosial, dan militer serta atas kepemilikan veto pada PBB, pemerintah AS mengupayakan tetap menjaga hubungan strategis tersebut, ini ditunjukan melaluiCongress Research Service 2009, mengenai kelanjutan kerjasama yang disepakati kedua negara.82 c. Bidang Militer Kebijakan di bidang militer oleh AS di Cina sebagian besar dipengaruhi oleh persepsi tentang ancaman terutama terhadap perkembangan kekuatan militer Cina, untuk memantau pergerakan militer khususnya di Asia Timur AS membentuk suatu badan koordinasi khusus yang menangani stabilitas dan persepsi AS di regional Asia Timur yaitu dengan membentuk Advance System and Concept Office (ASCO). ASCO dibentuk pada 2001dengan tujuan khusus di bidang keamanan terutama terhadap resiko penggunaan senjata nuklir jangka panjang dan penggunaan senjata balistik di Asia.83 82 Steenwyk, Jason Van. 2008. Will There Be a U.S. – China Currency War? <http: //www.greaterchinafund. com/ newsmedia/2011/China%20Currency%20Dispute.pdf>. 83 Brad Roberts. 2001. China-US nuclear relations: what relationship best serves U.S. Interest?. Institute for Defense Analysis 88 Adapun upaya yang dilakukan AS melalui National Security Strategy yaitu strategi arms control kepada Cina untuk menjamin keamanan strategis dan kepentingan AS di wilayah Asia utamanya dan di dunia secara umum dari ancaman modernisasi militer Cina dengan cara: a. Memonitor dan bekerjasama dengan Cina terutama untuk penggunaan bahan nuklir sebagai senjata konvensional, yaitu AS berupaya mencegah Cina membuat senjata nuklir dan meyakinkan penggunaan nuklir hanya sebagai tujuan damai dan media detterance dengan menggunakan kekuatan institusional dari AS yaitu ratifikasi kembali Cina terhadap Nuclear melalui Non-Proliferation Treaty (NPT). b. Pendekatan dan kerjasama dengan militer Cina, yaitu AS melakukan kerjasama dengan militer baik angkatan Darat, laut maupun udara, yang bertujuan untuk memantau modernisasi kekuatan militer Cina yang disampaikan melalui Joint Military Operations Program yang diusung oleh Amerika dan Cina dan mengikuti kebijakan tersebut dengan mengupayakan adanya kerjasama “open sky” yaitu dimana militer AS dapat terbang di wilayah Cina dengan tujuan damai dan sebaliknya. Adapun tujuan utamanya untuk memantau kekuatan yang diperkirakan mengancam dominasi kekuatan militer AS terutama pengembangan teknologi senjata dan penggunaan rudal balistik antar benua termasuk rudal angkasa (China’s anti-satellite weapon test). 89 Tujuan umum dari adanya kerjasama terhadap Cina di bidang militer yaitu untuk mendorong Cina mengedepankan perdamaian dan meyakinkan kepemilikan persenjataan Cina tidak digunakan sebagai ancaman beserta dengan adanya kosentrasi pengamanan senjata di wilayah Asia terutama Cina juga merupakan upaya AS untuk mendapatkan akses militer ke wilayah Korea Utara beserta Iran jika AS berhasil menjalin kerjasama bidang militer dengan Cina, karena Cina memiliki akses yang lebih terbuka dengan negara-negara tersebut. adapun faktor institusi yang berperan dalam mendukung kebijakan ini diantaranya: a. ASCO yang bekerjasama dengan Insitute for Defense Analysis(IDA) terhadap analisis dan pemantauan terhadap militer Cina, badan ini juga membantu dalam pembuatan rancangan strategi kepada Department of Defense AS. b. International Automic Energy Agency (IAEA) yang berperan mamberikan tekanan terhadap penggunaan nuklir Cina sebagai senjata konvensional dan mendorong upaya ratifikasi Cina terhadap NPT. c. Badan militer AS, melalui angkatan bersenjata baik angkatan darat, laut, udara, dan badan antariksa nasional kedua negara. 90 Menurut penulis Taiwan mempunyai faktor strategis dalam menghadapi Cina. Walaupun hanya sekitar dua puluhan negara di dunia yang secara resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Cina, akan tetapi hampir semua negara di muka bumi menjalin hubungan tidak resmi dengan Taiwan. Hubungan tidak resmi dengan Taipei dimanfaatkan oleh banyak negara di dunia untuk antara lain memainkan kartu Taiwan dalam menghadapi Cina. 2. Aliansi Amerika Serikat dan Cina Taiwan Awal sejarah aliansi Amerika Serikat dan Taiwan terjadi sejak akhir perang korea yang terjadi dari tahun 1950-1952, Amerika merasa berkepentingan akan masa depan yang damai di kawasan Asia Pasifik. Ini dapat dilihat dari kebijakan Presiden Harry Truman (1945-1953) untuk mengirim armada ke-7 Amerika ke selatan Taiwan dan menetralisir keadaan disana serta melindungi Taiwan dari kemungkinan serangan komunis walaupun sebenarnya RRC belum turut dalam pertempuran itu.84 Truman sedah menyatakan bahwa tidak diragukan lagi komunis akan menggunakan berbagai macam cara baik subversif maupun serangan bersenjata untuk menaklukan negara-negara bebas sehingga menggangu ketertiban dan keamanan dunia. Kebijakan tidak terlibat Harry Truman (1945-1953) berubah menjadi kebijakan yang terlibat dan Taiwan dianggap sebagai aliansi Amerika. Pernyataan itu juga merubah status pemerintah Chiang dan status 84 James D Morrow, Aliances and Assymetry : An Alternative to the Capability Aggretion Model of Alliances, hal. 909 91 Taiwan. Taiwan kini mendapat status negara merdeka yang berdaulat dan dinyatakan sebagai wakil yang sah di PBB. Amerika yang merupakan pemegang hegemoni kekuatan di dunia tampaknya menganggap tidak akan pernah membutuhkan RRC sebagai kekuatan penompang.85 Kebijakan terlibat Truman membuat Taiwan sebagai mata rantai yang penting, dalam garis pertahanan Amerika di Pasifik Barat. Karena itu Amerika kemudian membentuk Military Advision Assisten Group to Taiwan pada tahun 1951 yang membantu pertahanan Taiwan. Aliansi Amerika dan Taiwan Dwight Eisenhower (1953-1961) melalui di perkuat oleh penandatangan Jendral perjanjian pertahanan bersama Amerika Serikat-Taiwan pada tanggal 2 Desember 1945 yang menyatakan setiap serangan bersenjata ke wilayah Taiwan adalah juga merupakan serangan bersenjata ke wilayah Amerika Serikat. Dan karena itu Taiwan adalah bagian penting dari strategi pertahanan Amerika Serikat di Asia Pasifik maka Amerika Serikat wajib melindungi Taiwan dan memberikan bantuan kepada setiap serangan yang ditujkan ke Taiwan. 86 Akibat serangan itu ternyata malah mempererat aliansi Amerika Serikat dengan Taiwan, karena itu Eisenhower mengajukan suatu resolusi ke Kongres Amerika Serikat yang berisi diberikan kewenangan pada 85 Holsti,K.J. Politik Internasional : Kerangka Untuk Analisa 1 (Terj. ), Jakarta, Erlangga, 1987. Syaril Sadikin,” Ada kemungkinan RRC bersikap lebih lunak dalam menghadapi soal Taiwan, dalam Sinar Harapan (Jakarta, 30-11-1983) Hal.8. isi perjanjian, The Taiwan issue hal. 251-253. 86 92 presiden Amerika Serikat demi melindungi Taiwan. Resolusi ini yang diberi nama Formosa Resolution di terima dengan suara bulat di Kongres pada 29 Januari 1955. 87 Dukungan Kongres kepada kebijakan yang diambil pihak eksekutif, tidak hanya terlihat dari terimanya seluruh perjanjian yang telah disepakati oleh Amerika Serikat saja, tetapi juga melalui pernyataan yang mendukung dan memperkuat langkah yang telah ditempuh pihak eksekutif, salah satu contohnya dapat telihat ketika pada tanggal 9 Februari 1955 senat Amerika menyetujui belakunya perjanjian pertahanan bersama Amerika Serikat – Taiwan. Naiknya Presiden J.F. Kennedy (1967-1963) ke kedudukan Presiden Amerika Serikat tidak membawa perubahan-perubahan yang berarti. Walaupun ia pernah menyuarakan sikap yang sedikit pro RRC, ketika ia menyatakan diperkuatnya kekuatan RRC di pulau Kinmen bukanlah merupakan ancaman bagi keamanan Taiwan, melainkan terjadi karena kesalahan Chiang Kaishek sendiri, karena memperkuat kekuatan tentara nasionalis di pulau Kinmen melebihi kebutuhan.88 Bulan Februari tahun 1972, Presiden Amerika Serikat ketika itu, Richard Nixon berkunjung ke Cina. Cina dan Amerika mengeluarkan Komunike Bersama Cina -Amerika (Komunike Shanghai), itu menandakan 87 John Tierney Jr, About Face to China, 1971, h. 130 ibid, h. 130 88 93 keadaan saling memisahkan antara Cina dan Amerika selama lebih 20 tahun telah berakhir. Tanggal 16 Desember tahun 1978, Cina dan Amerika mengeluarkan Komunike Bersama Cina -Amerika Mengenai Penggalangan Hubungan Diplomatik. Tanggal 1 Januari tahun 1979, kedua negara secara resmi menggalangkan hubungan diplomatik tingkat duta besar. Tanggal 17 Agustus tahun 1982, Cina dan Amerika mengeluarkan Komunite 17 Agustus, yang menetapkan penyelesaian secara bertahap sampai penyelesaian definitif penjualan senjata kepada Cina oleh Amerika. Menurut penulis kebijakan Amerika Serikat yang melindungi Taiwan diwujudkan dalam bentuk bantuan-bantuan ekonomi, politik atau militer yang diberikan kepada Taiwan. Bantuan-bantuan yang diberikan Amerika dibalas oleh Taiwan dengan mendukung kehadiran Amerika Serikat di Cina, juga melakukan pemantauan di Cina daratan (RRC) bagi Amerika Serikat. Dalam bidang politik Taiwan selalu mengambil sikap yang sama dengan Amerika Serikat. Di PBB Taiwan selalu mendukung pendapat atau resolusi yang diajukan Amerika Serikat. Menghadapi situasi setelah normalisasi, Kongres Amerika yang merasa khawatir akan masa depan keamanan Taiwan menginginkan jaminan bahwa yang ada bisa tetap dipertahankan, walaupun tanpa pengakuan diplomatik. Untuk itu diciptakan Taiwan Relation Act (TRA) yang isinya kurang lebih jaminan bagi hubungan perdagangan, pertukaran antara masyarakat, dan berkelanjutan bagi transfer persenjataan dengan 94 kategori defensive character untuk menjamin kemampuan diri Taiwan dan tetap akan mempertahankan hubungan tidak resmi dengan pemerintahan Taiwan sampai sekarang. Dalam kampanyenya pada tanggal 25 Agustus 1980, Ronald Reagan (1980-1988) menyatakan bahwa TRA memberikan dasar bagi aliansi antara Amerika-Taiwan.89 Ada dua faktor yang memperkuat aliansi Amerika Serikat – Taiwan, yaitu faktor-faktor internal dan faktor eksternal. Faktor faktor internal adalah kepentingan ekonomi, politik, keamanan, sedangkan faktor eksternalnya adalah potensi ancaman RRC.Jack C Plano dan Roy Olton (1991) memberikan definisi yang lebih spesifik tentang aliansi. Mereka mengatakan bahwa : “Aliansi adalah suatu bentuk persetujuan formal antara dua Negara militer Jika salah satu Negara yang menjadi anggota perjanjian tersebut diSerang Oleh pihak lawan dan tujuan lainnya untuk mengembangkanKepentingan bersama90. Alasan pembentukan aliansi berkaitan erat dengan : 1. kebutuhan domestik, dalam hal ini adalah kepentingankepentingan AS dan Taiwan, seperti kepentingan ekonomi, politik, kepentingan keamanan. 89 Michael C. P Chang, U.S. Policy Toward Taiwan, Harvad University, 2001. Jack C. Plano & Roy Olton, Op. cit., h.169. / Encyclopedia American (Internasional Edision), hal. 596-598, terj. Wawan Juanda (Bandung : Putra Abardin, 1991). 90 95 2. Adanya presepsi ancaman bersama91, dalam hal ini adalah potensi ancaman RRC. “ Symetric alliances, where each party gains the same type of benefit, are also possible. Two major power interest may be sufficiently close for them to from an alliances where they both gain security (if interest in the satus quo match) or autonomy (if their interest in changing the status quo complement one another), provide that the cost in the other is not too high,92 Bila penulis menerjemahkannya suatu aliansi dikatakan simetris jika masing-masing Negara memiliki keuntungan yang sama. Kepentingan-kepentingan dua negara memiliki keuntungan yang sama mungkin saling mencukupi untuk dapat membentuk aliansi dimana keduanya mendapatkan keamanan (jika kepentingan-kepentingan mereka cocok atau memiliki kesamaan dalam mempertahankan status quo) atau otonomi (jika kepentingan mereka dan mengubah statusquo saling melengkapi satu sama lain), dengan syarat bahwa kerugian yang mungkin ditimbulkan akibat keadaan simestris ini tidak terlalu besar. Menurut Holsti alasan pembentukan aliansi berkaitan erat dengan : a. Menurut domestik, dalam hal ini adalah kepentingan ekonomi, kepentingan-kepentingan Amerika dan Taiwan, seperti : 91 K.J. Holsti, Politik Internasional : Kerangka Analisa, penterj. Efin Suidrajat, et al (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya), 1987. hal. 152 92 James D Morrow, Aliances and Assymetry : An Alternative to the Capability Aggretion Model of Alliances, hal. 909 96 kepentingan ekonomi, kepentingan keamanan dan kepentingan politik. b. Adanya presepsi ancaman bersama, dalam hal ini adalah potensi ancaman RRC. Faktor-Faktor Internal Yang Memperkuat Aliansi Amerika – Taiwan a. Kepentingan Ekonomi Faktor penting yang membuat Amerika melakukan aliansi dengan Taiwan juga dengan negara-negara Asia Timur seperti : Jepang dan Korea Selatan. Karena kawasan Asia menyediakan pangsa pasar yang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi Amerika sehingga kepentingan ekonomi Amerika di kawasan ini didasarkan pada kenyataan bahwa Asia merupakan potensi ekonomi bagi pemasaran produk-produk Amerika. Terlebih setelah berakhirnya Perang Dingin, Amerika merencanakan keamanan ekonomi sebagai inti dari kebijakan luar negerinya.93 Menurut penulis Amerika harus menata kembali ekonomi dalam negerinya yang terkuras untuk membiayai pengeluaran militer dan pemberian perlindungan terhadap aliansi-aliansi Amerika termasuk Taiwan pada masa Perang Dingin dan menjadikan perdagangan sebagai prioritas kebijakan ekonomi Amerika dengan meningkatkan koordinasi ekonomi di antara negara-negara yang memiliki kekuatan industri serta 93 James D Morrow, Aliances and Assymetry : An Alternative to the Capability Aggretion Model of Alliances, 97 melancarkan ekspansi ke negara-negara berkembang, terutama Asia Timur yang saat ini merupakan perluasan bagi ekspor Amerika. Dengan kenyataan bahwa Asia – Pasifik merupakan kawasan yang memberikan keutungan ekonomi yang besar, maka Amerika berusaha untuk menciptakan interdepedensi dengan Asia melalui Surplus perdagangan. Selama lebih dari 15 tahun., Asia timur telah melewati Eropa dalam hal Partner dagang Amerika dan tahun1992 Asia Timur menyerap hampir sepertiga dari total Ekspor Amerika yang seluruhnya berjumlah 422 milliar US dollar.94 Amerika mempunyai kepentingan yang sangat besar terhadap Taiwan, karena Taiwan menempati urutan kelima mitra dagang terbesar Amerika. Sekitar sejuta warga Amerika pernah disana, dan sekitar 10.000 warga negara Amerika di sana untuk bisnis dan alasan-alasan lainnya. Amerika merupakan investor terbesar bagi Taiwan dengan jumlah 1,15 milliar US dollar pada tahun 2000. Total investasi Amerika di Taiwan bejumlah 7,74 milliar US dollar. Sedangkan di akhir tahun 2000 investasi Taiwan di Amerika berjumlah 3,22 milliar US dollar dan keuntungannya dari investasi yang mengalir ke Amerika pada tahun 2000 sebanyak 186 juta US dollar.95 94 95 http://mantrikarno.wordpress.com/category/kajian-asia-timur/ ibid 98 Amerika merupakan penyuplai penting mesin-mesin listrik dan peralatannya, peralatan transportasi, peralatan ilmiah, produksi kimia ke Taiwan. Amerika sebagai jaringan ekspor produk pertanian ke Taiwan. Pada akhir tahun 2000 Taiwan merupakan pasar penjualan terbesar ke lima untuk Amerika. Sebaliknya Taiwan barang manufaktur seperti mesin ke Amerika. Pada akhir tahun 2000 Amerika mengimpor terbesar bagi Taiwan termasuk mesin office procesing data, mesin –mesin listrik dan peralatannya, peralatan telekomunikasi, peralatan recording, pakaian dan aksesorisnya. Pada tahun 2000 sampai tahun 2001 volume perdagangan kedua negara itu mengalami peningkatan. Taiwan merupakan partner terbesar ke delapan dalam perdagangan pada tahun 2000, menempati peringkat ke sepuluh dari ekspor Amerika dan kedelapan dalam impor. Ekspor Amerika ke Taiwan berjumlah 16,6 juta US Amerika dari Taiwan yang berjumlah 33,3 juta US dollar, turun dari 40,4 juta US dollar pada tahun 2000. sehingga perdagangan Amerika mengalami defisit dengan Taiwan sebanyak 16,6 juta US dollar pada tahun 2001.96 Walaupun mengalami penurunan dalam volume perdagangan dari tahun 2000 sampai 2001, khususnya penurunan perdagangan hasil pertanian. Total jumlah ekspor pertanian Amerika berkurang sebanyak 31 persen antara tahun 1995 dan 2001, berkurang dari 3,3 milliar US dollar pada tahun 1995 menjadi 2,3 milliar US dollar pada tahun 2001. impor 96 http://mantrikarno.wordpress.com/category/kajian-asia-timur/ 99 pertanian dari Taiwan berkurang pada periode itu juga, dari 600 juta US dollar pada tahun 1995 menjadi 540 US dollar pada tahun 2001. amerika mengekspor produk pertanian ke Taiwan terutama komediti, seperti : gandum, padi, kacang kedelai, dan kapas. Amerika mengimpor hasil pertanian dari Taiwan berupa makanan snack, buah-buahan dan sayursayuran. Amerika juga mengimpor ikan laut dari Taiwan. 97 Kebanyakan investasi Amerika di Taiwan dipusatkan pada sektor manufaktur khususnya elektronik dan bahan kimia, tetapi juga perdagngan besar-besaran, keuangan, asuransi, dan real estate. Besarnya modal Amerika yang mengalir ke Taiwan berjumlah 1,15 milliar US dollar pada tahun 2000, dan di akhir tahun 2000 total investasi Amerika di Taiwan berjumlah 7,74 milliar US dollar.98 Investasi Taiwan di Amerika juga dipusatkan pada manufaktur (khususnya bahan kimia dan mesin) dan lembaga keuangan, perdagangan besar-besaran dan jasa. Di akhir tahun 2000, investasi Taiwan di Amerika berjumlah 3,22 milliar US dollar dan keuntungan dari modal yang mengalir ke Amerika pada tahun 2000 sebanyak 186 juta US dollar. 97 U.S.-Taiwan FTA : Likely Economic Impact of a free trade Agreement Betweent the United States and Taiwan, h. 1, http ://usinfo.state.gov, h. 3 98 ibid 100 b. Kepentingan Politik Aliansi Amerika dengan Negara-negara Asia Timur termasuk Taiwan, karena Amerika sebagai nugara adidaya tunggal berkepentingan untuk menjaga kelangsungan pengaruhnya terhadap Negara-negara di dunia dan masalah-masalah internasional. Instrument-instrumen untuk mencapai tujuan nasional tersebut digunakan oleh Amerika dalam rangka tetap menancapkan pengaruh internasionalnya yang dianggap sangat berpengaruh terhadap upaya-upaya mencapai, mempertahankan ataupun melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi, keamanan, dan sosial, dengan isu-isu demokrasi dan perdagangan bebas menunjukkan besarnya perhatian pemerintah Amerika dan kepentingan Negara tersebut terhadap upaya-upaya yang menyebarkan kedua nilai tersebut.99 Menurut penulis keikutsertaan pasukan Amerika dalam operasioperasi pemulihan dan penjagaan PBB, kerap dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan politis dan ideologis yang dianut oleh bangsa Amerika tersebut. Amerika sangat berkepentingan untuk terus memainkan peran aktif dalam penyelesaian masalah regional dan meningkatkan pengaruh politiknya, sekaligus menjamin tatanan dunia yang kondusif bagi demokrasi dan perdagangan bebas. 99 Michael C. P Chang, U.S. Policy Toward Taiwan, Harvad University, 2001. 101 Amerika terus mempromosikan model demokrasi Amerika dan HAM. Pelaksanaan terhadap usaha ini mendapatkan perlawanan dari negara-negara berkembang tidak mengurangi dan menghentikan usaha tersebut. Presiden Clinton mengungkapkan secara khusus bahwa Amerika akan mendorong perdamaian dunia dan demokrasi melalui peningkatan perdagangan. Instrumen lain yang digunakan oleh Amerika adalah dengan memberikan bantuan luar negeri dalam bidang ekonomi dan keamanan terhadap negara-negara yang dianggap menjadi kepentingan nasional Amerika, kerp dikaitkan dengan upaya melakukan demokratisasi, penghormatan terhadap HAM, menciptakan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance) dan bersih (clean goverment), melakukan pembangunan kelembagaan (institusi building), penegakan supremasi sipil (civilian supremacy), dan menghukum para pelanggaran HAM, terutama yang berkategori pelanggaran HAM berat (gross of human rights). Kesimpulannya penulis mendapatkan Amerika melakukan aliansi dengan Taiwan, karena Taiwan menjadi salah satu Negara yang paling demokratis di Asia Timur. Perkembangan ini bisa dilihat dari adanya kebebasan pers, tidak adanya tahanan politik, dan sebuah parlemen yang presentatif yang di pilih melalui pemilu yang multi partai. Dan yang jelas demokrasi di Taiwan berjalan tanpa adanya pelanggaran HAM. 102 c. Kepentingan Pertahanan dan Keamanan Demi menghadapi masalah-masalah dan mempertahankan kepentingan nasionalnya, yakni meningkatkan stabilitas regional dan internasional, mencegah dan mengurangi konflik dan ancaman, dan menangkal agresi dan pengunaan kekerasan. Amerika harus melakukan respon terhadap semua bentuk krisis ini dengan cara siap menangkal agresi yang muncul, dan meningkatkan kekuatan militer. Termasuk meningkatkan hubungan dengan aliansi-aliansinya, termasuk dengan Taiwan. Amerika mau melakukan aliansi dengan Taiwan dipengaruhi oleh faktor kepentingan keamanan. Karena kebijakan baru Amerika, terutama ketika Bill Clinton terpilih menjadi presiden Amerika menggantikan Goerge Bush lebih ditekankan kemasalah ekonomi diiringi oleh pengembangan HAM. Demokratisasi ke seluruh dunia sebagai pijakan utamanya. Pengurangan dan peninjauan kembali kehadiran militer Amerika dikawasan Asia Pasifik dilakukan setelah Uni Soviet tidak ada lagi, namun ancaman baru terhadap stabilitas dan keamanan Asia Pasifik Pasca Perang Dingin ada beberapa argumentasi mengapa Amerika untuk tetap mempertahankan kehadiran militer di kawasan ini.100 100 http://mantrikarno.wordpress.com/category/kajian-asia-timur/ 103 Pertama, meningkatnya kekuatan militer jepang secara signifikan guna melindungi keamanan negaranya seiring berkurangnya kehadiran militer Amerika. Peningkatan ini sangat beralasan, dimana Jepang mengkuatirkan aktivitas politik RRC yang semakin itensif. Kedua, Amerika memprediksi adanya asumsi bahwa Taiwan dan Korea Selatan akan tetap melanjutkan kebijakan pembendungan dari pengaruh RRC atau bekas Uni Soviet. Ketiga, bangsa-bangsa Asia Tenggara berusaha keras untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk mempercepat peningktan kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu memerlukan jaminan stabilitas keamanan sosial politik yang maksimal guna menangkal ancaman dari luar. Amerika juga melihat RRC berusaha untuk menggantikan peran Uni Soviet pada era Perang Dingin di kawasan Asia pasifik, sehingga kehadiran militer Amerika berfungsi sebagai ”balancing” terhadap ancaman RCC.Tidak semua faktor itu mempengaruhi perkembangan masa depan Asia Pasifik sehingga Amerika lebih mudah mengawasinya. Bagaimanapun juga kebijakan Amerika akan mempengaruhi presepsi dan respon negara lain, di mana kekuatan Amerika sangat menentukan di kawasan ini.101 Dalam hal ini harus dipertimbangkan beberapa aspek penting kebijakan Amerika dan membangun kepercayaan di mata para aliansinya sebagai usaha untuk mempengaruhi presepsi-presepsi aliansi-aliansinya, termasuk Taiwan. Kedua penggunaan konsep ”total force” yang bisa 101 Yuan-Li wu, U.S. Policy and Strategi Interest In Western Pasific (New York, Russak & Company, Inc., 1990), h. 191-193 104 mempengaruhi secar psikologis ”bargaining position” sekutu-sekutu Amerika untuk memberikan jaminan jangka panjang kepentingan Amerika demi keamanan dan kesejahteraan mereka. Pemerintahan Clinton secara jelas mengubah kebijakan Amerika masa pemerintahan menempatkan Clinton perdagangan pada sebagai strategis fokus pertimbangn dalam hubungan yang luar negerinya dengan negara-negara Asia Pasifik, terutama Taiwan . Hubugan ekonomi Amerika-Taiwan mencapai lebih kurang 30 persen dari seluruh total perdagangan luar negeri Amerika. Hubungan antara kedua negara ini digambarkkan sebagai ”Mutual Depedency” di mana interdepedensi kedua negara berlangsung secara lebih intensif Pasca Perang Dingin. Adanya kerjasama ekonomi dan perdagangan yang erat antara Amerika-Taiwan dikarenakan Kedua Negara mempunyai kepentingan yang sama, sehingga hubungan ini mempererat aliansi Amerika-Taiwan.102 Faktor Eksternal Yang memperkuat Aliansi Amerika-Taiwan a. Potensi Ancaman RRC Faktor eksternal yang mempengaruhi terbentuknya aliansi AmerikaTaiwan adalah potensi ancaman RRC. Hal ini disebabkan karena RRC memiliki potensi militer dengan kepemilikan senjata nuklir dan RRC merupakan kekuatan militer terbesar ketiga di dunia setelah Amerika dan 102 Ibid., h. 196-197 105 Rusia. Anggaran belanja militer RRC terus meningkat pada tahun 1991 anggaran belanja militer RRC sebesar 6,2 milyar US dollar. Pada tahun 1992 meningkat menjadi 6.8 milyar US dollar dan pada tahun 1993 menjadi 7,3 milyar US dollar. RRC mengalokasikan dana sebesar 5 persen dari anggaran belanja militernya untuk pengembangan senjata nuklir. RRC terus memproduksi tiga system rudal nuklir antar benua tipe CSS-4, rudal nuklir jarak menengah (IRMB) tipe CSS-3 dan rudal nuklir peluncur dari laut (SLMB) tipe CSS-NX-3, masing-masing dengan jumlah kekuatan sebanyak 8 buah utuk ICMB, 60 buah untuk IRMB dan 12 buh untuk SLMB. Potensi dan kemampuan militer RRC yang menyebabkan aliansi Amerika-Taiwan.103 Terjadinya aliansi Amerika – Taiwan juga dipengaruhi oleh potensi konflik di Asia Timur, termasuk masalah di semenanjug korea dan konflik di perairan Laut Cina Selatan. Selama kurang lebih tiga tahun terakhir dilaporkan lusinan insiden yang melibatkan pertentangan-pertentangan antara negara-negara Asia dengan penggunaan senjata atau sengketa perairan di Laut Cina Selatan. Menurut analisa penulis Negara-negara di Asia melihat adanya Vacum of Power akibat runtuhya Soviet dan penarikan mundur pasukan Amerika dari Subic (Filipina) sebagai dimulainya ekspansi RRC. Sedangkan Amerika menekankan pentingnya stabilitas dan perdamaian di kawasan laut Cina Selatan. Kegagalan Amerika dalam tindakan seperti 103 ierney, John, Jr. ed. About Face to China, NY : John Wiley & Sons, Inc. 1971 106 Agresi yang dilakukan RRC akan menimbulkan persepsi bahwa Amerika tidak mau terlibat dalam masalah konfrontasi di kawasan Asia. Walaupun demikian, Amerika tetap memiliki kepentingan di kawasan laut Cina Selatan akan menggangu stabilitas kawasan dimana terdapat pola perdagangan regional dan sumber investasi yang dinamis dan terutama juga mengancam kepentingan ekonomi Amerika. Kebijakan Amerika terhadap laut Cina Selatan juga diarahkan untuk mencegah konflik dengan RRC serta antara RRC dengan negara-negara lain, termasuk Taiwan. 3. Dinamika Relasi Taiwan-Cina Dengan adanya konsistensi Cina untuk memperkuat militernya demi mengantisipasi aksi separatisme Taiwan, maka Taiwan pun mengintensifkan upayanya untuk menambah kuota persenjataan, oleh karena itu Taiwan berkomitmen untuk mengalokasikan dana yang siginfikan untuk budget militer. Tahun 2010 ini Taiwan mengalokasikan dana militer sebesar 9.3 milyar US dollar.104 Namun, meskipun hubungan Cina-Taiwan diwarnai oleh friksi diplomatik, hubungan ekonomi lintas selat telah terjalin dengan baik.Cina telah bergabung dalam World Trade Organization (WTO) pada 2001, yang kemudian pada 1 Januari 2002 disusul oleh Taiwan. Masuknya Taiwan ke 104 http://diplomacy945.blogspot.com/2010/06/relasi-segitiga-antara-amerika-serikat.html 107 WTO ini tentunya setelah mengalami proses yang panjang, yaitu setelah melalui proses pengajuan aplikasi pendaftaran selama 12 tahun.105 Dalam perkembangan selanjutnya, Taiwan mulai mengakui Cina sebagai patner bisnisnya yang paling prospektif, buktinya pada tahun 2007 saja, 30% kuota ekspor Taiwan disirkulasikan ke pasar Cina. Sebaliknya bagi Cina, Taiwan pun masuk ke dalam daftar Top Ten China’s Trading Partners. Setidaknya sejak tahun 1998, pelaku bisnis dari Taiwan telah berinvestasi di pasar Cina senilai 150 milyar US Dollar. Bahkan tahun 2009 telah menandai peningkatan penerbangan langsung antara Cina dan Taiwan dari 108 kali per minggu menjadi 270 kali., artinya mobilisasi masyarakat dari Cina ke Taiwan dan sebaliknya semakin meningkat.106 a. Meredupnya Rivalitas Cina Versus Taiwan dalam Memperebutkan Pengakuan Diplomatik Dalam perkembangan sekarang, terlihat adanya kecenderungan sikap Cina yang lebih melunak dalam berinteraksi dengan Taiwan, buktinya pada bulan Mei 2009, pemerintah Cina tidak menggunakan hak vetonya untuk menghalangi partisipasi Taiwan sebagai observer di World Health Assembly yang merupakan badan eksekutif World Health 105 ibid Chien-min Chao & Chih-chia Hsu. 2006. “China Isolates Taiwan”, pp. 41-67 in Edward Friedman (ed). China’s Rise, Taiwan’s Dilemmas and International Peace. Oxon: Routledge. 106 108 Organization. Eksistensi Taiwan di organisasi ini juga di bawah nama “Chinese Taipe”. 107 Momentum ini adalah kali pertama Taiwan dianugerahi status sebagai observer dalam Badan PBB sejak Taiwan kehilangan kursinya pada 1971 di PBB. b. Fenomena Diplomatic Truce dalam Relasi Cina-Taiwan Sebenarnya prestasi Taiwan mendapatkan jabatan di forum internasional ini juga dibarengi dengan fenomena diplomatic truce yang terjadi di antara Cina dan Taiwan.Diplomatic Truce ini ditandai dengan kesepakatan di antara Cina-Taiwan untuk menghentikan rivalitas konfliktis sementara waktu di antara mereka.108 Kini Cina cenderung menghentikan agresivitasnya untuk merampas pengakuan diplomatik dari 23 negara yang telah mengakui kedaulatan Taiwan sebagai negara.Selain itu, berkenaan dengan statusnya di dunia internasional, selama rezim presiden Ma Ying-jeou terlihat bahwa Taiwan tidak terlalu berambisi untuk meraih kursi di PBB demi meraih pengakuan internasional.109 Shirley A. Kan, Taiwan: Major U.S. Arms Sales Since 1990, Congressional Research Service, www.crs.gov 108 David B. Shear: Deputy Assistant Secretary, Bureau of East Asian and Pacific Affairs, Testimony Before the U.S.-China Economic and Security Review Commission on March 10 2010, ChinaTaiwan: Recent Economic, Political and Military Developments Across the Strait and Implications for the United States,http://www.state.gov/p/eap/rls/rm/2010/03/138547.htm, 109 ibid 107 109 Kebijakan Presiden Ma ini sungguh sangat kontradiktif dengan langkah yang pernah diambil mantan Presiden Chen.Di bawah rezim Presiden Chen, pemerintah Taiwan bersikeras untuk mendapatkan kembali kursi di PBB yang telah dirampas oleh Cina pada 1971.Karena saat itu Cina berhasil meyakinkan PBB bahwa representasi Cina di PBB juga berarti mewakili Taiwan.Namun kini internasional space yang diraih oleh Taiwan lewat posisi sebagai observer di World Health Assembly telah menjadi prestasi yang memuaskan bagi Taiwan. c. Diplomasi Budaya sebagai Instrumen Normalisasi Hubungan Cina-Taiwan Soft power dalam bentuk diplomasi budaya merupakan salah satu instrumen yang sangat efektif dalam rangka meredam friksi diplomatik antar negara.Oleh karena itu, untuk melanjutkan tren menjaga stabilitas Cina-Taiwan, Presiden Taiwan telah berinisiatif untuk meningkatkan program cultural and educational exchanges dengan Cina.110 Bahkan Presiden Taiwan, Ma Ying-jeou juga bersumpah bahwa walaupun Taiwan tidak akan pernah menyetujui agenda unifikasi di bawah bendera Cina, namun Taiwan tidak akan mendeklarasikan independensinya. Hal ini berarti Taiwan telah berkomitmen untuk melestarikan status quo dengan menghindari separatisme terhadap Cina untuk saat ini. 110 Vandana, A.1996.Theory of Internasional Politics:Cultural Diplomacy.New Delhi: Vikas Publishing House PVT LTD, page: 146 110 Di lain pihak, Presiden Cina, Hu Jintao pun telah meredam tindakan agresifnya untuk menundukkan Taiwan, walaupun unifikasi Taiwan-Cina masih menjadi tujuan utama Cina, namun untuk saat ini Presiden Hu terlihat cukup puas dengan stabilitas ekonomi dan integrasi budaya CinaTaiwan. 111 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pengakuan Amerika Serikat terhadap Cina RRC dan Cina Taiwan Pengakuan bersifat Double Standar dimana pengakuan intenasional Amerika Serikat memiliki makna ambiguitas. Masalah Cina dan Taiwan memang sangat rumit dan sulit untuk mendapatkan solusi yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak ( win-win solution ). Pada satu sisi Taiwan menginginkan kemerdekaan penuh dari Cina, namun dilain pihak Cina masih menginginkan Taiwan menjadi bagian dari “one China” sebagai provinsi. Hal tersebut berpengaruh pada hubungan negara lain dengan Cina maupun Taiwan. Negara lain cenderung akan sangat berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan Taiwan, karena untuk menjalin hubungan baik dengan Cina sebuah negara harus menghormati kebijakan “one China” dengan tidak memberikan pengakuan kepada Taiwan sebagai negara berdaulat. Namun, disisi lain Taiwan pun akan berusaha meminta suatu negara untuk mau mengakui kedaulatannya sebagai negara apabila ingin bekerjasama dengan Taiwan. 112 Kepentingan AS yang ada pada Cina maupun Taiwan ini hanya memperkeruh hubungan dua negara tersebut.Disatu pihak AS membutuhkan Taiwan sebagai benteng untuk mencegah pengaruh Cina dikawasan Asia Pasifik, namun AS pun ingin mempunyai hubungan baik dengan Cina.untuk memenuhi kepentingan nasionalnya AS tidak akan segan untuk mengkambing hitamkan salah satu negara. Kehadiran AS dengan kebijakan luar negeri terhadap kedua pihak yang ambigu membuat reunifikasi dan rekonsiliasi menjadi terhambat.Kedua pihak tersebut dapat lebih mudah untuk meredakan konflik yang terjadi apabila tidak ada campur tangan dari AS dengan ambiguitas kebijakannya terhadap kedua belah pihak.Hubungan antara Cina dan Taiwan memang tidak dapat dipisahkan dari campur tangan Amerika. Hal ini memang sudah terjadi sejak Civil War berkecamuk antara komunisme dan nasionalisme 2. Faktor faktor yang mempengaruhi Double Standard Amerika Serikat dalam interaksinya dengan Cina RRC maupun Cina Taiwan Penulis menyimpulkan pengakuan Amerika Serikat terhadap Cina RRC didasari faktor : a. Ekonomi b. Politik c. Militer 113 Sedangkan Perubahan sikap Amerika terhadap Taiwan juga didasari oleh a. Faktor Internal yaitu, Ekonomi, Politik dan Pertahanan Keamanan b. Faktor Eksternal yaitu. Potensi ancaman Cina RRC dalam persaingan ideologi Walaupun Amerika tidak harus selalu mendukung seluruh posisi Taiwan secara total di lingkup internasional. Amerika harus melakukan apa yang menjadi kepentingan Amerika tanpa harus melepas pengakuan terhadap RRC. Jadi bila kita lihat dari uraian di atas bahwa aliansi Amerika SerikatTaiwan itu saling tergantung pada kedua pihak, walaupun keamanan Taiwan sangat tergatung pada perlindungan Amerika, akan tetapi semua kepentingan Amerika Serikat di wakili oleh Taiwan. Sementara itu, dalam perkembangan dinamika relasi Cina-Taiwan kini, terlihat fakta bahwa hubungan keduanya diwarnai dengan tren menjaga stabilitas perdamaian.Walaupun agenda unifikasi Cina-Taiwan tetap tidak mungkin terjadi. Rekonsiliasi dengan Cina memang dirasakan telah menuai hasil yang positif dengan meredanya berbagai konflik antar dua negara tersebut. Namun impian Cina untuk melakukan reunifikasi Taiwan kedalam pemerintahan Beijing akan sangat sulit diwujudkan. 114 B. Saran Adapun saran penulis bagi terhadap Pengakuan Amerika Serikat terhadap Cina RRC dan Cina Taiwan adalah sebagai berikut : 1. Amerika Serikat sebagai Negara super power yang memiliki hegemoni kuat dalam politik internasional seharusnya memberikan kejelasan sikap recognition terhadap status Cina RRC dan Cina Taiwan. Merekonsiliasi konflik yang terjadi diantara kedua belah pihak. 2. Amerika Serikat meskipun memiliki national interest dari konflik Cina RRC dan Cina Taiwan tapi sebaiknya faktor-faktor tersebut dikesampingkan sehingga dapat menciptakan perdamaian dunia yang berlandaskan kemanusiaan dan stabilitas politik internasional. 115 DAFTAR PUSTAKA Adolf, Huala. 2002. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. Aust,Anthony. 2005. Handbook of International Law. United Kingdom: Cambridge University Press Burhan Tsani,Mohd. 1990. (Yogyakarta: Liberty Hukum dan Hubungan Internasional Hamidi. Metode Penelitian Kualitatif. Adol,Huala. 2003. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta :RajaGrafindo Kansil,C.S.T. 2001.Ilmu Negara Umum dan Indonesia.Jakarta :PT Pradnya Paramita Kusumaatmadja, Mochtar. Internasional.Bandung: Alumni 2011. Pengantar Hukum Mahmud Marzuki,Peter. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Manuputy, Alma dkk. 2008. Hukum Internasional. Depok: KDT Moleong,Lexy J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional 1. Sinar Grafika: Jakarta Suryokusumo, Sumaryo.1987. Organisasi Universitas Indonesia (UI-Press) Internasional.Jakarta: Suryokusumo, Sumaryo.1990. Hukum Organisasi Internasional.Jakarta :Universitas Indonesia (UI-Press) Thontowi, Jawahir, Pranoto Iskandar.2006. Hukum Kontemporer. Bandung :PT Refika Aditama Internasional Syahmin. 2008. Hukum Diplomatik. Jakarta :RajaGrafindo Persada Syahmin. 1992. Hukum Internasional Publik.Bandung: Bina Cipta Somario. 1987. Organisasi Internasional. Jakarta: UI press 116 Soehino. 1980. Ilmu Negara, Yogyakarta : Liberty Soekanto, Soerjono. 2011. RajaGrafindo Persada Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Tasrif, S. 1986. Hukum Internasional tentang Pengakuan dalam Teori dan Praktek.Jakarta Wayan, Patriana. 2003. Pengantar Hukum Internasional.Mandar Maju Wignjosoebroto, Soetandyo.1974. Penelitian Hukum Sebuah Tipologi dalam Masyarakat, (Tahun Ke I. Nomor 2) http://www.wikipedia.com,-tentang NEGARA.-html, tanggal 15 September 2013 Pukul 19.36 Wita. 117