BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dukungan Sosial 2.1.1 Pengertian Dukungan Sosial Dukungan sosial adalah bantuan yang diberikan orang-orang yang berada dalam lingkungan sosial individu seperti keluarga, teman, dan masyarakat (Olson , Breckler, & Wiggins, 2006). Dukungan sosial juga diartikan sebagai ketersediaan, penghargaan, kasih sayang, dan kepedulian dari orang-orang yang diandalkan oleh seseorang (Sarason, Levine, Basham, & Sarason, 1983). Sejalan dengan itu Uchino (2004, dalam Sarafino & Smith, 2012) menyatakan bahwa social support atau dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, kepedulian, atau bantuan yang diterima oleh individu dari seseorang atau sekelompok orang (Sarafino & Smith, 2012). Dukungan sosial bisa didapat dari banyak sumber seperti keluarga, pasangan, dokter, atau orang-orang dalam organisasi dan komunitas (Sarafino & Smith, 2012). Sarafino & Smith (2012) menyatakan tidak semua orang mendapatkan dukungan sosial. Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang tidak mendapatkan dukungan sosial adalah jika orang tersebut tidak bersosialisasi, tidak suka menolong orang lain, atau tidak membiarkan orang lain tau bahwa mereka membutuhkan bantuan. Efek dari dukungan sosial sangatlah kompleks karena agar benar-benar bisa membantu mengatasi permasalahan individu yang bersangkutan, jenis dukungan sosial yang diberikan harus sesuai dengan situasi yang dialami individu (Noller, Feeney, & Peterson, 2007). Dukungan sosial dapat meningkatkan rasa kepercayaan diri individu pada pilihannya sendiri (Feldman, 1985). Selain itu persepsi dan pemahaman seseorang mengenai sesuatu kemungkinan bisa didasarkan pada respon orang lain (Feldman, 1985). Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah bantuan yang diterima individu berupa saran, petunjuk, dukungan, materi, dan hal-hal yang terkait dengan masalah individu yang diberikan oleh orang-orang di lingkungan sosialnya seperti keluarga, orang tua, sekolah, guru, teman, dan kelompok masyarakat lainnya. 2.1.2 Aspek Dukungan Sosial Terdapat dua aspek yang terlibat dengan dukungan sosial, yaitu (Sarason, Levine, Basham, & Sarason, 1983) : a. Persepsi bahwa ada sejumlah orang yang cukup dapat diandalkan saat dibutuhkan oleh individu yang bersangkutan. Aspek ini terkait dengan kuantitas dukungan yang diterima individu. b. Derajat kepuasan individu terhadap dukungan yang didapatkan. Aspek ini terkait dengan kualitas dukungan yang dirasakan oleh individu yang bersangkutan. 2.1.3 Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial Menurut Winemiller, terdapat empat bentuk-bentuk dukungan sosial yang dapat diterima seseorang, yaitu (Noller, Feeney, & Peterson, 2007) : a. Emotional or esteem support (Dukungan emosi) Dukungan emosi yang diberikan bisa berupa empati, kepedulian, perhatian, penghargaan, dan memberikan semangat kepada individu yang bersangkutan. b. Tangible or instrumental support (Dukungan instrumental) Dukungan instrumental yang diberikan bisa berupa bantuan langsung seperti bantuan materi,finansial atau hal-hal yang secara nyata dibutuhkan oleh individu yang bersangkutan. c. Informational support (Dukungan informasi) Dukungan informasi yang diberikan bisa berupa pemberian nasehat, instruksi, saran, arahan, masukan, atau pemberian informasi mengenai hal-hal yang dibutuhkan individu. d. Companionship support (Dukungan pertemanan) Dukungan ini mengacu pada kesediaan orang lain untuk memberikan waktunya kepada individu yang bersangkutan, meciptakan suasana saling memiliki, sehingga individu merasa dirinya diterima dalam suatu kelompok. e. Reward support (Dukungan penghargaan) Dukungan ini mengacu pada penghargaan orang lain atas ide-ide atau performa individu sehingga dia merasa mampu dan dihargai oleh orang lain. 2.1.4 Sumber Dukungan Sosial Dukungan sosial akan lebih berarti bagi individu yang menerimanya jika diberikan oleh orang-orang tertentu yang memiliki hubungan signifikan atau dekat dengan individu yang bersangkutan. Dengan kata lain dukungan sosial akan lebih berguna bagi individu jika diberikan oleh orang tua, keluarga, teman, dan orang-orang yang memiliki kedekatan hubungan lainya (Taylor, 2012). Sejalan dengan hal itu, Winemiller dkk (1993, dalam Noller, Feeney, & Peterson, 2007) menyatakan terdapat beberapa sumber dukungan sosial untuk seseorang, yaitu keluarga, teman, pasangan, organisasi atau kelompok, rekan kerja, dan tetangga. Sementara Sarafino mengemukakan bahwa efektivitas dukungan tergantung dari penilaian individu (Sarafino & Smith, 2012). Dukungan akan menjadi efektif apabila dukungan tersebut dinilai adekuat oleh individu penerima (Sarafino & Smith, 2012). 2.1.5 Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Sosial Menurut Sarafino (Sarafino & Smith, 2012) tidak semua individu mendapatkan dukungan sosial dari orang-orang sekitarnya. Ada beberapa faktor yang menentukan seseorang menerima dukungan sosial, berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan sosial yang diterima individu : a. Penerima dukungan (Recipients) Seseorang akan memperoleh dukungan sosial jika dia juga melakukan hal-hal yang dapat memicu orang lain untuk memberikan dukungan terhadap dirinya. Yang dimaksud dalam hal tersebut adalah individu harus memiliki proses sosialisasi yang baik dengan lingkungannya, termasuk didalamnya membantu orang lain yang butuh pertolongan atau dukungan, dan membiarkan orang lain tahu bahwa dirinya membutuhkan dukungan atau pertolongan jika memang membutuhkan. Seseorang tidak mungkin menerima dukungan sosial jika dia tidak ramah, tidak pernah menolong orang lain, dan tidak assertive atau tidak terbuka kepada orang lain jika dia membutuhkan dukungan atau pertolongan. Hal ini terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara individu dan orang-orang sekitarnya, begitu pula sebaliknya. b. Penyedia dukungan (Providers) Providers yang dimaksud mengacu pada orang-orang terdekat individu yang dapat diharapkan menjadi sumber dukungan sosial. Ketika individu tidak mendapatkan dukungan sosial, bisa saja orang yang seharusnya memberikan dukungan sedang dalam kondisi yang kurang baik seperti tidak memiliki jenis bantuan yang dibutuhkan oleh recipients, sedang mengalami stress, atau kondisi-kondisi tertentu yang membuatnya tidak menyadari bahwa ada orang yang membutuhkan bantuannya. c. Komposisi dan struktur jaringan sosial Maksud dari komposisi dan struktur jaringan sosial adalah hubungan yang dimiliki individu dengan orang-orang dalam keluarga dan lingkungannya. Hubungan ini dapat dilihat dalam ukuran (jumlah orang yang sering berhubungan dengan individu), frekuensi hubungan (seberapa sering individu bertemu dengan orang-orang tersebut), komposisi (apakah orang-orang tersebut merupakan anggota keluarga, teman, rekan kerja dan sebagainya) dan intimasi (kedekatan hubungan individu dan kepercayaan satu sama lain). Selain itu menurut Sarafino (Sarafino & Smith, 2012), terdapat faktor-faktor yang menjadi penyebab dari penolakan sebuah dukungan, yaitu : a. Bantuan yang diberikan orang lain tidak sesuai dengan kebutuhan individu sehingga tidak membantu individu mengatasi masalah yang sedang dialami. Selain itu, hal ini dapat terjadi jika individu tidak menginginkan bantuan tersebut atau memang tidak menyadari bantuan yang diberikan. b. Kesesuaian antara dukungan sosial dengan kebutuhan menekankan pentingnya jenis dukungan sosial dengan kebutuhan individu. Efek positif dari dukungan sosial sangat jelas terlihat jika orang yang menyediakan dukungan sosial menyadari kebutuhan-kebutuhan khusus yang dibutuhkan oleh individu sesuai dengan masalah yang dihadapi (stressor). Sehingga penting bagi provider dukungan sosial untuk tidak hanya menentukan apa akan memberi dukungan atau tidak, tetapi juga mengetahui jenis dukungan yang dibutuhkan. 2.2 Kematangan Karir 2.2.1 Pengertian Kematangan Karir Teori perkembangan karir pertama kali diperkenalkan oleh oleh Donald E. Super dalam sebuah literatur tahun 1955 (Naidoo, 1998). Teori ini menjadi salah satu teori yang paling dikenal dan menjadi landasan konsep untuk konseling karir dan pendidikan di sekolah maupun universitas (Herr & Cramer, 1984 dalam Naidoo, 1998). Teori ini juga dimanfaatkan dalam program-program perkembangan karir di bidang bisnis, industri, dan pemerintahan (Hall, 1984 dalam Naidoo, 1998). Teori perkembangan ini membahas mengenai perubahan yang dihadapi setiap orang ketika mereka dewasa yang menekankan pada pilihan karir seseorang dan bagaimana mereka beradaptasi (Callanan & Greenhaus, 2006). Super sendiri mengartikan kematangan karir sebagai kedewasaan dimana seseorang kemampuan dan kesiapan seseorang untuk menyelesaikan atau mengorganisir tugas-tugas khas yang terdapat dalam setiap tahapan perkembangan karir di usia mereka (Gonzalez, 2008). Super membagi kematangan karir ke dalam lima dimensi atau faktor, yaitu : career planning, career exploration, career decision making, dan world of work information. Crites (1968, dalam Gonzalez, 2008) membandingkan kematangan karir atau kedewasaan seseorang dengan orang lain di usia yang berbeda namun berada dalam tahapan kedewasaan yang sama. Sementara itu menurut Savickas (1984, dalam Patton & Creed, 2001) kematangan karir mengacu pada kesiapan individu dalam mencari informasi, membuat keputusan karir, dan mengatasi tugas-tugas pengembangan karir. Levinson dkk (1998, dalam Patton & Creed, 2001) mendefinisikan kematangan karir sebagai kemampuan individu untuk menentukan pilihan karir yang sesuai, realistis, dan konsisten dari waktu ke waktu. Selanjutnya, kematangan karir juga diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk membuat keputusan karir yang tepat, realistis, konsisten, dan kesadaran mengenai apa saja yang dibutuhkan untuk karir yang dipilihnya tersebut Crites (1971, dalam Patton & Creed, 2001) menyatakan bahwa kematangan karir terdari dua dimensi yaitu afektif dan kognitif. Dimensi kognitif terdiri dari keterampilan dalam pengambilan keputusan dan wawasan mengenai dunia kerja, sedangkan dimensi afektif meliputi perencanaan karir dan sikap seseorang terhadap proses pengambilan keputusan tersebut. Dari pernyataan beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kematangan karir adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan tugas-tugas pada setiap tahap perkembangan dan kemampuan individu dalam menentukan keputusan karir yang realistis dan konsisten 2.2.2 Dimensi Kematangan Karir Donald E. Super (dalam Sharf, 2006) menyatakan kematangan karir dapat diukur dalam beberapa dimensi, yaitu : a. Career Planning Dimensi career planning atau perencanaan karir mengukur tingkat perencanaan individu dengan melihat sikap terhadap masa depan. Maksudnya adalah bagaimana individu mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai karir yang diminatinya, kesadaran individu untuk membuat keputusan mengenai pekerjaan, dan mempersiapkan diri untuk keputusan tersebut. Pada dasarnya hal ini mengacu pada perencanaan, persiapan, dan usaha individu dalam pilihan karir yang diinginkannya. Nilai rendah pada dimensi ini menunjukan individu merasa tidak perlu merencanakan karir dan masa depannya atau individu pasif pada hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan. Sebaliknya, nilai tinggi menunjukan individu yang aktif dalam merencanakan karir dan masa depannya, seperti mencari informasi dan mempersiapkan diri agar lebih kompeten. b. Career exploration Career exploration atau eksplorasi karir adalah usaha individu dalam mencari dan memperoleh informasi yang terkait dengan perencanaan karirnya dengan memanfaatkan sumber informasi yang reliable misalnya seperti guru bimbingan konseling di sekolah, keluarga orangtua, kerabat, dan sebagainya. Aspek yang diukur dalam dimensi ini adalah mengupulkan informasi dari berbagai sumber dan memanfaatkannya. Nilai rendah pada dimensi ini menunjukan bahwa individu tidak berusaha untuk mencari informasi dan tidak peduli mengenai dunia pekerjaan atau karir yang diinginkannya. c. Career decision making Career decision making atau membuat keputusan karir adalah kemampuan individu untuk mandiri terhadap pilihan karir yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Dimensi ini mengukur cara individu dalam membuat keputusan. Nilai rendah pada dimensi ini menunjukan bahwa individu belum dapat membuat keputusan dan pilihan mengenai karir yang diinginkannya. Sementara nilai tinggi pada dimensi ini menunjukan bahwa individu sudah dapat megambil keputusan mengenai karir yang didasari oleh minat, kemampuan, dan memanfaatkan informasi dari sumber-sumber yang terpercaya. d. World of work information Dimensi ini mengukur bagaimana individu mengeksplorasi minat dan kemampuan apa saja yang dimilikinya untuk selanjutnya dihubungkan dengan pilihan karir. Selain itu dimensi ini juga mengukur pengetahuan individu mengenai hal-hal yang berhubungan dengan dunia kerja. Contohnya adalah jenis-jenis pekerjaan, jabatanjabatan dalam pekerjaan, bagaimana cara untuk memperoleh pekerjaan, cara untuk sukses dalam bekerja, dan lain sebagainya. Nilai rendah pada dimensi ini menunjukan bahwa individu masih perlu belajar untuk memahami kemampuan dirinya dan memahami lebih dalam mengenai dunia pekerjaan itu sendiri. 2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kematangan Karir Seligman (1994, dalam Pinasti, 2011) menyimpulkan beberapa faktor yang mempengaruhi kematangan karir seseorang, yaitu : a. Faktor keluarga Keluarga memiliki peran penting dalam kematangan karir seseorang. Keluarga adalah lingkungan sosial pertama dimana pengalaman masa kecil atau perilaku orangtua sebagai role model ikut serta membentuk karakter dan pandangan anak. Penick dan Jepsen (1992, dalam Pinasti, 2011) mengemukakan bahwa keluarga menjadi salah satu faktor yang lebih berpengaruh dalam kematangan karir, daripada faktor lain seperti gender atau sosial-ekonomi. b. Faktor internal individu Faktor internal individu terhadap kematangan karir mencakup self esteem (harga diri), self expectation (pengharapan diri), self efficacy (keyakinan akan kemampuan diri), locus of control, minat, bakat, keterampilan, dan kepribadian. c. Faktor sosial-ekonomi Faktor sosial-ekonomi yang mempengaruhi kematangan karir individu dibagi lagi menjadi tiga, yaitu : 1. Lingkungan Lingkungan berperan penting dalam kematangan karir individu dalam beberapa hal, misalnya kesempatan untuk individu dan informasi mengenai pekerjaan yang diminati dan sesuai untuk individu itu sendiri. Lingkungan memberikan kesempatan lapangan kerja bagi individu. Selain itu beberapa peneliti menyatakan masyarakat yang tinggal di kota kecil cenderung mendapatkan informasi pekerjaan yang minim, hal ini semakin memperkecil pilihan karir bagi orang-orang yang tinggal di daerah tersebut (Anderson & Apostal, 1971; Sewell & Orenstein, 1965; Seligman, 1994 dalam Pinasti, 2011). 2. Status sosial-ekonomi Secara garis besar individu yang berasal dari status sosial-ekonomi yang rendah biasanya memiliki cita-cita yang rendah pula. Hal ini disebabkan oleh kurangnya role model yang kuat, low self esteem, dan kurangnya ketersediaan informasi mengenai karir, dan lain-lain. Inilah mengapa status sosial ekonoi yang rendah bisa menjadi alasan mengapa mereka memiliki kematangan karir yang rendah (Rojewski dalam Kerka, 1998 dalam Pinasti, 2011). 3. Jenis kelamin Luzzo (1995 dalam Akbulut, 2010 dalam Pinasti, 2011) menyatakan bahwa perempuan memiliki kematangan karir yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Salah satu penyebabnya adalah perempuan lebih mampu dalam menghadapi hambatan karir dibandingkan dengan laki-laki (Akbalik, 1996 dalam Akbulut, 2010 dalam Pinasti, 2011). Berbanding terbalik dengan pernyataan diatas, penelitian yang dilakukan oleh Hasan (2006 dalam Pinasti, 2011) menyatakan tingkat kematangan karir pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Hal ini disebabkan karena laki-laki lebih memiliki keinginan kuat terhadap karirnya di masa depan, sementara perempuan lebih fokus terhadap pernikahan. Selain itu penelitian yang dilakukan Powell dan Luzzo (1998) bahwa laki-laki pada tingkat SMA lebih memiliki kepercayaan bahwa pemilihan karir berada dalam kontrol mereka sendiri, dibandingkan dengan perempuan. Anthony Naidoo (1998) memaparkan 6 faktor yang mempengaruhi kematangan karir seseorang, yaitu : a. Educational level differences Tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kematangan karir individu. Penelitian-penelitian yang fokus pada tingkat pendidikan atau kelas dalam perkembangan karir menunjukan hasil yang sama, yaitu kematangan karir meningkat seiring dengan semakin tingginya level pendidikan atau kelas individu (Naidoo, 1998). Hubungan yang positif antara kematangan karir dengan tingkat pendidikan juga telah diuji dalam beberapa penelitian lintas budaya pada tingkat SMA di Nigeria (Achebe, 1975), Israel (Fouad, 1988; Karayanni, 1981), India (Gupta, 1987), dan Afrika Selatan (Watson, 1984) (Naidoo, 1998). b. Sex differences Penelitian yang terkait dengan perbedaan gender dalam kematangan karir menemukan bahwa anak perempuan di tingkat SMA mendapatkan score yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki dalam kematangan karir. Hal ini ditemukan dalam beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai tingkat pendidikan (Herr & Enderlein, 1976; Mintzer, 1976; Omvig & Thomas, 1977 dalam Naidoo, 1988). Selain itu terdapat juga penelitian yang menemukan bahwa wanita tidak hanya lebih matang dalam karir tetapi juga lebih berkomitmen dalam bekerja (Naidoo, 1993). Walaupun demikian terdapat juga beberapa penelitian dengan hasil yang kontras, yaitu laki-laki lebih memiliki kematangan karir dibandingkan wanita (Naidoo, 1998) c. Sosioeconomic status Super (1990, dalam Naidoo, 1998) menyatakan bahwa pola karir individu seperti urutan dan level kerja yang dicapai, dan frekuensi pekerjaan yang stabil, salah satunya ditentukan oleh tingkat sosial-ekonomi individu. d. Locus of control Beberapa teori psikologi perkembangan karir seperti Super berasumsi bahwa individu memiliki tingkat kontrol dalam proses pemilihan karir, meskipun dalam prosesnya terdapat rintangan dan pengaruh eksternal (Hotchkiss & Borow, 1990 dalam Naidoo, 1998). Gardner (1981, dalam Nidoo, 1988) juga berpendapat bahwa sangat logis untuk berhipotesis mengenai hubungan antara konsep kematangan karir dan LOC, dimana dia menyatakan bahwa orang dengan kematangan karir yang tinggi biasanya memiliki locus of contol internal. e. Race and cultural differences Penelitian yang dilakukan oleh Lee (1984) mengenai efek dari etnis, jenis kelamin, pengaruh orang tua, konsep diri, dan tingkat kematangan karir yang dilakukan pada siswa SMA yang berasal dari berbagai etnis menunjukan hasil dimana ras minoritas cenderung dikaitkan dengan kematangan karir yang rendah. f. Work role salience Work salience didefinisikan oleh Greenhaus (1971, dalam Naidoo, 1998) sebagai pentingnya pilihan pekerjaan dan kepuasan akan pekerjaan yang dirasakan individu. Hal ini mengacu pada komitmen individu tersebut terhadap pekerjaannya. Dalam beberapa literatur, work salience secara umum juga telah banyak dihubungkan sebagai variabel bebas yang berdampak pada berbagai masalah karir. Termasuk dengan kematangan karir. Dalam beberapa penelitian, work salience menjadi salah satu faktor yang merangsang eksplorasi karir seseorang, tidak hanya pada mahasiswa (Greenhaus & Sklarew, 1981 dalam Naidoo, 1998), tetapi juga pada orang dewasa (Sugalski & Greenhaus, 1986 dalam Naidoo, 1998). Selain itu dalam penelitian yang dilakukan Super dan Navill (1984, dalam Naidoo 1998) mendapatkan hasil bahwa work salience mempengaruhi kematangan karir pada siswa SMA. Sementara itu Powell dan Luzzo (1998) mengungkapkan dari sejumlah penelitian diketahui bahwa kematangan karir pada siswa SMA dapat dikaitkan dengan gender, intelektual siswa, attributional style, faktor demografis, umur, dan sistem pendidikan. 2.2.4 Tahapan Perkembangan Karir Super membagi lima tahapan perkembangan karir, dimana lima tahapan tersebut dibagi lagi menjadi beberapa substages yang didasari atas tipe-tipe tugas perkembangan di setiap tahap. Tahapan perkembangan karir tersebut adalah (Gladding, 2013). a. Growth (0-14) Dalam tahapan perkembangan ini individu meningkatkan kesadaran diri dan konsep diri, mengembangkan kapasitas diri, dan mengembangkan minatnya. Individu pada tahapan ini dapat mengidentifikasikan perannya sebagai bagian dari anggota keluarga dan sekolah. Individu sudah mampu membentuk pemahaman general hingga akhirnya dapat menetapkan tujuan. Tahapan ini dibagi lagi menjadi tiga, yaitu : 1. Fantasies Substages ini dimulai dari umur 4 sampai 11 tahun, ditandai dengan dominannya aspek kebutuhan akan keingintahuan dan pentingnya peran dalam fantasi. 2. Interest Substages ini dimulai dari umur 11 sampai 12 tahun, ditandai dengan perasaan senang terhadap perannya sebagai determinan (penentu) utama dalam aspirasi dan aktivitasnya. 3. Capacity Substages ini dimulai dari umur 13 sampai 14 tahun, ditandai dengan kemampuan anak untuk mempertimbangkan kemampuan apa saja yang dia miliki dan sudah dapat memprediksi persyaratan-persyaratan dari pekerjaan yang diminatinya. b. Exploration (14-24) Dalam tahapan perkembangan ini tugas individu adalah mengeksplorasi beragam jenis pekerjaan, menilai dirinya sendiri, dan sudah memikirkan berbagai alternatif karir yang sesuai dengan kemampuannya walaupun keputusan yang diambilnya masih bersifat tentatif. Tahapan ini dibagi lagi menjadi tiga substages, yaitu: 1. Tentative Substages ini dimulai dari umur 15 sampai 17 tahun, ditandai dengan individu mulai mempertimbangkan aspek kebutuhan, minat, bakat, dan kesempatan. Keputusan karir ini masih bersifat tentatif dimana individu mencoba untuk mengujinya dan menggali lebih dalam mengenai pekerjaan tersebut melalui fantasi, diskusi, kursus, kerja, dan sebagainya. Dalam tahapan ini individu sudah dapat mengidentifikasi bidang dan level pekerjaan yang sesuai dengan dirinya. 2. Transisi Substages ini dimulai dari umur 18 sampai 21 tahun, ditandai dengan individu yang lebih mempertimbangkan secara realistis untuk memasuki dunia kerja 3. Trial-Little Commitment Substages ini dimulai dari umur 22 sampai 24 tahun, ditandai dengan mulai menemukannya lapangan pekerjaan yang sangat potensial untuk dirinya. Walaupun dalam hal ini individu belum benar-benar berkomitmen dalam pekerjaannya tersebut, karena sifatnya yang masih sementara. Jika individu merasa bahwa pekerjaannya tidak sesuai dengan dirinya maka individu harus menerapkan minat dan konsep diri yang lebih realistis. c. Establishment (24-44) Ciri-ciri dalam tahapan perkembangan ini adalah individu sudah memiliki karir di bidang yang sesuai dengan dirinya dan berusaha untuk memantapkan kedudukannya secara permanen. Tahapan perkembangan ini dibagi lagi menjadi dua substages, yaitu : 1. Trial-commitment and stabilization Substages ini dimulai dari umur 25 sampai 30 tahun, ditandai dengan usaha untuk mempertahankan posisi dalam pekerjaannya secara permanen. Walaupun pada prosesnya individu mengalami percobaan sebelum akhirnya menemukan pekerjaan yang sesuai. 2. Advancement Substages ini dimulai dari umur 31 sampai 44 tahun, ditandai dengan usahausaha untuk mengarahkan dan mengstabilisasikan karirnya. Sebagian besar orang dalam tahapan ini sudah mendapatkan senioritas dalam lingkungan pekerjaannya dan mampu menunjukan serta meningkatkan kualitas kerjanya. d. Maintenance (44-64) Individu dalam tahapan perkembangan ini sudah mempertahankan pekerjaannya. Individu melanjutkan aspek-aspek pekerjaan yang memberikan kepuasan baginya dan memperbaiki aspek yang tidak menyenangkan. Issue pada tahap ini adalah individu mempertahankan posisinya dari tekanan pegawai yang lebih muda (Orang-orang dalam substages advancement). e. Decline (65 tahun keatas) Individu dalam tahapan perkembangan ini memasuki masa dimana kekuatan fisi dan mental menurun serta terjadinya perubahan aktifitas. Individu mulai mempersiapkan diri untuk memasuki masa pensiun dan mencoba mengembangkan peran barunya setelah dia melepas pekerjaannya. Individu juga harus menemukan sumber kepuasan untuk mengganti hal-hal yang hilang pasca pensiun. Tahapan perkembangan ini dibagi lagi menjadi dua substages, yaitu : 1. Deceleration Substages ini dimulai pada umur 65 sampai 70 tahun, ditandai dengan mengurangnya intensitas dan kapasitas kerja. Kebanyakan orang mencoba untuk menemukan pekerjaan paruh waktu untuk menggantikan pekerjaan utama sebelumnya. 2. Retirement Substages ini dimulai pada umur 71 tahun keatas, ditandai dengan individu yang sudah benar-benar pensiun, sehingga dia mencoba untuk menghabiskan waktunya dengan hal-hal yang menyenangkan baginya. Selain itu Super juga mengemukakan bagaimana proses perkembangan pemilihan karir individu dan membaginya menjadi 5 (Agoes, 2004) yaitu : a. Cristalization Fase dimana individu mencari pengetahuan dan keterampilan yang didapat dari pendidikan formal dan non-formal guna mempersiapkan masa depannya. Upaya ini ditempuh individu pada usia 14-18 walaupun pada kenyataannya, anak sudah mendapatkan pengetahuan dan keterampilan sejak taman kana-kanak atau sekolah dasar. b. Spesification Fase dimana individu sudah menyelesaikan pendidikan setingkat SMA dan meneruskan pendidikan dengan memilih fokus ilmu yang lebih spesifik dan sesuai dengan minat bakatnya (universitas atau akademi). Fase ini ditempuh individu pada usia 18-25 tahun. c. Implementation Fase dimana individu mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang dia dapat di masa sebelumnya secara nyata atau masa setelah individu menyelesaikan pendidikannya dan menerapkan ilmu yang dia dapat dalam pekerjaannya. Fase ini ditempuh individu pada usia 25-40 tahun. d. Stabilization Fase dimana individu benar-benar menekuni dan menjadi ahli di bidang pekerjaannya. Selain itu sebagian besar orang di tahap ini juga sudah mencapai posisi penting dalam karirnya, misalnya dekan fakultas, kepala rumah sakit, direktur perusahaan, dan lain-lain. Hal ini membuat individu yang berada pada tahapan stabilisasi memiliki kemampuan dan wewenang untuk mengatur suatu organisasi. Fase ini ditempuh individu pada usia 40-50 tahun. e. Consolidation Fase dimana individu yang sudah mencapai puncak karir, mulai memikirkan kembali mengenai apa yang telah dilakukannya, keberhasilan, dan kegagalan yang dialaminya selama ini. Setelah itu individu menggabungkan pengalamannya tersebut ke dalam kepribadiannya guna menjadikan dirinya orang yang lebih baik. Hal ini dimaksudkan agar individu semakin menyadari makna hidup dan menerapkan sikap kebijaksanaan pada dirinya yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya. Fase ini ditempuh individu pada usia 50 tahun keatas. 2.3 Remaja Menurut Santrock (2012) remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, sosial emosional. Aristoteles (dalam Santrock, 2012) menyatakan bahwa hal yang paling penting dalam aspek perkembangan remaja adalah kemampuan untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri. Selain menurut Aristoteles ada beberapa hal yang menjadi fokus dalam perkembangan remaja yaitu identitas, kemandirian, dan pemilihan karir. Dalam buku Pengantar Psikologi Umum (Sarwono S. W., 2010) Tingkat-tingkat perkembangan dalam masa remaja dapat dibagi dalam berbagai cara, salah satunya disampaikan oleh “The American School Counselor Association (ASCA)” yaitu : remaja awal (12-14 tahun), remaja pertengahan (15-16 tahun), remaja akhir (17-19 tahun). 2.3.1 Aspek-Aspek Perkembangan Remaja a. Perkembangan fisik Yang dimaksud dengan perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik. Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan kemampuan kognitif (Papalia, 2009). b. Perkembangan kognitif Piaget mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (Papalia, 2009). c. Perkembangan kepribadian dan sosial Perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan kepribadian yang penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud dengan pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erikson, dalam Papalia, 2009). 2.3.2 Tahapan Perkembangan Remaja Ada tiga tahap perkembangan remaja terkait dengan proses penyesuaian diri menuju dewasa, yaitu (Sarwono, 2010) : a. Remaja Awal (Early Adolescence) Remaja pada tahapan ini dimulai dari usia 10-12 tahun. Pada tahap ini remaja masih belum terlalu terbiasa dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya baik itu perubahan fisik maupun sifat. Mereka mulau dapat mengembangan pikiran baru dan berkurangnya kendali terhadap “ego” sehingga sulit dipahami oleh orang dewasa. b. Remaja Madya (Middle Adolescence) Remaja pada tahapan ini dimulai dari usia 13-15 tahun. Pada tahapan ini remaja sangat membutuhkan sahabat dan lebih berorientasi pada sahabat-sahabatnya. Remaja pada tahapan ini seringkali mengalami kebingungan jika dihadapkan pada pilihan dan harus menentukan satu keputusan diantara beberapa keputusan. c. Remaja Akhir (Late Adolescence) Remaja pada tahapan ini dimulai dari usia 16-19 tahun. Ini adalah tahapan transisi menuju kedewasaan yang ditandai dengan beberapa hal seperti : minat yang semakin jelas, terbentuk identitas seksual yang cenderung permanen, mulai berusaha menyeimbangkan kepentingan diri sendiri dan orang lain, serta tumbuh keinginan untuk mencari pengalaman baru. Sementara itu menurut Eli Ginzberg (1972, dalam Santrock 2012) ada tiga tahap perkembangan pemilihan karir pada anak hingga remaja, yaitu : a. Fantasi Sampai usia 11 tahun seorang anak berada dalam tahap fantasi. Individu pada masa ini merasa masa depan memberikan jutaan kesempatan baginya. Pilihan karir yang dibuatnya juga belum realistis atau hanya berdasarkan dengan fantasinya. b. Tentatif Tahapan ini dimulai dari usia 11 hingga 17 tahun. Di tahap ini individu mengalami transisi perkembangan pemilihan karir dari masa kecil yang penuh fantasi ke masa dewasa muda yang lebih realistis. Kemajuan remaja dapat dilihat dari kemajuan dan kemampuan untuk mulai mengevaluasi minat (usia 11-12 tahun), mengevaluasi kemampuan (13-14 tahun), sampai dengan mengevaluasi nilai mereka (15-16 tahun). c. Realistis Tahapan ini dimulai dari usia 17/18 hingga awal 20-an. Di tahap ini individu mulai memikirkan karir yang sesuai dengan minat dan kemampuan mereka, memfokuskan diri dalam melakukan usaha-usaha untuk mendapatkan karir tersebut, hingga memilih pekerjaan yang lebih spesifik (seperti menjadi dokter anak dalam karir kedokteran). 2.4 Kerangka Berpikir Pengangguran merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi oleh negara- negara berkembang seperti Indonesia. Pengangguran yang tidak segera diatasi akan menimbulkan kerawanan sosial, dan berpotensi mengakibatkan kemiskinan (Badan Pusat Statistik, 2007). Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan kenaikan jumlah pengangguran di Indonesia tahun 2015 ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2014 yang julahnya 210 ribu jiwa (Sari, 2015). Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, masalah ini harus segera diatasi. Terlebih lagi dengan adanya fenomena bonus demografi yang diprediksi akan meningkatkan perekonomian Indonesia pada tahun 2020-2030. Hal ini harus dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah maupun seluruh masyarakat. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah meningkatkan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) dari segala sisi, termasuk pendidikan. Untuk dapat memanfaatkan fenomena tersebut, banyak hal yang harus diperbaiki seperti angka pengangguran yang semakin meningkat. Di Bogor sendiri, angka pengangguran mencapai 230 ribu jiwa dimana jumlah ini merupakan yang paling tinggi di provinsi Jawa Barat (Putri, 2014). Pengangguran di Kota Bogor saat ini didominasi oleh lulusan SMA (Simanungkalit, 2015). Menurut Greenbank dan Hepworth (2009) tingginya angka pengangguran adalah salah satu indikator lemahnya perencanaan karir lulusan SMA, diploma maupun sarjana. Untuk mempersiapkan fenomena bonus demografi dan juga meningkatkan kesejahteraan Indonesia, dalam hal ini yang wajib dilakukan adalah mempersiapkan generasi muda atau siswa untuk menghadapi tantangan karir di era global dengan membantu mereka merencanakan karir yang disesuaikan dengan potensi dan minat siswa. Jika para siswa sudah mengetahui dan mampu merancang karir yang mereka inginkan, mereka akan lebih terfokus untuk menyusun langkah-langkah yang tepat agar cita-cita dan karir yang mereka inginkan bisa tercapai. Jika dilakukan dengan baik, hal ini bisa mengurangi angka pengangguran nantinya. Kemampuan siswa untuk mengetahui minat dan bakat, serta merancang dan menentukan karir disebut dengan kematangan karir. Menurut Super kematangan karir adalah kedewasaan seseorang yang dilihat daari kemampuan dan kesiapannya untuk mengorganisir tugas-tugas khas yang terdapat dalam setiap tahapan perkembangan karir di usia mereka (Gonzalez, 2008). Super membagi kematangan karir ke dalam 4 dimensi yaitu career planning dimana individu mempersiapkan diri terhadap karir yang sesuai dengan minatnya, Career exploration atau bagaimana individu mencari informasi mengenai karir dan dunia kerja itu sendiri, Career decision making atau membuat keputusan karir yang sesuai dengan minat dan bakatnya, terakhir adalah world of work information yaitu bagaimana individu mengeksplorasi dunia kerja secara umum (Sharf, 2006). Dalam prosesnya, terdapat beberapa faktor yang dapat dihubungkan dengan kematangan karir siswa SMA, seperti pengaruh orang-orang terdekat atau yang dapat disebut dengan dukungan sosial. Dukungan sosial adalah bantuan yang diberikan orangorang yang berada dalam lingkungan sosial individu seperti keluarga, teman, dan masyarakat (Olson , Breckler, & Wiggins, 2006). Bentuk bantuan yang dimaksud dapat dibagi menjadi lima yaitu dukungan emosional (empati, perhatian, kepedulian), dukungan instrumental (materi,jasa), dukungan informasi (nasehat, instruksi, sarah, masukan, pemberian informasi), dukungan pertemanan (waktu luang, perasaan saling memiliki), dan dukungan penghargaan (apresiasi terhadap ide atau performa individu). Dukungan emosional mencakup kesediaan orag lain untuk mendengarkan keluhan individu yang bersangkutan. Dukungan sosial akan lebih berpengaruh terhadap individu jika diberikan oleh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan individu yang bersangkutan seperti orang tua, anggota keluarga, kekasih, sahabat, guru, dan lain-lain. Selain itu, hal yang harus diperhatikan adalah kesesuaian bentuk dukungan dengan kondisi dan kebutuhan siswa. Karena salah satu faktor yang membuat nilai dukungan sosial kecil adalah jika bantuan yang diberikan tidak sesuai dan tidak membantu siswa dalam menyelesaikan masalahnya atau stressor. Contohnya jika siswa membutuhkan dukungan informasi mengenai pilihan karir apa saja yang sesuai dengan bakatnya, tetapi lingkungan sosial hanya memberikan dukungan emosional saja. Tidak adanya dukungan sosial akan membuat siswa kurang percaya diri, tidak mendapat bantuan yang sistematis mengenai perencanaan karir, sehingga akhirnya menyebabkan kematangan karirnya menjadi kurang. Ketidak hadiran dukungan sosial bisa disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah sosial ekonomi. Badan Pusat Statistik mencatat Bogor sebagai salah satu daerah yang tingkat kemiskinannya tinggi di Jawa Barat dimana angkanya mencapai 24,68% (Prima, 2010). Hal ini dapat menyebabkan rendahnya perencanaan karir siswa, karena secara garis besar individu yang berasal dari status sosial ekonomi rendah biasanya memiliki cita-cita yang rendah pula. Hal ini disebabkan oleh kurangnya role model yang kuat, low self esteem, dan kurangnya ketersediaan informasi mengenai karir, dan lain-lain (Rojewski dalam Kerka, 1998 dalam Pinasti, 2011). Selain sosial ekonomi ada juga permasalahan umum seperti UN dan PTN yang menyebabkan terjadinya disorientasi sistem pembelajaran bagi siswa baik di sekolah maupun rumah. Hal ini membuat mata pelajaran seperti Bimbingan Konseling yang menjadi wadah bagi siswa untuk memperdalam perencanaan karirnya menjadi didiskriminasi. Selain itu orang tua yang terlalu memaksa anaknya untuk masuk ke universitas negeri dengan tidak mempertimbangkan minat dan bakat anaknya, semakin membuat siswa tidak dapat merencanakan karirnya dengan baik. Padahal universitas negeri maupun swasta tidak menjamin kesuksesan seseorang. Justru yang paling penting adalah memberi dukungan pada siswa untuk merencanakan karir dan memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Jika hal ini dilakukan maka ketika nantinya turun ke dunia kerja, siswa sudah tau apa yang akan dia lakukan dan pada akhirnya dapat menekan angka pengangguran. Untuk memaksimalkan dukungan, bentuk-bentuk dukungan sosial yang diberikan harus disesuaikan dengan kebutuhan individu yang bersangkutan. Seperti memberikan masukan, saran, opini dan arahan mengenai pilihan karir yang sesuai dengan minat dan bakat siswa, sehingga siswa memiliki career planning dan career decision making yang baik dan matang. Selain itu sekolah, tenaga pendidik, atau orang tua bisa memfasilitasi siswa dalam mencari informasi mengenai karir yang diminatinya dan memberi pengetahuan mengenai dunia kerja itu sendiri. Dalam hal ini dapat dikatakan lingkungan sosial ikut membantu proses career exploration dan world of work information siswa. Lingkungan sosial juga dapat memberikan dukungan berupa materi dan perasaan kasih sayang kepada siswa sehingga siswa merasa didukung dan semakin percaya diri akan pilihan yang dibuatnya. Dengan adanya dukungan sosial diharapkan siswa akan lebih matang dalam perkembangan karirnya. Gambar 2.1 Kerangka Berpikir