BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dukungan Sosial 2.1.1 Pengertian

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Dukungan Sosial
2.1.1 Pengertian Dukungan Sosial
Dukungan sosial adalah bantuan yang diberikan orang-orang yang berada dalam
lingkungan sosial individu seperti keluarga, teman, dan masyarakat (Olson , Breckler, &
Wiggins, 2006). Dukungan sosial juga diartikan sebagai ketersediaan, penghargaan,
kasih sayang, dan kepedulian dari orang-orang yang diandalkan oleh seseorang
(Sarason, Levine, Basham, & Sarason, 1983). Sejalan dengan itu Uchino (2004, dalam
Sarafino & Smith, 2012) menyatakan bahwa social support atau dukungan sosial
mengacu pada kenyamanan, kepedulian, atau bantuan yang diterima oleh individu dari
seseorang atau sekelompok orang (Sarafino & Smith, 2012). Dukungan sosial bisa
didapat dari banyak sumber seperti keluarga, pasangan, dokter, atau orang-orang dalam
organisasi dan komunitas (Sarafino & Smith, 2012).
Sarafino & Smith (2012) menyatakan tidak semua orang mendapatkan dukungan
sosial. Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang tidak mendapatkan dukungan
sosial adalah jika orang tersebut tidak bersosialisasi, tidak suka menolong orang lain,
atau tidak membiarkan orang lain tau bahwa mereka membutuhkan bantuan.
Efek dari dukungan sosial sangatlah kompleks karena agar benar-benar bisa
membantu mengatasi permasalahan individu yang bersangkutan, jenis dukungan sosial
yang diberikan harus sesuai dengan situasi yang dialami individu (Noller, Feeney, &
Peterson, 2007).
Dukungan sosial dapat meningkatkan rasa kepercayaan diri individu pada
pilihannya sendiri (Feldman, 1985). Selain itu persepsi dan pemahaman seseorang
mengenai sesuatu kemungkinan bisa didasarkan pada respon orang lain (Feldman,
1985).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah bantuan
yang diterima individu berupa saran, petunjuk, dukungan, materi, dan hal-hal yang
terkait dengan masalah individu yang diberikan oleh orang-orang di lingkungan
sosialnya seperti keluarga, orang tua, sekolah, guru, teman, dan kelompok masyarakat
lainnya.
2.1.2 Aspek Dukungan Sosial
Terdapat dua aspek yang terlibat dengan dukungan sosial, yaitu (Sarason,
Levine, Basham, & Sarason, 1983) :
a.
Persepsi bahwa ada sejumlah orang yang cukup dapat diandalkan saat dibutuhkan
oleh individu yang bersangkutan. Aspek ini terkait dengan kuantitas dukungan yang
diterima individu.
b.
Derajat kepuasan individu terhadap dukungan yang didapatkan. Aspek ini terkait
dengan kualitas dukungan yang dirasakan oleh individu yang bersangkutan.
2.1.3 Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial
Menurut Winemiller, terdapat empat bentuk-bentuk dukungan sosial yang dapat
diterima seseorang, yaitu (Noller, Feeney, & Peterson, 2007) :
a.
Emotional or esteem support (Dukungan emosi)
Dukungan emosi yang diberikan bisa berupa empati, kepedulian, perhatian,
penghargaan, dan memberikan semangat kepada individu yang bersangkutan.
b.
Tangible or instrumental support (Dukungan instrumental)
Dukungan instrumental yang diberikan bisa berupa bantuan langsung seperti
bantuan materi,finansial atau hal-hal yang secara nyata dibutuhkan oleh individu
yang bersangkutan.
c.
Informational support (Dukungan informasi)
Dukungan informasi yang diberikan bisa berupa pemberian nasehat, instruksi,
saran, arahan, masukan, atau pemberian informasi mengenai hal-hal yang
dibutuhkan individu.
d.
Companionship support (Dukungan pertemanan)
Dukungan ini mengacu pada kesediaan orang lain untuk memberikan waktunya
kepada individu yang bersangkutan, meciptakan suasana saling memiliki, sehingga
individu merasa dirinya diterima dalam suatu kelompok.
e.
Reward support (Dukungan penghargaan)
Dukungan ini mengacu pada penghargaan orang lain atas ide-ide atau performa
individu sehingga dia merasa mampu dan dihargai oleh orang lain.
2.1.4 Sumber Dukungan Sosial
Dukungan sosial akan lebih berarti bagi individu yang menerimanya jika
diberikan oleh orang-orang tertentu yang memiliki hubungan signifikan atau dekat
dengan individu yang bersangkutan. Dengan kata lain dukungan sosial akan lebih
berguna bagi individu jika diberikan oleh orang tua, keluarga, teman, dan orang-orang
yang memiliki kedekatan hubungan lainya (Taylor, 2012). Sejalan dengan hal itu,
Winemiller dkk (1993, dalam Noller, Feeney, & Peterson, 2007) menyatakan terdapat
beberapa sumber dukungan sosial untuk seseorang, yaitu keluarga, teman, pasangan,
organisasi atau kelompok, rekan kerja, dan tetangga. Sementara Sarafino
mengemukakan bahwa efektivitas dukungan tergantung dari penilaian individu
(Sarafino & Smith, 2012). Dukungan akan menjadi efektif apabila dukungan tersebut
dinilai adekuat oleh individu penerima (Sarafino & Smith, 2012).
2.1.5 Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Sosial
Menurut Sarafino (Sarafino & Smith, 2012) tidak semua individu mendapatkan
dukungan sosial dari orang-orang sekitarnya. Ada beberapa faktor yang menentukan
seseorang menerima dukungan sosial, berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
dukungan sosial yang diterima individu :
a.
Penerima dukungan (Recipients)
Seseorang akan memperoleh dukungan sosial jika dia juga melakukan hal-hal yang
dapat memicu orang lain untuk memberikan dukungan terhadap dirinya. Yang
dimaksud dalam hal tersebut adalah individu harus memiliki proses sosialisasi yang
baik dengan lingkungannya, termasuk didalamnya membantu orang lain yang butuh
pertolongan atau dukungan, dan membiarkan orang lain tahu bahwa dirinya
membutuhkan dukungan atau pertolongan jika memang membutuhkan.
Seseorang tidak mungkin menerima dukungan sosial jika dia tidak ramah, tidak
pernah menolong orang lain, dan tidak assertive atau tidak terbuka kepada orang lain
jika dia membutuhkan dukungan atau pertolongan. Hal ini terjadi karena adanya
hubungan timbal balik antara individu dan orang-orang sekitarnya, begitu pula
sebaliknya.
b.
Penyedia dukungan (Providers)
Providers yang dimaksud mengacu pada orang-orang terdekat individu yang dapat
diharapkan menjadi sumber dukungan sosial. Ketika individu tidak mendapatkan
dukungan sosial, bisa saja orang yang seharusnya memberikan dukungan sedang dalam
kondisi yang kurang baik seperti tidak memiliki jenis bantuan yang dibutuhkan oleh
recipients, sedang mengalami stress, atau kondisi-kondisi tertentu yang membuatnya
tidak menyadari bahwa ada orang yang membutuhkan bantuannya.
c.
Komposisi dan struktur jaringan sosial
Maksud dari komposisi dan struktur jaringan sosial adalah hubungan yang dimiliki
individu dengan orang-orang dalam keluarga dan lingkungannya. Hubungan ini dapat
dilihat dalam ukuran (jumlah orang yang sering berhubungan dengan individu),
frekuensi hubungan (seberapa sering individu bertemu dengan orang-orang tersebut),
komposisi (apakah orang-orang tersebut merupakan anggota keluarga, teman, rekan
kerja dan sebagainya) dan intimasi (kedekatan hubungan individu dan kepercayaan satu
sama lain).
Selain itu menurut Sarafino (Sarafino & Smith, 2012), terdapat faktor-faktor
yang menjadi penyebab dari penolakan sebuah dukungan, yaitu :
a. Bantuan yang diberikan orang lain tidak sesuai dengan kebutuhan individu
sehingga tidak membantu individu mengatasi masalah yang sedang dialami.
Selain itu, hal ini dapat terjadi jika individu tidak menginginkan bantuan
tersebut atau memang tidak menyadari bantuan yang diberikan.
b. Kesesuaian antara dukungan sosial dengan kebutuhan menekankan pentingnya
jenis dukungan sosial dengan kebutuhan individu. Efek positif dari dukungan
sosial sangat jelas terlihat jika orang yang menyediakan dukungan sosial
menyadari kebutuhan-kebutuhan khusus yang dibutuhkan oleh individu sesuai
dengan masalah yang dihadapi (stressor). Sehingga penting bagi provider
dukungan sosial untuk tidak hanya menentukan apa akan memberi dukungan
atau tidak, tetapi juga mengetahui jenis dukungan yang dibutuhkan.
2.2
Kematangan Karir
2.2.1 Pengertian Kematangan Karir
Teori perkembangan karir pertama kali diperkenalkan oleh oleh Donald E. Super
dalam sebuah literatur tahun 1955 (Naidoo, 1998). Teori ini menjadi salah satu teori
yang paling dikenal dan menjadi landasan konsep untuk konseling karir dan pendidikan
di sekolah maupun universitas (Herr & Cramer, 1984 dalam Naidoo, 1998). Teori ini
juga dimanfaatkan dalam program-program perkembangan karir di bidang bisnis,
industri, dan pemerintahan (Hall, 1984 dalam Naidoo, 1998).
Teori perkembangan ini membahas mengenai perubahan yang dihadapi setiap
orang ketika mereka dewasa yang menekankan pada pilihan karir seseorang dan
bagaimana mereka beradaptasi (Callanan & Greenhaus, 2006). Super sendiri
mengartikan kematangan karir sebagai kedewasaan dimana seseorang kemampuan dan
kesiapan seseorang untuk menyelesaikan atau mengorganisir tugas-tugas khas yang
terdapat dalam setiap tahapan perkembangan karir di usia mereka (Gonzalez, 2008).
Super membagi kematangan karir ke dalam lima dimensi atau faktor, yaitu : career
planning, career exploration, career decision making, dan world of work information.
Crites (1968, dalam Gonzalez, 2008) membandingkan kematangan karir atau
kedewasaan seseorang dengan orang lain di usia yang berbeda namun berada dalam
tahapan kedewasaan yang sama.
Sementara itu menurut Savickas (1984, dalam Patton & Creed, 2001)
kematangan karir mengacu pada kesiapan individu dalam mencari informasi, membuat
keputusan karir, dan mengatasi tugas-tugas pengembangan karir. Levinson dkk (1998,
dalam Patton & Creed, 2001) mendefinisikan kematangan karir sebagai kemampuan
individu untuk menentukan pilihan karir yang sesuai, realistis, dan konsisten dari waktu
ke waktu. Selanjutnya, kematangan karir juga diartikan sebagai kemampuan seseorang
untuk membuat keputusan karir yang tepat, realistis, konsisten, dan kesadaran mengenai
apa saja yang dibutuhkan untuk karir yang dipilihnya tersebut
Crites (1971, dalam Patton & Creed, 2001) menyatakan bahwa kematangan karir
terdari dua dimensi yaitu afektif dan kognitif. Dimensi kognitif terdiri dari keterampilan
dalam pengambilan keputusan dan wawasan mengenai dunia kerja, sedangkan dimensi
afektif meliputi perencanaan karir dan sikap seseorang terhadap proses pengambilan
keputusan tersebut.
Dari pernyataan beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kematangan
karir adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan tugas-tugas pada setiap tahap
perkembangan dan kemampuan individu dalam menentukan keputusan karir yang
realistis dan konsisten
2.2.2 Dimensi Kematangan Karir
Donald E. Super (dalam Sharf, 2006) menyatakan kematangan karir dapat
diukur dalam beberapa dimensi, yaitu :
a.
Career Planning
Dimensi career planning atau perencanaan karir mengukur tingkat perencanaan
individu dengan melihat sikap terhadap masa depan. Maksudnya adalah bagaimana
individu mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai karir yang diminatinya,
kesadaran individu untuk membuat keputusan mengenai pekerjaan, dan
mempersiapkan diri untuk keputusan tersebut. Pada dasarnya hal ini mengacu pada
perencanaan, persiapan, dan usaha individu dalam pilihan karir yang diinginkannya.
Nilai rendah pada dimensi ini menunjukan individu merasa tidak perlu
merencanakan karir dan masa depannya atau individu pasif pada hal-hal yang
berhubungan dengan pekerjaan. Sebaliknya, nilai tinggi menunjukan individu yang
aktif dalam merencanakan karir dan masa depannya, seperti mencari informasi dan
mempersiapkan diri agar lebih kompeten.
b.
Career exploration
Career exploration atau eksplorasi karir adalah usaha individu dalam mencari dan
memperoleh informasi yang terkait dengan perencanaan karirnya dengan
memanfaatkan sumber informasi yang reliable misalnya seperti guru bimbingan
konseling di sekolah, keluarga orangtua, kerabat, dan sebagainya. Aspek yang
diukur dalam dimensi ini adalah mengupulkan informasi dari berbagai sumber dan
memanfaatkannya. Nilai rendah pada dimensi ini menunjukan bahwa individu tidak
berusaha untuk mencari informasi dan tidak peduli mengenai dunia pekerjaan atau
karir yang diinginkannya.
c.
Career decision making
Career decision making atau membuat keputusan karir adalah kemampuan
individu untuk mandiri terhadap pilihan karir yang sesuai dengan minat dan
bakatnya. Dimensi ini mengukur cara individu dalam membuat keputusan. Nilai
rendah pada dimensi ini menunjukan bahwa individu belum dapat membuat
keputusan dan pilihan mengenai karir yang diinginkannya. Sementara nilai tinggi
pada dimensi ini menunjukan bahwa individu sudah dapat megambil keputusan
mengenai karir yang didasari oleh minat, kemampuan, dan memanfaatkan
informasi dari sumber-sumber yang terpercaya.
d.
World of work information
Dimensi ini mengukur bagaimana individu mengeksplorasi minat dan kemampuan
apa saja yang dimilikinya untuk selanjutnya dihubungkan dengan pilihan karir.
Selain itu dimensi ini juga mengukur pengetahuan individu mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan dunia kerja. Contohnya adalah jenis-jenis pekerjaan, jabatanjabatan dalam pekerjaan, bagaimana cara untuk memperoleh pekerjaan, cara untuk
sukses dalam bekerja, dan lain sebagainya. Nilai rendah pada dimensi ini
menunjukan bahwa individu masih perlu belajar untuk memahami kemampuan
dirinya dan memahami lebih dalam mengenai dunia pekerjaan itu sendiri.
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kematangan Karir
Seligman (1994, dalam Pinasti, 2011) menyimpulkan beberapa faktor yang
mempengaruhi kematangan karir seseorang, yaitu :
a.
Faktor keluarga
Keluarga memiliki peran penting dalam kematangan karir seseorang. Keluarga
adalah lingkungan sosial pertama dimana pengalaman masa kecil atau perilaku
orangtua sebagai role model ikut serta membentuk karakter dan pandangan anak.
Penick dan Jepsen (1992, dalam Pinasti, 2011) mengemukakan bahwa keluarga
menjadi salah satu faktor yang lebih berpengaruh dalam kematangan karir, daripada
faktor lain seperti gender atau sosial-ekonomi.
b.
Faktor internal individu
Faktor internal individu terhadap kematangan karir mencakup self esteem (harga
diri), self expectation (pengharapan diri), self efficacy (keyakinan akan kemampuan
diri), locus of control, minat, bakat, keterampilan, dan kepribadian.
c.
Faktor sosial-ekonomi
Faktor sosial-ekonomi yang mempengaruhi kematangan karir individu dibagi lagi
menjadi tiga, yaitu :
1. Lingkungan
Lingkungan berperan penting dalam kematangan karir individu dalam beberapa
hal, misalnya kesempatan untuk individu dan informasi mengenai pekerjaan
yang diminati dan sesuai untuk individu itu sendiri. Lingkungan memberikan
kesempatan lapangan kerja bagi individu. Selain itu beberapa peneliti
menyatakan masyarakat yang tinggal di kota kecil cenderung mendapatkan
informasi pekerjaan yang minim, hal ini semakin memperkecil pilihan karir bagi
orang-orang yang tinggal di daerah tersebut (Anderson & Apostal, 1971; Sewell
& Orenstein, 1965; Seligman, 1994 dalam Pinasti, 2011).
2. Status sosial-ekonomi
Secara garis besar individu yang berasal dari status sosial-ekonomi yang rendah
biasanya memiliki cita-cita yang rendah pula. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
role model yang kuat, low self esteem, dan kurangnya ketersediaan informasi
mengenai karir, dan lain-lain. Inilah mengapa status sosial ekonoi yang rendah
bisa menjadi alasan mengapa mereka memiliki kematangan karir yang rendah
(Rojewski dalam Kerka, 1998 dalam Pinasti, 2011).
3. Jenis kelamin
Luzzo (1995 dalam Akbulut, 2010 dalam Pinasti, 2011) menyatakan bahwa
perempuan memiliki kematangan karir yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Salah satu penyebabnya adalah perempuan lebih mampu dalam menghadapi
hambatan karir dibandingkan dengan laki-laki (Akbalik, 1996 dalam Akbulut,
2010 dalam Pinasti, 2011).
Berbanding terbalik dengan pernyataan diatas, penelitian yang dilakukan oleh
Hasan (2006 dalam Pinasti, 2011) menyatakan tingkat kematangan karir pada
laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Hal ini disebabkan karena laki-laki
lebih memiliki keinginan kuat terhadap karirnya di masa depan, sementara
perempuan lebih fokus terhadap pernikahan. Selain itu penelitian yang
dilakukan Powell dan Luzzo (1998) bahwa laki-laki pada tingkat SMA lebih
memiliki kepercayaan bahwa pemilihan karir berada dalam kontrol mereka
sendiri, dibandingkan dengan perempuan.
Anthony Naidoo (1998) memaparkan 6 faktor yang mempengaruhi kematangan
karir seseorang, yaitu :
a.
Educational level differences
Tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kematangan
karir individu. Penelitian-penelitian yang fokus pada tingkat pendidikan atau kelas
dalam perkembangan karir menunjukan hasil yang sama, yaitu kematangan karir
meningkat seiring dengan semakin tingginya level pendidikan atau kelas individu
(Naidoo, 1998). Hubungan yang positif antara kematangan karir dengan tingkat
pendidikan juga telah diuji dalam beberapa penelitian lintas budaya pada tingkat SMA
di Nigeria (Achebe, 1975), Israel (Fouad, 1988; Karayanni, 1981), India (Gupta, 1987),
dan Afrika Selatan (Watson, 1984) (Naidoo, 1998).
b.
Sex differences
Penelitian yang terkait dengan perbedaan gender dalam kematangan karir
menemukan bahwa anak perempuan di tingkat SMA mendapatkan score yang lebih
tinggi dibandingkan laki-laki dalam kematangan karir. Hal ini ditemukan dalam
beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai tingkat pendidikan (Herr & Enderlein,
1976; Mintzer, 1976; Omvig & Thomas, 1977 dalam Naidoo, 1988). Selain itu terdapat
juga penelitian yang menemukan bahwa wanita tidak hanya lebih matang dalam karir
tetapi juga lebih berkomitmen dalam bekerja (Naidoo, 1993).
Walaupun demikian terdapat juga beberapa penelitian dengan hasil yang kontras,
yaitu laki-laki lebih memiliki kematangan karir dibandingkan wanita (Naidoo, 1998)
c.
Sosioeconomic status
Super (1990, dalam Naidoo, 1998) menyatakan bahwa pola karir individu seperti
urutan dan level kerja yang dicapai, dan frekuensi pekerjaan yang stabil, salah satunya
ditentukan oleh tingkat sosial-ekonomi individu.
d.
Locus of control
Beberapa teori psikologi perkembangan karir seperti Super berasumsi bahwa
individu memiliki tingkat kontrol dalam proses pemilihan karir, meskipun dalam
prosesnya terdapat rintangan dan pengaruh eksternal (Hotchkiss & Borow, 1990 dalam
Naidoo, 1998). Gardner (1981, dalam Nidoo, 1988) juga berpendapat bahwa sangat
logis untuk berhipotesis mengenai hubungan antara konsep kematangan karir dan LOC,
dimana dia menyatakan bahwa orang dengan kematangan karir yang tinggi biasanya
memiliki locus of contol internal.
e.
Race and cultural differences
Penelitian yang dilakukan oleh Lee (1984) mengenai efek dari etnis, jenis kelamin,
pengaruh orang tua, konsep diri, dan tingkat kematangan karir yang dilakukan pada
siswa SMA yang berasal dari berbagai etnis menunjukan hasil dimana ras minoritas
cenderung dikaitkan dengan kematangan karir yang rendah.
f.
Work role salience
Work salience didefinisikan oleh Greenhaus (1971, dalam Naidoo, 1998) sebagai
pentingnya pilihan pekerjaan dan kepuasan akan pekerjaan yang dirasakan individu. Hal
ini mengacu pada komitmen individu tersebut terhadap pekerjaannya. Dalam beberapa
literatur, work salience secara umum juga telah banyak dihubungkan sebagai variabel
bebas yang berdampak pada berbagai masalah karir. Termasuk dengan kematangan
karir. Dalam beberapa penelitian, work salience menjadi salah satu faktor yang
merangsang eksplorasi karir seseorang, tidak hanya pada mahasiswa (Greenhaus &
Sklarew, 1981 dalam Naidoo, 1998), tetapi juga pada orang dewasa (Sugalski &
Greenhaus, 1986 dalam Naidoo, 1998). Selain itu dalam penelitian yang dilakukan
Super dan Navill (1984, dalam Naidoo 1998) mendapatkan hasil bahwa work salience
mempengaruhi kematangan karir pada siswa SMA.
Sementara itu Powell dan Luzzo (1998) mengungkapkan dari sejumlah
penelitian diketahui bahwa kematangan karir pada siswa SMA dapat dikaitkan dengan
gender, intelektual siswa, attributional style, faktor demografis, umur, dan sistem
pendidikan.
2.2.4 Tahapan Perkembangan Karir
Super membagi lima tahapan perkembangan karir, dimana lima tahapan tersebut
dibagi lagi menjadi beberapa substages yang didasari atas tipe-tipe tugas perkembangan
di setiap tahap. Tahapan perkembangan karir tersebut adalah (Gladding, 2013).
a.
Growth (0-14)
Dalam tahapan perkembangan ini individu meningkatkan kesadaran diri dan konsep
diri, mengembangkan kapasitas diri, dan mengembangkan minatnya. Individu pada
tahapan ini dapat mengidentifikasikan perannya sebagai bagian dari anggota keluarga
dan sekolah. Individu sudah mampu membentuk pemahaman general hingga akhirnya
dapat menetapkan tujuan. Tahapan ini dibagi lagi menjadi tiga, yaitu :
1. Fantasies
Substages ini dimulai dari umur 4 sampai 11 tahun, ditandai dengan dominannya
aspek kebutuhan akan keingintahuan dan pentingnya peran dalam fantasi.
2. Interest
Substages ini dimulai dari umur 11 sampai 12 tahun, ditandai dengan perasaan
senang terhadap perannya sebagai determinan (penentu) utama dalam aspirasi
dan aktivitasnya.
3. Capacity
Substages ini dimulai dari umur 13 sampai 14 tahun, ditandai dengan
kemampuan anak untuk mempertimbangkan kemampuan apa saja yang dia
miliki dan sudah dapat memprediksi persyaratan-persyaratan dari pekerjaan
yang diminatinya.
b.
Exploration (14-24)
Dalam tahapan perkembangan ini tugas individu adalah mengeksplorasi beragam
jenis pekerjaan, menilai dirinya sendiri, dan sudah memikirkan berbagai alternatif karir
yang sesuai dengan kemampuannya walaupun keputusan yang diambilnya masih
bersifat tentatif. Tahapan ini dibagi lagi menjadi tiga substages, yaitu:
1. Tentative
Substages ini dimulai dari umur 15 sampai 17 tahun, ditandai dengan individu
mulai mempertimbangkan aspek kebutuhan, minat, bakat, dan kesempatan.
Keputusan karir ini masih bersifat tentatif dimana individu mencoba untuk
mengujinya dan menggali lebih dalam mengenai pekerjaan tersebut melalui
fantasi, diskusi, kursus, kerja, dan sebagainya. Dalam tahapan ini individu sudah
dapat mengidentifikasi bidang dan level pekerjaan yang sesuai dengan dirinya.
2. Transisi
Substages ini dimulai dari umur 18 sampai 21 tahun, ditandai dengan individu
yang lebih mempertimbangkan secara realistis untuk memasuki dunia kerja
3. Trial-Little Commitment
Substages ini dimulai dari umur 22 sampai 24 tahun, ditandai dengan mulai
menemukannya lapangan pekerjaan yang sangat potensial untuk dirinya.
Walaupun dalam hal ini individu belum benar-benar berkomitmen dalam
pekerjaannya tersebut, karena sifatnya yang masih sementara. Jika individu
merasa bahwa pekerjaannya tidak sesuai dengan dirinya maka individu harus
menerapkan minat dan konsep diri yang lebih realistis.
c.
Establishment (24-44)
Ciri-ciri dalam tahapan perkembangan ini adalah individu sudah memiliki karir di
bidang yang sesuai dengan dirinya dan berusaha untuk memantapkan kedudukannya
secara permanen. Tahapan perkembangan ini dibagi lagi menjadi dua substages, yaitu :
1. Trial-commitment and stabilization
Substages ini dimulai dari umur 25 sampai 30 tahun, ditandai dengan usaha
untuk mempertahankan posisi dalam pekerjaannya secara permanen. Walaupun
pada prosesnya individu mengalami percobaan sebelum akhirnya menemukan
pekerjaan yang sesuai.
2. Advancement
Substages ini dimulai dari umur 31 sampai 44 tahun, ditandai dengan usahausaha untuk mengarahkan dan mengstabilisasikan karirnya. Sebagian besar
orang dalam tahapan ini sudah mendapatkan senioritas dalam lingkungan
pekerjaannya dan mampu menunjukan serta meningkatkan kualitas kerjanya.
d.
Maintenance (44-64)
Individu dalam tahapan perkembangan ini sudah mempertahankan pekerjaannya.
Individu melanjutkan aspek-aspek pekerjaan yang memberikan kepuasan baginya dan
memperbaiki aspek yang tidak menyenangkan. Issue pada tahap ini adalah individu
mempertahankan posisinya dari tekanan pegawai yang lebih muda (Orang-orang dalam
substages advancement).
e.
Decline (65 tahun keatas)
Individu dalam tahapan perkembangan ini memasuki masa dimana kekuatan fisi
dan mental menurun serta terjadinya perubahan aktifitas. Individu mulai
mempersiapkan diri untuk memasuki masa pensiun dan mencoba mengembangkan
peran barunya setelah dia melepas pekerjaannya. Individu juga harus menemukan
sumber kepuasan untuk mengganti hal-hal yang hilang pasca pensiun. Tahapan
perkembangan ini dibagi lagi menjadi dua substages, yaitu :
1. Deceleration
Substages ini dimulai pada umur 65 sampai 70 tahun, ditandai dengan
mengurangnya intensitas dan kapasitas kerja. Kebanyakan orang mencoba untuk
menemukan pekerjaan paruh waktu untuk menggantikan pekerjaan utama
sebelumnya.
2. Retirement
Substages ini dimulai pada umur 71 tahun keatas, ditandai dengan individu yang
sudah benar-benar pensiun, sehingga dia mencoba untuk menghabiskan
waktunya dengan hal-hal yang menyenangkan baginya.
Selain itu Super juga mengemukakan bagaimana proses perkembangan
pemilihan karir individu dan membaginya menjadi 5 (Agoes, 2004) yaitu :
a.
Cristalization
Fase dimana individu mencari pengetahuan dan keterampilan yang didapat dari
pendidikan formal dan non-formal guna mempersiapkan masa depannya. Upaya ini
ditempuh individu pada usia 14-18 walaupun pada kenyataannya, anak sudah
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan sejak taman kana-kanak atau sekolah
dasar.
b.
Spesification
Fase dimana individu sudah menyelesaikan pendidikan setingkat SMA dan
meneruskan pendidikan dengan memilih fokus ilmu yang lebih spesifik dan sesuai
dengan minat bakatnya (universitas atau akademi). Fase ini ditempuh individu pada usia
18-25 tahun.
c.
Implementation
Fase dimana individu mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang dia
dapat di masa sebelumnya secara nyata atau masa setelah individu menyelesaikan
pendidikannya dan menerapkan ilmu yang dia dapat dalam pekerjaannya. Fase ini
ditempuh individu pada usia 25-40 tahun.
d.
Stabilization
Fase dimana individu benar-benar menekuni dan menjadi ahli di bidang
pekerjaannya. Selain itu sebagian besar orang di tahap ini juga sudah mencapai posisi
penting dalam karirnya, misalnya dekan fakultas, kepala rumah sakit, direktur
perusahaan, dan lain-lain. Hal ini membuat individu yang berada pada tahapan
stabilisasi memiliki kemampuan dan wewenang untuk mengatur suatu organisasi. Fase
ini ditempuh individu pada usia 40-50 tahun.
e.
Consolidation
Fase dimana individu yang sudah mencapai puncak karir, mulai memikirkan
kembali mengenai apa yang telah dilakukannya, keberhasilan, dan kegagalan yang
dialaminya selama ini. Setelah itu individu menggabungkan pengalamannya tersebut ke
dalam kepribadiannya guna menjadikan dirinya orang yang lebih baik. Hal ini
dimaksudkan agar individu semakin menyadari makna hidup dan menerapkan sikap
kebijaksanaan pada dirinya yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya. Fase
ini ditempuh individu pada usia 50 tahun keatas.
2.3
Remaja
Menurut Santrock (2012) remaja (adolescene) diartikan sebagai masa
perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup
perubahan biologis, kognitif, sosial emosional. Aristoteles (dalam Santrock, 2012)
menyatakan bahwa hal yang paling penting dalam aspek perkembangan remaja adalah
kemampuan untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri. Selain menurut
Aristoteles ada beberapa hal yang menjadi fokus dalam perkembangan remaja yaitu
identitas, kemandirian, dan pemilihan karir. Dalam buku Pengantar Psikologi Umum
(Sarwono S. W., 2010) Tingkat-tingkat perkembangan dalam masa remaja dapat dibagi
dalam berbagai cara, salah satunya disampaikan oleh “The American School Counselor
Association (ASCA)” yaitu : remaja awal (12-14 tahun), remaja pertengahan (15-16
tahun), remaja akhir (17-19 tahun).
2.3.1 Aspek-Aspek Perkembangan Remaja
a.
Perkembangan fisik
Yang dimaksud dengan perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada
tubuh, otak, kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik. Perubahan pada tubuh ditandai
dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan
kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Perubahan fisik otak sehingga
strukturnya semakin sempurna meningkatkan kemampuan kognitif (Papalia, 2009).
b.
Perkembangan kognitif
Piaget mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu
interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin
luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget
menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (Papalia,
2009).
c.
Perkembangan kepribadian dan sosial
Perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan
dunia dan menyatakan emosi secara unik sedangkan perkembangan sosial berarti
perubahan dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan kepribadian yang
penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud dengan
pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang
penting dalam hidup (Erikson, dalam Papalia, 2009).
2.3.2 Tahapan Perkembangan Remaja
Ada tiga tahap perkembangan remaja terkait dengan proses penyesuaian diri
menuju dewasa, yaitu (Sarwono, 2010) :
a.
Remaja Awal (Early Adolescence)
Remaja pada tahapan ini dimulai dari usia 10-12 tahun. Pada tahap ini remaja masih
belum terlalu terbiasa dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya baik itu
perubahan fisik maupun sifat. Mereka mulau dapat mengembangan pikiran baru dan
berkurangnya kendali terhadap “ego” sehingga sulit dipahami oleh orang dewasa.
b.
Remaja Madya (Middle Adolescence)
Remaja pada tahapan ini dimulai dari usia 13-15 tahun. Pada tahapan ini remaja
sangat membutuhkan sahabat dan lebih berorientasi pada sahabat-sahabatnya. Remaja
pada tahapan ini seringkali mengalami kebingungan jika dihadapkan pada pilihan dan
harus menentukan satu keputusan diantara beberapa keputusan.
c.
Remaja Akhir (Late Adolescence)
Remaja pada tahapan ini dimulai dari usia 16-19 tahun. Ini adalah tahapan transisi
menuju kedewasaan yang ditandai dengan beberapa hal seperti : minat yang semakin
jelas, terbentuk identitas seksual yang cenderung permanen, mulai berusaha
menyeimbangkan kepentingan diri sendiri dan orang lain, serta tumbuh keinginan untuk
mencari pengalaman baru.
Sementara itu menurut Eli Ginzberg (1972, dalam Santrock 2012) ada tiga tahap
perkembangan pemilihan karir pada anak hingga remaja, yaitu :
a.
Fantasi
Sampai usia 11 tahun seorang anak berada dalam tahap fantasi. Individu pada masa
ini merasa masa depan memberikan jutaan kesempatan baginya. Pilihan karir yang
dibuatnya juga belum realistis atau hanya berdasarkan dengan fantasinya.
b.
Tentatif
Tahapan ini dimulai dari usia 11 hingga 17 tahun. Di tahap ini individu mengalami
transisi perkembangan pemilihan karir dari masa kecil yang penuh fantasi ke masa
dewasa muda yang lebih realistis. Kemajuan remaja dapat dilihat dari kemajuan dan
kemampuan untuk mulai mengevaluasi minat (usia 11-12 tahun), mengevaluasi
kemampuan (13-14 tahun), sampai dengan mengevaluasi nilai mereka (15-16 tahun).
c.
Realistis
Tahapan ini dimulai dari usia 17/18 hingga awal 20-an. Di tahap ini individu mulai
memikirkan karir yang sesuai dengan minat dan kemampuan mereka, memfokuskan diri
dalam melakukan usaha-usaha untuk mendapatkan karir tersebut, hingga memilih
pekerjaan yang lebih spesifik (seperti menjadi dokter anak dalam karir kedokteran).
2.4
Kerangka Berpikir
Pengangguran merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi oleh negara-
negara berkembang seperti Indonesia. Pengangguran yang tidak segera diatasi akan
menimbulkan kerawanan sosial, dan berpotensi mengakibatkan kemiskinan (Badan
Pusat Statistik, 2007). Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan kenaikan jumlah
pengangguran di Indonesia tahun 2015 ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2014
yang julahnya 210 ribu jiwa (Sari, 2015). Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
Indonesia, masalah ini harus segera diatasi. Terlebih lagi dengan adanya fenomena
bonus demografi yang diprediksi akan meningkatkan perekonomian Indonesia pada
tahun 2020-2030. Hal ini harus dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah
maupun seluruh masyarakat. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah
meningkatkan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) dari segala sisi, termasuk
pendidikan. Untuk dapat memanfaatkan fenomena tersebut, banyak hal yang harus
diperbaiki seperti angka pengangguran yang semakin meningkat. Di Bogor sendiri,
angka pengangguran mencapai 230 ribu jiwa dimana jumlah ini merupakan yang paling
tinggi di provinsi Jawa Barat (Putri, 2014). Pengangguran di Kota Bogor saat ini
didominasi oleh lulusan SMA (Simanungkalit, 2015). Menurut Greenbank dan
Hepworth (2009) tingginya angka pengangguran adalah salah satu indikator lemahnya
perencanaan karir lulusan SMA, diploma maupun sarjana.
Untuk mempersiapkan fenomena bonus demografi dan juga meningkatkan
kesejahteraan Indonesia, dalam hal ini yang wajib dilakukan adalah mempersiapkan
generasi muda atau siswa untuk menghadapi tantangan karir di era global dengan
membantu mereka merencanakan karir yang disesuaikan dengan potensi dan minat
siswa. Jika para siswa sudah mengetahui dan mampu merancang karir yang mereka
inginkan, mereka akan lebih terfokus untuk menyusun langkah-langkah yang tepat agar
cita-cita dan karir yang mereka inginkan bisa tercapai. Jika dilakukan dengan baik, hal
ini bisa mengurangi angka pengangguran nantinya.
Kemampuan siswa untuk mengetahui minat dan bakat, serta merancang dan
menentukan karir disebut dengan kematangan karir. Menurut Super kematangan karir
adalah kedewasaan seseorang yang dilihat daari kemampuan dan kesiapannya untuk
mengorganisir tugas-tugas khas yang terdapat dalam setiap tahapan perkembangan karir
di usia mereka (Gonzalez, 2008). Super membagi kematangan karir ke dalam 4 dimensi
yaitu career planning dimana individu mempersiapkan diri terhadap karir yang sesuai
dengan minatnya, Career exploration atau bagaimana individu mencari informasi
mengenai karir dan dunia kerja itu sendiri, Career decision making atau membuat
keputusan karir yang sesuai dengan minat dan bakatnya, terakhir adalah world of work
information yaitu bagaimana individu mengeksplorasi dunia kerja secara umum (Sharf,
2006).
Dalam prosesnya, terdapat beberapa faktor yang dapat dihubungkan dengan
kematangan karir siswa SMA, seperti pengaruh orang-orang terdekat atau yang dapat
disebut dengan dukungan sosial. Dukungan sosial adalah bantuan yang diberikan orangorang yang berada dalam lingkungan sosial individu seperti keluarga, teman, dan
masyarakat (Olson , Breckler, & Wiggins, 2006). Bentuk bantuan yang dimaksud dapat
dibagi menjadi lima yaitu dukungan emosional (empati, perhatian, kepedulian),
dukungan instrumental (materi,jasa), dukungan informasi (nasehat, instruksi, sarah,
masukan, pemberian informasi), dukungan pertemanan (waktu luang, perasaan saling
memiliki), dan dukungan penghargaan (apresiasi terhadap ide atau performa individu).
Dukungan emosional mencakup kesediaan orag lain untuk mendengarkan keluhan
individu yang bersangkutan.
Dukungan sosial akan lebih berpengaruh terhadap individu jika diberikan oleh
orang-orang yang memiliki kedekatan dengan individu yang bersangkutan seperti orang
tua, anggota keluarga, kekasih, sahabat, guru, dan lain-lain. Selain itu, hal yang harus
diperhatikan adalah kesesuaian bentuk dukungan dengan kondisi dan kebutuhan siswa.
Karena salah satu faktor yang membuat nilai dukungan sosial kecil adalah jika bantuan
yang diberikan tidak sesuai dan tidak membantu siswa dalam menyelesaikan
masalahnya atau stressor. Contohnya jika siswa membutuhkan dukungan informasi
mengenai pilihan karir apa saja yang sesuai dengan bakatnya, tetapi lingkungan sosial
hanya memberikan dukungan emosional saja.
Tidak adanya dukungan sosial akan membuat siswa kurang percaya diri, tidak
mendapat bantuan yang sistematis mengenai perencanaan karir, sehingga akhirnya
menyebabkan kematangan karirnya menjadi kurang. Ketidak hadiran dukungan sosial
bisa disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah sosial ekonomi. Badan Pusat
Statistik mencatat Bogor sebagai salah satu daerah yang tingkat kemiskinannya tinggi di
Jawa Barat dimana angkanya mencapai 24,68% (Prima, 2010). Hal ini dapat
menyebabkan rendahnya perencanaan karir siswa, karena secara garis besar individu
yang berasal dari status sosial ekonomi rendah biasanya memiliki cita-cita yang rendah
pula. Hal ini disebabkan oleh kurangnya role model yang kuat, low self esteem, dan
kurangnya ketersediaan informasi mengenai karir, dan lain-lain (Rojewski dalam Kerka,
1998 dalam Pinasti, 2011).
Selain sosial ekonomi ada juga permasalahan umum seperti UN dan PTN yang
menyebabkan terjadinya disorientasi sistem pembelajaran bagi siswa baik di sekolah
maupun rumah. Hal ini membuat mata pelajaran seperti Bimbingan Konseling yang
menjadi wadah bagi siswa untuk memperdalam perencanaan karirnya menjadi
didiskriminasi. Selain itu orang tua yang terlalu memaksa anaknya untuk masuk ke
universitas negeri dengan tidak mempertimbangkan minat dan bakat anaknya, semakin
membuat siswa tidak dapat merencanakan karirnya dengan baik. Padahal universitas
negeri maupun swasta tidak menjamin kesuksesan seseorang. Justru yang paling penting
adalah memberi dukungan pada siswa untuk merencanakan karir dan memaksimalkan
potensi yang dimilikinya. Jika hal ini dilakukan maka ketika nantinya turun ke dunia
kerja, siswa sudah tau apa yang akan dia lakukan dan pada akhirnya dapat menekan
angka pengangguran.
Untuk memaksimalkan dukungan, bentuk-bentuk dukungan sosial yang
diberikan harus disesuaikan dengan kebutuhan individu yang bersangkutan. Seperti
memberikan masukan, saran, opini dan arahan mengenai pilihan karir yang sesuai
dengan minat dan bakat siswa, sehingga siswa memiliki career planning dan career
decision making yang baik dan matang. Selain itu sekolah, tenaga pendidik, atau orang
tua bisa memfasilitasi siswa dalam mencari informasi mengenai karir yang diminatinya
dan memberi pengetahuan mengenai dunia kerja itu sendiri. Dalam hal ini dapat
dikatakan lingkungan sosial ikut membantu proses career exploration dan world of
work information siswa. Lingkungan sosial juga dapat memberikan dukungan berupa
materi dan perasaan kasih sayang kepada siswa sehingga siswa merasa didukung dan
semakin percaya diri akan pilihan yang dibuatnya. Dengan adanya dukungan sosial
diharapkan siswa akan lebih matang dalam perkembangan karirnya.
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Download