PENGARUH VARIASI KONSENTRASI NaOH TERHADAP NILAI DERAJAT DEASETILASI PADA PEMBUATAN CHITOSAN DARI CANGKANG KULIT KEPITING Lili Apriani*, Giri Maulana Iskandar, M. Said Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya Jln. Raya Palembang Prabumulih Km. 32 Inderalaya Ogan Ilir (OI) 30662 Abstrak Chitosan adalah suatu polisakarida berbentuk linier yang terdiri dari monomer N-asetilglukosamin dan D-glukosamin. Chitosan dapat digunakan sebagai bahan pengawet alami untuk makanan, dan pada penelitian sebelumnya dinyatakan bahwa semakin besar konsentrasi NaOH yang digunakan maka semakin baik kualitas pengawetan makanan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi optimum penambahan NaOH pada pembuatan chitosan sehingga didapatkan kadar chitosan yang paling tinggi. Penelitian ini lakukan di Bagian Sub Departemen Laboratorium PT. Pupuk Sriwidjaja Palembang. Chitin didapatkan dari limbah cangkang kepiting yang dihaluskan. Nilai optimum chitosan yang dihasilkan dari proses penambahan variasi konsentrasi NaOH terhadap chitin dianalisa menggunakan alat Fourier Transform Infrared (FTIR). Hasil yang didapat dari penelitian ini Pada proses deasetilasi dengan NaOH 20% didapatkan chitosan sebanyak 1,0089 gram, deasetilasi NaOH 30% didapatkan chitosan sebanyak 1,1265 gram, deasetilasi NaOH 40% didapatkan chitosan sebanyak 1,3921 gram, deasetilasi NaOH 50% didapatkan chitosan sebanyak 3,5941 gram, dan deasetilasi NaOH 60% didapatkan chitosan sebanyak 2,1813 gram. Kata kunci: chitin, chitosan, deasetilasi, NaOH Abstract Chitosan is a polysaccharide consisting of linear shaped monomer N-acetyl glucosamine and Dglucosamine. Chitosan can be used as a natural preservative for food, and in previous studies revealed that the greater the concentration of NaOH is used, the better the quality of food preservation. This study aims to determine the optimum addition of NaOH concentration on the manufacture of chitosan thus obtained the highest levels of chitosan. The study was done at the Department of Laboratory Sub PT. Fertilizer Sriwidjaja Palembang. Chitin obtained from the crushed crab shell waste. The optimum value of chitosan produced from the process of adding NaOH concentration variation of chitin analyzed using Fourier Transform Infrared (FTIR). The results of this study the process of deacetylation with NaOH 20% earned as much as 1.0089 gram of chitosan, deacetylation of 30% NaOH earned as much as 1.1265 gram of chitosan, deacetylation of 40% NaOH earned as much as 1.3921 gram of chitosan, deacetylation 50% NaOH obtained chitosan as much as 3.5941 gram, and 60% NaOH deacetylation of chitosan obtained as much as 2.1813 gram. Keywords: chitin, chitosan, deacetylation, NaOH Jurnal Teknik Kimia No. 1, Vol. 18, Januari 2012 Page 35 1. PENDAHULUAN Chitosan merupakan bahan kimia multiguna berbentuk serat. Chitosan merupakan produk diasetilasi chitin melalui proses kimia menggunakan enzim chitin diacetilase. Penggunaan chitosan sebagai bahan pengawet alami, dan merupakan salah satu alternatif pengganti formalin serta boraks, perlu disosialisasikan kepada masyarakat, termasuk pengusaha perikanan, menurut seorang dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Salah satu potensi yang sekarang banyak digunakan adalah kepiting, yang saat ini adalah salah satu hasil perikanan yang merupakan komoditas ekspor unggulan. Kepiting diekspor sebagian besar dalam bentuk kepiting beku tanpa kepala dan cangkang. Hal ini sudah dilakukan pada tahun 1993 sebanyak 400.000an ton yang makin meningkat setiap tahunnya, sehingga limbah kepala dan kulit kepiting cukup banyak. Belum lagi konsumsi kepiting dalam negeri sendiri lebih banyak dari yang diekspor, sehingga hal ini menambah jumlah limbah kepiting berupa kepala, cangkang dan kaki. Diketahui bahwa kepiting memiliki kandungan chitin yang sangat potensial yang dapat diproses deasitelasi menjadi khitosan. Saat ini penggunaan khitosan sebagai bahan pengawet makanan sudah banyak diteliti, dan dinyatakan cukup bermanfaat dalam penggunaannya. Bila penggunaan cangkang kepiting ini sudah dapat digunakan secara nasional, hal ini dapat mengatasi dari limbah kepiting hasil ekspor ataupun konsumsi negeri yang cukup mengganggu lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi optimum dari penambahan NaOH pada pembuatan chitosan yang memerlukan derajat deasetilasi sehingga didapatkan kadar chitosan yang paling tinggi. Manfaat penelitian ini adalah untuk meningkatkan nilai ekonomi dari limbah kulit kepiting sehingga dapat mengurangi pencemaran lingkungan, mengetahui secara teoritis dan praktek dalam skala kecil (laboratorium) teknik pembuatan chitosan, mengetahui kondisi optimum pembuatan chitosan, dan diharapkan chitosan dari kulit Page 36 kepiting yang dihasilkan dari penelitian dapat menggantikan kedudukan bahan pengawet kimia lainnya. Chitin Senyawa chitin adalah suatu polimer golongan polisakarida yang tersusun atas satuan-satuan beta -(1→4)2-asetamido-2deoksi-D-glukosa, yang secara formalnya dapat dipertimbangkan sebagai suatu senyawa turunan selulosa yang gugus hidroksil pada atom C-2 digantikan oleh gugus asetamido (Suhardi, 1992). Nama lain senyawa chitin adalah 2-asetamida-2-deoksi-D-glukopiranosa. Tabel 1. Persentasi chitin pada binatang Sumber % chitin Jamur 5-20% Cacing 3-20% Gurita 30% Laba-laba 38% Kalajengking 38% Kecoa 35% Kumbang air 37% Kepiting 71% Udang 20-30% Sumber : Muzzarelli (1985) Chitosan Chitosan adalah suatu polisakarida berbentuk linier yang terdiri dari monomer Nasetilglukosamin dan D-glukosamin. Bentukan derivatif deasetilasi dari polimer ini adalah chitin. Chitosan memiliki bentuk yang unik dan memiliki manfaat yang banyak bagi pangan, agrikultur, dan medis. Namun, untuk melarutkan Chitosan ini cukup sulit karena chitosan dapat larut apabila dilarutkan pada asam dan viskositas yang tinggi. Chitosan merupakan senyawa tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3, 0,5% H3PO4 sedangkan dalam H2SO4 tidak larut. Chitosan juga tidak larut dalam beberapa pelarut organik seperti alkohol, aseton, dometil formamida dan dimetilsulfoksida tetapi chitosan larut baik dalam asam format berkosentrasi (0,2 -100) % dalam air. Chitosan tidak beracun dan mudah terbiodegradasi. Berat molekul chitosan adalah sekitar 1,2 X Jurnal Teknik Kimia No. 1, Vol. 18, Januari 2012 105, bergantung pada degradasi yang terjadi selama proses deasetilasi kimia yang tinggi dan penyumbang sifat polielektrolit kation, sehingga dapat berperan sebagai amino pengganti (amino exchanger). Sifat-sifat chitosan dihubungkan dengan adanya gugusgugus amino dan hidroksil yang terikat. Adanya gugus tersebut menyebabkan chitosan mempunyai reaktifitas. Salah satu mekanisme yang mungkin terjadi dalam pengawetan makanan yaitu molekul chitosan memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan senyawa pada permukaan cell bakteri kemudian terabsorbsi membentuk semacam layer (lapisan) yang menghambat saluran transportasi sel sehingga sel mengalami kekurangan substansi untuk berkembang dan mengakibatkan matinya sel. Selain telah memenuhi standard secara mikrobiologi ditinjau dari segi kimiawi juga aman karena dalam prosesnya chitosan cukup dilarutkan dengan asam asetat encer (1%) hingga membentuk larutan chitosan homogen yang relative lebih aman. Tabel 2 Kualitas standar chitosan Sifat – sifat chitosan Nilai yang dikehendaki Ukuran partikel butiran – bubuk Kadar Air (% W/W) < 10,0 Kadar Abu (% W/W) >2,0 Derajat deasetilasi > 70,0 Viskositas • rendah < 200 • sedang 200 – 799 • tinggi 800 – 2.000 • paling tinggi (eps) >2000 Sifat kimia chitosan sama dengan chitin tetapi yang khas antara lain: 1) Merupakan polimer poliamin berbentuk linear 2) Mempunyai gugus amino aktif 3) Mempunyai kemampuan mengkhelat beberapa logam. Sifat biologi chitosan antara lain: a) Bersifat biokompatibel artinya sebagai polimer alami sifatnya tidak mempunyai akibat samping, tidak beracun, tidak dapat Jurnal Teknik Kimia No. 1, Vol. 18, Januari 2012 b) c) d) e) dicerna, mudah diuraikan oleh mikroba (biodegradable). Dapat berikatan dengan sel mamalia dan mikroba secara agresif. Mampu meningkatkan pembentukan yang berperan dalam pembentukan tulang. Bersifat hemostatik, fungistatik, spermisidal, antitumor, antikolesterol, Bersifat sebagai depresan pada sistem saraf pusat. Biodegradasi dari Polisakarida (Chitin dan Chitosan) Chitin dan chitosan adalah salah satu dari polisakarida di dalam unit dasar suatu gula animo. Polisakarida ini adalah suatu struktural unsur yang memberikan kekuatan mekanik organisme. Chitin tidak dapat larut dalam air,pelarut organik alkali atau asam mineral encer. Tetapi ia tidak dapat larut dan terurai dengan adanya enzym atau dengan pengolahan asam mineral padat. Dalam struktur, chitin terdiri dari sebuah rantai panjang dari N acetylglukosamine. Rumus empirisnya adalah C6H6CNHCOCH3 dan berisi campuran murni 6,9 % Nitrogen. Polimer ini adalah serupa selulosa diganti oleh suatu acetyl amino ( NHCOCH3) unit. Beberapa chitin mempunyai kemampuan yang sama dengan chitosan untuk bergabung dengan mereka. Chitosan adalah sama dengan chitin tetapi beberapa kelompok acetyl (-COCH3), juga didapat cincin pada mata rantai unit glukosamine (C6H9O6NH2) bersama-sama seperti chitin. + NaOH + + Chitin Chitosa Gambar 1. Reaksi Pembentukan Chitosan dari Chitin Page 37 2. 2. Campuran tersebut dipanaskan pada suhu 65-700 C selama 4 jam sambil dilakukan pengadukan pada 50 rpm. 3. Padatan disaring dan didinginkan sehingga diperoleh chitin, yang kemudian dicuci dengan akuades sampai pH netral. 4. Filtrat yang diperoleh diuji dengan pereaksi biuret, bila filtrat berubah menjadi biru berarti protein yang terkandung sudah hilang. 5. Chitin ditambahkan etanol 70% untuk melarutkan khitosan terlarut sebanyak 100 mL dan disaring. 6. Chitin dicuci kembali dengan akuades panas dan aseton untuk menghilangkan warna sebanyak dua kali masing- masing 100 mL 7. Chitin dikeringkan pada suhu 800 C selama 24 jam kemudian didinginkan dalam desikator. METODOLOGI PENELITIAN Alat yang digunakan : Gelas ukur, Erlenmeyer, pipet tetes, pipet volume, labu ukur, beker gelas, kertas saring, corong, labu pemanas, pH meter, bola hisap, neraca analitik, dan hot plate. Bahan yang digunakan : Cangkang kepiting, Asam klorida pekat (HCl), Natrium hidroksida (NaOH), Aseton, Asam sulfat, perak nitrat, dan aquadest Persiapan Bahan Baku 1. Limbah cangkang kepiting dibersihkan dengan cara direbus dan dicuci dengan air bersih. 2. Setelah bersih, cangkang kepiting dikeringkan dalam oven pada suhu 1101200 C selama satu jam 3. Cangkang kering kemudian digiling dan diayak menggunakan ayakan 0,25 mm sehingga diperoleh serbuk dengan ukuran partikel yang lebih kecil dari 0,25 mm 4. Hasil ayakan digunakan sebagai sampel Ekstraksi chitin dari cangkang kepiting A. Penghilangan Mineral 1. 100 g serbuk cangkang kepiting ditambahkan 2,250 L HCl 1,5 M 2. Campuran dipanaskan pada suhu 70 – 800 C selama 4 jam sambil dilakukan pengadukan pada 50 rpm kemudian disaring. 3. Padatan yang diperoleh dicuci dengan akuades untuk menghilangkan HCl yang tersisa. 4. Dilakukan uji pada filtrat dengan larutan AgNO3, bila sudah tidak terbentuk endapan putih maka sisa ion Cl yang terkandung sudah hilang. 5. Selanjutnya padatan dikeringkan pada oven dengan temperatur 700 C selama 24 jam sehingga kemudian didinginkan dalam desikator. B. Penghilangan Protein 1. 37 gram serbuk kepiting kering bebas mineral ditambahkan 370 mL larutan NaOH 3,5 molar. Page 38 Optimasi deasetilasi chitin menjadi chitosan; 1. Chitin dibagi menjadi lima bagian dengan berat yang sama, kemudian dideasetilasi dengan menambahkan larutan NaOH pekat konsentrasi 20%, 30%, 4 0 % , 5 0 % dan 60 % sebanyak 1000 mL 2. Campuran diaduk dan dipanaskan pada suhu 1200 C selama 4 jam. 3. Larutan dipisahkan dan disaring melalui kertas saring wollfram, 4. Padatan dikeringkan pada 800 C selama 24 jam. 5. Chitosan ditimbang hingga diperoleh berat konstan. 6. Chitosan yang diperoleh dimurnikan, dihitung rendemennya kemudian dikarakterisasi dengan FTIR. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berat Chitosan yang dihasilkan terhadap pengaruh kosentrasi NaOH pada reaksi deasetilasi, dapat dilihat pada tabel dan grafik di bawah ini: Jurnal Teknik Kimia No. 1, Vol. 18, Januari 2012 Tabel 3. Berat Chitosan pada variasi kosentrasi NaOH Konsentrasi Waktu Chitin NaOH (gram) 20 % 4 jam 5 30 % 4 jam 5 40 % 4 jam 5 50 % 4 jam 5 60 % 4 jam 5 Chitosan (gram) 1,0089 1,1265 1,3921 3,5941 2,1813 Berat Chitosan (gram) Konsentrasi NaOH (%) Grafik 1. Berat Chitosan vs kosentrasi NaOH (%) pada proses deasetilasi Dari grafik 4.1 terlihat jelas bahwa berat rata-rata Chitosan yang dihasilkan paling banyak adalah pada larutan dengan kosentrasi NaOH 50 % dengan berat sebesar 3,5941 gram dan yang paling sedikit yaitu pada larutan dengan kosentrasi NaOH 20% dengan berat sebesar 1,0089 gram. Dari grafik juga menunjukkan bahwa, semakin besar kosentrasi yang digunakan pada proses deasetilasi semakin besar pula massa rata-rata Chitosan yang dihasilkan. Akan tetapi, pada larutan dengan kosentrasi NaOH 60 % terjadi penurunan massa chitosan yang dihasilkan yaitu hanya sebesar 2,181 gram. Hal ini disebabkan karena pada proses deasetilasi 50 % ini terjadi pelepasan rantai asetilasi yang berlebihan pada senyawa chitin sehingga Chitosan yang dihasilkan tersebut larut didalam larutan NaOH. Hasil analisis spektra FTIR terhadap chitosan yang dihasilkan dapat dilihat dari tabel di bawah ini. Jurnal Teknik Kimia No. 1, Vol. 18, Januari 2012 Tabel 4.Nilai derajat deasetilasi terhadap pengaruh kosentrasi NaOH pada reaksi deasetilasi Konsentrasi Berat Waktu Derajat (%) sampel deasetilasi (%) 20 1,5 mg 4 jam 67,01 30 1,5 mg 4 jam 68,87 40 1,5 mg 4 jam 73,72 50 1,5 mg 4 jam 75,17 60 1,5 mg 4 jam 76,68 Berdasarkan hasil data analisa di atas, semakin tinggi konsentrasi NaOH maka nilai derajat deasetilasinya semakin besar. Derajat deasetilasi chitosan dipengaruhi konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) dan suhu proses (Benjakul, 1993). Proses deasetilasi (penghilangan gugus asetil) chitin berlangsung dalam kondisi basa karena gugus N-asetil tidak dapat dihilangkan dengan reagensia asam tanpa hidrolisis polisakaridanya. Mula-mula terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan suatu amida yaitu khitosan. Ikatan-ikatan amida lebih sulit membuka di bawah kondisi basa daripada gugus- gugus ester. Di bawah kondisi basa yang kuat, gugus asetat yang berdekatan dengan gugus hidroksil cis dapat mengalami N-deasetilasi, tetapi gugus yang trans lebih resistansi (Suhardi, 1992). 4. KESIMPULAN 1 Derajat deasetilasi adalah suatu parameter mutu chitosan yang menunjukkan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen chitin maupun chitosan. Semakin tinggi derajat deasetilasi chitosan, maka gugus asetil chitosan semakin rendah sehingga interaksi antar ion dan ikatan hidrogennya akan semakin kuat 2 Berdasarkan hasil penelitian, nilai derajat deasetilasi paling optimal pada saat konsentrasi larutan NaOH 60 % yaitu sebesar 81,8 %. Hal ini membuktikan Page 39 bahwa semakin besar konsentrasi maka semakin besar pula nilai derajat deasetilasi. 3 Jika dilihat dari jumlah Chitosan yang dihasilkan, kosentrasi optimal NaOH pada saat reaksi deasetilasi adalah 50 % yaitu sebanyak 3,5941 gram. Setelah kosentrasi 60 %, berat Chitosan yang dihasilkan menurun yaitu sebesar 2,1813 gram. Hal tersebut disebabkan karena Chitosan membentuk partikel-partikel yang sangat halus karena pelepasan berlebihan rantai asetilasi pada chitin sehingga Chitosan yang dihasilkan tersebut larut didalam larutan NaOH. DAFTAR PUSTAKA Meyers. S. P. No, H. K. Lee, K.S. “Isolation and Characterization of Chitin from Crawfish Shell Waste”. J. Agricfood Chem, 1989 Page 40 Suhardi. “Chitin dan Khitosan, Pusat Antar Universitas Pangan dan gizi”. PAU, Universitas Gajahmada, Yogyakarta. 1997. Efrina Desyanti dan Rafiah. “Pembuatan Khitosan dari Kulit Udang”. Laporan Penelitian, Jurusan Teknik Kimia, Institut Teknologi Indonesia, Serpong. 1999. Cahyadi, W. 2006. ”Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan”. Bumi Aksara : Jakarta. Linawati, H. 2006. ”Chitosan Bahan Alami Pengganti Formalin”. Departemen Teknologi Perairan (THP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FKIKIPB). Siagian, Albiner. 2002. ”Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya”. USU digital Library :Sumatera Utara. Jurnal Teknik Kimia No. 1, Vol. 18, Januari 2012