TINJAUAN PUSTAKA Cara Genetis untuk Menentukan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Cara Genetis untuk Menentukan
Kepekaan Bakteri terhadap Antibiotik
Agus Sjahrurachman
Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia
ABSTRAK
Sejalan dengan makin lamanya penggunaan antibiotik, banyak bakteri yang semula sensitif terhadap antibiotik tersebut
kini menjadi resisten. Mekanisme perubahan tersebut mempunyai landasan genetis, baik melalui mutasi gen atau melalui
masuknya gen asing penyandi resistensi dari luar bakteri. Kecenderungan peningkatan bakteri yang resisten ini mampu
mengurangi ketepatgunaan pemakaian antibiotik untuk pengobatan penyakit infeksi. Karena itu, pengujian resistensi
bakteri penyebab infeksi terhadap macam-macam antibiotik sangat diperlukan. Selama ini, pengujian tersebut dilakukan
dengan memeriksa fenotip bakteri.
Dengan berkembangnya teknologi genetika molekuler, terbuka kemungkinan memakai teknologi tersebut untuk
menentukan adanya gen penyandi resistensi pada bakteri. Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa saat ini
penggunaan teknologi tersebut secara rutin masih menjadi perdebatan, khususnya ditinjau dari sisi manfaat klinisnya.
Namun, teknologi tersebut tidak diragukan lagi unggul untuk penetapan resistensi bakteri yang belum dapat dibiak in vitro
atau bakteri yang lambat tumbuhnya. Selain itu, teknologi tersebut lebih aman bagi petugas laboratorium.
Pendahuluan
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, jumlah
antibiotik yang beredar di pasaran bertambah banyak. Selaras dengan pemakaiannya,
banyak bakteri patogen beradaptasi dalam
lingkungannya dan menjadi resisten terhadap antibiotik tersebut. Selain mempersukar
pengobatan penyakit, akibat lainnya adalah
perubahan pola penyebab infeksi, khususnya infeksi nosokomial. Enterokokus yang
dahulu bukan penyebab infeksi nosokomial
menonjol, saat ini telah menjadi salah satu
penyebab infeksi nosokomial yang perlu
diperhatikan. 1,2 Contoh lainnya adalah
resistensi terhadap vankomisin, yang pada
periode sebelum tahun 80-an tidak pernah
ditemukan, tetapi sekarang sudah banyak
ditemukan.3 Kecenderungan peningkatan
resistensi bakteri yang diisolasi dari
penderita terhadap berbagai antibiotik juga
ditemukan di Indonesia.4-6
Dasar G enetik Resistensi B akteri
terhadap Antibiotik
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
mekanisme terjadinya resistensi bakteri
terhadap antibiotik beraneka ragam, baik
melalui pembentukan enzim penghancur
antibiotik, penurunan aktivitas protein
pengikat antibiotik, dan sebagainya. Fenotip
yang tampil semuanya mempunyai dasar
genetik.
Beberapa contoh gen yang dikaitkan
dengan resistensi bakteri terhadap
antibiotik dapat dilihat pada tabel 1.
498
Pembicaraan mengenai resistensi bakteri
terhadap antibiotik akan menyangkut dua
jenis bakteri:
1) Bakteri yang secara alamiah resisten
terhadap antibiotik tertentu (resistensi
intrinsik). Faktor genetik yang melandasinya
bersifat kromosomal.
2) Bakteri yang berubah sifatnya dari peka
menjadi resisten. Perubahan fenotip ini
dapat terjadi karena mutasi kromosomal
dan/atau didapatnya materi genetik dari
luar.
pada kodon nomor 43 gen rsplt.8 Pada M.
leprae, M. tuberculosis, N. meningitidis, dan E.
coli, mutasi pada gen rpo yang menyandi
RNA polimerase terbukti menghasilkan
fenotip yang resisten terhadap rifampisin.8,9
Pada bakteri Gram negatif, bakteri Gram
positif, dan mikobakteria, resistensi terhadap
fluorokuinolon juga telah banyak diamati.8,10,11 Dalam hal ini, resistensi dikaitkan
dengan kejadian mutasi pada gen penyandi
DNA girase, khususnya gen gyrA yang
menyandi subunit A DNA girase.
Telah lama diketahui bahwa galur bakteri
resisten dapat timbul lewat pemaparan
bakteri dengan antibiotik dalam konsentrasi
tinggi untuk waktu yang lama.7 Pada
percobaan di laboratorium, fenomena ini
relatif mudah teramati pada streptomisin,
rifampisin, dan fluorokuinolon.8
Dalam menjalankan fungsinya, gen yang
menyandi protein sasaran antibiotik dipengaruhi/dikendalikan oleh gen pengatur.
Karena itu, fenotip yang resisten juga dapat
timbul akibat mutasi pada gen pengatur
tersebut. Telah diketahui, misalnya, bahwa
semua bakteri Gram negatif membawa gen
beta-laktamase pada kromosomnya dan
bakteri akan menjadi resisten terhadap
sefalosporin serta penisilin jika bakteri
memproduksi enzim dalam jumlah cukup
besar.12 Khususnya pada bakteri Citrobacter,
Centerobacter, Pseudomonas, dan Serratia,
produksi enzim beta-laktamase di atas dapat
dirangsang oleh antibiotik sefoksitin dan
imipenem.13 Enzim beta-laktamase di atas
disandi oleh gen ampC dan fungsi gen ampC
dikendalikan oleh aktivitas gen ampR, ampD,
ampE, serta ampG. Mutasi pada ampD,
misalnya, dapat menimbulkan peningkatan
aktivitas ampC yang mengakibatkan
peningkatan resistensi bakteri terhadap
antibiotik golongan beta-laktam, kecuali
imipenem yang fenotip resistensinya
Tabel 1. Gen yang terkait dengan
resistensi bakteri terhadap antibiotik
No. Bakteri
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Staphylococcus
Enterococcus
Mycobacterium
Mycobacterium
Mycobacterium
Mycobacterium
Mycobacterium
Antibiotik
Metisilin
Vankomisin
Isoniasid
Rifampisin
Etambutol
Pirasinamid
Fluorokuinolon
Gen
terkait
MecA
VanC
KatG
RpoB
EmbB
PncA
GyrA
Salah satu mekanisme timbulnya fenotip
resisten ini adalah mutasi gen yang
menyandi protein sasaran antibiotik. Pada M.
tuberculosis, resistensi terhadap streptomisin
terjadi akibat subtitusi adenin oleh guanin
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011
TINJAUAN PUSTAKA
memerlukan penurunan ekspresi membran
luar yang disandi oleh gen ompD.8,14 Contoh
lain resistensi yang timbul akibat mutasi
pada gen pengendali adalah resistensi E. coli
terhadap berbagai antibiotik sekaligus,
seperti terhadap kloramfenikol, tetrasiklin,
dan fluorokuinolon. Pada contoh ini, mutasi
pada gen pengendali marR atau marO dapat
menyebabkan peningkatan aktivitas gen
marA yang menyebabkan penurunan kadar
antibiotik intrabakteri.15,16 Beberapa contoh
dasar genetik resistensi yang disandi oleh
gen kromosomal dapat dilihat pada tabel 2.
Selain mekanisme mutasi gen kromosomal,
mekanisme resistensi yang dalam tahuntahun terakhir dianggap lebih penting
adalah masuknya DNA asing ke dalam
bakteri. Misalnya, yang berkaitan dengan
fenomena peningkatan bakteri resisten
terhadap antibiotik golongan beta-laktam,
kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosida,
eritromisin, trimetoprim, dan vankomisin.
Dalam hal ini, DNA asing dapat masuk ke
dalam bakteri melalui tiga cara, yaitu
transduksi, transformasi, dan konjugasi.
Tabel 2. Dasar genetik resistensi bakteri
akibat mutasi kromosomal
Jenis mutasi
Antibiotik
Mutasi gen penyandi
sasaran
Mutasi gen pengatur
Streptomisin
Rifampisin
Fluorokuinolon
Aminoglikosida
Beta-laktam
Kloramfenikol
Tetrasiklin
Fluorokuinolon
Imipenem
Transduksi adalah pemindahan DNA dari
satu bakteri ke bakteri lainnya melalui infeksi
bakteri oleh bakteriofaga. Pada saat infeksi,
DNA bakteriofaga berintegrasi dengan DNA
bakteri dan saat replikasi sebagian dari DNA
bakteri terakit pada DNA bakteriofaga. Saat
bakteriofaga menginfeksi bakteri lain,
terjadilah pemindahan DNA tersebut. Jika
dalam DNA yang dipindahkan terdapat gen
penyandi resistensi, bakteri yang terinfeksi
oleh bakteriofaga tadi akan menjadi resisten
terhadap antibiotik tertentu. Fenomena timbulnya resistensi bakteri melalui transduksi,
misalnya, teramati pada penyebaran resistensi Staphylococcus aureus terhadap antibiotik golongan beta-laktam dan logam
berat.17
Transformasi adalah proses pemasukan DNA
bebas dari lingkungan ke bakteri. Kemam-
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011
puan ini secara alami hanya dimiliki oleh
beberapa jenis bakteri, seperti Streptococcus
pneumoniae, Streptococcus viridans,
Haemophilus influenzae, dan Neisseria
meningitidis.8,18 Timbulnya resistensi akibat
transformasi, misalnya, teramati pada
resistensi bakteri-bakteri tersebut di atas
terhadap penisilin akibat pembentukan gen
mosaik penyandi penicillin-binding protein
(PBP).19
Konjugasi adalah pertukaran materi genetik
antara dua bakteri akibat kontak fisik di
antara keduanya. Proses konjugasi ini
biasanya diinduksi oleh plasmid atau mobile
genetic element yang berintegrasi pada
kromosom. Plasmid sendiri, sebagai materi
genetik ekstra-kromosomal, dapat membawa satu atau lebih gen penyandi resistensi
terhadap antibiotik. Sampai saat ini, konjugasi dianggap sebagai salah satu mekanisme utama penyebaran gen penyandi
resistensi pada bakteri.8
Akhir-akhir ini, juga banyak dikupas tentang
mobile DNA yang mampu mengalami translokasi dari satu replikon ke replikon lain,
independen dari perangkat rekombinasi sel
hospes. Mobile DNA element dapat membawa gen-gen penyandi resistensi terhadap
antibiotik atau tranposon. 8 Contohnya
adalah Tn 552 (yang membawa penyandi
resistensi terhadap antibiotik golongan
beta-laktam), Tn 1546 (yang membawa
penyandi resistensi terhadap vankomisin),
Tn 5 (yang membawa penyandi resistensi
terhadap kanamisin, bleomisin, streptomisin), dan Tn 10 (yang membawa penyandi
resistensi terhadap tetrasiklin).
Tabel 3. Dasar genetik resistensi akibat
masuknya gen asing
Antibiotik
Gen yang didapat dari luar
Aminoglikosida
Beta-laktam
Kloramfenikol
Gen-gen penyandi aminoglikosidase
Gen-gen penyandi beta-laktamase
Gen-gen penyandi chloramphenicol
acetyl transferase (CAT)
Gen MLS
Gen mecA
Gen-gen penyandi tetrasiklin
Gen penyandi ligase abnormal dan
gen-gen penyerta
Eritromisin
Metisilin
Tetrasiklin
Vankomisin
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
perubahan bakteri sensitif menjadi bakteri
resisten terhadap antibiotik dapat terjadi
karena mutasi preexisting genes, masuknya
gen baru (yaitu gen penyandi resistensi), dan
mutasi pada gen yang baru masuk (tabel 3
dan 4).
Tabel 4. Dasar genetik mutasi gen yang
didapat
Jenis mutasi
Gen yang dihasilkan
Mutasi gen penyandi Extended-spectrum
sasaran
beta-lactamase
Mutasi gen pengatur Extended-spectrum
beta-lactamase
Gen penyandi resisten
metisilin (mec)
Deteksi Gen Penyandi Resistensi
Sampai saat ini, penentuan resistensi bakteri
terhadap antibiotik hampir semuanya
menggunakan cara difusi cakram, pengenceran dalam agar kaldu, dan epsilometer.
Untuk dapat melakukan pengujian di atas,
terlebih dahulu bakteri harus diisolasi,
dimumikan, dan selanjutnya dipaparkan
pada antibiotik. Untuk antibiotik tertentu,
cerminan resistensi terhadapnya juga dapat
ditentukan dengan cara lain, termasuk kit
komersial yang mampu mendeteksi produksi enzim penghancur antibiotik dari
bakteri tersebut. Tes Cefinase atau iodometri,
misalnya, dapat dipakai untuk mendeteksi
produksi enzim beta-laktamase yang banyak
dihasilkan oleh Staphylococcus spp., Haemophilus influenzae, dan Bacterioides spp. Caracara konvensional yang mencari fenotip
bakteri seperti di atas mempunyai kelemahan, khususnya dalam hal lamanya waktu
sampai mendapatkan hasil. Karena itu,
dicoba dikembangkan cara lain, khususnya
untuk mencari faktor genotipnya.
Gen yang dicari tersebut berupa segmen
DNA atau RNA. Karena jumlah salinan asam
nukleat sasaran tersebut biasanya sedikit,
biasanya terlebih dahulu dilakukan
amplifikasi DNA bakteri langsung dari bahan
pemeriksaan dengan reaksi rantai polimerase (RRP).20 Selain dengan cara RRP,
amplifikasi asam nukleat kadang-kadang
juga dilakukan dengan cara reaksi rantai
ligase, amplifikasi secara OBReplikase.
Amplifikasi cara lain dilakukan dengan terlebih dahulu membiakkan bakteri tersebut
secara konvensional, lalu asam nukleatnya
diekstraksi. Untuk menentukan apakah
proses amplifikasi menghasilkan amplikon
atau amplimer yang benar, dapat dilakukan
berbagai pemeriksaan lanjutan, di antaranya
adalah penentuan besar amplikon dengan
cara elektroforesis, hibridisasi amplikon
dengan pelacaknya, analisis restriction
fragment length polymorphism (RFLP), atau
sequencing asam nukleat.21-34
499
TINJAUAN PUSTAKA
Konfirmasi amplikon dengan elektroforesis
saat ini merupakan cara tersering untuk
mengidentifikasi gen penyandi resistensi.21
Uji ini spesifik jika bahan pemeriksaan tidak
mengandung mikroba lain yang mengandung rantai asam nukleat serupa dan RRP
menghasilkan amplikon dalam jumlah yang
cukup. Jika menggunakan dua jenis atau
lebih primer yang sasarannya berbeda,
teknik RRP multipleks ini sekaligus dapat
dipakai untuk menentukan adanya gen
penyandi resistensi dan identifikasi bakteri.
RRP multipleks ini, misalnya, telah dicobakan
untuk mendeteksi gen mecA pada kuman
Staphylococcus yang terlebih dahulu diperbanyak dengan cara konvensional.21,29,35,36
Hasilnya menunjukkan bahwa cara RRP
multipleks ini lebih sensitif dibandingkan
dengan cara konvensional dalam hal
mendeteksi resistensi yang disandi oleh gen
mecA untuk staphylococcus selain Staphylococcus aureus. Selain itu, teknik ini juga telah
dicobakan pada biakan darah, hanya saja
perlu dipertimbangkan kemungkinan
adanya penghambat RRP dalam bahan,
seperti antikoagulan natrium polianetol
sulfonat.37,38
Untuk konfirmasi dengan cara RFLP, sebelum
elektroforesis amplikon, terlebih dahulu
dilakukan fragmentasi dengan enzim
endonuklease restriksi, suatu enzim yang
hanya memecah DNA di tempat spesifik.
Untuk memilih jenis enzim yang dipakai,
diperlukan data rangkaian basa penyusun
gen sasaran amplifikasi. Pita-pita potongan
DNA yang terlihat pada hasil elektroforesis
selanjutnya dibandingkan dengan bakunya.
Teknik ini, misalnya, telah dipakai untuk
mendiferensiasi gen vanA, vanB, dan vanC
yang menyandi resistensi enterococcus
terhadap vankomisin.24 Selain itu, teknik ini
telah pula dipakai untuk mendeteksi mutasi
gen M. tuberculosis penyebab resistensi
terhadap isoniazid dan streptomisin serta
untuk mengklasifikasikan gen penyandi
extended beta-lactamase pada bakteri Gram
negatif.20,26,27,39-45
Konfirmasi adanya gen penyandi resistensi
pada bakteri juga dilakukan dengan teknik
hibridisasi. Teknik ini sangat spesifik
meskipun mempunyai kelemahan, yaitu
keharusan tersedianya pelacak. Teknik ini
telah dicobakan untuk mendeteksi gen
mecA pada staphylococcus.35,36
500
Konfirmasi amplikon yang terbaik adalah
dengan DNA sequencing. Dibandingkan
dengan cara lainnya, teknik ini memerlukan
perangkat yang mahal dan lebih kompleks
pengerjaannya. Dengan dikembangkannya
automatisasi, teknik ini menjadi lebih murah
dan lebih cepat memberikan hasil.29 Teknik
ini telah dilakukan untuk mendeteksi mutasi
gen yang menimbulkan fenotip resistensi M.
tuberculosis terhadap rifampisin, isoniazid,
etambutol, streptomisin, dan pirazinamid.27,28,31-33,46
Cara deteksi lain yang relatif baru adalah cara
assay bDNA. Teknik ini berbeda dengan
teknik RRP karena yang diamplifikasi bukan
DNA sasaran dan amplifikasinya terjadi
melalui proses hibridisasi bertingkat.
Ringkasnya, DNA penangkap yang terfiksasi
pada fase padat akan berhibridisasi dengan
DNA sasaran. Di tempat lainnya, DNA sasaran
akan berhibridisasi dengan fragmen DNA
pelacak, kemudian fragmen lain DNA
pelacak berhibridisasi dengan DNA penguat.
Akhirnya, keberadaan DNA penguat dideteksi dengan cara chemiluminescence atau
reaksi enzimatik dengan substrat kromogenik. Teknik ini telah dicobakan untuk
deteksi gen mecA pada staphylococcus
dengan hasil yang sebanding dengan cara
amplifikasi RRP.22,23
Deteksi mutasi gen yang menimbulkan
fenotip resisten juga dapat dilakukan
dengan menguraikan amplikon dari DNA
untai ganda menjadi DNA untai tunggal
sebelum dilakukan elektroforesis. Pita-pita
DNA yang tampak dibandingkan dengan
bakunya. Teknik ini dikenal sebagai teknik
gabungan RRP dan SSCP (single-strand
conformation polymorphism) dan telah
digunakan untuk mengidentifikasi mutasi
gen penyandi extended beta-lactamase pada
beberapa bakteri famili Enterobacteriaceae,
gen yang menimbulkan resistensi M.
tuberculosis terhadap isoniazid, rifampisin,
etambutol, dan fluorokuinolon.31,34,42-44,47-52
Salah satu pengembangan teknik ini dikenal
dengan nama cleavage fragment length
polymorphism (CFLP). Dalam teknik ini,
pasca-denaturasi amplikon, fragmen DNA
diuraikan oleh enzim endonuclease cleavage
yang mengurai DNA pada pertemuan untai
tunggal dan dupleksnya. Setelah dielektroforesis pada gel pendenaturasi, polimorfisme yang unik terjadi selaras dengan
mutasinya.20
Mutasi gen yang menyebabkan resistensi
juga telah dicoba dengan teknik analisis
universal heteroduplex generator-RRP untuk
gen rpoB pada M. tuberculosis.30 Dalam hal ini,
DNA bakteri yang diuji dan bakteri kontrol
didenaturasi dan dibiarkan berhibridisasi
ulang secara bersamaan di tempat yang
sama. Mutasi yang terjadi menyebabkan
ketidaksesuaian pasangan basa saat hibridisasi heterodupleks, membentuk hibrid
berupa DNA dengan bubble. DNA untai
ganda dengan bubble tersebut akan membentuk pita yang berbeda dengan DNA
bakunya jika dielektroforesis dengan gel
yang beresolusi tinggi.
Teknik lain yang lebih mudah pembacaannya adalah kombinasi RRP dan immunoassay,
atau dikenal dengan nama RRPLiPA (RRP-line
probe assay). Pada teknik ini, DNA hasil
amplifikasi RRP yang telah diberi penanda
biotin, dihibridisasikan dengan DNA pelacak
yang telah diimobilisasi. Adanya hibridisasi
selanjutnya dideteksi dengan substrat
kromogen. Teknik ini telah dicobakan untuk
mendeteksi mutasi gen M. tuberculosis yang
resisten terhadap rifampisin.29 Teknik yang
menyerupai RRP-LiPA adalah teknik analisis
rangkaian molecular beacon-RRP(20). Dalam
teknik terakhir, DNA pelacak yang telah tertandai oleh fluorofor akan mengalami perubahan konformasional jika berhibridisasi
dengan DNA sasaran dan mengaktifkan
fluorofor berfluorosensi.
Perbandingan Uji Resistensi Cara
Konvensional dan Genetis
Pemanfaatan teknik deteksi gen penyandi
resistensi saat ini belum luas. Selain lebih
rumit dan masih lebih mahal dibandingkan
teknik konvensional, juga karena tidak
semua fenotip resistensi hanya bergantung
pada (satu) gen saja. Misalnya, dalam hal
resistensi terhadap penisilin, bakteri dapat
menjadi resisten akibat ekspresi gen mecA
yang menyandi protein pengikat penisilin
atau oleh gen lain yang menyandi protein
beta-laktamase. Dengan demikian, jelas
bahwa bakteri yang tidak membawa gen
mecA masih mungkin resisten terhadap
penisilin.
Dibandingkan dengan teknik konvensional,
teknik genetis mempunyai potensi keunggulan berupa:20
·
Dapat dilakukan langsung pada bahan
pemeriksaan tanpa terlebih dahulu
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011
TINJAUAN PUSTAKA
melalui proses isolasi bakteri sehingga
dapat mempercepat hasil pemeriksaan.
Hal ini akan sangat bermanfaat jika
diterapkan untuk kasus infeksi gawat yang
memerlukan intervensi antibiotik segera
atau pada bakteri yang belum berhasil
dibiak in vitro, seperti M. leprae.
·
Penilaian langsung pada potensi bakteri
menjadi resisten dan tidak pada fenotipnya. Ini terutama berkaitan dengan kuman
yang lambat tumbuhnya sehingga penampilan fenotip lebih sukar diamati.
Selain itu dengan teknik genetis dapat
dihindari adanya kemungkinan false
resistance akibat pengaruh artifisial media
pertumbuhan bakteri pada fenotip resistensi.
·
Karena tidak memerlukan pembiakan
bakteri, teknik ini jelas lebih aman bagi
petugas dari kemungkinan terjadinya
infeksi laboratorik.
Di samping berbagai keuntungan di atas,
teknik genetis juga mempunyai dampak
negatif:20
·
Untuk tiap antimikroba, diperlukan uji
yang spesifik. Hal ini berkaitan dengan
perbedaan gen yang akan dideteksi.
·
Dibandingkan dengan cara konvensional,
deteksi secara genetis pada dasarnya
hanya mendeteksi gen dan kurang
komprehensif. Hal ini berkaitan dengan
fakta bahwa fenotip resistensi dapat
disebabkan oleh banyak gen berbeda atau
mutasi yang berbeda. Selain itu, belum
semua mekanisme resistensi diketahui
latar belakang genetisnya. Lebih lanjut,
cara genetis tidak tepat jika dikerjakan
untuk mencari fenomena resistensi yang
baru.
·
Pada saat ini, teknik genetis masih
memerlukan perbaikan agar deteksi dapat
dilakukan dengan jumlah gen yang makin
kecil; sensitivitas cara genetis belum
optimal jika dalam sediaan hanya terdapat
beberapa bakteri.
·
Teknik genetis mampu mendeteksi gen
penyandi resistensi yang secara klinis
belum tentu relevan, misalnya untuk gen
yang tingkat ekspresinya rendah.
·
Pengerjaannya harus hati-hati karena
kontaminasi yang kecil sekalipun akan
teramplifikasi dan dapat menyebabkan
timbulnya hasil yang salah.
·
Pada saat ini, pembakuan teknik genetis
masih sangat minim.
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
Murray BE.The life and times of enterococcus. Clin Microb Rev. 1990; 3:46-65.
Schaberg DR, Culver DH, Gaynes RP. Major trends in microbial etiology of nosocomial infection. Am J Med.
1991; 92:72S-5S.
Center for Diseases Control and Prevention. Nosocomial enterococci resistant to vancomycin -United States,
1989-1993. MMWR. 1993; 42:597-9.
Sjahrurachman A. Resistensi kuman saluran pernapasan dan pus terhadap berbagai antibiotik di Bagian
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Maj Kes Masy Indon. 1996; 8:521-5.
Sjahrurachman A. Resistensi bakteri terhadap aminoglikosida. Cermin Dunia Kedokt. 1996; 108:49-53.
Usman CW, Suharno J, Santoso AUS, et al. Aktivitas antibakteri sefuroksim dan antibiotik oral lain terhadap
kuman penghasil beta laktamase. Mikrobiol. Min. Indo. 1992; 6: 206-8.
Bryson V, Szibalsky W. Microbial selection. Science 1952; 11:45-51.
Rice LB, Bonomo RA. Genetic and biochemical mechanisms of bacterial resistance to antimicrobial agents In:
Lorian,V (ed). Antibiotics in Laboratory Medicine. 4th ed. Maryland:Williams & Wilkins Co. 1996; pp.453-501.
Carter PE, Abadi JFR, Yakubu DE, Pennington TH. Molecular characterization of rifampicin resistant Neisseria
meningitidis. Antimicrob. Agents Chemother. 1994; 38:1256-61.
Yoshida H, Bogaki M, Nakamura M, Nakamura S. Quinolone resistance determining region in the DNA gyrase
gyr A gene of Escherichia coli. Antimicrob. Agents Chemother. 1990; 34:1271-72.
Zhanel GG, Karlowsky JA, Sauders MH, et al. Development of multiple antibiotic resistant (mar) mutants of
Pseudomonas aeruginosa after serial exposure to fluoroquinolones. Antimicrob. Agents Chemother. 1995;
39:489-95.
Bergstrom S, Olsson O, Normark S. Common evolutionary origin of chromosomal beta lactamase genes in
enterobacteria. J. Bacteriol. 1982; 150:528-34.
Bennett PM, Chopra I. Molecular basis of beta lactamase induction in bacteria. Antimicrob. Agents
Chernother. 1993; 37:153-8.
Yoneyama H, Nakae T. Mechanism of efficient elimination of protein D2 in outer membrane of imipenem
resistant Pseudomonas aeruginosa. Antimicrob. Agents Chemother. 1993; 37:2385-90.
Ariza RR, Cohen SB, Bachahawat N, et al. Repressor mutations in the marRAB operon that activate oxidative
stress gene and multiple antibiotic resistance. J. Bacteriol. 1994; 176:143-8.
Cohen SP, Hachler H, Levy SB. Genetic and functional analysis of the multiple antibiotic resistance (mar) locus
in Escherichia coli. J. Bacteriol. 1993 ; 175:1484-92.
Lyon BR, Skurray R. Antimicrobial resistance in Staphylococcus aureus Genetic basis. Microbiol. Rev. 1987; 51:
88-134.
Davis BD, Gene variation and transfer. In: Davis BD, Dulbecco R, Eisen HN, Ginsberg HS (eds). Microbiology.
Philadelphia, USA. 1990; pp.123-42.
Grebe T, Hakenbeck R, Penicillin-binding protein 2b and 2x of Streptococcus pneumoniae are primary
resistance determinants for different classes of beta lactam antibiotics. Antimicrob. Agents Chemother. 1996;
40:829-34.
Cockerill FR II. Genetic methods for assessing antimicrobial resistance. Antimicrob. Agents. Chemother. 1999;
43:199-212.
Geha DJ, Uhl JR, Gustafero CA, Persing DH. Multiplex PCR for identification of methicillin-resistant
staphylococci in the clinical laboratory. J Clin Microb. 1994;1768-72.
Kolbert CP,Varga-Demore P, Arruda J, et al. A novel branched DNA assay for detection of mecA gene in oxacillin
resistant and oxacillin susceptible staphylococci. J. Clin. Microb. 1998; 36:2640-4.
Zheng X, Kolbert CP, Delmore P, et al. Direct mecA detection from blood cultures bottles by branched DNA
(bDNA) signal amplification. Abstract of the 37 Meeting of International Conference on Antimicrobial Agents
and Chemotherapy.Toronto, Canada. 1997;p.87.
Patel R, Uhl J, Kohner P, et al. Multiplex PCR detection of vanA, vanB, vanC-1 and vanC2/3 in enterococci. J. Clin.
Microbiol. 1997; 35:703-7.
Patel R, Uhl J, Kohner P, et al. DNA sequence variation within vanA, vanB, vanC-1 and vanC2/3 genes of clinical
Enterococcus isolates. Antimicrob. Agents. Chemother. 1998; 42:202-5.
Martha HJ, Soini P, Huovinen V and Vijanen MK. katG mutations in isonazid resistant Mycobacterium
tuberculosis isolates recovered from Finnish patients. Antimircob. Agents. Chemother. 1996; 40:2187-9.
Musser JM, Kapur V, Williams DL, et al. Characterization of the catalaseperoxidase gene (katG) and inhA locus
in isoniazid-resistant and susceptible strains of Mycobacterium tuberculosis by automated DNA sequencing :
restricted array of mutations associated with drug resistance. J. Infect. Dis. 1996; 713:196-202.
Sreevatsan S, Pan X, Zhang Y, et al. Analysis of the oxyR-aphC region in isoniazid-resistant and susceptible
Mycobacterium tuberculosis complex organisms recovered from diseased humans and animals in diverse
localities. Antimicrob. Agents. Chemother. 1997; 41: 600-6.
Rossau, Traore H, de Beenower H, et al. Evaluation of INNO-LIPA Rif TB assay, a reverse hybridization assay
simultaneus detection of Mycobacterium tuberculosis complex and its resistance to rifampicin. Antimicrob.
Agents. Chemother. 1997 ; 41:2093-8.
Williams DL, Waguespack C, Gillis TP, et al. Characterization of rifampin resistance in pathogenic mycobacteria.
Antimicrob. Agents. Chemother. 1994; 38:2380-6.
Sreevatsan S, Pan X, Stockbauer KE, et al. Ethambutol resistance in Mycobacterium tuberculosis: Critical role of
embB mutations. Antimicrob. Agents. Chemother. 1997; 41:1677-81.
Sreevatsan S, Pan X, Stockbauer KE, et al. Characterization of rspL and rrs mutations in streptomycin-resistant
Mycobacterium tuberculosis isolates from diverse geographic localities. Antimicrob. Agents. Chemother. 1996;
40:1024-6.
501
TINJAUAN PUSTAKA
33. Sreevatsan S, Pan X, Kreiswirth BN and Musser JM. Mutations associated by pyrazinamide resistance in pncA of Mycobactecium tuberculosis complex organisms.
Antimicrob. Agents. Chemother. 1997; 41:636-40.
34. Takiff HE, Salazar L, Guerrero C, et al. Cloning and nucleotide sequence of Mycobacterium tuberculosis gyrA and gyrB genes and detection of quinolone resistance
mutations. Antimicrob. Agents. Chemother. 1994; 38:773-80.
35. Kolbert CP, Connolly JE, Lee MJ, Pershing DH. Detection of the Staphylococcal mecA gene by chemiluminescent DNA hybridization. J. Clin. Microb. 1995; 33:2179-82.
36. Mulde GJ. Comparison of disk diffussion, E test and detection of mecA for determination of methicillin resistance in coagulase-negative Staphylococci. Eur J. Clin. Microb.
Infect. Dis. 1996; 15:567-73.
37. Ubakata K, Nakagami S, Nitta A, et al. Rapid detection of niecA gen in methicillin resistant Staphylococci by enzymatic detection of polymerase chain reaction product. J.
Clin. Microbiol. 1992; 30:1728-33.
38. Fredrick DN, Relman DA. Improved amplification of microbial DNA from blood cultures by removal of the PCR inhibitor sodium polyanetholesulfonate. J. Clin. Microbiol.
1998: 36:2810-6.
39. Brow MA, Olderbur MC, Lyamichev V. et. al. Differentiation of bacterial 16SRNA genes and intergenic regions in Mycobacterium tuberculosis katG genes by structurespecific endonuclease cleavage. J. Clin. Microb. 1996; 34:2139-42.
40. Cockerill FR III, Uhl JR, Temezgen Z. et. al. Rapid identification of a point mutation of the Mycobacterium tuberculosis catalase-peroxidase (katG) gene assoiciated with
isoniazid resistance. J. Infect. Dis. 1995; 171:240-5.
41. Haas WH, Schilke K, Brand J. et al. Molecular analysis of katG gene mutation in strains of Mycobacterium tuberculosis complex from Africa. Antimicrob. Agents. Chemother.
1997; 41:1601-3.
42. Heym B, Alzari PM, Honore N, Cole ST. Missense mutation in the catalase-peroxidase gene, katG, are associated with isoniazid resistance in Mycobacterium tuberculosis.
Mol. Microbiol. 1995; 15:235-45.
43. Rouse DA, Zhongming L, Bai GH, Morris SL. Characterization of katG and inhA genes of isoniazid resistant clinical isolates of Mycobacterium tuberculosis. Antimicrob.
Agents. Chemother. 1995; 39:2472-7.
44. Victor TC, Pretorius GS, Felix JV, et al. KatG mutation in isoniazid resistant strains of Mycobacterium tuberculosis are not infrequent. Antimicrob. Agents. Chemother. 1996;
40:1572 (Letter).
45. Nuesch-Inderbinen MT, Hacher H and Ksyser FH. Detection of genes coding for extended spectrum beta SHV-lactamase in clinical isolates by molecular genetic method
and comparison with E test. Eut J. Clin. Microb. Infect. Dis. 1996; 15:398-402.
46. Kapur V, Li LL, Iordanescu S. et al. Characterization by automated DNA sequencing of mutations in the gene (rpoB) encoding RNA polymerase beta sub unit in rifampinresistant Mycobacterium tuberculosis strains from New York City and Texas. J. Clin Microbiol. 1994; 32:1095-8.
47. M'Zali FH, Heritage J, Gasoyne-Binzi DM. et. al. PCR single-strand conformational polymorphism can be used to detect the gene encoding SHV-7 extended spectrum beta
lactamase and to identify different SHV genes within the same strain. Antimicrob. Agents Chemother. 1998; 41:123-5.
48. Telenti A, Honore N, Bernasconi C, et al. Genotypic assessment of isoniazid and rifampicin resistance in Mycobacterium tuberculosis: a blind study at reference laboratory
level. J. Clin. Microbiol. 1997; 35:719-23.
49. Felmlee TA, Liu Q,Whelen AC. et. al. Genotype detection of Mycobacterium rifampicin resistance : Comparison of single strand poly-morphism and dideoxy fingerprinting.
J. Clin. Microb. 1995; 33:1617-23.
50. Telenti A, Imboden P, Marchesi F, et al. Detection of rifampicin resistance mutations in Mycobacterium tuberculosis. Lancet 1993; 341:647-50.
51. Telenti A, Imboden P, Marchesi F, et al. Direct automated detection of rifampicin-resistant Mycobacterium tuberculosis by polymerase chain reaction and single strand
conformation polymorphism analysis. Antimicrob. Agents Chemother. 1993; 37:2054-8.
52. Whelen AC, Femlee TA, Hunt JM. et. al. Direct genotypic detection of Mycobacterium tuberculosis rifampicin resistance in clinical specimens by using single tube
heminested PCR. J. Clin. Microbiol. 1995; 33:556-61.
502
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011
Download