Prediktor Mortalitas Dalam-Rumah-Sakit Pasien Infark Miokard ST

advertisement
HASIL PENELITIAN
Prediktor Mortalitas Dalam-Rumah-Sakit Pasien
Infark Miokard ST Elevation (STEMI) Akut di RSUD
dr. Dradjat Prawiranegara Serang, Indonesia
Nila Indah Gayatri,1 Suryadi Firmansyah,2 Syarif Hidayat S., 2 Estu Rudiktyo2
Dokter umum, 2Cardiologist, RSUD dr. Dradjat Prawiranegara, Serang, Indonesia
1
ABSTRAK
Latar Belakang: ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI) adalah suatu sindrom klinis berupa kumpulan gejala iskemi miokard yang
berhubungan dengan elevasi ST persisten dan pelepasan biomarker nekrosis miokard. Tujuan: Menentukan prediktor mortalitas pasien STEMI
selama perawatan di rumah sakit berdasarkan data register SKA (Sindrom Koroner Akut) di RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang tahun 2014.
Metode: Studi cross-sectional menggunakan data sekunder. Variabel diadaptasi dari model prediktor TIMI, Killip, dan GRACE. Data disajikan
dalam bentuk tabel dan diagram serta dianalisis menggunakan model regresi logistik untuk mengidentifikasi prediktor kematian selama
perawatan di rumah sakit. Hasil: Terdapat 151 kasus SKA yang dianalisis pada tahun 2014. Sejumlah 63% kasus ST-elevation myocardial infarction
(STEMI), 19% kasus non-ST-elevation myocardial infarction (NSTEMI), dan 18% kasus unstable angina pectoris (UAP). Mortalitas dalam-rumah-sakit
adalah 20% untuk STEMI, 17% untuk NSTEMI, dan 0% untuk UAP. Dari 95 kasus STEMI, 42% pasien datang saat onset <12 jam, hanya 20 pasien
(50%) yang menjalani fibrinolisis. Delapan puluh tujuh persen pasien laki-laki dan 72% pasien berusia kurang dari 65 tahun. Pasien dengan Killip
class 3 and 4, aritmia, STEMI anterior, gagal ginjal kronis, takikardia, onset >12 jam, dan diabetes melitus memiliki mortalitas lebih tinggi (OR 95%:
3,375; 2,659; 2,656; 2,188; 1,905; 1,754; dan 1,484), pasien yang menjalani fibrinolitik memiliki mortalitas lebih rendah (OR 95%: 2,638). Mortalitas
dalam-rumah-sakit lebih tinggi signifikan pada pasien STEMI anterior dibandingkan kelompok STEMI non-anterior (27% vs 12%; nilai p: 0,036).
Di dalam kelompok non-fibrinolitik, pasien STEMI anterior memiliki mortalitas lebih tinggi dibandingkan dalam kelompok pasien STEMI nonanterior (31% vs 14%; nilai p: 0,105). Simpulan: Prediktor mortalitas dalam-rumah-sakit pasien ST-elevation myocardial infarction (STEMI) akut di
RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang adalah Killip kelas 3 dan 4, aritmia, STEMI anterior, penyakit ginjal kronis, takikardi, onset lanjut, diabetes,
dan tanpa fibrinolisis.
Kata Kunci: Infark miokard, mortalitas, prediktor, ST elevasi, STEMI
ABSTRACT
Background: ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI) is a clinical syndrome defined by characteristic symptoms of myocardial ischemia
in association with persistent electrocardiophy (ECG) ST elevation and subsequent release of biomarkers of myocardial necrosis. Objective:
To determine predictors of in-hospital mortality in STEMI patients recorded in the acute coronary syndrome (ACS) registry in dr. Dradjat
Prawiranegara General Hospital, Serang. Material and Method: This cross-sectional study used secondary data from medical records. The
variables collected were TIMI, Killip, and GRACE. Data were presented in tables and diagrams and analyzed using logistic regression models
to identify predictors of mortality during hospitalization. Results: There were 151 Acute Coronary Syndrome (ACS) cases in 2014. Sixty three
percent had ST elevation myocardial infarction (STEMI), 19% had non-ST-elevation myocardial infarction (NSTEMI), and 18% had unstable angina
pectoris (UAP). In-hospital mortality was 20% for STEMI, 17% for NSTEMI, and 0% for UAP. Among 95 STEMI patients, 42% patients are early
presenter, only 20 patients (50%) underwent fibrinolysis. Eighty seven percent patients are male and 72% are younger than 65 years old. The
mortality rate of STEMI patients was 20%. Patients with Killip class 3 and 4, arrhythmias, anterior STEMI, chronic kidney disease, tachycardia, late
onset and diabetes had a higher mortality (OR 95%: 3.375, 2.659, 2.656, 2.188, 1.905, 1.754 and 1.484), while patients who underwent fibrinolysis
had a lower mortality rate (OR 95%: 2.638). In-hospital mortality was significantly higher in patients with anterior STEMI compared with nonanterior STEMI group ( 27% vs 12%, p value: 0.036). In non-fibrinolysis group, anterior STEMI patients had a greater mortality rate than in nonanterior STEMI patients (31% vs 14%, p value: 0.105). Conclusion: The predictors of in-hospital mortality among STEMI patients in dr. Dradjat
Prawiranegara General Hospital, Serang were Killip class 3 and 4, arrhytmias, anterior STEMI, chronic kidney disease, tachycardia, late onset,
diabetes, and without fibrinolysis. Nila Indah Gayatri, Suryadi Firmansyah, Syarif Hidayat S, Estu Rudiktyo. Predictors of In-hospital
Mortality among Acute ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) Patients in dr. Dradjat Prawiranegara General Hospital, Serang,
Indonesia
Keywords: Mortality, myocard infarc, predictor, ST elevation, STEMI
Alamat Korespondensi
email: [email protected]
CDK-238/ vol.43 no.3, th. 2016
171
HASIL PENELITIAN
LATAR BELAKANG
Pada tahun 2004, penyakit kardiovaskuler
merupakan penyebab kematian nomor
satu di dunia, yaitu 32% pada wanita dan
27% pada pria. Pada tahun 2012, penyakit
kardiovaskuler masih merupakan penyebab
kematian nomor satu di dunia, menyebabkan
17,5 juta kematian (30%); 7,4 juta meninggal
karena penyakit jantung iskemik dan 6,7 juta
karena stroke.1
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan
masalah kardiovaskuler utama karena
menyebabkan angka perawatan rumah
sakit dan angka kematian yang tinggi. SKA
merupakan suatu spektrum mulai dari
Unstable Angina Pectoris (UAP), Non STElevation Myocardial Infarction (NSTEMI),
dan
ST-Elevation Myocardial Infarction
(STEMI). Lebih dari 90% SKA diakibatkan
oleh rupturnya plak aterosklerosis, sehingga
terjadi agregasi trombosit dan pembentukan
trombus koroner.2,3
ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
adalah suatu sindrom klinis yang didefinisikan
sebagai kumpulan gejala iskemi miokard yang
berhubungan dengan elevasi ST persisten dan
pelepasan biomarker nekrosis miokard. Elevasi
ST tanpa left ventricular hypertrophy (LVH) atau
left bundle branch block (LBBB) yang diagnostik
berdasarkan Universal Definition of Myocardial
Infarction adalah elevasi ST baru pada J point
≥2 mm (0,2 mV) pada laki-laki atau ≥1,5 mm
(0,15 mV) pada perempuan di lead V2-V3 dan/
atau ≥1 mm (0,1 mV) di precordial lead lain
atau pada limb lead, setidaknya pada 2 leads
yang bersebelahan.4
Terapi optimal pasien STEMI adalah
terapi reperfusi baik dengan primary
pecutaneous coronary reperfusion (PCI) atau
dengan fibrinolitik. Beberapa faktor harus
dipertimbangkan untuk memilih tipe terapi
reperfusi. Untuk pasien STEMI yang datang
ke rumah sakit dengan fasilitas PCI, primary
PCI harus dilakukan dalam 90 menit. Untuk
pasien yang datang ke rumah sakit tanpa
fasilitas PCI, harus cepat dinilai: 1) Onset gejala,
2) Risiko komplikasi yang berhubungan
dengan STEMI, 3) Risiko perdarahan yang
berhubungan dengan fibrinolisis, 4) Adanya
syok atau gagal jantung yang parah, dan 5)
Waktu yang dibutuhkan untuk mentransfer
172
pasien ke rumah sakit dengan fasilitas PCI
untuk keputusan terapi fibrinolitik. Jika tidak
ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus
diberikan pada pasien STEMI onset kurang dari
12 jam jika primary PCI tidak bisa dilakukan
dalam 120 menit sejak kontak medis pertama
(Class 1 Level of Evidence: A).4
Model prediktor klinis mortalitas dapat
membantu menilai pasien risiko tinggi yang
membutuhkan terapi dini dan menilai pasien
risiko rendah yang tidak membutuhkan
terapi agresif. Beberapa cara stratifikasi risiko
jangka pendek yang telah dikembangkan dan
divalidasi untuk sindrom koroner akut, yaitu
TIMI (Thrombolysis in Myocardial Infarction),
Killip, dan GRACE (Global Registry of Acute
Coronary Events). Terdapat 9 prediktor dalam
GRACE, yaitu: usia lanjut, infark miokard
sebelumnya, peningkatan laju nadi, tekanan
darah sistolik rendah, depresi segmen ST saat
kedatangan, peningkatan kreatinin serum,
dan kadar biomarker jantung dan juga tidak
dilakukan PCI di RS.4
dengan 31 Desember 2014 adalah sebanyak
157 kasus. Terdapat 6 pasien yang rekam
mediknya tidak berhasil didapatkan, sehingga
hanya 151 kasus SKA yang dapat dianalisis.
Gambar 1. Distribusi kasus sindrom koroner akut di
RSUD dr. Dradjat Prawiranegara tahun 2014
*Keterangan: UAP: Unstable Angina Pectoris; NSTEMI:
Non-ST-Elevation Myocardial Infarction; STEMI: STElevation Myocardial Infarction.
TUJUAN
Untuk menentukan prediktor mortalitas
pasien STEMI selama perawatan di rumah
sakit berdasarkan data register SKA RSUD dr.
Dradjat Prawiranegara tahun 2014.
METODE
Penelitian ini adalah studi cross-sectional
menggunakan data sekunder. Data sekunder
berupa rekam medis pasien dengan diagnosis
Sindrom Koroner Akut (SKA) yang dirawat
di RSUD dr. Dradjat Prawiranegara dalam
rentang waktu 1 Januari 2014 sampai dengan
31 Desember 2014. Pengumpulan data dari
rekam medis termasuk diagnosis, karakteristik
pasien, onset, presentasi klinis, terapi reperfusi,
dan kematian. Variabel diadaptasi dari model
prediktor yang sudah ada, yaitu TIMI, Killip,
dan GRACE. Data disajikan dalam bentuk tabel
dan diagram serta dianalisis menggunakan
model regresi logistik untuk mengidentifikasi
prediktor kematian selama perawatan di
rumah sakit.
HASIL
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
jumlah kasus Sindroma Koroner Akut (SKA)
pada data rekam medik RSUD dr. Dradjat
Prawiranegara selama 1 Januari 2014 sampai
Gambar 2. Distribusi kasus sindrom koroner akut di
RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang tahun 2014
*Keterangan: UAP: Unstable Angina Pectoris; NSTEMI:
Non ST-Elevation Myocardial Infarction; STEMI: STElevation Myocardial Infarction.
Dari 151 kasus SKA, terdapat 95 kasus STEMI
(63%), 29 kasus NSTEMI (19%), dan 27 kasus
UAP (18%). Dari 95 kasus STEMI tersebut
hanya 40 pasien yang datang saat onset <12
jam (42%) dan hanya 20 pasien (50%) yang
menjalani fibrinolitik. Alasan tidak dilakukan
fibrinolitik pada kelompok pasien dengan
onset <12 jam adalah karena terdapat
kontraindikasi dan karena pasien menolak.
CDK-238/ vol.43 no.3, th. 2016
HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Karakteristik pasien sindrom koroner akut
di RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang
Jumlah
(n=151)
Meninggal
(n=24)
STEMI
95 (63%)
19 (20%)
NSTEMI
29 (19%)
5 (17%)
UAP
27 (18%)
0 (0%)
Jenis Kelamin
Laki-Laki
Perempuan
119 (79%)
32 (21%)
22 (18%)
2 (6%)
Usia >65 tahun
39 (26%)
6 (15%)
Hipertensi
67 (44%)
5 (7%)
Diabetes Melitus
48 (21%)
11 (23%)
Gagal Ginjal Kronis
20 (13%)
4 (20%)
Variabel
*Keterangan: UAP: Unstable Angina Pectoris; NSTEMI:
Non ST-Elevation Myocardial Infarction; STEMI: STElevation Myocardial Infarction.
Penderita SKA paling banyak laki-laki (79%)
berusia kurang dari 65 tahun (74%). Jumlah
pasien meninggal 24 (16%), terbanyak pada
kasus STEMI (19 pasien). Di kalangan pasien
SKA didapatkan hipertensi sebanyak 44%,
diabetes melitus 21%, dan gagal ginjal kronis
13%.
Tabel 2. Karakteristik klinis pasien STEMI dan yang
meninggal di RSUD dr. Dradjat Prawiranegara,
Serang
Jumlah
(n = 95)
Meninggal
di RS
(n = 19)
Usia
< 65 th
> 65 th
68 (72%)
27 (28%)
14 (21%)
5 (19%)
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
83 (87%)
12 (13%)
19 (23%)
0 (0%)
Onset
< 12 jam
> 12 jam
40 (42%)
55 (58%
6 (15%)
13 (24%)
Variabel
Reperfusi
Fibrinolitik
Tanpa reperfusi
20 (21%)
75 (79%)
2 (10%)
17 (23%)
Lokasi STEMI
Anterior
Non-anterior
51 (54%)
43 (46%)
14 (27%)
5 (12%)
Hipertensi
44 (46%)
5 (11%)
Diabetes Melitus
33 (35%)
8 (24%)
Gagal Ginjal Kronis
9 (9%)
3 (33%)
Tekanan darah sistolik
<100 mmHg
14 (6%)
5 (36%)
Nadi >100 x/menit
29 (11%)
8 (28%)
Killip Class
I
II
III
IV
58 (61%)
17 (18%)
7 (7%)
13 (14%)
6 (10%)
4 (24%)
3 (43%)
6 (46%)
Aritmia
14 (15%)
5 (36%)
Data klinis dan demografi pasien STEMI
terangkum dalam tabel 2. Di antara 95 pasien
STEMI, paling banyak berusia kurang dari 65
CDK-238/ vol.43 no.3, th. 2016
tahun (72%), 83 pasien laki-laki (87%). Di antara
95 pasien STEMI, 19 pasien meninggal (20%).
Faktor risiko pasien STEMI adalah hipertensi
(46%), diabetes melitus (35%), dan gagal ginjal
kronis (9%). Gejala dan tanda klinis saat pasien
datang adalah tekanan darah sistolik rendah
(6%), laju nadi cepat (11%), dan aritmia (15%).
Klasifikasi Killip saat datang terbanyak adalah
Killip 1 (61%).
Tabel 3. Analisis multivariat prediktor mortalitas di
rumah sakit pada pasien STEMI di RSUD dr. Dradjat
Prawiranegara Serang
Odd Ratio
p Value
Killip 3 dan 4
Prediktor Mortalitas
3,375
0,438
Aritmia
2,659
0,119
STEMI anterior
2,656
0,036
Tidak terapi Fibrinolitik
2,638
0,930
Gagal Ginjal Kronis
2,188
0,428
Nadi >100x/menit
1,905
0,712
Onset >12 jam
1,754
0,950
Diabetes Melitus
1,484
0,330
Analisis
multivariat
regresi
logistik
menunjukkan peningkatan mortalitas pasien
dengan Killip 3 dan 4, dengan aritmia, STEMI
anterior, pasien yang tidak menjalani reperfusi
(fibrinolitik), gagal ginjal kronis, takikardi, onset
STEMI >12 jam, dan pada diabetes melitus
(OR 95%: 3,375; 2,659; 2,656; 2,638; 2,188;
1,905; 1,754; dan 1,484). Namun, hanya STEMI
anterior yang signifikan dengan nilai p: 0,036
(Tabel 3).
Tabel 4. Mortalitas pasien yang tidak menjalani
reperfusi berdasarkan lokasi STEMI di RSUD dr.
Dradjat Prawiranegara Serang
Variabel
Jumlah
(n = 75)
Meninggal
di RS
(n = 17)
P
Value
39
36
12 (31%)
5 (14%)
0,105
Lokasi STEMI
Anterior
Non-anterior
Pada penelitian ini juga terdapat perbedaan
mortalitas antara pasien STEMI anterior
dan non-anterior yang tidak menjalankan
fibrinolitik. Pasien STEMI anterior yang tidak
menjalani fibrinolitik cenderung memiliki
mortalitas lebih besar (31%) dibandingkan
pasien STEMI non-anterior yang tidak
menjalani
fibrinolitik
(14%).
Namun,
perbedaannya tidak bermakna (p = 0,105).
PEMBAHASAN
Penelitian ini penelitian SKA pertama di
RSUD dr. Dradjat Prawiranegara, Serang;
didapatkan 151 kasus SKA yang dianalisis
dari 157 penderita SKA yang dirawat di RS
dr. Dradjat Prawiranegara selama periode
tahun 2014. Jumlah penderita UAP adalah 27
orang, NSTEMI adalah 29 orang, dan jumlah
penderita STEMI adalah 95 orang (63%).
Hal ini berbeda dengan data Jakarta Acute
Coronary (JAC) Registry (2008-2009) yang
kasus terbanyaknya adalah UAP (39,3%).5 Pada
penelitian ini, penderita SKA terbanyak adalah
laki-laki, yaitu 119 orang (79%); sesuai teori
bahwa laki-laki merupakan faktor risiko SKA.3
Selain itu, didapatkan juga bahwa faktor risiko
terbanyak adalah hipertensi (44%).
Di antara kasus STEMI, terdapat perbedaan
mortalitas antara kelompok yang menjalani
fibrinolitik dan tidak fibrinolitik (10% vs 23%),
namun tidak signifikan. Pada penelitian Surya
Dharma, dkk. didapatkan perbedaan sangat
signifikan antara kelompok pasien yang tidak
mendapat terapi reperfusi dibandingkan
dengan kelompok yang menerima terapi
reperfusi baik primary PCI maupun terapi
fibrinolitik (13,3% vs 5,3% vs 6,2%; p<0,001).5
Analisis
multivariat
dengan
regresi
logistik untuk menentukan prediktor
kematian selama perawatan di rumah sakit
mendapatkan bahwa pasien dengan Killip
3 dan 4, aritmia, STEMI anterior, pasien
yang tidak menjalani reperfusi, gagal ginjal
kronis, takikardi, onset STEMI >12 jam, dan
diabetes melitus mortalitasnya cenderung
lebih tinggi. Namun, hanya STEMI anterior
yang didapatkan signifikan sebagai prediktor
kematian (p=0.038).
Subanalisis pasien STEMI anterior dan nonanterior yang tidak menjalani fibrinolitik
mendapatkan
perbedaan
mortalitas
kelompok pasien STEMI anterior dibandingkan
kelompok pasien STEMI non-anterior (31% vs
14%), namun tidak berbeda signifikan.
SIMPULAN
Prediktor mortalitas dalam rumah sakit pada
pasien ST-elevation myocardial infarction
(STEMI) akut di RSUD dr. Dradjat Prawiranegara
Serang adalah Killip 3 dan 4, aritmia, STEMI
anterior, tanpa terapi reperfusi, gagal ginjal
kronis, takikardi, onset STEMI >12 jam,
dan diabetes melitus. Penelitian ini belum
merepresentasikan semua pasien STEMI dr.
Dradjat Prawiranegara Serang karena hanya
menggunakan data periode tahun 2014.
173
LAPORAN KASUS
HASIL PENELITIAN
7.
Tanrikulu AC, A akay A, A akay , Kapan M. Breast tu erculosis in Southeast Turkey: Report of 27 cases. Breast Care Basel 2010; 5 3 : 154-7.
8.
Atamanalp SS, Gundogdu C, Polat P,
9.
turk G, dinli B. Clinical presentation of reast tu erculosis in eastern Anatolia. Turk J Med Sci. 2010; 40 2 : 293-7.
uh SP, Chang KJ, Cheng JH, Hsu JD, Huang CS. Surgical treatment for primary mammary tu erculosis-report of three octogenarian cases and review of literature. Breast J. 2008; 14 3 :
REKOMENDASI
311-2.
dilakukan
penelitian
lanjutan
10.Dapat
Kalac N,
kan B, Bayi
H, Dursun AB,
Demiragdengan
F. Breast tu erculosis. Breast 2002; 11 4 : 346-9.
kasus
11.memperluas
Wani I, one AM,periode
Malik R, Waniregister
KA, Wani RA,
HussainSKA
I, et al. Secondary tu erculosis of reast: Case report. ISRN Surgery 2011; 2011: 529368.
STEMI. GV, Gupta P, Kumar M, Khanna S, Khanna AK. Mammary tu erculosis: Report on 52 cases. Postgrad Med J. 2002; 78 921 : 422-4.
12.khususnya
Khanna R, Prasanna
13. da Silva BB, opes-Costa PV, Pires CG, Pereira-Filho JD, dos Santos AR. Tu erculosis of the reast: Analysis of 20 cases and a literature review. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2009; 103 6 :
559-63.
14. Baharoon S. Tu erculosis of the reast. Ann Thorac Med. 2008; 3: 110-4.
DAFTAR PUSTAKA
15.1. Jalali
S, Khanburden
A, BaigofN,disease:
Khan A,2004
Akhter
R. Tu Switzerland.
erculous mastitis.
WHO., Rasul
The global
update.
2008. J Coll Physicians Surg Pak. 2005; 15: 234-7.
2.
Irmalita, Juzar DA, Andrianto, Setianto By, Tobing DPL, Firman D, et al. Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut. 3rd ed. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia; 2015.
3.
Rhee J-W, Sabatine Ms, Lilly L. Acute coronary syndrome. 5 ed. Pathophysiology of heart disease. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 161-89.
4.
O’Gara PT, Kushner FG, Ascheim DD, Casey DE, Chung MK, de Lemos JA, et al. 2013 ACCF/AHA guideline for the management of ST-elevation myocardial infarction. 2013.
5.
Dharma S, Juzar DA, Firdaus I, Wardeh AJ, Soerianata S. Acute myocardial infarction system of care in the third world. 2012.
CDK-236/ vol. 43 no. 1, th. 2016
174
41
CDK-238/ vol.43 no.3, th. 2016
Download