disini - WordPress.com

advertisement
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN STEMI
A. KONSEP MEDIK
1. Pengertian
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap
tersering di Negara maju. Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari separuh
kematian terjadi sebelum pasien mencapai Rumah sakit. Walaupun laju mortalitas
menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekita 1 diantara 25 pasien yang tetap
hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama setelah IMA (Sudoyo,
2006).
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI)
merupakan bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina
pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI
umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi
thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2006).
2. Etiologi
a. Terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus
pd plak aterosklerotik yg ada sblmnya.
b. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pd lokasi injuri
vaskular, yg di cetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi, & akumulasi lipid.
3. Tanda dan Gejala
Infark miokard dengan elevasi gelombang ST biasanya diketahui dengan beberapa
tanda dan gejala yang diketahui dari beberapa pemeriksaan, pertama pada anamnesis
biasanya diketahui adanya keluhan nyeri dada, yang hampir setengah kasus terjadi
akibat aktivitas fisik berat, stress emosi, penyakit medis atau bedah. Dirasakan pada
saat pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur. Nyeri dada merupakan
petanda awal utama dalam kelainan ini.
Manifestasi selain nyeri dapat ditemukan :
a. Nyeri dapat menjalar ke langan (umumnya ke kiri), bahu, leher, rahang bahkan ke
punggung dan epigastrium. Nyeri berlangsung lebih lama dari angina pektoris
biasa dan tak responsif terhadap nitrogliserin.
b. Bunyi jantung kedua yang pecah paradoksal, irama gallop.
c. Krepitasi basal merupakan tanda bendungan paru-paru.
d. Takikardi
e. Sesak napas
f. Kulit yang pucat
g. Pingsan
h. Hipotensi
i. Terjadi mual dan muntah yang mungkin berkaitan dengan nyeri hebat
j. Perasaan lemas yang berkaitan dengan penurunan aliran darah ke otot rangka
k. Keadaan mental berupa perasaan sangat cemas disertai perasaan mendekati
kematian sering terjadi, mungkin berhubungan dengan pelepasan hormon stres dan
ADH (vasopresin)
l. Pengeluaran urin berkurang karena penurunan aliran darah ginjal serta peningkatan
aldosteron dan ADH
m. Diaporesis (keringat berlebihan),sakit kepala,mual muntah,palpitasi, gangguan
tidur
4. Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis
arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu
STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri
ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami
fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis,
sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri
koroner. Penelitian histology menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami
rupture jika mempunyai vibrous cap yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core).
Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang
dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan respon terhadap terapi
trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,
epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi
dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor local yang poten). Selain itu aktivasi
trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIB/IIIA. Setelah
mengalami konversi fungsinya, reseptor, mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen
asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand
(vWF) dan fdibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat
mengikat dua platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang
platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel endotel yang
rusak. Faktor VII dan X diaktivasi mengakibatkan konversi protombin menjadi
thrombin, yang kemudian menkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang
terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri
koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme
koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.
5. Pathway
Unmodify
Modify
Conginetal
Merokok, alcohol,
hipertensi, akumulasi lipid
Plak mengalami fisure, rupture/ulserasi
(mengandung fibrin rich red trombosis)
Sel endotel rusak
Aktivasi faktor VII dan X
Protrombin
Fibrinogen
Trombin
Fibrin
Pembentukan trombus
Aliran darah koroner menurun
B1
Breathing
B2 Blood
Suplai O2 ke
jaringan
menurun
Penurunan
CO2
Meningkatnya
kebutuhan O2
MK :
Hipotensi
Kematian
jaringan
B3 Brain
Plak
mengalami
MK : nyeri
fisure,
Nekrosis
rupture/ulser
asi
(mengandun
g fibrin
rich
Bladder
red
trombosis)
Normal
B5 Bowel
B4
Takipneu
Nyeri
h
Mual/munta
B6 Bone
Penurunan
aliran darah
Penurunan O2 ke
jaringan/hipoksia
Anoreksia
Kelemahan
MK : Nutrisi
kurang dari
kebutuhan
MK : pola
nafas tidak
efektif
MK :
Intoleransi
aktivitas
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien
STEMI namun tidak boleh menghambat implementasi terapi repefusi.
a. EKG
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark
akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan elevasi
segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan
berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian kecil berkembang menjadi
gelombang non-Q. Pada STEMI inferior, ST elevasi dapat dilihat pada lead II, III,
dan aVF.
b. Petanda (Biomarker) Kerusakan Jantung
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinin Kinase (CK)MB dan cardiac
specific troponin (cTn)T atau cTn1 dan dilakukan secara serial. cTn harus
digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan
otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada
pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera
mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Pengingkatan nilai
enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung
(infark miokard).
1) CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dala 2-4 hari. Operasi jantung,
miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
2) cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dab cTn I. Enzi mini meningkat setelah 2 jam bila
ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih
dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
c. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
1) Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam
4-8 jam.
2) Creatinin Kinase (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
3) Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Garis horizontal menunjukkan upper reference limit (URL) biomarker jantung
pada laboratorium kimia klinis. URL adalah nilai mempresentasikan 99th percentile
kelompok control tanpa STEMI.
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leikositosis polimorfonuklear
yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7
hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/u1.
7. Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada data-data dari evidence
based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembnag ataupun
konsesus dari para ahli sesuai pedoman (guideline).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan, pemberian
antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana
komplikasi IMA. Terdapat beberapa pedoman (guidelie) dalam tatalaksana IMA
dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2004 dan ESC tahun 2003. Walaupun
demikian perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing
senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang kardiologi Intervensi).
a.
Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi
umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump
failure). Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam
pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama.
Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada pasien yang dicurigai STEMI
antara lain:
a) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
b) Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi.
c) Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta
staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
d) Melakukan terapi perfusi.
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan
selama transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama waktu mulai onset nyeri
dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa di
tanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga professional
kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedic di
ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI
dan kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian
terapi. Di Indonesia saat ini pemberian trombolitik pra hospital ini belum bisa
dilakukan.
Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada
pasien STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau
pendekatan kateter (PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi tergantung
cara transportasi pasien dan kemampuan penerimaan rumah sakit. Sasaran adalah
waktu iskemia total 120 menit. Waktu transport ke rumah sakit bervariasi dari
kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemik total adalah 120 menit.
Terdapat 3 kemungkinan:
a) JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien
memennuhi syarat tetapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30
menit sejak EMS tiba.
b) Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan
pasien dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital doorneedle time harus dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai indikasi
fibrinolitik.
c) Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan
pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-door-to-balloon
time harus dalam waktu 90 menit.
b.
Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan
kandidat terapi perfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di
rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
c.
Tatalaksana Umum
a) Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jam pertama.
b) Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan
dapat diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit. Selain mengurangi
nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan
menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara
dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika
nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NGT intravena. NGT intravena
juga diberikan untuk mngendalikan hipertensi atau edema paru. Terapi nitrat
harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau
pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada
EKG, JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari
pada pasien yang menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam
24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
c) Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri
dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan
meningkatkan beban jantung.
d) Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan
dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4
mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi
vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena
yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini
dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada kondisi tertentu diperlukan
penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan
efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi,
terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan
pemberian atropine 0,5 mgIV.
e) Aspirin
Aspirinmerupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan
absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi.
Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
f) Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV,
selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang bias adiberikan adalah metoprolol
5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung
>60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan
ronchi tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam dan
dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
g) Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memeperpendek lamaoklusi koroner, meminimlakan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang
maligna.
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical
contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam
30 menit atau door-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
1) Seleksi Strategi Reperfusi
Beberapa hal haru dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi
antara lain:
Langkah-langkah Penilaian dalam Memilih Terapi Reperfusi pada Pasien
STEMI:
Langkah 1: Nilai waktu dan risiko
a)
Waktu sejak onset gejala
b)
Risiko STEMI
c)
Risiko fibrinolisis
d)
Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI yang
mampu
Langkah 2: Tentukan apakah firinolisis atau strategi invasif lebih disukai.
Jika presentasi kurang dari 3 jam dan tidak ada keterlambatan untuk
strategi invasive, tidak ada preferensi untuk strategi lain.
Fibinolisis umumnya lebih disukai jika:
a) Presentasi awal <3 jam atau kurang dari onset gejala dan keterlambatan
ke strategi invasive.
b) Strategi invasive bukan merupakan pilihan.
c) Laboratorium kateterisasi belum tersedia
d) Kesulitan akses vascular.
e) Tidak ada akses ke laboratorium PCI yang mampu.
f) Terlambat untuk strategi invasive:
 Transport jauh
 (Door-to-balloon)-(Door-to-needle) time lebih dari 1 jm
 Medical contact-to-balloon atau door-to-balloon time lebih dari 90
menit.
2) Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasty dan atau stenting tanpa
didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam
mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam
pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolisis
dalam melakukan arteri koroner yang teroklusi dan dikaitkan dengan
outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik.
Dibandingkan trombolisis, PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok
kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau
gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan lebih matur
dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis. Namun demikian PCI
lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas
berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa Rumah Sakit.
3) Reperfusi Farmakologis
Fibinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam
30 menit sejak masuk (door-to-needle time <30 menit). Tujuan utama
fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat beberapa
macam obat fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen activator (tPA),
streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA). Semua obat ini
bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang
selanjutnya melisiskan thrombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu
golongan spesifik fibrin seperti tPA dan non fibrin seperti streptokinase.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat
(culprit)
digambarkan
dengan
skala
kualitatif
sederhana
disebut
thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) grading system:
1. Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri
yang terkena infark.
2. Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati
titik obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal.
3. Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke
bagian distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan
arteri normal.
4. Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami
infark dengan aliran normal.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh
pada arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik
dalam membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan
menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan jangka panjang.
Terapi fibrinolitik dapat menurunkan risiko relative kematian di rumah
sakit sampai 50% jika diberikan dalam jam pertama onset gejala STEMI,
dan manfaat ini dipertahankan sampai 10 tahun. Setiap hitungna menit dan
pasien yang mendapat terapi dalam 1-3 Jm onset gejala akan mendapat
manfaat yang terbaik. Walaupun laju mortalitas lebih sedang, terapi masih
tetap bermanfaat pada banyak pasien 3-6 jam setelah onset infark, dan
beberapa manfaat nampaknya masih ada samapi 12 jam terutama jika nyeri
dada masih ada dan segmen ST masih tetap elevasi pada sadapan EKG
yang belum menunjukkkan gelombang Q yang baru. Jika dibandingkan
dengan PCI pada STEMI (PCI primer), fibrinolisis secara umum
merupakan strategi reperfusi yang lebih disukai pada pasien pada jam
pertama gejala, jika perhatian pada masalah logistic seperti transportasi
pasien ke pusat PCI yang baik, atau ada antisipasi keterlambatan sekurangkurangnya 1 jam antara waktu trombolisis dapat dimulai dibandingkan
implementasi PCI.
tPA dan activator plasminogen spesifik fibrin lain seperti rPA dan TNK
lebih efektif daripada streptokinase dalam mengembalikan perfusi penuh,
aliran koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki survival sedikit lebih baik.
4) Obat Fibrinolitik
a) Streptokinase (SK)
Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan
dengan SK tidak boleh diberikan pajanan
selanjutnya karena
terbentuknya antibody. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat
mencakup harganya yang murah dan insiden perdarahan intracranial
yang rendah, manfaat pertama diperlihatkanpada GISSI-1 trial.
b) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase)
GUSTO-1 trial menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15%
pada pasien yang mendapat tPA dibandingkan SK. Namun tPA
harganya lebih mahal daripada SK dan risiko perdarahan intracranial
sedikit lebih tinggi.
c) Reteplase (Retevase)
INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebvanding SK dan
sebanding tPA pada GUSTO III trial, dengan dosis bolus lebih mudah
karena waktu paruh yang lebih panjang.
d) Tenekteplase (TNKase)
Keuntungan mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan resistensi
tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1). LAporan awal
dari TIMI 10B menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow
dan komplikasi perdarahanyang sama dibandingkan tPA.
Indikasi Terapi Fibrinolitik:
1) Klas I
a) Jika tidak ada kontraindikasi terapi fibrinolitik harus dilakukan pada
pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam dan elevasi ST>0,1 mV
pada sekurang-kurangnya 2 sadapan ekstremitas.
b) Jika tidak ada kontaindikasi, terapi fibrinolitik harus diberikan pada
pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam dan LBBB baru atau
diduga baru.
2) Klas II a
a) Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi
fibrinolitik pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam dan EKG
12 sadapan konsisten dengan infark miokard posterior.
b) Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi
fibrinolitik pada pasien dengan gejala STEMI mulai dari <12 jam
sampai 24 jam yang mengalami gejala iskemik yang terus berlanjaut
dan elevasi ST 0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2 sadapan prekordial
yang berdampingan atau sekurang-kurangnya 2 sandapan ekstremitas.
c) Trombolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan
penurunan elevasi ST >50% dalam 90 menit pemberian trombolitik.
Trombolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga jika
pasien pasca CABG dating dengan IMA, cara reperfusi yang lebih
disukai adalah percutaneous coronary intervention (PCI).
d. Tatalaksana di Rumah Sakit
1) ICCU
a) Aktivitas. Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama.
b) Diet. Karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard,
pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam
pertama. Diet mencakup lemak <30% kalori total dan kandungan kolesterol
<300 mg/hari. Menu harus diperkaya dengan makanan yang kaya serat
kalium, magnesium dan rendah natrium.
c) Bowels. Istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk
menghilangkan nyeri sering mengakibatkan konstipasi. Dianjurkan
penggunaan kursi komod di amping tempat tidur, diet tinggi serat dan
penggunaan pencahar ringna secara rutin seperti dioctyl sodium
sulfosuksinat (200 mg/hari).
d) Sedasi.
Pasien
memerlukan
sedasi
selama
perawatan
untuk
mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5 mg,
oksazepam 15-30 mg atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3 atau 4 kali
sehari biasanya efektif.
2) Terapi Farmakologis
a) Antitrombotik
Penggunaan terapi antilatetlet dan antitrombin selama fase awal STEMI
berdasarkan bukti klinis dan laboratories bahwa thrombosis mempunyai
peran penting dalam pathogenesis. Tujuan primer pengobatan adalah untuk
mementapkan dan memepertahankan potensi arteri kororner yang terkait
infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi
thrombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI dapat
dilihat pada Antiplatelets Trialists Collaboration. Data dari hampir 20.000
pasien dengan infark miokard yang berasal dari 15 randomised trial
dikumpulkan dan menunjukkan penurunan relative laju mortalitas sebesar
27% dari 14,2% pada kelompok control dibandingkan 10,4% pada pasien
yang mendapat antiplatelet. PAda penelitian ISIS-2 pemberian aspirin
menurunkan mortalitas vascular sebesar 23% dan infark nonfatal sebesar
49%.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi
thrombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL
membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting.
Hasilnya menunjukkan penurunan kematian, reinfark atau revaskularisasi
segera dan 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stent.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah
infractionated heparin. Pemberian UFHIV segera sebagai tambahan terapi
regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relative (tPA, rPA atau
TNK)
membantu
mempertahankanpatensi
trombolisis
dan
memantapkan
serta
arteri
terkait
infark.
yang
yang
Dosis
direkomendasi adlah bolus 60U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan infuse
inisial 12U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). Activated partial
thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
Antikoagulan alternative pada pasien STEMI adalah low molecular weight
heparin (LMWH). Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan
tenekteplase dosis penuh memperbaiki mortalitas reinfark di Rumah Sakit
dan iskemik refrakter di Rumah Sakit.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung
kongestif, riwayat emboli, thrombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi
atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru terapeutik
penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan sekurang-kurangnya
3 bulan.
b) Penyekat Beta
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang
terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam
jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah
infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki hubungan suplai dan
kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnnya
infark dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien
termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE. Kecuali pada pasien dengan
kontraindikasi (pasien dengan gagl jantung atau fungsi sistolik kiri sangat
menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau riwayat asma).
c) Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap
mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta.
Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE
yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan risiko tinggi
(pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan atau
fungsi ventrikel kiri menurun global). Namun bukti menunjukkan manfaat
jangka pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien
dengan haemodinamik stabil pada STEMI pasien dengan tekanan darah
sistolik >100 mmHg. Mekanisme yang mengakibatkan mekanisme
remodeling ventrikel pasca infark berulang juga leibh rendah pada pasien
yang mnedapat inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 2 jam pertama pasien STEMI.
Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan
bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging
menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat
abnormalitas gerakan dinding global atau pasien hipertensif. Penelitian
klkinis dalam tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari
penelitian klinis pada pasien STEMI menunjukkan bahwa angiotensin
receptor blockers (ARB) mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi
ventrikel kiri menurun atau gagal jantung klinis yang tak toleran terhadapa
ACE inhibitor.
Algoritma STEMI
Klien merasakan nyeri dada akibat iskemia
Lakukan penanganan :
1. Monitor ABCs klien, persiapkan untuk melakukan CPR dan defibrilasi
2. Beri oksigen, aspirin, nitrogliserin, dan morfin jika diperlukan
3. Jika tersedia lakukan perekaman EKG lead 12. Jika ada elevasi ST :
-
segera hubungi rumah sakit terdekat
-
mulai untuk memeriksa fibrilasi
1. Rujuk klien ke rumah sakit
Lakukan pemeriksaan ED (<10menit)
1. Periksa tanda-tanda vital. Evaluasi saturasi oksigen
2. Pasang IV line
3. Lakukan pemeriksaan EKG lead 12
4. Evaluasi
5. Lakukan pemeriksaan fibrilasi
6. Lakukan pemeriksaan elektrolit dan koagulasi
7. Lakukan foto thoraks
Lakukan perawatan ED :
1. Beri oksigen 4L/min, pertahankan saturasi >90%
2. Aspirin 160-325 mg (jika tidak diberikan oleh EMS)
3. Nitrogliserin subligual, spray, IV
4. Morfin IV jika nyeri tidak hilang dengan nitrogliserin
8. Komplikasi
a.
Disfungsi Ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran
dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodeling ventricular dan umumnya mendahuluai berkembangnya gagal
jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. SEgera
setetlah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut, hasil ini berasala dari
ekspansi infark al: slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan
hilangnya jaringan dalam zona nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan
segmen noninfark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi
zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan
ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel
kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi
gagal jantung dan prognosis lebih buruk Progresivitas dilatasi dan knsekuensi
klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhi bitot ACE dan vasodilator lain. PAda
pasien dengan fraksi ejeksi <40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung,
inhibitore ACE harus diberikan.
b. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah
sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan
bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering dijumpai
kongesti paru.
c.
Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, rupture septum ventrikel, rupture dinding vebtrikel.
Penatalaksanaan: operasi.
9. Prognosis
Kelangsungan hidup kedua pasien STEMI dan NSTEMI selama enam bulan
setelah serangan jantung hampir tidak berbeda. Hasil jangka panjang yang
ditingkatkan dengan kepatuhan hati-hati terhadap terapi medis lanjutan, dan ini
penting bahwa semua pasien yang menderita serangan jantung secara teratur dan terus
malakukan terapi jangka panjang dengan obat-obatan seperti:
a.
ASPIRIN®
b. Clopidrogel
c.
Statin (cholesterol lowering) drugs
d. Beta blockers (obat-obat yang memperlambat denyut jantung dan melindungi otot
jantung)
e.
ACE inhibitors (obat yang meningkatkan fungsi miokard dan aliran darah)
Kerusakan pada otot jantung tidak selalu bermanifestasi sebagai rasa sakit dada yang
khas, biasanya berhubungan dengan serangan jantung. Bahkan jika penampilan
karakteristik EKG ST elevasi tidak dilihat, serangan jantung mengakibatkan kerusakan
otot jantung, sehingga cara terbaik untuk menangani serangan jantung adalah untuk
mencegah mereka.
Risk Score untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)
Faktor Risiko (Bobot)
Skor
Risiko/Mortalitas
hari(%)
Usia 65-74 tahun (2 poin)
0 (0,8)
Usia > 75 tahun (3 poin)
1 (1,6)
Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin) 2 (2,2)
Tekanan darah sistolik < 100 mmHg (3 poin)
3 (4,4)
Frekuensi jantung > 100 mmHg (2 poin)
4 (7,3)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
5 (12,4)
Berat < 67 kg (1 poin)
6 (16,1)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin)
7 (23,4)
Waktu ke perfusi > 4 jam (1 poin)
8 (26,8)
Skor risiko = total poin ( 0-14 )
>8 (35,9)
30
B. KONSEP ASKEP
1. Pengkajian
a.
Identitas pasien
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat masuk. Berapa jam sesak sebelum masuk RS; Onset 12 jam
2) Riwayat kesehatan saat ini keluhan pasien, seperti:
a) Sesak
b) Udema
c) Nyeri dada
3) Riwayat kesehatan keluarga: tanyakan pada angota keluarganya adakah
anggota keluarganya yang mengalami penyakit yang sama dengan pasien saat
ini. Serta riwayat penyakit lainnya seperti: darah tinggi, diabetes, penyakit
jantung
4) Riwayat kesehatan masa lalu: tanyakan pada pasien apakah pernah mengalami
penyakit yang sama dengan yang dialami saat ini atau penyakit lain seperti:
riwayat asma, diabetes, stroke, gastritis, alergi
c.
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Pada pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien IMA biasanya baik atau
compos mentis (CM) dan akan berubah sesuai tingkat gangguan yang melibatkan
perusi sistem saraf pusat.
B1 (Breathing)
Klien terlihat sesak, frekuensi napas melebihi normal dan mengeluh sesak napas
seperti tercekik. Dispnea kardiak biasanya ditemukan. Sesak napas terjadi akibat
pengerahan tenaga dan disebabkan oleh kenaikan tekanan akhir diastolic ventrikel
kiri yang meningkatkan tekanan vena pulmonalis. Hal ini terjadi karena terdapat
kegagalan peningkatan curah darah oleh ventrikel kiri pada saat melakukan
kegiatan fisik. Dispnea kardiak pada infark miokardium yang kronis dapat timbul
pada saat istirahat.
B2 (Blood)
 Inspeksi
Inspeksi adanya jaringan parut pada dada klien. Keluhan lokasi nyeri biasanya di
daerah substernal atau nyeri atas pericardium. Penyebaran nyeri dapat meluas di
dada. Dapat terjadi nyeri dan ketidakmampuan menggerakkan bahu dan tangan.
 Palpasi
Denyut nadi perifer melemah. Thrill pada IMA tanpa komplikasi biasanya tidak
ditemukan.
 Auskultasi
Tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan volume sekuncup yang
disebabkan IMA. Bunyi jantung tambahan akibat kelainan katup biasanya tidak
ditemukan pada IMA tanpa komplikasi
 Perkusi
Batas jantung tidak mengalami pergeseran
B3 (Brain)
Kesadaran umum klien biasanya CM. Pengkajian objektif klien, yaitu wajah
meringis, menangis, merintis, merenggang, dan menggeliat yang merupakan
respons dari adanya nyeri dada akibat infark pada miokardium. Tanda klinis lain
yang ditemukan adalah takikardia, dispnea pada saat istirahat maupun saat
beraktivitas.
B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine dengan intake cairan klien. Oleh karena itu,
perawat perlu memonitor adanya oliguria pada klien dengan IMA karena
merupakan tanda awal syok kardiogenik.
B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual dan muntah. Pada palpasi abdomen ditemukan
nyeri tekan pada keempat kuadran, penurunan peristaltic usus yang merupakan
tanda utama IMA.
B6 (Bone)
Aktivitas klien biasanya mengalami perubahan. Klien sering merasa kelemahan,
kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup menetap, dan jadwal olahraga teratur.
perubahan postur tubuh.
Kaji higienis personal klien dengan menanyakan apakah klien mengalami
kesulitan melakukan tugas perawatan diri.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri yang berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai darah dan oksigen
dengan kebutuhan miokardium akibat sekunder dari penurunan suplai darah ke
miokardium, peningkatan produksi asam laktat.
b. Aktual/risiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan
frekuensi, irama, konduksi elektrikal.
c. Actual/risiko tinggi ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan
pengembangan paru tidak optimal, kelebihan cairan di dalam paru akibat sekunder
dari edema paru akut.
d. Actual/risiko tinggi gangguan perfusi perifer yang berhubungan dengan
menurunannya curah jantung.
e. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer akibat
sekunder dari ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokardium dengan
kebutuhan.
f. Cemas yang berhubungan dengan rasa takut akan kematian, ancaman, atau
perubahan kesehatan.
g. Ketidakefektifan koping individu yang berhubungan dengan prognosis penyakit,
gambaran diri yang salah, perubahan peran.
h. Risiko ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik yang berhubungan
dengan ketidakpatuhan terhadap aturan terapeutik, tidak mau menerima perubahan
pola hidup yang sesuai.
3. Interversi
a.
Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan miokardium.
Kriteria
hasil:
Mengidentifikasi
metode
yang
dapat
menghilangkan
nyeri,melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
Intervensi :
Intervensi
Rasional
Kolaboratif
Berikan obat-obatan sesuai indikasi:
1. Agen
non
steroid,
mis:
1. Dapat menghilangkan nyeri, menurunkan
indometasin(indocin);, ASA(aspirin)
respon inflamasi.
2. Antipiretik mis: ASA/asetaminofen
2. Untuk
menurunkan
demam
dan
(tylenol)
meningkatkan kenyamanan.
3. Steroid
3. Diberikan untuk gejala yang lebih berat.
4. Oksigen 3-4 liter/menit
4. Memaksimalkan ketersediaan oksigen
untuk menurunkan beban kerja jantung
dan menurunkan ketidaknyamanan karena
iskemia.
Mandiri
1. Selidiki keluhan nyeri dada,
1. Mengetahui lokasi dan derajat nyeri. Pada
memperhatikan
awitan,
faktor
iskemia
miokardium
nyeri
dapat
pemberat atau penurun
memburuk dengan inspirasi dalam,
gerakan atau berbaring dan hilang dengan
duduk tegak atau membungkuk.
2. Memberikan lingkungan yang tenang dan
tidakan kenyamanan. Mislanya merubah
posisi, menggunakan kompres hangat,
dan menggosok punggung
3. Tindakan ini dapat meningkatkan
kenyamanan fisik dan emosional pasien.
b.
Resiko terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan
konstriksi fungsi ventrikel, degenerasi otot jantung.
Kriteria
hasil:
Menurunkan
episode
dispnea,
angina
dan
disritmia.
Mengidentifikassi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
Intervensi :
Intervensi
Rasional
Mandiri
1. Pantau irama dan frekuensi jantung
1. Takikardia dan disritmia dapat terjadi saat
jantung berupaya untuk meningkatkan
curahnya berespon terhadap demam.
2. Auskultasi
bunyi
jantung.
Hipoksia, dan asidosis karena iskemia.
Perhatikan jarak / tonus jantung,
2. Memberikan deteksi dini dari terjadinya
murmur, gallop S3 dan S4.
komplikasi misalnya GJK, tamponade
jantung.
3. Dorong tirah baring dalam posisi
3. Menurunkan beban kerja jantung,
semi fowler
memaksimalkan curah jantung
4. Berikan
tindakan
kenyamanan
4. Meningkatkan relaksasi dan mengarahkan
misalnya perubahan posisi dan
kembali perhatian
gosokan punggung, dan aktivitas
hiburan dalam toleransi jantung
5. Dorong
penggunaan
teknik
5. Perilaku ini dapat mengontrol ansietas,
menejemen stress misalnya latihan
meningkatkan relaksasi dan menurunkan
pernapasan dan bimbingan imajinasi
kerja jantung
6. Evaluasi keluhan lelah, dispnea,
6. Manifestasi klinis dari GJK yang dapat
palpitasi, nyeri dada kontinyu.
menyertai endokarditis atau miokarditis
Perhatikan adanya bunyi napas
adventisius, demam
Kolaboratif
1. Berikan oksigen komplemen
1. Meningkatkan keseterdian oksigen untuk
fungsi miokard dan menurunkan efek
metabolism anaerob,yang terjadi sebagai
akibat dari hipoksia dan asidosis.
1. Berikan obat – obatan sesuai dengan
2. Dapat diberikan untuk meningkatkan
indikasi misalnya digitalis, diuretik
kontraktilitas miokard dan menurunkan
beban kerja jantung pada adanya GJK (
miocarditis)
1. Antibiotic/ anti microbial IV
3. Diberikan untuk mengatasi pathogen
yang teridentifikasi, mencegah kerusakan
jantung lebih lanjut.
1. Bantu dalam
darurat
periokardiosintesis
1. Siapkan pasien untuk pembedahan
bila diindikasikan
c.
4. prosedur dapat dilakuan di tempat tidur
untuk menurunkan tekanan cairan di
sekitar jantung.
5. Penggantian katup mungkin diperlukan
untuk memperbaiki curah jantung
Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan b.d menurunya suplai oksegen
ke otot.
Kriteria hasil: mempertahankan atau mendemonstrasikan perfusi jaringan adekuat
secara individual misalnya mental normal, tanda vital stabil, kulit hangat dan
kering, nadi perifer`ada atau kuat, masukan/ haluaran seimbang.
Intervensi:
Intervensi
Rasional
Mandiri
1. Evaluasi status mental. Perhatikikan 1. Indicator yang menunjukkan embolisasi
terjadinya hemiparalisis, afasia, sistemik pada otak.
kejang, muntah, peningkatan TD.
2. Selidiki nyeri dada, dispnea tiba- 2. Emboli arteri, mempengaruhi jantung dan /
tiba yang disertai dengan takipnea, atau organ vital lain, dapat terjadi sebagai akibat
nyeri pleuritik, sianosis, pucat
dari penyakit katup, dan/ atau disritmia kronis
3. Dapat mencegah pembentukan atau migrasi
1. Tingkatkan tirah baring dengan emboli pada pasien endokarditis. Tirah baring
tepat
lama, membawa resikonya sendiri tentang
terjadinya fenomena tromboembolic.
4. Meningkatkan sirkulasi perifer dan aliran
balik vena karenanya menurunkan resiko
pembentukan thrombus.
1. Dorong latihan aktif/ bantu dengan
rentang gerak sesuai toleransi.
Heparin dapat digunakan secara profilaksis bila
Kolaborasi
Berikan antikoagulan, contoh heparin, pasien memerlukan tirah baring lama, mengalami
warfarin (coumadin)
sepsis atau GJK, dan/atau sebelum/sesudah bedah
penggantian katup.
Catatan : Heparin kontraindikasi pada perikarditis
dan tamponade jantung. Coumadin adalah obat
pilihan untuk terapi setelah penggantian katup
jangka panjang, atau adanya thrombus perifer.
d.
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan perfusi jaringan
Kriteria Hasil: mempertahankan pola nafas efektif bebas sianosis, dan tanda lain
dari hipoksia.
Intervensi:
Intervensi
Rasional
Mandiri:
1. Evaluasi frekuensi pernafasan dan
1. Kecepatan dan upaya mungkin meningkat
kedalaman. Contoh adanya dispnea,
karena nyeri, takut, demam, penurunan
penggunaan otot bantu nafas,
volume sirkulasi, hipoksia atau diatensi
pelebaran nasal.
gaster.
2. Lihat kulit dan membran mukosa
2. Sianosis bibir, kuku, atau daun telinga
untuk adanya sianosis.
menunjukkan kondisi hipoksia atau
komplikasi paru
3. Tinggikan kepala tempat tidur
3. Merangsang fungsi pernafasan/ekspansi
letakkan pada posisi duduk tinggi
paru. Efektif pada pencegahan dan
atau semifowler.
perbaikan kongesti paru.
Kolaborasi:
Berikan tambahan oksigen dengan kanul Meningkatkan pengiriman oksigen ke paru untuk
atau masker, sesuai indikasi
kebutuhan sirkulasi khususnya pada adanya
gangguan ventilasi
e.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan inflamasi dan degenerasi sel-sel otot
miokard, penurunan curah jantung
Kriteria hasil: menunjukkan toleransi aktivitas, menunjukkan pemahaman tentang
pembatasan terapeutik yang diperlukan.
Intervensi:
Intervensi
Rasional
Mandiri
1. Kaji respon pasien terhadap
1. Miokarditis menyebabkan inflamasi dan
aktivitas. Perhatikan adanya dan
kemungkinan
kerusakan
sel-sel
perubahan
dalam
keluhan
miokardial,
sebagai
akibat
GJK.
kelemahan, keletihan, dan dispnea
Penurunan pengisian dan curah jantung
berkenaan dengan aktivitas
dapat menyebabkan pengumpulan cairan
dalam kantung perikardial bila ada
perikarditis. Akhirnya endikarditis dapat
terjadi dengan disfungsi katup, secara
2. Pantau frekuensi dan irama
negatif mempengaruhi curah jantung
jantung, tekanan darah, dan
2. Membantu derajad dekompensasi jantung
frekuensi pernapasan sebelum dan
and pulmonal penurunan TD, takikardia,
sesudah aktivitas dan selam di
disritmia, takipnea adalah indikasi
perluka
intoleransi jantung terhadap aktivitas.
3. Mempertahankan tirah baring
3. Demam meningkatkan kebutuhan dan
selama periode demam dan sesuai
konsumsi
oksigen,
karenanya
indikasi.
meningkatkan beban kerja jantung, dan
4. Membantu klien dalam latihan
menurunkan toleransi aktivitas
progresif
bertahap
sesegera
4. Pada saat terjadi inflamasi klien mungkin
mungkin untuk turun dari tempat
dapat
melakukan
aktivitas
yang
tidur, mencatat respon tanda vital
diinginkan, kecuali kerusakan miokard
dan
toleransi
pasien
peningkatan aktivitas
5. Evaluasi respon emosional
Kolaborasi
Berikan oksigen suplemen
f.
pada
permanen.
5. Ansietas akan terjadi karena proses
inflamasi dan nyeri yang di timbulkan.
Dikungan diperlukan untuk mengatasi
frustasi terhadap hospitalisasi.
Peningkatan ketersediaan oksigen mengimbangi
peningkatan konsumsi oksigen yang terjadi
dengan aktivitas.
Kurang pengetahuan kondisi penyakit
Kriteria hasil : menyatakan pemahaman tentang proses inflamasi, kebutuhan
pengobatan dan kemungkinan komplikasi.
Intervensi
Intervensi
Rasional
Mandiri
1. Jelaskan efek inflamasi pada 1. Untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan
jantung,
ajarkan
untuk
sendiri, pasien perlu memahami penyebab
memperhatikan gejala sehubungan
khusus, pengobatan, dan efek jangka panjang
dengan
komplikasi/berulangnya
yang diharapkan dari kondisi inflamasi, sesuai
dan gejala yang dilaporkan dengan
dengan tanda/gejala yang menunjukkan
segera pada pemberi perawatan
kekambuhan/komplikasi
misalny
demam,
nyeri,
peningkatan
berat
badan,
peningkatan toleransi terhadap
aktifitas.
2. Anjurkan pasien/orang terdekat 2. Untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan
tentang dosis, tujuan dan efek
sendiri, pasien perlu memahami penyebab
samping
obat:
kebutuhan
khusus, pengobatan, dan efek jangka panjang
diet/pertimbangan
khusus:
yang diharapkan dari kondisi inflamasi, sesuai
aktivitas yang diizinkan/dibatasi
dengan tanda/gejala yang menunjukkan
kekambuhan/komplikasi
3. Kaji ulang perlunya antibiotic 3. Perawatan di rumah sakit lama/pemberian
jangka
panjang/terapi
antibiotic IV/antimicrobial perlu sampai kultur
antimikrobial
darah negative/hasil darah lain menunjukkan
4. Tekankan pentingnya evaluasi
tak ada infeksi.
perawatan medis teratur. Anjurkan 4. Pemahaman alasan untuk pengawasan medis
pasien membuat perjanjian.
dan rencana untuk/penerimaan tanggung jawab
Download