TINJAUAN PUSTAKA 1. Definisi Acute Coronary Syndrome (ACS) atau yang lebih dikenal dengan sindrom koroner akut (SKA) merupakan manifestasi klinis dari fase kritis pada penyakit arteri koroner. Mekanisme yang mendasari penyakit ini adalah rupturnya plak atau erosi karena serangkaian pembentukan trombus sehingga menyebabkan penyumbatan parsial ataupun total pada pembuluh darah. Berdasarkan pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dan marker biokimia jantung, maka Acute Coronary Syndrome (ACS) dibedakan menjadi ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI), Non ST-segment elevation myocardial infarction (NSTEMI), serta unstable angina pectoris. 2. Patofisiologi Pembentukan plak aterosklerotik a. Inisiasi proses aterosklerosis: peran endotel Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika intima arteri besar dan arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama hidup sampai akhirnya bermanifestasi sebagai SKA. Proses aterosklerosis ini terjadi melalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel, migrasi kolesterol LDL (low-density lipoprotein) ke dalam tunika intima, respons inflamatorik, dan pembentukan kapsul fibrosis. Beberapa faktor risiko koroner turut berperan dalam proses aterosklerosis, antara lain hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan merokok. Faktor risiko ini dapat menyebabkan kerusakan endotel dan selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel. Disfungsi endotel memegang peranan penting dalam terjadinya proses aterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan proses inflamasi, migrasi dan proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan akhirnya menyebabkan pertumbuhan plak. b. Perkembangan proses aterosklerosis: peran proses inflamasi Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif endotel. Jika sudah berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami differensiasi menjadi makrofag. Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi dan juga berpenetrasi ke dinding arteri, berubah menjadi sel foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks. Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin (misalnya monocyte chemoattractant protein-1, tumor necrosis factor α, IL-1, IL6, CD40, dan c-reactive protein) yang makin mengaktifkan proses ini dengan merekrut lebih banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh darah (yang mensintesis komponen matriks ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak. c. Disrupsi plak, trombosis, dan SKA Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul fibrosa yang tipis, dan infl amasi dalam plak merupakan predisposisi untuk terjadinya ruptur. Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks subendotelial akan terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. 3. Menifestasi klinis Riwayat perjalanan nyeri dada sangat penting untuk membedakan ACS dengan sejumlah penyakit lainnya. Gejalanya berupa gejala khas angina, yaitu nyeri dada tipikal yang berlangsung selama 10 menit atau lebih yang terasa seperti ditusuk-tusuk, ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, rasa diperas dan terpelintir. Nyeri tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat atau obat nitrat serta dapat dicetus oleh serangkaian faktor seperti latihan fisik, stress, emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Nyeri juga bisa terjadi pada daerah-daerah yang independen dari nyeri dada. pasien dengan NSTE-ACS juga bisa timbul dengan diaphoresis, dyspnea, mual, sakit perut, atau sinkop. Dyspnea saat aktivitas adalah yang paling umum saat angina equivalent tanpa gejala nyeri. Faktor-faktor resiko lain yang harus menjadi pertimbangan adalah probabilitas usia yang lebih tua, jenis kelamin laki-laki, riwayat keluarga positif CAD, dan adanya penyakit arteri perifer, diabetes mellitus, insufisiensi ginjal, MI sebelumnya, dan revaskularisasi koroner sebelumnya. Meskipun pasien yang lebih tua (≥75 tahun) dan perempuan biasanya hadir dengan gejala khas ACS, namun frekuensi presentasi atipikal meningkat pada kelompok-kelompok ini serta pada pasien dengan diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal, dan demensia. Gejala atipikal, termasuk nyeri epigastrium, gangguan pencernaan, nyeri pleuritik, dan meningkatkan dyspnea dengan tidak adanya nyeri dada harus meningkatkan kepedulian terhadap ACS. Gejala lain termasuk masalah kejiwaan (misalnya, gangguan somatoform, serangan panik, gangguan kecemasan). Gambar 1. Patofisiologi terjadinya sindroma koroner akut 4. Diagnosis Diagnosis infark miokard akut didasarkan atas sejumlah hal,dimulai dari anamnesa gejala klinis yang khas, pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG), serta pemeriksaan biomarker jantung. Sebagian besar pasien ACS datang dengan keluhan nyeri dada, rasa berat, atau rasa seperti ditekan, rasa seperti dicengkram di belakang sternum bias menjalar ke rahang, bahu, punggung atau lengan, nyeri dada tipikal yang berlangsung selama ± 20 Nyeri tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat atau obat nitrat. Maka, nyeri dada tersebut dicurigai sebagai suatu nyeri dada pada ACS. Selanjutnya segera lakukan pemeriksaan EKG, jika dijumpai adanya ST elevasi atau adanya suatu LBBB (Left Bundle Branch Block) baru, maka diagnosanya adalah STEMI, namun jika tidak dijumpai adanya ST elevasi namun dijumpai adanya ST depresi, T inverted atau gambaran EKG yang normal, maka selanjutnya dilakukan pemeriksaan biomarker jantung, yaitu Troponin I atau Troponin T. Jika terdapatnya peningkatan nilai biomarker tersebut maka diagnosanya adalah NSTEMI, namun jika nilai biomarker normal, maka diagnosanya menjadi Unstable Angina (UAP). Pada pemeriksaan laboratorium, perbedaan antara angina pectoris tidak stabil dengan infark miokard tanpa elevasi ST (NSTEMI) adalah pada beratnya iskemik. Pada NSTEMI, iskemia yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan kerusakan miokard ditandai dengan peningkatan enzim petanda jantung (CK-MB, troponin). Pada pasien yang datang dalam 4 jam setelah awitan gejala, diagnosis APTS dan STEMI sulit dibedakan karena peningkatan troponin T dan CK-MB baru terdeteksi 4-6 jam setelah gejala. Gambar2. EKG, Seorang pria berusia 54 tahun dengan dua jam nyeri dada, tampak ST elevasi Lead V6 dan ST depresi di I, aVL, dan V1-V4.(4) 5. Penatalaksanaan Secara umum tatalaksana STEMI dan NSTEMI hampir sama baik pra maupun saat di rumah sakit hanya berbeda dalam strategi reperfusi terapi, dimana STEMI lebih ditekankan untuk segera melakukan reperfusi baik dengan medikamentosa (trombolisis) atau intervensi percutaneus coronary intervention (PCI). Berdasarkan rekomendasi AHA/ACC tahun 2013, sangat ditekankan waktu efektif reperfusi terapi. Tatalaksana ACS dibagi atas: 1. Prehospital Monitoring dan amankan ABC, persiapkan RJP dan defibrilasi Berikan Aspirin dan pertimbangkan oksigen, nitrogliserin dan morfin jika diperlukan Pemeriksaan EKG 12 sadapan dan interpretasi Lakukan pemberitahuan ke Rumah sakit untuk persiapan penerimaan pasien dengan STEMI 2. Hospital Cek tanda vital, evaluasi saturasi oksigen Pasang intravena Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang singkat dan terarah Lengkapi check list fibrinolitik, cek kontraindikasi Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit dan pembekuan darah Pemeriksaan sinar X (<30 menit setelah pasien sampai IGD) Berikan Aspirin 160-325 mg dikunyah Nitrogliserin sublingual Morfin IV jika nyeri dada tidak berkurang 3. Terapi Reperfusi Terapi reperfusi merupakan hal yang sangat penting dalam penanganan STEMI tahap awal karena fase inilah yang menentukan progresivitas perburukan area infark. Bagi pasien dengan manifestasi klinis STEMI <12 jam dengan ST elevasi persisten atau adanya LBBB (Left Bundle Branch Block) baru, maka Percutaneous Coronary Intervention (PCI) primer atau terapi reperfusi secara farmakologi harus dilakukan sesegera mungkin. Penanganan reperfusi STEMI dalam 24 jam pertama sebelum pasien tiba di rumah sakit. Terapi PCI primer diindikasikan dilakukan dalam dua jam pertama terhitung jarak pertama sekali pasien mendapatkan terapi (first medical contact). Dalam dua jam pertama tersebut terapi reperfusi dengan PCI primer lebih diutamakan dibandingkan dengan terapi dengan menggunakan fibrinolisis. Sebelum dilakukan PCI primer maka dianjurkan pemberian dual antiplatelet therapy (DAPT) meliputi aspirin dan adenosine diphosphate (ADP). 4. Terapi Non-reperfusi Terapi non reperfusi ini dilakukan jika onset serangan sudah melibihi 12 jam. Obat-obat yang digunakan meliputi antitrombotik, meliputi aspirin, clopidogrel, serta agen antithrombin seperti UFH, enoxaparin, atau fondaparinux harus diberikan sesegera mungkin. 5. Terapi STEMI untuk Jangka waktu yang lama terdiri dari : Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko, meliputi berhenti merokok, kontrol diet dan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, kontrol tekanan darah, intervensi faktor psikososial. Terapi Antiplatelet, meliputi pemberian aspirin dan clopidogrel Pemberian Beta-Blocker. Pemberian agen untuk merendahkan kadar lemak tubuh serta nitrat sebagai anti angina. 6. Komplikasi 1. Gagal jantung Beberapa derajat kelainan pada saat fungsi ventrikel kiri terjadi pada lebih dari separuh pasien dengan infark miokard. Tanda klinis yang paling umum adalah ronki paru dan irama derap S3 dan S4. Kongesti paru juga sering terlibat pada foto thoraks dada. Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan tekanan arteri pulmonalis merupakan temuan hemodinamik karakteristik, namun sebaiknya diketahui bahwa temua ini dapat disebabkan oleh penurunan pemenuhan diastolik ventrikel dan atau penurunan isi sekuncup dengan dilatasi jantung sekunder. Diuretik sangat efektif karena mengurangi kongesti paru-paru dengan adanya gagal jantung sistolik dan diastolik. Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut berdasarkan suara ronkhi dan S3 gallop: Derajat I : tidak ada rhonki dan S3 gallop Derajat II : Gagal jantung dengan ronkhi di basal paru (setengah lapangan paru bawah), S3 galop dan peningkatan tekanan vena pulmonalis. Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru di seluruh lapangan paru. Derajat IV :Gagal jantung berat dengan edema paru di seluruh lapangan paru disertai dengan syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik ≤ 90mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis). 2. Stroke iskemik Pasien STEMI bisa mengalama stroke iskemi sebagain efek kompolikasi iskemik akut dan AF Peresisten. .Pasien STEMI yang mengalami stroke dengan AF persisten harus mendapat terapi warfarin seumur hidup (INR 2-3) (level of evidence A).Pasien STEMI dengan atau tanpa stroke iskemik akut yang memiliki sumber AF d jantung, trombus mural/ akinetik segmen harus mendapat terapi warfarin intensitas sedang. Durasinya tergantung kondisi klinis (minimal 3 bulan untuk pasien dengan thrombus mural/akinetik segmen dan tidak terbatas pada pasien AF persisten). Pasien harus mendapat LMWH/UFH sampai antikoagulasi dengan warfarin adekuat (level of evidence B).Cukup beralasan untuk menilai risiko stroke iskemik pasien STEMI (level of evidence A). Cukup beralasan untuk pasien STEMI dengan risiko stroke iskemik akut nonfatal menerima terapi suportif untuk menuunkan komplikasi dan meningkatkan outcome fungsional (level of evidence C).Angioplasty karotis 4-6 minggu setelah stroke iskemik dapat dipertimbangkan pada pasien STEMI yang mengalami stroke iskemik akut karena stenosis pada a.carotis inferior min 50% dengan risiko tinggi morbiditas/mortalitas setelah STEMI. 3. Syok kardiogenik Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90% terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel. 4. Infark ventrikel kanan Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. 5. Aritmia paska STEMI Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona iskemi miokard. Aritmia yang biasanya timbul dapat berupa Fibrilasi atrium, Aritmia supraventricular, Asistol ventrikel, bradiaritmia dan Blok. 6. Komplikasi Mekanik Komplikasi mekanik adanya infark pada jantung adalah ruptur papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel. muskulus 7. Prognosis Prognosis dapat diperkirakan dengan menggunakan klasifikasi Killip dan TIMI score (Thrombolysis in Myocardial Infarction). Klasifikasi Killip adalah alat klinis sederhana untuk penentuan keadaan klinis pasien dengan STelevasi miokard infark (STEMI). Menurut Killip dan Kimball kriteria pasien dikelompokkan ke dalam 4 kelas selama pemeriksaan fisik. Pasien di Killip I menunjukkan tidak ada bukti gagal jantung (HF). Pasien di Killip II memiliki temuan klinis konsisten ringan sampai sedang HF, Kelas III menunjukkan edema paru yang jelas dan pasien kelas IV berada di kardiogenik syok. Risiko pasca-MI stratifikasi yang telah diturunkan dari beberapa uji klinis penting untuk mengatur pengobatan dan prognosis yang tepat. Pasien dengan kelas Killip tinggi memiliki gambaran angiografi yang lebih berat penyakit arteri koroner serta insiden yang lebih tinggi adanya disfungsi ventrikel, dan infark miokard yang luas. TIMI risk score berfungsi untuk mengidentifikasi STEMI signifikan gradien dari risiko kematian dengan menggunakan variabel yang menangkap sebagian besar informasi prognostik yang tersedia di multivariabel model. Kapasitas prediksi risiko ini skor stabil selama beberapa titik waktu, pada pria dan wanita, dan pada perokok dan bukan perokok. Selain itu,TIMI skor risiko dilakukan baik dalam data eksternal yang besar ditetapkan pasien dengan STEMI. Gambar 2. TIMI Risk Score LAPORAN KASUS 1. Identitas Pasien Nama : Tn. ZY Alamat : Sabang Umur : 60 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Berkebun Status Pernikahan : Menikah No. RM : 1-04-35-90 Tanggal masuk : 10-03-2015 Tanggal pemeriksaan : 18-03-2015 2. Anamnesis a. Keluhan Utama : Nyeri dada menjalar ke lengan kiri b. Keluhan Tambahan : Sakit kepala, mual dan muntah c. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke Instalansi Gawat Darurat RSUDZA atas kiriman dari RSUD Sabang dengan STEMI Inferior. di RSUD Sabang pasien dirawat selama 1 hari. pasien merasakna nyeri dada yang tiba-tiba dan menjalar ke lengan kiri. Keluhan ini timbul 1 jam sebelum masuk RSUD Sabang ( 1 hari SMRS Zoenal Abidin). Nyeri dada ini dirasakan ketika pasien sedang duduk di rumah. Nyeri dada dirasakan seperti ditindih beban berat, nyeri dada menjalar ke lengan kiri. Nyeri dada berlangsung lebih dari 1 jam. dan dalam sehari pasien merasakan nyeri dada lebih dari 3 kali. Lebih kurang setelah 1 menit nyeri dada pasien merasakan lemas tidak bertenaga. Pasien tidak mengalami penurunan kesadaran. Selama ini pasien tidak pernah merasakan keluhan seperti ini. Selain itu, pasien juga mengeluhkan mual dan muntah, muntah sebanyak 4 kali. d. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien tidak pernah merasakan nyeri dada seperti ini sebelumnya. Hipertensi tidak ada, Diabetes Mellitus tidak ada, hiperkolesterolemia tidak ada. e. Riwayat Penyakit Keluarga : Hipertensi tidak ada, Diabetes Mellitus tidak ada, hiperkolesterolemia tidak ada f. Riwayat Penggunaan Obat : Arixtra 2,5 mg (1 hari), ranitidin 1 amp/ 12 jam, captopril 3x6,25 mg, aspilet 1x80 mg, clopidogrel 1x75 mg, simvastatin 1x40 mg, alprazolam 1x0,5 mg. g. Riwayat Kebiasaan Sosial Pasien perokok aktif, lebih kurang 1 bungkus sehari. Merokok sejak 10 tahun yang lalu. 8. Pemeriksaan Fisik a. Status Present Keadaan Umum Kesadaran Tekanan Darah : Baik : Compos Mentis : 110/70 mmHg Nadi Frekuensi Nafas Temperatur b. Status General Kulit Warna Turgor Ikterus Anemia Sianosis Kepala Bentuk Rambut Mata : 60 x/menit, reguler : 21 x/menit : 37,6 0C (aksila) : Sawo matang : cepat kembali : (-) : (-) : (-) Telinga Hidung : Kesan Normocephali : Tersebar rata, Sukar dicabut, Berwarna hitam. : Cekung (-), Refleks cahaya (+/+), Sklera ikterik (+/+), Conj.palpebra inf pucat (-/-) : Sekret (-/-), Perdarahan (-/-) : Sekret (-/-), Perdarahan (-/-) Bibir Gigi Geligi Lidah Mukosa Tenggorokan Faring : Pucat (-), Sianosis (-) : Karies (-), gigi tanggal (-) : Beslag (-), Tremor (-) : Basah (+) : Tonsil dalam batas normal : Hiperemis (-) Mulut Leher Bentuk Kel. Getah Bening Peningkatan TVJ : Kesan simetris : Kesan simetris, Pembesaran (-) : (-), R -2 cmH2O Axilla Pembesaran KGB (-) Thorax Thorax depan dan belakang 1. Inspeksi Bentuk dan Gerak : Normochest, pergerakan simetris Tipe Pernafasan : Abdominal Thoracal Retraksi : (-) 2. Palpasi - Pergerakan dada simetris - Nyeri tekan (-/-) - Suara fremitus taktil kanan = suara fremitus taktil kiri 3. Perkusi - Sonor (+/+) - Redup (-/-) 4. Auskultasi Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-) wheezing (-/-) Jantung Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS VI Linea Midclavicularis Sinistra Perkusi : Batas jantung atas Auskultasi : di ICS IIIparasternal sinistra Batas jantung kanan : di Linea parasternalis dekstra Batas jantung kiri : di ICS V linea midclavikula sinistra. : BJ I > BJ II : di ICS V garis midclavucula sinistra dan ICS IV garis parasternal sinistra BJ II > BJ I : di ICS II garis parasternal dextra dan sinistra Bunyi jantung tambahan dan bising: tidak ada Abdomen Inspeksi : Distensi (-) Palpasi : Soepel (+), Nyeri tekan (-) Undulasi (-) Perkusi : Timpani (+), Shifting dullness (-) undulasi (-) Auskultasi : Peristaltik usus kesan normal Genetalia : tidak dilakukan pemeriksaan Ekstremitas : udema (-), sianosis (-), pucat (-), CTR < 3 detik 4. Diagnosis Banding 1. Infark miokard akut dengan ST elevasi onset 1 hari killip 1 dan AV block grade 1 2. Infark miokard akut tanpa ST elevasi 3. Angina pektoris tidak stabil 4. Angina pektoris stabil. 5. Pemeriksaan penunjang 1. Elektrokardiografi 2. Lab darah rutin, troponin I dan CKMB 3. Cor angiografi 4. Echocardiografi a. Elektrokardiografi Elektrokardiografi tanggal 10-03-2015 Jam 10.30 WIB Interpretasi : - Irama - Heart rate - Axis - Kelainan : aritmia : 70 x/ menit : normoaxis : elevasi segment ST di lead II dan III, aVF AV blok grade 1 di lead II Elektrokardiografi tanggal 11-03-2015 Interpretasi : - Irama - Heart rate - Axis - Kelainan : aritmia : 70 x/ menit : normoaxis : elevasi segment ST di lead II dan III, aVF b. Laboratorium Tanggal 10-03-2015 Hemoglobin : 13,9 mg/dl Hematokrit : 42 % Eritrosit : 4,8 Leukosit : 12,7 Trombosit : 274 Difftel : 0/ 0/ 76/ 18/ 6 CT/BT : 7/ 2 detik Troponin I : 13,08 CKMB : 256 KGDS : 138 mg/dL Ureum : 45 Creatinin : 1,58 Natrium : 143 Kalium : 3,8 Klorida : 105 Pemeriksaan angiografi koroner Tanggal 09-3-2015 Kolesterol : 213 Trigliserida : 146 HDL : 52 LDL : 132 SGOT :75,75 SGPT : 82,57 Kesimpulan : CAD 3 VD + LM disease dengan small vessel Telah dilakukan PCI di RCA dengan 1 BMS, hasil baik 6. Diagnosis Klinis Infark miokard akut dengan ST elevasi onset 1 hari killip 1 TIMI risk 3/7 dan AV block grade I 7. Penatalaksanaan a. Farmakoterapi H1: Bed rest O2 2 L/i NaCl 0,9% 20 gtt/ menit Inj. Lovenox 0,6/ 12 jam Drip dopamin 10 meq/kgBB/ menit Inj. Ondansetron 1 amp/ 12j Inj. Omeprazole 1amp/12 j Aspilet 1x160 mg Plavix 1x75 mg Simvastatin 1x40 mg Alprazolam 1x0,5 mg Laxadyn sirup 3xCI Diet jantung Balance cairan H 2: Bed rest O2 2 L/i NaCl 0,9% 20 gtt/ menit Inj. Lovenox 0,6/ 12 jam Drip dopamin 10 meq/kgBB/ menit Inj. Ondansetron 1 amp/ 8 j Inj. Omeprazole 1 vial/ 12 j Aspilet 1x160 mg Plavix 2x75 mg Simvastatin 1x40 mg Alprazolam 1x0,5 mg Laxadyn sirup 3xCI Diet jantung Balance cairan H3 : Bed rest O2 2 L/i NaCl 0,9% 20 gtt/ menit Inj. Lovenox 0,6/ 12 jam Drip dobutamin 250/50 5 meq/kgBB/ menit Drip cordaron 150/50 habis dalam 4 jam Drip intergrilin 8,0 cc/ jam Inj. Ondansetron 1 amp/ 8 jam Inj. Omeprazole 1 vial/12 jam Aspilet 1x160 mg Plavix 2x75 mg Simvastatin 1x40 mg Alprazolam 1x0,5 mg Tyarid 3x1 Laxadyn sirup 3xCI Diet jantung Balance cairan H4: Bed rest O2 2 L/i NaCl 0,9% 20 gtt/ menit Inj. Lovenox 0,6/ 12 jam Drip dobutamin 250/50 5 meq/kgBB/ menit Drip cordaron 150/50 habis dalam 4 jam Drip intergrilin 8,0 cc/ jam Inj. Ondansetron 1 amp/ 8 jam Inj. Omeprazole 1 vial/12 jam Aspilet 1x160 mg Plavix 2x75 mg Simvastatin 1x40 mg Alprazolam 1x0,5 mg Tyarid 3x1 Laxadyn sirup 3xCI Diet jantung Balance cairan H5 : Bed rest O2 2 L/i (k/p) IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/ menit Inj. Lovenox 0,6/ 12 jam Drip dobutamin 250/50 3 meq/kgBB/ menit Inj. Omeprazole 1 vial/12 jam Aspilet 1x160 mg Plavix 2x75 mg Simvastatin 1x40 mg Alprazolam 1x0,5 mg Laxadyn sirup 3xCI Diet jantung Balance cairan H6 : Bed rest IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/ menit Inj. Omeprazole 1 vial/12 jam Aspilet 1x80 mg Plavix 1x75 mg Simvastatin 1x40 mg Diet jantung PEMBAHASAN Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta penunjang. Diagnosis infark miokard akut didasarkan dari anamnesa gejala klinis yang khas, pemeriksaan elektrokardiografi (EKG), serta pemeriksaan biomarker jantung. Pada pasien didapatkan keluhan nyeri dada berlangsung selama 1 jam. Nyeri menjalar ke lengan kiri, nyeri seperti ditindih benda berat tidak berkurang dengan istirahat. Pasien juga mengeluh mual, muntah pusing dan badan lemas bersamaan dengan nyeri dada. Berdasarkan teori bahwa sangat penting membedakan nyeri pada ACS dibandingkan dengan penyakit lain. Nyeri klasik pada ACS adalah berupa gejala khas angina, yaitu nyeri dada tipikal yang berlangsung selama 10 menit atau lebih yang terasa seperti ditusuktusuk, ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, rasa diperas dan terpelintir. Nyeri menjalar dari dada, dada belakang, rahang, leher, sampai ke lengan kiri. Nyeri tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat atau obat nitrat. Pada pasien dengan NSTE-ACS juga bisa timbul dengan diaphoresis, dyspnea, mual, sakit perut, ataupun sinkop. Dyspnea saat aktivitas adalah yang paling umum saat angina equivalent tanpa gejala nyeri. Pada pasien juga terdapat faktor resiko dari coronary artery disease berupa kebiasaan merokok.(2) Pemeriksaan EKG didapatkan Sinus aritme 50x/menit dengan normoaxis dan ditemukan elevasi segment ST di Lead II, III, AVF, sebagai penanda infark inferor, selain itu juga ditemukan kelainan AV blok grade 2. Pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan enzyme CKMB dan Troponin I. Seluruh kriteria klinis adanya Infark miokard akut telah terpenuhi. Sebagai panduan dalam penatalaksanaan dan prognosis pasien dengan STEMI maka klasifikasi Killip dan TIMI risk score diperlukan untuk mengidentifikasi resiko kematian. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya tanda-tanda udem paru. Adanya nyeri dada angina dan bukti adanya kelainan pada EKG berupa ST Elevasi dan peningkatan enzim jantung menandakan TIMI risk score pada pasien adalah 3. Diagnosa pasien adalah Akut STEMI inferior late onset 1 hari Killip 1 TIMI Risk Score 3/7. Pasien dilakukan pemeriksaan angiografi koroner. Pemeriksaan ini merupakan baku emas dalam penilaian penyakit jantung koroner. Pada pasien ditemukan stenosis 70-80% di LAD dan LCX, dan 80% stenosis di RCA. Pasien juga telah dilakukan PCI di RCA. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien adalah terapi non reperfusi dan reperfusi. Bed rest, O2 2 L/i, NaCl 0,9% 20 gtt/ menit, Inj. Lovenox 0,6/ 12 jam, drip dopamin 10 meq/kgBB/ menit, Inj. Ondansetron 1 amp/ 12j, Inj. Omeprazole 1amp/12 j, Aspilet 1x160 mg, Plavix 1x75 mg, Simvastatin 1x40 mg, Alprazolam 1x0,5 mg, Laxadyn sirup 3xCI, diet jantung, balance cairan. Tatalaksana awal pada stemi adalah reperfusi jika onset kurang 12 jam, namun ketika lebih dari 12 jam onset reperfusi masih perlu dilakukan jika masih ada gejala berupa nyeri dada. Reperfusi yang pertama dengan cara PCI, dan medikamentosa dengan obat fibrinolitik. Direkomendasikan pemberian antitrombolitik (antiplatelet dan antikoagulan) untuk mencegah terjadinya trombosis baru dan embololisai dari plak arterosklerosis yang ruptur atau erosi. Obat antihipertensi diberikan mengurangi beban jantung. Statin diberikan untuk stabilisasi plak aterosklerosis, target LDL<100 mg/dl, optimal <70 mg/dl. Pada irama aritmia diberikan obat antiaritmia (tyarid). Pengobatan untuk jangka waktu yang lama diperlukan modifikasi gaya hidup dan modifikasi faktor risiko . Pasien harus berhenti merokok, kontrol diet dan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, kontrol tekanan darah, intervensi faktor psikososial. DAFTAR PUSTAKA 1) James, Stevan, et al. ESC Guidlines for the Management of Acute Myocardial Infarction in Patients Presenting with ST-segment Elevation. European Heart Journal. 2012. 33. 2) Myratha, R. Patofisiologi Sindrom Koroner Akut. CDK. 2012. 39.4 3) Achenbach, S, et al. ESC Guidlines on Management of Stable Coronary Artery disease. Eur Heart J. 2013. 4) Thaler, Malcolm S. Satu-satunya Buku EKG yang Anda perlukan. Jakarta: EGC. 2000. 5) Kumar A, Cannon CP. Acute Coronary Syndromes: Diagnosis and Management Part I. Mayo Clin Proc. 2009;84(10):917-938. http://www.mayoclinicproceedings.com/content/84/10/917. full.pdf 6) Antman EM, Braunwald E. ST-Elevation Myocardial Infarction: Pathology, Pathophysiology, and Clinical Features. Dalam: Braunwald E. ed. Braunwald’s Heart Disease. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2008. Pp: 1207-31 7) Rilantono, L. Penyakit Kardiovaskular. Jakarta: FKUI. 2012