BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak asasi

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hak asasi manusia (human rights) merupakan hak manusia, yang
melekat pada manusia, dimana manusia juga dikaruniai akal pikiran dan hati
nurani.1 Hak asasi manusia bersifat universal yang berarti melampaui batasbatas negeri, kebangsaan, dan ditujukan pada setiap orang baik miskin
maupun kaya, laki-laki atau perempuan, normal maupun penyandang cacat
dan sebaliknya. Dikatakan universal karena hak-hak ini dinyatakan sebagai
bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak peduli apapun warna
kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan agama atau
kepercayaan spiritualitasnya.2 Sebagai norma yang ditujukan bagi pengakuan
hak semua orang, maka setiap orang baik sendiri-sendiri maupun kelompok
perlu mengenali dasar-dasar hak asasi manusia dan selanjutnya menuntut
peningkatan pelaksanaannya.
Peletakkan rumusan tentang dasar-dasar hak asasi manusia merupakan
bagian dari tujuan sosialisasi.3 Adapun norma-norma yang mengatur
hubungan antara negara dengan individu (warga) adalah seperti yang
1
Suryadi Radjab, Dasar-dasar Hak Asasi Manusia, PBHI, Jakarta, 2002, hlm. 7.
Soetandyo Wignjosoebroto, hak asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan Pengertiannya
dari Masa ke Masa, ELSAM, Jakarta, 2007, hlm. 1.
3
Suryadi Radjab, loc. Cit.
2
2
dijelaskan di dalam pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Rights) tahun 1948.4
Lahirnya
Deklarasi
Universal
Hak
Asasi
Manusia
membawa
konsekuensi negara-negara anggota PBB untuk menyatakan bahwa mereka
mengakui hak-hak setiap orang sebagai hak asasi yang harus dihormati, guna
mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi berbagai tindakan dan kebijakan
negara yang sewenang-wenang terhadap individu-individu warganya.
Berdasarkan deklarasi ini semua negara menyatakan kewajibannya untuk
menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfil)
hak-hak asasi setiap warganya.5
Hak dalam hak asasi mempunyai kedudukan atau derajat utama dan
pertama dalam hidup bermasyarakat karena keberadaan hak asasi hakikatnya
telah dimiliki, disandang dan melekat dalam pribadi manusia sejak saat
kelahirannya. Seketika itu pula muncul kewajiban dari manusia lain untuk
menghormatinya.6
Konsep HAM yang pada hakikatnya juga konsep tertib dunia akan
menjadi cepat dicapai apabila diawali dari tertib politik dalam setiap negara.
Artinya kemauan politik pemerintah, antara lain berisi tekad dan kemauan
4
Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia berbunyi, “Semua orang dilahirkan merdeka dan
mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan
hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.”
5
Hendriati Trianita dalam Suryadi Radjab, op. Cit. Hlm. 7.
6
A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika
Penyusunan Hukum Hak Asasi Manuisa (HAKHAM), Ghalia Utama, Bogor, 2005, hlm. 8.
3
untuk menegakkan hak asasi manusia dapat menjadi awal masalah.7 Salah
satunya adalah masalah pemenuhan hak-hak bagi penyandang cacat.
Penyandang cacat terdapat di semua bagian dunia dan pada semua
tingkatan dalam setiap masyarakat. Jumlah penyandang cacat di dunia ini
besar dan senantiasa bertambah, baik penyebab maupun akibat kecacatan di
dunia ini bervariasi.
Dunia internasional pada dasarnya telah sepakat bahwa permasalahan
penyandang cacat ataupun pemenuhan hak-hak penyandang cacat merupakan
suatu permasalahan yang sangat penting untuk dikaji, karena orang-orang
penyandang cacat juga merupakan aset bangsa yang harus dilindungi dan
dipenuhi hak-haknya, oleh karena itu pada tahun 2006 anggota-anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan suatu pertemuan dan
merundingkan yang kemudian menghasilkan suatu konvensi tentang hak-hak
penyandang cacat yaitu Convention on the Rights of Persons with Disabilities
(CRPD) 2006 atau sering disebut juga dengan Konvensi Hak Penyandang
Cacat.
Terdapat hak-hak penyandang cacat yang tercantum dalam konvensi
penyandang cacat tersebut, yaitu hak hidup, situasi beresiko dan darurat
kemanusiaan, pengaturan yang setara di hadapan hukum, akses atas peradilan,
kebebasan dan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam,
tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, kebebasan dan keamanan
seseorang, kebebasan dari eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan,
7
Ibid, hlm. 127.
4
perlindungan terhadap integritas seseorang, habilitasi dan rehabilitasi,
pekerjaan, standar kehidupan yang layak dan jaminan sosial, partisipasi dalam
kehidupan politik dan publik, partisipasi dalam budaya, rekreasi, waktu luang
dan olah raga.
Namun demikian realisasi terhadap pemenuhan,
pemajuan dan
perlindungan terhadap hak-hak penyandang cacat sebagai hak asasi manusia
masih banyak mendapat hambatan. Hambatan-hambatan tersebut adalah
kurangnya pengertian dan pemahaman hak-hak penyandang cacat sebagai
bagian dari hak asasi manusia baik dalam pengertian subtansi maupun
pengertian secara hukum.
Selama ini, para penyandang cacat masih menghadapi berbagai hambatan
dalam beraktivitas dan masih mengalami keterbatasan dalam berpartisipasi
sebagai anggota yang setara dalam masyarakat, serta masih mendapatkan
perlakuan diskriminasi terhadap pemenuhan hak asasi manusia (HAM) di
segala aspek dalam lintas bidang kehidupan. Hambatan, keterbatasan dan
diskriminasi yang umumnya dihadapi para penyandang cacat adalah dalam
mengakses informasi, pendidikan, pekerjaan, transportasi serta sarana dan
layanan publik lainnya. Kondisi inilah yang membuat penyandang cacat
termasuk dalam kelompok miskin dan terpinggirkan.
Hak-hak penyandang cacat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia
(HAM) memperoleh pengaturan secara internasional dalam instrumen
internasional.
Umumnya
suatu
instrumen
HAM
internasional
yang
dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional pada hakikatnya akan
5
mengikat negara, apabila negara tersebut telah menyatakan diri untuk terikat
pada suatu perjanjian internasional.
Konvensi Hak Penyandang Cacat menandai akhir dari sebuah
perjuangan panjang oleh orang-orang penyandang cacat dan organisasiorganisasi perwakilan mereka untuk diakuinya secara penuh sebagai isu hak
asasi manusia, yang dimulai kembali pada tahun 1981, dengan Tahun
Internasional Penyandang Cacat dan Program Aksi Dunia Cacat, diadopsi
sebagai hasil tahun itu. Pada tahun 1993, oleh Majelis Umum Peraturan
Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat, laporan
Pelapor Khusus tentang Kecacatan dan Sub-Komisi tentang Pencegahan
Diskriminasi dan Perlindungan terhadap Kaum Minoritas, dan serangkaian
resolusi oleh Komisi Hak Asasi Manusia pada tahun 1998, 2000, dan 2002
memberikan kontribusi signifikan untuk membuka jalan bagi pendekatan hak
asasi manusia.8
Konvensi Hak-Hak Penyandang cacat atau Convention on the Rights of
Persons with Disabilities merupakan sebuah pengakuan masyarakat
internasional terhadap hak Penyandang cacat untuk hidup setara dengan
warga masyarakat lainya. Konvensi ini disahkan Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidang ke 61, 13 Desember 2006 lalu di Markas
Besar PBB di New York.. Selanjutnya ditandangani oleh sekitar 82 negara
termasuk Indonesia yang diwakili oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamzah
8
Navanethem Pillay, “Monitoring the Convention on the Rights of Persons with Disabilities”,
Guidance for human rights monitors, Halaman 12, www.ohchr.org, diakses tanggal 24 Oktober
2011.
6
pada 30 Maret 2007 yang lalu.9 Pada saat upacara penandatanganan pada 30
Maret 2007, Indonesia merupakan negara urutan ke-9 dari 82 negara pertama
yang menandatangani Konvensi tersebut. Hingga saat ini sudah ada 152
negara yang sudah menandatangani dan 104 diantaranya telah meratifikasinya
termasuk Indonesia. Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas juga
memperkenalkan suatu paradigma baru yang sangat penting dalam pemajuan
hak penyandang disabilitas. Melalui Konvensi ini, penyandang disabilitas
tidak lagi dilihat sebagai obyek tetapi subyek penuh. Upaya pengembangan
penyandang
disabilitas
tidak
lagi
secara
pemberian
charity
atau
penyembuhan, sarana medis, sedekah dan lainnya. Namun, penyandang
disabilitas dilihat dan dinilai sebagai pribadi penuh yang bisa mengklaim
haknya dan mandiri (autonomous individual) yang bisa memutuskan sendiri,
serta dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Penyandang Cacat pada
tanggal 18 Oktober 2011. Proses persiapan ratifikasi Konvensi Hak
Penyandang Cacat ini telah berjalan selama 4 tahun di tingkat antar
kementerian sejak 2007 hingga 2011, yang juga melibatkan perwakilan dari
organisasi kemasyarakatan penyandang disabilitas. Pengesahan Convention
on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-hak
Penyandang Disabilitas) dengan UU Nomor 19 Tahun 2011, konvensi ini
9
Agung Kuncahya B., Penyandang Cacat Harap Haknya Dipenuhi , www.jurnas.com, diakses
pada tanggal 24 Oktober 2011.
7
mengganti istilah “penyandang cacat” dengan “penyandang disabilitas” yang
dinilai lebih tepat dan manusiawi.10
Setelah meratifikasi konvensi negara harus melakukan tindakantindakan seperti menghilangkan hambatan-hambatan fisik para penyandang
cacat, termasuk dalam hal ini adalah menetapkan kebijakan dan hukum yang
mengatur dan menjamin akses penyandang cacat terhadap perumahan,
gedung, transportasi publik, jalan dan semua lingkungan fisik lainnya. Negara
juga harus menjamin bahwa dalam perencanaan suatu bangunan, konstruksi,
dan desain fisik, utamanya yang bersifat publik, adalah mempertimbangkan
akses para penyandang cacat dan para perencana pembangunan haruslah
memahami kebijakan pembangunan fisik yang ramah terhadap penyandang
cacat (disability policy).
Atas dasar hal-hal yang telah diuraikan maka perlu untuk melakukan
penelitian mengenai kesiapan pemerintah Indonesia dalam menerapkankan
konvensi tersebut dalam pemenuhan hak-hak penyandang cacat berdasarkan
hukum internasional khususnya hukum dan hak asasi manusia. Oleh karena
itu, penulis menetapkan judul untuk penulisan ilmiah (skripsi) ini yaitu
PENGATURAN TENTANG PEMENUHAN HAK-HAK PENYANDANG
CACAT BERDASARKAN CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS
WITH DISABILITIES TAHUN 2006 DI INDONESIA.
10
----,” DPR RI Setujui RUU Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas,
www.kemlu.go.id, diakses pada tanggal 24 Oktober 2011.
8
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaturan pemenuhan hak-hak penyandang cacat
berdasarkan Convention on the Rights of Person with Disabilities tahun
2006?
2. Bagaimanakah penerapan Convention on the Rights of Person with
disabilities 2006 dalam pemenuhan hak-hak penyandang cacat di
Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaturan pemenuhan hak-hak penyandang cacat
berdasarkan Convention on the Rights of Person with Disabilities tahun
2006.
2. Untuk mengetahui implementasi Convention on the Rights of Person with
Disabilities 2006 dalam pemenuhan hak-hak penyandang cacat di
Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan teoritis
a. Menambah pengetahuan dan wawasan di bidang Hukum Perjanjian
Internasional khususnya dalam penerapan perjanjian internasional dan
hak asasi manusia dalam hukum nasional, sehingga hukum
Internasional dapat diterapkan dengan baik di Indonesia.
9
b. Memperluas cakrawala berpikir penulis dan memberikan sumbangan
pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
2.
Kegunaan praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi kepustakaan
Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman , Purwokerto.
b. Hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman atau acuan bagi mereka
yang melakukan penelitian serupa.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hak Asasi Manusia dan Penyandang Cacat
1. Pengertian Hak Asasi Manusia dan Instrumen Hak Asasi Manusia
Istilah hak asasi manusia merupakan terjemahan dari istilah droits
de l’homme dalam bahasa Perancis atau Human Rights dalam bahasa
Inggris, yang artinya “hak manusia”. Pengertian secara teoritis dari hak
asasi manusia adalah :
“hak yang melekat pada martabat manusia yang melekat padanya sebagai
insan ciptaan Allah Yang Maha Esa, atau hak-hak dasar yang prinsip
sebagai anugerah Illahi. Berarti hak-hak asasi manusia merupakan hakhak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat
dipisahkan dari hakekatnya, karena itu Hak Asasi Manusia bersifat luhur
dan suci.”11
Pengertian Hak Asasi Manusia yang diatur dalam hukum positif
Negara Indonesia yaitu diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi sebagai
berikut :
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai Makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati dan
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
11
Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga Kriminologi
Universitas Indonesia, 1983, hlm. 7-8
11
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tersebut sudah dijelaskan bahwa Hak Azasi
Manusia merupakan hak yang paling hakiki yang dimiliki oleh manusia
dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, oleh karena itu terhadap
hak azasi manusia negara sebagai pelingdung warganya diharapkan dapat
mengakomodir kepentingan dan hak dari warga negaranya tersebut.
Konsep hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan konsep
tertib dunia, karenanya tanpa memperhatikan konsep HAM tersebut, apa
yang dinamakan atau diusahakan manusia untuk mewujudkan tertib dunia
akan sulit dicapai. Demikian pula tujuan hukum dan tujuan ilmu-ilmu
lainnya yang bersama-sama berusaha mengangkat derajat manusia agar
lebih adil, makmur, sejahtera, aman, tertib, dan tenteram tidak akan mudah
diraih.12 Pengembangan dan perlindungan HAM untuk semua orang dan di
seluruh dunia bukanlah merupakan suatu hal yang mudah, mengingat
keanekaragaman latar belakang bangsa-bangsa baik dari segi sejarah,
kebudayaan, sosial, latar belakang politik, agama dan tingkat pertumbuhan
ekonomi. Perbedaan-perbedaan latar belakang ini menyebabkan timbulnya
perbedaan konsepsional dalam perumusan HAM.
Globalisasi yang bergulir pada tahun 80-an bukan saja melanda
masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan
politik, hankam, iptek, sosial, budaya dan hukum. Globalisasi di bidang
12
A. Masyhur Effendy. Perkembangan dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika
Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM). 2005. Hlm 127.
12
politik tidak terlepas dari pergerakan tentang HAM, transparansi dan
demokratisasi. Adanya globalisasi dalam pergerakan HAM, maka
Indonesia harus menggabungkan instrumen-instrumen HAM internasional
yang diakui oleh negara-negara PBB ke dalam hukum positif nasional
sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia dengan memperkuat lembaga
masyarakat, lembaga studi, dan masyarakat luas untuk memainkan peran
dalam mempromosikan dan melindungi HAM terhadap kehidupan
masyarakat bangsa Indonesia. Penerapan instrumen HAM internasional
dalam hukum positif nasional, maka akan membatasi kekuasaan
pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konsep HAM yang sebelumnya cenderung bersifat teologis,
filsafati, ideologis, atau moralistik, dengan kemajuan berbangsa dan
bernegara dalam konsep modern akan cenderung ke sifat yuridik dan
politik, karena instrumen HAM dikembangkan sebagai bagian yang
menyeluruh dan hukum internasional baik tertulis maupun tidak tertulis.
Instrumen-instrumen tersebut akan membebankan kewajiban negaranegara anggota
PBB sebagian mengikat secara yuridis sebagian lagi
kewajiban secara moral walaupun para negara anggota belum melakukan
ratifikasi secara formal.13
Hak Asasi Manusia (HAM) dipercayai memiliki nilai yang
universal. Nilai universal berarti tidak mengenal batas ruang dan waktu,
nilai universal ini yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk
13
H. Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsepdan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan
Masyarakat, PT Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 6
13
hukum nasional di berbagai negara untuk dapat melindungi dan
menegakkan
nilai-nilai
dikukuhkan
dalam
kemanusiaan.
instrumen
Bahkan
internasional,
nilai
universal
termasuk
ini
perjanjian
internasional di bidang HAM, Namun kenyataan menunjukkan bahwa
nilai-nilai HAM yang universal ternyata dalam penerapannya tidak
memiliki kesamaan dan keseragaman.
Penerapan instrumen HAM internasional akan terkait dengan
karakteristik ataupun sifat khusus yang melekat dari setiap negara. Adalah
merupakan suatu fakta bahwa negara di dunia tidak memiliki kesamaan
dari berbagai aspek, termasuk ekonomi, sosial, politik dan terpenting
sistem budaya hukum sebagai akibatnya terjadi ketidakseragaman dalam
pelaksanaan HAM di tingkat paling nyata di masyarakat. Ada empat
penyebab utama alasan perjanjian internasional di bidang HAM tidak
dapat ditegakkan oleh negara setelah diikuti, yaitu : Pertama, perancangan
dan pembentukan berbagai perjanjian internasional di bidang HAM yang
sangat terdeviasi (bias) oleh kerangka berfikir (framework of thinking) dari
perancangnya. Kedua, kendala pada saat perjanjian internasional
diperdebatkan. Ketiga, menyangkut tujuan pembentukan perjanjian
internasional di bidang HAM yang dibuat tidak untuk tujuan mulia
menghormati HAM melainkan untuk tujuan politis. Keempat, perjanjian
internasional di bidang HAM setelah diikuti kerap hanya mendapatkan
perhatian secara setengah hati oleh negara berkembang.14
14
Ibid, hlm. 70-71
14
2. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia
Dalam perkembangan hak asasi manusia, pemikiran mengenai hak
asasi manusia mengalami pasang surut sejalan dengan sejarah peradaban
manusia, terutama dalam ikatan kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara. Pasang surut hak asasi manusia ini, sebenarnya mulai muncul
setelah manusia memikirkan dirinya dalam lingkungan semesta.
Pemikiran mengenai hak asasi manusia ini mulai mencapai titik paling
rendah setelah dikemukakannya konsep kedaulatan Tuhan yang
dilakukan didunia ini dilakukan oleh seorang Raja atau Paus (Pemimpin
Gereja sedunia). Kedaulatan Tuhan yang dilaksanakan oleh raja ataupun
Paus tersebut, menjadikan raja atau Paus mempunyai kekuasaan yang
maha dasyat, sehingga mengakibatkan hak-hak raja termasuk para
keturunannya dan Paus dapat terpenuhi secara optimal, sementara bagi
manusia kebanyakan sama sekali tidak memiliki hak apapun. Raja
ataupun Paus mampu melakukan itu semua, karena menganggap bahwa
apa yang dilakukan itu semata-mata adalah perintah Tuhan, dan
memperolah kuasa dari Tuhan. Kondisi yang demikian ini, maka hak
asasi manusia dapat diibaratkan merupakan suatu impian dan barang
impian dan barang komoditi yang sangat mahal harganya, sekaligus
langka keberadaannya.
15
Perkembangan pemikiran mengenai hak asasi manusia dapat
dijelaskan sebagai berikut:15
a. Abad XVII dan XVIII
Berdasarkan sejarah perkembangannya, dijumpai adanya
beberapa naskah yang dapat dikategorikan sebagai dokumentasi
perkembangan hak asasi manusia, yaitu:
a) Magna Charta (Piagam Agung 1215): Suatu dokumen yang
mencatat hak yang diberikan oleh Raja John Lackland dari
Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tutntutan
mereka. Dengan adanya naskah ini, sekaligus menimbulkan
konsekuensi terhadap pembatasan kekuasaan Raja John Lackland.
Hak yang diberikan kepada para bangsawan ini merupakan
kompensasi dari jasa-jasa kaum bangsawan dalam mendukung
Raja John di bidang keuangan.
b) Bill of Rights (UU Hak 1689): Suatu Undang-undang yang
diterima oleh Parlemen Inggris sesudah berhasil dalam tahun
sebelumnya mengadakan perlawanan terhadap Raja James II,
dalam suatu revolusi gemilang. Dalam analisis Marxis, Revolusi
Gemilang tahun 1688 dan Bill of Rights yang melembagakan
adalah kaum borjuis yang hanya menegaskan naiknya kelas
bangsawan dan pedagang diatas monarki. Sementara rakyat dan
kaum pekerja tetap hidup tertindas.
15
Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, & Hak Asasi Manusia
(Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia), Yogyakarta, 2003, hlm 266-267.
16
c) Declaration des droits de I’homme et du citoyen (Peryataan hakhak manusia dan warga negara 1789), yakni suatu naskah yang
dicetuskan
pada
permulaan
Revolusi
Perancis,
sebagai
perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dari rezim lama.
d) Bill of Rights (UU Hak): suatu naskah yang disusun oleh rakyat
Amerika dalam tahun 1789 (sama dengan Deklarasi Perancis) dan
menjadi bagian dari UUD Amerika pada tahun 1791.
Berdasarkan naskah-naskah dokumentasi tersebut diatas, maka dapat
ditarik pemahaman bahwa perkembangan mengenai Hak Asasi Manusia
abad XVII dan XVIII muncul sebagai akibat adanya kesewenangwenangan penguasa. Naskah-naskah itu merupakan ekspresi perlawanan
terhadap penguasa yang dzalim. Hak-hak yang dirumuskan pada abad ini
sangat dipengaruhi oleh gagasan mengenai Hukum Alam (Natural Law)
oleh John Locke (1632-1714) dan JJ. Rousseau (1712-1778) yang hanya
terbatas pada hak-hak yang bersifat politis saja seperti kesamaan hak, hak
atas kebebasan, hak untuk memilih dan lainnya.
b. Abad XX
Dalam abad ini ditandai dengan terjadinya Perang Dunia II
yang memporak-porandakan kehidupan kemanusiaan. Perang dunia
ini disebabkan oleh ulah pemimpin-pemimpin negara yang tidak
demokratis, seperti Jerman oleh Hitler, Italia oleh Benito Mussolini,
dan Jepang oleh Hirohito. Berkaitan dengan hal ini, maka hak-hak
politik yang tertuang dalam naskah-naskah abad XVII dan XVIII
17
dianggap kurang sempurna dan perlu diperluas ruang lingkupnya.
Franklin D. Roosevelt pada permulaan Perang Dunia II merumuskan
adanya 4 (empat) hak, yaitu:
a) Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (Freedom
of Speech).
b) Kebebasan beragama.
c) Kebebasan dari ketakutan.
d) Kebebasan dari kemelaratan.
Kemudian pada tahun 1946, Commision on Human Rights (PBB)
menetapkan secara terperinci beberapa hak ekonomi dan sosial,
disamping hak-hak politik. Penetapan ini dilanjutkan pada tahun 1948
dengan disusun pernyataan sedunia tentang Hak-hak asasi manusia
(Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember
1948.
Dari penjelasan sejarah perkembangan tersebut diatas, maka nampak
bahwa pengertian hak asasi manusia mengalami peralihan yang cukup
signifikan, yakni dari semata-mata kepedulian akan perlindungan
individu-individu dalam menghadapi absolutisme kekuasaan negara,
beralih kepada penciptaan kondisi sosial ekonomi yang diperhitungkan
akan memungkinkan individu-individu mengembangkan potensinya
sampai maksimal.
18
3. Macam-macam Hak Asasi Manusia
Hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan menjadi:16
a) Hak-hak asasi pribadi atau personal rights, yang meliputi kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan
bergerak, dan sebagainya.
b) Hak-hak asasi ekonomi atau property rights yaitu hak untuk memiliki
sesuatu, membeli, dan menjual serta memanfaatkannya.
c) Hak-hak asasi politik atau political rights yaitu hak untuk ikut serta
dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam suatu
pemilihan umum), hak untuk mendirikan partai politik dan
sebagainya.
d) Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum
dan pemerintahan atau rights of legalequality
e) Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and culture rights
yaitu hak untuk memilih pendidikan, hak untuk mengembangkan
kebudayaan dan sebagainya.
f) Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan
perlindungan atau procedural rights yaitu peraturan dalam penahanan,
penangkapan, penggeledahan, peradilan dan sebagainya.
Pemenuhan hak asasi manusia dalam suatu negara, tidak lepas dari
adanya suatu kewajiban yang timbul baik oleh suatu negara atau
masyarakat dalam negara tersebut sehingga muncul suatu keharmonisan
16
Ramdlon Naning, Op.Cit, hlm. 17.
19
yang berjalan secara selaras dan seimbang antara hak dan kewajiban
manusia.
B. Perjanjian Internasional
1. Pengertian dan Istilah-istilah Perjanjian Internasional
Berdasarkan bunyi Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah
Internasional
disebutkan
bahwa
yang
termasuk
sumber
hukum
internasional, yaitu:17
a. Perjanjian Internasional atau Traktat (International convention,
whether general or particular, establishing rules expressly
recognized by the contesting states).
Traktat dalam pengertian luas adalah perjanjian antara
pihak-pihak peserta atau negara-negara di tingkat internasional.18
Traktat memberikan pengaruh terhadap arah pembentukan suatu
kaidah hukum internasional. Pada dasarnya traktat memiliki dua
sifat, yaitu traktat yang membuat hukum (law making treaty) dan
traktat kontrak (treaty of contract).
b. Kebiasaan Internasional sebagai bukti dari praktik-praktik umum
yang dilakukan oleh negara dan diterima sebagai hukum
(International custom as evidence of a general practices accepted
as law).
17
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999,
hlm. 33.
18
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Perjanjian Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2002,
hlm. 12.
20
Kebiasaan merupakan hukum yang mengikat yang berasal
dari praktik-praktik yang telah dilakukan oleh negara-negara.19
Tidak setiap kebiasaan internasional merupakan kaidah hukum.
Agar suatu kebiasaan dapat diterima sebagai hukum kebiasaan
internasional, maka harus memenuhi unsur-unsur berikut: 20
a).Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum, sehingga
diperlukan suatu tindakan yang serupa mengenai hal dan
keadaan yang serupa pula. Tindakan tersebut harus bersifat
umum dan bertalian dengan hubungan internasional;
b). Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum, apabila negaranegara tidak menyatakan keberatan terhadapnya.
c. Asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab
(The general principles of law recognized by civilized nations).
Asas-asas umum hukum adalah sekumpulan peraturan hukum
dari berbagai bangsa dan negara, yang secara universal
mengandung kesamaan.21
d. Keputusan Hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional
dari berbagai negara sebagai alat tambahan untuk menentukan
hukum (Judicial decisions and the teachings of the most highly
qualified publicists of the various nations, as subsidiary means
for the determination of rules of law).
Berbeda dengan sumber hukum lainnya, keputusan
hakim dan ajaran ahli hukum hanya merupakan sumber
tambahan, yang artinya keputusan hakim dan ajaran ahli hukum
19
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Intenasional Kontemporer, Refika Aditama,
Bandung, 2006, hlm. 51.
20
Mochtar Kusumaatmadja dan Ety R Agoes, Op.Cit, hlm. 144-145.
21
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit, hlm. 64.
21
dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum
internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan atas
sumber
primer
yakni
perjanjian
internasional,
kebiasaan
internasional, dan asas-asas umum hukum.22
Pengertian perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :23
Dalam arti sempit pengertian Perjanjian Internasional disebutkan
dalam Pasal 2 Konvensi Wina Tahun 1986 (Vienna Convention on the
Law of Treaties) :
“Treaty means an internastional agreement concluded between
States in written form and governed by international law, wether
embodied in a single instrument or in two or more related
instruments and whatever its particular”
Artinya : Suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam
bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam
instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan
dengan apapun nama yang diberikan.
Dalam arti sempit ini dimaksudkan bahwa perjanjian internasional adalah
perjanjian yang dibuat oleh negara saja.
Terdapat dua unsur pokok yang ada dalam definisi perjanjian internasional
diatas, yaitu :24
a. Adanya subjek hukum internasional
Negara adalah subjek hukum internasional, (par excellence) yang
mempunyai kapasitas penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian
internasional seperti yang tercantum dalam pasal 6 Konvensi Wina tahun
22
Mochtar Kusumaatmadja dan Ety R Agoes, Op.Cit, hlm. 150-151.
I Wayan Parthiana,Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, Penerbit Mandar Maju Bandung,
2002, hlm. 15.
24
Boer Mauna, Op.cit, hlm. 85
23
22
1969, namun pada saat ini organisasi-organisasi internasional juga
memiliki wewenang untuk membuat perjanjian internasional, sebagai
contoh perjanjian antara UNESCO dengan Perancis tanggal 2 Juli 1954
tentang pendirian gedung dan status UNESCO di Perancis, selain itu
antara PPB dengan pemerintah Amerika Serikat tanggal 26 Juni 1947
tentang pendirian dan status hukum gedung PBB di kota New York.
b. Adanya rejim hukum internasional
Suatu perjanjian internasional apabila perjanjian tersebut diatur
oleh rejim hukum internasional. Perjanjian yang tunduk dan diatur oleh
rejim hukum nasional suatu negara tidak termasuk dalam definisi
perjanjian internasional (treaty).
Dalam arti luas pengertian perjanjian internasional adalah :
“Kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional
mengenai obyek hukum internasional mengenai suatu obyek atau
masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan
hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum
internasional.”
Berdasarkan pengertian secara luas tersebut terdapat unsur-unsur perjanjian
internasional, yaitu :25
a) Kata sepakat.
Kata sepakat merupakan unsur yang sangat esensial dari suatu
perjanjian, termasuk perjanjian internasional. Kata sepakat adalah inti dari
perjanjian, tanpa adanya kata sepakat antara para pihak, maka tidak akan
ada perjanjian.
25
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, CV Mandar Maju, Bandung,
2002, hlm. 16-18
23
b) Subjek – subjek hukum internasional.
Subjek-subjek hukum dalam hal ini adalah subjek-subjek hukum
internasional yang terikat pada perjanjian. Dalam perjanjian internasional
yang tertutup dan substansinya lebih bersifat teknis, misalnya dalam
perjanjian
bilateral atau
multilateral terbatas,
pihak-pihak
yang
melakukan perundingan (negotiating state) merupakan pihak yang terikat
pada perjanjian tersebut. Sedangkan pada perjanjian internasional yang
terbuka dan isinya mengenai masalah-masalah yang bersifat umum,
antara para pihak yang melakukan perundingan dengan pihak-pihak yang
terikat pada perjanjian belum tentu sama. Subjek-subjek hukum
internasional yang mempunyai kemampuan untuk mengadakan perjanjian
internasional adalah:
1) Negara;
Negara merupakan subjek hukum internasional yang memiliki
kapasitas
penuh
(full
capacity)
untuk
mengadakan
atau
berkedudukan sebagai pihak dalam suatu perjanjian internasional.
Kemampuan yang dimiliki negara untuk membuat suatu
perjanjian adalah sebagai implementasi dari kedaulatan negara
tersebut. Tidak ada batasan terhadap hak dari negara untuk
membuat suatu perjanjian, jika ada batasan hak bagi sebuah
negara untuk membuat suatu perjanjian biasanya lebih bersifat
politis bukan yuridis26.
26
Ibid,, hlm. 19
24
2) Negara bagian;
Dalam suatu negara federal, yang menjadi pengemban hak dan
kewajiban subjek hukum internasional adalah pemerintah federal.
Akan tetapi, ada kalanya konstitusi federal memungkinkan negara
bagian mempunyai hak dan kewajiban yang terbatas atau
melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh pemerintah federal27.
3) Tahta Suci atau Vatican;
Tahta Suci (Vatican) merupakan suatu hukum dalam arti yang
penuh dan sejajar kedudukannya dengan negara. Hal ini terjadi
terutama setelah diadakannya perjanjian antara Italia dan Takhta
Suci pada tanggal 11 Februari 1929 (Lateran Treaty) yang
mengembalikan sebidang tanah di Roma kepada Takhta Suci dan
memungkinkan didirikannya negara Vatikan, yang dengan
perjanjian itu sekaligus dibentuk dan diakui28. Oleh karena itu
Vatikan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara dan
dapat melakukan hubungan dengan luar negeri sebagai salah satu
masyarakat internasional juga membuka hubungan diplomatik
dengan negara-negara dan organisasi internasional.
4) Wilayah perwalian (Trusteeship Territory);
Wilayah perwalian adalah wilayah bekas jajahan dimana dulu
disebut dengan wilayah mandat dalam kerangka Liga Bangsa27
Oppenheim-Lauterpacht, Internasional Law, 8th, ed, London, Vol.I (peace), p.p. 489-490, pp.
252-254, dalam Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
Alumni, Bandung, 2003, hlm. 98
28
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,
Bandung, 2003, hlm. 100
25
Bangsa (LBB).
Wilayah perwalian merupakan wilayah yang
belum merdeka yang sedang diarahkan untuk menjadi negara
yang merdeka dan berdaulat penuh.
5) Organisasi internasional;
Organisasi internasional sebagai subjek dalam arti yang luas
dimaksudkan tidak saja menyangkut semua organisasi yang
dibentuk oleh negara-negara (public international organization),
tetapi juga yang dibentuk oleh badan-badan non-pemerintah
(private international organization) personalitas dari suatu subjek
hukum organisasi internasional, untuk melakukan tidakantindakan sesuai dengan ketentuan yang termuat di dalam
instrument dasar yang dimilki oleh organisasi internasional
tersebut29.
6) Kaum Beligerensi;
Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh
kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa (belligerent)
dalam beberapa keadaan tertentu30. Kaum beligerensi atau
kelompok yang sedang berperang memiliki kedudukan yang sama
dengan pemerintah yang berkuasa maupun dengan negara-negara
pada umumnya. Kaum beligerensi merupakan kelompok yang
memberontak kepada pemerintahan yang tengah berkuasa.
Namun, pemberontakan yang dilakukan bukan lagi dalam lingkup
29
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, Universitas Indonesia (UI-Press),
Jakarta, 1990, hlm. 12
30
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op., Cit., hlm. 110
26
nasional negara tersebut melainkan sudah menjadi masalah
internasional31.
7) Bangsa yang sedang memperjuangkan haknya.
Misalnya
perjuangan
bangsa
Palestina
dalam
memperjuangkan hak-haknya tanpa dibelenggu oleh bangsa
Yahudi Israel. Karena apa yang menjadi hak milik bangsa
Palestina hampir seluruhnya raib.
c) Berbentuk tertulis.
Bentuk tertulis ini adalah sebagai perwujudan dari kata sepakat yang
otentik dan mengikat para pihak. Kata sepakat itu dirumuskan dalam
bahasa dan tulisan yang dipahami dan disepakati para pihak yang
bersangkutan. Biasanya bahasa yang umum dipergunakan adalah bahasa
Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional.
d) Objek tertentu
Objek dari perjanjian internasional itu adalah objek atau hal yang
diatur didalamnya. Setiap perjanjian internasional perjanjian pasti
mengandung objek tertentu, tidak ada perjanjian yang tanpa objek yang
pasti. Objek itu sendiri secara langsung menjadi nama dari perjanjian
tersebut.
e) Tunduk dan diatur oleh hukum internasional.
Hukum internasional dalam unsur ini adalah baik hukum internasional
pada umumnya, maupun hukum internasional pada khususnya, seperti
31
I wayan Parthiana, Op., Cit.,, hlm. 24
27
yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap perjanjian melahirkan
hubungan hukum berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para
pihak yang terikat pada perjanjian tersebut.
Sejak
perundingan
untuk
merumuskan
naskah
perjanjian,
pemberlakuan, pelaksanaannya dengan segala permasalahan yang timbul
serta pengakhiran berlakunya perjanjian, seluruhnya tunduk pada hukum
internasional. hal ini menunjukkan bahwa perjanjian itu memiliki sifat
internasional dan oleh karena itu termasuk dalam ruang lingkup hukum
internasional.
Boer Mauna memberikan pengertian bahwa melalui perjanjian
internasional, tiap negara menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur
berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup
masyarakat itu sendiri. Perjanjian internasional yang pada hakekatnya
merupakan sumber hukum internasional yang utama adalah instrumeninstrumen yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau
subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama,
mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya,
dan bersifat mengikat pihak-pihak pada perjanjian tersebut.32
Dalam suatu praktik pembuatan perjanjian diantara negara-negara
dikenal dengan berbagai macam nama dan istilah. Suatu terminologi
perjanjian internasional digunakan berdasarkan permasalahan yang diatur
32
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global Edisi ke-2 2005, PT. Alumni, Bandung, 2010. hlm. 82
28
dengan memperhatikan keinginan para pihak dalam perjanjian internasional
tersebut.
Dari uraian tersebut maka dapat ditarik ciri-ciri dari perjanjian
internasional, yaitu:
a) Dibuat oleh subjek hukum internasional.
Subjek hukum internasional yang mempunyai kemampuan untuk
mengadakan perjannjian internasional terdiri dari negara, negara bagian,
wilayah perwalian, tahta suci atau vatikan, kaum belligerensi, dan
organisasi internasional yang merupakan subjek buatan, serta bangsa
yang sedang memperjuangkan haknya.
b) Perbuatannya diatur oleh hukum internasional.
Dalam bukunya Boer Mauna menyebutkan, pada umumnya hukum
internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara
negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan
masyarakat internasional.33
c) Akibatnya mengikat subjek-subjek yang menjadi pihak (pacta sunt
servanda).
Sesuai dengan Pasal 26 Konvensi Wina tahun 1969 tentang
Perjanjian Internasional bahwa “Every treaty in force is binding upon the
parties to it and must be performed by them in good faith.” Negara yang
33
Ibid. hlm. 1
29
menjadi pihak kemudian harus menerapkan ketentuan-ketentuan perjanjian
tersebut dalam peraturan perundang-undangen nasional negaranya.
Perjanjian internasional mempunyai istilah-istilah yang sudah biasa
digunakan secara umum antara lain, traktat, konvensi, deklarasi, statuta,
piagam, kovenan, persetujuan, perjanjian, pakta, protokol, final act, agreed
minutes dan sumary record, memorandum of understanding, arrangement,
exchange of notes, process verbal, dan modus vivendi. Masing-masing dari
istilah tersebut mempunyai kriteria sendiri-sendiri.
1)
Treaties (Traktat)
Traktat atau treaties merupakan perjanjian internasional yang
mencakup seluruh instrument
internasional dan
yang dibuat
memiliki kekuatan
oleh subjek hukum
mengikat
menurut
hukum
internasional. Traktat biasanya berisi materi perjanjian yang menyangkut
masalah penting, besar, dan sangat prinsipil.
2)
Convention (Konvensi)
Convention atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan konvensi
dalam praktek internasional merupakan istilah dari perjanjian yang
mempunyai kedudukan paling tinggi salain treaties atau traktat. Konvensi
digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional multilateral yang
mengatur masalah yang sangat penting dan besar. Perjanjian yang dibuat
dengan menggunakan istilah konvensi biasanya dimaksudkan untuk
berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang berlaku secara umum
dan luas.
30
3)
Agreement (Persetujuan)
Persetujuan atau agreement merupakan perangkat
perjanjian
internasional yang tingkatannya lebih rendah dari traktat atau konvensi.
Agreement mengatur masalah yang ruang lingkupnya lebih sempit dari
traktat atau konvensi. Biasanya agreement digunakan untuk perjanjian
bilateral atau multilateral terbatas.
4)
Charter (Piagam)
Istilah charter biasanya digunakan untuk perjanjian yang merupakan
dasar pendirian sebuah organisasi internasional. Contohnya Piagam PBB
1945
5)
Protocol (Protokol)
Istilah lain dari perjanjian internasional adalah protokol (protocol).
Protokol biasanya memuat perjanjian yang materinya lebih sempit
dibandingkan dengan traktat atau konvensi. Penggunaan protokol
memiliki berbagai macam keragaman, yaitu :
1. Protocol of Signature (Protokol Penandatanganan),
Protokol penandatanganan merupakan perangkat tambahan
suatu perjanjian internasional yang dibuat oleh pihak-pihak yang
sama pada perjanjian. Protokol tersebut umumnya berisikan halhal yang berkaitan dengan penafsiran pasal-pasal tertentu pada
perjanjian dan hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan teknik
pelaksanaan perjanjian.
2. Optional protocol (Protokol tambahan),
Protokol tambahan memberikan tambahan hak dan
kewajiban selain yang diatur dalam perjanjian internasional.
Protokol tambahan memiliki karakter khusus dan memerlukan
proses pengesahan yang terpisah dari perjanjian induknya.
3. Protocol Based of Framework Treaty (Protokol Kerangka
Perjanjian),
31
Protokol ini merupakan perangkat yang mengatur
kewajiban-kewajiban khusus dalam melaksanakan perjanjian
induknya.
4. Protokol untuk mengubah beberapa perjanjian Internasional,
5. Protokol yang merupakan pelengkap perjanjian sebelumnya.
6)
Declaration (Deklarasi)
Merupakan suatu perjanjian yang berisi ketentuan-ketentuan umum
dimana pihak-pihak pada deklarasi berjanji untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan tertentu dimasa yang akan datang. Perbedaan
dengan konvensi ialah deklarasi isinya lebih ringkas dan padat serta
mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang hanya bersifat formal
seperti surat kuasa (full powers), ratifikasi dan lain-lainnya.34 Deklarasi
dibagi menjadi empat macam, yaitu35;
1. Deklarasi sebagai suatu perjanjian dalam arti yang sejati atau
sebenarnya.
2. Deklarasi sebagai suatu instrument yang tidak formal yang
dilampirkan pada suatu perjanjian sebagai penafsiran atau
penjelasan tentang ketentuan-ketentuan dari perjanjian tersebut.
3. Deklarasi sebagai persetujuan informal yang berhubungan
dengan masalah-masalah yang tidak begitu penting.
4. Deklarasi sebagai sebuah resolusi yang dikeluarkan dalam suatu
konferensi diplomatik yang berisi beberapa pernyataan tentang
beberapa prinsip yang harus dihormati oleh semua negara.
7) Statute (Statuta)
Istilah statuta biasa digunakan untuk perjanjian internasional yang
dijadikan sebagai konstitusi suatu organisasi internasional, organisasi
internasional yang menggunakan istilah statuta untuk piagamnya adalah
Mahkamah Internasional (Statute of International Court of Justice).36
34
Boer Mauna, Op.cit, hlm. 93-94
I Wayan Parthiana, Op., Cit,. hlm. 29
36
Ibid, hlm. 30-31
35
32
8) Agreement (Persetujuan)
Istilah agreement memiliki pengertian umum dan khusus, sama
halnya dengan convention, dalam pengertian umum Konvensi Wina 1969
menggunakan istilah agreement dalam artian luas. selain memasukkan
definisi treaty sebagai international convention, konvensi tersebut juga
menggunakan
istilah
international
agreement
bagi
perangkat
internasional yang tidak memenuhi definisi treaty, dengan demikian
pengertian umum dari agreement
mencakup seluruh perangkat
internasional yang biasanya mempunyai kedudukan lebih rendah dari
traktat atau konvensi.
Pengertian agreement secara khusus dalam bahasa Indonesia dikenal
dengan nama persetujuan. Menurut pengertian ini, persetujuan umumnya
mengatur materi yang lebih kecil dibanding materi yang diatur pada
traktat. Isitilah persetujuan saat ini cenderung digunakan bagi perjanjian
bilateral dan terbatas pada perjanjian multilateral.37
9)
Arrangement (Penetapan)
Digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang ditinjau
dari isinya lebih bersifat teknis dan administratif. Dalam hal ini
arrangement juga digunakan untuk melaksanakan proyek-proyek jangka
pendek yang betul-betul bersifat teknis. Istilah arrangement digunakan
untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam persetujuanpersetujuan kerjasama teknis, persetujuan-persetujuan kerjasama teknik
37
Boer Mauna, Op.cit, hlm. 91-92
33
tersebut hanya menyebutkan bidang-bidang kerjasama saja sedangkan
pelaksanaan tiap-tiap bidang serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban para
pihak akan diatur dalam special arrangement.38
10) Memorandum of Understanding (Nota Kesepahaman).
Nota
kesepahaman
merupakan
perjanjian
yang
mengatur
pelaksanaan teknis operasional suatu perjanjian induk. Sepanjang materi
yang diatur bersifat teknis, nota kesepahaman dapat berdiri sendiri dan
tidak memerlukan adanya perjanjian ini. Jenis perjanjian ini umumnya
dapat
segera berlaku setelah penandatangan tanpa memerlukan
pengesahan.39
11) Pact (Pakta).
Istilah pakta dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional
dalam bidang, militer, pertahanan dan keamanan, misalnya perjanjian
tentang organisasi kerjasama pertahanan dan keamanan Atlantik Utara
(North Atlantic Treaty Organization/NATO) disebut Pakta Atlantik.40
12)
Exchange of Notes
Pertukaran nota atau exchange of notes merupakan perjanjian
internasional yang bersifat umum yang memiliki banyak persamaan
dengan perjanjian hukum perdata. Perjanjian ini dilakukan dengan
menukarkan dua dokumen yang ditandatangani oleh kedua belah pihak
pada masing-masing dokumen41.
38
ibid, hlm. 95
Ibid, hlm 95
40
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian 1, Op.cit, hlm. 33
41
Ibid., hlm 95
39
34
13)
Modus Vivendi
Modus Vivendi merupakan suatu perjanjian yang bersifat
sementara dengan maksud akan diganti dengan pengaturan yang
tetap
dan
terperinci.
Modus
Vivendi
tidak
memerlukan
pengesahan42.
2. Macam-macam Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional selain mempunyai berbagai istilah juga terdapat
pengklasifikasian yang merupakan macam-macam perjanjian internasional
yang membedakan antara perjanjian internasional yang satu dengan yang lain.
Macam-macam perjanjian ini diltinjau dari sudut pendekatan yang ditempuh.
Macam-macam perjanjian, yaitu43;
1)
Perjanjian internasional ditinjau dari jumlah peserta;
a.
Perjanjian internasional bilateral
Perjanjian internasional bilateral merupakan perjanjian yang
disepakati oleh dua negara saja. Perjanjian tersebut hanya
mengikat kedua negara tersebut.
b.
Perjanjian internasional multilateral.
Perjanjian multilateral adalah perjanjian yang pihaknya
terdiri dari lebih dari dua negara.
42
43
Ibid., hlm 95
I Wayan Parthiana, Op., Cit,. hlm. 40-47
35
2)
Perjanjian internasional ditinjau dari kesempatan yang diberikan
kepada negara-negara untuk menjadi pihak
a.
Perjanjian internasional khusus
Perjanjian internasional khusus disebut juga perjanjian
tertutup yaitu hanya mengikat bagi para pihak saja , sifatnya
tertutup hanya bagi yang ikut dalam perjanjian.
b.
Perjanjian internasional terbuka
Perjanjian internasional terbuka merupakan perjanjian yang
bersifat terbuka bagi negara-negara yang tidak ikut dalam
perundingan untuk bergabung di dalam perjanjian tersebut.
3)
Perjanjian internasional ditinjau dari kaidah hukumnya;
a.
Perjanjian internasional yang berlaku khusus (Treaty
contract)
Perjanjian internasional yang hanya melahirkan kaidah
hukum bagi negara-negara yang menjadi pihak dalam perjanjian
saja. Perjanjian ini bersifat tertutup.
b.
Perjanjian internasional regional
Perjanjian internasional yang hanya melahirkan kaidah
hukum bagi negara-negara yang ada dalam satu kawasan saja
atau dalam satu regional. Mempunyai akibat hukum hanya bagi
negara-negara yang berada dalam satu kawasan tersebut.
c.
Perjanjian internasional yang berlaku umum (Law making
treaty)
36
Perjanjian internasional ini melahirkan kaidah hukum yang
diharapkan menjadi sebuah kaidah yamg berlaku umum bagi
seluruh masyarakat internasional. Biasanya perjanjian ini
berkaitan dengan hal-hal atau masalah yang penting dan besar.
4)
Perjanjian internasional ditinjau dari segi bahasanya;
a. Perjanjian yang dirumuskan dalam satu bahasa, biasanya bahasa
yang digunakan dalam perjanjian ini adalah bahasa Inggris
sebagai bahasa universal.
b. Perjanjian yang dirumuskan dengan dua bahasa, perjanjian ini
biasanya dituangkan dalam bahasa Inggris dan bahasa yang
sesuai dengan kesepakatan para pihak, tetapi hanya yang
dirumuskan dalam satu bahasa saja yang merupakan perjanjian
yang sah.
c. Perjanjian yang dirumuskan dengan tiga bahasa, semua
perjanjian tersebut sah dan otentik.
5) Perjanjian internasional ditinjau dari substansinya.
a. Perjanjian
internasional
yang seluruh pasalnya
merupakan
perumusan dari kaidah hukum kebiasaan internasional dalam
bidang yang bersangkutan.
Perjanjian semacam ini tampaknya tidak ada lagi mengingat
perkembangan hukum internasional yang semakin pesat yang
mengakibatkan selalu ada unsur-unsur yang sama sekali baru
37
disamping kaidah-kaidah hukum yang sudah merupakan hukum
kebiasaan internasional.
b. Perjanjian
internasional
yang
merupakan
perumusan
dan
melahirkan kaidah-kaidah hukum internasional yang baru.
Perjanjian internasional semacam ini biasanya berkenaan
dengan masalah-masalah yang sama sekali baru dan kaidah
hukumnya sama sekali belum ada. Pada umumnya masalahmasalah tersebut terjadi sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
c. Perjanjian internasional yang merupakan perpaduan antara hukum
kebiasaan internasional dengan kaidah hukum internasional yang
baru.
Perjanjian semacam ini yang semakin banyak muncul, karena
masyarakat dan hukum internasional yang terus berkembang
dengan pesatnya, sehingga perumusannya dalam bentuk perjanjian
internasional, disamping harus menampung kaidah-kaidah hukum
yang sudah ada sebelumnya, juga harus dipadukan dengan kaidahkaidah hukum yang merupakan unsur-unsur baru sama sekali.
6) Perjanjian internasional ditinjau dari pemrakarsanya.
a. Perjanjian internasional yang diprakarsai oleh negara atau
negara-negara;
Perjanjian internasional ini diprakarsai oleh negara dengan
negara atau negara-negara dimana objek dalam perjanjian ini
38
merupakan kepentingan dari negara-negara saja. Untuk itu perjanjian
tersebut mengikat negara-negara yang mempunyai kepentingan.
Namun, perjanjian ini juga terbuka bagi negara-negara yang
mempunyai kepentingan yang sama untuk ikut terikat dengan
perjanjian tersebut meskipun tidak ikut dalam perundingan.
b. Perjanjian
internasional
yang
diprakarsai
oleh
organisasi
internasional.
Organisasi internasional terutama organisasi internasional antar
negara atau antar pemerintah dapat memprakarsai dibentuknya suatu
perjanjian. Namun, perjanjian disini haruslah sesuai dengan objek
yang merupakan kegiatan, tujuan, dan maksud dari dibentuknya
organisasi internasional yang bersangkutan.
7) Ditinjau dari segi ruang lingkup berlakunya.
Pada dasarnya macam-macam perjanjian internasional ini sama
dengan perjanjian internasional ditinjau dari kesempatan yang
diberikan kepada negara-negara untuk menjadi pihak atau peserta,
karena negara-negara yang telah menjadi pihak atau peserta
perjanjian internasional tersebut maka secara otomatis berlaku dalam
ruang lingkup negara-negara pesertanya, yang membedakan terletak
wilayah dan pemerintahnya, dalam hal ini berlaku asas teritorial dan
personalitas dari negara-negara yang mengikatkan diri dalam
perjanjian tersebut.
39
3. Tahap-Tahap Pembuatan Perjanjian Internasional
Tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional diatur dalam Pasal 6-10
Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian.44 Pembuatan perjanjian
internasional dapat melalui dua tahap atau lebih dari dua tahap, pembuatan
perjanjian internasional yang melalui dua tahap hanya terdiri dari proses
perundingan dan penandatangan.
Pembuatan perjanjian internasional yang terdiri dari lebih dua tahap jika
ditinjau dari isi atau materi dalam perjanjian yang dibuat pada umumnya
menyangkut hal-hal yang mengandung nilai yang penting atau prinsip bagi para
pihak terikat, hanya saja penentuan atau kriteria mengenai penting atau tidaknya
masalah tersebut, ditentukan sepenuhnya oleh negara-negara yang bersangkutan.45
Berikut ini tahap-tahap dalam pembuatan perjanjian internasional :
1. Pendekatan Informal.
Pada zaman modern sekarang ini, pihak-pihak yang bermaksud untuk
membuat atau merumuskan suatu perjanjian internasional mengenai suatu
masalah tertentu, terlebih dahulu melakukan pendekatan-pendekatan, yang
bersifat informal dalam rangka mencapai kesepakatan untuk membuat suatu
perjanjian internasional yang mengatur suatu masalah tertentu.
Dalam perjanjian bilateral atau multilateral terbatas biasanya dengan
pendekatan antara dua pejabat negara yang berwenang dalam masalah yang
sama, sedangkan dalam perjanjian multilateral umum atau terbuka,
pendekatan-pendekatan tersebut dilakukan melalui pertemuan-pertemuan
44
45
I Wayan Parthiana, 1990, Pengantar..., Op.cit, hlm. 172
Ibid, hlm. 171
40
informal antara para diplomat atau pejabat negara, baik secara bilateralbilateral untuk selanjutnya ditingkatkan dalam forum yang lebih resmi.
Kesepakatan-kesepakatan hasil pendekatan informal itulah nantinya akan
dilanjutkan dengan langkah-langkah formal untuk merumuskan suatu
perjanjian yang disebut perundingan (Negotiation).46
2. Perundingan (Negotiation).
Perundingan dalam suatu konferensi internasional baik yang bersifat
bilateral maupun multilateral umumnya dilakukan oleh utusan-utusan yang
ditunjuk oleh Presiden atau Menteri Luar Negeri, pada perundinganperundingan untuk soal-soal tertentu terkadang Presiden atau Menteri Luar
Negeri atau Menteri lainnya sesuai dengan bidangnya masing-masing yang
memimpin delegasi.
Dalam praktek internasional utusan-utusan suatu negara dalam suatu
konferensi internasional biasanya dilengkapi dengan surat kuasa (full
powers), menurut Pasal 7 ayat (1) Konvensi Wina 1969,47 full powers
adalah suatu dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang
dari suatu negara yang menunjuk satu atau beberapa utusan untuk mewakili
negaranya dalam berunding, menerima naskah atau membuktikan keaslian
46
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional 1, Op.cit, hlm. 93
Pengertian full powers dalam Konvensi Wina 1969 tercantum dalam Pasal 7, yang berbunyi :
1. A person is considering as representing a State for the purpose of adopting or authenticating
the text of a treaty or for the purpose of expressing the consent to be bound by treaty if :
(a) he produce appropriate full powers or;
(b) it appears from the practice of the States concerned or from other circumstances that their
intention was to consider that person as representing the State for such purposes and to
dispense with full powers.
47
41
naskah atau
melaksanakan perbuatan
lainnya
sehubungan dengan
perjanjian.48
Full powers tidak selalu merupakan satu-satunya dokumen yang
dimiliki oleh suatu delegasi dalam suatu konferensi bilateral maupun
multilateral, suatu delegasi yang menghadiri konferensi internasional dalam
kerangka suatu organisasi internasional biasanya dilengkapi dengan
credentials
atau
surat
kepercayaan,
Indonesia
dalam
prakteknya
memisahkan full powers dan credentials untuk menghadiri konferensi.
Delegasi RI yang dilengkapi dengan credentials hanya diberikan wewenang
untuk menghadiri konferensi dan bukan untuk menandatangani suatu
perjanjian, sedangkan full powers baru dikeluarkan bila suatu perjanjian
akan ditandatangani. Pengertian full powers dalam Konvensi Wina 1969
sudah termasuk pengertian credentials. 49
3. Penerimaan Naskah (Adoption of the Text).
Setelah melalui proses perundingan antara wakil-wakil para pihak
ataupun perundingan melalui konferensi internasional sampai dengan
tercapainya kesepakatan antara para wakil yang melakukan perundingan
atas naskah perjanjian, maka dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu
penerimaan atau pengadopsian naskah perjanjian. Menurut Pasal 9 ayat (1)
Konvensi Wina 196950 penerimaan naskah suatu perjanjian internasional
48
Boer Mauna, Op.cit, hlm. 100
Ibid, hlm. 101-102
50
Ketentuan Pasal 9 Konvensi Wina 1969 berbunyi :
1. The adoption of the text of a treaty takes place by the consent of all the States participating in
its drawing except as provided in paragraph 2.
49
42
dilakukan berdasarkan persetujuan dari semua negara yang berpartisipasi
dalam perumusan naskah perjanjian itu, kecuali penerimaan naskah
perjanjian yang lahir melalui suatu konferensi internasional seperti
ditentukan dalam Pasal 9 ayat (2) konvensi ini. Pasal 9 ayat (2) tersebut
menegaskan bahwa penerimaan atau pengadopsian naskah suatu perjanjian
internasional yang dirumuskan melalui suatu konferensi internasional
dilakukan dengan persetujuan dua per tiga dari negara-negara yang hadir
dan memberikan suaranya, kecuali dengan suatu suara mayoritas yang sama
negara-negara itu menerapkan peraturan yang berbeda.51
4. Pengesahan Naskah (Authentication of the Text).
Pengesahan naskah suatu perjanjian internasional merupakan tahap
lanjutan dari penerimaan naskah perjanjian. Pengesahan naskah ini akan
meningkatkan status dari naskah yang sudah melewati tahap penerimaan
menjadi naskah yang final dan definitif, dengan status final dan definitif ini,
maka perjanjian itu tidak dapat diubah lagi, kecuali setelah perjanjian
tersebut sudah mulai berlaku, dapat diubah melalui proses amandemen
ataupun modifikasi sesuai dengan pengaturannya dalam perjanjian itu
sendiri atau jika perjanjian itu tidak mengaturnya, menurut prosedur seperti
yang dicantumkan dalam Bagian IV Pasal 39-41.52
2.
The adoption of the text of a treaty at an international conference takes place by vote of two
thirds of the States present and voting, unless by the same majority they shall decide to apply
a different rule.
51
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian 1, Op.cit, hlm. 106-107
52
Ibid, hlm. 107
43
Menurut Pasal 10 Konvensi Wina 196953, pengesahan naskah suatu
perjanjian dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah
perjanjian-perjanjian itu sendiri, atau sesuai dengan apa yang diputuskan
bersama wakil-wakil yang ikut dalam konferensi, jika tidak ditentukan
sebelumnya
maka
pengesahan
tersebut
dapat
dilakukan
dengan
membubuhkan tanda tangan atau paraf dibawah naskah perjanjian atau
tanda tangan dalam suatu final act.54
5. Penandatanganan / Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian (Consent to
be Bound by Treaty)
Setelah naskah perjanjian resmi diterima sebagai naskah yang otentik,
perjanjian itu belum mengikat para pihak, dengan demikian belum memiliki
kekuatan mengikat sebagai hukum internasional positif, kecuali pada saat
pengesahan sekaligus juga sebagai pernyataan persetujuan untuk terikat
pada perjanjian. Agar perjanjian tersebut mengikat sebagai sumber hukum
internasional positif, maka negara-negara tersebut perlu menyatakan
persetujuan untuk terikat secara tegas pada perjanjian, jika negara tersebut
tidak menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian atau secara
tegas menolak untuk terikat, maka perjanjian tersebut tidak akan
mengikatnya. Persetujuan atau penolakan untuk terikat merupakan
53
Ketentuan Pasal 10 Konvensi Wina 1969 berbunyi sebagai berikut :
“The text of a treaty is established as authentic and definitive :
(a) by such procedur as may be provided for in the text or agreed upon by the States
participating in its drawing up; or
(b) by failing such procedure by the signature, signature ad referendum or initialling by the
representatives of those States of the text of the treaty or of the Final Act of a conference
incorporating the text”
54
Boer Mauna, Op.cit, hlm. 108
44
kedaulatan dari negara, setipa negara berdaulat tidak dapat dipaksa oleh
kekuatan apapun untuk menerima sesuatu yang tidak dikehendakinya,
seperti menyatakan terikat pada perjanjian.
Menurut Pasal 11 Konvensi Wina 1969,55 ditegaskan beberapa cara
untuk menyatakan terikat persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian,
yaitu dengan penandatangan (signature), pertukaran istrumen yang
membentuk perjanjian (exchange of instruments constituting a treaty),
ratifikasi (ratification), akseptasi (acceptance), persetujuan atau aksesi
(approval or accession), atau dengan cara lain yang disepakati (or by any
other means if so agreed). Semua cara tersebut masing-masing diatur lebih
rinci dalam Pasal 12-17 Konvensi Wina 1969.
4. Akibat Hukum Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional mengikat para pihak (prinsip pacta sunt
servanda). Selanjutnya negara-negara pihak pada perjanjian harus menerapkan
ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut dalam peraturan perundang-undangan
nasional. Sehubungan dengan itu, maka akibat dari perjanjian dibagi menjadi
tiga, yaitu;56
1. Akibat perjanjian terhadap negara-negara pihak;
Selain asas pacta sunt servanda yang digunakan, sesuai dengan
Pasal 26 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional
55
Ketentuan Pasal 11 Konvensi Wina 1969 berbunyi sebagai berikut :
“The consent of a States to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of
instrument constitutinga treaty , acceptance, apporval or accession, or by any other means if so
agreed”
56
Boer Mauna, Op., Cit.,. hlm. 135
45
bahwa “Every treaty in force is binding upon the parties to it and
must be performed by them in good faith,” yang berarti bahwa negaranegara yang terikat pada suatu perjanjian harus melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam perjanjian internasional
yang telah disetujuinya dengan itikad baik. Negara yang terikat pada
perjanjian harus menaati dan menghormati pelaksanaan perjanjian.
2. Akibat perjanjian terhadap negara lain;
Perjanjian internasional selain berakibat pda negara-negara
dalam pihak perjanjian juga mempunyai akibat terhadap negara lain
Disini berlaku prinsip terkenal pacta tertiis nex nocent nec prosunt
yang berarti bahwa perjanjian-perjanjian tidak dapat menimbulkan
kewajiban-kewajiban dan memberikan hak pada negara ketiga.57
Namun ada pengecualian terhadap prinsip tersebut, yaitu58;
a) Perjanjian yang mempunyai akibat kepada negara ketiga atas
persetujuan mereka.
Perjanjian ini memberikan hak kepada negara ketiga atas
persetujuan negara ketiga tersebut, hal ini dapat dilihat dalam
Pasal 35 Konvensi Wina 1969 tentang hukum Perjanjian yang
berbunyi;
Suatu kewajiban dapat timbul bagi negara ketiga yang berasal
dari ketentuan suatu perjanjian yang dibuat dengan sengaja
oleh negara-negara pihak dan negara ketiga tadi menerima
kewajiban tersebut dalam bentuk tertulis.
57
58
Ibid., hlm. 143
ibid., hlm. 144
46
b) Perjanjian yang memberikan hak-hak kepada negara ketiga.
Klausula Most-Favoured Nation adalah suatu mekanisme yang
sering dipakai dalam hubungan ekonomi internasional. Klausula ini
berarti bahwa setiap keuntungan yang diperoleh suatu negara (negara
A), dalam kaintannya dengan suatu perjanjian di bidang tertentu
dengan negara lain (negara B), akan dinikmati pula oleh negara ketiga
(negara C).
c) Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga tanpa
persetujuan mereka.
Pengecualian mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 (6)
Piagam PBB yang antara lain menyatakan bahwa PBB harus
memastikan negara-negara bukan anggota PBB bertindak sesuai
dengan asas PBB sejauh mungkin bila dianggap perlu untuk
perdamaian dan keamanan internasional. Jadi, negara bukan anggota
PBB sepanjang mengenai perdamaian dan keamanan internasional
harus bertindak sesuai dengan asas dari piagam. 59
3. Implementasi perjanjian pada peraturan perundang-undangan nasional
Negara yang menjadi pihak dalam suatu perjanjian berarti negara
tersebut sudah terikat dengan perjanjian untuk itu harus menerapkan
ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut dalam peraturan perundangundangan nasional negaranya. Perjanjian internasional kemudian
harus dituangkan dalam perundang-undangan negara yang terikat
59
Ibid., hlm. 145
47
sebagai wujud pelaksanaan perjanjian secara nasional oleh negara
tersebut.
Jika, suatu negara menolak pelaksanaan perjanjian internasional
karena bertentangan atau tidak sesuai dengan hukum nasional negaranya
padahal sudah terikat maka, tidak dapat dijadikan alasan bagi negara
tersebut
untuk megalahkan perjanjian internasional dari hukum
nasionalnya karena terdapat asas pacta sunt servanda, sehingga tetap
perjanjian internasional yang dimenangkan. Sebab, sebelum terikatnya
negara dalam perjanjian internasional sudah melewati tahapan-tahapan
dalam penyesuaiannya dengan perjanjian internasional tersebut. Kecuali,
jika alasan yang digunakan adalah
mengenai masalah yang sangat
mendasar dan fundamental bagi suatu negara.
Persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian
internasional mengandung dua aspek, yaitu aspek eksternal dan aspek
internal.
Aspek
eksternalnya
adalah
keterikatan
negara
yang
bersangkutan terhadap perjanjian dalam hubungannya dengan negara
yang lain yang juga sama-sama terikat pada perjanjian itu. Sedangkan
aspek internalnya berkenaan dengan masalah di dalam negeri dari negara
yang bersangkutan, misalnya organ yang manakah dari pemerintah
negara itu yang berwenang menyatakan persetujuan untuk terikat pada
suatu perjanjian internasional, bagaimanakah mekanismenya sampai
dengan dikeluarkannya persetujuan ataupun penolakan untuk terikat pada
48
perjanjian, serta konsekuensinya terhadap hukum nasional dari
keterikatan pada perjanjian60.
Suatu
negara
yang
telah
meratifikasi
suatu
perjanjian
internasional dan juga telah mengundangkan ke dalam hukum
nasionalnya,
serta
beberapa
hal
juga
telah
menjabarkan
atau
mentransformasikan ke dalam hukum nasionalnya sendiri, dalam
pelaksanaannya di dalam wilayahnya, juga akan berhadapan dengan
hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya yang lain.
Dalam hal ini terdapat beberapa kemungkinan yang akan
dihadapi, yakni :
1. Substansi maupun isi dan jiwa dari perjanjian itu sendiri selaras dengan
hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya yang lain. Dalam
hal ini tentulah tidak ada atau amat sedikit masalah yang muncul
berkenaan dengan penerapan perjanjian internasional itu, baik secara
internal maupun eksternal.
2. Setelah diratifikasi dan diterapkan oleh negara yang bersangkutan baru
diketahui
bahwa
perjanjian
tersebut
terdapat
beberapa
isi
atau
ketentuannya ternyata bertentangan dengan hukum atau peraturan
perundang-undangan nasionalnya.
Dalam hal kemungkinan kedua yang mungkin akan terjadi maka
demi memelihara dan mempertahankan tertib masyarakat internasional,
dan demi mempertahankan nilai-nilai dan tujuan luhur dari perjanjian60
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, CV Mandar Maju, Bandung,
2002, hlm. 144-145
49
perjanjian internasional serta juga supaya negara-negara tidak mudah
menjadikan hukum nasionalnya sebagai alasan untuk mengesampingkan
suatu perjanjian internasional, hal ini ditegaskan dalam Pasal 27 Konvensi
Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian Internasional (Vienna Convention
on the Law of Treaties 1986) yang berbunyi :
“A party may not invoke the provisions of its internal law as justification of
its failure to perform a treaty. This rule is without prejudice to article 46.”
(Salah satu pihak tidak boleh menjadikan ketentuan dalam hukum
nasionalnya sebagai pembenar atas kegagalannya dalam melaksanakan
suatu perjanjian internasional. Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk
mengabaikan Pasal 46).
Maksud dari ketentuan ini adalah untuk membatasi penyalahgunaan
perjanjian atas alasan berdasarkan hukum nasional, yang kemudian akan
menimbulkan akibat / dampak buruk terhadap perjanjian internasional itu
sendiri maupun terhadap negara peserta lainnya. 61
C. Penyandang Cacat
Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1980 tentang Usaha
Kesejahteraan Sosial Penderita Cacat menyatakan bahwa penderita cacat
adalah seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai
kelainan fisik atau mental yang oleh karenanya merupakan suatu
rintangan atau hambatan baginya untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
secara layak, terdiri dari: cacat tubuh, cacat netra, cacat mental, cacat
rungu wicara, dan cacat bekas penyandang penyakit kronis.
61
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2,CV Mandar Maju, Bandung,
2002, hal. 275 - 278
50
Kategori penyandang cacat tersebut disempurnakan dengan
keluarnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang
cacat yang mendefinisikan bahwa Penyandang Cacat adalah setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik,
penyandang cacat mental dan penyandang cacat fisik dan mental.62
Undang-undang No. 4 tahun 1997 juga menegaskan bahwa penyandang
cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki
kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama. Mereka juga
mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pengertian Penyandang
Cacat dibagi dalam 3 hal :
1.
Impairment
diartikan
sebagai
suatu
kehilangan
atau
ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan
struktur atau fungsi anatomis.
2.
Disability diartikan sebagai suatu ketidakmampuan melaksanakan
suatu aktivitas/kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang
normal yang disebabkan oleh kondisi impairment tersebut.
3.
Handicap diartikan kesulitan/ kesukaran dalam kehidupan pribadi,
keluarga dan masyarakat, baik di bidang sosial ekonomi maupun
62
Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997.
51
psikologi
yang
dialami
oleh
seseorangyang
disebabkan
ketidaknormalan tersebut.
Dalam situs Wikipedia disebutkan disabilitas (penyandang cacat)
merupakan kelainan pada organ tubuh makhluk hidup yang seharusnya
tidak dimiliki oleh suatu organ tersebut. Macam-macam disabilitas antara
lain :
a. Tuna netra, yaitu keadaan dimana organ penglihatan tidak
berfungsi untuk melihat
b. Tuna rungu, yaitu keadaan dimana organ pendengaran tidak dapat
difungsikan untuk mendengar suara
c. Tuna wicara, yaitu keadaan dimana seseorang tidak mempunyai
kemampuan berbicara dikarenakan terjadi kelainan fisik,
d. Tuna daksa, yaitu keadaan seseorang yang mengalami kelainan
disebabkan oleh tidak dimilikinya tangan untuk melakukan
sesuatu, atau tidak memiliki kaki untuk berjalan.
e. Tuna laras, yaitu keadaan seseorang yang mengalami kelainan
dalam cara dan sikap berperilaku yang berbeda dari kebanyakan
orang pada umumnya.
f. Tuna grahita, yaitu keadaan dimana seseorang mempunyai
kelainan mental
g. Tuna ganda, yaitu keadaan dimana seseorang mempunyai kelainan
yang lebih dari satu. Tuna ganda dapat disebut juga keadaan
dimana seseorang memiliki kombinasi kelainan (baik dua jenis
52
kelainan atau lebih) yang menyebabkan adanya masalah
pendidikan yang serius, sehingga dia tidak hanya dapat diatasi
dengan suatu program pendidikan khusus untuk satu kelainan
saja, melaiankan harus didekati juga dengan variasi program
pendidikan sesuai kelainan yang dimiliki
53
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Yuridis Normatif, yaitu metode dalam proses penyelidikannya meninjau dan
membahas objek penelitian dengan menekankan pada aspek-aspek yuridis
terhadap aturan-aturan atau instrumen hukum internasional berkaitan
mengenai pengaturan mengenai pemenuhan hak-hak penyandang cacat
berdasarkan Convention on the Rights of Persons with Disabilities tahun 2006
di Indonesia.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif
maksudnya bahwa penelitian ini menggambarkan keadaan atau gejala dari objek
yang akan diteliti secara menyeluruh dan sistematis tanpa bermaksud mengambil
kesimpulan yang berlaku umum. Analitis karena kemudian akan dilakukan
analisis terhadap berbagai aspek yang diteliti dengan asas hukum, kaidah hukum
dan berbagai pengertian hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.
C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam penulisan mengingat jenis penelitian merupakan
penelitian kepustakaan, maka lokasi bertempat di Pusat Informasi Ilmiah
Fakultas
Hukum Universitas
Jendral Soedirman,
Perpustakaan Pusat
54
Universitas Jendral Soedirman, Perpustakaan Daerah Kabupaten Banyumas,
serta media internet dengan menelaah pustaka yang berkaitan dengan kajian
penelitian.
D. Sumber Data
Sumber data dalam penyusunan penelitian ini adalah
1. sumber data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan
(library research) yang terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer adalah semua peraturan hukum yang
merupakan sumber hukum internasional. Dalam penelitian ini,
bahan hukum primer yang digunakan berupa peraturan hukum
internasional yang terkait dengan Penyandang Cacat
1) Undang-undang Dasar 1945 setelah Amandemen
2) Konvensi tentang hak-hak penyandang cacat tahun 2006
(Convention on the Rights of Persons with Disabilities)
3) Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional
(Vienna Convention On The Law Of Treaties, 1969).
4) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat.
6) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan
Convention on the Rights of Persons with Disabilities.
55
7) Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan dan
Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari bukubuku, literatur, jurnal, doktrin, dan hasil penelitian yang terkait
dengan permasalahan penelitian.
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, mencakup63:
Bahan-bahan
yang
memberi
petunjuk-petunjuk
maupun
penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, yaitu; kamus
hukum, ensiklopedia, indeks komulatif, opini media yang diambil
melalui internet.
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara melalui metode
kepustakaan, pengumpulan data sekunder dengan melakukan penelusuran
terhadap bahan pustaka (literatur, Perundang-undangan, Hasil Penelitian,
Majalah Ilmiah, Buletin Ilmiah, Jurnal Ilmiah, dan sebagainya).
F. Metode Penyajian Data
Bahan yang diperoleh akan disajikan secara deskriptif dalam
bentuk uraian yang disusun secara sistematis, yang didahului dengan
pendahuluan yang berisi latar belakang masalah. Tujuan penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian, dan diteruskan dengan analisa data
dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan simpulan.
63
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010,
hlm. 185
56
G. Metode Analisa Data
Bahan hukum yang telah diperoleh akan dianalisis secara normatif
kualitatif, normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturanperaturan yang ada sebagai norma hukum positif. Sedangkan kualitatif
yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai bahan
hukum yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis yang
akhirnya akan ditarik kesimpulan pada karya tulis ini.
57
BAB 1V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Manusia
sebagaimana
diakui
hukum
merupakan
subyek
hukum
(pendukung hak / kewajiban hukum), pada saat itu sebenarnya hukum secara
formal mengakui hak asasi manusia, sehingga persoalan hukum dan hak asasi
manusia adalah satu, dalam arti hukum yang memberi pengayoman, kedamaian
serta ketentraman manusia bermasyarakat dan bernegara. Hal ini berarti ada
hukum yang sekedar “ada” untuk menunjuk bahwa aturan hukum dipakai dalam
suatu negara.64
Menyadari sepenuhnya bahwa persoalan hukum dan menegakkan hukum
sebagaimana penulis sebutkan diatas, saat ini in proses baik dalam arti nasional
maupun dunia internasional, hal ini sama persoalannya dengan hak asasi manusia
yang juga in proses atau dalam perjuangan. Sejauh mana perjuangan menegakkan
hukum dan menegakkan hak asasi manusia berhasil, kiranya sangat tergantung
atau berhubungan dengan kesadaran umat manusia sendiri, terutama para
negarawan Nasional dan Internasional. Persoalan hak asasi manusia apabila dikaji
lebih lanjut maka akan sampai pada satu “daerah” atau area bidang politik tiaptiap negara yang terkadang sudut pandang masing-masing negara berbeda dengan
aplikasi yang berbeda pula. Hal ini disadari oleh para ahli hukum internasional,
64
A. Masyhur Effendi, 1980, Tempat Hak-hak Azasi Manusia dalam Hukum Internasional /
Nasional, Penertbit Alumni, Bandung, hlm. 14.
58
karena itulah dengan cara perundingan terus-menerus diusahakan adanya satu
konsensus Internasional dalam menegakkan hak asasi manusia di seluruh dunia.65
Hak asasi manusia merupakan hak dasar manusia yang harus tetap
dihormati oleh setiap orang dan dilindungi oleh negara, meskipun seseorang itu
memiliki kelainan fisik (penyandang cacat). Perlindungan hak asasi manusia
tersebut mutlak diberikan tanpa pengecualian dan tanpa perbedaan menurut
bangsa, suku, ras, agama, jenis kelamin, maupun status sosial dan status hukum
seseorang.
Konsensus internasional tersebut sudah dituangkan dalam satu perjanjian
internasional atau konvensi internasional yaitu dalam Vienna Convention on the
Law of Treaties tanggal 23 Mei 1969 yang diharapkan merupakan wadah atau
sarana semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengadakan
komunikasi dengan dasar itikad baik (Good Faith and Pacta Sunt Servanda),
sehingga setiap pihak yang menghadapi keperluan atau persoalan dapat
menyelesaikannya melalui perjanjian.
Perjanjian internasional dalam perkembangan hukum internasional
memang memiliki peranan yang sangat penting, karena selain sebagai sumber
hukum yang paling utama dari hukum internasional, perjanjian internasional juga
lebih banyak menciptakan kepastian hukum dibandingkan dengan sumber hukum
internasional yang lainnya. Masyarakat internasional memang tidak memiliki
penguasa yang berwenang untuk menetapkan dan memaksakan aturan hukum
seperti dalam lingkup hukum nasional, sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh
65
Ibid., hlm 15
59
aturan hukum yang tertulis dalam masyarakat internasional merupakan hasil dari
kesepakatan yang dibentuk oleh para subjeknya guna mencapai suatu tujuan dan
akibat hukum tertentu.66
Dewasa ini dan pada masa-masa yang akan datang negara-negara
menampakkan kecenderungan untuk mengatur dan menuangkan hubunganhubungan hukum internasionalnya ke dalam bentuk perjanjian. Hal ini disebabkan
oleh karena perjanjian internasional, lebih memberikan jaminan kepastian hukum
bagi pihak-pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga. Contohnya pada isi,
maksud dan tujuan dari para pihak baik yang tersurat maupun yang tersirat dapat
diketahui dengan membaca dan memahami naskah perjanjian tersebut. Demikian
pula mengenai cara-cara pembuatan, pengikatan diri dan pengakhiran berlakunya,
sudah diatur secara baku yang diakui dan dihormati oleh negara-negara di dunia.
Salah satu bentuk perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara
yang berisikan tentang permasalahan yang ada dalam masyarakat internasional
dan juga menjadi perhatian serius masyarakat internasional adalah mengenai hak
asasi penyandang cacat atau disabilitas. Konvensi yang mengatur tentang hak-hak
penyandang cacat dibuat pada tahun 2006 dengan nama Convention on the Rights
of Persons with Disabilities / CRPD 2006 atau biasa dikenal dengan istilah
Konvensi Hak-hak Penyandang Cacat / Disabilitas.
66
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian 2, Op.cit., Hlm 50
60
A. HASIL PENELITIAN
1. Pengaturan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Cacat berdasarkan
Convention on the Rights of Persons with Disabilities Tahun 2006
Pasal 1 Konvensi Penyandang Cacat 2006 diuraikan mengenai
tujuan dibentuknya konvensi ini, berbunyi sebagai berikut:
a. The purpose of the present Convention is to promote, protect and
ensure the full and equal enjoyment of all human rights and
fundamental freedoms by all persons with disabilities, and to
promote respect for their inherent dignity.
b. Persons with disabilities include those who have long-term physical,
mental, intellectual or sensory impairments which in interaction with
various barriers may hinder their full and effective participation in
society on an equal basis with others.
Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Cacat atau CRPD
mempunyai tujuan untuk memajukan, melindungi dan menjamin
penikmatan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar secara
penuh dan setara oleh semua orang penyandang cacat dan untuk
memajukan penghormatan atas martabat yang melekat pada diri mereka.
Orang-orang penyandang cacat termasuk mereka yang memiliki
kerusakan fisik, mental, intelektual atau sensorik jangka panjang yang
dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat merintangi
partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif
berdasarkan pada asas kesetaraan.
Pada isi CRPD tidak terdapat definisi mengenai pengertian
penyandang cacat itu sendiri, tetapi dalam pasal 2 CRPD terdapat definisi
mengenai “Diskriminasi atas dasar kecacatan”.
61
Article 2, Definitions
Discrimination on the basis of disability means any distinction,
exclusion or restriction on the basis of disability which has the purpose
or effect of impairing or nullifying the recognition, enjoyment or
exercise, on an equal basis with others, of all human rights and
fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural, civil or
any other field. It includes all forms of discrimination, including denial
of reasonable accommodation.67
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Konvensi Internasional
Hak-Hak Penyandang Cacat sebagaimana tercantum dalam Pasal 3,
meliputi :
a. (Respect for inherent dignity, individual autonomy including the freedom
to make one's own choices, and independence of persons) Penghormatan
atas martabat yang melekat, otoritas individual termasuk kebebasan
untuk menentukan pilihan dan kemandirian orang-orang;
b. (Non-discrimination) Nondiskriminasi;
c. (Full and effective participation and inclusion in society) Partisipasi dan
keterlibatan penuh dan efektif dalam masyarakat;
d. (Respect for difference and acceptance of persons with disabilities as
part of human diversity and humanity) Penghormatan atas perbedaan dan
penerimaan orang-orang penyandang cacat sebagai bagian dari
keragaman manusia dan rasa kemanusiaan;
e. (Equality of opportunity) Kesetaraan kesempatan;
67
“Diskriminasi atas dasar kecacatan” berarti pembedaan, eksklusi, atau pembatasan apa pun atas
dasar kecacatan yang bertujuan untuk atau berdampak pada perusakan atau penghapusan terhadap
pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar
dalam hal politik, sosial, budaya, sipil, atau bidang lainnya, berdasarkan kesetaraan dengan orangorang lain. Hal ini termasuk segala bentuk diskriminasi, termasuk penyangkalan atas akomodasi
yang layak.
62
f. (Accessibility) Aksesibilitas;
g. (Equality between men and women) Kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan; dan
h.(Respect for the evolving capacities of children with disabilities and
respect for the right of children with disabilities to preserve their
identities) Penghormatan atas kapasitas yang berkembang dari anak-anak
penyandang cacat dan penghormatan atas hak anak-anak penyandang
cacat untuk melindungi identitas mereka.
Perlindungan hak-hak Penyandang Cacat dalam Konvensi ini
dimuat secara rinci dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 30 yang terdiri
dari ketentuan mengenai :
1. Kesetaraan dan nondiskriminasi (Equality and non-discrimination);
Semua orang adalah setara di hadapan hukum dan berhak
untuk mendapatkan perlindungan dan keuntungan yang sama dari
hukum tanpa adanya diskriminasi terutama bagi penyandang cacat.
Untuk itu dalam rangka memajukan kesetaraan dan menghapuskan
diskriminasi, negara-negara pihak selayaknya untuk menjamin
tersedianya akomodasi yang cukup bagi penyandang cacat.
2. Perempuan penyandang cacat (Women with disabilities);
Pada perempuan dan anak-anak perempuan penyandang cacat
sering mengalami adanya diskriminasi ganda. Diskriminasi ganda yang
dialami tidak hanya pada fasilitas publik tetapi juga pada lapangan
pekerjaan, padahal banyak diantaranya yang mampu dan mempunyai
63
keahlian kerja. Negara-negara pihak harus menagmbil langkah yang
layak
untuk
menjamin
pembangunan,
pengembangan,
dan
pemberdayaan penuh perempuan dengan tujuan agar mereka dapat
melaksanakan dan menikmati hak asasi manusia.
3. Anak-anak penyandang cacat (Children with disabilities);
Seperti halnya orang penyandang cacat, kelompok anak
dengan kecacatan juga mengalami diskriminasi, malahan dengan
derajat kerentanan yang lebih ketimbang orang dewasa. Situasi ini
menempatkan anak penyandang cacat menjadi tidak terlindungi dan
rentan menjadi korban. Negara-negara pihak harus menjamin agar
mereka berhak untuk menyatakan pendapat secara bebas dengan dasar
kesetaraan dengan anak-anak normal lainnya serta menjamin bantuan
yang disediakan selayaknya sesuai dengan kecacatan dan usia mereka
demi perwujuan hak tersebut.
4. Peningkatan kesadaran (Awareness-raising);
Kesadaran akan hak-hak penyandang disabilitas di kalangan
aparat penegak hukum masih amat kurang. Maka negara-negara pihak
harus segera meningkatkan kesadaran seluruh masyarakat, memerango
praktik-praktik yang membahayakan bagi penyandang cacat dan
memajukan
kesadaran
akan
kapabilitas
dan
kontribusi
bagi
penyandang cacat dengan tujuan untuk peningkatan kesadaran dan
penghormatan terhadap hak-hak penyandang cacat.
64
5. Aksesibilitas (Accessibility);
Negara-negara pihak harus menjaminkan akses penyandang
cacat
terhadap
lingkungan
fisik,
transportasi,
informasi
dan
komunikasi termasuk teknologi dan sistem informasi dan komunikasi,
serta fasilitas dan pelayanan lainnya yang terbuka atau tersedianya
layanan publik baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan atas dasar
kesetaraan dengan orang-orang lainnya. Maka negara pihak harus
membangun,
memajukan serta
menyediakan aksesibiltas
yang
memadai kemudahan kehidupan penyandang cacat.
6. Hak hidup (Right to life);
Setiap orang memiliki hak hidup yang melekat pada dirinya
dan berhak memperoleh penikmatan yang efektif.
7. Situasi-situasi beresiko dan darurat kemanusiaan (Situations of risk
and humanitarian emergencies);
Penjaminan terhadap penyandang cacat yang harus dilakukan
oleh negara-negara pihak dalam hal memberikan perlindungan dan
keamanan sesuai dengan kewajiban mereka dalam melindungi warga
negaranya.
8. Pengakuan yang setara di hadapan hukum (Equal recognition before
the law);
Penyandang cacat memiliki hak atas pengakuan di hadapan
hukum serta menikmati kapasitas legal dalam berbagai aspek
kehidupan, dalam hal ini negara pihak harus menyediakan akses
65
terhadap dukungan yang dibutuhkan oleh penyandang cacat dan
menyediakan jaminan yang layak dan efektif untuk mencegah adanya
pelanggaran hak asasi manusia internasional.
9. Akses atas peradilan (Access to justice);
Negara-negara pihak harus menjaminkan adanya akses efektif
bagi penyandang cacat, termasuk melalui akomodasi yang prosedural
yang sesuai dengan usia atau juga sebagai saksi-saksi dalam proses
peradilan termasuk ditingkat penyelidikan atau tingkat lainnya. Akses
keadilan terhadap penyandang cacat bahwa negara-negara perlu
memastikan agar penyandang disabilitas memiliki akses yang sama
terhadap sistem keadilan seperti orang-orang lainnya. Bila diperlukan,
negara-negara perlu mengubah cara-cara dilakukannya sesuatu untuk
memungkinkan penyandang disabilitas mengambil bagian di segala
tahap proses beracara secara hukum. Negara-negara juga harus
mendorong pelatihan bagi orang-orang yang bekerja dalam sistem
keadilan,
seperti
misalnya
hakim,
polisi,
dan
staf
lembaga
pemasyarakatan.
10. Kebebasan dan keamanan seseorang (Liberty and security of the
person);
Negara-negara pihak harus menjaminkan kebebasan bagi
penyandang cacat dalam menikmati hak atas kebebasan dan keamanan
seseorang dan keamanan untuk tidak adanya perampasan hak secara
sewenang-wenang.
66
11. Kebebasan dari penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat (Freedom from
torture or cruel, inhuman or degrading treatment or punishment);
Negara-negara pihak harus menjamin untuk mencegah oragorang penyandang cacat menjadi subjek penyiksaan, perlakuan atau
penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabatnya.
12. Kebebasan dari eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan (Freedom
from exploitation, violence and abuse);
Negara-negara pihak harus melindungi, mencegah dan
menempatkan peraturan penyandang cacat dari segala bentuk
eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan serta mengambil langkah
dalam pemulihan fisik, kognitif, psikologis, rehabilitasi dan reintegrasi
sosial penyandang cacat yang menjadi korban.
13. Perlindungan terhadap integritas seseorang (Protecting the integrity of
the person);
Setiap penyandang cacat memiliki hak atas penghormatan
terhadap integritas fisik dan mentalnya.
14. Kebebasan bergerak dan kebangsaan (Liberty of movement and
nationality);
Negara-negara pihak menjamin para penyandang cacat
memiliki hak untuk bebas segala sesuatu yang berkaitan dengan hak
67
kebangsaannya. Begitu pula dengan anak-anak penyandang cacat,
mereka juga mempunyai hak untuk mendapatkan kebangsaannya.
15. Hidup
mandiri
dan
keterlibatan
dalam
masyarakat
(Living
independently and being included in the community);
Negara-negara pihak menjamin bagi penyandang cacat untuk
berhak hidup didalam masyarakat dan menyediakan akses pelayanan
dan fasilitas umum di masyarakat yang memadai untuk mendukung
aktfitas penyandang cacat.
16. Mobilitas personal (Personal mobility);
Negara-negara pihak menjamin untuk memfasilitasi dan
menyediakan akses dan alat bantu guna mendukung mobilitas personal
penyandang cacat serta mendorong untuk adanya produksi alat bantu
mobilitas, peralatan dan teknologi pendukung mobilitas tersebut..
17. Kebebasan berekspresi dan berpendapat serta akses terhadap informasi
(Freedom of expression and opinion, and access to information);
Negara-negara pihak menjamin penyandang cacat untuk dapat
melaksanakan
haknya
secara
bebas
dalam
berekspresi
dan
berpendapat, termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan
memberikan informasi atau ide-ide. Negara-negara perlu mengambil
langkah-langkah yang layak untuk memastikan agar penyandang
disabilitas berhak menyuarakan apa yang mereka pikirkan dan
mengagihkan gagasan-gagasan mereka seperti yang dilakukan orangorang lainnya. Hal ini termasuk kebebasan untuk meminta,
68
mendapatkan, dan mengagihkan informasi dan gagasan melalui
penggunaan bahaa isyarat, aksara Braille, materi cetak berukuran besar
atau jenis-jenis komunikasi lainnya.
18. Penghormatan terhadap privasi (Respect for privacy);
Negara-negara pihak harus melindungi privasi atas informasi
personal, kesehatan dan rehabilitasi orang-orang penyandang cacat.
19. Penghormatan terhadap rumah dan keluarga (Respect for and the
family);
Negara pihak harus menghapuskan diskriminasi terhadap
penyandang cacat di semua bidang yang berkaitan dengan perkawinan,
keluarga, status orang tua, dan hubungan personal. Negara menjamin
hak dan tanggung jawab penyandang cacat dalam melaksanakan
tanggung jawab merawat anak-anak mereka. Negara-negara pihak juga
menjaminkan anak-anak penyandang cacat juga berhak atas haknya
yang setara pada kehidupan keluarganya, seorang anak tidak boleh
dipisahkan dari orang tuanya tanpa ijin dari orang tuanya, maka negara
pihak harus menyediakan informasi, pelayanan dan dukungan bagi
anak penyandang cacat. Bagi keluarga yang tidak mampu untuk
merawatnya maka negara harus melakukan segala upaya untuk
menyediakan perawatan alternatif bagi anak penyandang cacat.
20. Pendidikan (Education);
Suatu sistem pendidikan yang influsif di semua tingkatan dan
pembelajaran jangka panjang, agar dapat mengembangkan potensi
69
manusia sepenuhnya,pengembangan personalitas, bakat dan kreatifitas
serta memampukan penyandang cacat untuk berpartisipasi aktif dalam
kehidupan masyarakat. Maka negara pihak harus menjaminkan
penyandang cacat harus dimasukkan dalam sistem pendidikan umum
atas dasar kecacatan, bagi anak penyandang cacat dapat mengakses
pendidikan dasar dengan gratis serta tersedianya sarana-sarana yang
mendukung.
21. Kesehatan (health);
Dalam upaya menjamin akses pelayanan kesehatan yang
memadai bagi penyandang cacat, maka negara-negara pihak harus
menjamin untuk menyediakan pelayanan dan program-program yang
layak, berkualitas dan bebas biaya serta menyediakan tenaga ahli yang
profesional untuk memberikan perawatan kepada penyandang cacat,
dan juga melarang atau mencegah adanya diskriminasi pada pelayanan
kesehatan apapun bagi penyandag cacat.
22. Habilitasi dan rehabilitasi (Habilitation and rehabilitation);
Dalam mencapai dan mempertahankan kemandirian yang
semaksimal mungkin di berbagai aspek kehidupan, negara-negara
pihak harus mengorganisir, memperkuat, dan memperluas pelayanan
dan program-program habilitasi dan rehabilitasi yang komprehensif
khususnya di bidang kesehatan, pekerjaan, pendidikan, dan pelayanan
sosial.
70
23. Pekerjaan (work and employment);
Negara-negara pihak harus menjamin dan memajukan
perwujudan hak atas pekerjaan, termasuk mereka yang mengalami
kecacatan pada saat melaksanakan pekerjaannya. Negara pihak harus
menjamin untuk adanya pelarangan diskriminasi dalam segala hal yang
berkaitan dengan pekerjaan, melindungi hak-hak penyandang cacat
atas kondisi kerja yang adil dan menyenangkan, menjamin bahwa para
penyandang cacat juga mampu melaksanakan hak-hak ketenagakerjaan
dan serikat buruh, memampukan penyandang cacat untuk mendapatkan
akses efektif atas program-program panduan teknis dan kejuruan
umum, memajukan atas kesempatan pekerjaan dan pengembangan
karier bagi penyandang cacat, mempekerjakan penyandang cacat di
sektor publik maupun swasta, menjaminkan adanya akomodasi yang
layak, memajukan akuisisi pengalaman kerja, rehabilitasi kejuruan dan
profesional. Negara pihak juga harus menjamin adanya pelarangan dan
perlindungan bagi penyandang cacat yang diperbudak, kerja paksa atau
kerja wajib.
24. Standar kehidupan yang layak dan jaminan sosial (Adequate standard
of living and social protection);
Negara-negara
pihak
harus
menjamin
akses
terhadap
pelayanan, peralatan dan bantuan lainnyayang layak dan terjangkau
untuk kebutuhan yang berkaitan dengan kecacatan, khususnya bagi
71
perempuan dan anak-anak penyandang cacatserta orang-orang tua
penyandang cacat diberikan program jaminan sosial dan program
pengentasan kemiskinan.
25. Partisipasi dalam kehidupan politik dan publik (Participation in
political and public life);
Pada kehidupan politik, Negara-negara pihak harus menjamin
bahwa penyandang cacat dapat berpartisipasi dalam kehidupan
politikdan publik secara penuh dan efektif, baik secara langsung
maupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas, termasuk hak
dan kesempatan bagi penyandang cacat untuk memilih dan dipilih.
Pada kehidupan publik, negara-negara pihak menjamin untuk
memajukan secara aktif lingkungan dimana penyandang cacat dapat
berpartisipasi penuh dan efektif dalam persoalan-persoalan publik.
26. Partisipasi dalam kehidupan budaya, rekreasi, waktu luang dan olah
raga (Participation in cultural life, recreation, leisure and sport).
Negara-negara pihak menjamin bagi penyandang cacat untuk
menikmati akses terhadap segala kehidupan dan pelayanan budaya
serta berhak untuk mendapatkan pengakuan terhadap budaya spesifik
serta identitas bahasa mereka, termasuk bahasa isyarat dan budaya tuna
rungu. Negara-negara pihak juga menjamin bahwa penyandang cacat
memiliki kesempatan yang sama dalam hal akses terhadap olah raga,
rekreasi dan turisme. Akses yang sama ada pada anak-anak
penyandang cacatuntuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan
72
permainan, rekreasi, dan waktu luang, serta olah raga, termasuk
kegiatan dalam sistem sekolah.
Selain itu juga terdapat pengaturan didalam Optional Protocol to
the Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Protokol
Opsional Konvensi Hak Penyandang Cacat) yang dibuat pada bulan Mei
2008, yang memungkinkan perorangan atau kelompok yang merasa hakhaknya dilanggar untuk melakukan pengaduan dengan mekanisme
internasional.
Terdapat 18 pasal dalam protokol opsional yang telah disepakati
oleh negara-negara pihak. Pada saat ini protokol opsional konvensi ini
telah ditandatangani oleh 90 negara dan telah diratifikasi oleh 63 negara.
Protokol opsional ini tidak memberikan hak tambahan pada negaranegara yang telah mengakui, menandatangani dan/atau meratifikasi
konvensi
penyandang
cacat.
Sebaliknya,
protokol
opsional
ini
menetapkan prosedur untuk memperkuat dan melengkapi konvensi hak
penyandang cacat dalam mengimplementasikannya di setiap negara.
Prosedur-prosedur tersebut yaitu:
a. Prosedur komunikasi (a communication procedure)
Prosedur komunikasi memungkinkan untuk pengaduan
individu yang akan diajukan kepada komite dengan tuduhan
bahwa pihak negara telah melakukan pelanggaran kewajiban
dalam melaksanakan konvensi penyandang cacat, dimana
pengadu telah habis masa pemulihan domestik yang tersedia.
73
b. Prosedur penyelidikan (an inquiry procedure)
Prosedur
penyelidikan
memungkinkan
komite
melakukan untuk memulai penyelidikan sendiri dimana ada
informasi bahwa ada negara pihak yang telah terlibat melakukan
pelanggaran berat atau sistematika dari konvensi penyandang
cacat tersebut.68
2. Penerapan Convention on the Rights of Persons with Disabilities 2006
dalam Pemenuhan Hak-hak Penyandang Cacat di Indonesia
Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional dalam
kehidupan masyarakat
internasional,
ada
interaksi antara hukum
internasional dan hukum nasional. Negara dalam hidup bermasyarakat
membentuk hukum internasional, sedangkan masing-masing negara
memiliki hukum nasional. Perjanjian yang di buat oleh negara masuk
dalam
ruang
lingkup
hukum
internasional,
tetapi
untuk
mengimplementasikan hukum internasional memerlukan perundangundangan nasional.
Ratifikasi atau pengesahan suatu perjanjian internasional adalah
tahap yang paling penting dalam treaty making process. Pada tahap itulah
negara memberikan persetujuannya untuk diikat secara definitif. Ratifikasi
juga berarti menyerahkan sedikit kedaulatan negara kepada suatu
68
http://www.disabilityrightsnow.org.au, diakses pada tanggal 10 Januari 2012.
74
perjanjian internasional. Proses ratifikasi bukanlah suatu hal yang mudah
karena menyangkut berbagai aspek kehidupan bangsa.69
Secara teori, ratifikasi merupakan persetujuan kepala negara atau
pemerintah atas penandatanganan perjanjian internasional yang dilakukan
oleh kuasa penuhnya yang di tunjuk sebagaimana mestinya. Dalam praktik
modern, ratifikasi mempunyai arti lebih daripada sekadar tindakan
konfirmasi. Ratifikasi dianggap sebagai penyampaian pernyataan formal
oleh suatu negara mengenai persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian
internasional.
a). Pengaturan Hak Penyandang Cacat di Indonesia Sebelum Ratifikasi
Convention on the Rights of Persons with Disabilities 2006
Indonesia telah meratifikasi Konfensi Hak Penyandang Cacat /
CRPD pada tanggal 18 Oktober 2011. Sebelum meratifikasi konfensi
tersebut, Indonesia dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan
dan memenuhi hak-hak penyandang cacat, Pemerintah Indonesia telah
membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur
perlindungan terhadap penyandang cacat. Berbagai peraturan perundangundangan tersebut antara lain:
a. Undang-undang Dasar 1945
Pasal 28A UUDNRI Tahun 1945 menjadi landasan konstitusional bagi
perlindungan hak-hak penyandang cacat.
Pasal 28A berbunyi:
69
Boer Mauna, Op., Cit, Hlm 186.
75
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya”.
Sama dengan Pasal 28A UUDNRI Tahun 1945, pengaturan hak asasi
manusia dalam hal untuk mendapatkan pengakuan, perlindungan, dan
kepastian hukum dapat ditemukan dalam Pasal 28D UUDNRI Tahun
1945.
Pasal 28D berbunyi:
2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum;
3) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
4) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintah;
5) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Penyandang cacat merupakan setiap orang yang memiliki hak
untuk mendapatkan perlakuan khusus dari negara. Hal ini diatur
didalam Pasal 28H ayat (2) UUDNRI Tahun 1945. Pasal ini
menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Pasal 27 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 juga memuat tentang
kesamaan derajat bagi setiap orang dalam hukum dan pemerintahan,
yang biasa dikenal dengan sebutan equality before the law. Pasal ini
menegaskan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
76
b. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak
Pasal-pasal yang berkaitan dengan penyandang cacat meliputi:
Pasal 1 ayat (9) berbunyi:
“Anak cacat adalah anak yang mengalami hambatan rohani
dan
atau
jasmani
sehingga
mengganggu
pertumbuhan
dan
perkembangannya dengan wajar.”
Pasal 7 berbunyi:
“Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk
mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas
kemampuan dan kesanggupan anak yang bersangkutan.”
Di samping anak-anak yang kesejahteraannya dapat terpenuhi
secara wajar,di dalam masyarakat terdapat pula anak-anak yang
mengalami hambatan rohani, jasmani, dan sosial ekonomi dan
memerlukan pelayanan secara-khusus, yaitu:
1) Anak-anak yang tidak mampu.
2) Anak-anak terlantar.
3) Anak-anak yang mengalami masalah kelakuan
4) Anak-anak yang cacat rohani dan atau jasmani.
c. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
UU No.4 tahun 1997 dan peraturan pelaksananya, Peraturan
Pemerintah No.43 tahun 1998 tentang Upaya-upaya Peningkatan
77
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat secara khusus memberikan
pengaturan terhadap penyandang disabilitas.
Definisi mengenai penyandang cacat di jelaskan dalam pasal 1 ayat
(1) yang berbunyi:
“Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan
fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya,
yang terdiri dari :
1) penyandang cacat fisik;
2) penyandang cacat mental;
3) penyandang cacat fisik dan mental.”
Mengenai hak dan kewajiban penyandang cacat dituangkan dalam
pasal 5 – 8 dalam undang-undang ini.
Pasal 5 berbunyi:
“Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang
sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.”
Pada pasal 6, setiap penyandang cacat berhak memperoleh :
1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan;
2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan
derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya;
3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan
menikmati hasil-hasilnya;
4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya;
5. Rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial; dan
6. Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat
anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
Pasal 7 ayat (1) berbunyi:
“Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
78
Pasal 8 berbunyi:
“Pemerintah dan/atau masyarakat
berkewajiban
mengupayakan
terwujudnya hak-hak penyandang cacat.”
Pada pasal 16 dijelaskan mengenai upaya yang harus dilakukan
oleh pemerintah bersama masyarakat dalam memberikan perlindungan
dan pemenuhan hak penyandang cacat. Pasal ini berbunyi:
Pemerintah dan/atau masyarakat menyelenggarakan upaya :
1. rehabilitasi;
2. bantuan sosial;
3. pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
Peraturan tentang perlakuan khusus bagi penyandang disabilitas
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, antara lain terdapat dalam pasal 41, 42 dan 54.
Pasal 41 berbunyi:
(1) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk
hidup layak serta untuk perkembangan priadinya secara utuh.
(2) Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan
anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.
Pasal 42 berbunyi:
“Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat
mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan
79
bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak
sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri,
dan
kemampuan
berpartisipasi
dalam
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa, dan bemegara.”
Pasal 54 berbunyi:
“Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh
perawatan, pendidikan, pelatihan. dan bantuan khusus atas biaya negara.
untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan,
meningkatkan diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat dan bemegara.”
e. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak
Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU ini
diatur didalam:
Pasal 1 ayat (7) berbunyi:
“Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami
hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan
perkembangannya secara wajar.”
Pasal 1 (15) berbunyi:
Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan
kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum,
anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan,
80
anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang
menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Pasal 9 berbunyi:
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi
anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan
luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga
berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 12 berbunyi:
“Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.”
Pasal 46 berbunyi:
“Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar
anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan
hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.”
Pasal 51 berbunyi:
“Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan
kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan
biasa dan pendidikan luar biasa.”
Pasal 59 berbunyi:
“Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi
darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
(napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak
korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang
cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”
81
Pasal 62 berbunyi:
“Perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban bencana,
dan anak dalam situasi konflik bersenjata sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 huruf b, huruf c, dan huruf d, dilaksanakan melalui:
a. Pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang,
pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan
keamanan, dan persamaan perlakuan; dan
b. Pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan
anak yang mengalami gangguan psikososial.”
f. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU ini
diatur didalam:
Pasal 27 berbunyi:
Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan
gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tersedianya
fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman termasuk
bagi penyandang cacat dan lanjut usia.
Pasal 31 berbunyi:
1) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan
lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2)
merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali
rumah tinggal.
2) Fasilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), termasuk penyediaan fasilitas
aksesibilitas dan fasilitas lainnya dalam bangunan gedung dan
lingkungannya.
3) Ketentuan mengenai penyediaan aksesibilitas bagi penyandang
cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
g. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
82
Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU
ini diatur didalam:
Pasal 5 berbunyi:
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan
jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat
dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan
yang sama terhadap para penyandang cacat.
Pasal 19 berbunyi:
Pelatihan
kerja
bagi
tenaga
kerja
penyandang
cacat
dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan
kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan.
Pasal 67 berbunyi:
1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat
wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatannya.
2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 67 Ayat (1) berbunyi:
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat
ini misalnya
penyediaan aksesibilitas, pemberian alat kerja, dan alat pelindung diri
yang disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatannya.
Pasal 153 berbunyi:
83
1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan
alasan pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat
kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut
surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya
belum dapat dipastikan.
2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan
pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang
bersangkutan.
h. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional
Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU
ini diatur didalam:
Pasal 5 berbunyi:
1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu.
2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus.
Pasal 32 berbunyi:
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
84
i. Undang-undang
Nomor
3
Tahun
2005
tentang
Sistem
Keolahragaan Nasional
Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU
ini diatur didalam:
Pasal 1 Ayat (16) berbunyi:
Olahraga penyandang cacat adalah olahraga yang khusus
dilakukan sesuai dengan kondisi kelainan fisik dan/atau mental
seseorang.
Pasal 30 berbunyi:
1) Pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang cacat
dilaksanakan dan diarahkan untuk meningkatkan kesehatan, rasa
percaya diri, dan prestasi olahraga.
2) Pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang cacat
dilaksanakan oleh organisasi olahraga penyandang cacat yang
bersangkutan melalui kegiatan penataran dan pelatihan serta
kompetisi yang berjenjang dan berkelanjutan pada tingkat daerah,
nasional, dan internasional.
3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau organisasi olahraga
penyandang cacat yang ada dalam masyarakat berkewajiban
membentuk sentra pembinaan dan pengembangan olahraga
khusus penyandang cacat.
4) Pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang cacat
diselenggarakan pada lingkup olahraga pendidikan, olahraga
rekreasi, dan olahraga prestasi berdasarkan jenis olahraga khusus
bagi penyandang cacat yang sesuai dengan kondisi kelainan fisik
dan/atau mental seseorang.
Pasal 56 berbunyi:
1) Olahragawan penyandang cacat melaksanakan kegiatan olahraga
khusus bagi penyandang cacat.
2) Setiap olahragawan penyandang cacat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berhak untuk:
85
1. Meningkatkan prestasi melalui klub dan/atau perkumpulan
olahraga penyandang cacat;
2. Mendapatkan pembinaan cabang olahraga sesuai dengan
kondisi kelainan fisik dan/atau mental; dan
3. Mengikuti kejuaraan olahraga penyandang cacat yang bersifat
daerah, nasional, dan internasional setelah melalui seleksi
dan/atau kompetisi.
j. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU
ini diatur didalam:
Pasal 54 Ayat (1) berbunyi:
Stasiun kereta api untuk keperluan naik turun penumpang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf a paling rendah
dilengkapi dengan fasilitas:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
keselamatan;
keamanan;
kenyamanan;
naik turun penumpang;
penyandang cacat;
kesehatan; dan
fasilitas umum.
Pasal 131 Ayat (1) berbunyi:
Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib memberikan
fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil,
anak di bawah lima tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia.
k. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU
ini diatur didalam:
86
Pasal 42 berbunyi:
(1) Perusahaan angkutan di perairan wajib memberikan fasilitas
khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil,
anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang
lanjut usia.
(2) Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya tambahan.
l. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU
ini diatur didalam:
Pasal 134 berbunyi:
(1) Penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak di bawah usia 12 (dua
belas) tahun, dan/atau orang sakit berhak memperoleh pelayanan
berupa perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha angkutan
udara niaga.
(2) Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
1. Pemberian prioritas tambahan tempat duduk;
2. Penyediaan fasilitas kemudahan untuk naik ke dan turun dari
pesawat udara;
3. Penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama berada di
pesawat udara;
4. Sarana bantu bagi orang sakit;
5. Penyediaan fasilitas untuk anak-anak selama berada di
pesawat udara;
6. Tersedianya personel yang dapat berkomunikasi dengan
penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit;
dan
7. Tersedianya buku petunjuk tentang keselamatan dan keamanan
penerbangan bagi penumpang pesawat udara dan sarana lain
yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, lanjut usia, dan
orang sakit.
87
(3) Pemberian perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak dipungut biaya tambahan.
Pasal 239 berbunyi:
(1) Penyandang cacat, orang sakit, lanjut usia, dan anak-anak berhak
memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus
dari badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar
udara.
(2) Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
1. pemberian prioritas pelayanan di terminal;
2. menyediakan fasilitas untuk penyandang cacat selama di
terminal;
3. sarana bantu bagi orang sakit;
4. menyediakan fasilitas untuk ibu merawat bayi (nursery);
5. tersedianya personel yang khusus bertugas untuk melayani
atau berkomunikasi dengan penyandang cacat, orang sakit, dan
lanjut usia; serta
6. tersedianya informasi atau petunjuk tentang keselamatan
bangunan bagi penumpang di terminal dan sarana lain yang
dapat dimengerti oleh penyandang cacat, orang sakit, dan
lanjut usia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa perlakuan
dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan Menteri.
m. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial
Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU
ini diatur didalam:
Pasal 5 Ayat (2) berbunyi:
88
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan
yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah
sosial:
a. kemiskinan;
b. ketelantaran;
c. kecacatan;
d. keterpencilan;
e. ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku;
f. korban bencana; dan/atau
g. korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Pasal 7 Ayat (1) berbunyi:
Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan
mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi
sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.
Pasal 9 Ayat (1) berbunyi:
Jaminan sosial dimaksudkan untuk:
Menjamin fakir miskin, anak yatim piatu terlantar, lanjut usia
terlantar, penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental,
eks
penderita
penyakit
kronis
yang
mengalami
masalah
ketidakmampuan sosial-ekonomi agar kebutuhan dasarnya terpenuhi.
n. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan
Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib
dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:
1. Rambu Lalu Lintas;
89
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Marka Jalan;
Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
alat penerangan Jalan;
alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan;
alat pengawasan dan pengamanan Jalan;
fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat;
dan
8. fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan.
Pasal 45 Ayat (1) berbunyi:
Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan meliputi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Trotoar;
Mobil;
Lajur sepeda;
Tempat penyeberangan Pejalan Kaki;
Halte; dan/atau
Fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia
lanjut.
Pasal 93 Ayat (1) berbunyi:
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan untuk
mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas
dalam rangka menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan
Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Salah satunya dengan
memperhatikan pemberian kemudahan bagi penyandang cacat;
Pasal 242 berbunyi:
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perusahaan Angkutan
Umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia
lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit.
90
(2) Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
1. Aksesibilitas;
2. Prioritas pelayanan; dan
3. Fasilitas pelayanan.
Pasal 244 Ayat (1) berbunyi:
Perusahaan Angkutan Umum yang tidak memenuhi kewajiban
menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kepada penyandang
cacat, manusia usia lanjut, anakanak, wanita hamil, dan orang sakit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (1) dapat dikenai sanksi
administratif berupa:
1. peringatan tertulis;
2. denda administratif;
3. pembekuan izin; dan/atau
4. pencabutan izin.
o. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU
ini diatur didalam:
Pasal 29 Ayat (1) berbunyi:
Masyarakat tertentu merupakan kelompok rentan, antara lain
penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil, anak-anak, korban
91
bencana alam, dan korban bencana sosial. Perlakuan khusus kepada
masyarakat tertentu diberikan tanpa tambahan biaya.
p. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU
ini diatur didalam:
Pasal 139 berbunyi:
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan
untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial,
ekonomis, dan bermartabat.
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap
hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis.
Pasal 140 berbunyi:
Upaya
pemeliharaan
kesehatan
bagi
lanjut
usia
dan
penyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 dan Pasal
139 dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat.
q. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir
Miskin
Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU
ini diatur didalam:
Pasal 1 ayat (2) berbunyi:
Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu,
dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan
92
pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi
kebutuhan dasar setiap warga negara.
Pasal 2 berbunyi:
Penanganan fakir miskin berasaskan:
a. Kemanusiaan;
b. Keadilan sosial;
c. Nondiskriminasi;
d. Kesejahteraan;
e. Kesetiakawanan; dan
f. Kemberdayaan.
b). Pengaturan Hak Penyandang Cacat Setelah Ratifikasi
CRPD
Implementasi perjanjian pada peraturan perundangundangan
nasional
adalah
membuat
ketentuan-ketentuan
untuk
menampung apa yang diatur didalam perjanjian yang telah diterima. Tanpa
adanya perundang-undangan nasional yang menampung ketentuanketentuan yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian dimana Indonesia
telah menjadi pihak, perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan dan tidak ada
gunanya. Praktik yang dilakukan selama ini oleh Kementerian Luar Negeri
RI dalam rangka ratifikasi suatu perjanjian atau konvensi internasional
baik yang bersifat bilateral maupun yang bersifat multilateral adalah sesuai
dengan tugas pokok pemerintah di bidang politik dan hubungan luar
negeri, menurut pasal 2 Keppres No. 45 Tahun 1975.70
70
Ibid., Hlm 145.
93
Menurut Undang-Undang no. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, ratifikasi suatu perjanjian internasional yang berdampak
pada sosial, penganggaran dan politik perlu mendapat pengesahan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam bentuk undang-undang. Konvensi Hak-hak
Penyandang Cacat termasuk kategori tersebut.
Ratifikasi perjanjian ini oleh Indonesia membuatnya dijadikan
Undang-undang.71 Melalui pengesahan Konvensi ini pada tanggal 18
Oktober 2011, Indonesia memiliki kerangka hukum yang semakin
komprehensif dan kuat yang menjadi dasar bagi negara untuk semakin
menyejahterakan rakyatnya, khususnya para penyandang disabilitas yaitu
Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak
Penyandang Disabilitas.
RUU ini tetap bersifat peraturan nasional yang hak-haknya
mengadopsi dari hak-hak yang ada dalam konvensi hak penyandang cacat.
Didalamnya terdiri dari 46 pasal dan 17 bab yang lebih detail
pengaturannya dari UU No 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat
sebelumnya. RUU tersebut merupakan peraturan baru sebagai akibat
hukum dari meratifikasi sebuah konvensi.
Menurut pasal 1 dijelaskan bahwa penyandang disabilitas adalah
mereka yang mempunyai kelainan fisik, mental dan intelektual, atau
sensorik secara permanen yang dalam interaksinya dengan berbagai
71
Pasal 18 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 tentang Perjanjian Internasional.
94
hambatan dapat merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara
penuh dan efektif berdasarkan pada asas kesetaraan dengan orang lain.
Pada RUU ini hak-hak penyandang disabilitas dijabarkan secara
lebih mendetail. Pasal-pasal yang mengatur mengenai hak-hak penyandang
disabilitas terdapat dalam pasal 5 sampai dengan pasal 33, yang
ditengahnya terdapat pasal-pasal yang ditujukan pada pemerintah untuk
wajib menghormati,
melindungi dan memenuhi hak-hak penyandang
disabilitas.72
Hak-hak penyandang disabilitas tersebut terdiri dari:
a. Kesamaan kesempatan;
Negara menjamin bahwa penyandang disabilitas mempunyai
kesamaan kesempatan dalam
berbagai
bidang kehidupan dan
penghidupan.
b. Bebas dari penyiksaan;
Setiap penyandang disabilitas berhak untuk bebas dari
penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat.
c. Kebebasan bergerak dan berkebangsaan;
Pemerintah
mengakui
hak penyandang disabilitas atas
kebebasan bergerak, kebebasan untuk memiliki tempat tinggal dan
memiliki kebangsaan sendiri, atas dasar kesetaraan dengan orang-orang
lainnya.
72
Diatur dalam Bab III pada pasal 7 - 9 RUU tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak
Penyandang Disabilitas.
95
d. Standar kehidupan yang layak dan jaminan sosial;
Pemerintah menyediakan standar kehidupan yang layak bagi
penyandang disabilitas dan keluarga serta harus mengambil langkahlangkah yang layak untuk melindungi dan memajukan perwujudan ini
atas dasar kedisabilitasannya.
e. Partisipasi dalam kehidupan budaya, rekreasi, waktu luang dan
keolahragaan;
Pemerintah wajib memampukan penyandang disabilitas untuk
memiliki kesempatan mengembangkan dan menggunakan kreativitas,
potensi artistik dan intelektual mereka, tidak hanya bagi keuntungan
pribadi mereka tetapi juga bagi pengayaan masyarakat.
f. Hak atas aksesibilitas;
Pemerintah berkewajiban melakukan langkah-langkah yang
diperlukan untuk menjamin akses
penyandang disabilitas terhadap
lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi, termasuk
teknologi dan sistem informasi dan komunikasi, serta fasilitas dan
pelayanan lainnya yang terbuka atau sarana umum baik di daerah
perkotaan maupun pedesaan, atas dasar kesetaraan dimana dalamnya
harus termasuk identifikasi dan penghapusan semua hambatan terhadap
aksesibilitas.
g. Hak hidup;
Pemerintah menjamin dan melindungi hak hidup bagi setiap
penyandang disabilitas.
96
h. Kesamaan di hadapan hukum;
Pemerintah
menjamin
penyandang
disabilitas
memiliki
kesamaan hak dihadapan hukum. Setiap penyandang disabilitas berhak
untuk bertindak secara hukum baik untuk diri sendiri maupun berindak
di depan hukum untuk mewakili orang lain hal ini dikecualikan kepada
penyandang disabilitas dalam keadaan tertentu.
i.
Hak atas penghormatan terhadap privasi;
Pemerintah wajib melindungi privasi atas informasi personal,
kesehatan, dan rehabilitasi orang penyandang disabilitas atas dasar
kesetaraan dengan orang lain.
j.
Hak atas pendidikan,
Pemerintah wajib memenuhi hak penyandang disabilitas atas
pendidikan tanpa diskriminasi dan atas dasar kesetaraan kesempatan.
k. Hak atas kesehatan;
Pemerintah wajib memenuhi hak penyandang disabilitas atas
pelayanan kesehatan yang setinggi mungkin dapat dicapai tanpa
diskriminasi atas dasar kedisabilitasan.
l.
Hak atas pekerjaan
Pemerintah wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi
penyandang disabilitas, termasuk hak atas kesempatan untuk hidup
melalui pekerjaan yang dipilih secara bebas atau diterima di pasar
tenaga kerja serta lingkungan kerja yang terbuka, inklusif, dan dapat
diakses oleh orang-orang penyandang disabilitas.
97
m. Penghormatan terhadap rumah tangga dan keluarga;
Pemerintah mengakui hak penyandang disabilitas untuk
berkeluarga dan meneruskan keturunan.
n. Hak atas hidup mandiri dan berbaur ditengah masyarakat;
Pemerintah mengakui hak yang setara bagi penyandang
disabilitas untuk memilih hidup dalam masyarakat dan keterlibatannya
dalam komunitas, dan harus mengambil langkah-langkah yang efektif
dan layak dalam memfasilitasi penikmatan penuh penyandang
disabilitas.
o. Hak berpolitik;
Pemerintah menjamin dan melindungi hak penyandang disabilitas
memiliki kesamaan hak berpolitik baik didalam hak untuk memilih dan
hak untuk dipilih dalam pemilu.
p. Rehabilitasi dan habilitasi
Pemerintah wajib menyelenggarakan upaya rehabilitasi dan
hebalitasi penyandang disabilitas.
q. Perlindungan khusus terhadap hak-hak perempuan penyandang cacat;
Pemerintah menjamin pembangunan, pengembangan, dan
pemberdayaan penuh perempuan disabilitas dengan tujuan memberikan
jaminan bagi mereka dalam melaksanakan dan menikmati hak asasi
manusia dan kebebasan mendasar.
r. Anak-anak penyandang cacat;
98
Pemerintah berkewajiban untuk melakukan semua langkah
yang diperlukan dalam menjamin penikmatan hak asasi manusia dan
kebebasan mendasar anak disabilitas secara penuh atas dasar kesetaraan
dengan anak-anak lain.
s. Situasi berbahaya dan darurat.
Pemerintah
memberikan
prioritas
dalam
perlindungan
dan
penyelamatan penyandang disabilitas dalam situasi berisiko, situasi
konflik bersenjata, darurat kemanusiaan dan bencana alam.
Pada RUU tersebut pemerintah juga mengikutsertakan warga
masyarakat
untuk
berpartisipasi
dalam
usaha
memajukan
dan
penghormatan terhadap penyandang disabilitas. Hal ini diatur dalam pasal
35 tentang partisipasi masyarakat. Pasal 35 berbunyi:
(1). Pemerintah menjamin keterlibatan masyarakat dalam usaha pemajuan
dan penghormatan terhadap penyandang disabilitas;
(2) Pemerintah memberikan penghargaan kepada masyarakat atas
usahanya terlibat dalam usaha pemajuan dan penghormatan terhadap
penyandang disabilitas.
B. PEMBAHASAN
1. Pengaturan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Cacat berdasarkan
Convention on the Rights of Persons with Disabilities Tahun 2006
Konvensi dibentuk dengan adanya beberapa fakta yang terjadi
mengenai penyandang cacat, bahwa The World Health Organization
99
WHO)/Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan sekitar 15% dari
populasi dunia (7 miliar orang) hidup dengan beberapa bentuk
keterbatasan fisik, dimana 2-4% diantaranya mengalami kesulitan dalam
melakukan kegiatannya sehari-hari. Perkiraan jumlah penyandang
disabilitas di seluruh dunia ini meningkat karena menuanya populasi dunia
dan penyebaran penyakit kronis yang cukup cepat, serta peningkatan
dalam
metodologi
yang
digunakan
untuk
mengukur
derajat
ketidakmampuan fisik. Kehidupan sehari-hari sekitar 25 persen dari
populasi dunia dipengaruhi oleh keterbatasan fisik yang dimilikinya.
Meskipun banyak diantara mereka bekerja dan berhasil serta berbaur
dengan baik dengan masyarakat, dan sebagai kelompok, para penyandang
disabilitas seringkali menghadapi kemiskinan dan pengangguran yang
cukup besar jumlahnya. Menurut PBB, delapan puluh persen dari
penyandang disabilitas hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar
dari mereka tinggal di daerah pedesaan dimana akses terhadap pelayanan
sangat terbatas.73
Terbentuknya CRPD oleh PBB banyak dipengaruhi oleh beberapa
intrument internasional yang telah berlaku sebelumnya, antara lain :
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948, Peraturan Standar
PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat Tahun
1993, UNESCO Tahun 1960 Konvensi Menentang Diskriminasi dalam
Dunia Pendidikan, Konvensi Hak Anak Tahun 1989, Deklarasi Dunia
73
Mempromosikan Pekerjaan Layak Bagi Semua Orang:Membuka Kesempatan pelatihan dan
Kerja bagi Penyandang Disabilita, ILO, Reader Kit, www.ilo.org, diakses pada tanggal 5 Januari
2011.
100
tentang Pendidikan untuk Semua Tahun 1990 serta Stavanger Tahun 2004
Menuju Kewarganegaraan yang Penuh.74
Usaha-usaha menuju pemenuhan hak-hak asasi manusia yang
menyandang kecacatan yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) sudah dimulai sejak tahun 1971, dimana diadopsinya “Deklarasi
tentang Hak-hak Penyandang Cacat Mental Retardasi” (Declaration on the
Rights of Mentally Retarded Persons) yang berbicara tentang peningkatan
kehidupan komunitas penyandang cacat mental retardasi. Kemudian pada
tahun 2001, pada konferensi Durban di bulan September Meksiko
menegosiasikan kembali secara formal akan kebutuhan Konvensi, yang
ditindak lanjuti pada sidang umum PBB di bulan Desember, dikeluarkan
Resolusi No. 56/168 untuk pembentukan Ad Hoc Committee dengan
mandat
”...mempertimbangkan
usulan
sebuah
Konvensi
yang
komprehensif dan integral dalam rangka meningkatkan dan melindungi
Hak dan Martabat Penyandang cacat berdasarkan pendekatan secara
holistic dari pekerjaan yang telah dilakukan pada lingkup pengembangan
sosial, hak asasi manusia, dan non diskriminasi dengan memperhatikan
rekomendasi dari Komisi HAM, dan Komisi Pengembangan Sosial” dalam
Pedoman pembentukan komitte sejak awal sudah tergambar keterlibatan
seluruh pihak pemangku kepentingan yang relevan termasuk negara
anggota PBB, Peninjau PBB, Badan dan organisasi PBB terkait, Special
74
Serafina Shinta Dewi, Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Penyandang Cacat (The
Convention on The Rights of Persons with Disabilities ), http://www.kumham-jogja.info,
diakses pada tanggal 5 Januari 2012.
101
Raporteur untuk kecacatan, para lembaga HAM tingkat nasional,
organisasi non pemerintah termasuk organisasi kecacatan yang duduk
dalam satu suara yang dinamakan International Disability Caucus (IDC).75
Konvensi diadopsi Majelis Umum PBB pada tanggal 13 Desember
2006. Konvensi terdiri dari 50 pasal dan Optional Protocol Konvensi
Hak Penyandang Cacat. Konvensi memuat hak-hak sosial, ekonomi,
budaya, politik dan sipil secara komprehensif. Konvensi Hak-Hak
Penyandang Cacat menandai adanya perubahan besar dalam melihat
permasalahan kelompok masyarakat yang mengalami kerusakan atau
gangguan fungsional dari fisik, mental atau intelektual dan termasuk juga
mereka yang mengalami gangguan indera atau sensorik dalam kehidupan
sehari-hari
yang
berinteraksi
dengan
masyarakat
sekitar
dan
lingkungannya.
Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Cacat terbentuk
berdasarkan pada pertimbangan sebagaimana telah dinyatakan dalam
prinsip-prinsip Piagam PBB yang mengakui martabat dan harkat yang
melekat dan hak-hak yang setara dan tidak dapat dicabut dari semua
anggota umat manusia sebagai dasar dari kebebasan, keadilan dan
perdamaian di dunia. Dalam konvensi ini, PBB menegaskan kembali
tentang makna universalitas, sifat tidak terbagi-bagi, kesalingtergantungan
dan kesalingterkaitan antara semua hak asasi manusia dan kebebasan
mendasar dan kebutuhan orang-orang penyandang cacat untuk dijamin
75
PPCI, Sejarah Penyandang Cacat Menuju Hak-haknya di PBB, www.inklusi.com, diakses pada
5 November 2011.
102
sepenuhnya penikmatan atas hak asasi manusia dan kebebasan mendasar
tersebut tanpa diskriminasi.76
Konvensi Penyandang Cacat mengakui pentingnya prinsip-prinsip
dan panduan-panduan kebijakan yang termuat dalam Program Aksi Dunia
tentang Penyandang Cacat dan dalam Peraturan Standar tentang
Penyetaraan Kesempatan bagi Penyandang Cacat yang mempengaruhi
pemajuan, pembentukan dan evaluasi kebijakan, perencanaan, programprogram dan aksi-aksi di tingkat nasional, regional dan internasional demi
memajukan penyetaraan kesempatan bagi penyandang cacat. Di dalam
pengaturannya, Konvensi menekankan pentingnya persoalan-persoalan
penyandang cacat sebagai bagian yang integral dalam strategi-strategi
pembangunan berkelanjutan dan mengakui bahwa diskriminasi terhadap
setiap orang atas dasar kecacatan adalah pelanggaran terhadap martabat
yang melekat dan harga diri setiap manusia. Konvensi Penyandang Cacat
juga mengakui pentingnya aksesibilitas terhadap lingkungan fisik, sosial,
ekonomi dan budaya terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan serta
terhadap informasi dan komunikasi untuk memampukan orang-orang
penyandang cacat agar dapat menikmati semua hak asasi manusia dan
kebebasan mendasar.77
Kelebihan kovensi penyandang cacat ini penting karena meskipun
seluruh konvensi yang berkaitan dengan HAM dapat digunakan untuk
penyandang cacat, namun tidak satupun yang menyebutkan penyandang
76
77
Serafina Shinta Dewi, Loc., Cit.
Lihat pasal 3 Konvensi Hak Penyandang Cacat / CRPD 2006.
103
cacat secara eksplisit. Oleh karena itu Konvensi Penyandang Cacat
merupakan instrument hukum pertama yang mengikat dan berisi
perlindungan yang komprehensif terhadap hak-hak penyandang cacat.
Konvensi ini meminta pemerintah dari seluruh dunia menghormati
dan menjunjung hak-hak penyandang cacat, terutama melalui UU yang
mereka kembangkan ditingkat nasional. Namun demikian agar para
penyandang cacat dapat menikmati hak-hak mereka secara penuh konvensi
itu harus dihormati dan dipromosikan oleh semua anggota masyarakat,
salah satunya dengan melalui upaya ratifikasi yang dilakukan oleh negara.
Ratifikasi adalah pengesahan sebuah konvensi menjadi undangundang maka sesuai dengan UU No.24 Tahun 2000 tentang perjanjian
internasional, maka sebuah konvensi akan menjadi hukum nasional
apabila telah diratifikasi. Pada saat itulah secara internasional, negara yang
meratifikasi konvensi akan disebut sebagai negara pihak.
Implikasinya, setelah konvensi diratifikasi, Pemerintah akan
mereformasi peraturan perundangan yang ada sehingga sesuai dengan
kewajiban yang diamanahkan dalam Konvensi.
Pada pasal 1 konvensi ini disebutkan tentang tujuan.78 Dijelaskan
dalam pasal tersebut ‘Penyandang Disabilitas’ termasuk orang-orang yang
memiliki kelainan (impairment) fisik, mental, intelektual, atau sensoris
jangka panjang yang dapat menghambat mereka melakukan sesuatu atau
78
Tujuannya adalah untuk memajukan, melindungi, dan menjamin penikmatan semua hak asasi
manusia dan kebebasan mendasar secara penuh dan setara oleh semua orang penyandang cacat,
dan untuk memajukan penghormatan atas martabat yang melekat pada diri mereka.
104
menagihkan sesuatu di masyarakat dengan cara yang sama seperti yang
dilakukan oleh orang-orang lainnya.
Penyandang disabilitas termasuk orang-orang yang memiliki
kelainan (impairment) fisik, mental, intelektual, atau sensoris jangka
panjang yang dalam interaksinya dengan berbagai penghalang dapat
menghambat partisipasi mereka secara penuh dan efektif dalam
masyarakat atas dasar kesetaraan dengan orang-orang lainnya.’ Dari
perspektif ini, partisipasi penyandang disabilitas di masyarakat baik dalam
bentuk bekerja, bersekolah, mendatangi dokter, atau mencalonkan diri
dalam pemilu menjadi terbatas atau terpinggirkan bukan karena kelainan
yang mereka miliki, namun karena berbagai halangan, yang bisa berupa
halangan fisik, namun juga dalam beberapa hal bisa berupa peraturan dan
kebijakan.
Konvensi tidak melarang penggunaan definisi di peraturan
nasional, dan, pada kenyataannya, definisi bisa menjadi bagian penting di
beberapa sektor, seperti misalnya ketenagakerjaan atau jaminan sosial.
Akan tetapi penting bahwa agar definisi tersebut mencerminkan model
sosial terhadap disabilitas seperti yang tercantum dalam Konvensi, dan
perlunya merevisi definisi yang didasarkan pada daftar atau uraian
kelainan atau keterbatasan fungsi.79
Jika dilihat dari tujuan dan penjelasan mengenai penyandang cacat
yang dicantumkan di CRPD, maka konvensi tersebut telah sesuai dengan
79
Nicola Colbran, Op., Cit. Hlm 43.
105
konsep HAM yang telah ada. HAM didasarkan pada prinsip bahwa setiap
orang dilahirkan setara dalam harkat dan hak-haknya. Semua HAM sama
pentingnya dan mereka tidak dapat dicabut dalam keadaan apapun.
Kesetaraan adalah prinsip dasar lainnya dari HAM. Kesetaraan
memastikan bahwa semua orang dilahirkan bebas dan setara. Kesetaraan
memastikan bahwa semua individu memiliki hak yang sama dan layak
menerima tingkat penghormatan yang sama. Nondiskriminasi adalah
bagian yang tak terpisahkan dari kesetaraan. Nondiskriminasi memastikan
bahwa tak seorangpun ditolak hak asasinya karena faktor seperti usia, etnis
asal, jenis kelamin, dan sebagainya.
2. Penerapan Convention on the Rights of Persons with Disabilities2006
dalam Pemenuhan Hak-hak Penyandang Cacat di Indonesia
Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan
fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan
dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya.
Penyandang cacat terdiri dari tiga kelompok, yaitu:
a) Penyandang cacat fisik, meliputi:
a. Penyandang cacat tubuh (tuna daksa);
b. Penyandang cacat netra (tuna netra);
c. Penyandang cacat tuna wicara/rungu;
d. Penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis (tuna
daksa lara kronis);
106
b) Penyandang cacat mental, meliputi :
a. Penyandang cacat mental (tuna grahita);
b. Penyandang cacat eks prikotis (tuna laras);
c) Penyandang cacat fisik dan mental atau cacat ganda;
Upaya
untuk
memberikan
perlindungan
hukum
terhadap
kedudukan, hak, kewajiban dan peran para penyandang cacat, disamping
dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,
juga telah dilakukan melalui berbagai peraturan perundang-undangan,
antara lain peraturan yang mengatur masalah ketenagakerjaan, pendidikan
nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan,
perkeretaapian, pelayaran, penerbangan dan lainnya yang telah disebutkan
sebelumnya.
Peraturan
tersebut
memberikan
jaminan
kesamaan
kesempatan terhadap ppenyandang cacat pada bidang-bidang yang
menjadi cakupannya, dan dalam rangka memberikan jaminan tersebut
kepada
penyandang
cacat
diberikan
kemudahan-kemudahan
(aksesibilitas).80
Pemberian aksesibilitas terhadap penyandang cacat di Indonesia
belum sepenuhnya dapat terwujud. Sebagaimana diungkapkan dalam
penjelasan UU No 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, bahwa upaya
perlindungan belum memadai, apalagi ada prediksi terjadinya peningkatan
jumlah penyandang cacat di masa depan.81
80
Uning Pratimaratri, 2005, Jaminan Aksesibilas bagi Penyandang Cacat, dalam Hak Asasi
Manusia - hakekat, konsep dan implikasinya, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm 255.
81
“... upaya perlindungan saja belumlah memadai; dengan pertimbangan bahwa jumlah
penyandang cacat akan meningkat pada masa yang akan datang, masih diperlukan lagi sarana dan
107
Pada kenyataannya betapa sulit seorang penyandang cacat untuk
mendapatkan hak akses fasilitas-fasilitas publik, peran politik, akses
ketenagakerjaan, perlindungan hukum, akses pendidikan, akses informasi
dan komunikasi, serta layanan kesehatan. Fasilitas lalu lintas jalan dan alat
transportasi umum di Indonesia tidak mudah diakses oleh penyandang
cacat dan orang-orang berkebutuhan khusus lainnya (wanita hamil dan
lansia). Seorang penyandang cacat tubuh sulit menyeberang jalan dengan
menggunakan fasilitas penyeberangan jalan dengan undakan tangga yang
terlalu sempit. Seorang penyandang cacat netra akan merasa kesulitan
untuk menyimak marka-marka jalan dan papan informasi umum.82
Setiap perundang-undangan tertulis didalamnya terkandung suatu
misi atau tujuan tertentu yang hendak dicapai. Lahirnya suatu perundangundangan tertulis baru merupakan suatu titik awal untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial
penyandang cacat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah untuk
mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan bagi penyandang cacat.83
Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk
menghormati, melindungi dan memajukan hak asasi manusia, dalam hal
ini adalah hak penyandang cacat. Kewajiban pemerintah tidak hanya
berhenti pada kebijakan formulatif (pembuatan peraturan perundangundangan) saja, namun juga pada kebijakan aplikatif serta kebijakan
upaya lain terutama dengan penyediaan sarana untuk memperoleh kesamaan kesempatan bagi
penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, khususnya dalam memperoleh
pendidikan dan pekerjaan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosialnya.”
82
Ibid., Hlm 260.
83
Ibid., Hlm 262.
108
eksekutif. Aspek substansi hukum yang menjamin aksesibilitas bagi
penyandang cacat dari segi jumlah peraturan perundang-undangan di
Indonesia sudah cukup di memadai. Namun perumusannya lebih banyak
yang bersifat negatif, yaitu memberikan hak bagi penyandang cacat.
Perumusan negatif ini antara lain jaminan hak penyandang cacat di bidang
kesejahteraan sosial, perkeretapian, lalu lintas jalan, penerbangan,
pelayaran, kesehatan dan pendidikan. Perumusan positif yaitu memberikan
aksesibilitas bagi penyandang cacat antara lain ada pada ketentuan
perlindungan anak, bangunan gedung, dan ketenagakerjaan. Pelanggaran
atas kewajiban tersebut diancam dengan sanksi baik sanksi pidana maupun
sanksi administrasi.
Dilihat dari aspek struktur dan budaya hukum, belum sepenuhnya
peraturan
perundang-undangan
yang
telah
ada
menunjang
bagi
perwujudan kemandirian dan kesejahteraan para penyandang cacat,
sehingga banyak ketentuan yang ada dalam peraturan perundangundangan belum dapat dilaksanakan. Maka peraturan yang telah ada pun
untuk pengaturan hak-hak penyandang cacat sebelum ratifikasi masih
belum sesuai dengan konsep HAM yang telah ada.
Indonesia ikut menandatangani konvensi pada tanggal 30 Maret
2007 pada waktu dibuka pertama kali penandatanganan dengan urutan ke9. Pada waktu itu Negara Indonesia diwakili oleh Menteri Sosial Bachtiar
Chamsyah dengan didampingi oleh Direktur Jenderal Pelayanan dan
109
Rehabilitasi Sosial Makmur Sunusi dan ketua Umum Persatuan
Penyandang Cacat indonesia, Siswadi.84
Dalam upaya ratifikasi Konvensi Hak-hak penyandang cacat ini sesuai
dengan pasal 43 Konvensi Hak-hak Penyandang Cacat, Indonesia
sebagai penandatangan Konvensi wajib meratifikasi (mengikat diri)
dengan Konvensi. Keinginan meratifikasi juga didorong oleh alasan
filosofis, sosiologis dan yuridis. Tujuan pengesahan Konvensi tersebut
adalah untuk memperkuat penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan
pemajuan hak-hak penyandang disabilitas di segala bidang.85
Sesuai dengan ketentuan pembuatan peraturan perundang-undangan,
Rancangan Undang-undang Pengesahan Konvensi dibuat dengan disertai
Naskah Akademis dan terjemahan resmi Konvensi ke dalam Bahasa
Indonesia. Upaya penterjemahan dimulai dengan meninjau ulang istilah
“penyandang cacat” yang selama ini berlaku di Indonesia pada pertemuan
yang dihadiri oleh berbagai instansi, organisasi penyandang cacat, Komnas
HAM dan ahli bahasa pada bulan Janauari 2009 di Cibinong Bogor.
Pertemuan ini digagas oleh Kementerian Sosial bekerjasama dengan
Komisi Hak Asasi Nasional. Pertemuan belum menyepakati secara penuh
istilah terjemahan persons with disabilities dalam bahasa Indonesia, tetapi
merekomendasi 6 usulan istilah untuk dibahas lebih lanjut.86
84
Kronologis Upaya Ratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi
Hak-hak Penyandang Disabilitas), Diakses pada tanggal 3 Januari 2012.
85
Ibid., Hlm 2.
86
Ibid., Hlm 2.
110
Sementara itu, atas usulan berbagai instansi / lembaga / kementerian
dan organisasi sosial penyandang cacat, Kementerian Sosial didesak untuk
segera memulai proses ratifikasi. Menteri Sosial mengajukan proses
ratifikasi kepada Menteri Luar Negeri untuk selanjutnya meminta ijin
prakarsa kepada Presiden. Menteri Sosial memperoleh Persetujuan Izin
Prakarsa proses ratifikasi Konvensi ini melalui Surat menteri Sekretaris
Negara No. B-72/M.Sesneg/D-4/02/2009 tanggal 17 februari 2009. Proses
terjemahan terus berlangsung bersamaan dengan pembuatan Naskah
Akademik
dan
Rancangan
Undang-Undang
tentang
Pengesahan
Convention on the rights of Persons with Disabilities dengan konsultasi
antar kementerian, lembaga dan organisasi penyandang cacat disertai pula
dengan sosialisasi isi Konvensi di tingkat pusat dan daerah baik itu
dilakukan
oleh
Kementerian
Sosial,
Kementerian
Luar
Negeri,
Kementerian Hukum dan HAM, berbagai Organisasi penyandang cacat
maupun Komisi Nasional HAM serta instansi dan lembaga lainnya.
Upaya finalisasi terjemahan resmi naskah CRPD ke dalam bahasa
Indonesia kembali dilanjutkan dengan difasilitasi oleh Komisi Nasional
HAM dan Kementerian Sosial. Komisi Nasional HAM mengundang para
pakar di bidang filsafat, komunikasi, psikologi, hukum hak asasi manusia,
linguistik, bidang kecacatan, dan praktisi bidang kecacatan (disabilitas)
untuk mendapatkan satu terminologi terjemahan resmi person with
disability ke dalam bahasa Indonesia. Dalam proses ratifikasi konvensi ini,
111
Indonesia mengajukan reservasi (persyaratan)87 dalam konvensi tersebut,
disability yang diterjemahkan menjadi istilah “penyandang cacat” yang
dipergunakan selama ini tidak lagi dikendaki dengan alasan :88
1. Dari aspek bahasa, kata cacat secara denotatif mempunyai arti yang
bernuansa negatif, seperti penderita, kekurangan yang menyebabkan nilai
atau mutunya kurang baik, cela, aib, dan rusak. Kata cacat juga
mempunyai makna konotatif yang berupa rasa merendahkan atau negatif.
2. Kata cacat muncul karena adanya suatu kekuasaan (kelompok atau
negara) yang memberikan kata tersebut sebagai identitas kepada
sekelompok manusia yang dianggap cacat. Cacat sesungguhnya
merupakan konstruksi sosial bukan realitas keberadaan seseorang.
3. Secara filosofis, tidak ada orang yang cacat. Manusia diciptakan Tuhan
dalam keadaan yang paling sempurna dan dengan derajat yang setinggitingginya.
4. Dampak psikososial dari adanya istilah “penyandang cacat” antara lain:
menciptakan jarak sosial, membuat subyek dan orang-orang terdekat
merasa bersalah, orang yang disebut “penyandang cacat”
mengkonstruksikan diri sebagai tidak lengkap, tidak mampu, tidak
diharapkan, dan memposisikan sebagai korban.
5. Secara empirik, istilah “penyandang cacat” yang digunakan selama ini
telah menimbulkan sikap dan perlakuan yang tidak baik kepada orang
yang disebut sebagai penyandang cacat. Istilah “penyandang cacat” telah
menimbulkan kekeliruan dalam memahami keberadaan (eksistensi) orang
yang disebut “penyandang cacat”. Kecacatan dianggap sebagai identitas
dari sesorang, yang lebih rendah daripada orang yang disebut tidak
cacat. Padahal ke-‘cacat’-an bukanlah suatu keadaan yang menentukan
kualitas terhadap yang tidak ‘cacat’. Ke-‘cacat’-an bukanlah ukuran
suatu keterbatasan eksistensi manusia. Ke-‘cacat’-an hanyalah kondisi
tertentu dari manusia yang mengantarkan dirinya kepada permasalahan
‘perbedaan cara’ di tingkatan realitas ketika menghadapi kehidupan itu
sendiri, dibandingkan manusia lainnya.
Pada waktu itu ditetapkan kriteria yang termuat dalam terminologi baru
yang diinginkan sebagai berikut :89
87
Dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, ketentuan mengenai
pensyaratan ini secara terperinci diatur dalam pasal 19 sarnpai dengan pasal 23.
Reservasi (reservation) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya
ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika
menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang
bersifat multilateral.
88
Ibid., Hlm 4.
112
a. Mendeskripsikan secara jelas subyek yang dimaksud dengan istilah
tersebut (deskriptif maksimalis).
b. Mendeskripsikan fakta nyata.
c. Tidak mereinkarnasikan atau melembagakan unsur negatif (tidak
melecehkan).
d. Menumbuhkan semangat pemberdayaan.
e. Memberikan inspirasi hal-hal positif (menonjolkan hal-hal positif).
f. Istilah belum digunakan pihak lain untuk mencegah kerancuan istilah
g. Memperhatikan ragam pemakai dan ragam pemakaian
h. Dapat diserap dan dimengerti oleh pelbagai kalangan secara cepat
i. Bersifat representatif-akomodatif-baku untuk kepentingan ratifikasi
Konvensi
j. Bukan istilah yang mengandung kekerasan bahasa atau mengandung
unsur pemanis
k. Mempertimbangkan keselarasan istilah dengan istilah internasional
l. Memperhatikan perspektif linguistik.
m. Mengandung penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia
n. Menggambarkan kesamaan atau kesetaraan.
o. Enak bagi yang disebut dan enak bagi yang menyebutkan.
p. Memperhatikan dinamika perkembangan masyarakat.
Istilah “penyandang disabilitas” yang disetujui dalam pertemuan para
pakar dalam perumusan terminologi istilah pengganti “penyandang cacat”
yang digagas Komisi Nasional HAM pada bulan Maret 2010 di Jakarta itu,
kemudian dibahas kembali dalam pembahasan Naskah Akademis dan RUU
pengesahan CRPD dari lintas kementerian negara, instansi, lembaga, serta
organisasi penyandang cacat, akademisi dan Komisi Nasional HAM di
Bandung, April 2010 yang difasilitasi Kementerian Sosial. Pertemuan di
Bandung menyepakati istilah “penyandang disabilitas” sebagai terjemahan
dalam bahasa Indonesia dari person with disability. Istilah “penyandang
disabilitas” yang disetujui dalam pertemuan para pakar dalam perumusan
terminologi istilah pengganti “penyandang cacat” yang digagas Komisi
Nasional HAM pada bulan Maret 2010 di Jakarta itu, kemudian dibahas
89
Ibid., Hlm 4-5.
113
kembali dalam pembahasan Naskah Akademis dan RUU pengesahan CRPD
dari lintas kementerian negara, instansi, lembaga, serta organisasi
penyandang cacat, akademisi dan Komisi Nasional HAM di Bandung, April
2010 yang difasilitasi Kementerian Sosial. Pertemuan di Bandung
menyepakati istilah “penyandang disabilitas” sebagai terjemahan dalam
bahasa Indonesia dari person with disability.
Setelah terjemahan resmi naskah Konvensi disepakati dan Naskah
Akademis serta RUU Pengesahan dibuat, pada tanggal 31 Desember 2010
dilakukan proses harmonisasi perundang-undangan dengan menghadirkan
wakil dari berbagai kementerian di bawah koordinasi Kementerian Hukum
dan HAM. Pada waktu itu juga tersirat keinginan untuk meratifikasi semua
pasal CRPD kecuali Optional Protokol. Optional Protokol tidak dipilih
karena Indonesia tidak menganut sistem pengaduan individual pada Komisi
HAM Internasional. Pada tanggal 18 Oktober 2011, Sidang Paripurna DPR
RI
menyetujui
RUU
Pengesahan
Konvensi
Hak-hak
Penyandang
Disabilitas. Ini berarti Indonesia menjadi negara ke 107 yang meratifikasi
Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas.90
Indonesia melakukan tindakan yang tepat dengan melakukan
penandatanganan dan ratifikasi terhadap konvensi hak penyandang cacat
jika dilihat dari beberapa peraturan sebelum adanya konvensi ini yang
kurang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan pengesahan konvensi
ini merupakan titik awal dari perjuangan panjang seluruh elemen bangsa,
90
Ibid., Hlm 7.
114
untuk memajukan hak-hak penyandang cacat. Pelaksanaan Konvensi ini
akan mendorong seluruh pihak untuk melakukan langkah penyesuaian yang
mendasar dalam penanganan kelompok masyarakat penyandang cacat.
Sebuah perubahan yang memungkinkan untuk menciptakan kondisi yang
kondusif untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang inklusif bagi
penyandang cacat. Sebuah perubahan yang menjadikan Indonesia yang lebih
baik dan bermartabat yang senantiasa memiliki kepedulian terhadap hak-hak
penyandang cacat.
Dengan dilakukannya pengesahan konvensi ini maka terdapat dasar
hukum di Indonesia yang saat ini masih bersifat rancangan undang-undang,
yaitu RUU tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang
Cacat.
Dilihat dari definisi yang dicantumkan oleh RUU mengenai
penyandang cacat lebih lengkap dan jelas apabila dibandingkan dengan
CRPD atau UU tentang Hak Asasi manusia yang tidak memberikan definisi
mengenai penyandang cacat secara khusus serta UU tentang penyandang
cacat yang memberikan definisi yang dirasa kurang tepat.
Definisi yang dicantumkan dalam UU tentang Penyandang Cacat
bermasalah karena beberapa alasan. Pertama, orang yang mengaku dirinya
adalah penyandang disabilitas harus membuktikan bahwa mereka tidak
dapat ‘melakukan secara selayaknya’. Seseorang tidak perlu diharuskan
membuktikan hal ini, dan hubungan antara kedua konsep tersebut
membatasi penerapan peraturan nondiskriminasi. Dengan mengaitkan kedua
115
konsep tersebut, seseorang yang telah menerima pengobatan/perawatan atas
kelainan yang dimilikinya dan kemudian dapat ‘melakukan secara
selayaknya’, namun masih menghadapi diskriminasi, tidak tercakup dalam
definisi ini. Demikian pula halnya dengan orang yang memiliki kelainan
namun tidak ‘mengganggu’ atau ‘merupakan rintangan dan hambatan’
karena kondisi tertentu (misalnya karena memiliki kekayaan).
Bila ‘penyandang cacat/disabilitas’ didefinisikan dalam suatu
peraturan, maka definisi ini harus mengadopsi pendekatan berbasis HAM
dan bahwa kelainan (fisik ataupun mental) orang tersebut harus memicu
mekanisme perlindungan seperti misalnya peraturan antidiskriminasi.
Definisi apapun yang didasarkan pada gagasan tentang kehidupan seharihari, yang mengaitkan ketidakmampuan untuk melakukan kegiatan dengan
kelainan yang dimiliki, harus dicabut.
Kedua, pada praktiknya, definisi ‘penyandang cacat/disabilitas’ tidak
memasukkan orang dengan disabilitas psikiatris atau psikologis, dan oleh
karenanya orang tersebut tidak dianggap memiliki disabilitas.91
Selain itu, masih banyak ditemui ketidakefektifitas berlakunya
Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, terutama
untuk memenuhi hak penyandang cacat itu sendiri dalam mendapatkan
kesejahteraan sosial. Dengan ketidakefektivitas berlakunya UU tersebut
secara langsung dapat memberikan pandangan negatif kepada pemerintah,
bahwasanya
91
pemerintah
Nicola Colbran, Op., Cit. Hlm 48 -49.
telah
gagal
dalam
penanganan
masalah
116
kesejahteraan sosial yang ada. Terutama masalah pemenuhan hak bagi
penyandang cacat untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang
layak, yang merupakan tanggung jawab dari Kementerian sosial untuk
mendorong dan memfasilitasi masyarakat serta dunia usaha dalam
melaksanakan
tanggung
jawab
sosialnya.
Dimana
prioritas
dari
Penyelenggaraan kesejahteraan ditujukan kepada mereka yang memiliki
kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria
masalah sosial, salah satunya adalah penyandang cacat.
Pada RUU Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang
Disabilitas mengenai hak-hak penyandang disabilitas dijabarkan secara
lebih mendetail bila dibandingkan dengan UU Hak Penyandang Cacat.
Meskipun UU No.4 Tahun 1997 memberikan beberapa perlindungan bagi
penyandang disabilitas, sulit untuk mendapatkan pemulihan hak, dan sanksisanksi yang diberikan masih amat lemah. Hak-hak yang terdapat dalam UU
ini juga tidak mencakup semua hak yang harus dimiliki oleh penyandang
disabilitas, karena diatur dengan sangat sedikit dan tidak terperinci,
sehingga pelaksanaannya pun kurang memadai. Masih banyak ditemui
ketidakefektifitas berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang
penyandang cacat, terutama untuk memenuhi hak penyandang disabilitas itu
sendiri dalam mendapatkan kesejahteraan sosial. Dengan ketidakefektivitas
berlakunya UU tersebut secara langsung dapat memberikan pandangan
negatif kepada pemerintah, bahwasanya pemerintah telah gagal dalam
penanganan masalah kesejahteraan sosial yang ada. Terutama masalah
117
pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan
dan penghidupan yang layak, yang merupakan tanggung jawab dari
Kementrian Sosial untuk mendorong dan memfasilitasi masyarakat serta
dunia usaha dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Dimana
prioritas dari Penyelenggaraan kesejahteraan ditujukan kepada mereka yang
memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki
kriteria masalah sosial, salah satunya adalah penyandang disabilitas.
Apabila dikaitkan dengan konsep HAM maka RUU Perlindungan
dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas telah memenuhi konsep HAM
tersebut dan telah bisa menutup kekurangan yang ada pada UU sebelumnya,
yaitu UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat. Konsep hak
asasi manusia yang merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada
diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus
dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi,
atau dirampas oleh siapapun, RUU ini telah sesuai dengan konsep tersebut
karena hak-hak yang diatur didalamnya telah sesuai dengan apa yang harus
dimiliki oleh penyandang disabilitas. Bahwa tujuan terbentuknya RUU
tersebut adalah perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang
disabilitas untuk menghormati,
melindungi, dan memenuhi hak asasi
manusia dan kebebasan dasar secara penuh dan setara oleh semua
penyandang
disabilitas,
dan
untuk
menegakkan
dan
memajukan
penghormatan atas martabat yang melekat pada diri mereka.92
92
Diatur dalam pasal 4 RUU Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
118
Sebenarnya dengan adanya RUU Perlindungan dan Pemenuhan Hak
Penyandang Disabilitas adalah tindakan untuk menyatukan beberapa aturan
mengenai hak-hak penyandang cacat yang tercecer di beberapa peraturan
yang ada, sehingga terlihat bahwa UU penyandang cacat jauh dari sempurna
untuk bisa diimplementasikan di Indonesia. RUU ini adalah kesatuan dari
hak-hak penyandang cacat yang tercecer tersebut.
Implementasi Konvensi Hak-hak Penyandang Cacat ini membawa
dampak yang cukup signifikant di Indonesia, berbagai produk hukum
maupun kebijakan di negeri ini memberikan pemahaman kecacatan sebagai
persoalan individu. Pada RUU telah sesuai dengan yang diharapkan,
diberikan suatu pernyataan mengenai kesetaraan dan non diskriminasi, yaitu
semua orang adalah setara sebagai manusia. Dengan demikian, tidak
seorangpun, harus menderita karena diskriminasi. Konsep dari RUU ini juga
mengacu pada perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia khususnya
bagi penyandang disabilitas di Indonesia.
119
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari bahasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengaturan pemenuhan hak-hak penyandang cacat diatur didalam suatu
perjanjian internasional yaitu The Convention on the Rights of Persons
with Disabilities atau disingkat dengan CRPD tahun 2006. CRPD
mempunyai tujuan untuk memajukan, melindungi dan menjamin
penikmatan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar secara
penuh dan setara oleh semua orang penyandang cacat dan untuk
memajukan penghormatan atas martabat yang melekat pada diri mereka.
CRPD terdiri dari 26 pasal yang mengatur mengenai hak-hak penyandang
cacat yang wajib dilaksanakan oleh semua negara pihak.
2. Pada implementasinya, konstitusi Indonesia telah memberikan jaminan,
perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi bagi setiap manusia,
terdapat dalam pasal 28 UUD 1945. Indonesia melalui UU Nomor 19
Tahun 2011 telah mengesahkan CRPD dan meratifikasinya dengan
120
membuat
RUU
Perlindungan
dan
Pemenuhan
Hak
Penyandang
Disabilitas, sebagai bentuk komitmen dan kepedulian seluruh elemen
bangsa bagi kemajuan hak asasi manusia khususnya terhadap kemajuan
penyandang cacat yang wajib mendapatkan perhatian dari seluruh
masyarakat Indonesia serta merupakan tanggung jawab Indonesia sebagai
bagian dari masyarakat dunia dalam melindungi dan memajukan hak asasi
manusia khususnya penyandang cacat.
B. Saran
Bagi pemerintah
Indonesia,
peraturan
yang
berkaitan
dengan
kepentingan penyandang cacat seharusnya segera dilaksanakan serta
membentuk komite pengawas, berdasarkan CRPD dalam rangka pelaksanaan
konvensi yang telah diratifikasi.
121
DAFTAR PUSTAKA
Brownlie, Ian. 1994. Dokumen-dokumen Pokok mengenai Hak Asasi Manusia.
Jakarta: UI Press.
Colbran, Nicola. 2010. Akses terhadap Keadilan Penyandang Disabilitas di
Indonesia. Jakarta: AusAID.
Effendi, Masyhur. 2005, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM),
Bogor: Ghalia Indonesia.
----------------------------. 1980. Tempat Hak-hak Asasi Manusia dalam Hukum
Internasional / Nasional. Bandung: PT. Alumni.
Irwanto, dkk. 2010. Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia:
Sebuah Desk Review. Jakarta: UI Press.
I Wayan Parthiana. 2002. Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, Bandung :
Mandar Maju.
-----------------------------. 2005. Hukum Perjanjian Internasional Bagian II.
Bandung : Mandar Maju.
Harahap, A. Bazar dan Nawangsih Sutardi. 2006. Hak Asasi Manusia dan
Hukumnya, Perhimpunan Cendekiawan Independen Republik Indonesia
(Pecirindo). Jakarta.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1982. Pengantar Hukum Internasional Bagian I.
Jakarta: PT. Bina Cipta.
Mauna, Boer. 2010. Hukum Internasional Pengertian Pernanan dan Fungsi
Dalam Era Dinamika Global Edisi ke-2 2005. Bandung: PT. Alumni.
Majda El Muhtaj. 2008. Dimensi-dimensi HAM: Mengurai hak ekonomi, sosial,
dan budaya. Jakarta: PT.RajaGrafindo.
Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: Refika Aditama.
Naning, Ramdlon. 1983. Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Jakarta : Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia.
122
Piley, Navanethem. 2010. Monitoring the Convention on the Rights of Persons
with Disabilities. New York and Geneva: United Nations.
Rudy, T. May. 2002. Hukum Internasional 2. Bandung: PT. Refika Aditama.
Schulze, Marianne. 2010. Understanding the UN Convention on the rights of
Persons with Disabilities. 303 W56th Street, New York.
Sunggono, Bambang. 2010. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Suryokusumo, Sumaryo. 1990. Hukum Organisasi Internasional. Jakarta:
Universitas Indonesia (UI-Press).
Handoyo, Hestu Cipto. 2003. Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, dan Hak
Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di
Indonesia). Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-undang Dasar 1945 setelah Amandemen
Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Cacat 2006 : The Convention on the
Rights of Persons with Disabilities 2006.
Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional 1969 : Vienna Convention On
The Law Of Treaties 1969.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
123
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
Rancangan Undang-undang Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak
Penyandang Disabilitas
Sumber lain:
----. DPR RI Setujui RUU Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang
Disabilitas. diakses pada tanggal 24 Oktober 2011 melalui:
www.kemlu.go.id.
Antara. Negara Asean belum Ratifikasi Konvensi Penyandang Disabilitas.
Diakses pada tanggal 5 Desember 2011 melalui: www.berita.yahoo.com.
Eva Kasim. Kronologis Upaya Ratifikasi Convention on the Rights of Persons
with Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas), Diakses
pada tanggal 3 Januari 2012 melalui: http://www.multiply.com/journal.
Kuncahya B, Agung. Penyandang Cacat Harap Haknya Dipenuhi. Diakses pada
tanggal 24 Oktober 2011 melalui: www.jurnas.com.
ILO.
Mempromosikan Pekerjaan Layak Bagi Semua Orang:Membuka
Kesempatan pelatihan dan Kerja bagi Penyandang Disabilit., Diakses
pada tanggal 5 Januari 2011 melalui: www.ilo.org.
Pillay, Navathem. Monitoring the Convention on the Rights of Persons with
Disabilities. Guidance for human rights monitors. diakses tanggal 24
Oktober 2011 melalui: www.ohchr.org.
PPCI. Sejarah Penyandang Cacat Menuju Hak-haknya di PBB. Diakses pada 5
November 2011 melalui: www.inklusi.com.
Serafina Shinta Dewi. Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Penyandang
Cacat (The Convention on The Rights of Persons with Disabilities).
Diakses pada tanggal 5 Januari 2012 melalui: http://www.kumhamjogja.info.
Download