BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah lingkungan menjadi salah satu isu utama di dalam hubungan internasional kontemporer. Hal ini terjadi seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran publik dan politik atas masalah lingkungan yang melanda dunia. Upaya-upaya pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dan industrialisasi turut menjadi penyebab permasalahan tersebut. Kesadaran manusia secara global tersebut terutama muncul ketika isu perubahan iklim mulai berkembang, yaitu pada akhir tahun 1970-an.1 Masalah tersebut telah memberikan pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan politik dan sosial di dunia. Oleh sebab itu, kerjasama antar negara dan juga masyarakat internasional menjadi penting untuk dilakukan guna merespon masalah lingkungan tersebut. Pertemuan Kyoto menjadi pertemuan yang penting menghasilkan suatu protokol persetujuan yang dikenal dengan Protokol Kyoto yang berisi mengenai langkah-langkah komprehensif yang perlu dilakukan negara-negara dalam mengatasi masalah lingkungan untuk mencegahnya terulang kembali. Terhitung telah terdapat 192 pihak (191 negara anggota PBB dan 1 regionalisme -Uni Eropa-) yang telah menandatangani dan meratifikasi Protokol ini hingga saat ini.2 Pada masa berikutnya, pertemuan-pertemuan yang membahas mengenai isu lingkungan global masih tetap diadakan secara rutin di dalam kerangka Conference of Parties (COP) di dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Pada Desember 2015, 196 negara akan bertemu di Paris untuk membahas dan berunding mengenai perubahan iklim dalam Conference of Parties ke-20 UNFCCC. Untuk menyongsong Konferensi di Paris ini, negaranegara negara yang mengikuti pertemuan di Desember akan diharapkan untuk 1 J Vogler, “Environment”, dalam Issues in World Politics, ed. B.White, R. Little dan M. Smith (New York: Palgrave, 2001), 192 2 United Nations Framework Convention on Climate Change, Status of Ratification of the Kyoto Protocol, http://unfccc.int/kyoto_protocol/status_of_ratification/items/2613.php [diakses 19 Juni 2015] 1 mempersiapkan diri untuk memastikan bahwa mereka siap untuk melaksanakan hasil yang diharapkan dari pertemuan tersebut. Dalam laporan terakhir, terdapat 66 negara, yang merepresentasikan 88 persen penghasil emisi global, yang sudah melakukan perubahan aturan di tingkat legislatif masing-masing negara.3 Pihak penyelenggara Konferensi Paris sendiri sudah memunculkan ekspektasi bahwa kesepakatan yang muncul akan memiliki arti yang besar. Seperti yang tercantum dalam artikel yang dikeluarkan oleh Non-Governmental Organization (NGO) yang mendukung pelaksanaan Konferensi Paris To ensure meaningful action on climate change, the deal must contain the following element: • ambitious action before and after 2020 • a strong legal framework and clear rules • a central role for equity • a long term approach • public finance for adaptation and the low carbon transition • a framework for action on deforestation and land use • clear links to the 2015 Sustainable Development Goals Dalam poin pertama di atas terdapat poin yang mengindikasikan keinginan untuk membuat rencana yang decisive pada periode setelah 2020. Hal ini berkaitan dengan kesepakatan Durban yang disetujui pada tahun 2011. Kesepakatan ini menyatakan adanya persetujuan untuk membentuk sebuah komitmen bagi kesepakatan iklim global yang baru, setelah terdapat kepastian dalam kegagalan pemenuhan Protokol Kyoto. Komitmen Durban 2011, yang merupakan hasil akhir dari rangkaian COP ke-17, ini merupakan komitmen internasional baru pertama, pasca gagalnya pertemuan di Kopenhagen pada 2009, pasca kepastian kegagalan pemenuhan komitmen Protokol Kyoto. Dan dari konferensi ini terbentuk kesepakatan bahwa akan ada kesepakatan baru yang memiliki legal binding dalam mengurangi emisi karbon global dan dampak climate change yang akan disetujui atau ditandatangani pada tahun 2015 –bertepatan dengan COP di Paris- 3 GLOBE International, GLOBE climate legislation study, fourth edition: review of climate change legislation in 66 countries (January 2014) 2 dan diimplementasikan pada tahun 2020.4 Pada tahun berikutnya di Doha, terdapat kesepakatan baru untuk melanjutkan komitmen Protokol Kyoto di periode kedua dari tahun 2013 s/d 2020, tanpa merubah ide prinsip dan mekanisme dalam Protokol. Konferensi Paris sendiri pada akhirnya menjadi penanda bagi negaranegara yang tergabung dalam UNFCCC untuk merumuskan rencana lingkungan mereka pasca tahun 2020. Dan negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat dan China, juga sedang berupaya untuk mempersiapkan diri untuk menyongsong Konferensi Paris dengan juga mengumumkan rencana pengurangan emisi nasional pasca tahun 2020. Sebagai dua negara penghasil gas karbon terbesar, tindakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan China ini akan menjadi sangat vital dalam menentukan hasil akhir dari pembuatan kesepakatan. Tindakan keduanya menjadi memiliki kekuatan pivotal untuk menentukan preferensi tindakan negara lain. Hal ini terbukti dengan tindakan Amerika Serikat yang telah menandatangani protokol Kyoto pada tahun 1998 namun kemudian menyatakan mundur setelah mengalami kegagalan di proses ratifikasi pada 2001.5 Hal ini kemudian menjadi penghambat bagi kemajuan progres upaya penurunan emisi global. Namun berbeda dengan Amerika Serikat yang dianggap sebagai negara maju dan dikategorikan dalam annex 1, China termasuk dalam kategori negara Non-Annex 1 berdasarkan kesepakatan dari UNFCCC. Hal ini terjadi karena meskipun China mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup besar, namun secara per kapita masih banyak dari penduduknya yang hidup dengan 4 Ottmar Edenhofer et al., Harvard Project on Climate Agreements, Identifying options for a new international climate regime arising from the Durban platform for enhanced action, October 2013, http://belfercenter.ksg.harvard.edu/publication/23528/identifying_options_for_a_new_internatio nal_climate_regime_arising_from_the_durban_platform_for_enhanced_action.html, [diakses 3 Agustus 2015] 5 Agrawala and Andresen, “U.S. Climate Policy: Evolution and FutureProspects,” dalam Energy and Environment, 2001. 3 penghasilan dibawah 1,25 dollar per hari sehingga mereka meminta agar 6 dimasukkan ke dalam kategori negara berkembang. Status China sebagai negara berkembang ini kemudian menjadikan usaha pengentasan kemiskinan di China masih menjadi prioritas utama, dengan solusi utama yang ditawarkan adalah semakin digiatkannya industrialisasi dengan batu bara sebagai solusi utama masalah kebutuhan energi. Hal tersebut membuat China menjadi negara nomor 1 sebagai penghasil green house gases (GHG) terbesar pasca Protokol Kyoto ditandatangani, dan diproyeksikan akan terus mengalami peningkatan jika tidak ada tindakan pencegahan. Tindakan mundur dari negara maju seperti Amerika Serikat juga mempengaruhi negara lain, seperti misalnya Kanada yang telah meratifikasi protokol ini pada tahun 2002 dan justru kemudian secara resmi menyatakan diri menarik diri dari protokol ini pada tahun 2011.7 Tindakan Kanada untuk mundur dari Protokol Kyoto salah satunya didasari oleh aksi dari Amerika Serikat. Kanada menganggap bahwa tidak adanya partisipasi dari Amerika Serikat dalam pemberlakuan Protokol Kyoto akan membuat tujuan awal dari protokol tidak akan pernah tercapai. Hal ini akibat posisi Amerika Serikat sebagai negara emiter GHG terbesar di dunia, dan tidak adanya partisipasi aktif Amerika Serikat untuk mengurangi emisi hanya akan membuat upaya negaranegara annex-1 lain, yang dibebani kewajiban untuk mengurangi emisi, hanya akan berakhir dengan sia-sia.8 Tindakan tidak kooperatif kedua negara ini menjadi ganjalan dalam tidak terpenuhinya fase pemenuhan kewajiban Protoko Kyoto dan penanganan isu climate change. Protokol Kyoto menjadi tidak efektif dalam fungsinya sebagai alat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Dan untuk itulah negara terdapat beragam usaha untuk membuat kembali perjanjian lingkungan internasional yang efektif, salah satunya dengan mengubah level perjanjian dari level multilateral ke level bilateral. 6 Action for Our Planet, Top 10 Polutting Countries (online), http://www.actionforourplanet.com/#/top-10-polluting-countries/4541684868>, diakses 18 April 2015 7 BBC, Canada to Withdraw from Kyoto Protocol, http://www.bbc.co.uk/news/world-us-canada-16151310,[diakses 19 Juni 2015] 8 Ibid 4 Seiring berjalannya waktu, China dan Amerika Serikat juga nampak mengubah preferensi tindakannya di dalam isu lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan China dan Amerika Serikat membuat kesepakatan bilateral bersama mengenai global climate change dalam joint initiatives pengurangan GRK pada 11 November 2014.9 Dalam kesepakatan bilateral tersebut, China dan Amerika Serikat mengumumkan tujuan dan posisi mereka untuk berkomitmen dalam mengatasi global warming sebagai dampak perubahan iklim. Kesepakatan ini mencanangkan tujuan untuk menguatkan komitmen masing-masing negara dalam mengurangi mengurangi emisi karbon nasional masing-masing. China mengklaim akan melakukan kalkulasi agar mencapai level puncak pelepasan emisi karbon (peak carbon emissions) nasional pada tahun 2030 atau sebelumnya. Sekaligus akan meningkatkan penggunaan energi nol-emisi atau energi bersih hingga 20% dari total energi nasional pada tahun 2030. Di lain pihak, dalam kesepakatan ini Amerika Serikat bermaksud untuk mengurangi emisi hingga level 17% di tahun 2020. Rencana ini kemudian diproyeksikan akan berlanjut hingga 26-28% di bawah level emisi pada tahun 2005 pada tahun 2025. Pengurangan ini akan menyamai penurunan level emisi hingga 9,6-12% dari level emisi di tahun 1990, seperti yang direncanakan dalam Protokol Kyoto.10 Kesepakatan ini juga bagian dari rencana baru untuk menunjukkan komitmen mengenai isu lingkungan yang akan dilaporkan dalam konferensi di Paris pada 2015.11 China dan Amerika Serikat menjadi sorotan dunia dalam masalah lingkungan sebagai negara dengan tingkat ekonomi yang sangat besar dan menjadi penyumbang terbesar emisi GRK dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya yang berjumlah besar dan membangun pertumbuhan industri. Hal tersebut kemudian menjadikan China dan Amerika Serikat memiliki signifikansi 9 The White House, Fact sheet: US-China Joint Announcement on Climate Change and Clean Energy Cooperation, 11 November 2014, http://www.whitehouse.gov/the-pressoffice/2014/11/11/fact-sheet-us-china-joint-announcement-climate-change-and-clean-energy, [diakses 3 Agustus 2015] 10 11 ibid The New York Times, China, America and our warming planet [Op-ed], http://mobile.nytimes.com/2014/11/12/opinion/john-kerry-our-historic-agreement-with-chinaon-climate-change. html [diakses 19 Juni 2015] 5 yang besar dan posisi yang penting dalam penyelesaian permasalahan lingkungan hidup. Pada kenyataannya, tindakan China dan Amerika Serikat dalam menanggapi isu lingkungan, baik di tingkat nasional, maupun di tingkatan global menjadi hal yang patut untuk dianalisis. Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan faktor-faktor domestik dan struktur internasional diantara China dan Amerika Serikat dalam negosiasi di UNFCCC, serta faktorfaktor yang mempengaruhi preferensi tindakan yang diambil China dan Amerika Serikat dalam melihat isu pengurangan komitmen GRK. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dari permasalahan dalam skripsi yang akan diteliti, maka didapatkan permasalahan utama di dalamnya. Mengapa China - Amerika Serikat berhasil membangun komitmen pengurangan GRK di level bilateral sementara mengalami kegagalan di level multilateral? 1.3 Landasan Konseptual 1.3.1 Two-Level Game Robert Putnam menjelaskan dalam tulisannya bahwa proses pembuatan kebijakan internasional melibatkan baik dari level domestik maupun dari level internasional. Dalam arti lain pembuatan kebijakan adalah gabungan dari faktor yang berasal dari luar negara maupun dari domestik di dalam sebuah negara. Kedua faktor ini saling berinteraksi dan dapat mempengaruhi satu sama lain. Putnam dalam tulisannya menyatakan: At the national level (Level II), domestic groups pursue their interests by pressuring the government to adopt favorable policies, and politicians seek powerby constructing coalitions among those groups. At the international level (Level I), national governments seeks to maximize their own ability to satisfy 6 domestic pressures, while minimizing the adverse consequences of foreign developments.12 Konsep two-level game dapat menjelaskan bagaimana sebenarnya kondisi domestik dan internasional kedua negara, Amerika Serikat dan China, saling berhubungan. Seperti yang diutarakan Putnam, two-level game lebih menitikberatkan pada maksimalisasi pemenuhan kepentingan domestik sekaligus meminimalisasi konsekuensi negatif di level internasional. Hal ini senada dengan pendapat Plano dan Olton yang menyebutkan bahwa foreign policy is a continuation of domestic policy because it serves and reflects national interests.13 Dalam konsep two-level games, terdapat usaha untuk memperoleh kepentingan yang diinginkan oleh publik di ranah domestik, tanpa harus melewati limit atau batas toleransi yang dapat membawa konsekuensi negatif pada level internasional. Pada awalnya, tarik ulur yang terjadi di dalam hubungan antara Amerika Serikat dan China terjadi di isu ekonomi, dimana dalam isu ini terjadi tarik ulur antara kepentingan jangka panjang dan jangka pendek. Di dalam kondisi multilateral Protokol Kyoto, kedua negara mengesampingkan faktor ekonomi jangka panjang dari terciptanya green economy demi mempertahankan pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Kedua negara juga masih belum memperhatikan akumulasi modal politik dari kepemimpinan di dalam isu lingkungan global. Namun seiring berjalannya waktu, terdapat perubahan situasi politik di dalam lingkup domestik dan internasional yang membuat kedua negara mengalami perubahan kebijakan mengenai lingkungan. Hal ini terlihat sebagaimana dalam kasus Amerika Serikat dan China yang mengalami shifting position dari yang semula enggan memiliki komitmen dalam pemenuhan kewajiban abatement kemudian mengambil sikap kooperatif dengan membuat komitmen untuk melakukan compliance di periode selanjutnya. Perbedaan pendekatan (approach) dalam membingkai proses negosiasi terjadi akibat perubahan kepentingan di dalam negeri kedua negara. Para 12 Robert D. Putnam, “Diplomacy and Domestic Politics: the Logic of Two-Level Games,” International Organization, Summer 1988, Vol. 42: 3, 434. 13 JC. Plano & R. Olton, International Relations Dictionary. (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1969), 127 7 pembuat kebijakan di kedua negara akan memiliki presumption mengenai payoff yang mungkin akan didapatkan. Ekspektasi inilah yang kemudian akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan diantara para elit tersebut, tanpa memperhatikan apakah ekspektasi pay-off akan sesuai dengan hasil yang didapat dalam realita. Kedua negara dapat melihat win-set yang lebih besar di dalam perundingan bilateral dibandingkan dengan perundingan multilateral. Hal inilah yang membuat Amerika Serikat dan China mulai bergeser dari proses negosiasi multilateral di UNFCCC ke lingkup negosiasi yang lebih kecil di tingkat bilateral, untuk mengatasi permasalahan global warming secara lebih efektif. Pada akhirnya, perubahan geometri dalam level negosiasi antara AS dan China terjadi akibat berubahnya kalkulasi dari para pembuat kebijakan di level domestik dari kedua negara dalam proses pembuatan kebijakan di dalam isu lingkungan. 1.4 Hipotesis Protokol Kyoto membawa konsekuensi bagi para signatories yang tergabung dalam UNFCCC. Negara - negara maju yang tergabung dalam kelompok annex-1 dan terlibat dalam Protokol Kyoto seperti Amerika Serikat mendapat pengaruh dan tanggung jawab yang besar dari perjanjian Protokol Kyoto ini, yaitu untuk ikut menjaga kelestarian lingkungan dengan berusaha mengurangi emisi gas dari hasil industri mereka. Hal ini didasarkan pada ekspektasi terhadap mereka sebagai salah satu dari negara besar di dalam struktur internasional, dengan posisi tersebut AS dapat mendemonstrasikan kekuatan leadership untuk menjawab persoalan yang dianggap semakin signifikan. Posisi Amerika Serikat sebagai negara emiter terbesar akan secara signifikan mempengaruhi jalannya upaya mengurangi jumlah emisi global dan menanggulangi efek negatif pemanasan global. Namun hal yang berbeda dirasakan juga negara besar lain seperti China yang tidak ikut berkomitmen dalam Protokol Kyoto. China memiliki posisi unik dalam UNFCCC karena mereka masih mengkategorikan diri sebagai negara berkembang meskipun memiliki angka pertumbuhan ekonomi dan GDP yang besar atau dapat dikategorikan sebagai negara maju. 8 Kedua negara tidak mampu memenuhi ekspektasi dari Protokol Kyoto. Hal ini juga disebabkan karena Protokol Kyoto tidak mampu mengatasi permasalahan fundamental dalam isu lingkungan global untuk menjadi perjanjian internasional yang efektif dalam mengurangi pengurangan GRK. Mekanisme pelaksanaan Protokol Kyoto tidak mampu mengubah preferensi awal negara-negara yang mengikuti Protokol tersebut. Namun perubahan kondisi politik domestik membuat kedua negara mulai mengubah preferensi tindakan dalam isu lingkungan internasional di dalam negosiasi UNFCCC ke dalam lingkup negosiasi yang lebih kecil di tingkat bilateral. Pada akhirnya, AS dan China mulai menggeser strategi dari negosiasi multilateral di UNFCCC ke negosiasi yang lebih kecil di tingkat bilateral akibat adanya perubahan strategi dan kalkulasi dari kedua negara sebagai aktor rasional. Adanya perubahan ke arah yang lebih kooperatif terhadap lingkungan yang timbul dari level domestik kemudian menimbulkan reaksi dari pihak lain, yang berupa kesepahaman untuk melakukan komitmen yang lebih besar diantara kedua negara. Kedua negara berhasil memanfaatkan momentum ketika di waktu yang bersamaan dua negara ini mempunyai komitmen yang sama untuk bekerja sama, dan rela untuk mengambil risiko dengan menguatkan komitmen di level internasional. Penguatan komitmen yang terjadi dalam kerjasama bilateral ini pada akhirnya adalah cerminan permainan koordinasi (game coordination). Adanya perubahan dalam cara melihat atau membingkai negosiasi membuat kedua negara mulai mengubah pendekatan dalam isu global warming. Kedua negara mulai melihat insentif dan penerimaan (win-set) lebih besar yang mungkin bisa mereka dapatkan dalam kerangka negosiasi bilateral dibandingkan melaui negosiasi multilateral, sehingga AS mengajak China untuk berunding secara bilateral untuk menjaga komitmen domestik China dalam isu lingkungan global dan mampu membentuk komitmen bersama di level internasional untuk mengurangi produksi GRK. 1.5 Jangkauan Penelitian Adapun jangkauan penelitian ini adalah semenjak penandatanganan Protokol Kyoto pada 1997 dan dinamika yang terjadi dari kedua negara -China 9 dan Amerika Serikat- hingga terjalinnya kerjasama bilateral yang membentuk komitmen bersama antar kedua negara di tahun 2014. Serta akan akan dilakukan analisis terhadap proses pembentukan rezim komitmen bersama untuk mengurangi produksi GRK dalam negosiasi multilateral di UNFCCC dan negosiasi secara bilateral oleh China - Amerika Serikat. 1.6 Sistematika Penulisan Penulisan akan dilakukan dalam lima bab, dengan perincian sebagai berikut: Bab Pertama, akan menjelaskan pendahuluan yang mencakup latar belakang adanya perjanjian bilateral antara China dan Amerika Serikat dan relevansinya dengan rezim lingkungan internasional di UNFCCC serta menjelaskan kerangka berpikir yang digunakan untuk menjelaskan rumusan masalah yang menjadi acuan dasar dalam melakukan penelitian. Bab Kedua, akan menjelaskan latar belakang terbentuknya rezim lingkungan internasional di UNFCCC, latar belakang munculnya Protokol Kyoto, serta peran Amerika Serikat dan China dalam negosiasi tersebut. Bab Ketiga, akan menganalisa mengapa terjadi perubahan dalam proses pembuatan kebijakan lingkungan diantara China - Amerika Serikat dalam negosiasi di UNFCCC serta menjelaskan bagaimana proses perubahan tersebut terjadi dengan menguraikan faktor-faktor domestik dan struktur internasional yang menjadi dasar preferensi dari tindakan China dan Amerika Serikat di dalam isu lingkungan. Bab Keempat, akan menjabarkan kesimpulan dari rangkaian penelitian sehingga dapat menjawab rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya. 10