Analisis Lipid Peroksida Hati Tikus

advertisement
2
dosis pengobatan hiperurisemia mampu
menurunkan konsentrasi lipid peroksida hati
tikus sebesar 32.25%.
Potensi ekstrak air kulit kayu mahoni
sebagai penurun kolesterol darah pada tikus
hiperkolesterolemia
telah
diteliti
oleh
Ferdiansyah et al. (2011). Berkaitan dengan
penelitian tersebut, penelitian ini bertujuan
menentukan pengaruh pemberian ekstrak air
kulit kayu mahoni terhadap peroksidasi lipid
melalui analisis lipid peroksida hati tikus
hiperkolesterolemia. Hipotesis penelitian ini
adalah ekstrak air kulit kayu mahoni akan
menurunkan konsentrasi lipid peroksida hati
tikus hiperkolesterolemia. Secara teoritis,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi ilmiah kepada masyarakat luas
mengenai potensi ekstrak air kulit kayu
mahoni sebagai antioksidan, khususnya
sebagai terapi penurun kadar lipid peroksida
hati. Secara aplikatif, penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan dasar untuk pengembangan
kulit
kayu
mahoni
sebagai
produk
fitofarmaka.
TINJAUAN PUSTAKA
Hati
Hati merupakan salah satu organ tubuh
terbesar dan kompleks, yang terdapat di dalam
rongga perut kanan atas, di bawah diafragma
kanan, dan dilindungi tulang iga kanan bawah.
Organ ini berwarna merah tua dan berbobot
antara 1200-1600 g atau sekitar 2.5% dari
bobot total orang dewasa. Hati terlibat dalam
pemakaian oksigen sekitar 25-30%. Organ ini
terbagi menjadi dua lobus, lobus kanan
besarnya enam kali bagian kirinya. Setiap
lobus terdiri atas ribuan lobulus yang
merupakan unit fungsional. Setiap lobulus
terdiri atas sel-sel hepatosit yang berbentuk
kubus dan tersusun melingkar mengelilingi
vena sentralis, di antara lobulus (interlobular)
terdapat saluran empedu dan kapiler
(sinusoid) yang merupakan cabang vena porta
dan arteria hepatika (Dalimartha 2005).
Sinusoid dibatasi oleh sel Kupffer yang
merupakan sistem retikuloendotelial dan
mempunyai fungsi serupa dengan sel
makrofag. Hati terdiri dari sel-sel parenkim
hati (hepatosit) sekitar 60% dan sel-sel
endotel sekitar 30% yang membatasi sinusoidsinusoid hati, sisanya merupakan sel-sel
pembuluh darah, jaringan menyambung dan
saluran empedu.
Hati memiliki peran penting dalam
metabolisme tubuh, yaitu metabolisme bahan-
bahan makanan yang dikirimkan oleh vena
porta setelah diabsorbsi dari usus. Bahan hasil
metabolisme ini melewati hati dan dapat
tersimpan dalam hati. Fungsi hati lainnya
adalah detoksifikasi toksin dan radikal bebas,
yaitu melalui reaksi konjugasi dengan
beberapa senyawa yang dihasilkan di dalam
hati, seperti glutation, asam glukuronat, glisin,
dan asetat. Hati juga sebagai organ pertahanan
tubuh, yaitu dengan adanya sel Kupffer yang
mempunyai kemampuan fagositosis sel-sel
tua, partikel atau benda asing, sel tumor,
bakteri, virus, dan parasit di dalam hati. Hati
memiliki kapasitas cadangan yang besar, yaitu
hanya dengan 10%-20% jaringan hati yang
masih berfungsi ternyata sudah cukup untuk
mempertahankan
hidup
pemiliknya.
Kemampuan regenerasi jaringan yang mati
cukup besar sehingga akan cepat digantikan
dengan yang baru (Dalimartha 2005).
Organ hati merupakan pusat dari
metabolisme dalam sebagian besar hewan.
Organ ini berfungsi dalam proses detoksifikasi
senyawa-senyawa toksik, hematologis, sistem
imun tubuh, berperan dalam proses
metabolisme biomolekul, dan sekresi produk
akhir metabolisme seperti bilirubin, amonia,
dan urea. Membran-membran mikrosom hati
sangat rentan terhadap peroksidasi lipid,
karena membran tersebut banyak mengandung
asam lemak tak jenuh (Muliasari 2009).
Sel hati mempunyai bentuk ultrastruktur
yang mencerminkan bahwa sel terlibat dalam
berbagai fungsi metabolik yang luas. Sel ini
mengandung berbagai enzim, Beberapa
diantaranya penting untuk diagnostik karena
dialirkan ke pembuluh darah vena dan
aktivitasnya dapat diukur sehingga dapat
menunjukkan adanya penyakit hati atau
tingkat keparahannya (Ganong 2002). Enzimenzim tersebut diantaranya adalah aspartat
aminotransferase
(AST),
alanin
aminotransferase (ALT), alkalin fosfatase
(ALP), γ-glutamintransferase (GGT), laktat
dehidrogenase, dan 5-nukleotidase. Produk
peroksidasi lipid, malondialdehida (MDA),
juga teralirkan ke pembuluh vena (Stockham
& Scott 2008).
Hiperkolesterolemia dan Radikal Bebas
Hiperkolesterolemia merupakan kondisi
tingginya kolesterol yang terdapat di dalam
darah melebihi normalnya. Pada keadaan
normal, total kolesterol plasma (Total Plasma
Cholesterol, TPC) pada manusia adalah
kurang dari 200 mg/dL, dengan batas normal
tertinggi berkisar 200-239 mg/dL. Namun,
jika TPC melebihi 240 mg/dL, maka
3
dikategorikan hiperkolesterolemia ringan.
Kondisi hiperkolesterolemia sedang berada
pada kisaran dengan TPC antara 240-289
mg/dL. Jika TPC melebihi 290 mg/dL,
makadikategorikan hiperkolesterolemia berat
(Grundy 1991; Ganong 2002). Namun, pada
hewan percobaan, konsentrasi kolesterol darah
normal tikus berada kisaran 40-130 mg/dL
(Malole & Pramono 1989).
Faktor
yang
mempengaruhi
hiperkolesterolemia adalah obesitas, usia,
kurang
olahraga,
stres,
gangguan
metabolisme, gangguan genetik, dan pola
konsumsi makanan sehari-hari yang dapat
meningkatkan
konsentrasi
lipid
atau
kolesterol. Makanan yang kaya akan
kolesterol dan asam lemak jenuh dapat
menekan pembentukan reseptor lipoprotein
berdensitas rendah (Low Density Lipoprotein,
LDL) sehingga meningkatkan kolesterol di
dalam darah (Grundy 1991). Reseptor LDL
adalah protein mosaik yang berperan dalam
proses endositosis LDL yang kaya kolesterol.
Reseptor LDL terdapat di seluruh permukaan
sel yang memiliki nukleus, terutama di sel hati
yang menyingkirkan hampir 70% LDL dari
sirkulasi darah. Jika pembentukan reseptor
LDL menurun, maka jumlah kolesterol yang
beredar di dalam tubuh akan melebihi normal
(Kasim et al. 2006).
Kondisi hiperkolesterolemia pada hewan
percobaan dapat dibuat dengan cara induksi
endogen dan eksogen. Pada induksi endogen,
tikus diberikan konsumsi pakan kolesterol.
Nofendri
(2004)
melaporkan
bahwa
pemberian pakan kolesterol 12.5% selama 7
hari dapat menaikan konsentrasi kolesterol
181.40%. Pada induksi eksogen, kondisi tikus
percobaan dapat dibuat hiperkolesterol, yakni
dengan cara pemberian propiltiourasil (PTU).
Mustika (2010) melaporkan bahwa pemberian
pakan pakan kolesterol 1.5% dan PTU 0.5
mg/kg bb selama 8 minggu mampu
menaikkan konsentrasi kolesterol sebesar
52.57%. PTU merupakan suatu zat antitiroid
yang dapat merusak kelenjar tiroid, sehingga
menghambat pembentukan hormon tiroid.
Hormon tiroid ini dapat menurunkan kadar
kolesterol dalam darah dengan cara
meningkatkan pembentukkan reseptor LDL di
hati (Kasim et al. 2006).
Terdapat beberapa obat yang dapat
menurunkan kadar kolesterol di dalam tubuh.
Salah satu contohnya adalah lovastatin.
Lovastatin dapat berkompetisi untuk berikatan
dengan HMG-KoA untuk berikatan dengan
HMG-KoA reduktase, yaitu suatu enzim yang
mengontrol biosintesis kolesterol. Bila jumlah
lovastatin cukup besar untuk berikatan dengan
HMG-KoA reduktase, maka asam mevalonat
yang merupakan senyawa dalam sintesis
kolesterol tidak akan terbentuk sehingga
pembentuan kolesterol menjadi terhambat.
Kasim et al. (2006) mengemukakan bahwa
pemberian lovastatin secara rutin kepada
penderita
hiperkolesterolemia
dapat
menurunkan kadar kolesterol darah hingga
30%. Hasil penelitian Mustika (2010)
menunjukkan bahwa lovastatin mampu
menurunkan kadar kolesterol pada hewan
percobaan sebesar 33.78%.
Berdasarkan biosintesisnya, kolesterol
disintesis di banyak jaringan dari asetil KoA
dan prekursor lain berupa steroid, seperti
kortikosteroid, hormon seks, asam empedu,
dan vitamin D. Tubuh dapat mensintesis lebih
dari setengah kebutuhan kolesterol, yakni
sekitar 700 mg/dL. Sintesis kolesterol
berlangsung hampir pada seluruh jaringan
hewan, tetapi pada hewan mamalia aktivitas
biosintesis kolesterol yang tertinggi terjadi
pada organ hati, kelenjar adrenal, ovarium,
dan testis (Valenzuela et al. 2003). Hati dan
usus masing-masing mensintesis 10%
kolesterol. Jaringan-jaringan lain yang
bernukleus juga dapat mensintesis kolesterol,
sintesisnya terjadi di retikulum endoplasma
dan sitosol (Mayes & Botham 2003a).
Prekursor yang digunakan oleh hati untuk
mensintesis kolesterol berupa asetil koenzim
A (asetil KoA) yang merupakan hasil
metabolisme karbohidrat, protein, ataupun
lemak. Biosintesis kolesterol terbagi menjadi
empat tahap. Tahapan pertama melibatkan
perubahan asetil koA menjadi 3-hidroksi-3metilglutaril-KoA
(HMG-KoA)
yang
dikatalisis oleh enzim HMG-KoA sintase,
dilanjutkan sintesis HMG-KoA menjadi
mevalonat yang dikatalisis oleh enzim HMGKoA reduktase. Mevalonat yang terbentuk
pada tahap pertama difosforilasi oleh ATP dan
dikatalisis oleh tiga kinase, dan setelah
dikarboksilasi
terbentuklah
unit-unit
isoprenoid,
yaitu
isopentenil
difosfat.
Selanjutnya isopentenil difosfat berisomerasi
membentuk dimetilalil difosfat lainnya
membentuk geranil difosfat. Kondensasi
selanjutnya membentuk fernesil difosfat. Dua
molekul fernesil difosfat berkondensasi
membentuk
skualena.
Skualena
akan
mengalami perubahan konformasi dan
membentuk lanosterol, dikatalisis oleh
lanosterol siklase. Pembentukan kolesterol
dari lanosterol terjadi di membran retikulum
endoplasma dan melibatkan perubahan pada
inti steroid dan sisi rantainya. Gugus metil
4
pada C14 dan C4 dihilangkan, lalu ikatan ganda
pada C8-C9 dipindahkan ke C3-C6 dalam dua
tahap membentuk demosterol. Akhirnya
ikatan ganda pada sisi rantai direduksi
sehingga menghasilkan kolesterol (Murray et
al. 2003).
Laju sintesis kolesterol oleh tubuh
ditentukan oleh laju pembentukan mevalonat
oleh HMG-KoA reduktase. Kerja enzim ini
dapat dihambat oleh kolesterol dari hasil
sintesis tubuh dan hasil degradasi LDL. Selain
itu kerja HMG KoA reduktase juga dapat
dihambat oleh beberapa obat penurun
kolesterol golongan statin. Proses sintesis
kolesterol ini dapat memenuhi sekitar 50%
dari total kolesterol yang dibutuhkan oleh
tubuh dan sisanya diperoleh dari diet.
Setelah kolesterol disintesis, senyawa ini
meninggalkan hati atau diubah menjadi
bentuk lain, yakni kolesterol dalam bentuk
bebas dan ester dengan asam lemak.
Kolesterol bebas dalam plasma diangkut
dalam bentuk lipoprotein. LDL merupakan
pengangkut kolesterol ke berbagai jaringan
sedangkan kolesterol dalam jaringan diangkut
oleh HDL dari jaringan ke hati untuk
disingkirkan dari tubuh atau diubah menjadi
asam empedu melalui mekanisme transpor
balik kolesterol (Gambar 1) (Murray et al.
2003).
Hubungan antara kolesterol dengan radikal
bebas besar kemungkinan terkait dengan
proses sintesis asam empedu. Ketika
kolesterol berlebih di dalam tubuh, maka
tubuh akan berusaha untuk mengeluarkan
kelebihan kolesterol tersebut. Jalur utama
pengeluaran kolesterol dari dalam tubuh
adalah melalui jalur sintesis asam empedu
yang berlangsung di hati.
Kolesterol akan diubah menjadi asam
empedu, yaitu asam kolat dan asam
kenodeoksikolat. Jalur sintesis asam empedu
ini diawali reaksi hidroksilasi kolesterol pada
karbon 7α oleh sitokrom P450 kolesterol 7αhidroksilase
(CYP7A1)
menjadi
7αhidroksikolesterol, suatu kelompok senyawa
oksisterol (Mayes & Botham 2003a; Zhao &
Wright 2010). Kelompok senyawa oksisterol
merupakan aktivator bagi Liver X Receptors
(LXR), yang merupakan sensor bagi
kolesterol. Saat jumlah oksisterol meningkat,
maka LXR akan menjaga sel dari kelebihan
kolesterol dengan cara meningkatkan ekskresi
kolesterol melalui jalur sintesis asam empedu
melalui peningkatan ekspresi dari CYP7A1.
Meningkatnya ekspresi CYP7A1 akan
meningkatkan aktivitas dari CYP7A1 (Zhao &
Wright 2010). Reaksi ini memerlukan
oksigen, NADPH, dan sitokrom P450
oksidase (Mayes & Botham 2003b). Semakin
meningkatnya konsentrasi kolesterol plasma
dalam tubuh pada kondisi hiperkolesterolemia
maka semakin banyak asam empedu yang
disintesis dan terjadi pemakaian lebih banyak
oksigen dan NADPH, serta peningkatan
aktivitas sitokrom P450 oksidase (Mayes &
Botham 2003b). Pada reaksi hidroksilasi
kolesterol ini, sitokrom P450 juga berperan
dalam memperantarai metabolisme retikulum
endoplasma yang dapat mereduksi oksigen
menjadi radikal bebas anion superoksida (O2-)
(Gambar 2).
Gambar 1 Metabolisme kolesterol (Murray et al. 2003).
5
Gambar 2 Siklus hidroksilasi sitokrom P450 (Mayes & Botham 2003b).
Efek kimiawi O2- dalam jaringan
diperkuat oleh sifatnya yang menimbulkan
reaksi rantai radikal bebas. Mayes (1996)
memaparkan bahwa O2- yang terikat pada
sitokrom P450 yang merupakan intermediet
dalam pengaktifan oksigen pada reaksi
hidroksilasi. Akibatnya, peningkatan aktivitas
sitokrom P450 dalam memperantarai reaksi
hidroksilasi membuat radikal bebas yang
terbentuk semakin banyak (Dhaunsi et
al.1992).
Radikal bebas ialah suatu senyawa kimia
yang memilki atom atau molekul dengan satu
atau lebih elektron yang tidak berpasangan
pada orbital paling luar, termasuk di antaranya
adalah hidrogen, logam-logam transisi, dan
molekul oksigen (Hernani dan Rahardjo
2005). Elekron bebas tersebut menyebabkan
molekul tidak stabil dan bersifat reaktif karena
berusaha mendapatkan pasangan elektron
(Muhilal 1991). Kereaktifan tersebut dapat
menimbulkan perubahan kimiawi dan
merusak beberapa komponen sel hidup
(Gitawani 1995). Radikal bebas dapat
dihasilkan secara endogen dan eksogen.
Secara
endogen
dapat
berasal
dari
metabolisme normal tubuh seperti proses
reduksi molekul oksigen dalam rangkaian
transpor elektron pada rantai respirasi
mitokondria, maupun pada proses enzimatik.
Secara eksogen dapat berasal dari luar tubuh
seperti aktivitas lingkungan, berupa radiasi,
polusi, asap rokok, ozon, dan pestisida
(Rohmatussolihat 2009). Radikal bebas yang
terdapat di dalam tubuh merupakan turunan
oksigen reaktif seperti superoksida (O2-),
hidrogen peroksida (H2O2), peroksil (ROO-),
oksida nitrit (NO-), peroksi nitrit (ONOO-),
dan hipoklorit (HOCl) (Murray et al. 2003).
Beberapa kerusakan yang ditimbulkan oleh
radikal bebas adalah kerusakan DNA, protein,
membran.
Lipid Peroksida
Lipid merupakan salah satu komponen
membran sel yang sensitif terhadap serangan
radikal bebas, sehingga mudah terbentuk lipid
peroksida.
Proses
pembentukan
lipid
peroksida
disebut
peroksidasi
lipid.
Peroksidasi lipid adalah reaksi yang terjadi
akibat penyatuan molekul oksigen terhadap
asam
lemak
tak
jenuh
majemuk
(Polyunsaturated Fatty Acid, PUFA) pada
membran biologis (Halliwel & Gutteridge
1999). Oksidasi PUFA oleh radikal bebas
terjadi pada atom H yang bersifat labil,
terutama yang terikat oleh atom C dekat
dengan ikatan rangkap, sehingga terbentuk
radikal bebas yang baru yang sangat peka
terhadap oksigen (radikal bebas peroksil,
ROO) (Hasanah 2008).
Peroksidasi lipid berjalan dalam tiga
tahapan reaksi, yaitu inisiasi, propagasi, dan
terminasi
(Murray et al. 2003). Tahap
inisiasi, terjadi ketika berpisahnya sebuah
atom hidrogen dari gugus metilena (-CH2-)
pada PUFA oleh radical oxygen species
(ROS). Reaksi ini menghasilkan radikal
karbon pada PUFA. Radikal karbon
distabilkan melalui suatu pengaturan ulang
rangkap menghasilkan diena terkonjugasi.
Saat keadaan anaerobik, diena terkonjugasi ini
bereaksi dengan O2 membentuk radikal
peroksil (ROO). Radikal peroksil ini dapat
menghilangkan atom hidrogen dari gugus
metilena (-CH2-) molekul lipid lain yang
berdekatan, khususnya dengan adanya logam
Cu dan Fe yang menyebabkan terjadinya
6
reaksi
autokatalitik.
Radikal
peroksil
bergabung dengan atom H dari -CH2- lipid
lain menghasilkan lipid hidroperoksida (ROOH-) dan radikal karbon lain (-CH-).
Tahap ini disebut propagasi. Tahapan
terminasi dimulai ketika radikal peroksil
mengalami proses transformasi menjadi
peroksida siklik lalu menjadi siklik
endoperoksida dari PUFA jenis arakidonat
atau asam eikosapentanoat akibat adanya
reaksi dengan α-tokoferol, senyawa lipofilik
pada membran sel (Hall & Bosken 2009).
Reaksi ini berlanjut menjadi sebuah produk
Fe2
Inisiasi
Fe3
lipid peroksida, yaitu malondialdehida (MDA)
(Gambar 3).
Produk sekunder tersebut dilaporkan
bersifat toksik terhadap membran sel dan
dianggap sebagai inisiator suatu reaksi, karena
MDA akan bereaksi dengan protein tubuh dan
menyebabkan pembentukkan senyawa yang
bersifat karsinogen, dan sebagai senyawa
mutagen (Halliwel & Gutteridge 1999).
Akibatnya, membran sel akan mengalami
kerusakan dan berakibat timbulnya penyakitpenyakit degeneratif (Widyaningrum 2008;
Hasanah 2008).
_____(R)___
Fe4 O
Fe3 O2LOO
LO
OH
PUFA
Radikal alil
Propagasi
Konjugat diena
Radikal peroksil
Lipid hidroperoksida
Radikal
alkoksil
Radikal
peroksil
Terminasi
Siklik peroksida
Siklik endoperoksida
Malondialdehida
Gambar 3 Pembentukan MDA pada peroksidasi lipid hati (Hall & Bosken 2009).
7
Kadar lipid peroksida digunakan sebagai
parameter kerusakan awal hati. Peningkatan
kadar lipid peroksida lebih jauh akan
menyebabkan akumulasi trigliserida pada sel
hati kemudian menyebabkan terjadinya
nekrosis hati (Ruswandi 2005). Koolman &
Roehm (2005) mengemukakan bahwa hati
mempunyai fungsi biotransformasi yang
dikatalisis oleh beberapa enzim antioksidan
yang diproduksi oleh hati. Salah satu contoh
biotransformasi adalah proses pengubahan
senyawa-senyawa
radikal
bebas
yang
berbahaya di dalam tubuh menjadi air dan
oksigen. Peroksidasi lipid pada mikrosom hati
dapat berlangsung secara enzimatis dan
nonenzimatis. Proses secara enzimatis yaitu
peroksidasi lipid bergantung pada NADPH,
sedangkan
secara
nonenzimatis
yaitu
peroksidasi lipid yang bergantung pada ion
Fe3+, ion ini berfungsi sebagai pengkompleks
ADP, pirofosfat, dan EDTA (Halliwel &
Gutteridge 1999).
Konsentrasi lipid peroksida yang berlebih
tidak hanya menyebabkan kerusakan hati,
tetapi dapat berpengaruh besar terhadap
kerusakan jaringan lain dalam tubuh manusia.
Menurut Yagi et al. (1994) apabila konsentasi
lipid peroksida di hati meningkat, maka lipid
peroksida ini dapat merusak sel hati sehingga
peroksida akan keluar dari hati menuju
pembuluh darah dan dapat merusak organ dan
jaringan lain. Konsentrasi lipid peroksida
yang meningkat pada jaringan maupun organ
dapat mengakibatkan berbagai penyakit
degeneratif, seperti penyakit jantung koroner
dan stroke. Pada manusia, kadar lipid
peroksida
dapat
meningkat
seiring
bertambahnya usia, namun jumlahnya tidak
boleh melebihi kadar normalnya, yaitu 4
nmol/g (Yagi 1994). Sayogya (2002)
melaporkan bahwa konsentrasi lipid peroksida
hati normal tikus Sprague Dawley sebesar 100
nmol/g. Adji (2004) melaporkan bahwa
konsentrasi lipid peroksida normal pada serum
darah Sprague Dawley sebesar 0.46±0.05
nmol/mL. Berdasarkan kedua penelitian
tersebut dapat dilihat bahwa konsentrasi lipid
peroksida hati lebih besar dari pada serum
darah.
Keberadaan produk sekunder lipid
peroksida berupa MDA dapat dianalisis
dengan asam tiobarbiturat (TBA) (Yagi 1994).
Metode asam tiobarbiturat digunakan untuk
mengukur aktivitas antioksidasi suatu
senyawa. Metode ini dilakukan secara tidak
langsung berdasarkan pengukuran produk
utama atau sekunder dari reaksi oksidasi lipid.
Adapun produk utama yang dihasilkan adalah
hidroksi peroksida dan aldehida sebagai
produk sekunder.
Prinsip metode TBA merupakan proses
autooksidasi dari asam linoleat yang
menghasilkan
TBA-reacting
substances
(TBARs), seperti malondialdehida (MDA).
TBA bereaksi dengan gugus karboksilat dari
MDA melalui penambahan nukleofilik
membentuk kompleks MDA-TBA dalam
suasana asam dengan pH 2-3. Satu molekul
MDA berikatan dengan dua molekul TBA
menghasilkan produk yang berwarna merah
muda sehingga dapat dikuantifikasi melalui
spektrofotometri pada panjang gelombang 532
nm (Gambar 4) (Yagi 1994).
Metode ini memiliki tingkat kepekaan
pada radikal bebas yang tinggi dan mudah
diaplikasikan untuk sampel dalam berbagai
macam tahap oksidasi. Menurut Bintang
(2010) metode ini mudah dilakukan dalam hal
menentukan jumlah radikal bebas yang
terbentuk. Beberapa senyawa dapat bereaksi
dengan TBA, seperti glukosa, sukrosa, asam
amino, dan urea dalam konsentrasi yang
sangat rendah. Metode TBA ini prinsip
awalnya adalah pemurnian lipid peroksida
dari senyawa-senyawa lain, kemudian diikat
oleh TBA. Penambahan H2SO4 pada serum
sampel berfungsi untuk memutuskan ikatan
lipid dengan senyawa lain seperti protein.
Proses
sentrifugasi
dilakukan
untuk
mengendapkan lipid bersama dengan protein.
Pelet yang diperoleh merupakn kumpulan
lipid peroksida (Yagi 1994). Penambahan
TBA 1% ke dalam pelet harus dalam kondisi
asam, yaitu untuk merenggangkan padatan
pelet sehingga TBA dapat bereaksi dengan
lipid peroksida. Proses dilanjutkan dengan
inkubasi pada suhu panas untuk mempercepat
reaksi. Penambahan n-butanol:piridin (15:1)
dilakukan untuk mengendapkan pengotorpengotor tersebut. Kemudian dilakukan
sentrifugasi
dan
diperoleh supernatan
berwarna merah keunguan yang merupakan
kompleks lipid peroksida-TBA (Yagi 1994).
TBA
MDA
TBA-MDA
Gambar 4 Kompleks TBA-MDA (Grotto et al.
2009).
Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa organik
spesifik yang aktif mencegah reaksi oksidasi.
8
Reaksi oksidasi dalam tubuh secara umum
melibatkan molekul dengan reaktivitas tinggi
yang disebut radikal bebas. Radikal bebas
biasanya menetap di dalam mitokondria.
Ketika radikal bebas tersebut keluar dari
mitokondria dan sistem perlindungan biologis
sel dalam keadaan terbatas, maka radikal
bebas mampu membahayakan beberapa
struktur seluler, seperti asam nukleat dan
komponen membran sel (lipid, protein, dan
karbohidrat).
Mekanisme kerja antioksidan dalam
menangkap radikal bebas terbagi menjadi tiga
macam, yaitu primer, sekunder, dan tersier.
Antioksidan
primer
berperan
dalam
mengurangi pembentukan radikal bebas baru
dengan memutus rantai reaksi menjadi
senyawa nonradikal atau senyawa radikal
yang lebih stabil (Christyaningsih et al. 2003).
Beberapa contoh antioksidan primer adalah
katalase, glutation peroksidase (GPx), dan
superoksida dismutase (SOD) (Gordon 1994).
Antioksidan sekunder bekerja dengan cara
mencegah tahapan inisiasi dalam reaksi
berantai radikal bebas. Antioksidan sekunder
biasa terdapat pada vitamin C, vitamin E,
vitamin B, senyawa-senyawa fitokimia, dan
betakaroten. Sedangkan antioksidan tersier
merupakan antioksidan yang bertugas untuk
memperbaiki molekul-molekul yang telah
mengalami kerusakan akibat radikal bebas dan
berperan dalam membuang berbagai molekul
yang telah rusak akibat teroksidasi sebelum
molekul-molekul tersebut terakumulasi dalam
tubuh dan mengganggu proses-proses di
dalam tubuh (Tandon et al. 2005). Salah satu
contoh antioksidan tersier adalah sulfoksida
reduktase yang berperan dalam perbaikan
DNA dan metionin.
Berdasarkan sumbernya, antioksidan dapat
dibagi menjadi dua jenis, yaitu antioksidan
endogen dan eksogen. Antioksidan endogen
merupakan antioksidan yang diperoleh dari
tubuh. Beberapa enzim yang tergolong
mampu bertindak sebagai antioksidan di
antaranya glutation peroksidase, superoksida
dismutase, dan katalase (Ming et al. 2009).
Glutation peroksidase mampu menghancurkan
asam lemak peroksida dan mengubahnya
menjadi senyawa yang tidak berbahaya.
Aktivitasnya berperan dalam perlindungan sel
karena asam lemak peroksida cenderung
berubah menjadi radikal bebas. Aktivitas ini
bergantung pada selenium yang merupakan
bagian fungsional enzim yang membuat enzim
memiliki aktivitas antioksidan. Superoksida
dismutase dan katalase mampu bereaksi
secara langsung dengan radikal bebas,
menurunkan
kemampuannya
untuk
mengoksidasi molekul dan menyebabkan
kerusakan seluler.
Antioksidan eksogen adalah senyawasenyawa yang memiliki daya antioksidan yang
berasal dari luar tubuh, contohnya adalah
vitamin C, vitamin E, beta karoten, seng, dan
selenium. Senyawa-senyawa tersebut dapat
diperoleh dari makanan yang bersumber
hewani maupun nabati. Selain itu, senyawasenyawa ekstrak tumbuhan berupa metabolit
sekunder juga memiliki aktivitas sebagai
antioksidan. Senyawa tersebut merupakan
fenolik atau polifenol yang dapat berupa
golongan alkaloid, flavonoid, turunan asam
sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam
organik fungsional (Ming et al. 2009). Emami
et al. (2007) menambahkan bahwa beberapa
fenolik (katekin, flavon, flavonol, dan
isoflavon), tanin (asam elagat, asam galat,
proantosianin), fenil isopropanoid (asam
kafein, asam kumarin, dan asam ferulat),
lignan, catchol, dan turunannya berperan
sebagai
antioksidan.
Senyawa-senyawa
tersebut dapat berfungsi sebagai pereduksi,
penangkap radikal, pengkelat logam, dan
terbentuknya singlet oksigen (Kumalaningsih
2007, diacu dalam Marpaung 2008).
Mahoni
Mahoni
(Swietenia
macrophylla)
merupakan tumbuhan kayu tropis yang
tergolong ke dalam kingdom Plantae, sub
kingdom
Tracheobionta,
divisi
Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub
kelas Rosidae, ordo Sapindales, famili
Meliaceae, dan genus Swietenia (USDA 2011)
(Gambar 5). Saat ini terdapat tiga spesies dari
pohon mahoni yang terklasifikasi, yaitu
Swietenia macrophylla King., Swietenia
mahogany Jacq, dan Swietenia humilis Zucc.
(Mayhew dan Newton 1998). Pada penelitian
ini menggunakan kulit batang mahoni berdaun
lebar
(Swietenia
macrophylla
King.).
Berdasarkan sejarahnya, tumbuhan kayu ini
merupakan tanaman tropis yang berasal dari
wilayah Amerika, termasuk Meksiko bagian
selatan, Amerika Tengah, dan Bolivia (Tan et
al. 2009).
Morfologi tanaman ini yaitu memiliki kulit
berwarna abu-abu dan halus ketika masih
muda, selanjutnya berubah menjadi warna
coklat tua, menggelembung dan mengelupas
setelah tua. Daunnya bertandan dan menyirip
dengan panjang berkisar antara 35-50 cm,
tersusun bergantian, halus berpasangan 4-6
daun, lebarnya berkisar 9-18 cm. Bunganya
kecil berwarna putih, panjangnya 10-20 cm,
Download