2 dosis pengobatan hiperurisemia mampu menurunkan konsentrasi lipid peroksida hati tikus sebesar 32.25%. Potensi ekstrak air kulit kayu mahoni sebagai penurun kolesterol darah pada tikus hiperkolesterolemia telah diteliti oleh Ferdiansyah et al. (2011). Berkaitan dengan penelitian tersebut, penelitian ini bertujuan menentukan pengaruh pemberian ekstrak air kulit kayu mahoni terhadap peroksidasi lipid melalui analisis lipid peroksida hati tikus hiperkolesterolemia. Hipotesis penelitian ini adalah ekstrak air kulit kayu mahoni akan menurunkan konsentrasi lipid peroksida hati tikus hiperkolesterolemia. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat luas mengenai potensi ekstrak air kulit kayu mahoni sebagai antioksidan, khususnya sebagai terapi penurun kadar lipid peroksida hati. Secara aplikatif, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk pengembangan kulit kayu mahoni sebagai produk fitofarmaka. TINJAUAN PUSTAKA Hati Hati merupakan salah satu organ tubuh terbesar dan kompleks, yang terdapat di dalam rongga perut kanan atas, di bawah diafragma kanan, dan dilindungi tulang iga kanan bawah. Organ ini berwarna merah tua dan berbobot antara 1200-1600 g atau sekitar 2.5% dari bobot total orang dewasa. Hati terlibat dalam pemakaian oksigen sekitar 25-30%. Organ ini terbagi menjadi dua lobus, lobus kanan besarnya enam kali bagian kirinya. Setiap lobus terdiri atas ribuan lobulus yang merupakan unit fungsional. Setiap lobulus terdiri atas sel-sel hepatosit yang berbentuk kubus dan tersusun melingkar mengelilingi vena sentralis, di antara lobulus (interlobular) terdapat saluran empedu dan kapiler (sinusoid) yang merupakan cabang vena porta dan arteria hepatika (Dalimartha 2005). Sinusoid dibatasi oleh sel Kupffer yang merupakan sistem retikuloendotelial dan mempunyai fungsi serupa dengan sel makrofag. Hati terdiri dari sel-sel parenkim hati (hepatosit) sekitar 60% dan sel-sel endotel sekitar 30% yang membatasi sinusoidsinusoid hati, sisanya merupakan sel-sel pembuluh darah, jaringan menyambung dan saluran empedu. Hati memiliki peran penting dalam metabolisme tubuh, yaitu metabolisme bahan- bahan makanan yang dikirimkan oleh vena porta setelah diabsorbsi dari usus. Bahan hasil metabolisme ini melewati hati dan dapat tersimpan dalam hati. Fungsi hati lainnya adalah detoksifikasi toksin dan radikal bebas, yaitu melalui reaksi konjugasi dengan beberapa senyawa yang dihasilkan di dalam hati, seperti glutation, asam glukuronat, glisin, dan asetat. Hati juga sebagai organ pertahanan tubuh, yaitu dengan adanya sel Kupffer yang mempunyai kemampuan fagositosis sel-sel tua, partikel atau benda asing, sel tumor, bakteri, virus, dan parasit di dalam hati. Hati memiliki kapasitas cadangan yang besar, yaitu hanya dengan 10%-20% jaringan hati yang masih berfungsi ternyata sudah cukup untuk mempertahankan hidup pemiliknya. Kemampuan regenerasi jaringan yang mati cukup besar sehingga akan cepat digantikan dengan yang baru (Dalimartha 2005). Organ hati merupakan pusat dari metabolisme dalam sebagian besar hewan. Organ ini berfungsi dalam proses detoksifikasi senyawa-senyawa toksik, hematologis, sistem imun tubuh, berperan dalam proses metabolisme biomolekul, dan sekresi produk akhir metabolisme seperti bilirubin, amonia, dan urea. Membran-membran mikrosom hati sangat rentan terhadap peroksidasi lipid, karena membran tersebut banyak mengandung asam lemak tak jenuh (Muliasari 2009). Sel hati mempunyai bentuk ultrastruktur yang mencerminkan bahwa sel terlibat dalam berbagai fungsi metabolik yang luas. Sel ini mengandung berbagai enzim, Beberapa diantaranya penting untuk diagnostik karena dialirkan ke pembuluh darah vena dan aktivitasnya dapat diukur sehingga dapat menunjukkan adanya penyakit hati atau tingkat keparahannya (Ganong 2002). Enzimenzim tersebut diantaranya adalah aspartat aminotransferase (AST), alanin aminotransferase (ALT), alkalin fosfatase (ALP), γ-glutamintransferase (GGT), laktat dehidrogenase, dan 5-nukleotidase. Produk peroksidasi lipid, malondialdehida (MDA), juga teralirkan ke pembuluh vena (Stockham & Scott 2008). Hiperkolesterolemia dan Radikal Bebas Hiperkolesterolemia merupakan kondisi tingginya kolesterol yang terdapat di dalam darah melebihi normalnya. Pada keadaan normal, total kolesterol plasma (Total Plasma Cholesterol, TPC) pada manusia adalah kurang dari 200 mg/dL, dengan batas normal tertinggi berkisar 200-239 mg/dL. Namun, jika TPC melebihi 240 mg/dL, maka 3 dikategorikan hiperkolesterolemia ringan. Kondisi hiperkolesterolemia sedang berada pada kisaran dengan TPC antara 240-289 mg/dL. Jika TPC melebihi 290 mg/dL, makadikategorikan hiperkolesterolemia berat (Grundy 1991; Ganong 2002). Namun, pada hewan percobaan, konsentrasi kolesterol darah normal tikus berada kisaran 40-130 mg/dL (Malole & Pramono 1989). Faktor yang mempengaruhi hiperkolesterolemia adalah obesitas, usia, kurang olahraga, stres, gangguan metabolisme, gangguan genetik, dan pola konsumsi makanan sehari-hari yang dapat meningkatkan konsentrasi lipid atau kolesterol. Makanan yang kaya akan kolesterol dan asam lemak jenuh dapat menekan pembentukan reseptor lipoprotein berdensitas rendah (Low Density Lipoprotein, LDL) sehingga meningkatkan kolesterol di dalam darah (Grundy 1991). Reseptor LDL adalah protein mosaik yang berperan dalam proses endositosis LDL yang kaya kolesterol. Reseptor LDL terdapat di seluruh permukaan sel yang memiliki nukleus, terutama di sel hati yang menyingkirkan hampir 70% LDL dari sirkulasi darah. Jika pembentukan reseptor LDL menurun, maka jumlah kolesterol yang beredar di dalam tubuh akan melebihi normal (Kasim et al. 2006). Kondisi hiperkolesterolemia pada hewan percobaan dapat dibuat dengan cara induksi endogen dan eksogen. Pada induksi endogen, tikus diberikan konsumsi pakan kolesterol. Nofendri (2004) melaporkan bahwa pemberian pakan kolesterol 12.5% selama 7 hari dapat menaikan konsentrasi kolesterol 181.40%. Pada induksi eksogen, kondisi tikus percobaan dapat dibuat hiperkolesterol, yakni dengan cara pemberian propiltiourasil (PTU). Mustika (2010) melaporkan bahwa pemberian pakan pakan kolesterol 1.5% dan PTU 0.5 mg/kg bb selama 8 minggu mampu menaikkan konsentrasi kolesterol sebesar 52.57%. PTU merupakan suatu zat antitiroid yang dapat merusak kelenjar tiroid, sehingga menghambat pembentukan hormon tiroid. Hormon tiroid ini dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah dengan cara meningkatkan pembentukkan reseptor LDL di hati (Kasim et al. 2006). Terdapat beberapa obat yang dapat menurunkan kadar kolesterol di dalam tubuh. Salah satu contohnya adalah lovastatin. Lovastatin dapat berkompetisi untuk berikatan dengan HMG-KoA untuk berikatan dengan HMG-KoA reduktase, yaitu suatu enzim yang mengontrol biosintesis kolesterol. Bila jumlah lovastatin cukup besar untuk berikatan dengan HMG-KoA reduktase, maka asam mevalonat yang merupakan senyawa dalam sintesis kolesterol tidak akan terbentuk sehingga pembentuan kolesterol menjadi terhambat. Kasim et al. (2006) mengemukakan bahwa pemberian lovastatin secara rutin kepada penderita hiperkolesterolemia dapat menurunkan kadar kolesterol darah hingga 30%. Hasil penelitian Mustika (2010) menunjukkan bahwa lovastatin mampu menurunkan kadar kolesterol pada hewan percobaan sebesar 33.78%. Berdasarkan biosintesisnya, kolesterol disintesis di banyak jaringan dari asetil KoA dan prekursor lain berupa steroid, seperti kortikosteroid, hormon seks, asam empedu, dan vitamin D. Tubuh dapat mensintesis lebih dari setengah kebutuhan kolesterol, yakni sekitar 700 mg/dL. Sintesis kolesterol berlangsung hampir pada seluruh jaringan hewan, tetapi pada hewan mamalia aktivitas biosintesis kolesterol yang tertinggi terjadi pada organ hati, kelenjar adrenal, ovarium, dan testis (Valenzuela et al. 2003). Hati dan usus masing-masing mensintesis 10% kolesterol. Jaringan-jaringan lain yang bernukleus juga dapat mensintesis kolesterol, sintesisnya terjadi di retikulum endoplasma dan sitosol (Mayes & Botham 2003a). Prekursor yang digunakan oleh hati untuk mensintesis kolesterol berupa asetil koenzim A (asetil KoA) yang merupakan hasil metabolisme karbohidrat, protein, ataupun lemak. Biosintesis kolesterol terbagi menjadi empat tahap. Tahapan pertama melibatkan perubahan asetil koA menjadi 3-hidroksi-3metilglutaril-KoA (HMG-KoA) yang dikatalisis oleh enzim HMG-KoA sintase, dilanjutkan sintesis HMG-KoA menjadi mevalonat yang dikatalisis oleh enzim HMGKoA reduktase. Mevalonat yang terbentuk pada tahap pertama difosforilasi oleh ATP dan dikatalisis oleh tiga kinase, dan setelah dikarboksilasi terbentuklah unit-unit isoprenoid, yaitu isopentenil difosfat. Selanjutnya isopentenil difosfat berisomerasi membentuk dimetilalil difosfat lainnya membentuk geranil difosfat. Kondensasi selanjutnya membentuk fernesil difosfat. Dua molekul fernesil difosfat berkondensasi membentuk skualena. Skualena akan mengalami perubahan konformasi dan membentuk lanosterol, dikatalisis oleh lanosterol siklase. Pembentukan kolesterol dari lanosterol terjadi di membran retikulum endoplasma dan melibatkan perubahan pada inti steroid dan sisi rantainya. Gugus metil 4 pada C14 dan C4 dihilangkan, lalu ikatan ganda pada C8-C9 dipindahkan ke C3-C6 dalam dua tahap membentuk demosterol. Akhirnya ikatan ganda pada sisi rantai direduksi sehingga menghasilkan kolesterol (Murray et al. 2003). Laju sintesis kolesterol oleh tubuh ditentukan oleh laju pembentukan mevalonat oleh HMG-KoA reduktase. Kerja enzim ini dapat dihambat oleh kolesterol dari hasil sintesis tubuh dan hasil degradasi LDL. Selain itu kerja HMG KoA reduktase juga dapat dihambat oleh beberapa obat penurun kolesterol golongan statin. Proses sintesis kolesterol ini dapat memenuhi sekitar 50% dari total kolesterol yang dibutuhkan oleh tubuh dan sisanya diperoleh dari diet. Setelah kolesterol disintesis, senyawa ini meninggalkan hati atau diubah menjadi bentuk lain, yakni kolesterol dalam bentuk bebas dan ester dengan asam lemak. Kolesterol bebas dalam plasma diangkut dalam bentuk lipoprotein. LDL merupakan pengangkut kolesterol ke berbagai jaringan sedangkan kolesterol dalam jaringan diangkut oleh HDL dari jaringan ke hati untuk disingkirkan dari tubuh atau diubah menjadi asam empedu melalui mekanisme transpor balik kolesterol (Gambar 1) (Murray et al. 2003). Hubungan antara kolesterol dengan radikal bebas besar kemungkinan terkait dengan proses sintesis asam empedu. Ketika kolesterol berlebih di dalam tubuh, maka tubuh akan berusaha untuk mengeluarkan kelebihan kolesterol tersebut. Jalur utama pengeluaran kolesterol dari dalam tubuh adalah melalui jalur sintesis asam empedu yang berlangsung di hati. Kolesterol akan diubah menjadi asam empedu, yaitu asam kolat dan asam kenodeoksikolat. Jalur sintesis asam empedu ini diawali reaksi hidroksilasi kolesterol pada karbon 7α oleh sitokrom P450 kolesterol 7αhidroksilase (CYP7A1) menjadi 7αhidroksikolesterol, suatu kelompok senyawa oksisterol (Mayes & Botham 2003a; Zhao & Wright 2010). Kelompok senyawa oksisterol merupakan aktivator bagi Liver X Receptors (LXR), yang merupakan sensor bagi kolesterol. Saat jumlah oksisterol meningkat, maka LXR akan menjaga sel dari kelebihan kolesterol dengan cara meningkatkan ekskresi kolesterol melalui jalur sintesis asam empedu melalui peningkatan ekspresi dari CYP7A1. Meningkatnya ekspresi CYP7A1 akan meningkatkan aktivitas dari CYP7A1 (Zhao & Wright 2010). Reaksi ini memerlukan oksigen, NADPH, dan sitokrom P450 oksidase (Mayes & Botham 2003b). Semakin meningkatnya konsentrasi kolesterol plasma dalam tubuh pada kondisi hiperkolesterolemia maka semakin banyak asam empedu yang disintesis dan terjadi pemakaian lebih banyak oksigen dan NADPH, serta peningkatan aktivitas sitokrom P450 oksidase (Mayes & Botham 2003b). Pada reaksi hidroksilasi kolesterol ini, sitokrom P450 juga berperan dalam memperantarai metabolisme retikulum endoplasma yang dapat mereduksi oksigen menjadi radikal bebas anion superoksida (O2-) (Gambar 2). Gambar 1 Metabolisme kolesterol (Murray et al. 2003). 5 Gambar 2 Siklus hidroksilasi sitokrom P450 (Mayes & Botham 2003b). Efek kimiawi O2- dalam jaringan diperkuat oleh sifatnya yang menimbulkan reaksi rantai radikal bebas. Mayes (1996) memaparkan bahwa O2- yang terikat pada sitokrom P450 yang merupakan intermediet dalam pengaktifan oksigen pada reaksi hidroksilasi. Akibatnya, peningkatan aktivitas sitokrom P450 dalam memperantarai reaksi hidroksilasi membuat radikal bebas yang terbentuk semakin banyak (Dhaunsi et al.1992). Radikal bebas ialah suatu senyawa kimia yang memilki atom atau molekul dengan satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital paling luar, termasuk di antaranya adalah hidrogen, logam-logam transisi, dan molekul oksigen (Hernani dan Rahardjo 2005). Elekron bebas tersebut menyebabkan molekul tidak stabil dan bersifat reaktif karena berusaha mendapatkan pasangan elektron (Muhilal 1991). Kereaktifan tersebut dapat menimbulkan perubahan kimiawi dan merusak beberapa komponen sel hidup (Gitawani 1995). Radikal bebas dapat dihasilkan secara endogen dan eksogen. Secara endogen dapat berasal dari metabolisme normal tubuh seperti proses reduksi molekul oksigen dalam rangkaian transpor elektron pada rantai respirasi mitokondria, maupun pada proses enzimatik. Secara eksogen dapat berasal dari luar tubuh seperti aktivitas lingkungan, berupa radiasi, polusi, asap rokok, ozon, dan pestisida (Rohmatussolihat 2009). Radikal bebas yang terdapat di dalam tubuh merupakan turunan oksigen reaktif seperti superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2), peroksil (ROO-), oksida nitrit (NO-), peroksi nitrit (ONOO-), dan hipoklorit (HOCl) (Murray et al. 2003). Beberapa kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas adalah kerusakan DNA, protein, membran. Lipid Peroksida Lipid merupakan salah satu komponen membran sel yang sensitif terhadap serangan radikal bebas, sehingga mudah terbentuk lipid peroksida. Proses pembentukan lipid peroksida disebut peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid adalah reaksi yang terjadi akibat penyatuan molekul oksigen terhadap asam lemak tak jenuh majemuk (Polyunsaturated Fatty Acid, PUFA) pada membran biologis (Halliwel & Gutteridge 1999). Oksidasi PUFA oleh radikal bebas terjadi pada atom H yang bersifat labil, terutama yang terikat oleh atom C dekat dengan ikatan rangkap, sehingga terbentuk radikal bebas yang baru yang sangat peka terhadap oksigen (radikal bebas peroksil, ROO) (Hasanah 2008). Peroksidasi lipid berjalan dalam tiga tahapan reaksi, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi (Murray et al. 2003). Tahap inisiasi, terjadi ketika berpisahnya sebuah atom hidrogen dari gugus metilena (-CH2-) pada PUFA oleh radical oxygen species (ROS). Reaksi ini menghasilkan radikal karbon pada PUFA. Radikal karbon distabilkan melalui suatu pengaturan ulang rangkap menghasilkan diena terkonjugasi. Saat keadaan anaerobik, diena terkonjugasi ini bereaksi dengan O2 membentuk radikal peroksil (ROO). Radikal peroksil ini dapat menghilangkan atom hidrogen dari gugus metilena (-CH2-) molekul lipid lain yang berdekatan, khususnya dengan adanya logam Cu dan Fe yang menyebabkan terjadinya 6 reaksi autokatalitik. Radikal peroksil bergabung dengan atom H dari -CH2- lipid lain menghasilkan lipid hidroperoksida (ROOH-) dan radikal karbon lain (-CH-). Tahap ini disebut propagasi. Tahapan terminasi dimulai ketika radikal peroksil mengalami proses transformasi menjadi peroksida siklik lalu menjadi siklik endoperoksida dari PUFA jenis arakidonat atau asam eikosapentanoat akibat adanya reaksi dengan α-tokoferol, senyawa lipofilik pada membran sel (Hall & Bosken 2009). Reaksi ini berlanjut menjadi sebuah produk Fe2 Inisiasi Fe3 lipid peroksida, yaitu malondialdehida (MDA) (Gambar 3). Produk sekunder tersebut dilaporkan bersifat toksik terhadap membran sel dan dianggap sebagai inisiator suatu reaksi, karena MDA akan bereaksi dengan protein tubuh dan menyebabkan pembentukkan senyawa yang bersifat karsinogen, dan sebagai senyawa mutagen (Halliwel & Gutteridge 1999). Akibatnya, membran sel akan mengalami kerusakan dan berakibat timbulnya penyakitpenyakit degeneratif (Widyaningrum 2008; Hasanah 2008). _____(R)___ Fe4 O Fe3 O2LOO LO OH PUFA Radikal alil Propagasi Konjugat diena Radikal peroksil Lipid hidroperoksida Radikal alkoksil Radikal peroksil Terminasi Siklik peroksida Siklik endoperoksida Malondialdehida Gambar 3 Pembentukan MDA pada peroksidasi lipid hati (Hall & Bosken 2009). 7 Kadar lipid peroksida digunakan sebagai parameter kerusakan awal hati. Peningkatan kadar lipid peroksida lebih jauh akan menyebabkan akumulasi trigliserida pada sel hati kemudian menyebabkan terjadinya nekrosis hati (Ruswandi 2005). Koolman & Roehm (2005) mengemukakan bahwa hati mempunyai fungsi biotransformasi yang dikatalisis oleh beberapa enzim antioksidan yang diproduksi oleh hati. Salah satu contoh biotransformasi adalah proses pengubahan senyawa-senyawa radikal bebas yang berbahaya di dalam tubuh menjadi air dan oksigen. Peroksidasi lipid pada mikrosom hati dapat berlangsung secara enzimatis dan nonenzimatis. Proses secara enzimatis yaitu peroksidasi lipid bergantung pada NADPH, sedangkan secara nonenzimatis yaitu peroksidasi lipid yang bergantung pada ion Fe3+, ion ini berfungsi sebagai pengkompleks ADP, pirofosfat, dan EDTA (Halliwel & Gutteridge 1999). Konsentrasi lipid peroksida yang berlebih tidak hanya menyebabkan kerusakan hati, tetapi dapat berpengaruh besar terhadap kerusakan jaringan lain dalam tubuh manusia. Menurut Yagi et al. (1994) apabila konsentasi lipid peroksida di hati meningkat, maka lipid peroksida ini dapat merusak sel hati sehingga peroksida akan keluar dari hati menuju pembuluh darah dan dapat merusak organ dan jaringan lain. Konsentrasi lipid peroksida yang meningkat pada jaringan maupun organ dapat mengakibatkan berbagai penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner dan stroke. Pada manusia, kadar lipid peroksida dapat meningkat seiring bertambahnya usia, namun jumlahnya tidak boleh melebihi kadar normalnya, yaitu 4 nmol/g (Yagi 1994). Sayogya (2002) melaporkan bahwa konsentrasi lipid peroksida hati normal tikus Sprague Dawley sebesar 100 nmol/g. Adji (2004) melaporkan bahwa konsentrasi lipid peroksida normal pada serum darah Sprague Dawley sebesar 0.46±0.05 nmol/mL. Berdasarkan kedua penelitian tersebut dapat dilihat bahwa konsentrasi lipid peroksida hati lebih besar dari pada serum darah. Keberadaan produk sekunder lipid peroksida berupa MDA dapat dianalisis dengan asam tiobarbiturat (TBA) (Yagi 1994). Metode asam tiobarbiturat digunakan untuk mengukur aktivitas antioksidasi suatu senyawa. Metode ini dilakukan secara tidak langsung berdasarkan pengukuran produk utama atau sekunder dari reaksi oksidasi lipid. Adapun produk utama yang dihasilkan adalah hidroksi peroksida dan aldehida sebagai produk sekunder. Prinsip metode TBA merupakan proses autooksidasi dari asam linoleat yang menghasilkan TBA-reacting substances (TBARs), seperti malondialdehida (MDA). TBA bereaksi dengan gugus karboksilat dari MDA melalui penambahan nukleofilik membentuk kompleks MDA-TBA dalam suasana asam dengan pH 2-3. Satu molekul MDA berikatan dengan dua molekul TBA menghasilkan produk yang berwarna merah muda sehingga dapat dikuantifikasi melalui spektrofotometri pada panjang gelombang 532 nm (Gambar 4) (Yagi 1994). Metode ini memiliki tingkat kepekaan pada radikal bebas yang tinggi dan mudah diaplikasikan untuk sampel dalam berbagai macam tahap oksidasi. Menurut Bintang (2010) metode ini mudah dilakukan dalam hal menentukan jumlah radikal bebas yang terbentuk. Beberapa senyawa dapat bereaksi dengan TBA, seperti glukosa, sukrosa, asam amino, dan urea dalam konsentrasi yang sangat rendah. Metode TBA ini prinsip awalnya adalah pemurnian lipid peroksida dari senyawa-senyawa lain, kemudian diikat oleh TBA. Penambahan H2SO4 pada serum sampel berfungsi untuk memutuskan ikatan lipid dengan senyawa lain seperti protein. Proses sentrifugasi dilakukan untuk mengendapkan lipid bersama dengan protein. Pelet yang diperoleh merupakn kumpulan lipid peroksida (Yagi 1994). Penambahan TBA 1% ke dalam pelet harus dalam kondisi asam, yaitu untuk merenggangkan padatan pelet sehingga TBA dapat bereaksi dengan lipid peroksida. Proses dilanjutkan dengan inkubasi pada suhu panas untuk mempercepat reaksi. Penambahan n-butanol:piridin (15:1) dilakukan untuk mengendapkan pengotorpengotor tersebut. Kemudian dilakukan sentrifugasi dan diperoleh supernatan berwarna merah keunguan yang merupakan kompleks lipid peroksida-TBA (Yagi 1994). TBA MDA TBA-MDA Gambar 4 Kompleks TBA-MDA (Grotto et al. 2009). Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa organik spesifik yang aktif mencegah reaksi oksidasi. 8 Reaksi oksidasi dalam tubuh secara umum melibatkan molekul dengan reaktivitas tinggi yang disebut radikal bebas. Radikal bebas biasanya menetap di dalam mitokondria. Ketika radikal bebas tersebut keluar dari mitokondria dan sistem perlindungan biologis sel dalam keadaan terbatas, maka radikal bebas mampu membahayakan beberapa struktur seluler, seperti asam nukleat dan komponen membran sel (lipid, protein, dan karbohidrat). Mekanisme kerja antioksidan dalam menangkap radikal bebas terbagi menjadi tiga macam, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Antioksidan primer berperan dalam mengurangi pembentukan radikal bebas baru dengan memutus rantai reaksi menjadi senyawa nonradikal atau senyawa radikal yang lebih stabil (Christyaningsih et al. 2003). Beberapa contoh antioksidan primer adalah katalase, glutation peroksidase (GPx), dan superoksida dismutase (SOD) (Gordon 1994). Antioksidan sekunder bekerja dengan cara mencegah tahapan inisiasi dalam reaksi berantai radikal bebas. Antioksidan sekunder biasa terdapat pada vitamin C, vitamin E, vitamin B, senyawa-senyawa fitokimia, dan betakaroten. Sedangkan antioksidan tersier merupakan antioksidan yang bertugas untuk memperbaiki molekul-molekul yang telah mengalami kerusakan akibat radikal bebas dan berperan dalam membuang berbagai molekul yang telah rusak akibat teroksidasi sebelum molekul-molekul tersebut terakumulasi dalam tubuh dan mengganggu proses-proses di dalam tubuh (Tandon et al. 2005). Salah satu contoh antioksidan tersier adalah sulfoksida reduktase yang berperan dalam perbaikan DNA dan metionin. Berdasarkan sumbernya, antioksidan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu antioksidan endogen dan eksogen. Antioksidan endogen merupakan antioksidan yang diperoleh dari tubuh. Beberapa enzim yang tergolong mampu bertindak sebagai antioksidan di antaranya glutation peroksidase, superoksida dismutase, dan katalase (Ming et al. 2009). Glutation peroksidase mampu menghancurkan asam lemak peroksida dan mengubahnya menjadi senyawa yang tidak berbahaya. Aktivitasnya berperan dalam perlindungan sel karena asam lemak peroksida cenderung berubah menjadi radikal bebas. Aktivitas ini bergantung pada selenium yang merupakan bagian fungsional enzim yang membuat enzim memiliki aktivitas antioksidan. Superoksida dismutase dan katalase mampu bereaksi secara langsung dengan radikal bebas, menurunkan kemampuannya untuk mengoksidasi molekul dan menyebabkan kerusakan seluler. Antioksidan eksogen adalah senyawasenyawa yang memiliki daya antioksidan yang berasal dari luar tubuh, contohnya adalah vitamin C, vitamin E, beta karoten, seng, dan selenium. Senyawa-senyawa tersebut dapat diperoleh dari makanan yang bersumber hewani maupun nabati. Selain itu, senyawasenyawa ekstrak tumbuhan berupa metabolit sekunder juga memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Senyawa tersebut merupakan fenolik atau polifenol yang dapat berupa golongan alkaloid, flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik fungsional (Ming et al. 2009). Emami et al. (2007) menambahkan bahwa beberapa fenolik (katekin, flavon, flavonol, dan isoflavon), tanin (asam elagat, asam galat, proantosianin), fenil isopropanoid (asam kafein, asam kumarin, dan asam ferulat), lignan, catchol, dan turunannya berperan sebagai antioksidan. Senyawa-senyawa tersebut dapat berfungsi sebagai pereduksi, penangkap radikal, pengkelat logam, dan terbentuknya singlet oksigen (Kumalaningsih 2007, diacu dalam Marpaung 2008). Mahoni Mahoni (Swietenia macrophylla) merupakan tumbuhan kayu tropis yang tergolong ke dalam kingdom Plantae, sub kingdom Tracheobionta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Rosidae, ordo Sapindales, famili Meliaceae, dan genus Swietenia (USDA 2011) (Gambar 5). Saat ini terdapat tiga spesies dari pohon mahoni yang terklasifikasi, yaitu Swietenia macrophylla King., Swietenia mahogany Jacq, dan Swietenia humilis Zucc. (Mayhew dan Newton 1998). Pada penelitian ini menggunakan kulit batang mahoni berdaun lebar (Swietenia macrophylla King.). Berdasarkan sejarahnya, tumbuhan kayu ini merupakan tanaman tropis yang berasal dari wilayah Amerika, termasuk Meksiko bagian selatan, Amerika Tengah, dan Bolivia (Tan et al. 2009). Morfologi tanaman ini yaitu memiliki kulit berwarna abu-abu dan halus ketika masih muda, selanjutnya berubah menjadi warna coklat tua, menggelembung dan mengelupas setelah tua. Daunnya bertandan dan menyirip dengan panjang berkisar antara 35-50 cm, tersusun bergantian, halus berpasangan 4-6 daun, lebarnya berkisar 9-18 cm. Bunganya kecil berwarna putih, panjangnya 10-20 cm,