EVALUASI MUTU PROTEIN SECARA BIOLOGIS DAGING YANG DIFERMENTASI Lactobacillus plantarum SKRIPSI MOHAMMAD DENNY RACHMAT RAMADHAN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN MOHAMMAD DENNY RACHMAT RAMADHAN. D14203083. 2008. Evaluasi Mutu Protein secara Biologis Daging yang Difermentasi Lactobacillus plantarum. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si. Pembimbing Anggota : Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. Daging merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki kandungan protein, air, lemak, vitamin B (terutama asam nikotinat) dan zat besi yang tinggi. Hal tersebut menyebabkan daging disukai oleh mikroorganisme patogen, sehingga daging mudah rusak. Fermentasi merupakan salah satu metode pengolahan untuk memperpanjang umur simpan, dengan memanfaatkan kultur bakteri asam laktat. Lactobacillus plantarum (L. plantarum) merupakan jenis bakteri asam laktat yang dapat digunakan untuk fermentasi daging. Selain itu L. plantarum juga menghasilkan enzim proteolitik yang dapat mendegradasikan protein pada daging sapi (Kurniawati, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi nilai gizi protein daging fermentasi L. plantarum secara biologis (in-vivo) terhadap tikus putih (Rattus norvegicus) yang meliputi daya cerna sejati, nilai biologis, dan NPU (Net Protein Utilization) hitung dan NDPV (Net Dietary Protein Value). Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hewan Percobaan, Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Laboratorium Observasi Satwa Langka dan Harapan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, dan Laboratorium Ruminansia Besar Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni 2007 sampai Pebruari 2008. Model rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola searah dengan empat ekor tikus sebagai ulangan. Perlakuan yang diberikan yaitu pemberian ransum dengan sumber protein yang berbeda. Sumber protein yang digunakan meliputi daging fermentasi dan kasein (sebagai kontrol). Selain itu dilakukan pula pengujian mutu protein pada daging panggang, yang dibandingkan secara deskritif. Peubah yang diamati adalah daya cerna sejati, nilai biologis, NPU hitung, dan NDPV. Hasil analisis daging yang difermentasi memiliki daya cerna yang lebih baik (93,09 ± 1,343) dibandingkan dengan kasein (90,62 ± 0,895), hal ini disebabkan degradasi protein oleh L. plantarum dan sifat asam dari fermentasi sehingga mempermudah kerja enzim pepsin di saluran pencernaan. Nilai biologi yang tidak berbeda secara statistik antara daging fermentasi (71,19 ± 14,25) dengan kasein (85,95 ± 3,17) dan lebih rendahnya nilai daging panggang (64,44 ± 5,601) membuktikan protein yang terserap oleh tubuh dari daging fermentasi lebih baik dari pada daging panggang. Nilai NPU yang tidak berbeda antara daging fermentasi (66,19 ± 12,73) dengan kasein (77,99 ± 2,11), dengan demikian daging fermentasi mampu menyamai nilai evaluasi gizi protein dari kasein, dan lebih baik dari daging panggang(60,37 ± 6,248). Nilai NDPV yang relatif sama antara daging fermentasi (6,80 ± 0,83) dengan kasein (7,72 ± 0,23) membuktikan ratio protein dan kalori yang terserap hampir sama, sedangkan daging panggang memiliki nilai yang lebih rendah (5,7531 ± 0.6931). Kata-kata kunci : daging fermentasi, daya cerna sejati, L. plantarum, nilai biologis, NPU (Net Protein Utilization). ii ABSTRACT Evaluated Quality of Biological from Fermented Beef by Lactobacillus plantarum Ramadhan, M. D. R., I. I. Arief, T. Suryati L. plantarum could improve the protein quantity and amino acid composition of beef, but it have not proved yet for its protein quality. The aim of this research was to evaluate true digestibility, biological value, NPU, and NDPV of fermented beef. This ration was fed to 16 male white mouse albino Norway Rat (Rattus novergicus) post wean, into 4 group. First group was fed by kasein ratio as control, second group was fed by fermented beef, third group was fed without any protein contain to know N metabolic and N endogenus and fourth group was fed by roasted beef with different time of examination. The result of this research showed that true digestibility of fermented beef was better (93.09 ± 1.343) compared to kasein (90.62 ± 0.895). Biological value between fermented beef (71.19 ± 14.25) and kasein (85.95 ± 3.17) were not different significantly. Biological value and true digestibility of roasted beef were lower than fermented beef and kasein. It proved that the absorbed protein from fermented beef was better than roasted beef. The result of NPU was not different between fermented beef (66.19 ± 12.73) and kasein. It mean that nutrition evaluated value of protein from fermented beef was equal with kasein, and better than roasted beef (60.37 ± 6.248). NDPV between fermented beef (6.80 ± 0.83) and kasein (7.72 ± 0.23) were equal. It proved that the ratio of absorbed protein and calori was equal, and the roasted beef (5.7531 ± 0.6931) had NDPV which was lower than fermented beef and kasein. Keywords: biological value, fermented beef, L. plantarum, NPU (Net Protein Utilization), true digetibility EVALUASI MUTU PROTEIN SECARA BIOLOGIS DAGING YANG DIFERMENTASI Lactobacillus plantarum MOHAMMAD DENNY RACHMAT RAMADHAN D14203083 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 EVALUASI MUTU PROTEIN SECARA BIOLOGIS DAGING YANG DIFERMENTASI Lactobacillus plantarum Oleh MOHAMMAD DENNY RACHMAT RAMADHAN D14203083 Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 17 Juli 2008 Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Irma Isnafia A., S.Pt. M.Si. NIP. 132 243 330 Tuti Suryati, S.Pt. M.Si. NIP. 132 159 706 Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr NIP. 131 955 531 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 06 Maret 1984, dari pasangan Bapak Mohammad Kobarsyah Hardjawikarta dan Ibu Muryaningsih. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan dasar penulis diselesaikan pada tahun 1996 di SDN Sukamaju VI. Pendidikan lanjutan menengah pertama di selesaikan pada tahun 1999 di SMPN VI Depok dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di SMUN I Cibinong. Penulis berkesempatan melanjutkan Pendidikan Sertifikasi Teknik Elektro, Program: Teknik Elektronika Industri, Politeknik Negeri Jakarta selama satu tahun yang diselesaikan pada tahun 2003. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama kuliah di IPB penulis aktif di HIMAPROTER (Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak) 2004/2005 sbagai staf Klub Karya Ilmiah Remaja, BEM-D (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan) 2005/2006 sebagai Staf Departement Minat dan Enterpreneurship dan DPM-D (Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Peternakan) sebagai Staf Komisi Kebijakan 2006/2007. KATA PENGANTAR Alhamdulillahhirobbil’alamiin tiada hentinya penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Alloh SWT berkat segala limpahan nikmat, anugrah dan pertolongan serta kemudahan yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul ”Evaluasi Mutu Protein secara Biologis Daging yang Difermentasi Lactobacillus plantarum”. Shalawat serta salam tak lupa penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW berserta para keluarga, sahabat dan umatnya yang tetap istiqomah berada dijalan-Nya. Penelitian ini dilakukan karena fermentasi oleh L. plantarum dapat memperpanjang umur simpan daging, dan meningkatkan kandungan asam amino sehingga sesuai dengan kebutuhan orang dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai gizi protein secara biologis (in-vivo) dari daging yang difermentasi L. plantarum melalui NPU hitung, daya cerna sejati dan nilai. Penelitian ini dilakukan selama enam bulan dan dilaksanakan di Laboratorium Hewan Percobaan Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Laboratorium Observasi Satwa Langka dan Harapan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, dan Laboratorium Ruminansia Besar Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun demikian, semoga tulisan ini berguna bagi yang membutuhkan. Bogor, Juli 2008 Penulis DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN …………………………………………………………… i ABSTRACT …………………………………………………………...... iii RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………… iv KATA PENGANTAR …………………………………………………... v DAFTAR ISI …………………………………………………………...... vi DAFTAR TABEL ……………………………………………………...... viii DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. ix DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….. x PENDAHULUAN ………………………………………………………. 1 Latar Belakang ………………………………………………… Tujuan ………………………………………………………… 1 1 TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………… 3 Daging …………………………………………………………. Fermentasi ……………………………………………………... Lactobacillus plantarum ............................................................. Garam .......................................................................................... Selongsong (casing) .................................................................... Pengasapan …………………………………………………….. Tikus Putih …………………………………………………….. Protein ......................................................................................... Pencernaan Protein …………….………………………………. 3 4 5 6 6 7 9 10 12 METODE ……………………………………………………................... 14 Lokasi dan Waktu ……………………………………………... Materi ………………………………………………………….. Ransum ………………………………………................ Hewan Percobaan ……………………………................ Kandang dan Perlengkapan……………………………... Bahan Analisis ................................................................. Prosedur ……………………………………………………….. Proses Pembuatan Produk ……………………………... Pengamatan in Vivo pada Tikus Percobaan …………… Rancangan Percobaan …………………………………………. Peubah yang Diamati ................................................................... Pengukuran Jumlah Total BAL Daging Fermentasi ........ Analisis Kadar Air Ransum, Urin dan Feses Tikus.......... Analisis Kadar Nitrogen Ransum, Urin dan Feses Tikus. Daya Cerna Sejati (DCS) ……………………………… Nilai Biologis (NB) ……………………………………. Net Protein Utilization (NPU) ……………………….... 14 14 14 15 15 15 15 16 17 18 18 18 19 19 20 20 20 Net Dietery Protein Value (NDPV) …………………… 20 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 21 Pengujian Kualitas Daging Fermentasi ........................................ Jumlah Konsumsi Pakan, N Konsumsi, N Urin dan N Feses....... Analisis Biologis Protein …………..………………………….. Daya Cerna Sejati (DCS) ……………………………..... Nilai Biologis (NB) ………………………………......... Net Protein Utilization (NPU) ……………………….... Net Dietery Protein Value (NDPV) …………………… 21 21 23 24 26 29 29 KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….. 31 Kesimpulan ................................................................................. Saran ............................................................................................ 31 31 UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………….. 32 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 33 LAMPIRAN ……………………………………………………………… 37 vii DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Komposisi Kimia Daging Sapi Mentah ……………………….. 4 2. Perhitungan Komposisi Campuran Ransum ............................... 10 3. Komposisi Asam Amino Esensial Daging Sapi .......................... 12 4. Komposisi Ransum Harian ......................................................... 14 5. Nilai Rataan Konsumsi, N Konsumsi, N Feses dan N Urin Tikus ............................................................................................. 22 Data Hasil Perhitungan Daya Cerna, Nilai Biologis, Net Protein Utilization dan Net Dietary Protein Value Daging Fermentasi L. plantarum dibandingkan Kasein dan Daging Panggang .............. 24 Komposisi Asam Amino Esensial yang Terkandung dalam Daging Fermentasi L. plantarum, Kebutuhan Tubuh, dan Daging Panggang ........................................................................ 27 6. 7. DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Skema Penggunaan Nitrogen dari Protein Makanan ................. 13 2. Tahapan Proses Pembuatan Daging Fermentasi......................... 16 3. Tahapan Proses Pembuatan Daging Panggang .......................... 17 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Uji Kruskal Wallis Pakan ……………………………………… 38 2. Uji Kruskal Wallis Pakan Non Protein dengan Kasein ………... 38 3. Uji Kruskal Wallis Pakan Non Protein dengan Daging Fermentasi ................................................................................... 38 4. Uji Kruskal Wallis Pakan Kasein dengan Daging Fermentasi .... 38 5. Uji Kruskal Wallis N Pakan ....................................................... 38 6. Uji Kruskal Wallis N Pakan Non Protein dengan Kasein ........... 38 7. Uji Kruskal Wallis N Pakan Kasein dengan Daging Fermentasi.. 39 8. Uji Kruskal Wallis N Pakan Non Protein dengan Daging fermentasi .................................................................................... 39 9. Uji Kruskal Wallis Feses ............................................................. 39 10. Uji Kruskal Wallis Feses Non Protein dengan Kasein ………… 39 11. Uji Kruskal Wallis Feses Kasein dengan Daging Fermentasi … 39 12. Uji Kruskal Wallis Feses Non Protein dengan Daging Fermentasi ……………………………………………………... 39 13. Uji Kruskal Wallis Urin .............................................................. 40 14. Uji Kruskal Wallis Urin Non Protein dengan Kasein ................. 40 15. Uji Kruskal Wallis Urin Non Protein dengan Daging Fermentasi 40 16. Uji Kruskal Wallis Pakan Kasein dengan Daging Fermentasi … 40 17. Uji Kruskal Wallis Daya Cerna Sejati ………………………... 40 18. Uji Kruskal Wallis Nilai Biologis ……………………………. 40 19. Uji Kruskal Wallis Net Protein Utilizaion .................................. 41 20. Uji Kruskal Walis Net Dietary Protein Value ............................. 41 21. Komposisi Campuran Vitamin .................................................. 41 22. Komposisi Mineral .................................................................... 42 23. Data Volume Urine, N Urine, Berat Feses dan N Feses dari Tikus yang Dikonsumsi dengan Ransum Standar Kasein (Protein) ..................................................................................... 42 Data Volume Urine, N Urine, Berat Feses dan N Feses dari Tikus yang Dikonsumsi dengan Ransum Standar Non-Protein 42 Data Volume Urine, N Urine, Berat Feses dan N Feses dari Tikus yang Dikonsumsi dengan Ransum Daging Fermentasi .. 42 Data Volume Urine, N Urine, Berat Feses dan N Feses dari Tikus yang Dikonsumsi dengan Ransum Daging Panggang ….. 43 24. 25. 26. 27. Gambar Tikus dalam Kandang Metabolik .................................. 43 28. Gambar Daging Fermentasi ........................................................ 43 29. Kecernaan Protein Kasein ........................................................... 44 30. Kecernaan Protein Daging Fermentasi L. plantarum …………... 44 31. Kecernaan Protein Daging Panggang ………………………….. 44 xi PENDAHULUAN Latar Belakang Daging merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki kandungan protein, air, lemak, vitamin B (terutama asam nikotinat) dan zat besi yang tinggi. Hal tersebut menyebabkan daging disukai oleh mikroorganisme patogen, sehingga daging memiliki sifat perishable atau mudah rusak. Fermentasi merupakan salah satu metode pengolahan pada daging untuk memperpanjang umur simpan, dengan memanfaatkan kultur bakteri asam laktat pada prosesnya. L. plantarum merupakan jenis bakteri asam laktat yang secara komersial digunakan dalam industri pangan. Fermentasi dengan L. plantarum selain dapat memperpanjang umur simpan bakteri tersebut juga merupakan bakteri probiotik yang dapat meningkatkan kesehatan. L. plantarum dapat menurunkan kadar kolesterol darah dan dapat meningkatkan kandungan asam-asam amino baik esensial maupun non esensial. Kandungan asam–asam amino yang terdapat dalam daging fermentasi L. plantarum dapat memenuhi pola kebutuhan asam amino orang dewasa. Evaluasi nilai gizi protein secara in-vivo merupakan cara yang lebih akurat dibandingkan dengan analisis kadar asam amino untuk mengetahui nilai gizi. Salah satu cara evaluasi nilai gizi protein secara in-vivo adalah pengukuran keseimbangan nitrogen. Penggunaan unsur nitrogen dalam pengukuran nilai gizi secara in-vivo, disebabkan nitrogen merupakan unsur yang terdapat dalam protein dan tidak terdapat dalam kelompok senyawa kimia utama lainnya yang dibutuhkan tubuh (karbohidrat dan lemak). Pengukuran keseimbangan nitrogen dikenal dengan nama NPU (Net Protein Utilization). Penentuan NPU dengan nitrogen tubuh sulit untuk dilakukan karena tidak semua bagian dari organ tubuh mengandung nitrogen yang sama. Penentuan NPU secara perhitungan dilakukan melalui cara perbandingan jumlah N yang dikonsumsi dengan jumlah N yang ditahan, atau dengan kata lain NPU secara perhitungan mencangkup antara daya cerna sejati dan nilai biologi. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi nilai gizi protein daging fermentasi L. plantarum secara biologis (in-vivo) dengan menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus). Adapun peubah yang diamati adalah Daya Cerna sejati, Nilai BioIogis, NPU (Net Protein Utilization) Hitung dan NDPV (Net Dietary Protein Value). 2 TINJAUAN PUSTAKA Daging Lawrie (1998) menyatakan, bahwa daging didefinisikan sebagai daging mentah dari hewan yang digunakan sebagai makanan, walau terkadang diperluas meliputi organ-organ seperti hati, ginjal, otak dan jaringan lain yang dimakan. Menurut SNI 01-3947-1995 daging didefinisikan sebagai urat daging yang melekat pada kerangka hewan, kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung, dan telinga yang berasal dari hewan sehat waktu dipotong (Dewan Standardisasi Nasional, 1995). Menurut Judge et al. (1989), daging merupakan jaringan hewan yang dapat dijadikan sebagai bahan pangan. Berdasarkan keadaan fisiknya, daging dapat diklasifikasikan menjadi (1) daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan, (2) daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan atau daging dingin, (3) daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan atau daging beku, (4) daging masak, (5) daging asap, dan (6) daging olahan. Daging dapat diolah menjadi produk lain yang menarik seperti kornet, sosis, dendeng dan abon (Soeparno, 1994). Daging sangat memenuhi persyaratan untuk perkembangan mikroorganisme, termasuk mikroorganisme perusak atau pembusuk. Hal ini disebabkan oleh (1) kadar air yang tinggi (kira-kira 68-75%), (2) kaya akan zat yang mengandung nitrogen dengan kompleksitas yang berbeda, (3) mengandung sejumlah karbohidrat yang dapat difermentasikan, dan (4) kaya akan mineral dan kelengkapan untuk pertumbuhan mikroorganisme (Soeparno, 1994). Menurut Haris dan Karmas (1989), protein adalah komponen bahan kering yang tersebar pada daging, nilai nutrisi yang tinggi disebabkan karena daging mengandung asam amino yang lengkap dan seimbang. Selain protein daging juga mengandung air, lemak, karbohidrat, dan komponen organik. Komposisi kimia daging sapi dapat dilihat pada Tabel 1. Komposisi kimia pada daging sangat bergantung pada spesies, aktivitas tubuh, tingkat pemberian pakan, dan keragaman pada ternak (Lawrie, 1998). Protein yang terdapat dalam urat daging terbagi menjadi tiga kelompok yaitu protein larut dalam air dan garam encer (protein sarkoplasmik), prtotein yang larut dalam garam pekat (protein myofibrilar) dan protein yang tidak larut dalam garam pekat (protein jaringan ikat) (Lawrie, 1998). Tabel 1. Komposisi Kimia Daging Sapi Mentah Komponen % bb Protein 18,5 Lemak 3 karbohidrat 1,0 Air 75,0 Bahan Nitrogen Bukan Protein (kreatin, fosfat, ADP, dan 1,5 ATP) 1,0 Unsur-unsur Anorganik Sumber: Buckle et al. (1987) Otot (urat daging) tersusun dari banyak ikatan serabut yang disebut fasikuli. Fasikuli ini terdiri dari serabut-serabut otot, sedangkan serabut tersusun dari banyak fibril yang disebut miofibril. Miofibril tersusun dari banyak filamen dan disebut miofilamen. Berdasarkan ukuran (dari ukuran terbesar sampai yang terkecil), otot tersusun dari fasikuli, serabut otot, miofibril, dan miofilamen (Lawrie, 1998). Sebagian besar serabut otot mengandung lebih dari 50% protein miofibril. Miofibril mengandung 55% sampai 60% miosin dan kira-kira 20% aktin (Aberle et al., 2001). Protein miofibril lainnya dalam jumlah kecil, disebut protein pengatur, karena fungsinya mengatur kompleks adenosin trifosfat (ATP)-aktin-miosin. Protein pengatur terdiri atas tropomiosin, troponin, dua-M-protein, alfa-aktinin C-protein dan beta-aktinin (Aberle et al., 2001). Fermentasi Menurut Lucke (1985), tujuan fermentasi bahan pangan dalam pengolahan pangan adalah untuk pengawetan, peningkatan nilai gizi, pemberian cita rasa, dan sebagainya. Fermentasi juga memberi flavor yang lebih baik, bentuk yang bagus, dan mampu memperbaiki tekstur bahan pangan. Fermentasi adalah suatu proses oksidasi karbohidrat aerob atau anaerob fakultatif. Proses fermentasi dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu fermentasi spontan dan fermentasi terkontrol. Fermentasi spontan merupakan proses fermentasi tanpa adanya penambahan kultur starter bakteri, sedangkan fermentasi terkontrol merupakan proses fermentasi dengan penambahan kultur starter bakteri (Mahfud et 4 al.,1989). Penggunaan mikroorganisme sebagai kultur stater pada produk fermentasi dapat meningkatkan keanekaragaman bakteri asam laktat dapat menghasilkan aktifitas anti bakteri yang potensial terhadap bakteri patogen (Marciel et al., 2003). Proses fermentasi sering didefinisikan sebagai proses pemecah karbohidrat dan asam amino secara anaerobik. Senyawa yang dapat dipecah dalam proses fermentasi terutama adalah karbohidrat, sedangkan asam amino hanya dapat difermentasi oleh beberapa bakteri tertentu (Fardiaz, 1992). Beberapa faktor yang mempengaruhi waktu fermentasi dan pH akhir dari produk daging fermentasi adalah kondisi fermentasi bahan, proses yang spesifik, tipe dan aktivitas kultur yang digunakan. Sebagai contoh kultur L. plantarum atau Pediccoccus acidilactici digunakan dalam proses fermentasi pada suhu diatas 45°C. Produk akhir yang dihasilkan mengandung asam laktat dengan kosentrasi tinggi dan pH rendah hingga mencapai 4,6-5,0 (Hui et al., 2001). Lactobacillus plantarum L. plantarum termasuk bakteri dalam filum Fermientes, ordo Lactobacillales, famili Lactobacillaceae, dan genus Lactobacillus. Lactobacillus dicirikan dengan bentuk batang, biasanya panjang tetapi terkadang hampir berbentuk bulat, tidak menghasilakan spora, anaerob fakultatif, koloninya dalam media agar berukuran 2-5 mm, konfeks, opak atau sedikit transparan dan tidak berpigmen. Genus tumbuh baik pada suhu 30-40 ºC dan tersebar di lingkungan terutama dalam produk pangan asal hewan dan sayuran. Mereka melekat pada saluran unggas dan mamalia (Holt et al., 1994). L. plantarum tergolong spektro bacterium serologi, grup yang mampu memproduksi D dan L asam laktat dan mampu mereduksi nitrat, tetapi tidak memproduksi NH3 dari arginin. Bakteri ini dapat memfermentasi galaktosa, sorbitol, dan trehalosa (Lucke, 1983). L. plantarum merupakan bakteri asam laktat nonmotil, terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan maupun dalam rantai pendek. L. plantarum termasuk dalam lactobacilli homofermentatif, mempunyai pertumbuhan optimal pada suhu 30 ºC dan pH minimumnya 3,34, Gram positif dan tidak berspora, berbentuk batang panjang, anaerobik fakultatif dan bersifat katalase negatif (Fardiaz, 1992; Gilland, 1986; Jay, 2000). Buckle et al. (1987), menambahkan bahwa L. plantarum umumnya lebih tahan dalam keadaan asam dan oleh karenanya menjadi lebih banyak pada tahapan 5 dari fermentasi tipe asam laktat. Bakteri ini sering digunakan dalam fermentasi susu, sayuran dan daging; L. plantarum nampak paling banyak berperan dalam fermentasi, karena suhu fermentasi yang digunakan lebih tinggi. Selain itu, fermentasi dari L. plantarum bersifat homofermentatif sehingga tidak menghasilkan gas. Lactobacillus memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan E. coli dan Listeria monocytogenes (Pidcock et al., 2001). Menurut Rahayu et al. (1992) bakteri asam laktat homofermentatif dapat mengubah 95% glukosa dan heksosa lainnya menjadi asam laktat dengan jumlah kecil karbondioksida dan asam-asam volatil (asam butirat). Lebih lanjut Gilliland (1986) menyatakan bahwa disamping mampu mendegradasi gula, bakteri ini juga mampu mendegradsi protein dan peptide menjadi asam amino. Pendegradasian protein oleh bakteri tersebut terjadi pada pH 5,2-5,8 dan suhu 45-50 °C, pH optimal untuk pertumbuhan berkisar antara 4,0-6,8 (Mc Donald et al., 1991). Garam Fungsi garam sebagai pengawet adalah dengan menurunkan aktivitas air (αw) dan menekan pertumbuhan mikroba patogen (Underriner dan Hune, 1994). Lawrie (1998) menambahkan, penambahan garam bertujuan selain untuk memberikan citarasa juga untuk memberikan kondisi yang selektif karena asam laktat dapat tumbuh dengan baik, sedangkan bakteri patogen dan pembusuk akan terhambat pertumbuhannya. Garam dapat memperbaiki sifat-sifat fungsional produk daging dengan cara : (1) mengekstraksi protein myofibril dari serabut daging selama proses penggilingan dan pelumatan, (2) berinteraksi dengan protein selama pemanasan, sehingga protein membentuk massa matriks yang kuat dan mampu menahan air, (3) memberi citarasa asin pada produk-produk yang digarami, dan (4) bersama senyawa fosfat berperan dalam meningkatkan daya menahan air daging dan meningkatkan kelarutan protein serabut daging (Kramlich, 1971). Selongsong (casing) Selongsong atau casing terdapat dalam dua macam yaitu selongsong alami dan selongsong buatan. Selongsong alami berasal dari saluran pencernaan ternak seperti sapi, domba, dan babi. Selongsong alami mudah mengalami kerusakan oleh 6 mikroorganisme, sehingga perlu dilakukan penggaraman yang diikuti pembilasan (Hui et al., 2001). Selama pengolahan selongsong alami akan menjadi kurang fermiabel karena pengeringan dan pemakaian asap, misalnya asidik. Selongsong kolagen yang berdiameter kecil, misalnya untuk sosis segar, dirancang untuk memenuhi keempukan yang dibutuhkan. Selongsong kolagen untuk produk asap berdiameter kecil dirancang menjadi empuk selama pemanasan. Selama proses pemanasan dan pengasapan, selongsong akan mengeras karena proses tersebut. Selanjutnya pemasakan dengan kelembaban tinggi akan melunakan selongsong dan menigkatkan keempukan (Bacus, 1984). Selongsong buatan menurut Bacus (1984) terbagi atas empat kelompok yaitu sellulosa, kolagen dapat dimakan, kolagen tidak layak dimakan, dan plastik. Selongsong dari plastik tidak dapat ditembus oleh asap dan cairan, dan dapat digunakan oleh sosis yang tidak diasap misal sosis segar dan sosis hati atau sosis yang diproses dengan air panas (Pearson dan Tauber, 1973) Fungsi selongsong adalah untuk mencegah berhamburnya daging giling, mencegah penguapan air, dan kehilangan lemak selama pemasakan dan pengasapan (Kramlich, 1971). Judge et al. (1989) menambahkan penggunaan casing bertujuan untuk membentuk dan menjaga stabilitas serta melindungi dari kerusakan kimia seperti oksidasi, mikroba, atau keruasakan fisik seperti ketengikan. Pengasapan Pengasapan adalah suatu proses penarikan air dan pengendapan berbagai senyawa kimia pengawet yang berasal dari asap. Tujuan awal dari pengasapan adalah untuk memperpanjang umur simpan suatu bahan (Lawrie, 1995). Menurut Hui et al. (2001) pengasapan adalah proses tertariknya air dan meningkatnya kadar asam serta pengendapan senyawa kimia dari asap kayu. Tujuan dari pengasapan untuk mematangkan daging, meningkatkan cita rasa dan penampakan, antioksidan, serta anti mikroba. Selain itu, proses pengasapan mampu menghambat oksidasi lemak. Kramlich (1971) menambahkan bahwa tujuan pengasapan adalah menghasilkan rasa dan aroma yang baik dan mencegah ketengikan daging akibat oksidasi lemak. Pengasapan bertujuan meningkatkan aroma, cita rasa, dan umur simpan produk yang diasap. Pengasapan daging bermaksud untuk meningkatkan flavor dan penampakan produk yang menarik (Soeparno, 1994). 7 Kayu yang baik untuk pengasapan adalah kayu kaswari, kayu bakar dan kayu keras lainya, selain itu tempurung kelapa, sebuk gergaji dapat digunakan untuk proses pengasapan (Reuwpassa, 1991). Rozum (1998), membagi komponen asap menjadi kelas-kelas utama yang masing-masing kelas memiliki fungsi yang berbeda pada proses yang pengasapan makanan. Senyawa asam yang membantu pada pembentukkan flavor dan pembentukkan tekstur, senyawa phenolik yang memberikan flavor dan mengawetkan produk, dan karbonil yang bereaksi dengan protein dan sumber nitrogen lain memberikan warna pada prodak yang diasap. Menurut Haris dan Karmas (1989), komponen kimia asap dapat dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan pengaruhnya terhadap zat gizi prodak yang diasap, yaitu: (1) zat yang melindungi penyusutan nilai gizi prodak yang diasap dengan menghambat perubahan kimia dan biologis yang merugikan, (2) komponen yang tidak menunjukkan aktifitas dari segi nilai gizi, (3) senyawa yang berinteraksi dengan komponen bahan pangan dan menurunkan nilai gizi prodak, dan (4) komponen beracun. Salah satu komponen beracun yang paling utama dari proses pengasapan adalah ditemukan senyawa karsinogen nitrosanin yang berasal dari kayu yang digunakan. Jumlah senyawa karsinogen dalam daging asap tergantung pada suhu pembentukkan asap dan lignin. Senyawa 3,4-benzopiren dan 1,2,5,6fenontrasen bersifat karsinogen telah ditemukan dari pembakaran lignin pada suhu diatas 350 °C (Lawrie, 1995). Pengasapan menyebabkan bahan pangan yang diasap menjadi kering karena menguapnya air dari bahan pangan yang juga memberikan pengaruh pengawetan. Selain itu, pengasapan bertujuan memberikan cita rasa asap yang khas dari bahan pangan, jika pemberian cita rasa lebih diutamakan. Pengasapan sering dikombinasikan dengan metode pengawetan lainnya, misalnya dengan pengalengan, pendinginan dan pembekuan (Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, 1998). Proses pengasapan akan menghasilkan karbonil dari pross pyrolisis selulosa dan hemislulosa, pembentukan warna dimulai ketika karbonil diserap pada permukaan produk, karbonil kemudian bereaksi dengan grup amino pada daging dan terjadi reaksi Maillard. Pyrolisis pada lignin akan memproduksi phenolik yang 8 berfungsi menimbulkan aroma, guaikol merupakan unsur fenolat yang menimbulkan bau asap pada produk (Ellis, 2001). Tikus Putih Menurut Robinson (1979), klasifikasi tikus putih adalah sebagai berikut Kingdom : Animal Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata (carniata) Kelas : Mamalia Subkelas : Theria Infrakelas : Eutheria Ordo : Rodentia Subordo : Mymorpha Superfamily : Muridea Subfamily : Murinae Genus : Rattus Species : Rattus sp. Terdapat lima macam basic stock tikus putih (Albino Norway rat, Rattus norvegicus) yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan di laboratorium, yaitu Long Evans, Osborne Mendel, Sherman, Sparague Dawley, dan Wistar (Muchtadi, 1989). Malole dan Pramono (1989) menambahkan terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sparague Dawley adalah berwarna albino putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya; galur Wistar ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih pendek, dan galur Long Evans yang lebih kecil daripada tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh bagian depan. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) kelebihan dari tikus laboratorium jantan adalah dapat tinggal sendiri dalam kandang, dengan syarat dapat melihat dan mendengar tikus lain. Tikus-tikus ini akan tenang dan mudah ditangani di laboraturium, jika dipegang dengan cara yang benar. Muchtadi (1989) menyatakan bahwa, beberapa sifat karakteristik tikus percobaan adalah: (1) “nocturnal” berarti aktif pada malam hari, tidur pada siang hari, (2) tidak mempunyai kantung empedu (gall blader), (3) tidak dapat mengeluarkan isi perut (muntah), dan (4) tidak pernah 9 berhenti tumbuh, walaupun kecepatan menurun setelah berumur 100 hari. Smith dan Mangkuwidjojo (1988) menambahkan ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain yaitu bahwa tikus tidak mudah muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim ditempat esofagus bermuara dalam lambung, dan tidak mempunyai kantung empedu. Alhstrom dan Skrede (1998) melaporkan bahwa kecernaan nutrien dari tikus yang diberi pakan ad-libitum adalah sebagai berikut: bahan kering 86,20%; lemak 94,95%; karbohidrat 90,58%; protein 81,66%; abu 56,89%; pati 99,55%; dan pati+gula 99,46%. Berikut adalah komposisi perhitungan campuran ransum tikus yang diperlihatkan pada Tabel 2. Tabel 2. Perhitungan Komposisi Campuran Ransum Bahan-bahan campuran Jumlah (%) Protein X = 1,60 x 100/% N sampel (10% protein) Minyak goreng/lemak 8 – X x % ekstrak eter / 100 Campuran garam/mineral 5 – X x % kadar abu / 100 Campuran vitamin 1 Agar-agar/selulosa 1 – X x % kadar serat kasar / 100 Air 5 – X x % kadar air / 100 Sukrosa atau pati jagung Untuk membuat 100% Keterangan: X = Jumlah bahan sumber protein Sumber : AOAC (1984) Protein Menurut Poedjiadi (1994) protein adalah suatu polipeptida yang mempunyai bobot molekul yang sangat bervariasi, dari 5000 hingga lebih dari satu juta. Protein terbentuk dari unsur-unsur organik yang hampir sama dengan karbohidrat dan lemak yaitu terdiri dari unsur karbon, hidrogen dan oksigen akan tetapi ditambah dengan unsur lain yaitu nitrogen. Beberapa protein juga mengandung unsur mineral yaitu fosfor, sulfur dan zat besi (Suhardjo, 1987). Kegunaan utama protein bagi tubuh menurut Muchtadi (1989) adalah sebagai zat pembangun tubuh, sebagai zat pengatur dalam tubuh, menggantikan bagian tubuh yang rusak, serta mempertahankan tubuh dari serangan mikroba penyebab penyakit. 10 Selain itu, protein dapat juga sebagai sumber energi (kalori) bagi tubuh, bila energi yang berasal dari karbohidrat (pati dan gula) atau lemak tidak mencukupi. Stuktur protein menurut Gaman dan Sherington (1992) sangat bervariasi, dan dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama yaitu protein globular dan protein bentuk serat. Molekul-molekul protein globular adalah bulat tetapi tidak harus berbentuk bola (bundar). Rantai asam aminonya terlipat dan molekul dapat dipertahankan bentuknya oleh adanya ikatan-ikatan silang antar asam amino dalam rantai itu. Protein bentuk serat memiliki ciri khusus antara lain ialah: (1) konfigurasi alfa heliks pada keratin, (2) lembaran berlipat pararel dan anti pararel pada protein sutra alam, dan (3) heliks tripel pada kolagen. Sifat umum protein bentuk serat ialah tidak larut dalam air dan sukar diuraikan oleh enzim (Poedjiadi, 1994). Protein yang mengandung asam-asam amino esensial lengkap dan dalam perbandingan yang sesuai untuk mencapai keseimbangan nitrogen serta memenuhi kebutuhan pertumbuhan disebut protein sempurna, contohnya adalah ovalbumin dan kasein. Protein yang tidak mengandung asam amino esensial atau sangat sedikit mengandung satu atau lebih asam amino esensial sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan dan keseimbangan nitrogen, dinamakan protein tidak sempurna. Protein yang tergolong jenis ini adalah protein sayuran dan padi-padian (Poedjiadi, 1994). Protein daging terdiri dari protein sederhana dan protein terkonjugasi dengan radikal non protein. Berdasarkan asalnya protein dapat dibedakan dalam tiga kelompok yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril, dan protein jaringan ikat. Protein sarkoplasma adalah protein larut air (water soluble protein) karena umumnya dapat diekstrak oleh air dan larut garam encer. Protein miofibril terdiri atas aktin dan miosin, serta sejumlah kecil troponin dan aktin. Protein ini memiliki sifat larut dalam garam (salt soluble protein). Protein jaringan ikat merupakan fraksi protein yang tidak larut, terdiri atas protein kolagen, elastin dan retikulin (Muchtadi dan Sugiono, 1992). Menurut Montgomery et al. (1992) bahwa, protein makanan dirombak menjadi asam-asam amino oleh enzim proteolitik dan peptidase dalam saluran pencernaan. Komposisi asam amino esensial daging sapi yang diperlihatkan pada Tabel 3. 11 Tabel 3.Komposisi Asam Amino Esensial Daging Sapi Jenis Asam Amino Esensial Kandungan (g/100Ng) Histidin 21 Isoleusin 28 Leusin 49 Lisin 52 Metionin + Sistin 23 Phenilalanin + Tirosin 45 Thereonin 27 Triptofan 7 Valin 30 Sumber: Kinsman et al. (1992). Pencernaan Protein Pengubahan makanan dari sejak awal hingga menjadi bentuk molekular yang siap untuk diserap melalui dinding usus, disebut pencernaan makanan dan proses ini berlangsung dalam sistem pencernaan makanan yang terdiri dari organ tubuh, yaitu mulut, lambung, dan usus (Poedjiadi, 1994). Menurut Gamman dan Sherington (1992) pencernaan adalah proses kimia dan hidrolisis. Enzim hidrolitik dihasilkan oleh berbagai organ dan dilepaskan ke dalam cairan pencernaan disaluran pencernaan. Ditambahkan oleh Poedjiadi (1994) bahwa setelah mengalami proses pencernaan pada ketiga organ tubuh yaitu mulut, lambung dan usus, maka diperoleh beberapa akhir pencernaan. Hasil akhir dari pencernaan protein adalah asam-asam amino. Pencernaan protein dalam tubuh dapat diukur melalui daya cerna protein. Daya cerna protein adalah jumlah fraksi nitrogen dari bahan makanan yang dapat diserap oleh tubuh (Winarno, 1991). Nilai gizi protein ditentukan oleh kandungan dan daya cerna asam amino esensial. Daya cerna akan menentukan ketersediaan asam amino tersebut secara biologis. Proses pengolahan selain dapat meningkatkan daya cerna protein dapat pula menurunkan nilai gizinya (Muchtadi, 1989). Asam-asam amino yang diabsorbsi akan dibawa oleh darah ke hati. Sebagian asam amino diambil oleh hati, sebagian lainnya diedarkan ke dalam jaringan-jaringan di luar hati. Kelebihan asam amino akan 12 diubah dalam asam keton yang dapat masuk ke dalam siklus sitrat (siklus Krebs) atau diubah menjadi urea (Poedijadi, 1994). Nilai biologi untuk menentukan jumlah berat nitrogen tubuh yang telah terbentuk dari setiap 100 bagian nitrogen yang telah diserap dari suatu makanan yang diperiksa (Sediaoetama, 1987). Nilai biologis (Biological Value=BV) dapat didefinisikan sebagai presentase protein terabsorpsi yang diubah menjadi protein tubuh. Kandungan protein makanan sulit ditentukan dengan percobaan. Biasanya, ditentukan dengan senyawa nitrogen dalam protein, bukan kandungan protein totalnya (Gaman dan Sherington, 1992). Aliran sederhana penggunaan nitrogen dalam tubuh ditunjukkan pada Gambar 1. Menurut Gaman dan Sherington (1992) keseluruhan penggunaan protein (NPU=Net Protein Utilization) adalah persentasi protein dalam susunan makanan yang diubah menjadi protein tubuh manusia. Keseluruhan penggunaan protein oleh tubuh ini mencangkup nilai biologi dan nilai cerna (Poedijadi, 1994). N yang dikonsumsi Proses pencernaan N dalam feses N yang dicerna N yang terdapat dalam urin Proses Anabolik/ katabolik N yang tertahan oleh tubuh Gambar 1. Skema Penggunaan Nitrogen dari Protein Makanan (Muchtadi, 1989) 13 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hewan Percobaan Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Laboratorim Observasi Satwa Langka dan Harapan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, dan Laboratorium Ruminansia Besar Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni 2007 sampai Pebruari 2008. Materi Materi yang digunakan dibagi dalam empat kelompok besar yaitu: ransum, hewan percobaan, kandang dan perlengkapan, dan bahan analisis. Ransum Komposisi ransum tikus harian dalam 100 gram yang disusun berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat pada Tabel 4. Protein yang digunakan dalam penelitian ini adalah kasein, daging fermentasi L. plantarum dan daging panggang, untuk lemak adalah minyak jagung, campuran vitamin adalah Vitabro, selulosa adalah CMC, sedangkan pati jagung adalah Maizena. Tabel 4. Komposisi Ransum Harian Jenis Ransum Jenis Bahan Kasein Daging Fermentasi Daging Panggang Minyak Jagung Campuran mineral Vitabro Air CMC Maizena Jumlah Kasein Daging Non-Protein Daging Fermentasi Panggang ----------------------------------(g)------------------------------------12,69 0 0 0 0 49,58 0 0 0 0 0 42,02 7,94 7,94 7,94 7,94 4,56 4,56 4,56 4,56 1 1 1 1 3,56 3,56 3,56 3,56 0,96 0,96 0,96 0,96 69,27 32,40 81,96 39,96 100,00 100,00 100,00 100,00 Hewan Percobaan Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih albino Norway Rats (Rattus novergicus) galur Sparague Dawley lepas sapih (berumur 21-23 hari) berjenis kelamin jantan sebanyak 16 ekor. Tikus-tikus putih tersebut hasil pengembangbiakan dari Puslitbang Gizi, Departemen Kesehatan, di Bogor. Kandang dan Perlengkapan Kandang yang digunakan adalah kandang metabolik yang memungkinkan feses dan urine akan terpisah dalam tempat penampungan masing-masing. Masingmasing kandang berukuran 17,5 x 23,75 x 17,5 cm. Adapun kandang yang dibutuhkan sebanyak 16 kandang. Kandang terbuat dari stainless steel. Kandang tikus berlokasi pada tempat yang bebas dari suara ribut, dan terjaga dari asap industri atau polutan lainnya. Lantai mudah dibersihkan dan disanitasi. Ventilasi yang cukup setiap petak kandang masing-masing dilengkapi dengan tempat makan, tempat air minum, botol penampung urin, dan nampan penampung feses. Perlengkapan yang digunakan adalah timbangan digital, gelas ukur, lemari es, meat grinder, smoker (lemari asap), food cutter, stufer, pisau, baskom, bunsen, tabung reaksi, autoclave, inkubator, oven, labu Kjeldhal 100 ml, destruktor, destilator, labu Erlenmeyer 125 ml, buret, dan pipet. Bahan Analisis Bahan kimia yang digunakan untuk analisis nitrogen adalah selenium, H2SO4 5%, aquades, NaOH 40%, H3BO3, cairan indikator brom cresol green –methyl red yang berwarna merah muda. Bahan pembutan daging fermentasi: daging sapi, garam, alkohol 70%, susu skim, MRSB, stater L. plantarum, selongsong, es, dan serbuk gergaji, batok kelapa. Bahan yang digunakan untuk mencegah penguapan nitrogen dalam urin adalah H2SO4 10%. Prosedur Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap yaitu proses pembuatan produk dan pengamatan in vivo pada tikus percobaan. 15 Proses Pembuatan Produk Penelitian ini meliputi tahap persiapan pembuatan daging fermentasi dan daging panggang. Pembuatan daging fermentasi menggunakan starter L. plantarum dari isolasi daging segar yang dilayukan selama 24 jam sebagai campuran ransum. Kultur tersebut diperoleh dari Laboratorium IPT Ruminansia Besar, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembutan daging fermentasi ini dilakukan sebanyak tiga kali selama 30 hari, yaitu 10 hari sekali. Pembuatan daging fermentasi dapat dilihat pada Gambar 2. Daging sapi bagian Topside (paha belakang) Digiling ¼ bagian Dipotong dadu 5 cm ¾ bagian Dibekukan pada suhu -200C selama 24 jam Daging digiling kembali ditambahkan garam 2% dan kultur 2% Dimasukkan ke dalam selongsong berdiameter 5 cm Dilakukan proses conditioning (24 jam) Dilakukan proses fermentasi dan pengasapan dingin selama 4 hari (@2 jam/hari) Daging fermentasi (daging asam) Gambar 2. Tahapan Proses Pembuatan Daging Fermentasi Pembuatan daging panggang dilakukan setiap tiga hari sekali dari bagian Topside (paha belakang) sebagai sumber protein dalam campuran pakan. Pembuatan daging panggang diperlihatkan pada Gambar 3. 16 Daging sapi beku Digiling Ditambahkan garam 2% Dioven pada suhu 120 °C selama 2 jam (setiap 15 menit diaduk) Daging panggang Gambar 3. Tahapan Proses Pembuatan Daging Panggang Pengamatan in Vivo pada Tikus Percobaan Penelitian ini menggunakan tikus jantan berumur 21-23 hari, berjumlah 16 ekor yang dibagi kedalam empat grup (masing-masing lima ekor) yaitu: 1. Grup tikus yang diberi protein ransum kasein 2. Grup tikus yang diberi protein ransum daging fermentasi L. plantarum 3. Grup tikus yang diberi ransum tanpa protein yang digunakan untuk mengetahui N metabolik dan N endogenus 4. Grup tikus yang diberi protein ransum daging panggang (dengan waktu pengujian yang berbeda). Penelitian dilakukan selama 30 hari. Pertama kali tikus diberikan masa adaptasi laboratorium selama 5 hari dengan pakan kontrol positif (kasein sebagai protein ransum), setelah itu diberi ransum sesuai perlakuan. Ransum dan air minum diberikan ad libitum yang diganti setiap hari. Ransum sisa dikumpulkan setiap hari untuk di uji kadar air bersamaan dengan sampel ransum awal. Pengumpulan feses dan urin dilakukan setiap dua hari sekali selama 10 hari yaitu dari hari ke 19 sampai 29. Setiap pengumpulan urin dilakukan pemberian H2SO4 sebanyak dua tetes. Selama percobaan tersebut feses dan urin disimpan dalam refrigerator. Akhir percobaan, feses dikeringkan dalam oven lalu dihancurkan sampai halus. Penentuan kadar nitrogen dalam feses dan urin dilakukan terhadap sejumlah kecil sampel, kemudian dikalikan dengan masing-masing berat feses dan urin. Penentuan NPU dilakukan untuk masing-masing tikus, kemudian rata-ratanya dihitung per grup. 17 Rancangan Percobaan Model rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) searah dengan dua perlakuan masing-masing empat ekor tikus sebagai ulangan. Perlakuan yang diberikan yaitu grup tikus yang diberi ransum protein kasein dan grup tikus yang diberi daging fermentasi 10% ransum protein. Model matematika rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya, 2002): Yij = µ + σi +εij Keterangan : Yij : nilai pengamatan pada perlakuan pemberian protein yang berbeda ke-i, dan ulangan ke-j µ : rataan umum σi : pengaruh perlakuan pemberian protein yang berbeda (kasein dan dendeng fermentasi) εij : pengaruh acak yang menyebar normal Grup tikus yang diberi daging panggang dianalisis secara deskritif karena waktu pengujian tidak dilakukan bersamaan. Pengaruh perlakuan terhadap peubah dapat dilihat dengan melakukan sidik ragam dibantu dengan perangkat lunak yaitu Minitab 14. Sebelum dilakukan analisis ragam, dilakukan uji asumsi terlebih dahulu yang meliputi uji kenormalan, uji kehomogenan, kebebasan galat dan keaditifan. Apabila hasil uji asumsi tidak memenuhi persyaratan untuk analisis ragam, maka data dianalisis secara deskritif. Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah pengukuran jumlah total bakteri asam laktat (BAL) daging fermentasi; analisis kadar air ransum, urin dan feses tikus; analisis kadar nitrogen ransum, urin dan feses tikus; nilai biologis; daya cerna sejati; NPU; dan NDPV. Pengukuran Jumlah Total BAL Daging Fermentasi (Fardiaz, 1992) Metode yang digunakan dalam perhitungan jumlah total BAL daging fermentasi ini adalah metode tuang (pour plate), namun sebelum bakteri 18 ditumbuhkan pada medium agar di dalam cawan petri. Pengenceran dilakukan secara desimal yaitu 1:100, 1:10.000, sampai 1:1010. Sebanyak 1 ml dari pengenceran yang dihendaki dimasukkan kedalam cawan Petri, kemudian ditambahkan MRSA steril yang telah didinginkan (47-50 °C) sebanyak 15-20 ml dan digoyangkan supaya contoh menyebar rata. MRSA yang telah mengering dalam cawan petri dimasukkan ke dalam inkubator selama 48 jam setelah itu dilakukan perhitungan jumlah koloni. Analisis Kadar Air Ransum, Urin dan Feses Tikus Sebanyak kurang lebih dua gram sampel segar dalam cawan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105 - 110 °C selama empat jam atau sampai didapatkan berat yang kostan, lalu ditimbang. Kadar air dihitung dengan rumus : Kadar Air = Berat Awal – Berat Akhir Berat Awal x 100% Analisis Kadar Nitrogen Ransum, Urin dan Feses Tikus (AOAC, 1984) Metode yang digunakan untuk analisis ini adalah metode Kjeldahl. Sebanyak 0,25 gram sampel kering, ditempatkan dalam labu Kjeldahl 100 ml dan ditambahkan 0,25 gram selenium dan 3 ml H2SO4 pekat. Kemudian dilakukan destruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) selama satu jam sampai larutan jernih. Setelah dingin ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40 %, lalu didestilasi. Hasil destilasi di tampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO3 2% dan 2 tetes indikator Brom Cresol Green –Methyl Red berwarna merah muda. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 ml dan berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan dan dititrasi dengan H2SO4 0,1 N sampai berwarna merah muda. Perlakuaan yang sama dilakukan lagi dengan blanko. Melalui metode ini diperoleh kadar nitrogen total yang dihitung denagn rumus : %N = (S-B) x NHCl x 14 w x 1000 x 100% Keterangan: S = volume titran sampel (ml) B = volume titran blanko (ml) w = bobot sampel kering (mg) 19 Daya Cerna Sejati (DCS) (Muchtadi, 1989) Daya cerna sejati dihitung berdasarkan persamaan berikut: Nkonsumsi – (N feses – Nmetabolik) DC Sejati = Nkonsumsi Penentuan daya cerna sejati dilakukan untuk masing-masing tikus, lalu dirata-rata pergrup. Nilai Biologis (NB) (Muchtadi, 1989) Nilai biologis (NB) diperoleh dari persamaan berikut: Nilai Biologis = Nkonsumsi–(Nfeses–Nmetabolik)–(Nurin–Nendogen) Nkonsumsi – (N feses – Nmetabolik) N metabolik adalah N dalam dalam feses yang bukan dari makanan, sedang N endogen adalah N urin yang bukan dari makanan. Keduanya diperoleh dari kelompok tikus yang memperoleh ransum non protein. Net Protein Utilization (NPU) (Muchtadi, 1989) NPU dihitung berdasarkan persamaan berikut: NPU = Nkonsumsi–(Nfeses–Nmetabolik)–(Nurin–N endogen) Nkonsumsi Penentuan NPU dilakukan untuk masing-masing tikus, kemudian rataan dilakukan per grup. Net Dietary Protein Value (NDPV) (Muchtadi, 1993) NDPV dihitung berdasarkan persamaan berikut: NDPV = Jumlah N yang ditahan tubuh x 6,25 Jumlah ransum yang dikonsumsi Perhitungan NDPV dilakukan per masing-masing tikus, lalu dirata-rata per grup. 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Kualitas Daging Fermentasi L. plantarum 1B1 yang digunakan dalam penelitian ini diisolasi dari daging sapi yang dibeli dari pasar Cibeurem Kecamatan Dramaga dengan lama post mortem 12 jam. Bakteri ini termasuk kedalam BAL (bakteri asam laktat) yang mampu hidup pada pH rendah dan kosentrasi NaCl tinggi. Menurut Hidayati (2006) bakteri ini mampu hidup dengan baik pada pH 5,0 sampai 6,5 dan konsentrasi NaCl 1,5% sampai 2,0% sehingga dapat diterapkan pada daging PSE (pale, salt, exudative), normal dan DFD (dark,Firm, dry). Berdasarkan Tribowo (2006) L. plantarum 1B1 memiliki daya hambat terhadap mikroba patogen (Escherichia coli dan Salmonella typhimurium) lebih besar dibandingkan L. fermentum. Protein kasar daging fermentasi L. plantarum adalah 72,65% bk, sedangkan daging mentah menurut Gaman dan Sherington (1992) adalah 53,12% bk. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa daging fermentasi memiliki nilai protein kasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging mentah. Tingginya protein kasar pada daging fermentasi L. plantarum tersebut jika dibandingkan dengan daging mentah disebabkan oleh pertumbuhan sel bekteri asam laktat yang maksimum. Komposisi nutrisi daging yang sesuai dengan kebutuhan sel bakteri asam laktat tersebut, menyebabkan bakteri asam laktat dapat tumbuh secara maksimal. Berdasarkan hasil perhitungan jumlah bakteri asam laktat dari daging fermentasi L. plantarum adalah 2,9 x 1010 CFU/g. Jumlah bakteri asam laktat tersebut tinggi dan sudah dapat memenuhi syarat minimal jumlah populasi untuk konsumsi probiotik. Overby (1988) menyatakan bahwa syarat minimal stater bakteri yang ditumbuhkan dalam daging fermentasi adalah 5,0 x 108 CFU/g sampai 1,0 x 109 CFU/g. Syarat minimal pangan dikatakan mengandung bakteri probiotik adalah mempunyai populasi minimal 106 CFU/g (106 CFU/ml) Jumlah Konsumsi Pakan, N Konsumsi, N Urin dan N Feses Jumlah konsumsi pakan pada tikus sangat mempengaruhi asupan nitrogen kedalam tubuh kecuali pada kelompok tikus yang diberi pakan non protein. Keluarnya nitrogen dalam tubuh diperlihatkan dalam urin dan feses. Tabel 5 memperlihatkan jumlah konsumsi pakan, urin dan feses. Tabel 5. Nilai Rataan Konsumsi, N Konsumsi, N Feses dan N Urin Tikus Ransum Kasein Non protein Daging fermentasi Daging panggang* Perlakuan Konsumsi N konsumsi N feses N urin ……………………………(g/10 hari).………..…………………. 106,96±17,05a 1,711±0,273a 0,215±0,032a 0,235±0,056a b b b 40,82±11,97 0,000±0,000 0,050±0,004 0,012±0,004b 195,96±14,30c 3,135±0,229c 0,281±0,057a 0,769±0,243c 192,35±23,91 3,078±0,382 0,252±0.040 1,101±0,091 Keterangan : Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada P < 0,05. Tanda bintang (*) pada daging panggang di uji secara deskriptif karena waktu pengujian yang berbeda. Berdasarkan Tabel 5 asupan konsumsi tikus yang mendapatkan ransum protein kasein lebih rendah (106,96±17,05) dari asupan konsumsi tikus yang mendapatkan ransum protein daging yang difermentasi L. plantarum (195,96±14,30). Tingginya asupan konsumsi tikus yang mendapatkan ransum daging yang difermentasi L. plantarum salah satunya disebabkan oleh kebutuhan energi. Energi yang dihasilkan dari ransum daging fermentasi lebih kecil dari ransum kasein karena jumlah karbohidrat dalam ransum kasein lebih banyak sedangkan jumlah proteinnya sama. Nilai energi pangan tergantung pada jumlah karbohidrat, lemak dan protein (Gaman dan Sherrington, 1992). Proses pengasapan juga berpengaruh pada asupan tikus yang mengkonsumsi ransum daging yang difermentasi L. plantarum karena senyawa fenolik yang memberikan aroma. Aroma tersebut yang akan merangsang ujung-ujung syaraf olfaktori dan diteruskan ke otak dalam bentuk implus listrik (Winarno, 1991). Tingkat asupan antara tikus yang mengkonsumsi ransum protein daging panggang yang diperlihatkan pada Tabel 5 (192,35 ± 23,91) dengan tikus yang mengkonsumsi ransum protein daging yang difermentasi L. plantarum relatif hampir sama. Tingginya tingkat konsumsi tikus yang diberi ransum protein daging panggang disebabkan dari aroma dari daging panggang itu sendiri. Menurut Lawrie (1998) adanya reaksi yang dipengaruhi oleh panas yang menghasilkan flavor daging, diantaranya adalah pirolisis dari peptida-peptida dan asam-asam amino, degradasi gula-gula, oksidasi, dehidrasi dan dekarboksilasi lipid, degradasi tiamin dan ribonukleotida dan interaksi yang melibatkan gula-gula, asam amino, lemak, H2S dan NH3. 22 Menurut Muchtadi (1993) kebutuhan tubuh akan protein dan asam-asam amino dapat diestimasi melalui tiga cara. Salah satunya adalah metode keseimbangan protein. Keseimbangan nitrogen dapat dilihat dari perbandingan antara nitrogen yang dikonsumsi dan nitrogen yang dikeluarkan melaui feses dan urin. Berdasarkan Tabel 5 maka pada tikus yang mendapat ransum kasein, daging yang difermentasi L. plantarum dan daging panggang nitrogen yang dikonsumsi lebih besar dari pada nitrogen yang dikeluarkan melauli feses dan urin. Apabila nitrogen yang dikonsumsi lebih besar dari nitrogen yang diekskresikan, maka keseimbangan nitrogen disebut positif (Muchtadi, 1993). Ditambahkan oleh Tarigan (1983) metabolisme suatu organisme dikatakan setimbang positif yaitu pengambilan lebih banyak dari ekskresi dan yang terjadi pembentukan jaringan pada masa pertumbuhan. Tikus yang mendapatkan ransum non protein yang diperlihatkan pada Tabel 5 membuktikan nitrogen yang dikonsumsi (0,000±0,000) lebih kecil dari nitrogen yang dikeluarkan melalui urin (0,012 ± 0,004) dan feses (0,050 ± 0,004). Nitrogen yang dikonsumsi lebih kecil dari nitrogen yang diekskresikan maka kesimbangan nitrogen disebut negatif. Tarigan (1989) menyatakan bahwa, kesetimbangan nitrogen negatif dapat terjadi salah satunya disebabkan oleh makanan miskin asam amino. Tikus yang diberi ransum non protein jumlah asam aminonya sangat sedikit, bahkan dapat dikatakan tidak ada. Analisis Biologis Protein Uji biologis protein merupakan uji yang lebih akurat dibandingkan dengan uji kimia. Metode Net Protein Utilization (NPU) hitung lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan metode Net Protein Utilization (NPU) nitrogen dalam tubuh, karena tidak semua bagian dari organ tubuh mengandung nitrogen yang sama. Berdasarkan analisis daya cerna sejati (DCS), nilai biologis (NB), Net Protein Utilization (NPU) hitung dan Net Dietary Protein Value (NDPV) dari daging yang difermentasi L. plantarum, kasein dan daging panggang, secara ringkas data disajikan dalam Tabel 6. 23 Tabel 6. Data Hasil Perhitungan Daya Cerna, Nilai Biologis, Net Protein Utilization dan Net Dietary Protein Value Daging Fermentasi L. plantarum dibandingkan Kasein dan Daging Panggang Ransum Perlakuan Kasein Daging Fermentasi Daging Panggang* ……………………………(%)….………………………… DCS 90,337±0,975 92,661±1,480 93,317±1,889 NB 85,519±3,458 73,488±8,211 61,558±6,298 NPU 77,230±2,315 68,052±8,304 57,531±6,931 7,723±0,2315 6,8052±0,8304 5,7531±0,6931 NDPV * Keterangan : Tanda bintang ( ) pada daging panggang dibandingkan secara deskriptif karena waktu pengujian yang berbeda. Daya Cerna Sejati (DCS) Daya Cerna Sejati merupakan persentase protein dalam susunan makanan yang diubah mejadi protein yang terabsorpsi dalam tubuh. Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa DCS protein antara tikus yang mendapatkan ransum daging yang difermentasi L. plantarum dengan tikus yang mendapatkan ransum kasein terlihat bahwa antara tikus yang mendapatkan ransum daging yang difermentasi L. plantarum mempunyai DCS yang tidak berbeda nyata yaitu 92,661±1,480 dibandingkan dengan tikus yang mendapatkan ransum kasein yaitu 90,337 ± 0,975. Menurut Gilliland (1986), disamping mampu mendegradasi gula, bakteri Lactobacillus juga mampu mendegradasi protein dan peptida menjadi asam amino. Pendegradasian protein dan peptida menjadi asam amino oleh Lactobacillus disesbabkan oleh asam yang dihasilkan saat terjadi fermentasi. Menurut Antara et al. (2004), penurunan pH dapat mempengaruhi karakteristik protein yaitu menyebabkan terjadinya denaturasi protein dan koagulasi protein. Menurut Winarno (1992) pada proses denaturasi protein terdapat dua macam salah satunya dapat memecah protein menjadi unit yang lebih kecil tanpa disertai pengembangan molekul, dalam hal ini terbukanya lipatan atau wiru molekul. Terbukanya lipatan atau wiru molekul akan mempermudah kerja enzim dalam mendegradasi protein. Lactobacillus menghasilkan enzim amino peptidase yang berperan dalam regenerasi asam amino. Menurut Kurniawati (2007) L. plantarum 1B1 mempunyai enzim proteolitik yang mendegradasi protein daging fermentasi menjadi protein yang lebih sederhana. Hal 24 ini ditunjukkan dengan pemurnian jumlah pita protein yang terdeteksi. Selain itu, daging fermentasi menghasilkan kosentrasi yang lebih tinggi dari pada daging segar. Ditambahkan oleh Rizqiati (2000) Lactobacillus lebih toleran terhadap pH rendah dari pada laktokoki dan streptokoki, jadi Lactobacillus lebih toleran didalam lambung. Proses pencernaan akan mengubah makanan menjadi bentuk yang sesuai untuk diserap ke dalam proses sirkulasi untuk ditransfer ke liver lalu disebarkan ke jaringan-jaringan tubuh. Almatsier (2000) menjelaskan bahwa sebagian besar potein dicerna menjadi asam amino, selebihnya menjadi menjadi tripeptida dan dipeptida. Pencernaan atau hidrolisis protein dimulai dari lambung. Asam klorida lambung membuka gulungan protein (proses denaturasi), sehingga enzim pencernaan (pepsin) dapat memecah ikatan peptida. Pencernaan protein dilanjutkan di dalam usus halus oleh campuran enzim protease. Menurut Sumarta (2007) bahwa, pH daging yang mengalami proses fermentasi L. plantarum dan pengasapan adalah 4,867 ± 0,404. Fermentasi menyebabkan pH turun menjadi asam. Menurut Yoga et al. (2003) setelah difermentasi dengan L. plantarum, pH daging turun menjadi antara 4,49-2,99. Sifat yang asam dari daging fermentasi L. plantarum inilah yang mempermudah kerja enzim pepsin dalam pemecahan protein menjadi peptida. Sejumlah protein yang ukuran molekulnya kecil dan beberapa peptida langsung diserap oleh usus (Montgomery et al., 1992). Kecernaan yang hampir sama antara daging yang difermentasi L. plantarum dengan daging panggang (93,317 ± 1,889) yang ditunjukkan pada Tabel 6, bahwa daya kerja dari L. plantarum tidak maksimal. Tidak maksimalnya daya kerja L. plantarum pada daging fermentasi disebabkan perlakuan mekanis dan kimia. Arief et al. (2006) menyatakan bahwa proses mekanis pada pembuatan daging fermentasi dalam hal ini penggilingan dapat menyebabkan protein sarkoplasma yang larut dalam air hilang. Perlakuan kimia yang menyebabkan rendahnya daya cerna sejati yaitu pengasapan. Menurut Winarno et al. (1988) bahwa secara umum senyawa yang ada pada asap kayu adalah karbonil, asam dan basa organik, fenol alkohol, hidrokarbon dan gas-gas seperti CO2, CO, O2, N2, dan NO2, komponen asap tersebut berfungsi sebagai bakteriosidal, antioksidan, dan pembentuk flapor asap. Ditambahkan oleh Rumahrupute et al. (2000) asap dapat mengawetkan karena adanya aksi anti bakteri 25 oleh senyawa-senyawa fenol, asam asetat dan foramldehida yang terkandung didalamnya. Hamada dalam Hudson (1992) menyatakan bahwa kemampuan untuk bereaksi dengan komponen lain disebabkan karena ikatan hidrofobik yang dimilikinya. Secara umum mekanisme pembentukan kompleks antara protein dan senyawa polifenol seperti dijelaskan oleh Muchtadi (1989). Adanya oksigen menyebabkan senyawa polifenol mudah teroksidasi dan membentuk radikal orto-kuinon. Radikal dan molekul ini sangat reaktif dan bila bereaksi dengan protein akan membentuk senyawa kompleks. Senyawa kompleks ini mengikut sertakan asam amino lisin, sehingga persediaan akan menurun. Selain itu senyawa kompleks ini sulit untuk ditembus oleh enzim protease dalam tubuh sehingga daya cerna proteinnya menjadi rendah. Rendah dan tingginya daya cerna tersebut dapat dilihat dari kandungan nitrogen dalam feses. Rata-rata feses pada tiga kelompok tikus yang diperlihatkan pada Tabel 5 menunjukkan nilai yang sama yaitu kelompok tikus yang diberi ransum protein daging panggang (0,252 ± 0,040), kelompok tikus yang diberi ransum kasein (0,215 ± 0,032) dan kelompok tikus yang diberi ransum protein daging yang difermentasi L. plantarum (0,281 ± 0,057). Protein ransum yang tidak diserap dalam usus akan dikeluar bersama dengan sisa makanan yang tidak digunakan dalam bentuk feses melalui anus. Nilai Biologi (NB) Menurut Gaman dan Sherrington (1992) NB adalah persentase protein terabsorpsi yang menjadi protein tubuh. Berdasarkan Tabel 6 kelompok tikus yang mendapatkan protein ransum daging yang difermentasi dengan L. plantarum menujukkan hasil yang sama (73,488 ± 8,211) dengan kelompok tikus yang mendapat protein ransum kasein (85,519 ± 3,458). Secara umum NB jenis ransum daging fermentasi L. plantarum dan kasein memiliki nilai rata-rata diatas 70. Menurut Almatsier (2001) NB suatu produk menunjukkan jumlah nitrogen produk yang ditahan tubuh dan dapat digunakan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh yang berasal dari jumlah nitrogen produk yang diabsorsi. Nilai biologis dinyatakan sebagai persentase nitrogen yang diabsorsi terhadap yang ditahan tubuh. Menurut Montgomery et al. (1992) susunan makanan harian yang dianjurkan di Amerika 26 Serikat (U.S.RDA) untuk protein diperhitungkan terhadap NB 70, yaitu NB rata-rata protein dalam diet orang Amerika. Makanan yang memiliki NB 70 atau lebih mampu memberikan pertumbuhan bila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup dan konsumsi energi mencukupi (Almatsier, 2001). Nilai biologis yang tinggi menunjukkan bahwa ransum yang diberikan mengandung asam amino yang terdapat dalam jumlah tinggi sesuai yang dibutuhkan oleh tubuh (Brody,1999). Daging yang difermentasi L. plantarum menunjukkan hal yang sesuai dengan pernyataan di atas dan hal ini dibuktikan oleh penelitian Arief et al. (2006) yang terangkum dalam Tabel 7 sehingga protein yang terabsorpsi tubuh mampu ditahan dalam tubuh. Protein tersebut digunakan tubuh sesuai fungsi protein, yaitu (1) asam aminonya digunakan untuk sintesis protein tubuh; (2) kerangka karbon asam aminonya dapat dioksidasi untuk mendapatkan energi dan (3) atom karbon dan nitrogennya dapat digunakan untuk sintesis banyak metabolik yang tidak mengandung nitrogen (Montgomery et al., 1992). Tabel 7. Komposisi Asam Amino Esensial yang Terkandung dalam Daging Fermentasi L. plantarum, Kebutuhan Tubuh, dan Daging Panggang Kandungan asam Dendeng fermentasi Kebutuhan tubuhB Daging A amino giling panggangC …………………..….(mg/g protein)……....................... Isoleusina 80,6 40 49 Leusina 130,6 70 74 Lisina 130,0 55 74 Metionina 22,5 35a 22 Fenilalanina 66,9 60b 40 Treonina 79,4 40 39 50 52 Valina 130,0 a b Keterangan: ) sudah termasuk sistin, ) sudah termasuk tirosin. Sumber: A) Arief et al. (2006), B) Muchtadi (1989) dan C) Price dan Schweigert (1986). Dilihat dari kandungan nitrogen dalam urin dalam Tabel 5 kelompok tikus yang mendapatkan protein ransum daging fermentasi L. plantarum lebih tinggi (0,769 ± 0,243) dari kelompok tikus yang mendapat protein ransum kasein (0,235 ± 0,056). Kandungan nitrogen dalam urin membuktikan bahwa nitrogen yang dibuang 27 oleh tubuh akibat tubuh tidak dapat menampung lebih banyak pada kelompok daging yang difermentasi L. plantarum jika dibandingkan dengan kelompok tikus yang diberi protein ransum kasein. Menurut Montgomery et al. (1992), tidak seperti karbohidrat dan lipida, protein dan asam amino tidak disimpan dalam jumlah banyak. Protein yang tersisa atau berlebih dari kebutuhan tubuh akan disimpan dalam sel dan sisanya akan dikeluarkan bersama urin. Pertumbuhan yang tinggi pada tikus yang memiliki NB tinggi disebabkan jumlah nitrogen yang diserap cukup tinggi, akibat proses katabolik atau deaminasi protein endogen yang berasal dari jaringan, enzim atau hormon tidak terjadi atau rendah (Linder, 1992). Almatsier (2001) juga menyatakan bahwa proses deaminasi gugus amino (NH2) dari asam amino tubuh akan menghasilkan sisa berupa amonia. Amonia akan diubah menjadi ureum oleh hati, dan oleh tubuh akan dikeluarkan melalui ginjal dan urin. Rendahnya NB pada daging panggang (61,558 ± 6,298) yang ditunjukkan oleh Tabel 6 dibandingkan dengan daging fermentasi disebabkan oleh kandungan asam amino esensial yang ditampilkan pada Tabel 7 ada yang berlebih dan kurang. Lebihnya kandungan asam amino pada daging panggang yang telah terserap oleh usus sama hal dengan daging fermentasi L. plantarum yang telah di jelaskan diatas yaitu hanya sebagian kecil saja yang dapat disimpan dalam tubuh sebagai cadangan sedangkan yang lainnya akan dibuang dalam urin. Rendahnya NB pada daging panggang bukan saja disebabkan oleh jumlah kandungan asam amino esensial yang berlebih akan tetapi juga karena salah satu kandungan asam amino esensial yang kurang. Kandungan asam amino yang kurang pada daging panggang yang diperlihatkan pada Tabel 7 adalah treonina. Treonina dalam tubuh akan diubah menjadi Suksinil-KoA yang masuk dalam siklus Krebs dan diubah menjadi piruvat. Banyaknya kandungan nitrogen pada urin kelompok tikus yang mengkonsumsi ransum protein daging panggang (1,101 ± 0,091) yang diperlihatkan pada Tabel 5 menggambarkan banyaknya asam amino yang tidak dapat digunakan oleh tubuh dan mengakibatkan NB dari daging panggang tersebut kecil. Selain karena kandungan asam amino esensial yang berlebih dari kebutuhan tubuh 28 kandungan nitrogen yang terbuang dapat juga dikarenakan oleh kandungan asam amino non esensial. Asam amino non esensial tidak dapat disintesis oleh tubuh. Net Protein Utilization (NPU) Keseluruhan penggunan protein oleh tubuh mencakup daya cerna sejati dan nilai biologis. Net protein utilization (NPU) digunakan untuk mengukur kualitas protein dengan mempertimbangkan perbandingan nilai cerna antar protein, artinya tidak saja memperhatikan jumlah protein yang ditahan akan tetapi juga jumlah protein yang mampu di cerna. Gamman dan Sherrington (1992) menyatakan bahwa NPU menunjukkan presentase protein dalam susunan makanan yang mampu diubah menjadi protein tubuh. Penggunaan keseluruhan protein atau NPU pada kelompok tikus yang mengkonsumsi ransum protein daging fermentasi L. plantarum memiliki nilai (68,052 ± 8,304) yang tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus yang diberi ransum protein kasein (77,230 ± 2,315) yang dapat dilihat pada Tabel 6. Hal ini sejalan dengan analisis daya cerna dan nilai biologis daging fermentasi yang dibandingkan dengan kasein. Nilai NPU daging fermentasi L. plantarum yang relatif sama dengan kasein membuktikan bahwa nilai gizi protein daging fermentasi L. plantarum hampir menyamai kasein. Hasil yang berbeda terdapat pada daging fermentasi dengan daging panggang yang menunjukkan bahwa NPU daging panggang yang lebih rendah (57,531 ± 6,931), hal ini juga sesuai dengan hasil sebelumnya yang didapat pada daya cerna sejati dan nilai biologi. Nilai NPU tersebut menunjukkan bahwa nilai gizi protein daging fermentasi L. plantarum lebih baik dibandingkan dengan daging panggang. Net Dietary Protein Value (NDPV) Beberapa penelitian menyatakan bahwa NPU whole diets tidak hanya tergantung dari komposisi asam amino protein yang dikandungnya, tetapi juga pada faktor lain dan yang terpenting adalah: (1) rasio protein dan kalori dalam ransum, (2) kecukupan konsumsi kalori, dan (3) kadar vitamin dan mineral dalam ransum (Muchtadi, 1993). Karena itu Net dietary protein value (NDPV) digunakan dalam perhitungan ini. 29 Berdasarkan pada Tabel 6 nilai NDPV untuk kelompok tikus yang mendapatkan protein ransum daging fermentasi L. plantarum (6,8052 ± 0,8304) sama secara statistik dengan kelompok tikus yang mendapatkan protein ransum kasein (7,723 ± 0,2315). Nilai yang sama secara statistik anatara NDPV daging yang difermentasi L. plantarum dengan kasein membuktikan bahwa rasio protein dan kalori yang terserap dalam tubuh dari daging fermentasi hampir dapat menyamai kasein. Nilai yang berbeda dengan kelompok tikus yang diberi protein ransum daging panggang (5,7531 ± 0.6931) jika dibandingkan secara deskriptif dengan kelompok tikus yang diberi daging yang difermentasi L. plantarum. Perbedaan nilai tersebut membuktikan bahwa adanya peningkatan rasio protein dan kalori selama proses fermentasi oleh L. plantarum, karena kelompok tikus yang mendapatkan protein ransum daging yang difermentasi oleh L. plantarum memiliki nilai NDPV lebih besar. 30 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Daging fermentasi L. plantarum yang diberikan pada tikus menunjukkan daya cerna yang tidak berbeda dengan kasein. Nilai biologis yang setara dengan kasein menunjukkan protein dapat digunakan oleh tubuh. Nilai biologis ini sesuai dengan kandungan asam amino yang dimiliki dan memiliki nilai diatas 70. Secara keseluruhan nilai gizi protein daging fermentasi dapat menyamai kasein dan lebih baik dibandingkan daging panggang. Saran Daging fermentasi dengan L. plantarum memilki nilai gizi baik dan dapat diaplikasikan sebagai sumber protein yang berkualitas. Diperlukannya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui seberapa besar persentase kalori yang berasal dari protein bila semuanya digunakan untuk keperluan energi. UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillahhirobbil’alamiin tiada hentinya penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Alloh SWT berkat segala limpahan nikmat, anugrah dan pertolongan serta kemudahan yang telah diberikan sehinnga penulis dapat menyelesaikan proses penelitian dan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa penulis curahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW berserta para keluarga, sahabat dan umatnya yang tetap istiqomah berada dijalanNya. Terima kasih penulis ucapkan yang tak terhingga kepada Ayahanda M. Kobarsyah Hardjawikarta, Ibunda Muryaningsih, adik-adikku Rakhmayanti Widiyadhari dan Kenanga Hajayanti serta keluarga Muhammad Enoch, Alm. yang telah mencurahkan kasih sayang, doa dan dorongan semangat yang tiada henti. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Irma Isnafia A., S.Pt., M.Si. selaku pembimbing utama, Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. selaku pembimbing anggota dan Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si. dan Ir. Lilis Kotijah, M.Si. selaku penguji sidang atas bimbingan, saran dan perhatian yang telah diberikan pada penulis selama penyusunan karya tulis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan perhatian yang telah diberikan selama kuliah. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan sepenelitian (Abdullah, Abdur Rokhim, Widimartani Arum Pertiwi, Margareta Mulatsi K., Suryani Pratiwi), teknisi dan laboran Laboratorium Ruminansia Besar, Laboratorium Observasi Satwa Langka dan Harapan dan Laboratorium Percobaan Hewan atas kerja sama dan bantuan selama penelitian. Teman-teman Teknologi Hasil Ternak 40 dan 41 atas kebersamaan dan keceriaan yang terjalin selama ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat di BEM-D Kabinet Solidaritas dan DPM-D Kabinet Penegas atas dukungan, nasihat dan kasih sayang yang diberikan. Terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh civitas akademika Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Bogor, Juli 2008 Penulis DAFTAR PUSTAKA Aberle, E. D., J. C. Forrest, H. B. Hendrick, M. D. Judge dan R. A. Merkel. 2001. Principle of Meat Science. W. H. Freeman and Co., San Fransisco. Alhstrom, O. dan A. Skrede. 1998. Comparative nutrition degestibility in dogs, blue foxes, minks and rats. The Journal of Nutrition. Vol.128 (12): 2676-2677. Almatsier. S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Antara, N. S., I. N. Sujaya, A. K. Aseno dan F. Tomita. 2007. Effects of indigenous staters cultures on the microbial and physicochemical characteristies of Urutan, a Balinese fermented sasage. Journal Biosci. And Bioengineer. 98 (2): 92-98. AOAC. 1984. Official Method of Analysis. 12th edition. Assosiation of Opfficial Analytical Chemist, Washington DC. Arief, I.I, RRA.Maheswari dan T. Suryati. 2006. Karakteristik dan Evaluasi Nilai Gizi Protein Daging Sapi Dark Firm Dry (DFD) Hasil Fermentasi Lactobacillus plantarum yang Diisolasi dari Daging Sapi. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bacus, J. 1984. Utilization of Microorganisems In Meat Processing. Research Studies Press Ltd., London. Brody, T. 1999. Nutritional Biochemistry. Academic Press, California. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan: Hari Purnomo Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta. De Man, J. M. 1997. Kimia Makanan. Institut Teknologi Bandung Prees, Bandung. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan dan Direktorat Pengawasan Makanan dan Minuman. 1998. Prinsip Pengawatan Makanan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Ellis, F. D. 2001. Meat Smoking Technology. Dalam: Y. H. Hui, W. K. Nip, R.W. Rogers dan O. A. Young. (Eds). Meat Scienc and Applications. Marcell Dekker Inc., New York. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Pustaka Utama., Jakarta. Finot, P. A. 1997. Effect of Processing and Storage on The Nutritional Value of Food Protein. Dalam: Damadaran. S dan A. Praf . Food Proteins and Their Applications. Marcel Dekker, Inc., New York-Basel. Fuller, R. 1999. Probiotics from Animal. Dalam: Probiotics A Critical Riview. Editor: G. W. Tannack. Horizon Scientific Press. London, pp: 15-21. Gaman, P. M. and K. B. Sherington. 1992. Ilmu Pangan Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Terjemahan: Murdljati. G. Edisi kedua Gajah Mada Universitas Press, Yogyakarta. Gilliland, S. E. 1986. Bacterial Starter Cultures for Food. CRC Press, Inc., Boca Paton, Florida. Hamada, J. S. 1992. Modification Of Food Protein by Enzimatic Methods. Dalam: Hudson, B. J. F. Biochemistry of Food Proteins. Elsevier Applied Science, London and New York. Haris, R. S. dan Karmas. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Terjemahan: S. Achmadi. Institut Teknologi Bandung Press, Bandung. Holt, J.G., N. R. Krieg, P. H. A. Sneath, J. T. Staley dan S. T. Williams. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteoriology. 9th ed. Williams and Wilkins, Maryland. Hui, Y. H., W. K. Nip, R. W. Rogers dan O. A. Young. 2001. Meat Science and Applications. Marcel Dekker, Inc., New York. Jay, M. J. 2000. Modern Food Microbiology. 6th Edit. Appen Publishers Inc., Maryland. Judge, M. D., E. Debarle, J. C. Forrest, H. B. Hedrick dan R. A. Markel. 1989. Principles of Meat Science. 2nd Edit. Kendall Hunt Publishing Company, Lowa. Kinsman, D. M., A. W. Kotala dan Breindenstein. 1994. Muscle Food, Meat, Poltry and Seafood Technology. Chapman and Hall, London. Kramlich, R. V. 1971. Sausage Product. Dalam: J. F. Price dan S. Schweigert (Eds). The Science of Meat and Meat Products. 2nd Edit. W. H. Freeman and Company, San Fransisco. Kurniawati, N. 2007. Aktivitas proteolotik dan mutu protein dendeng sapi yang difermentasi Lactobacillus plantarum hasil isolasi dari daging sapi. Skripsi. Departement Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lawrie, R. A. 1998. Lawrie’s Meat Science. 6th Edition. Woodhad Publishing Ltd., Cambridge. Linder, M. C. 1992. Nutritional Biochemistry and Metabolism. Elsevier Science Publishing Company, Inc., New York. Lucke, F. K. 1985. Fermented Sausage. Dalam: Microbiology of Fermented Foods. J. B. Wood (Ed). Elsener Applied Science, New York. Maciel, J. F., M. Alencar, C. A. de Moraes dan L. A. M. Gomide. 2003. Antibacterial activity of lactic cultures isolated of Italian salami. Brazilian Journal of Microbiol. 34:121-122. Mahfud, E. G., Said dan Krisnani. 1989. Petunjuk Laboratorium Fermentor. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Malole, M. B. M. dan C. S. U. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 34 Mattjik, A.A. dan Sumertajaya, M. 2002. Perancangan Percobaan. Jilid I. Edisi kedua. Institut Pertanian Bogor-Press, Bogor. Montgomery, R., T. W. Conway dan A. A. Spector. 1992. Biochemistry: A Case Oriented Approach. The C. V. Mosby Co., Lowa. Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Petunjuk Laboratorium. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muchtadi, D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Program Studi Ilmu Pangan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muchtadi, T. R. dan Sugiono. 1993. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Direktorat Jendral Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Overby, A. J. 1988. Microbial Cultures for Milk Processing. Dalam: Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publishers B. V., New York. Pearson, A. M. dan F. W. Tauber.1973. Processed Meat. 2nd Edit. AVI publishing Company, Inc., Wesport. Pidcock, K., G. M. Heard dan A. Henrikson. 2002. Application of nontraditional meat starter culture in production of Hungarian salami. International Journal of Food Microbiology. Vol 76(1): 75-81. Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Universitas Indonesia-Press, Jakarta. Rahayu, W. P., S. Maoen, Suliantri dan S. Fardiaz. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rieuwpassa, F. 1991. Pengaruh lama pengasapan, kondisi pengasapan dan suhu pengasapan terhadap daya awet ikan tongkol (Eutynnus affinis) asap. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Robinson, R. 1979. Taxonomi and Genetics. Dalam: Beber, H. J., J. R. Lindsey dan S. H. Weisborth. (Eds). The Labortory Rat. Academia Press, London. Rozum, J. 1998. Smoking Flavoring In Processed Meat. Dalam: Flavor of Meat, Meat Product and Seafood. 2nd Edit. Blackie Academic and Profesional, New York. Rumahrupute, B., Zuheid. N. dan Suparno. 2000. Pengembangan cangkalang (Katsuwonus pelamis) asap dalam bentuk “steak” dengan asap cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol 6(1): 36-44. Sediaoetama, A. D. 1987. Ilmu Gizi dan Ilmu Diet di Daerah Tropik. Balai Pustaka, Jakarta. Smith, J. B. dan Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 35 Suharjo, C. K. 1987 Prinsip-Prinsip Ilmu Gizi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sumarta, A. 2007. Sifat fisik dan organoleptik dendeng fermentasi daging sapi. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tarigan, P. 1983. Kimia Organik Bahan Makanan. Penerbit Alumni, Bandung. Tornberg, E. 2004. Effect of heat on meat protein implication on structure and quality of meat product. Journal Meat Sci. 70: 493-508. Underriner, E. W. dan I. R. Hume.1994. Handbook of Industrial Seasoning. Blackie Academic and Profesional, New York. Winarno, F. G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F.G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1988. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Yoga, B. P., Evi. H. dan Tyas U. 2003. Kinetika pertumbuhan Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus sp. pada media MRS cair. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol XIV (1): 46-50. 36 LAMPIRAN Lampiran 1. Uji Kruskal Wallis Pakan Pakan N Nilai Tengah 40,82 4 39,95 106,96 4 104,28 195,96 4 192,44 Total 12 H = 9,85 DF = 2 P = 0,007 Jumlah rataan 2,5 6,5 10,5 6,5 Z -2,72 0,00 2,72 Lampiran 2. Uji Kruskal Wallis Pakan Non Protein dengan Kasein Pakan N Nilai Tengah Jumlah rataan Z 40,82 4 39,95 2,5 -2,31 106,96 4 104,28 6,5 2,31 Total 8 4,5 H = 5,33 DF = 1 P = 0,021 Lampiran 3. Uji Kruskal Wallis Pakan Non Protein dengan Daging Fermentasi Pakan N Nilai Tengah Jumlah rataan Z 40,82 4 39,95 2,5 -2,31 195,96 4 192,4 6,5 2,31 Total 8 4,5 H = 5,33 DF = 1 P = 0,021 Lampiran 4. Uji Kruskal Wallis Pakan Kasein dengan Daging Fermentasi Pakan N Nilai Tengah Jumlah rataan Z 106,96 4 104,28 2,5 -2,31 195,96 4 192,4 6,5 2,31 Total 8 4,5 H = 5,33 DF = 1 P = 0,021 Lampiran 5. Uji Kruskal Wallis N Pakan N Pakan N Nilai Tengah 0,000 4 0,00000 1,711 4 1,66848 3,135 4 3,07904 Total 12 H =10,20 DF = 2 P = 0,006 Jumlah rataan 2,5 6,5 10,5 6,5 Z -2,72 0,00 2,72 Lampiran 6. Uji Kruskal Wallis N Pakan Non Protein dengan Kasein N Pakan N Nilai Tengah Jumlah rataan Z 0,000 4 0,00000 2,5 -2,31 3,135 4 3,07904 6,5 2,31 Total 8 4,5 H = 6,05 DF = 1 P = 0,014 38 Lampiran 7. Uji Kruskal Wallis N Pakan Kasein dengan Daging Fermentasi N Pakan N Nilai Tengah Jumlah rataan Z 1,711 4 1,66848 2,5 -2,31 3,135 4 3,07904 6,5 2,31 Total 8 4,5 H = 5,33 DF = 1 P = 0,021 Lampiran 8. Uji Kruskal Wallis N Pakan Non Protein dengan Daging Fermentasi N Pakan N Nilai Tengah Jumlah rataan Z 0,000 4 0,00000 2,5 -2,31 1,711 4 1,63848 6,5 2,31 Total 8 4,5 H = 6,05 DF = 1 P = 0,014 Lampiran 9. Uji Kruskal Wallis Feses Feses N Nilai Tengah 0,050 4 0,05192 0,215 4 0,22293 0,281 4 0,27341 Total 12 H = 8,35 DF = 2 P = 0,0015 Jumlah rataan 2,5 7,3 9,8 6,5 Z -2,72 0,51 2,21 Lampiran 10. Uji Kruskal Wallis Feses Non Protein dengan Kasein Feses N Nilai Tengah Jumlah rataan Z 0,050 4 0,05192 2,5 -2,31 0,215 4 0,22293 6,5 2,31 Total 8 4,5 H = 5,33 DF = 1 P = 0,021 Lampiran 11. Uji Kruskal Wallis Feses Kasein dengan Daging Fermentasi Feses N Nilai Tengah Jumlah rataan Z 0,215 4 0,2229 3,3 -1,44 0,281 4 0,2734 5,8 1,44 Total 8 4,5 H = 2,08 DF = 1 P = 0,149 Lampiran 12. Uji Kruskal Wallis Feses Non Protein dengan Daging Fermentasi Feses N Nilai Tengah Jumlah rataan Z 0,050 4 0,05192 2,5 -2,31 0,281 4 0,27341 6,5 2,31 Total 8 4,5 H = 5,33 DF = 1 P = 0,021 39 Lampiran 13. Uji Kruskal Wallis Urin Urin N Nilai Tengah 0,012 4 0,01098 0,235 4 0,24878 0,769 4 0,85538 Total 12 H = 9,85 DF = 2 P = 0,007 Jumlah rataan 2,5 6,5 10,5 6,5 Z -2,72 0,00 2,72 Lampiran 14. Uji Kruskal Wallis Urin Non Protein dengan Kasein Urin N Nilai Tengah Jumlah rataan Z 0,012 4 0,01098 2,5 -2,31 0,235 4 0,24878 6,5 2,31 Total 8 4,5 H = 5,33 DF = 1 P = 0,021 Lampiran 15. Uji Kruskal Wallis Urin Non Protein dengan Daging Fermentasi Urin N Nilai Tengah Jumlah rataan Z 0,235 4 0,2488 2,5 -2,31 0,769 4 0,8554 6,5 2,31 Total 8 4,5 H = 5,33 DF = 1 P = 0,021 Lampiran 16. Uji Kruskal Wallis Pakan Kasein dengan Daging Fermentasi Urin N Nilai Tengah Jumlah rataan Z 0,012 4 0,01098 2,5 -2,31 0,769 4 0,85538 6,5 2,31 Total 8 4,5 H = 5,33 DF = 1 P = 0,021 Lampiran 17. Uji Kruskal Wallis Daya Cerna Sejati DCS N Nilai Tengah Jumlah rataan 90,337 4 90,20 3,0 92,661 4 92,60 6,0 Total 8 4,5 H = 3,00 DF = 1 P = 0,083 Lampiran 18. Uji Kruskal Wallis Nilai Biologis NB N Nilai Tengah Jumlah rataan 85,519 4 85,86 5,8 73,488 4 69,87 3,3 Total 8 4,5 H = 2,08 DF = 1 P = 0,149 Z -1,73 1,73 Z 1,44 -1,44 40 Lampiran 19. Uji Kruskal Wallis Net Protein Utilizationy NPU N Nilai Tengah Jumlah rataan 77,230 4 77,44 5,5 68,052 4 65,63 3,5 Total 8 4,5 H = 1,33 DF = 1 P = 0,248 Lampiran 20. Uji Kruskal Wallis Net Dietary Protein Value NPU N Nilai Tengah Jumlah rataan 7,723 4 7,744 5,5 6,805 4 6,563 3,5 Total 8 4,5 H = 1,33 DF = 1 P = 0,248 Z 1,15 -1,15 Z 1,15 -1,15 Keterangan : 1. H : statistik Kruskal Wallis 2. DF : derajat bebas 3. P : probabilitas Lampiran 21. Komposisi Campuran Vitamin Jenis Vitamin Per gram ransum 2.5000 IU Vitamin A 600 IU Vitamin D3 2,5 IU Vitamin E 1 mg Vitamin B1 2 mg Vitamin B2 2 mg Viatmin B6 2 mcg Vitamin B12 5 mg Vitamin C 0,5 mg Vitamin K3 Nicotinamide 7,5 mg Ca D-Pantothenate 5 mg DL-Methionine 300 mg L- Lysine HCl 40 mg Sodium salicylate 10 mg Magnesium Sulfate 4 mg Manganese Sulfate 5 mg Zinc Sulfate 2 mg Cupri Sulfate 1 mg Cobalt Sulfate 0,5 mg Sumber: VITABRO Broiler grrowth formula 41 Lampiran 22. Komposisi Mineral Jenis Mineral NaCl KI KH2PO4 MgSO4 anhidrid CaCO3 FeSO4 7H2O MnSO4. H2O ZnSO4. 7H2O CuSO4. 5H2O COCl2. 6H2O gram 139,3 0,79 389,0 57,3 381,4 27,0 4,01 0,548 0,477 0,023 Sumber: AOAC (1984) No 1 2 3 4 No 1 2 3 4 No 1 2 3 4 Lampiran 23. Data Volume Urine, N Urine, Berat Feses dan N Feses dari Tikus yang Dikonsumsi dengan Ransum Standar Kasein (Protein) Perlakuan Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata volume urine Nilai N Berat Feses Nilai N Feses (ml) Urine (%) (g) (%) K1 15,5 1,71 3,6 4,78 K2 14,5 1,96 5,5 4,44 K3 8,5 1,85 4,3 4,95 K4 46,5 0,50 5,0 4,66 Lampiran 24. Data Volume Urine, N Urine, Berat Feses dan N Feses dari Tikus yang Dikonsumsi dengan Ransum Standar Non-Protein Perlakuan Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata volume urine Nilai N Berat Feses Nilai N Feses (ml) Urine (%) (g) (%) NP1 5,5 0,17 1,3 2,70 NP2 6,5 0,26 1,5 2,80 NP3 4,5 0,28 1,7 2,60 NP4 4,5 0,17 1,5 2,91 Lampiran 25. Data Volume Urine, N Urine, Berat Feses dan N Feses dari Tikus yang Dikonsumsi dengan Ransum Daging Fermentasi Perlakuan Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata volume Urine Nilai N Berat Feses Nilai N Feses (ml) Urine (%) (g) (%) F 10% 1 41,5 0,98 10,2 3,39 F 10% 2 100,0 0,86 6,6 3,52 F 10% 3 133,5 0,70 9,4 3,33 F 10% 4 95,0 0,92 7,0 3,34 42 No 1 2 3 4 Lampiran 26. Data Volume Urine, N Urine, Berat Feses dan N Feses dari Tikus yang Dikonsumsi dengan Ransum Daging Panggang Perlakuan Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata volume Urine Nilai N Berat Feses Nilai N Feses (ml) Urine (%) (g) (%) P 10% 1 117 0,85 8,2 2,42 P 10% 2 160 0,76 9,3 2,95 P 10% 3 104 1,07 8,5 3,40 P 10% 4 104 1,04 11,8 2,08 Lampiran 27. Gambar Tikus dalam Kandang Metabolik Lampiran 28. Gambar Daging Fermenasi 43 Lampiran 29. Kecernaan Protein Kasein Ulangan Konsumsi N kons N fes N urine U - Ue F - Fm Na Nb DCS BV NPU NDPV 1 91,01 1,45616 0,17208 0,26505 0,253425 0,122225 1,333935 1,08051 91,60635 81,0017 74,2027 0,074203 2 128,26 2,05216 0,2442 0,2842 0,272575 0,194345 1,857815 1,58524 90,52973 85,32819 77,24739 0,077247 3 95,62 1,52992 0,21285 0,15725 0,145625 0,162995 1,366925 1,2213 89,34617 89,34653 79,8277 0,079828 4 112,94 1,80704 0,233 0,2325 0,220875 0,183145 1,623895 1,40302 89,86492 86,39844 77,64189 0,077642 Lampiran 30. Kecernaan Protein Daging Fermentasi L. plantarum Ulangan Konsumsi N kons N fes N urine U - Ue F - Fm Na Nb DCS BV NPU NDPV 1 216,07 3,45712 0,34578 0,4067 0,395075 0,295925 3,161195 2,76612 91,44013 87,50235 80,01226 0,080012 2 182,91 2,92656 0,23232 0,86 0,848375 0,182465 2,744095 1,89572 93,76521 69,08361 64,77639 0,064776 3 189,76 3,03616 0,31302 0,9345 0,922875 0,263165 2,772995 1,85012 91,33231 66,7192 60,93618 0,060936 4 195,12 3,12192 0,2338 0,874 0,862375 0,183945 2,937975 2,0756 94,10795 70,6473 66,48473 0,066485 Lampiran 31. Kecernaan Protein Daging Panggang Ulangan Konsumsi N kons N fes N urine U - Ue F - Fm Na Nb DCS BV NPU NDPV 1 187,1 2,9936 0,19844 0,9945 0,982875 0,148585 2,845015 1,86214 95,03658 65,45273 62,20404 0,062204 2 208 3,328 0,27435 1,216 1,204375 0,224495 3,103505 1,89913 93,25436 61,19307 57,0652 0,057065 3 160,8 2,5728 0,289 1,1128 1,101175 0,239145 2,333655 1,23248 90,70487 52,81329 47,90423 0,047904 4 213,5 3,416 0,24544 1,0816 1,069975 0,195585 3,220415 2,15044 94,27444 66,77524 62,95199 0,062952 Keterangan: 1. Konsumsi 2. N kons 3. N urine 4. N fes 5. U-Ue 6. F-Fm : Jumlah konsumsi pakan : Jumlah N konsumsi : Jumlah N urine : jumlah N feses : N urine – N endogen : N feses – N metabolik 7. N a 8. N b 9. DCS 10. NPU 11. BV 12. NDPV : N konsumsi – (N feses – N metabolis) : N konsumsi – (N feses – N metabolic) – (N urine – N endogen) : Daya Cerna Sejati : Net Protein Utilization : Biological Value : Net Dietary Protein Value 44