8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kerapu Ikan Kerapu merupakan ikan dari golongan Serranidae yang mempunyai lebih dari 46 spesies yang hidup tersebar dengan tipe habitat yang beragam dan hanya beberapa jenis yang telah dibudidayakan (Sulaiman, 2010). Ikan Kerapu adalah salah satu jenis ikan karang yang sudah berhasil dibudidayakan dan mempunyai nilai komersial yang tinggi karena rasa dagingnya yang enak (Hatmanti dkk., 2009). Ikan Kerapu, salah satu spesies ikan laut yang penting dan memiliki nilai komersial yang tinggi di China dan negara–negara Asia Tenggara, memiliki karakteristik biologis yang baik seperti pertumbuhannya cepat, tahan terhadap penyakit, dan rasanya yang enak (Yeh dkk., 2003). Ikan Kerapu merupakan jenis ikan dasar yang menyukai hidup diperairan karang, diantara celah-celah karang atau di dalam gua di dasar perairan. Ikan ini merupakan carnivora yang bersifat hermaprodit protogini (hermaphrodit protogynous) yang berarti setelah mencapai ukuran dewasa akan berganti kelamin (chargersex) dari betina menjadi jantan. Selain itu ikan Kerapu tergolong jenis ikan yang bersifat hermaphrodit synchroni yaitu di dalam satu gonad satu individu ikan terdapat sel kelamin betina dan jantan yang dapat masak dalam waktu yang sama, sehingga ikan dapat mengadakan pembuahan sendiri (Sulaiman, 2010), 9 Pertumbuhannya yang cepat dan dapat diproduksi massal merupakan sifat unggulan yang dimiliki Ikan Kerapu sehingga menguntungkan untuk dibudidayakan. Berkembangnya pasaran ikan Kerapu hidup karena adanya perubahan selera konsumen dari ikan mati atau beku kepada ikan dalam keadaan hidup. Hal ini telah mendorong masyarakat untuk memenuhi permintaan pasar ikan Kerapu melalui usaha budidaya (Murtidjo, 2002). Ikan Kerapu dinamakan sebagai grouper diperdagangkan internasional dan dipasarkan dalam keadaan hidup (Suyoto dan Mustahal, 2002). Budidaya ikan Kerapu banyak dikembangkan di Indonesia. Penyakit yang terjadi pada budidaya ikan Kerapu dapat disebabkan oleh agen penyakit menular seperti virus, bakteri, jamur dan parasit. Penyakit pada Ikan Kerapu juga dapat disebabkan oleh faktor non infeksius seperti ketidak seimbangan gizi dan faktor lingkungan (Hatmanti dkk., 2008). Data hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi mikroorganisme di dalam usus ikan mencapai 107 sel per gram isi usus. Sebagian dari bakteri tersebut merupakan penghuni sejati usus yang dapat tumbuh dan berkembang biak pada usus tersebut (Feliatra dkk., 2004). Menurut Shickney (2000) penyakit bakterial pada golongan groupers dan snapers adalah Vibrio sp., Aeromonas sp., Pasteurella spp., Streptococcus., dan Mycobacterium. Selain bakteri tersebut pada Ikan Kerapu juga ditemukan adanya bakteri Staphylococcus sp. dalam jumlah sedikit (Sun dkk., 2009). Pada saluran pencernaan Ikan Kerapu yang diteliti oleh Feliatra dkk (2004) terdapat sembilan spesies antara lain Lactococcus sp.,Carnoacterium sp., Staphylococcus sp., Bacillus sp., Eubacterium sp., Pseudomonas sp., Lactobacillus 10 sp., Micrococcus sp., dan Bifidobacterium sp. Peneliti tersebut juga menyatakan bahwa bakteri tersebut berpotensi sebagai bakteri probiotik pada Ikan Kerapu. 2.2 Bakteri Staphylococcus sp. Nama Staphylococcus (Staphyle, sekelompok anggur) diperkenalkan oleh Ogston (1883) untuk sekelompok mikrokoki yang menyebabkan peradangan dan nanah (Gotz dkk., 2006). Rosenbach (1884) yang dikutip oleh Gotz dkk., (2006) memberikan definisi formal tentang genus Staphylococcus dan membaginya ke dalam dua spesies yaitu Staphylococcus aureus dan Staphylococcus albus. Saat ini terdapat 36 spesies dan beberapa subspecies dari genus Staphylococcus (Gotz dkk., 2006). Bakteri Staphylococcus memiliki kebutuhan nutrisi yang relatif kompleks, namun pada umumnya bakteri ini akan membutuhkan sumber nitrogen organik, yang disediakan oleh lima sampai dua belas asam amino penting seperti arginin, valin, dan vitamin B termasuk tiamin dan nikotinamida (Kloos dan Schleifer 1986; Wilkinson, 1997; Harris dkk., 2002). Bakteri Staphylococcus sp. merupakan gram positif, tidak berspora, tidak motil, fakultatif anaerob, kemoorganotrofik, dengan dua pernapasan dan metabolisme fermentatif. Koloni pada blood agar biasanya buram, bisa putih atau krem dan kadang-kadang kuning (Holt dkk., 1994). Anggota dari genus Staphylococcus ini adalah katalase positif dan oksidase negatif yang membedakan dari genus Streptococcus yang bersifat katalase negatif dan memiliki komposisi dinding sel yang 11 berbeda. Staphylococcus sp. toleran terhadap konsentrasi garam yang tinggi dan tahan terhadap panas (Kloos dan Lambe, 1991; Harris dkk., 2002) . Staphylococcus menghasilkan protease ekstraseluler jenis metaloprotease yang bersifat toksik (Baehaki dkk., 2005). Bakteri ini dapat mengubah nitrat menjadi nitrit, rentan lisis oleh lisostafin tetapi tidak oleh lisozim. Staphylococcus biasanya tumbuh dengan 10% NaCl. Bakteri ini sebagian besar terdapat pada kulit dan mukosa membran dari vertebrata berdarah panas. Akan tetapi Staphylococcus juga sering diisolasi dari produk makanan, debu dan air. Beberapa spesies ada yang patogen pada manusia dan hewan (Holt dkk, 1994). Bakteri Staphylococcus sp. dapat menyebabkan sakit melalui kemampuannya berkembang biak dan menyebar secara luas dalam jaringan dan pembentukan berbagai substansi ekstraseluler. Substansi ini adalah enzim, sedangkan yang lainnya berupa toksin (Jawetz dkk., 1996; Baehaki dkk., 2005). 2.3 Teknik identifikasi bakteri Staphylococcus sp. 2.3.1 Teknik identifikasi bakteri secara konvensional Teknik identifikasi bakteri Staphylococcus sp. secara konvensional dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pemeriksaan langsung dapat digunakan untuk mengamati pergerakan dan pembelahan secara biner, mengamati bentuk dan ukuran sel yang alami, dimana pada saat mengalami fiksasi panas serta selama proses pewarnaan dapat menyebabkan beberapa perubahan (Horowitz, 2000). 12 Teknik pewarnaan untuk pemisahan kelompok bakteri digunakan pewarnaan Gram. Teknik pewarnaan Gram ini dikelompokkan menjadi beberapa tipe, berdasarkan respon sel bakteri terhadap zat pewarna dan sistem pewarnaan yang digunakan (Kloos dan Schleifer, 1981; Gotz dkk., 2006). Untuk prosedur pewarnaan mikrobiologi dibutuhkan pembuatan apusan lebih dahulu sebelum melaksanakan teknik pewarnaan pada bakteri Staphylococcus sp. Media selektif merupakan media yang digunakan untuk mengisolasi kelompok bakteri khusus. Media selektif dilengkapi dengan bahan kimia untuk menghambat pertumbuhan beberapa tipe bakteri dan sebaliknya media ini juga menyebabkan pertumbuhan yang baik bagi beberapa tipe bakteri lainnya apabila bakteri yang tumbuh ini mendapatkan nutrisinya dalam media selektif ini (Roberson dkk., 1992). Media selektif yang dapat digunakan untuk pertumbuhan bakteri Staphylococcus sp. adalah agar garam mannitol dan blood agar. Agar Garam Mannitol memiliki kandungan konsentrasi garam yang tinggi (7,5% NaCl), sehingga dapat menghambat pertumbuhan kebanyakan bakteri kecuali Staphylococcus sp. Beberapa spesies dari bakteri Staphylococcus dapat melakukan fermentasi, dengan mendeteksi adanya asam hasil fermentasi manitol menggunakan “phenol red” sebagai pH indikator. Bakteri ini dapat memperlihatkan suatu zona berwarna kuning di sekeliling pertumbuhannya, sedangkan untuk bakteri Staphylococcus yang tidak melakukan fermentasi tidak akan menghasilkan perubahan warna (Downes dan Ito, 2001; Gotz dkk., 2006). Bakteri Staphylococcus juga dapat tumbuh dalam media agar 13 darah (Blood Agar). Darah dimasukkan ke dalam medium untuk memperkaya unsur dalam pembiakan mikroorganisme terpilih (Horowitz, 2000). 2.3.2 Identifikasi bakteri dengan metode molekuler 2.3.2.1 Polymerase Chain Reaction (PCR) Reaksi berantai Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk melipat gandakan suatu sekuen nukleotida tertentu secara eksponensial dengan cara in vitro. Metode ini dikembangkan pertama kali oleh Kary B. Mulis tahun 1985 (Yuwono, 2006). PCR merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi penyakit infeksi yang banyak dikembangkan. Metode PCR ini digunakan untuk mengatasi kelemahan metode diagnosis konvensional seperti imunologi dan mikrobiologi (Abdullah dan Retnoningrum, 2003). PCR memiliki lima komponen yang utama yaitu pertama adalah DNA cetakan, merupakan fragmen dari DNA untai ganda yang berguna sebagai cetakan yang dilipatgandakan menjadi DNA baru. Kedua adalah Oligonukleotida primer, merupakan sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) berfungsi untuk mengawali proses sistesis rantai DNA. Ketiga adalah Dioksiribonukleotida trifosfat (dNTP) dibagi menjadi dATP, dCTP, dGTP, dTTP. Keempat adalah Enzim DNA Polimerase, merupakan enzim yang mengkatalis reaksi rantai DNA. Komponen yang kelima adalah larutan buffer dan ion Mg2+ (Yuwono, 2006). Mahardika (2003) menyatakan dalam proses PCR, Polimerase-DNA menggunakan DNA berserat tunggal sebagai cetakan (template) untuk mensintesis 14 serat baru yang komplementer. Cetakan berserat tunggal dapat diperoleh melalui pemanasan DNA berserat ganda pada temperature mendekati titik didih. PolimeraseDNA juga memerlukan suatu wilayah berserat ganda pendek untuk memulai (prime) proses sintesis. Pada saat PCR, posisi awal dan akhir sintesis DNA dapat ditentukan dengan menyediakan suatu oligonukleotida sebagai primer yang menempel secara komplementer pada cetakan sesuai dengan keinginan peneliti. Salah satu keunggulan PCR adalah polymerase DNA dapat diarahkan untuk sintesis wilayah DNA tertentu Prosedur PCR dapat terdiri dari 3 tahap: (1) denaturasi DNA untai ganda, (2) menempelkan primer ke DNA (annealing), dan (3) memperpanjang primer (extension). Selama denaturasi, pemanasan (94-980C) digunakan untuk memisahkan kedua untai DNA target menjadi untai tunggal (Sambrook and Russel, 2001a). Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang mempunyai sekuen yang identik dengan salah satu untai DNA cetakan pada ujung 5’-fosfat dan oligonukleotida yang kedua identik dengan sekuen pada ujung 3’-OH untai DNA cetakan yang lain. Annealing biasanya dilakukan selama satu sampai lima menit antara oligonukleotida primer dan DNA cetakan yang kemudian dilanjutkan dengan inkubasi selama 1,5 menit pada suhu 72ºC. Pada suhu ini DNA polymerase akan melakukan proses polimerasi untai DNA baru berdasarkan informasi yang ada pada cetakan. DNA untai ganda yang terbentuk dengan adanya ikatan hydrogen antara untai DNA cetakan dengan untai DNA baru hasil polimerasi selanjutnya akan di denaturasi lagi dengan menaikkan suhu inkubasi menjadi 95ºC. Untai DNA yang 15 baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya (Yuwono, 2006). Reaksi-reaksi tersebut diulangi lagi sampai 10-40 siklus, sehingga pada akhir siklus akan didapatkan molekul-molekul DNA untai ganda yang baru hasil polimerasi dalam cetakan yang digunakan. Banyaknya siklus amplifikasi tergantung pada konsentrasi DNA target di dalam reaksi. Pada umumnya konsentrasi DNA Polymerase Taq menjadi terbatas setelah 10-40 siklus amplifikasi (Sambrook and Russel, 2001a). 2.3.2.2 Analisis Sekuens 16S rRNA Analisis sekuens 16S rRNA merupakan analisis sederhana, yang umumnya digunakan untuk mengidentifikasi mikroorganisme (Bavykin dkk., 2004). Pada prokaryota terdapat tiga jenis RNA ribosomal, yaitu 5S, 16S dan 23S rRNA. Analisis gen penyandi 16S rRNA telah menjadi prosedur baku untuk menentukan hubungan filogenetik dan menganalisis suatu ekosistem. Molekul 5S rRNA memiliki urutan basa terlalu pendek, sehingga tidak ideal dari segi analisis statistika, sementara molekul 23S rRNA memiliki struktur sekunder dan tersier yang cukup panjang sehingga menyulitkan analisis. Molekul 16S rRNA memiliki beberapa daerah yang memiliki urutan basa yang relatif konservatif dan beberapa daerah urutan basanya variatif. Perbandingan urutan basa yang konservatif berguna untuk mengkonstruksi pohon filogenetik universal sedangkan urutan basa yang bersifat variatif dapat 16 digunakan untuk melacak keragaman dan menempatkan galur-galur dalam satu spesies (Stackebrandt dan Goebel, 1995). Sekuens 16S rRNA menunjukkan variasi yang besar di beberapa daerah, perbedaan urutan 16S rRNA memberikan dasar untuk berbagai desain khusus probe asam nukleat, mulai dari probe yang menargetkan semua organisme hidup untuk kelompok tertentu dan probe spesies tertentu. rRNA sebagai target adalah molekulmolekul secara alami diperkuat dalam sel dan mewakili sekitar 80% dari total asam nukleat dalam sel mikroba (Bavykin dkk., 2004). Jika urutan basa 16S rRNA menunjukkan derajat kesamaan yang rendah antara dua taksa, deskripsi suatu takson baru dapat dilakukan tanpa hibridisasi DNADNA. Apabila derajat kesamaan urutan basa gen penyandi 16S rRNA kurang dari 97% maka dapat dianggap sebagai spesies baru.16S rRNA dapat berubah sesuai jarak evolusinya, sehingga dapat digunakan sebagai kronometer evolusi yang baik (Stackebrandt dan Goebel, 1995). Peneliti lain Janda dan Abbott (2007) menyatakan urutan data gen 16S rRNA pada galur individu dengan tetangga terdekat menunjukkan skor kesamaan dibawah 97% merupakan spesies baru, sedangkan nilai kemiripan diatas 97% dapat dikonfirmasi. Gen 16S rRNA dapat dibandingkan tidak hanya di antara semua bakteri tetapi juga dengan gen 16S rRNA archeobacteria dan gen 18S rRNA eucaryotes. Urutan gen 16S rRNA memiliki panjang sekitar 1.550 bp. Urutan gen tersebut telah ditentukan untuk sejumlah besar strain. GenBank merupakan bank data terbesar yang menyimpan urutan nukleotida yaitu lebih dari 20 juta urutan, lebih dari 90.000 adalah gen 16S rRNA. Urutan gen 16S rRNA 17 memungkinkan diferensiasi antara organisme pada tingkat genus semua filum utama bakteri, serta mengklasifikasikan strain pada tingkat spesies dan subspesies (Clarridge, 2004). 2.3.2.3 Sekuensing Penentuan urutan nukleotida atau sekuensing merupakan analisis DNA yang paling detil. Metode sekuensing yang saat ini sering digunakan adalah metode penghentian rantai dengan dideoksi (dideoxy chain termination) yang dikembangkan oleh Sanger (Sambrook and Russel, 2001b). Proses sekuensing menggunakan metoda Automatic Sanger sekuensing diawali dengan membuat komponen utama pada sekuengsing adalah (1) DNA Cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipat gandakan, (2) Oligonikleotida primer, yaitu suatu sekuens oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3) Dioksiribonukleotida trifosfat (dNTP) terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, (4) Enzim DNA Polimerase, yaitu suatu enzim yang melakukan katalis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah larutan buffer serta ion Mg2+, (5) Dideoksi Nukleotida trifosfat (ddNTP). Hasil siklus sekuensing dielektroforesis dengan agar poliacrylamic vertical, DNA yang berfluorence selanjutnya dibaca oleh komputer berupa kromatogram (Sambrook and Russel, 2001b). 18 2.3.2.4 Bioinformatika Bioinformatika merupakan cabang biologi yang bersifat interdisipliner, dengan menggunakan teknik dan konsep dari informatika, statistik, matematika, kimia, biokimia, fisika, dan linguistik. Sejarah komputasi dalam biologi dimulai tahun 1920-an. Saat ini, aplikasi praktis dari bioinformatika sudah tersedia melalui world wide web, dan secara luas digunakan dalam penelitian biologi dan medis. Analisis bioinformatika fokus pada tiga jenis data set: genom urutan, struktur makromolekul, dan percobaan genomik fungsional. Analisis bioinformatik juga diterapkan pada berbagai data lainnya, misalnya pohon taksonomi, hubungan data dari jalur metabolik, karya ilmiah, dan statistik pasien. Bioinformatika menggunakan berbagai teknik, termasuk sequence alignment, keselarasan struktur protein 3D, konstruksi pohon filogenetik, prediksi dan klasifikasi struktur protein, prediksi struktur RNA, prediksi fungsi protein, dan ekspresi pengelompokan data ( Elfaizi dan Aprijani, 2004). Baxevanis dkk (2002) menyatakan dalam bioinformatika terdapat fitur yang memiliki fungsi berbeda, antara lain alligment, BLAST, dan rekostruksi pohon filogenetik. Alligment berfungsi untuk menyetarakan nukleotida. BLAST berguna untuk mencari kekerabatan suatu individu melalui kesamaan nukleotida pada database internasional. Rekonstruksi pohon filogenetik berguna dalam membentuk struktur bagan kekerabatan.