BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Logam Berat Logam berat yaitu

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Logam Berat
Logam berat yaitu unsur yang mempunyai nomor atom 22 - 23 dan 40 - 50
serta unsur golongan laktanida dan aktinida, dan mempunyai respon biokimia
yang khas (spesifik) pada organisme hidup (Connell dan Miller, 1995).
Penggunaan logam berat dalam berbagai kegiatan sehari-hari secara langsung
maupun tidak langsung, baik sengaja maupun tidak di sengaja, telah mencemari
lingkungan sebagai limbah. Logam-logam berat yang berbahaya dan sering
mencemari lingkungan antara lain merkuri (Hg), timbal (Pb), arsen (As),
kadmium (Cd), kromium (Cr), dan nikel (Ni). Logam-logam tersebut diketahui
dapat terakumulasi dalam tubuh suatu organisme sebagai racun (Kardiaz, 1992).
Logam berat dalam limbah biasanya berada dalam berbagai macam bentuk
atau kondisi, seperti tidak terlarut, terlarut, tereduksi, teroksidasi, logam bebas,
terpresipitasi, terserap, dan dalam bentuk kompleks. Menurut Ferdiaz (1995)
toksisitas logam berat berbeda-beda, tergantung pada jenis, sifat kimia dan fisik
logam berat. Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990)
membagi kelompok logam berat berdasarkan sifat toksisitas dalam 3 kelompok,
yaitu bersifat toksik tinggi yang terdiri atas unsur-unsur merkuri (Hg), kadmium
(Cd), timbal (Pb), tembaga (Cu), dan seng (Zn); bersifat toksik sedang terdiri dari
unsur­unsur kromium (Cr), nikel (Ni), dan kobalt (Co); dan bersifat toksik rendah
yang terdiri atas unsur mangan (Mn) dan besi (Fe).
6
7
Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya racun
logam berat terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai
berikut: merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng (Zn), timbal (Pb), kromium (Cr), nikel
(Ni), dan kobalt (Co) (Sutamihardja dkk, 1982). Sedangkan menurut Darmono
(1995) urutan toksisitas logam terhadap manusia yang mengkomsumsi ikan
adalah Hg2+> Cd2+> Ag2+ > Ni2+ > Pb2+> As2+ > Cr2+ > Sn2+> Zn2+.
Hutagalung (1991) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
toksisitas logam berat antara lain suhu, salinitas, pH, dan kesadahan. Penurunan
pH dan salinitas perairan menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar.
Peningkatan suhu menyebabkan toksisitas logam berat meningkat, sedangkan
kesadahan yang tinggi dapat mengurangi toksisitas logam berat, karena logam
berat dalam air dengan kesadahan tinggi membentuk senyawa kompleks yang
mengendap dalam air.
2.1.1 Timbal
Fardiaz (1995) dalam Sudarwin (2008 ) mengemukakan bahwa Timbal
mempunyai berat atom 207,21; berat jenis 11,34; bersifat lunak serta berwarna
biru atau silver abu - abu dengan kilau logam, nomor atom 82 mempunyai titik
leleh 327,4ºC dan titik didih 1.620ºC. Timbal termasuk logam berat”trace
metals” karena mempunyai berat jenis lebih dari lima kali berat jenis air. Timbal
adalah sebuah unsur yang biasanya ditemukan di dalam batu - batuan, tanah,
tumbuhan dan hewan. Timbal 95% bersifat anorganik dan pada umumnya dalam
bentuk garam anorganik yang umumnya kurang larut dalam air. Selebihnya
berbentuk timbal organik. Timbal organik ditemukan dalam bentuk senyawa Tetra
Ethyl Lead (TEL) dan Tetra Methyl Lead (TML). Jenis senyawa ini hampir tidak
8
larut dalam air, namun dapat dengan mudah larut dalam pelarut organik misalnya
dalam lipid. Waktu keberadaan timbal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
arus angin dan curah hujan. Timbal tidak mengalami penguapan namun dapat
ditemukan di udara sebagai partikel. Karena timbal merupakan sebuah unsur
maka tidak mengalami degradasi (penguraian) dan tidak dapat dihancurkan.
Timbal banyak dimanfaatkan oleh manusia seperti sebagai bahan pembuat baterai,
amunisi, produk logam (logam lembaran, solder, dan pipa), perlengkapan medis
(penangkal radiasi dan alat bedah), cat, keramik, peralatan kegiatan ilmiah/praktek
(papan sirkuit/CB untuk komputer) untuk campuran minyak bahan-bahan untuk
meningkatkan nilai oktan (Fardiaz, 1995).
Konsentrasi timbal di lingkungan tergantung pada tingkat aktivitas
manusia, misalnya di daerah industri, di jalan raya, dan tempat pembuangan
sampah. Karena timbal banyak ditemukan di berbagai lingkungan maka timbal
dapat memasuki tubuh melalui udara, air minum, makanan yang dimakan dan
tanah pertanian. Daya racun timbal yang akut pada perairan alami menyebabkan
kerusakan hebat pada ginjal, sistem reproduksi, hati dan otak, serta sistem syaraf
sentral, dan bisa menyebabkan kematian (Achmad, 2004).
Bentuk kimia senyawa Pb yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan
akan mengendap pada jaringan tubuh, dan sisanya akan terbuang bersama bahan
sisa metabolisme. Sekali masuk ke dalam tubuh timbal didistribusikan terutama
ke 3 (tiga) komponen yaitu darah, jaringan lunak (ginjal, sumsum tulang, liver,
otak), jaringan dengan mineral (tulang dan gigi). Tubuh menimbun timbal selama
seumur hidup dan secara normal mengeluarkannya secara lambat. Efek yang
ditimbulkan adalah gangguan syaraf, sel darah, gangguan metabolisme vitamin D
9
dan kalsium sebagai unsur pembentuk tulang, gangguan ginjal secara kronis,
dapat menembus plasenta sehingga menghambat pertumbuhan. Jalur masuknya
timbal ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan (respirasi), juga
melalui saluran pencernaan (gastrointestinal), kemudian didistribusikan ke dalam
darah, dan terikat pada sel darah. Sebagian Pb disimpan dalam jaringan lunak dan
tulang, sebagian diekskresikan lewat kulit, ginjal dan usus besar. Pemanfaatan
timbal dalam mendukung kehidupan manusia antara lain sebagai bahan pembuat
baterai, amunisi, produk logam (logam lembaran, solder, dan pipa), perlengkapan
medis (penangkal radiasi dan alat bedah), cat, keramik, serta untuk campuran
bahan bakar minyak (Sudarwin, 2008).
2.1.2 Kadmium
Logam kadmium adalah bahan yang bersifat karsinogen. Organ tubuh
yang menjadi sasaran keracunan Cd adalah ginjal dan hati. Toksisitas Cd ini
dipengaruhi karena adanya interaksi antara Cd dan gugus sulfhidril (-SH) dari
protein yang menyebabkan terhambatnya aktivitas enzim (Widowati, dkk., 2008).
Menurut badan dunia FAO/WHO, konsumsi per minggu yang ditoleransikan bagi
manusia adalah 400-500 μg/orang atau 7 μg/kg berat badan. Berdasarkan data dari
lingkungan hidup didapatkan bahwa di sekitar limbah pabrik kadmium banyak
yang terjangkit penyakit kanker, radang paru-paru dan batu ginjal (Widowati dkk.
2008).
Beberapa metode telah dilakukan untuk menghilangkan limbah logam
tersebut dengan berbagai cara misalnya pengendapan, fitrasi, pertukaran ion dan
adsorpsi. Adsorpsi merupakan metode umum, karena memiliki konsep sederhana,
efisien dan juga ekonomis. Pada proses adsorpsi, adsorben memegang peranan
10
yang paling penting. Telah banyak diteliti berbagai macam kemampuan bahan,
terutama bahan anorganik, sebagai adsorben seperti zeolit, bentonit, dan
sebagainya. Namun metode ini memiliki kelemahan karena proses ini rumit,
memakan waktu dan memerlukan tenaga terampil. Dewasa ini telah
dikembangkan metode adsorpsi menggunakan biomassa tumbuhan, yang dikenal
sebagai metode fitoremediasi. Penelitian yang telah dilakukan diperoleh informasi
tentang
adanya
kemampuan
tumbuhan
dalam
mengikat
logam
dan
mengakumulasikan dalam jaringan tumbuhan, baik secara aktif melalui
metabolisme tumbuhan maupun secara pasif menggunakan gugus fungsional
dalam jaringan tumbuhan (Gardea-Torresdey, dkk. 1998).
Menurut Gupta, dkk., (2004) dan Yang, dkk., (2005) gugus fungsi dalam
jaringan tanaman yang berfungsi sebagai pengikat logam adalah gugus amina(NH2), gugus karboksil(-COOH), juga gugus sulfidril (-SH) yang terdapat dalam
protein. Disamping itu dalam jaringan tanaman terdapat dinding sel yang tersusun
atas selulosa, lignin dengan gugus hidroksil (-OH). Gugus-gugus polar ini diduga
bereaksi dengan logam berat. Penyerapan kontaminan bersamaan dengan
penyerapan nutrien dan air oleh akar tumbuhan dan translokasi atau akumulasi
senyawa itu kebagian tumbuhan seperti akar, batang dan daun.
Kadmium dan garamnya banyak dimanfaatkan dalam bidang industri.
Logam ini sering digunakan dalam penyepuhan, pada pembuatan alloy, dan
baterai alkali. Garam Cd banyak digunakan dalam proses fotografi, gelas, dan
campuran perak. Kadmium asetat banyak digunakan pada industri keramik
sebagai pigmen (Andrianto, 2002). Kadmium memiliki sifat tahan panas sehingga
bagus untuk campuran pembuatan bahan-bahan keramik, enamel dan plastik.
11
Logam ini juga tahan terhadap korosi sehingga baik untuk melapisi pelat besi dan
baja (Liu, 2006).
Pada perairan alami yang bersifat basa, kadmium mengalami hidrolisis,
teradsorpsi oleh padatan tersuspensi dan membentuk ikatan kompleks dengan
bahan organik maupun anorganik (Sanusi, 2006). Toksisitas kadmium terhadap
ikan yang hidup dalam air laut berkisar antara 10 - 100 kali lebih rendah dari pada
dalam air tawar yang memiliki tingkat kesadahan lebih rendah. Toksisitas
kadmium meningkat dengan menurunnya kadar oksigen dan kesadahan, serta
meningkatnya pH dan suhu (Laws, 1993).
Hasil penelitian Sanusi (2006) menyebutkan bahwa peningkatan salinitas
mengurangi toksisitas kadmium terhadap kehidupan hewan air. Sanusi (2006)
menyatakan kadar Cd di perairan berkisar pada 0,29 - 0,55 ppb dengan rata-rata
0,42 ppb. Menurut badan dunia FAO/WHO, konsumsi per minggu yang dapat
ditolerir oleh manusia adalah 400­500 μg/orang atau 7 μg/kg berat badan
(Suhendrayatna, 2001).
Keracunan kadmium dapat bersifat akut dan kronis. Organ tubuh yang
rentan terhadap keracunan kadmium adalah ginjal dan hati. Kadmium lebih
beracun bila terhirup melalui saluran pernafasan daripada saluran pencernaan.
Kasus keracunan akut kadmium lebih banyak dari menghisap debu dan asap
kadmium, terutama kadmium oksida (CdO) yang dapat menyebabkan emfisema
atau gangguan paru-paru (Darmono, 1995).
12
2.2 Logam Berat pada Sedimen Perairan
Keberadaan logam berat di perairan dapat berasal dari sumber alamiah dan
dari aktivitas manusia. Sumber alamiah masuk ke dalam perairan bisa dari
pengikisan batuan mineral. Disamping itu partikel logam yang ada di udara,
karena adanya hujan dapat menjadi sumber logam dalam perairan. Adapun logam
yang berasal dari aktivitas manusia dapat berupa buangan industri ataupun
buangan dari rumah tangga (Fardiaz, 1995).
Apabila suatu logam berat masuk ke dalam badan perairan maka akan
mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan karena sifatnya yang sulit
terdegradasi. Logam tersebut akan mengendap dan terakumulasi dalam sedimen,
sehingga konsentrasi logam dalam sedimen selalu lebih tinggi dari konsentrasi
logam dalam air. Disamping itu sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan air
sehingga logam yang terkandung dalam sedimen masuk kembali ke dalam air,
sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu
(Sutamihardja dkk, 1982).
Logam berat yang masuk ke sistem perairan, baik di sungai maupun lautan
akan dipindahkan dari badan airnya melalui tiga proses yaitu pengendapan,
adsorbsi, dan absorbsi oleh organisme-organisme perairan. Buangan limbah
industri yang masuk ke dalam suatu perairan akan mengendap dalam sedimen.
Hal ini menyebabkan konsentrasi bahan pencemar dalam sedimen meningkat
(Bryan, 1976). Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi karena adanya
anion karbonat hidroksil dan klorida. Logam berat mempunyai sifat yang mudah
mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan menyatu dengan
13
sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibanding dalam
air (Hutagalung, 1991).
Fergusson (1990) menyatakan konsentrasi logam berat pada sedimen di
perairan sangat bervariasi tergantung pada keadaan geografis dan keberadaan
sedimen apakah terdapat di pesisir pantai ataukah di lautan yang dalam. Partikel
sedimen yang halus memiliki kandungan logam berat yang lebih banyak.
Umumnya logam berat ditemukan pada partikel berukuran lebih kecil dari 63 µm
karena partikel yang halus mempunyai luas permukaan yang lebih besar dan
kerapatan ion partikel yang lebih stabil untuk mengikat partikel logam berat
(Fauzan, 1995).
Pada uji bioakumulasi logam Pb, Cu, dan Cd pada ikan dan sedimen
didaerah sungai Badung oleh Dwijani dan Suprihatin (2009) didapatkan
konsentrasi logam-logam tersebut yaitu 0.26 mg Pb/kg sedimen basah dan 0.58
mg Cu/kg sedimen basah. Sementara dalam daging ikan konsentrasinya 0.6 mg
Pb/kg berat sampel basah dan 1.3 mg Cd/kg berat sampel basah. Konsentrasi
logam-logam dalam sedimen maupun dalam ikan (biota) jauh lebih tinggi
daripada dalam air. Konsentrasi logam-logam dalam kedua jenis sampel tersebut
mencerminkan bukan hanya pencemaran sesaat, melainkan akumulasi historis.
2.3 Sungai Mati
Tidak berbeda jauh dengan perairan di kawasan muara sungai Badung,
perairan yang berada di kawasan muara Sungai Mati di Kabupaten Badung
merupakan perairan yang dialiri air laut dan juga air sungai Mati itu sendiri.
Sepanjang aliran sungai Mati terdapat berbagai jenis penggunaan lahan seperti
pertanian, peternakan, aktivitas rumah tangga, pasar, industri kecil dan jasa (usaha
14
garment, pencelupan, usaha tahu-tempe, rumah sakit, bengkel, pencucian motor
dan mobil). Sungai Mati memiliki luas daerah sungai ± 38,425 km 2 yang
dimanfaatkan sebagai saluran drainase utama Kota Denpasar dan Kabupaten
Badung. Daerah aliran Sungai Mati didominasi oleh lahan terbangun sedangkan
lahan persawahan semakin menyusut. Pada musim penghujan aliran sungai
berasal dari limpasan curah hujan dan tirisan air buangan dari sawah sekitarnya,
sedangkan pada musim kemarau aliran sungai relatif kecil yang bersumber dari
aliran tirisan sawah sekitarnya dan air buangan rumah tangga (Pem Prov Bali,
2010).
Jenis-jenis
kegiatan
disepanjang
aliran
sungai
Mati
berpotensi
menyumbangkan bahan-bahan pencemar ke badan perairan. Salah satu bahan
yang dapat mencemari lingkungan adalah logam berat, terutama yang bersifat
racun. Pencemaran logam berat pada daerah perairan bersifat fluktuatif tergantung
sumber dan kondisi lingkungan sekitar sungai (Arisandi, 2012).
Bawa (1997) menyatakan bahwa kandungan logam berat pada air Muara
Sungai Badung berkisar antara 0,14-0,98 mg/L Pb dan 0,09-0,56 mg/L Cr. Data
tersebut menunjukkan bahwa konsentrasinya telah melampui ambang batas
kehidupan untuk perikanan dan peternakan, yaitu Pb ≤ 0,03 mg/L dan Cr ≤ 0,05
mg/L. Tingginya kandungan kedua logam berat tersebut pada air di Muara Sungai
Badung diduga dapat meracuni organisme air, jika logam itu diabsorpsi dalam
jumlah berlebihan. Bila pada waktu tertentu, banyaknya logam berat yang
diabsorpsi lebih besar dari yang diekskresikan, maka akan terjadi penumpukan
logam berat dalam jaringan tubuh organisme air.
15
Mangrove yang tumbuh di muara sungai merupakan tempat penampungan
limbah-limbah yang terbawa aliran sungai. Muara Sungai Badung merupakan
muara dari sungai utama di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Sungai ini
melewati banyak pemukiman sehingga banyak masukan limbah kedalamnya.
Logam berat yang tidak terdegradasi oleh mikroba dapat terakumulasi dalam
lingkungan laut salah satunya kawasan hutan mangrove. Namun, beberapa
tanaman atau spesies pohon mangrove menunjukkan pola respon serapan yang
berbeda terhadap beberapa logam berat (Suwandewi, dkk., 2013).
2.4 Distribusi Logam Berat dan Pengaruhnya pada Tumbuhan
Tumbuhan
memiliki
kemampuan
untuk
menyerap
ion-ion
dari
lingkungannya melalui membran sel. Fitter dan Hay (1991) menyebutkan dua
sifat penyerapan ion oleh tumbuhan adalah (1) faktor konsentrasi, yaitu
kemampuan tumbuhan dalam mengakumulasi ion sampai tingkat konsentrasi
tertentu, bahkan dapat mencapai tingkat lebih besar dari konsentrasi ion di dalam
mediumnya, dan (2) perbedaan kuantitatif akan kebutuhan hara yang berbeda
pada tiap jenis tumbuhan.
Pada tumbuhan proses absorpsi racun, termasuk unsur logam berat, dapat
terjadi lewat beberapa bagian. Zat anorganik dan zat hidrofilik melalui akar, zat
yang lipofilik diserap melalui daun, sedangkan stomata untuk jalan masuk gas.
Transport zat yang terabsorpsi ini terjadi dari sel ke sel menuju jaringan vaskuler
agar dapat didistribusikan ke seluruh bagian tumbuhan. Difusi katalitik terjadi
dengan ikatan benang sitoplasma yang disebut plasmadesmata, misalnya transport
16
zat hara dari akar ke daun dan sebaliknya, makanan atau hidrat karbon dari daun
ke akar (Soemirat, 2003).
Sel-sel akar tumbuhan umumnya mengandung konsentrasi ion yang lebih
tinggi daripada medium disekitarnya. Sejumlah besar eksperimen menunjukkan
adanya hubungan antara laju pengambilan ion dengan konsentrasi ion yang
menyerupai hubungan laju reaksi yang dihantarkan enzim dengan konsentrasi
substratnya. Analogi ini menunjukkan adanya mekanisme khusus dalam membran
sel yang hanya sesuai untuk suatu ion tertentu dan dapat menyerap ion tersebut
(Fitter dan Hay, 1991).
Beraneka ragam unsur dapat ditemukan dalam tumbuhan, tetapi tidak
berarti unsur-unsur tersebut dibutuhkan tumbuhan untuk kelangsungan hidupnya.
Beberapa unsur yang ditemukan dalam tumbuhan ternyata dapat mengganggu
metabolisme atau meracuni tumbuhan, sebagai contoh adalah beberapa jenis
logam berat seperti Cu, Cd, dan Pb. Unsur hara yang mungkin mengandung unsur
logam dapat kontak dengan akar melalui 3 cara, yaitu: 1) secara difusi dalam
larutan tanah; 2) secara pasif oleh aliran air tanah dan 3) akar tumbuh kearah
posisi hara dalam matrik tanah. Serapan hara oleh akar dapat bersifat akumulatif,
selektif, satu arah (unit directional), dan tidak dapat jenuh. Penyerapan hara dalam
waktu yang lama dapat menyebabkan konsentrasi hara dalam sel jauh lebih tinggi
ini disebut akumulasi hara (Lakitan, 2001).
Ada 3 jalan yang dapat ditempuh oleh air dan ion-ion yang terlarut
bergerak menuju sel-sel xylem dalam akar yaitu: (1) melalui dinding sel (apoplas)
epidermis dan sel-sel korteks; (2) melalui sistem sitoplasma (simplas) yang
17
bergerak dari sel ke sel; (3) melalui sel hidup pada akar, dimana sitosol tiap sel
membentuk suatu jalur (Rosmarkam dan Nasih, 2002).
Absorbsi unsur hara pada tumbuhan ditentukan oleh berbagai faktor biotik
dan abiotik. Faktor biotik antara lain status hormonal, fase pertumbuhan,
metabolisme, morfologi tumbuhan, densitas daun, bentuk daun (sempit atau
lebar), berbulu atau berlapis, mudah tidaknya menjadi basah, umumnya daun yang
muda lebih sulit mengarbsorpsi daripada daun tua. Faktor abiotik antara lain suhu,
sinar/radiasi, kelembaban, dan kualitas tanah (Soemirat, 2003).
Menurut Luncang (2005) tumbuhan yang tumbuh di air akan terganggu
oleh bahan kimia toksik dalam limbah (sianida, klorin, hipoklorat, fenol, derivat
benzol dan campuran logam berat). Pengaruh polutan terhadap tumbuhan
tergantung pada macam polutan, konsentrasinya dan lamanya polutan itu berada.
Gejala adanya pencemaran pada tumbuhan sangat bervariasi dan tidak spesifik.
Pada konsentrasi tinggi tumbuhan akan mengalami kerusakan akut dengan gejala
seperti klorosis, perubahan warna, nekrosis dan kematian seluruh bagian
tumbuhan. Disamping perubahan morfologi juga akan terjadi perubahan kimia,
biokimia, fisiologi dan struktur tumbuhan.
Hasil-hasil penelitian pada vegetasi mangrove menyatakan bahwa
mangrove cenderung mengakumulasi logam-logam berat yang terdapat pada
ekosistem yang bersangkutan (Arisandi, 2012; Suwandewi, dkk., 2013; Suprihatin,
dkk., 2014; Suprihatin, I.E., 2014; Sholihah, dkk., 2014 ). Hal ini tidak lepas dari
mikroba-mikroba tanah yang membantu tumbuhan untuk mengakumulasi logamlogam berat tersebut, baik mikroba yang mengkonsumsi logam berat itu sendiri
ataupun mikroba yang bersatu atau bekerjasama dengan jenis tanaman tertentu
18
untuk mengakumulasi logam berat. Sebagian besar logam berat ini merupakan
deposit di dinding sel-sel perakaran dan daun (Hutagalung, 1991).
Penelitian yang telah dilakukan oleh Suwandewi (2013) yang mengukur
kandungan logam Cr di sedimen, akar dan daun mangrove Avicennia marina di
muara sungai Badung menunjukkan konsentarsi Cr dalam sedimen sebesar 0.4536
mg/kg. Konsentrasi logam Cr pada akar lebih tinggi dibanding sedimen yaitu
sebesar 1.968 mg/kg. Hal ini disebabkan karena akar Avicennia marina memiliki
kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Akar mangrove mampu
beradaptasi di daerah berlumpur dan lingkungan air dengan salinitas air payau
hingga air asin, sehingga mampu menyerap unsur hara yang terlarut dalam air
maupun dari sedimen dengan akarnya (Suwandewi, dkk., 2013). Sedangkan daun
Avicennia marina juga menunjukkan akumulasi logam berat yang dipengaruhi
oleh udara disekitarnya karena habitat Avicennia marina terletak dekat dengan
jalan raya dan melalui stomata daun mampu menyerap logam berat dari gas-gas
CO2, CO yang dihasilkan dari pembakaran kendaraan bermotor.
Berdasarkan mekanisme fisiologis, mangrove secara aktif mengurangi
penyerapan logam berat ketika konsentrasi logam berat di sedimen tinggi.
Penyerapan logam berat terakumulasi di akar karena pada akar terdapat sel
endodermis yang berperan sebagai penyaring dalam proses penyerapan logam
berat. Dari akar, logam akan ditranslokasikan ke jaringan yang lain seperti batang,
daun, dan buah melalui proses kompleksasi dengan zat lain seperti fitokelatin
(Tomlinson, 1986).
19
Menurut Suprihatin, dkk yang melakukan penelitian tentang kandungan
logam Cr, Pb dan Zn di akar, batang dan daun mangrove di muara sungai
Badung, akumulasi logam berat terjadi dalam ketiga bagian tanaman mangrove
tersebut (Suprihatin, dkk., 2014; Suwandewi, dkk., 2013). Tingginya konsentrasi
logam-logam ini dikarenakan ion-ionnya sangat mudah terserap kedalam sedimen
yang selanjutnya diserap oleh akar. Logam berat yang masuk terakumulasi di akar
disebabkan karena muara Sungai Badung banyak tercemar limbah penduduk
maupun industri. Sedangkan tingginya logam Cr disebabkan karena muara sungai
yang tercemar dengan berbagai aktivitas seperti kegiatan rumah sakit, bengkel,
laundry, home industry dan pencelupan. Konsentrasi Cr dan Zn yang terakumulasi
di batang tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan yang terakumulasi di akar yaitu
sebesar 3.26 mg/kg untuk logam Cr dan 4.14 mg/kg untuk logam Zn.
Konsentrasi logam Cr dan Zn di daun menunjukkan logam yang
terakumulasi di daun lebih tinggi dari akumulasi logam pada akar. Akumulasi
logam pada daun diduga tidak sepenuhnya berasal dari akar dan batang, tapi juga
berasal dari udara sekitar tanaman. Sama seperti pada akar, kandungan Zn pada
daun lebih tinggi dari Cr. Daun disebut sebagai organ terpenting bagi tumbuhan
karena
tumbuhan
merupakan
organisme
autotrof
obligat,
yaitu
untuk
melangsungkan hidupnya tumbuhan harus memasok energinya sendiri melalui
perubahan energi cahaya matahari menjadi energi kimia (fotosintesis). Organ
pernafasan daun yaitu stomata, yang berfungsi sebagai organ respirasi gas untuk
fotositesis. Selain gas-gas tersebut ada kemungkinan daun juga menyerap logamlogam berat seperti Cr dan Zn yang ada pada udara masuk ke daun dan
terakumulasi (Suprihatin, dkk, 2014).
20
2.5 Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove dan ekosistemnya adalah hutan yang menempati zona
neritik yang berbatasan dengan daratan (coastal wetland), yakni daerah pantai
yang seringkali tergenang air asin di pantai-pantai terlindung daerah tropika dan
subtropika. Meskipun daerah itu hanya 10% luas laut, namun menampung 90%
kehidupan laut (Gunarto, 2004).
Mangrove, mangal, hutan pantai, bakau, dan hutan api-api adalah sebutan
untuk komunitas tumbuhan pantai yang memiliki adaptasi khusus. Mangrove
memegang peranan penting untuk kehidupan laut. Dikawasan pesisir, mangrove
dapat hidup dengan baik, maka ekosistem tersebut akan mendukung lingkungan
pantai, menjadi tempat yang ideal bagi ikan-ikan untuk berkembang biak, rumah
yang nyaman bagi kepiting dan burung air, juga berfungsi menyaring pencemaran
logam berat dari daratan sebelum masuk lautan (Fachrul, 2007).
Tumbuhan mangrove termasuk jenis tumbuhan air yang mempunyai
kemampuan sangat tinggi untuk mengakumulasi logam berat yang berada di
wilayah perairan. Pada lahan basah, tumbuhan menyerap logam berat melalui
akar, setelah itu tanaman dapat melepaskan senyawa kelat seperti protein dan
glikosida yang berfungsi mengikat logam dan dikumpulkan di jaringan tubuh
kemudian ditransportasikan ke batang, daun, dan bagian lainnya, sedangkan
ekskresinya terjadi melalui transpirasi (Ali dan Rina, 2012).
Terdapat beberapa jenis tumbuhan yang dijumpai dihutan mangrove, yaitu
pohon api-api (Avicennia alba), bakau (Rhizophora mucronata), tanjang
(Bruguiera gymnorrhiza), nyirih (Xylocarpus sp), nipah (Nypa sp), dan pedada
(Sonneratia caseolaris). Pohon bakau mempunyai akar cerucuk yang tumbuh dari
21
batang dan dahan pohon dan mencengkeram ke dalam tanah seperti kaki labalaba. Buah bakau berbentuk seperti kubus panjang, berwarna kekuningan dengan
ujung yang tajam (Balai Pengelolaan Hutan Mangrove, 2007).
2.5.1 Karakteristik Morfologis Mangrove
Tanah pada habitat mangrove adalah anaerobik (hampa udara) bila berada
di bawah air. Beberapa spesies memiliki sistem perakaran khusus yang disebut
akar udara yang cocok untuk kondisi di tanah yang anaerobik. Ada beberapa tipe
perakaran udara, yaitu: akar tunjang, akar napas, akar lutut dan akar papan
(banir). Akar udara membantu fungsi pertukaran gas dan menyimpan udara
untuk pernapasan selama penggenangan (Tomlinson, 1986).
2.5.2 Karakteristik Fisiologis Mangrove
Spesies mangrove tumbuh baik tanpa dipengaruhi oleh kadar garam air,
namun jika salinitasnya tinggi maka pohon mangrove tidak dapat tumbuh terlalu
tinggi. Hal yang harus diperhatikan bahwa species mangrove dapat tumbuh lebih
cepat pada air tawar daripada di air yang mengandung garam (asin). Melalui
kelenjar garamnya, beberapa species mangrove menghasilkan sistem yang
memungkinkan mereka untuk tumbuh pada kondisi berkadar garam tinggi
(Tomlinson, 1986).
2.5.3 Mangrove Bruguiera gymnorrhiza
Bakau berdaun lebar (Bruguiera gymnorrhiza) adalah salah satu spesies
mangrove yang paling penting dan tersebar luas di Pasifik. Mangrove ini
ditemukan di daerah pasang surut daerah tropis Pasifik dari Asia Tenggara ke
Kepulauan Ryukyu Jepang selatan. Mangrove berdaun besar ini tumbuh subur di
berbagai kondisi intertidal, termasuk tingkat salinitas yang rendah sampai tingkat
22
salinitas tinggi, dan mentolerir kondisi saat terjadi banjir dan jenis tanah lainnya.
Kebanyakan mangrove jenis ini terletak di tengah dan di atas zona pasang surut.
Mangrove pada umumnya diyakini mempunyai peranan yang sangat penting
dalam perlindungan garis pantai, meningkatkan kualitas air di lingkungan dekat
pantai (terumbu karang), tempat berlindung ikan karang dan spesies lainnya, dan
mendukung rantai makanan laut (Santoso, N., 2000).
Klasifikasi mangrove Bruguiera gymnorhiza menurut Plantamor (2011) adalah
sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas
: Rosidae
Ordo
: Myrtales
Famili
: Rhizophoraceae
Genus
: Bruguiera
Species
: Bruguiera gymnorrhiza
Pohon mangrove Bruguiera gymnorhiza berukuran sedang, selalu hijau,
tinggi hingga 36 m; diameter batang 40-65 cm, memiliki akar napas berupa akar
papan dan lutut. Kulit batang abu hingga hitam, bercelah kasar, biasanya memiliki
lentisel besar-besar pada dasar batangnya. Daun menyirip berhadapan, tunggal
dan tepi rata, permukaan daun mengkilap, berbentuk elips atau memanjang,
panjang daun 8.5-22 cm dan lebar 5-7(-9) cm; dasar daun runcing, jarang tumpul,
ujung daun runcing; 9 – 10 pasang urat daun; panjang tangkai daun 2-4.5 cm,
terkadang berwarna merah; bunga soliter, panjang 3-3.5 cm, panjang tangkai
23
bunga 1-2.5 cm; kelopak bunga berwarna merah; panjang daun mahkota 13-15
mm; panjang benang sari 8-11 mm; ruang bakal biji tenggelam, kepala putik 15
mm. Buah berbentuk lonceng berdaging (Balai Pengelolaan Hutan Mangrove,
2007).
Gambar 2.1. Buah Mangrove Bruguiera gymnorrhiza
Beberapa bagian tanaman mangrove dapat digunakan untuk obat-obatan.
Air buah dan kulit akar mangrove muda dapat dipakai mengusir nyamuk. Air
buah tancang dapat dipakai sebagai pembersih mata. Kulit pohon tancang
digunakan secara tradisional sebagai obat sakit perut dan menurunkan panas. Di
Kambodia bahan ini dipakai sebagai penawar racun ikan, buah tancang dapat
membersihkan mata, obat sakit kulit dan di India dipakai menghentikan
pendarahan. Daun mangrove bila dimasukkan dalam air bisa dipakai dalam
penangkapan ikan sebagai bahan pembius yang memabukkan ikan (stupefied)
(Santoso, N., 2000).
Mangrove tanjang dapat tumbuh hingga 15 meter. Permukaan batang
berwarna gelap, halus. Sistem perakaran berupa akar lutut. Daun elips berwarna
hijau, permukaan bawahnya berwarna hijau kekuningan. Tangkai daun seringkali
berwarna merah. Daun mahkota berjumlah 10–14 dan berwarna putih. Kelopak
24
bunga berjumlah 10–14. Sisi luar kelopak bunga berwarna merah, sisi dalam
berwarna kuning. Hipokotil berbentuk silindris memanjang hingga 20 cm, saat
muda berwarna hijau dan menjadi coklat saat masak. Seringkali tumbuh di sisi
belakang hutan mangrove, terutama di area yang cukup kering dengan kadar
salinitas rendah dan cukup teraerasi. Pohon mangrove Bruguiera gymnorhiza
dapat mencapai tinggi 30 m, akar berasal dari bentukan seperti akar tunjang. Kulit
kayu berwarna abu-abu gelap, kasar, memiliki mulut kulit kayu. Daun susun
tunggal, bersilangan, bentuk elips dengan ujung meruncing, ukuran panjang 8 –
15 cm, permukaan daun licin, tebal, tidak ada bintik-bintik hitam di permukaan
bawahnya. Bunga lebar, tunggal di ketiak daun, mahkota warna putih hingga
coklat, kelopak 10-14 helai berwarna merah dengan ukuran panjang 3-5 cm (Balai
Pengelolaan Hutan Mangrove, 2007).
Buah pohon bakau (Mangrove) mengandung energi dan karbohidrat yang
cukup tinggi, bahkan melampaui berbagai jenis pangan sumber karbohidrat yang
biasa dikonsumsi masyarakat umum seperti beras, jagung, singkong atau sagu.
Kandungan energi buah bakau, menurut hasil penelitian, adalah 371 kilokalori per
100 gram atau lebih tinggi dari beras yang hanya 360 kilokalori per 100 gram
serta jagung yang hanya 307 kilokalori per 100 gram. Sementara kandungan
karbohidrat buah bakau 85,1 gram, sementara beras hanya 78,9 gram per 100
gram dan jagung 63,6 gram per 100 gram (Purnama, 2012).
Pemanfaatan tumbuhan mangrove sebagai bahan pangan jauh lebih rendah
daripada potensi yang ada. Di seluruh dunia, pada dasarnya tumbuhan mangrove
menyediakan banyak bahan makanan. Buah/hipokotil Bruguiera gymnorrhiza,
Sonneratia caseolaris, dan Terminallia catapa mengandung pati dan dapat
25
menjadi sumber karbohidrat. Rendahnya pemanfaatan tumbuhan mangrove
sebagai bahan pangan, selain disebabkan karena rasa, warna, dan penampilannya,
diduga karena adanya kesan bahwa bahan makanan tersebut hanya layak
dikonsumsi orang miskin atau pada masa paceklik, serta adanya kemudahan
mendapatkan uang dari tangkapan biota laut untuk ditukar dengan beras atau
bahan pangan lainnya (Purnama, 2012).
Proses penggunaan buah tanaman Tancang, adalah : pengupasan kulit
buah Tancang, buah dipecah (agar cepat lunak bila dimasak), lalu dimasak dengan
air sampai masak betul, air bekas masak dibuang di tempat aman (beracun), lalu
direndam 2 x 24 jam atau 3 x 24 jam dan airnya tetap dibuang di tempat aman.
Selanjutnya buah Tancang dapat langsung dimasak dicampur dengan beras
(perbandingan 1:1 atau 1:2) dan siap dihidangkan, atau buah setelah direndam 2-3
hari dapat dikeringkan apabila diperlukan dalam jangka waktu lama (untuk
disimpan) (Santoso, 2000). Komposisi gizi buah mangrove tancang ditunjukkan
pada tabel 2.1 (Balai Pengelolaan Hutan Mangrove, 2007).
Tabel 2.1. Komposisi gizi buah mangrove tancang per 100 gram bahan
Kandungan Gizi
Nilai (%)
Air (g)
73,7
Protein (g)
1,13
Lemak (g)
1,3
Karbohidrat (g)
23,5
Abu (g)
0,3
26
2.5.4 Mangrove Pedada (Sonneratia caseolaris)
Buah pedada termasuk ke dalam kelas Angiospermae, tumbuhan biji
terbuka yang memiliki propagule atau bakal buah yang sangat unik. Memiliki
kemampuan mengapung dan memiliki akar napas untuk membantu dalam proses
respirasi serta reproduksinya. Polinasi yang dipengaruhi oleh serangga dan angin.
Adaptasi yang tinggi terhadap salinitas yang tinggi maupun rendah dengan daun
yang tebal, dan adaptasi dengan akar napas serta bereproduksi dengan bakal buah
yang disebut propagule (Balai Pengelolaan Hutan Mangrove, 2007)
Tumbuhan mangrove mempunyai banyak fungsi dan manfaat. Salah
satunya adalah mangrove pedada. Apple Mangrove (Sonneratia sp.) merupakan
pohon bakau dengan akar nafas yang muncul vertikal dari dalam tanah.
Tumbuhan ini mampu menangkap dan menahan endapan, menstabilkan tanah
habitatnya, serta bertindak sebagai pionir yang memagari daratan dari kondisi laut
dan angin dalam pembentukan formasi hutan bakau di kawasan pantai. Buah
Apple Mangrove dapat dimakan secara langsung. Rasa asam dan aroma yang
khas, serta tekstur buah yang lembut (Santoso, 2000)
Klasifikasi
Klasifikasi mangrove Sonneratia sp. menurut Plantamor (2011) adalah
sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas
: Rosidae
Ordo
: Myrtales
27
Famili
: Lythraceae
Genus
: Sonneratia
Species
: Sonneratia caseolaris
Morfologi
Sonneratia caseolaris tergolong dalam family Sonneratiaceae dan
dijumpai di Sunderbans, hutan mangrove di Bangladesh. Nama Inggris dari pohon
ini adalah mangrove Crabapple dan diketahui nama lokalnya adalah Choilani atau
Choila. Pohon ini selalu berdaun dan dapat tumbuh antara 15-20 meter. Pohon itu
mempunyai daun yang berbentuk elips dan bunga merah besar. Terdapat
penopang
atau
akar
pada
pohon.
Penumatophores
bisa
mencapai
50-90 cm dan diameter 7 cm. Pohon ini dapat ditemukan dari Sri Lanka sampai
Bangladesh serta Filipina, Timor, New Guinea, kepulauan Solomon dan
Indonesia. Salah satu jenis mangrove yang dimanfaatkan buahnya yaitu jenis
pedada (Sonneratia caseolaris) yang hidup dan tumbuh di hutan mangrove (Balai
Pengelolaan Hutan Mangrove, 2007).
Tanaman ini memiliki daun berbentuk elips dan ujungnya memanjang
dengan tulang daun berbentuk menjari. Bunga memiliki kelopak bunga mengkilat
dan hijau serta datar dengan benang sari berwarna merah dan renggang. Buah ini
memiliki morfologi yang sangat unik berbentuk bulat dengan diameter 6-8 cm.
Sonneratia memiliki perawakan sebagai pohon besar yang memiliki banyak sekali
akar berbentuk serupa pensil yang mencuat ke atas. Bentuk akar ini merupakan
bentuk adaptasi Sonneratia untuk bernafas mengambil udara, karena kondisi tanah
mangrove yang anoksik. Secara langsung bisa dikatakan kondisi anoksik adalah
28
kondisi beracun, tapi arti sebenarnya dari anoksik adalah kurang oksigen atau
tidak ada oksigen (Santoso, 2000).
Gambar 2.2 Buah Sonneratia caseolaris (Balai Pengelolaan Hutan Mangrove,
2007).
Mangrove pedada merupakan mangrove yang tumbuh dikawasan pesisir
dengan adaptasi tinggi terhadap kondisi salinitas. Morfologi dari buah pedada
adalah buah terdiri dari bagian tangkai yang berada paling atas, kelopak, buah dan
perpanjangan putik. Bentuk daun dari buah pedada adalah elips dengan ujung
daun yang membulat, jumlah kelopak 6 dengan warna hijau yang mengkilap,
warna buah hijau, bentuk buah elips, susunan dari tulang daun menjari, benang
sari berwarna merah dan renggang, diameter buah 6-8 cm, jumlah biji 800-1200
buah dan warna daging putih (Balai Pengelolaan Hutan Mangrove, 2007).
Pedada adalah sejenis pohon penghuni rawa-rawa tepi sungai dan hutan
bakau dengan pohon berukuran kecil hingga sedang, tinggi sekitar 15 m, tajuk
renggang dengan ranting-ranting menggantung di ujung, serta banyak akar nafas
muncul vertikal di sekeliling batangnya. Daun-daun tunggal, berhadapan,
berukuran 5–13 cm×2–5 cm, dengan pangkal bentuk baji dan ujung membulat.
tangkai daun pendek dan kemerahan, bunga mempunyai 3 kuntum di ujung
29
ranting dengan kelopak bertaju 6, runcing, panjang 3–4,5 cm. Daun mahkota
merah, sempit, 17-35 mm×1,5-3,5 mm. Benangsari sangat banyak, panjang 2,5–
3,5 cm, putih dengan pangkal kemerahan, lekas rontok. Buah berbiji banyak
berbentuk bola pipih, hijau, 5–7,5 cm diameternya dan tinggi 3–4 cm, duduk di
atas tajuk kelopak yang hampir datar. Daging buah kekuningan, masam, berbau
busuk (Susanti, 2013)
Sifat buah tidak beracun dan langsung dapat dimakan. Buah yang telah
masak berasa asam, namun binatang liar menyukai buah tanaman ini. Buah yang
telah tua merupakan bahan baku makanan dan tidak memerlukan perlakukan atau
langsung dapat dimasak menjadi aneka makanan atau minuman (Santoso, 2000).
Pemanfaatan mangrove sebagai makanan alternatif didasarkan bahwa buah
mangrove mengandung zat gizi yang cukup lengkap, yaitu ditunjukkan pada
Tabel 2.2 (Balai Pengelolaan Hutan Mangrove, 2007).
Tabel 2.2 Komposisi gizi buah mangrove Sonneratia caseolaris per 100 gram
bahan
Kandungan Gizi
Nilai (%)
Kalori (kal)
354
Air (g)
9.8
Protein (g)
5.6
Lemak (g)
0.5
Karbohidrat (g)
81.3
Serat Kasar (g)
4.0
Abu (g)
2.8
30
2.5.5
Mangrove Avicennia alba
Mangrove Avicennia alba merupakan pohon yang tumbuh menyebar dengan
ketinggian mencapai 25 m. Kumpulan pohon membentuk sistem perakaran horizontal
dan akar nafas yang rumit. Akar nafas biasanya tipis, berbentuk jari (atau seperti
asparagus) yang ditutupi oleh lentisel. Kulit kayu luar berwarna keabu-abuan atau
gelap kecoklatan, beberapa ditumbuhi tonjolan kecil, sementara yang lain kadangkadang memiliki permukaan yang halus. Pada bagian batang yang tua, kadangkadang ditemukan serbuk tipis. Bentuk lanset (seperti daun akasia) kadang elips.
Ujung meruncing ukuran 16 x 5cm. Bunga seperti trisula dengan gerombolan
bunga
(kuning)
hampir
di
sepanjang
ruas
tandan.
Buah
seperti
kerucut/cabe/mente. Hijau muda kekuningan. Ukuran: 4 x 2 cm (Balai
Pengelolaan Hutan Mangrove, 2007).
Klasifikasi api-api (Avicennia alba)
Klasifikasi mangrove Avicennia alba menurut Plantamor (2011), adalah sebagai
berikut:
Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi
: Spermathophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub kelas
: Asteridae
Ordo
: Scrophulariales
Famili
: Acanthaceae
Genus
: Avicennia
Spesies
: Avicennia alba Blume.
31
Manfaat api-api (Avicennia alba)
Bagian-bagian (organ) dari tumbuhan Api-api (Avicennia alba) banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat antara lain, batangnya dapat dijadikan kayu bakar
dan bahan bangunan bermutu rendah, getahnya dapat dimanfaatkan untuk
mencegah kehamilan, dan buahnya dapat diolah menjadi bahan makanan. Berikut
adalah gambar dari buah Avicennia alba (Purnobasuki, 2013).
Gambar 2.3 Buah Mangrove Avicennia alba (Balai Pengelolaan Hutan
Mangrove, 2007)
Kandungan kimia tumbuhan marga Avicennia alba.
Ekstrak dan bahan mentah dari mangrove telah banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat pesisir untuk keperluan obat-obatan alamiah. Campuran senyawa
kimia dan bahan alam oleh para ahli kimia dikenal sebagai Pharmacopoeia.
Beberapa senyawa metabolit ini dengan struktur kimia dan tergolong salah satu
diversitas dari ’kelas-kelas kimia’ telah dikarakterisasi dari tumbuhan mangrove
dan tumbuhan asosiasinya. Diantara yang terbaru ditemukan dalam gugus
substansi dari getah dan perekat sampai senyawa alkaloid dan saponin dan
beberapa senyawa lain yang terkait dengan industri obat-obatan, seperti halnya
derifat: benzoquinone, naphthoquinone, naphthofurans, flavonoid, polyfenol,
rotenone, flavoglican, sesquiterpene, di- dan triterpene, limonoid, minyak
esensial, sterols, karbohidrat, o-metil-inositol, gula, iridoid glikosida, alkaloid dan
32
asam amino bebas, feromon, giberellin, forbol ester, keterosiklik oksigen,
senyawa sulfur, lemak dan hidrokarbon, alkohol alipatik rantai panjang dan lemak
jenuh, asam lemak bebas termasuk asam lemak tak jenuh ganda. Selain itu
mangrove kaya akan senyawa steroid, saponin, flavonoid dan tannin
(Purnobasuki, 2013). Berikut adalah kandungan buah mangrove Avicennia alba
ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 2.3. Komposisi gizi buah mangrove Avicenia alba per 100 gram bahan
Kandungan Gizi
Nilai (%)
Vitamin B (g)
3,74
Protein (g)
10.8
Lemak (g)
3.8
Karbohidrat (g)
21.4
Vitamin A(g)
22,24
2.6 Penentuan Logam Berat dengan Atomic Absorption Spectrophotometer
(AAS)
Spektrometri Serapan Atom (SSA) adalah suatu alat yang digunakan pada
metode analisis untuk penentuan unsur-unsur logam dan metaloid yang
pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang
tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas. Metode ini sangat tepat untuk
analisis zat pada konsentrasi rendah. Teknik ini mempunyai beberapa kelebihan
dibandingkan dengan metode spektroskopi emisi konvensional. Sebenarnya selain
dengan metode serapan atom, unsur-unsur dengan energi eksitasi rendah dapat
juga dianalisis dengan fotometri nyala, akan tetapi fotometri nyala tidak cocok
33
untuk unsur-unsur dengan energi eksitasi tinggi. Fotometri nyala memiliki range
ukur optimum pada panjang gelombang 400-800 nm, sedangkan AAS memiliki
range ukur optimum pada panjang gelombang 200-300 nm (Scoog et al., 1992).
Untuk analisis kualitatif, metode fotometri nyala lebih disukai dari AAS,
karena
AAS
memerlukan
lampu
katoda
spesifik
(hallow
cathode).
Kemonokromatisan dalam AAS merupakan syarat utama. Suatu perubahan
temperature nyala akan mengganggu proses eksitasi sehingga analisis dari
fotometri nyala berfilter. Dapat dikatakan bahwa metode fotometri nyala dan AAS
merupakan komplementer satu sama lainnya. Metode AAS berprinsip pada
absorbsi cahaya oleh atom, atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang
gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Misalkan natrium menyerap
pada 589 nm, uranium pada 358,5 nm sedangkan kalium pada 766,5 nm.
Cahaya pada gelombang ini mempunyai cukup energi untuk mengubah
tingkat energi elektronik suatu atom. Dengan absorpsi energi, berarti memperoleh
lebih banyak energi, suatu atom pada keadaan dasar dinaikkan tingkat energinya
ke tingkat eksitasi. Tingkat-tingkat eksitasinya pun bermacam-macam. Misalnya
unsur Na dengan nomor atom 11 mempunyai konfigurasi elektron 1s1 2s2 2p6 3s1,
tingkat dasar untuk elektron valensi 3s, artinya tidak memiliki kelebihan energi.
Elektron ini dapat tereksitasi ke tingkat 3p dengan energi 2,2 eV ataupun ke
tingkat 4p dengan energy 3,6 eV, masing-masing sesuai dengan panjang
gelombang sebesar 589 nm dan 330 nm. Kita dapat memilih diantara panjang
gelombang ini yang menghasilkan garis spektrum yang tajam dan dengan
intensitas maksimum, yang dikenal dengan garis resonansi. Garis-garis lain yang
34
bukan garis resonansi dapat berupa pita-pita lebar ataupun garis tidak berasal dari
eksitasi tingkat dasar yang disebabkan proses atomisasinya (Scoog, et al, 1992).
Apabila cahaya dengan panjang gelombang tertentu dilewatkan pada suatu
sel yang mengandung atom-atom bebas yang bersangkutan maka sebagian cahaya
tersebut akan diserap dan intensitas penyerapan akan berbanding lurus dengan
banyaknya atom bebas logam yang berada pada sel. Hubungan antara absorbansi
dengan konsentrasi diturunkan dari:

Hukum Lambert: bila suatu sumber sinar monkromatik melewati
medium transparan, maka intensitas sinar yang diteruskan berkurang
dengan bertambahnya ketebalan medium yang mengabsorbsi.

Hukum Beer: Intensitas sinar yang diteruskan berkurang secara
eksponensial dengan bertambahnya konsentrasi spesi yang menyerap
sinar tersebut.
Dari kedua hukum tersebut diperoleh suatu persamaan:
Dimana:
lo = intensitas sumber sinar
lt = intensitas sinar yang diteruskan
ε = absortivitas molar
b = panjang medium
c = konsentrasi atom-atom yang menyerap sinar
A = absorbansi
Dari persamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa absorbansi cahaya
berbanding lurus dengan konsentrasi atom (Day and Underwood, 2002).
35
Prinsip Kerja Spektrophotometri Serapan Atom (AAS)
AAS berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap
cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya
Analisis dengan Spektrophotometri Serapan Atom (SSA) meliputi absorpsi sinar
oleh atom-atom netral unsur logam yang masih berada dalam keadaan dasarnya
(Ground state). Sinar yang diserap biasanya ialah sinar ultra violet dan sinar
tampak. Prinsip Spektrophotometri Serapan Atom pada dasarnya sama seperti
absorpsi sinar oleh molekul atau ion senyawa dalam larutan (Day and Underwood,
2002).
Hukum absorpsi sinar (Lambert-Beer) yang berlaku pada spektrofotometer
absorpsi sinar ultra violet, sinar tampak maupun infra merah, juga berlaku pada
Spektrometri Serapan Atom. Perbedaan analisis Spektrometri Serapan Atom
dengan spektrofotometri molekul adalah peralatan dan bentuk spectrum
absorpsinya (Day and Underwood, 2002):
Setiap alat AAS terdiri atas tiga komponen yaitu:
-
Unit atomisasi (atomisasi dengan nyala dan tanpa nyala)
-
Sumber radiasi
-
Sistem pengukur fotometri
2.6.1 Teknik Analisis Kurva Standar
Analisis kuantitatif dengan menggunakan kurva kalibrasi diperoleh dengan
mengukur absorbansi sederetan konsentrasi larutan standar. Untuk senyawa yang
mengikuti hukum Lambert-Beer, kurva antara konsentrasi terhadap absorbansi
merupakan garis lurus yang mengikuti persamaan regresi linear, y = a + bx,
dimana y adalah besar serapan, x adalah konsentrasi, b adalah slope, dan a adalah
36
intersep. Nilai serapan larutan sampel kemudian diekstrapolasi sehingga
memotong sumbu x (sumbu konsentrasi), sehingga kadar sampel dapat ditentukan
(Scoog, et al, 1992). Contoh kurva kalibrasi dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.4 Kurva Kalibrasi
Kurva kalibrasi yang ideal adalah yang mempunyai intersep (a) sama
dengan nol, karena larutan tanpa sampel idealnya tidak menyerap cahaya pada
panjang gelombang yang diukur.
2.6.2 Teknik Analisis Adisi Standar
Teknik ini paling banyak digunakan dalam spektroskopi absorpsi atom.
Pada teknik ini larutan sampel dengan volume yang sama dimasukkan ke dalam
masing-masing labu takar. Kemudian ditambahkan larutan standar dengan
konsentrasi yang berbeda. Absorban dari masing-masing labu takar diukur setelah
diencerkan sampai volume tertentu.
Jika terdapat hubungan linier antara absorbans dan konsentrasi maka,
…………………………………………………..(1)
Dan
…………………………………….…...(2)
37
Dimana
Cx = konsentrasi unsur dalam larutan sampel
Cs = konsentrasi unsur dalam larutan standar yang ditambahkan
Ax = absorbans larutan sampel
At = absorbans larutan sampel dan standar
K = konstanta keseimbangan
Kombinasi persamaan (1) dan (2) akan diperoleh:
Atau,
………………………………………………(3)
Konsentrasi unsur dalam larutan sampel dapat dihitung dengan cara
ekstrapolasi sampai At = 0. Dari persamaan (3) terlihat bahwa jika At = 0 maka
Hubungan antara konsentrasi unsur yang ditambahkan dengan absorbans
dapat dilihat pada Gambar 2.6.2, yaitu
A
cx
x
+1
x
+2
x
+3
C
Gambar 2.5 Kurva Adisi Standar
38
2.7 Metode Destruksi
Metode destruksi digunakan untuk melepaskan logam-logam dari sampel
biologi dan lingkungan. Untuk mempercepat proses destruksi maka campuran
tersebut dipanaskan pada temperatur tertentu (bergantung pada jenis logam yang
dianalisis). Hasil destruksi disaring sehingga diperoleh larutan mengandung
logam yang dianalisis, kemudian larutan yang diperoleh diukur dengan AAS. Ada
2 cara destruksi yang sering diterapkan pada sampel-sampel biologi dan
lingkungan, yaitu:
1. Destruksi basah umumnya menggunakan asam pekat tunggal atau
campuran untuk menghilangkan senyawa organik dari sampel dan untuk
melepas unsur yang akan diteliti dari ikatan senyawa biologi. Asam kuat
yang sering digunakan adalah asam nitrat dan asam klorida. Cara ini
banyak dipakai karena logam-logam yang dianalisis relatif sedikit.
2. Destruksi kering dilakukan menggunakan pemanasan tinggi menjadi abu
kemudian sampel dilarutkan dalam asam encer. Cara ini jarang dilakukan
karena dapat menyebabkan hilangnya logam yang akan dianalisis terutama
logam-logam yang mudah menguap (Zainudin, 1986)
Download