abstrak - Journal | Unair

advertisement
WACANA KORUPSI DALAM KARIKATUR PADA PERIODE
PEMERINTAHAN PRESIDEN PASKA REFORMASI DI KUMPULAN
KARIKATUR “DARI PRESIDEN KE PRESIDEN EDISI TINGKAHPOLAH ELIT POLITIK”
Oleh: Romario Deni Manoppo (070810677)
[email protected]
ABSTRAK
Studi ini mengkaji wacana korupsi dalam karikatur pada tiap pemerintahan presiden dalam
kumpulan karikatur “Dari Presiden ke Presiden edisi Tingkah Polah Elit Politik” karya Benny
Rachmadi. Kondisi ini dilihat melalui media yang memiliki fungsi sebagai kontrol sosial dengan
produk dari media itu sendiri yaitu karikatur sebagai salah satu bentuk kritik sosial. Peneliti ingin
mengeksplorasi wacana korupsi dalam karikatur pada tiap pemerintahan presiden dalam teks
tersebut. Menggunakan analisis wacana milik Leeuwen sebagai metode serta mengkaji makna
karikatur menggunakan graphic satire dan karakteristik karikatur. Pada periode Habibie,
kekuasaan digunakan sebagai alat untuk berlindung dari hukum serta sebagai alat untuk
melakukan tindakan kriminal. Para periode Gus Dur, korupsi diwacanakan sebagai tindakan yang
buruk namun tidak ada penanganan terhadap para pelaku korupsi. Pemerintahan Megawati
negara Indonesia diwacanakan sebagai negara yang korup. Dalam pemerintahan SBY,
pewacanaan korupsi merupakan sebuah kritik terhadap pemerintahan Indonesia yang tidak
mampu dalam menangani kasus Soeharto.
Keyword: Analisis Wacana, Karikatur, Korupsi
PENDAHULUAN
Penelitian ini adalah analisis wacana (discourse analysis) korupsi dalam karikatur pada
periode pemerintahan presiden paska reformasi di kumpulan karikatur “Dari Presiden ke Presiden
Edisi Tingkah-Polah Elit Politik”. Penelitian ini menarik karena berdasarkan pemikiran Mochtar
Lubis, korupsi telah menjadi kebiasaan sejak zaman lampau di Indonesia. Korupsi menjadi tradisi
dalam corak birokrasi patrimonial, yang mengejewatahkan bentuknya dalam sistem masyarakat
feodal. Korupsi menjadi budaya dalam sistem tersebut, dimana kekuasaan dan keutamaan,
menjadi harga mati bagi kalangan ningrat dan golongannya. Corak dan sistem seperti ini tetap
dipertahankan sebagai sebuah kewajaran.1 Maka dari itu peneliti tertarik untuk mengkaji korupsi
yang diwacanakan di tiap periode presiden paska reformasi dalam karikatur di kumpulan
karikatur tersebut. Kumpulan karikatur ini menarik untuk diteliti karena merupakan hasil dari
1
Semma, DR Mansyur. 2008 Negara dan Korupsi, pemikiran mochtar lubis atas Negara manusia Indonesia, dan perilaku politik.
Jakarta : yayasan obor Indonesia. hal. 195
kejadian kejadian sehari-hari, "idenya memang dari kejadian sehari," kata Benny Rachmadi.2
Sehingga peneliti terterik melihat kejadian sehari-hari yang diwacanakan dalam karikatur yang
dibuat oleh Benny Rachmadi. Metode yang digunakan adalah metode analisis wacana milik van
Djik. Metode ini tidak hanya menganalisis pada teks semata, namun juga melihat bagaimana
suatu teks diproduksi.
Dalam penelitian ini peneliti membatasi hanya meneliti karikatur yang mewacanakan
korupsi pada tiap pemerintahan presiden yang menjabat di paska reformasi pada tahun 1998
hingga 2008 yaitu Preiden Habibie, Presiden Gus Dur, Presiden Megawati dan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Alasan peneliti memilih karikatur Benny Rachmadi adalah berkaitan
dengan bagaimana pembuatan karikatur itu, yaitu dibuat berdasarkan kejadian sehari-hari. Maka
peneliti berasumsi bahwa karikatur yang dibuat didasari oleh kejadian yang terjadi kemudian
dikemas dalam sebuah gambar karikatur yang memiliki fungsi sebagai kritik sosial.
Kekuatan utama gambar (karikatur termasuk gambar) adalah mampu menyampaikan
pesan tanpa banyak rangkaian kata. Gambar mewakili sejumlah kata dan kalimat, interpretasinya
diserahkan kepada publik. Bahasa gambar juga lebih disukai. Oleh karena itu, banyak media
massa menyampaikan opininya lewat karikatur.3 Maka dari itu menjadi menarik jika
mengidentifikasi karikatur yang memiliki fungsi sebagai kritik sosial kemudian dikaji wacana
apa yang terkait dalam pembuatan teks karikatur tersebut.
Karikatur (latin: carricare) sebenarnya memiliki arti sebagai gambar yang didistorsikan,
diplesetkan, atau dipeletotkan secara karakteristik tanpa bermaksud melecehkan si pemilik wajah.
Seni memeletotkan wajah ini sudah berkembang sejak abad ke-17 di Eropa, Inggris dan samapai
ke Amerika bersamaan dengan perkembangan media cetak pada masa itu. Karikatur adalah
bagian dari kartun yang diberi muatan pesan yang bernuansa kritik atau usulan terhadap
seseorang atau sesuatu masalah. Meski dibumbui dengan humor, namun kartun merupakan
karikatur satire yang tekadang malahan tidak menghibur, bahkan dapat membuat seseorang
tersenyum kecut.4
2
http://bataviase.co.id/ diakses tanggal 18 juni 2012
Rangkuman Buku “Bagaimana Mempertimbangkan Artikel Opini Untuk Media Massa” diakses tanggal 14 november 2012
available at http://catatancalonwartawan.wordpress.com/2009/03/10/rangkuman-buku-bagaimana-mempertimbangkan-artikelopini-untuk-media-massa
4 Pramoedjo, Pramo R 2008, Kiat mudah membuat karikatur: panduan ringan dan praktis menjadi karikaturis handal, Creativ
Media hal 13
3
Karikatur sebagai wahana penyampai kritik sosial seringkali kita temui dalam berbagai
media massa baik media cetak maupun media elektronik. Kritik sosial menurut Akhmad Zaini
Akbar adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi
sebagai control terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau proses berasyarakat. Kritik sosial juga
dapat berarti sebuah inovasi sosial. Dalam arti bahwa kritik sosial menjadi sarana komunikasi
gagasan-gagasan baru, sembari menilai gagasan-gagassan lama untuk suatu perubahan sosial.5
Memahami makna karikatur sama rumitnya dengan membongkar makna sosial dibalik
tindakan manusia, atau menginterpretasikan maksud dari karikatur sama dengan menafsirkan
tindakan sosial. Menurut Heru Nugroho, bahwa dibalik tindakan manusia ada makna yang harus
ditangkap dan dipahami, sebab manusia melakukan interaksi sosial melalui saling memahami
makna dari masing-masing tindakan.6
Sehingga memaknai karikatur tidak hanya dengan memaknai apa yang terdapat dalam
karikatur tersebut. Namun juga dilihat dari kondisi sosial ketika karikatur itu dibuat. Dalam
penelitian ini, kondisi sosial yang terjadi dikhususkan pada terjadinya sebuah tindakan yaitu
korupsi. Korupsi dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah corruption yang diambil dari kata
kerja latin, corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok.7
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan
uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.8 Menurut
perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam
UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis wacana Theo
van Leeuwen. Sesuai dengan metode analisis yang digunakan maka penelitian ini mendeteksi dan
meneliti bagaimana suatu kelompok dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan suatu
peristiwa dan pemaknaannya, sedangkan kelompok lain yang posisinya rendah cenderung sebagai
obyek pemaknaan, dan digambarkan secara buruk. Tipe penelitian adalah eksploratif sehingga
5
Akbar, akhmad zaini 1997, kritik sosial, pers dan politik Indonesia, dalam kritik sosial dan wacana pembangunan, UII Press,
Yogyakarta, hlm 12
6 Indarto, Kuss 1999, Sketsa di tanah mer(d)eka: kumpulan karikatur, Tiara Wacana, Yogyakarta, halaman 1
7 Pengertian Korupsi, diakses tanggal 5 juli 2012, available at hppt://id.wikipedia.org/Korupsi
8 KBBI, 2001, Hal. 597
hasil dari penelitian nantinya berupa kritik sosial terhadap korupsi di tiap periode pemerintahan
presiden Indonesia paska reformasi dalam kumpulan karikatur “Dari Presiden ke Presiden Edisi
Tingkah-Polah Elit Politik”.
Sasaran penelitian ini adalah teks yang terdiri dari beberapa gambar, kata dan kalimat
berkaitan dengan wacana korupsi pada karikatur pada tiap pemerintahan presiden paska reformasi
dalam kumpulan karikatur “Dari Presiden ke Presiden edisi Tingkah-Polah Elit Politik”. Unit
analisis penelitian ini adalah gambar , kata-kata dan kalimat yang berkaitan dengan wacana
korupsi pada karikatur pada tiap pemerintahan presiden paska reformasi dalam kumpulan
karikatur “Dari Presiden ke Presiden edisi Tingkah-Polah Elit Politik”. Sehingga peneliti
mendapatkan analisis mengenai wacana korupsi pada karikatur pada tiap pemerintahan presiden
paska reformasi dalam kumpulan karikatur “Dari Presiden ke Presiden edisi Tingkah-Polah Elit
Politik”.
Data-data pada penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer berupa
teks (kata-kata dan kalimat) dalam buku “Dari Presiden ke Presiden edisi Tingkah-Polah Elit
Politik”.
Peneliti
mendapatkan
data
tersebut
melalui
tahap-tahap
berikut,
peneliti
mengidentifikasi keseluruhan karikatur dalam buku “Dari Presiden ke Presiden edisi TingkahPolah Elit Politik” karya Benny Rachmadi terbitan tahun 2009. Peneliti memilih 18 gambar
karikatur yang berkaitan dengan wacana korupsi pada karikatur pada tiap pemerintahan presiden
paska reformasi dalam kumpulan karikatur “Dari Presiden ke Presiden edisi Tingkah-Polah Elit
Politik”. Sementara untuk data sekunder, peneliti memperolehnya dari skripsi, jurnal, literaturliteratur dan internet.
Peneliti menemukan bahwa wacana pengungkapan kasus korupsi merupakan senjata
makan tuan bagi Habibie. Karena Habibie sendiri orang dari pemerintah orde baru juga. Serta
beberapa kabinet bentukan Habibie merupakan mantan kabinet pembangunan VII Soeharto.
Sehingga pengusutan kasus Soeharto juga akan mengusut pemerintahan orde baru yang
didalamnya termasuk kabinet-kabinet bentukan Soeharto dengan Habibie sebagai wakil
presidennya.
Dari teks di atas jika dilihat menggunakan kerangka analisis Leeuwen maka kedua
karikatur di atas tergolong dalam objektivitas-abstraksi. Terdapat teks yang menunjukkan hal
abstrak yaitu “dilema” dan “boomerang”. Dua kata tersebut merupakan sikap Habibie dalam hal
ini menjadi aktor pada permasalahan tersebut. Dari wacana diatas juga telah dijelaskan bahwa
Habibie sebagai presiden tidak dapat menangani secara tegas terhadap Soeharto yang melakukan
pelanggaran hukum. Wacana-wacana di atas dapat dikaitkan dengan teks “dilema” dan
“boomerang”. Penggunaan teks karikatur dengan strategi wacana tertentu untuk menampilkan
suatu kelompok diaggap buruk. Seperti pada analisis ini yaitu Habibie sebagai pemimpin negara
terlihat tidak tegas untuk menegakkan hukum dalam teks karikatur tersebut.
Wacana tentang rumitnya penganganan kasus korupsi Soeharto tedapat dalam karikatur
maupun dalam realitas yang ada. Tidak rampungnya penanganan kasus-kasus korupsi Soeharto di
pemerintahan Habibie dan justru pengeluaran SP3 terhadap kasus KKN Soeharto. Kemudian
kasus tersebut diselidiki kembali dalam pemerintahan Gus Dur. Bukannya menuntaskan kasus
korupsi Soeharto tapi justru terjerat dugaan korupsi Buloggate dan Brunaigate.
Strategi wacana yang terdapat dalam ketiga teks tersebut adalah nominalisasi. Dalam teks
tersebut tidak diberi keterangan tentang pihak yang melakukan pemberantasan korupsi secara
jelas, namun teks tersebut dari segi verbalnya menunjukkan kalimat yang mandiri tanpa
membutuhkan subyek di dalamnya. Hal tersebut dilakukan agar pelaku dalam peristiwa itu yaitu
dalam wacana ini adalah pemerintah yang bertanggung jawab dalam menggungkap kasus
Soeharto dapat bersembunyi dan tidak tampak dalam teks tersebut. Sehingga yang menjadi buruk
yaitu Soeharto, namun pemeritah tidak disalahkan karena teks tersebut tidak dicantumkan pihak
lain yang bertanggung jawab atas pengungkapan kasus soeharto.
Peristiwa di atas menunjukkan wacana dari karikatur pada gambar koruptor yang masih
bebas melenggang. Tidak ada satupun kasus korupsi yang dapat ditangani secara tuntas oleh
pemerintahan Gus Dur. Maka fakta di atas menjelaskan pemerintahan Gus Dur juga tidak mampu
menuntaskan keadilan atas kasus korupsi Soeharto, seperti pada pemerintahan Habibie.
Bukannya
menuntaskan
kasus
korupsi,
justru
Gus
Dur
dituduh
terlibat
skandal
korupsi Buloggate dan Bruneigate. Berkaitan dengan dugaan korupsi Gus Dur, terdapat beberapa
fakta yang berkaitan. Faktanya para anggota dalam lingkup Gus Dur telah meraup uang sebanyak
Rp 35 miliar dari Yayasan Bina Sejahtera, yang merupakan dana tabungan pensiunan para
karyawan Bulog. Selain itu proyek-proyek kemanusiaan di Aceh menjadi alasan bagi Presiden
Gus Dur untuk menerima dana US$ 2 Juta, sumbangan Sultan Hasanal Bolkiah dari Brunei
Darussalam. Setelah berdalih bahwa sumbangan itu disimpan oleh Haji Masnuh, kroni Gus Dur,
maka 237 anggota DPR pun segera membentuk panitia khusus (Pansus) untuk menginvestigasi
kedua skandal yang oleh pers dijuluki “Brunei-gate” dan “Bulog-gate”.9
Analisis pada karikatur di atas maka para koruptor ditampilkan sebagai kelompok yang
buruk. Karena para koruptor merupakan orang yang melakukan tindak criminal namun
diwacanakan sebagai orang yang bebas dan hukum tidak menjadi beban bagi mereka. Namun
berdasarkan analisis wacana Leeuwen maka aktor pada peristiwa ini tidak dimunculkan dalam
teks atau teks tersebut dihilangkan aktornya menggunakan nominalisasi pada teks. Nominalisasi
pada teks membuat subyek atau pelaku pada teks tersebut dihilangkan. Proses nominalisasi tidak
membutuhkan subyek/aktor karena teks menjadi sebuah peristiwa. Sehingga peristiwa itu
dianggap sebagai keburukan para koruptor. Sehingga wacana yang ditampilkan bahwa korupsi
merupakan tindakan yang buruk namun tidak ada penanganan terhadap para pelaku korupsi.
Kasus Suharto kiranya juga menarik perhatian dalam pertemuan di Bali ini ketika
dibicarakan juga program PBB dan Bank Dunia mengenai pengembalian harta yang dicuri para
koruptor (StAR Initiative). Karena berita yang disiarkan Tempo Interaktif tidak menyinggung
soal-soal korupsi Suharto, maka bisa diharapkan bahwa Tranparency International Indonesia
yang dipimpin oleh Todung Mulya Lubis SH akan mengeluarkan release atau informasi yang
berkaitan dengan pertemuan di Bali dan yang berkaitan dengan masalah korupsi di Indonesia
umumnya dan masalah korupsi Soeharto khususnya.10
Teks di atas jika dianalisis berdasakran wacana Leeuwen maka dalam teks tersebut
menggunakan strategi wacana nominasi kategorisasi. Penggunaan nominasi kategorisasi
membuat teks memberitakan pelaku dari peristiwa dengan menunjukkan cirri penting dari
kelompok tersebut. Seperti pada wacana yang terdapat pada teks di atas yaitu Soeharto yang
mengalahkan sebuah majalah Time. Wacana di atas menunjukkan bahwa sebuah majalah menjadi
pihak yang buruk karena dikalahkan oleh Soeharto dalam kasus pemberitaan dugaan harta
korupsi Soeharto. Wacana tersebut merupakan sebuah kritik terhadap pemerintahan Indonesia
yang tidak mampu dalam menangani kasus Soeharto hingga pihak dari negara lain pun dalam hal
ini Majalah Time turut serta dalam melakukan upaya untuk menghukum Soeharto.
9 Aditjondro, George Junus 2006 Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga:Istana, Tangsi dan Partai Penguasa. Yogyakarta:LKIS
Hal 388
10 Ibid
Keterkaitan antara penuntasan kasus Bank Bali oleh Habibie yang dapat menyeret dirinya
sendiri karena dari realitas diatas disebutkan bahwa Habibie dan pembantunya terlibat dalam
kasus tersebut. Kemudian tentang penangkapan orang-orang yang terlibat dalam kasus Bank Bali.
Terlihat bahwa jika yang terlibat adalah orang yang memiliki kekuasaan yang besar sebagai
contoh pejabat negara bahkan presiden sendiri. Maka upaya untuk cover-up sangatlah kuat
sehingga penangkapan terhadap pelaku menjadi sulit.
Teks di atas mewacanakan bahwa penangkapan koruptor kasus bank bali mengalami
kesulitan. Dan juga wacana yang muncul yaitu koruptor yang memiliki kekuasaan akan sulit
untuk ditangkap. Kekuasaan digunakan sebagai alat untuk berlindung dari hukum serta sebagai
alat untuk melakukan tindakan kriminal. Berdasarkan analisis
merupakan bentuk dari
Leeuwen maka teks di atas
nominalisasi. Dengan menghilangkan pelaku kalin dalam teks itu
sehingga menguntungkan bagi pihak yang dihilangkan. Seperti pada teks di atas menunjukkan
bahwa teks tersebut menghilangkan pelaku yang terkait dengan korupsi bank Bali dalam teks
tersebut. Teks tersebut menjadi kritikan secara tidak langsung kepada pemerintahan dan pelaku
korupsi yang memiliki kekuasaan yang besar. Karena berdasarkan wacana yang disebutkan diatas
bahwa terdapat upaya untuk melindungi pelaku korupsi yang memiliki kekuasaan yang besar
dalam pemerintahan.
Hal yang menjadi nilai buruk yang mencoreng nama baik pemerintahan Habibie, sekaligus
menjadi faktor penting penolakan MPR terhadap laporan pertanggung jawaban Habibie, adalah
skandal Bank Bali. Kasus pencarian piutang Bank Bali pada Bank Dagang Nasional Indonesia,
Bank Umum Nasional dan Bank Tiara yang sudah ada sejak Maret 1998. Proses pencairan
piutang Bank Bali inilah yang menimbulkan “heboh politik” besar dan aib bagi pemerintah
Habibie, termasuk Habibie sendiri.11
Berdasar beberapa wacana di atas, dengan menggunakan analisis wacana Leeuwen
dditemukan bahwa teks diatas tergolong dalam nominalisasi. Teks pertanggungjawaban Habibie
menunjukkna sebuah bentuk yang nominal yaitu perubahan kalimat verbal mejadi kata benda
sehingga subyek atau pelaku dapat disembunyikan. Dalam hal ini pelaku yang disembunyikan
yaitu lembaga pemerintahan lainnya seperti DPR atau MPR yang ikut serta bertanggung jawab
dalam pelaksanaan pemerintahan. Pada teks tersebut Habibie diwacanakan memiliki banyak
11 Lesmana, Tjipta. 2009 Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
beban dalam menjalankan pemerintahannya. Namun hal tersebut meruakan prestasi juga karena
mampu mengatasi konflik yang terjadi pasca reformasi. Paska reformasi ditandai dengan
runtuhnya pemerintahan Soeharto.
Terdapat artikel yang menjelaskan terkait dengan jaksa agung yang terlibat kasus korupsi.
Kejaksaan Agung merupakan lembaga yang mengusut kasus korupsi melakukan upaya yang
serius dalam menangani kasus tersebut. Bahkan keterlibatan jaksa terhadap kasus BLBI juga
ditangani agar dapat mengusut secara tuntas terhadap dugaan suap kepada jaksa. Fenomena
tersebut terkesan ironi, karena jaksa yang salah satu tugasnya mengusut kasus korupsi justru
terlibat dalam kasus korupsi itu sendiri.
Berdasarkan analisis wacana Leeuwen maka ditemukan bahwa teks di atas terdapat
nominasi kategorisasi dan nominasi identifikasi. Pada nominasi kategorisasi dalam teks terdapat
penyebutan jaksa korup yang digambarkan pada karikatur yaitu kucing menyerupai tikus. Hal
tersebut sebenarnya tidak perlu ditambahkan, karena secara tidak langsung akan mengasosiasikan
bahwa jaksa menjadi identik dengan tindakan korupsi meskipun jaksa sendiri memberantas
korupsi. Sehingga pada akhirnya akan menimbulkan ketidak percayaan masyarakat terhadap
kejaksaan. Kemudian pada teks nominasi identifikasi yaitu teks BLBI “yang terlupakan” dengan
gambar makam maka muncul pemahaman yang sejalan bahwa teks tersebut saling mempertegas
antara gambar dan verbalnya. Namun hal tersebut juga merupakan bentuk dari wacana dimana
pemberian keterangan buruk terhadap suatu peristiwa akan menimbulkan kesan yang buruk pula
di benak khalayak.
Pada tahun 2001, posisi Indonesia masih sangat menyedihkan dalam deretan negara
terkorup di dunia yakni menempati urutan ke empat dari 91 negara terkorup di dunia. Dalam
urutan Corruption Perceptions Indeks (Indeks Citra Korupsi) 2001, yang dikeluarkan
Transparancy International (TI) itu, Indonesia mendapat skor sekelas dengan Uganda, yakni 1,9.
Hal ini hanya sedikit lebih baik ketimbang dua negara terkorup di dunia, yakni Nigeria (1,0) dan
Bangladesh (0,4).12
Fakta-fakta tersebut menjelaskan bagaimana wacana korupsi pada karikatur yang
menggambarkan keadaan negara Indonesia. Gambar pada 3.15 Merupakan penggambaran yang
disajikan berdasarkan fakta yang terjadi. Jika dikaji menggunakan analisis Leeuwen, maka
12 ibid
pewacanaan teks tersebut termasuk dalam asosiasi-disosiasi. Dalam teks tersebut dapat dipahami
melalui teks verbal yaitu “sang juara korupsi” dan “raja korupsi se-asia”. Dalam teks tersebut
terdapat tanda verbal yang menghubungkan antara korupsi Indonesia dan Asia. Jika dikaji lebih
dalam lagi, maka dalam hal ini teks tersebut dapat dimaknai sebagai pemaknaan yang besar dan
berkembang secara luas. Karena dengan adanya asosiasi antara korupsi Indonesia dan negaranegara Asia khalayak akan membayangkan dan menghubungkan secara imajiner dengan
komunitas yang lebih luas. Indonesia dan negara-negara Asia lainnya berbeda, namun dengan
adanya asosiasi tersebut maka khalayak dapat membayangkan bahwa negara-negara asia
merupakan perkumpulan raja korupsi. Sehingga perlu adanya penempatan teks yang tepat dan
cermat dalam menyamaikan sebuah pesan di media.
KESIMPULAN
Penelitian ini terdapat wacana yaitu pada periode Habibie sebagai presiden, pemerintah
tidak dapat menangani secara tegas terhadap Soeharto yang melakukan pelanggaran hukum.
Habibie sebagai pemimpin negara terlihat tidak tegas untuk menegakkan hukum dalam teks
karikatur tersebut. Pemerintah yang bertanggung jawab dalam menggungkap kasus Soeharto
justru tidak dapat menuntaskan kasus soeharto pada periode pemerintahan Habibie.
Penangkapan koruptor kasus bank bali pada pemerintahan Habibie mengalami kesulitan.
Dan juga wacana yang muncul yaitu koruptor yang memiliki
kekuasaan akan sulit untuk
ditangkap. Kekuasaan digunakan sebagai alat untuk berlindung dari hukum serta sebagai alat
untuk melakukan tindakan kriminal. Hal tersebut menjadi kritikan secara tidak langsung kepada
pemerintahan dan pelaku korupsi yang memiliki kekuasaan dalam pemerintahan. Karena
berdasarkan wacana yang disebutkan diatas bahwa terdapat upaya untuk melindungi pelaku
korupsi yang memiliki kekuasaan yang besar dalam pemerintahan.
Periode Gus Dur, para koruptor merupakan orang yang melakukan tindak kriminal namun
masih bebas dan hukum tidak menjadi beban bagi mereka. Korupsi diwacanakan sebagai
tindakan yang buruk namun tidak ada penanganan terhadap para pelaku korupsi. Pemerintahan
Megawati negara Indonesia diwacanakan sebagai negara yang korup. Fakta menyebutkan, bahwa
Indonesia merupakan negara terkorup se-Asia. Menurut hasil survey yang dilakukan oleh
Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Hal ini merupakan pewacanaan bahwa
Indonesia tidak dapat menangani korupsi dari era orde baru hingga pemerintahan Megawati.
Pemerintahan SBY, terdapat wacana Soeharto yang mengalahkan sebuah majalah Time.
Wacana tersebut merupakan sebuah kritik terhadap pemerintahan Indonesia yang tidak mampu
dalam menangani kasus Soeharto hingga pihak dari negara lain pun dalam hal ini Majalah Time
turut serta dalam melakukan upaya untuk menghukum Soeharto. Wacana lainnya yaitu
munculnya kasus jaksa korup. Jaksa menjadi identik dengan tindakan korupsi meskipun jaksa
sendiri memberantas korupsi. Sehingga pada akhirnya akan menimbulkan ketidak percayaan
masyarakat terhadap kejaksaan. kasus BLBI “yang terlupakan” dengan gambar makam maka
muncul pemahaman yang sejalan bahwa teks tersebut saling mempertegas antara gambar dan
verbalnya. Hal tersebut juga merupakan bentuk dari wacana kesan yang buruk yang dapat muncul
pada benak khalayak bahwa pemerintah tidak dapat menangani kasus korupsi secara tuntas.
Lembaga KPK baru saja dibentuk langsung banyak pekerjaan. Hal tersebut juga menimbulkan
pemaknaan di benak khalayak tentang keburukan pemerintah dalam memberantas korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro, George Junus 2006 Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga:Istana,
Tangsi dan Partai Penguasa. Yogyakarta:LKIS
Akbar, akhmad zaini 1997, kritik sosial, pers dan politik Indonesia, dalam kritik sosial dan
wacana pembangunan, UII Press, Yogyakarta
Bataviase.co.id/ diakses tanggal 18 juni 2012
Indarto, Kuss 1999, Sketsa di tanah mer(d)eka: kumpulan karikatur, Tiara Wacana, Yogyakarta
KBBI, 2001
Lesmana, Tjipta. 2009 Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Pengertian Korupsi, diakses tanggal 5 juli 2012, available at hppt://id.wikipedia.org/Korupsi
Pramoedjo, Pramo R 2008, Kiat mudah membuat karikatur: panduan ringan dan praktis menjadi
karikaturis handal, Creativ Media
Rangkuman Buku “Bagaimana Mempertimbangkan Artikel Opini Untuk Media Massa” diakses
tanggal 14 november 2012 available at
http://catatancalonwartawan.wordpress.com/2009/03/10/rangkuman-buku-bagaimanamempertimbangkan-artikel-opini-untuk-media-massa
Semma, DR Mansyur. 2008 Negara dan Korupsi, pemikiran mochtar lubis atas Negara manusia
Indonesia, dan perilaku politik. Jakarta : yayasan obor Indonesia.
Download