BAB I

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Era globalisasi yang sedang kita alami saat ini telah menjadikan dunia
bisnis di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat, menjadikan
perusahaan-perusahaan menyesuaikan diri dalam menghadapi pesaing-pesaing
yang akan muncul. Kondisi ini memacu dunia usaha untuk lebih peduli terhadap
strategi yang dijalankan. Perusahaan-perusahaan terus berupaya merumuskan dan
menyempurnakan strategi-strategi bisnis mereka dalam rangka memenangkan
persaingan.
Menghadapi lingkungan yang dinamis dimana perubahan terjadi sangat
pesat, maka perusahaan memerlukan pertimbangan terbaik di dalam membawa
perusahaan atau organisasi menuju masa depan yang lebih baik. Pengukuran
kinerja merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi perusahaan karena
pengukuran kinerja perusahaan merupakan usaha memetakan strategi kedalam
tindakan pencapaian target tertentu (Giri, 1998). Sistem pengukuran kinerja dalam
manajemen tradisional ditekankan pada aspek keuangan, karena ukuran keuangan
ini mudah dilakukan sehingga kinerja personal yang diukur hanya berkaitan
dengan aspek keuangan, seperti Return on Equity (ROE), Return on Invesment
(ROI), profit margin, Economic Value Added (EVA) dan Residual Income (RI).
Oleh karena itu dalam menghadapi lingkungan usaha yang dinamis tersebut
perusahaan perlu melakukan pengukuran kinerja manajemen dari aspek
nonkeuangan, yang selama ini diabaikan dalam manajemen tradisional. Kinerja
dari aspek nonkeuangan tersebut antara lain: meningkatkan kepercayaan
pelanggan terhadap layanan jasa perusahaan, peningkatan kompetensi dan
komitmen karyawan, kedekatan hubungan kemitraan perusahaan dan pemasok,
dan proses bisnis yang digunakan untuk melayani pelanggan.
Balanced Scorecard merupakan suatu metode pengukuran kinerja yang
tidak hanya mencerminkan kinerja keuangan saja, tetapi juga kinerja nonkeuangan
yang meliputi: pelanggan, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan.
Menurut Soetjipto dalam Indarti (2003) Balanced Scorecard tidak hanya
mengukur hasil akhir atau outcome tetapi juga aktivitas-aktivitas penentu akhir.
Secara umum terdapat empat perspektif dalam Balanced Scorecard, yaitu
perspektif keuangan, perspektif customer, perpsektif proses bisnis internal,
perspektif pembelajaran dan pertumbuhan organisasi (Kaplan dan Norton,
1996:8). Kebutuhan perusahaan untuk mengimplementasikan Balanced Scorecard
dipacu oleh faktor-faktor berikut ini (Mulyadi, 2001:24).
1. Lingkungan bisnis yang dimasuki oleh perusahaan sangat kompetitif dan
turbulance (berubah sangat cepat).
2. Sistem manajemen yang digunakan oleh perusahaan tidak pas dengan tuntutan
lingkungan bisnis yang dimasuki oleh perusahaan.
Penelitian-penelitian mengenai penerapan Balanced Scorecard pada
perusahaan telah banyak dilakukan. Nurhayati (2003) meneliti mengenai
kemungkinan penerapan Balanced Scorecard pada perusahaan tekstil PT. Danliris
Solo, berdasarkan hasil analisis PT. Danliris dimungkinkan untuk menerapkan
Balanced Scorecard, karena setelah dilakukan penilaian kinerja dengan Balanced
Scorecard kinerja perusahaan dikatakan “cukup baik” padahal sebelumnya kinerja
perusahaan yang diukur dengan ukuran keuangan saja dikatakan “buruk”. Sulastri
(2003) melakukan penelitian mengenai kemungkinan penerapan Balanced
Scorecard pada perusahaan jasa yaitu rumah sakit. Berdasarkan hasil analisis
menunjukkan bahwa Rumah Sakit Islam Surakarta mempunyai keumungkinan
untuk menerapkan Balanced Scorecard sebagai sistem penilaian kinerjan karena
setelah adanya penerapan Balanced Scorecard, kinerja rumah sakit adalah “cukup
baik”, padahal sebelumnya kinerja rumah sakit adalah “kuarng baik”.
Penelitian mengenai penerapan Balanced Scorecard pada perusahaan jasa
juga dilakukan oleh Indarti (2003), namun perusahaan tersebut adalah PT. Jasa
Marga Cabang Jagorawi, berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa
kinerja perusahaan akan lebih baik jika dinilai dengan menggunakan konsep
Balanced
Scorecard
meskipun
belum
sempurna
karena
tidak
adanya
keseimbangan dari keempat perspektif dalam Balanced Scorecard. Penelitianpenelitian mengenai penerapan Balanced Scorecard tersebut lebih banyak
ditekankan pada organisasi bisnis karena seperti yang kita ketahui konsep
Balanced Scorecard yang dikembangkan oleh Kaplan dan Norton pada awalnya
lebih menekankan pada perspektif bisnis (private). Dalam perkembangannya,
konsep Balanced Scorecard sudah mulai diadopsi dalam sektor publik.
Penerapan Balanced Scorecard pada sektor publik dimaksudkan untuk
pemberdayaan institusi, pengambilan keputusan penganggaran yang lebih
rasional, peningkatan kinerja, meningkatkan komunikasi kepada pihak-pihak
berkepentingan (stakeholders), dan penyediaan data untuk benchmarking
(Machfud, 2002). Pada dasarnya, pengembangan Balanced Scorecard baik pada
sektor swasta maupun publik dimaksudkan untuk memberikan kepuasan bagi para
pelanggan. Perbedaannya dapat dilihat dari tujuan maupun pihak-pihak yang
berkepentingan. Penerapan Balanced Scorecard untuk sektor bisnis dimaksudkan
untuk meningkatkan persaingan (competitiveness), sedangkan untuk sektor publik
lebih menekankan pada nilai misi dan pencapaian (mission, value and
effectiveness). Dari aspek keuangan, untuk sektor bisnis akan mengutamakan
keuntungan,
pertumbuhan
dan
pangsa
pasar
sedangkan
sektor
publik
dimaksudkan untuk pengukuran produktivitas dan tingkat efisiensi. Demikian
juga halnya dengan pihak-pihak yang berkepentingan, sektor bisnis akan lebih
mengutamakan para pemegang saham, pembeli dan manajemen, sedangkan untuk
sektor publik akan meliputi para pembayar pajak, pengguna jasa (recepients),
legislatif (Machfud, 2002).
Perum Pegadaian merupakan salah satu organisasi sektor publik yang
memberikan jasa pinjaman dana atas dasar hukum gadai kepada masyarakat
umum. Meskipun Perum Pegadaian perkembangannya dari tahun ke tahun cukup
pesat dalam situasi lingkungan yang penuh dinamika mau tidak mau siap tidak
siap Perum Pegadaian harus memandang ke depan dan mengantisipasinya agar
tetap eksis dalam persaingan bisnis. Beberapa tantangan baru yang muncul antara
lain era globalisasi dan telah disahkannya UU No. 5 tahun 1999 tentang UndangUndang anti monopoli yang menghapus segala bentuk sistem monopoli baik yang
dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah dan swasta. Hal ini ini memberikan
peluang besar dan kesempatan munculnya industri-industri baru dibidang
perkreditan termasuk bisnis gadai, mengingat bisnis gadai sangat mudah ditiru
dan mempunyai prospek yang menjanjikan. Pengukuran kinerja yang dilakukan
oleh Perum Pegadaian selama ini lebih banyak ditekankan pada pengukuran
kinerja keuangan sehingga dirasa belum cukup dalam menghadapi persaingan
bisnis karena pengukuran kinerja keuangan hanya berorientasi pada jangka
pendek, sedangkan untuk menghadapi persaingan perusahaan tidak dapat
mengandalkan sistem pengukuran kinerja yang berorientasi pada jangka pendek,
maka Perum Pegadaian membutuhkan suatu sistem pengukuran kinerja yang
berorientasi jangka panjang dan tidak hanya mengukur kinerja keuangan tetapi
juga nonkeuangan: customer, proses bisnis internal, pembelajaran dan
pertumbuhan, sistem pengukuran kinerja tersebut terdapat dalam konsep Balanced
Scorecard. Berdasarkan alasan tersebut penulis tertarik mengambil judul
penelitian
“Penerapan
Balanced
Scorecard
sebagai
Suatu
Alternatif
Pengukuran Kinerja pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar
belakang
permasalahan
diatas
maka
pokok
permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut ini.
1. Apakah pengukuran kinerja dengan Balanced Scorecard lebih baik jika
dibandingkan dengan pengukuran kinerja yang dilakukan oleh Perum
Pegadaian Cabang Gading Surakarta ?
2. Masalah apa yang dihadapi dalam penerapan Balanced Scorecard sebagai
pengukuran kinerja pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta ?
C. Pembatasan Masalah
Pembatasn masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Objek penelitian terbatas pada bagian operasional Perum Pegadaian yaitu
Kantor Cabang Gading Surakarta. Dipilihnya bagian operasional Perum
Pegadaian Cabang Gading Surakarta sebagai objek penelitian karena bagian
operasional merupakan bagian yang terlibat secara langsung dengan aktivitas
pemberian jasa yang diberikan Perum Pegadaian kepada para nasabahnya.
2. Tahun penelitian dalam pengkajian empat perspektif (perspektif keuangan,
perspektif customer, perspektif proses bisnis internal, perspektif pembelajaran
dan pertumbuhan organisasi) terbatas pada 3 (tiga) tahun yang terhitung mulai
dari tahun 2001 sampai dengan 2003, karena ketiga tahun tersebut merupakan
gambaran kondisi terakhir dari Perum Pegadaian sehingga dianggap lebih
representatif.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut ini.
1. Mengetahui kinerja Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta jika diukur
dengan menggunakan konsep Balanced Scorecard.
2. Mengetahui masalah yang ada dari penerapan Balanced Scorecard pada
Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut ini.
1. Memberikan gambaran mengenai kinerja Perum Pegadaian Cabang Gading
Surakarta jika diukur dengan menggunakan Balanced Scorecard.
2. Memberi alternatif penilaian kinerja perusahaan yang komprehensif dengan
menggunakan konsep Balanced Scorecard, yang mungkin dapat diterapkan
dimasa yang akan datang.
3. Menambah sumbangan pemikiran dan bahan perbandingan bagi penelitian
selanjutnya.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ini.
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan peneltian, manfaat penelitian serta
sistematika penulisan.
BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang berhubungan
dengan sistem pengukuran kinerja serta sistem pengukuran kinerja
perusahaan dengan menggunakan konsep Balanced Scorecard.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai metode-metode yang
digunakan dalam menganalisis data yang telah diperoleh.
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai anlisis data yang telah diperoleh
dari temuan-temuan baik dari wawancara maupun peninjauan lapangan
dan mengevalusi sistem pengukuran kinerja ditinjau dari konsep
Balanced Scorecard.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan hasil penelitian
yang telah dibahas dalam bab sebelumnya, saran-saran yang perlu
disampaikan serta keterbatasan yang ada dalam penelitian yang ada.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Sistem Pengukuran Kinerja Organisasi Sektor Publik
1. Pengertian Sistem Pegukuran Kinerja Organisasi Sektor Publik
Pengukuran kinerja adalah penentuan secara periodik efektifitas
operasional
suatu
organisasi,
bagian
organisasi,
dan
karyawannya
berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya
(Siegel dalam Gunawan, 2000). Sistem pengukuran kinerja sektor publik
adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai
pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial. Sistem
pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai alat pengendalian organisasi,
karena pengukuran kinerja dapat diperkuat dengan menetapkan reward and
punishment (Mardiasmo, 2002:121).
Pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga
maksud. Pertama, pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk
memperbaiki kinerja pemerintah. Ukuran kinerja dimaksudkan untuk dapat
membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja.
Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi
sektor publik dalam pemebrian pelayanan publik. Kedua, ukuran kinerja
sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan
keputusan. Ketiga, ukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk
mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi
pelanggan (Mardiasmo, 2002:121).
2. Tujuan Pengukuran Kinerja Organisasi Sektor Publik
Secara umum, tujuan pengukuran kinerja sektor publik adalah sebagai
berikut ini (Mardiasmo, 2002:122).
a.
Mengkomunikasikan strategi secara lebih baik (top down dan bottom up).
b.
Mengukur kinerja finansial dan non-finansial secara berimbang sehingga
dapat ditelususr perkembangan pencapaian strategi.
c.
Mengakomodasi pemahaman kepentingan manajer level menengah dan
bawah serta memotivasi untuk mencapai goal congruence.
d.
Alat untuk mencapai kepuasan berdasarkan pendekatan individual dan
kemampuan kolektif rasional.
3. Manfaat Pengukuran Kinerja Organisasi Sektor Publik
Menurut Mardiasmo (2002:122) manfaat dari pengukuran kinerja sektor
publik adalah sebagai berikut ini.
a.
Memberikan pemahaman mengenai ukuran yang digunakan untuk
menilai kinerja manajemen.
b.
Memberikan arah untuk mencapai target kinerja yang ditetapkan.
c.
Memonitor
dan
mengevaluasi
pencapaian
kinerja
dan
membandingkannya dengan target kinerja serta melakukan tindakan
korektif untuk memperbaiki kinerja.
d.
Dasar untuk memberikan penghargaan dan hukuman (reward and
punishemant) secara obyektif atas pencapaian prestasi yang diukur sesuai
dengan sistem pengukuran kinerja yang telah disepakati.
e.
Alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam rangka
memperbaiki kinerja organisasi.
f.
Membantu mengidentifikasikan apakah kepuasan pelanggan sudah
terpenuhi.
g.
Membantu memahami proses kegiatan instansi pemerintah.
h.
Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara obyektif.
4. Pengukuran Kinerja Tradisional
Perusahaan-perusahaan
selama
ini
banyak
yang
menggunakan
pengukuran kinerja yang lebih menekankan pada aspek keuangan saja, yaitu
dengan membandingkan rasio keuangan dari waktu ke waktu. Jika terdapat
peningkatan rasio keuangan, maka akan dikatakan baik. Perusahaan masih
menggunakan tolok ukur keuangan dikarenakan tolok ukur keuangan
dianggap praktis dan masih relevan untuk kepentingan jangka panjang.
Padahal pengukuran kinerja yang hanya menekankan pada faktor keuangan
saja mempunyai banyak keterbatasan. Kaplan dan Norton (1996:7)
menyatakan kelemahan pengukuran kinerja tradisional, yaitu:
a. Ketidakcukupan dalam pendokumentasian dari sistem pengukuran
finansial tersebut. Kesulitan dalam menghitung nilai finansial untuk
aktiva-aktiva seperti kapabilitas, proses, keahlian dan motivasi karyawan,
loyalitas customer, dan sistem database akan membuat aktiva-aktiva ini
tidak dicantumkan dalam neraca.
b. Memfokuskan pada masa lalu. Ukuran finansial hanya menjelaskan
berbagai peristiwa masa lalu yang cocok untuk perusahaan abad industri
dimana investasi dalam kapabilitas jangka panjang dan hubungan dengan
customer bukanlah faktor penting dalam mencapai keberhasilan.
c. Ketidakmampuan merefleksikan nilai-nilai yang diciptakan dari tindakan
kontemporer. Ukuran finansial oleh manajer senior seolah-olah semua
ukuran ini mampu menjelaskan hasil operasi yang dilaksanakan oleh
karyawan tingkat rendah dan menegah.
Pengukuran kinerja keuangan akan mendorong manajer lebih banyak
memperbaiki kinerja jangka pendek dan seringkali mengorbankan tujuan
jangka panjang. Kinerja keuangan yang baik saat ini boleh jadi
mengorbankan
kepentingan-kepentingan
jangka
panjang
perusahaan.
Sebaliknya kinerja keuangan yang kurang baik saat ini bisa terjadi karena
perusahaan melakukan investasi demi kepentingan jangka panjangnya
(Wardhani dalam Sulistyowati, 2001). Dilihat dari banyaknya kelemahan
dalam pengukuran kinerja tradisional yang hanya menitik beratkan pada
aspek keuangan, Robert S. Kaplan dan David P. Norton mencoba melakukan
pendekatan yang mengukur kinerja perusahaan dengan mempertimbangkan
empat perspektif yaitu perspektif keuangan, perspektif customer, perspektif
proses bisnis internal, serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan secara
komprehensif. Pendekatan yang dilakukan tersebut berupa Balanced
Scorecard. Balanced Scorecard menyeimbangkan antara ukuran eksternal
dan ukuran internal. Perusahaan yang menerapkan Balanced Scorecard harus
merumuskan visi, misi terlebih dahulu selanjutnya visi dan misi tersebut
diterjemahkan dalam bentuk strategi untuk mencapai tujuan perusahaan.
B. Visi, Misi dan Strategi
Visi dirumuskan oleh para pendiri organisasi, tetapi juga dapat dibangun
berdasarkan kesepakatan seluruh anggota organisasi dan menjadi suatu komitmen
bersama (Sastrapratedja dalam Saptono dan Widanarto, 2002). Visi merupakan
pernyataan yang memuat nilai-nilai yang dianggap paling penting, memberi corak
khas, dan akan mewarnai setiap perilaku anggota organisasi. Visi akan
memberikan arah organisasi tentang bagaimana organisasi memberdayakan
dirinya dalam menghadapi tantangan perubahan.
Visi yang baik adalah yang realistik untuk dicapai, mempersatukan dan
memotivasi seluruh anggota (Stoner, et.al dalam Saptono dan Widanarto, 2002).
Visi yang baik akan berperan sebagai sumber inspirasi dan komitmen yang
mendorong perilaku dan kinerja baru bagi setiap personel organisasi dan
menunjukkan jalan mereka mencapai solusi. Karenanya, tantangan terbesar bagi
organisasi pada dekade mendatang adalah bagaimana menerjemahkan visi
strategiknya ke dalam berbagai praktek yang dapat dieksekusi disemua jajaran
perusahaan.
Misi merupakan sasaran luas berdasarkan pada alasan perencanaan yang
membenarkan keberadaan organisasi (Stoner et.al dalam Saptono dan Widanarto,
2002). Perbedaan antara visi dan misi adalah bahwa visi yang telah ditetapkan
dapatlah berganti, bila entitas sudah dapat mencapainya sedangkan misi lebih
menekankan pada situasi masa kini, tetapi cenderung relatif tetap dan relevan
disepanjang waktu. Meskipun visi dan misi berbeda keduanya dapat disintesakan
(Handoko dan Tjiptono dalam Saptono dan Widanarto, 2002). Hasil sintesa akan
membentuk misi dan visi yang sifatnya komprehensif yang terdiri dari identitas
dan ambisi. Analogi hasil sintesa selanjutnya dapat digambarkan seperti dua sisi
pada mata uang logam yang sama.
Visi dan Misi akan mendasari berbagai rencana strategik organisasi.
Rencana stratejik merupakan jalan bertindak bagi organisasi untuk mewujudkan
visi dan misi. Dalam rencana-rencana strategik akan berisi sekitar pernyataan
strategik organisasi. Strategi organisasi yang dimaksud adalah rumusan yang
memuat program yang luas untuk mencapai tujuan dan disusun sebagai respon
terhadap lingkungan bisnis yang dinamis sepanjang waktu.
Istilah strategi sendiri berasal dari bahasa Yunani “strategia” yang seperti
seni atau ilmu menjadi seorang jenderal. Dengan strategi, seseorang jenderal yang
efektif akan menggunakannya untuk memimpin tentara, memenangkan perang
dan
mempertahankan
wilayah,
melindungi
kota
dari
serbuan
musuh,
menghancurkan musuh, dan lain-lain. Karenanya, secara implisit konsep strategi
sejak zaman Yunani Kuno terkandung komponen perencanaan dan pembuatan
keputusan. Menurut Kaplan dan Norton dalam Saptono dan Widanarto (2002)
sebuah strategi adalah sekumpulan hipotesis tentang hubungan sebab akibat.
Hubungan tersebut dapat dinyatakan dalam urutan pernyataan if-then (jika-maka).
C. Pengukuran Kinerja Perusahaan dengan Konsep Balanced Scorecard
1. Sejarah Perkembangan Balanced Scorecard
Balanced Scorecard berawal dari suatu penelitian selama satu tahun di
beberapa perusahaan besar di Amerika yaitu: Advanced Micro Devices,
American Standard, Apple Computer, Bell Swith, CIENA, Conner Periperals,
Coy Research, Du Pont, Electronic Data Systems, General Electric, Hewlett
Packard, dan Shell Canada. Pada tahun 1990 disponsori oleh Nolan Norton
Insite, lembaga penelitian milik KPMG. Penelitian ini berjudul “Measuring
Performance in the Organizing of the Future”, dan David Norton, CEO dari
Nolan Norton, bertindak sebagai ketua tim peneliti sementara Bob Kaplan
menjadi konsultan akademisnya. Studi dimotivasi oleh keyakinan bahwa
model pengukuran kinerja perusahaan melalui akuntansi keuangan tidak lagi
memadai dan bisa menghambat kemampuan perusahaan menciptakan nilai
ekonomis dimasa yang akan datang (Sudibyo, 1997). Hasil dari penelitian
tersebut diterbitkan dalam sebuah artikel yang berjudul “Measures that Drive
Performance” di Havard Business Review edisi Januari-Februari 1992.
Pengamatan lebih lanjut terhadap penerapan Balanced Scorecard di
beberapa perusahaan menyadarkan Kaplan dan Norton bahwa Balanced
Scorecard bisa dipakai lebih dari sekedar sistem pengukuran kinerja
melainkan
juga
untuk
mengkomunikasikan
strategi
baru
dan
menyebarluaskan organisasi terhadap strategi baru tersebut. Observasi ini
mereka tulis dalam artikel yang berjudul “Putting the Balanced Scorecard to
Work” di Havard Business edisi September 1993 (Kaplan dan Norton dalam
Indarti, 2003).
Pengamatan selanjutnya adalah pengamatan terhadap penggunaan
banyak ukuran Balanced Scorecard yang satu sama lain dirangkai oleh satu
seri, hubungan sebab akibat yang mengantarkan mereka pada kesimpulan
baru, yaitu bahwa Balanced Scorecard dapat diterapkan untuk mengelola
strategi. Tegasnya Balanced Scorecard adalah suatu sistem manajemen yang
bisa dipakai sebagai kerangka sentral dalam berbagai proses manajerial
penting seperti penentuan tujuan individu dan tim, pemberian kompensasi,
alokasi sumber daya, perencanaan dan penganggaran, pemberian umpan balik
strategis, dan pemberdayaan karyawan serta pertumbuhan iklim belajar dalam
organisasi. Perkembangan baru ini mereka laporkan dalam artikel yang
berjudul “Using the Balanced Scorecard as Strategic Management System”
(Kaplan dan Norton, 1996 dalam Indarti, 2003).
Laporan paling komprehensif tentang Balanced Scorecard mereka tulis
dalam sebuah buku berjudul “The Balanced Scorecard Translating Strategy
Into Action”, mereka berharap masih akan berkembang lebih lanjut. Terbukti
dari pengakuan mereka bahwa buku tersebut masih berupa progress report
(Sudibyo, 1997). Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh kesimpulan
bahwa untuk mengukur kinerja masa depan diperlukan ukuran kinerja yang
lebih komprehensif. Ukuran tersebut dinamakan Balanced Scorecard yang
mencakup empat perspektif yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal
serta pembelajaran dan pertumbuhan organisasi.
2. Pengertian Balanced Scorecard
Balanced Scorecard sebagai pelengkap pengukuran kinerja keuangan
dan memberikan kemungkinan bagi manajer untuk memandang bisnis dari
empat perspektif, yaitu perspektif keuangan, customer, bisnis internal, serta
pembelajaran dan pertumbuhan organisasi (Kaplan dan Norton, 1996:8).
Beberapa definisi dari Balanced Scorecard, antara lain sebagai berikut:
The Balanced Scorecard was developed to link short-term operational
control to long-term vision and strategy of the bussiness, by combaining
financial and no financial measurement (Aryani, 2001)
The Balanced Scorecard is an integrated set of performance measures
comparising both current performance indicators and drivers of future
performance, and financial as well as non financial measures (Chang and
Chow dalam Sulistyowati, 2001).
The Balanced Scorecard communicates the multiple, linked objectives
that companies must achive to compete based on their intagible capabilities
and innovation. The scorecard translates mission and strategy into goals and
measures, organized into four different perspective: financial, customer,
internal bussiness process, and learning and growth (Kaplan dan Atkinson,
1998).
Balanced Scorecard seharusnya menerjemahkan ciri unit bisnis dan
strateginya kedalam tujuan dan pengukuran (Kaplan dan Norton, 1996:10).
Pengukuran-pengukuran tersebut mencerminkan kesimbangan antara:
a.
Pengukuran hasil (pada masa lalu) dan pemicu kinerja masa depan.
b.
Pengukuran eksternal bagi shareholder dan pengukuran internal proses,
critical bussiness, inovasi serta pembelajaran dan pertumbuhan.
c.
Pengukuran-pengukuran atas hasil yang mudah dikualifikasi secara
obyektif dan subyektif.
3. Karakteristik Balanced Scorecard
Balanced Scorecard memiliki karakteristik sebagai berikut (Sudibyo,
1997):
a. Instrumen pengukuran kinerja manajemen yang multidemensional
Balanced Scorecard mengukur kinerja dari dimensi keuangan dan
nonkeuangan dari organisasi. Balanced Scorecard memberikan indikatorindikator kinerja keuangan (akuntansi), juga memberikan indikatorindikator lain dalam dimensi nonkeuangan seperti kepuasan pelanggan,
waktu pelayanan, kualitas kepuasan kerja, segmen pasar dan lain
sebagainya.
b. Akomodatif terhadap berbagai kepentingan stakeholder
Balanced Scorecard mencoba mengakomodasi seoptimal mungkin
berbagai kelompok kepentingan yang terkait dengan organisasi. Seluruh
indikator kinerja yang penting menurut perspektif berbagai kelompok
stakeholder (pemegang saham, kreditor, pelanggan, rekan kerja,
karyawan, pemerintah dan masyarakat) secara teoritis dapat dimasukkan
kedalam Balanced Scorecard.
c. Berorientasi pada implementasi misi dan strategi
Ukuran untuk kinerja yang dipakai dalam Balanced Scorecard di
identifikasi dan diseleksi dengan seksama dan rasional dari misi, visi dan
strategi ke dalam tujuan-tujuan strategi, spesifik dan sekongkrit mungkin,
kemudian tujuan-tujuan strategi tersebut ditentukan ukuran keberhasilan
sebagai suatu lag indicator dari kinerja perusahaan. Untuk setiap lag
indicator itu selanjutnya diidentifikasi performance driver yaitu key
success factor yang sangat menentukan hasil strategi tersebut.
d. Management by objectives
Balanced Scorecard mengasumsikan diterapkannya management by
objective. Manjemen pada tiap tingkat organisasi harus mempunyai
tujuan yang jelas, yang dijabarkan kedalam sasaran yang lebih nyata dan
mudah dipahami.
e. Operasional kongkrit
Visi, misi dan strategi perusahaan biasanya bersifat abstrak dan umum.
Balanced
Scorecard
merupakan
instrumen
untuk
mengoperasionalisasikan misi dan strategi tersebut menjadi suatu yang
spesifik dan konkrit serta mudah dipahami. Balanced Scorecard
berfungsi untuk menerjemahkan visi, misi dan strategi tersebut menjadi
tindakan yang konkrit melalui proses yang disebut strategic learning.
f. Seimbang (balanced)
Keseimbangan dalam Balanced Scorecard berarti keseimbangan antara
perspektif stakeholder yaitu: pemegang saham, konsumen dan karyawan.
Majemen dituntut untuk dapat melihat berbagai aspek yang mencakup
perusahaan secara keseluruhan.
g. Hubungan sebab akibat
Balanced Scorecard disusun berdasarkan hubungan sebab akibat yang
jelas dan logis antara ukuran-ukuran yang dipakai sehingga bisa
ditunjukkan secara jelas hubungan sebab akibat antara keempat
perspektif.
h. Memberikan lagging dan leading indicator
Lagging indicator adalah suatu ukuran dalam Balanced Scorecard yaitu
ukuran tingkat keberhasilan pencapaian suatu sasaran yang perspektif
waktunya pada masa lalu, sedangkan leading indicator adalah suatu
ukuran
dalam
Balanced
Scorecard
yang
merupakan
indikator
keberhasilan yang mempengaruhi faktor-faktor kunci penentu kinerja
masa depan, dimana hal ini berarti kinerja perusahaan mengarah ke masa
yang akan datang.
i. Sistem manajemen era informasi
Dalam perkembangannya, Balanced Scorecard bukan hanya sekedar
instrumen pengukuran kinerja, tetapi juga dapat dipakai sebagai suatu
sistem manajemen dalam arti sebagai suatu framework sentral yang
tertuju pada misi dan strategi dalam melaksanakan proses manajemen,
seperti perencanaan, penganggaran, alokasi sumber daya manusia,
kompensasi, pemberdayaan karyawan dan sebagainya.
j. Top down dan Bottom up
Balanced Scorecard merupakan suatu instrumen yang digunakan untuk
mengkomunikasikan, mensosialisasikan serta mengoperasionalisasi misi
dan strategi yang diformulasikan oleh manajemen puncak secara abstrak,
umum dan berdimensi waktu jangka panjang, untuk selanjutnya
karyawan diharapkan dapat memberikan umpan kepada manajen puncak.
k. Straegy Bussiness Unit (SBU)
Balanced Scorecard bahwa paling tepat diterapkan secara komprehensif
pada tingkat strategy bussiness unit, karena terdiri atas ukuran-ukuran
kinerja yang satu sama lain dihubungkan secara logis oleh hubungan
sebab akibat yang jelas, sehingga membentuk satu kesatuan pemikiran
yang komprehensif mengenai operasionalisasi misi dan strategic
bussiness unit.
4. Keunggulan Balanced Scorecard
Keunggulan pendekatan Balanced Scorecard dalam sistem perencanaan
strategik adalah mampu menghasilkan rencana strategik yang memiliki
karakteristik sebagai berikut ini (Mulyadi, 2001:18).
a. Komprehensif
Balanced Scorecard memperluas perspektif yang dicakup dalam
perencanaan strategik, dari yang sebelumnya hanya terbatas pada
perspektif keuangan, meluas ketiga perspektif yang lain: customer,
proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Perluasan
perspektif rencana strategik ke perspektif nonkeuangan tersebut
menghasilkan manfaat berikut ini.
1) Mejanjikan kinerja keuangan yang berlipat ganda dan berjangka
panjang.
2) Memampukan perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang
kompleks
b. Koheren
Balanced Scorecard mewajibkan personel untuk membangun hubungan
sebab akibat (causal relationship) diantara berbagai sasaran strategik
yang dihasilkan dalam perencanaan strategik. Setiap sasaran strategik
yang ditetapkan dalam perspektif nonkeuangan harus mempunyai
hubungan kausal dengan sasaran keuangan, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
c. Seimbang
Keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan
strategik penting untuk menghasilkan kinerja keuangan berjangka
panjang.
d. Terukur
Keterukuran sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan
strategik menjanjikan ketercapaian berbagai sasaran strategik yang
dihasilkan oleh sistem tersebut. Balanced Scorecard mengukur sasaransasaran strategik yang sulit diukur untuk diukur.
5. Faktor-faktor yang Menyebabkan Kegagalan Penerapan Balanced
Scorecard
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan penerapan Balanced
Scorecard pada suatu organisasi yaitu (Sulastri, 2003):
a. Memandang bahwa Balanced Scorecard merupakan suatu pendekatan
yang berdiri sendiri yang berbeda dengan pendekatan lainnya.
b. Kesalahan dalam menentukan variabel-variabel dan tolok ukur Balanced
Scorecard yang tidak sejalan dengan ekspektasi stakeholder terutama
non-owner stakeholder, yaitu karyawan, customer, pemasok dan
masyarakat.
c. Improvement goals dalam perusahaan tidak didasarkan pada kebutuhan
stakeholder.
d. Tidak ada sistem yang dapat diandalkan yang dapat merinci sasaransasaran pada tingkat manajer puncak hingga level dibawahnya secara
efektif yang pada dasarnya merupakan alat aktualisasi strategi dan
pengembangan bisnis.
e. Karyawan kurang memiliki terhadap perusahaan.
D. Perspektif dalam Balanced Scorecard
Balanced Scorecard menunjukkan adanya pengukuran kinerja yang
menggabungkan antara pengukuran keuangan dan nonkeuangan (Kaplan dan
Norton, 1996:47). Ada empat perspektif kinerja bisnis yang diukur dalam
Balanced Scorecard, yaitu:
1. Perspektif keuangan (Financial perspective)
Perspektif keuangan tetap menjadi perhatian dalam
Balanced
Scorecard, karena ukuran keuangan merupakan suatu ikhtisar dari
konsekuensi ekonomi yang terjadi yang disebabkan oleh pengambilan
keputusan (Sugiyanto dan Anwar, 2003). Aspek keuangan menunjukkan
apakah perencanaan, implementasi dan pelaksanaan dari strategi memberikan
perbaikan yang mendasar. Perbaikan ini tercermin dalam sasaran-sasaran
yang secara khusus berhubungan dengan keuntungan yang terukur baik yang
berbentuk gross operating income, Return on Investment (ROI) atau bahkan
Economic Value Added (EVA) (Mirza dalam Indarti, 2003).
Sasaran keuangan harus disesuaikan dengan siklus kehidupan bisnis
yang terbagi menjadi tiga tahapan siklus, yaitu: (1) berkembang (growth), (2)
bertahan (sustain) dan penuaian (harvest). Dalam kinerja keuangan ini tolok
ukur yang digunakan bergantung pada posisi perusahaan pada daur hidup
usahanya (Kaplan dan Norton, 1996:48), yaitu:
a. Tahap pertumbuhan (growth)
Growth adalah tahap awal dari siklus kehidupan bisnis. Tahap ini
merupakan tahap awal dari siklus usaha dimana perusahaan memiliki
produk atau jasa yang potensial untuk berkembang. Perusahaan harus
memperoleh banyak sumber daya untuk mengembangkan jasa dan
produk tersebut, melakukan banyak investasi pada aktiva tetap, jaringan
distribusi serta hubungan dengan pelanggan dengan meningkatkan
kemampuan operasional dan sebagainya. Pada tahap ini perusahaan
biasanya memiliki arus kas negatif dan tingkat pengembalian investasi
yang rendah. Pada tahap ini suatu perusahaan memiliki produk atau jasa
yang secara signifikan memiliki tingkat pertumbuhan yang baik sekali
atau paling tidak memiliki potensi untuk berkembang baik. Untuk
menciptakan potensi ini, kemungkinan seorang manajer harus terikat
komitmen untuk mengembangkan produk atau jasa baru, membangun
dan mengembangkan fasilitas produksi atau menambah kemampuan
operasi, mengembangkan sistem infrastruktur dan jaringan distribusi
yang
akan
mendukung
hubungan
global
serta
mengasah
dan
mengembangkan hubungan dengan pelanggan. Investasi yang ditanam
untuk masa depan sangat mungkin memakan biaya yang lebih besar.
Sasaran keuangan dari bisnis yang berada dalam tahap ini menekankan
pada tingkat pertumbuhan pendapatan atau penjualan dalam pasar yang
telah ditargetkan. Pertumbuhan pendapatan adalah persentase pendapatan
atau penjualan dari produk atau jasa yang telah dihasilkan perusahaan
dalam beberapa periode (Kaplan dan Norton, 1996:51). Tujuan keuangan
yang ditetapkan biasanya adalah tingkat pertumbuhan penjualan atau
pendapatan dalam pasar yang telah ditargetkan.
b. Tahap bertahan (sustain)
Suatu tahap dimana perusahaan masih melakukan investasi dan
reinvestasi dengan mempersyaratkan tingkat pengembalian yang terbaik.
Dalam tahap ini perusahaan berusaha mempertahankan pangsa pasar
yang ada dan mengembangkannya apabila mungkin. Investasi yang
dilakukan umumnya diarahkan untuk mengembangkan kapasitas dan
mungkin meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten. Pada
tahap ini perusahaan tidak lagi bertumpu pada strategi jangka panjang.
Sasaran keuangan pada tahap ini lebih diarahkan pada besarnya tingkat
pengembalian atas investasi yang telah dilakukan. Sasaran pengukuran
dalam tahap ini menekankan pada pengukuran keuangan seperti Return
On Investemnt (ROI), Return On Equity (ROE), Return On Assets (ROA).
Ukuran ini menggambarkan sasaran keuangan klasik, yaitu memperoleh
tingkat pengembalian terbaik atas modal yang telah ditanamkan oleh
perusahaan.
c. Tahap penuaian (harvest)
Tahap ini merupakan tahap kedewasaan atau kematangan (mature), suatu
tahap dimana perusahaan melakukan penuaian terhadap investasi mereka.
Perusahaan tidak lagi melakukan investasi lebih jauh kecuali hanya untuk
pemeliharaan dan perbaikan fasilitas, dan tidak lagi melakukan investasi
lebih jauh untuk melakukan ekspansi atau membangun suatu kemampuan
baru. Tujuan utama dalam tahap ini adalah memaksimumkan arus kas
yang masuk ke perusahaan. Sasaran pengukuran untuk tahapan ini adalah
cash flow maksimum yang mampu dikembalikan dari investasi dimasa
lalu. Cash flow adalah aliran kas atau gerakan kas yang menunjukkan
penerimaan dan penggunaan kas dalam periode yang bersangkutan.
Penilaian kinerja pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta jika
dipandang dari perspektif keuangan antara lain sebagai berikut ini.
a. Pertumbuhan pendapatan
Pertumbuhan pendapatan diukur melalui pertumbuhan omset. Omset
adalah uang pinjaman yang diberikan kepada nasabah yang dikeluarkan
oleh sebuah kantor cabang Perum Pegadaian.
b. Surplus kantor cabang
Surplus merupakan keuntungan atau kerugian usaha yang diterima oleh
sebuah kantor cabang Perum Pegadaian.
2. Perspektif Pelanggan (Customer Perspective)
Pelanggan merupakan sumber utama pendapatan perusahaan. Pada
masa lalu, sering kali perusahaan mengkonsentrasikan diri pada kemampuan
internal, memberi penekanan pada kinerja produk, inovasi dan teknologi,
tanpa kewajiban untuk mengerti apa kebutuhan konsumen, tetapi sekarang
tidak lagi demikian. Konsumen menjadi salah satu unsur utama dalam
pengembangan usaha perusahaan. Banyak perusahaan yang berlomba
menawarkan produk dan jasa yang lebih baik dan sesuai dengan preferensi
pasar.
Sekarang ini strategi perusahan telah bergeser fokusnya dari internal ke
eksternal. Namun demikian, perusahaan mempunyai keterbatasan untuk
memenuhi semua kebutuhan dan keinginan konsumen yang berlainan satu
sama lain. Oleh karena itu, perusahaan perlu menetapkan segemen pasar yang
paling mungkin untuk dilayani dengan cara terbaik sesuai dengan
kemampuan dan sumber daya yang dimiliki perusahaan. Dalam perumusan
Balanced Scorecard, segmentasi perlu dilakukan agar tolok ukur kinerja yang
akan
dipakai
lebih
difokuskan,
kemudian
dilanjutkan
dengan
mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan pelanggan baik yang sudah
dikuasai maupun pelanggan potensial yang berada dalam segmen tersebut.
Secara umum, potential customer (pelanggan potensial) tidak sama,
mereka memiliki preferensi berbeda mengenai atribut produk. Dalam
perspektif pelanggan, perusahaan harus mengidentifikasi segmen pasar dan
pertarungan dan pelanggan yang ingin dimasuki untuk pencapaian tujuan
tersebut. Ada dua kelompok pengukuran dalam perspektif pelanggan, yakni:
a. Kelompok pengukuran inti (Core measurement group), yang mengukur:
1) Pangsa pasar (Market share)
Mengukur proporsi penjualan yang dikuasai unit bisnis dalam suatu
segmen pasar yang dilayani. Mengukur bagian pasar akan lebih
mudah dilakukan dengan terlebih dahulu mengadakan spesifikasi
terhadap kelompok konsumen yang menjadi target perusahaan
(Kaplan dan Norton, 1996:68). Para manajer juga harus mengenali
apa yang dinilai tinggi oleh segmen pasar sasaran. Segmen pasar
merupakan sumber yang akan menjadi komponen penghasilan tujuan
finansial perusahaan. Market share dapat diperoleh dengan cara
menarik konsumen serta memberikan preferensi-preferensi sehingga
mampu memberikan nilai lebih dimata konsumen. Market share
mencerminkan proporsi bisnis dalam suatu pasar tertentu (jumlah
konsumen, jumlah produk yang terjual) yang berhasil dikuasai
perusahaan (Indarti, 2003). Market share dapat digunakan untuk
meramalkan
penjualan
perusahaan
yang
akan
datang
dan
membandingkan posisi pasar aktual diantara kompetisi produk, jika
perusahaan dapat melayani bagian pasar secara efektif, maka
perusahaan dapat menjadi pilihan terbaik bagi konsumennya.
2) Pelanggan yang dipertahankan (Customer retention)
Retensi
konsumen
menggambarkan
bagaimana
kemampuan
perusahaan dalam mempertahankan hubungan yang baik dengan
konsumen, dalam arti konsumen yang telah dimiliki agar tetap loyal
terhadap perusahaan (Kaplan dan Norton, 1996:69).
Kualitas yang lebih tinggi memungkinkan perusahaan untuk
meningkatkan kepuasan konsumen, membuat produk laku terjual,
mampu bersaing dengan pesaing, dapat meningkatkan market share
dan volume penjualan serta dapat dijual dengan harga yang tinggi.
Untuk mengukur loyalitas pelanggan dapat diukur dengan persentase
pertumbuhan usaha yang berhubungan dengan konsumen atau
pelanggan
(Kaplan
dan
Norton,
1996:69).
Kunci
untuk
mempertahankan konsumen ialah kepuasan konsumen (Mirza dalam
Indarti, 2003). Konsumen yang puas diharapkan:
a) tetap loyal pada perusahaan.
b) selalu membeli produk baru yang diperkenalkan perusahaan dan
memperbaharui produk yang dimiliki.
c) tidak terlalu memperhatikan pada kompetisi merek dan iklan
serta kurang sensitif terhadap harga.
d) memberikan masukan atau pendapat kepada perusahaan terhadap
produknya.
3) Perolehan pelanggan (Customer acquisition)
Mengukur tingkat kemampuan unit bisnis dalam menarik pelanggan
baru. Customer acquisition dapat diukur dengan jumlah konsumen
baru atau total penjualan pada konsumen dalam segmen yang dituju.
4) Kepuasan pelanggan (Customer satisfaction)
Ukuran untuk tingkat kepuasan pelanggan atas kegiatan konsumsi
terhadap produk atau jasa perusahaan. Kepuasan konsumen menjadi
dasar, baik dalam fokus mendapatkan konsumen baru maupun
mempertahankan konsumen yang telah dimiliki. Retensi konsumen
maupun akuisisi konsumen dikendalikan atau didorong oleh
kemampuan perusahaan dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan
konsumen (Kaplan dan Norton, 1996:70). Semakin pentingnya
faktor kepuasan, mendorong perusahaan untuk menempatkan fokus
perhatian pada konsumennya. Pengukuran kepuasan konsumen
dengan metoda (Indarti, 2003):
a) Sistem keluhan dan saran
Perusahaan yang berorientasi pada konsumen akan memberikan
kesempatan yang luas bagi konsumennya untuk menyampaikan
saran atau keluhan, misalnya dengan menyediakan kotak saran
atau kartu komentar. Informasi ini diharapkan mampu
memberikan ide kepada perusahaan.
b) Ghost shopping
Merupakan salah satu cara untuk memperoleh gambaran tentang
kepuasan konsumen dengan mempertanyakan beberapa orang
untuk berperan atau bersikap sebagai pembeli, kemudian
melaporkan temuannya tentang kelemahan dan kekuatan produk
dari perusahaan pesaing berdasarkan pengalaman mereka dalam
membeli produk. Selain itu, diharapkan dapat dilakukan
pengamatan terhadap cara menangani setiap keluhan.
c) Lost customer analysis
Perusahaan seharusnya menghubungi konsumennya yang telah
berhenti memberitahu yang telah berpindah pada perusahaan
lain agar dapat memahami mengapa hal itu dapat terjadi.
d) Survey kepuasan konsumen
Umumnya penelitian mengenai kepuasan konsumen dilakukan
dengan menggunakan survey, baik melalui pos, telepon, maupun
wawancara langsung. Dari hasil survey dapat diperoleh
tanggapan maupun umpan balik secara langsung dari konsumen
dan juga memberikan tanda bahwa perusahaan menaruh
perhatian kepada konsumen (Kaplan dan Norton, 1996:71).
e) Profitabilitas pelanggan (Customer profitability)
Profitabilitas konsumen mengukur seberapa besar keuntungan
yang berhasil diraih perusahaan dari penjualan produk.
Profitabilitas perusahaan dapat diukur dengan kesuksesan
perusahaan dan kemampuan penggunaan aktivanya secara
produktif. Dengan demikian profitabilitas suatu perusahaan
dapat diukur dengan membandingkan antara laba yang diperoleh
dalam satu periode dengan jumlah aktiva atau modal
perusahaan. Salah satu cara yang mungkin ditempuh perusahaan
adalah mengidentifikasi bagian pasarnya dengan mengukur laba
bersih yang diperoleh perusahaan dari pelanggan.
b. Kelompok pengukuran nilai pelanggan (Customer value proposition)
Kelompok ini menggambarkan pemicu kinerja (performance driver) yang
menyangkut pertanyaan apa yang harus disajikan perusahaan untuk
mencapai tingkat kepuasan, loyalitas, retensi dan akuisisi konsumen yang
tinggi. Atribut yang disajikan perusahaan dapat dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu (Kaplan dan Norton, 1996:73):
1) atribut produk atau jasa, meliputi fungsi, harga dan mutu produk.
2) hubungan dengan pelanggan (customer relationship), meliputi proses,
waktu dan kualitas pelayanan unit bisnis yang diberikan kepada
pelanggan.
3) reputasi dan image, menggambarkan reputasi dan citra unit bisnis serta
produk-produknya,
yang
mampu
menarik
konsumen
dan
memungkinkan untuk mengatasi masalah.
Penilaian kinerja pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta jika
dipandang dari perspektif customer adalah jumlah nasabah berdasarkan
profesi. Adapun penggolongan nasabah berdasarkan profesi terbagi atas:
a. petani
b. nelayan
c. industri rumah tangga/industri kecil
d. pedagang
e. lain-lain
3. Perspektif Proses Bisnis Internal (Internal Bussiness Process Perspective)
Hal pertama yang harus dilakukan oleh perusahaan agar bisa
menentukan tolok ukur bagi kinerja proses bisnis internal adalah
mengidentifikasi proses internal dalam perusahaan. Konsep proses bisnis
internal harus memuat tiga mata rantai, yaitu (Kaplan dan Norton, 1996:96):
a. Proses inovasi
Pada tahapan ini perusahaan berusaha mengidentifikasi keinginan dan
kebutuhan konsumen. Tahap inovasi dapat disebut pula sebagai tahap
penelitian dan pengembangan (research and development). Dalam proses
ini untuk menciptakan nilai pelanggan perusahaan melakukan penelitian
tentang kebutuhan customer dan mengubah data tentang kebutuhan
customer tersebut menjadi berbagai atribut yang didesain kedalam
produk dan jasa. Tolok ukur yang dapat digunakan dalam proses ini
adalah (Kaplan dan Norton, 1996:101):
1) banyaknya produk baru yang dapat dikembangkan oleh perusahaan.
2) persentase penjualan produk baru terhadap pesaing produk.
3) waktu yang dibutuhkan untuk berhasil menjual produk baru.
4) waktu yang dibutuhkan untuk mengembangkan produk selanjutnya.
Secara umum tolok ukur yang digunakan untuk mengukur kinerja inovasi
(Kaplan dan Norton dalam Indarti, 2003) adalah:
1) hasil secara teknis, seperti jumlah paten, publik teknik.
2) keuntungan penjualan dan keuntungan lainnya yang diperkirakan
timbul dari proses inovasi.
3) penilaian masing-masing individu proyek.
b. Proses operasi
Dalam proses ini, perusahaan melakukan aksi nyata yang berupaya untuk
memberi solusi kepada para pelanggan dalam memenuhi keinginan dan
kebutuhan mereka. Produk dan jasa dalam tahap ini didesain, diproduksi
dan
diserahkan
kepada
customer.
Proses
operasi
perusahaan
mencerminkan aktivitas yang dilakukan perusahaan dari saat penerimaan
order dari pelanggan sampai dengan saat produk atau jasa tersebut
dikirimkan pada pelanggan (Kaplan dan Norton dalam Indarti, 2003).
Aktivitas ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) proses pembuatan
produk atau jasa (2) proses penyampaian produk atau jasa pada
pelanggan. Secara umum pengukuran dalam proses pembuatan produk
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) kualitas, (2) biaya dan (3) waktu.
1) Kualitas
Untuk mengetahui apakah program kualitas berjalan baik, maka
perusahaan
harus
dapat
mengukur
hasil
program
kualitas.
Pengukuran-pengukuran yang dipergunakan dapat bersifat keuangan
dan bersifat nonkeuangan. Dalam pengukuran yang bersifat
nonkeuangan, tolok ukurnya seperti tingkat kerusakan per satu juta
barang produksi, pengerjaan ulang, bahan mentah yang terbuang,
yields (rasio antara input yang masuk dalam proses produksi dengan
output yang dihasilkan). Dalam tolok ukur yang bersifat keuangan,
biasanya perusahaan menggunakan konsep biaya kualitas. Biaya
kualitas dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu: biaya pencegahan,
biaya penialaian, baiya kegagalan eksternal dan biaya kegagalan
internal. Hal terbaik bagi perusahaan tersebut terjadi bila komponen
terbesar dari biaya kualitas perusahaan adalah biaya pencegahan.
2) Biaya
Pengukuran sejauh mana efisiensi dan efektivitas perusahaan dalam
melakukan aktivitas, perusahaan dapat menggunakan metode
Activity Based Management (ABM). Dalam ABM, perusahaan
mengelompokkan aktivitas menjadi aktivitas yang memiliki nilai
tambah (value added), dan aktivitas yang tidak memiliki nilai
tambah (non value added), aktivitas memiliki nilai tambah atau tidak
akan selalu dipandang dari sudut konsumen.
3) Waktu
Pengukuran
yang
paling
sering
digunakan
adalah
MCE
(manufacturing cycle effectiveness). MCE ini mengukur siklus waktu
yang efektif untuk memproduksi suatu barang. Dapat disimpulkan
MCE yang terbaik adalah dimana total waktu yang dipergunakan
perusahaan semuanya merupakan waktu proses. Semakin rendah
MCE
maka
mencerminkan
perusahaan
tersebut
membuang
waktunya untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak efisien.
Sedangkan proses penyampaian produk atau jasa pada pelanggan,
selanjutnya proses ini dikenal dengan istilah pemasaran. Aktivitas
pemasaran dan penjualan merupakan aktivitas untuk membujuk dan
sekaligus menyediakan sarana sehingga pelanggan dapat membeli
barang atau jasa tersebut.
c. Proses pelayanan purna jual
Dalam tahap ini, perusahaan menyediakan layanan pelanggan setelah
produk atau jasa diserahkan kepada pelanggan. Tolok ukur yang dapat
digunakan tergantung pada upaya yang dilakukan masing-masing unit
bisnis tetapi secara umum unit bisnis dapat menggunakan tolok ukur
sebagai berikut:
1) efisiensi layanan purna jual.
2) jangka waktu tertentu untuk memenuhi permintaan pelayanan purna
jual.
3) banyaknya pelanggan yang mampu dilayani hanya dengan satu kali
permintaan.
4) jangka waktu penyelesaian masalah.
Penilaian kinerja pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta jika
dipandang dari perspektif proses bisnis internal adalah nilai barang jaminan.
Adapun jenis masing-masing golongan barang jaminan ditetapkan sebagai
berikut ini.
a. Golongan A Kain
b. Golongan A Emas
c. Golongan A Gudang
d. Golongan B Emas
e. Golongan B Gudang
f. Golongan C Emas
g. Golongan C Gudang
h. Golongan D Emas
i. Golongan D Gudang
4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan (Learning and Growth
Perspective)
Perusahaan yang ingin tetap bertahan dalam lingkungan yang selalu
berkembang tidak hanya dituntut untuk dapat mempertahankan kinerja yang
telah dicapai tetapi dituntut untuk terus melakukan perbaikan. Balanced
Scorecard menekankan pentingnya investasi untuk kepentingan masa
depannya dalam perspektif proses pembelajaran dan pertumbuhan. Ada tiga
faktor yang mesti dipertahankan (Kaplan dan Norton, 1996:127):
a. Kemampuan pegawai
Dalam pengukuran strategi perusahaan, salah satunya berkaitan dengan
kemampuan pegawai, yaitu apakah perusahaan telah mencanangkan
peningkatan kemampuan sumber daya manusia yang dimiliki. Tolok ukur
yang dapat dipakai untuk mengukur kemampuan pegawai tergantung
dalam core employee measurement yang meliputi (Kaplan dan Norton,
1996:129):
1) Kepuasan karyawan
Merupakan pemicu baik ukuran retensi dan produktivitas karyawan
sehingga karyawan lebih produktif dalam bekerja. Sumber daya yang
berkualitas merupakan asset termahal karena mereka merupakan
penentu keberhasilan dan penggerak lakunya usaha perusahaan
(Kaplan dan Norton, 1996:130). Kepuasan kerja karyawan
dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
a) keterlibatan dalam pengambilan keputusan.
b) pengakuan atas kesuksesan kerja.
c) akses terhadap informasi
d) kepuasan terhadap perusahaan
2) Retensi karyawan
Retensi karyawan dimaksudkan untuk mempertahankan karyawan
yang berkualitas yang dimiliki perusahaan. Perusahaan perlu
memiliki daya tarik jangka panjang bagi karyawan sehingga
karyawan bersedia untuk tetap loyal kepada perusahaan. Perusahaan
dapat
menggunakan
persentase
perputaran
karyawan
untuk
mengukur retensi karyawan. Indikator retensi karyawan dapat diukur
dengan turn over karyawan kunci.
3) Produktivitas karyawan
Produktivitas dapat diartikan sebagai kekuatan menghasilkan atau
jumlah yang bisa dihasilkan setiap pekerja dalam jangka waktu
tertentu (Kaplan dan Norton, 1996:131). Produktivitas pegawai dapat
diukur dengan rasio pendapatan per pegawai (revenue per employee)
atau nilai tambah karyawan. Ukuran ini menunjukkan berapa output
yang dapat dihasilkan tiap pekerja, ketika karyawan dan perusahaan
menjadi lebih efektif dalam penjualan dan dalam nilai tambah
produk dan jasa yang lebih tinggi, maka revenue per employee
seharusnya meningkat.
b. Kemampuan sistem informasi
Sistem informasi yang memadai sangat diperlukan dalam peningkatan
kemampuan karyawan karena sistem informasi akan memudahkan
pegawai untuk melakukan perbaikan secara konsisten dan sistematik.
Tolok ukur yang tergabung dalam kategori ini antara lain: tingkat
ketersediaan informasi yang dibutuhkan, tingkat ketepatan informasi dan
jangka
waktu
yang
diperlukan
untuk
memperoleh
informasi.
Kemampuan sistem informasi yang handal sangat diperlukan oleh
perusahaan dalam menghadapi era persaingan usaha yang semakin ketat.
c. Adanya motivasi, pemberdayaan dan penyelerasan
Tujuan perusahaan dan kemampuan pegawai perlu di dukung dengan
motivasi pemberdayaan dan penyelerasan tujuan. Tolok ukur yang dapat
digunakan adalah berkaitan dengan jumlah usulan yang diberikan dan
diimplementasikan. Jumlah perbaikan keselarasan tujuan antara individu
dengan perusahaan dengan kinerja kelompok lain.
Penilaian kinerja pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta jika
dipandang
dari
perspektif
pembelajaran
dan
pertumbuhan
adalah
produktivitas karyawan berdasarkan hak formasi. Hak formasi adalah hak
semua kantor cabang memenuhi jumlah karyawan yang diperlukan dalam
kegiatan operasionalnya sehari-hari dibandingkan dengan kondisi sebenarnya
yaitu jumlah karyawan yang bekerja di kantor cabang tersebut.
E. Cara Pengukuran dalam Balanced Scorecard
Cara pengukuran dalam Balanced Scorecard adalah Balanced Scorecard
mengukur secara seimbang antara perspektif yang satu dengan perspektif yang
lainnya dengan tolok ukur masing-masing perpektif. Perusahaan yang akan
menyusun Balanced Scorecard harus memenuhi beberapa syarat (Jeno dalam
Sulastri, 2003) sebagai berikut ini.
1. Organisasi telah memiliki strategi usaha yang jelas.
2. Balanced Scorecard suatu organisasi harus meliputi perspektif keuangan,
customer, proses
bisnis
internal
serta perspektif pembelajaran
dan
pertumbuhan.
Kriteria keseimbangan digunakan untuk mengukur sampai sejauh mana
sasaran strategik kita capai seimbang disemua perspektif (Mulyadi, 2001). Untuk
itu skor diberikan pada rating scale sebagai berikut ini.
Tabel 2.1
Rating Scale
Skor
-1
0
1
Nilai
Kurang
Cukup
Baik
Skor dalam tabel adalah skor standar, jika kinerja semua aspek dalam perusahaan
adalah baik.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Studi kasus merupakan
penelitian yang rinci terhadap objek tertentu selama kurun waktu tertentu. Jadi
kesimpulan yang diambil hanya berlaku pada objek tertentu, populasi tertentu dan
dalam kurun waktu tertentu.
B. Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penelitian ini adalah kinerja Perum Pegadaian Cabang
Gading Surakarta, yang meliputi kinerja keuangan dan non keuangan yang
meliputi: customer, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan
organisasi.
C. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, meliputi:
Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP), laporan rugi/laba dan opini dari
para karyawan serta pelanggan Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode survei. Ada dua teknik pengumpulan dalam data dalam metode survei,
yaitu:
1. wawancara, yaitu dengan melakukan tanya jawab langsung pada pihak
sehubungan dengan visi, misi, tujuan, serta strategi dan data yang
berhubungan dengan penerapan empat perspektif dalam Balanced Scorecard
(perspektif keuangan, perspektif customer, perspektif proses bisnis internal,
serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan organisasi) pada Perum
Pegadaian Cabang Gading Surakarta. Tanya jawab tersebut dilakukan dengan
Asisten Manajer Cabang Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta.
2. kuesioner, digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan konsumen dan
kepuasan karyawan pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta.
Pengisian kuesioner untuk kepuasan konsumen diisi oleh para nasabah Perum
Pegadaian Cabang Gading Surakarta, sedangkan untuk kepuasan karyawan
diisi oleh para karyawan Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta.
E. Metode Analisis Data
Untuk mencapai tujuan yang diterapkan maka penelitian ini akan
dilakukan dengan pendekatan teknik analisis komparatif yaitu membandingkan
antara pengukuran kinerja yang dilakukan perusahaan dengan pengukuran kinerja
berdasarkan Balanced Scorecard, kemudian untuk melakukan penilaian kinerja
berdasarkan Balanced Scorecard akan dilakukan dengan teknik analisis sebagai
berikut ini.
1. Klarifikasi misi, visi, dan tujuan organisasi
Teknik ini merupakan langkah awal dari tahap penggunaan Balanced
Scorecard.
2. Penentuan ukuran pencapaian sasaran strategik
Sasaran strategik yang dirumuskan untuk mewujudkan visi dan tujuan
organisasi melalui strategi yang telah dipilih perlu ditetapkan ukuran
pencapaiannya. Ada dua ukuran yang perlu ditentukan untuk mengukur
keberhasilan pencapaian sasaran strategik: (1) ukuran hasil (outcome
measure) dan (2) ukuran pemacu kinerja (performance driver measure).
3. Penetapan target dari masing-masing perspektif
Penetapan target merupakan tahap ketiga dari proses penerapan Balanced
Scorecard pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. Penentuan target
merupakan suatu proses yang dapat dilakukan pada saat penyusunan rencana
strategik, namun penentuan ini sifatnya sementara (Mulyadi, 2001:138).
4. Perumusan inisiatif strategik
Inisiatif strategik merupakan action program yang bersifat strategik untuk
mewujudkan sasaran strategik.
5. Pengukuran kinerja dari masing-masing perspektif
Pengukuran kinerja terdiri dari empat perspektif yaitu:
a. pengukuran kinerja keuangan, yaitu pengukuran kinerja perusahaan yang
dipandang dari perspektif keuangan.
b. pengukuran kinerja perspektif customer, yaitu pengukuran kinerja yang
dinilai dari jumlah pelanggan yang dimiliki dari tahun ke tahun serta
tingkat kepuasan dari pelanggan.
c. pengukuran kinerja perspektif proses bisnis internal, yaitu proses tindak
lanjut atas identifikasi keinginan pelanggan.
d. pengukuran kinerja perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, yaitu
perspektif yang dinilai untuk mendorong perusahaan agar menjadi
learning organization dan juga mendorong pertumbuhan perusahaan.
F. Alat Analisis
Alat analisis yang digunakan untuk mengimplementasikan metode
Balanced Scorecard terdiri dari empat perspektif sebagai berikut ini.
1. Mengukur kinerja perspektif keuangan
Kinerja dari perspektif keuangan diukur dengan menggunakan prosentase
pencapaian realisasi rata-rata pertumbuhan yang tertuang dalam Rencana
Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) sebagai berikut ini.
a. Omset
Pertumbuhan omset dapat dinilai sebagai berikut:
Pertumbuhan omset =
realisasi
x 100%
target
“X%” pertumbuhan omset menunjukkan besarnya realisasi yang dicapai
dari target yang telah ditetapkan.
b.
Surplus (Laba/Rugi)
Pertumbuhan laba/rugi usaha dapat dihitung sebagai berikut:
Pertumbuhan laba/rugi usaha =
realisasi
x 100%
target
“X%” pertumbuhan laba menunjukkan besarnya realisasi yang dicapai
dari target yang telah ditetapkan.
c. Bauran pendapatan
Pertumbuhan bauran pendapatan dapat dihitung sebagai berikut:
Pertumbuhan bauran pendapatan =
realisasi
x 100%
target
“X%” pertumbuhan bauran pendapatan menunjukkan besarnya realisasi
yang dicapai dari target yang telah ditetapkan.
2. Mengukur kinerja perspektif customer
Pengukuran kinerja perspektif customer dengan menggunakan tolok ukur
sebagai berikut ini.
a. Kepuasan customer
Kepuasan customer pemakai jasa pegadaian diukur melalui penyebaran
kuesioner, dengan menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh
Utami (2003). Kepuasan customer adalah kepuasan terhadap lima
dimensi kualitas jasa (Tjiptono, 2001). Lima dimensi kualitas jasa
pelayanan tersebut terdiri dari: bukti langsung (tangibles) terdapat pada
pertanyaan no. 1, 2, 3, keandalan (reliability) terdapat pada pertanyaan
no. 4, 5, daya tanggap (responsive) terdapat pada pertanyaan no. 6, 7,
jaminan (assurance) terdapat pada pertanyaan no. 8, 9, empathy terdapat
pada pertanyaan no.10. Jumlah nasabah baru yang masuk tahun 2003
pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta sebanyak 332 orang
sehingga yang diberi kuesioner sebanyak 180 orang (Sekaran 2000:295).
Rata-rata riil kepuasan setiap responden dapat dihitung dengan membagi
antara jumlah total skor jawaban untuk seluruh pertanyaan dengan
jumlah seluruh pertanyaan, angka dari pembagian tersebut lalu
disesuaikan skor item pertanyaan yang paling mendekati. Skor item
pertanyaan terdiri dari: 1 = Sangat Tidak Puas (STP), 2 = Tidak Puas
(TP), 3 = Cukup Puas (CP), 4 = Puas (P), 5 = Sangat Puas (SP).
b. Profitabilitas customer
Profitabilitas customer digunakan untuk mengukur seberapa besar
keuntungan yang berhasil dicapai perusahaan dari pendapatan jasa yang
ditawarkan kepada pelanggan. Profitabilitas customer dapat dihitung
sebagai berikut (Indarti, 2003):
Profitabilitas customer =
pendapatan jasa
jumlah customer
“X” profitabilitas customer menunjukkan besarnya pendapatan
jasa
setiap tahun yang dihasilkan oleh setiap satu konsumen dalam satu tahun.
Pendapatan jasa merupakan pendapatan yang diperoleh melalui jasa yang
diberikan kepada para nasabahnya yang meliputi: jasa taksiran, jasa
gadai, jasa titipan. Sedangkan jumlah customer merupakan jumlah
nasabah yang menggunakan jasa dari Perum Pegadaian Cabang Gading
Surakarta.
c. Akuisisi customer (Customer acquisition)
Akuisisi pelanggan merupakan tingkat kemampuan unit bisnis dalam
menarik pelanggan baru. Akuisisi pelanggan dapat diukur dengan jumlah
pelanggan baru atau total penjualan pada konsumen dalam segmen yang
dituju. Akuisisi customer dapat dilakukan dengan membandingkan
jumlah customer dari tahun ke tahun. Jika terdapat peningkatan jumlah
customer maka perusahaan mampu memperoleh customer baru (Sulastri,
2003).
3. Mengukur kinerja perspektif proses bisnis internal
Pengukuran kinerja perspektif bisnis internal
menggunakan tolok ukur
sebagai berikut ini.
a. Respond times
Tolok ukur ini digunakan untuk mengukur efisiensi dari transaksi yang
dilakukan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta.
4. Mengukur kinerja perspektif pembelajaran dan pertumbuhan
Pengukuran kinerja perspektif pembelajaran dan pertumbuhan menggunakan
tolok ukur sebagai berikut ini.
a. Tingkat produktivitas karyawan
Tingkat produktivitas karyawan diukur untuk mengetahui produktivitas
karyawan dalam periode tertentu. Tingkat produktivitas karyawan dapat
dihitung sebagai berikut (Indarti, 2003):
Produktivitas karyawan =
laba usaha
jumlah karyawan
“X” produktivitas karyawan menunjukkan besarnya laba usaha yang
dihasilkan oleh setiap satu karyawan. Laba usaha merupakan laba yang
diperoleh melalui pendapatan usaha yang dijalankan yang telah dikurangi
dengan biaya-biaya
yang telah dikeluarkan dalam memperoleh
pendapatan usaha tersebut. Sedangkan jumlah karyawan merupakan
jumlah karyawan dari Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta secara
keseluruhan pada tahun yang bersangkutan.
b. Tingkat retensi karyawan
Retensi karyawan dihitung menggunakan perhitungan perputaran
karyawan. Tingkat retensi karyawan dapat dihitung sebagai berikut
(Indarti, 2003):
Retensi karyawan =
jumlah karyawan masuk (keluar) / th
x 100%
jumlah karyawan / th
“X%” retensi karyawan menunjukkan besarnya jumlah karyawan yang
masuk dan keluar setiap tahun dari total karyawan setiap tahunnya.
Jumlah karyawan yang masuk merupakan jumlah karyawan baru yang
masuk, sedangkan karyawan yang keluar merupakan jumlah karyawan
yang keluar karena meninggal, pensiun, dan mengundurkan diri.
Sedangkan jumlah karyawan merupakan jumlah karyawan dari Perum
Pegadaian Cabang Gading Surakarta secara keseluruhan pada tahun yang
bersangkutan.
c. Tingkat kepuasan karyawan
Kepuasan karyawan dianggap sebagai penentu dari kedua pengukuran
sebelumnya
pengukuran
kepuasan
karyawan
dilakukan
melalui
kuesioner,
kuesioner
yang
digunakan
adalah
kuesioner
yang
dikembangkan oleh Indarti (2003). Kepuasan karyawan yang diukur
adalah kepuasan karyawan terhadap atribut-atribut Perum Pegadaian
Cabang Gading Surakarta meliputi semangat kerja terdapat pada
pertanyaan no. 1, 2, lingkungan kerja terdapat pada pertanyaan no. 3, 4,
motivasi terdapat pada pertanyaan no. 5, 6, 7, komunikasi terdapat pada
pertanyaan no. 8, 9, kondisi fisik lingkungan kerja terdapat pada
pertanyaan no. 10, 11, 12. Jumlah karyawan Perum Pegadaian Cabang
Gading Surakarta pada tahun 2003 sebanyak 11 orang sehingga yang
diberi kuesioner sebanyak 11 orang (Sekaran 2000:295). Rata-rata riil
kepuasan setiap responden dapat dihitung dengan membagi antara jumlah
total skor jawaban untuk seluruh pertanyaan dengan jumlah seluruh
pertanyaan, angka dari pembagian tersebut lalu disesuaikan skor item
pertanyaan yang paling mendekati. Skor item pertanyaan terdiri dari: 1 =
Sangat Tidak Puas (STP), 2 = Tidak Puas (TP), 3 = Cukup Puas (CP), 4 =
Puas (P), 5 = Sangat Puas (SP).
Metode pengujian instrumen
Metode pengujian instrumen mencakup uji validitas dan uji realiabilitas
dari kuesioner yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut ini.
a. Uji validitas
Pengukuran validitas bertujuan untuk mengetahui sejauh mana suatu alat ukur
dapat mengukur apa yang seharusnya diukur (Sekaran, 2000:207). Untuk
pengkuran validitas dipergunakan bantuan program komputer seri (SPSS).
Pengukuran validitas menggunakan teknik korelasi Product moment dari
Pearson, dengan menggunakan taraf signifkan (a ) = 5%, r hitung > r tabel,
maka kuesioner sebagai alat ukur dinyatakan valid, apabila hasilnya lebih
kecil atau sama dengan taraf signifikan dalam tabel maka item tersebut
dinyatakan gugur.
Rumus:
R=
n.x
n.xy - x . y 
2

 x  . n.y 2  y 
2
2

Notasi:
R = koefisien korelasi setiap pertanyaan
x = skor / nilai dari setiap pertanyaan
y = skor total dari pertanyaan
n = banyaknya responden / sampel
b. Uji reliabilitas
Uji reliabilitas digunakan untuk menguji tingkat kestabilan dari suatu alat ukur
dalam mengukur suatu gejala atau dengan kata lain untuk menunjukkan sejauh
mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten atau tidak berubah jika dilakukan
pengukuran kembali terhadap subjek yang sama (Sekaran, 2000:205). Teknik
uji reliabilitas yang digunakan adalah reliabilitas internal (Internal Consistency
Reliability). Teknik alpha yang dikembangkan oleh Cronbach dipilih untuk
mengukur reliabilitas karena merupakan teknik pengujian konsistensi
reliabilitas antara item yang paling populer dan menunjukkan indeks
konsistensi yang cukup sempurna (Sekaran, 2000:206). Suatu alat pengukur
dikatakan reliabel jika nilai koefisien alpaha diatas 0,6 (a > 0,6) untuk setiap
kuesioner masing-masing variabel. Rumus dari Cronbach’s Alpha adalah
sebagai berikut”
 . b 2
1 t 2

 K 
rn = 

 K -1



Notasi:
rn
= reliabilitas instrumen
K
= banyaknya butir pertanyaan
 . b 2
= jumlah varian butir
. t 2
= varian total
Skala pengukuran yang digunakan dalam instrumen penelitian ini adalah skala
likert lima poin dengan formula sebagai berikut:
1 = Sangat Tidak Puas (STP)
2 = Tidak Puas (TP)
3 = Cukup Puas (CP)
4 = Puas (P)
5 = Sangat Puas (SP)
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bagian ini akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai gambaran umum
perusahaan sebelum dilakukan analisis agar dapat mengetahui bagaimana kondisi
perusahaan secara umum.
A. Gambaran Umum Perusahaan
1. Sejarah Singkat Berdirinya Perusahaan
Perum Pegadaian merupakan lembaga perkreditan yang berusaha
dibidang jasa layanan kredit gadai dengan jaminan barang-barang bergerak.
Pengertian Pegadaian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1999
adalah penyalur uang pinjaman atas dasar gadai dan membuat masyarakat
agar dalam menerima pinjaman pegadaian dapat memecahkan masalah yang
dihadapi dengan tidak menimbulkan masalah yang baru, sesuai dengan motto
Pegadaian, yaitu “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”. Perusahaan gadai
awalnya dilaksanakan oleh perusahaan swasta, tetapi sejak tanggal 1 April
1901 berdasar pada Staatsblad Nomor 131 tanggal 12 Maret 1901 dikelola
oleh pemerintah dan kantor pegadaian yang pertama didirikan di Sukabumi
Jawa Barat. Pegadaian pertama berbentuk Jawatan, namun mulai tanggal 1
Januari berdasarkan Undang-Undang Nomor 121 Tahun 1960 Jawatan
Pegadaian diubah menjadi Perusahaan Negara. Struktur permodalan Perum
Pegadaian berasal dari: (a) kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN dan
tidak terbagi atas saham, (b) penyertaan pemerintah, (c) kredit komersial dari
bank (bank mega, BRI), (d) penerbitan obligasi.
2. Budaya Perusahaan
Budaya perusahaan yang telah ditetapkan oleh perusahaan untuk
mendukung terwujudnya visi, misi perusahaan harus dihayati dengan
sungguh-sungguh oleh jajaran mulai dari direksi sampai karyawan yang
paling rendah. Adapun budaya kerja yang di aktualisasikan dengan si
“INTAN” yang masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut ini.
a. Inovatif
Perum
Pegadaian
berkreasi
dan
mengembangkan
ide-ide
guna
menciptakan produk dan cara-cara kerja baru untuk memenuhi kebutuhan
konsumen.
b. Nilai Moral Tinggi
Pegawai Perum Pegadaian senantiasa bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, rajin beribadah, menjunjung tinggi nilai moral, kesusilaan,
etika, kejujuran dan kewaspadaan selalu mendasari sikap dan perilaku
dalam melaksanakan tugas sehari-hari.
c. Terampil
Pegawai Perum Pegadaian senantiasa dapat melaksanakan tugas dengan
cepat dan akurat, serta dapat dipertanggung jawabkan sesuai ketentuan
yang berlaku.
d. Adi Layanan
Pegawai Perum Pegadaian selalu memberikan pelayanan yang prima.
Kepuasan konsumen merupakan kebanggan tersendiri bagi setiap insan
pegadaian.
e. Nuansa Citra
Pegawai Perum Pegadaian senantiasa menjaga citra baik perusahaan,
bekerja,
profesional,
menjaga
kebersihan
lingkungan,
kerapihan
penampilan, efisiensi dan produktivitas.
3. Lokasi Perusahaan
Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta termasuk dalam wilayah
Perum Pegadaian Kantor Wilayah VIII Surakarta yang terletak di Jalan
Brigjen. Sugiarto No. 33 Solo.
4. Tugas, Fungsi dan Kegiatan Usaha Perum Pegadaian
a. Tugas Perum Pegadaian
Dalam menjalankan aktivitas perusahaan, Perum Pegadaian mempunyai
tugas pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1990
yakni menyalurkan uang pinjaman atas dasar gadai dan membuat
masyarakat supaya dalam menerima pinjaman Pegadaian dapat
mengatasi masalah yang dihadapinya dengan tidak menimbulkan
masalah baru. Sesuai dengan motto Perum Pegadian, yaitu: “ Mengatasi
Masalah Tanpa Masalah”.
b. Fungsi Perum Pegadaian
Beberapa fungsi dari Perum Pegadaian antara lain sebagai berikut ini.
1) Membina penyaluran kredit atas dasar hukum gadai.
2) Mencegah adanya pemberian pinjaman yang tidak wajar seperti: ijon,
pegadaian gelap, dan praktek riba lainnya.
c. Kegiatan Usaha Perum Pegadaian
Perum Pegadaian lebih memfokuskan sasarannya pada pemberian
pinjaman kepada masyarakat, adapun kegiatan usaha dari Perum
Pegadaian Cabang Gading Surakarta sebagai berikut ini.
1) Jasa Gadai
Perum Pegadaian melakukan pemberian kredit kepada masyarakat
yang membutuhkan melalui penyaluran uang pinjaman atas dasar
hukum gadai. Perum Pegadaian juga menerima berbagai jenis barang
yang dapat diterima sebagai barang jaminan, antara lain: barang
perhiasan, barang elektronik, kendaraan, barang rumah tangga,
mesin.
2) Jasa Taksiran
Jasa ini diberikan kepada mereka yang ingin mengetahui kualitas
perhiasan (emas, perak, berlian).
3) Jasa Titipan
Pegadaian
menyediakan
jasa
titipan
untuk
keamanan
dan
pemeliharaan barang atau surat berharga milik para nasabah. Barangbarang yang dapat dititipkan di antaranya: perhiasan, surat berharga
(sertifikat, tanah, ijazah), sepeda motor dengan biaya murah dan
aman.
5. Penggolongan Barang Gadai
Penggolongan barang gadai berdasarkan besarnya Uang Pinjaman (UP),
sewa modal/15 hari, biaya asuransi dan biaya penyimpanannya. Berikut ini
tabel penggolongannya.
Tabel 4.1
Gol
A
B
C
D1
D2
DM
Penggolongan Uang Pinjaman
Uang
Jangka
Sewa
Biaya simpanan dan
Pinjaman
Waktu
modal/15
Asuransi (Rp)
(x Rp 1.000)
hari
5
40
120 hr
1,25%
300-500
40,5 150
120 hr
1,5%
1500-3000
151 500
120 hr
1,75%
3000-5000
510 20.000 120 hr
1,75%
0,5% x UP min. Rp 7.500
>20.00 120 hr
1,75%
0,5% x UP min. Rp 10.00
120 hr
0,5% x UP min. Rp 50.000
Untuk memudahkan dalam pengelolaan dan penyimpanan barang gadai, maka
digolongkan dalam beberapa “Rubrik”, yaitu:
a. Kain (Kn/A), terdiri dari:
1) Bahan Pakaian
2) Kain, sarung, seprei dan sejenisnya
b. Kantong (K/B), terdiri dari:
1) Emas, perak
2) Berlian
3) Barang perhiasan lainnya
c. Gudang (G/C), terdiri dari:
1) Sepeda atau sepeda motor
2) Barang-barang elektronik
3) Alat atau perabot rumah tangga
d. Mobil (M/D), terdiri dari:
1) Sedan, jeep, pick up
2) Minibus, truk, mobil niaga dan sebaginya
6. Sistem Pengukuran Kinerja Perum Pegadaian
Sistem pengukuran kinerja pada Perum Pegadaian berdasarkan pada SE
Direksi Perum Pegadaian mengenai pengukuran kinerja klasifikasi kantor
cabang yaitu SE No. 12 OPP 1/18 tahun 1999 tanggal 7 Mei 1999. Kinerja
yang diukur terdiri dari empat variabel yaitu sebagai berikut ini.
a. Pertumbuhan omset
Pertumbuhan omset Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta dapat
dihitung dengan membandingkan antara realisasi dengan target atau
anggaaran yang tertuang dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan
(RKAP). Formula untuk variabel ini diberi bobot 50.
b. Surplus laba/rugi usaha
Sama halnya dengan pengukuran pertumbuhan omset, surplus yang
dicapai oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta dibandingkan
dengan target atau anggaran yang tertuang dalam Rencana Kerja
Anggaran Perusahaan (RKAP). Formula untuk variabel ini diberi bobot
30.
c. Nilai barang jaminan
Nilai barang jaminan dihitung dengan membandingkan rata-rata nilai
barang jaminan yang dihitung secara nasional. Formula untuk variabel ini
diberi nilai 10. Adapun bobot masing-masing golongan barang jaminan
ditetapkan sebagai berikut:
1) Golongan A Kain: 0,75
2) Golongan A Emas: 0,75
3) Golongan A Gudang: 1,50
4) Golongan B Emas: 1,00
5) Golongan B Gudang: 2,00
6) Golongan C Emas: 1,50
7) Golongan C Gudang: 2,50
8) Golongan D Emas: 2,00
9) Golongan D Gudang: 3,00
d. Formasi karyawan
Berdasarkan SE No. 26 tahun 1994 formasi karyawan ini dihitung
melalui rata-rata adanya karyawan kantor cabang yang bersangkutan per
dua semester menurut laporan semester yang wajib dibuat kantor cabang.
Menurut SE No. 26 tahun 1994 butir 3 yaitu dengan produktivitas
minimal dapat menyelesaikan 10 nilai barang jaminan per jam, 140 jam
per minggu dan 48 minggu per tahun maka target prestasi kerja sesorang
karyawan untuk menyelesaikan barang jaminan dalam (satu) tahun
ditetapkan setara 19.200 nilai barang jaminan, sehingga dengan mengacu
SE Direksi tersebut, maka perhitungan jumlah formasi karyawan
berbanding lurus dengan tiap penambhan 19.200 per 2 (dua) nilai barang
jaminan berhak mendapat tambahan 1 (satu) orang karyawan. Formula
untuk variabel ini diberi nilai 10.
Penilaian kinerja yang dilakukan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading
Surakarta tersebut dalam konsep Balanced Scorecard tidak seimbang karena
dari penilaian kinerja tersebut terlihat bahwa pencapaian omset dan laba
usaha menduduki penilaian tertinggi, hal ini mencerminkan penetapan bobot
penilaian hanya berdasarkan executive judgement. Dari keempat indikator
diatas kriteria produktivitas karyawan (formasi karyawan) dan kriteria
operasional kantor cabang (nilai barang jaminan) tidak mendapat porsi yang
sama dengan perspektif keuangan dalam penilaian kinerja kantor cabang.
Perspektif keuangan dalam pengukuran kinerja kantor cabang mendapatkan
dua kriteria, masing-masing pada pertumbuhan omset dan surplus. Sedangkan
penilaian kinerja dalam Balanced Scorecard lebih berimbang karena
mengukur dari dua aspek yaitu: keuangan dan nonkeuangan, jangka pendek
dan jangka panjang serta intern dan ekstern, sehingga para personel yang
menjalankannya dapat memperhitungkan keseimbangan antara pencapaian
kinerja keuangan dan nonkeuangan, antara kinerja jangka pendek dan kinerja
jangka panjang, serta antara kinerja yang bersifat intern dan kinerja bersifat
ekstern.
B. Analisis Data
1. Klarifikasi Visi, Misi, Tujuan dan Strategi
Klarifikasi visi, misi, tujuan dan strategi perusahaan merupakan tahap
awal dalam penerapan Balanced Scorecard. Tujuan dari klarifikasi visi, misi,
tujuan, dan strategi adalah untuk memudahkan dalam menentukan sasaransasaran strategik yang hendak dicapai dalam mewujudkan visi serta tujuan
perusahaan.
a. Visi Perusahaan
Visi Perum Pegadaian dalam jangka panjang tahap III adalah “Pegadaian
pada tahun 2010 menjadi perusahaan yang modern, dinamis dan inovatif
dengan usaha utama gadai”. Modern, dapat dilihat dari ciri fisik
penggunaan sarana dan prasarana kerja mampu menghasilkan produk
atau jasa yang cocok dengan kebutuhan masyarakat serta memberi solusi
bagi masyarakat yang hidup di zaman modern ini. Dinamis, dicerminkan
dari penampilan, pelayanan, kemampuan menyesuaika diri yang
ditujukan pada peningkatan ketrampilan karyawan, sikap yang lebih
komunikatif, efisien dan integritas yang tinggi serta mampu merespon
kebutuhan konsumen internal dan eksternal dengan cepat. Inovatif,
kemampuan perusahaan dalam menyempurnakan produk yang sudah ada
dan menciptakan produk-produk baru yang menguntungkan serta
perbaikan sistem dan prosedur sehingga diharapkan pegadaian dimasa
depan tumbuh dan berkembang menjadi perusahaan yang solid.
b. Misi Perusahaan
Rumusan misi Perum Pegadaian dinyatakan dengan kalimat sebagai
berikut:
“Ikut membantu program pemerintah dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat golongan menegah kebawah, melalui kegiatan
utama berupa penyaluran kredit gadai dan melakukan usaha lain yang
menguntungkan”.
c. Tujuan Perusahaan
Tujuan perusahaan secara eksplisit tercantum dalam lampiran Surat
Keputusan Direksi Perum Pegadaian No. Sm 2/1/29 tanggal 27 Oktober
1990 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perum Pegadaian pasal 3 (1) dan
(2) perusahaan bertujuan sebagai berikut ini.
1) Turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan
program pemerintah dibidang ekonomi dan pembangunan nasional
pada umumnya melalui penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum
gadai.
2) Mencegah praktek ijon, pegadaian gelap, riba dan pinjaman tidak
wajar lainnya.
d. Strategi perusahaan
Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta, dalam upaya mencapai
sasaran pokok perusahaan yang digariskan dalam rencana jangka panjang
mempunyai strategi pokok yang dilakukan dengan cara sebagai berikut
ini.
1) Meningkatkan efisiensi perusahaan
2) Meningkatkan pelayanan kepada seluruh nasabah dengan baik, cepat
dan manusiawi
3) Melaksanakan
pengembangan
produk
baru
hingga
mampu
menyumbangkan 20% dari total pendapatan
4) Meningkatkan produktivitas di seluruh bidang kegiatan
Strategi ini kemudian diterjemahkan kedalam sasaran strategik yang
komprehensif berdasarkan rerangka Balanced Scorecard. Sasaran strategik
perlu diterjemahkan lebih lanjut disesuaikan dengan karakteristik bisnis
perusahaan. Sasaran strategik yang hendak dicapai dapat dapat diterjemahkan
dalam tabel sebagai berikut ini.
Tabel 4.2
Penerjemahan Sasaran Strategik dalam Perspektif Balanced Scorecard
Perspektif
Sasaran Strategik
Keuangan
 Produktivitas Modal Kerja
 Pertumbuhan Omset
 Peningkatan Bauran Pendapatan
Customer
 Meningkatkan Kepuasan Customer
 Brand Equity
 Meningkatkan Preferensi Masyarakat
terhadap Jasa Pegadaian
Proses Bisnis Internal
 Pelayanan yang Prima (Adi Layanan)
 Perbaikan Sistem Operasional Pelayanan
Pembelajaran & Pertumbuhan
 Meningkatkan Kapabilitas Karyawan
 Meningkatkan Komitmen Karyawan
Sasaran-sasaran
strategik
yang
sudah
diterjemahkan
kemudian
dibangun hubungan yang koheren dan seimbang dalam rerangka Balanced
Scorecard. Kekoherenan sasaran strategik dibangun dengan menciptakan
hubungan sebab akibat (rationale) antara satu sasaran strategik dengan
sasaran strategik yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan seimbang
adalah bahwa sasaran strategik yang dirumuskan dalam perencanaan strategik
perlu diarahkan ke empat perspektif secara seimbang: keuangan, customer,
proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan. Sasaran strategik harus
diarahkan keempat perspektif secara seimbang antara kinerja keuangan
dengan kinerja nonkeuangan, antara kinerja jangka pendek dengan kinerja
jangka panjang, serta antara kinerja yang bersifat intern dan kinerja yang
bersifat ekstern dapat digambarkan sebagi berikut ini.
2. Penentuan Ukuran Pencapaian Sasaran Strategik
Sasaran strategik
yang telah dipilih perlu ditetapkan ukuran
pencapainnya. Ada dua ukuran strategik yang perlu ditentukan untuk
mengukur keberhasilan pencapaian sasaran strategik: (1) ukuran hasil dan
(2) ukuran pemacu kinerja, seperti yang ditunjukkan tabel berikut ini.
Tabel 4.3
Ukuran Hasil dan Ukuran Pemacu Kinerja untuk Setiap Sasaran Strategik
Ukuran Strategik
Sasaran Strategik
Ukuran Hasil (Lag
Ukuran Pemacu
Indicators)
Kinerja (Lead
Indicators)
Perspektif Keuangan
 Produktivitas
Modal  Peningkatan Omset
 RKAP
Kerja
 Pertumbuhan Omset
 Surplus Meningkat
 RKAP
 Peningkatan
Bauran  Peningkatan
 RKAP
Pendapatan
Pendapatan
Sewa
Modal dan Diluar
Sewa Modal
Perspektif Customer
 Meningkatkan Kepuasan  Kepuasan Customer
 Survei
Customer
Kepuasan
Customer
 Brand Equity
 Peningkatan
Value  Profitabilitas
bagi Customer
Customer

Meningkatan Preferensi 
Masyarakat
terhadap
Jasa Pegadaian
Perspektif Proses Bisnis
Internal
 Pelayanan yang Prima 
(Adi Layanan)

Perbaikan
Sistem 
Operasional Pelayanan
Perspektif Pembelajaran
& Pertumbuhan
 Meningkatkan

Kapabilitas Karyawan


Meningkatkan
Komitmen Karyawan

Persentase Pendapatan 
dari Customer
Akuisisi
Customer
Tangible, Reliability, 
Responsive,
Assurance, Empathy
Efektivitas
Siklus 
Operasional
Survei
Kepuasan
Customer
Respond Time
Revenue
per 
Employee
Persentase Keluarnya 
Karyawan Pemegang
Jabatan Kunci
Kepuasan Karyawan

Produktivitas
karyawan
Retensi
Karyawan
Survei
Kepuasan
Karyawan
3. Penentuan Target
Penentuan target merupakan suatu peroses yang dapat dilakukan pada
saat penyusunan rencana strategik, tetapi penentuan ini sifatnya sementara.
Penentuan target bertujuan untuk menandai keberhasilan pencapaian sasaran
strategik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.4
Ukuran Hasil, Ukuran Pemacu Kinerja untuk
Setiap Sasaran Strategik dan Target
Ukuran Strategik
Sasaran Strategik
Ukuran Hasil (Lag
Ukuran
Indicators)
Pemacu
Kinerja (Lead
Indicators)
Perspektif Keuangan
 Produktivitas Modal  Peningkatan
 RKAP
Kerja
Omset
 Pertumbuhan Omset
 Surplus
 RKAP
Meningkat
 Peningkatan Bauran  Peningkatan
 RKAP
Target
80%/th
80%/th
80%/th
Pendapatan
Pendapatan Sewa
Modal
dan
Diluar
Sewa
Modal
Perspektif Customer
 Meningkatkan
Kepuasan Customer

Kepuasan
Customer


Peningkatan

Value
bagi
Customer
Persentase

Pendapatan dari
Customer
Brand Equity

Meningkatan

Preferensi
Masayarakat terhadap
Jasa Pegadaian
Perspektif Proses Bisnis
Internal
 Pelayanan
yang 
Prima (Adi Layanan)

Perbaikan
Sistem 
Operasional
Pelayanan
Perspektif
Pembelajaran
&
Pertumbuhan
 Meningkatkan

Kapabilitas
Karyawan


Meningkatkan
Komitmen Karyawan

Tangible,
Reliability,
Responsive,
Assurance,
Empathy
Efektivitas
Siklus
Operasional
Revenue
Employee
Persentase
keluarnya
Karyawan
Pemegang
Jabatan Kunci
Kepuasan
Karyawan

Survei
Kepuasan
customer
Profitabilit
as
Customer
Akuisisi
Customer
40%/th

Survei
Kepuasan
Customer
40%/th

Respond
Time
15 menit
per
transaksi
Produktivit
as
karyawan
Retensi
Karyawan
Rp
50
juta/th
Survei
Kepuasan
Karyawan
50%/th
per 


Rp
rb/th
350
25%/th
< 10%/th
4. Perumusan Inisiatif Strategik
Inisiatif strategik merupakan action program yang bersifat strategik
untuk mewujudkan sasaran strategik. Inisiatif strategik dirumuskan dengan
membuat suatu pernyataan kualitatif yang berupa langkah besar yang akan
dilaksanakan dimasa depan untuk mewujudkan sasaran strategik. Oleh karena
sasaran-sasaran strategik yang terdapat dalam perspektif keuangan merupakan
hasil perwujudan dari berbagai sasaran strategik di perspektif customer,
proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan organisasi maka
dalam perumusan inisiatif strategik hanya dirumuskan dari tiga perspektif
tersebut. Rumusannya dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.5
Sasaran Strategik dan Inisiatif Strategik untuk Mewujudkannya
Sasaran Strategik
Inisiatif Strategik
Perspektif Keuangan
 Produktivitas Modal Kerja
 Pertumbuhan Omset
 Peningkatan Bauran Pendapatan
Perspektif Customer
 Meningkatkan Kepuasan Customer
 Pembangunan
Hubungan
Berkualitas dengan Customer
 Brand Equity
 Pembangunan Citra dan Nama
Baik Perusahaan
 Meningkatkan Preferensi Masyarakat  Pembangunan Atribut Jasa
terhadap Jasa Pegadaian
Perspektif Proses Bisnis Internal
 Pelayanan yang Prima (Adi Layanan)  Pedoman atau Juklak
 Perbaikan Sistem Operasional
 Pegadaan Sarana dan Prasarana
Perspektif
Pembelajaran
&
Pertumbuhan
 Meningkatkan Kapabilitas Karyawan  Pengembangan Sumber Daya
Manusia
 Meningkatkan Komitmen Karyawan
 Peningkatan Kualitas Hidup
Kerja
5. Pengukuran
Kinerja
Masing-masing
Perspektif
dalam
Balanced
Scorecard
Pengukuran kinerja dalam Balanced Scorecard meliputi 4 (empat)
perspektif yaitu perspektif keuangan, perspektif customer, perspektif proses
bisnis internal, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Masing-masing
pengukuran keempat perspektif untuk Perum Pegadagaian Cabang Gading
Surakarta dilakukan sebagai berikut ini.
a. Perspektif Keuangan
Tolok ukur yang digunakan untuk menilai perspektif keuangan adalah
sebagai berikut ini
1) Omset
Pertumbuhan omset dapat dinilai dengan membandingkan antara
realisasi dengan target.
Tabel 4.6
Tingkat Pertumbuhan Omset
Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta
Tahun 2001-2003
2001
2002
2003
Realisasi
14.232.839.700
19.595.429.000 18.871.191.300
Target
10.665.242.000
17.039.824.000 22.163.750.000
Pertumbuhan
133,45%
114,99%
85,14%
omset
Sumber:Sub Seksi Operasi dan Pengembangan (OPP)
Tabel 4.6 menunjukkan tingkat pertumbuhan omset Perum
Pegadaian Cabang Gading Surakarta selama tahun tiga tahun. Ratarata pertumbuhan selama tiga tahun sebesar 111,19%. Hal ini
menunjukkan bahwa selama tiga tahun tersebut target omset yang
telah ditetapkan hampir seluruhnya terealisasi.
2) Surplus Laba/Rugi Usaha
Surplus laba/rugi usaha dapat dinilai dengan membandingkan antara
target dan relisasi
Tabel 4.7
Tingkat Surplus Laba/Rugi Usaha
Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta
Tahun 2001-2003
2001
2002
2003
Realisasi
1.033.345.073
1.533.230.383
745.932.008
Target
917.957.780
1.240.014.088 1.839.876.460
Surplus
112,57%
123,65%
40,54%
laba/rugi usaha
Sumber: Sub Seksi Operasi dan Pengembangan (OPP)
Tabel 4.7 menunjukkan tingkat surplus laba/rugi usaha Perum
Pegadaian Cabang Gading Surakarta selama tiga tahun. Rata-rata
tingkat surplus laba/rugi usaha selama tiga tahun sebesar 93,78%.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat surplus laba rugi usaha selama
tiga tahun tersebut hampir seluruhnya terealisasi sesuai dengan target
yang telah ditetapkan.
3) Bauran Pendapatan
Pertumbuhan
bauran
pendapatan
dapat
dinilai
dengan
membandingkan antara realisasi dengan target.
Tabel 4.8
Tingkat Pertumbuhan Bauran Pendapatan
Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta
Tahun 2001-2003
2001
2002
2003
Realisasi
1.280.370.128 1.906.249.865 1.917.537.057
Target
1.109.313.921 1.536.444.154 2.287.499.838
Pertumbuhan
115,42%
124,05%
83,83%
bauran pendapatan
Sumber: Sub Seksi Operasi dan Pengembangan (OPP)
Tabel 4.8 menunjukkan tingkat pertumbuhan bauran pendapatan pada
Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. Rata-rata pertumbuhan
pendapatan selama tiga tahun sebasar 107,77%. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat pertumbuhan bauran pendapatan hampir seluruhnya
melebihi target yang telah ditetapkan.
b. Perspektif Customer
Tolok ukur yang digunakan untuk mengukur perspektif customer adalah
sebagai berikut ini.
1) Kepuasan Customer
Kepuasan customer (nasabah) pada Perum Pegadaian diukur dengan
menggunakan kuesioner. Kepuasan nasabah ini meliputi kepuasan
terhadap lima dimensi kualitas jasa yaitu tangible, reliability,
responsive, assurance, empathy. Jumlah responden yang diberikan
kuesioner sebanyak 180 orang dengan jumlah pertanyaan yang
diberikan kepada responden sebanyak 10 pertanyaan sehingga ratarata jawaban riil setiap responden untuk seluruh pertanyaan dibagi
dengan 10 dan dapat di deskirpsikan sebagai berikut ini.
Tabel 4.9
Tingkat Kepuasan Nasabah
Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta
Tingkat Kepuasan
Rentang Nilai
Frekuensi
Prosentase
Sangat Tidak Puas
1,0 - 1,9
0%
Tidak Puas
2,0 - 2,9
15
8,34%
Cukup Puas
3,0 - 3,9
121
67,22%
Puas
4,0 - 4,9
44
24,44%
Sangat Puas
5,0
0%
Jumlah
180
100%
Tabel 4.9 menunjukkan tingkat kepuasan nasabah terhadap kualitas
jasa yang diberikan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading
Surakarta. Dari tabel tersebut tingkat kepuasan konsumen sebesar
24,44% atau berdasarkan pada responden yang menjawab puas.
2) Profitabilitas Customer
Profitabilitas customer dapat dinilai dengan membandingkan
pendapatan jasa dengan jumlah konsumen (nasabah).
Tabel 4.10
Profitabilitas Customer
Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta
Tahun 2001-2003
2001
2002
2003
Pendapatan jasa
1.280.370.128 1.906.249.865 1.917.537.057
Jumlah nasabah
3.265
3.989
4.321
Profitabilitas
392.150
477.877
443.772
customer
Sumber: Sub Seksi OPP dan Sub Seksi Keuangan, data diolah
Tabel 4.10 menunjukkan profitabilitas customer pada Perum
Pegadaian Cabang Gading Surakarta selama tiga tahun. Rata-rata
profitabilitas customer selama tiga tahun sebesar Rp 437.933. hal ini
menunjukkan bahwa setiap satu nasabah dapat menghasilkan
pendapatan usaha pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta
rata-rata sebesar Rp 437.933 per tahun.
3) Akuisisi Customer
Akuisisi customer dapat dilakukan dengan membandingkan jumlah
customer dari tahun ke tahun. Jika terdapat peningkatan jumlah
customer maka perusahaan mampu memperoleh customer baru.
Tabel 4.11
Tingkat Akuisisi Customer
Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta
Tahun 2001-2003
2001
2002
2003
Jumlah nasabah
3.265
3.989
4321
Prosentase
22,17%
8,32%
Sumber: Sub Seksi Operasi dan Pengembangan (OPP), data diolah
Tabel 4.11 menunjukkan jumlah tingkat akusisi customer pada
Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta selama tiga tahun. Ratarata akuisisi customer selama tiga tahun sebesar 15,25%. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat perolehan nasabah baru yang dapat
diperoleh oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta sebesar
rata-rata 15,25% per tahun.
c. Perspektif Proses Bisnis Internal
Tolok ukur yang digunakan dalam mengukur perspektif proses bisnis
internal adalah sebagai berikut ini.
1) Respond Times
Respond times dapat diukur berdasarkan waktu pelayanan yang
diberikan kepada nasabah.
Tabel 4.12
Waktu Pelayanan Nasabah
Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta
Tahun 2001-2003
2001
2002
Respond times
20 menit
20 menit
Sumber:Sub Seksi Operasi dan Pengembangan (OPP)
2003
15 menit
Tabel 4.12 menunjukkan respond times pelayanan kepada para
nasabah pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta selama
tiga tahun. Rata-rata respond times selama tiga tahun yaitu 18 menit.
Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan atau efektivitas pelayanan
yang bisa diberikan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta
rata-rata 18 menit setiap transaksi.
d. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Tolok ukur yang digunakan untuk mengukur perspektif Pembelajaran
dan Pertumbuhan adalah sebagai berikut ini.
1) Produktivitas Karyawan
Produktivitas karyawan dapat dinilai dengan membandingkan antara
laba usaha dengan jumlah karyawan.
Tabel 4.13
Produktivitas Karyawan
Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta
Tahun 2001-2003
2001
2002
2003
Laba usaha
1.033.345.073 1.533.230.383
745.932.008
Jumlah karyawan
8
9
11
Produktivitas
129.168.134
170.358.931
67.812.000
karyawan
Sumber: Sub Seksi Kepegawaian dan Sub Seksi Keuangan, data diolah
Tabel 4.13 menunjukkan tingkat produktivitas karyawan Perum
Pegadaian Cabang Gading Surakarta selama tiga tahun. Rata-rata
produktivitas karyawan Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta
selama tiga tahun sebesar Rp 122.446.355. Hal ini menunjukkan
bahwa setiap karyawan pada Perum Pegadaian Cabang Gading
Surakarta dapat menghasilkan laba usaha rata-rata sebesar Rp
122.446.355 per tahun.
2) Retensi Karyawan
Retensi karyawan dapat dinilai dengan membandingkan antara
jumlah karyawan masuk (keluar) dengan jumlah total karyawan.
Tabel 4.14
Tingkat Retensi Karyawan
Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta
Tahun 2001-2003
2001
2002
Jumlah karyawan
8
8
Karyawan masuk
1
Karyawan keluar
Retensi Karyawan
0%
12,5%
Sumber:Sub Seksi Kepegawaian, data diolah
2003
9
2
22,22%
Tabel 4.14 menunjukkan tingkat retensi karyawan pada Perum
Pegadaian Cabang Gading Surakarta selama tiga tahun rata-rata
retensi karyawan selama tiga tahun sebesar 11,57%. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat keluar masuknya karyawan rata-rata
sebesar 11,57% per tahun.
3) Kepuasan Karyawan
Kepuasan karyawan pada Perum Pegadaian Cabang Gading
Surakarta diukur dengan menggunakan kuesioner. Kepuasan
karyawan ini meliputi kepuasan terhadap atribut-atribut pada Perum
Pegadaian Cabang Gading Surakarta yaitu: semangat kerja,
lingkungan kerja, motivasi, komunikasi, dan kondisi fisik kerja.
Jumlah responden yang diberikan kuesioner sebanyak 11 orang
dengan jumlah pertanyaan yang diberikan kepada responden
sebanyak 12 pertanyaan sehingga rata-rata jawaban riil setiap
responden untuk seluruh pertanyaan dibagi dengan 12 dan dapat di
deskirpsikan sebagai berikut ini.
Tabel 4.15
Tingkat Kepuasan Karyawan
Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta
Tingkat Kepuasan
Rentang Nilai
Frekuensi
Prosentase
Sangat Tidak Puas
1,0 - 1,9
0%
Tidak Puas
2,0 - 2,9
0%
Cukup Puas
3,0 - 3,9
7
63,64%
Puas
4,0 - 4,9
4
36,36%
Sangat Puas
5,0
0%
Jumlah
11
100%
Tabel 4.15 menunjukkan tingkat kepuasan nasabah terhadap atributatribut pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. Dari tabel
tersebut tingkat kepuasan karyawan sebesar 36,36% atau berdasarkan
pada responden yang menjawab puas.
6. Hasil Penilaian Kinerja
Kinerja yang telah direncanakan kemudian diwujudkan melalui sistem
pengelolaan kinerja. Dalam sistem pengelolaan kinerja, kinerja yang
sesungguhnya diukur dan dicatat kemudian dianalisis dan dinilai untuk
memberikan umpan balik terhadap personel yang bertanggung jawab. Hasil
penilaian kinerja berdasarkan Balanced Scorecard dapat dilihat dalam tabel
berikut ini.
Tabel 4.16 menunjukkan perbandingan antara sasaran strategik, ukuran
hasil, ukuran pemicu, target serta hasil dari pengukuran kinerja serta bobot
nilai dari masing-masing perspektif. Hasil penilaian kinerja manajemen diatas
merupakan hasil analisa dari data-data yang tersaji. Hasil penilaian
menunjukkan dari perspektif keuangan rata-rata bisa melebihi target yang
direncanakan, sehingga semua mendapatkan skor 1 atau “baik”. Perspektif
customer kinerjanya kurang baik karena hanya dari tolok ukur profitabilitas
customer yang bisa melampaui target yang direncanakan, sehingga
mendapatkan total skor -1 atau “kurang baik”. Perspektif proses bisnis
internal kinerjanya juga kurang baik karena masih dibawah target yang
direncanakan sehingga mendapatkan total skor -2 atau “kurang baik”. Untuk
perspektif
pembelajaran
dan
pertumbuhan
kinerjanya
“baik”
atau
mendapatkan total skor 1 karena hanya pada tolok ukur karyawan yang masih
dibawah target yang direncanakan meskipun retensi karyawan juga dibawah
target tetapi retensi karyawan ini dikarenakan adanya penambahan karyawan
atau karyawan masuk, sehingga jika ada penambahan karyawan berarti
jumlah nilai barang jaminan semakin tinggi.
Adapun usaha-usaha yang perlu dilakukan oleh Perum Pegadaian
Cabang Gading Surakarta agar bisa mencapai sasaran strategik seperti yang
telah ditargetkan maka Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta perlu
menjalankan inisiatif strategik seperti yang telah dirumuskan pada tabel 4.5.
Untuk menjalankan inisiatif strategik tersebut dapat dilakukan dengan
program atau langkah-langkah sebagai berikut ini.
a. Perspektif Keuangan
Dalam perspektif ini tidak dirumuskan mengenai inisiatif strategik yang
perlu diambil agar sasaran strategiknya dapat terwujud karena rumusan
perspektif nonkeuangan (customer, proses bisnis internal, pembelajaran
dan pertumbuhan) semua berdampak pada perspektif keuangan. Namun
ada beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk dapat memaksimalkan
kinerja perspektif keuangan:
1) optimalisasi modal kerja, artinya melalui pemberian pinjaman modal
kepada seluruh lapisan masyarakat diharapkan modal kerja yang
diberikan bisa lebih optimal.
2) maksimalkan perolehan pendapatan, artinya dari setiap jasa layanan
yang diberikan kepada masyarakat yaitu jasa gadai, jasa taksiran, dan
jasa titipan dapat diberikan secara optimal kepada masayarakat
sehingga dapat memaksimalkan pendapatan.
b. Perspektif Customer
Perspektif customer adalah perspektif yang penting yang perlu
diperhatikan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta karena
kegiatan usaha yang dilakukan berupa pemberian layanan jasa kredit atas
dasar hukum gadai berhubungan langsung dengan customer. Adapun
langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk memaksimalkan kinerja
perspektif customer adalah sebagai berikut ini.
1) penemuan kembali keunggulan perusahaan agar jasa yang dihasilkan
tetap menjadi pilihan. Seperti yang kita ketahui keuanggulan yang
dimiliki oleh Perum Pegadaian adalah syarat yang mudah dan bunga
yang rendah, maka hal tersebut perlu dipertahankan agar masyarakat
tetap memperoleh kemudahan dalam mendapatkan kredit sehingga
masyarakat memiliki loyalitas terhadap Perum Pegadaian.
2) pembangunan hubungan yang berkualitas dengan customer, artinya
hubungan yang dirasakan oleh customer yang bisa dinilai
berdasarkan atas kepuasan konsumen terhadap kualitas jasa yang
diberikan oleh Perum Pegadaian (tangibles, reliability, responsive,
assurance, empathy).
c. Perspektif Proses Bisnis Internal
Langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk dapat memaksimalkan
kinerja dalam perspktif proses bisnis internal adalah sebagai berikut ini.
1) tetap dipertahankannya pelayanan prima (Adi Layanan), artinya
pemberian pelayanan yang disesuaikan dengan segmen customer,
demografi, geografi dan potensi daerahnya terjadi operasionalisasi
tanpa mengurangi arti pentingnya pelayanan prima.
2) perbaikan sistem operasional pelayanan sehingga efektivitas siklus
operasional yaitu siklus waktu pelayanan optimal yang mampu
diberikan perusahaan terhadap customernya. Perbaikan ini mencakup
pada aspek kecermatan dan kecepatan pelayanan.
d. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Dalam perspektif ini sebenarnya ada beberapa langkah yang telah
diambil dan perlu dipertahankan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading
Surakarta untuk dapat meningkatkan komitmen dan kapabilitas
karyawan, antara lain sebagai berikut ini.
1) memberikan kesempatan pada karyawan untuk mengikuti training
dan pelatihan yang diadakan oleh Kantor Wilayah.
2) mengajukan usulan kenaikan jabatan bagi karyawan
3) pemberian fasilitas kredit yang bisa diangsur setiap tahun dengan
jangka waktu pelunasan yang tidak terlalu singkat.
7. Pengukuran Kinerja Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta
Kinerja Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta jika didasarkan
pada penilaian SE Direksi Perum Pegadaian yaitu SE No. 12. OPP 1/18 tahun
1999 tanggal 7 Mei 1999 mengenai pengukuran kinerja. Kinerja Perum
Pegadaian selama tiga tahun kurang baik karena rata-rata keempat variabel
yang digunakan sebagai pengukuran kinerja pada tahun 2003 mengalami
penurunan jika dibandingkan dua tahun sebelumnya. Pertumbuhan pada tahun
2001 sebesar 133,45% pada tahun 2002 mengalami penurunan menjadi
114,99% dan pada tahun 2003 juga mengalami penurunan menjadi 85,14%,
sehingga untuk pertumbuhan omset diberi skor -1 atau “kurang”. Sedangkan
untuk surplus pada tahun 2001 tingkat pertumbuhannya sebesar 112,57%,
pada tahun 2002 mengalami peningkatan menjadi 123,65% namun pada
tahun 2003 penurunanya sangat besar sekali yaitu menjadi 45,13%, sehingga
untuk surplus kantor cabang diberi skor -1 atau “kurang”. Nilai barang
jaminan selama tiga tahun jumlahnya juga fluktuatif, pada tahun 2001 nilai
barang jaminan jumlahnya sebesar Rp 14.214.839.700, pada tahun 2002
mengalami peningkatan menjadi Rp 19.438.969.200 namun pada tahun 2003
mengalami penurunan menjadi Rp 12.690.519.000 atau turun sebesar
34,72%, sehingga untuk nilai barang jaminan juga diberi skor -1 atau
“kurang”. Untuk formasi karyawan di sini bagus karena terus mengalami
penambahan yaitu pada tahun 2002 menambah 1 (satu) orang dan pada tahun
2003 menambah 2 (dua) orang sehingga diberi skor 1 atau “baik”.
8. Perbandingan Pengukuran Kinerja pada Perum Pegadaian Cabang
Gading Surakarta dengan Pengukuran Kinerja dalam Balanced
Scorecard
Perbandingan pengukuran kinerja pada Perum Pegadaian Cabang
Gading
Surakarta
dengan
Balanced
Scorecard
dipergunakan
untuk
mengetahui tentang aspek-aspek mana saja yang belum diperhatikan dalam
pengukuran kinerja yang dilakukan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading
Surakarta jika dibandingkan dengan pengukuran dengan menggunakan
konsep
Balanced
Scorecard
sehingga
dapat
dipergunakan
sebagai
pertimbangan dalam menyempurnakan penilaian kinerja pada Perum
Pegadaian Cabang Gading Surakarta. Adapun perbedaan bentuk sistem
pengukuran kinerja tersebut adalah sebagai berikut ini.
Tabel 4.17
Perbandingan Pengukuran Kinerja Perum Pegadaian Cabang Gading
Surakarta dengan Pengukuran Kinerja dalam Balanced Scorecard
Perum Pegadaian
Balanced Scorecard
Cabang Gading
Surakarta
Kriteria
Bobot
Perspektif
Bobot
Keuangan
Keuangan
-1
1
 Pertumbuhan omset
 Peningkatan omset
-1
1
 Surplus laba rugi
 Surplus meningkat
1
 Peningkatan bauran
pendapatan
Customer
-1
 Kepuasan customer
-1
 Value bagi customer
1
 Persentase
pendapatan
dari
customer
Operasional
Kantor
Proses Bisnis Internal
Cabang
-1
-1
 Nilai Barang Jaminan
 Tangible, Reliability,
Responsive,
Assuransce, Empathy
-1
 Efektivitas
siklus
operasional
Produktivitas Karyawan
Pembelajaran
dan
Pertumbuhan
1
1
 Hak formasi karyawan
 Revenue
per
Employee
1
 Persentase keluarnya
karyawan pemegang
jabatan kunci
-1
 Kepuasan karyawan
Total
-2
1
Tabel 4.17 menunjukkan hasil perbandingan penilaian kinerja yang
dilakukan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta dengan konsep
Balanced Scorecard yang didasarkan penilaian dengan skor. Dari penilaian skor
dari masing-masing pengukuran kinerja menunjukkan pengukuran kinerja pada
Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta memiliki total bobot skor -2 dari total
bobot standar 4 karena terdiri dari empat variabel penilaian, sehingga rata-rata
skor adalah -0,5 atau “kurang”. Sedangkan untuk pengukuran kinerja dengan
Balanced Scorecard memiliki total bobot skor 1 dari total bobot standar 11 karena
terdiri dari sebelas ukuran hasil, sehingga rata-rata skor adalah 0,09 atau “cukup”.
Langkah selanjutnya adalah membuat skala untuk menilai dari total skor
untuk menilai dari total skor tersebut sehingga kinerja perusahaan dapat dikatan
“kurang”, “cukup” dan “baik serta menentukan batas daerah “kurang”, “cukup”
dan “baik”. Dengan menggunakan asumsi bahwa kinerja yang “kurang adalah
kurang dari 50% (skor 0) dan kinerja dikatakan baik adalah jika lebih dari 80%
diasumsikan bahwa 80% adalah sama dengan 0,6. Sisanya adalah daerah “cukup”,
yaitu antara 0 - 0,6. Berikut gambar kinerja Perum Pegadaian Cabang Gading
Surakarta
KURANG
0%
RKAP
-1
-0,5
CUKUP
50% BSC
0
0,09
BAIK
80%
0,6
100%
1
Gambar 4.2 Kinerja Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta
Dengan demikian dapat diartikan bahwa
kinerja Perum Pegadaian Cabang
Gading Surakarta setelah menerapkan Balanced Scorecard terletak di daerah
“cukup” karena nilainya 0,09 atau terletak antara 0 - 0,6. Sedangkan sebelum
menerapkan Balanced Scorecard terletak di daerah “kurang” karena nilainya -0,5
atau terletak dibawah 50%. Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa
penilaian
kinerja
Perum
Pegadaian
Cabang
Gading
Surakarta
dengan
menggunakan Balanced Scorecard selama tiga tahun menunjukkan hasil yang
jauh berbeda dengan pengukuran kinerja yang dilakukan oleh Perum Pegadaian
Cabang Gading Surakarta. Dalam tabel 4.17 tersebut kita juga bisa melihat aspekaspek mana yang belum diperhatikan oleh Perum Pegadaian Surakarta dalam
melakukan pengukuran kinerjanya, selain itu pengukuran yang dilakukan oleh
Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta lebih fokus ke internal perusahaan
sehingga hasil pengukuran kinerjanya belum menggambarkan kinerja Perum
Pegadaian secara keseluruhan.
9. Masalah-masalah yang Dihadapi dalam Penerapan Balanced Scorecard
pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta
Masalah-masalah yang dihadapi dalam penerapan Balanced Scorecard
pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta adalah sebagai berikut ini.
a. Kesulitan dalam menentukan tolok ukur, sasaran strategik, ukuran
strategik, target dan inisiatif strategik masing-masing perspektif karena
seperti yang kita ketahui Perum Pegadaian merupakan perusahaan BUMN
yang bergerak di bidang jasa layanan kredit melalui hukum gadai
sehingga Perum Pegadaian tidak sepenuhnya merupakan perusahaan yang
profit oriented sehubungan dengan tugas-tugas sosial yang dibebankan
oleh pemerintah. Sedangkan seperti yang kita ketahui konsep Balanced
Scorecard yang dikembangkan oleh Kaplan dan Norton lebih ditekankan
pada perusahaan bisnis (profit oriented) dan kebanyakan penelitianpenelitian mengenai Balanced Scorecard penerapannya pada perusahaan
bisnis.
b. Balanced Scorecard merupakan sistem pengukuran kinerja yang
kontemporer atau modern dan belum banyak orang yang mengetahuinya
termasuk juga para staf karyawan pada Perum Pegadaian Cabang Gading
Surakarta, sehingga dibutuhkan pemberian pemahaman kepada para
pegawai atau sumber daya manusia seandainya Balanced Scorecard
diterapkan sebagai alat ukur kinerja pada Perum Pegadaian Cabang
Gading Surakarta
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Praktek pengukuran kinerja pada Perum Pegadaian Cabang Gading
Surakarta secara umum dapat dikatakan cukup memadai karena selain pengukuran
aspek keuangan perusahaan, Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta juga
sudah menerapkan pengukuran aktivitas perusahaan dari segi nonkeuangan. Hal
ini dapat dilihat dari penilaian operasional kantor cabang berdasarkan nilai barang
jaminan serta penilaian produktivitas karyawan berdasarkan hak formasi. Hanya
saja, ukuran keuangan dan nonkeuangan yang digunakan dalam mengukur kinerja
Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta kurang terpadu. Keterpaduan ini
disebabkan karena ukuran nonkeuangan yang digunakan hanya dianggap sebagai
pelengkap dari ukuran keuangan. Akibatnya aspek nonkeuangan kurang
mendapatkan perhatian yang serius. Keberadaan aspek nonkeuangan yang telah
ada selama ini kurang dimanfaatkan secara maksimal, padahal dalam aspek
nonkeuangan inilah kunci keberhasilan dari aspek keuangan yang diharapkan oleh
perusahaan.
Sistem perencanaan perusahaan banyak yang hanya mengandalkan
anggaran tahunan. Begitu juga dengan sistem perencanaan Perum Pegadaian
Cabang Gading Surakarta yang hanya mengandalkan pada anggaran tahunan
dalam membawa perusahaan menuju ke masa depan akan menghasilkan langkahlangkah kecil yang berdimensi waktu satu tahun atau kurang. Sistem anggaran
sebagai satu-satunya alat perencanaan mengakibatkan personel berpandangan
jangka pendek dalam menuju ke masa depan.
Berdasarkan situasi dan kondisi yang ada pada Perum Pegadaian Cabang
Gading Surakarta saat ini, penulis menyimpulkan bahwa perusahaan mempunyai
peluang untuk menerapkan konsep Balanced Scorecard dalam proses bisnisnya
serta sistem pengukuran kinerja dengan menggunakan Balanced Scorecard lebih
baik jika dibandingkan dengan sistem pengukuran kinerja yang dilakukan oleh
Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. Terlepas dari kelemahan-kelemahan
pengukuran kinerja yang selama ini diterapkan oleh Perum Pegadaian Cabang
Gading Surakarta dan masalah-masalah yang dihadapi dalam penerapan Balanced
Scorecard yaitu: kesulitan dalam penentuan tolok ukur dan masih minimnya
pengetahuan para karyawan mengenai Balanced Scorecad, Perum Pegadaian
Cabang Gading Surakarta sebenarnya memiliki potensi untuk mengaplikasikan
konsep Balanced Scorecard. Elemen-elemen penting yang diperlukan dalam
konsep Balanced Scorecard seperti sumber daya manusia, sumber daya finansial
dan fisik, bagi aspek keuangan sampai dengan proses pembelajaran dan
pertumbuhan, telah cukup dimiliki oleh Perum Pegadaian Cabang Gading
Surakarta. Disamping itu, perusahaan sendiri tampaknya juga mempunyai
kemampuan untuk mewujudkan elemen-elemen penting Balanced Scorecard yang
saat ini tidak atau belum dimiliki oleh Perum Pegadaian Cabang Gading
Surakarta. Ini berarti dari segi teknis Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta
sudah memiliki potensi menggunakan Balanced Scorecard sebagai alternatif
pengukuran kinerja.
B. Saran
Saran yang akan penulis ajukan berdasarkan kesimpulan diatas adalah
sebagai berikut ini.
1. Sistem perencanaan yang digunakan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading
Surakarta banyak mengandalkan anggaran tahunan sebagai alat perencanaan
masa depan perusahaan. Jika dalam lingkungan bisnis yang kompetitif dan
kompleks seperti saat ini perusahaan hanya mengandalkan anggaran tahunan
sebagai alat perencanaan masa depannya, maka perusahaan sangat rentan
dalam persaingan. Anggaran tahunan hanya akan menghasilkan langkahlangkah kecil ke depan yang hanya mempunyai masa pelaksanaan satu tahun
atau kurang. Hal-hal strategik seperti perumusan misi dan visi perusahaan
tidak akan dapat dijangkau jika perusahaan hanya menggunakan sistem
anggaran dalam sistem perencanaan. Supaya tetap eksis dalam lingkungan
bisnis yang kompetitif dan kompleks ini, penulis menyarankan agar Perum
Pegadaian Cabang Gading Surakarta menggunakan tipe perencanaan yang
tidak hanya sekedar untuk merespon perubahan yang diperkirakan akan terjadi
di masa depan, namun lebih dari itu Perum Pegadaian Cabang Gading
Surakarta memerlukan tipe perencanaan untuk menciptakan masa depan
perusahaan melalui perubahan yang dilaksanakn sejak saat ini. Tipe
perencanaan seperti ini bisa diwujudkan melalui penerapan konsep Balanced
Scorecard yang mempunyai sistem nilai penciptaan masa depan berdasarkan
kondisi yang diperkirakan akan terwujud dimasa depan.
2. Perum
Pegadaian
Cabang
Gading
Surakarta
dapat
mencoba
mengimplementasikan konsep Balanced Scorecard sebagai suatu alternatif
pengukuran kinerja dengan tujuan untuk memperbaiki kinerja keuangan
mereka, serta untuk mempengaruhi perubahan kultur yang ada dalam
perusahaan. Terjadinya perubahan kultur dalam perusahaan ini disebabkan
karena adanya perubahan sistem yang telah lama diterapkan oleh perusahaan
kepada suatu sistem baru dimana sistem baru ini dirancang untuk
melipatgandakan kinerja dengan empat perspektif yaitu perspektif keuangan,
perspektif customer, perspektif proses bisnis internal, serta perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan.
3. Balanced Scorecard perusahaan haruslah tidak menjadi sekedar gabungan dari
ukuran-ukuran finansial dan nonfinansial yang dikelompokkan ke dalam
empat perspektif. Scorecard hendaknya menjelaskan strategi perusahaan
secara keseluruhan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggabungkan ukuran
hasil dengan faktor pendorong kinerja melalui serangkaian hubungan sebab
akibat.
4. Balanced Scorecard yang dirumuskan hendaknya mengakaitkan misi dan
strategi perusahaan kepada berbagai sasaran dan ukuran yang eksplisit.
Balanced Scorecard tersebut harus dikomunikasikan kepada seluruh personel
dalam perusahaan, terutama para pekerja, manajer perusahaan. Tujuan dari
proses komunikasi adalah untuk menyelaraskan strategi dengan semua pekerja
di dalam perusahaan, maupun orang-orang kepada siapa perusahaan
bertanggung jawab (para manajer).
C. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan yang ada dalam penelitian ini yang kemungkinan dapat
menimbulkan gangguan terhadap penelitian ini adalah kemungkinan kurang
tepatnya ukuran yang digunakan dalam menentukan tolok ukur dari masingmasing perspektif, penentuan sasaran strategik yang ingin dicapai, target yang
ditetapkan, maupun perumusan inisiatif strategik yang dapat dilakukan. Scorecard
tersebut disusun oleh penulis berdasarkan asumsi pribadi yang didasarkan pada
konsep Balanced Scorecard, yang dipandang penulis paling mungkin dan mudah
untuk diterapkan oleh perusahaan. Karena itu scorecard tersebut bukanlah hasil
mutlak dari konsep Balanced Scorecard yang harus diterapkan secara persis.
Perusahaan masih perlu melakukan pengkajian atau studi lebih mendalam bila
ingin menghasilkan scorecard yang benar-benar tepat dan cocok dengan situasi
dan kondisi yang aktual dengan perusahaan.
Download