BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi yang sedang kita alami saat ini telah menjadikan dunia bisnis di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat, menjadikan perusahaan-perusahaan menyesuaikan diri dalam menghadapi pesaing-pesaing yang akan muncul. Kondisi ini memacu dunia usaha untuk lebih peduli terhadap strategi yang dijalankan. Perusahaan-perusahaan terus berupaya merumuskan dan menyempurnakan strategi-strategi bisnis mereka dalam rangka memenangkan persaingan. Menghadapi lingkungan yang dinamis dimana perubahan terjadi sangat pesat, maka perusahaan memerlukan pertimbangan terbaik di dalam membawa perusahaan atau organisasi menuju masa depan yang lebih baik. Pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi perusahaan karena pengukuran kinerja perusahaan merupakan usaha memetakan strategi kedalam tindakan pencapaian target tertentu (Giri, 1998). Sistem pengukuran kinerja dalam manajemen tradisional ditekankan pada aspek keuangan, karena ukuran keuangan ini mudah dilakukan sehingga kinerja personal yang diukur hanya berkaitan dengan aspek keuangan, seperti Return on Equity (ROE), Return on Invesment (ROI), profit margin, Economic Value Added (EVA) dan Residual Income (RI). Oleh karena itu dalam menghadapi lingkungan usaha yang dinamis tersebut perusahaan perlu melakukan pengukuran kinerja manajemen dari aspek nonkeuangan, yang selama ini diabaikan dalam manajemen tradisional. Kinerja dari aspek nonkeuangan tersebut antara lain: meningkatkan kepercayaan pelanggan terhadap layanan jasa perusahaan, peningkatan kompetensi dan komitmen karyawan, kedekatan hubungan kemitraan perusahaan dan pemasok, dan proses bisnis yang digunakan untuk melayani pelanggan. Balanced Scorecard merupakan suatu metode pengukuran kinerja yang tidak hanya mencerminkan kinerja keuangan saja, tetapi juga kinerja nonkeuangan yang meliputi: pelanggan, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan. Menurut Soetjipto dalam Indarti (2003) Balanced Scorecard tidak hanya mengukur hasil akhir atau outcome tetapi juga aktivitas-aktivitas penentu akhir. Secara umum terdapat empat perspektif dalam Balanced Scorecard, yaitu perspektif keuangan, perspektif customer, perpsektif proses bisnis internal, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan organisasi (Kaplan dan Norton, 1996:8). Kebutuhan perusahaan untuk mengimplementasikan Balanced Scorecard dipacu oleh faktor-faktor berikut ini (Mulyadi, 2001:24). 1. Lingkungan bisnis yang dimasuki oleh perusahaan sangat kompetitif dan turbulance (berubah sangat cepat). 2. Sistem manajemen yang digunakan oleh perusahaan tidak pas dengan tuntutan lingkungan bisnis yang dimasuki oleh perusahaan. Penelitian-penelitian mengenai penerapan Balanced Scorecard pada perusahaan telah banyak dilakukan. Nurhayati (2003) meneliti mengenai kemungkinan penerapan Balanced Scorecard pada perusahaan tekstil PT. Danliris Solo, berdasarkan hasil analisis PT. Danliris dimungkinkan untuk menerapkan Balanced Scorecard, karena setelah dilakukan penilaian kinerja dengan Balanced Scorecard kinerja perusahaan dikatakan “cukup baik” padahal sebelumnya kinerja perusahaan yang diukur dengan ukuran keuangan saja dikatakan “buruk”. Sulastri (2003) melakukan penelitian mengenai kemungkinan penerapan Balanced Scorecard pada perusahaan jasa yaitu rumah sakit. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa Rumah Sakit Islam Surakarta mempunyai keumungkinan untuk menerapkan Balanced Scorecard sebagai sistem penilaian kinerjan karena setelah adanya penerapan Balanced Scorecard, kinerja rumah sakit adalah “cukup baik”, padahal sebelumnya kinerja rumah sakit adalah “kuarng baik”. Penelitian mengenai penerapan Balanced Scorecard pada perusahaan jasa juga dilakukan oleh Indarti (2003), namun perusahaan tersebut adalah PT. Jasa Marga Cabang Jagorawi, berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa kinerja perusahaan akan lebih baik jika dinilai dengan menggunakan konsep Balanced Scorecard meskipun belum sempurna karena tidak adanya keseimbangan dari keempat perspektif dalam Balanced Scorecard. Penelitianpenelitian mengenai penerapan Balanced Scorecard tersebut lebih banyak ditekankan pada organisasi bisnis karena seperti yang kita ketahui konsep Balanced Scorecard yang dikembangkan oleh Kaplan dan Norton pada awalnya lebih menekankan pada perspektif bisnis (private). Dalam perkembangannya, konsep Balanced Scorecard sudah mulai diadopsi dalam sektor publik. Penerapan Balanced Scorecard pada sektor publik dimaksudkan untuk pemberdayaan institusi, pengambilan keputusan penganggaran yang lebih rasional, peningkatan kinerja, meningkatkan komunikasi kepada pihak-pihak berkepentingan (stakeholders), dan penyediaan data untuk benchmarking (Machfud, 2002). Pada dasarnya, pengembangan Balanced Scorecard baik pada sektor swasta maupun publik dimaksudkan untuk memberikan kepuasan bagi para pelanggan. Perbedaannya dapat dilihat dari tujuan maupun pihak-pihak yang berkepentingan. Penerapan Balanced Scorecard untuk sektor bisnis dimaksudkan untuk meningkatkan persaingan (competitiveness), sedangkan untuk sektor publik lebih menekankan pada nilai misi dan pencapaian (mission, value and effectiveness). Dari aspek keuangan, untuk sektor bisnis akan mengutamakan keuntungan, pertumbuhan dan pangsa pasar sedangkan sektor publik dimaksudkan untuk pengukuran produktivitas dan tingkat efisiensi. Demikian juga halnya dengan pihak-pihak yang berkepentingan, sektor bisnis akan lebih mengutamakan para pemegang saham, pembeli dan manajemen, sedangkan untuk sektor publik akan meliputi para pembayar pajak, pengguna jasa (recepients), legislatif (Machfud, 2002). Perum Pegadaian merupakan salah satu organisasi sektor publik yang memberikan jasa pinjaman dana atas dasar hukum gadai kepada masyarakat umum. Meskipun Perum Pegadaian perkembangannya dari tahun ke tahun cukup pesat dalam situasi lingkungan yang penuh dinamika mau tidak mau siap tidak siap Perum Pegadaian harus memandang ke depan dan mengantisipasinya agar tetap eksis dalam persaingan bisnis. Beberapa tantangan baru yang muncul antara lain era globalisasi dan telah disahkannya UU No. 5 tahun 1999 tentang UndangUndang anti monopoli yang menghapus segala bentuk sistem monopoli baik yang dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah dan swasta. Hal ini ini memberikan peluang besar dan kesempatan munculnya industri-industri baru dibidang perkreditan termasuk bisnis gadai, mengingat bisnis gadai sangat mudah ditiru dan mempunyai prospek yang menjanjikan. Pengukuran kinerja yang dilakukan oleh Perum Pegadaian selama ini lebih banyak ditekankan pada pengukuran kinerja keuangan sehingga dirasa belum cukup dalam menghadapi persaingan bisnis karena pengukuran kinerja keuangan hanya berorientasi pada jangka pendek, sedangkan untuk menghadapi persaingan perusahaan tidak dapat mengandalkan sistem pengukuran kinerja yang berorientasi pada jangka pendek, maka Perum Pegadaian membutuhkan suatu sistem pengukuran kinerja yang berorientasi jangka panjang dan tidak hanya mengukur kinerja keuangan tetapi juga nonkeuangan: customer, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan, sistem pengukuran kinerja tersebut terdapat dalam konsep Balanced Scorecard. Berdasarkan alasan tersebut penulis tertarik mengambil judul penelitian “Penerapan Balanced Scorecard sebagai Suatu Alternatif Pengukuran Kinerja pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas maka pokok permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut ini. 1. Apakah pengukuran kinerja dengan Balanced Scorecard lebih baik jika dibandingkan dengan pengukuran kinerja yang dilakukan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta ? 2. Masalah apa yang dihadapi dalam penerapan Balanced Scorecard sebagai pengukuran kinerja pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta ? C. Pembatasan Masalah Pembatasn masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Objek penelitian terbatas pada bagian operasional Perum Pegadaian yaitu Kantor Cabang Gading Surakarta. Dipilihnya bagian operasional Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta sebagai objek penelitian karena bagian operasional merupakan bagian yang terlibat secara langsung dengan aktivitas pemberian jasa yang diberikan Perum Pegadaian kepada para nasabahnya. 2. Tahun penelitian dalam pengkajian empat perspektif (perspektif keuangan, perspektif customer, perspektif proses bisnis internal, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan organisasi) terbatas pada 3 (tiga) tahun yang terhitung mulai dari tahun 2001 sampai dengan 2003, karena ketiga tahun tersebut merupakan gambaran kondisi terakhir dari Perum Pegadaian sehingga dianggap lebih representatif. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut ini. 1. Mengetahui kinerja Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta jika diukur dengan menggunakan konsep Balanced Scorecard. 2. Mengetahui masalah yang ada dari penerapan Balanced Scorecard pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut ini. 1. Memberikan gambaran mengenai kinerja Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta jika diukur dengan menggunakan Balanced Scorecard. 2. Memberi alternatif penilaian kinerja perusahaan yang komprehensif dengan menggunakan konsep Balanced Scorecard, yang mungkin dapat diterapkan dimasa yang akan datang. 3. Menambah sumbangan pemikiran dan bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya. F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ini. BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan peneltian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan. BAB II LANDASAN TEORI Dalam bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang berhubungan dengan sistem pengukuran kinerja serta sistem pengukuran kinerja perusahaan dengan menggunakan konsep Balanced Scorecard. BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai metode-metode yang digunakan dalam menganalisis data yang telah diperoleh. BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai anlisis data yang telah diperoleh dari temuan-temuan baik dari wawancara maupun peninjauan lapangan dan mengevalusi sistem pengukuran kinerja ditinjau dari konsep Balanced Scorecard. BAB V SIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan hasil penelitian yang telah dibahas dalam bab sebelumnya, saran-saran yang perlu disampaikan serta keterbatasan yang ada dalam penelitian yang ada. BAB II LANDASAN TEORI A. Sistem Pengukuran Kinerja Organisasi Sektor Publik 1. Pengertian Sistem Pegukuran Kinerja Organisasi Sektor Publik Pengukuran kinerja adalah penentuan secara periodik efektifitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi, dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya (Siegel dalam Gunawan, 2000). Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial. Sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai alat pengendalian organisasi, karena pengukuran kinerja dapat diperkuat dengan menetapkan reward and punishment (Mardiasmo, 2002:121). Pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga maksud. Pertama, pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja pemerintah. Ukuran kinerja dimaksudkan untuk dapat membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi sektor publik dalam pemebrian pelayanan publik. Kedua, ukuran kinerja sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan. Ketiga, ukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi pelanggan (Mardiasmo, 2002:121). 2. Tujuan Pengukuran Kinerja Organisasi Sektor Publik Secara umum, tujuan pengukuran kinerja sektor publik adalah sebagai berikut ini (Mardiasmo, 2002:122). a. Mengkomunikasikan strategi secara lebih baik (top down dan bottom up). b. Mengukur kinerja finansial dan non-finansial secara berimbang sehingga dapat ditelususr perkembangan pencapaian strategi. c. Mengakomodasi pemahaman kepentingan manajer level menengah dan bawah serta memotivasi untuk mencapai goal congruence. d. Alat untuk mencapai kepuasan berdasarkan pendekatan individual dan kemampuan kolektif rasional. 3. Manfaat Pengukuran Kinerja Organisasi Sektor Publik Menurut Mardiasmo (2002:122) manfaat dari pengukuran kinerja sektor publik adalah sebagai berikut ini. a. Memberikan pemahaman mengenai ukuran yang digunakan untuk menilai kinerja manajemen. b. Memberikan arah untuk mencapai target kinerja yang ditetapkan. c. Memonitor dan mengevaluasi pencapaian kinerja dan membandingkannya dengan target kinerja serta melakukan tindakan korektif untuk memperbaiki kinerja. d. Dasar untuk memberikan penghargaan dan hukuman (reward and punishemant) secara obyektif atas pencapaian prestasi yang diukur sesuai dengan sistem pengukuran kinerja yang telah disepakati. e. Alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam rangka memperbaiki kinerja organisasi. f. Membantu mengidentifikasikan apakah kepuasan pelanggan sudah terpenuhi. g. Membantu memahami proses kegiatan instansi pemerintah. h. Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara obyektif. 4. Pengukuran Kinerja Tradisional Perusahaan-perusahaan selama ini banyak yang menggunakan pengukuran kinerja yang lebih menekankan pada aspek keuangan saja, yaitu dengan membandingkan rasio keuangan dari waktu ke waktu. Jika terdapat peningkatan rasio keuangan, maka akan dikatakan baik. Perusahaan masih menggunakan tolok ukur keuangan dikarenakan tolok ukur keuangan dianggap praktis dan masih relevan untuk kepentingan jangka panjang. Padahal pengukuran kinerja yang hanya menekankan pada faktor keuangan saja mempunyai banyak keterbatasan. Kaplan dan Norton (1996:7) menyatakan kelemahan pengukuran kinerja tradisional, yaitu: a. Ketidakcukupan dalam pendokumentasian dari sistem pengukuran finansial tersebut. Kesulitan dalam menghitung nilai finansial untuk aktiva-aktiva seperti kapabilitas, proses, keahlian dan motivasi karyawan, loyalitas customer, dan sistem database akan membuat aktiva-aktiva ini tidak dicantumkan dalam neraca. b. Memfokuskan pada masa lalu. Ukuran finansial hanya menjelaskan berbagai peristiwa masa lalu yang cocok untuk perusahaan abad industri dimana investasi dalam kapabilitas jangka panjang dan hubungan dengan customer bukanlah faktor penting dalam mencapai keberhasilan. c. Ketidakmampuan merefleksikan nilai-nilai yang diciptakan dari tindakan kontemporer. Ukuran finansial oleh manajer senior seolah-olah semua ukuran ini mampu menjelaskan hasil operasi yang dilaksanakan oleh karyawan tingkat rendah dan menegah. Pengukuran kinerja keuangan akan mendorong manajer lebih banyak memperbaiki kinerja jangka pendek dan seringkali mengorbankan tujuan jangka panjang. Kinerja keuangan yang baik saat ini boleh jadi mengorbankan kepentingan-kepentingan jangka panjang perusahaan. Sebaliknya kinerja keuangan yang kurang baik saat ini bisa terjadi karena perusahaan melakukan investasi demi kepentingan jangka panjangnya (Wardhani dalam Sulistyowati, 2001). Dilihat dari banyaknya kelemahan dalam pengukuran kinerja tradisional yang hanya menitik beratkan pada aspek keuangan, Robert S. Kaplan dan David P. Norton mencoba melakukan pendekatan yang mengukur kinerja perusahaan dengan mempertimbangkan empat perspektif yaitu perspektif keuangan, perspektif customer, perspektif proses bisnis internal, serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan secara komprehensif. Pendekatan yang dilakukan tersebut berupa Balanced Scorecard. Balanced Scorecard menyeimbangkan antara ukuran eksternal dan ukuran internal. Perusahaan yang menerapkan Balanced Scorecard harus merumuskan visi, misi terlebih dahulu selanjutnya visi dan misi tersebut diterjemahkan dalam bentuk strategi untuk mencapai tujuan perusahaan. B. Visi, Misi dan Strategi Visi dirumuskan oleh para pendiri organisasi, tetapi juga dapat dibangun berdasarkan kesepakatan seluruh anggota organisasi dan menjadi suatu komitmen bersama (Sastrapratedja dalam Saptono dan Widanarto, 2002). Visi merupakan pernyataan yang memuat nilai-nilai yang dianggap paling penting, memberi corak khas, dan akan mewarnai setiap perilaku anggota organisasi. Visi akan memberikan arah organisasi tentang bagaimana organisasi memberdayakan dirinya dalam menghadapi tantangan perubahan. Visi yang baik adalah yang realistik untuk dicapai, mempersatukan dan memotivasi seluruh anggota (Stoner, et.al dalam Saptono dan Widanarto, 2002). Visi yang baik akan berperan sebagai sumber inspirasi dan komitmen yang mendorong perilaku dan kinerja baru bagi setiap personel organisasi dan menunjukkan jalan mereka mencapai solusi. Karenanya, tantangan terbesar bagi organisasi pada dekade mendatang adalah bagaimana menerjemahkan visi strategiknya ke dalam berbagai praktek yang dapat dieksekusi disemua jajaran perusahaan. Misi merupakan sasaran luas berdasarkan pada alasan perencanaan yang membenarkan keberadaan organisasi (Stoner et.al dalam Saptono dan Widanarto, 2002). Perbedaan antara visi dan misi adalah bahwa visi yang telah ditetapkan dapatlah berganti, bila entitas sudah dapat mencapainya sedangkan misi lebih menekankan pada situasi masa kini, tetapi cenderung relatif tetap dan relevan disepanjang waktu. Meskipun visi dan misi berbeda keduanya dapat disintesakan (Handoko dan Tjiptono dalam Saptono dan Widanarto, 2002). Hasil sintesa akan membentuk misi dan visi yang sifatnya komprehensif yang terdiri dari identitas dan ambisi. Analogi hasil sintesa selanjutnya dapat digambarkan seperti dua sisi pada mata uang logam yang sama. Visi dan Misi akan mendasari berbagai rencana strategik organisasi. Rencana stratejik merupakan jalan bertindak bagi organisasi untuk mewujudkan visi dan misi. Dalam rencana-rencana strategik akan berisi sekitar pernyataan strategik organisasi. Strategi organisasi yang dimaksud adalah rumusan yang memuat program yang luas untuk mencapai tujuan dan disusun sebagai respon terhadap lingkungan bisnis yang dinamis sepanjang waktu. Istilah strategi sendiri berasal dari bahasa Yunani “strategia” yang seperti seni atau ilmu menjadi seorang jenderal. Dengan strategi, seseorang jenderal yang efektif akan menggunakannya untuk memimpin tentara, memenangkan perang dan mempertahankan wilayah, melindungi kota dari serbuan musuh, menghancurkan musuh, dan lain-lain. Karenanya, secara implisit konsep strategi sejak zaman Yunani Kuno terkandung komponen perencanaan dan pembuatan keputusan. Menurut Kaplan dan Norton dalam Saptono dan Widanarto (2002) sebuah strategi adalah sekumpulan hipotesis tentang hubungan sebab akibat. Hubungan tersebut dapat dinyatakan dalam urutan pernyataan if-then (jika-maka). C. Pengukuran Kinerja Perusahaan dengan Konsep Balanced Scorecard 1. Sejarah Perkembangan Balanced Scorecard Balanced Scorecard berawal dari suatu penelitian selama satu tahun di beberapa perusahaan besar di Amerika yaitu: Advanced Micro Devices, American Standard, Apple Computer, Bell Swith, CIENA, Conner Periperals, Coy Research, Du Pont, Electronic Data Systems, General Electric, Hewlett Packard, dan Shell Canada. Pada tahun 1990 disponsori oleh Nolan Norton Insite, lembaga penelitian milik KPMG. Penelitian ini berjudul “Measuring Performance in the Organizing of the Future”, dan David Norton, CEO dari Nolan Norton, bertindak sebagai ketua tim peneliti sementara Bob Kaplan menjadi konsultan akademisnya. Studi dimotivasi oleh keyakinan bahwa model pengukuran kinerja perusahaan melalui akuntansi keuangan tidak lagi memadai dan bisa menghambat kemampuan perusahaan menciptakan nilai ekonomis dimasa yang akan datang (Sudibyo, 1997). Hasil dari penelitian tersebut diterbitkan dalam sebuah artikel yang berjudul “Measures that Drive Performance” di Havard Business Review edisi Januari-Februari 1992. Pengamatan lebih lanjut terhadap penerapan Balanced Scorecard di beberapa perusahaan menyadarkan Kaplan dan Norton bahwa Balanced Scorecard bisa dipakai lebih dari sekedar sistem pengukuran kinerja melainkan juga untuk mengkomunikasikan strategi baru dan menyebarluaskan organisasi terhadap strategi baru tersebut. Observasi ini mereka tulis dalam artikel yang berjudul “Putting the Balanced Scorecard to Work” di Havard Business edisi September 1993 (Kaplan dan Norton dalam Indarti, 2003). Pengamatan selanjutnya adalah pengamatan terhadap penggunaan banyak ukuran Balanced Scorecard yang satu sama lain dirangkai oleh satu seri, hubungan sebab akibat yang mengantarkan mereka pada kesimpulan baru, yaitu bahwa Balanced Scorecard dapat diterapkan untuk mengelola strategi. Tegasnya Balanced Scorecard adalah suatu sistem manajemen yang bisa dipakai sebagai kerangka sentral dalam berbagai proses manajerial penting seperti penentuan tujuan individu dan tim, pemberian kompensasi, alokasi sumber daya, perencanaan dan penganggaran, pemberian umpan balik strategis, dan pemberdayaan karyawan serta pertumbuhan iklim belajar dalam organisasi. Perkembangan baru ini mereka laporkan dalam artikel yang berjudul “Using the Balanced Scorecard as Strategic Management System” (Kaplan dan Norton, 1996 dalam Indarti, 2003). Laporan paling komprehensif tentang Balanced Scorecard mereka tulis dalam sebuah buku berjudul “The Balanced Scorecard Translating Strategy Into Action”, mereka berharap masih akan berkembang lebih lanjut. Terbukti dari pengakuan mereka bahwa buku tersebut masih berupa progress report (Sudibyo, 1997). Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa untuk mengukur kinerja masa depan diperlukan ukuran kinerja yang lebih komprehensif. Ukuran tersebut dinamakan Balanced Scorecard yang mencakup empat perspektif yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan organisasi. 2. Pengertian Balanced Scorecard Balanced Scorecard sebagai pelengkap pengukuran kinerja keuangan dan memberikan kemungkinan bagi manajer untuk memandang bisnis dari empat perspektif, yaitu perspektif keuangan, customer, bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan organisasi (Kaplan dan Norton, 1996:8). Beberapa definisi dari Balanced Scorecard, antara lain sebagai berikut: The Balanced Scorecard was developed to link short-term operational control to long-term vision and strategy of the bussiness, by combaining financial and no financial measurement (Aryani, 2001) The Balanced Scorecard is an integrated set of performance measures comparising both current performance indicators and drivers of future performance, and financial as well as non financial measures (Chang and Chow dalam Sulistyowati, 2001). The Balanced Scorecard communicates the multiple, linked objectives that companies must achive to compete based on their intagible capabilities and innovation. The scorecard translates mission and strategy into goals and measures, organized into four different perspective: financial, customer, internal bussiness process, and learning and growth (Kaplan dan Atkinson, 1998). Balanced Scorecard seharusnya menerjemahkan ciri unit bisnis dan strateginya kedalam tujuan dan pengukuran (Kaplan dan Norton, 1996:10). Pengukuran-pengukuran tersebut mencerminkan kesimbangan antara: a. Pengukuran hasil (pada masa lalu) dan pemicu kinerja masa depan. b. Pengukuran eksternal bagi shareholder dan pengukuran internal proses, critical bussiness, inovasi serta pembelajaran dan pertumbuhan. c. Pengukuran-pengukuran atas hasil yang mudah dikualifikasi secara obyektif dan subyektif. 3. Karakteristik Balanced Scorecard Balanced Scorecard memiliki karakteristik sebagai berikut (Sudibyo, 1997): a. Instrumen pengukuran kinerja manajemen yang multidemensional Balanced Scorecard mengukur kinerja dari dimensi keuangan dan nonkeuangan dari organisasi. Balanced Scorecard memberikan indikatorindikator kinerja keuangan (akuntansi), juga memberikan indikatorindikator lain dalam dimensi nonkeuangan seperti kepuasan pelanggan, waktu pelayanan, kualitas kepuasan kerja, segmen pasar dan lain sebagainya. b. Akomodatif terhadap berbagai kepentingan stakeholder Balanced Scorecard mencoba mengakomodasi seoptimal mungkin berbagai kelompok kepentingan yang terkait dengan organisasi. Seluruh indikator kinerja yang penting menurut perspektif berbagai kelompok stakeholder (pemegang saham, kreditor, pelanggan, rekan kerja, karyawan, pemerintah dan masyarakat) secara teoritis dapat dimasukkan kedalam Balanced Scorecard. c. Berorientasi pada implementasi misi dan strategi Ukuran untuk kinerja yang dipakai dalam Balanced Scorecard di identifikasi dan diseleksi dengan seksama dan rasional dari misi, visi dan strategi ke dalam tujuan-tujuan strategi, spesifik dan sekongkrit mungkin, kemudian tujuan-tujuan strategi tersebut ditentukan ukuran keberhasilan sebagai suatu lag indicator dari kinerja perusahaan. Untuk setiap lag indicator itu selanjutnya diidentifikasi performance driver yaitu key success factor yang sangat menentukan hasil strategi tersebut. d. Management by objectives Balanced Scorecard mengasumsikan diterapkannya management by objective. Manjemen pada tiap tingkat organisasi harus mempunyai tujuan yang jelas, yang dijabarkan kedalam sasaran yang lebih nyata dan mudah dipahami. e. Operasional kongkrit Visi, misi dan strategi perusahaan biasanya bersifat abstrak dan umum. Balanced Scorecard merupakan instrumen untuk mengoperasionalisasikan misi dan strategi tersebut menjadi suatu yang spesifik dan konkrit serta mudah dipahami. Balanced Scorecard berfungsi untuk menerjemahkan visi, misi dan strategi tersebut menjadi tindakan yang konkrit melalui proses yang disebut strategic learning. f. Seimbang (balanced) Keseimbangan dalam Balanced Scorecard berarti keseimbangan antara perspektif stakeholder yaitu: pemegang saham, konsumen dan karyawan. Majemen dituntut untuk dapat melihat berbagai aspek yang mencakup perusahaan secara keseluruhan. g. Hubungan sebab akibat Balanced Scorecard disusun berdasarkan hubungan sebab akibat yang jelas dan logis antara ukuran-ukuran yang dipakai sehingga bisa ditunjukkan secara jelas hubungan sebab akibat antara keempat perspektif. h. Memberikan lagging dan leading indicator Lagging indicator adalah suatu ukuran dalam Balanced Scorecard yaitu ukuran tingkat keberhasilan pencapaian suatu sasaran yang perspektif waktunya pada masa lalu, sedangkan leading indicator adalah suatu ukuran dalam Balanced Scorecard yang merupakan indikator keberhasilan yang mempengaruhi faktor-faktor kunci penentu kinerja masa depan, dimana hal ini berarti kinerja perusahaan mengarah ke masa yang akan datang. i. Sistem manajemen era informasi Dalam perkembangannya, Balanced Scorecard bukan hanya sekedar instrumen pengukuran kinerja, tetapi juga dapat dipakai sebagai suatu sistem manajemen dalam arti sebagai suatu framework sentral yang tertuju pada misi dan strategi dalam melaksanakan proses manajemen, seperti perencanaan, penganggaran, alokasi sumber daya manusia, kompensasi, pemberdayaan karyawan dan sebagainya. j. Top down dan Bottom up Balanced Scorecard merupakan suatu instrumen yang digunakan untuk mengkomunikasikan, mensosialisasikan serta mengoperasionalisasi misi dan strategi yang diformulasikan oleh manajemen puncak secara abstrak, umum dan berdimensi waktu jangka panjang, untuk selanjutnya karyawan diharapkan dapat memberikan umpan kepada manajen puncak. k. Straegy Bussiness Unit (SBU) Balanced Scorecard bahwa paling tepat diterapkan secara komprehensif pada tingkat strategy bussiness unit, karena terdiri atas ukuran-ukuran kinerja yang satu sama lain dihubungkan secara logis oleh hubungan sebab akibat yang jelas, sehingga membentuk satu kesatuan pemikiran yang komprehensif mengenai operasionalisasi misi dan strategic bussiness unit. 4. Keunggulan Balanced Scorecard Keunggulan pendekatan Balanced Scorecard dalam sistem perencanaan strategik adalah mampu menghasilkan rencana strategik yang memiliki karakteristik sebagai berikut ini (Mulyadi, 2001:18). a. Komprehensif Balanced Scorecard memperluas perspektif yang dicakup dalam perencanaan strategik, dari yang sebelumnya hanya terbatas pada perspektif keuangan, meluas ketiga perspektif yang lain: customer, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Perluasan perspektif rencana strategik ke perspektif nonkeuangan tersebut menghasilkan manfaat berikut ini. 1) Mejanjikan kinerja keuangan yang berlipat ganda dan berjangka panjang. 2) Memampukan perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks b. Koheren Balanced Scorecard mewajibkan personel untuk membangun hubungan sebab akibat (causal relationship) diantara berbagai sasaran strategik yang dihasilkan dalam perencanaan strategik. Setiap sasaran strategik yang ditetapkan dalam perspektif nonkeuangan harus mempunyai hubungan kausal dengan sasaran keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung. c. Seimbang Keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik penting untuk menghasilkan kinerja keuangan berjangka panjang. d. Terukur Keterukuran sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik menjanjikan ketercapaian berbagai sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem tersebut. Balanced Scorecard mengukur sasaransasaran strategik yang sulit diukur untuk diukur. 5. Faktor-faktor yang Menyebabkan Kegagalan Penerapan Balanced Scorecard Ada beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan penerapan Balanced Scorecard pada suatu organisasi yaitu (Sulastri, 2003): a. Memandang bahwa Balanced Scorecard merupakan suatu pendekatan yang berdiri sendiri yang berbeda dengan pendekatan lainnya. b. Kesalahan dalam menentukan variabel-variabel dan tolok ukur Balanced Scorecard yang tidak sejalan dengan ekspektasi stakeholder terutama non-owner stakeholder, yaitu karyawan, customer, pemasok dan masyarakat. c. Improvement goals dalam perusahaan tidak didasarkan pada kebutuhan stakeholder. d. Tidak ada sistem yang dapat diandalkan yang dapat merinci sasaransasaran pada tingkat manajer puncak hingga level dibawahnya secara efektif yang pada dasarnya merupakan alat aktualisasi strategi dan pengembangan bisnis. e. Karyawan kurang memiliki terhadap perusahaan. D. Perspektif dalam Balanced Scorecard Balanced Scorecard menunjukkan adanya pengukuran kinerja yang menggabungkan antara pengukuran keuangan dan nonkeuangan (Kaplan dan Norton, 1996:47). Ada empat perspektif kinerja bisnis yang diukur dalam Balanced Scorecard, yaitu: 1. Perspektif keuangan (Financial perspective) Perspektif keuangan tetap menjadi perhatian dalam Balanced Scorecard, karena ukuran keuangan merupakan suatu ikhtisar dari konsekuensi ekonomi yang terjadi yang disebabkan oleh pengambilan keputusan (Sugiyanto dan Anwar, 2003). Aspek keuangan menunjukkan apakah perencanaan, implementasi dan pelaksanaan dari strategi memberikan perbaikan yang mendasar. Perbaikan ini tercermin dalam sasaran-sasaran yang secara khusus berhubungan dengan keuntungan yang terukur baik yang berbentuk gross operating income, Return on Investment (ROI) atau bahkan Economic Value Added (EVA) (Mirza dalam Indarti, 2003). Sasaran keuangan harus disesuaikan dengan siklus kehidupan bisnis yang terbagi menjadi tiga tahapan siklus, yaitu: (1) berkembang (growth), (2) bertahan (sustain) dan penuaian (harvest). Dalam kinerja keuangan ini tolok ukur yang digunakan bergantung pada posisi perusahaan pada daur hidup usahanya (Kaplan dan Norton, 1996:48), yaitu: a. Tahap pertumbuhan (growth) Growth adalah tahap awal dari siklus kehidupan bisnis. Tahap ini merupakan tahap awal dari siklus usaha dimana perusahaan memiliki produk atau jasa yang potensial untuk berkembang. Perusahaan harus memperoleh banyak sumber daya untuk mengembangkan jasa dan produk tersebut, melakukan banyak investasi pada aktiva tetap, jaringan distribusi serta hubungan dengan pelanggan dengan meningkatkan kemampuan operasional dan sebagainya. Pada tahap ini perusahaan biasanya memiliki arus kas negatif dan tingkat pengembalian investasi yang rendah. Pada tahap ini suatu perusahaan memiliki produk atau jasa yang secara signifikan memiliki tingkat pertumbuhan yang baik sekali atau paling tidak memiliki potensi untuk berkembang baik. Untuk menciptakan potensi ini, kemungkinan seorang manajer harus terikat komitmen untuk mengembangkan produk atau jasa baru, membangun dan mengembangkan fasilitas produksi atau menambah kemampuan operasi, mengembangkan sistem infrastruktur dan jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan global serta mengasah dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan. Investasi yang ditanam untuk masa depan sangat mungkin memakan biaya yang lebih besar. Sasaran keuangan dari bisnis yang berada dalam tahap ini menekankan pada tingkat pertumbuhan pendapatan atau penjualan dalam pasar yang telah ditargetkan. Pertumbuhan pendapatan adalah persentase pendapatan atau penjualan dari produk atau jasa yang telah dihasilkan perusahaan dalam beberapa periode (Kaplan dan Norton, 1996:51). Tujuan keuangan yang ditetapkan biasanya adalah tingkat pertumbuhan penjualan atau pendapatan dalam pasar yang telah ditargetkan. b. Tahap bertahan (sustain) Suatu tahap dimana perusahaan masih melakukan investasi dan reinvestasi dengan mempersyaratkan tingkat pengembalian yang terbaik. Dalam tahap ini perusahaan berusaha mempertahankan pangsa pasar yang ada dan mengembangkannya apabila mungkin. Investasi yang dilakukan umumnya diarahkan untuk mengembangkan kapasitas dan mungkin meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten. Pada tahap ini perusahaan tidak lagi bertumpu pada strategi jangka panjang. Sasaran keuangan pada tahap ini lebih diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang telah dilakukan. Sasaran pengukuran dalam tahap ini menekankan pada pengukuran keuangan seperti Return On Investemnt (ROI), Return On Equity (ROE), Return On Assets (ROA). Ukuran ini menggambarkan sasaran keuangan klasik, yaitu memperoleh tingkat pengembalian terbaik atas modal yang telah ditanamkan oleh perusahaan. c. Tahap penuaian (harvest) Tahap ini merupakan tahap kedewasaan atau kematangan (mature), suatu tahap dimana perusahaan melakukan penuaian terhadap investasi mereka. Perusahaan tidak lagi melakukan investasi lebih jauh kecuali hanya untuk pemeliharaan dan perbaikan fasilitas, dan tidak lagi melakukan investasi lebih jauh untuk melakukan ekspansi atau membangun suatu kemampuan baru. Tujuan utama dalam tahap ini adalah memaksimumkan arus kas yang masuk ke perusahaan. Sasaran pengukuran untuk tahapan ini adalah cash flow maksimum yang mampu dikembalikan dari investasi dimasa lalu. Cash flow adalah aliran kas atau gerakan kas yang menunjukkan penerimaan dan penggunaan kas dalam periode yang bersangkutan. Penilaian kinerja pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta jika dipandang dari perspektif keuangan antara lain sebagai berikut ini. a. Pertumbuhan pendapatan Pertumbuhan pendapatan diukur melalui pertumbuhan omset. Omset adalah uang pinjaman yang diberikan kepada nasabah yang dikeluarkan oleh sebuah kantor cabang Perum Pegadaian. b. Surplus kantor cabang Surplus merupakan keuntungan atau kerugian usaha yang diterima oleh sebuah kantor cabang Perum Pegadaian. 2. Perspektif Pelanggan (Customer Perspective) Pelanggan merupakan sumber utama pendapatan perusahaan. Pada masa lalu, sering kali perusahaan mengkonsentrasikan diri pada kemampuan internal, memberi penekanan pada kinerja produk, inovasi dan teknologi, tanpa kewajiban untuk mengerti apa kebutuhan konsumen, tetapi sekarang tidak lagi demikian. Konsumen menjadi salah satu unsur utama dalam pengembangan usaha perusahaan. Banyak perusahaan yang berlomba menawarkan produk dan jasa yang lebih baik dan sesuai dengan preferensi pasar. Sekarang ini strategi perusahan telah bergeser fokusnya dari internal ke eksternal. Namun demikian, perusahaan mempunyai keterbatasan untuk memenuhi semua kebutuhan dan keinginan konsumen yang berlainan satu sama lain. Oleh karena itu, perusahaan perlu menetapkan segemen pasar yang paling mungkin untuk dilayani dengan cara terbaik sesuai dengan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki perusahaan. Dalam perumusan Balanced Scorecard, segmentasi perlu dilakukan agar tolok ukur kinerja yang akan dipakai lebih difokuskan, kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan pelanggan baik yang sudah dikuasai maupun pelanggan potensial yang berada dalam segmen tersebut. Secara umum, potential customer (pelanggan potensial) tidak sama, mereka memiliki preferensi berbeda mengenai atribut produk. Dalam perspektif pelanggan, perusahaan harus mengidentifikasi segmen pasar dan pertarungan dan pelanggan yang ingin dimasuki untuk pencapaian tujuan tersebut. Ada dua kelompok pengukuran dalam perspektif pelanggan, yakni: a. Kelompok pengukuran inti (Core measurement group), yang mengukur: 1) Pangsa pasar (Market share) Mengukur proporsi penjualan yang dikuasai unit bisnis dalam suatu segmen pasar yang dilayani. Mengukur bagian pasar akan lebih mudah dilakukan dengan terlebih dahulu mengadakan spesifikasi terhadap kelompok konsumen yang menjadi target perusahaan (Kaplan dan Norton, 1996:68). Para manajer juga harus mengenali apa yang dinilai tinggi oleh segmen pasar sasaran. Segmen pasar merupakan sumber yang akan menjadi komponen penghasilan tujuan finansial perusahaan. Market share dapat diperoleh dengan cara menarik konsumen serta memberikan preferensi-preferensi sehingga mampu memberikan nilai lebih dimata konsumen. Market share mencerminkan proporsi bisnis dalam suatu pasar tertentu (jumlah konsumen, jumlah produk yang terjual) yang berhasil dikuasai perusahaan (Indarti, 2003). Market share dapat digunakan untuk meramalkan penjualan perusahaan yang akan datang dan membandingkan posisi pasar aktual diantara kompetisi produk, jika perusahaan dapat melayani bagian pasar secara efektif, maka perusahaan dapat menjadi pilihan terbaik bagi konsumennya. 2) Pelanggan yang dipertahankan (Customer retention) Retensi konsumen menggambarkan bagaimana kemampuan perusahaan dalam mempertahankan hubungan yang baik dengan konsumen, dalam arti konsumen yang telah dimiliki agar tetap loyal terhadap perusahaan (Kaplan dan Norton, 1996:69). Kualitas yang lebih tinggi memungkinkan perusahaan untuk meningkatkan kepuasan konsumen, membuat produk laku terjual, mampu bersaing dengan pesaing, dapat meningkatkan market share dan volume penjualan serta dapat dijual dengan harga yang tinggi. Untuk mengukur loyalitas pelanggan dapat diukur dengan persentase pertumbuhan usaha yang berhubungan dengan konsumen atau pelanggan (Kaplan dan Norton, 1996:69). Kunci untuk mempertahankan konsumen ialah kepuasan konsumen (Mirza dalam Indarti, 2003). Konsumen yang puas diharapkan: a) tetap loyal pada perusahaan. b) selalu membeli produk baru yang diperkenalkan perusahaan dan memperbaharui produk yang dimiliki. c) tidak terlalu memperhatikan pada kompetisi merek dan iklan serta kurang sensitif terhadap harga. d) memberikan masukan atau pendapat kepada perusahaan terhadap produknya. 3) Perolehan pelanggan (Customer acquisition) Mengukur tingkat kemampuan unit bisnis dalam menarik pelanggan baru. Customer acquisition dapat diukur dengan jumlah konsumen baru atau total penjualan pada konsumen dalam segmen yang dituju. 4) Kepuasan pelanggan (Customer satisfaction) Ukuran untuk tingkat kepuasan pelanggan atas kegiatan konsumsi terhadap produk atau jasa perusahaan. Kepuasan konsumen menjadi dasar, baik dalam fokus mendapatkan konsumen baru maupun mempertahankan konsumen yang telah dimiliki. Retensi konsumen maupun akuisisi konsumen dikendalikan atau didorong oleh kemampuan perusahaan dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen (Kaplan dan Norton, 1996:70). Semakin pentingnya faktor kepuasan, mendorong perusahaan untuk menempatkan fokus perhatian pada konsumennya. Pengukuran kepuasan konsumen dengan metoda (Indarti, 2003): a) Sistem keluhan dan saran Perusahaan yang berorientasi pada konsumen akan memberikan kesempatan yang luas bagi konsumennya untuk menyampaikan saran atau keluhan, misalnya dengan menyediakan kotak saran atau kartu komentar. Informasi ini diharapkan mampu memberikan ide kepada perusahaan. b) Ghost shopping Merupakan salah satu cara untuk memperoleh gambaran tentang kepuasan konsumen dengan mempertanyakan beberapa orang untuk berperan atau bersikap sebagai pembeli, kemudian melaporkan temuannya tentang kelemahan dan kekuatan produk dari perusahaan pesaing berdasarkan pengalaman mereka dalam membeli produk. Selain itu, diharapkan dapat dilakukan pengamatan terhadap cara menangani setiap keluhan. c) Lost customer analysis Perusahaan seharusnya menghubungi konsumennya yang telah berhenti memberitahu yang telah berpindah pada perusahaan lain agar dapat memahami mengapa hal itu dapat terjadi. d) Survey kepuasan konsumen Umumnya penelitian mengenai kepuasan konsumen dilakukan dengan menggunakan survey, baik melalui pos, telepon, maupun wawancara langsung. Dari hasil survey dapat diperoleh tanggapan maupun umpan balik secara langsung dari konsumen dan juga memberikan tanda bahwa perusahaan menaruh perhatian kepada konsumen (Kaplan dan Norton, 1996:71). e) Profitabilitas pelanggan (Customer profitability) Profitabilitas konsumen mengukur seberapa besar keuntungan yang berhasil diraih perusahaan dari penjualan produk. Profitabilitas perusahaan dapat diukur dengan kesuksesan perusahaan dan kemampuan penggunaan aktivanya secara produktif. Dengan demikian profitabilitas suatu perusahaan dapat diukur dengan membandingkan antara laba yang diperoleh dalam satu periode dengan jumlah aktiva atau modal perusahaan. Salah satu cara yang mungkin ditempuh perusahaan adalah mengidentifikasi bagian pasarnya dengan mengukur laba bersih yang diperoleh perusahaan dari pelanggan. b. Kelompok pengukuran nilai pelanggan (Customer value proposition) Kelompok ini menggambarkan pemicu kinerja (performance driver) yang menyangkut pertanyaan apa yang harus disajikan perusahaan untuk mencapai tingkat kepuasan, loyalitas, retensi dan akuisisi konsumen yang tinggi. Atribut yang disajikan perusahaan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu (Kaplan dan Norton, 1996:73): 1) atribut produk atau jasa, meliputi fungsi, harga dan mutu produk. 2) hubungan dengan pelanggan (customer relationship), meliputi proses, waktu dan kualitas pelayanan unit bisnis yang diberikan kepada pelanggan. 3) reputasi dan image, menggambarkan reputasi dan citra unit bisnis serta produk-produknya, yang mampu menarik konsumen dan memungkinkan untuk mengatasi masalah. Penilaian kinerja pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta jika dipandang dari perspektif customer adalah jumlah nasabah berdasarkan profesi. Adapun penggolongan nasabah berdasarkan profesi terbagi atas: a. petani b. nelayan c. industri rumah tangga/industri kecil d. pedagang e. lain-lain 3. Perspektif Proses Bisnis Internal (Internal Bussiness Process Perspective) Hal pertama yang harus dilakukan oleh perusahaan agar bisa menentukan tolok ukur bagi kinerja proses bisnis internal adalah mengidentifikasi proses internal dalam perusahaan. Konsep proses bisnis internal harus memuat tiga mata rantai, yaitu (Kaplan dan Norton, 1996:96): a. Proses inovasi Pada tahapan ini perusahaan berusaha mengidentifikasi keinginan dan kebutuhan konsumen. Tahap inovasi dapat disebut pula sebagai tahap penelitian dan pengembangan (research and development). Dalam proses ini untuk menciptakan nilai pelanggan perusahaan melakukan penelitian tentang kebutuhan customer dan mengubah data tentang kebutuhan customer tersebut menjadi berbagai atribut yang didesain kedalam produk dan jasa. Tolok ukur yang dapat digunakan dalam proses ini adalah (Kaplan dan Norton, 1996:101): 1) banyaknya produk baru yang dapat dikembangkan oleh perusahaan. 2) persentase penjualan produk baru terhadap pesaing produk. 3) waktu yang dibutuhkan untuk berhasil menjual produk baru. 4) waktu yang dibutuhkan untuk mengembangkan produk selanjutnya. Secara umum tolok ukur yang digunakan untuk mengukur kinerja inovasi (Kaplan dan Norton dalam Indarti, 2003) adalah: 1) hasil secara teknis, seperti jumlah paten, publik teknik. 2) keuntungan penjualan dan keuntungan lainnya yang diperkirakan timbul dari proses inovasi. 3) penilaian masing-masing individu proyek. b. Proses operasi Dalam proses ini, perusahaan melakukan aksi nyata yang berupaya untuk memberi solusi kepada para pelanggan dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan mereka. Produk dan jasa dalam tahap ini didesain, diproduksi dan diserahkan kepada customer. Proses operasi perusahaan mencerminkan aktivitas yang dilakukan perusahaan dari saat penerimaan order dari pelanggan sampai dengan saat produk atau jasa tersebut dikirimkan pada pelanggan (Kaplan dan Norton dalam Indarti, 2003). Aktivitas ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) proses pembuatan produk atau jasa (2) proses penyampaian produk atau jasa pada pelanggan. Secara umum pengukuran dalam proses pembuatan produk dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) kualitas, (2) biaya dan (3) waktu. 1) Kualitas Untuk mengetahui apakah program kualitas berjalan baik, maka perusahaan harus dapat mengukur hasil program kualitas. Pengukuran-pengukuran yang dipergunakan dapat bersifat keuangan dan bersifat nonkeuangan. Dalam pengukuran yang bersifat nonkeuangan, tolok ukurnya seperti tingkat kerusakan per satu juta barang produksi, pengerjaan ulang, bahan mentah yang terbuang, yields (rasio antara input yang masuk dalam proses produksi dengan output yang dihasilkan). Dalam tolok ukur yang bersifat keuangan, biasanya perusahaan menggunakan konsep biaya kualitas. Biaya kualitas dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu: biaya pencegahan, biaya penialaian, baiya kegagalan eksternal dan biaya kegagalan internal. Hal terbaik bagi perusahaan tersebut terjadi bila komponen terbesar dari biaya kualitas perusahaan adalah biaya pencegahan. 2) Biaya Pengukuran sejauh mana efisiensi dan efektivitas perusahaan dalam melakukan aktivitas, perusahaan dapat menggunakan metode Activity Based Management (ABM). Dalam ABM, perusahaan mengelompokkan aktivitas menjadi aktivitas yang memiliki nilai tambah (value added), dan aktivitas yang tidak memiliki nilai tambah (non value added), aktivitas memiliki nilai tambah atau tidak akan selalu dipandang dari sudut konsumen. 3) Waktu Pengukuran yang paling sering digunakan adalah MCE (manufacturing cycle effectiveness). MCE ini mengukur siklus waktu yang efektif untuk memproduksi suatu barang. Dapat disimpulkan MCE yang terbaik adalah dimana total waktu yang dipergunakan perusahaan semuanya merupakan waktu proses. Semakin rendah MCE maka mencerminkan perusahaan tersebut membuang waktunya untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak efisien. Sedangkan proses penyampaian produk atau jasa pada pelanggan, selanjutnya proses ini dikenal dengan istilah pemasaran. Aktivitas pemasaran dan penjualan merupakan aktivitas untuk membujuk dan sekaligus menyediakan sarana sehingga pelanggan dapat membeli barang atau jasa tersebut. c. Proses pelayanan purna jual Dalam tahap ini, perusahaan menyediakan layanan pelanggan setelah produk atau jasa diserahkan kepada pelanggan. Tolok ukur yang dapat digunakan tergantung pada upaya yang dilakukan masing-masing unit bisnis tetapi secara umum unit bisnis dapat menggunakan tolok ukur sebagai berikut: 1) efisiensi layanan purna jual. 2) jangka waktu tertentu untuk memenuhi permintaan pelayanan purna jual. 3) banyaknya pelanggan yang mampu dilayani hanya dengan satu kali permintaan. 4) jangka waktu penyelesaian masalah. Penilaian kinerja pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta jika dipandang dari perspektif proses bisnis internal adalah nilai barang jaminan. Adapun jenis masing-masing golongan barang jaminan ditetapkan sebagai berikut ini. a. Golongan A Kain b. Golongan A Emas c. Golongan A Gudang d. Golongan B Emas e. Golongan B Gudang f. Golongan C Emas g. Golongan C Gudang h. Golongan D Emas i. Golongan D Gudang 4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan (Learning and Growth Perspective) Perusahaan yang ingin tetap bertahan dalam lingkungan yang selalu berkembang tidak hanya dituntut untuk dapat mempertahankan kinerja yang telah dicapai tetapi dituntut untuk terus melakukan perbaikan. Balanced Scorecard menekankan pentingnya investasi untuk kepentingan masa depannya dalam perspektif proses pembelajaran dan pertumbuhan. Ada tiga faktor yang mesti dipertahankan (Kaplan dan Norton, 1996:127): a. Kemampuan pegawai Dalam pengukuran strategi perusahaan, salah satunya berkaitan dengan kemampuan pegawai, yaitu apakah perusahaan telah mencanangkan peningkatan kemampuan sumber daya manusia yang dimiliki. Tolok ukur yang dapat dipakai untuk mengukur kemampuan pegawai tergantung dalam core employee measurement yang meliputi (Kaplan dan Norton, 1996:129): 1) Kepuasan karyawan Merupakan pemicu baik ukuran retensi dan produktivitas karyawan sehingga karyawan lebih produktif dalam bekerja. Sumber daya yang berkualitas merupakan asset termahal karena mereka merupakan penentu keberhasilan dan penggerak lakunya usaha perusahaan (Kaplan dan Norton, 1996:130). Kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: a) keterlibatan dalam pengambilan keputusan. b) pengakuan atas kesuksesan kerja. c) akses terhadap informasi d) kepuasan terhadap perusahaan 2) Retensi karyawan Retensi karyawan dimaksudkan untuk mempertahankan karyawan yang berkualitas yang dimiliki perusahaan. Perusahaan perlu memiliki daya tarik jangka panjang bagi karyawan sehingga karyawan bersedia untuk tetap loyal kepada perusahaan. Perusahaan dapat menggunakan persentase perputaran karyawan untuk mengukur retensi karyawan. Indikator retensi karyawan dapat diukur dengan turn over karyawan kunci. 3) Produktivitas karyawan Produktivitas dapat diartikan sebagai kekuatan menghasilkan atau jumlah yang bisa dihasilkan setiap pekerja dalam jangka waktu tertentu (Kaplan dan Norton, 1996:131). Produktivitas pegawai dapat diukur dengan rasio pendapatan per pegawai (revenue per employee) atau nilai tambah karyawan. Ukuran ini menunjukkan berapa output yang dapat dihasilkan tiap pekerja, ketika karyawan dan perusahaan menjadi lebih efektif dalam penjualan dan dalam nilai tambah produk dan jasa yang lebih tinggi, maka revenue per employee seharusnya meningkat. b. Kemampuan sistem informasi Sistem informasi yang memadai sangat diperlukan dalam peningkatan kemampuan karyawan karena sistem informasi akan memudahkan pegawai untuk melakukan perbaikan secara konsisten dan sistematik. Tolok ukur yang tergabung dalam kategori ini antara lain: tingkat ketersediaan informasi yang dibutuhkan, tingkat ketepatan informasi dan jangka waktu yang diperlukan untuk memperoleh informasi. Kemampuan sistem informasi yang handal sangat diperlukan oleh perusahaan dalam menghadapi era persaingan usaha yang semakin ketat. c. Adanya motivasi, pemberdayaan dan penyelerasan Tujuan perusahaan dan kemampuan pegawai perlu di dukung dengan motivasi pemberdayaan dan penyelerasan tujuan. Tolok ukur yang dapat digunakan adalah berkaitan dengan jumlah usulan yang diberikan dan diimplementasikan. Jumlah perbaikan keselarasan tujuan antara individu dengan perusahaan dengan kinerja kelompok lain. Penilaian kinerja pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta jika dipandang dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan adalah produktivitas karyawan berdasarkan hak formasi. Hak formasi adalah hak semua kantor cabang memenuhi jumlah karyawan yang diperlukan dalam kegiatan operasionalnya sehari-hari dibandingkan dengan kondisi sebenarnya yaitu jumlah karyawan yang bekerja di kantor cabang tersebut. E. Cara Pengukuran dalam Balanced Scorecard Cara pengukuran dalam Balanced Scorecard adalah Balanced Scorecard mengukur secara seimbang antara perspektif yang satu dengan perspektif yang lainnya dengan tolok ukur masing-masing perpektif. Perusahaan yang akan menyusun Balanced Scorecard harus memenuhi beberapa syarat (Jeno dalam Sulastri, 2003) sebagai berikut ini. 1. Organisasi telah memiliki strategi usaha yang jelas. 2. Balanced Scorecard suatu organisasi harus meliputi perspektif keuangan, customer, proses bisnis internal serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Kriteria keseimbangan digunakan untuk mengukur sampai sejauh mana sasaran strategik kita capai seimbang disemua perspektif (Mulyadi, 2001). Untuk itu skor diberikan pada rating scale sebagai berikut ini. Tabel 2.1 Rating Scale Skor -1 0 1 Nilai Kurang Cukup Baik Skor dalam tabel adalah skor standar, jika kinerja semua aspek dalam perusahaan adalah baik. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Studi kasus merupakan penelitian yang rinci terhadap objek tertentu selama kurun waktu tertentu. Jadi kesimpulan yang diambil hanya berlaku pada objek tertentu, populasi tertentu dan dalam kurun waktu tertentu. B. Objek Penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini adalah kinerja Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta, yang meliputi kinerja keuangan dan non keuangan yang meliputi: customer, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan organisasi. C. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, meliputi: Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP), laporan rugi/laba dan opini dari para karyawan serta pelanggan Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. D. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Ada dua teknik pengumpulan dalam data dalam metode survei, yaitu: 1. wawancara, yaitu dengan melakukan tanya jawab langsung pada pihak sehubungan dengan visi, misi, tujuan, serta strategi dan data yang berhubungan dengan penerapan empat perspektif dalam Balanced Scorecard (perspektif keuangan, perspektif customer, perspektif proses bisnis internal, serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan organisasi) pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. Tanya jawab tersebut dilakukan dengan Asisten Manajer Cabang Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. 2. kuesioner, digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan konsumen dan kepuasan karyawan pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. Pengisian kuesioner untuk kepuasan konsumen diisi oleh para nasabah Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta, sedangkan untuk kepuasan karyawan diisi oleh para karyawan Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. E. Metode Analisis Data Untuk mencapai tujuan yang diterapkan maka penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan teknik analisis komparatif yaitu membandingkan antara pengukuran kinerja yang dilakukan perusahaan dengan pengukuran kinerja berdasarkan Balanced Scorecard, kemudian untuk melakukan penilaian kinerja berdasarkan Balanced Scorecard akan dilakukan dengan teknik analisis sebagai berikut ini. 1. Klarifikasi misi, visi, dan tujuan organisasi Teknik ini merupakan langkah awal dari tahap penggunaan Balanced Scorecard. 2. Penentuan ukuran pencapaian sasaran strategik Sasaran strategik yang dirumuskan untuk mewujudkan visi dan tujuan organisasi melalui strategi yang telah dipilih perlu ditetapkan ukuran pencapaiannya. Ada dua ukuran yang perlu ditentukan untuk mengukur keberhasilan pencapaian sasaran strategik: (1) ukuran hasil (outcome measure) dan (2) ukuran pemacu kinerja (performance driver measure). 3. Penetapan target dari masing-masing perspektif Penetapan target merupakan tahap ketiga dari proses penerapan Balanced Scorecard pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. Penentuan target merupakan suatu proses yang dapat dilakukan pada saat penyusunan rencana strategik, namun penentuan ini sifatnya sementara (Mulyadi, 2001:138). 4. Perumusan inisiatif strategik Inisiatif strategik merupakan action program yang bersifat strategik untuk mewujudkan sasaran strategik. 5. Pengukuran kinerja dari masing-masing perspektif Pengukuran kinerja terdiri dari empat perspektif yaitu: a. pengukuran kinerja keuangan, yaitu pengukuran kinerja perusahaan yang dipandang dari perspektif keuangan. b. pengukuran kinerja perspektif customer, yaitu pengukuran kinerja yang dinilai dari jumlah pelanggan yang dimiliki dari tahun ke tahun serta tingkat kepuasan dari pelanggan. c. pengukuran kinerja perspektif proses bisnis internal, yaitu proses tindak lanjut atas identifikasi keinginan pelanggan. d. pengukuran kinerja perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, yaitu perspektif yang dinilai untuk mendorong perusahaan agar menjadi learning organization dan juga mendorong pertumbuhan perusahaan. F. Alat Analisis Alat analisis yang digunakan untuk mengimplementasikan metode Balanced Scorecard terdiri dari empat perspektif sebagai berikut ini. 1. Mengukur kinerja perspektif keuangan Kinerja dari perspektif keuangan diukur dengan menggunakan prosentase pencapaian realisasi rata-rata pertumbuhan yang tertuang dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) sebagai berikut ini. a. Omset Pertumbuhan omset dapat dinilai sebagai berikut: Pertumbuhan omset = realisasi x 100% target “X%” pertumbuhan omset menunjukkan besarnya realisasi yang dicapai dari target yang telah ditetapkan. b. Surplus (Laba/Rugi) Pertumbuhan laba/rugi usaha dapat dihitung sebagai berikut: Pertumbuhan laba/rugi usaha = realisasi x 100% target “X%” pertumbuhan laba menunjukkan besarnya realisasi yang dicapai dari target yang telah ditetapkan. c. Bauran pendapatan Pertumbuhan bauran pendapatan dapat dihitung sebagai berikut: Pertumbuhan bauran pendapatan = realisasi x 100% target “X%” pertumbuhan bauran pendapatan menunjukkan besarnya realisasi yang dicapai dari target yang telah ditetapkan. 2. Mengukur kinerja perspektif customer Pengukuran kinerja perspektif customer dengan menggunakan tolok ukur sebagai berikut ini. a. Kepuasan customer Kepuasan customer pemakai jasa pegadaian diukur melalui penyebaran kuesioner, dengan menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh Utami (2003). Kepuasan customer adalah kepuasan terhadap lima dimensi kualitas jasa (Tjiptono, 2001). Lima dimensi kualitas jasa pelayanan tersebut terdiri dari: bukti langsung (tangibles) terdapat pada pertanyaan no. 1, 2, 3, keandalan (reliability) terdapat pada pertanyaan no. 4, 5, daya tanggap (responsive) terdapat pada pertanyaan no. 6, 7, jaminan (assurance) terdapat pada pertanyaan no. 8, 9, empathy terdapat pada pertanyaan no.10. Jumlah nasabah baru yang masuk tahun 2003 pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta sebanyak 332 orang sehingga yang diberi kuesioner sebanyak 180 orang (Sekaran 2000:295). Rata-rata riil kepuasan setiap responden dapat dihitung dengan membagi antara jumlah total skor jawaban untuk seluruh pertanyaan dengan jumlah seluruh pertanyaan, angka dari pembagian tersebut lalu disesuaikan skor item pertanyaan yang paling mendekati. Skor item pertanyaan terdiri dari: 1 = Sangat Tidak Puas (STP), 2 = Tidak Puas (TP), 3 = Cukup Puas (CP), 4 = Puas (P), 5 = Sangat Puas (SP). b. Profitabilitas customer Profitabilitas customer digunakan untuk mengukur seberapa besar keuntungan yang berhasil dicapai perusahaan dari pendapatan jasa yang ditawarkan kepada pelanggan. Profitabilitas customer dapat dihitung sebagai berikut (Indarti, 2003): Profitabilitas customer = pendapatan jasa jumlah customer “X” profitabilitas customer menunjukkan besarnya pendapatan jasa setiap tahun yang dihasilkan oleh setiap satu konsumen dalam satu tahun. Pendapatan jasa merupakan pendapatan yang diperoleh melalui jasa yang diberikan kepada para nasabahnya yang meliputi: jasa taksiran, jasa gadai, jasa titipan. Sedangkan jumlah customer merupakan jumlah nasabah yang menggunakan jasa dari Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. c. Akuisisi customer (Customer acquisition) Akuisisi pelanggan merupakan tingkat kemampuan unit bisnis dalam menarik pelanggan baru. Akuisisi pelanggan dapat diukur dengan jumlah pelanggan baru atau total penjualan pada konsumen dalam segmen yang dituju. Akuisisi customer dapat dilakukan dengan membandingkan jumlah customer dari tahun ke tahun. Jika terdapat peningkatan jumlah customer maka perusahaan mampu memperoleh customer baru (Sulastri, 2003). 3. Mengukur kinerja perspektif proses bisnis internal Pengukuran kinerja perspektif bisnis internal menggunakan tolok ukur sebagai berikut ini. a. Respond times Tolok ukur ini digunakan untuk mengukur efisiensi dari transaksi yang dilakukan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. 4. Mengukur kinerja perspektif pembelajaran dan pertumbuhan Pengukuran kinerja perspektif pembelajaran dan pertumbuhan menggunakan tolok ukur sebagai berikut ini. a. Tingkat produktivitas karyawan Tingkat produktivitas karyawan diukur untuk mengetahui produktivitas karyawan dalam periode tertentu. Tingkat produktivitas karyawan dapat dihitung sebagai berikut (Indarti, 2003): Produktivitas karyawan = laba usaha jumlah karyawan “X” produktivitas karyawan menunjukkan besarnya laba usaha yang dihasilkan oleh setiap satu karyawan. Laba usaha merupakan laba yang diperoleh melalui pendapatan usaha yang dijalankan yang telah dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam memperoleh pendapatan usaha tersebut. Sedangkan jumlah karyawan merupakan jumlah karyawan dari Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta secara keseluruhan pada tahun yang bersangkutan. b. Tingkat retensi karyawan Retensi karyawan dihitung menggunakan perhitungan perputaran karyawan. Tingkat retensi karyawan dapat dihitung sebagai berikut (Indarti, 2003): Retensi karyawan = jumlah karyawan masuk (keluar) / th x 100% jumlah karyawan / th “X%” retensi karyawan menunjukkan besarnya jumlah karyawan yang masuk dan keluar setiap tahun dari total karyawan setiap tahunnya. Jumlah karyawan yang masuk merupakan jumlah karyawan baru yang masuk, sedangkan karyawan yang keluar merupakan jumlah karyawan yang keluar karena meninggal, pensiun, dan mengundurkan diri. Sedangkan jumlah karyawan merupakan jumlah karyawan dari Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta secara keseluruhan pada tahun yang bersangkutan. c. Tingkat kepuasan karyawan Kepuasan karyawan dianggap sebagai penentu dari kedua pengukuran sebelumnya pengukuran kepuasan karyawan dilakukan melalui kuesioner, kuesioner yang digunakan adalah kuesioner yang dikembangkan oleh Indarti (2003). Kepuasan karyawan yang diukur adalah kepuasan karyawan terhadap atribut-atribut Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta meliputi semangat kerja terdapat pada pertanyaan no. 1, 2, lingkungan kerja terdapat pada pertanyaan no. 3, 4, motivasi terdapat pada pertanyaan no. 5, 6, 7, komunikasi terdapat pada pertanyaan no. 8, 9, kondisi fisik lingkungan kerja terdapat pada pertanyaan no. 10, 11, 12. Jumlah karyawan Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta pada tahun 2003 sebanyak 11 orang sehingga yang diberi kuesioner sebanyak 11 orang (Sekaran 2000:295). Rata-rata riil kepuasan setiap responden dapat dihitung dengan membagi antara jumlah total skor jawaban untuk seluruh pertanyaan dengan jumlah seluruh pertanyaan, angka dari pembagian tersebut lalu disesuaikan skor item pertanyaan yang paling mendekati. Skor item pertanyaan terdiri dari: 1 = Sangat Tidak Puas (STP), 2 = Tidak Puas (TP), 3 = Cukup Puas (CP), 4 = Puas (P), 5 = Sangat Puas (SP). Metode pengujian instrumen Metode pengujian instrumen mencakup uji validitas dan uji realiabilitas dari kuesioner yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut ini. a. Uji validitas Pengukuran validitas bertujuan untuk mengetahui sejauh mana suatu alat ukur dapat mengukur apa yang seharusnya diukur (Sekaran, 2000:207). Untuk pengkuran validitas dipergunakan bantuan program komputer seri (SPSS). Pengukuran validitas menggunakan teknik korelasi Product moment dari Pearson, dengan menggunakan taraf signifkan (a ) = 5%, r hitung > r tabel, maka kuesioner sebagai alat ukur dinyatakan valid, apabila hasilnya lebih kecil atau sama dengan taraf signifikan dalam tabel maka item tersebut dinyatakan gugur. Rumus: R= n.x n.xy - x . y 2 x . n.y 2 y 2 2 Notasi: R = koefisien korelasi setiap pertanyaan x = skor / nilai dari setiap pertanyaan y = skor total dari pertanyaan n = banyaknya responden / sampel b. Uji reliabilitas Uji reliabilitas digunakan untuk menguji tingkat kestabilan dari suatu alat ukur dalam mengukur suatu gejala atau dengan kata lain untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten atau tidak berubah jika dilakukan pengukuran kembali terhadap subjek yang sama (Sekaran, 2000:205). Teknik uji reliabilitas yang digunakan adalah reliabilitas internal (Internal Consistency Reliability). Teknik alpha yang dikembangkan oleh Cronbach dipilih untuk mengukur reliabilitas karena merupakan teknik pengujian konsistensi reliabilitas antara item yang paling populer dan menunjukkan indeks konsistensi yang cukup sempurna (Sekaran, 2000:206). Suatu alat pengukur dikatakan reliabel jika nilai koefisien alpaha diatas 0,6 (a > 0,6) untuk setiap kuesioner masing-masing variabel. Rumus dari Cronbach’s Alpha adalah sebagai berikut” . b 2 1 t 2 K rn = K -1 Notasi: rn = reliabilitas instrumen K = banyaknya butir pertanyaan . b 2 = jumlah varian butir . t 2 = varian total Skala pengukuran yang digunakan dalam instrumen penelitian ini adalah skala likert lima poin dengan formula sebagai berikut: 1 = Sangat Tidak Puas (STP) 2 = Tidak Puas (TP) 3 = Cukup Puas (CP) 4 = Puas (P) 5 = Sangat Puas (SP) BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Bagian ini akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai gambaran umum perusahaan sebelum dilakukan analisis agar dapat mengetahui bagaimana kondisi perusahaan secara umum. A. Gambaran Umum Perusahaan 1. Sejarah Singkat Berdirinya Perusahaan Perum Pegadaian merupakan lembaga perkreditan yang berusaha dibidang jasa layanan kredit gadai dengan jaminan barang-barang bergerak. Pengertian Pegadaian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1999 adalah penyalur uang pinjaman atas dasar gadai dan membuat masyarakat agar dalam menerima pinjaman pegadaian dapat memecahkan masalah yang dihadapi dengan tidak menimbulkan masalah yang baru, sesuai dengan motto Pegadaian, yaitu “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”. Perusahaan gadai awalnya dilaksanakan oleh perusahaan swasta, tetapi sejak tanggal 1 April 1901 berdasar pada Staatsblad Nomor 131 tanggal 12 Maret 1901 dikelola oleh pemerintah dan kantor pegadaian yang pertama didirikan di Sukabumi Jawa Barat. Pegadaian pertama berbentuk Jawatan, namun mulai tanggal 1 Januari berdasarkan Undang-Undang Nomor 121 Tahun 1960 Jawatan Pegadaian diubah menjadi Perusahaan Negara. Struktur permodalan Perum Pegadaian berasal dari: (a) kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN dan tidak terbagi atas saham, (b) penyertaan pemerintah, (c) kredit komersial dari bank (bank mega, BRI), (d) penerbitan obligasi. 2. Budaya Perusahaan Budaya perusahaan yang telah ditetapkan oleh perusahaan untuk mendukung terwujudnya visi, misi perusahaan harus dihayati dengan sungguh-sungguh oleh jajaran mulai dari direksi sampai karyawan yang paling rendah. Adapun budaya kerja yang di aktualisasikan dengan si “INTAN” yang masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut ini. a. Inovatif Perum Pegadaian berkreasi dan mengembangkan ide-ide guna menciptakan produk dan cara-cara kerja baru untuk memenuhi kebutuhan konsumen. b. Nilai Moral Tinggi Pegawai Perum Pegadaian senantiasa bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, rajin beribadah, menjunjung tinggi nilai moral, kesusilaan, etika, kejujuran dan kewaspadaan selalu mendasari sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas sehari-hari. c. Terampil Pegawai Perum Pegadaian senantiasa dapat melaksanakan tugas dengan cepat dan akurat, serta dapat dipertanggung jawabkan sesuai ketentuan yang berlaku. d. Adi Layanan Pegawai Perum Pegadaian selalu memberikan pelayanan yang prima. Kepuasan konsumen merupakan kebanggan tersendiri bagi setiap insan pegadaian. e. Nuansa Citra Pegawai Perum Pegadaian senantiasa menjaga citra baik perusahaan, bekerja, profesional, menjaga kebersihan lingkungan, kerapihan penampilan, efisiensi dan produktivitas. 3. Lokasi Perusahaan Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta termasuk dalam wilayah Perum Pegadaian Kantor Wilayah VIII Surakarta yang terletak di Jalan Brigjen. Sugiarto No. 33 Solo. 4. Tugas, Fungsi dan Kegiatan Usaha Perum Pegadaian a. Tugas Perum Pegadaian Dalam menjalankan aktivitas perusahaan, Perum Pegadaian mempunyai tugas pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1990 yakni menyalurkan uang pinjaman atas dasar gadai dan membuat masyarakat supaya dalam menerima pinjaman Pegadaian dapat mengatasi masalah yang dihadapinya dengan tidak menimbulkan masalah baru. Sesuai dengan motto Perum Pegadian, yaitu: “ Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”. b. Fungsi Perum Pegadaian Beberapa fungsi dari Perum Pegadaian antara lain sebagai berikut ini. 1) Membina penyaluran kredit atas dasar hukum gadai. 2) Mencegah adanya pemberian pinjaman yang tidak wajar seperti: ijon, pegadaian gelap, dan praktek riba lainnya. c. Kegiatan Usaha Perum Pegadaian Perum Pegadaian lebih memfokuskan sasarannya pada pemberian pinjaman kepada masyarakat, adapun kegiatan usaha dari Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta sebagai berikut ini. 1) Jasa Gadai Perum Pegadaian melakukan pemberian kredit kepada masyarakat yang membutuhkan melalui penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai. Perum Pegadaian juga menerima berbagai jenis barang yang dapat diterima sebagai barang jaminan, antara lain: barang perhiasan, barang elektronik, kendaraan, barang rumah tangga, mesin. 2) Jasa Taksiran Jasa ini diberikan kepada mereka yang ingin mengetahui kualitas perhiasan (emas, perak, berlian). 3) Jasa Titipan Pegadaian menyediakan jasa titipan untuk keamanan dan pemeliharaan barang atau surat berharga milik para nasabah. Barangbarang yang dapat dititipkan di antaranya: perhiasan, surat berharga (sertifikat, tanah, ijazah), sepeda motor dengan biaya murah dan aman. 5. Penggolongan Barang Gadai Penggolongan barang gadai berdasarkan besarnya Uang Pinjaman (UP), sewa modal/15 hari, biaya asuransi dan biaya penyimpanannya. Berikut ini tabel penggolongannya. Tabel 4.1 Gol A B C D1 D2 DM Penggolongan Uang Pinjaman Uang Jangka Sewa Biaya simpanan dan Pinjaman Waktu modal/15 Asuransi (Rp) (x Rp 1.000) hari 5 40 120 hr 1,25% 300-500 40,5 150 120 hr 1,5% 1500-3000 151 500 120 hr 1,75% 3000-5000 510 20.000 120 hr 1,75% 0,5% x UP min. Rp 7.500 >20.00 120 hr 1,75% 0,5% x UP min. Rp 10.00 120 hr 0,5% x UP min. Rp 50.000 Untuk memudahkan dalam pengelolaan dan penyimpanan barang gadai, maka digolongkan dalam beberapa “Rubrik”, yaitu: a. Kain (Kn/A), terdiri dari: 1) Bahan Pakaian 2) Kain, sarung, seprei dan sejenisnya b. Kantong (K/B), terdiri dari: 1) Emas, perak 2) Berlian 3) Barang perhiasan lainnya c. Gudang (G/C), terdiri dari: 1) Sepeda atau sepeda motor 2) Barang-barang elektronik 3) Alat atau perabot rumah tangga d. Mobil (M/D), terdiri dari: 1) Sedan, jeep, pick up 2) Minibus, truk, mobil niaga dan sebaginya 6. Sistem Pengukuran Kinerja Perum Pegadaian Sistem pengukuran kinerja pada Perum Pegadaian berdasarkan pada SE Direksi Perum Pegadaian mengenai pengukuran kinerja klasifikasi kantor cabang yaitu SE No. 12 OPP 1/18 tahun 1999 tanggal 7 Mei 1999. Kinerja yang diukur terdiri dari empat variabel yaitu sebagai berikut ini. a. Pertumbuhan omset Pertumbuhan omset Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta dapat dihitung dengan membandingkan antara realisasi dengan target atau anggaaran yang tertuang dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP). Formula untuk variabel ini diberi bobot 50. b. Surplus laba/rugi usaha Sama halnya dengan pengukuran pertumbuhan omset, surplus yang dicapai oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta dibandingkan dengan target atau anggaran yang tertuang dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP). Formula untuk variabel ini diberi bobot 30. c. Nilai barang jaminan Nilai barang jaminan dihitung dengan membandingkan rata-rata nilai barang jaminan yang dihitung secara nasional. Formula untuk variabel ini diberi nilai 10. Adapun bobot masing-masing golongan barang jaminan ditetapkan sebagai berikut: 1) Golongan A Kain: 0,75 2) Golongan A Emas: 0,75 3) Golongan A Gudang: 1,50 4) Golongan B Emas: 1,00 5) Golongan B Gudang: 2,00 6) Golongan C Emas: 1,50 7) Golongan C Gudang: 2,50 8) Golongan D Emas: 2,00 9) Golongan D Gudang: 3,00 d. Formasi karyawan Berdasarkan SE No. 26 tahun 1994 formasi karyawan ini dihitung melalui rata-rata adanya karyawan kantor cabang yang bersangkutan per dua semester menurut laporan semester yang wajib dibuat kantor cabang. Menurut SE No. 26 tahun 1994 butir 3 yaitu dengan produktivitas minimal dapat menyelesaikan 10 nilai barang jaminan per jam, 140 jam per minggu dan 48 minggu per tahun maka target prestasi kerja sesorang karyawan untuk menyelesaikan barang jaminan dalam (satu) tahun ditetapkan setara 19.200 nilai barang jaminan, sehingga dengan mengacu SE Direksi tersebut, maka perhitungan jumlah formasi karyawan berbanding lurus dengan tiap penambhan 19.200 per 2 (dua) nilai barang jaminan berhak mendapat tambahan 1 (satu) orang karyawan. Formula untuk variabel ini diberi nilai 10. Penilaian kinerja yang dilakukan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta tersebut dalam konsep Balanced Scorecard tidak seimbang karena dari penilaian kinerja tersebut terlihat bahwa pencapaian omset dan laba usaha menduduki penilaian tertinggi, hal ini mencerminkan penetapan bobot penilaian hanya berdasarkan executive judgement. Dari keempat indikator diatas kriteria produktivitas karyawan (formasi karyawan) dan kriteria operasional kantor cabang (nilai barang jaminan) tidak mendapat porsi yang sama dengan perspektif keuangan dalam penilaian kinerja kantor cabang. Perspektif keuangan dalam pengukuran kinerja kantor cabang mendapatkan dua kriteria, masing-masing pada pertumbuhan omset dan surplus. Sedangkan penilaian kinerja dalam Balanced Scorecard lebih berimbang karena mengukur dari dua aspek yaitu: keuangan dan nonkeuangan, jangka pendek dan jangka panjang serta intern dan ekstern, sehingga para personel yang menjalankannya dapat memperhitungkan keseimbangan antara pencapaian kinerja keuangan dan nonkeuangan, antara kinerja jangka pendek dan kinerja jangka panjang, serta antara kinerja yang bersifat intern dan kinerja bersifat ekstern. B. Analisis Data 1. Klarifikasi Visi, Misi, Tujuan dan Strategi Klarifikasi visi, misi, tujuan dan strategi perusahaan merupakan tahap awal dalam penerapan Balanced Scorecard. Tujuan dari klarifikasi visi, misi, tujuan, dan strategi adalah untuk memudahkan dalam menentukan sasaransasaran strategik yang hendak dicapai dalam mewujudkan visi serta tujuan perusahaan. a. Visi Perusahaan Visi Perum Pegadaian dalam jangka panjang tahap III adalah “Pegadaian pada tahun 2010 menjadi perusahaan yang modern, dinamis dan inovatif dengan usaha utama gadai”. Modern, dapat dilihat dari ciri fisik penggunaan sarana dan prasarana kerja mampu menghasilkan produk atau jasa yang cocok dengan kebutuhan masyarakat serta memberi solusi bagi masyarakat yang hidup di zaman modern ini. Dinamis, dicerminkan dari penampilan, pelayanan, kemampuan menyesuaika diri yang ditujukan pada peningkatan ketrampilan karyawan, sikap yang lebih komunikatif, efisien dan integritas yang tinggi serta mampu merespon kebutuhan konsumen internal dan eksternal dengan cepat. Inovatif, kemampuan perusahaan dalam menyempurnakan produk yang sudah ada dan menciptakan produk-produk baru yang menguntungkan serta perbaikan sistem dan prosedur sehingga diharapkan pegadaian dimasa depan tumbuh dan berkembang menjadi perusahaan yang solid. b. Misi Perusahaan Rumusan misi Perum Pegadaian dinyatakan dengan kalimat sebagai berikut: “Ikut membantu program pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat golongan menegah kebawah, melalui kegiatan utama berupa penyaluran kredit gadai dan melakukan usaha lain yang menguntungkan”. c. Tujuan Perusahaan Tujuan perusahaan secara eksplisit tercantum dalam lampiran Surat Keputusan Direksi Perum Pegadaian No. Sm 2/1/29 tanggal 27 Oktober 1990 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perum Pegadaian pasal 3 (1) dan (2) perusahaan bertujuan sebagai berikut ini. 1) Turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program pemerintah dibidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai. 2) Mencegah praktek ijon, pegadaian gelap, riba dan pinjaman tidak wajar lainnya. d. Strategi perusahaan Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta, dalam upaya mencapai sasaran pokok perusahaan yang digariskan dalam rencana jangka panjang mempunyai strategi pokok yang dilakukan dengan cara sebagai berikut ini. 1) Meningkatkan efisiensi perusahaan 2) Meningkatkan pelayanan kepada seluruh nasabah dengan baik, cepat dan manusiawi 3) Melaksanakan pengembangan produk baru hingga mampu menyumbangkan 20% dari total pendapatan 4) Meningkatkan produktivitas di seluruh bidang kegiatan Strategi ini kemudian diterjemahkan kedalam sasaran strategik yang komprehensif berdasarkan rerangka Balanced Scorecard. Sasaran strategik perlu diterjemahkan lebih lanjut disesuaikan dengan karakteristik bisnis perusahaan. Sasaran strategik yang hendak dicapai dapat dapat diterjemahkan dalam tabel sebagai berikut ini. Tabel 4.2 Penerjemahan Sasaran Strategik dalam Perspektif Balanced Scorecard Perspektif Sasaran Strategik Keuangan Produktivitas Modal Kerja Pertumbuhan Omset Peningkatan Bauran Pendapatan Customer Meningkatkan Kepuasan Customer Brand Equity Meningkatkan Preferensi Masyarakat terhadap Jasa Pegadaian Proses Bisnis Internal Pelayanan yang Prima (Adi Layanan) Perbaikan Sistem Operasional Pelayanan Pembelajaran & Pertumbuhan Meningkatkan Kapabilitas Karyawan Meningkatkan Komitmen Karyawan Sasaran-sasaran strategik yang sudah diterjemahkan kemudian dibangun hubungan yang koheren dan seimbang dalam rerangka Balanced Scorecard. Kekoherenan sasaran strategik dibangun dengan menciptakan hubungan sebab akibat (rationale) antara satu sasaran strategik dengan sasaran strategik yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan seimbang adalah bahwa sasaran strategik yang dirumuskan dalam perencanaan strategik perlu diarahkan ke empat perspektif secara seimbang: keuangan, customer, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan. Sasaran strategik harus diarahkan keempat perspektif secara seimbang antara kinerja keuangan dengan kinerja nonkeuangan, antara kinerja jangka pendek dengan kinerja jangka panjang, serta antara kinerja yang bersifat intern dan kinerja yang bersifat ekstern dapat digambarkan sebagi berikut ini. 2. Penentuan Ukuran Pencapaian Sasaran Strategik Sasaran strategik yang telah dipilih perlu ditetapkan ukuran pencapainnya. Ada dua ukuran strategik yang perlu ditentukan untuk mengukur keberhasilan pencapaian sasaran strategik: (1) ukuran hasil dan (2) ukuran pemacu kinerja, seperti yang ditunjukkan tabel berikut ini. Tabel 4.3 Ukuran Hasil dan Ukuran Pemacu Kinerja untuk Setiap Sasaran Strategik Ukuran Strategik Sasaran Strategik Ukuran Hasil (Lag Ukuran Pemacu Indicators) Kinerja (Lead Indicators) Perspektif Keuangan Produktivitas Modal Peningkatan Omset RKAP Kerja Pertumbuhan Omset Surplus Meningkat RKAP Peningkatan Bauran Peningkatan RKAP Pendapatan Pendapatan Sewa Modal dan Diluar Sewa Modal Perspektif Customer Meningkatkan Kepuasan Kepuasan Customer Survei Customer Kepuasan Customer Brand Equity Peningkatan Value Profitabilitas bagi Customer Customer Meningkatan Preferensi Masyarakat terhadap Jasa Pegadaian Perspektif Proses Bisnis Internal Pelayanan yang Prima (Adi Layanan) Perbaikan Sistem Operasional Pelayanan Perspektif Pembelajaran & Pertumbuhan Meningkatkan Kapabilitas Karyawan Meningkatkan Komitmen Karyawan Persentase Pendapatan dari Customer Akuisisi Customer Tangible, Reliability, Responsive, Assurance, Empathy Efektivitas Siklus Operasional Survei Kepuasan Customer Respond Time Revenue per Employee Persentase Keluarnya Karyawan Pemegang Jabatan Kunci Kepuasan Karyawan Produktivitas karyawan Retensi Karyawan Survei Kepuasan Karyawan 3. Penentuan Target Penentuan target merupakan suatu peroses yang dapat dilakukan pada saat penyusunan rencana strategik, tetapi penentuan ini sifatnya sementara. Penentuan target bertujuan untuk menandai keberhasilan pencapaian sasaran strategik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4.4 Ukuran Hasil, Ukuran Pemacu Kinerja untuk Setiap Sasaran Strategik dan Target Ukuran Strategik Sasaran Strategik Ukuran Hasil (Lag Ukuran Indicators) Pemacu Kinerja (Lead Indicators) Perspektif Keuangan Produktivitas Modal Peningkatan RKAP Kerja Omset Pertumbuhan Omset Surplus RKAP Meningkat Peningkatan Bauran Peningkatan RKAP Target 80%/th 80%/th 80%/th Pendapatan Pendapatan Sewa Modal dan Diluar Sewa Modal Perspektif Customer Meningkatkan Kepuasan Customer Kepuasan Customer Peningkatan Value bagi Customer Persentase Pendapatan dari Customer Brand Equity Meningkatan Preferensi Masayarakat terhadap Jasa Pegadaian Perspektif Proses Bisnis Internal Pelayanan yang Prima (Adi Layanan) Perbaikan Sistem Operasional Pelayanan Perspektif Pembelajaran & Pertumbuhan Meningkatkan Kapabilitas Karyawan Meningkatkan Komitmen Karyawan Tangible, Reliability, Responsive, Assurance, Empathy Efektivitas Siklus Operasional Revenue Employee Persentase keluarnya Karyawan Pemegang Jabatan Kunci Kepuasan Karyawan Survei Kepuasan customer Profitabilit as Customer Akuisisi Customer 40%/th Survei Kepuasan Customer 40%/th Respond Time 15 menit per transaksi Produktivit as karyawan Retensi Karyawan Rp 50 juta/th Survei Kepuasan Karyawan 50%/th per Rp rb/th 350 25%/th < 10%/th 4. Perumusan Inisiatif Strategik Inisiatif strategik merupakan action program yang bersifat strategik untuk mewujudkan sasaran strategik. Inisiatif strategik dirumuskan dengan membuat suatu pernyataan kualitatif yang berupa langkah besar yang akan dilaksanakan dimasa depan untuk mewujudkan sasaran strategik. Oleh karena sasaran-sasaran strategik yang terdapat dalam perspektif keuangan merupakan hasil perwujudan dari berbagai sasaran strategik di perspektif customer, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan organisasi maka dalam perumusan inisiatif strategik hanya dirumuskan dari tiga perspektif tersebut. Rumusannya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4.5 Sasaran Strategik dan Inisiatif Strategik untuk Mewujudkannya Sasaran Strategik Inisiatif Strategik Perspektif Keuangan Produktivitas Modal Kerja Pertumbuhan Omset Peningkatan Bauran Pendapatan Perspektif Customer Meningkatkan Kepuasan Customer Pembangunan Hubungan Berkualitas dengan Customer Brand Equity Pembangunan Citra dan Nama Baik Perusahaan Meningkatkan Preferensi Masyarakat Pembangunan Atribut Jasa terhadap Jasa Pegadaian Perspektif Proses Bisnis Internal Pelayanan yang Prima (Adi Layanan) Pedoman atau Juklak Perbaikan Sistem Operasional Pegadaan Sarana dan Prasarana Perspektif Pembelajaran & Pertumbuhan Meningkatkan Kapabilitas Karyawan Pengembangan Sumber Daya Manusia Meningkatkan Komitmen Karyawan Peningkatan Kualitas Hidup Kerja 5. Pengukuran Kinerja Masing-masing Perspektif dalam Balanced Scorecard Pengukuran kinerja dalam Balanced Scorecard meliputi 4 (empat) perspektif yaitu perspektif keuangan, perspektif customer, perspektif proses bisnis internal, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Masing-masing pengukuran keempat perspektif untuk Perum Pegadagaian Cabang Gading Surakarta dilakukan sebagai berikut ini. a. Perspektif Keuangan Tolok ukur yang digunakan untuk menilai perspektif keuangan adalah sebagai berikut ini 1) Omset Pertumbuhan omset dapat dinilai dengan membandingkan antara realisasi dengan target. Tabel 4.6 Tingkat Pertumbuhan Omset Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta Tahun 2001-2003 2001 2002 2003 Realisasi 14.232.839.700 19.595.429.000 18.871.191.300 Target 10.665.242.000 17.039.824.000 22.163.750.000 Pertumbuhan 133,45% 114,99% 85,14% omset Sumber:Sub Seksi Operasi dan Pengembangan (OPP) Tabel 4.6 menunjukkan tingkat pertumbuhan omset Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta selama tahun tiga tahun. Ratarata pertumbuhan selama tiga tahun sebesar 111,19%. Hal ini menunjukkan bahwa selama tiga tahun tersebut target omset yang telah ditetapkan hampir seluruhnya terealisasi. 2) Surplus Laba/Rugi Usaha Surplus laba/rugi usaha dapat dinilai dengan membandingkan antara target dan relisasi Tabel 4.7 Tingkat Surplus Laba/Rugi Usaha Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta Tahun 2001-2003 2001 2002 2003 Realisasi 1.033.345.073 1.533.230.383 745.932.008 Target 917.957.780 1.240.014.088 1.839.876.460 Surplus 112,57% 123,65% 40,54% laba/rugi usaha Sumber: Sub Seksi Operasi dan Pengembangan (OPP) Tabel 4.7 menunjukkan tingkat surplus laba/rugi usaha Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta selama tiga tahun. Rata-rata tingkat surplus laba/rugi usaha selama tiga tahun sebesar 93,78%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat surplus laba rugi usaha selama tiga tahun tersebut hampir seluruhnya terealisasi sesuai dengan target yang telah ditetapkan. 3) Bauran Pendapatan Pertumbuhan bauran pendapatan dapat dinilai dengan membandingkan antara realisasi dengan target. Tabel 4.8 Tingkat Pertumbuhan Bauran Pendapatan Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta Tahun 2001-2003 2001 2002 2003 Realisasi 1.280.370.128 1.906.249.865 1.917.537.057 Target 1.109.313.921 1.536.444.154 2.287.499.838 Pertumbuhan 115,42% 124,05% 83,83% bauran pendapatan Sumber: Sub Seksi Operasi dan Pengembangan (OPP) Tabel 4.8 menunjukkan tingkat pertumbuhan bauran pendapatan pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. Rata-rata pertumbuhan pendapatan selama tiga tahun sebasar 107,77%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan bauran pendapatan hampir seluruhnya melebihi target yang telah ditetapkan. b. Perspektif Customer Tolok ukur yang digunakan untuk mengukur perspektif customer adalah sebagai berikut ini. 1) Kepuasan Customer Kepuasan customer (nasabah) pada Perum Pegadaian diukur dengan menggunakan kuesioner. Kepuasan nasabah ini meliputi kepuasan terhadap lima dimensi kualitas jasa yaitu tangible, reliability, responsive, assurance, empathy. Jumlah responden yang diberikan kuesioner sebanyak 180 orang dengan jumlah pertanyaan yang diberikan kepada responden sebanyak 10 pertanyaan sehingga ratarata jawaban riil setiap responden untuk seluruh pertanyaan dibagi dengan 10 dan dapat di deskirpsikan sebagai berikut ini. Tabel 4.9 Tingkat Kepuasan Nasabah Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta Tingkat Kepuasan Rentang Nilai Frekuensi Prosentase Sangat Tidak Puas 1,0 - 1,9 0% Tidak Puas 2,0 - 2,9 15 8,34% Cukup Puas 3,0 - 3,9 121 67,22% Puas 4,0 - 4,9 44 24,44% Sangat Puas 5,0 0% Jumlah 180 100% Tabel 4.9 menunjukkan tingkat kepuasan nasabah terhadap kualitas jasa yang diberikan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. Dari tabel tersebut tingkat kepuasan konsumen sebesar 24,44% atau berdasarkan pada responden yang menjawab puas. 2) Profitabilitas Customer Profitabilitas customer dapat dinilai dengan membandingkan pendapatan jasa dengan jumlah konsumen (nasabah). Tabel 4.10 Profitabilitas Customer Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta Tahun 2001-2003 2001 2002 2003 Pendapatan jasa 1.280.370.128 1.906.249.865 1.917.537.057 Jumlah nasabah 3.265 3.989 4.321 Profitabilitas 392.150 477.877 443.772 customer Sumber: Sub Seksi OPP dan Sub Seksi Keuangan, data diolah Tabel 4.10 menunjukkan profitabilitas customer pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta selama tiga tahun. Rata-rata profitabilitas customer selama tiga tahun sebesar Rp 437.933. hal ini menunjukkan bahwa setiap satu nasabah dapat menghasilkan pendapatan usaha pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta rata-rata sebesar Rp 437.933 per tahun. 3) Akuisisi Customer Akuisisi customer dapat dilakukan dengan membandingkan jumlah customer dari tahun ke tahun. Jika terdapat peningkatan jumlah customer maka perusahaan mampu memperoleh customer baru. Tabel 4.11 Tingkat Akuisisi Customer Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta Tahun 2001-2003 2001 2002 2003 Jumlah nasabah 3.265 3.989 4321 Prosentase 22,17% 8,32% Sumber: Sub Seksi Operasi dan Pengembangan (OPP), data diolah Tabel 4.11 menunjukkan jumlah tingkat akusisi customer pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta selama tiga tahun. Ratarata akuisisi customer selama tiga tahun sebesar 15,25%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat perolehan nasabah baru yang dapat diperoleh oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta sebesar rata-rata 15,25% per tahun. c. Perspektif Proses Bisnis Internal Tolok ukur yang digunakan dalam mengukur perspektif proses bisnis internal adalah sebagai berikut ini. 1) Respond Times Respond times dapat diukur berdasarkan waktu pelayanan yang diberikan kepada nasabah. Tabel 4.12 Waktu Pelayanan Nasabah Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta Tahun 2001-2003 2001 2002 Respond times 20 menit 20 menit Sumber:Sub Seksi Operasi dan Pengembangan (OPP) 2003 15 menit Tabel 4.12 menunjukkan respond times pelayanan kepada para nasabah pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta selama tiga tahun. Rata-rata respond times selama tiga tahun yaitu 18 menit. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan atau efektivitas pelayanan yang bisa diberikan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta rata-rata 18 menit setiap transaksi. d. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Tolok ukur yang digunakan untuk mengukur perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan adalah sebagai berikut ini. 1) Produktivitas Karyawan Produktivitas karyawan dapat dinilai dengan membandingkan antara laba usaha dengan jumlah karyawan. Tabel 4.13 Produktivitas Karyawan Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta Tahun 2001-2003 2001 2002 2003 Laba usaha 1.033.345.073 1.533.230.383 745.932.008 Jumlah karyawan 8 9 11 Produktivitas 129.168.134 170.358.931 67.812.000 karyawan Sumber: Sub Seksi Kepegawaian dan Sub Seksi Keuangan, data diolah Tabel 4.13 menunjukkan tingkat produktivitas karyawan Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta selama tiga tahun. Rata-rata produktivitas karyawan Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta selama tiga tahun sebesar Rp 122.446.355. Hal ini menunjukkan bahwa setiap karyawan pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta dapat menghasilkan laba usaha rata-rata sebesar Rp 122.446.355 per tahun. 2) Retensi Karyawan Retensi karyawan dapat dinilai dengan membandingkan antara jumlah karyawan masuk (keluar) dengan jumlah total karyawan. Tabel 4.14 Tingkat Retensi Karyawan Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta Tahun 2001-2003 2001 2002 Jumlah karyawan 8 8 Karyawan masuk 1 Karyawan keluar Retensi Karyawan 0% 12,5% Sumber:Sub Seksi Kepegawaian, data diolah 2003 9 2 22,22% Tabel 4.14 menunjukkan tingkat retensi karyawan pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta selama tiga tahun rata-rata retensi karyawan selama tiga tahun sebesar 11,57%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keluar masuknya karyawan rata-rata sebesar 11,57% per tahun. 3) Kepuasan Karyawan Kepuasan karyawan pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta diukur dengan menggunakan kuesioner. Kepuasan karyawan ini meliputi kepuasan terhadap atribut-atribut pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta yaitu: semangat kerja, lingkungan kerja, motivasi, komunikasi, dan kondisi fisik kerja. Jumlah responden yang diberikan kuesioner sebanyak 11 orang dengan jumlah pertanyaan yang diberikan kepada responden sebanyak 12 pertanyaan sehingga rata-rata jawaban riil setiap responden untuk seluruh pertanyaan dibagi dengan 12 dan dapat di deskirpsikan sebagai berikut ini. Tabel 4.15 Tingkat Kepuasan Karyawan Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta Tingkat Kepuasan Rentang Nilai Frekuensi Prosentase Sangat Tidak Puas 1,0 - 1,9 0% Tidak Puas 2,0 - 2,9 0% Cukup Puas 3,0 - 3,9 7 63,64% Puas 4,0 - 4,9 4 36,36% Sangat Puas 5,0 0% Jumlah 11 100% Tabel 4.15 menunjukkan tingkat kepuasan nasabah terhadap atributatribut pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. Dari tabel tersebut tingkat kepuasan karyawan sebesar 36,36% atau berdasarkan pada responden yang menjawab puas. 6. Hasil Penilaian Kinerja Kinerja yang telah direncanakan kemudian diwujudkan melalui sistem pengelolaan kinerja. Dalam sistem pengelolaan kinerja, kinerja yang sesungguhnya diukur dan dicatat kemudian dianalisis dan dinilai untuk memberikan umpan balik terhadap personel yang bertanggung jawab. Hasil penilaian kinerja berdasarkan Balanced Scorecard dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 4.16 menunjukkan perbandingan antara sasaran strategik, ukuran hasil, ukuran pemicu, target serta hasil dari pengukuran kinerja serta bobot nilai dari masing-masing perspektif. Hasil penilaian kinerja manajemen diatas merupakan hasil analisa dari data-data yang tersaji. Hasil penilaian menunjukkan dari perspektif keuangan rata-rata bisa melebihi target yang direncanakan, sehingga semua mendapatkan skor 1 atau “baik”. Perspektif customer kinerjanya kurang baik karena hanya dari tolok ukur profitabilitas customer yang bisa melampaui target yang direncanakan, sehingga mendapatkan total skor -1 atau “kurang baik”. Perspektif proses bisnis internal kinerjanya juga kurang baik karena masih dibawah target yang direncanakan sehingga mendapatkan total skor -2 atau “kurang baik”. Untuk perspektif pembelajaran dan pertumbuhan kinerjanya “baik” atau mendapatkan total skor 1 karena hanya pada tolok ukur karyawan yang masih dibawah target yang direncanakan meskipun retensi karyawan juga dibawah target tetapi retensi karyawan ini dikarenakan adanya penambahan karyawan atau karyawan masuk, sehingga jika ada penambahan karyawan berarti jumlah nilai barang jaminan semakin tinggi. Adapun usaha-usaha yang perlu dilakukan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta agar bisa mencapai sasaran strategik seperti yang telah ditargetkan maka Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta perlu menjalankan inisiatif strategik seperti yang telah dirumuskan pada tabel 4.5. Untuk menjalankan inisiatif strategik tersebut dapat dilakukan dengan program atau langkah-langkah sebagai berikut ini. a. Perspektif Keuangan Dalam perspektif ini tidak dirumuskan mengenai inisiatif strategik yang perlu diambil agar sasaran strategiknya dapat terwujud karena rumusan perspektif nonkeuangan (customer, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan) semua berdampak pada perspektif keuangan. Namun ada beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk dapat memaksimalkan kinerja perspektif keuangan: 1) optimalisasi modal kerja, artinya melalui pemberian pinjaman modal kepada seluruh lapisan masyarakat diharapkan modal kerja yang diberikan bisa lebih optimal. 2) maksimalkan perolehan pendapatan, artinya dari setiap jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat yaitu jasa gadai, jasa taksiran, dan jasa titipan dapat diberikan secara optimal kepada masayarakat sehingga dapat memaksimalkan pendapatan. b. Perspektif Customer Perspektif customer adalah perspektif yang penting yang perlu diperhatikan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta karena kegiatan usaha yang dilakukan berupa pemberian layanan jasa kredit atas dasar hukum gadai berhubungan langsung dengan customer. Adapun langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk memaksimalkan kinerja perspektif customer adalah sebagai berikut ini. 1) penemuan kembali keunggulan perusahaan agar jasa yang dihasilkan tetap menjadi pilihan. Seperti yang kita ketahui keuanggulan yang dimiliki oleh Perum Pegadaian adalah syarat yang mudah dan bunga yang rendah, maka hal tersebut perlu dipertahankan agar masyarakat tetap memperoleh kemudahan dalam mendapatkan kredit sehingga masyarakat memiliki loyalitas terhadap Perum Pegadaian. 2) pembangunan hubungan yang berkualitas dengan customer, artinya hubungan yang dirasakan oleh customer yang bisa dinilai berdasarkan atas kepuasan konsumen terhadap kualitas jasa yang diberikan oleh Perum Pegadaian (tangibles, reliability, responsive, assurance, empathy). c. Perspektif Proses Bisnis Internal Langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk dapat memaksimalkan kinerja dalam perspktif proses bisnis internal adalah sebagai berikut ini. 1) tetap dipertahankannya pelayanan prima (Adi Layanan), artinya pemberian pelayanan yang disesuaikan dengan segmen customer, demografi, geografi dan potensi daerahnya terjadi operasionalisasi tanpa mengurangi arti pentingnya pelayanan prima. 2) perbaikan sistem operasional pelayanan sehingga efektivitas siklus operasional yaitu siklus waktu pelayanan optimal yang mampu diberikan perusahaan terhadap customernya. Perbaikan ini mencakup pada aspek kecermatan dan kecepatan pelayanan. d. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Dalam perspektif ini sebenarnya ada beberapa langkah yang telah diambil dan perlu dipertahankan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta untuk dapat meningkatkan komitmen dan kapabilitas karyawan, antara lain sebagai berikut ini. 1) memberikan kesempatan pada karyawan untuk mengikuti training dan pelatihan yang diadakan oleh Kantor Wilayah. 2) mengajukan usulan kenaikan jabatan bagi karyawan 3) pemberian fasilitas kredit yang bisa diangsur setiap tahun dengan jangka waktu pelunasan yang tidak terlalu singkat. 7. Pengukuran Kinerja Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta Kinerja Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta jika didasarkan pada penilaian SE Direksi Perum Pegadaian yaitu SE No. 12. OPP 1/18 tahun 1999 tanggal 7 Mei 1999 mengenai pengukuran kinerja. Kinerja Perum Pegadaian selama tiga tahun kurang baik karena rata-rata keempat variabel yang digunakan sebagai pengukuran kinerja pada tahun 2003 mengalami penurunan jika dibandingkan dua tahun sebelumnya. Pertumbuhan pada tahun 2001 sebesar 133,45% pada tahun 2002 mengalami penurunan menjadi 114,99% dan pada tahun 2003 juga mengalami penurunan menjadi 85,14%, sehingga untuk pertumbuhan omset diberi skor -1 atau “kurang”. Sedangkan untuk surplus pada tahun 2001 tingkat pertumbuhannya sebesar 112,57%, pada tahun 2002 mengalami peningkatan menjadi 123,65% namun pada tahun 2003 penurunanya sangat besar sekali yaitu menjadi 45,13%, sehingga untuk surplus kantor cabang diberi skor -1 atau “kurang”. Nilai barang jaminan selama tiga tahun jumlahnya juga fluktuatif, pada tahun 2001 nilai barang jaminan jumlahnya sebesar Rp 14.214.839.700, pada tahun 2002 mengalami peningkatan menjadi Rp 19.438.969.200 namun pada tahun 2003 mengalami penurunan menjadi Rp 12.690.519.000 atau turun sebesar 34,72%, sehingga untuk nilai barang jaminan juga diberi skor -1 atau “kurang”. Untuk formasi karyawan di sini bagus karena terus mengalami penambahan yaitu pada tahun 2002 menambah 1 (satu) orang dan pada tahun 2003 menambah 2 (dua) orang sehingga diberi skor 1 atau “baik”. 8. Perbandingan Pengukuran Kinerja pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta dengan Pengukuran Kinerja dalam Balanced Scorecard Perbandingan pengukuran kinerja pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta dengan Balanced Scorecard dipergunakan untuk mengetahui tentang aspek-aspek mana saja yang belum diperhatikan dalam pengukuran kinerja yang dilakukan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta jika dibandingkan dengan pengukuran dengan menggunakan konsep Balanced Scorecard sehingga dapat dipergunakan sebagai pertimbangan dalam menyempurnakan penilaian kinerja pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. Adapun perbedaan bentuk sistem pengukuran kinerja tersebut adalah sebagai berikut ini. Tabel 4.17 Perbandingan Pengukuran Kinerja Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta dengan Pengukuran Kinerja dalam Balanced Scorecard Perum Pegadaian Balanced Scorecard Cabang Gading Surakarta Kriteria Bobot Perspektif Bobot Keuangan Keuangan -1 1 Pertumbuhan omset Peningkatan omset -1 1 Surplus laba rugi Surplus meningkat 1 Peningkatan bauran pendapatan Customer -1 Kepuasan customer -1 Value bagi customer 1 Persentase pendapatan dari customer Operasional Kantor Proses Bisnis Internal Cabang -1 -1 Nilai Barang Jaminan Tangible, Reliability, Responsive, Assuransce, Empathy -1 Efektivitas siklus operasional Produktivitas Karyawan Pembelajaran dan Pertumbuhan 1 1 Hak formasi karyawan Revenue per Employee 1 Persentase keluarnya karyawan pemegang jabatan kunci -1 Kepuasan karyawan Total -2 1 Tabel 4.17 menunjukkan hasil perbandingan penilaian kinerja yang dilakukan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta dengan konsep Balanced Scorecard yang didasarkan penilaian dengan skor. Dari penilaian skor dari masing-masing pengukuran kinerja menunjukkan pengukuran kinerja pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta memiliki total bobot skor -2 dari total bobot standar 4 karena terdiri dari empat variabel penilaian, sehingga rata-rata skor adalah -0,5 atau “kurang”. Sedangkan untuk pengukuran kinerja dengan Balanced Scorecard memiliki total bobot skor 1 dari total bobot standar 11 karena terdiri dari sebelas ukuran hasil, sehingga rata-rata skor adalah 0,09 atau “cukup”. Langkah selanjutnya adalah membuat skala untuk menilai dari total skor untuk menilai dari total skor tersebut sehingga kinerja perusahaan dapat dikatan “kurang”, “cukup” dan “baik serta menentukan batas daerah “kurang”, “cukup” dan “baik”. Dengan menggunakan asumsi bahwa kinerja yang “kurang adalah kurang dari 50% (skor 0) dan kinerja dikatakan baik adalah jika lebih dari 80% diasumsikan bahwa 80% adalah sama dengan 0,6. Sisanya adalah daerah “cukup”, yaitu antara 0 - 0,6. Berikut gambar kinerja Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta KURANG 0% RKAP -1 -0,5 CUKUP 50% BSC 0 0,09 BAIK 80% 0,6 100% 1 Gambar 4.2 Kinerja Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta Dengan demikian dapat diartikan bahwa kinerja Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta setelah menerapkan Balanced Scorecard terletak di daerah “cukup” karena nilainya 0,09 atau terletak antara 0 - 0,6. Sedangkan sebelum menerapkan Balanced Scorecard terletak di daerah “kurang” karena nilainya -0,5 atau terletak dibawah 50%. Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa penilaian kinerja Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta dengan menggunakan Balanced Scorecard selama tiga tahun menunjukkan hasil yang jauh berbeda dengan pengukuran kinerja yang dilakukan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. Dalam tabel 4.17 tersebut kita juga bisa melihat aspekaspek mana yang belum diperhatikan oleh Perum Pegadaian Surakarta dalam melakukan pengukuran kinerjanya, selain itu pengukuran yang dilakukan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta lebih fokus ke internal perusahaan sehingga hasil pengukuran kinerjanya belum menggambarkan kinerja Perum Pegadaian secara keseluruhan. 9. Masalah-masalah yang Dihadapi dalam Penerapan Balanced Scorecard pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta Masalah-masalah yang dihadapi dalam penerapan Balanced Scorecard pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta adalah sebagai berikut ini. a. Kesulitan dalam menentukan tolok ukur, sasaran strategik, ukuran strategik, target dan inisiatif strategik masing-masing perspektif karena seperti yang kita ketahui Perum Pegadaian merupakan perusahaan BUMN yang bergerak di bidang jasa layanan kredit melalui hukum gadai sehingga Perum Pegadaian tidak sepenuhnya merupakan perusahaan yang profit oriented sehubungan dengan tugas-tugas sosial yang dibebankan oleh pemerintah. Sedangkan seperti yang kita ketahui konsep Balanced Scorecard yang dikembangkan oleh Kaplan dan Norton lebih ditekankan pada perusahaan bisnis (profit oriented) dan kebanyakan penelitianpenelitian mengenai Balanced Scorecard penerapannya pada perusahaan bisnis. b. Balanced Scorecard merupakan sistem pengukuran kinerja yang kontemporer atau modern dan belum banyak orang yang mengetahuinya termasuk juga para staf karyawan pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta, sehingga dibutuhkan pemberian pemahaman kepada para pegawai atau sumber daya manusia seandainya Balanced Scorecard diterapkan sebagai alat ukur kinerja pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Praktek pengukuran kinerja pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta secara umum dapat dikatakan cukup memadai karena selain pengukuran aspek keuangan perusahaan, Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta juga sudah menerapkan pengukuran aktivitas perusahaan dari segi nonkeuangan. Hal ini dapat dilihat dari penilaian operasional kantor cabang berdasarkan nilai barang jaminan serta penilaian produktivitas karyawan berdasarkan hak formasi. Hanya saja, ukuran keuangan dan nonkeuangan yang digunakan dalam mengukur kinerja Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta kurang terpadu. Keterpaduan ini disebabkan karena ukuran nonkeuangan yang digunakan hanya dianggap sebagai pelengkap dari ukuran keuangan. Akibatnya aspek nonkeuangan kurang mendapatkan perhatian yang serius. Keberadaan aspek nonkeuangan yang telah ada selama ini kurang dimanfaatkan secara maksimal, padahal dalam aspek nonkeuangan inilah kunci keberhasilan dari aspek keuangan yang diharapkan oleh perusahaan. Sistem perencanaan perusahaan banyak yang hanya mengandalkan anggaran tahunan. Begitu juga dengan sistem perencanaan Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta yang hanya mengandalkan pada anggaran tahunan dalam membawa perusahaan menuju ke masa depan akan menghasilkan langkahlangkah kecil yang berdimensi waktu satu tahun atau kurang. Sistem anggaran sebagai satu-satunya alat perencanaan mengakibatkan personel berpandangan jangka pendek dalam menuju ke masa depan. Berdasarkan situasi dan kondisi yang ada pada Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta saat ini, penulis menyimpulkan bahwa perusahaan mempunyai peluang untuk menerapkan konsep Balanced Scorecard dalam proses bisnisnya serta sistem pengukuran kinerja dengan menggunakan Balanced Scorecard lebih baik jika dibandingkan dengan sistem pengukuran kinerja yang dilakukan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. Terlepas dari kelemahan-kelemahan pengukuran kinerja yang selama ini diterapkan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta dan masalah-masalah yang dihadapi dalam penerapan Balanced Scorecard yaitu: kesulitan dalam penentuan tolok ukur dan masih minimnya pengetahuan para karyawan mengenai Balanced Scorecad, Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta sebenarnya memiliki potensi untuk mengaplikasikan konsep Balanced Scorecard. Elemen-elemen penting yang diperlukan dalam konsep Balanced Scorecard seperti sumber daya manusia, sumber daya finansial dan fisik, bagi aspek keuangan sampai dengan proses pembelajaran dan pertumbuhan, telah cukup dimiliki oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. Disamping itu, perusahaan sendiri tampaknya juga mempunyai kemampuan untuk mewujudkan elemen-elemen penting Balanced Scorecard yang saat ini tidak atau belum dimiliki oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta. Ini berarti dari segi teknis Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta sudah memiliki potensi menggunakan Balanced Scorecard sebagai alternatif pengukuran kinerja. B. Saran Saran yang akan penulis ajukan berdasarkan kesimpulan diatas adalah sebagai berikut ini. 1. Sistem perencanaan yang digunakan oleh Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta banyak mengandalkan anggaran tahunan sebagai alat perencanaan masa depan perusahaan. Jika dalam lingkungan bisnis yang kompetitif dan kompleks seperti saat ini perusahaan hanya mengandalkan anggaran tahunan sebagai alat perencanaan masa depannya, maka perusahaan sangat rentan dalam persaingan. Anggaran tahunan hanya akan menghasilkan langkahlangkah kecil ke depan yang hanya mempunyai masa pelaksanaan satu tahun atau kurang. Hal-hal strategik seperti perumusan misi dan visi perusahaan tidak akan dapat dijangkau jika perusahaan hanya menggunakan sistem anggaran dalam sistem perencanaan. Supaya tetap eksis dalam lingkungan bisnis yang kompetitif dan kompleks ini, penulis menyarankan agar Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta menggunakan tipe perencanaan yang tidak hanya sekedar untuk merespon perubahan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, namun lebih dari itu Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta memerlukan tipe perencanaan untuk menciptakan masa depan perusahaan melalui perubahan yang dilaksanakn sejak saat ini. Tipe perencanaan seperti ini bisa diwujudkan melalui penerapan konsep Balanced Scorecard yang mempunyai sistem nilai penciptaan masa depan berdasarkan kondisi yang diperkirakan akan terwujud dimasa depan. 2. Perum Pegadaian Cabang Gading Surakarta dapat mencoba mengimplementasikan konsep Balanced Scorecard sebagai suatu alternatif pengukuran kinerja dengan tujuan untuk memperbaiki kinerja keuangan mereka, serta untuk mempengaruhi perubahan kultur yang ada dalam perusahaan. Terjadinya perubahan kultur dalam perusahaan ini disebabkan karena adanya perubahan sistem yang telah lama diterapkan oleh perusahaan kepada suatu sistem baru dimana sistem baru ini dirancang untuk melipatgandakan kinerja dengan empat perspektif yaitu perspektif keuangan, perspektif customer, perspektif proses bisnis internal, serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. 3. Balanced Scorecard perusahaan haruslah tidak menjadi sekedar gabungan dari ukuran-ukuran finansial dan nonfinansial yang dikelompokkan ke dalam empat perspektif. Scorecard hendaknya menjelaskan strategi perusahaan secara keseluruhan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggabungkan ukuran hasil dengan faktor pendorong kinerja melalui serangkaian hubungan sebab akibat. 4. Balanced Scorecard yang dirumuskan hendaknya mengakaitkan misi dan strategi perusahaan kepada berbagai sasaran dan ukuran yang eksplisit. Balanced Scorecard tersebut harus dikomunikasikan kepada seluruh personel dalam perusahaan, terutama para pekerja, manajer perusahaan. Tujuan dari proses komunikasi adalah untuk menyelaraskan strategi dengan semua pekerja di dalam perusahaan, maupun orang-orang kepada siapa perusahaan bertanggung jawab (para manajer). C. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan yang ada dalam penelitian ini yang kemungkinan dapat menimbulkan gangguan terhadap penelitian ini adalah kemungkinan kurang tepatnya ukuran yang digunakan dalam menentukan tolok ukur dari masingmasing perspektif, penentuan sasaran strategik yang ingin dicapai, target yang ditetapkan, maupun perumusan inisiatif strategik yang dapat dilakukan. Scorecard tersebut disusun oleh penulis berdasarkan asumsi pribadi yang didasarkan pada konsep Balanced Scorecard, yang dipandang penulis paling mungkin dan mudah untuk diterapkan oleh perusahaan. Karena itu scorecard tersebut bukanlah hasil mutlak dari konsep Balanced Scorecard yang harus diterapkan secara persis. Perusahaan masih perlu melakukan pengkajian atau studi lebih mendalam bila ingin menghasilkan scorecard yang benar-benar tepat dan cocok dengan situasi dan kondisi yang aktual dengan perusahaan.