EKSPLORASI JENIS TUMBUHAN HERBA BERPOTENSI OBAT DI TAMAN WISATA ALAM SITUGUNUNG CISAAT, SUKABUMI RENDA PURNAWAN Program Studi Biologi, FMIPA Universitas Pakuan. Jln. Pakuan PO.BOX 452 , Bogor ABSTRACT Herba are defined as a plant which is short, tiny, and has no cambium on its stem. Herbs is beneficial as covering the land to avoid rain drop directly hit on surface of soil which can caused losing the humus on it. Herbs and other plants have important role to specify ecosystem type. Leaves of herb is filtering the sunlight to make the temperature in the soil not too high. This research was done in this area whit Exploration methods Situ Gunung which is included in the Village area Kadudampit, Kadudampit subdistrict, Sukabumi, West Java. The sampling process in Region Cisaat Nature Situ Gunung Sukabumi starting from a height of 950 m above sea level, 990 m asl and 1030 m asl. At each elevation, starting point walk to next point if there are herbaceous plants that has potential as drugs then taken, observed directly and sprayed using 70% alcohol then identified in Biological Science Laboratory of the University of Pakuan. Medicinal plant species were obtained using this method are 27 species of herbaceous plants from 19 families that have potential as traditional medicine. Imperata cylindrica most often founded at an altitude of 950 m above sea level and 990 m above sea level. At an altitude of 1030 m above sea which found are herbaceous plant Ageratum conyzoides is most common. Kata kunci: Tumbuhan herba, obat, Taman Wisata Alam Situgunung. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki kawasan hutan yang cukup luas. Keberadaan kawasan hutan ini merupakan aset nasional yang harus terus dikelola dan dikembangkan kearah lebih baik, agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (Sofia, 2007). Menurut Nunaki (2007), hutan merupakan sumberdaya alam yang mempunyai manfaat besar bagi bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial-budaya, maupun ekonomi yang harus dikelola dan dimanfaatkan secara rasional dengan memperhatikan kebutuhan generasi masa kini dan masa datang. Keanekaragaman spesies tumbuhan juga diikuti dengan keanekaragaman manfaatnya bagi manusia, diantaranya yaitu sebagai bahan makanan, bumbu masakan dan bahan bangunan. Selain itu, sebagian besar manusia telah memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan obat. Tanaman-tanaman tersebut diterapkan sebagai bahan baku industri obat modern dan juga sebagai obat-obatan tradisional. Tumbuhan berkhasiat obat adalah jenis tumbuhan yang pada bagian-bagian tertentu baik akar, batang, kulit, daun maupun hasil ekskresinya dipercaya dapat menyembuhkan atau mengurangi rasa sakit (Noorhidayah & Sidiyasa, 2006). Eksplorasi adalah kegiatan pelacakan, penjelajahan, mencari dan mengumpulkan jenisjenis sumberdaya genetik tertentu (tumbuhan obat) untuk dimanfaatkan dan mengamankannya dari kepunahan (Kusumo, 2002). Kegiatan eksplorasi masih sangat dibutuhkan untuk mengetahui jenisjenis tumbuhan yang bisa dimanfaatkan sebagai obat. Keanekaragaman tumbuhan berpotensi obat masih banyak yang belum di eksplorasi karena adanya persaingan dengan penggunaan obat sintetik yang mendapat perhatian lebih dari masyarakat. Situgunung merupakan kawasan hutan yang terletak di kaki Gunung Gede, lebih kurang 16 km sebelah Barat laut kota Sukabumi dan masih memiliki vegetasi serta danau yang bagus. Masyarakat sekitar memanfaatkan keindahan alam Situ Gunung ini sebagai tempat wisata (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2003). Kawasan hutan Situ Gunung masuk dalam kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), yang merupakan salah satu ekosistem pegunungan hutan hujan tropis yang masih alami dengan keanekaragaman flora dan fauna yang dilindungi. Situ Gunung ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 461/Kpts/Um/11/1975 tanggal 27 Nopember 1975 seluas 100 Ha. Secara geografi, kawasan ini terbentang diantara 106’54’37”-106’55’30” BT dan 06’39’40”-06’41’12” LS. Situgunung memiliki tipe iklim B, dengan curah hujan berkisar 1611-4311 mm pertahun dan berada di ketinggian 950-1036 m dpl dan suhu 160C-280C (Dephut, 2007). Menurut kamus biologi (Tim Kashiko, 2004) tumbuhan herba didefinisikan sebagai jenis tumbuhan yang mempunyai perawakan pendek, kecil, dan mempunyai batang basah karena banyak mengandung air dan tidak mempunyai kayu. Abdiyanti ( 2008 ), menyatakan bahwa Bagian tumbuhan herba yang digunakan untuk obat-obatan adalah akar, umbi, batang, daun, pucuk, bunga, dan buah, di mana bagian tersebut ada yang dapat langsung digunakan sebagai obat dan ada pula yang harus melalui proses pengolahan. Penggunaan tumbuhan sebagai obat tradisional juga semakin banyak diminati oleh masyarakat karena telah terbukti bahwa obat yang berasal dari tumbuhan lebih menyehatkan dan tanpa menimbulkan adanya efek samping jika dibandingkan dengan obat-obatan yang berasal dari bahan kimia. Namun, yang menjadi permasalahan bagi peminat obat tradisional adalah kurangnya pengetahuan dan informasi memadai mengenai berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang biasa digunakan sebagai ramuan obat-obatan tradisional dan bagaimana pemanfaatannya (Arief, 2001). METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember - Januari 2015/2016 di Taman Wisata Alam Situgunung, Cisaat, Sukabumi. Lokasi penelitian dimulai dari ketinggian 950 mdpl, 990 mdpl dan ketinggian 1030 mdpl. identifikasi di Laboratorium Biologi FMIPA Universitas Pakuan. Identifikasi Identifikasi dilakukan dari hasil dokumentasi berupa foto jenis-jenis tumbuhan berpotensi obat yang ditemukan di lokasi penelitian. Untuk mempermudah identifikasi, sampel tumbuhan dikelompokan berdasarkan ciri herba yang berpotensi obat. Data identifikasi yang dicari meliputi nama famili, nama ilmiah, ciri khas. Identifikasi dilakukan di lapangan dan di laboratorium biologi FMIPA Universitas Pakuan. Identifikasi tumbuhan berpotensi obat menggunakan buku Acuan Umum Tumbuhan Obat Indonesia Jilid IX (Zuhud, 2013). Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jenis tumbuhan herba yang di temukan di sekitar Situgunung Cisaat, Sukabumi dan alat yang digunakan antara lain termometer, alkohol 70%, hygrometer, PH meter, altimeter, lup, kantong plastik, kertas koran, pisau, etiket gantung, alat tulis, buku lapangan, kamera cannon 600D, kamera handphone, GPS, lux meter. Penetapan lokasi Penelitian ini menggunakan metode survey, berupa eksplorasi lapangan. Kegiatan eksplorasi ini terdiri dari beberapa rangkaian, yang pertama pra-eksplorasi yaitu mencari informasi dari instansi terkait tentang jenis dan habitat tumbuhan obat yang ada di Situ Gunung. Disamping itu dilakukan pengumpulan informasi dari masyarakat tentang jenis dan khasiat tumbuhan obat yang ada, serta studi literatur untuk melengkapi dan menyempurnakan informasi yang diperoleh dari masyarakat. Setelah kegiatan pra-eksplorasi dilakukan, kemudian pencarian dan pengumpulan contoh tumbuhan obat dilakukan secara bertahap dengan mengandalkan masyarakat lokal sebagai guide dan sumber informasi, buku manual tumbuhan obat juga digunakan untuk konfirmasi morfologinya. Pengambilan sampel Pengambilan sampel tumbuhan obat dilakukan di Kawasan Taman Wisata Alam Situ Gunung pada ketinggian 950 m dpl, 990 m dpl dan 1030 m dpl dengan cara metode jelajah. Pada masing-masing ketinggian, dimulai dari titik awal berjalan sampai ke titik berikutnya jika ada tumbuhan herba yang berpotensi sebagai obat sampel diambil kemudian diamati secara langsung dan disemprot alkohol 70% lalu masukkan ke dalam kertas koran. Proses selanjutnya di HASIL DAN PEMBAHASAN Kawasan Situ Gunung pada saat eksplorasi dilakukan memiliki suhu rata-rata ± 21,50C, dengan intensitas cahaya ± 329 lux, kelembaban ± 84%, dan memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Proses pengambilan sampel di Kawasan Wisata Alam Situgunung Cisaat Sukabumi dimulai dari ketinggian 950 m dpl, 990 m dpl dan 1030 m dpl. Jenis tumbuhan herba berpotensi obat berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kawasan Taman Wisata Alam Situgunung dengan menggunakan metode Eksplorasi dapat dilihat pada Tabel 1. Tumbuhan yang didapat pada ketinggian 950 m dpl, 990 m dpl dan 1030 m dpl yaitu 27 spesies tumbuhan herba dari 19 famili. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa Imperata cylindrica merupakan tumbuhan yang paling banyak dijumpai pada ketinggian 950 m dpl dan 990 m dpl. Jenis yang paling banyak ditemukan pada setiap lokasi jelajah, disebabkan oleh faktor-faktor biotik maupun faktor abiotik, serta kemampuan adaptasi jenis tersebut di habitatnya (Wardah, 2008). Imperata cylindrica merupakan tanaman kosmopolit, mudah dijumpai pada daerah kering yang cerah sinar matahari, terdapat di 1-2700 m di atas permukaan laut. Imperata cylindrica cepat kering dan mudah terbakar pada musim kemarau dan cepat tumbuh kembali pada musim hujan. Sifat fisik tanah yang dikehendaki yaitu tanah kapur yang memililik tubuh tanah kering, miskin akan zat hara dan air. Tumbuhan ini menyukai tempat yang memperoleh banyak cahaya dan tidak dapat tumbuh bila mendapat naungan penuh. Meskipun tumbuh pada kisaran tipe tanah dan tingkat kesuburan yang luas, spesies ini tumbuh dengan sehat pada tempat bertanah basah yang tinggi kesuburannya (Rismunandar,2005). berbagai penyakit dengan menggunakan bahanbahan alami seperti tumbuhan yang belum dimurnikan yang disertai dengan berbagai keterampilan khusus. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Jenis tumbuhan obat yang diperoleh dengan menggunakan metode Eksplorasi yaitu sebanyak 27 spesies tumbuhan herba dari 19 famili yang memiliki potensi sebagai obat-obatan tradisional. Imperata cylindrica merupakan tumbuhan yang paling banyak dijumpai pada ketinggian 950 m dpl dan 990 m dpl. Pada ketinggian 1030 m dpl tumbuhan herba Ageratum conyzoides merupakan tumbuhan yang paling banyak ditemui. Saran Tumbuhan Imperata cylindrica memiliki nama lokal Alang-alang memiliki khasiat pada bagian akarnya, yaitu dapat memperlancar air seni bagi para penderita batu ginjal. Pada ketinggian 1030 m dpl tumbuhan herba Ageratum conyzoides merupakan tumbuhan yang paling banyak ditemui, Ageratum conyzoides memiliki khasiat untuk mengobati masuk angin. Ageratum conyzoides tumbuh pada ketinggian 1 2100 m dpl. Pada iklim tropis dan subtropis tumbuhan babadotan biasanya dapat tumbuh dan berkembang. Tumbuhan ini merupakan herba menahun, mempunyai daya adaptasi yang tinggi, sehingga mudah tumbuh di mana-mana dan sering dijadikan obat oleh masyarakat (Rismunandar,2005). Jenis-jenis tumbuhan obat tersebut Tabel 1 telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai obat tradisional, menurut Hidayat dan Hardiansyah (2012) masyarakat sekitar kawasan hutan memanfaatkan tumbuhan obat yang ada sebagai bahan baku obat-obatan berdasarkan pengetahuan yang diwariskan secara turuntemurun. Habitus herba memiliki nilai kekayaan jenis yang tinggi karena banyaknya jenis tumbuhan obat yang ditemukan pada habitus tersebut. Tinggi rendahnya nilai kekayaan jenis ditentukan oleh banyaknya jenis yang menyusun suatu komunitas tumbuhan. Begitupun sebaliknya, sedikitnya perjumpaan tumbuhan obat menyebabkan rendahnya nilai kekayaan jenisnya. Menurut Zein (2001), menyatakan bahwa pengobatan tradisional merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mencegah dan mengobati Diperlukan eksplorasi lebih lanjut guna mendapatkan data mengenai tumbuhan obat lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Perlu adanya pembudidayaan terhadap tumbuhan herba berpotensi obat agar dapat dimanfaatkan dalam jumlah banyak, mudah diperoleh dan tersedia dalam waktu yang lebih lama. DAFTAR PUSTAKA Abdiyani, Arief, A. S. 2008. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah Berkhasiat Obat di Dataran Tinggi Dieng. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 5 (1): 79-92. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius.Yogyakarta. Kawasan Taman Hutan Raya Bukit Barisan Desa Tongkoh Kabupaten Karo. Departemen Kehutanan USU. Medan 6 (1): 93-98. Dinas Kehutanan. 2007. Buku Informasi Kawasan Konservasi Provinsi Jawa Barat. Bandung. hlm 115. Hidayat, D dan G. Hardiansyah, 2012. Studi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Obat di Kawasan IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Camp Tontang Kabupaten Sintang. Vokasi 8 (2): 61-68. Kashiko, Tim., 2004. Kamus lengkap biologi. Surabaya: Kashiko. hlm 488. Kusumo, S., M. Hasanah, S. Moeljoprawiro, M. Thohari, Subandrijo, A. Hardjamulia, A. Nurhadi, dan H. Kasim. 2002. Pedoman pembentukan komisi daerah plasma nutfah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Komisi Nasional Plasma Nutfah. Bogor. hlm 18. Noorhidayah & Sidiyasa, K. 2006. Konservasi ulin (Eusideroxyl on zwageri Teijsm & Binn.) dan pemanfaatannya sebagai tumbuhan obat. Info Hutan III (2): 123-130. Nunaki, J. H. 2007. Analisis Vegetasi Dan Pemanfaatannya Oleh Masyarakat Wondama di Sekitar Kawasan Cagar Alam Pegunungan Wondiboy Tanah Papua. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. hlm 78-96. Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2003. Buku Panduan 41 Taman Nasional di Indonesia. Departemen Kehutanan Repuplik Indonesia dengan UNESCO dan CIFOR. hlm 166. Rismunandar. 1986. Mendayagunakan Tanaman Rumput. Bandung : PT. Pradnya Paramita. hlm 67. Sofia, D. 2007. Keanekaragaman Jenis Anakan Tingkat Semai Dan Pancang Di Hutan Alam. Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara. hlm 156. Wardah. 2008. Keragaman Ekosistem Kebun Hutan (Forest Garden) di Sekitar Kawasan Hutan Konservasi: Studi Kasus di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 4 (2): 98-107. Zein, U. 2001. Pengobatan Tradisional Pada Masyarakat Pedesaan Daerah Bengkulu. Bengkulu. DEPDIKBUD. hlm 67 Zuhud, E. A. M. Dan Siswoyo. 2013. Buku Acuan Umum Tumbuhan Obat Indonesia Jilid IX. Dian Rakyat. Jakarta. hlm 65-115.