GEREJA DAN PEMBANGUNAN KONSEP ORANG BASUDARA Oleh Pdt. Dr. Jannes Alexander Uhi, M.Si Sekretaris Balitbang GPM [email protected] Gereja dan Keseriusan Mewujudkan Hidup Orang Basudara Halaman depan Surat Kabar “Siwalima” tertanggal 06 September 2016 menuliskan pesan Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) di Hari Ulang Tahun ke-81 bahwa sekarang ini pekabaran Injil dan program pelayanan GPM diarahkan menuju gereja orang basudara. Pernyataan Pimpinan Sinode GPM – yang telah mengalami pergumulan bersama pimpinan agama lainnya - adalah dalam rangka mengupayakan kerukunan dan perdamaian di Maluku. Sebelum menjadi Ketua Sinode GPM, Pdt. A.J.S. Werinussa pernah diberikan tanggung jawab sebagai Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Maluku. Suatu tanggung jawab yang mengharuskan beliau berinteraksi, berelasi, berkomunikasi, bahkan beradaptasi dengan pimpinan dan komunitas agama-agama lainnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemikiran dan perjuangan untuk menciptakan GPM sebagai gereja orang basudara bukanlah sebuah mimpi, namun suatu cita-cita. Dasar pijak dari upaya menuju gereja orang basudara adalah Pola Induk Pelayanan (PIP) dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (RIPP) tahun 2015 – 2025 yang merupakan arahan kebijakan dan pelayanan gereja untuk sepuluh tahun mendatang. Dalam PIP/RIPP tersebut terkandung arahan pelayanan dan program bergereja yakni membangun hubungan lintas agama yang lebih erat dengan agama-agama di Maluku dengan pendekatan menjadikan umat beragama lainnya sebagai “saudara” dalam pengertian hubungan kekeluargaan atau persaudaraan. Jadi, gereja akan memandang dan memperlakukan umat beragama yang lain sebagai saudaranya (keluarga), dan diharapkan agama yang lain pun memandang serta memperlakukan umat yang beragama Kristen sebagai saudaranya, sehingga tepat apabila gereja ke depan akan menjadi gereja orang basudara (bersaudara). Pernyataan menjadi gereja orang basudara pada hakikatnya ingin menekankan bahwa kita (umat Kristen dan umat beragama lainnya) bersaudara, yang berarti kita semua adalah satu keluarga. Tidak ada perbedaan di antara kita. Banyak hal yang di utarakan oleh Mahatma Gandhi dalam bukunya “semua manusia bersaudara”, antara lain tentang agama dan kebenaran, cara dan tujuan, bagaimana mengendalikan diri, apa itu perdamaian dunia, beda dengan manusia mesin, bahwa kemiskinan ada di tengah-tengah kelimpahan, demokrasi dan rakyat, pendidikan, kaum wanita serta serba-serbi pandangan lainnya. Semua ini dipaparkan secara lengkap agar sang pembaca memahami arti persaudaraan di antara manusia. Gandhi mempertegas hal tersebut dengan menyatakan “semua manusia bersaudara”. Artinya, menurut Gandhi yang membedakan seluruh umat manusia hanya ras, suku, bangsa, agama dan lain sebagainya. Namun pada hakikatnya kita sama, dan karena itu kita semua membutuhkan satu sama lainnya. Hal ini pertanda bahwa tidak ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Tidak ada salah satu suku/etnis yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan suku/etins lainnya. Begitu juga dalam hal agama, tidak ada agama apapun yang dapat hidup sendiri tanpa bantuan agama lain. Manusia bukan hidup karena penghancuran. Rasa cita diri sebagai manusia selalu mendorong dirinya untuk mementingkan orang lain. Bangsa-bangsa hidup rukun karena terdapat rasa saling mengindahkan kalangan warganya. Jelasnya, setiap manusia adalah sama dalam pandangan Tuhan. Tentu saja terdapat perbedaan suku, agama dan bangsa serta perbedaan derajat dan martabat, namun itu tidak berarti manusia yang satu harus melawan dan memusuhi manusia lainnya. Kian tinggi martabat seseorang, kian bertambah berat pula tanggung jawabnya. Semakin kuat kadar iman seseorang pada Tuhan dalam agamanya, harus semakin kuat pula hidup persaudaraan orang tersebut dengan orang yang berkepercayaan lain. Dalam beberapa moment gerejawi akhir-akhir ini ketua Sinode GPM, Pdt. Ates Werinussa, selalu mengatakan bahwa ke depan hendaknya GPM menjadi “gereja orang basudara (bersaudara)”. Pernyataan ini sudah tentu memiliki dasar dan alasan yang sangat kuat dan mendasar, bahwa semua manusia bersaudara (sebagaimana yang Gandhi sebutkan). Selain itu, pernyataan tersebut hendak menegaskan bahwa sudah saatnya gereja masa kini dan masa depan menaruh perhatian pada upaya membangun sikap hidup yang inklusif, terbuka bagi orang lain. Lebih dalam lagi, pernyataan “gereja orang basudara” hendak menempatkan gereja pada suatu pemahaman mendalam, bahwa bermisi dalam konteks dewasa ini bukan lagi dilakukan dalam kerangka membuat “orang lain” menjadi “kita” melainkan tetap membiarkan “orang lain” menjadi “dirinya” sendiri. Artinya, misi gereja kontemporer adalah mengingatkan “orang lain” bahwa tantangan dan permasalahan bersama yang gereja dan agama-agama lain hadapi saat ini adalah masalah ketidakadilan sosial, kemiskinan, narkoba, HIV/AIDS, korupsi, pengrusakan lingkungan, pelanggaran HAM, pelecehan seksual, perdagangan manusia, dsb. Masalah-masalah ini kini dihadapi oleh semua agama yang ada di Indonesia, sebab masalah-masalah tersebut telah masuk, merasuk, dan merusak tatanan kehidupan seluruh umat beragama di Indonesia. Masalahmasalah tersebut masuk dan menghinggapi semua kehidupan umat beragama tanpa memandang, memilih, dan memilah umat beragama berdasarkan kelompok agama tertentu saja. Ada orang Kristen yang mengalami masalah tersebut, namun ada juga umat beragama lainnya (Muslim, Hindu, Budha, Katolik, dll) yang mengalaminya juga. Dalam konteks permasalahan bersama seperti ini, agama yang satu tidak bisa lagi menganggap agama yang lain sebagai lawan, apalagi sebagai musuh. Gereja tidak bisa menganggap umat beragama lain sebagai orang lain: lawan atau musuh. Begitu pun, umat beragama lain (Muslim, Hindu, Budha, Katolik, dan lainnya) tidak bisa menganggap gereja (umat Kristen) sebagai orang lain: lawan atau musuh. Pandangan bahwa agama lain itu lawan atau musuh dari dulu hingga kini semestinya tidak mendapat tempat dalam kehidupan bermasyarakat. Alasannya, lawan/musuh orang Kristen bukan orang Muslim atau Budha atau Hindu atau Katolik atau lainnya. Begitu pula, lawan/musuh umat beragama lain (Muslim, Budha, Hindu, Katolik, atau lainnya) bukanlah orang Kristen. Lawan/musuh orang Kristen, Muslim, Budha, Hindu, Katolik, dan lainnya adalah ketidakadilan sosial, kemiskinan, narkoba, HIV/AIDS, korupsi, pengrusakan lingkungan, pelanggaran HAM, pelecehan seksual, perdagangan manusia, dsb. Masalah-masalah inilah yang harus diperangi secara bersama. Jadi, salah satu faktor untuk menghadapi dan mengatasi masalah-masalah ini adalah dengan jalan agama-agama harus menyadari dan menyatakan diri bahwa agama-agama itu bersaudara. Orang Kristen dan orang beragama lainnya adalah orang basudara. Bagi GPM, untuk mengatasi permasalahan yang ada maka agama yang satu harus menganggap dan menjadikan agama yang lain sebagai teman, sahabat, bahkan sebagai saudara. Hal inilah yang hendak dikedepankan oleh GPM dalam membangun hubungan dan kerjasama lintas agama. Hubungan lintas agama yang selama ini sudah dibangun perlu diimplementasi lebih dalam lagi, dengan mengedepankan aspek penguatan hubungan agama-agama sebagai hubungan ade-kaka, atau dalam hubungan orang basudara gandong. Persaudaraan Sejati: Belajar dari Budaya Terlepas dari asal daerah yang sama dan satu, masyarakat Maluku umumnya mengkokohkan diri mereka sebagai “satu gandong” dalam suatu ikatan “sumpah”, untuk memegang teguh kekeluargaan dan persaudaraan sejati. Sikap tersebut merupakan upaya reflektif dalam memberi jawaban bersama terhadap situasi kontemporer yang dihadapi, serta untuk membangun masyarakat dan negerinya menuju masyarakat yang maju, damai, aman, dan sejahtera. Bersumpah sebagai “gandong” adalah suatu pengakuan terhadap kesejahteraan manusia, sebagai orang bersaudara, dan persaudaraan itu adalah persaudaraan yang sejati. Inti persaudaraan sejati bertujuan mengatasi perasaan primordialisme suku maupun agama yang mengagungkan masing-masing negeri sebagai yang paling baik, benar, tinggi (superrior), sehingga manusia bertindak sewenang-wenang terhadap yang lain tanpa rasa bersalah (Uhi, 2014). Hal ini, yang akhirnya akan menimbulkan konflik internal. Paham fenomenologi eksistensialnya van Peursen menegaskan bahwa kebenaran pengetahuan terletak dalam ruang antara manusia dengan realitas, dan hal itu mengandung pengertian sejarah pemikiran manusia, yang melibatkan ide, membentuk suatu pola kehidupan yang dinamakan kebudayaan. Paham fenomenologi eksistensial van Peursen ini dapat ditemukan pada inti persaudaraan sejati di Maluku dengan Siwalimanya, atau pada komunitas Hatuhaha Amarima yang tertuang dalam filosofi maningkamu di mana filosofi tersebut mencirikan cita, citra dan jati diri Hatuhaha Amarima turun-temurun. Maningkamu tidak sekedar mengungkap silsilah keluarga atau matarumah dalam soa. Maningkamu tidak sebatas mempertemukan anggota keluarga secara geneologis. Lebih dari itu, maningkamu, yang merupakan inti persaudaraan sejati Hatuhaha Amarima, mengandung pengertian menentang ambisi dan keserakahan demi kepentingan individu atau golongan dan agamanya. Maningkamu mengundang dan menyadarkan masyarakat Hatuhaha Amarima untuk harus bersatu dengan resiko kenikmatan agama yang berbeda-beda. Fakta ini membuat multikulturalisme begitu faktual sehingga tercipta semangat merajut dimensi persaudaraan sejati. Persaudaraan sejati mengandung pengertian bahwa orang-orang yang berlainan agama dan iman saling membagi pengalaman hidup berimannya (dialogue of religius experience). Selain itu, dalam persaudaraan sejati orang-orang berbeda agama secara bersama-sama memperjuangkan datangnya perdamaian di muka bumi, sebagai wujud tindakan kemanusiaan, melalui upaya-upaya bersama, menjawab problem kemanusiaan yang konkret. Tentu, di sini penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan menjadi dasar kerukunan hidup umat beragama dalam kesatuan masyarakat. Ada dua prinsip utama dari penegakkan nilai-nilai persaudaraan sejati, yaitu : manusia harus diberlakukan secara manusiawi dan apa yang ingin kamu lakukan pada dirimu, lakukanlah pada orang lain (Uhi, 2016). Berdasarkan dua prinsip utama penegakkan nilai persaudaraan sejati, bahkan menjadi tuntutan mendasar ini, maka ada empat hal yang menjadi keharusan untuk ditaati, yakni: pertama, komitmen kepada budaya tanpa kekerasan dan yang menghargai hidup. Budaya tanpa kekerasan semestinya menjadi kewajiban setiap manusia, sebab kekerasaan akan mengakibatkan kematian. Hak hidup ini berlaku untuk semua manusia, hewan, dan tumbuhan. Kedua, komitmen kepada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil. Tentu budaya solidaritas harus dikembangkan karena kemiskinan banyak masyarakat. Artinya, untuk merubahnya, sistem ekonomi harus mampu menempatkan aspek keadilan yang dapat tercapai. Ketiga, keharusan lainnya adalah komitmen kepada budaya toleransi dan hidup yang benar. Semua budaya selalu menerapkan prinsip keterbukaan dan kejujuran. Artinya, semua orang diwajibkan menyampaikan yang benar, sebab semua orang tidak bebas dari tanggung jawab moral untuk menyatakan kebenaran. Keempat, terdapat keharusan yang harus ditaati, yakni komitmen kepada budaya kesamaan hak dan kemitraan laki-perempuan. Agar tercapai kemanusiaan yang seimbang antara perempuan dan laki-laki, tidak ada alternatif lain kecuali penghargaan terhadap perempuan. Hal ini meliputi kesediaan untuk menghapuskan dominasi patriakhat, kemitraan laki-laki dan perempuan. Tentu, yang dibutuhkan untuk hal ini adalah cinta kasih dan toleransi. Prinsip-prinsip, beserta empat keharusan untuk penegakkan nilai-nilai persaudaraan sejati ini harus menjadi norma tanpa syarat dan tidak terbatalkan pada semua bidang kehidupan. Salah satu dari kedua prinsip ini diabaikan, bukan tidak mungkin, akan terjadi kepincangankepincangan sosial yang dapat menjurus pada munculnya konflik. Moralitas akan menurun dan manusia kehilangan etika hidup bersama meskipun memiliki kekuatan agama dan kekokohan adat serta budaya. Uhi (2004:191) menyebutkan, konflik, seperti di Maluku (termasuk konflik dalam komunitas Hatuhaha Amarima), pada dasarnya telah membuat menurunya moralitas hidup manusia. Kemajemukan, pada satu segi indah, namun pada segi yang lain mengandung ancaman apabila tidak dikelola secara baik. Hal ini berarti pluralisme agama hanya dapat terjadi bila sejalan dengan moral, yang oleh Kellenberger (2001:57-59) disebut “moral pluralism” (moral pluralisme). Maksudnya, moral pluralism yang tidak hanya melibatkan pengakuan orang banyak dari perspektif moral yang berbeda, tetapi juga pengenalan orang banyak tentang teori moral yang bermanfaat, dan pertentangan orang banyak yang kadang-kadang berlawanan dengan halhal yang sifatnya kebaikan. Ada banyak orang yang berharga dan berarti, dan di sana ada banyak orang yang mengetahui tentang konsep “yang layak” atau “hidup yang baik” dengan nilai hidup yang berbeda-beda. Alasannya, nilai-nilai pluralisme dapat diatur, tetapi mengaturnya hanya dalam hubungan dengan kelayakan konsepsi tertentu bagi suatu kehidupan yang baik. Kesimpulannya, moral pluralism mengijinkan kepada manusia cara-cara untuk berpendirian pada moral agama dan budaya secara bersama. Meskipun demikian, tidak semua moral menampilkan cara berpendirian yang sama dengan moral pluralism. Kedua-duanya bertentangan di mana format tentang moral ekstrim sifatnya relatif, yaitu yang menyatakan bahwa semua format praktek atau kepercayaan moral sama-sama sah. Terlihat, moral pluralism berkaitan dengan situasi plural. Kehidupan yang baik, yang dititik-beratkan dalam moral pluralism adalah kehidupan yang menyampaikan etika hidup bersama secara baik dan benar. Jiwa dari moral pluralism sebenarnya telah teraplikasi dalam setiap sistem budaya di Maluku. Terlihat jiwa dari moral pluralism, pada intinya, menegaskan suatu konsensus bersama yang berfokus pada kesadaran sebagai orang bersaudara. Konsensus itu menggarisbawahi prinsip-prinsip hidup sebagai orang bersaudara, yang selama ini diaktualisasikan melalui maningkamu di Hatuhaha Amarima, Pela Gandong di Maluku, budaya Badati/Masohi, dan lainnya.. Titik tolak prinsip nilai- nilai persaudaraan sejati itu adalah keadilan, kebenaran, keselamatan, kedamaian, kesejahteraan terhadap seluruh manusia. Apabila hendak menolong seseorang bukan lagi melihat agama, suku, atau keturunannya. Inti penekanannya adalah menolong orang yang kesusahan dan terkena bencana sebagai kewajiban etis semua dalam agama, budaya atau suku apapun. Apabila pemahaman semacam ini tertanam, sangat dimungkinkan antarumat beragama tidak perlu lagi saling bertikai karena mengatas-namakan agama atau pembelaan terhadap agama (bukan Tuhan). Wujud nyata persaudaraan sejati semestinya nampak dalam bentuk kerukunan, kebersamaan, solidaritas, saling mengerti, saling memahami, saling menerima, dan saling memajukan (Sahid, 2002: 28). Artinya, mewujudnyatakan nilai-nilai persaudaraan sejati pada konteks di Maluku membutuhkan empat hal penting, yakni: pertama, harus adanya keterbukaan hidup. Hal ini mesti diwujudkan melalui sikap rela melayani dan rela berbagi. Alasannya, hidup orang basudara adalah panggilan untuk saling melayani dan berbagi. Hidup orang basudara berarti hidup tidak untuk diri sendiri, melainkan hidup untuk orang lain. Kedua, memiliki sikap kerelaan untuk berkorban. Hal ini bukan berarti bahwa ada perilaku memberikan sesuatu karena sudah berkelebihan, melainkan apa yang ada, bahkan yang paling disenangi pun harus mampu diberikan kepada orang lain yang membutuhkan. Bentuknya beraneka ragam, entah waktu, harta, tenaga, pikiran, bahkan bila perlu nyawa demi kesejahteraan dan keselamatan sesama. Ketiga, memiliki sifat penghargaan terhadap hidup. Faktor ini merupakan wujud nyata upaya meningkatkan persaudaraan sejati. Manusia hendaknya dihargai sebagai pribadi, makhluk ciptaan yang mulia dan berharga di mata Tuhan. Setiap orang, dalam hal ini, entah apa pun agamanya, warna kulitnya, dan sebagainya, harus mengakui dan menyadari dirnya dan sesamanya sungguh-sungguh sebagai citra Allah, sehingga berani menyapa dan menempatkan sesama manusia di dalam kedudukan sebagai “saudara”. Keempat, adanya kerinduan untuk berjumpa dan terlibat. Hal ini menunjukkan bahwa manusia dapat hidup, berkembang, maju, sukses, dan bahagia dalam persaudaraan. Memutus atau melepaskan diri dari ikatan dan hubungan persaudaraan berarti mengembara dalam kesepian dan kesendirian hidup yang menakutkan. Masing-masing individu harus memahami dan menyadari bahwa dunia terlalu luas untuk hidup seorang diri, dan untuk diri sendiri. Manusia membutuhkan insan manusia lainnya untuk memenuhi kerinduan manusia menjadi yang penuh sukacita. Ada dua kata yang erat hubungannya dan saling mengkait, bahkan dapat disatukan ketika mendalami empat keharusan di atas. Kedua kata tersebut adalah “cinta” dan “persaudaraan”, dan perlu untuk menggabungkan kedua kata tersebut menjadi “cinta persaudaraan”. Cinta persaudaraan adalah hubungan antara dua pribadi (atau lebih) yang terlibat dalam keterikatan saling bergantung dan saling memberdayakan secara produktif (Fromm ,1995:35). Fromm, dalam hal ini, hendak menegaskan bahwa nilai-nilai persaudaraan dapat tumbuh dan berkembang jika manusia memiliki rasa cinta antara satu dengan lainnya. Lebih dari itu, hubungan manusia dengan alam dan dengan Tuhan dapat harmonis jika memiliki rasa cinta. Menurut Fromm yang disebut cinta yaitu adanya satu syarat yang memuaskan kebutuhan manusia untuk mempersatukan dirinya dengan sesama dan dunia, serta pada saat yang sama memperoleh rasa integritas dan individualitas. Cinta adalah kesatuan dengan sesuatu atau seseorang di luar dirinya, di bawah kondisi yang mempertahankan keterpisahan dan integritas diri sendiri. Pengalaman kebersamaan dan kerukunan, yang memungkinkan perkembangan sepenuhnya atas aktivitas batin seseorang merupakan cinta. Artinya, tidak ada kebutuhan untuk membanggakan orang lain atau diri sendiri, karena realitas kebersamaan yang aktif dan cinta yang memungkinkan seseorang mengalami diri sendiri sebagai pengemban kekuatan-kekuatan aktif yang melahirkan rasa cinta, sekaligus membentuk cinta. Pendapat ini hendak menjelaskan bahwa cinta terdapat di dalam pengalaman solidaritas manusia dengan sesama ciptaan Tuhan. Artinya, di dalam tindakan mencintai, seseorang menjadi satu dengan semua, namun orang itu tetap menjadi dirinya sendiri, unik, terpisah, dan atau terbatas. Cinta adalah salah satu aspek dari orientasi produktif, yakni adanya keterbukaan manusia yang aktif dan kreatif kepada sesamanya dan dirinya sendiri. Cinta yang harus diresapi adalah cinta yang tidak pernah terbatas pada satu orang saja. Kalimat sederhananya, jika orang mengatakan “aku cinta padamu”, itu berarti di dalam diri orang yang dicintai, orang tersebut mencintai seluruh umat manusia, mencintai semua yang hidup; dalam diri orang yang dicintai, orang yang mencintai tidak saja mencintai orang lain saja, tetapi juga mencintai dirinya sendiri. Jelasnya, dalam tindakan mencintai ada pengalaman “aku” adalah engkau”, engkau – kekasih, engkau – orang asing, dan engkau – segala sesuatu yang hidup. Scheler (1954: 141-146) mengatakan, love is not a feeling, but an act and a movement. Artinya, cinta bukan menyangkut perasaan, tetapi merupakan suatu perbuatan dan gerakan. Cinta adalah emosi tubuh dan menjadi semangat bagi setiap perbuatan manusia. Cinta dapat membuat diri seseorang merasakan “ketertarikan” atau “terjangkit” pada suatu objek, yang mana perasaan (feeling) tidak dapat melakukan itu. Cinta adalah seluruh perbuatan yang spontan dan harus direspons. Cinta yang indah bukan terletak pada cantiknya diri seseorang atau sesuatu, dan cinta juga tidak karena memiliki beberapa nilai kognitif pengetahuan. Cinta merupakan faktor penting untuk untuk menggerakan suatu nilai yang rendah menuju nilai yang tinggi kualitasnya, sehingga memerlukan proses, yakni perbuatan saling memberikan, saling memperhatikan antara manusia yang satu dengan manusia. Proses ini, oleh Scheler, disebut sebagai “produksi cinta”, yang bagi Fromm merupakan syarat penting menuju masyarakat yang sehat. Inti dari pendapat Fromm dan Scheler, yaitu dalam pengalaman cinta terletak satusatunya jawaban untuk menjadi manusia, bahkan terletak sumber nilai persaudaraan untuk hidup dalam komunitas masyarakat. Sebenarnya, di sinilah letaknya produktifitas dari cinta, yakni ditampilkannya sikap-sikap penting dalam hidup orang bersaudara, seperti perhatian, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan (memahami orang lain). Makna dari cinta persaudaraan, dengan sendirinya, terdapat pada produktifitas cinta yang ditampilkan antara satu dengan lainnya. Hidup Orang Basudara: Panggilan Gereja Menerapkan Nilai Persaudaraan Persaudaraan berarti terjalinnya relasi yang timbal-balik antara manusia yang satu dengan yang lainnya, atau antara manusia dengan masyarakat. Manusia hanya dapat mengembangkan dirinya dalam hidup bermasyarakat. Manusia, dalam hal ini, tidak dapat memisahkan kepentingannya sendiri dari kepentingan masyarakat. Manusia dapat membantu ketika mendalami keempat hal di atas dengan cara mengembangkan dirinya dalam menolong masyarakat. manusia harus sadar bahwa keterlibatan antarsesama manusia akan membuat manusia menemukan kebahagiaan yang terus meningkat dengan orang lain, dan ini selalu terlihat dalam solidaritas hidup. Fromm (1995: 360) berpendapat bahwa solidaritas dalam hidup persaudaraan bukan hanya sebagai tugas. Lebih dari itu, solidaritas merupakan suatu kepuasan dan jaminan rasa aman yang paling baik. Artinya, melalui solidaritas kehidupan setiap orang merasakan kebahagiaan, sebab ada kepuasan batin dan rasa tentram dalam hidup bersama orang lain. Nilai-nilai persaudaraan seperti ini akan mendorong ke arah toleransi dan keputusan untuk tidak saling memisahkan diri berlandaskan suara bulat yang berdasarkan asas persamaan dasar, yaitu hidup sebagai orang bersaudara, yang oleh Fromm merupakan salah satu bentuk hidup masyarakat yang sehat. Realitas umat beragama di Maluku, sebagai masyarakat yang bersaudara, sebenarnya memiliki dasar kuat untuk menampakkan produktifitas cinta, sebagai bagian dari upaya menerapkan niliai-nilai persaudaraan. Produktifitas cinta umat beragama semestinya dapat ditampilkan melalui sikap perhatian, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Selain itu, diperlukan perilaku saling menolong, menghargai sesama, dan sebagainya. Modal dasar ajaranajaran agama yang ada, dapat dipakai sebagai alat komunikasi dan mempersatukan. Terhadap sesama manusia berlaku hormat, santun, menghargai, suka menolong dan kasih sayang. Perbedan agama, suku, dan ras bukanlah penghalang bagi seseorang untuk mempraktekkan kebaikan, kejujuran dan keadilan. Apapun agamanya, yang dinamakan keadialan dan kejujuran adalah sama, tergantung bagaimana prakteknya sehingga bertingkattingkat nilainya (kualitasnya), dan inilah yang menjadi perhatian gereja. Tentu, di sini peradaban seseorang akan dinilai. Menolong sesama tanpa melihat batasan-batasan etnik, agama maupun golongan. Membantu tanpa pamrih, tanpa menuntut balas jasa. Pertolongan seperti ini bermakna humanis yang tinggi. Suatu etika hidup yang sangat humanis dan tanpa mengenal agama, etnik dan golongan. Terlihat bahwa betapa pentingnya gereja maupun umat beragama lainnya menerjemahkan nilai-nilai persaudaraan sejati yang lebih multikultural, dengan bermodalkan tradisi budaya dan norma agama. Nilai-nilai hidup yang manusiawi tersebut merupakan bentuk nyata suatu etika kehidupan dengan prinsip universal. Lambat laun, melalui etika kehidupan tersebut gereja dan umat beragama lainnya akan menemukan titik temu, yang secara esensial mengajarkan kebaikan, kejujuran, keadilan dan pembebasan terhadap diskriminasi serta kebodohan. Prinsipnya, konsekuensi dari hidup orang yang berbudaya dan beragama adalah berubahnya perilakuperilaku dari sikap yang tidak dapat membebaskan seseorang dari keterpurukan hidup menuju sikap yang dapat membebaskan sesama manusia dari keterpurukan hidup. Kebudayaan serta agama yang tidak membuahkan perilaku yang membebaskan dirinya dan manusia lainnya merupakan agama dan kebudayaan yang rapuh, statis, tidak berubah, bahkan tidak berdaya atau tidak emansipatif. Gereja yang emansipatif adalah suatu ajaran dan Teologi yang secara tegas mampu menumbuhkan sensitivitas dalam dirinya terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsipprinsip kemanusiaan. Penyakit-penyakit sosial seperti kebodohan, kemiskinan dan penyakit moral lainnya, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, penipuan dan pencurian mendapat perhatian yang serius untuk ditangani secara bersama. Nilai-nilai persaudaraan sejati di Maluku harus dapat membuat umat beragama apa pun dapat mengungkap keberadaan masyarakat tanpa membedakan suku agama dan ras, sehingga mampu mendamaikan dan menyelamatkan kondisi permasalahan penurunan derajat kemanusiaan, dan ini harus benar-benar dirasakan oleh setiap umat manusia yang ber-Tuhan di Maluku. Alasannya, persaudaraan sejati yang sejati adalah memanusiakan manusia, tanpa memandang latar belakang agama, ras, suku. Memanusiakan manusia, bagi gereja (GPM), membutuhkan komitmen dan tekad yang tidak pernah berhenti atau pun berakhir. Kapan dan di mana pun, memanusiakan manusia mesti menjadi prinsip utama bagi setiap manusia, sebab itulah persaudaraan sejati yang benar-benar sejati, dan inilah salah satu bentuk hidup masyarakat yang sehat. Saat ini gereja siap untuk merangkul dan dirangkul oleh agama lainnya untuk menjadi bagian dari persaudaraan agama-agama dan agama-agama orang bersaudara di Maluku yang bermakna dan bernilai tinggi. Persaudaraan agama-agama dan agama-agama orang basudara tersebut bukan suatu rekayasa, melainkan sebuah ketulusan hati dari semua agama yang ada di Maluku untuk bersatu pikir dan tindakan dari level tertinggi sampai ke akar rumput saling menopang mengatasi masalah dan memerangi musuh bersama agama-agama, yaitu masalah kemanusiaan, kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan yang ada di Maluku. Itulah yang sejati dari hidup orang beragama, dan yang esensial dari agama-agama yang hidup. Agama yang saling bermusuhan adalah agama bermartabat barbar, sedangkan agama yang saling merangkul dalam ikatan hidup orang basudara adalah agama yang diberkati Tuhan Maha Pencipta dan Yang Maha Esa. Referensi Fromm, Erich, 1995, Masyarakat yang Sehat, diterjemahkan oleh Thomas Bambang Murtianto dari ”The Sane Society” (1955), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Kellenberger, James, 2001, “Religious Moral Diverity and relationship”, dalam Joseph Runzo and Nancy M. Martin (editor) Ethics in The World Religions, Oneworld Oxford, New York. Mahatma Gandhi, 1988, Semua Manusia Bersaudara, alih bahasa oleh Kustiniyani Mochtar, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Majelis Pekerja Harian Sinode GPM, 2016, Ketetapan Sidang Sinode GPM ke-37, MPH Sinode, Ambon. Sahid, YB., 2002, “Persaudaraan Sejati”, dalam Merajut Persaudaraan Sejati dan Cinta Kasih Kemanusiaan Melalui Pembongkaran Wacana Antar-agama, Penyunting: M. eL-Mawa, Forum Sabtuan, Cirebon. Scheler, Max, 1954, The Nature of Sympathy, Routledge & Kegan Paul LTD, London. ----------------, 1966, Der Formalismus in der Ethik und die Material Wertethik, Gesammelte Werke,Vol.II,5.,Aufl, Bern : Frenke Verlag. -----------------, 1994, Ressentiment, Marquette University Press, Milwaukee Wisconsin. Surat Kabar “Siwalima”, edisi 06 September 2016. Uhi, Jannes A., 2004, Hatuhaha Amarima Lou Nusa : Suatu Kajian Sosio-Historis untuk Membangun Teologi Pluralistis yang Kontekstual, Tesis, Program Pascasarjana Teologi Agama dan Kebudayaan, UKIM Ambon. --------------------, 2014, Hatuhaha Amarima Dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan Cornelis Anthonie van Peursen dan Signifikansinya bagi Keutuhan Bangsa, Disertasi, Program Doktor Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. --------------------, 2016, Filsafat Kebudayaan, Pustaka Pelajar, Jogjakarta.