Pengaturan Imunitas Bagi Pejabat Publik Dalam Proses Litigasi

advertisement
Pengaturan Imunitas Bagi Pejabat Publik Dalam Proses Litigasi Perdata
Menurut Teori Imunitas yang Terbatas (Restrictive Sovereign Immunity) dalam
Hukum Internasional
Eliza Dayinta Harumanti, Adijaya Yusuf, dan Arie Afriansyah
Program Kekhususan Hukum tentang Hubungan Transnasional, Fakultas Hukum, Universitas
Indonesia
[email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas mengenai perkembangan teori restrictive sovereign immunity di dalam
hukum internasional dan penerapannya terhadap imunitas pejabat publik. Penulis akan
menganalisis tujuh putusan pengadilan dari beberapa negara dan pengadilan internasional yang
menggunakan pendekatan imunitas yang terbatas di dalam dalil gugatan melawan negara di
hadapan pengadilan asing. Analisis didasarkan pada studi literatur mengenai perkembangan teori
imunitas yang terbatas dan pengaturannya dengan meninjau perjanjian internasional dan
peraturan perundang-undangan nasional serta hukum kebiasaan internasional. Simpulan yang
didapatkan menunjukkan bahwa adanya perubahan penerimaan pendekatan imunitas absolut
menjadi pendekatan imunitas negara secara terbatas oleh berbagai putusan pengadilan nasional.
Pembatasan imunitas negara didasarkan kepada dua tes, yaitu rationae personae dan rationae
materiae. Praktik ini diterapkan secara konsisten di dalam praktik-praktik negara.
Kata Kunci: negara; pejabat publik; restrictive sovereign immunity
Abstract
This thesis discusses the development of restrictive sovereign immunity under international law and its application to
public official immunity. The author of this thesis analyses seven judgments of national courts and international
tribunals regarding the use of restrictive sovereign immunity as the claimants motions to raise a civil actions against
State before foreign courts. The analysis is based on literature studies concerning the development of restrictive
sovereign immunity theory and how it is governed in customary international law, treaties and national laws. In
conclusion, there has been a change of practice of national courts to accept the restrictive approach to immunity in
numerous decisions. There are two limitations to this approach, namely rationae personae and rationae materiae.
These limitations are consistently referred in the State practices.
Keywords: foreign states; public officials; restrictive sovereign immunity
Pendahuluan
Hukum internasional mengatur hubungan publik antar subyek hukum internasional, yaitu
negara dengan negara atau negara dengan subyek hukum internasional bukan negara
184 Universitas Indonesia
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
lainnya.1Negara merupakan subyek hukum internasional yang klasik dan menjadi subyek yang
menjadi fokus utama di dalam hukum internasional.2 Kedudukan negara yang satu dan yang
lainnya bersifat sederajat di dalam hubungannya. Hal ini berakar dari keyakinan bahwa tidak ada
suatu otoritas yang lebih tinggi dari negara dalam pergaulannya dalam hubungan internasional.3
Maka dari itu, negara memiliki kedaulatannya tersendiri yang berakibat bahwa ia memiliki suatu
imunitas yang absolut. Imunitas absolut ini membuat negara tidak dapat diadili dan digugat di
hadapan badan pengadilan negara lain (par in parem imperium non habet).4 Ketentuan ini
diterima sebagai salah satu hukum kebiasaan internasional mengenai kedaulatan negara.5
Gagasan ini yang mendasari beberapa praktik pengadilan negara-negara di dunia di dalam
gugatan melawan negara pada akhir abad ke-18.6 Inggris merupakan negara yang berperan besar
dalam perkembangan teori ini karena banyak putusan pengadilannya yang dijadikan preseden
oleh pengadilan negara lain dalam memutus kasus serupa.7
Fenomena ini mulai terjadi pada awal abad 19 di mana banyak negara mulai terlibat di dalam
kegiatan perdagangan.8 Kegiatan yang bersifat perdata ini tentu membawa akibat bahwa negara
menjadi subyek hukum perdata yang menanggung hak dan kewajiban yang sama dengan pihak
lain yang bersama dengan negara mengikatkan diri untuk tunduk pada suatu perjanjian tertentu.
1
Hal ini yang membuat pembahasan hukum internasional publik (atau yang sering disebut saja dengan hukum
internasional) terpisah dengan hukum perdata internasional. Hukum perdata internasional mengatur hubungan
perdata yang melintasi lintas batas negara dan di antara subyek hukum yang tunduk ada hukum perdata nasional
yang berlainan. (Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, op. cit., hal. 1)
2
Lauterpacht berpendapat bahwa negara adalah satu-satunya subyek hukum internasional (“the orthodox positivist
doctrine has been explicit in the affirmation that only states are subjects of international law,” [Lauterpacht,
International Law, ( p.489)])
3
M. Sornarajah, “Problems in Applying the Restrictive Theory of Sovereign Immunity”, International and
Comparative Law Quarterly, Vol. 31 (1982), hal. 664.
4
James E. Berger dan Charlene Sun, “Sovereign Immunity: A Venerable Concept in Transition”, International
Litigation Quarterly, Vol. 27, No. 2 (2011), hal. 1.
5
Anthony Aust, Handbook of International Law, 2nd ed., (NY: Cambridge University Press, 2010),hal. 146.
6
James Brown Scott, Sovereign States and Suits before Arbitral Tribunals and Courts of Justice, (New York: New
York University Press, 1925), hal. 5-7.
7
Lord Browne-Wilkinson menyatakan dalam putusan Ex-parte Pinochet (3), “It is a basic principle of international
law that one sovereign state (the forum state) does not adjudicate on the conduct of a foreign state. The foreign state
is entitiled to procedural immunity from the processes of the forum state. This immunity extends to both criminal and
civil liability.” (Regina v. Bow Street Metropolitan Stipendiary Magistrate and others, Ex parte Pinochet Ugarte (No.
3), [2000] 1 AC 147, 201; 119 ILR, p. 152.)
8
Sucharitkul, State Immunity And Trading In International Law, (NY: Frederick A. Praeger, Inc. Publisher, 1959),
hal. 14.
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
Kegiatan ini pula membuat imunitas yang absolut menjadi tidak relevan karena akan merugikan
lawan pihak negara dalam perjanjian tersebut.9 Fenomena seperti ini yang akhirnya menimbulkan
pembatasan atau limitasi terhadap imunitas absolut yang dimiliki oleh negara. Pembatasan
imunitas negara ini disebut dengan teori restrictive sovereign immunity. Teori mulai berkembang
akhir abad 19 dan mengalami perkembangan pesat setelah Perang Dunia kedua. Pembatasan ini
menyebabkan negara memiliki imunitas yang sama dengan subyek hukum lainnya apabila ia
terlibat di dalam kegiatan perdagangan. Praktik negara menunjukkan bahwa teori ini mulai
dipertimbangkan dan menggantikan teori imunitas yang absolut.10
Dalam menerapkan teori ini, dilakukan pemisahan antara tindakan publik (acts of government
atau jure imperii) dan tindakan perdata (acts of commercial nature atau jure gestionis) yang
dilakukan oleh negara.11 Namun, pemisahan yang dilakukan untuk mengakomodasi
perkembangan zaman ini bukan tanpa masalah. Dalam penerapannya, pemisahan tindakan negara
ini sulit untuk menemukan suatu definisi yang pasti.12 Tindakan negara yang memiliki sifat
komersial pun seringkali memiliki sifat publik di dalam tujuannya.13 Praktik negara-negara yang
mulai mengadopsi teori ini pun tidak konsisten dan tidak seragam.14
Jika melihat dari segi perkembangannya, teori restrictive sovereign immunity ini juga berangkat
dari hukum kebiasaan internasional. Hal ini ditandai dengan praktik pengadilan negara yang
9
Sornarajah, op. cit., hal. 662.
10
Pemisahan ini dilakukan pertama kali oleh pengadilan Belgia dan Italia pada akhir tahun 1920-an dan setidaknya
telah diadopsi oleh dua puluh negara. Perkembangan pada tahun 1970-an menunjukkan bahwa doktrin ini mulai
dituangkan dalam bentuk hukum tertulis. [Ian Brownlie, Principles of Public International Law, 6th ed., (NY: Oxford
University Press, 2003), hal. 323-324]
11
Winston P. Nagan dan Joshua L. Root, “The Emerging Restriction on Sovereign Immunity: Peremptory Norm of
International Law, the UN Charter, and the Application of Modern Communications Theory”, North Carolina
Journal of International Law and Commercial Regulation Vol. XXVIII, (2013), hal. 411.
12
Sir Gerald Fitzmaurice menyatakan, “The distinction between the sovereign and non sovereign acts of a state is
arbitrary and unreal, and which is not easy to apply in practice and which might become much more difficult to
apply if states care to take the appropriate measures; one which, moreover, must always leave a sort of no man’s
land of actions capable of being regarded as coming within either category. The conclusion seems to be the only
sound course is to adhere to the strict doctrine of complete immunity, any departures from it in specific cases being
regulated by international convention.”(Fitzmaurice, “State Immunity from Proceedings in Foreign Courts”, British
Yearbook of International Law, Vol. 14, (1933).)
13
Professor Hyde menyatakan, “a state never acts in a private capacity, even when the activity in which it
participates is one commonly confined to and carried on by the private individual.” (Hyde, Charles
Cheney. International Law chiefly as interpreted and applied by the United States. Vol. 1, no. 2. Little, Brown,
1922.)
14
Ernest K. Bankas, The State immunity Controversy in International Law, (Berlin Heidelberg: Springer,2005), hal.
77.
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
menjadi awal perkembangannya,15 seperti Italia, Prancis, Belgia, Swiss, dan Yunani.16 Putusanputusan pengadilan di Inggris dan Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa praktik pengadilan
di kedua negara ini telah lama menggunakan pendekatan restrictive sovereign immunity.17
Penerbitan Tate’s Letter pada tahun 1952 oleh US State Department menunjukkan
kecenderungan praktik negara Amerika Serikat untuk lebih menggunakan pendekatan imunitas
yang terbatas. Tate’s Letter ini pada awalnya tidak ditujukan sebagai pedoman bertindak para
hakim di pengadilan melainkan hanya sebagai suatu deklarasi sikap yang akan diambil oleh US
State Department dalam pengabulan permohonan imunitas yang diajukan oleh pemerintah negara
asing.18 Hal lain yang dapat menunjukkan bahwa teori ini mengalami perkembangan yang
konsisten di dalam hukum internasional adalah semakin banyaknya negara yang digugat di
hadapan forum pengadilan asing oleh individu.19 Adanya fakta bahwa negara-negara di dunia
memiliki praktik yang sama dan konsisten dalam mempertahankan imunitasnya berdasarkan
pembatasan jure imperii dan jure gestionis di dalam teori restrictive sovereign immunity
menimbulkan suatu contoh opinio juris sive necessitasis.20
Gugatan yang diajukan terhadap negara seringkali juga ditujukan kepada pejabat publik yang
menjalankan fungsi pemerintahan. Kedudukan kepala negara, kepala pemerintahan, dan pejabat
publik lainnya di hadapan forum pengadilan asing merupakan rumusan yang sulit di dalam
hukum internasional. Konsep yang diterima secara umum adalah bahwa imunitas negara juga
berlaku terhadap pejabat publiknya selama tindakan yang dilakukan pejabat publik itu merupakan
15
Salah satu putusan The Appellate of Bordeaux menyatakan penerimaan terhadap doktrin ini meskipun harus
disadari bahwa semua tindakan negara tetap memiliki unsur publik secara langsung atau tidak langsung dalam hal
menjalankan kegiatan pemerintahan atau administrasi negara. (“que tout acte émane d'un Etat se rattache toujours
nécessairement d'une façon indirecte sinon directe, d'une manière lointaine sinon immediate, à une nécéssite en
rapport avec la mission gouverementale , l'administration publique et l'intérèt général des ressortissants de l'etat
contractant”, [Sucharitkul, hal. 272]). The Supreme Court of Austria menyatakan bahwa dengan semakin banyaknya
aktivitas negara di bidang komersial membuat doktrin imunitas absolut menjadi kehilangan maknanya dan tidak
dipergunakan lagi di dalam dunia internasional [Malcolm N. Shaw, International Law, 6th ed., (NY: Cambridge
University Press, 2008), hal 705.]
16
Sucharitkul, op. cit., hal. 225-251; Xiaodong Yang, op. cit., hal 14-15.
17
Putusan yang menjadi landmark case terkait doktrin restrictive sovereign immunity adalah Chuidian v. Philliphine
(US, 912 F.2nd 1095, 1100 (9th Cir, 1990)) dan The Philippine Admiral (Philippine Admiral (Owners) v. Wallem
Shipping (Hong Kong) Ltd), England, Judicial Committee of the Privy Council, 1975, [1977] AC 373; 64 ILR 9.
18
Xiaodong Yang, op. cit., hal. 16.
19
Ibid, hal. 25.
20
Opinio juris sive necesitatis adalah praktik negara-negara yang muncul dari produk keluaran pengadilan lokal
secara umum yang menunjukkan suatu kebiasaan internasional dan dapat dijadikan sebagai hukum [Ian Brownlie,
op. cit., hal. 8.]
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
ruang lingkup kewenangannnya serta termasuk ke dalam tindakan yang dapat diatribusikan
terhadap tindakan negara.21 Namun, gugatan terhadap pejabat publik atas dasar teori restrictive
sovereign immunity ini lebih banyak dibuat atas nama pribadi pejabat publik tersebut daripada
kapasitas jabatan atau otoritasnya.22
Berkaitan dengan berkembangnya teori restrictive sovereign immunity berdasarkan praktik
negara-negara di dunia yang sudah lama berlangsung, pada akhirnya, negara-negara ini memiliki
suatu hukum tertulis yang mengatur mengenai pembatasan terhadap doktrin imunitas negara yang
absolut.23 Adopsi terhadap European Convention of State Immunity pada tahun 1972 menandai
suatu perkembangan yang penting dalam pendekatan imunitas yang terbatas ini di level dunia
internasional. Pada tahun 2004, United Nations Convention on Jurisdictional Immunities of
States and Their Property (selanjutnya hanya akan disebut dengan UN Convention 2004) mulai
diadopsi dan hingga sekarang masih berusaha untuk memenuhi jumlah minimum ratifikasi oleh
negara untuk dapat membuatnya berlaku. Belum berlakunya suatu konvensi tentang pembatasan
imunitas sebagai hard law di dalam hukum internasional membuat perumusan dan perkembangan
doktrin restrictive sovereign immunity menjadi terbatas. Selain itu, jumlah ratifikasi yang sedikit
bagi UN Convention on Jurisdictional Immunities menimbulkan perdebatan bahwa teori
restrictive sovereign immunity ini sebenarnya bukanlah suatu hukum kebiasaan internasional
yang membutuhkan karakter adanya keterikatan negara non-pihak terhadap suatu perjanjian
internasional. Hal ini pula yang menimbulkan suatu kebingungan akan pendapat bahwa teori
restrictive sovereign immunity yang sebenarnya berkembang dari fondasi hukum internasional
kemudian diragukan relevansi perkembangannya sebagai hukum kebiasaan internasional.24
Artikel ini akan membahas bagaimana perkembangan teori restrictive sovereign immunity di
dalam hukum internasional serta pengaturannya bagi pejabat publik. Untuk melihat praktiknya
secara umum, beberapa putusan akan dibahas pula yaitu Shapiro v. Republic of Bolivia, Hanil
Bank v. PT. Bank Negara Indonesia (Persero), Velasco v. Government of Indonesia, Bouzari v.
21
Sucharitkul, hal. 33; Court of Paris dalam Empereur Maximilien du Mexique c. Lemaitre (1872) menyatakan
bahwa pengadilan setempat tidak berwenang untuk memeriksa perkara karena Empereur Maximilien memiliki
imunitas yang juga dimiliki negaranya.
22
Xiaodong Yang, op. cit., hal. 433.
23
Ian Brownlie, op.cit., hal. 324.
24
Lori Fisler Damrosch, “Changing the International Law of Sovereign Immunity through National Decision”,
Vanderbilt Journal of Transnational Law, Vol. 44: 1185, (2011), hal. 1186-1190.
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
Saudi Arabia, Samantar v. Yousuf, Jones v. Saudi Arabia, dan Jurisidictional Immunities of the
State antara Jerman dan Italia.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini berbentuk yuridis-normatif,25 sehingga metode penelitian yang digunakan
adalah penelitian kepustakaan. Penggunaan metode ini untuk menjawab permasalahanpermasalahan dalam penelitian ini tidak terlepas dari kebutuhan akan data yang dapat dipenuhi
dengan pencarian bahan berupa buku atau tulisan-tulisan lainnya. Jenis data yang digunakan
adalah data sekunder yang didapatkan dengan cara meneliti bahan pustaka yang terdiri dari
sumber hukum yang mengikat, dalam hal ini adalah konvensi atau perjanjian internasional
lainnya yang berkaitan, serta literatur berupa buku, makalah dan artikel jurnal juga bahan-bahan
lainnya yang menunjang seperti kamus, ensiklopedia, dan bahan lain yang memberikan petunjuk
mengenai bahan-bahan yang dipergunakan sebagai data sebelumnya. Metode analisis data yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini
digunakan karena di dalam penelitian ini akan dilakukan penyajian data beserta analisisnya.26
Hasil penelitian ini akan berbentuk deskriptif analisis.
Perkembangan Awal Teori Absolute Immunity
Pengaturan mengenai imunitas negara berawal dari sebuah doktrin yang menjadi dasar
penting hukum antarbangsa, yaitu kedaulatan dan kesamaan derajat di antara negara-negara di
dunia.27 Imunitas absolut ini membuat negara tidak dapat diadili dan digugat di hadapan badan
pengadilan negara lain tanpa kehendak yang dinyatakan. Imunitas absolut berkembang pada
zaman di mana negara masih menjalankan fungsinya yang konvensional, seperti pembuatan
peraturan perundang-undangan, pertahanan negara, dan hubungan politik antar negara. Kegiatan
di atas akhirnya membut suatu kesimpulan bahwa tindakan negara adalah sama dengan tindakan
25
Sri Mamudji, et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), hal. 9-10.
26
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2012), hal. 69.
27
Professor Brownlie mengatakan, “the sovereignty and equality of states represent the basic constitutional doctrine
of the law of nations, which governs a community consisting primarily of states having a uniform personality” [Colin
Warbrick, “The Principle of Sovereign Equality” dalam Colin Warbrick and Vaughan Lowe (ed), The United
Nations and the Principles of International Law, (London: Routledge, 1994, hal 204.]
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
dalam melaksanakan kedaulatannya, yang mana harus dijamin oleh sebuah penghormatan dalam
imunitas.28
Imunitas negara tidak sama dengan imunitas yang dinikmati oleh pejabat diplomatik dan
konsuler. Imunitas diplomatik semata-mata diberi oleh negara penerima untuk menjamin
keberhasilan misi diplomatik yang dibawa oleh pejabat diplomatik dan konsuler tersebut
sedangkan imunitas negara memungkinkan suatu negara sebagai entitas hukum untuk
dikecualikan dari yurisdiksi nasional peradilan lokal negara lain. Perlindungan dan imunitas
yang diberikan ke pejabat diplomatik dan konsuler tidak serta-merta menyimpulkan bahwa
hukum nasional negara penerima tidak berlaku terhadap negara pengirim.29 Secara singkat,
imunitas negara mengacu kepada imunitas yang dinikmati oleh kepala negara sedangkan imunitas
diplomatik mengacu kepada imunitas yang dinikmati oleh perwakilan resmi dari negara
tersebut.30 Keduanya sama-sama berasal dari hukum kebiasaan internasional yang kemudian
dikodifikasi ke dalam suatu bentuk perjanjian internasional. Namun, hal yang patut dicatat bahwa
perkembangan yang dialami keduanya tidaklah sama. Hukum diplomatik tidak memiliki banyak
perbedaan di dalam praktiknya sejak diberlakukannya Vienna Convention on Diplomatic
Relations31 dan Vienna Convention on Consular Relations,32 namun imunitas negara banyak
memiliki perubahan di dalam praktiknya karena berdasar kepada praktik negara dan produk
hukum pengadilan nasional.33
Inggris menjadi negara yang memberikan dasar yang kuat dalam penerapan prinsip imunitas
absolut ini.34 Prinsip ini masih diterapkan Inggris di dalam pengadilan lokalnya hingga tahun
1997, yang kemudian juga diikuti oleh negara Commonwealth lainnya. Beberapa kasus yang
diputus oleh pengadilan Inggris dan menjadi cause célèbre adalah The Prins Frederik,35
28
Xiaodong Yang, loc. cit., hal. 8.
29
Anthony Aust, loc. cit., hal. 212.
30
Rebecca M. Wallace, loc. cit., hal. 121
31
“Vienna Convention on Diplomatic Relations”, 18 April 1961, United Nations Treaty Series Vol. 500, p. 95.
32
“Vienna Convention on Consular Relations”, 24 April 1963, United Nations Treaty Series Vol. 596, p. 261.
33
Gerhard Hafner, Marcelo G. Kohen, dan Susan Breau, eds., State Practice Regarding State Immunities, (The
Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 2006) hal. 48.
34
Malcolm N. Shaw, loc. cit., hal. 702.
35
Kasus Prins Frederik berkaitan dengan pengajuan klaim yang diajukan oleh warga negara Inggris terhadap kapal
perang Prins Frederik milik Kerajaan Belanda. Hakim Sir William Scott menyatakan di dalam putusannya bahwa
permohonan atas pengajuan klaim ditolak atas dasar obyek gugatan berupa kapal perang dipakai untuk tujuan
aktivitas publik dan berada di luar yurisdiksi perdata. [“Prins Frederik” , (1820) 2 Dodson. 451]
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
Parlement Belge,36 dan Porto Alexandre.37 Namun, Amerika Serikat-lah yang menjadi negara
pertama yang menunjukkan pemikiran mereka mengenai doktrin imunitas absolut di dalam
pertimbangan putusan The Schooner Exchange v. Mcfaddon (“Schooner Exchange”).38
Kasus The Schooner Exchange, yang diputus pada tahun 1812, bermula dari gugatan dua
warga negara Amerika Serikat bernama John McFaddon dan William Greetham yang mengklaim
sebagai pemilik asli dari kapal The Schooner Exchange. Kapal ini disita atas perintah Napoleon,
yang kemudian menjadi Kaisar Perancis, tanpa melalui proses hukum yang adil dan jelas di
dalam pengadilan Perancis. Kapal ini kemudian dijadikan sebagai kapal perang dan diganti
namanya menjadi Balou. Permohonan penyitaan kapal diajukan ke District Court of the United
States for the District Court of Pennsylvania. Di dalam petitumnya, penggugat meminta supaya
The Schooner Exchange dikembalikan kepemilikannya kepada mereka.39
Adapun di dalam putusannya, berdasarkan kedaulatan dan persamaan derajat dan hak setiap
negara dan kewajiban negara untuk menjaga kedaulatannya, Judge J. Marshall dari Supreme
Court of United States memutuskan bahwa Pengadilan tidak memiliki yurisdiksi dengan
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu 1) Pengadilan Amerika Serikat tidak memiliki yurisdiksi
untuk memeriksa perkara The Schooner Exchange di mana Perancis sebagai negara yang
berdaulat diposisikan sebagai tergugat;40 2) Berdasarkan imunitas absolut yang dinikmatinya,
suatu negara selayaknya dapat mempertahankan eksekusi properti atau aset yang dimilikinya
apabila perintah eksekuatur didasarkan pada putusan pengadilan negara asing; (3) Imunitas
36
Parlement Belge berhubungan dengan paket surat yang secara resmi dimiliki oleh Raja Belgia yang pada saat itu
dibawa oleh personil angkatan Laut Belgia. Hakim Brett L.J. pada putusan di pengadilan banding menyatakan bahwa
imunitas negara juga harus diperluas hingga ke aset atau barang yang dimiliki oleh negara asing yang berada di
wilayah negara forum asalkan digunakan untuk tujuan publik. (“The principle … is that, … each and every one
declines to exercise by means of its courts any of its territorial jurisdiction over the person of any sovereign or
ambassador of any other state, or over the public property of ay state which destined to public use, or over the
property of any ambassador, though such sovereign, ambassador, or property within its territory and, therefore, but
for the common agreement, subject to its jurisdiction.”) [The Parlement Belge, (1880) 5 P.D. 197.]
37
Putusan di dalam kasus Porto Alexandre ini menegaskan bahwa imunitas absolut juga diperluas hingga kapal yang
digunakan untuk tujuan publik. [The Nora v. The Porto Alexander, (1920) p. 30, Ernest K. Bankas, loc. Cit., hal. 25.]
38
Ibid., hal. 13.
39
The Schooner Exchange V. McFaddon, (1812) 11 U.S. 116, http://www.sc-sl.org/scsl/Public/SCSL-03-01Taylor/SCSL-03-01-I-032/SCSL-03-01-I-032-IV.pdf, diakses pada 19 Maret 2014.
40
“The jurisdiction of a nation within its own territory is necessarily exclusive and absolute. It is susceptible of no
limitation not imposed by itself. Any restriction upon it, deriving validity from an external source, would imply a
diminution of its sovereignty to the extent of the restriction, and an investment of that sovereignty to the same extent
in that power which could impose such restriction. All exceptions, therefore, to the full and complete power of a
nation within its own territories, must be traced up to the consent of the nation itself. They can flow from no other
legitimate source. This consent may be express or implied.” [Justice Marshall, ibid.]
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
absolut yang dimiliki oleh negara juga diperluas hingga kepala negaranya. Hal ini juga
didasarkan pada pemikiran bahwa personalitas raja adalah sama dengan personalitas negara dan
tidak ada yurisdiksi manapun yang berhak untuk mengadilinya.
Kasus The Christina adalah contoh kasus mengenai pertimbangan imunitas absolut di
hadapan Pengadilan Inggris. The Christina adalah kapal yang dimiliki oleh perusahaan Spanyol
Compania Naviera Vascongado. Kapal ini terdaftar di Bilbao. Beberapa saat sebelum kapal ini
berlabuh di Cardiff, Inggris, Pemerintah Spanyol mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan
pengambilalihan kapal-kapal yang terdaftar di Bilbao. The Christina termasuk ke dalam kapal
yang kepemilikannya diambil alih. Pemerintah Spanyol kemudian datang ke Cardiff dan
mengambil alih kapal serta menempatkan pemilik baru yang ditunjuk sebagai penanggung jawab
kapal. Compania Naviera Vascongado kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Inggris dan
mendalilkan bahwa ia adalah pemilik tunggal yang sah dari The Christina. Pemerintah Spanyol di
dalam pembelaannya mengatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena pihak tergugat
adalah sebuah negara yang memiliki imunitas yang absolut.41
Pengadilan Inggris akhirnya memutuskan bahwa ia tidak memiliki yurisdiksi untuk
mengadili perkara karena prinsip imunitas absolut telah diterima di dalam hukum internasional
dan menjadi fondasi di dalam memutus perkara yang serupa.42 Selain itu, Pengadilan Inggris juga
berpendapat bahwa kepemilikan negara atas suatu aset juga seharusnya tidak dapat diganggu
gugat. Dalam hal ini, Pengadilan Inggris tidak dapat menaruh sebuah perintah penyitaan dan
eksekusi terhadap properti dan aset yang dimiliki Spanyol sebagai negara asing. Pemahaman ini
tidak hanya terbatas pada kapal yang digunakan untuk kepentingan publik, tetapi juga untuk
kapal yang digunakan negara asing dalam kapasitas kepentingan secara perdata atau privat.
41
Compania Naviera Vascogando V. Steamship “Christina” and Persons Claiming An Interest Therein, (1938) A.C.
485, http://www.uniset.ca/other/css/1938AC485.html, diakses pada tanggal 19 Maret 2014.
42
“The foundation for the application to set aside the writ and arrest of the ship is to be found in two propositions of
international law engrafted into our domestic law which seem to me to be well established and to be beyond dispute.
The first is that the courts of a country will not implead a foreign sovereign, that is, they will not by their process
make him against his will a party to legal proceedings whether the proceedings involve process against his person or
seek to recover from him specific property or damages. The second is that they will not by their process, whether the
sovereign is a party to the proceedings or not, seize or detain property which is his or of which he is in possession or
control. There has been some difference in the practice of nations as to possible limitations of this second principle
as to whether it extends to property only used for the commercial purposes of the sovereign or to personal private
property. In this country it is in my opinion well settled that it applies to both.“ [Lord Atkin di dalam Compania
Naviera Vascogando V. Steamship “Christina” and Persons Claiming An Interest Therein, Ibid]
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
Perkembangan Teori Imunitas yang Terbatas (Restrictive Sovereign Immunity)
Perkembangan teori imunitas yang terbatas (restrictive sovereign immunity)43 dimulai pada
masa setelah Perang Dunia Kedua di mana negara mulai mengubah kecenderungannya untuk
melaksanakan fungsi sebagai regulator semata dalam kegiatan ekonomi. Dengan adanya fakta
bahwa negara menjadi aktif di dalam kegiatan perdagangan, maka negara juga harus diposisikan
sebagai pihak dalam suatu perjanjian perdata yang menuntut adanya kesetaraan hak dan
kewajiban. Akan menjadi tidak adil apabila negara yang berkontrak dengan subyek hukum privat
lainnya juga memiliki imunitas di hadapan pengadilan suatu negara. Maka dari itu muncullah
pembatasan imunitas negara dalam hal tertentu.44
Pengadopsian prinsip imunitas yang terbatas ini membuat pengadilan suatu negara asing
dapat memberlakukan yurisdiksinya kepada negara terkait tindakan-tindakan yang memiliki
unsur perdata.45 Perkembangan ini akhirnya juga menggeser prinsip imunitas absolut. Kegiatan
negara dibagi menjadi dua kategori, yaitu apakah tindakan tersebut merupakan tindakan publik
(jure imperii) atau tindakan secara perdata (jure gestionis). Negara hanya berhak menikmati
imunitas pada tindakan yang pertama. Tindakan negara dalam kapasitasnya sebagai subyek
hukum perdata mengharuskannya tunduk pada yurisdiksi negara lain.46
Sama halnya dengan perkembangan imunitas absolut, perkembangan imunitas yang terbatas
ini juga dilalui berdasarkan produk-produk keluaran badan peradilan negara-negara di dunia.
Kesulitan untuk menentukan pembatasan membuat prinsip imunitas terbatas ini memiliki
perbedaan penerapan pada awal perkembangannya. Masing-masing negara memiliki konsep
imunitas terbatas secara berbeda tergantung dari pemikiran hakim dan pengaturan yang diberikan
oleh pemerintah lokalnya.47
Parameter Penerapan Restrictive Sovereign Immunity
43
Penulis akan menggunakan terminologi “imunitas yang terbatas” di dalam pembahasan skripsi ini.
44
Sompong Sucharitkul, loc. cit., hal. 19.
45
Malcolm N. Shaw, loc. cit., hal. 704.
46
Jasper Finke, “Sovereign Immunity: Rule, Comity or Something Else”, The European Journal of International
Law vol. 21 No. 4, (2011), hal. 853-881.
47
Said Mahmoudi, “Sovereign Immunity from Suit Agreement between Local Government Entity and a Foreign
State Distinction between Public and Private Acts” The American Journal of International Law Vol. 95 No. 1,
(2001), 192-197.
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
Secara teori, konsep imunitas dan yurisdiksi suatu negara terbagi menjadi beberapa macam.
Secara umum, imunitas dapat dibagi menjadi foreign sovereign immunity, official-status based
immunity atau yang sering disebut dengan rationae personae, dan official-conduct based
immunity yang disebut juga dengan rationae materiae.
Foreign States adalah subyek hukum internasional yang dapat diajukan sebagai tergugat di
hadapan forum pengadilan asing. Pada dasarnya, suatu negara asing memiliki imunitas dan tidak
dapat diadili di hadapan pengadilan negara asing.
Negara adalah suatu konsep abstrak yang terdiri dari suatu kumpulan masyarakat atas dasar
kehendak yang sama.48 Sebagai salah satu entitas dan subyek hukum internasional, tindakan
Negara dicerminkan atau dijalankan oleh pemerintah serta organ-organ yang mewakili negara di
dalam hubungan internasional.49 Adapun pihak-pihak yang dapat dikualifikasikan sebagai foreign
states di dalam teori imunitas negara adalah Kepala Negara (Head of State), constituent units and
political subdivisions (negara bagian sebuah negara federal atau provinsi), State Agencies and
Instrumentalities (Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah), Individu Pejabat
Publik, dan Bank Sentral.
Sedangkan pengecualian terhadap imunitas negara (rationae materiae) yang selama ini
erkembang mencakup commercial activity, kontrak pemberian kerja (contracts of employment),
dan perbuatan melawan hukum di luar hubungan komersial (non-commercial torts). Berdasarkan
kasus-kasus yang akan dibahas nanti, kan terlihat bahwa dalil pelanggaran jus cogens dan
pelanggaran HAM dicoba untuk menjadi salah satu pembatasan sebuah negara untuk mengklaim
imunitasnya.
Dari sekian banyak kasus yang perlu ditinjau, penulis akan menyajikan lima kasus, yaitu
Velasco v. Government of Indonesia, Bouzari v. Republic of Iran, Samantar v. Yousuf, Jones v.
Saudi Arabia, dan Germany v. Italy (Greece Intervening). Kelima kasus ini merupakan kasus
yang mendapat perhatian dalam dunia internasional dan banyak dijadikan sebagai pertimbangan
oleh hakim dalam memutus kasus yang terjadi selanjutnya. Analisis akan dilakukan dengan
mempertimbangkan pendapat ahli serta peraturan di dalam instrumen hukum yang berkaitan.
4.1. Shapiro v. Republic of Bolivia
48
Okay Anyadiegwu, “Restrictive Theory of Foreign State Immunity at the Crossroads” (PhD diss., York University,
Ontario, 1995), hal. 153.
49
Harold J. Laski, The State in Theory and Practice, (New York, 1968), hal. 10-11.
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
Kasus bermula dengan dikeluarkannya Surat Sanggup (“promissory note”) oleh Republik
Bolivia bernilai 81 juta Dollar Amerika. Surat Sanggup ini dikeluarkan sebagai salah satu upaya
pembayaran pembelian pesawat terbang yang tercantum di dalam kontrak jual beli antara
International Promotions and Ventures, Ltd. (“IPVL”) dan Angkatan Udara Bolivia. Di dalam
Surat Sanggup ini dicantumkan klausula bahwa IPVL harus mengembalikan Surat Sanggup
tersebut apabila otoritas Amerika Serikat gagal untuk menerima perpindahan kepemilikan
pesawat yang sudah diperjanjikan. Hingga pertengahan tahun 1983, pesawat yang diperjanjikan
juga belum tiba di Bolivia. IPVL menolak mengembalikan Surat Sanggup Bolivia yang kuasai
meskipun sudah ditarik oleh Bolivia Hakim Southern District of New York kemudian
mengabulkan gugatan dan memerintahkan IPVL untuk mengembalikan surat sanggup yang
masih di dalam penguasaannya.
Pada Tahun 1986, Penggugat mengajukan gugatan terhadap Bank Sentral Bolivia menolak
pembayaran Surat Sanggup seri 12. Penggugat dapat memiliki surat sanggup ini karena antara
IPVL dan perusahaan milik Penggugat terlibat suatu kontrak di mana surat sanggup milik IPVL
dijaminkan sebagai pengganti komisi. Penggugat kemudian membeli surat sanggup ini dari
perusahaan miliknya untuk kepentingan pribadi pada tahun 1986, di mana telah ada putusan
Southern District of New York yang memerintahkan IPVL untuk mengembalikan surat sanggup
kepada Pemerintah Bolivia.
Majelis Hakim Court of Appeal, Second Circuit mengubah putusan Pengadilan Southern
District of New York dengan menyatakan bahwa seharusnya Southern District of New York
memiliki yurisdiksi untuk memeriksa perkara dengan pertimbangan bahwa tindakan Bolivia
untuk mengeluarkan surat sanggup dikategorikan sebagai aktivitas komersial sebagaimana diatur
di dalam pasal 1605(a)(2) FSIA; Aktivitas komersial tersebut memiliki akibat langsung (direct
effect) terhadap Amerika Serikat karena dengan beredarnya surat sanggup di Amerika Serikat
membuat Bolivia sebagai pihak yang menerbitkan surat sanggup ini harus tunduk pada hukum
nasional dan yurisdiksi Amerika Serikat
Hanil Bank v. PT. Bank Negara Indonesia
Kasus ini bermula dari pengeluaran letter of credit (selanjutnya disebut “L/C”) oleh Penggugat
kepada Sung Jin. L/C dikeluarkan oleh Tergugat untuk kepentingan PT. Kodeco Electronics
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
Indonesia (“Kodeco”). Kodeco mengimport material suku cadang pembuatan radio dari Sung Jin.
Penggugat sebagai paying bank atau negotiating bank membayar sejumlah uang kepada Sung Jin.
Pada tanggal 2 Agustus 1995, Penggugat meminta Tergugat untuk melakukan pembayaran
L/C dengan cara mencairkan dan mentransfernya ke rekening Penggugat di salah satu cabang
bank di New York. Namun, Tergugat menolak melakukan pembayaran walaupun ketentuan di
dalam L/C yang dikeluarkannya menyatakan “[u]pon receipt of documents in conformity with
terms of this credit we will reimburse the negotiating bank according to their instruction”
Hakim di United States District Court for the Southern District of New York menolak dalil
Tergugat bahwa dirinya memiliki imunitas yang kemudian dikuatkan oleh Court of Appeal,
Second Circuit dengan mendasarkan pertimbangannya kepada FSIA yang mengatur bahwa
sebuah negara asing berhak menikmati imunitasnya hanya sepanjang ia melakukan kegiatan yang
bersifat publik. Ketentuan di FSIA mengatur apabila suatu negara melakukan aktivitas komersial,
maka ia tidak dapat lagi mengklaim imunitasnya. Tergugat terbukti melakukan aktivitas
komersial karena ia tidak bisa membayar L/C yang kemudian menyebabkan akibat langsung
(‘direct effect’) kepada Amerika Serikat. Direct effect ini terjadi atas tidak dilakukannya
pembayaran oleh Tergugat. Selain itu, tempat pelaksanaan pembayaran juga berada di New York,
yang mana termasuk ke dalam wilayah teritorial Amerika Serikat. Tergugat juga tidak pernah
melakukan pembayaran awal sebelum adanya insiatif dari Penggugat. Atas dasar hubungan
antara wanprestasi yang dilakukan Tergugat dan tempat pelaksanaan pembayarn tersebut, maka
argument direct effect sebagaimana yang terdapat di dalam FSIA terbukti. Tergugat termasuk ke
dalam kualifikasi foreign state karena Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penerapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk
Usaha Negara Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU No. 9/1969)50 mengatur bahwa
Bentuk Usaha Negara berupa Persero adalah perusahaan dalam bentuk Perseroan Terbatas yang
saham-sahamnya untuk sebagiannya maupun seluruhnya dimiliki oleh Negara.51 Hal ini yang
menyebabkan sebagian besar saham PT. Bank Negara Indonesia (Persero) adalah milik Republik
Indonesia. FSIA mengatur mengenai bentuk usaha negara Persero ini di dalam § 1603 (A) (b).
50
Indonesia, Undang-Undang tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang, UU No. 9 Tahun 1969, LN No. 40
Tahun 1969, TLN No. 2904, sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik
Negara (Indonesia, Undang-Undang tentang Badan Usaha Mlik Negara, UU No. 19 Tahun 2003, LN No. 76 Tahun
2003, TLN No. 4297.)
51
Ibid, pasal 2 ayat (3).
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
Persero dikualifikasikan sebagai agency or instrumentality of a foreign states yang memiliki
syarat sebagai suatu badan hukum yang mana mayoritas saham atau kepemilikan lainnya dimiliki
oleh negara atau provinsi atau negara bagiannya.52
4.3. Velasco v. Government of Indonesia
Pada tanggal 27 Oktober 1985, mantan Deputi Pembangunan Jangka Panjang Dewan
Ketahanan Nasional Ibnu Hartomo dan Soebago Soedewo mengeluarkan 505 seri obligasi senilai
3,2 Miliar USD. Obligasi tersebut dikeluarkan atas nama Dewan Ketahanan Nasional dan
menggunakan mata uang Dollar Amerika dalam pembayarannya. Pembayaran ini ditujukan ke
Lembaga Pengembangan Perdagangan dan Investasi di Beirut dan perwakilannya di New York.
Tanda tangan Duta Besar Indonesia untuk Suriah Chalid Mawardi dicantumkan di dalam obligasi
tersebut untuk membuatnya menjadi sah. Obligasi ini kemudian diperdagangkan pasar
internasional.
Penerbitan
obligasi
oleh
Dewan
Ketahanan
Nasional
tersebut
dilakukan
tanpa
memperhatikan otoritas yang seharusnya diberikan Kementerian Keuangan atau Kementerian
Luar Negeri. Kementerian Keuangan pun menyatakan bahwa obligasi yang diterbitkan oleh
Dewan Ketahanan Nasional tersebut tidak sah dan tidak mengikat negara Indonesia. Kemudian,
pada awal tahun 1986, Kementerian Keuangan menerbitkan memorandum terbatas kepada
Gubernur Bank Indonesia yang isinya menyatakan bahwa Kementerian Keuangan tidak akan
melakukan otorisasi obligasi yang dikeluarkan oleh Dewan Ketahanan Nasional dan juga tidak
memberikan kewenangan kepada Ibnu Hartomo dan Soebagyo Soedewo untuk mengeluarkan
obligasi apapun.
Obligasi ini dibeli oleh Penggugat di Panama pada tahun 1987 dari seorang pelaku bisnis
Italia bernama Patrizion Bucciarelli. Ketika ia mengajukan klaim pembayaran ke Banaico Bank
di Panama City, pihak bank menyatakan bahwa Indonesia menolak untuk membayar obligasi.
Konsulat Jenderal Indonesia kemudian menginformasikan Penggugat bahwa obligasi tersebut
tidak sah dan tidak dapat dimintakan pembayaran..
Di dalam pertimbangannya, terbukti bahwa Indonesia dan Dewan Ketahanan Nasional tidak
termasuk ke dalam cakupan “foreign states” karena Dewan Ketahanan Nasional tidak memiliki
kewenangan untuk mendapatkan pendanaan dari sumber asing. Chalid Mawardi juga tidak
52
Foreign Sovereign Immunities Act, Public Law 94-583, US Statutes at Large 90 (1976): 2891, § 1603 (A)(b).
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
menerima Full Powers53 dari Kementerian Luar Negeri atau Surat Tugas dari Kementerian
Keuangan untuk melakukan kewenangan tersebut. Maka dari itu, tindakannya yang
menandatangani obligasi terbitan Dewan Ketahanan Nasional dikategorikan sebagai tindakan di
luar kewenangannya (ultra vires) dan tidak dapat melekat kepada tindakan negara Republik
Indonesia.54 Selain itu, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Dewan Ketahanan Nasional
berulang kali menyebarkan informasi mengenai obligasi yang tidak resmi tersebut membuat
Indonesia tidak dapat dikenakan klaim pertanggungjawaban negara. Hal ini juga sudah dilakukan
dalam jangka waktu sebelum Penggugat membeli obligasi tersebut di Panama.
Pengadilan menyatakan bahwa Tergugat menikmati imunitas dan pengecualian “commercial
activity” tidak dapat dapat berlaku di dalam kasus ini. Maka dari itu, Pengadilan tidak memiliki
yurisdiksi dan menolak untuk memeriksa perkara.
Bouzari v. Islamic Republic of Iran
Penggugat ditangkap oleh pihak pemerintah Iran dan dipenjara tanpa prosedur hukum yang
jelas. Penggugat kerapkali menerima penyiksaan di dalam tahanan dan berakibat kepada
kerusakan pendengaran. Penggugat kemudian dilepaskan pada Januari 1994. Keluarga penggugat
di Italia juga dipaksa untuk melakukan pembayaran sejumlah uang sebagai ganti dari ancaman
pembunuhan. Pembayaran sejumlah 5 juta dollar amerika ini dilakukan keluarga penggugat
dengan sistem mencicil dan terus dilakukan meskipun penggugat sudah dilepaskan dari penjara.
Penggugat dan keluarganya kemudian berpindah-pindah tempat tinggal di berbagai negara
untuk menjamin keselamatan. Mereka datang ke Kanada pada tahun 1998. Status yang mereka
dapatkan adalah imigran dan ketika proses persidangan tingkat banding ini berjalan, keluarga
penggugat telah bersatatus warga negara Kanada. Penggugat kemudian mengajukan gugatan
ganti rugi atas penculikan, penahanan secara paksa, penyiksaan, dan ancaman pembunuhan yang
diterimanya serta pengembalian uang yang dibayarkannya kepada Iran. Proses persidangan ini
berlanjut hingga menempuh tingkat banding di Court of Appeal for Ontario
53
“Full Powers” means a document emanating from the competent authority of a State designating a person or
persons to represent the State for negotiating, adopting or authenticating the text of a treaty, for expressing the
consent of the State to be bound by a treaty, or for accomplishing any other act with respect to a treaty. [Vienna
Convention on Law of Treaties, loc. cit., pasal 1(c).]
54
Ibid., paragraf 29.
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
Terkait dengan isu imunitas negara yang muncul di dalam persidangan, Majelis Hakim
berpedoman penuh kepada ketentuan yang terdapat di dalam Canada SIA. Pada akhirnya, Hakim
berpendapat bahwa pengecualian-pengecualian yang terdapat di dalam Canada SIA tidak dapat
diterapkan di dalam kasus, khususnya mengenai ketentuan bahwa tindakan penyiksaan harus
terjadi di Kanada. Hal ini membuat Tergugat tetap memiliki imunitas.55 Gugatan kemudian
ditolak oleh Majelis Hakim dengn menyatakan bahwa Pengadilan Ontario tidak memiliki
yurisdiksi untuk memeriksa perkara karena tidak terdapatnya praktik di dalam hukum
internasional mengenai pemberlakuan yurisdiksi universal perdata.
Yousuf v. Samantar
Penggugat merupakan penduduk asli Somalia yang mengaku menerima serangan sistematik,
penyiksaan, penahanan, serta ancaman pembunuhan dari rezim militer Somalia pada tahun 1980an. Tergugat merupakan salah satu pejabat publik yang menduduki posisi penting pada saat
rezim militer Jenderal Mohamed Barre berkuasa pada tahun 1969-1991. Penggugat Pada tahun
1991, Penggugat pergi meninggalkan Somalia dan menetap di Amerika Serikat sebagai
permanent legal resident dan warga negara naturalisasi. Mereka mengajukan gugatan ganti rugi
atas tindakan yang dilakukan oleah rezim militer tersebut. Penggugat mendalilkan bahwa
Tergugat menggunakan kewenangannnya untuk memerintahkan dan mengontrol tindakan
penyiksaan tersebut. Penyiksaan tersebut dilakukan oleh bawahan Tergugat. Tergugat seharusnya
tahu atau setidak-tidaknya seharusnya mengetahui mengenai tindakan bawahannya. Gugatan ini
diajukan ada tahun 2004 berdasarkan Torture Victims Protection Act (TVPA) dan Alien Tort
Statute (ATS).
Supreme Court menyatakan bahwa ketentuan imunitas negara di dalam § 1603 FSIA pun
tidak mencakup kepada pejabat publik secara harafiah. Pasal ini pula mengatur bahwa FSIA tidak
mencakup pejabat publik yang bertindak di dalam batas kewenangannya. Majelis Hakim
Supreme Court of United States menguatkan putusan pada Court of Appeal yang menyatakan
bahwa imunitas Penggugat sebagai pejabat publik tidak diatur di dalam FSIA. Untuk selanjutnya,
Supreme Court memerintahkan District Court untuk memeriksa kasus menurut common law
untuk mengetahui kemungkinan adanya imunitas bagi pejabat publik.
55
“A foreign state is not immune from the jurisdiction of a court in any proceedings that relate to (a) any death or
personal or bodily injury, or (b) any damage to or loss of property, that occurs in Canada.” [Canada, State
Immunity Act, Pasal 6]
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
Doktrin common law Amerika Serikat terkait imunitas negara mengharuskan Pengadilan
untuk meminta pertimbangan ke State Department untuk memberikan rekomendasi atau opini
mengenai sikap Pemerintah dalam menghadapi negara asing yang diajukan sebagai Tergugat di
hadapan Pengadilan Amerika Serikat.56 State Department kemudian mengeluarkan Statement of
Interest (SOI) yang menyatakan bahwa Tergugat tidak memiliki imunitas karena Pemerintah
Amerika Serikat tidak pernah mengakui pemerintahan Somalia pada waktu terjadi peristiwa. Hal
ini kemudian berakibat negara tersebut tidak memiliki imunitas di hadapan Pengadian Amerika
Serikat. Selain itu, Tergugat pada saat kasus ini diajukan sudah menjadi permanent resident
Amerika Serikat yang membuatnya tunduk kepada ketentuan hukum Amerika Serikat.
Pengadilan kemudian mengikuti rekomendasi State Department dan menyatakan bahwa
Tergugat tidak memiliki imunitas di hadapan Pengadilan Amerika Serikat. Atas dasar putusan ini
Tergugat mengajukan banding.
Pengadilan tingkat banding menemukan bahwa putusan yang terkait dengan klaim imunitas
individual foreign sovereign jarang ditemukan. Pengadilan kemudian memilih untuk
mempertimbangakan kasus berdasarkan pendekatan imunitas yang dimiliki oleh kepala negara
atau imunitas pejabat diplomatik dan konsuler. Maka dari itu, terdapat kewajiban untuk merujuk
kepada rekomendasi atau opini yang dikeluarkan oleh State Department terkait imunitas kepala
negara. Pengadilan tingkat banding kemudian mengikuti secara absolut opini dari State
Department terkait argumen imunitas yang dimiliki oleh kepala negara sebagai rationae personae
yang juga digunakan sebagai pertimbangan di dalam Pengadilan tingkat pertama.
Jones v. the Kingdom of Saudi Arabia
Di dalam kasus yang diajukan ke hadapan Pengadilan Inggrisini, Para Pengugat mengaku
mengalami kerugian atas tindakan PMH, penahanan secara paksa, serta penyiksaan yang
dilakukan oleh Para Tergugat di Arab Saudi antara Maret hingga Mei 2011. Hakim
mempertimbangkan hukum domestik dan hukum internasional untuk mempertimbangkan apakah
Tergugat memiliki imunitas atau tidak.
UK SIA menganggap negara asing sebagai subyek hukum yang memiliki imunitas.57
Definisi negara pun dapat diperluas hingga Kepala Negara, Pemerintah, dan semua departemen
56
Praktik ini didasarkan kepada penerbitan Tate’s Letter dari State Department pada tahun 1951.
57
United Kingdom, State Immunity Act, 1978, c. 33, pasal 1(1).
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
atau direktorat di bawah kementerian negara tersebut.58 Namun, Majelis Hakim kemudian
menolak gugatan dengan alasan 1) UK SIA tidak mengatur penyiksaan sebagai pembatasan
imunitas; 2) CAT tidak mengatur mengenai yurisdiksi universal perdata bagi tindakan
penyiksaan; 3) tidak pernah dikembangkan di dalam hukum internasional mengenai yurisdiksi
universl dalam klaim perda
Jurisdictional Immunities of the State (Germany v. Italy, Greece Intervening)
Putusan ini merupakan putusan kasus yang dikeluarkan oleh International Court of Justice
pada tanggal 3 Februari 2012. Kasus ini menjadi salah satu kasus yang meletakkan fondasi
mengenai pemisahan jure imperii dan jure gestionis pada penerapan prinsip imunitas negara di
dalam hukum internasional. Kasus ini berawal pada putusan Pengadilan Italia yang menghukum
Jerman untuk membayar kompensasi terhadap korban akibat tindakan pelanggaran hukum perang
(violations of international humanitarian law) yang dilakukan angkatan bersenjata Jerman pada
Perang Dunia Kedua dalam kurun waktu September 1943 hingga Mei 1945 di Italia. Selain itu,
Italia juga menyita aset negara Jerman “Villa Vigoni” berkaitan dengan putusan yang
dikeluarkannya. Jerman kemudian membawa kasus ini ke hadapan ICJ dengan dalil bahwa Italia
telah melanggar prinsip imunitas negara yang seharusnya dinikmati oleh Jerman.
Majelis Hakim melihat kepada praktik hukum kebiasaan internasional dan menemukan bahwa
UK SIA dan Singapore SIA mengatur bahwa pengadilan tidak dapat mengadili permasalahan
yang berkaitan dengan tindakan angkatan bersenjata negara asing.59
Pengadilan-pengadilan lokal yang dipertimbangkan oleh hakim pun tidak menunjukkan
adanya praktik yang membatasi imunitas negara kepada angkatan bersenjata.60 Hal ini pula yang
berlaku kepada Jerman dengan putusan yang dikeluarkan pengadilannya di mana ia tidak
membatasi imunitas terkait tindakan yang dilakukan oleh angkatan bersenjata negara asing
meskipun tindakannya dilakukan di dalam wilayah teritorial negara forum pengadilan.61Opinio
58
“The immunities and privileges conferred by this Part of this Act apply to any foreign or commonwealth State
other than the United Kingdom; and references to a State include references to— (a) the sovereign or other head of
that State in his public capacity; (b) the government of that State; and (c) any department of that government, but
not to any entity (hereafter referred to as a “separate entity”) which is distinct fromthe executive organs of the
government of the State and capable of suing or being sued.”[United Kingdom, State Immunity Act, Pasal 14 (1).]
59
Jurisdictional Immunities of the State (Germany v. Italy: Greece intervening), ICJ Reports, 2012, paragraf 71.
60
Ibid.
61
Greek Citizen v. Federal Republic of Germany, case No. III ZR 245/98
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
juris62menunjukkan bahwa imunitas negara diperluas hingga litigasi perdata terkait tindakan yang
menyebabkan kematian, kerugian, dan kerusakan terhadap benda yang dilakukan oleh angkatan
bersenjata dan organ negara lainnya di dalam situasi konflik bersenjata, meskipun tindakan
tersebut terjadi di dalam wilayah teritorial negara forum pengadilan.63 Selain itu, tidak ada
praktik negara yang menunjukkan bahwa tuduhan melakukan pelanggaran HAM atau
pelanggaran hukum humaniter dapat menempatkan negara di dalam posisi keadaan tidak dapat
menikmati imunitasnya.
Berdasarkan hukum kebiasaan internasional, untuk menentukan apakah suatu negara
memiliki imunitas adalah dengan menentukan ruang lingkup tindakannya sebagai jure imperii
dan jure gestionis.64 Ruang lingkup tindakan angkatan bersenjata tidak termasuk ke dalam
kualifikasi jure gestionis. Dalam perkembangannya, jure gestionis muncul akibat meningkatnya
aktivitas negara di dalam perdagangan internasional.65 Selain itu, purpose test dan nature
testyang biasa dilakukan akan menunjukkan bahwa tindakan angkatan bersenjata ini termasuk ke
dalam jure imperii.66 Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa dalil non-commercial tort tidak
berlaku terhadap tindakan angkatan bersenjata karena subyek hukum ini tidak termasuk ke dalam
ruang lingkup rationae personae dan rationae materiae hukum internasional mengenai imunitas
negara.
Hakim ICJ tidak terikat dengan prinsip stare decisis sehingga tidak ada kewajiban bagi
Hakim untuk mengikuti putusan yang telah mereka buat.67 Namun, ICJ secara berulang kali
meyatakan bahwa mereka tidak bertugas untuk membentuk hukum karena hal tersebut
merupakan fungsi bidang legislatif.68 Fungsi utama ICJ sebagai salah satu pengadilan
internasional adalah ajudikasi pihak yang bersengketa. Hakim di dalam pengadilan internasional
62
Opinio Juris menyatakan bahwa konsep imunitas ini terbentuk dari adanya praktik negara serta putusan yang
dikeluarkan pengadilan-pengadilan nasional yang kemudian membentuk hukum kebiasaan internasional.
[Jurisdictional …, loc cit., paragraf 77]
63
ibid.
64
“International Covenant on Civil and Political Rights”, 16 Desember 1966, United Nations Treaty Series 14668,
pasal 14.
65
Winston P. Nagan dan Joshua L. Root, loc. cit., hal 411.
66
Jasper Finke, loc. cit., hal. 860.
67
“The decision of the Court has no binding force except between the parties and in respect of that particular case.”
[“Statute of the International Court of Justice”, 26 Juni 1945, 59 Stat. 1031, pasal 59.]
68
‘as a court of law, [it] cannot render judgment sub specie legis ferendae or anticipate the law before the legislator
has laid it down’, Fisheries Jurisdiction (United Kingdom v Iceland) (Merits) (Judgment) [1974] ICJ Rep 3–24, s 53.
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
juga jarang memutus kasus secara ex aquo et bono dan lebih mendasarkan putusan kepada hukum
yang telah berlaku.69 Meskipun Hakim ICJ tidak terikat dengan preseden yang telah mereka buat,
namun putusan terdahulu juga dipertimbangkan secara penuh. Hal ini didasarkan pada keinginan
untuk menjaga kepastian dan konsistensi meskipun akibat dari mengikuti preseden secara terus
menerus akan menghalangi perkembangan baru di dalam hukum.70
Berdasarkan sumber hukum primer71 yang digunakan Hakim ICJ dalam mengambil, tidak
ada perjanjian internasional yang mengatur bahwa jus cogens dapat dijadikan sebagai salah satu
parameter di dalam pendekatan imunitas yang terbatas. Hal ini pula nampak di dalam hukum
kebiasaan internasional. Praktik-praktik negara melalui pengadilan nasionalnya secara umum
tidak pernah mengabulkan gugatan yang memohon dihapuskannya imunitas negara berdasarkan
jus cogens.
Jus cogens memang diatur di dalam prinsip-prinsip umum hukum sebagai salah satu norma
paling tinggi di dalam hukum internasional. Meskipun dapat didalilkan bahwa terdapat
pelanggaran jus cogens di dalam perkara ini, namun tidak pernah benar-benar dikembangkan di
dalam hukum internasional bahwa jus cogens dapat menghilangkan imunitas suatu negara yang
berdaulat.72
Berdasarkan analisis di atas, putusan ICJ di atas mencoba untuk menjaga konsistensi hukum.
Banyak pendapat ahli yang mendukung bahwa jus cogens sebagai salah satu parameter
pembatasan imunitas, namun hal ini akan menimbulkan ketidakpastian di dalam hukum itu
sendiri.
Simpulan
Pertama, sebagai salah satu hukum kebiasaan internasional, imunitas negara tidak lagi
diterima secara absolut di dalam hukum internasional. Peningkatan aktivitas negara di dalam
hubungan komersial dan perdagangan internasional menyebabkan adanya pemisahan tindakan
negara menjadi jure imperii dan jure gestionis. Sebuah negara tidak dapat mengklaim imunitas
69
Gilbert Guillaume, “The Use of Precedent by International Judges and Arbitrators”, Journal of Interntional
Dispute Settlement, Vol. 2 (2011), hal. 5.
70
Ibid, hal. 6-7.
71
“Statute of the International Court of Justice”, pasal 38 (1).
72
Anthony D’Amato, “It’s a Bird, It’s a Plane, It’s Jus Cogens!”, Connecticut Journal of International Law Vol. 6,
(1991), hal. 1.
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
dan tunduk kepada yurisdiksi pengadilan negara asing apabila ia terbukti melakukan tindakan
jure gestionis, yaitu tindakan yang dilakukan negara dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum
perdata.Berbagai putusan pengadilan nasional telah menunjukkan adanya perubahan penerimaan
pendekatan imunitas absolut menjadi pendekatan imunitas negara secara terbatas.
Kedua, pendekatan imunitas negara secara terbatas telah dikodifikasikan ke dalam instrumen
hukum nasional dan internasional. Ada dua hal yang harus dibuktikan di dalam menentukan
imunitas negara, yaitu rationae personae dan rationae materiae. Kategori rationae personae ini
mencakup pihak-pihak yang dapat dikualifikasikan personalitasnya kepada negara, antara lain
kepala negara, BUMN, BUMD, political subdivision atau constituent unit, bank sentral serta
pejabat publik. Imunitas pejabat publik diatur secara unik karena individu ini memiliki imunitas
fungsional. Imunitas fungsional mengatur bahwa imunitas akan melekat kepada individu yang
menjabat sebagai pejabat publik selama ia melaksanakan tindakannya sesuai dengan
kewenangannya. Tindakan ultra vires tidak dapat dikualifikasikan kepada negara dan akan
menimbulkan pertanggungjawaban secara pribadi.
Ketiga, terdapat perkembangan baru di dalam hukum internasional mengenai imunitas
negara. Dalil pelanggaran jus cogens mulai digunakan oleh penggugat yang merupakan korban
pelanggaran HAM sebagai salah satu parameter pembatasan imunitas negara. Negara common
law cenderung melihat kodifikasi hukum tertulis mereka sedangkan negara civil law
mempertimbangkan keseluruhan hirarki normatif hukum internasional. Hukum kebiasaan
internasional menunjukkan bahwa tidak adanya praktik negara yang meluas dan seragam
mengenai penerapan pelanggaran jus cogens sebagai salah satu pembatasan imunitas negara.
Dengan tidak diaturnya mengenai jus cogens sebagai parameter pembatasan imunitas negara
menyebabkan imunitas negara tidak dapat dikesampingkan apabila dalil ini muncul di dalam
suatu gugatan melawan negara di forum pengadilan asing.
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Aust, A. (2010). Handbook of International Law (2nd Edition ed.). New York: Cambridge
University Press.
Bankas, E. K. (2005). The State Immunity Controversy in International Law. Heidelberg:
Springer.
Brownlie, I. (2003). Principles of Public International Law (6th Edition ed.). (J. Crawford, Ed.)
New York: Oxford University Press.
Council of Europe. (2006). State Practice Regarding State Immunities. (G. Hafner, M. Kohen, &
S. Breau, Eds.) The Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers.
Kusumaatmadja, M., & Agoes, E. R. (2003). Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT
Alumni.
Laski, H. J. (1968). The State in Theory and Practice. New York.
Scott, J. B. (1925). States and Suits before Arbitrals and Courts of Justice. New York: New York
University Press.
Shaw, M. N. (2008). International Law, 6th edition. New York: Cambridge University Press.
Soekanto, S. (2012). Pengantar Peneitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Sornarajah, M. (1982). Problems in Applying the Revestrictive Theory of Sovereign Immunity.
International and Comparative Law Quarterly, Vol. 3 , 661-685.
Sucharitkul, S. (1959). State Immunity and Trading in International Law. New York: Frederick
A. Preger Inc. Publisher.
Wallace, R. M. (2002). International Law (4th edition ed.). London: Sweet & Maxwell, Ltd.
Warbrick, C. (1994). The Principle of Sovereign Equality. In C. Warbrick, & V. Lowe (Eds.),
The United Nations and Principles of International Law (pp. 204-229). London:
Routledge.
Yang, X. (2012). State Immunity in International Law. New York: Cambridge University Press.
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
II. ARTIKEL JURNAL
Berger, J. E., & Charlene, S. (1981). Sovereign Immunity: A Venerable Concept in Transition.
International Litigation Quarterly Vol. 75 No. 4 , 1-5.
Crawford, J. (1981). Execution of Judgements and Foreign Sovereign Immunity. The American
Journal of International Law, Vol. 75, No. 4 , 820-869.
D'Amato, A. (1991). It's a Bird, It's a Plane, It's Jus Cogens! Commercial Journal of International
Law , 6, 1-6.
Damrosch, L. F. (2011). Changing the International Law of Sovereign Immunity Through
National Decisions. Vanderbilt Journal of Transnational Law , 1187-1200.
Denza, E. (2006). The 2005 UN Convention on State Immunity in Perspective. International and
Cmparative Law Quarterly , 55 (02), 395-398.
Finke, J. (2011). Sovereign Immunity: Rule, Comity, or Something Else? European Journal of
International Law , 21 (4), 853-881.
Guilaumme, G. (2011). The Use of Precedent by International Judges and Arbitrators. Journal of
International Dispute Settlement , 2, 5-23.
Lauterpacht, H. (1933). The Problem of Jurisdictional Immunities of Foreign States. British
Yearbok of International Law Vol. 14 , 220-272.
Mahmoudi, S. (2001). Sovereign Immunity fom Suit - Agreement Between a Local Government
Entitiy and Foreign State: Distinction Been Public and Private Acts, Waiver of Immunity
and Effect of Choice of Law. American Journal of International Law , 95 (1), 192-197.
Nagan, W., & Root, J. (2013). The Emerging Restrictions on Sovereign Immunity: Peremptory
Norms of International Law, the UN Charter, and the Application of Modern
Communications Theory. North Carolina Journal of International Law and Commercial
Regulation , XXXVIII, 375-471.
III. INSTRUMEN HUKUM NASIONAL
Indonesia, Undang-Undang tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi UndangUndang, UU No. 9 Tahun 1969, LN No. 40 Tahun 1969, TLN No. 2904, sebagaimana
yang telah diubah dengan Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara
(Indonesia, Undang-Undang tentang Badan Usaha Mlik Negara, UU No. 19 Tahun 2003,
LN No. 76 Tahun 2003, TLN No. 4297.)
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
Indonesia, Keputusan Presiden tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri, Keppres No. 59 Tahun
1972.
Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Pembayaran Transaksi Impor, PBI Np.
5/11/PBI/2003, LN No. 71 Tahun 2003, TLN No. 4298 DLN
Kanada. State Immunities Act (1986)
United Kingdom. State Immunities Act. (1978)
United States of America. Alien Tort Claims Act. (1789)
United States of America. Antiterrorism and Effective Death Penalty Act. (1996).
United States of America. Torture Victims Protection Act. (1999)
United States of America. Foreign Sovereign Immunities Act. (1976)
Pengaturan imunitas…, Eliza Dayinta Harumanti, FH UI, 2014
Download