abstrak - Repository Unand

advertisement
TEATER POSTMODERN INDONESIA:
KASUS JALAN LURUS KARYA WISRAN HADI
(KAJIAN CULTURAL STUDIES)
Oleh:
Syafril, Muchlis Awwali dan Pinto Anugrah
Abstract
Theatre of Indonesia, what really have identity to Indonesia, new there since
appearance of Indonesia postmodern of theatre, precisely since show of Jalan
Lurus by Wisran Hadi, produced Bumi Teater (Padang) which show in PKJ-TIM
Jakarta at 1993. What will be theatre of Indonesia precisely theatre of
postmodern Indonesia of JL, that becoming this research case. Through in
perpective Cultural Studies, paradigm of postmodernism Indonesia, and use the
theory postmodern namely deconstruction, intertext, reception esthetics,
multicultural, hypersemiotic/hyperealist, and postcolonial (by eclectic), research
problem focussed at analysis form, function, and mean this try to lay open the
form, function, and mean the theatre of postmodern Indonesia at JL and at one
blow its existence—passing postmodernity of construction, esthetics, social,
cultural, and Indonesia politics owned— as really of theatre reality have identity
of Indonesia so that really can be referred as theatre of Indonesia.
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Teater Indonesia selama ini tidak ada. Yang ada hanyalah teater modern
Barat Indonesia. Akan tetapi, justeru produk sekaligus praktik seni dan budaya
hegemoni modern Barat itu selama ini yang dianggap dan diterima sebagai teater
Indonesia, dengan menyebutnya teater modern Indonesia. Di samping
kekurangcermatan penerimaan, kekuranglengkapan data pengetahuan dan
perkembangan, kenyataan itu terutama disebabkan ketidaktepatan perspektif
keilmuan dalam memandang dan menerima keberadaan dan perkembangan teater
Indonesia.
Teater Indonesia sebagai teater yang benar-benar Indonesia, beridentitas
seni dan budaya Indonesia, merupakan produk sistem cipta dan penciptaan seni
dan budaya Indonesia, baik sebagai fakta seni dan budaya itu sendiri maupun
estetika, sosial, dan politik Indonesia, baru ada sejak munculnya teater
1
postmodern Indonesia, tepatnya sejak pertunjukan teater Jalan Lurus (JL) karya
Wisran Hadi produksi Bumi Teater (Padang, Sumatera Barat) yang dipentaskan di
PKJ-TIM (Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki) pada tahun 1993.
Bagaimanakah teater Indonesia tepatnya teater postmodern Indonesia pada
karya pertunjukan teater JL, yang dalam hal ini tidak saja dapat dipandang sebagai
penanda awal sejarah perkembangan teater yang benar-benar Indonesia, tetapi
sekaligus pula sebagai karya teater postmodern Indonesia yang di satu sisi
merupakan
fenomena
dekonstruksionisme
Indonesia
atas
cengkeraman
(kekuasaan) hegemoni modernitas (modernisme) dan di sisi lain sekaligus
memperlihatkan diri sebagai sebuah konstruksi postmodern Indonesia yaitu
konstruksi teater yang khas Indonesia, itu yang menjadi kasus penelitian ini.
1.2 Masalah
Masalah penelitian ini difokuskan pada masalah bentuk, fungsi, dan makna
teater postmodern Indonesia pada pertunjukan teater JL Karya Wisran Hadi.
Masalah
dimaksud
bagaimanakah
adalah
bentuk
teater
menurut
tiga
postmodern
pertanyaan
Indonesia
berikut.
pada
Pertama,
JL?
Kedua,
bagaimanakah fungsi teater postmodern Indonesia pada JL? Ketiga, apa makna
teater postmodern Indonesia pada JL?
2. Teori
Secara paradigmatis—sebagaimana kecenderungan cultural studies—
penelitian ini berada dalam paradigma keilmuan postmodernisme. Walau
demikian, karena diterima dan diperlakukan secara khas Indonesia—menurut
nilai-nilai Indonesia—paradigma itu diterapkan secara kontekstual sebagai
postmodernisme Indonesia. Dalam paradigma itu keseluruhan teori postmodern
yang dipergunakan, diterapkan untuk meneliti teater postmodern Indonesia pada
JL. Teori-teori yang dipergunakan itu adalah teori dekonstruksi (Derrida), estetika
resepsi
(Jauzz),
multikultural
(Storey),
intertekstual
(Kristeva),
hipersemiotik/hiperealitas (Baudrillard), hegemoni (Gramsci), dan postkolonial
(Said).
Teori dekonstruksi sebagai teori yang memandang realitas sebagai ciptaan,
atau ciptaan kembali, dan memposisikan realitas yang akan diketahui atau
2
dipahami juga sebagai realitas hasil ciptaan atau hasil ciptaan kembali, dan
sekaligus menyebut realitas itu sebagai realitas dekonstruksi, yang secara
paradigmatis merupakan hasil dekonstruksi postmodernisme atas modernisme,
dipergunakan dalam penelitian ini untuk memandang dan memposisikan realitas
teater postmodern Indonesia pada JL sebagai realitas dekonstruksi.
Dalam hubungan dengan masalah bentuk, fungsi, dan makna, teater
postmodern Indonesia pada JL dipandang dan diposisikan sebagai bentuk, fungsi,
dan makna dekonstruksi. Masalah bentuk, fungsi, dan makna dekonstruksi itulah
yang hendak diketahui dan dirumuskan sebagai bentuk, fungsi dan makna teater
postmodern Indonesia pada JL, dengan mempergunakan teori dekonstruksi.
Secara spesifik, penggunaan teori dekonstruksi itu adalah untuk mengetahui dan
merumuskan bentuk, fungsi, dan makna teater postmodern Indonesia pada JL
sebagai bentuk, fungsi dan makna dekonstruksi.
Teori dekonstruksi Derrida dalam penelitian ini berposisi sebagai teori
utama. Pengetahuan teori dekonstruksi yang dipergunakan bersumber antara lain
pada Derrida (1976), Norris (2003), Ritzer (2003), Piliang (2003), Storey (2003),
Grenz (2001), Kutha Ratna (2004a; dan 2004b), Barker (2004), Shimogaki
(1993), Selden (1993), Appignanesi (1999), Hardiman (1994), dan Caputo (1997).
Teori
estetika
yang
mengabstraksikan
keindahan
yang
bersifat
konvensional—seperti yang diterangkan Gie (1996; 1997), Pane (1976), Sutrisno
(1999) dan termasuk oleh Beardsley (1981) terutama atas ulasannya mengenai
estetika realisme (modernisme) Barat—kecuali menjadi pengetahuan estetika
modern yang ditolak postmodernisme, secara langsung tidak dipergunakan dalam
penelitian ini karena kasus estetika yang diteliti adalah estetika postmodern.
Sementara itu, konsep teoretis estetika postmodernisme yang sampai saat
ini pernah ada antara lain estetika parodi, simulasi atau duplikasi, kitsh, pastis
(pastiche), camp, skizofrenia (Piliang, 2003: 207-232), dipandang tidak relevan
diterapkan. Meski fenomena parodi dan duplikasi dapat ditemukan dalam JL akan
tetapi
keberadaannya
tidak
dapat
dipandang
sebagai
sistem
(estetis).
Menggunakannya untuk JL sama artinya dengan pemaksaan teoretis.
Secara konseptual, teori estetika yang dipergunakan berada dalam konsep
3
teori dekonstruksi itu sendiri sebagai teori utama. Secara teori, teori estetika yang
sesuai dengan konsep dekonstruksi adalah teori estetika resepsi Hans Robert
Jauzz, yang sesungguhnya merupakan bentuk penerapan dari konsep estetika yang
di dalam teori dekonstruksi Derrida baru muncul secara implisit.
Teori estetika resepsi dalam posisinya sebagai salah satu pendukung teori
dekonstruksi, yang memandang karya seni sebagai hasil cipta penerimaan dan
sekaligus memposisikan hasil cipta penerimaan itu sebagai proses penciptaan
estetika (oleh penerimanya), dipergunakan dalam penelitian ini untuk:
memandang teater postmodern Indonesia pada JL sebagai hasil cipta estetika
penerimaan sutradara Wisran Hadi secara sosial-budaya, memposisikan teater
postmodern Indonesia pada JL sebagai realitas seni yang diterima secara estetika
resepsi (oleh peneliti sebagai penerima), dan memandang hasil penerimaan itu
sebagai hasil cipta estetis masyarakat (penonton).
Secara spesifik, penggunaan teori estetika resepsi untuk mendukung
temuan dan rumusan bentuk, fungsi, dan makna dari hasil penggunaan teori
dekonstruksi, yang pada konteks teori estetika akan menjadi rumusan bentuk,
fungsi, dan makna estetika dekonstruksi teater postmodern Indonesia pada JL.
Pengetahuan teori estetika resepsi Jauzz ini bersumber pada Junus (1990), Teeuw
(1990), Selden (1993), Kutha Ratna (2004a, 2004b), Fokkema dan Kunne-Ibsch
(1998), dan Barker (2004).
Teori multikultural tidak saja memuat konsep banyak kultur, tetapi juga
kode budaya. Kode budaya multikultur itu tidak saja berupa anekaragam kode
budaya, sebagai masing-masing kode budaya yang dimiliki dan menjadi kode
budaya masing-masing kultur, tetapi juga sebagai kode budaya yang—sebagai
proses komunikasi sosial dalam konteks silang budaya—telah pula menjadi kode
dan milik semua kultur. Kode budaya telah diterima, dipahami, dan telah menjadi
milik semua kultur ini tidak lain merupakan kode multikultur.
Sebagaimana teori estetika resepsi yang merupakan bentuk penerapan dari
konsep teoretis implisit dalam teori dekonstruksi Derrida, teori multikultural ini
juga demikian, merupakan bentuk penerapan dari konsep pemikiran utama dalam
teori dekonstruksi yakni pluralisme. Teori multikutural dipergunakan dalam
4
penelitian ini guna merumuskan realitas seni dan budaya teater postmodern
Indonesia pada JL sebagai realitas seni dan budaya multikultural Indonesia.
Perumusan itu didasarkan atas realitas seni dan budaya teater postmodern
Indonesia pada JL sebagai realitas kode seni dan budaya multikultural Indonesia.
Secara spesifik, teori ini mendukung temuan hasil penggunaan teori
dekonstruksi termasuk estetika resepsi dalam merumuskan bentuk, fungsi, dan
makna teater postmodern Indonesia pada JL pada dimensi konteks seni dan
budayanya, sehingga akan menjadi bentuk, fungsi, dan makna teater postmodern
Indonesia pada JL sebagai bentuk, fungsi, dan makna dekonstruksi kebangsaan
Indonesia, dan sekaligus secara estetika sebagai bentuk, fungsi, dan makna
estetika
dekonstruksi
Indonesia.
Sumber
pengetahuan
mengenai
teori
multikultural yang digunakan antara lain Storey (2003), Ritzer (2003), Bagus
(2003a; 2003b), Barker (2004), Gandhi (2001), Agung (2003), Cribb (2001),
Mudana (2003), Musianto (2003), Sparingga (2003), dan Parimartha (2003).
Teori interteks Julia Kristeva memiliki pandangan bahwa teks (fakta) tidak
otonom (berdiri sendiri) dan individual (terpisah, terisolir), akan tetapi ada dalam
hubungan adanya teks-teks (fakta-fakta) lain. Sifat interteks itu tidak saja secara
antarteks (berhubungan antara teks dengan teks yang di luar), tetapi juga intrateks
(berhubungan antara teks dengan teks yang sama-sama berada dalam satu teks).
Teori ini juga merupakan bentuk aplikasi dari konsep teori implisit yang terdapat
dalam teori dekonstruksi Derrida, yaitu konsep teori trace (jejak, bekas, atau
silsilah) dan present-abscent (kehadiran-ketidakhadiran).
Teori interteks, sebagai pendukung teori (traces dan present-abscent)
dekonstruksi Derrida, diterapkan dalam memandang dan memposisikan realitas
teater postmodern Indonesia pada JL sebagai realitas relasional, yakni dalam
sistem seni dan budayanya secara global. Secara spesifik, teori ini, akan
membantu: menganalisis bentuk, fungsi, dan makna teater postmodern Indonesia
pada JL sebagai analisis interteks atas keseluruhan unsur-unsur relasional global
sebagai fakta relasional global, dan membantu merumuskan bentuk, fungsi, dan
makna dekonstruksi Indonesia teater postmodern Indonesia pada JL sebagai
bentuk, fungsi, dan makna global (menyeluruh). Pengetahuan teori Interteks ini
5
bersumber pada Junus (1990), Kutha Ratna (2004a, 2004b), Barker (2004), Selden
(1993), Luxemburg (1990), Egleton (1990), dan Teeuw (1990).
Teori hipersemiotik atau disebut juga hiperealitas Baudrillard—dengan
mendasarkan diri pada Umberto Eco—ini menegaskan bahwa realitas adalah
palsu, bohong. Dalam hubungan dengan realitas yang diciptakan, hal itu berarti,
realitas sengaja dipalsukan demi suatu kepentingan tertentu. Dalam konteks
penelitian ini, pemalsuan realitas itu dipandang dalam dua dimensi. Pertama,
realitas dipalsukan penguasa yaitu demi kepentingan politik kekuasaannya, dan
kedua, realitas palsu itu wujud sebagai realitas palsu pula oleh pihak penentang
rezim penguasa.
Jika
pemalsuan
realitas
oleh
rezim
penguasa
memiliki
tujuan
melanggengkan kekuasaan, pemalsuan oleh penentang kekuasaan bertujuan
membongkar
(mendekonstruksi)
realitas
palsu
penguasa
sebagai
usaha
menciptakan (atau mengembalikan) realitas yang seungguhnya yang dianggap
sebagai realitas yang benar. Jika pemalsuan oleh rezim penguasa merupakan cara
perwujudan
politik
kekuasaannya,
maka
pemalsuan
oleh
penentangnya
merupakan cara pembongkaran politik kekuasaan rezim penguasa tersebut.
Pada konteks penelitian ini, teori hipersemiotik atau hiperealitas digunakan
untuk memandang realitas teater postmodern Indonesia pada JL sebagai berikut.
Pertama, realitas sosial-budaya dan politik Indonesia yakni di masa Orba (Orde
Baru), sebagai latar sosial-budaya dan politik teater postmodern Indonesia pada
JL, merupakan realitas palsu, yang sengaja dipalsukan oleh rezim penguasa Orba,
sebagai cara pelaksanaan politik kekuasaannya, untuk tujuan pengukuhan
kekuasaan. Kedua, realitas dalam JL, sebagai realitas dalam keberadaannya secara
global dalam realitas teater postmodern Indonesia, merupakan realitas palsu, yang
sengaja diwujudkan secara palsu, sebagai cara politis seni dan budaya, untuk
tujuan membongkar realitas palsu ciptaan penguasa rezim Orde Baru—sekaligus
kekuasaan yang dimilikinya. Ketiga, sebagai fenomena, kedua fenomena realitas
palsu itu, berada secara intertekstual pada JL sebagai realitas fenomenal global
teater postmodern Indonesia.
Secara spesifik, penggunaan teori tersebut guna mengungkap bentuk,
6
fungsi, dan makna teater postmodern Indonesia pada JL sebagai fenomena bentuk,
fungsi, dan makna hipersemiotik atau hiperealitas, dan mendukung teori
dekonstruksi untuk merumuskan bentuk, fungsi, dan makna yang sebenarnya
yaitu bentuk, fungsi, dan makna dekonstruksi Indonesia teater postmodern
Indonesia pada JL.Teori hipersemiotik (hiperealitas) Baudrillard ini bersumber
pada Piliang (2003; 2004), Ritzer (2003), Maliki (1999), Barker (2004), dan
Umberto-Eco (2001).
Teori hegemoni (dan dominasi) Gramsci, juga merupakan bentuk
penerapan dari salah satu konsep teoretis implisit dalam teori dekonstruksi
Derrida, tepatnya konsep pemikirannya yang secara postmodernis menentang
metanarasi yang dimiliki modernisme sebagai realitas universe (semesta) yang
menguasai realitas narasi-narasi kecil—karena dianggap the others.
Teori hegemoni oleh Gramsci dirumuskan sebagai teori pelaksanaan
politik kekuasaan otoritarianisme, totalisme, sentralisme suatu rezim penguasa
secara konstitusional untuk mencapai tujuan pengukuhan kekuasaan di samping
kelancaraan
pelaksanaan
kekuasaan.
Namun,
meskipun
pelaksanaannya
konstitusional, berada di bawah (legitimasi) Undang-undang, diasumsikan masih
muncul unsur-unsur tertentu yang mengganggu kelancaran kekuasaan, sebagai
manifestasi ketidakpuasaan politis, maka oleh Gramsci teori ini dilengkapi dengan
teori dominasi, yakni teori pelaksanaan kekuasaan secara militer untuk menumpas
dengan kekerasan unsur-unsur pengganggu jalannya kekuasaan, yang berposisi
menjadi pelengkap pelaksanaan kekuasaan hegemoni yang konstitusional.
Sebagaimana Gramsci memandang teorinya sebagai teori pengungkap atau
pembongkar realitas hegemoni (dan dominasi) politik kekuasaan suatu rezim
penguasa, dalam penelitian ini juga diposisikan demikian. Secara spesifik, dalam
penelitian ini, teori hegemoni (dan dominasi) digunakan untuk membantu
merumuskan hasil penggunaan teori hipersemiotik (hiperealitas) Baudrillard—
yang tentu saja dalam dukungannya terhadap teori dekonstruksi sebagai teori
utama—yakni merumuskan identitas bentuk, fungsi dan makna realitas
hipersemiotik atau hiperealitas teater postmodern Indonesia pada JL sebagai
realitas hegemoni (dan dominasi), dan membantu teori dekonstruksi dalam
7
merumuskan: bentuk, fungsi, dan makna teater postmodern Indonesia pada JL
sebagai bentuk, fungsi, dan makna dekonstruksi Indonesia, yang merupakan
bentuk, fungsi, dan makna dekonstruksi Indonesia atas hegemoni (dan dominasi)
seni dan budaya teater postmodern Indonesia pada JL. Teori hegemoni (dan
dominasi) Gramsci ini didasarkan pada sumber Gramsci (2000), Simon (2000),
.Sugiono (1999), Illich (2001), Barker (2004), Giddens (2003), Dahrendorf
(1986), Storey (2003), dan Said (1995).
Melalui fenomena hegemoni sebagai indikasi keberadaan konflik,
fenomena konflik teater postmodern Indonesia pada JL dapat diidentifikasi
sebagai konflik hegemoni. Dipandang dari pelaku konflik maka konflik itu dapat
dinyatakan sebagai konflik superior-inferior. Superior adalah kelompok penguasa
dan inferior adalah kelompok yang dikuasai. Kedua kelompok ini yang
bertentangan dalam JL. Sesuai dengan teori dekonstruksi yang dipergunakan
sebagai teori utama, dan sesuai dengan paradigma postmodernisme (Indonesia)
yang melandasi sistem berpikir keseluruhan penelitian ini, konflik tersebut
sesungguhnya merupakan konflik perlawanan dan perjuangan (sebagai konflik
dekonstruksi) kelompok inferior terhadap superior.
Konflik itu tidak lain adalah konflik postkolonial, yakni dekonstruksi
kelompok inferior terhadap cara-cara kekuasaan kolonialisme modern pihak
superior sebagai koloni penguasa modern, dengan tujuan membongkar dan
menghentikan kolonialisme kekuasaan tersebut, dan menggantikannya dengan
cara-cara kekuasaan demokratis postmodern (postdemokrasi). Didasarkan atas
fenomena itu maka teori konflik yang dipergunakan dalam penelitian ini dipilih
teori konflik postkolonial yang dikembangkan oleh Edward Said (dan Foucault)
terutama atas konsep teoretis konflik politik dan kekuasaannya. Sebab, pada
hakekatnya konflik tersebut merupakan pertentangan antara postmodernisme
dengan modernisme.
Secara spesifik, teori konflik postkolonial ini mendukung teori
dekonstruksi dalam mengungkap fenomena konflik seni dan budaya teater
postmodern Indonesia pada JL sebagai konflik postkolonial, dan membantu
merumuskan bentuk, fungsi, dan makna teater postmodern Indonesia pada JL
8
sebagai bentuk, fungsi, dan makna dekonstruksi Indonesia, yang merupakan
bentuk, fungsi, dan makna dekonstruksi atas konflik postkolonial modern
Indonesia. Teori konflik ini bersumber pada Viswanathan (2003), Said (1996;
2002), Gandhi (2001), Ritzer (2003), Vattimo (2003), termasuk Sanderson (2003).
9
3. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kajian budaya (cultural studies), dalam
konsentrasi studi estetika, dengan metode penelitian kualitatif, dan dalam sifat
pendekatan diakronis. Topik penelitian adalah teater postmodern Indonesia pada
pertunjukan teater JL karya (sutradara) Wisran Hadi, produksi Bumi Teater
(Padang), yang dipentaskan di Gedung Teater Arena PKJ-TIM Jakarta, pada
tanggal 17-19 Desember 1993. Lingkup penelitian adalah: (a) wilayah tekstual
karya, yaitu pertunjukan teater JL; (b) wilayah intertekstual karya, yaitu sutradara,
publik, dan latar sosial-budaya karya, dan; (c) wilayah kontekstual karya, yaitu
realitas sosial-budaya Indonesia.
Lokasi penelitian adalah Padang karena sumber data penelitian sudah tidak
lagi berada pada lokasi berlangsungnya pertunjukan tetapi pada Bumi Teater,
Padang, Sumatera Barat. Sedangkan jenis data penelitian adalah data-data
kualitatif. Sumber data penelitian banyak berupa dokumen. Selain itu, sumber data
penelitian juga berupa objek yang diamati, dan informan.
Instrumen penelitian adalah sebagaimana konsep instrumen penelitian
dalam penelitian kualitatif. Instrumen utama, dalam pengertian subjek ukur utama
penelitian, adalah peneliti sendiri. Instrumen pelengkap, dalam pengertian sarana
teknis penelitian yang berfungsi mendukung kerja penelitian, adalah pedoman
wawancara. Di samping itu, guna melakukan pencatatan, kategorisasi, dan
klasifikasi data, juga dimanfaatkan sejumlah kartu-kartu pencatat data.
Sesuai dengan jenis dan sumber data, kerja pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan melaui teknik pengumpulan data: (a) analisis dokumen;
(b) observasi partisipasi, dan; (c) wawancara (bebas dan mendalam).
Analisis data dilakukan secara kualitatif, dalam bentuk deskriptifkualitatif. Analisis tersebut diarahkan pada tiga tataran bentuk, fungsi, dan makna
teater postmodern Indonesia pada JL, yang dikembangkan sebagai berikut.
Pertama, pada tataran bentuk, dianalisis sekaligus dirumuskan bentuk
teater postmodern Indonesia pada JL. Bentuk yang dimaksud adalah konstruksi
estetis teater postmodern Indonesia pada JL yaitu sebagai bentuk dekonstruksi,
tepatnya
dekonstruksi
Indonesia.
Konstruksi
dekonstruksi
itu
meliputi
10
subkonstruksi estetika teknik, dan subkonstruksi estetika sosial. Konstruksi itu
diposisikan sebagai konstruksi pertunjukan teater postmodern Indonesia pada JL
dalam sistem global (intertekstual)—bukan konstruksi pertunjukan teater JL
secara individual belaka. Unsur-unsur yang termasuk dalam subkonstruksi estetika
teknik meliputi unsur-unsur teknik seni pertunjukan teater postmodern Indonesia
pada JL, disebut juga unsur-unsur dekonstruksi teknik, tepatnya dekonstruksi
teknik Indonesisa. Sedang unsur-unsur yang termasuk dalam subkonstruksi
estetika sosial meliputi sejumlah fakta dekonstruksi sosial, budaya dan politik
yang dipertunjukkan, disebut juga unsur-unsur dekonstruksi sosial, tepatnya
dekonstruksi sosial Indonesia.
Kedua, pada tataran fungsi, dianalisis dan dirumuskan fungsi teater
postmodern Indonesia pada JL
sebagai fungsi perlawanan dan perjuangan,
tepatnya perlawanan dan perjuangan Indonesia.
Ketiga, pada tataran makna, dilakukan analisis makna teater postmodern
Indonesia pada JL, yaitu sebagai makna postmodern Indonesia, diistilahkan post
Indonesia.
Hasil analisis tersebut kemudian diklarifikasi dalam suatu simpulan
bentuk, fungsi, dan makna teater postmodern Indonesia pada JL, yang diikuti
dengan saran, sebagai hasil nyata dari keseluruhan kerja penelitian.
4. Analisis Bentuk, Fungsi, Makna
4.1 Bentuk Teater Postmodern Indonesia pada JL
Bentuk dekonstruksi merupakan bentuk yang menandai teater postmodern
Indonesia pada JL. Hal itu sesuai dengan pemikiran utama postmodernisme yang
menerapkan dekonstruksi (-onisme) sebagai pemikiran (dan teori) utama dalam
memandang realitas (Grenz, 2001: 14). Juga, sesuai dengan teori dekonstruksi itu
sendiri sebagai teori postmodernisme dalam konteks pertentangannya dengan
modernisme yang di satu sisi membongkar, mengungkap, memaparkan, menolak,
dan
menghentikan
ketidakbenaran
konstruksi
modernitas
(modernisme),
sedangkan di sisi lain sekaligus menciptakan dan mewujudkan konstruksi baru
sebagai konstruksi postmodern, atau postmodernitas (postmodernisme). Bentuk
dekonstruksi tersebut tidak saja merupakan bentuk teater postmodern pada JL
11
tetapi sekaligus pertentangannya dengan bentuk teater modern sebelumnya.
Bentuk dekonstruksi tersebut juga merupakan bentuk ganda (plural). Hal
ini sesuai dengan konsep teoretis utama postmodernisme (dekonstruksionisme)
yaitu pluralisme, yang memandang realitas sebagai pluralitas—secara eksplisit
atau implisit hal ini diterangkan Grenz (2001), Kutha Ratna (2004a, dan 2004b),
Capra (2002), Barker (2004), Norris (2003), Piliang (2003), termasuk melalui
perkembangan fisika mutakhir oleh Capra (2001), (Grenz, 2001), dan Simoghaki
(2000). Mengacu pada hal itu maka bentuk ganda dimaksud dalam hal ini dapat
disebut sebagai: dekontruksi teknik, dan dekonstruksi sosial. Dekonstruksi teknik,
merupakan bentuk teater postmodern Indonesia pada JL sebagai bentuk teknik
seni, yang ditandai oleh kategori teknis seni. Dekonstruksi sosial, merupakan
bentuk teater postmodern Indonesia pada JL sebagai bentuk sosial seni, yang
ditandai oleh kategori pemaknaan sosial seni.
Mengacu pada bentuk dekonstruksi dan pluralitas bentuk tersebut, maka
bentuk teater postmodern Indonesia pada JL dapat disebut sebagai bentuk
dekonstruksi Indonesia (dI). Sesuai dengan teori dekonstruksi yang dipergunakan,
yaitu sebagai teori (utama), yang dalam hal ini diberlakukan dalam kerangka
teoretis postmodernisme Indonesia, dI sebagai bentuk teater postmodern Indonesia
pada JL tersebut adalah: di satu sisi merupakan bentuk seni, estetika, budaya,
sosial, dan politik postmodern, postmodernitas, sekaligus postmodernisme
Indonesia yang mendekonstruksi bentuk seni, estetika, budaya, sosial, dan politik
modern, modernitas, sekaligus modernisme Indonesia sebelumnya, dan di sisi lain
sekaligus menciptakan dan mewujudkan dirinya sebagai bentuk dI itu sendiri,
yaitu sebagai bentuk seni, estetika, budaya, sosial, dan politik teater posmodern,
postmodernitas, dan sekaligus posmodernisme Indonesia.
dI tersebut, sebagai suatu konstruksi (tepatnya postkonstruksi), merupakan
konstruksi bentuk ganda (plural). Bentuk ganda ini mengacu pada Indonesia,
yakni: pertama, bentuk dekonstruksi teknik Indonesia (dtI), yang merupakan
konstruksi bentuk melalui kategorisasi bentuk teknis, merupakan bentuk
pembongkaran, pengungkapan dan pemaparan, penolakan, dan penghentian
ketidakbenaran seni Indonesia, yakni seni Indonesia sebagai seni modern
12
Indonesia, yaitu melalui teknik-teknik seni yang dipergunakannya; dan kedua,
dekonstruksi sosial Indonesia (dsI), yang merupakan konstruksi bentuk melalui
kategorisasi bentuk nilai secara sosial, merupakan bentuk pembongkaran,
pengungkapan dan pemaparan, penolakan, dan penghentian ketidakbenaran fakta
sosial seni Indonesia, yakni fakta sosial modern Indonesia, melalui fakta-fakta
sosial yang direpresentasikannya.
Yang pertama, bentuk dtI, konstruksi bentuk melalui kategorisasi bentuk
teknis, mencakup: (a) dekonstruksi teknis pertunjukan, (b) dekonstruksi peristiwa,
adegan, dan plot, (c) dekonstruksi latar, (d) dekonstruksi tokoh, peran, dan lakuan,
(e) dekonstruksi dialog dan gaya bahasa, (g) dekonstruksi konflik, (h)
dekonstruksi suasana, dan (i) dekonstruksi gagasan. Sedangkan yang kedua,
bentuk dsI, konstruksi bentuk melalui kategorisasi bentuk nilai secara sosial,
mencakup:
(a)
dekonstruksi
hegemoni
Indonesia,
(b)
dekonstruksi
neokolonialisme (dan kolonialisme) Indonesia, dan (c) dekonstruksi hiperealitas
sosial Indonesia.
Sebagai bagian dari bentuk dI, yang membongkar, mengungkap,
memaparkan, menolak, dan menghentikan serta sekaligus menjadi bentuk teater
postmodern Indonesia pada JL itu sendiri, melalui bentuk dtI itu, tepatnya melalui
sejumlah bentuk-bentuk dekonstruksi teknik seni yang meliputinya, teater
postmodern Indonesia pada JL membongkar, memaparkan, menolak, dan
menghentikan konstruksi teknik seni teater modern Indonesia, serta sekaligus
mewujudkan dirinya sebagai bentuk dekonstruksi teknik seni teater postmodern
Indonesia. Demikian pula, bagian lainnya dari bentuk dI, melalui bentuk dsI itu
pula, tepatnya melalui sejumlah bentuk-bentuk dekonstruksi sosial yang
meliputinya, teater postmodern Indonesia pada JL membongkar, mengungkap,
memaparkan, menolak, dan menghentikan konstruksi sosial modern Indonesia,
serta sekaligus mewujudkan dirinya sebagai konstruksi bentuk dekonstruksi sosial
postmodern Indonesia.
Atas bentuk dtI dan dsI maka bentuk teater postmodern Indonesia pada JL
wujud sebagai bentuk dI: yang tidak saja merupakan pembongkaran,
pengungkapan, pemaparan, penolakan, dan penghentian keberadaan teater modern
13
Indonesia, tetapi sekaligus merupakan bentuk teater postmodern Indonesia pada
JL itu sendiri. Atas kedua hal itu pula yaitu sebagai tindakan mendekonstruksi
modernitas Indonesia dan mewujudkan bentuk dekonstruksi postmodernitas
Indonesia, maka konstruksi bentuk dI itu dikategorikan sebagai teater postmodern
Indonesia, terutama teater postmodern Indonesia pada JL.
Bentuk teater postmodern Indonesia pada JL itu, yakni bentuk dI, dengan
dua bentuk gandanya (plural) sekaligus yaitu bentuk dtI dan dsI, merupakan
wujud
dan
sekaligus
bentuk
dekonstruksionisme
Indonesia.
Hal
yang
dimaksudkan adalah bahwa bentuk dI teater postmodern Indonesia pada JL
tersebut benar-benar merupakan perwujudan sekaligus bentuk perwujudan dari
paradigma postmodernisme Indonesia.
Paradigma
postmodernisme
Indonesia
yang
dimaksud
merupakan
paradigma postmodernisme khas Indonesia yang ditandai oleh keterikatannya
pada nilai-nilai Indonesia. Mulai dari nilai-nilai agama (religi)—menurut konteks
keberadaan agama masing-masing yang beragam di Indonesia—yang oleh
masyarakat Indonesia menjadi sandaran dan standar nilai tertinggi, sampai kepada
nilai-nilai budaya (multikultural), sosial, dan politik, hingga nilai-nilai seni, serta
estetika itu sendiri. Baik paradigma itu sebagai sistem berpikir, maupun sistem
budaya, sosial, politik, seni, dan estetika itu sendiri, maupun sebagai sistem nilai
itu sendiri—yakni sebagai pluralisme Indonesia.
Sesuai dengan teori interteks, estetika resepsi, multikultural, hipersemiotik
(hiperealitas), hegemoni, dan postkolonial yang dipergunakan (sebagai teori
pendukung), bentuk dI teater postmodern Indonesia pada Jalan Lurus itu,
merupakan bentuk yang: di satu sisi mendekonstruksi bentuk seni, estetika,
budaya, sosial, dan politik modern, modernitas, sekaligus modernisme Indonesia
sebelumnya sebagai (konstruksi) realitas seni, estetika, budaya, sosial, dan politik
modern, modernitas, sekaligus modernisme Indonesia yang individual, universal
(estetika ilusi dan teralienasi), monokultural (sentral), hiperealitas, hegemonik,
dan kolonialisme (dan neokolonialisme); sedangkan di sisi lain mewujukan
dirinya menjadi konstruksi bentuk seni, estetika, budaya, sosial, dan politik
postmodern, postmodernitas, dan postmodernisme Indonesia yakni sebagai wujud
14
dI itu sendiri yang intertekstual, resepsionisme estetis, multikural, dekonstruksi
hipersemiotik (dekonstruksi hiperealitas), antihegemoni, dan postkolonial.
Bentuk dI itu dipandang sebagai bentuk teater postmodern Indonesia pada
JL sesuai dengan keberadaan dekonstruksi (dekonstruksionisme), dalam hal ini
dekonstruksionisme Indonesia, sebagai pemikiran utama yang dimiliki dan
sekaligus menjadi karakteristik paradigma postmodernisme, dalam hal ini
postmodernisme Indonesia. Dekonstruksionisme Indonesia yang dimaksud, dalam
konteks itu, adalah dekonstruksi yang wujud dalam bentuk dekonstruksi
Indonesia, sebagai dekonstruksionisme Indonesia yang berada dalam kategorisasi
nilai-nilai Indonesia tersebut. Karena itu secara paradigmatik, bentuk teater
postmodern Indonesia pada JL merupakan bentuk teater postmodenisme
Indonesia.
Karena itu pula dalam konteks postmodernisme Indonesia, bentuk teater
postmodern
Indonesia
pada
JL,
yakni
sebagai
bentuk
dekonstruksi
postmodernisme Indonesia terhadap modernisme Indonesia, hal itu merupakan:
(a) dekonstruksi atas sistem seni teater modern Indonesia, yaitu sebagai sistem
seni teater modern Barat, (b) dekonstruksi atas sistem estetika teater modern
Indonesia, yaitu sebagai sistem estetika modern Barat, (c) dekonstruksi atas sistem
budaya modern Indonesia, yaitu sebagai sistem sekaligus realitas budaya
hegemoni Indonesia, yang tidak lain merupakan bentuk lain dari hegemoni
modernisme atau modern Barat, (d) dekonstruksi atas sistem sosial modern
Indonesia, yaitu sebagai sistem sekaligus hiperealitas Indonesia, yang tidak lain
merupakan bentuk lain dari hiperealitas modernisme atau modern Barat, dan (e)
dekonstruksi atas sistem politik modern Indonesia, yaitu sebagai sistem sekaligus
realitas kolonialisme khususnya neokolonialisme Indonesia (rezim Orba), yang
tidak lain merupakan bentuk lain dari kolonialisme atau neokolonialisme
modernisme atau modern Barat.
Bentuk dI yang berarti pembongkaran, pengungkapan, pemaparan,
penolakan,
dan
penghentian
ketidakbenaran
modernitas
Indonesia
oleh
postmodernisme Indonesia itu, sekaligus menjadi bentuk teater postmodern
Indonesia pada JL, baik sebagai konstruksi sistem seni, estetika, budaya, sosial,
15
maupun politik yang berada pada postmodernisme Indonesia, merupakan bentuk
teater postmodern Indonesia pada JL. Bentuk dI teater postmodern Indonesia pada
JL itu tidak saja bersifat sinkronis tetapi sekaligus diakronis (historis). Yang
pertama mengacu pada modernitas masa Orba sebagai konteks sosial langsung
teater postmodern Indonesia pada JL yang sekaligus menjadi modernitas
Indonesia yang secara langsung didekonstruksi. Sedang yang kedua mengacu
pada modernitas masa Orla, masa pendudukan Jepang, dan masa kolonialisme
Belanda, yang sekaligus menjadi modernitas Indonesia yang secara historis
didekonstruksi.
4.2 Fungsi Teater Postmodern Indonesia pada JL
Fungsi dalam perspektif postmodernisme merupakan fungsi yang
diproduksi, atau yang diproduksi (suatu) komunitas sosial yang menghadapi,
menerima, menanggapi, dan seterusnya menciptakan sesuatu yang kemudian
diberlakukan sebagai fungsi, menjadi fungsi, dan berfungsi. Dalam pengertian
sebaliknya, sesuatu tidak merupakan fungsi, menjadi fungsi, dan berfungsi
sebelum—secara sosial—memberadakannya sebagai fungsi, menjadi fungsi, dan
memfungsikannya hingga menjadi berfungsi.
Berseberangan dengan fungsi dalam perspektif modernisme yang
representatif, yang memandang fungsi sekaligus sudah ada dan berada bersama
sesuatu (sudah mewakili), postmodernisme memandang fungsi sebagai hasil
penerimaan dan ciptaan (resepsi) sosial. Karena itu, fungsi yang dimaksud tidak
lain adalah (tanda) “arti keberadaan sosial” (signifikansi sosial) yang diberikan
(dikenakan, atau diaktifkan) pada sesuatu yang dipandang sebagai fungsi tersebut.
Dengan kata lain, apabila fungsi dalam modernisme bersifat (keberadaan)
otomatis, dalam postmodernisme bersifat “diaktifkan”—diberi energi terlebih
dulu.
Fungsi teater postmodern Indonesia pada teater JL adalah fungsi dalam
pengertian tersebut. Sebagai teater postmodern Indonesia dengan bentuk (atau
dengan konstruksi estetika) dI, maka fungsi yang dimaksud adalah fungsi yang
dikenakan sebagai bentuk atau konstruksi estetika dI tersebut. Apa dan bagaimana
arti keberadaan sosial dI itu, sebagai arti keberadaan sosial yang dapat diberi arti
16
untuknya dan sekaligus dapat terpenuhi serta menjadi fungsi olehnya, demikianlah
fungsi teater postmodern Indonesia pada teater JL yang dimaksudkan.
Walau demikian, sesuatu yang telah “diaktifkan” atau telah “diberi energi”
hingga menjadi fungsi itu, tetap tidak diposisikan sebagai individual, otonom, atau
terpisah sebagai dirinya sendiri. Sebagaimana postmodernisme memandang segala
sesuatu sebagai posisi yang berdampingan (relasional, atau intertekstual)—sesuai
dengan paradigma pluralismenya yang tidak saja memandang segala sesuatu
(realitas) beranekaragam tetapi juga berada saling berdampingan antarsesama
ragamnya—sesuatu (atau segala sesuatu) itu sekaligus berada sebagai posisi
relasional.
Hal demikian berarti bahwa fungsi merupakan hasil dari “pemberian
energi” oleh suatu komunitas sosial itu, tidak saja merupakan fungsi atas dirinya
sendiri, tetapi sekaligus pula atas sesuatu itu dalam hubungan dengan sesuatu
yang lain yang merupakan bagian relasionalitasnya. Secara tekstual, fungsi
tersebut bukan saja sekedar fungsi tekstual tetapi sekaligus fungsi intertekstual.
Hal itu sekaligus berarti bahwa “pemberian energi” untuk fungsi tersebut tidak
saja sebagai “energi tekstual” tetapi sekaligus “energi intertekstual”.
Fungsi teater postmodern Indonesia pada JL demikian pula, tidak saja
sebagai karya teater itu sendiri, tekstualitas, tetapi sekaligus sebagai relasionalitas,
atau intertekstualitas. Sebagaimana keberadaan teater JL dipandang sebagai
keberadaan postmodern—sebagai realitas merupakan pluralitas, realitas plural—
yang: berada sebagai dirinya sendiri, karya teater JL itu sendiri; berada sebagai
hasil ciptaan seniman penciptanya, sutradara; berada sebagai bagian dan sekaligus
merupakan fakta sosial-budaya, dan; berada sebagai bagian dan sekaligus
merupakan faktas sosial-masyarakatnya, maka fungsi teater postmodern Indonesia
pada JL juga demikian.
Sebagai “arti keberadaan”, fungsi yang dimaksudkan merupakan:
keberadaan yang berarti yang diberikan untuk karya seni teater itu sendiri sebagai
karya seni (atau karya estetis), yaitu dalam keberadaan seni atau estetika teater;
keberadaan yang berarti yang diberikan untuk karya seni teater itu sebagai media
seni (atau media estetis) yang diciptakan seniman penciptanya (sutradara) dan
17
sekaligus penerimanya (audiens), yaitu dalam keberadaan menjadi media kreasi,
komunikasi,
imajinasi,
instrospeksi
(kesadaran),
alternasi,
dan
hiburan;
keberadaan yang berarti yang diberikan untuk karya seni teater itu sebagai fakta
budaya (sosial-budaya) yaitu dalam keberadaan realitas (atau sistem) sosialbudayanya, dan; keberadaan yang berarti yang diberikan untuk karya seni teater
itu sebagai fakta sosial dan politis, yaitu dalam keberadaan realitas (atau sistem)
sosial dan politiknya. Keseluruhan arti keberadaan itu yang dimaksudkan dengan
fungsi sebagai hasil penerimaan dan ciptaan (fungsi resepsi) oleh masyarakat
(atau komunitas sosial) penerima karya teater postmodern Indonesia JL yang
dimaksud.
Relevan dengan bentuk atau konstruksi (estetika) karya teater postmodern
Indonesia pada JL sebagai bentuk atau konstruksi (estetika) dI, maka keseluruhan
fungsi tersebut merupakan fungsi yang dikenakan untuk bentuk atau konstruksi
(estetika) dI. Demikian pula, relevan dengan bentuk atau konstruksi estetis dI
teater postmodern Indonesia pada JL yang merupakan bentuk atau konstruksi
estetika perlawanan dan perjuangan, yaitu perlawanan estetis terhadap
modernisme Indonesia dan perjuangan postmodernisme Indonesia, maka wujud
fungsi teater postmodern Indonesia pada JL juga wujud sebagai fungsi perlawanan
dan perjuangan Indonesia.
Fungsi teater postmodern Indonesia pada JL dengan demikian adalah
perlawanan
dan
perjuangan
Indonesia
(ppI).
Sebagaimana
paradigma
postmodernisme yang telah diberadakan dalam paradigma postmodernisme
Indonesia, terutama melalui konsep dekonstruksinya yang dalam postmodernisme
Indonesia juga telah diberadakan sebagai dekonstruksionisme Indonesia, yang
tidak saja merupakan perlawanan terhadap modernisme tetapi sekaligus pula
diikuti
usaha
menciptakan
kembali
konstruksi
baru
yakni
konstruksi
postmodernitas atau postmodernisme, demikian pula dengan fungsi teater
postmodern Indonesia pada JL.
Fungsi ppI teater postmodern Indonesia pada JL, merupakan fungsi
perlawanan secara dekonstruksi yaitu secara membongkar, mengungkap,
memaparkan, menghentikan, dan menolak konstruksi modernisme Indonesia, dan
18
sekaligus merupakan fungsi perjuangan yaitu memperjuangkan terciptanya
konstruksi baru (postkonstruksi) Indonesia sebagai konstruksi postmodernitas
Indonesia.
Fungsi ppI teater postmodern Indonesia pada JL itu meliputi: (1) fungsi
media estetis perlawanan dan perjuangan Indonesia, yang mencakup (a) media
kreatif (representasi seni), (b) media komunikasi, (c) media imajinasi dan
imajinerisasi, (d) media kesadaran, (e) media alternatif, dan (f) media hiburan
representatif; (2) fungsi perlawanan dan perjuangan seni Indonesia; (3) fungsi
perlawanan dan perjuangan budaya Indonesia; (4) fungsi perlawanan dan
perjuangan sosial Indonesia, dan; (5) fungsi perlawanan dan perjuangan politik
Indonesia.
Pertama, fungsi media estetis perlawanan dan perjuangan Indonesia,
adalah fungsi menjadi media estetis perlawanan dan perjuangan teater postmodern
Indonesia pada JL terhadap teater modern Indonesia. Pada sisi perlawanan, fungsi
menjadi media estetis perlawanan tersebut merupakan perlawanan terhadap teater
modern Indonesia sebagai berikut: (a) perlawanan terhadap bentuk media kreatif
modern Indonesia yakni sebagai konsep estetis individualisme modern Barat; (b)
perlawanan terhadap teater modern Indonesia sebagai media komunikasi estetis
modern Barat yang bebas nilai, berorientasi kekuasaan, ilusif, manipulatif,
hegemonik dan eksploitatif; (c) perlawanan terhadap teater modern Indonesia
sebagai media imaji dan imajinerisasi modern Barat yang objektif, realias, dan
statis; (d) perlawanan terhadap teater modern Indonesia sebagai media estetika
kesadaran modern Barat yang palsu, hiperealis, utopis dan ilusif; (e) perlawanan
perlawanan terhadap teater modern Indonesia sebagai media estetis modern Barat
yang tidak memberikan alternatif estetis lain sebagai estetika the others; (f)
perlawanan terhadap teater modern Indonesia sebagai media hiburan modern
Barat yang tidak representatif kontekstual. Pada sisi perjuangan, fungsi menjadi
media estetis perjuangan tersebut merupakan perjuangan untuk mewujudkan
teater postmodern Indonesia sebagai berikut: (a) Menjadi media kreatif estetis
sosial Indonesia; (b) Menjadi media komunikasi estetis Indonesia; (c) Menjadi
media imaji dan imajinerisasi estetis Indonesia; (d) Menjadi media kesadaran
19
estetis Indonesia; (e) Menjadi media alternatif Indonesia; (f) Menjadi media
hiburan representatif.
Kedua, fungsi perlawanan dan perjuangan seni Indonesia, adalah
perlawanan teater postmodern Indonesia pada JL dalam posisi sebagai seni
Indonesia, yang membongkar, mengungkapkan, memaparkan, menolak, dan
menghentikan ketidakbenaran teater modern Indonesia, baik secara sinkronis
maupun historis, yang selama ini dianggap dan diterima sebagai teater Indonesia,
sekaligus seni Indonesia. Perlawanan seni tersebut tegasnya merupakan
perlawanan terhadap seni Indonesia yang sebenarnya bukan merupakan seni
Indonesia, sebaliknya seni modern Barat. Perlawanan ini secara umum sekaligus
merupakan perlawanan seni Indonesia terhadap seni modern Barat, sebagai
konsep sekaligus wujud modernisme. Sedangkan perjuangan seni Indonesia yang
dimaksudkan adalah perjuangan teater postmodern Indonesia pada JL dalam
mewujudkan dan memberadakan dirinya sebagai teater Indonesia, tepatnya seni
Indonesia, karena benar-benar wujud sebagai konsep maupun realitas estetis,
sosial, budaya, dan politik postmodernisme Indonesia, tepatnya Indonesia.
Ketiga, fungsi perlawanan dan perjuangan budaya Indonesia, adalah
perlawanan teater postmodern Indonesia pada JL sebagai fakta budaya, yang
membongkar, mengungkapkan, memaparkan, menolak, dan menghentikan
ketidakbenaran budaya Indonesia, baik secara sinkronis maupun historis, yakni
konsep dan realitas budaya hegemoni Indonesia. Perlawanan budaya ini di
samping secara khusus merupakan perlawanan terhadap budaya hegemoni
Indonesia, secara umum juga merupakan perlawanan terhada hegemoni budaya
modern Barat atau modernisme itu sendiri sebagai konsep dan wujud budaya
hegemonik. Sedangkan perjuangan budaya Indonesia, adalah perjuangan teater
postmodern Indonesia pada JL sebagai fakta budaya, yang memperjuangan
konsep dan realitas budaya Indonesia yakni sebagai konsep dan wujud pluralitas
budaya Indonesia atau multikulturalisme Indonesia.
Keempat, fungsi perlawanan dan perjuangan sosial Indonesia, adalah
perlawanan teater postmodern Indonesia pada JL sebagai faktas sosial, yang
membongkar, mengungkapkan, memaparkan, menolak dan menghentikan konsep
20
dan realitas sosial Indonesia, baik secara sinkronis maupun historis, yakni
terhadap konsep dan realitas sosial hiperealitas sosial Indonesia. Secara umum
perlawanan sosial ini juga merupakan perlawanan terhadap modernisme sebagai
konsep hiperealitas sosial. Sedangkan perjuangan sosial Indonesia, adalah
perjuangan teater postmodern Indonesia pada JL dalam mewujudkan konsep dan
realitas Indonesia yakni sebagai realitas sosial plural Indonesia, atau pluralitas
sosial Indonesia.
Kelima, fungsi perlawanan dan perjuangan politik Indonesia, adalah
perlawanan teater postmodern Indonesia pada JL sebagai fakta politik, yang
membongkar, mengungkapkan, memaparkan, menolak dan menghentikan konsep
dan realitas politik Indonesia, baik secara sinkronis maupun historis, yakni
terhadap konsep dan realitas politik terutama neokolonialisme Indonesia rezim
Orba, di samping Orla, dan kolonialisme Belanda termasuk Jepang di masa
penjajahan. Perlawanan politik ini secara umum sekaligus pula merupakan
perlawanan politik terhadap modernisme sebagai konsep dan wujud realitas
politik kolonialisme (di masa kebangkitan kapitalisme Barat) dan terutama
neokolonialisme global (di masa globalisme).
4.3 Makna Teater Postmodern Indonesia pada Pertunjukan JL
Sebagaimana fungsi ppI yakni fungsi teater postmodern Indonesia pada
JL, merupakan fungsi yang diturunkan dari bentuk teater postmodern Indonesia
pada JL yaitu sebagai bentuk dI, demikian pula makna teater postmodern
Indonesia pada JL yang dimaksudkan adalah makna yang diturunkan dari fungsi
ppI yang telah dirumuskan.
Sesuai dengan fungsi ppI teater postmodern Indonesia pada JL yang pada
satu sisi (sisi perlawanan) dapat dimaknai sebagai menolak dan menghentikan
modernisme Indonesia (modernitas Indonesia) sedang pada sisi lain (sisi
perjuangan)
memperjuangkan
postmodernisme
Indonesia
(postmodernitas
Indonesia), makna teater postmodern Indonesia pada JL dapat dirumuskan sebagai
makna menciptakan postmodernisme Indonesia (postmodernitas Indonesia) yang
secara spesifik ditulis dengan istilah post-Indonesia.
Makna post-Indonesia itu yaitu sebagai makna menciptakan Indonesia
21
postmodern—dan demikian pula sesungguhnya dengan fungsi perlawanan dan
perjuangan Indonesia yaitu sebagai fungsi penolakan dan penghentian
modernisme (modernitas) Indonesia sekaligus memperjuangkan postmodernisme
(postmodernitas) Indonesia, serta termasuk bentuk dekonstruksi Indonesia itu
sendiri sebagai bentuk teater postmodern Indonesia pada JL—adalah karena
paradigma postmodernisme tepatnya dekonstruksionisme yang diterapkan
merupakan postmodernisme Indonesia, tepatnya dekonstruksionisme Indonesia.
Bila
pada
postmodernisme-dekonstruksionisme
umumnya
konsep
dekonstruksi hanya diartikan sebatas penolakan dan penghentian total, yang dapat
diartikan sebagai penghancuran total suatu konstruksi tanpa diikuti penciptaan
konstruksi baru, maka pada postmodernisme-dekonstruksionisme Indonesia,
sebagai
hasil
modifikasi
(atau
reformulasi)
Indonesia
atas
paradigma
postmodernisme-dekonstruksionisme umumnya, konsep dekonstruksi diberi arti
ganda yaitu penolakan, penghentian, setelah pembongkaran (mendekonstruksi)
dan menciptakan suatu konstruksi baru (merekonstruksi, atau menciptakan suatu
post konstruksi). Karena itu, makna post-Indonesia sebagai makna teater
postmodern Indonesia pada JL, yang tidak lain merupakan makna menciptakan
kembali Indonesia setelah membongkar, menolak dan menghentikan modernisme
Indonesia, berada dalam relevansi paradigmatis-teoretis itu.
Makna makna post-Indonesia merupakan makna menciptakan Indonesia
menjadi konsep postmodernisme Indonesia, dan realitas postmodern Indonesia.
Secara sinkronis maupun historis, konsep dan realitas Indonesia dimaksud
merupakan Indonesia yang sesungguhnya, yang telah meninggalkan Indonesia
sebelumnya sebagai konsep dan realitas modern Indonesia, yang secara
postmodernisme Indonesia dapat dipandang sebagai bentuk lain dari konsep dan
realitas modern Barat (modernisme), yang sesungguhnya baik sebagai konsep dan
realitas estetis, seni, budaya, maupun sosial dan politik tidak lain merupakan
konsep dan realitas bebas nilai (sekuler), ilusif, hegemonik, semu (hiper, hyper),
dan dominasi kapitalis (kolonialisme, terutama neokolonialisme) modern Barat
(modernisme). Makna post-Indonesia inilah yang telah diperjuangkan teater
postmodern Indonesia pada JL melalui fungsi ppI sekaligus bentuk dI-nya.
22
Makna post-Indonesia teater postmodern Indonesia pada JL dimaksud
mencakup makna estetis, seni, budaya, sosial, dan politik. Makna tersebut adalah:
(1) makna estetisme Indonesia; (2) makna seni Indonesia; (3) makna
multikulturalisme Indonesia; (4) makna pluralisme Indonesia, dan; (5) makna
postdemokratisme Indonesia.
Pertama, makna estetisme Indonesia, adalah makna post Indonesia sebagai
sistem nilai keindahan Indonesia yang sesuai, merupakan konsep, dan sekaligus
manifestasi nilai-nilai Indonesia yakni nilai religius, kemanusiaan, kebangsaan,
demokrasi, dan sosial Indonesia. Sebagai sistem nilai-nilai keindahan, karena itu
pula makna estetisme Indonesia ini meliputi makna: (a) estetisme religius
Indonesia, (b) estetisme kemanusia Indonesia, (c) estetisme kebangsaan Indonesia,
(d) estetisme demokratis Indonesia, dan (e) estetisme sosial Indonesia.
Kedua, makna seni Indonesia, adalah makna post-Indonesia teater
postmodern Indonesia pada JL sebagai seni Indonesia, yang wujud berupa
perlawanan seni, baik sebagai fakta estetis, sosial, budaya, maupun politik
Indonesia postmodern terhadap konsep dan wujud seni modern Indonesia baik
sebagai seni modern Barat Indonesia maupun sebagai konsep dan wujud
modernisme, dan yang sekaligus pula wujud berupa konstruksi seni postmodern
Indonesia, tepatnya seni Indonesia, yang tidak saja memperjuangkan terciptanya
konsep dan wujud estetisme Indonesia, tetapi juga konsep dan realitas budaya,
sosial, dan politik Indonesia postmodern, tepatnya post-Indonesia.
Ketiga, makna multikuturalisme Indonesia, adalah makna post-Indonesia
teater postmodern Indonesia pada JL sebagai konsep dan wujud budaya
multikultur, atau multikulturalisme Indonesia, yang tidak saja berada sebagai
konsep dan wujud budaya bangsa yang beranekaragam (pluralitas budaya) yakni
anekaragam budaya suku bangsa berbeda, berdampingan, dan sejajar (egaliter)
pada tataran horisontal, tetapi sekaligus pula berada sebagai konsep dan wujud
budaya bangsa yang satu, kebangsaan, yang merupakan manifestasi persatuan
Indonesia melalui nilai-nilai budaya yang sama—yang berasal dari keseluruhan
pluralitas yang saling berdampingan, berbeda, dan egaliter yang ada. Sebagai
realitas budaya, Indonesia tidak saja muncul sebagai identitas nilai-nilai budaya
23
yang sama, akan tetapi sekaligus muncul sebagai identitas yang berbeda,
berdampingan, dan egaliter. Secara global, konsep dan wujud multikulturalisme
Indonesia, tidak saja memunculkan keberadaan Indonesia sebagai identitas budaya
sendiri dan khas, yakni multikulturalisme Indonesia, tetapi sekaligus pula telah
menghindarkan diri dari menjadi objek (hegemoni dan supremasi kekuasaan)
superioritas budaya modern Barat dan membebaskan diri dari statusnya yang
selama ratusan tahun telah menjadi inferior.
Keempat, makna pluralisme Indonesia, adalah makna post-Indonesia teater
postmodern Indonesia pada JL sebagai makna sosial Indonesia, yakni sebagai
konsep dan wujud realitas sosial plural Indonesia, atau pluralitas sosial Indonesia.
Pluralisme Indonesia tersebut merupakan pluralisme khas Indonesia karena tidak
saja konsep dan wujud pluralitas Indonesia yang terikat nilai, tetapi juga
berlandaskan, bersandarkan, dan memiliki standar nilai. Terikat nilai, karena
pluralisme Indonesia itu diwujudkan oleh anekeragam nilai yang berasal dari
anekaragam budaya (subkultur) yang dimiliki oleh anekaragam komunitas sosial
(yang berbudaya)—komunitas sosial multikultur—yang berada di Indonesia.
Pluralisme Indonesia itu bahkan dapat disebut sebagai konsep nilai karena
memang dibentuk atas anekaragam budaya subkultur sebagai nilai (budaya
sebagai nilai)—karena budaya memang diberadakan sebagai nilai oleh masyarakat
Indonesia.
Berlandaskan, bersandarkan, dan sekaligus memiliki standar nilai adalah
karena pluralisme itu merupakan wujud konseptual dari anekaragam realitas sosial
yang berasal dari anekaragam komunitas sosial yang terdapat di Indonesia, yang
mewujudkan dirinya sebagai identitas budaya, dan sekaligus identitas nilai-nilai
budaya (karena budaya dipandang sebagai nilai), yang pada tingkat yang lebih
tinggi sekaligus sebagai identitas nilai-nilai agama (karena agama diposisikan
sebagai nilai tertinggi). Pada tataran budaya, baik pada konteks komunitas sosial
budaya subkultur maupun Indonesia, pluralisme itu berlandaskan, bersandarkan,
dan memiliki standar nilai-nilai budaya (lokal, atau global Indonesia) yang
merupakan konsep pluralisme budaya. Sedangkan pada tataran agama, baik pada
konteks komunitas sosial lokal maupun global Indonesia, pluralisme itu
24
berlandaskan, bersandarkan, dan memiliki standar nilai-nilai agama (dalam arti
menurut konteks nilai agama masing-masing). Posisi dan keberadaan nilai
(budaya dan agama) tersebutlah yang menandai kekhasan pluralisme Indonesia.
Sekaligus, di atas kekhasan pluralisme yang terikta nilai (terutama nilai-nilai
agama) itu pula postmodernisme Indonesia berada.
Kelima, makna postdemokratisme Indonesia, adalah makna post-Indonesia
teater postmodern Indonesia pada JL sebagai makna politik Indonesia, yang
merupakan konsep dan wujud demokrasi yang sesuai dengan kenyataan Indonesia
sesungguhnya, baik sebagai realitas yakni pluralitas Indonesia, maupun sebagai
nilai yaitu pluralisme Indonesia. Konsep dan wujud demokrasi Indonesia tersebut
benar-benar merupakan manifestasi sekaligus memanifestasikan anekaragam
kehidupan sosial yaitu anekaragam keberadaan komunitas sosial Indonesia, yang
tidak lain adalah anekaragam komunitas sosial-budaya karena masing-masing
komunitas sosial merupakan masing-masing pemilik kebudayaannya yang jelas
satu sama lain berbeda. Praktik politik sebagai praktik demokrasi benar-benar
merupakan praktik sosial-politik yang tidak saja berorientasi politik semata tetapi
sekaligus berorientasi sosial-budaya yang mengacu pada keberadaan anekaragam
komunitas sosial-budaya yang ada di Indonesia.
Konsep dan wujud demokrasi Indonesia tersebut juga benar-benar
merupakan
manisfestasi
sekaligus
memanifestasikan
nilai-nilai
sebagai
anekaragam nilai-nilai yang dimiliki masyarakat Indonesia. Sebagai praktik
politik, demokrasi itu tidak saja merupakan praktik nilai politik semata tetapi
sekaligus pula nilai-nilai budaya, sosial, dan bahkan agama (religius).
Demokrasi Indonesia sebagai post demokrasi Indonesia itu tidak saja akan
memperkukuh keberadaan sosial anekaragam masyarakat sosial yang ada di
Indonesia, tetapi sekaligus pula akan memperkukuh Indonesia sebagai realitas
demokrasi
tepatnya
demokrasi
plural
Indonesia.
Dengan
kata
lain,
postdemokrastisme Indonesia itu, benar-benar akan wujud menjadi demokrasi
keseluruhan rakyat Indonesia dan sekaligus menjadi wujud demokrasi negara
Republik Indonesia. Sebab, baik secara konseptual maupun praktik, demokrasi
post
Indonesia
itu
benar-benar
merupakan
manifestasi
dan
sekaligus
25
memanifestasikan anekaragam keberadaan dan kepentingan sosial, budaya, agama
seluruh rakyat Indonesia, sekaligus nilai-nilai yang menyertainya, di samping
keberadaan dan kepentingan politik itu sendiri.
5. Temuan Penelitian
Penelitian ini menghasilkan temuan sebagai berikut. Pertama, bentuk
dekonstruksi Indonesia (dI) sebagai bentuk teater postmodern Indonesia pada JL.
Bentuk dI itu adalah bentuk seni, estetika, sosial, budaya, dan politik teater
postmodern Indonesia pada JL yang: di satu sisi mendekonstruksi bentuk seni,
estetika, sosial, budaya, dan politik teater modern Indonesia baik sebagai bentuk
seni, estetika, sosial, budaya, dan politik teater modern Barat Indonesia maupun
sebagai bentuk seni, estetika, sosial, budaya, dan politik modern Barat dan
sekaligus modernisme umumnya; sedangkan di sisi lain mewujudkan dirinya
menjadi (konstruksi) bentuk dI itu sendiri. Bentuk dI itu meliputi pluralitas
bentuk: (1) dekonstruksi teknik Indonesia (dtI), dan (2) dekonstruksi sosial
Indonesia (dsI). Yang pertama, dtI, mencakup dekonstruksi teknik: (a) teknis
pertunjukan (permainan panjat pinang), (b) peristiwa, adegan, dan plot, (c) latar,
(d) tokoh, peran, dan lakuan, (e) dialog dan gaya bahasa, (f) konflik, (g) suasana,
dan (h) gagasan. Sedangkan yang kedua, dsI, mencakup: (a) dekonstruksi
hegemoni Indonesia, (b) dekonstruksi neokolonialisme (dan kolonialisme)
Indonesia, dan (c) dekonstruksi hiperealitas sosial Indonesia.
Kedua, fungsi perlawanan dan perjuangan Indonesia (ppI) sebagai fungsi
teater postmodern Indonesia pada JL. Fungsi ppI itu adalah: di satu sisi
merupakan fungsi perlawanan estetis, seni, sosial, budaya, dan politik postmodern
dan postmodernisme Indonesia sebagai aksi membongkar, mengungkap,
memaparkan, menolak, dan menghentikan estetika, seni, sosial, budaya, dan
politik modern Indonesia, modern Barat dan sekaligus modernisme; sedangkan di
sisi lain sekaligus merupakan fungsi perjuangan estetis, seni, sosial, budaya, dan
politik postmodern dan postmodernisme Indonesia sebagai usaha perjuangan
menciptakan wujud estetika, seni, sosial, budaya, dan politik Indonesia. Fungsi
ppI itu mencakup: (1) fungsi media estetis perlawanan dan perjuangan Indonesia,
yang meliputi (a) media kreatif (representasi seni), (b) media komunikasi, (c)
26
media imajinasi dan imajinerisasi, (d) media kesadaran, (e) media alternatif, dan
(f) media hiburan representatif; (2) fungsi perlawanan dan perjuangan seni
Indonesia; (3) fungsi perlawanan dan perjuangan budaya Indonesia; (4) fungsi
perlawanan dan perjuangan sosial Indonesia; dan (5) fungsi perlawanan dan
perjuangan politik Indonesia.
Ketiga, makna post-Indonesia sebagai makna teater postmodern Indonesia
pada JL. Makna itu adalah makna menciptakan estetisme, seni, multikulturalisme,
pluralisme, dan postdemokratisme Indonesia sebagai makna Indonesia yang
benar-benar merupakan wujud dan manifestasi postmodernitas sekaligus
postmodernisme Indonesia, tepatnya Indonesia yang sesungguhnya. Makna post
Indonesia tersebut meliputi: (1) makna estetisme Indonesia, yang mencakup (a)
estetisme religius Indonesia, (b) estetisme kemanusiaan Indonesia, (c) estetistme
kebangsaan Indonesia, (d) estetisme demokratis Indonesia, dan (e) estetisme sosial
Indonesia; (2) makna seni Indonesia; (3) makna multikulturalisme Indonesia; (4)
makna pluralisme Indonesia; dan (5) makna postdemokratisme Indonesia.
6. Simpulan
Teater postmodern Indonesia merupakan realitas teater yang di satu sisi
mendekonstruksi teater modern Indonesia—yang selama ini dianggap sebagai
teater Indonesia akan tetapi sebenarnya merupakan teater modern Barat, teater
adopsi, atau teater tiruan, disebabkan keberadaannya sebagai realitas produk
hegemoni modern Barat (modernisme)—sedangkan di sisi lain sekaligus
menciptakan realitas teater yang benar-benar Indonesia baik sebagai seni, estetika,
sosial, budaya, maupun politik Indonesia. Melalui realitas dekonstruksi yang
dimilikinya, artinya, teater postmodern Indonesia tidak saja dapat disebut sebagai
teater posmodern Indonesia itu sendiri, tetapi melalui konstruksi Indonesia yang
diproduksinya sebagai konstruksi seni, estetika, sosial, budaya, dan politik teater
Indonesia yang benar-benar Indonesia, juga sekaligus dapat disebut sebagai teater
Indonesia yang benar-benar Indonesia.
Teater postmodern Indonesia pada JL merupakan realitas teater demikian:
di samping dapat disebut sebagai teater postmodern Indonesia, sekaligus dapat
disebut sebagai teater Indonesia, yang benar-benar Indonesia. Hal itu, baik sebagai
27
teater postmodern Indonesia maupun sebagai teater Indonesia (yang benar-benar
Indonesia), dibuktikan oleh bentuk, fungsi, dan makna teater postmodern
Indonesia pada JL yang ditemukan. Yang pertama dalam arti realitas dekonstruksi
Indonesia yang dimiliki teater postmodern Indonesia pada JL tersebut, sedang
yang kedua dalam arti realitas Indonesia postmodern yang menandai konstruksi
seni, estetika, sosial, budaya, dan politik teaternya.
Bentuk, fungsi, dan makna teater postmodern Indonesia pada JL adalah
sebagai berikut. Pertama, merupakan bentuk dekonstruksi Indonesia, yang
meliputi pluralitas bentuk: (1) dekonstruksi teknik Indonesia, dan (2) dekonstruksi
sosial Indonesia. Kedua, merupakan fungsi perlawanan dan perjuangan Indonesia,
yang mencakup: (1) fungsi media estetis perlawanan dan perjuangan Indonesia,
(2) fungsi perlawanan dan perjuangan seni Indonesia, (3) fungsi perlawanan dan
perjuangan budaya Indonesia, (4) fungsi perlawanan dan perjuangan sosial
Indonesia, dan (5) fungsi perlawanan dan perjuangan politik Indonesia. Ketiga,
merupakan makna menciptakan post-Indonesia, yakni: (1) estetisme Indonesia,
(2) seni Indonesia; (3) multikulturalisme Indonesia; (4) pluralisme Indonesia; dan
(5) postdemokratisme Indonesia.
JL merupakan karya teater postmodern Indonesia yang pertama sekali
muncul dalam perkembangan teater postmodern Indonesia, sekaligus merupakan
karya teater Indonesia yang pertama sekali muncul dalam perkembangan teater
Indonesia sebagai perkembangan teater yang benar-benar Indonesia. JL dapat
dipandang sebagai perintis sekaligus pelopor teater postmodern Indonesia,
sekaligus dalam arti perintis dan pelopor teater Indonesia—yang benar-benar
Indonesia.
Wisran Hadi sebagai sutradara (seniman pencipta) karya teater JL, dengan
demikian dapat dipandang sebagai perintis sekaligus pelopor teater postmodern
Indonesia, atau teater Indonesia, dan Bumi Teater sebagai grup teater yang
menjadi media representasi dan produksi karya teater JL, dapat dipandang sebagai
grup yang pertama sekali merintis dan mempelopori perkembangan teater
postmodern Indonesia, atau teater Indonesia yang benar-benar Indonesia.
28
Daftar Pustaka
Agung, Putra. 2003. “Relevansi Multikulturalisme dalam Kebudayaan Nasional”.
Makalah Matrikulasi Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya
Angkatan 2003/2004. Denpasar: Program Studi Magister (S2) Kajian
Budaya Universitas Udayana.
Appignanesi, Richard, dan Chris Garratt. 1999. Mengenal Postmodernisme for
Beginners. Bandung: Mizan.
Bagus, Prof. Dr. I Gusti Ngurah. 2004. Mengkritisi Peradaban Hegemoni.
(Penyunting I Gde Mudana). Denpasar: Kajian Budaya Books.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Beardsley, 1981. Aesthetics Problems in the Philosophy of Criticsm. Indianapolis:
Harkett Publishing Company, Inc.
Capra, Fritjof. 2002. Titik Balik Peradaban Sains, Masyarakat dan Kebangkitan
Kebudayaan. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Caputo, John D. 1997. Deconstruction in a Nutshell a Conversation with Jacques
Derrida. New York: Fordham University Press.
Cribb, Robert. 2001. “Bangsa: Menciptakan Indonesia”, dalam Indonesia Beyond
Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Editor Donald K.
Emerson. Jakarta: Gramedia dan The Asia Foundation Indonesia.
Danziger, M.K. dan W.S. Johnson. 1991. Pengenalan Kritik Sastra. (Terj.
Hamdan Yahya dkk.). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Derrida, Jacques. 1976. Of Grammatology. Terj. Gayatri Chakravorty Spivak.
London: The Johns Hopkins University Press.
Eagleton, Terry. 1990. Teori Kesusasteraan, Suatu Pengenalan. Terj. Muhammad
Hj. Saleh. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Fokkema, D.W. dan Elrud Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh.
Terj. J. Praptadihardja dan Kepler Silaban. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Foucault, Michel. 2002. Power/Knowledge: Wacana Kuasa/Pengetahuan.
(Terjemahan Yudi Santoso). Yogyakarta: Bentang.
Gandhi, Leela. 2001. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat.
Yogyakarta: Qalam.
Gie, The Liang. 1997. Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu
Berguna.
_______ 1996. Filsafat Seni: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu
Berguna.
Giddens, Antoni. 2003. Masyarakat Post-tradisional. Yogyakarta” IRCiSoD.
29
Gramsci, Antonio. 2000. Sejarah dan Budaya. Terj. Irapuspitorini. Surabaya:
Pustaka Promethea.
Grenz. Stanley J. 2001. A Primer On Postmodernism Pengantar untuk Memahami
Postmodernisme. Terj. Wilson Suwanto. Yogyakarta: Yayasan Andi.
Hardiman, F. Budi. 1994. “Ilmu-ilmu Sosial dalam Diskursus Modernisme dan
Pasca-Modernisme”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul
Qur’an, No. 1 Vol. V Tahun 1994. Jakarta: LSAF dan ICMI.
Illich, Ivan. 2001. Menggugat Kaum Kapitalis. Jakarta: Melibas.
Junus, Umar. 1996. Teori Moden Sastera dan Permasalahan Sastera Melayu.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran
Malaysia.
_______ 1990. Resepsi Sastra. Jakarta: Gramedia.
Kuhn, Thomas S. 2000. The Structure of Scientific Revolutions, Peran Paradigma
dalam Revolusi Sains. Terj. Tjun Surjaman. Cetakan Kedua. Bandung:
Rosdakarya.
Luxemburg, Jan van. dkk. 1994. Pengantar Ilmu Sastra. terj. Dick Hartoko.
Jakarta: Gramedia Putaka Utama.
Maliki, Zainuddin. 1999. Agama Rakyat Agama Penguasa. Jakarta: Galang Press.
Mansour, Fakih. 2003. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.
Yogyakarta: Insist Press.
Mudana, I Gde (Ed.). 2003. Pemahaman Budaya di Tengah Peradaban.
Denpasar: Program S2 dan S3 Kajian Budaya Universitas Udayana.
Musianto, Lukas Sugeng. 2003. “Hidup Berbangsa dan Etik Multikultural:
Peluang dan Tantangannya Ditinjau dari Aspek Sosiologi”, dalam
Hidup Berbangsa & Etika Multikultural. Ed. Martono (dkk). Surabaya:
Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur Universitas Surabaya.
Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida.
Terj. Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna. Bandung: Jalasutra.
Ratna, I Nyoman Kutha. 2004a. Relevansi Teori-teori Postrukturalisme dalam
Memahami Karya Sastra, Aspek-aspek Kebudayaan Kontemporer pada
Umumnya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang
Ilmu Sastra pada Fakultas Sastra, Universitas Udayana Denpasar.
_______ 2004b. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari
Strukturalisme hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
_______ 2002. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
30
Said, Edward W. 1995. Kebudayaan dan Kekuasaan, Membongkar Mitos
Hegemoni Barat. Terj. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan.
Sanderson, Stephen K. 2003. Sosiologi Makro Sebuah Pendekatan Terhadap
Realitas Sosial. Terj. Farid Wajidi, S. Menno. Jakarta: Rajawali Pers.
Selden, Raman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Terj. Rachmat
Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Shimogaki, Kazuo. 1993. Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme.
Yogyakarta: LKIS.
Simon, Roger. 2000. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Terj. Kamdani dan
Imam Baehaqi. Yogyakarta: INSIST kerjasama dengan Pustaka Pelajar.
Sparingga, Daniel T. 2003. “Multikulturalisme dalam Multiperspektif di
Indonesia”, dalam Hidup Berbangsa & Etika Multikultural. Ed.
Martono (dkk). Surabaya: Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur
Universitas Surabaya.
Stanislavsky, Constantin. 1986. Building a Character. Metheun Drama.
Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia
Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sutrisno, Mudji. 1999. Kisi-kisi Estetika. Yogyakarta: Kanisius.
Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya dan Girimukti Pustaka.
Vattimo, Gianni. 2003. The End of Modernity: Nihilisme dan Hermeneutika
dalam Budaya Postmodern. Terj. Sunarwoto Derma. Yogyakarta:
Sadasiva.
Vickers, Adrian. 1996. “Modernity and Being “Modern”: An Introduction”, dalam
buku Being Modern in Bali: Image and Change. New Haven,
Connecticut: Yale University Southeast Asia Studies.
Viswanathan, Gauri. (Ed.). 2003. Kekuasaan, Politik dan Kebudayaan
Wawancara dengan Edward W. Said. Terj. Hartono Hadikusumo dan E.
Setiyawati Alkhatab. (Tanpa kota): Pustaka Promethea.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
31
Download