STUDI KOMPARASI ANTARA HIBAH DAN RISYWAH MENURUT PANDANGAN PEMUKA AGAMA ISLAM DI KECAMATAN REJOTANGAN KABUPATEN TULUNGAGUNG SKRIPSI Oleh SULHAN WAHIB NIM. 3221103023 JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) TULUNGAGUNG 2014 i ii STUDI KOMPARASI ANTARA HIBAH DAN RISYWAH MENURUT PANDANGAN PEMUKA AGAMA ISLAM DI KECAMATAN REJOTANGAN KABUPATEN TULUNGAGUNG SKRIPSI Diajukan Kepada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu Hukum Ekonomi Syariah Oleh : SULHAN WAHIB NIM. 3221103023 JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) TULUNGAGUNG 2014 iii iv v KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kehadiran Allah SWT, yang telah melimpahkan karunia dan nikmatnya, sehingga laporan penelitian ini dapat dapat terselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa abadi tercurahkan kepada junjungan Nabi Akhir Muhammad SAW, yang telah membawa manusia dari masa kegelapan menuju masa yang terang dengan cahaya keislaman. Sehubungan dengan selesainya penulisan laporan skripsi ini , penulis tidak lupa juga menghaturkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Maftukhin, M.Ag selaku Rektor IAIN Tulungagung. 2. Bapak. Dr. H. Asmawi, M,Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum serta sebagai dosen pembimbing dalam penyusunan skripsi ini, karena motivasi dan dukungan penuhnya penulis dapat menyelesaikan laporan ini. 3. Bapak. Kutbuddin Aibak, S.Ag, M.H.I, selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah (HES). 4. Segenap Bapak/Ibu Dosen IAIN Tulungagung yang telah membimbing dan memberikan wawasannya sehingga studi ini dapat diselesaikan. 5. Bapak camat kecamatan Rejotangan yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian diwilayah pemerintahannya. 6. Semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian penulisan laporan ini. vi Semoga Laporan Skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, laporan ini tentunya masih terdapat kekurangan dan kelemahan didalamnya, maka dari itu saya mohon kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan laporan ini. Semoga karya ini bermanfaat dan mendapat ridlo dari Allah SWT. Tulungagung, 5 Maret 2014 Sulhan Wahib NIM: 3221103023 vii DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL i HALAMAN PENGAJUAN iii HALAMAN PERSETUJUAN iv HALAMAN PENGESAHAN v HALAMAN PERSEMBAHAN vi HALAMAN MOTTO vii KATA PENGANTAR viii DAFTAR ISI x DAFTAR LAMPIRAN xiv ABSTRAK xv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 B. Fokus Penelitian 7 C. Tujuan Penelitian 7 D. Manfaat Penelitian 8 E. Penegasan Istilah 8 F. Sistematika Pembahasan 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Akad 11 a. Pengertian Akad 11 viii b. Syarat-Syarat dan Rukun Akad 12 c. Macam-Macam Akad 15 d. Azas-Azas Akad 18 e. Hak dan Kewajiban Subyek Akad 22 f. Berakhirnya Akad 23 B. Hibah 25 a. Pengertian Hibah 25 b. Dasar Hukum Hibah 26 c. Syarat dan Rukun Hibah 27 d. Macam-Macam Hibah 28 e. Etika Menolak atau Menerima Pemberian 29 f. Hukum Meminta Kembali Harta Yang Telah Dihibahkan 34 C. Risywah 35 a. Pengertian 38 b. Unsur-Unsur Risywah 36 c. Hukum Risywah 38 d. Macam-Macam Risywah 40 e. Hal-Hal Yang Identik dengan Risywah 41 D. Penelitian Terdahulu 43 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian 46 B. Lokasi Penelitian 48 ix C. Kehadiran Peneliti 48 D. Sumber Data 48 E. Teknik Pengumpulan Data 49 F. Teknik Analisis Data 55 G. Pengecekan Keabsahan Temuan 51 H. Tahap-Tahap Penelitian 51 BAB IV PAPARAN HASIL PENELITIAN A. Paparan Data 53 B. Temuan Penelitian 53 C. Pembahasan 65 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 73 B. SARAN 74 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN – LAMPIRAN x DAFTAR LAMPIRAN 1. Lampiran I : Pedoman Interview 2. Lampiran II : Surat Permohonan Izin Penelitian 3. Lampiran III : Surat Keterangan Penelitian 4. Lampiran IV : KHES Buku III BAB IV Tentang Hibah Pasal 692-732 5. Lampiran V : Bukti Bimbingan Skripsi 6. Lampiran VI : Pernyataan Keaslian Tulisan 7. Lampiran VII : Biodata Penulis xi ABSTRAK Sulhan Wahib, NIM 3221103023, Tahun 2014, Studi Komparasi Antara Hibah dan Risywah (Menurut Pemuka Agama di Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung. Jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, Pembimbing: Bpk. H. Dr. Asmawi, M.Ag. Kata kunci: Akad, Hibah, Risywah. Penelitian dalam skripsi ini dilatar belakangi atas banyaknya pemberianpemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain dengan tujuan untuk memudahkan urusan atau apapun yang secara hukum melanggar aturan, akan tetapi diberikan dengan alasan sebagai hibah. Rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah (1) Apa perbedaan antara hibah dan risywah? (2) Bagaimana hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan menurut pemuka agama di kecamatan Rejotangan? (3) Bagaimana hukum memakan harta risywah (jika tidak mendapatkan apa yang diinginkan) menurut pemuka agama di kecamatan Rejotangan? (4) Bagaimana hukum memberi harta risywah jika tujuannya adalah untuk kebaikan/dalam keadaan terpaksa menurut pemuka agama di kecamatan Rejotangan?, dan adapun yang menjadi tujuan penulis adalah (1) Untuk mengetahui perbedaan antara hibah dan risywah, (2) Untuk mengetahui hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan menurut pemuka agama di kecamatan Rejotangan (3) Untuk mengetahui bagaimana hukum dari mengkonsumsi harta risywah yang dibatalkan niatnya menurut pemuka agama di kecamatan Rejotangan dan (4) Untuk mengetahui hukum dari memberi harta risywah jika diniatkan untuk kebaikan/karena terpaksa menurut pemuka agama di kecamatan Rejotangan. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif komparatif. Yang bertujuan untuk dapat memahami hibah dan risywah serta hukum – hukum pelaksanaannya. Karena dalam kehidupan bermasyarakat yang semuanya serba canggih sangat memungkinkan terjadinya praktik akad yang sebenarnya dilarang akan tetapi dengan menggunakan nama akad lain yang memiliki hukum halal. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pertama hibah dan risywah adalah dua akad yang berbeda secara hukum, hibah halal dan risywah haram. Kedua hukum meminta kembali harta hibaha adalah mubah dan tidak ada unsur paksaan. Ketiga hukum mengkonsumsi harta risywah (jika pemberi Risywah tidak mendapatkan apa yang diinginkan) adalah mubah dengan syarat harus ada pembaruan akad dan keempat hukum melakukan suap jika diniatkan untuk kebaikan atau dalam keadaan memaksa, maka hukum melakukan risywah berlaku hukum dhoruri (darurat), dan hukumnya adalah mubah (diperbolehkan). xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai mahluk yang sempurna dibandingkan dengan mahluk lainnya, maka sudah sewajarnya jika manusia selalu memiliki hasrat untuk memiliki harta berlimpah dan ingin hidup mewah. Dengan didukung modernisasi yang ditandai dengan semakin canggih dan tingginya pengetahuan, maka seharusnya hal ini menjadikan manusia untuk tumbuh semakin cerdas, jujur dan mengikuti peraturan yang ada dengan tanpa merugikan orang lain. Karena secara umum yang dipandang atau dijadikan tolok ukur dalam status sosial adalah tingkat perekonomian, maka ini melahirkan sebuah kastakasta tertentu yang melekat di anggota masyarakat, meskipun disisi lain seharusnya hal tersebut menjadi motivasi dan semangat baru agar setiap anggota masyarakat mampu merubah keadaannya menjadi lebih baik lagi. Harta sebagai salah satu kebutuhan primer dalam kehidupan manusia, menjadikan menusia berlomba- lomba untuk mendapatkan dan memilikinya, bahkan dalam sebuah hadits masyhur, Nabi SAW bersabda: ي ه ُ اِ ْع َم ْل ِلد:سله َم قَا َل َ ُصلهى هللا َ ،ُع ْنه َ ُاَّلل ِ ي قُت َ ْيبَ ْة َر َ َ علَ ْي ِه َو َ ي ِِّ ع ِن النه ِب َ ض َ ع ْن أ َ ِب َ ُْس اَبَدًا َو ْع َم ْل ِِل ِخ َرتِ َك َكا َءنه َك ت َ ُم ْوت ) غدًا ( رواه البيهقى ُ ْنيَ َك َكا َءنه َك تَ ِعي xiii “Dari Ibnu Qutaibah R.A, rasulullah SAW bersabda: bekerjalah kamu seakan kamu akan hidup selamanya dan beribadahlah kamu seakan kamu akan mati esok pagi.”(HR. Baihaqi).1 Hanya ada satu cara yang bisa dilakukan untuk bisa mendapatkan harta, yaitu dengan bekerja. Dari pekerjaan ini akan muncul berbagai jenis kegiatan untuk mendapatkan harta, seperti berdagang dan berkerja di perusahaan swasta atau di lembaga Negara. Meskipun manusia sebagai pemilik harta secara penuh, tidak berarti bahwa manusia tersebut akan tercukupi semua kebutuhannya jika tidak dibelanjakan atau memutar harta tersebut. seorang yang memiliki emas 30 Kg misalnya, maka emas tersebut tidak akan pernah bermanfaat jika orang tersebut tinggal di dalam hutan yang jauh dari manusia dan tidak dapat melakukan interaksi dengan manusia lainnya. Harta yang dimiliki seharusnya ditransfer atau diputar untuk memenuhi kebutuhannya. Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk memutar harta, bisa dengan jual beli, shodaqoh, wakaf, hibah dan lain-lain. Akan tetapi tidak berarti bahwa pemanfaatan harta yang dilakukan, semua hukumnya halal, melainkan ada juga yang hukum awalnya wajib berubah menjadi haram. Seperti zakat fitrah yang hukum awalnya adalah wajib, maka dapat berubah menjadi tidak wajib jika yang bersangkutan tidak mampu untuk membayarnya. Seperti shodaqoh yang hukum awalnya adalah sunnah, maka dapat berubah menjadi haram jika dilakukan dengan dasar tidak 1 Muhammad Nasshiruddin Al-Albani, Silsilatul-Ahaadiits Adh-Dhaifah Wal-Maudhu’ah, terj. A.M. Basalamah, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hal. 40 xiv ikhlas atau didasarkan dengan tujuan untuk mendapatkan hal- hal tertentu yang melanggar hukum. Atau bisa melakukan transaksi antar dua orang atau lebih untuk mendapatkan harta, cara ini dipandang sangat tepat dengan kebutuhan manusia sebagai mahluk sosial. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Manusia harus saling tolongmenolong atas dasar perbuatan yang baik dan tidak melanggar hukum serta bermanfaat. Bahkan jika dikaji lebih mendalam, betapa panjang perjalanan sebutir beras untuk dapat sampai ke konsumen, mulai dari petani yang menanam padi di sawah, petani harus menungu selama ±3 bulan hingga padi menguning, memanen padi, memisahkan padi dengan jerami, menjemur gabah hingga benar-benar kering, kemudian digiling hingga menjadi beras, setelah itu oleh petani dijual hingga pada akhirnya sampai pada konsumen. Selain hubungan yang bersifat transaksional, manusia juga membutuhkan sikap saling tolong menolong antar manusia lainnya. Ini tidak bertujuan untuk mencari keuntungan. Ini lebih ditujukan atas dasar keikhlasan. Karena jika manusia hanya melakukan kegiatan yang bersifat transaksional, maka ia akan menjadi sosok yang seakan serakah, yang hanya mementingkan kepentingan diri sendiri, padahal manusia seharusnya menjadi sosok yang mampu menjaga keharmonisan hubungan dengan sesama manusia lainnya. xv Hibah sebagai salah satu contoh dari hubungan dua manusia yang tidak bersifat transaksional dan lebih bersifat tolong-menolong. Dengan demikian, seharusnya hibah ini menjadi salah satu dasar sebagai tindakan manusia untuk memberikan hartanya dengan penuh keikhlasan dan tanpa mengharapkan imbalan apapun. Akan tetapi, dengan semakin tingginya tingkat pendidikan yang ditempuh oleh manusia saat ini, sebagai bukti dari bertambahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya dunia pendidikan. Seharusnya mampu memberikan pemahaman dan kesadaran dalam melakukan kesepakatankesepakatan dengan manusia lainnya. Akan tetapi, harapan yang seharusnya dapat terwujud, seakan menjadi kenangan yang tidak dapat terwujud sepenuhnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus-kasus korupsi, penyelewengan dana dan lain-lain, yang tentunya memberikan kerugian manusia secara umum. Di sisi lain, karakter manusia sebagai mahluk yang memiliki keinginan, menjadikan manusia berani melakukan tindakan yang samar-samar di depan hukum. Memberikan sejumlah harta dengan alasan sebagai hibah akan tetapi dia memiliki keinginan yang ada kaitannya dengan orang tersebut. Dengan menjadi samar-samar di depan hukum, maka akan menjebak manusia itu sendiri kedalam jurang kesesatan. Sehingga akan menimbulkan masalah baru yang akan diterima oleh pemberi atau penerima harta tersebut. Hibah dan risywah adalah dua akad yang berbeda dimata hukum. Hibah memiliki hukum halal (mubah) dan risywah para Ulama’ secara umum telah xvi meyepakati keharamannya. Maka sudah tentu hal ini tidak perlu diragukan lagi, harta yang diberikanpun menjadi haram, karena syarat harta halal adalah halal dari cara memperoleh dan halal dari dzat benda tersebut. sehingga meskipun harta yang dijadikan sebagai obyek risywah adalah harta yang halal secara dzatnya, akan tetapi akan menjadi haram karena diberikan tidak atas dasar keikhlasan melainkan untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Hal ini tidak hanya terjadi kepada para pejabat tinggi saja, melainkan juga terjadi di kawasan pinggiran Tulungagung sebalah timur, Kecamatan Rejotangan yang juga tidak luput dari hal- hal tersebut diatas. Kecamatan Rejotangan sebagai kecamatan di ujung timur dari Kabupaten Tulungagung dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Blitar, maka sudah menjadi hal yang wajar jika mendapatkan perhatian khusus dibanding dengan Kecamatan-kecamatan lain yang tidak berada dipinggiran Kabupaten Tulungagung. Perhatian tersebut berupa kekhawatiran terhadap adanya praktik suap yang sering menjamur ketika musim pemilu tiba. Serangan fajar sebelum pencoblosan berlangsung dengan memanfaatkan kelengahan dari petugas atau bahkan hingga memanfaatkan masyarakat setempat sebagai pelakunya. Meskipun sudah dianggap sebagai hal yang wajar di masyarakat, akan tetapi di kalangan para pemuka agama Islam yang berada di wilayah Kecamatan Rejotangan menyatakan hal yang berbeda-beda terhadap hal tersebut. Dengan banyaknya pemuka agama Islam di Kecamatan Rejotangan yang menyatakan perbedaan pendapat mengenai kehalalan dari harta yang xvii diperoleh dari pemberian para kandidat dalam pemilu, maka di kecamatan Rejotangan menjadi wilayah yang sangat menarik untuk diteliti. Karena dalam setiap pemuka agama Islam pasti memiliki konsep pemikiran yang berbeda, meskipun dasar rujukannya sama dan bahkan tidak menutup kemungkinan juga dengan bahasa yang berbeda pula. Selain itu, juga pernah terjadi kasus yang sempat menjadi berita hangat, yang mana para Penghulu di seluruh wilayah Jawa Timur ramai-ramai menolak menikahkan diluar jam dan hari kerja.2 Sehingga mereka hanya akan menikahkan di hari dan jam kerja saja serta biaya pernikahan yang tidak boleh lebih dari ±Rp. 30.000,- Seharusnya ini dipatuhi oleh semua penghulu yang ada diwilayah Jawa Timur termasuk didalamnya adalah penghulu yang berada di Kecamatan Rejotangan. Akan tetapi tidak demikian yang terjadi, di salah satu desa di Kec. Rejotangan, yang mana salah satu keluarga pernah menikahkan salah satu putranya di luar jam kerja dan dengan tarif hingga Rp. 150.000,-3 hal tersebut secara aturan memang melanggar hukum, akan tetapi dengan alasan yang berbeda mungkin akan menjadi tidak melanggar hukum. Atas dasar inilah penulis ingin mengadakan penelitian yang bersifat kualitatif di Kec. Rejotangan, Kabupaten Tulungagung dengan mengangkat judul “Studi Komparasi Antara Hibah Dan Risywah Menurut Pemuka Agama Islam di Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung” 2 http://www.antaranews.com/berita/408845/ketika-penghulu-menolak-menikahkan-di-harilibur, diakses pada 6 Mei 2014, Pkl. 12.00 WIB 3 Hasil wawancara dengan Mbk Alfiah pada hari ahad, 23 April 2014 xviii B. Fokus Penelitian Untuk membatasi ruang lingkup pembahasan dan agar penelitian ini memiliki tujuan yang jelas, maka penulis mencoba merumuskan masalah dengan memfokuskan pada: 1. Apa perbedaan antara hibah dan risywah? 2. Bagaimana hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan menurut pemuka agama Islam di kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung? 3. Bagaimana hukum memakan harta risywah jika tidak mendapatkan apa yang diinginkan menurut pemuka agama Islam di kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung? 4. Bagaimana hukum risywah jika dilakukan untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah kezaliman? C. Tujuan Penelitian Tujuan merupakan target yang hendak dicapai dalam melakukan suatu kegiatan. Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulis membahas tentang hibah dan risywah, adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui perbedaan antara hibah dan risywah. 2. Untuk mengetahui hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan menurut pemuka agama Islam di kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung. 3. Untuk mengetahui hukum dari mengkonsumsi harta risywah jika tidak mendapatkan apa yang diinginkan menurut pemuka agama Islam di kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung. xix 4. Untuk mengetahui bagaimana hukum risywah, jika risywah tersebut dilakukan untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah kezaliman. D. Manfaat Penelitian Hasil dari tulisan ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara teoritis ataupun praktis kepada pihak-pihak terkait, diharapkan manfaat dari penulisan ini adalah untuk: 1. Manfaat teoritis Secara teoritis, hasil dari penulisan ini dapat menambah pengetahuan kepada peneliti sendiri dan kepada IAIN Tulungagung serta karena penelitian ini bersifat memberikan manfaat lapangan, maka diharapkan juga mampu kepada masyarakat di wilayah Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung dalam kaitannya dalam pembahasan masalah hibah dan risywah. 2. Manfaat praktis. Secara praktis, tulisan ini diharapkan memberikan manfaat kepada penulis sendiri dan semua pihak terkait mengenai perbedaan hibah dan risywah. E. Penegasan Istilah 1. konseptual a. Pemuka Agama Islam adalah seseorang yang memiliki kontribusi dalam agama Islam, sehingga banyak dijadikan panutan dan teladan bagi masyarakat ataupun pemeluk agama Islam.4 4 https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080908073850AAeu2zt, diakses 20 maret 2014, pkl. 21.30 WIB xx b. Akad adalah pertemuan ijab dan Kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada obyeknya.5 c. Hibah adalah adalah akad perjanjian yang menyertakan pemindahan hak milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia masih hidup tanpa mengharapkan penggantian sedikitpun.6 d. Risywah adalah memberi sesuatu kepada pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.7 2. Operasional. Adapun maksud dari judul “Studi Komparasi Antara Hibah dan Risywah Menurut Pemuka Agama Islam di Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung” adalah untuk mendapatkan pemahaman terhadap hibah dan risywah menurut para pemuka agama Islam yang berada di wilayah Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung. F. Sistematika Penulisan Skripsi Untuk mencapai tujuan penulisan skripsi ini, sebagai karya ilmiah harus memenuhi syarat logis dan sistematis. Dalam pembahasannya, penulis menyusun skripsi ini menjadi lima bab, yaitu: BAB I: Pendahuluan, dalam bab ini membahas mengenai : latar belakang, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah dan sistematika penulisan skripsi. 5 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 6 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 208-209 Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Keuangan. ( Jakarta: Jajawali Pers, 2009), hal. hal. 68 7 45 xxi BAB II: Kajian Pustaka, dalam kajian pustaka ini akan dibahas mengenai: kajian mengenai Akad, Kajian mengenai Hibah, kajian mengenai Risywah dan penelitian terdahulu. BAB III: Metode penelitian, dalam bab ini membahas mengenai : jenis penelitian, lokasi penelitian, kehadiran peneliti, sumber data, prosedur pengumpulan data, teknik analisis data, pengecekan keabsahan temuan dan tahapan penelitian. BAB IV : Paparan data tentang hasil penelitian, dalam bab ini membahas mengenai: a) lokasi penelitian, b) paparan data, c) pembahasan. BAB V : Penutup, dalam bab yang terakhir ini, akan memuat : a) kesimpulan, b) saran dari peneliti yang diajukan kepada beberapa pihak terkait. xxii BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Akad 1. Pengertian Akad. Akad merupakan bagian dari macam-macam tasharruf, yang dimaksud dengan tasharruf adalah : َّ علَ ْي ِه ال ُ ْشر ْ ُك ُّل َما َي ع نَتَا ِب َح َ ُص ِِِ ِبأ َِرادَتِ ِه َوي َُرتِب ِ صدُ ُر ِم ُن ش َْخ ُحقُوقِ ْي ِه "segala yang keluar dari seorang manusia dengan kehendaknya dan syara’ menetapkan hukum haknya."8 Tasharruf terbagi menjadi dua macam, yaitu tasharruf yang dilakukan dengan usaha atau dengan anggota badannya yang lain dengan tanpa mengucapkan (secara isyarat) dan tasharruf yang dilakukan dengan lisan. Istilah akad memiliki kesamaan maksud dengan perjanjian persetujuan dua buah perjanjian atau lebih dan perikatan ((عهد, )(عقد9, sedangkan menurut bahasa, istilah al-aqad, memiliki arti sebagai ikatan dan tali pengikat.10 8 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 43 Ibid., hal. 45 10 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalah Sistem Transaksi Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 15 9 xxiii Sedangkan menurut istilah akad diartikan dengan pertemuan ijab dan qabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada obyeknya.11 2. Syarat dan rukun akad Syarat merupakan bagian yang penting keberadaanya dalam sebuah kegiatan. Meskipun syarat bukan bukan bagian dari dalam sebuah kegiatan dalam, akan tetapi jika syarat ini tidak terpenuhi salah satu saja, maka kegiatan yang dilakukan akan menjadi tidak sah atau batal demi hukum. Atas alasan inilah mengapa syarat menjadi suatu yang harus dilaksanakan ketika akan memulai atau setelah selesai melakukan sebuah pekerjaan. Rukun adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan atau menjadi unsur dalam sebuah kegiatan. Sehingga rukun menempatkan dirinya sebagai suatu bagian yang harus ada dalam sebuah kegiatan ketika kegiatan tersebut dilaksanakan. Sehingga dalam pelaksanaannya, ketika rukun ini tidak dilaksanakan maka secara otomatis tindakan yang dilakukan tersebut akan tidak sah atau batal demi hukum. Begitu juga dengan akad, meskipun secara kasat mata pelaksanaan akad dapat dilakukan dengan mudah, akan tetapi juga terdapat syaratsyarat yang melekat dan harus dilaksanakan sebelum atau sesudah akad tersebut selesai dilaksanakan dan rukun yang harus dilaksanakan ketika perbutan tersebut dilaksanakan. Adapun yang menjadi rukun dari akad adalah sebagai berikut: 11 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 68 xxiv a. Al-‘Aqidain atau para pihak yang melakukan akad b. Nahallul ‘aqad atau obyek akad, yaitu sesuatu yang hendak diakadkan c. Sighat ‘akad atau pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan pernyataan qobul12 d. Maudhu’ Al – Aqad atau tujuan akad13 Dari keempat rukun akad tersebut, maka masing-masing rukun diharuskan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Al-‘Aqidain atau para pihak yang melaksanakan akad. Pihak-pihak yang melakukan akad, disyaratkan sebagai berikut: 1. Mukallaf Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak14 2. Aqil (berakal) 3. Tamyis atau dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk 4. Mukhtar atau masing-masing pihak harus lepas dari paksaan atau tekanan15 b. Nahallul ‘aqad atau obyek akad dapat menerima hukumnya. Adapun syarat dari obyek akad adalah sebagai berikut: 1. Halal menurut syara’, halal secara syara’ adalah bahwa harta tersebut harus didapatkan dengan cara yang baik dan halal,16 artinya 12 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Konstektual. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 78 13 Ibid., hal. 86 14 Ibid., hal. 81 15 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 16-17 16 Didin Hafidudin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hal 20 xxv harta yang dijadikan sebagai obyek akad adalah harta yang halal, baik dari cara mendapatkannya ataupun juga dari dzat benda itu sendiri. 2. Bermanfaat (bukan merusak atau digunakan untuk merusak) c. Sighat ‘akad (ijab qobul). Ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan qobul adalah perkataan yang keluar dari pihak yang berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Adapun yang disyaratkan dalam ijab qobul adalah : 1. Kata-kata dalam ijab qobul harus jelas pengertiannya 2. Bersesuaian antara ijab dan qobul 3. Harus menggambarkan kesungguhan kemauan17 d. Maudhu’ Al-Aqad atau tujuan akad. Tujuan akad disyaratkan harus jelas dan diakui oleh syara’18. Sehingga meskipun akadnya itu diperuntukkan sesuatu yang jelas, akan tetapi melanggar syara’ maka bisa dipastikan akad tersebut tidak sah, seperti menjual anggur kepada pabrik minuman keras, menjual ayam untuk aduan dan lain-lain. Selain syarat-syarat dari setiap rukun akad tersebut diatas, syarat akad secara umum adalah sebagai berikut: 1. Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya 2. Harus sama ridlo dan ada pilihan (khiyar) 17 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah..., hal. 47 - 48 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 108 18 xxvi 3. Harus jelas dan gamblang19 4. Adanya causa yang halal20 3. Macam-Macam Akad Pada dasarnya akad terbagi menjadi tiga macam, yaitu akad munjis, akad mu’allaq dan akad nudhaf.21 Dalam perkembangannya akad masih dapat dibagi menjadi beberapa macam menurut klasifikasi tertentu, berikut penjelasan terhadap macam-macam akad tersebut: a. Akad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada saat selesainya akad. b. Akad Mu’allaq yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syaratsyarat yang telah ditentukan dalam akad. c. Akad Nudhaf yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syaratsyarat mengenai penangguhan pelaksanaannya. Selain tiga jenis akad tersebut, akad masih diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, yaitu: a. Menurut disyariatkan atau tidak 1. Akad musara’ah atau akad yang dibenarkan oleh syara’ (seperti gadai dan jual beli). 2. Akad mamnu’ah atau akad yang dilarang oleh syara’ (seperti menjual ikan dalam kolam).22 19 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 3 20 Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal.165 21 Qomarul Huda,Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 33 22 Ibid., hal. 36 xxvii b. Menurut keabsahannya 1. Akad ghoiru shohih adalah akad yang mana kedua belah pihak memiliki hak untuk membatalkan dengan cara fasakh tanpa harus menunggu kerelaan pihak lain.23 Dengan demikian bahwa akad ghoiru shohih adalah akad yang sebagian unsurnya atau sebagian rukunnya tidak terpenuhi.24 Sehingga akad ini adalah akad yang rusak dan karena rukunnya tidak terpenuhi maka akad ini adalah akad yang tidak sah atau batal demi hukum. 2. Akad shohih adalah akad yang memenuhi seluruh persyaratan yang berlaku pada setiap unsur akad.25 c. Menurut sifat bendanya 1. Akad ainiyah atau akad yang harus disempurnakan dengan penyerahan harta benda obyek akad (seperti rahn, hibah, ‘ariyah, wadhi’ah). 2. Akad ghoiri ainiyah adalah akad yang kesempurnaannya hanya didasarkan pada kesempurnaan bentuk akadnya saja dan tidak mengharuskan adanya penyerahan.26 d. Menurut cara melakukan 1. Akad yang harus dilakukan dengan upacara-upacara tertentu (seperti pernikahan). 23 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalah..., hal. 22 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah…, hal. 104 25 Ibid., hal. 103 26 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah…, hal. 108 24 xxviii 2. Akad ridho’iyah atau akad yang dilakukan tanpa upacara-upacara tertentu.27 e. Menurut berlaku tidaknya akad 1. Akad nafidz adalah akad yang bebas atau terlepas dari penghalangpenghalang akad.28 Sehingga akad nafidz ini adalah akad yang memiliki peluang sangat besar untuk dapat dilaksanakan pada waktu itu juga atau pada waktu-waktu lain yang telah disepakati. 2. Akad mauquf adalah akad-akad yang bertalian dengan persetujuanpersetujuan.29 Atau akad yang dilakukan oleh seseorang yang mampu bertindak atas kehendak hukum, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan.30 f. Menurut lazim dan dapat dibatalkan31 1. Akad lazim atau akad yang tidak dapat dibatalkan oleh salah satu pihak tanpa persetujuan pihak yang lainnya (seperti perceraian). 2. Akad ghoiru lazim atau akad yang dapat dibatalkan oleh salah satu pihak tanpa persetujuan dari pihak yang lainnya. g. Menurut tukar menukar hakin32 1. Akad mu’awadhah atau akad yang berlaku atas dasar timbal balik. 2. Akad tabarru’at atau akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan. Qomarul Huda, Fiqh Muamalah…, hal. 36 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah..., hal. 53 29 Qomarul Huda, Fiqh Muamalah…, hal. 37 30 M. Ali Hasan, Berbagai Macam…, hal. 110 31 Veitzal Rivai, Islamic Transaction Law In Business dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 10-11 32 Qomarul Huda, Fiqh Muamalah…, hal. 38 27 28 xxix h. Menurut tujuannya. 1. Akad yang bertujuan untuk memilki (tamlik), akad yang bertujuan untuk mengadakan usaha. 2. Akad yang bertujuan untuk menyerahkan kekuasaan (wakalah). i. Menurut masa pelaksanaan akad33 1. Akad fauriyah atau akad yang dalam pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama. 2. Akad istimrar atau akad yang dalam pelaksanannya membutuhkan waktu yang lama. j. Menurut ashliyah dan thabiiyahnya34 1. Akad ashliyah atau akad yang berrdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu dari yang lain (seperti jual beli). 2. Akad thabiyah adalah akad yang memerlukan adanya akad yang lain (seperti rahn, tidak akan dilakukan rahn jika tidak ada hutang). 4. Azas-Azas Akad Azas atau dasar yang menjadi sumber rujukan dalam sebuah kegiatan, yang mana azas ini menjadi sebuah dasar kebenaran yang menjadi pokok utama dalam berfikir. Seperti azas yang dikenal dalam Islam, maka semua tindakan akan didasarkan pada Al-Quran dan AlHadits. Sehingga jika dalam tindakan sehari hari terdapat perbuatan yang tidak sesuai dengan keduanya, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang melanggar hukum. Begitu pula dalam akad, azas yang dijadikan 33 34 Ibid., hal. 39 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah..., hal. 55 xxx sebagai patokan adalah hukum yang berlaku pada saat ini, baik itu hukum positif ataupun hukum agama. Sedangkan yang menjadi sumber dari azas akad menurut Islam adalah Al-Quran dan Al-Hadits. Akan tetapi tidak semua ayat dan hadits dapat dijadikan sebuah dasar dalam penetapan dasar-dasar akad. Berikut azas-azas akad dalam Islam: a. Azas Ilahiah, hal ini dirujuk pada QS Al-Hadid ayat 4, sebagai berikut: “dan dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”35 b. Azas kebebasan berkontrak Azas kebebasan berkontrak adalah azas yang memberikan kebebasan para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratan umum serta menentukan bentuk perjanjian (tertulis atau tidak tertulis).36 Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk dan isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan itu mengikat para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya.37 Tentunya azas kebebasan 35 Departemen Agama RI, Tafsir Quran Karim, terj. Mahmud Yunus, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 2000), hal. 805 36 Salim, PengantarHukum..., 158 37 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum…, hal 31 xxxi berkontrak ini tidak memberikan pembenaran kepada siapapun untuk melakukan akad yang secara syara’ dilarang, seperti melakukan akad dengan tujuan untuk mencuri, membunuh dan lain-lain. c. Azas persamaan dan kesetaraan (Al – Musawah) Azas persamaan dan kesetaraan atau azas keseimbangan adalah suatu azas yang menghendaki kedua belah pihak untuk melakukan perjanjian.38 Hal ini disebabkan karena setiap manusia tercipta berbedabeda dan memiliki kelebihan serta kekurangan masing-masing. Manusia tercipta untuk saling melengkapi. Dalam akad, pasti memuat hak dan kewajiban dari para pihak yang melakukan akad, namun hak dan kewajiban yang dibebankan tidak boleh melebihi kemampuan dari pelaku akad, hal ini tercantum dalam QS. An-Nahl ayat 71 sebagai berikut: “dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki”39 d. Azas keadilan Keadilan adalah keseimbangan antara berbagai potensi individu, baik moral ataupun materiil, antara individu dengan masyarakat dan antara masyarakat yang satu dengan lainnya yang lainnya berlandaskan pada syariah Islam.40 Salim, Pengantar Hukum…, hal. 159 Departemen Agama RI, Tafsir Quran…, hal. 219 40 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum…, hal 34 38 39 xxxii e. Azas kerelaan Setiap akad yang dilakukan, maka harus terdapat kerelaan antar pihak yang melakukan akad. Karena jika sebuah akad dilakukan atas dasar kerelaan, maka selain akad menjadi sah, juga untuk menunjukkan iktikad baik bagi kedua belah pihak, sehingga hak dan kewajiban dari masing-masing pelaku akad dapat terlaksana dengan baik. f. Azas kejujuran Sifat jujur dalam kehidupan memang menjadi salah satu hal pokok. Karena dengan kejujuran ini akan memberikan sebuah kepercayaan dan legalitas sebuah akad akan dapat dipertanggung jawabkan dengan baik. Bahkan dalam QS Al-Ahzab ayat 70, disebutkan bahwa: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar”41 g. Azas tertulis Azas tertulis adalah sebuah azas yang menanjurkan kepada siapa saja yang melakukan akad untuk mencatat semua isi dari akad-akad yang dan disepakati oleh para pihak yang melakukan akad. Hal ini dilaksanakan agar jika pada suatu saat terjadi wanprestasi atau ingkar 41 Departemen Agama RI, Tafsir Quran…, hal. 626 xxxiii janji, maka akan dapat dibuktikan dan diketahui kebenaran yang sesungguhnya. 5. Hak dan Kewajiban Subyek Akad Subyek hukum adalah mereka yang memiliki kecakapan untuk menjadi subyek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban.42 Sehingga pihak-pihak yang melakukan akad harus saling memenuhi prestasinya. Jika salah satu pihak tidak memenuhi prestasinya, maka akan berakibat timbulnya ketidakseimbangan hak dan kewajiban dan akan merugikan pihak lain. Seperti seorang pembeli yang hendak membeli air mineral pada sebuah toko, maka kewajibannya adalah memberikan sejumlah uang yang seharga dengan air mineral tersebut dan selain itu ia juga berhak untuk mendapatkan air mineral yang ia inginkan, sedangkan yang menjadi kewajiban dari penjual adalah menyerahkan air mineral yang dibeli oleh pembeli dan hak dari penjual adalah menerima sejumlah uang seharga air mineral tersebut. Hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari akad adalah sebuah keharusan yang harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berakad. Sehingga masing-masing pihak akan sama-sama diuntungkan dan tidak ada satupun yang dirugikan atau merasa ditipu. Hal ini sangat penting 42 Salim, Pengantar Hukum…, hal. 24 xxxiv adanya karena manusia yang hidup secara sosial dan harus saling melenggkapi kebutuhan satu sama lainnya. 6. Berakhirnya Akad Akad yang dilaksanakan setelah terjadi kesepakatan oleh para pihak yang melakukan akad. Akan tetapi dalam masalah pengakhiran suatu akad, tidak selamanya dilaksanakan setelah akad tersebut selesai dilaksanakan, dengan kata lain jika sebuah akad telah selesai dilaksanakan maka akad tersebut akas berakhir dengan sendirinya. Dengan demikian maka sebenarnya, berakhirnya suatu akad dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ketika sebelum akad tersebut selesai dilaksanakan dan ketika akad tersebut telah selesai dilaksanakan. Berakhirnya akad ketika sebelum akad tersebut selesai disebabkan karena adanya kesepakatan yang disebabkan oleh adanya urbun, karena tidak dilaksanakan dan karena mustahil untuk dilaksanakan. 1. Karena adanya kesepakatan (Al-iqolah) Apabila suatu akad telah memenuhi rukun dan syaratnya sesuai dengan ketentuan hukum, maka akad tersebut menjadi mengikat.43 Sehingga akad tersebut tidak dapat dibatalkan oleh para pihak yang melakukan kesepakatan secara sepihak. Dengan demikian, maka jika ada keinginan untuk membatalkan, maka harus didasari dengan kesepakatan para 43 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 341-342 xxxv pihak yang telah melakukan akad. Jika kedua pihak sepakat untuk membatalkan, maka akad tersebut akan batal dan jika tidak, maka akad tersebut harus tetap dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan. 2. Karena urbun (uang muka) Urbun terjadi karena adanya tindakan hukum para pihak yang memberikan kemungkinan kepada masing-masing untuk memutuskan akad yang bersangkutan secara sepihak dengan memikul suatu kerugian tertentu.44 Urbun sendiri merupakan suatu bentuk kompensasi dalam pembatalan akad dari pembayar urbun kepada pihak kedua (penerima urbun) dan jika pihak kedua (penerima urbun) yang membatalkan akad, maka dia berkewajiban untuk mengembalikan urbun tersebut. 3. Karena tidak dilaksanakan Secara umum, para pihak yang melakukan akad akan mandapatkan hak dan kewajiban yang mengikat pada masing-masing pihak. Akan tetapi jika kenyataanyan tidak demikian (tidak dilaksanakan) maka akad tersebut akan batal atau akan berakhir dengan sendirinya. 4. karena mustahil untuk dilaksanakan Apabila tidak dilaksanakannya perikatan oleh satu pihak disebabkan oleh alasan eksternal, maka akad batal dengan sendirinya tanpa perlu putusan hakim karena akad mustahil untuk dilaksanakan.45 Sebagai contoh dalam akad kerjasama bagi hasil, pihak shohibul mal 44 45 Ibid., hal. 347 Ibid., hal. 359 xxxvi memberikan dana untuk beternak sapi sejumlah Rp. 10.000.000,kepada pengusaha, bagi hasil yang diinginkan oleh pemberi modal adalah sebesar Rp. 15.000.000,- per bulan. Pengusaha tidak akan dapat melaksanakannya karena beternak sapi akan dapat dipanen +dua tahun sekali, sehingga menjadi mustahil jika setiap bulan harus membayar bagi hasil sebesar Rp. 15.000.000,-. B. Hibah 1. Pengertian Hibah Dalam bahasa Arab, hibah disebut dengan al-hibah, secara bahasa dari hubbub al-rib, yaitu: “perlewatan untuk melewatkan dari tangan kepada orang lain”.46 Selain itu, hibah juga diartikan sebagai pemberian, hal ini karena didalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 38 telah menceritakan tentang permohonan dari Nabi Zakaria kepada Allah, sebagai berikut: “di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa".47 46 47 Hendi Suhendi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Fiqh Muamalah, 2002), Hal. 209 Departemen Agama RI, Tafsir Quran…, hal. 42 xxxvii Hibah adalah memberikan suatu barang yang pada ghalibnya sah dijual atau piutang oleh orang ahli tabarru’ dengan tanpa ada pertukaran.48 Menurut KUHPer, hibah adalah suatu perjanjian dengan mana penghibah diwaktu hidupnya dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali menyerahkan sesuatu benda guna keperluan penerima hibah yang menerima penyerahan itu.49 Hibah yang berarti pemberian, maka pemberi harus benar-benar rela melepas harta yang telah dia berikan kepada orang lain dengan tanpa meminta atau sekedar mengharap imbalan dari orang lain dan tanpa sebab apapun. Jika seseorang memberikan sejumlah harta kepada orang lain dengan tujuan untuk memuliakannya maka hal itu disebut dengan hadiah.50 Akan tetapi jika seseorang memberi dengan tanpa mengharap imbalan apapun selain ridlo dari Allah SWT maka itu disebut dengan sedekah atau shodaqoh.51 2. Dasar Hukum Hibah a. Al-Quran 48 Syeh Zainuddin bin Muhammad al Ghozaly al Malibary, Fathul Mu’in jilid 2, terj. Aliy As’ad, Fathul Mu’in, (Yogyakarta: Menara Kudus, Tanpa Tahun), hal. 324 49 Kitab undang-undang perdata = burgerlijk wetboek : dengan tambahan undang-undang pokok agrarian dan undang-undang perkawinan, terj. R. Subekti dan R. tjitrosudibio, (Jakarta: pradnya paramita, 2006), hal. 436 50 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam), (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994), hal. 326 51 Ibid., hal. 326 xxxviii “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya” 52 “memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya”53 b. Al-Hadits ي ه :سله َم قَا َل َ ُصلهى هللا َ ،ُع ْنه َ ُاَّلل ِ ع ْن أَبِي ُه َري َْرة َ َر َ َ علَ ْي ِه َو َ ي ِِّ ِع ِن النهب َ ض ي ذ َِراعٌ أ َ ْو ِي إِلَ ه َ َولَ ْو أ ُ ْهد، ُلَ ْو د ُ ِعيتُ إِلَى ذ َِراعٍ أَ ْو ُك َراعٍ ََل َ َجبْت )ُك َراعٌ لَقَبِ ْلتُ (رواه البخري “diriwayatkan dari Abu Hurarirah r.a bahwa Nabi SAW bersabda: sekiranya saya diundang untuk makan sepotong kaki binatang, pasti saya kabulkan undangan tersebut; begitu juga kalau sepotong kaki binatang dihadiahkan kepada saya, tentu akan saya terima” (HR. Bukhori)54 3. Syarat Dan Rukun Hibah Departemen Agama RI, Tafsir Quran…, hal. 85 Ibid., hal. 21 54 Al-Imam Zainudun Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih Al-Bukhari Al-Musamma, terj. Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hal. 432 52 53 xxxix Para imam madzhab sepakat, hibah menjadi sah hukumnya jika dilakukan dengan tiga perkara55: a. Shighat (ijab Qobul) b. Qabdhu (serah terima barang yang dihibahkan) c. Ada yang memberi dan diberi56 Dari ketiga rukun hibah tersebut, masing-masing rukun memiliki syarat-syarat sebagai berikut: a. Shighat (Ijab Qobul), disyaratkan bahwa: 1. Kata-kata dalam ijab qobul harus jelas pengertiannya 2. Harus bersesuaian antara ijab dan qobul 3. Harus menggambarkan kesungguhan kemauan57 b. Qabdhu (serah terima barang yang dihibahkan), disyaratkan bahwa: 1. Benda tersebut benar-benar ada 2. Benda tersebut mempunyai nilai 3. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya 4. Benda tersebut dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima hibah c. Ada yang memberi dan diberi, untuk pemberi hibah maka disyaratkan bahwa58: a. Barang yang dihibahkan adalah milik si pemberi hibah Syaikh al – Alamah Muhammad, Rahmah Al-Ummah fi Ikhtilafi Al-A’immah, terj. ‘Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi Press, 2004), hal. 309 56 Sulaiman Rasyid, Fiqh Isla…, hal. 327 57 Hendi Suhendi, Fiqih..., hal. 47-48 58 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 115-116 55 xl b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan c. Dewasa dan tidak kurang akal d. Tidak ada unsur paksaan e. Ada ketika hibah dilakukan 4. Macam – Macam Hibah a. Hibah ‘Umra Hibah ‘Umra merupakan salah satu warisan budaya orang-orang Arab Jahiliyah. Disebut demikian karena orang Jahiliyah jika memberikan sesuatu kepada orang lain, maka akan berkata kepadanya saya berikan ;umra ini kepadamu, artinya saya mubahkan untukmu selama umurmu dan hidupmu.59 Hal ini disamakan dengan ariyah (pinjam meminjam).60 Sehingga Qabdhu (obyek hibah) hanya berlaklu jika si penerima hibah masih hidup dan harus dikembalikan oleh ahli waris jika si penerima telah meninggal. b. Hibah Ruqba Hibah ruqba adalah hibah yang akan memiliki kejelasan hukum jika pemberi atau penerima hibah telah meninggal salah satunya. Misalnya seorang yang memberikan hibah berkata, “jika engkau mati sebelumku, pemberian itu tetap kembalikan kepadaku.”61 5. Etika Menolak atau Menerima Pemberian 59 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih..., hal. 459 Miftah Noor Rosyid, Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik Tentang Kebolehan Hibah ‘Umra, (Semarang, Skripsi Tidak Diterbitkan, 2010), Hal. 20 61 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 215 60 xli Kebaikan maksud orang untuk memberikan sejumlah harta kepada orang lain harus diapresiaisi positif, karena sudah berniat baik kepada orang lain dan juga menjaga keharmonisan hidup sesama manusia. Selain itu, dia juga telah melaksanakan transfer harta kepada mereka yang membutuhkan, dan juga telah melakukan syiar Islam secara tidak langsung, dalam sebuah Haditsnya Rasulullah SAW bersabda: ْ َ قَال،ع ْن َها سو ُل ه ي ه علَ ْي ِه َ ِعائ ُ َكانَ َر:ت َ ُصلهى هللا َ ُاَّلل ِ شةَ َر َ ع ْن َ َ ِاَّلل َ ض )علَ ْي َها (رواه البخري ُ َويُ ِث،َسله َم يَ ْقبَ ُل ْال َه ِديهة َ يب َ َو Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata: "Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima pemberiah hadiah dan membalasnya (HR Bukhari)".62 Umat Islam dilarang menyakiti baik secara fisik ataupun psikis orang lain baik kepada sesama Islam ataupun dengan non Muslim. Hal ini dikarenakan umat manusia tercipta untuk Saling tolong menolong dan bukan untuk salaing menyakiti. Firman Allah: “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”63 62 63 Al-Imam Zainudun Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih…, hal. 536 Departemen Agama RI, Tafsir Quran…, hal. 85 xlii Meskipun pemberian orang lain tidak disukai oleh penerima, akan tetapi didasari dengan rasa ikhlas dari pemberi, secara umum penerima diharuskan untuk menerimanya. Karena dengan menerima harta pemberian dari orang lain, maka itu sudah membuat bahagia orang lain selaku pemberi dan praktis itu juga sudah memberikan sebuah rasa saling menghormati antar sesama manusia. Dengan niat baik dan keikhlasan yang tinggi dari pemberi hibah dan dengan harapan akan diterima, akan tetapi kenyataan dan keinginan tidaklah selamanya memiliki kesamaan. Meski demikian, hal itu adalah sebuah kewajaran dalam hidup bermasyarakat. Pemberi hibah hendaknya tidak merasa kecewa atau merasa direndahkan, karena setiap manusia memiliki keinginan yang berbeda-beda dan karakter yang berbeda-beda pula. Selain itu, penerima yang menolak hibah, maka sebaiknya juga melakukan penolakan dengan cara yang halus dan sopan, karena dikhawatirkan jika ditolak dengan cara yang kasar akan menyinggung perasaan dari pemberi hibah. Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan kepada umat manusia mengenai tata cara untuk menolak pemberian dari orang lain dengan cara yang halus dan sopan, adapun cara-cara menolak pemberian dari orang lain menurut Rasulullah SAW adalah sebagai berikut: a. Hindari menolak pemberian atau permintaan dari orang lain Hal ini didasarkan pada hadits Nabi yang artinya: xliii ُّسلَّ َم ََي َُرد َ ك:ع ْنهُ قَا َل َ ُصلَّى هللا َ ُع ْن اَنَس َر ِض َي اَهلل َ َ َان النَّبِ ُّي َ علَ ْي ِه َو )يب (رواه البخاري َ الط Diriwayatkan dari Annas r.a, dia berkata Nabi SAW bersabda: tidak pernah menolak hadiah berupa wewangian. (H.R. Al-Bukhori)64 b. Niat baik dalam menolak Jika memang terpaksa menolak orang lain, maka haruslah dilakukan dengan niat dan cara yang baik. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi berikut: َّ عمْ ُر ْب ِن ْال َخ ْ ع ْن ا َ ِِمْ ِي ُع ْنه َ ُب َرض َى ا َلل َ رال ُم ْؤ ِمنِ ْي َن ا َ ِب ْي َح ْفص َ ِ طا ُ ُس ِمع اِن َماا ََْ ْع َما ُل:سوْ ََهللِ صلى هللا عليه وسلم يقول ُ ت َر َ :قَا َل )ت َان َما ِل ُك ِل اْمْ رئ َما َن َوى (رواه البخري ِ ِبالنِيا “Dari Amirul Mu’minin yakni Abu Hafsh Umar bin Al Khotob RA. Dia berkata: aku telah mendengar Rosulullah SAW bersabda: sesungguhnya sahnya amalan-amalan itu hanya dengan niat dan sesungguhnya bagi setiap seorang apa yang menjadi niatnya .” )H.R. Bukhori)65 c. Menolak dengan sikap dan perkataan yang lembut Seorang Muslim tidak boleh berlaku dan bersikap kasar terhadap saudaranya, tetapi harus bersikap lemah lembut, penuh cinta dan kasih yang tulus.66 d. Niat baik dalam menolak Jika memang terpaksa menolak orang lain, maka haruslah dilakukan dengan niat dan cara yang baik. e. Menyampaikan alasan dalam menolak Al-Imam Zainudun Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih…, hal. 536 Imam Nawawi, Hadits Arba’in Nawawi, Terj. Abdul Murhaimin As’ad, (Surabaya: ArRohmah, TT), Hal. 13-14 66 Herryanto Al-Fandi, Etika..., Hal. 163 64 65 xliv Jika memang harus menolak pemberian dari orang lain, maka harus disertai dengan alasan yang baik dan masuk akal. Karena yang sering menimbulkan perpecahan dalam umat Islam karena ditolak pemberian adalah jika penolakan dilakukan dengan cara yang kasar, bernada melecehkan dan tanpa alasan yang masuk akal.67 f. Penolakan tidaklah bertentangan dengan syariat Ketika ada permintaan atau pemberian yang mana itu melanggar syariat Islam maka harus ditolak, hal ini didasarkan pada firman Allah QS. Al-‘Ashar ayat 2-3, sebagai berikut: “(2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian (3) kecuali orangorang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.68 g. Memperhatikan tingkat ilmu lawan bicara Dengan memperhatikan lawan bicara, maka penolakan akan dapat dilaksanakan dengan mudah, akan tetapi jika tidak diperhatikan maka dikhawatirkan akan menimbulkan kesalah-pahaman terhadap pemberi tersebut. Selain itu, dengan tidak memperhatikan lawan bicara juga 67 68 Ibid…, hal. 164 Departemen Agama RI, Tafsir Quran…, hal. 482 xlv akan berakibat pada pemberi hibah akan memberi label buruk terhadap pihak yang menolaknya. h. Menghindari perdebatan Islam telah melarang umatnya untuk berdebat, terlebih jika dilakukan untuk mempertahankan pendapat yang tidak benar. Hal ini bukan tanpa alasan, karena Allah telah berfirman dalam QS. An-Nisa’ ayat 107): “dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa,”69 Akan tetapi jika perdebatan untuk membela yang benar tidak dapat terelakkan, maka harus dilakukan dengan cara yang halus, baik dan santun, hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 125) sebagai berikut: 69 Ibid…, hal. 76 xlvi "serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk".70 6. Hukum Meminta Kembali Harta Yang Dihibahkan secara umum, harta yang telah diberikan masih tetap milik pemberi, jika calon penerima hibah belum menerima harta tersebut meskipun calon penerima telah meninggal sebelum menerima harta tersebut. Jika calon penerima meninggal sebelum menerima, maka pemberi berhak untuk menarik kembali harta yang telah dihibahkan, meskipun disisi lain ahli waris dari calon penerima tersebut juga boleh menerimanya. Sehingga jika calon penerima sudah menerima harta hibah, maka hukum meminta kembali harta tersebut adalah haram. Dalam sabdanya Rasulullah SAW menyatakan bahwa: علَ ْي ِه َ ِصلَى هللا َ ُعبَّاس َرض َى اَلل َ ع َْن اِب ِْن َ ِ ع َْن َرسُوْ ِل هللا,ع ْن ُه َما ب يَ ِقي ُء ث ُ َّم َيعُوْ دُفِ ْي قَ ْيئِ ِه (رواه َ َو َ ا َ ْلعَائِدُفِي ِهبَ ِت ِه ك َْالك َْل:سلَّ َم قَا َل )مسلم “dari Ibnu ‘Abbas R.A, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: tak ada perumpamaan yang palin jelek menurut kami kecuali perumpamaan orang yang meminta kembali benda-benda yang telah diberikannya seperti anjing yang muntah kemudian memakan kembali muntahannya itu”. (HR. Muslim)71 Ibid…, hal. 224 Imam Al-Mundziri, Mukhtshar Shahih Muslim, terj.Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 1994), hal. 542 70 71 xlvii Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum menarik kembali harta yang telah dihibahkan adalah haram, selain itu juga memberikan efek negatif kepada penerima hibah, karena dia akan merasa dipermainkan akan menimbulkan permusuhan didalam anggota mesyarakat. C. RISYWAH 1. Pengertian Risywah Istilah suap dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti uang sogok72, sedang dalam bahasa Arab disebut dengan rasywah” atau “rasya”, secara bahasa bermakna “memasang tali, ngemong, mengambil hati.73 Sedangkan dalam istilah, risywah diartikan dengan memberi sesuatu kepada pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.74 Sedangkan uang suap adalah uang yang diberikan kepada pengusaha atau pegawai supaya pengusaha atau pegawai tersebut menjatuhkan hukum yang menguntungkan penyuap atau supaya didahulukan urusannya atau ditunda karena ada suatu kepentingan dan seterusnya.75 Dalam kitab Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah yang dimaksud risywah (suap/sogok) adalah pemberian sesuatu dengan tujuan membatalkan suatu yang haq atau untuk membenarkan suatu yang batil. Dalam kitab AlMisbah Al-Munir karya Al-Fayyumi rahimahullah mengatakan bahwa 72 http://www.referensimakalah.com/2013/06/Suap-Risywah-menurut-Hukum-Islam-danHukum-Positif.html, diakses 20 maret 2014, pkl. 21.30 WIB 73 Abdullah Bin Abdul Muhsin, Jariimatur-Rasyati Fisy-Syarii’atil Islamiyyati, terj. Muchotob Hamzah dan Subakir Saerozi, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 9 74 Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Keuangan, (Jakarta: Jajawali Pers, 2009), Hal. 45 75 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu Surabaya, 2003), hal. 462 xlviii risywah (suap/sogok) secara terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau selainnya untuk memenangkan perkaranya memenuhi apa yang ia inginkan. Sedangkan dalam kitab AnNihayah Fi Gharibil Hadits, Ibnu Al-Atsir rahimahullah mengatakan bahwa risywah (suap/sogok) ialah sesuatu yang bisa mengantarkan seseorang pada keinginannya dengan cara yang dibuat-buat (tidak semestinya).76 Dan Menurut Kitab Lisanul ‘Arab dan Mu’jamul Washith risywah adalah “pemberian yang diberikan kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan tertentu”.77 2. Unsur-Unsur Risywah Unsur atau dalam istilah yang lain disebut dengan rukun, adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari sebuah tindakan. Dikarenakan unsur merupakan suatu tindakan yang tidak bisa lepas dan memberikan suatu kepastian hukum tertentu. Secara garis besar, unsur dalam suap memiliki kesamaan dengan akad hibah, karena suap adalah hibah yang didasarkan atas tujuan untuk suatu tindakkan yang dilarang oleh syari’, seperti membatalkan yang hak atau untuk membenarkan suatu yang batil. Selain itu, memakan harta risywah diidentikkan dengan memakan harta yang diharamkan Allah.78 Adapun yang menjadi unsur-unsur dalam risywah adalah: 76 http://abufawaz.wordpress.com/2012/10/05/suap-menyuap-yang-halal-dan-yang-haramdalam-agama-islam/, diakses pada 20 Maret 2014, pkl. 21.30 WIB 77 Buletin Jurdil edisi Larangan Politik UangMoney Politik FA, 02 Februari 2012 78 http://jabal-uhud.com/index.php?option=com_content&view=article&id=167:suap-dalam - perspektif-islam&catid=28:khutbah-jumat&Itemid=48, diakses pada 20 Maret 2014, pkl 21.00 WIB xlix a. Penerima suap (Al-murtasyi) yaitu orang yang menerima sesuatu dari orang lain berupa harta atau uang maupun jasa supaya mereka melaksanakan permintaan penyuap, padahal tidak dibenarkan oleh syara’, baik berupa perbuatan atau justru tidak berbuat apa-apa.79 Pada umumnya orang yang menerima suap adalah para pejabat yang memiliki keterkaitan terhadap masalah yang dihadapi oleh pemberi suap. Akan tetapi juga tidak menutup kemungkinan penerima suap adalah bukan para pejabat, seperti teman atau mungkin kepada orang yang berstatus dibawahnya. Seperti si A menyuap temannya sendiri yang bernama si B untuk tidak memberitahukan kepada orang tuanya si A kalau si A telah bolos sekolah, atau bisa juga seorang yang memiliki keinginan tertentu dengan memberikan sejumlah uang kepada masyarakat biasa agar masyarakat tersebut bersedia untuk memilihnya dalam pemilu yang akan datang. b. Pemberi suap (Al-rasyi) yaitu orang yang menyerahkan harta atau uang atau jasa untuk mencapai tujuannya.80 Pemberi suap ini pada umumnya adalah mereka yang memiliki kepentingan terhadap penerima suap. Kepentingan-kepentingan tersebut bisa karena masalah hukum, untuk pemenangan pemilu dan lain-lain. Pemberi suap ini melakukan suap dikarenakan dia ingin menjadi pihak yang menang, sehingga cenderung melakukan segala cara untuk dapat menang. 79 80 Abdullah Bin Abdul Muhsin, Jariimatur-Rasyati..., hal. 11 Ibid., hal 11 l c. Suapan atau harta yang diberikan.81 Harta yang dijadikan sebagai obyek suap beraneka ragam, mulai dari uang, mobil, rumah, motor dan lainlain. 3. Hukum Risywah Dalam hukum positif ataupun hukum Islam, secara umum risywah adalah suatu yang dilarang (haram). Dalam hukum positif, risywah dilarang karena akan merugikan orang lain, misalnya dalam perkara di pengadilan, salah satu pihak menyuap hakim dengan sejumlah uang yang cukup besar untuk dimenangkan kasusnya, maka ini menjadi haram karena hakim akan memberikan putusan yang tidak berdasar pada berita acara persidangan (BAP) yang ada dan akan menguntungkan pihak yang melakukan suap. Selain itu, tindakan risywah juga merupakan dari tindak pidana korupsi, meskipun secara umum korupsi tidak hanya sebatas pada masalah risywah saja, melainkan juga berkenaan dengan penyalahgunaan wewenang (pengkhianatan) secara umum, termasuk di dalamnya penyalahgunaan wewenang yang ada unsur suapnya atau tidak ada unsur suapnya.82 Dalam Islam, tentunya hukum risywah tidak lepas dari dasar hukumnya, yaitu Al-Quran dan Al-Hadits. Akan tetapi secara umum, hukum risywah menurut Islam adalah haram, bahkan tidak hanya hartanya saja, akan tetapi juga perantara, pemberi risywah, penerima risywah juga 81 Ibid Masdar F. Mas’udi, et. all., Fiqh Korupsi Amaman VS Kekuasaan, (Mataram: Solidaritas Masyarakat Transparansi NTB, 2003), hal. 277 82 li akan dilaknat oleh Rasulullah SAW, berikut dalil-dalil yang menyatakan bahwa risywah adalah haram: a. Al-quran “dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui” (Al-baqoroh, 188)83 “mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram (Seperti uang sogokan dan sebagainya)” (Al-maidah, 42)84 “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Al-maidah, 44)85 83 84 Departemen Agama RI, Tafsir Quran…, hal. 23 Ibid., hal. 91 lii b. Al-hadits َ َع ْن ث َوْ ب ش َي َ ُصلَّى هللا َ َو ُ لَعَ َن َر: ان قَا َل َّ سلَّ َم َ ِسوْ ُل هللا ِ الرا َ علَ ْي ِه َو )ش (رواه أحمد و الحاكم ِ َ َو ْال ُمرْ ت َّ ش َي َو َ ِالرائ “Dari tsauban berkata : Rasulullah saw melaknat orang yang menyuap, yang disuap, dan perantara suapan, yakni orang yang memberikan jalan atas keduanya”, (HR. Ahmad) 86 4. Macam- Macam Risywah Secara umum, jenis risywah dapat diklasifikasikan menurut niat pemberi riywah. Menurut niatnya, risywah terbagi tiga, yaitu: a. Risywah untuk membatilkan yang haq atau membenarkan yang batil Risywah (suap) yang digunakan untuk membatilkan yang haq atau membenarkan yang batil adalah suatu tindakan yang sangat merugikan orang lain dan dosa. Karena haq itu kekal dan batil itu sirna.87 Maksutnya adalah bahwa sesuatu yang haq (benar) adalah suatu kebenaran yang hakiki, sedangkan sesuatu yang batil adalah suatu yang dosa. Praktik suap ini haram hukumnya, karena mengalahkan pihak yang mestinya menang dan memenangkan pihak yang mestinya kalah.88 b. Risywah untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah kezaliman Banyak alasan mengapa seseorang harus melakukan risywah, salah satunya adalah untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah kebatilan serta kezaliman. Kalau terpaksa harus melalui jalan menyuap 85 Ibid. Yusuf Qardhawi, Halal dan…, hal. 463 87 Abdullah Bin Abdul Muhsin, Jariimatur-Rasyati..., hal. 11 88 Muhammad Nurul Arifin, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fiqih Jinayah, (TK: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), hal. 119 86 liii untuk maksud diatas, dosanya adalah untuk yang menerima suap.89 Para Ulama’ telah bersepakat mengenai hukum risywah yang sedemikian ini, karena dilakukan untuk kebaikan dan untuk memperjuangkan hak yang mestinya diterima oleh pemberi risywah. Hal ini didasarkan pada kisah Ibnu Mas’ud, ketika ia ada di Habasyah, tiba-tiba ia dihadang oleh orang yang tidak dikenal, maka ia memberinya uang dua dinar, yang kemudian, ia diperbolehkan melanjutkan perjalanan.90 c. Risywah untuk memperoleh jabatan atau pekerjaan Jabatan atau pekerjaan yang seharusnya diperoleh berdasarkan atas keahlian diri, akan tetapi dalam praktiknya masih terdapat beberapa orang yang mendapatkannya dengan cara-cara yang salah. Salah satunya dengan memberi suap kepada pihak terkait atau kepada pejabat tertentu dengan tujuan untuk dinaikkan jabatannya atau untuk mendapatkan pekerjaan. Misalnya si A ingin menjadi guru di sekolah XXX dengan cara memberi uang kepada kepala sekolah sejumlah Rp. 10.000.000,-. 5. Hal-Hal yang Identik dengan Risywah Meskipun risywah adalah perbuatan yang dilarang oleh agama, akan tetapi ada banyak cara yang dilakukan oleh seseorang guna menyamarkan risywah tersebut. Berikut perbuatan-perbuatan yang identik dengan risywah: a. Hadiah Ali Hasan, Manajemen Bisnis Syari’ah Kaya di Dunia Terhormat di Akhirat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 230 90 Abdullah Bin Abdul Muhsin, Jariimatur-Rasyati..., hal. 18 89 liv Hadiah adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan suatu bantuan dari orang yang diberi. 91 Dari pengertian tersebut jelas bahwa hadiah adalah perbuatan yang terbebas dari unsur-unsur risywah, akan tetapi pada saat-saat tertentu hadiah dapat dikategorikan sebagai risywah jika yang menerima adalah pejabat atau orang yang memiliki kekuasaan. Karena dikhawatirkan digunakan untuk memanfaatkan jabatannya atau kekuasaannya, karena hadiah yang diberikan kepada pejabat atau penguasa lebih sering diberikan oleh mereka yang memiliki kepentingan dengan penerima hadiah dikarenakan kedudukannya. Lebih lanjut, Ibnu Mas’ud berkata: “termasuk harta haram jika kamu mengusahakan suatu kebutuhan untuk orang lain dan kamu berhasil memenuhinya lalu memberimu hadiah dan kamu menerimanya”.92 Lebih lanjut, Ali RA berkata: “akan datang suatu masa yang menghalalkan yang haram dengan jalan hadiah”93 Dalam penyelenggaraan Negara, banyak praktik-praktik yang berhubungan dengan hadiah namun sebenarnya adalah risywah, misalnya: Memberikan uang tambahan diluar biaya resmi untuk mendapatkan kelancaran pelayanan, Memberikan sesuatu agar dimenangkan tendernya, Memberikan sesuatu agar diringankan kewajibannya,94 dan lain-lain. 91 Ibid., hal. 25 Ibid., hal. 36 93 Ibid., hal. 35 94 Masdar F. Mas’udi, et. all., Fiqh Korupsi…, hal 281 92 lv D. Penelitian Terdahulu. Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan judul skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Miftah Noor Rosyid NIM. 062111051, Mahasiswa dari Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, pada tahun 2010, dengan judul skripsi “Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik Tentang Kebolehan Hibah ‘Umra”, jenis penelitian kualitatif, dengan menggunakan metode library research.95 Dalam skripsi ini, Miftah Noor Rosyid menjelaskan mengenai hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: a. Diperbolehkannya melakukan hibah Umra’ dikarenakan kebutuhan yang mendesak. b. Harus ada seorang saksi ketika hibah tersebut dtunaikan. c. Dan peruntukan harta hibah tersebut ketika akad harus jelas. Persamaan penelitian dalam skripsi ini dengan yang dilakukan oleh saudara Miftah Noor Rosyid adalah sama-sama meneliti mengenai hibah, sedang perbedaannya adalah jika saudara Rosyid hanya meneliti pada hibah umra’ menurut Imam Malik saja, maka saya meneliti mengenai perbandingan hibah dan risywah menurut pemuka agama Islam yang ada di kec. Rejotangan, Kabupaten Tulungagung 2. Prastowo Hendarso, NIM. B4B 004 161, Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang, pada tahun 95 http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=21064 , diakses 31 maret 2014, pkl 10.30WIB lvi 2006, dengan judul “Studi Perbandingan Tentang Hibah Dengan Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, jenis penelitian kepustakaan.96 Dalam skripsi ini, Prastowo Hendarso menjelaskan mengenai hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: a. Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan. b. Dan sebagian besar prinsip-prinsip kewarisan dapat diambil dari sumber hukum Islam. Persamaan penelitian saya dengan yang dilakukan oleh saudara Prastowo Hendarso adalah sama-sama meneliti mengenai hibah, sedang perbedaannya adalah jika saudara Prastowo Hendarso meneliti hubungan antara hibah dan wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka dalam penelitian ini, saya meneliti mengenai perbandingan hibah dan risywah menurut pemuka agama Islam yang ada di kec. Rejotangan, Kabupaten Tulungagung. 3. Pamudji Adnan Fuadi, NIM 07220612, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Ponoroga, Pada Tahun 2007. Dengan judul skripsi: “Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Politik uang Pada Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa di Desa Serangan Kecamatan Sukorejo 96 http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CCUQ FjAA&url=http%3A%2F%2Feprints.undip.ac.id%2F17645%2F1%2FPRASTOWO_HENDARSA NTO.pdf&ei=0uQ4U7HkKISFrAeXsIGgAQ&usg=AFQjCNFWosMbOOyMrs2tWTyVfXuQGtmstA &bvm=bv.63808443,d.bmk, diakses 31 maret 2014/ pkl 10.30 WIB lvii Kabupaten Ponorogo”. Dengan metode penelitian deskriptif kualitatif.97 Dalam skripsi ini, Pamudji Adnan Fuadi menjelaskan mengenai hasil penelitiannya adalah bentuk politik uang yang dilakukan adalah dengan sikap baik calon kepala desa kepada masyarakat seperti membelikan pakaian seragam, ditraktir dan dibagikannya uang transport kepada yang b ersedia datang ke TPS. Persamaan penelitian saya dengan yang dilakukan oleh saudara Adnan Fuadi adalah sama-sama meneliti mengenai money politik atau suap (risywah) yang dilakukan para calon kepala desa, sedang perbedaannya adalah jika saudara Adnan Fuadi hanya meneliti mengenai suap dalam kaitannya dengan politik, sedangkan dalam penelitian ini, saya meneliti mengenai perbandingan hibah dan risywah menurut pemuka agama Islam yang ada di kec. Rejotangan, Kabupaten Tulungagung. 97 http://lib.umpo.ac.id/gdl/files/disk1/4/jkptumpo-gdl-pamujiadna-167-1-abstrak-i.pdf diakses 31 maret 2014/ pkl 10.30 WIB lviii , BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati.98 Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan “apa adanya” tentang suatu variable, gejala atau keadaan.99 Dengan demikian bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang didasarkan pada keadaan yang nyata dilapangan mengenai suatu obyek tertentu. Sehingga penelitian deskriptif secara garis besar merupakan kegiatan penelitian yang hendak membuat gambaran atau mencoba melihat suatu peristiwa atau gejala secara sistematis, factual dengan penyusunan yang akurat.100 Selain itu, penelitian deskriptif juga memiliki kelebihan yaitu: penelitian deskriptif ini sangat logis dalam kaitanya dengan penyebaran sebuah informasi baru. Terkait dengan metode penelitian tersebut, maka penulis menggunakan metode pendekatan penelitian deskriptif komparatif. Penelitian deskriptif komparatif adalah penelitian yang dilakukan dengan membandingkan dua 98 Lexy J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakaerya. 2006) hal. 4 99 Suharsismi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) hal. 234 100 Supardi, Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. (Yogyakarta: UII Press, 2005) hal. 28 lix variabel setelah kedua variabel itu memperoleh perlakuan. Perlakuan yang diberikan disini tidak pada saat penelitian berlangsung. 101 Sehingga tugas dari peneliti disini adalah untuk mendeskripsikan perbedaan dan persamaan variable akibat setelah dipengaruhi variable sebab. Variable sebab dalam judul penelitian ini adalah dari banyaknya informasi dari berbagai media mengenai banyaknya para pejabat yang melakukan dan atau menerima sejumlah harta risywah (suap). Risywah yang diberikan dengan mengatasnamakan sebagai hibah, menjadikan sebuah dilema, yang mana seakan menjadikan penutup mata bagi penerimanya. Risywah yang haram hukumnya dan hibah yang halal, membuat para penerima tidak menyadari kalau sebenarnya dia telah menerima suap. Selain itu, harta yang telah dijadikan untuk menyuap dan penyuap membatalkan keinginannya, maka apakah harta suap tersebut tetap menjadi haram ataukah berubah menjadi halal?. Penelitian kualitatif, lebih menekankan pada obserevasi, dokumentasi, atau melakukan partisipasi (meneliti obyek menyeluruh dan terus menerus).102 Dalam penelitian kualitatif, peneliti menjadi instrument utama dalam mengumpulkan data yang dapat berhubungan langsung dengan instrument atau obyek penelitian.103 Sehingga peneliti harus langsung terjun kelapangan dan bergabung dengan masyarakat tertentu sebagai obyek penelitian. 101 Subana, Dasar- Dasar Penelitian Ilmiah. (Bandung: Pustaka Setia, 2005) hal. 93 Ibid, hal. 25 103 Sugiyono, Memahami Penelitian. IBandung: CV Alfabeta, 2005) hal. 2 102 lx B. Lokasi Penelitian. Lokasi penelitian adalah tempat dimana peneliti akan memfokuskan daerah obyek dari penelitian yang akan dilaksanakan. Lokasi dari penelitian ini adalah di desa-desa yang berada di wilayah kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung, adapun desa-desa tersebut adalah Desa Buntaran, Desa Aryojeding, Desa Rejotangan, Desa Sumberagung, Desa Tanen, Desa Banjarejo, Desa Tegalrejo, Desa Tenggur, Desa Tenggong, Desa Tugu, Desa Panjer rejo, Desa, Karangsari, Desa Sukorejo, Desa Pakisrejo, Desa Blimbing dan Desa Jatidowo. C. Kehadiran Peneliti Sesuai dengan jenis penelitian yang peneliti lakukan, untuk memperoleh data sebanyak dan sevalid mungkin serta mendalam, penelitian kualitatif tidak dapat dipisahkan dari pengamatan dan peran serta masyarakat, namun peranan penelitilah yang menentukan keseluruhan skenarionya.104 Sehingga dalam penelitian kualitatif, kehadiran seorang peneliti mutlak keberadaannya. D. Sumber Data Sumber data adalah subyek darimana data itu diperoleh.105 Sumber data meliputi data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diambil 104 Lexy J. Moeloeng, MetodologiPenelitian Kulitatif. hal. 163 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. (Jakarta: Rineka Cipta, 2006) hal. 129 105 lxi dari sumber pertama yang ada dilapangan.106 Pada sumber data primer ini, peneliti dapat dengan melakukan pengamatan, wawancara, folklore (budaya turun tremurun) dan lain-lain, yang diperoleh dari para pemuka agama Islam di wilayah Kec. Rejotangan, Kabupaten Tulungagung. Sumber data yang kedua adalah sumber data sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh dari buku-buku dan situs- situs internet yang berkaitan dengan penelitian ini. E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Observasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan, dengan disertai pencatatan-pencatatan terhadap keadaan atau perilaku obyek sasaran.107 2. Wawancara, yaitu proses percakapan dengan maksud untuk mengonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi dan sebagainya yang dilakukan dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang diwawancarai.108 Dengan metode wawancara ini diharapkan penulis akan menemukan apa yang terdapat di dalam pikiran orang lain. Kita melakukannya untuk menemukan sesuatu yang tidak mungkin kita peroleh dari pengamatan secara langsung.109 106 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial: Format 2 Kualitatif. (Surabaya: Airlangga University Press, 2005) hal. 128 107 Abdurrahman Fatoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006) hal. 104-105 108 Burhan Mungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008) hal. 155 109 Ahmad Tanzeh dan Suyetno, Dasar-Dasar Penelitian, (Surabaya: eLKAF, 2006) hal. 143 lxii Dalam metode ini, peneliti menggunakan pedoman wawancara, sehingga ketika informan belum memberikan jawaban yang sesuai dengan kebutuhan dari peneliti, maka peneliti akan mengajukan pertanyaan tambahan sehingga data yang diperlukan peneliti akan dapat seluruhnya terpenuhi. Wawancara sendiri merupakan metode aktif yang digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan data yang dibutuhkan secara langsung dari nara sumber. 3. Dokumentasi, yaitu mencari mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah dan lain sebagainya.110 Dalam hal ini, peneliti mengumpulkan data dari narasumber yang terdiri dari para pemuka agama Islam yang berada di Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung. F. Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan teknik analisa kualitatif. Analisis kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mencari pola dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. 111 Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah: 5. Membaca atau mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan gagasan yang ada dalam kata. 110 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998) hal. 231 111 Lexy J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif,… hal. 248 lxiii 6. Mempelajari kata-kata kunci, berupaya menemukan tema-tema yang berasal dari kata. 7. Menuliskan “model” yang ditentukan. 8. Koding yang telah dilakukan.112 G. Pengecekan Keabsahan Temuan Untuk memperoleh data yang nilai keabsahannya mempunyai validitas, maka peneliti melakukan usaha-usaha sebagai berikut: Perpanjangan kehadiran: Peneliti memperpanjang masa observasi dan wawancara untuk memperoleh data yang valid dari lokasi penelitian. Disini peneliti tidak hanya sekali atau dua kali, akan tetapi peneliti sesering mungkin datang untuk mendapatkan informasi dari para informan sampai jawaban yang keluar seperti jawaban yang pertama kali. Triangulasi: adalah teknik pemeriksaan kebasahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain, diluar itu untuk keperluan pengecekan atau suatu pembanding terhadap data itu.113 Peneliti berusaha mengkaji data dengan mengkaji beberapa sumber dan metode serta peneliti mengadakan pengecekan dengan teori yang ditemukan para ahli. Maksudnya adalah peneliti mengadakan pengecekan hasil penelitian dengan para ahli melalui buku-buku. Pembahasan teman sejawat : peneliti berusaha mengkaji keabsahan data dengan mengadakan diskusi dengan beberapa teman terutama dengan teman peneliti yang membantu pengumpulan data di lapangan. 112 113 Ibid, … hal. 248 Lexy J. Moeleong. Metode Penelitan …, hal 330 lxiv H. Tahap-tahap Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan 3 (tiga) tahap penelitian, yaitu: 1. Tahap Perencanaan Dalam tahap ini, ditandai dengan adanya proposal penelitian dan instrument penelitian.114 2. Pelaksanaan Peneliti akan meneliti langsung di lokasi penelitian, dengan menghadapi subyek dan obyek yang akan diteliti. Dalam tahap ini, terdiri dari observasi, wawancara dan analisis data. 3. Penulisan Laporan Tahap ini merupakan tahapan yang terakhir dari penelitian. Tahap ini dilakukan dalam bentuk laporan penulisan skripsi. 114 M. Subana, Dasar-Dasar, … hal. 47 lxv BAB IV PAPARAN HASIL PENELITIAN A. Paparan Data Kecamatan Rejotangan merupakan salah satu kecamatan yang berada diwilayah pemerintahan Kabupaten Tulungagung. Terletak di ujung timur Tulungagung yang berbatasan langsung dengan kabupaten Blitar di sebelah timur, berbatasan dengan sungai Brantas di sebelah utara, berbatasan dengan kecamatan Ngunut di sebelah barat dan berbatasan dengan kecamatan Pucanglaban dan Kabupaten Blitar di sebelah selatan. Wilayah Kecamatan Rejotangan terdiri dai enam belas desa, yaitu Desa Buntaran, Desa Aryojeding, Desa Rejotangan, Desa Sumberagung, Desa Tanen, Desa Banjarejo, Desa Tegalrejo, Desa Tenggur, Desa Tenggong, Desa Tugu, Desa Panjer Rejo, Desa, Karangsari, Desa Sukorejo, Desa Pakisrejo, Desa Blimbing dan Desa Jatidowo. Akan tetapi tidak semua desa tersebut memiliki seorang pemuka agama Islam, sehingga pelaksanaan wawancara tidak sepenuhnya dapat dilakukan di semua desa. Sehingga wawancara dapat dilaksanakan di Desa Sukorejo, Desa Rejotangan, Desa Panjer Rejo, dan di Desa Karangsari. B. Temuan Penelitian 1. Perbedaan Hibah dan Risywah menurut pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung lxvi Hibah dan risywah merupakan dua akad yang memiliki kesamaan dan sekaligus juga memiliki perbedaan. Persamaan diantara keduanya terletak pada praktiknya, yaitu sama-sama melakukan penyaluran harta benda kepada orang lain. Sedangkan perbedaannya adalah terletak pada niat untuk melakukan, hibah dilakukan dengan niat tulus memberi dengan tanpa mengharapkan imbalan apapun dan dari siapapun, sedangkan jika risywah dilakukan dengan niat untuk mendapatkan keuntungan pribadi, meskipun itu harus membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka informan yang dibutuhkan dalam hal ini adalah semua pemuka agama Islam yang berada diwilayah Kecamatan Rejotangan, yaitu: a. Bapak Mawahhibus Shomad dari Pondok Pesantren Al-Falah, Dusun Padangan, Desa Karangsari. b. Bapak Khoir, dari Pondok Pesantren Sirojuddin, Desa Panjerrejo. c. Bapak Asmungi, Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Desa Sukorejo. d. Bapak KH. Amin dari Pondok Pesantren Al-Falah Abdurrohim, Desa Rejotangan. Sebelum melakukan wawancara pada tanggal 21-27 Mei 2014, peneliti menunjukkan data-data yang dibutuhkan kepada informan untuk dipelajari terlebih dahulu. Pada kesempatan tersebut, para informan bersedia memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan oleh penulis berkaitan dengan hibah dan risywah menurut pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung. lxvii Hibah merupakan salah satu dari kegiatan yang hukumnya mubah, dikarenakan kegiatan tersebut adalah dilakukan dengan memberikan sesuatu kepada orang lain yang didasarkan atas kerelaan dengan tanpa mengharapkan imbalan apapun dan dari siapapun. Hal ini merupakan salah satu bentuk dari penyaluran harta yang diperbolehkan dalam Islam. Selain bentuk penyaluran harta, hibah juga dapat difungsikan sebagai wujud tolong-menolong sesama manusia. Hibah akan mempererat persaudaraan antar sesama manusia, karena akan mengurangi adanya ketimpangan sosial antar anggota masyarakat. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari pemuka agama Islam yang berada di wilayah Kecamatan Rejotangan, sebagai berikut: “Hibah dilakukan atas dasar kerelaan, tanpa mengharapkan imbalan apapun dan hukumnya adalah mubah/halal.”115 Sehingga hibah selain sebagi suatu bentuk kegiatan yang dilakukan umat Islam dalam kaitannya dengan hubungan sesama manusia, juga merupakan perbuatan yang berkaitan dengan hubungan manusia kepada tuhannya. Risywah merupakan pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain dengan tujuan-tujuan tertentu yang mana tujuan tersebut adalah untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Sehingga risywah 115 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Khoir, Dari Pondok Pesantren Sirojuddin, Desa Panjerrejo Pada Hari Rabu 21 Mei 2014 lxviii merupakan bagian dari penyaluran harta, akan tetapi dalam praktiknya adalah ditujukan untuk kepentingan pribadi dan merugikan orang lain. Hal ini sesuai pernyataan bahwa: “Risywah adalah pemberian yang disertai dengan harapan-harapan tertentu dan harapan tersebut cenderung bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.”116 Dalam Islam sendiri telah dijelaskan bahwa sesuatu dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang haram ataupun halal adalah ketika memiliki kebaikan yang lebih besar dari pada keburukannya dan sesuatu dikategorikan sebagai sesuatu yang haram jika memiliki keburukan yang lebih besar dari pada kebaikannya. Pada intinya para pemuka agama Islam di wilayah Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung bersepakat bahwa hukum dari risywah adalah haram. Akan tetapi tidak semua memberikan pernyataan secara langsung mengenai keharamannya, berikut pernyataan mengenai risywah sebagai berikut: “Risywah adalah pemberian yang dilaksanakan dengan tujuan-tujuan tertentu dan akan menimbulkan madharat.”117 Selain hanya menguntungkan diri sendiri, risywah merupakan akad yang ditujukan untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang benar. Jika demikian adanya, tentu saja hal ini telah melanggar hukum, 116 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Mawahhibus Shomad, Dari Pondok Pesantren AlFalah, Desa Tenggur, Pada Hari Kamis 22 Mei 2014 117 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Khoir, Dari Pondok Pesantren Sirojuddin, Desa Panjerrejo Pada Hari Rabu 21 Mei 2014 lxix baik itu hukum agama ataupun hukum Negara. Lebih lanjut, para pemuka agama Islam di Kecamatan Rejotangan bahwa: “Risywah dilakukan dengan niat untuk mencari keuntungan.”118 Jika demikian adanya, maka keharaman dari risywah tidak diragukan lagi. Ketika sebuah kegiatan tersebut adalah haram, dalam kaitannya dengan mu’amalah, maka apapun yang dihasilkan dari kegiatan tersebut adalah haram pula. 2. Hukum Meminta Kembali Harta Yang Telah Dihibahkan menurut pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung Harta ketika telah disalurkan kepada orang lain, maka praktis harta tersebut telah berpindah milik kepada orang yang menerima harta tersebut. Sehingga ketika telah menjadi milik penerima harta tersebut, maka orang yang dulu memberikan harta tersebut maka dilarang untuk meminta kembali. Akan tetapi kenyataan tidak selamanya berkata demikian, keadaan manusia yang selalu berubah-ubah, terkadang berada pada masamasa yang mampu untuk menolong orang lain dan terkadang berada pada keadaan yang membutuhkan bantuan orang lain. hal inilah yang mendasari terjadinya perubahan status hukum dengan tanpa menghapus hukum asal yang telah ada. Seperti Hadits Nabi berikut: سلَّ َم َ ِص َلى هللا َ ُعبَّاس َر ِضيَاهلل َ ع َْن اِب ِْن َ ِع َْن َرسُوْ َِهلل,ع ْن ُه َما َ علَ ْي ِه َو )ب يَ ِق ْي ُء لُ ْم يَعُوْ دُ فِ ْي قَ ْي ِئ ِه (رواه مسلم ِ قَا َل ا َ ْلعَا ئِدُ في ِهبَ ِت ِه ك َْالك َْل 118 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Asmungi, Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Desa Sukorejo Pada Hari Sabtu 24 Mei 2014 lxx Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “perumpamaan orang yang meminta kembali benda-benda yang telah diberikan sama dengan anjing yang muntah kemudian memakan kembali muntahannya itu” (HR. Muslim.).119 Mengenai hal tersebut, beberapa informan memiliki pemahaman hal yang sama, yaitu sama-sama melarang meminta kembali harta yang pernah diberikan kepada orang lain, berikut pernyataannya: “Hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan adalah tidak boleh atau haram, karena itu merupakan perbuatan yang hina, begitu juga dengan hibah umra’. Sedangkan hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan jika yang menghibahkan adalah bapak kepada anaknya, maka hukumnya adalah mubah.”120 “Akan tetapi jika harta tersebut diberikan dari bapak kepada anaknya maka hukum meminta kembali harta hibah adalah mubah dan itu berarti hukum selain hal tersebut adalah haram.”121 Informan yang lain menyatakan bahwa hukum meminta kembali harta yang telah diberikan kepada orang lain adalah mubah, hal ini didasarkan bahwa harta yang telah diberikan kepada orang lain, maka harta tersebut telah sah menjadi hak milik dari penerima hibah tersebut. Akan tetapi hal ini juga diikuti dengan syarat-syarat tertentu untuk dapat menjadikan pemberi hibah dapat meminta kembali harta tersebut. Syaratsyarat tersebut adalah bahwa penerima hibah bersedia memberikan harta tersebut kepada pemberi hibah dengan tanpa adanya paksaan. Pernyataan 119 Al-Imam Zainudun Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih Al-Bukhari Al-Musamma, terj. Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hal. 543 120 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Khoir, Dari Pondok Pesantren Sirojuddin, Desa Panjerrejo Pada Hari Rabu 21 Mei 2014 121 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Asmungi, Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Desa Sukorejo Pada Hari Sabtu 24 Mei 2014 lxxi dari pemuka agama Islam yang menyatakan bahwa hukum meminta kembali harta hibah adalah mubah adalah: “Hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan adalah mubah (tidak apa-apa), karena harta yang sudah diberikan adalah sudah sah menjadi hak milik dari penerima hibah dan jika diminta kembali maka tidak apa-apa, akan tetapi tidak boleh memaksa.”122 “Hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan adalah tidak apa-apa, karena harta tersebut adalah sudah sah menjadi milik penerima hibah dan jika ia memberikannya maka hal tersebut diperbolehkan.”123 3. Hukum Memakan Harta Risywah Jika Tidak Mendapatkan Apa yang Diinginkan menurut pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung Risywah merupakan salah satu perbuatan yang diharamkan dalam Islam, oleh karena itu bagi siapapun yang melakukannya maka baginya adalah sebuah dosa. Keharaman dari risywah ini tidak hanya mengikat pada pelakuknya saja, melainkan juga kepada pihak-pihak yang menerima harta risywah dan juga kepada pihak-pihak yang menjadi perantara atas tersalurnya harta risywah tersebut dari Al-Rasyi dan Murtasyi. Dalam sebuah dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW bersabda: ْ ع ْن ث َوْ َب سلَّ َم َ ُصلَّى هللا َ ُ لَ ْع َن َر: ان قَا َل َ ِسوْ َل هللا َ ع َل َِ ْي ِه َوآ ِل ِه َو )ئش (رواه ابوداودوالترمذي ِ َ ش ْي َو ْال ُمرْ ت َّ ش ْي َو َّ ِ الرا ِ الر ِا “Dari tsauban berkata : Rasulullah saw melaknat orang yang menyuap, yang disuap, dan perantara suapan, yakni orang yang memberikan jalan atas keduanya”, (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)124 122 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Mawahhibus Shomad Dari Pondok Pesantren AlFalah, Dusun Padangan, Desa Karangsari Pada Hari Kamis 22 Mei 2014 123 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Amin Dari Pondok Pesantren Al-Falah Abdurrohim, Desa Rejotangan, Pada Hari Jum’at 23 Mei 2014 124 Yusuf Qardhawi, Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah, Terj. As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani, 2005), Hal. 786 lxxii Keharaman risywah sendiri selain menyangkut pada tiga pihak yang tersangkut hal tersebut, juga pada hartan yang menjadi obyek risywah tersebut. Dalam Islam sendiri telah di atur mengenai syarat-syarat dari harta halal adalah halal dari cara mendapatkannya dan halal dari dzat benda itu sendiri dan harta haram adalah harta yang didapat dengan cara haram meskipun harta tersebut halal dzatnya atau harta yang didapat dengan cara halal akan tetapi harta tersebut adalah harta haram dari sisi dzatnya. Ketika sebuah harta yang diperoleh oleh seseorang dengan cara yang halal maka belum tentu harta tersebut halal untuk dikonsumsi. Boleh jadi harta tersebut terbuat dari khamr (minuman keras) yang mengandung alkohol. Ataupun sebaliknya, misalnya sebuah benda yang halal dzatnya didapatkan dengan cara mencuri, maka benda tersebut juga haram untuk dikonsumsi. Berkaitan dengan rumusan masalah yang ke tiga ini, menggabungkan kedua hal yang pada awalnya adalah sebuah perbuatan yang haram akan tetapi keinginannya tersebut gagal karena suatu hal yang tidak direncanakan. Hal ini menjadi sangat menarik karena terjadi kegagalan dalam sebuah niat yang sudah terlanjur dimulai dan akad tersebut adalah akad yang diharamkan. Pada dasarnya hukum haruslah didasarkan pada hukum awal yang mengikatnya. Risywah hukum awalnya adalah haram, sehingga meskipun lxxiii terjadi kegagalan niat dalam akad risywah maka hukum mengkonsumsi harta tersebut juga tetap haram. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa: “Hukum memakan harta risywah jika pemberi Risywah tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah maka haruslah dilihat hukum dasar dari perbuatan tersebut.”125 Meskipun haram, harta risywah yang sudah terlanjur diterima, tidak semua pemuka agama Islam di wilayah Kecamatan Rejotangan menyatakan hal yang serupa, seperti pernyataan yang dikemukakan sebagai berikut: “Hukum memakan harta risywah jika pemberi Risywah tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah makruh, karena hukum awal dari risywah adalah haram, sehingga jika dibatalkan niatnya maka hukum memakan harta tersebut adalah makruh.”126 Hal ini dikarenakan adanya sebuah alasan yaitu bahwa harta risywah yang gagal dalam mendapatkan niatnya, maka pemberi risywah harus membatalkan niatnya. Akan tetapi dalam pembatalan niat tersebut tidaklah semua orang dapat melaksanaknnya dengan ikhlas, tidak menutup kemungkinan sebagian besar orang yang melakukan hal tersebut di dalam hatinya tidak sepenuhnya ikhlas. Sehingga terdapat unsur keterpaksaan dalam pembatalan niat dari harta tersebut. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh sebagai berikut: ا َ ْل ُم َكب َُّر ََيُ َكب َُّر 125 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Mawahhibus Shomad Dari Pondok Pesantren AlFalah, Dusun Padangan, Desa Karangsari Pada Hari Kamis 22 Mei 2014 126 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Amin Dari Pondok Pesantren Al-Falah Abdurrohim, Desa Rejotangan, Pada Hari Jum’at 23 Mei 2014 lxxiv “Apa yang ketentuan hukumnya sudah berat maka tidak boleh diperberat lagi. “127 Sehingga ketika sebuah ketentuan hukum menyatakan hal tersebut sebagai suatu yang haram, ketika telah terjadi pembatalan niat risywah maka hukumnya tidak boleh diperberat lagi dan harus diringankan. Dengan menjadikan makruh, maka hukum risywah yang awalnya haram telah diringankan hukumnya. Dari empat pemuka agama Islam yang berada di wilayah Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung, selain memberikan hukum haram dan makruh terhadap hukum mengkonsumsi harta risywah ketika niatnya batal, terdapat pendapat ketiga yang menyatakan bahwa: “Hukum memakan harta risywah jika pemberi Risywah tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah sesuai dengan dasar hukum awal yaitu hukum memanfaatkan atau mengkonsumsi harta risywah adalah haram. Akan tetapi hal tersebut tidak berlaku lagi, jika terjadi pembatalan niat dan dilaksanakan pembaruan akad, maka hukumnya adalah mubah, seperti niatnya diperbarui dengan sedekah, maka harta tersebut menjadi harta sedekah (shodaaqoh).”128 Pernyataan diatas mensyaratkan bahwa ketika risywah tersebut batal, maka harus ada pembaruan akad. Akad yang baru harus akad yang diperbolehkan dalam Islam, bukan akad yang dilarang oleh Islam. Karena pembaruan akad yang dilakukan jika melanggar hukum Islam maka akad tersebut adalah termasuk akad yang haram dan didalam akad yang haram 127 Moh. Kurdi, Kaidah-Kaidah Fiqh, (Jakarta Barat: CV Artha Rivera, 2008), hal 138 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Asmungi, Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Desa Sukorejo Pada Hari Sabtu 24 Mei 2014 128 lxxv tersebut maka harta yang menjadi obyek, maka hukumnya adalah tetap haram. 4. Risywah Untuk Mempertahankan Kebenaran atau Mencegah Kezaliman menurut pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung Dalam perkembangannya, risywah tidaklah selalu bertujuan untuk membatalkan yang haq dan membenarkan yang bathil, hal ini dikarenakan faktor seperti keadaan sosial budaya manusia yang cenderung ingin banyak mendapatkan apa yang diinginkan dengan cepat dan mudah dengan tanpa menghiraukan ketentuan hukum yang ada. Misalnya seseorang yang berperkara di pengadilan dengan tuduhan mencuri, antara pihak penggugat dan tergugat. Penggugat adalah orang yang menjadi korban pencurian yang mana yang seharusnya di hukum adalah pihak tergugat yaitu pihak yang melakukan pencurian. Akan tetapi, pihak tergugat telah melakukan suap kepada majlis hakim dan diketahui oleh pihak penggugat jika yang akan memenangkan perkara tersebut adalah pihak tergugat. Maka dengan demikian pihak penggugat diperbolehkan melakukan risywah kepada pihak terkait agar dalam perkara tersebut yang menang adalah dari pihak penggugat. Dalam pernyataannya pemuka agama Islam di wilayah Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung menyatakan bahwa: “Hukum memberi harta risywah jika tujuannya untuk kebaikan adalah mubah, karena kebaikannya akan lebih besar dari pada keburukannya jika tidak melakukan risywah.” lxxvi Tindakan tersebut diperbolehkan karena dikhawatirakan jika tidak dilaksanakan maka akan menimbulkan keburukan yang lebih besar dari pada kabaikannya. Akan tetapi, meskipun hal tersebut diperbolehkan, dengan harta risywah dan orang yang menerimanya terdapat perbedaan pendapat diantara para informan. Pendapat yang pertama menyatakan sebagai berikut: “….akan tetapi bagi penerima harta risywah tersebut hukumnya tetap haram.”129 Penerima risywah hukumnya adalah dosa, karena sebagai pihak penengah yang mengatasi perkara diatas, yang seharusnya tidak memihak apapun, akan tetapi dalam kenyataannya memihak salah satu pihak yang bersalah dan melakukan suap. Sehingga dalam masalah risywah ini yang bersalah bukanlah pihak yang penggugat yang melakukan suap akan tetapi adalah pihak yang menjadi penengah dari perkara tersebut. Rasulallah SAW bersabda: َّ عمْ ُر ْب ِن ْال َخ :ع ْنهُ قَا َل صلى هللا عليه وسلم يقو َ ُب َرض َى ا َلل َ ع ْن َ ِ طا َ ِي ُمتَا َ َب ُ ا َِّن ا َ َحدَ ُك ْم لَ َي ْخ ُر قَا َل:ار َ ج ِب ً َاواَنَّ َما ِه َي َلهُ ن َ ط َه ْ صدَقَ ِت ِه ِم ْن ِع ْند َ ارس ُ َف َما:ار؟ قَا َل َ ْف تُع ِْط ْي ِه َوقَ ْد ً َعلِمْ تَ اَنَّ َها لَهُ ن َ ُوَهلل َكى َ َي:ع َم ُر ْ َا ْ صنَ َع؟ يَاْبُوْ َن ا ََِّ َم ساَلَتِي َويَاْتِي هللا ع ََّز َو َج َّل ِل َي ْالب ُْجل )َِ (رواه ابويعلى و احمد Dari Ibnu Umar R.A, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya ada salah seorang diantara kamu keluar dari 129 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Mawahhibus Shomad Dari Pondok Pesantren AlFalah, Dusun Padangan, Desa Karangsari Pada Hari Kamis 22 Mei 2014 lxxvii rumahku dengan membawa sedekah yang disembunyikan diketiaknya, padahal sedekah itu hanya umpan neraka. Kemudian Umar bertanya: Ya Rasulallah! Mengapa engkau beri padahal engkau tau, bahwa sedekah itu merupakan bara api untuknya? Maka, jawab Nabi, apa yang harus saya perbuat baginya? Sedangkan mereka terus menerus minta kepadaku dan saya sendiri dilarang Allah berlaku bakhil. (H.R. Abu ya’la dan Ahmad) Risywah yang demikian tidaklah mudah untuk dilaksanakan, karena mengingat hukum asal dari risywah adalah haram. Maka manusia sebagai pelaku dalam kehidupan sosial, harus berikhtiyar dengan sungguhsungguh. Risywah yang demikian adalah alternatif penyelesaian masalah yang terakhir, ketika masih ada jalan yang lain, maka jalan tersebutlah yang harus ditempuh. Dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa: َ ان ُرو ِع َي ا َ ْع ب ا َ َخ ِف ِه َما َ ارضُ َم ْف ِ ظ ُم ُه َما ِبارْ ِتكَا َ اِذَات َ َع ِ َسدَت “Apabila terjadi pertentangan antara dua mafsadat, maka mafsadat yang paling besar harus dilindungi dengan melakukan mafsadat yang lebih kecil”.130 C. Pembahasan Secara keseluruhan terdapat empat pemuka agama Islam, yang tersebar di wilayah Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung. Adapun para pemuka agama Islam tersebut adalah: 1. Bpk K.H. Mawahhibus Shomad dan Bpk Ustadz Kozin, dari Pondok Pesantren Al-Falah dari, Dusun Padangan, Desa Karangsari, Kec. Rejotangan. Moh. Kurdi, Kaidah…, hal. 56 130 lxxviii 2. Bpk K.H. Amin, Pondok Pesantren Al-Falah Abdurrohim, Desa Rejotangan. 3. Bpk. K.H. Asmungi, dari Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Desa Sukorejo. 4. Bpk. K. Khoir, dari Pondok Pesantren Sirojuddin, Desa Panjerrejo. Meskipun secara umum beraliran NU, akan tetapi dari para Pemuka Agama Islam tersebut memiliki pandangan yang berbeda-beda. Hal ini bukan tanpa alasan, dilatar belakangi oleh pendidikan yang berbeda, kitab yang dipelajari dan atau bahkan hingga sampai pada perbedaan pemahaman terhadap suatu teks yang sama. Hal ini menjadikan perbedaan yang sebenarnya jika ditelaah lebih mendalam maka akan memberikan keanekaragaman pemikiran dan kerelaan untuk mengikuti yang sesuai dengan hati nurani masyarakat. 1. Perbedaan Hibah dan Risywah menurut pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung Secara umum, hibah dan risywah adalah sama-sama memberikan sejumlah harta kepada orang lain, sehingga keduanya memiliki kesamaan dalam masalah penyaluran harta. Dengan demikian memberikan gambaran bahwasannya pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain secara lahiriyah adalah sama, akan tetapi tidak demikian jika ditelisik secara lebih mendalam. Pada dasarnya hibah dan risywah memiliki perbedaan yang mendasar, yaitu dari sisi hukum ataupun niatnya. Akan tetapi karena memiliki kesamaan dalam praktiknya maka cenderung banyak orang lxxix kesulitan membedakan mana yang termasuk kedalam hibah dan mana yang termasuk kedalam risywah. Hibah yang dilakukan atas dasar kerelaan, dan tanpa mengharapkan imbalan apapun, merupakan salah satu metode penyaluran harta yang diperbolehkan oleh Islam, sehingga melaksanakan hibah adalah murni karena ingin membantu sesama. Risywah dilakukakn atas tujuan-tujuan tertentu yang pada umumnya dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Risywah secara umum dilakukan untuk mengalahkan yang benar dan membenarkan yang salah, meskipun itu hnya bersifat pribadi, akan tetapi hal tersebut akan memberikan dampak keburukan yang lebih besar dari pada kebaikannya. Dengan demikian maka hukum risywah adalah haram. Risywah yang diharamkan, tidak hanya haram dari pihak yang melakukan suap (Al-rasyi) saja, melainkan juga penerima suap (Al-murtasyi), perantaranya dan bahkan hingga obyek yang digunakan sebagai alat untuk menyuap tersebut juga menjadi haram meskipun pada awalnya harta tersebut adalah harta yang halal baik dari dzat ataupun cara mendapatkannya. 2. Hukum Meminta Kembali Harta Yang Telah Dihibahkan menurut pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung Harta yang sudah diberikan dan sudah diterima oleh penerimanya, maka kepemilikan harta tersebut telah berpindah ke penerima harta tersebut. Dengan demikian, jika pemberi harta meminta kembali harta lxxx yang sebelumnya telah ia berikan maka hukumnya mubah. Akan tetapi sesuai dengan hadits Rasulallah SAW yang berbunyi: سلَّ َم َ ِص َلى هللا َ ُعبَّاس َر ِض َياهلل َ ع َْن اِب ِْن َ ِع َْن َرسُوْ َِهلل,ع ْن ُه َما َ علَ ْي ِه َو )ب يَ ِق ْي ُء لُ ْم يَعُوْ دُ فِ ْي َق ْي ِئ ِه (رواه مسلم ِ َقا َل ا َ ْل َعا ئِدُ في ِهبَ ِت ِه ك َْالك َْل Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “perumpamaan orang yang meminta kembali benda-benda yang telah diberikan sama dengan anjing yang muntah kemudian memakan kembali muntahannya itu” (HR. Muslim.).131 Sesuai dengan hadits tersebut, menggambarkan betapa hinanya orang yang meminta kembali harta yang telah diberikannya kepada orang lain, yang diibaratkan dengan anjing yang memakan kembali muntahannya, menggambarkan perbuatan yang sangat hina. Sehingga meskipun hukumnya adalah mubah, akan tetapi hal tersebut merupakan perbuatan yang seharusnya dihindari. Perbuatan hina yang dilakukan oleh pemberi dengan meminta kembali harta yang telah dberikan, tidak berlaku bagi seorang bapak yang meminta kembali harta yang telah diberikannya kepada anaknya. Hal ini didasarkan atas sabda Nabi yaitu: ُ ع َْن اِ ْب ُن ََ يَ ِح ُّل ِل َرجُل: سلَّم قَا َل َ ِصلَى هللا َ أ َ َّن النَّ ِب َّى,عمر َ علَ ْي ِه َو ْ ُم ُس ِلم ا َ ْن يُّع ِْط َي ْالعَ ِطي ََّة ث ُ َّم يَرْ ِج ُع فِ ْي َها اََِّ ْال َوا ِلدَ فِ ْي َما يَع ِْطي َولَدَه )عبَّاس َ (رواه اِبُ ُن Dari Ibnu Umar, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “haram bagi seseorang Muslim memberi sesuatu kepada orang lain kemudian memintanya kembali, kecuali pemberian ayah kepada anaknya”.(H.R. Ibnu ‘Abbas).132 131 132 Al-Imam Zainudun Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih,…hal. 543 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994), hal. 329 lxxxi Dengan demikian maka, hukum meminta kembali harta yang diberikan bapak kepada anaknya adalah merupakan pengecualian dan bukan merupakan perbuatan yang hina. Secara umum menurut para pemuka agama diwilayah Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung menyatakan bahwa meminta kembali harta yang telah diberikan hukumnya adalah mubah, dan harus dilakukan atas dasar kerelaan tidak dengan memaksa. Karena jika dilakukan disertai dengan pemaksaan maka hal ini berubah menjadi tindak pidana. 3. hukum memakan harta risywah jika tidak mendapatkan apa yang diinginkan menurut pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung Hukum memanfaatkan atau mengkonsumui harta risywah jika tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah sebagian pemuka agama Islam menyatakan hukumnya adalah makruh, karena harta tersebut pada awalnya diniatkan sebagai risywah dan praktis harta tersebut hukumnya adalah haram, akan tetapi dengan adanya pembatalan niat risywah yang semula maka harta tersebut berubah menjadi makruh. Hal ini tetap dihukumi makruh karena pembatalan niat yang dilakukan tidak sepenuhnya didasarkan atas keikhlasan yang tulus, sehingga keikhlasan yang diberikan adalah keikhlasan yang didasarkan atas keterpaksaan. Pendapat yang kedua menyatakan bahwa harta tersebut hukumnya adalah dapat beralih status hukum yaitu menjadi shodaqah. Hal ini didasarkan bahwasannya harta yang diniatkan pertama hukumnya haram, lxxxii yang kemudian dibatalkan niatnya maka harta tersebut tidak dapat beralih status sebagai harta hibah, melainkan menjadi shodaqah, karena diberikan atas dasar kerelaan dan hanya mengharap ridlo dari Allah SWT. Pendapat yang ketiga menyatakan bahwa harta tersebut hukumnya adalah tetap haram, didasarkan pada niat pertama sebagai harta risywah, maka meskipun dilakukan pembatalan niat karena niat risywah tersebut dibatalkan. Akan tetapi perbaruan akad tersebut tidak dilaksanakan atas dasar keikhlasan yang tulus sejak awal, sehingga harta tersebut hukumnya adalah tetap haram meskipun ada perubahan niat. 4. Risywah Untuk Mempertahankan Kebenaran atau Mencegah Kezaliman menurut pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung Menyuap (risywah) jika tujuannya untuk kebaikan maka hukumnya adalah mubah, karena dilakukan bukan untuk keuntungan pribadi, melainkan untuk keselamatan ataupun untuk kemaslahatan umat. Hal ini terdapat dua pendapat yang dikemukakan oleh pemuka agama Islam di wilayah Kecamatan Rejotangan. Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum risywah jika dilakukan untuk kebaikan adalah halal dan haram. Halal dilakukan oleh pemberi risywah, karena dia melakukan bukan atas dasar keuntungan dan baginya tidak mendapat dosa, akan tetapi haram bagi penerima risywah, karena dia menerima harta suap tersebut yang mana seharusnya dia memberikan rasa aman dan kepercayaan kepada pihak yang memberikan risywah dengan tanpa harus melakukan risywah. lxxxiii Pendapat yang kedua adalah halal bagi pemberi riyswah, harta risywah, perantara risywah dan penerima risywah. Hal ini dikarenakan risywah yang dilakukan atas dasar keterpaksaan yang mana hukumnya adalah halal. Dengan demikian maka semua pihak dan obyek risywah hukumnya adalah mubah. lxxxiv BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN a. Perbedaan hibah dan risywah adalah terletak pada sisi hukum dan pada niatnya. Hibah memiliki hukum halal karena dilakukan dengan niat yang baik, yaitu dengan tanpa mengharapkan imbalan apapun (ikhlas), sedangkan risywah hukumnya haram karena dilakukan atas dasar untuk mencari keuntungan pribadi dan cenderung merugikan orang lain. b. Hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan adalah mubah, akan tetapi harus atas dasar kerelaan (tidak ada unsur paksaan). Pendapat yang lain menyatakan hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan adalah haram, kecuali jika hibah yang dilakukan oleh bapak kepada anaknya. c. Hukum memanfaatkan atau mengkonsumsi harta risywah jika dibatalkan niatnya adalah kembali ke hukum awal dari risywah tersebut, yaitu haram. Akan tetapi harta tersebut dapat berubah menjadi halal (mubah) jika ada pembaruan akad, misalnya dengan disedekahkan, dihibahkan, diwakafkan dan lain-lain. d. Hukum memberi harta risywah jika bertujuan untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah kezaliman adalah mubah dan bahkan dapat menjadi wajib, hal ini dikarenakan tidak ditujukan untuk keuntungan pribadi, melainkan untuk kemaslahatan dan jika tidak melakukannya maka lxxxv akan menimbulkan keburukan yang lebih besar dari pada jika tidak melakukannya. B. SARAN 1. Skripsi ini hanya membahas hibah dan risywah dari sisi budaya yang didasarkan atas pendapat pemuka agama Islam di wilayah Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung sehingga penelitian berikutnya diharapkan: a. Dapat meneliti hibah dan risywah dari sisi hukuman (sanksi) yang ditetapkan baik itu yang terdapat dalam hukum positif ataupun hukum Islam. b. Dapat meneliti hibah dan risywah dengan membandingkan antar keyakinan beragama. 2. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode kualitatif, sehingga penelitian berikutnya dapat menggunakan metode kuantitatif atau kepustakaan. 3. Seharusnya para Pemuka Agama tidak hanya menyampaikan masalah hibah dan risywah kepada para santri-santrinya saja, melainkan juga kepada masyarakat secara umum, seperti khutbah, ceramah dan lain-lain. 4. Dalam ceramah yang mendatangkan Mubaligh atau metode dakwah yang lain dan bahkan dalam majlis ta’lim sekalipun, seharusnya tidak hanya menyinggung dan membahas mengenai fiqh ibadah saja, sehingga menjadikan sebuah persepsi bahwa Fiqh Muamalah adalah didasarkan pada budaya. Dengan demikian, maka masyarakat akan mengetahui bahwasannya fiqh tidak hanya membahas masalah ibadah saja. lxxxvi 5. Seharusnya para calon pejabat (calon legislatif, calon kades dan lain-lain) selalu diberi pengawasan oleh masyarakat untuk tidak melakukan praktik suap menyuap, sehingga budaya suap menyuap yang ada dapat ditekan dan sedikit demi sedikit akan hilang. lxxxvii DAFTAR PUSTAKA Al-Albani, Muhammad Nasshiruddin. 1995. Silsilatul-Ahaadiits Adh-Dhaifah Wal-Maudhu’ah. terj. A.M. Basalamah. Jakarta: Gema Insani. Al-Malibary, Syeh Zainuddin bin Muhammad Al Ghozaly, Fathul Mu’in jilid 2, terj. Aliy As’ad. TT. Yogyakarta: Menara Kudus. Anwar, Syamsul. 2007. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Anwar,Syamsul. 2007. Hukum Perjanjian Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Arifin,Muhammad Nurul. 2009. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fiqih Jinayah. TK: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI. Arikunto, Suharsismi. 2010. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Az-Zabidi, Al-Imam Zainudun Ahmad bin Abd Al-Lathif. Mukhtshar Shahih Al-Bukhari Al-Musamma, terj. Achmad Zaidun. 2002. Jakarta: Pustaka Amani. Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2010. Fiqih Muamalah Sistem Transaksi Islam. Jakarta: Amzah. Bungin, Burhan. 2005. Metodologi Penelitian Sosial: Format 2 Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press. Buletin Jurdil edisi Larangan Politik UangMoney Politik FA, 02 Februari 2012 Dewi, Gemala. 2007. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Perasuransian Syariah Di Indonesia. Jakarta: Kencana. Fatoni, Abdurrahman. 2006. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Hafidudin, Didin. 2004. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani. Hasan, M. Ali. 2003Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. lxxxviii Hasan, Ali. 2009. Manajemen Bisnis Syari’ah Kaya di Dunia Terhormat di Akhirat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. http://abufawaz.wordpress.com/2012/10/05/suap-menyuap-yang-halal-dan-yangharam-dalam-agama-islam/, diakses pada 20 Maret 2014, pkl. 21.30 WIB https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080908073850AAeu2zt, diakses 20 maret 2014, pkl. 21.30 WIB http://jabal-uhud.com/index.php?option=com_content&view=article&id=167: suap-dalam-perspektif-islam&catid=28:khutbah-jumat&Itemid=48, diakses pada 20 Maret 2014, pkl 21.00 WIB http://lib.umpo.ac.id/gdl/files/disk1/4/jkptumpo-gdl-pamujiadna-167-1-abstraki.pdf , diakses 31 maret 2014/ pkl 10.30 WIB http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=21064 , diakses 31 maret 2014, pkl 10.30WIB http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/10/makalah-hadis-suapmenyuap.html, diakse pada 21 Maret 2014, pkl 20.00 WIB http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved= 0CCUQFjAA&url=http%3A%2F%2Feprints.undip.ac.id%2F17645%2F 1%2FPRASTOWO_HENDARSANTO.pdf&ei=0uQ4U7HkKISFrAeXsIG gAQ&usg=AFQjCNFWosMbOOyMrs2tWTyVfXuQGtmstA&bvm=bv.63 808443,d.bmk, diakses 31 maret 2014/ pkl 10.30 WIB http://www.antaranews.com/berita/408845/ketika-penghulu-menolakmenikahkan-di-hari-libur, diakses pada 6 Mei 2014, Pkl. 12.00 WIB http://www.referensimakalah.com/2013/06/Suap-Risywah-menurut-HukumIslam-dan-Hukum-Positif.html, diakses 20 maret 2014, pkl. 21.30 WIB Huda,Qomarul. 2011. Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Teras. Karim, Adiwarman. 2009. Bank Islam: Analisis Keuangan. Jakarta: Jajawali Pers. Karim, Adiwarman. 2009. Bank Islam: Analisis Keuangan. Jakarta: Jajawali Pers. Kurdi, Moh. 2008. Kaidah-Kaidah Fiqh. Jakarta Barat: CV Artha Rivera. lxxxix Lubis, Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. 2004. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Mas’adi,Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Konstektual. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Mas’udi, Masdar F. et. all. 2003. Fiqh Korupsi Amaman VS Kekuasaan. Mataram: Solidaritas Masyarakat Transparansi NTB. Muhammad, Syaikh Al – Alamah. Rahmah al – Ummah fi Ikhtilafi al – A’immah, terj. ‘Abdullah Zaki Alkaf. 2004. Bandung: Hasyimi Press. Muhsin,Abdullah Bin Abdul. 2001. Jariimatur-Rasyati Fisy-Syarii’atil Islamiyyati, terj. Muchotob Hamzah dan Subakir Saerozi. Jakarta: Gema Insani. Moeloeng, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakaerya. Nawawi, Imam. TT. Hadits Arba’in Nawawi, Terj. Abdul Murhaimin As’ad. Surabaya: Ar-Rohmah. Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi K. Lubis. 2004. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Qardhawi, Yusuf. 2003. Halal dan Haram dalam Islam. Surabaya: PT Bina Ilmu Surabaya. Qardhawi, Yusuf. 2005. Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah, Terj. As’ad Yasin. Jakarta: Gema Insani. Qardhawi, Yusuf. 1977. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, diterjemahkan oleh Didin Hafidudin, Setiawan Budiutomo dan Aumur Rofiq Saleh Tamhid. Jakarta: Robbani Pers. Rivai,Veitzal. 2011. Islamic Transaction Law In Business Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Sinar Grafika. Rasyid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam). Bandung: Sinar Baru Algesindo. Rosyid,Miftah Noor. 2010. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik Tentang Kebolehan Hibah ‘Umra. Semarang: Skripsi Tidak Diterbitkan. Suhendi, Hendi. 2008. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. xc Suhendi, Hendi. 2005. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Salim. 2005. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika. Subana. 2005. Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia. Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. ________. 2005. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Supardi. 2005. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta: UII Press. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian. Bandung: CV Alfabeta. Tafsir Quran Karim, terj. Mahmud Yunus, PT Hidakarya Agung: Jakarta. Tanzeh, Ahmad dan Suyetno. 2006. Dasar-Dasar Penelitian. Surabaya: eLKAF. ___________. 2006. Kitab undang-undang perdata=burgerlijk wetboek : dengan tambahan undang-undang pokok agrarian dan undang-undang perkawinan, terj. R. Subekti dan R. tjitrosudibio. Jakarta: pradnya paramita. xci BIODATA PENULIS Nama : Sulhan Wahib Jenis Kelamin : Laki-Laki Tempat/Tanggal Lahir : Tulungagung, 16 Januari 1990 Alamat : RT/RW: 03/01, Desa Buntaran, Kec. Rejotangan, Kab. Tulungagung Fakultas/Jurusan : Syariah dan Ilmu Hukum/ Hukum Ekonomi Syariah NIM : 3221103023 Riwayat Pendidikan : - RA Halimah Assa’diyah : 1995-1996 - MI MMU Buntaran : 1996-2002 - MTsN Aryojeding : 2002-2005 - MAN 3 Tulungagung : 2005-2008 - IAIN Tulungagung : 2010- sekarang xcii xciii PEDOMAN INTERVIEW 9. Apa perbedaan antara hibah dan risywah? 10. Bagaimana hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan? 11. Bagaimana hukum memakan harta risywah (jika pemberi risywah tidak mendapatkan apa yang diinginkan)? 12. Bagaimana hukum risywah untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah kezaliman? xciv BAB IV HIBAH Bagian Pertama Rukun Hibah dan Penerimaannya Pasal 692 (1) Suatu transaksi hibah dapat terjadi dengan adanya ijab dan kabul. (2) Kepemilikan menjadi sempurna setelah barang hibah diterima oleh penerima hibah.. Pasal 693 Ijab dalam hibah dapat dinyatakan dengan kata-kata, tulisan, atau isyarat, yang mengandung arti beralihnya kepemilikan harta secara cuma-cuma. Pasal 694 Transaksi hibah juga dapat terjadi dengan suatu tindakan seperti seseorang penghibah memberikan sesuatu dan diterima oleh penerima hibah. Pasal 695 Pengiriman dan penerimaan barang hibah dan shadaqah adalah sama dengan pernyataan lisan dalam ijab dan kabul. Pasal 696 Penerimaan barang dalam transaksi hibah seperti penerimaan dalam transaksi jual beli. Pasal 697 Diharuskan ada izin dari penghibah baik secara tegas atau samar dalam penerimaan barang hibah. Pasal 698 Penghibah dengan menyerahkan barang dianggap telah member izin kepada penerima hibah untuk menerima barang yang diserahkan sebagai hibah. Pasal 699 Apabila penghibah telah memberi izin dengan jelas untuk penerimaan barang hibah, maka penerima berhak mengambil barang yang diberikan sebagai hibah, baik ditempat pertemuan ke kedua belah pihak, atau setelah mereka berpisah. Jika izin itu hanya berupa isyarat atau tersamar, hal itu hanya berlaku sepanjang mereka belum berpisah di tempat itu. xcv Pasal 700 Seorang pembeli boleh secara sah memberikan suatu hibah kepada pihak ketiga, meskipun ia belum menerima penyerahan barang itu dari penjual, dan ia meminta penerima hibah untuk mengambilnya. Pasal 701 Barangsiapa yang menghibahkan barang kepada seseorang yang barang tersebut telah ada di tangan sipenerima hibah, maka penyerahan itu sudah lengkap, tidak diperlukan penerimaan dan penyerahan kedua kalinya. Pasal 702 Hibah dapat terjadi dengan cara pembebasan utang dari orang yang memiliki piutang terhadap orang yang berutang dengan syarat orang yang berutang tidak menolak pembebasan utang tersebut. Pasal 703 Hibah dapat terjadi dengan cara seseorang memberikan harta kepada orang lain padahal harta tersebut merupakan hibah yang belum diterimanya dengan syarat penerima hibah yang terakhir telah menerima hibah tersebut. Pasal 704 Transaksi hibah dinyatakan batal jika salah seorang dari penghibah atau penerima hibah meninggal dunia sebelum penyerahan hibah dilaksanakan. Pasal 705 Dalam hal hibah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya yang sudah dewasa, harta yang diberikan sebagai hibah itu harus diserahkan dan harus diterima oleh anak tersebut. Pasal 706 Hibah terjadi bila seorang anak menerima hibah dari walinya meskipun harta yang dihibahkan itu belum diterima atau dititipkan pada pihak ketiga. Pasal 707 Suatu hibah yang diberikan kepada seorang anak bisa dinyatakan transaksi hibah telah terjadi dengan sempurna, bila walinya atau orang yang dikuasakan untuk memelihara dan mendidik anak itu mengambil hibah tersebut. xcvi Pasal 708 Jika si penerima hibah adalah seorang anak yang sudah cakap bertindak (mumayiz), maka transaksi hibah itu dianggap telah sempurna bila anak itu sendiri yang mengambil langsung hibah itu, meskipun ia mempunyai seorang wali. Pasal 709 Suatu hibah yang baru akan berlaku pada waktu yang akan datang, maka transaksi hibah itu tidak sah. Pasal 710 Transaksi hibah adalah sah dengan syarat dan syarat tersebut mengikat penerima hibah. Bagian Kedua Persyaratan Akad Hibah Pasal 711 Harta yang diberikan sebagai hibah disyaratkan harus sudah ada pada saat akad hibah. Pasal 712 (1) Harta yang diberikan sebagai hibah disyaratkan harus berasal dari harta penghibah. (2) Harta yang bukan milik penghibah jika dihibahkan dapat dianggap sah apabila pemilik harta tersebut mengizinkannya meskipun izin tersebut diberikan setelah harta tersebut diserahkan. Pasal 713 Suatu harta yang dihibahkan harus pasti dan diketahui. Pasal 714 Seorang penghibah diharuskan sehat akalnya dan telah dewasa. Pasal 715 Hibah menjadi batal bila hibah tersebut terjadi karena ada paksaan xcvii Bagian Ketiga Menarik Kembali Hibah Pasal 716 Penerima hibah menjadi pemilik harta yang dihibahkan kepadanya setelah terjadinya penerimaan harta hibah. Pasal 717 Penghibah dapat menarik kembali hibahnya atas keinginannya sendiri sebelum harta hibah itu diserahkan. Pasal 718 Jika penghibah melarang penerima hibah untuk mengambil hibahnya setelah transaksi hibah, berarti ia menarik kembali hibahnya itu. Pasal 719 Penghibah dapat menarik kembali harta hibahnya setelah penyerahan dilaksanakan, dengan syarat si penerima menyetujuinya. Pasal 720 Jika seorang penghibah menarik kembali barang hibahnya yang telah diserahkan tanpa ada persetujuan dari penerima hibah, atau tanpa keputusan Pengadilan, maka penghibah adalah orang yang merampas barang orang lain; dan apabila barang itu rusak atau hilang ketika berada ditangannya, maka ia harus mengganti kerugian itu. Pasal 721 Jika seseorang memberi hibah sesuatu kepada orang tuanya atau anak-anaknya, atau kepada saudara laki-laki atau perempuannya, atau kepada anak-anak saudaranya, atau kepada paman-bibinya, maka ia tidak berhak menarik kembali hibah itu setelah transaksi hibah. Pasal 722 Jika suami atau isteri, tatkala masih dalam ikatan pernikahannya, saling memberi hibah pada yang lain, mereka tidak berhak menarik kembali hibahnya masingmasing setelah adanya penyerahan harta. xcviii Pasal 723 Jika sesuatu diberikan sebagai pengganti harta hibah dan diterima oleh penghibah, maka penghibah itu tidak berhak menarik kembali hibahnya. Pasal 724 Jika sesuatu ditambahkan dan menjadi bagian yang melekat pada harta hibah, maka hibah itu tidak boleh ditarik kembali. Tetapi suatu penambahan yang tidak menjadi bagian dari suatu barang hibah, tidak menghalangi dari kemungkinan penarikan kembali. Pasal 725 Jika orang yang menerima hibah memanfaatkan kepemilikannya dengan cara menjual hibah itu atau membuat hibah lain dari hibah itu dan memberikannya kepada orang lain, maka penghibah tidak mempunyai hak untuk menarik kembali hibahnya. Pasal 726 Jika barang hibah itu rusak ketika sudah berada di tangan orang yang menerima hibah, barang hibah seperti itu tidak boleh ditarik kembali. Pasal 727 Dalam hal penghibah atau penerima hibah meninggal dunia, maka hibah itu tak dapat ditarik kembali. Pasal 728 Suatu shadaqah tidak dapat ditarik kembali jika sudah diserahkan dengan alasan apa pun. Pasal 729 Jika seseorang mengizinkan orang lain untuk memakan suatu makanan, maka orang yang diberi izin setelah mendapatkannya tidak boleh bertindak seolah-olah barang itu miliknya; misalnya dengan cara menjualnya, atau menghibahkan barang itu untuk diberikan kepada orang ketiga Tetapi ia boleh memakan makanan itu dan pemiliknya tidak dapat menuntut harga barang yang telah dimakannya. Pasal 730 xcix Hadiah yang diberikan pada saat selamatan khitanan atau pesta pernikahan adalah milik orang-orang yang diniatkan untuk diberi oleh si pemilik itu. Jika mereka tidak mampu mengetahui untuk siapa dan masalah itu tidak dapat diselesaikan oleh mereka, maka masalah itu harus diselesaikan dengan berpegang kepada adat kebiasaan setempat. Bagian Keempat Hibah Orang yang Sedang Sakit Keras Pasal 731 Jika seseorang yang tidak punya ahli waris menghibahkan seluruh kekayaannya pada orang lain ketika sedang menderita sakit keras lalu menyerahkan hibah itu, maka hibah tersebut adalah sah, dan bait al-mal (balai harta peninggalan) tidak mempunyai hak untuk campur tangan dengan barang peninggalan tersebut setelah yang bersangkutan meninggal. Pasal 732 Jika seorang suami yang tidak memiliki keturunan, atau seorang isteri yang tidak mempunyai keturunan dari suaminya, menghibahkan seluruh kekayaannya kepada isteri atau suami, ketika salah seorang dari mereka sedang menderita sakit keras dan lalu menyerahkannya, pemberian hibah itu adalah sah, dan bait almal tidak mempunyai hak untuk campur tangan pada harta peninggalan dari salah seorang dari mereka yang meninggal. c