Document

advertisement
STUDI KOMPARASI ANTARA HIBAH DAN RISYWAH
MENURUT PANDANGAN PEMUKA AGAMA ISLAM DI
KECAMATAN REJOTANGAN KABUPATEN
TULUNGAGUNG
SKRIPSI
Oleh
SULHAN WAHIB
NIM. 3221103023
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG
2014
i
ii
STUDI KOMPARASI ANTARA HIBAH DAN RISYWAH
MENURUT PANDANGAN PEMUKA AGAMA ISLAM DI
KECAMATAN REJOTANGAN KABUPATEN
TULUNGAGUNG
SKRIPSI
Diajukan Kepada
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam
Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu Hukum Ekonomi Syariah
Oleh :
SULHAN WAHIB
NIM. 3221103023
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG
2014
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadiran Allah SWT, yang telah melimpahkan
karunia dan nikmatnya, sehingga laporan penelitian ini dapat dapat terselesaikan.
Shalawat dan salam semoga senantiasa abadi tercurahkan kepada junjungan Nabi
Akhir Muhammad SAW, yang telah membawa manusia dari masa kegelapan
menuju masa yang terang dengan cahaya keislaman.
Sehubungan dengan selesainya penulisan laporan skripsi ini , penulis tidak
lupa juga menghaturkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Maftukhin, M.Ag selaku Rektor IAIN Tulungagung.
2. Bapak. Dr. H. Asmawi, M,Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu
Hukum serta sebagai dosen pembimbing dalam penyusunan skripsi ini,
karena motivasi dan dukungan penuhnya penulis dapat menyelesaikan
laporan ini.
3. Bapak. Kutbuddin Aibak, S.Ag, M.H.I, selaku Ketua Jurusan Hukum
Ekonomi Syariah (HES).
4. Segenap Bapak/Ibu Dosen IAIN Tulungagung yang telah membimbing dan
memberikan wawasannya sehingga studi ini dapat diselesaikan.
5. Bapak camat kecamatan Rejotangan yang telah memberikan izin untuk
melaksanakan penelitian diwilayah pemerintahannya.
6. Semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian penulisan laporan ini.
vi
Semoga Laporan Skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua,
laporan ini tentunya masih terdapat kekurangan dan kelemahan didalamnya, maka
dari itu saya mohon kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan
laporan ini. Semoga karya ini bermanfaat dan mendapat ridlo dari Allah SWT.
Tulungagung, 5 Maret 2014
Sulhan Wahib
NIM: 3221103023
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
i
HALAMAN PENGAJUAN
iii
HALAMAN PERSETUJUAN
iv
HALAMAN PENGESAHAN
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
vi
HALAMAN MOTTO
vii
KATA PENGANTAR
viii
DAFTAR ISI
x
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
ABSTRAK
xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Fokus Penelitian
7
C. Tujuan Penelitian
7
D. Manfaat Penelitian
8
E. Penegasan Istilah
8
F. Sistematika Pembahasan
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Akad
11
a. Pengertian Akad
11
viii
b. Syarat-Syarat dan Rukun Akad
12
c. Macam-Macam Akad
15
d. Azas-Azas Akad
18
e. Hak dan Kewajiban Subyek Akad
22
f. Berakhirnya Akad
23
B. Hibah
25
a. Pengertian Hibah
25
b. Dasar Hukum Hibah
26
c. Syarat dan Rukun Hibah
27
d. Macam-Macam Hibah
28
e. Etika Menolak atau Menerima Pemberian
29
f. Hukum Meminta Kembali Harta Yang Telah Dihibahkan
34
C. Risywah
35
a. Pengertian
38
b. Unsur-Unsur Risywah
36
c. Hukum Risywah
38
d. Macam-Macam Risywah
40
e. Hal-Hal Yang Identik dengan Risywah
41
D. Penelitian Terdahulu
43
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
46
B. Lokasi Penelitian
48
ix
C. Kehadiran Peneliti
48
D. Sumber Data
48
E. Teknik Pengumpulan Data
49
F. Teknik Analisis Data
55
G. Pengecekan Keabsahan Temuan
51
H. Tahap-Tahap Penelitian
51
BAB IV PAPARAN HASIL PENELITIAN
A. Paparan Data
53
B. Temuan Penelitian
53
C. Pembahasan
65
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN
73
B. SARAN
74
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN – LAMPIRAN
x
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran I
: Pedoman Interview
2. Lampiran II
: Surat Permohonan Izin Penelitian
3. Lampiran III : Surat Keterangan Penelitian
4. Lampiran IV : KHES Buku III BAB IV Tentang Hibah Pasal 692-732
5. Lampiran V
: Bukti Bimbingan Skripsi
6. Lampiran VI : Pernyataan Keaslian Tulisan
7. Lampiran VII : Biodata Penulis
xi
ABSTRAK
Sulhan Wahib, NIM 3221103023, Tahun 2014, Studi Komparasi Antara Hibah
dan Risywah (Menurut Pemuka Agama di Kecamatan Rejotangan
Kabupaten Tulungagung. Jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah
dan Ilmu Hukum, Pembimbing: Bpk. H. Dr. Asmawi, M.Ag.
Kata kunci: Akad, Hibah, Risywah.
Penelitian dalam skripsi ini dilatar belakangi atas banyaknya pemberianpemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain dengan tujuan untuk
memudahkan urusan atau apapun yang secara hukum melanggar aturan, akan
tetapi diberikan dengan alasan sebagai hibah.
Rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah (1) Apa perbedaan
antara hibah dan risywah? (2) Bagaimana hukum meminta kembali harta yang
telah dihibahkan menurut pemuka agama di kecamatan Rejotangan? (3)
Bagaimana hukum memakan harta risywah (jika tidak mendapatkan apa yang
diinginkan) menurut pemuka agama di kecamatan Rejotangan? (4) Bagaimana
hukum memberi harta risywah jika tujuannya adalah untuk kebaikan/dalam
keadaan terpaksa menurut pemuka agama di kecamatan Rejotangan?, dan adapun
yang menjadi tujuan penulis adalah (1) Untuk mengetahui perbedaan antara hibah
dan risywah, (2) Untuk mengetahui hukum meminta kembali harta yang telah
dihibahkan menurut pemuka agama di kecamatan Rejotangan (3) Untuk
mengetahui bagaimana hukum dari mengkonsumsi harta risywah yang dibatalkan
niatnya menurut pemuka agama di kecamatan Rejotangan dan (4) Untuk
mengetahui hukum dari memberi harta risywah jika diniatkan untuk
kebaikan/karena terpaksa menurut pemuka agama di kecamatan Rejotangan.
Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan jenis
penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif komparatif. Yang bertujuan
untuk dapat memahami hibah dan risywah serta hukum – hukum pelaksanaannya.
Karena dalam kehidupan bermasyarakat yang semuanya serba canggih sangat
memungkinkan terjadinya praktik akad yang sebenarnya dilarang akan tetapi
dengan menggunakan nama akad lain yang memiliki hukum halal.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pertama hibah dan risywah
adalah dua akad yang berbeda secara hukum, hibah halal dan risywah haram.
Kedua hukum meminta kembali harta hibaha adalah mubah dan tidak ada unsur
paksaan. Ketiga hukum mengkonsumsi harta risywah (jika pemberi Risywah tidak
mendapatkan apa yang diinginkan) adalah mubah dengan syarat harus ada
pembaruan akad dan keempat hukum melakukan suap jika diniatkan untuk
kebaikan atau dalam keadaan memaksa, maka hukum melakukan risywah berlaku
hukum dhoruri (darurat), dan hukumnya adalah mubah (diperbolehkan).
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai mahluk yang sempurna dibandingkan dengan mahluk
lainnya, maka sudah sewajarnya jika manusia selalu memiliki hasrat untuk
memiliki harta berlimpah dan ingin hidup mewah. Dengan didukung
modernisasi yang ditandai dengan semakin canggih dan tingginya
pengetahuan, maka seharusnya hal ini menjadikan manusia untuk tumbuh
semakin cerdas, jujur dan mengikuti peraturan yang ada dengan tanpa
merugikan orang lain.
Karena secara umum yang dipandang atau dijadikan tolok ukur dalam
status sosial adalah tingkat perekonomian, maka ini melahirkan sebuah kastakasta tertentu yang melekat di anggota masyarakat, meskipun disisi lain
seharusnya hal tersebut menjadi motivasi dan semangat baru agar setiap
anggota masyarakat mampu merubah keadaannya menjadi lebih baik lagi.
Harta sebagai salah satu kebutuhan primer dalam kehidupan manusia,
menjadikan menusia berlomba- lomba untuk mendapatkan dan memilikinya,
bahkan dalam sebuah hadits masyhur, Nabi SAW bersabda:
‫ي ه‬
ُ ‫ اِ ْع َم ْل ِلد‬:‫سله َم قَا َل‬
َ ُ‫صلهى هللا‬
َ ،ُ‫ع ْنه‬
َ ُ‫اَّلل‬
ِ ‫ي قُت َ ْيبَ ْة َر‬
َ
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫ي‬
ِِّ ‫ع ِن النه ِب‬
َ ‫ض‬
َ ‫ع ْن أ َ ِب‬
َ ُ‫ْس اَبَدًا َو ْع َم ْل ِِل ِخ َرتِ َك َكا َءنه َك ت َ ُم ْوت‬
) ‫غدًا ( رواه البيهقى‬
ُ ‫ْنيَ َك َكا َءنه َك تَ ِعي‬
xiii
“Dari Ibnu Qutaibah R.A, rasulullah SAW bersabda: bekerjalah kamu
seakan kamu akan hidup selamanya dan beribadahlah kamu seakan
kamu akan mati esok pagi.”(HR. Baihaqi).1
Hanya ada satu cara yang bisa dilakukan untuk bisa mendapatkan harta,
yaitu dengan bekerja. Dari pekerjaan ini akan muncul berbagai jenis kegiatan
untuk mendapatkan harta, seperti berdagang dan berkerja di perusahaan
swasta atau di lembaga Negara.
Meskipun manusia sebagai pemilik harta secara penuh, tidak berarti
bahwa manusia tersebut akan tercukupi semua kebutuhannya jika tidak
dibelanjakan atau memutar harta tersebut. seorang yang memiliki emas 30 Kg
misalnya, maka emas tersebut tidak akan pernah bermanfaat jika orang
tersebut tinggal di dalam hutan yang jauh dari manusia dan tidak dapat
melakukan interaksi dengan manusia lainnya.
Harta yang dimiliki seharusnya ditransfer atau diputar untuk memenuhi
kebutuhannya. Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk memutar harta,
bisa dengan jual beli, shodaqoh, wakaf, hibah dan lain-lain.
Akan tetapi tidak berarti bahwa pemanfaatan harta yang dilakukan,
semua hukumnya halal, melainkan ada juga yang hukum awalnya wajib
berubah menjadi haram. Seperti zakat fitrah yang hukum awalnya adalah
wajib, maka dapat berubah menjadi tidak wajib jika yang bersangkutan tidak
mampu untuk membayarnya. Seperti shodaqoh yang hukum awalnya adalah
sunnah, maka dapat berubah menjadi haram jika dilakukan dengan dasar tidak
1
Muhammad Nasshiruddin Al-Albani, Silsilatul-Ahaadiits Adh-Dhaifah Wal-Maudhu’ah,
terj. A.M. Basalamah, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hal. 40
xiv
ikhlas atau didasarkan dengan tujuan untuk mendapatkan hal- hal tertentu
yang melanggar hukum.
Atau bisa melakukan transaksi antar dua orang atau lebih untuk
mendapatkan harta, cara ini dipandang sangat tepat dengan kebutuhan
manusia sebagai mahluk sosial. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Manusia harus saling tolongmenolong atas dasar perbuatan yang baik dan tidak melanggar hukum serta
bermanfaat.
Bahkan jika dikaji lebih mendalam, betapa panjang perjalanan sebutir
beras untuk dapat sampai ke konsumen, mulai dari petani yang menanam padi
di sawah, petani harus menungu selama ±3 bulan hingga padi menguning,
memanen padi, memisahkan padi dengan jerami, menjemur gabah hingga
benar-benar kering, kemudian digiling hingga menjadi beras, setelah itu oleh
petani dijual hingga pada akhirnya sampai pada konsumen.
Selain
hubungan
yang
bersifat
transaksional,
manusia
juga
membutuhkan sikap saling tolong menolong antar manusia lainnya. Ini tidak
bertujuan untuk mencari keuntungan. Ini lebih ditujukan atas dasar
keikhlasan. Karena jika manusia hanya melakukan kegiatan yang bersifat
transaksional, maka ia akan menjadi sosok yang seakan serakah, yang hanya
mementingkan kepentingan diri sendiri, padahal manusia seharusnya menjadi
sosok yang mampu menjaga keharmonisan hubungan dengan sesama manusia
lainnya.
xv
Hibah sebagai salah satu contoh dari hubungan dua manusia yang tidak
bersifat transaksional dan lebih bersifat tolong-menolong. Dengan demikian,
seharusnya hibah ini menjadi salah satu dasar sebagai tindakan manusia untuk
memberikan hartanya dengan penuh keikhlasan dan tanpa mengharapkan
imbalan apapun.
Akan tetapi, dengan semakin tingginya tingkat pendidikan yang
ditempuh oleh manusia saat ini, sebagai bukti dari bertambahnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya dunia pendidikan. Seharusnya mampu
memberikan pemahaman dan kesadaran dalam melakukan kesepakatankesepakatan dengan manusia lainnya.
Akan tetapi, harapan yang seharusnya dapat terwujud, seakan menjadi
kenangan yang tidak dapat terwujud sepenuhnya. Hal ini terbukti dengan
banyaknya kasus-kasus korupsi, penyelewengan dana dan lain-lain, yang
tentunya memberikan kerugian manusia secara umum.
Di sisi lain, karakter manusia sebagai mahluk yang memiliki keinginan,
menjadikan manusia berani melakukan tindakan yang samar-samar di depan
hukum. Memberikan sejumlah harta dengan alasan sebagai hibah akan tetapi
dia memiliki keinginan yang ada kaitannya dengan orang tersebut.
Dengan menjadi samar-samar di depan hukum, maka akan menjebak
manusia itu sendiri kedalam jurang kesesatan. Sehingga akan menimbulkan
masalah baru yang akan diterima oleh pemberi atau penerima harta tersebut.
Hibah dan risywah adalah dua akad yang berbeda dimata hukum. Hibah
memiliki hukum halal (mubah) dan risywah para Ulama’ secara umum telah
xvi
meyepakati keharamannya. Maka sudah tentu hal ini tidak perlu diragukan
lagi, harta yang diberikanpun menjadi haram, karena syarat harta halal adalah
halal dari cara memperoleh dan halal dari dzat benda tersebut. sehingga
meskipun harta yang dijadikan sebagai obyek risywah adalah harta yang halal
secara dzatnya, akan tetapi akan menjadi haram karena diberikan tidak atas
dasar keikhlasan melainkan untuk mendapatkan sesuatu yang lain.
Hal ini tidak hanya terjadi kepada para pejabat tinggi saja, melainkan
juga terjadi di kawasan pinggiran Tulungagung sebalah timur, Kecamatan
Rejotangan yang juga tidak luput dari hal- hal tersebut diatas.
Kecamatan Rejotangan sebagai kecamatan di ujung timur dari
Kabupaten Tulungagung dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Blitar,
maka sudah menjadi hal yang wajar jika mendapatkan perhatian khusus
dibanding dengan Kecamatan-kecamatan lain yang tidak berada dipinggiran
Kabupaten Tulungagung. Perhatian tersebut berupa kekhawatiran terhadap
adanya praktik suap yang sering menjamur ketika musim pemilu tiba.
Serangan
fajar
sebelum
pencoblosan
berlangsung
dengan
memanfaatkan kelengahan dari petugas atau bahkan hingga memanfaatkan
masyarakat setempat sebagai pelakunya. Meskipun sudah dianggap sebagai
hal yang wajar di masyarakat, akan tetapi di kalangan para pemuka agama
Islam yang berada di wilayah Kecamatan Rejotangan menyatakan hal yang
berbeda-beda terhadap hal tersebut.
Dengan banyaknya pemuka agama Islam di Kecamatan Rejotangan
yang menyatakan perbedaan pendapat mengenai kehalalan dari harta yang
xvii
diperoleh dari pemberian para kandidat dalam pemilu, maka di kecamatan
Rejotangan menjadi wilayah yang sangat menarik untuk diteliti. Karena
dalam setiap pemuka agama Islam pasti memiliki konsep pemikiran yang
berbeda, meskipun dasar rujukannya sama dan bahkan tidak menutup
kemungkinan juga dengan bahasa yang berbeda pula.
Selain itu, juga pernah terjadi kasus yang sempat menjadi berita hangat,
yang mana para Penghulu di seluruh wilayah Jawa Timur ramai-ramai
menolak menikahkan diluar jam dan hari kerja.2 Sehingga mereka hanya akan
menikahkan di hari dan jam kerja saja serta biaya pernikahan yang tidak
boleh lebih dari ±Rp. 30.000,- Seharusnya ini dipatuhi oleh semua penghulu
yang ada diwilayah Jawa Timur termasuk didalamnya adalah penghulu yang
berada di Kecamatan Rejotangan.
Akan tetapi tidak demikian yang terjadi, di salah satu desa di Kec.
Rejotangan, yang mana salah satu keluarga pernah menikahkan salah satu
putranya di luar jam kerja dan dengan tarif hingga Rp. 150.000,-3 hal tersebut
secara aturan memang melanggar hukum, akan tetapi dengan alasan yang
berbeda mungkin akan menjadi tidak melanggar hukum. Atas dasar inilah
penulis ingin mengadakan penelitian yang bersifat kualitatif di Kec.
Rejotangan, Kabupaten Tulungagung dengan mengangkat judul “Studi
Komparasi Antara Hibah Dan Risywah Menurut Pemuka Agama Islam di
Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung”
2
http://www.antaranews.com/berita/408845/ketika-penghulu-menolak-menikahkan-di-harilibur, diakses pada 6 Mei 2014, Pkl. 12.00 WIB
3
Hasil wawancara dengan Mbk Alfiah pada hari ahad, 23 April 2014
xviii
B. Fokus Penelitian
Untuk membatasi ruang lingkup pembahasan dan agar penelitian ini
memiliki tujuan yang jelas, maka penulis mencoba merumuskan masalah
dengan memfokuskan pada:
1. Apa perbedaan antara hibah dan risywah?
2. Bagaimana hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan menurut
pemuka agama Islam di kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung?
3. Bagaimana hukum memakan harta risywah jika tidak mendapatkan apa
yang diinginkan menurut pemuka agama Islam di kecamatan Rejotangan,
Kabupaten Tulungagung?
4. Bagaimana hukum risywah jika dilakukan untuk mempertahankan
kebenaran atau mencegah kezaliman?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan merupakan target yang hendak dicapai dalam melakukan suatu
kegiatan. Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulis
membahas tentang hibah dan risywah, adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perbedaan antara hibah dan risywah.
2. Untuk mengetahui hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan
menurut pemuka agama Islam di kecamatan Rejotangan, Kabupaten
Tulungagung.
3. Untuk mengetahui hukum dari mengkonsumsi harta risywah jika tidak
mendapatkan apa yang diinginkan menurut pemuka agama Islam di
kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung.
xix
4. Untuk mengetahui bagaimana hukum risywah, jika risywah tersebut
dilakukan untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah kezaliman.
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari tulisan ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara
teoritis ataupun praktis kepada pihak-pihak terkait, diharapkan manfaat dari
penulisan ini adalah untuk:
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis, hasil dari penulisan ini dapat menambah pengetahuan
kepada peneliti sendiri dan kepada IAIN Tulungagung serta karena
penelitian ini bersifat
memberikan
manfaat
lapangan, maka diharapkan juga mampu
kepada
masyarakat
di
wilayah
Kecamatan
Rejotangan, Kabupaten Tulungagung dalam kaitannya dalam pembahasan
masalah hibah dan risywah.
2. Manfaat praktis.
Secara praktis, tulisan ini diharapkan memberikan manfaat kepada penulis
sendiri dan semua pihak terkait mengenai perbedaan hibah dan risywah.
E. Penegasan Istilah
1. konseptual
a. Pemuka Agama Islam adalah seseorang yang memiliki kontribusi dalam
agama Islam, sehingga banyak dijadikan panutan dan teladan bagi
masyarakat ataupun pemeluk agama Islam.4
4
https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080908073850AAeu2zt, diakses 20
maret 2014, pkl. 21.30 WIB
xx
b. Akad adalah pertemuan ijab dan Kabul sebagai pernyataan kehendak
dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada
obyeknya.5
c. Hibah adalah adalah akad perjanjian yang menyertakan pemindahan
hak milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia masih hidup tanpa
mengharapkan penggantian sedikitpun.6
d. Risywah adalah memberi sesuatu kepada pihak lain untuk mendapatkan
sesuatu yang bukan haknya.7
2. Operasional.
Adapun maksud dari judul “Studi Komparasi Antara Hibah dan
Risywah Menurut Pemuka Agama Islam di Kecamatan Rejotangan,
Kabupaten Tulungagung” adalah untuk mendapatkan pemahaman terhadap
hibah dan risywah menurut para pemuka agama Islam yang berada di
wilayah Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk mencapai tujuan penulisan skripsi ini, sebagai karya ilmiah harus
memenuhi syarat logis dan sistematis. Dalam pembahasannya, penulis
menyusun skripsi ini menjadi lima bab, yaitu:
BAB I: Pendahuluan, dalam bab ini membahas mengenai : latar
belakang, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan
istilah dan sistematika penulisan skripsi.
5
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007),
6
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 208-209
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Keuangan. ( Jakarta: Jajawali Pers, 2009), hal.
hal. 68
7
45
xxi
BAB II: Kajian Pustaka, dalam kajian pustaka ini akan dibahas
mengenai: kajian mengenai Akad, Kajian mengenai Hibah, kajian mengenai
Risywah dan penelitian terdahulu.
BAB III: Metode penelitian, dalam bab ini membahas mengenai : jenis
penelitian, lokasi penelitian, kehadiran peneliti, sumber data, prosedur
pengumpulan data, teknik analisis data, pengecekan keabsahan temuan dan
tahapan penelitian.
BAB IV : Paparan data tentang hasil penelitian, dalam bab ini
membahas mengenai: a) lokasi penelitian, b) paparan data, c) pembahasan.
BAB V : Penutup, dalam bab yang terakhir ini, akan memuat : a)
kesimpulan, b) saran dari peneliti yang diajukan kepada beberapa pihak
terkait.
xxii
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Akad
1. Pengertian Akad.
Akad merupakan bagian dari macam-macam tasharruf, yang
dimaksud dengan tasharruf adalah :
َّ ‫علَ ْي ِه ال‬
ُ ْ‫شر‬
ْ ‫ُك ُّل َما َي‬
‫ع نَتَا ِب َح‬
َ ُ‫ص ِِِ ِبأ َِرادَتِ ِه َوي َُرتِب‬
ِ ‫صدُ ُر ِم ُن ش َْخ‬
‫ُحقُوقِ ْي ِه‬
"segala yang keluar dari seorang manusia dengan kehendaknya dan
syara’ menetapkan hukum haknya."8
Tasharruf terbagi menjadi dua macam, yaitu tasharruf yang
dilakukan dengan usaha atau dengan anggota badannya yang lain dengan
tanpa mengucapkan (secara isyarat) dan tasharruf yang dilakukan dengan
lisan.
Istilah akad memiliki kesamaan maksud dengan perjanjian
persetujuan dua buah perjanjian atau lebih dan perikatan
(‫(عهد‬,
)‫(عقد‬9,
sedangkan menurut bahasa, istilah al-aqad, memiliki arti sebagai ikatan
dan tali pengikat.10
8
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 43
Ibid., hal. 45
10
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalah Sistem Transaksi Islam, (Jakarta:
Amzah, 2010), hal. 15
9
xxiii
Sedangkan menurut istilah akad diartikan dengan pertemuan ijab dan
qabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan
suatu akibat hukum pada obyeknya.11
2. Syarat dan rukun akad
Syarat merupakan bagian yang penting keberadaanya dalam sebuah
kegiatan. Meskipun syarat bukan bukan bagian dari dalam sebuah kegiatan
dalam, akan tetapi jika syarat ini tidak terpenuhi salah satu saja, maka
kegiatan yang dilakukan akan menjadi tidak sah atau batal demi hukum.
Atas alasan inilah mengapa syarat menjadi suatu yang harus dilaksanakan
ketika akan memulai atau setelah selesai melakukan sebuah pekerjaan.
Rukun adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan atau menjadi
unsur dalam sebuah kegiatan. Sehingga rukun menempatkan dirinya
sebagai suatu bagian yang harus ada dalam sebuah kegiatan ketika
kegiatan tersebut dilaksanakan. Sehingga dalam pelaksanaannya, ketika
rukun ini tidak dilaksanakan maka secara otomatis tindakan yang
dilakukan tersebut akan tidak sah atau batal demi hukum.
Begitu juga dengan akad, meskipun secara kasat mata pelaksanaan
akad dapat dilakukan dengan mudah, akan tetapi juga terdapat syaratsyarat yang melekat dan harus dilaksanakan sebelum atau sesudah akad
tersebut selesai dilaksanakan dan rukun yang harus dilaksanakan ketika
perbutan tersebut dilaksanakan. Adapun yang menjadi rukun dari akad
adalah sebagai berikut:
11
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007),
hal. 68
xxiv
a. Al-‘Aqidain atau para pihak yang melakukan akad
b. Nahallul ‘aqad atau obyek akad, yaitu sesuatu yang hendak diakadkan
c. Sighat ‘akad atau pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan
melalui pernyataan ijab dan pernyataan qobul12
d. Maudhu’ Al – Aqad atau tujuan akad13
Dari keempat rukun akad tersebut, maka masing-masing rukun
diharuskan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Al-‘Aqidain atau para pihak yang melaksanakan akad. Pihak-pihak yang
melakukan akad, disyaratkan sebagai berikut:
1. Mukallaf Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak14
2. Aqil (berakal)
3. Tamyis atau dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk
4. Mukhtar atau masing-masing pihak harus lepas dari paksaan atau
tekanan15
b. Nahallul ‘aqad atau obyek akad dapat menerima hukumnya. Adapun
syarat dari obyek akad adalah sebagai berikut:
1. Halal menurut syara’, halal secara syara’ adalah bahwa harta
tersebut harus didapatkan dengan cara yang baik dan halal,16 artinya
12
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Konstektual. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), hal. 78
13
Ibid., hal. 86
14
Ibid., hal. 81
15
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 16-17
16
Didin Hafidudin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hal
20
xxv
harta yang dijadikan sebagai obyek akad adalah harta yang halal,
baik dari cara mendapatkannya ataupun juga dari dzat benda itu
sendiri.
2. Bermanfaat (bukan merusak atau digunakan untuk merusak)
c. Sighat ‘akad (ijab qobul). Ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar
dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam
mengadakan akad, sedangkan qobul adalah perkataan yang keluar dari
pihak yang berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Adapun
yang disyaratkan dalam ijab qobul adalah :
1. Kata-kata dalam ijab qobul harus jelas pengertiannya
2. Bersesuaian antara ijab dan qobul
3. Harus menggambarkan kesungguhan kemauan17
d. Maudhu’ Al-Aqad atau tujuan akad. Tujuan akad disyaratkan harus jelas
dan diakui oleh syara’18. Sehingga meskipun akadnya itu diperuntukkan
sesuatu yang jelas, akan tetapi melanggar syara’ maka bisa dipastikan
akad tersebut tidak sah, seperti menjual anggur kepada pabrik minuman
keras, menjual ayam untuk aduan dan lain-lain.
Selain syarat-syarat dari setiap rukun akad tersebut diatas, syarat
akad secara umum adalah sebagai berikut:
1. Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya
2. Harus sama ridlo dan ada pilihan (khiyar)
17
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah..., hal. 47 - 48
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), hal. 108
18
xxvi
3. Harus jelas dan gamblang19
4. Adanya causa yang halal20
3. Macam-Macam Akad
Pada dasarnya akad terbagi menjadi tiga macam, yaitu akad munjis,
akad mu’allaq dan akad nudhaf.21 Dalam perkembangannya akad masih
dapat dibagi menjadi beberapa macam menurut klasifikasi tertentu, berikut
penjelasan terhadap macam-macam akad tersebut:
a. Akad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada saat
selesainya akad.
b. Akad Mu’allaq yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syaratsyarat yang telah ditentukan dalam akad.
c. Akad Nudhaf yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syaratsyarat mengenai penangguhan pelaksanaannya.
Selain tiga jenis akad tersebut, akad masih diklasifikasikan menjadi
beberapa jenis, yaitu:
a. Menurut disyariatkan atau tidak
1. Akad musara’ah atau akad yang dibenarkan oleh syara’ (seperti
gadai dan jual beli).
2. Akad mamnu’ah atau akad yang dilarang oleh syara’ (seperti menjual
ikan dalam kolam).22
19
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), hal. 3
20
Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal.165
21
Qomarul Huda,Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 33
22
Ibid., hal. 36
xxvii
b. Menurut keabsahannya
1. Akad ghoiru shohih adalah akad yang mana kedua belah pihak
memiliki hak untuk membatalkan dengan cara fasakh tanpa harus
menunggu kerelaan pihak lain.23 Dengan demikian bahwa akad
ghoiru shohih adalah akad yang sebagian unsurnya atau sebagian
rukunnya tidak terpenuhi.24 Sehingga akad ini adalah akad yang
rusak dan karena rukunnya tidak terpenuhi maka akad ini adalah
akad yang tidak sah atau batal demi hukum.
2. Akad shohih adalah akad yang memenuhi seluruh persyaratan yang
berlaku pada setiap unsur akad.25
c. Menurut sifat bendanya
1. Akad ainiyah atau akad yang harus disempurnakan dengan
penyerahan harta benda obyek akad (seperti rahn, hibah, ‘ariyah,
wadhi’ah).
2. Akad ghoiri ainiyah adalah akad yang kesempurnaannya hanya
didasarkan pada kesempurnaan bentuk akadnya saja dan tidak
mengharuskan adanya penyerahan.26
d. Menurut cara melakukan
1. Akad yang harus dilakukan dengan upacara-upacara tertentu (seperti
pernikahan).
23
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalah..., hal. 22
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah…, hal. 104
25
Ibid., hal. 103
26
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah…, hal. 108
24
xxviii
2. Akad ridho’iyah atau akad yang dilakukan tanpa upacara-upacara
tertentu.27
e. Menurut berlaku tidaknya akad
1. Akad nafidz adalah akad yang bebas atau terlepas dari penghalangpenghalang akad.28 Sehingga akad nafidz ini adalah akad yang
memiliki peluang sangat besar untuk dapat dilaksanakan pada waktu
itu juga atau pada waktu-waktu lain yang telah disepakati.
2. Akad mauquf adalah akad-akad yang bertalian dengan persetujuanpersetujuan.29 Atau akad yang dilakukan oleh seseorang yang
mampu bertindak atas kehendak hukum, tetapi dia tidak memiliki
kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan.30
f. Menurut lazim dan dapat dibatalkan31
1. Akad lazim atau akad yang tidak dapat dibatalkan oleh salah satu
pihak tanpa persetujuan pihak yang lainnya (seperti perceraian).
2. Akad ghoiru lazim atau akad yang dapat dibatalkan oleh salah satu
pihak tanpa persetujuan dari pihak yang lainnya.
g. Menurut tukar menukar hakin32
1. Akad mu’awadhah atau akad yang berlaku atas dasar timbal balik.
2. Akad tabarru’at atau akad yang berlaku atas dasar pemberian dan
pertolongan.
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah…, hal. 36
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah..., hal. 53
29
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah…, hal. 37
30
M. Ali Hasan, Berbagai Macam…, hal. 110
31
Veitzal Rivai, Islamic Transaction Law In Business dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), hal. 10-11
32
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah…, hal. 38
27
28
xxix
h. Menurut tujuannya.
1. Akad yang bertujuan untuk memilki (tamlik), akad yang bertujuan
untuk mengadakan usaha.
2. Akad yang bertujuan untuk menyerahkan kekuasaan (wakalah).
i. Menurut masa pelaksanaan akad33
1. Akad fauriyah atau akad yang dalam pelaksanaannya tidak
memerlukan waktu yang lama.
2. Akad istimrar atau akad yang dalam pelaksanannya membutuhkan
waktu yang lama.
j. Menurut ashliyah dan thabiiyahnya34
1. Akad ashliyah atau akad yang berrdiri sendiri tanpa memerlukan
adanya sesuatu dari yang lain (seperti jual beli).
2. Akad thabiyah adalah akad yang memerlukan adanya akad yang lain
(seperti rahn, tidak akan dilakukan rahn jika tidak ada hutang).
4. Azas-Azas Akad
Azas atau dasar yang menjadi sumber rujukan dalam sebuah
kegiatan, yang mana azas ini menjadi sebuah dasar kebenaran yang
menjadi pokok utama dalam berfikir. Seperti azas yang dikenal dalam
Islam, maka semua tindakan akan didasarkan pada Al-Quran dan AlHadits. Sehingga jika dalam tindakan sehari hari terdapat perbuatan yang
tidak sesuai dengan keduanya, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan
yang melanggar hukum. Begitu pula dalam akad, azas yang dijadikan
33
34
Ibid., hal. 39
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah..., hal. 55
xxx
sebagai patokan adalah hukum yang berlaku pada saat ini, baik itu hukum
positif ataupun hukum agama.
Sedangkan yang menjadi sumber dari azas akad menurut Islam
adalah Al-Quran dan Al-Hadits. Akan tetapi tidak semua ayat dan hadits
dapat dijadikan sebuah dasar dalam penetapan dasar-dasar akad. Berikut
azas-azas akad dalam Islam:
a. Azas Ilahiah, hal ini dirujuk pada QS Al-Hadid ayat 4, sebagai berikut:
   






 
“dan
dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah
Maha melihat apa yang kamu kerjakan”35
b. Azas kebebasan berkontrak
Azas kebebasan berkontrak adalah azas yang memberikan kebebasan
para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan
perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan
persyaratan umum serta menentukan bentuk perjanjian (tertulis atau
tidak tertulis).36 Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk
melakukan suatu perikatan. Bentuk dan isi perikatan tersebut ditentukan
oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka
perikatan itu mengikat para pihak yang menyepakatinya dan harus
dilaksanakan segala hak dan kewajibannya.37 Tentunya azas kebebasan
35
Departemen Agama RI, Tafsir Quran Karim, terj. Mahmud Yunus, (Jakarta: PT
Hidakarya Agung, 2000), hal. 805
36
Salim, PengantarHukum..., 158
37
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum…, hal 31
xxxi
berkontrak ini tidak memberikan pembenaran kepada siapapun untuk
melakukan akad yang secara syara’ dilarang, seperti melakukan akad
dengan tujuan untuk mencuri, membunuh dan lain-lain.
c. Azas persamaan dan kesetaraan (Al – Musawah)
Azas persamaan dan kesetaraan atau azas keseimbangan adalah suatu
azas yang menghendaki kedua belah pihak untuk melakukan
perjanjian.38 Hal ini disebabkan karena setiap manusia tercipta berbedabeda dan memiliki kelebihan serta kekurangan masing-masing. Manusia
tercipta untuk saling melengkapi. Dalam akad, pasti memuat hak dan
kewajiban dari para pihak yang melakukan akad, namun hak dan
kewajiban yang dibebankan tidak boleh melebihi kemampuan dari
pelaku akad, hal ini tercantum dalam QS. An-Nahl ayat 71 sebagai
berikut:
   
   
“dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain
dalam hal rezki”39
d. Azas keadilan
Keadilan adalah keseimbangan antara berbagai potensi individu, baik
moral ataupun materiil, antara individu dengan masyarakat dan antara
masyarakat yang satu dengan lainnya yang lainnya berlandaskan pada
syariah Islam.40
Salim, Pengantar Hukum…, hal. 159
Departemen Agama RI, Tafsir Quran…, hal. 219
40
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum…, hal 34
38
39
xxxii
e. Azas kerelaan
Setiap akad yang dilakukan, maka harus terdapat kerelaan antar pihak
yang melakukan akad. Karena jika sebuah akad dilakukan atas dasar
kerelaan, maka selain akad menjadi sah, juga untuk menunjukkan
iktikad baik bagi kedua belah pihak, sehingga hak dan kewajiban dari
masing-masing pelaku akad dapat terlaksana dengan baik.
f. Azas kejujuran
Sifat jujur dalam kehidupan memang menjadi salah satu hal pokok.
Karena dengan kejujuran ini akan memberikan sebuah kepercayaan dan
legalitas sebuah akad akan dapat dipertanggung jawabkan dengan baik.
Bahkan dalam QS Al-Ahzab ayat 70, disebutkan bahwa:
 
 
  
 
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah
dan Katakanlah Perkataan yang benar”41
g. Azas tertulis
Azas tertulis adalah sebuah azas yang menanjurkan kepada siapa saja
yang melakukan akad untuk mencatat semua isi dari akad-akad yang
dan disepakati oleh para pihak yang melakukan akad. Hal ini
dilaksanakan agar jika pada suatu saat terjadi wanprestasi atau ingkar
41
Departemen Agama RI, Tafsir Quran…, hal. 626
xxxiii
janji, maka akan dapat dibuktikan dan diketahui kebenaran yang
sesungguhnya.
5. Hak dan Kewajiban Subyek Akad
Subyek hukum adalah mereka yang memiliki kecakapan untuk
menjadi subyek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban.42
Sehingga pihak-pihak yang melakukan akad harus saling memenuhi
prestasinya. Jika salah satu pihak tidak memenuhi prestasinya, maka akan
berakibat timbulnya ketidakseimbangan hak dan kewajiban dan akan
merugikan pihak lain.
Seperti seorang pembeli yang hendak membeli air mineral pada
sebuah toko, maka kewajibannya adalah memberikan sejumlah uang yang
seharga dengan air mineral tersebut dan selain itu ia juga berhak untuk
mendapatkan air mineral yang ia inginkan, sedangkan yang menjadi
kewajiban dari penjual adalah menyerahkan air mineral yang dibeli oleh
pembeli dan hak dari penjual adalah menerima sejumlah uang seharga air
mineral tersebut.
Hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari akad adalah sebuah
keharusan yang harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berakad.
Sehingga masing-masing pihak akan sama-sama diuntungkan dan tidak
ada satupun yang dirugikan atau merasa ditipu. Hal ini sangat penting
42
Salim, Pengantar Hukum…, hal. 24
xxxiv
adanya karena manusia yang hidup secara sosial dan harus saling
melenggkapi kebutuhan satu sama lainnya.
6. Berakhirnya Akad
Akad yang dilaksanakan setelah terjadi kesepakatan oleh para pihak
yang melakukan akad. Akan tetapi dalam masalah pengakhiran suatu akad,
tidak selamanya dilaksanakan setelah akad tersebut selesai dilaksanakan,
dengan kata lain jika sebuah akad telah selesai dilaksanakan maka akad
tersebut akas berakhir dengan sendirinya. Dengan demikian maka
sebenarnya, berakhirnya suatu akad dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu ketika sebelum akad tersebut selesai dilaksanakan dan ketika akad
tersebut telah selesai dilaksanakan. Berakhirnya akad ketika sebelum akad
tersebut selesai disebabkan karena adanya kesepakatan yang disebabkan
oleh adanya urbun, karena tidak dilaksanakan dan karena mustahil untuk
dilaksanakan.
1. Karena adanya kesepakatan (Al-iqolah)
Apabila suatu akad telah memenuhi rukun dan syaratnya sesuai dengan
ketentuan hukum, maka akad tersebut menjadi mengikat.43 Sehingga
akad tersebut tidak dapat dibatalkan oleh para pihak yang melakukan
kesepakatan secara sepihak. Dengan demikian, maka jika ada keinginan
untuk membatalkan, maka harus didasari dengan kesepakatan para
43
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007), hal. 341-342
xxxv
pihak yang telah melakukan akad. Jika kedua pihak sepakat untuk
membatalkan, maka akad tersebut akan batal dan jika tidak, maka akad
tersebut harus tetap dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan.
2. Karena urbun (uang muka)
Urbun terjadi karena adanya tindakan hukum para pihak yang
memberikan kemungkinan kepada masing-masing untuk memutuskan
akad yang bersangkutan secara sepihak dengan memikul suatu kerugian
tertentu.44 Urbun sendiri merupakan suatu bentuk kompensasi dalam
pembatalan akad dari pembayar urbun kepada pihak kedua (penerima
urbun) dan jika pihak kedua (penerima urbun) yang membatalkan akad,
maka dia berkewajiban untuk mengembalikan urbun tersebut.
3. Karena tidak dilaksanakan
Secara umum, para pihak yang melakukan akad akan mandapatkan hak
dan kewajiban yang mengikat pada masing-masing pihak. Akan tetapi
jika kenyataanyan tidak demikian (tidak dilaksanakan) maka akad
tersebut akan batal atau akan berakhir dengan sendirinya.
4. karena mustahil untuk dilaksanakan
Apabila tidak dilaksanakannya perikatan oleh satu pihak disebabkan
oleh alasan eksternal, maka akad batal dengan sendirinya tanpa perlu
putusan hakim karena akad mustahil untuk dilaksanakan.45 Sebagai
contoh dalam akad kerjasama bagi hasil, pihak shohibul mal
44
45
Ibid., hal. 347
Ibid., hal. 359
xxxvi
memberikan dana untuk beternak sapi sejumlah Rp. 10.000.000,kepada pengusaha, bagi hasil yang diinginkan oleh pemberi modal
adalah sebesar Rp. 15.000.000,- per bulan. Pengusaha tidak akan dapat
melaksanakannya karena beternak sapi akan dapat dipanen +dua tahun
sekali, sehingga menjadi mustahil jika setiap bulan harus membayar
bagi hasil sebesar Rp. 15.000.000,-.
B. Hibah
1. Pengertian Hibah
Dalam bahasa Arab, hibah disebut dengan al-hibah, secara bahasa
dari hubbub al-rib, yaitu: “perlewatan untuk melewatkan dari tangan
kepada orang lain”.46 Selain itu, hibah juga diartikan sebagai pemberian,
hal ini karena didalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 38 telah
menceritakan tentang permohonan dari Nabi Zakaria kepada Allah,
sebagai berikut:





    








“di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata:
"Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang
baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa".47
46
47
Hendi Suhendi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Fiqh Muamalah, 2002), Hal. 209
Departemen Agama RI, Tafsir Quran…, hal. 42
xxxvii
Hibah adalah memberikan suatu barang yang pada ghalibnya sah
dijual atau piutang oleh orang ahli tabarru’ dengan tanpa ada pertukaran.48
Menurut KUHPer, hibah adalah suatu perjanjian dengan mana penghibah
diwaktu hidupnya dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali
menyerahkan sesuatu benda guna keperluan penerima hibah yang
menerima penyerahan itu.49 Hibah yang berarti pemberian, maka pemberi
harus benar-benar rela melepas harta yang telah dia berikan kepada orang
lain dengan tanpa meminta atau sekedar mengharap imbalan dari orang
lain dan tanpa sebab apapun. Jika seseorang memberikan sejumlah harta
kepada orang lain dengan tujuan untuk memuliakannya maka hal itu
disebut dengan hadiah.50 Akan tetapi jika seseorang memberi dengan tanpa
mengharap imbalan apapun selain ridlo dari Allah SWT maka itu disebut
dengan sedekah atau shodaqoh.51
2. Dasar Hukum Hibah
a. Al-Quran




 






48
Syeh Zainuddin bin Muhammad al Ghozaly al Malibary, Fathul Mu’in jilid 2, terj. Aliy
As’ad, Fathul Mu’in, (Yogyakarta: Menara Kudus, Tanpa Tahun), hal. 324
49
Kitab undang-undang perdata = burgerlijk wetboek : dengan tambahan undang-undang
pokok agrarian dan undang-undang perkawinan, terj. R. Subekti dan R. tjitrosudibio, (Jakarta:
pradnya paramita, 2006), hal. 436
50
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam), (Bandung: Sinar Baru Algesindo,
1994), hal. 326
51
Ibid., hal. 326
xxxviii






 
“dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya
Allah Amat berat siksa-Nya” 52










 

“memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan)
dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya”53
b. Al-Hadits
‫ي ه‬
:‫سله َم قَا َل‬
َ ُ‫صلهى هللا‬
َ ،ُ‫ع ْنه‬
َ ُ‫اَّلل‬
ِ ‫ع ْن أَبِي ُه َري َْرة َ َر‬
َ
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫ي‬
ِِّ ِ‫ع ِن النهب‬
َ ‫ض‬
‫ي ذ َِراعٌ أ َ ْو‬
‫ِي إِلَ ه‬
َ ‫ َولَ ْو أ ُ ْهد‬، ُ‫لَ ْو د ُ ِعيتُ إِلَى ذ َِراعٍ أَ ْو ُك َراعٍ ََل َ َجبْت‬
)‫ُك َراعٌ لَقَبِ ْلتُ (رواه البخري‬
“diriwayatkan dari Abu Hurarirah r.a bahwa Nabi SAW bersabda:
sekiranya saya diundang untuk makan sepotong kaki binatang, pasti
saya kabulkan undangan tersebut; begitu juga kalau sepotong kaki
binatang dihadiahkan kepada saya, tentu akan saya terima” (HR.
Bukhori)54
3. Syarat Dan Rukun Hibah
Departemen Agama RI, Tafsir Quran…, hal. 85
Ibid., hal. 21
54
Al-Imam Zainudun Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih Al-Bukhari
Al-Musamma, terj. Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hal. 432
52
53
xxxix
Para imam madzhab sepakat, hibah menjadi sah hukumnya jika
dilakukan dengan tiga perkara55:
a. Shighat (ijab Qobul)
b. Qabdhu (serah terima barang yang dihibahkan)
c. Ada yang memberi dan diberi56
Dari ketiga rukun hibah tersebut, masing-masing rukun memiliki
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Shighat (Ijab Qobul), disyaratkan bahwa:
1. Kata-kata dalam ijab qobul harus jelas pengertiannya
2. Harus bersesuaian antara ijab dan qobul
3. Harus menggambarkan kesungguhan kemauan57
b. Qabdhu (serah terima barang yang dihibahkan), disyaratkan bahwa:
1. Benda tersebut benar-benar ada
2. Benda tersebut mempunyai nilai
3. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya
4. Benda tersebut dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima
hibah
c. Ada yang memberi dan diberi, untuk pemberi hibah maka disyaratkan
bahwa58:
a. Barang yang dihibahkan adalah milik si pemberi hibah
Syaikh al – Alamah Muhammad, Rahmah Al-Ummah fi Ikhtilafi Al-A’immah, terj.
‘Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi Press, 2004), hal. 309
56
Sulaiman Rasyid, Fiqh Isla…, hal. 327
57
Hendi Suhendi, Fiqih..., hal. 47-48
58
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), hal. 115-116
55
xl
b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan
c. Dewasa dan tidak kurang akal
d. Tidak ada unsur paksaan
e. Ada ketika hibah dilakukan
4. Macam – Macam Hibah
a. Hibah ‘Umra
Hibah ‘Umra merupakan salah satu warisan budaya orang-orang Arab
Jahiliyah. Disebut demikian karena orang Jahiliyah jika memberikan
sesuatu kepada orang lain, maka akan berkata kepadanya saya berikan
;umra ini kepadamu, artinya saya mubahkan untukmu selama umurmu
dan hidupmu.59 Hal ini disamakan dengan ariyah (pinjam meminjam).60
Sehingga Qabdhu (obyek hibah) hanya berlaklu jika si penerima hibah
masih hidup dan harus dikembalikan oleh ahli waris jika si penerima
telah meninggal.
b. Hibah Ruqba
Hibah ruqba adalah hibah yang akan memiliki kejelasan hukum jika
pemberi atau penerima hibah telah meninggal salah satunya. Misalnya
seorang yang memberikan hibah berkata, “jika engkau mati sebelumku,
pemberian itu tetap kembalikan kepadaku.”61
5. Etika Menolak atau Menerima Pemberian
59
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih..., hal. 459
Miftah Noor Rosyid, Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik Tentang Kebolehan
Hibah ‘Umra, (Semarang, Skripsi Tidak Diterbitkan, 2010), Hal. 20
61
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 215
60
xli
Kebaikan maksud orang untuk memberikan sejumlah harta kepada
orang lain harus diapresiaisi positif, karena sudah berniat baik kepada
orang lain dan juga menjaga keharmonisan hidup sesama manusia. Selain
itu, dia juga telah melaksanakan transfer harta kepada mereka yang
membutuhkan, dan juga telah melakukan syiar Islam secara tidak
langsung, dalam sebuah Haditsnya Rasulullah SAW bersabda:
ْ َ‫ قَال‬،‫ع ْن َها‬
‫سو ُل ه‬
‫ي ه‬
‫علَ ْي ِه‬
َ ِ‫عائ‬
ُ ‫ َكانَ َر‬:‫ت‬
َ ُ‫صلهى هللا‬
َ ُ‫اَّلل‬
ِ ‫شةَ َر‬
َ ‫ع ْن‬
َ
َ ِ‫اَّلل‬
َ ‫ض‬
)‫علَ ْي َها (رواه البخري‬
ُ ‫ َويُ ِث‬،َ‫سله َم يَ ْقبَ ُل ْال َه ِديهة‬
َ ‫يب‬
َ ‫َو‬
Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata: "Adalah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam menerima pemberiah hadiah dan
membalasnya (HR Bukhari)".62
Umat Islam dilarang menyakiti baik secara fisik ataupun psikis
orang lain baik kepada sesama Islam ataupun dengan non Muslim. Hal ini
dikarenakan umat manusia tercipta untuk Saling tolong menolong dan
bukan untuk salaing menyakiti. Firman Allah:
  















 
“dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya
Allah Amat berat siksa-Nya”63
62
63
Al-Imam Zainudun Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih…, hal. 536
Departemen Agama RI, Tafsir Quran…, hal. 85
xlii
Meskipun pemberian orang lain tidak disukai oleh penerima, akan
tetapi didasari dengan rasa ikhlas dari pemberi, secara umum penerima
diharuskan untuk menerimanya. Karena dengan menerima harta
pemberian dari orang lain, maka itu sudah membuat bahagia orang lain
selaku pemberi dan praktis itu juga sudah memberikan sebuah rasa saling
menghormati antar sesama manusia.
Dengan niat baik dan keikhlasan yang tinggi dari pemberi hibah dan
dengan harapan akan diterima, akan tetapi kenyataan dan keinginan
tidaklah selamanya memiliki kesamaan. Meski demikian, hal itu adalah
sebuah kewajaran dalam hidup bermasyarakat. Pemberi hibah hendaknya
tidak merasa kecewa atau merasa direndahkan, karena setiap manusia
memiliki keinginan yang berbeda-beda dan karakter yang berbeda-beda
pula.
Selain itu, penerima yang menolak hibah, maka sebaiknya juga
melakukan penolakan dengan cara yang halus dan sopan, karena
dikhawatirkan jika ditolak dengan cara yang kasar akan menyinggung
perasaan dari pemberi hibah. Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan
kepada umat manusia mengenai tata cara untuk menolak pemberian dari
orang lain dengan cara yang halus dan sopan, adapun cara-cara menolak
pemberian dari orang lain menurut Rasulullah SAW adalah sebagai
berikut:
a. Hindari menolak pemberian atau permintaan dari orang lain
Hal ini didasarkan pada hadits Nabi yang artinya:
xliii
ُّ‫سلَّ َم ََي َُرد‬
َ ‫ ك‬:‫ع ْنهُ قَا َل‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ُ‫ع ْن اَنَس َر ِض َي اَهلل‬
َ
َ ‫َان النَّبِ ُّي‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
)‫يب (رواه البخاري‬
َ ‫الط‬
Diriwayatkan dari Annas r.a, dia berkata Nabi SAW bersabda: tidak
pernah menolak hadiah berupa wewangian. (H.R. Al-Bukhori)64
b. Niat baik dalam menolak
Jika memang terpaksa menolak orang lain, maka haruslah dilakukan
dengan niat dan cara yang baik. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi
berikut:
َّ ‫عمْ ُر ْب ِن ْال َخ‬
ْ ‫ع ْن ا َ ِِمْ ِي‬
ُ‫ع ْنه‬
َ ُ‫ب َرض َى ا َلل‬
َ ‫رال ُم ْؤ ِمنِ ْي َن ا َ ِب ْي َح ْفص‬
َ
ِ ‫طا‬
ُ ُ‫س ِمع‬
‫ اِن َماا ََْ ْع َما ُل‬:‫سوْ ََهللِ صلى هللا عليه وسلم يقول‬
ُ ‫ت َر‬
َ :‫قَا َل‬
)‫ت َان َما ِل ُك ِل اْمْ رئ َما َن َوى (رواه البخري‬
ِ ‫ِبالنِيا‬
“Dari Amirul Mu’minin yakni Abu Hafsh Umar bin Al Khotob RA.
Dia berkata: aku telah mendengar Rosulullah SAW bersabda:
sesungguhnya sahnya amalan-amalan itu hanya dengan niat dan
sesungguhnya bagi setiap seorang apa yang menjadi niatnya .”
)H.R. Bukhori)65
c. Menolak dengan sikap dan perkataan yang lembut
Seorang Muslim tidak boleh berlaku dan bersikap kasar terhadap
saudaranya, tetapi harus bersikap lemah lembut, penuh cinta dan kasih
yang tulus.66
d. Niat baik dalam menolak
Jika memang terpaksa menolak orang lain, maka haruslah dilakukan
dengan niat dan cara yang baik.
e. Menyampaikan alasan dalam menolak
Al-Imam Zainudun Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih…, hal. 536
Imam Nawawi, Hadits Arba’in Nawawi, Terj. Abdul Murhaimin As’ad, (Surabaya: ArRohmah, TT), Hal. 13-14
66
Herryanto Al-Fandi, Etika..., Hal. 163
64
65
xliv
Jika memang harus menolak pemberian dari orang lain, maka harus
disertai dengan alasan yang baik dan masuk akal. Karena yang sering
menimbulkan perpecahan dalam umat Islam karena ditolak pemberian
adalah jika penolakan dilakukan dengan cara yang kasar, bernada
melecehkan dan tanpa alasan yang masuk akal.67
f. Penolakan tidaklah bertentangan dengan syariat
Ketika ada permintaan atau pemberian yang mana itu melanggar
syariat Islam maka harus ditolak, hal ini didasarkan pada firman Allah
QS. Al-‘Ashar ayat 2-3, sebagai berikut:
  
  
 





 
“(2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian (3) kecuali
orangorang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran”.68
g. Memperhatikan tingkat ilmu lawan bicara
Dengan memperhatikan lawan bicara, maka penolakan akan dapat
dilaksanakan dengan mudah, akan tetapi jika tidak diperhatikan maka
dikhawatirkan akan menimbulkan kesalah-pahaman terhadap pemberi
tersebut. Selain itu, dengan tidak memperhatikan lawan bicara juga
67
68
Ibid…, hal. 164
Departemen Agama RI, Tafsir Quran…, hal. 482
xlv
akan berakibat pada pemberi hibah akan memberi label buruk terhadap
pihak yang menolaknya.
h. Menghindari perdebatan
Islam telah melarang umatnya untuk berdebat, terlebih jika dilakukan
untuk mempertahankan pendapat yang tidak benar. Hal ini bukan tanpa
alasan, karena Allah telah berfirman dalam QS. An-Nisa’ ayat 107):



 
   




 
“dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang
yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa,”69
Akan tetapi jika perdebatan untuk membela yang benar tidak dapat
terelakkan, maka harus dilakukan dengan cara yang halus, baik dan
santun, hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat An-Nahl ayat
125) sebagai berikut:

 








   



   


69
Ibid…, hal. 76
xlvi


"serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk".70
6. Hukum Meminta Kembali Harta Yang Dihibahkan
secara umum, harta yang telah diberikan masih tetap milik pemberi,
jika calon penerima hibah belum menerima harta tersebut meskipun calon
penerima telah meninggal sebelum menerima harta tersebut. Jika calon
penerima meninggal sebelum menerima, maka pemberi berhak untuk
menarik kembali harta yang telah dihibahkan, meskipun disisi lain ahli
waris dari calon penerima tersebut juga boleh menerimanya.
Sehingga jika calon penerima sudah menerima harta hibah, maka
hukum meminta kembali harta tersebut adalah haram. Dalam sabdanya
Rasulullah SAW menyatakan bahwa:
‫علَ ْي ِه‬
َ ِ‫صلَى هللا‬
َ ُ‫عبَّاس َرض َى اَلل‬
َ ‫ع َْن اِب ِْن‬
َ ِ‫ ع َْن َرسُوْ ِل هللا‬,‫ع ْن ُه َما‬
‫ب يَ ِقي ُء ث ُ َّم َيعُوْ دُفِ ْي قَ ْيئِ ِه (رواه‬
َ ‫َو‬
َ ‫ ا َ ْلعَائِدُفِي ِهبَ ِت ِه ك َْالك َْل‬:‫سلَّ َم قَا َل‬
)‫مسلم‬
“dari Ibnu ‘Abbas R.A, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda:
tak ada perumpamaan yang palin jelek menurut kami kecuali
perumpamaan orang yang meminta kembali benda-benda yang
telah diberikannya seperti anjing yang muntah kemudian memakan
kembali muntahannya itu”. (HR. Muslim)71
Ibid…, hal. 224
Imam Al-Mundziri, Mukhtshar Shahih Muslim, terj.Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka
Amani, 1994), hal. 542
70
71
xlvii
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum menarik kembali harta
yang telah dihibahkan adalah haram, selain itu juga memberikan efek
negatif kepada penerima hibah, karena dia akan merasa dipermainkan akan
menimbulkan permusuhan didalam anggota mesyarakat.
C. RISYWAH
1. Pengertian Risywah
Istilah suap dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti uang
sogok72, sedang dalam bahasa Arab disebut dengan rasywah” atau
“rasya”, secara bahasa bermakna “memasang tali, ngemong, mengambil
hati.73 Sedangkan dalam istilah, risywah diartikan dengan memberi sesuatu
kepada pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.74
Sedangkan uang suap adalah uang yang diberikan kepada pengusaha atau
pegawai supaya pengusaha atau pegawai tersebut menjatuhkan hukum
yang menguntungkan penyuap atau supaya didahulukan urusannya atau
ditunda karena ada suatu kepentingan dan seterusnya.75
Dalam kitab Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah yang dimaksud risywah
(suap/sogok) adalah pemberian sesuatu dengan tujuan membatalkan suatu
yang haq atau untuk membenarkan suatu yang batil. Dalam kitab AlMisbah Al-Munir karya Al-Fayyumi rahimahullah mengatakan bahwa
72
http://www.referensimakalah.com/2013/06/Suap-Risywah-menurut-Hukum-Islam-danHukum-Positif.html, diakses 20 maret 2014, pkl. 21.30 WIB
73
Abdullah Bin Abdul Muhsin, Jariimatur-Rasyati Fisy-Syarii’atil Islamiyyati, terj.
Muchotob Hamzah dan Subakir Saerozi, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 9
74
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Keuangan, (Jakarta: Jajawali Pers, 2009), Hal.
45
75
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu Surabaya,
2003), hal. 462
xlviii
risywah (suap/sogok) secara terminologis berarti pemberian yang
diberikan seseorang kepada hakim atau selainnya untuk memenangkan
perkaranya memenuhi apa yang ia inginkan. Sedangkan dalam kitab AnNihayah Fi Gharibil Hadits, Ibnu Al-Atsir rahimahullah mengatakan
bahwa risywah (suap/sogok) ialah sesuatu yang bisa mengantarkan
seseorang pada keinginannya dengan cara yang dibuat-buat (tidak
semestinya).76 Dan Menurut Kitab Lisanul ‘Arab dan Mu’jamul Washith
risywah adalah “pemberian yang diberikan kepada seseorang agar
mendapatkan kepentingan tertentu”.77
2. Unsur-Unsur Risywah
Unsur atau dalam istilah yang lain disebut dengan rukun, adalah
bagian yang tidak bisa dilepaskan dari sebuah tindakan. Dikarenakan unsur
merupakan suatu tindakan yang tidak bisa lepas dan memberikan suatu
kepastian hukum tertentu. Secara garis besar, unsur dalam suap memiliki
kesamaan dengan akad hibah, karena suap adalah hibah yang didasarkan
atas tujuan untuk suatu tindakkan yang dilarang oleh syari’, seperti
membatalkan yang hak atau untuk membenarkan suatu yang batil. Selain
itu, memakan harta risywah diidentikkan dengan memakan harta yang
diharamkan Allah.78 Adapun yang menjadi unsur-unsur dalam risywah
adalah:
76
http://abufawaz.wordpress.com/2012/10/05/suap-menyuap-yang-halal-dan-yang-haramdalam-agama-islam/, diakses pada 20 Maret 2014, pkl. 21.30 WIB
77
Buletin Jurdil edisi Larangan Politik UangMoney Politik FA, 02 Februari 2012
78
http://jabal-uhud.com/index.php?option=com_content&view=article&id=167:suap-dalam
- perspektif-islam&catid=28:khutbah-jumat&Itemid=48, diakses pada 20 Maret 2014, pkl 21.00
WIB
xlix
a. Penerima suap (Al-murtasyi) yaitu orang yang menerima sesuatu dari
orang lain berupa harta atau uang maupun jasa supaya mereka
melaksanakan permintaan penyuap, padahal tidak dibenarkan oleh
syara’, baik berupa perbuatan atau justru tidak berbuat apa-apa.79 Pada
umumnya orang yang menerima suap adalah para pejabat yang
memiliki keterkaitan terhadap masalah yang dihadapi oleh pemberi
suap. Akan tetapi juga tidak menutup kemungkinan penerima suap
adalah bukan para pejabat, seperti teman atau mungkin kepada orang
yang berstatus dibawahnya. Seperti si A menyuap temannya sendiri
yang bernama si B untuk tidak memberitahukan kepada orang tuanya si
A kalau si A telah bolos sekolah, atau bisa juga seorang yang memiliki
keinginan tertentu dengan memberikan sejumlah uang kepada
masyarakat biasa agar masyarakat tersebut bersedia untuk memilihnya
dalam pemilu yang akan datang.
b. Pemberi suap (Al-rasyi) yaitu orang yang menyerahkan harta atau uang
atau jasa untuk mencapai tujuannya.80 Pemberi suap ini pada umumnya
adalah mereka yang memiliki kepentingan terhadap penerima suap.
Kepentingan-kepentingan tersebut bisa karena masalah hukum, untuk
pemenangan pemilu dan lain-lain. Pemberi suap ini melakukan suap
dikarenakan dia ingin menjadi pihak yang menang, sehingga cenderung
melakukan segala cara untuk dapat menang.
79
80
Abdullah Bin Abdul Muhsin, Jariimatur-Rasyati..., hal. 11
Ibid., hal 11
l
c. Suapan atau harta yang diberikan.81 Harta yang dijadikan sebagai obyek
suap beraneka ragam, mulai dari uang, mobil, rumah, motor dan lainlain.
3. Hukum Risywah
Dalam hukum positif ataupun hukum Islam, secara umum risywah
adalah suatu yang dilarang (haram). Dalam hukum positif, risywah
dilarang karena akan merugikan orang lain, misalnya dalam perkara di
pengadilan, salah satu pihak menyuap hakim dengan sejumlah uang yang
cukup besar untuk dimenangkan kasusnya, maka ini menjadi haram karena
hakim akan memberikan putusan yang tidak berdasar pada berita acara
persidangan (BAP) yang ada dan akan menguntungkan pihak yang
melakukan suap. Selain itu, tindakan risywah juga merupakan dari tindak
pidana korupsi, meskipun secara umum korupsi tidak hanya sebatas pada
masalah risywah saja, melainkan juga berkenaan dengan penyalahgunaan
wewenang (pengkhianatan) secara umum, termasuk di dalamnya
penyalahgunaan wewenang yang ada unsur suapnya atau tidak ada unsur
suapnya.82
Dalam Islam, tentunya hukum risywah tidak lepas dari dasar
hukumnya, yaitu Al-Quran dan Al-Hadits. Akan tetapi secara umum,
hukum risywah menurut Islam adalah haram, bahkan tidak hanya hartanya
saja, akan tetapi juga perantara, pemberi risywah, penerima risywah juga
81
Ibid
Masdar F. Mas’udi, et. all., Fiqh Korupsi Amaman VS Kekuasaan, (Mataram: Solidaritas
Masyarakat Transparansi NTB, 2003), hal. 277
82
li
akan dilaknat oleh Rasulullah SAW, berikut dalil-dalil yang menyatakan
bahwa risywah adalah haram:
a. Al-quran
 
 

 
 
  
 
 
 
“dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui” (Al-baqoroh, 188)83





  
  
 
“mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita
bohong, banyak memakan yang haram (Seperti uang sogokan dan
sebagainya)” (Al-maidah, 42)84
   




 
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Al-maidah,
44)85
83
84
Departemen Agama RI, Tafsir Quran…, hal. 23
Ibid., hal. 91
lii
b. Al-hadits
َ َ‫ع ْن ث َوْ ب‬
‫ش َي‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫َو‬
ُ ‫لَعَ َن َر‬: ‫ان قَا َل‬
َّ ‫سلَّ َم‬
َ ِ‫سوْ ُل هللا‬
ِ ‫الرا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
)‫ش (رواه أحمد و الحاكم‬
ِ َ ‫َو ْال ُمرْ ت‬
َّ ‫ش َي َو‬
َ ِ‫الرائ‬
“Dari tsauban berkata : Rasulullah saw melaknat orang yang
menyuap, yang disuap, dan perantara suapan, yakni orang yang
memberikan jalan atas keduanya”, (HR. Ahmad) 86
4. Macam- Macam Risywah
Secara umum, jenis risywah dapat diklasifikasikan menurut niat
pemberi riywah. Menurut niatnya, risywah terbagi tiga, yaitu:
a. Risywah untuk membatilkan yang haq atau membenarkan yang batil
Risywah (suap) yang digunakan untuk membatilkan yang haq atau
membenarkan yang batil adalah suatu tindakan yang sangat merugikan
orang lain dan dosa. Karena haq itu kekal dan batil itu sirna.87
Maksutnya adalah bahwa sesuatu yang haq (benar) adalah suatu
kebenaran yang hakiki, sedangkan sesuatu yang batil adalah suatu yang
dosa. Praktik suap ini haram hukumnya, karena mengalahkan pihak
yang mestinya menang dan memenangkan pihak yang mestinya kalah.88
b. Risywah untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah kezaliman
Banyak alasan mengapa seseorang harus melakukan risywah, salah
satunya adalah untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah
kebatilan serta kezaliman. Kalau terpaksa harus melalui jalan menyuap
85
Ibid.
Yusuf Qardhawi, Halal dan…, hal. 463
87
Abdullah Bin Abdul Muhsin, Jariimatur-Rasyati..., hal. 11
88
Muhammad Nurul Arifin, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fiqih
Jinayah, (TK: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), hal. 119
86
liii
untuk maksud diatas, dosanya adalah untuk yang menerima suap.89 Para
Ulama’ telah bersepakat mengenai hukum risywah yang sedemikian ini,
karena dilakukan untuk kebaikan dan untuk memperjuangkan hak yang
mestinya diterima oleh pemberi risywah. Hal ini didasarkan pada kisah
Ibnu Mas’ud, ketika ia ada di Habasyah, tiba-tiba ia dihadang oleh
orang yang tidak dikenal, maka ia memberinya uang dua dinar, yang
kemudian, ia diperbolehkan melanjutkan perjalanan.90
c. Risywah untuk memperoleh jabatan atau pekerjaan
Jabatan atau pekerjaan yang seharusnya diperoleh berdasarkan atas
keahlian diri, akan tetapi dalam praktiknya masih terdapat beberapa
orang yang mendapatkannya dengan cara-cara yang salah. Salah
satunya dengan memberi suap kepada pihak terkait atau kepada pejabat
tertentu dengan tujuan untuk dinaikkan jabatannya atau untuk
mendapatkan pekerjaan. Misalnya si A ingin menjadi guru di sekolah
XXX dengan cara memberi uang kepada kepala sekolah sejumlah Rp.
10.000.000,-.
5. Hal-Hal yang Identik dengan Risywah
Meskipun risywah adalah perbuatan yang dilarang oleh agama, akan
tetapi ada banyak cara yang dilakukan oleh seseorang guna menyamarkan
risywah tersebut. Berikut perbuatan-perbuatan yang identik dengan
risywah:
a. Hadiah
Ali Hasan, Manajemen Bisnis Syari’ah Kaya di Dunia Terhormat di Akhirat,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 230
90
Abdullah Bin Abdul Muhsin, Jariimatur-Rasyati..., hal. 18
89
liv
Hadiah adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain
tanpa mengharapkan suatu bantuan dari orang yang diberi. 91 Dari
pengertian tersebut jelas bahwa hadiah adalah perbuatan yang terbebas
dari unsur-unsur risywah, akan tetapi pada saat-saat tertentu hadiah
dapat dikategorikan sebagai risywah jika yang menerima adalah pejabat
atau orang yang memiliki kekuasaan. Karena dikhawatirkan digunakan
untuk memanfaatkan jabatannya atau kekuasaannya, karena hadiah
yang diberikan kepada pejabat atau penguasa lebih sering diberikan
oleh mereka yang memiliki kepentingan dengan penerima hadiah
dikarenakan kedudukannya. Lebih lanjut, Ibnu Mas’ud berkata:
“termasuk harta haram jika kamu mengusahakan suatu kebutuhan
untuk orang lain dan kamu berhasil memenuhinya lalu memberimu
hadiah dan kamu menerimanya”.92
Lebih lanjut, Ali RA berkata:
“akan datang suatu masa yang menghalalkan yang haram dengan
jalan hadiah”93
Dalam
penyelenggaraan
Negara,
banyak
praktik-praktik
yang
berhubungan dengan hadiah namun sebenarnya adalah risywah,
misalnya: Memberikan uang tambahan diluar biaya resmi untuk
mendapatkan
kelancaran
pelayanan,
Memberikan
sesuatu
agar
dimenangkan tendernya, Memberikan sesuatu agar diringankan
kewajibannya,94 dan lain-lain.
91
Ibid., hal. 25
Ibid., hal. 36
93
Ibid., hal. 35
94
Masdar F. Mas’udi, et. all., Fiqh Korupsi…, hal 281
92
lv
D. Penelitian Terdahulu.
Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan judul skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Miftah Noor Rosyid NIM. 062111051, Mahasiswa dari Fakultas
Syariah IAIN Walisongo Semarang, pada tahun 2010, dengan judul
skripsi “Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik Tentang Kebolehan
Hibah ‘Umra”, jenis penelitian kualitatif, dengan menggunakan metode
library research.95
Dalam skripsi ini, Miftah Noor Rosyid menjelaskan mengenai hasil
penelitiannya adalah sebagai berikut:
a. Diperbolehkannya melakukan hibah Umra’ dikarenakan kebutuhan
yang mendesak.
b. Harus ada seorang saksi ketika hibah tersebut dtunaikan.
c. Dan peruntukan harta hibah tersebut ketika akad harus jelas.
Persamaan penelitian dalam skripsi ini dengan yang dilakukan
oleh saudara Miftah Noor Rosyid adalah sama-sama meneliti mengenai
hibah, sedang perbedaannya adalah jika saudara Rosyid hanya meneliti
pada hibah umra’ menurut Imam Malik saja, maka saya meneliti
mengenai perbandingan hibah dan risywah menurut pemuka agama
Islam yang ada di kec. Rejotangan, Kabupaten Tulungagung
2. Prastowo Hendarso, NIM. B4B 004 161, Mahasiswa Pasca Sarjana
Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang, pada tahun
95
http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=21064 , diakses 31 maret 2014,
pkl 10.30WIB
lvi
2006, dengan judul “Studi Perbandingan Tentang Hibah Dengan Waris
Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata”, jenis penelitian kepustakaan.96
Dalam skripsi ini, Prastowo Hendarso menjelaskan mengenai hasil
penelitiannya adalah sebagai berikut:
a. Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan.
b. Dan sebagian besar prinsip-prinsip kewarisan dapat diambil dari
sumber hukum Islam.
Persamaan penelitian saya dengan yang dilakukan oleh saudara
Prastowo Hendarso adalah sama-sama meneliti mengenai hibah, sedang
perbedaannya adalah jika saudara Prastowo Hendarso meneliti
hubungan antara hibah dan wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam
dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka dalam penelitian ini,
saya meneliti mengenai perbandingan hibah dan risywah menurut
pemuka agama Islam yang ada di kec. Rejotangan, Kabupaten
Tulungagung.
3. Pamudji Adnan Fuadi, NIM 07220612, Mahasiswa Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas
Muhammadiyah Ponoroga, Pada Tahun 2007. Dengan judul skripsi:
“Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Politik uang Pada Pelaksanaan
Pemilihan Kepala Desa di Desa Serangan Kecamatan Sukorejo
96
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CCUQ
FjAA&url=http%3A%2F%2Feprints.undip.ac.id%2F17645%2F1%2FPRASTOWO_HENDARSA
NTO.pdf&ei=0uQ4U7HkKISFrAeXsIGgAQ&usg=AFQjCNFWosMbOOyMrs2tWTyVfXuQGtmstA
&bvm=bv.63808443,d.bmk, diakses 31 maret 2014/ pkl 10.30 WIB
lvii
Kabupaten
Ponorogo”.
Dengan
metode
penelitian
deskriptif
kualitatif.97
Dalam skripsi ini, Pamudji Adnan Fuadi menjelaskan mengenai
hasil penelitiannya adalah bentuk politik uang yang dilakukan adalah
dengan sikap baik calon kepala desa kepada masyarakat seperti
membelikan pakaian seragam, ditraktir dan dibagikannya uang transport
kepada yang b ersedia datang ke TPS.
Persamaan penelitian saya dengan yang dilakukan oleh saudara
Adnan Fuadi adalah sama-sama meneliti mengenai money politik atau
suap (risywah) yang dilakukan para calon kepala desa, sedang
perbedaannya adalah jika saudara Adnan Fuadi hanya meneliti
mengenai suap dalam kaitannya dengan politik, sedangkan dalam
penelitian ini, saya meneliti mengenai perbandingan hibah dan risywah
menurut pemuka agama Islam yang ada di kec. Rejotangan, Kabupaten
Tulungagung.
97
http://lib.umpo.ac.id/gdl/files/disk1/4/jkptumpo-gdl-pamujiadna-167-1-abstrak-i.pdf
diakses 31 maret 2014/ pkl 10.30 WIB
lviii
,
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif.
Metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau
perilaku yang dapat diamati.98 Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk
menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan “apa adanya”
tentang suatu variable, gejala atau keadaan.99 Dengan demikian bahwa
penelitian kualitatif adalah penelitian yang didasarkan pada keadaan yang
nyata dilapangan mengenai suatu obyek tertentu. Sehingga penelitian
deskriptif secara garis besar merupakan kegiatan penelitian yang hendak
membuat gambaran atau mencoba melihat suatu peristiwa atau gejala secara
sistematis, factual dengan penyusunan yang akurat.100 Selain itu, penelitian
deskriptif juga memiliki kelebihan yaitu: penelitian deskriptif ini sangat logis
dalam kaitanya dengan penyebaran sebuah informasi baru.
Terkait dengan metode penelitian tersebut, maka penulis menggunakan
metode pendekatan penelitian deskriptif komparatif. Penelitian deskriptif
komparatif adalah penelitian yang dilakukan dengan membandingkan dua
98
Lexy J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakaerya.
2006) hal. 4
99
Suharsismi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) hal. 234
100
Supardi, Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. (Yogyakarta: UII Press, 2005) hal.
28
lix
variabel setelah kedua variabel itu memperoleh perlakuan. Perlakuan yang
diberikan disini tidak pada saat penelitian berlangsung.
101
Sehingga tugas
dari peneliti disini adalah untuk mendeskripsikan perbedaan dan persamaan
variable akibat setelah dipengaruhi variable sebab.
Variable sebab dalam judul penelitian ini adalah dari banyaknya
informasi dari berbagai media mengenai banyaknya para pejabat yang
melakukan dan atau menerima sejumlah harta risywah (suap). Risywah yang
diberikan dengan mengatasnamakan sebagai hibah, menjadikan sebuah
dilema, yang mana seakan menjadikan penutup mata bagi penerimanya.
Risywah yang haram hukumnya dan hibah yang halal, membuat para
penerima tidak menyadari kalau sebenarnya dia telah menerima suap. Selain
itu, harta yang telah dijadikan untuk menyuap dan penyuap membatalkan
keinginannya, maka apakah harta suap tersebut tetap menjadi haram ataukah
berubah menjadi halal?.
Penelitian kualitatif, lebih menekankan pada obserevasi, dokumentasi,
atau melakukan partisipasi (meneliti obyek menyeluruh dan terus
menerus).102 Dalam penelitian kualitatif, peneliti menjadi instrument utama
dalam mengumpulkan data yang dapat berhubungan langsung dengan
instrument atau obyek penelitian.103 Sehingga peneliti harus langsung terjun
kelapangan dan bergabung dengan masyarakat tertentu sebagai obyek
penelitian.
101
Subana, Dasar- Dasar Penelitian Ilmiah. (Bandung: Pustaka Setia, 2005) hal. 93
Ibid, hal. 25
103
Sugiyono, Memahami Penelitian. IBandung: CV Alfabeta, 2005) hal. 2
102
lx
B. Lokasi Penelitian.
Lokasi penelitian adalah tempat dimana peneliti akan memfokuskan
daerah obyek dari penelitian yang akan dilaksanakan. Lokasi dari penelitian
ini adalah di desa-desa yang berada di wilayah kecamatan Rejotangan,
Kabupaten Tulungagung, adapun desa-desa tersebut adalah Desa Buntaran,
Desa Aryojeding, Desa Rejotangan, Desa Sumberagung, Desa Tanen, Desa
Banjarejo, Desa Tegalrejo, Desa Tenggur, Desa Tenggong, Desa Tugu, Desa
Panjer rejo, Desa, Karangsari, Desa Sukorejo, Desa Pakisrejo, Desa Blimbing
dan Desa Jatidowo.
C. Kehadiran Peneliti
Sesuai
dengan jenis
penelitian
yang peneliti
lakukan, untuk
memperoleh data sebanyak dan sevalid mungkin serta mendalam, penelitian
kualitatif tidak dapat dipisahkan dari pengamatan dan peran serta masyarakat,
namun peranan penelitilah yang menentukan keseluruhan skenarionya.104
Sehingga dalam penelitian kualitatif, kehadiran seorang peneliti mutlak
keberadaannya.
D. Sumber Data
Sumber data adalah subyek darimana data itu diperoleh.105 Sumber data
meliputi data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diambil
104
Lexy J. Moeloeng, MetodologiPenelitian Kulitatif. hal. 163
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. (Jakarta: Rineka
Cipta, 2006) hal. 129
105
lxi
dari sumber pertama yang ada dilapangan.106 Pada sumber data primer ini,
peneliti dapat dengan melakukan pengamatan, wawancara, folklore (budaya
turun tremurun) dan lain-lain, yang diperoleh dari para pemuka agama Islam
di wilayah Kec. Rejotangan, Kabupaten Tulungagung. Sumber data yang
kedua adalah sumber data sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh dari
buku-buku dan situs- situs internet yang berkaitan dengan penelitian ini.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Observasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui
pengamatan, dengan disertai pencatatan-pencatatan terhadap keadaan atau
perilaku obyek sasaran.107
2. Wawancara, yaitu proses percakapan dengan maksud untuk mengonstruksi
mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi dan sebagainya
yang dilakukan dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan
pertanyaan dengan orang yang diwawancarai.108 Dengan metode
wawancara ini diharapkan penulis akan menemukan apa yang terdapat di
dalam pikiran orang lain. Kita melakukannya untuk menemukan sesuatu
yang tidak mungkin kita peroleh dari pengamatan secara langsung.109
106
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial: Format 2 Kualitatif. (Surabaya:
Airlangga University Press, 2005) hal. 128
107
Abdurrahman Fatoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2006) hal. 104-105
108
Burhan Mungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2008) hal. 155
109
Ahmad Tanzeh dan Suyetno, Dasar-Dasar Penelitian, (Surabaya: eLKAF, 2006) hal.
143
lxii
Dalam metode ini, peneliti menggunakan pedoman wawancara, sehingga
ketika informan belum memberikan jawaban yang sesuai dengan
kebutuhan dari peneliti, maka peneliti akan mengajukan pertanyaan
tambahan sehingga data yang diperlukan peneliti akan dapat seluruhnya
terpenuhi. Wawancara sendiri merupakan metode aktif yang digunakan
oleh peneliti untuk mendapatkan data yang dibutuhkan secara langsung
dari nara sumber.
3. Dokumentasi, yaitu mencari mengenai hal-hal atau variable yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah dan lain sebagainya.110
Dalam hal ini, peneliti mengumpulkan data dari narasumber yang terdiri
dari para pemuka agama Islam yang berada di Kecamatan Rejotangan
Kabupaten Tulungagung.
F. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
dengan menggunakan teknik analisa kualitatif. Analisis kualitatif adalah
upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan
data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mencari pola
dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari
dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. 111 Adapun
teknik analisis data yang digunakan adalah:
5. Membaca atau mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan gagasan
yang ada dalam kata.
110
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1998) hal. 231
111
Lexy J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif,… hal. 248
lxiii
6. Mempelajari kata-kata kunci, berupaya menemukan tema-tema yang
berasal dari kata.
7. Menuliskan “model” yang ditentukan.
8. Koding yang telah dilakukan.112
G. Pengecekan Keabsahan Temuan
Untuk memperoleh data yang nilai keabsahannya mempunyai validitas,
maka peneliti melakukan usaha-usaha sebagai berikut:
 Perpanjangan kehadiran: Peneliti memperpanjang masa observasi dan
wawancara untuk memperoleh data yang valid dari lokasi penelitian.
Disini peneliti tidak hanya sekali atau dua kali, akan tetapi peneliti
sesering mungkin datang untuk mendapatkan informasi dari para informan
sampai jawaban yang keluar seperti jawaban yang pertama kali.
 Triangulasi:
adalah
teknik
pemeriksaan
kebasahan
data
yang
memanfaatkan sesuatu yang lain, diluar itu untuk keperluan pengecekan
atau suatu pembanding terhadap data itu.113 Peneliti berusaha mengkaji
data dengan mengkaji beberapa sumber dan metode serta peneliti
mengadakan pengecekan dengan teori yang ditemukan para ahli.
Maksudnya adalah peneliti mengadakan pengecekan hasil penelitian
dengan para ahli melalui buku-buku.
 Pembahasan teman sejawat : peneliti berusaha mengkaji keabsahan data
dengan mengadakan diskusi dengan beberapa teman terutama dengan
teman peneliti yang membantu pengumpulan data di lapangan.
112
113
Ibid, … hal. 248
Lexy J. Moeleong. Metode Penelitan …, hal 330
lxiv
H. Tahap-tahap Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan 3 (tiga) tahap
penelitian, yaitu:
1. Tahap Perencanaan
Dalam tahap ini,
ditandai dengan adanya proposal penelitian dan
instrument penelitian.114
2. Pelaksanaan
Peneliti akan meneliti langsung di lokasi penelitian, dengan menghadapi
subyek dan obyek yang akan diteliti. Dalam tahap ini, terdiri dari
observasi, wawancara dan analisis data.
3. Penulisan Laporan
Tahap ini merupakan tahapan yang terakhir dari penelitian. Tahap ini
dilakukan dalam bentuk laporan penulisan skripsi.
114
M. Subana, Dasar-Dasar, … hal. 47
lxv
BAB IV
PAPARAN HASIL PENELITIAN
A. Paparan Data
Kecamatan Rejotangan merupakan salah satu kecamatan yang berada
diwilayah pemerintahan Kabupaten Tulungagung. Terletak di ujung timur
Tulungagung yang berbatasan langsung dengan kabupaten Blitar di sebelah
timur, berbatasan dengan sungai Brantas di sebelah utara, berbatasan dengan
kecamatan Ngunut di sebelah barat dan berbatasan dengan kecamatan
Pucanglaban dan Kabupaten Blitar di sebelah selatan.
Wilayah Kecamatan Rejotangan terdiri dai enam belas desa, yaitu Desa
Buntaran, Desa Aryojeding, Desa Rejotangan, Desa Sumberagung, Desa
Tanen, Desa Banjarejo, Desa Tegalrejo, Desa Tenggur, Desa Tenggong, Desa
Tugu, Desa Panjer Rejo, Desa, Karangsari, Desa Sukorejo, Desa Pakisrejo,
Desa Blimbing dan Desa Jatidowo. Akan tetapi tidak semua desa tersebut
memiliki seorang pemuka agama Islam, sehingga pelaksanaan wawancara
tidak sepenuhnya dapat dilakukan di semua desa. Sehingga wawancara dapat
dilaksanakan di Desa Sukorejo, Desa Rejotangan, Desa Panjer Rejo, dan di
Desa Karangsari.
B. Temuan Penelitian
1. Perbedaan Hibah dan Risywah menurut pandangan pemuka agama
Islam di Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung
lxvi
Hibah dan risywah merupakan dua akad yang memiliki kesamaan
dan sekaligus juga memiliki perbedaan. Persamaan diantara keduanya
terletak pada praktiknya, yaitu sama-sama melakukan penyaluran harta
benda kepada orang lain. Sedangkan perbedaannya adalah terletak pada
niat untuk melakukan, hibah dilakukan dengan niat tulus memberi dengan
tanpa mengharapkan imbalan apapun dan dari siapapun, sedangkan jika
risywah dilakukan dengan niat untuk mendapatkan keuntungan pribadi,
meskipun itu harus membenarkan yang salah dan menyalahkan yang
benar.
Untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini,
maka informan yang dibutuhkan dalam hal ini adalah semua pemuka
agama Islam yang berada diwilayah Kecamatan Rejotangan, yaitu:
a. Bapak Mawahhibus Shomad dari Pondok Pesantren Al-Falah, Dusun
Padangan, Desa Karangsari.
b. Bapak Khoir, dari Pondok Pesantren Sirojuddin, Desa Panjerrejo.
c. Bapak Asmungi, Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Desa Sukorejo.
d. Bapak KH. Amin dari Pondok Pesantren Al-Falah Abdurrohim, Desa
Rejotangan.
Sebelum melakukan wawancara pada tanggal 21-27 Mei 2014,
peneliti menunjukkan data-data yang dibutuhkan kepada informan untuk
dipelajari terlebih dahulu. Pada kesempatan tersebut, para informan
bersedia memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan oleh penulis
berkaitan dengan hibah dan risywah menurut pandangan pemuka agama
Islam di Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung.
lxvii
Hibah merupakan salah satu dari kegiatan yang hukumnya mubah,
dikarenakan kegiatan tersebut adalah dilakukan dengan memberikan
sesuatu kepada orang lain yang didasarkan atas kerelaan dengan tanpa
mengharapkan imbalan apapun dan dari siapapun. Hal ini merupakan salah
satu bentuk dari penyaluran harta yang diperbolehkan dalam Islam. Selain
bentuk penyaluran harta, hibah juga dapat difungsikan sebagai wujud
tolong-menolong sesama manusia. Hibah akan mempererat persaudaraan
antar sesama manusia, karena akan mengurangi adanya ketimpangan sosial
antar anggota masyarakat. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari pemuka
agama Islam yang berada di wilayah Kecamatan Rejotangan, sebagai
berikut:
“Hibah dilakukan atas dasar kerelaan, tanpa mengharapkan imbalan
apapun dan hukumnya adalah mubah/halal.”115
Sehingga hibah selain sebagi suatu bentuk kegiatan yang dilakukan
umat Islam dalam kaitannya dengan hubungan sesama manusia, juga
merupakan perbuatan yang berkaitan dengan hubungan manusia kepada
tuhannya.
Risywah merupakan pemberian yang dilakukan oleh seseorang
kepada orang lain dengan tujuan-tujuan tertentu yang mana tujuan tersebut
adalah untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Sehingga risywah
115
Hasil Wawancara Dengan Bapak. Khoir, Dari Pondok Pesantren Sirojuddin, Desa
Panjerrejo Pada Hari Rabu 21 Mei 2014
lxviii
merupakan bagian dari penyaluran harta, akan tetapi dalam praktiknya
adalah ditujukan untuk kepentingan pribadi dan merugikan orang lain. Hal
ini sesuai pernyataan bahwa:
“Risywah adalah pemberian yang disertai dengan harapan-harapan
tertentu dan harapan tersebut cenderung bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan pribadi.”116
Dalam Islam sendiri telah dijelaskan bahwa sesuatu dapat
dikategorikan sebagai sesuatu yang haram ataupun halal adalah ketika
memiliki kebaikan yang lebih besar dari pada keburukannya dan sesuatu
dikategorikan sebagai sesuatu yang haram jika memiliki keburukan yang
lebih besar dari pada kebaikannya. Pada intinya para pemuka agama Islam
di wilayah Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung bersepakat
bahwa hukum dari risywah adalah haram. Akan tetapi tidak semua
memberikan pernyataan secara langsung mengenai keharamannya, berikut
pernyataan mengenai risywah sebagai berikut:
“Risywah adalah pemberian yang dilaksanakan dengan tujuan-tujuan
tertentu dan akan menimbulkan madharat.”117
Selain hanya menguntungkan diri sendiri, risywah merupakan akad
yang ditujukan untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
benar. Jika demikian adanya, tentu saja hal ini telah melanggar hukum,
116
Hasil Wawancara Dengan Bapak. Mawahhibus Shomad, Dari Pondok Pesantren AlFalah, Desa Tenggur, Pada Hari Kamis 22 Mei 2014
117
Hasil Wawancara Dengan Bapak. Khoir, Dari Pondok Pesantren Sirojuddin, Desa
Panjerrejo Pada Hari Rabu 21 Mei 2014
lxix
baik itu hukum agama ataupun hukum Negara. Lebih lanjut, para pemuka
agama Islam di Kecamatan Rejotangan bahwa:
“Risywah dilakukan dengan niat untuk mencari keuntungan.”118
Jika demikian adanya, maka keharaman dari risywah tidak diragukan
lagi. Ketika sebuah kegiatan tersebut adalah haram, dalam kaitannya
dengan mu’amalah, maka apapun yang dihasilkan dari kegiatan tersebut
adalah haram pula.
2. Hukum Meminta Kembali Harta Yang Telah Dihibahkan menurut
pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan Rejotangan
Kabupaten Tulungagung
Harta ketika telah disalurkan kepada orang lain, maka praktis harta
tersebut telah berpindah milik kepada orang yang menerima harta tersebut.
Sehingga ketika telah menjadi milik penerima harta tersebut, maka orang
yang dulu memberikan harta tersebut maka dilarang untuk meminta
kembali. Akan tetapi kenyataan tidak selamanya berkata demikian,
keadaan manusia yang selalu berubah-ubah, terkadang berada pada masamasa yang mampu untuk menolong orang lain dan terkadang berada pada
keadaan yang membutuhkan bantuan orang lain. hal inilah yang mendasari
terjadinya perubahan status hukum dengan tanpa menghapus hukum asal
yang telah ada. Seperti Hadits Nabi berikut:
‫سلَّ َم‬
َ ِ‫ص َلى هللا‬
َ ُ‫عبَّاس َر ِضيَاهلل‬
َ ‫ع َْن اِب ِْن‬
َ ِ‫ع َْن َرسُوْ َِهلل‬,‫ع ْن ُه َما‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
)‫ب يَ ِق ْي ُء لُ ْم يَعُوْ دُ فِ ْي قَ ْي ِئ ِه (رواه مسلم‬
ِ ‫قَا َل ا َ ْلعَا ئِدُ في ِهبَ ِت ِه ك َْالك َْل‬
118
Hasil Wawancara Dengan Bapak. Asmungi, Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Desa
Sukorejo Pada Hari Sabtu 24 Mei 2014
lxx
Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda:
“perumpamaan orang yang meminta kembali benda-benda yang
telah diberikan sama dengan anjing yang muntah kemudian
memakan kembali muntahannya itu” (HR. Muslim.).119
Mengenai hal tersebut, beberapa informan memiliki pemahaman hal
yang sama, yaitu sama-sama melarang meminta kembali harta yang pernah
diberikan kepada orang lain, berikut pernyataannya:
“Hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan adalah tidak
boleh atau haram, karena itu merupakan perbuatan yang hina, begitu
juga dengan hibah umra’. Sedangkan hukum meminta kembali harta
yang telah dihibahkan jika yang menghibahkan adalah bapak kepada
anaknya, maka hukumnya adalah mubah.”120
“Akan tetapi jika harta tersebut diberikan dari bapak kepada anaknya
maka hukum meminta kembali harta hibah adalah mubah dan itu
berarti hukum selain hal tersebut adalah haram.”121
Informan yang lain menyatakan bahwa hukum meminta kembali
harta yang telah diberikan kepada orang lain adalah mubah, hal ini
didasarkan bahwa harta yang telah diberikan kepada orang lain, maka
harta tersebut telah sah menjadi hak milik dari penerima hibah tersebut.
Akan tetapi hal ini juga diikuti dengan syarat-syarat tertentu untuk dapat
menjadikan pemberi hibah dapat meminta kembali harta tersebut. Syaratsyarat tersebut adalah bahwa penerima hibah bersedia memberikan harta
tersebut kepada pemberi hibah dengan tanpa adanya paksaan. Pernyataan
119
Al-Imam Zainudun Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih Al-Bukhari
Al-Musamma, terj. Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hal. 543
120
Hasil Wawancara Dengan Bapak. Khoir, Dari Pondok Pesantren Sirojuddin, Desa
Panjerrejo Pada Hari Rabu 21 Mei 2014
121
Hasil Wawancara Dengan Bapak. Asmungi, Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Desa
Sukorejo Pada Hari Sabtu 24 Mei 2014
lxxi
dari pemuka agama Islam yang menyatakan bahwa hukum meminta
kembali harta hibah adalah mubah adalah:
“Hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan adalah
mubah (tidak apa-apa), karena harta yang sudah diberikan adalah
sudah sah menjadi hak milik dari penerima hibah dan jika diminta
kembali maka tidak apa-apa, akan tetapi tidak boleh memaksa.”122
“Hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan adalah tidak
apa-apa, karena harta tersebut adalah sudah sah menjadi milik
penerima hibah dan jika ia memberikannya maka hal tersebut
diperbolehkan.”123
3. Hukum Memakan Harta Risywah Jika Tidak Mendapatkan Apa yang
Diinginkan menurut pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan
Rejotangan Kabupaten Tulungagung
Risywah merupakan salah satu perbuatan yang diharamkan dalam
Islam, oleh karena itu bagi siapapun yang melakukannya maka baginya
adalah sebuah dosa. Keharaman dari risywah ini tidak hanya mengikat
pada pelakuknya saja, melainkan juga kepada pihak-pihak yang menerima
harta risywah dan juga kepada pihak-pihak yang menjadi perantara atas
tersalurnya harta risywah tersebut dari Al-Rasyi dan Murtasyi. Dalam
sebuah dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW bersabda:
ْ ‫ع ْن ث َوْ َب‬
‫سلَّ َم‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ
ُ ‫لَ ْع َن َر‬: ‫ان قَا َل‬
َ ِ‫سوْ َل هللا‬
َ ‫ع َل َِ ْي ِه َوآ ِل ِه َو‬
)‫ئش (رواه ابوداودوالترمذي‬
ِ َ ‫ش ْي َو ْال ُمرْ ت‬
َّ ‫ش ْي َو‬
َّ
ِ ‫الرا‬
ِ ‫الر ِا‬
“Dari tsauban berkata : Rasulullah saw melaknat orang yang
menyuap, yang disuap, dan perantara suapan, yakni orang yang
memberikan jalan atas keduanya”, (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)124
122
Hasil Wawancara Dengan Bapak. Mawahhibus Shomad Dari Pondok Pesantren AlFalah, Dusun Padangan, Desa Karangsari Pada Hari Kamis 22 Mei 2014
123
Hasil Wawancara Dengan Bapak. Amin Dari Pondok Pesantren Al-Falah Abdurrohim,
Desa Rejotangan, Pada Hari Jum’at 23 Mei 2014
124
Yusuf Qardhawi, Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah, Terj. As’ad Yasin, (Jakarta: Gema
Insani, 2005), Hal. 786
lxxii
Keharaman risywah sendiri selain menyangkut pada tiga pihak yang
tersangkut hal tersebut, juga pada hartan yang menjadi obyek risywah
tersebut. Dalam Islam sendiri telah di atur mengenai syarat-syarat dari
harta halal adalah halal dari cara mendapatkannya dan halal dari dzat
benda itu sendiri dan harta haram adalah harta yang didapat dengan cara
haram meskipun harta tersebut halal dzatnya atau harta yang didapat
dengan cara halal akan tetapi harta tersebut adalah harta haram dari sisi
dzatnya.
Ketika sebuah harta yang diperoleh oleh seseorang dengan cara yang
halal maka belum tentu harta tersebut halal untuk dikonsumsi. Boleh jadi
harta tersebut terbuat dari khamr (minuman keras) yang mengandung
alkohol. Ataupun sebaliknya, misalnya sebuah benda yang halal dzatnya
didapatkan dengan cara mencuri, maka benda tersebut juga haram untuk
dikonsumsi.
Berkaitan
dengan
rumusan
masalah
yang
ke
tiga
ini,
menggabungkan kedua hal yang pada awalnya adalah sebuah perbuatan
yang haram akan tetapi keinginannya tersebut gagal karena suatu hal yang
tidak direncanakan. Hal ini menjadi sangat menarik karena terjadi
kegagalan dalam sebuah niat yang sudah terlanjur dimulai dan akad
tersebut adalah akad yang diharamkan.
Pada dasarnya hukum haruslah didasarkan pada hukum awal yang
mengikatnya. Risywah hukum awalnya adalah haram, sehingga meskipun
lxxiii
terjadi kegagalan niat dalam akad risywah maka hukum mengkonsumsi
harta tersebut juga tetap haram. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa:
“Hukum memakan harta risywah jika pemberi Risywah tidak
mendapatkan apa yang diinginkan adalah maka haruslah dilihat
hukum dasar dari perbuatan tersebut.”125
Meskipun haram, harta risywah yang sudah terlanjur diterima, tidak
semua pemuka agama Islam di wilayah Kecamatan Rejotangan
menyatakan hal yang serupa, seperti pernyataan yang dikemukakan
sebagai berikut:
“Hukum memakan harta risywah jika pemberi Risywah tidak
mendapatkan apa yang diinginkan adalah makruh, karena hukum
awal dari risywah adalah haram, sehingga jika dibatalkan niatnya
maka hukum memakan harta tersebut adalah makruh.”126
Hal ini dikarenakan adanya sebuah alasan yaitu bahwa harta risywah
yang gagal dalam mendapatkan niatnya, maka pemberi risywah harus
membatalkan niatnya. Akan tetapi dalam pembatalan niat tersebut tidaklah
semua orang dapat melaksanaknnya dengan ikhlas, tidak menutup
kemungkinan sebagian besar orang yang melakukan hal tersebut di dalam
hatinya tidak sepenuhnya ikhlas. Sehingga terdapat unsur keterpaksaan
dalam pembatalan niat dari harta tersebut. Hal ini sesuai dengan kaidah
fiqh sebagai berikut:
‫ا َ ْل ُم َكب َُّر ََيُ َكب َُّر‬
125
Hasil Wawancara Dengan Bapak. Mawahhibus Shomad Dari Pondok Pesantren AlFalah, Dusun Padangan, Desa Karangsari Pada Hari Kamis 22 Mei 2014
126
Hasil Wawancara Dengan Bapak. Amin Dari Pondok Pesantren Al-Falah Abdurrohim,
Desa Rejotangan, Pada Hari Jum’at 23 Mei 2014
lxxiv
“Apa yang ketentuan hukumnya sudah berat maka tidak boleh
diperberat lagi. “127
Sehingga ketika sebuah ketentuan hukum menyatakan hal tersebut
sebagai suatu yang haram, ketika telah terjadi pembatalan niat risywah
maka hukumnya tidak boleh diperberat lagi dan harus diringankan.
Dengan menjadikan makruh, maka hukum risywah yang awalnya haram
telah diringankan hukumnya.
Dari empat pemuka agama Islam yang berada di wilayah Kecamatan
Rejotangan Kabupaten Tulungagung, selain memberikan hukum haram
dan makruh terhadap hukum mengkonsumsi harta risywah ketika niatnya
batal, terdapat pendapat ketiga yang menyatakan bahwa:
“Hukum memakan harta risywah jika pemberi Risywah tidak
mendapatkan apa yang diinginkan adalah sesuai dengan dasar
hukum awal yaitu hukum memanfaatkan atau mengkonsumsi harta
risywah adalah haram. Akan tetapi hal tersebut tidak berlaku lagi,
jika terjadi pembatalan niat dan dilaksanakan pembaruan akad, maka
hukumnya adalah mubah, seperti niatnya diperbarui dengan sedekah,
maka harta tersebut menjadi harta sedekah (shodaaqoh).”128
Pernyataan diatas mensyaratkan bahwa ketika risywah tersebut batal,
maka harus ada pembaruan akad. Akad yang baru harus akad yang
diperbolehkan dalam Islam, bukan akad yang dilarang oleh Islam. Karena
pembaruan akad yang dilakukan jika melanggar hukum Islam maka akad
tersebut adalah termasuk akad yang haram dan didalam akad yang haram
127
Moh. Kurdi, Kaidah-Kaidah Fiqh, (Jakarta Barat: CV Artha Rivera, 2008), hal 138
Hasil Wawancara Dengan Bapak. Asmungi, Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Desa
Sukorejo Pada Hari Sabtu 24 Mei 2014
128
lxxv
tersebut maka harta yang menjadi obyek, maka hukumnya adalah tetap
haram.
4. Risywah Untuk Mempertahankan Kebenaran atau Mencegah
Kezaliman menurut pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan
Rejotangan Kabupaten Tulungagung
Dalam perkembangannya, risywah tidaklah selalu bertujuan untuk
membatalkan yang haq dan membenarkan yang bathil, hal ini dikarenakan
faktor seperti keadaan sosial budaya manusia yang cenderung ingin
banyak
mendapatkan apa yang diinginkan dengan cepat dan mudah
dengan tanpa menghiraukan ketentuan hukum yang ada. Misalnya
seseorang yang berperkara di pengadilan dengan tuduhan mencuri, antara
pihak penggugat dan tergugat. Penggugat adalah orang yang menjadi
korban pencurian yang mana yang seharusnya di hukum adalah pihak
tergugat yaitu pihak yang melakukan pencurian. Akan tetapi, pihak
tergugat telah melakukan suap kepada majlis hakim dan diketahui oleh
pihak penggugat jika yang akan memenangkan perkara tersebut adalah
pihak tergugat. Maka dengan demikian pihak penggugat diperbolehkan
melakukan risywah kepada pihak terkait agar dalam perkara tersebut yang
menang adalah dari pihak penggugat. Dalam pernyataannya pemuka
agama Islam di wilayah Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung
menyatakan bahwa:
“Hukum memberi harta risywah jika tujuannya untuk kebaikan
adalah mubah, karena kebaikannya akan lebih besar dari pada
keburukannya jika tidak melakukan risywah.”
lxxvi
Tindakan tersebut diperbolehkan karena dikhawatirakan jika tidak
dilaksanakan maka akan menimbulkan keburukan yang lebih besar dari
pada kabaikannya. Akan tetapi, meskipun hal tersebut diperbolehkan,
dengan harta risywah dan orang yang menerimanya terdapat perbedaan
pendapat diantara para informan. Pendapat yang pertama menyatakan
sebagai berikut:
“….akan tetapi bagi penerima harta risywah tersebut hukumnya tetap
haram.”129
Penerima risywah hukumnya adalah dosa, karena sebagai pihak
penengah yang mengatasi perkara diatas, yang seharusnya tidak memihak
apapun, akan tetapi dalam kenyataannya memihak salah satu pihak yang
bersalah dan melakukan suap. Sehingga dalam masalah risywah ini yang
bersalah bukanlah pihak yang penggugat yang melakukan suap akan tetapi
adalah pihak yang menjadi penengah dari perkara tersebut. Rasulallah
SAW bersabda:
َّ ‫عمْ ُر ْب ِن ْال َخ‬
:‫ع ْنهُ قَا َل صلى هللا عليه وسلم يقو‬
َ ُ‫ب َرض َى ا َلل‬
َ ‫ع ْن‬
َ
ِ ‫طا‬
َ ‫ِي ُمتَا َ َب‬
ُ ‫ا َِّن ا َ َحدَ ُك ْم لَ َي ْخ ُر‬
‫ قَا َل‬:‫ار‬
َ ‫ج ِب‬
ً َ‫اواَنَّ َما ِه َي َلهُ ن‬
َ ‫ط َه‬
ْ ‫صدَقَ ِت ِه ِم ْن ِع ْند‬
َ ‫ارس‬
ُ
‫ َف َما‬:‫ار؟ قَا َل‬
َ ‫ْف تُع ِْط ْي ِه َوقَ ْد‬
ً َ‫علِمْ تَ اَنَّ َها لَهُ ن‬
َ ‫ُوَهلل َكى‬
َ ‫ َي‬:‫ع َم ُر‬
ْ َ‫ا‬
ْ ‫صنَ َع؟ يَاْبُوْ َن ا ََِّ َم‬
‫ساَلَتِي َويَاْتِي هللا ع ََّز َو َج َّل ِل َي ْالب ُْجل‬
)‫َِ (رواه ابويعلى و احمد‬
Dari Ibnu Umar R.A, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
sesungguhnya ada salah seorang diantara kamu keluar dari
129
Hasil Wawancara Dengan Bapak. Mawahhibus Shomad Dari Pondok Pesantren AlFalah, Dusun Padangan, Desa Karangsari Pada Hari Kamis 22 Mei 2014
lxxvii
rumahku dengan membawa sedekah yang disembunyikan
diketiaknya, padahal sedekah itu hanya umpan neraka. Kemudian
Umar bertanya: Ya Rasulallah! Mengapa engkau beri padahal
engkau tau, bahwa sedekah itu merupakan bara api untuknya?
Maka, jawab Nabi, apa yang harus saya perbuat baginya?
Sedangkan mereka terus menerus minta kepadaku dan saya sendiri
dilarang Allah berlaku bakhil. (H.R. Abu ya’la dan Ahmad)
Risywah yang demikian tidaklah mudah untuk dilaksanakan, karena
mengingat hukum asal dari risywah adalah haram. Maka manusia sebagai
pelaku dalam kehidupan sosial, harus berikhtiyar dengan sungguhsungguh. Risywah yang demikian adalah alternatif penyelesaian masalah
yang terakhir, ketika masih ada jalan yang lain, maka jalan tersebutlah
yang harus ditempuh. Dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa:
َ ‫ان ُرو ِع َي ا َ ْع‬
‫ب ا َ َخ ِف ِه َما‬
َ ‫ارضُ َم ْف‬
ِ ‫ظ ُم ُه َما ِبارْ ِتكَا‬
َ ‫اِذَات َ َع‬
ِ َ‫سدَت‬
“Apabila terjadi pertentangan antara dua mafsadat, maka mafsadat
yang paling besar harus dilindungi dengan melakukan mafsadat
yang lebih kecil”.130
C. Pembahasan
Secara keseluruhan terdapat empat pemuka agama Islam, yang tersebar
di wilayah Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung. Adapun para
pemuka agama Islam tersebut adalah:
1. Bpk K.H. Mawahhibus Shomad dan Bpk Ustadz Kozin, dari Pondok
Pesantren Al-Falah dari, Dusun Padangan, Desa Karangsari, Kec.
Rejotangan.
Moh. Kurdi, Kaidah…, hal. 56
130
lxxviii
2. Bpk K.H. Amin, Pondok Pesantren Al-Falah Abdurrohim, Desa
Rejotangan.
3. Bpk. K.H. Asmungi, dari Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Desa Sukorejo.
4. Bpk. K. Khoir, dari Pondok Pesantren Sirojuddin, Desa Panjerrejo.
Meskipun secara umum beraliran NU, akan tetapi dari para Pemuka
Agama Islam tersebut memiliki pandangan yang berbeda-beda. Hal ini bukan
tanpa alasan, dilatar belakangi oleh pendidikan yang berbeda, kitab yang
dipelajari dan atau bahkan hingga sampai pada perbedaan pemahaman
terhadap suatu teks yang sama. Hal ini menjadikan perbedaan yang
sebenarnya jika ditelaah lebih mendalam maka akan memberikan
keanekaragaman pemikiran dan kerelaan untuk mengikuti yang sesuai dengan
hati nurani masyarakat.
1. Perbedaan Hibah dan Risywah menurut pandangan pemuka agama
Islam di Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung
Secara umum, hibah dan risywah adalah sama-sama memberikan
sejumlah harta kepada orang lain, sehingga keduanya memiliki kesamaan
dalam masalah penyaluran harta. Dengan demikian memberikan gambaran
bahwasannya pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain
secara lahiriyah adalah sama, akan tetapi tidak demikian jika ditelisik
secara lebih mendalam.
Pada dasarnya hibah dan risywah memiliki perbedaan yang
mendasar, yaitu dari sisi hukum ataupun niatnya. Akan tetapi karena
memiliki kesamaan dalam praktiknya maka cenderung banyak orang
lxxix
kesulitan membedakan mana yang termasuk kedalam hibah dan mana
yang termasuk kedalam risywah.
Hibah yang dilakukan atas dasar kerelaan, dan tanpa mengharapkan
imbalan apapun, merupakan salah satu metode penyaluran harta yang
diperbolehkan oleh Islam, sehingga melaksanakan hibah adalah murni
karena ingin membantu sesama.
Risywah dilakukakn atas tujuan-tujuan tertentu yang pada umumnya
dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Risywah secara
umum dilakukan untuk mengalahkan yang benar dan membenarkan yang
salah, meskipun itu hnya bersifat pribadi, akan tetapi hal tersebut akan
memberikan dampak keburukan yang lebih besar dari pada kebaikannya.
Dengan demikian maka hukum risywah adalah haram. Risywah yang
diharamkan, tidak hanya haram dari pihak yang melakukan suap (Al-rasyi)
saja, melainkan juga penerima suap (Al-murtasyi), perantaranya dan
bahkan hingga obyek yang digunakan sebagai alat untuk menyuap tersebut
juga menjadi haram meskipun pada awalnya harta tersebut adalah harta
yang halal baik dari dzat ataupun cara mendapatkannya.
2. Hukum Meminta Kembali Harta Yang Telah Dihibahkan menurut
pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan Rejotangan
Kabupaten Tulungagung
Harta yang sudah diberikan dan sudah diterima oleh penerimanya,
maka kepemilikan harta tersebut telah berpindah ke penerima harta
tersebut. Dengan demikian, jika pemberi harta meminta kembali harta
lxxx
yang sebelumnya telah ia berikan maka hukumnya mubah. Akan tetapi
sesuai dengan hadits Rasulallah SAW yang berbunyi:
‫سلَّ َم‬
َ ِ‫ص َلى هللا‬
َ ُ‫عبَّاس َر ِض َياهلل‬
َ ‫ع َْن اِب ِْن‬
َ ِ‫ع َْن َرسُوْ َِهلل‬,‫ع ْن ُه َما‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
)‫ب يَ ِق ْي ُء لُ ْم يَعُوْ دُ فِ ْي َق ْي ِئ ِه (رواه مسلم‬
ِ ‫َقا َل ا َ ْل َعا ئِدُ في ِهبَ ِت ِه ك َْالك َْل‬
Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda:
“perumpamaan orang yang meminta kembali benda-benda yang
telah diberikan sama dengan anjing yang muntah kemudian
memakan kembali muntahannya itu” (HR. Muslim.).131
Sesuai dengan hadits tersebut, menggambarkan betapa hinanya
orang yang meminta kembali harta yang telah diberikannya kepada orang
lain,
yang
diibaratkan
dengan
anjing
yang
memakan
kembali
muntahannya, menggambarkan perbuatan yang sangat hina. Sehingga
meskipun hukumnya adalah mubah, akan tetapi hal tersebut merupakan
perbuatan yang seharusnya dihindari.
Perbuatan hina yang dilakukan oleh pemberi dengan meminta
kembali harta yang telah dberikan, tidak berlaku bagi seorang bapak yang
meminta kembali harta yang telah diberikannya kepada anaknya. Hal ini
didasarkan atas sabda Nabi yaitu:
ُ ‫ع َْن اِ ْب ُن‬
‫ ََ يَ ِح ُّل ِل َرجُل‬: ‫سلَّم قَا َل‬
َ ِ‫صلَى هللا‬
َ ‫ أ َ َّن النَّ ِب َّى‬,‫عمر‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
ْ ‫ُم‬
ُ‫س ِلم ا َ ْن يُّع ِْط َي ْالعَ ِطي ََّة ث ُ َّم يَرْ ِج ُع فِ ْي َها اََِّ ْال َوا ِلدَ فِ ْي َما يَع ِْطي َولَدَه‬
)‫عبَّاس‬
َ ‫(رواه اِبُ ُن‬
Dari Ibnu Umar, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “haram
bagi seseorang Muslim memberi sesuatu kepada orang lain
kemudian memintanya kembali, kecuali pemberian ayah kepada
anaknya”.(H.R. Ibnu ‘Abbas).132
131
132
Al-Imam Zainudun Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih,…hal. 543
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994), hal. 329
lxxxi
Dengan demikian maka, hukum meminta kembali harta yang
diberikan bapak kepada anaknya adalah merupakan pengecualian dan
bukan merupakan perbuatan yang hina.
Secara umum menurut para pemuka agama diwilayah Kecamatan
Rejotangan, Kabupaten Tulungagung menyatakan bahwa meminta
kembali harta yang telah diberikan hukumnya adalah mubah, dan harus
dilakukan atas dasar kerelaan tidak dengan memaksa. Karena jika
dilakukan disertai dengan pemaksaan maka hal ini berubah menjadi tindak
pidana.
3. hukum memakan harta risywah jika tidak mendapatkan apa yang
diinginkan menurut pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan
Rejotangan Kabupaten Tulungagung
Hukum memanfaatkan atau mengkonsumui harta risywah jika tidak
mendapatkan apa yang diinginkan adalah sebagian pemuka agama Islam
menyatakan hukumnya adalah makruh, karena harta tersebut pada awalnya
diniatkan sebagai risywah dan praktis harta tersebut hukumnya adalah
haram, akan tetapi dengan adanya pembatalan niat risywah yang semula
maka harta tersebut berubah menjadi makruh. Hal ini tetap dihukumi
makruh karena pembatalan niat yang dilakukan tidak sepenuhnya
didasarkan atas keikhlasan yang tulus, sehingga keikhlasan yang diberikan
adalah keikhlasan yang didasarkan atas keterpaksaan.
Pendapat yang kedua menyatakan bahwa harta tersebut hukumnya
adalah dapat beralih status hukum yaitu menjadi shodaqah. Hal ini
didasarkan bahwasannya harta yang diniatkan pertama hukumnya haram,
lxxxii
yang kemudian dibatalkan niatnya maka harta tersebut tidak dapat beralih
status sebagai harta hibah, melainkan menjadi shodaqah, karena diberikan
atas dasar kerelaan dan hanya mengharap ridlo dari Allah SWT.
Pendapat yang ketiga menyatakan bahwa harta tersebut hukumnya
adalah tetap haram, didasarkan pada niat pertama sebagai harta risywah,
maka meskipun dilakukan pembatalan niat karena niat risywah tersebut
dibatalkan. Akan tetapi perbaruan akad tersebut tidak dilaksanakan atas
dasar keikhlasan yang tulus sejak awal, sehingga harta tersebut hukumnya
adalah tetap haram meskipun ada perubahan niat.
4. Risywah Untuk Mempertahankan Kebenaran atau Mencegah
Kezaliman menurut pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan
Rejotangan Kabupaten Tulungagung
Menyuap (risywah) jika tujuannya untuk kebaikan maka hukumnya
adalah mubah, karena dilakukan bukan untuk keuntungan pribadi,
melainkan untuk keselamatan ataupun untuk kemaslahatan umat. Hal ini
terdapat dua pendapat yang dikemukakan oleh pemuka agama Islam di
wilayah Kecamatan Rejotangan. Pendapat pertama menyatakan bahwa
hukum risywah jika dilakukan untuk kebaikan adalah halal dan haram.
Halal dilakukan oleh pemberi risywah, karena dia melakukan bukan atas
dasar keuntungan dan baginya tidak mendapat dosa, akan tetapi haram
bagi penerima risywah, karena dia menerima harta suap tersebut yang
mana seharusnya dia memberikan rasa aman dan kepercayaan kepada
pihak yang memberikan risywah dengan tanpa harus melakukan risywah.
lxxxiii
Pendapat yang kedua adalah halal bagi pemberi riyswah, harta
risywah, perantara risywah dan penerima risywah. Hal ini dikarenakan
risywah yang dilakukan atas dasar keterpaksaan yang mana hukumnya
adalah halal. Dengan demikian maka semua pihak dan obyek risywah
hukumnya adalah mubah.
lxxxiv
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
a. Perbedaan hibah dan risywah adalah terletak pada sisi hukum dan pada
niatnya. Hibah memiliki hukum halal karena dilakukan dengan niat yang
baik, yaitu dengan tanpa mengharapkan imbalan apapun (ikhlas),
sedangkan risywah hukumnya haram karena dilakukan atas dasar untuk
mencari keuntungan pribadi dan cenderung merugikan orang lain.
b. Hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan adalah mubah, akan
tetapi harus atas dasar kerelaan (tidak ada unsur paksaan). Pendapat yang
lain menyatakan hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan
adalah haram, kecuali jika hibah yang dilakukan oleh bapak kepada
anaknya.
c. Hukum memanfaatkan atau mengkonsumsi harta risywah jika dibatalkan
niatnya adalah kembali ke hukum awal dari risywah tersebut, yaitu haram.
Akan tetapi harta tersebut dapat berubah menjadi halal (mubah) jika ada
pembaruan akad, misalnya dengan disedekahkan, dihibahkan, diwakafkan
dan lain-lain.
d. Hukum memberi harta risywah jika bertujuan untuk mempertahankan
kebenaran atau mencegah kezaliman adalah mubah dan bahkan dapat
menjadi wajib, hal ini dikarenakan tidak ditujukan untuk keuntungan
pribadi, melainkan untuk kemaslahatan dan jika tidak melakukannya maka
lxxxv
akan menimbulkan keburukan yang lebih besar dari pada jika tidak
melakukannya.
B. SARAN
1. Skripsi ini hanya membahas hibah dan risywah dari sisi budaya yang
didasarkan atas pendapat pemuka agama Islam di wilayah Kecamatan
Rejotangan, Kabupaten Tulungagung sehingga penelitian berikutnya
diharapkan:
a. Dapat meneliti hibah dan risywah dari sisi hukuman (sanksi) yang
ditetapkan baik itu yang terdapat dalam hukum positif ataupun hukum
Islam.
b. Dapat meneliti hibah dan risywah dengan membandingkan antar
keyakinan beragama.
2. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
kualitatif, sehingga penelitian berikutnya dapat menggunakan metode
kuantitatif atau kepustakaan.
3. Seharusnya para Pemuka Agama tidak hanya menyampaikan masalah
hibah dan risywah kepada para santri-santrinya saja, melainkan juga
kepada masyarakat secara umum, seperti khutbah, ceramah dan lain-lain.
4. Dalam ceramah yang mendatangkan Mubaligh atau metode dakwah yang
lain dan bahkan dalam majlis ta’lim sekalipun, seharusnya tidak hanya
menyinggung dan membahas mengenai fiqh ibadah saja, sehingga
menjadikan sebuah persepsi bahwa Fiqh Muamalah adalah didasarkan
pada budaya. Dengan demikian, maka masyarakat akan mengetahui
bahwasannya fiqh tidak hanya membahas masalah ibadah saja.
lxxxvi
5. Seharusnya para calon pejabat (calon legislatif, calon kades dan lain-lain)
selalu diberi pengawasan oleh masyarakat untuk tidak melakukan praktik
suap menyuap, sehingga budaya suap menyuap yang ada dapat ditekan dan
sedikit demi sedikit akan hilang.
lxxxvii
DAFTAR PUSTAKA
Al-Albani, Muhammad Nasshiruddin. 1995. Silsilatul-Ahaadiits Adh-Dhaifah
Wal-Maudhu’ah. terj. A.M. Basalamah. Jakarta: Gema Insani.
Al-Malibary, Syeh Zainuddin bin Muhammad Al Ghozaly, Fathul Mu’in jilid 2,
terj. Aliy As’ad. TT. Yogyakarta: Menara Kudus.
Anwar, Syamsul. 2007. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Anwar,Syamsul. 2007. Hukum Perjanjian Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Arifin,Muhammad Nurul. 2009.
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam
Perspektif Fiqih Jinayah. TK: Badan Litbang dan Diklat Departemen
Agama RI.
Arikunto, Suharsismi. 2010.
Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Az-Zabidi, Al-Imam Zainudun Ahmad bin Abd Al-Lathif.
Mukhtshar Shahih Al-Bukhari Al-Musamma, terj. Achmad Zaidun. 2002.
Jakarta: Pustaka Amani.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2010. Fiqih Muamalah Sistem Transaksi Islam.
Jakarta: Amzah.
Bungin, Burhan. 2005. Metodologi Penelitian Sosial: Format 2 Kualitatif.
Surabaya: Airlangga University Press.
Buletin Jurdil edisi Larangan Politik UangMoney Politik FA, 02 Februari 2012
Dewi, Gemala. 2007. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Perasuransian
Syariah Di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Fatoni, Abdurrahman. 2006. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan
Skripsi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Hafidudin, Didin. 2004. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema
Insani.
Hasan, M. Ali. 2003Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
lxxxviii
Hasan, Ali. 2009. Manajemen Bisnis Syari’ah Kaya di Dunia Terhormat di
Akhirat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://abufawaz.wordpress.com/2012/10/05/suap-menyuap-yang-halal-dan-yangharam-dalam-agama-islam/, diakses pada 20 Maret 2014, pkl. 21.30 WIB
https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080908073850AAeu2zt,
diakses 20 maret 2014, pkl. 21.30 WIB
http://jabal-uhud.com/index.php?option=com_content&view=article&id=167:
suap-dalam-perspektif-islam&catid=28:khutbah-jumat&Itemid=48,
diakses pada 20 Maret 2014, pkl 21.00 WIB
http://lib.umpo.ac.id/gdl/files/disk1/4/jkptumpo-gdl-pamujiadna-167-1-abstraki.pdf , diakses 31 maret 2014/ pkl 10.30 WIB
http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=21064 , diakses 31 maret
2014, pkl 10.30WIB
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/10/makalah-hadis-suapmenyuap.html, diakse pada 21 Maret 2014, pkl 20.00 WIB
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=
0CCUQFjAA&url=http%3A%2F%2Feprints.undip.ac.id%2F17645%2F
1%2FPRASTOWO_HENDARSANTO.pdf&ei=0uQ4U7HkKISFrAeXsIG
gAQ&usg=AFQjCNFWosMbOOyMrs2tWTyVfXuQGtmstA&bvm=bv.63
808443,d.bmk, diakses 31 maret 2014/ pkl 10.30 WIB
http://www.antaranews.com/berita/408845/ketika-penghulu-menolakmenikahkan-di-hari-libur, diakses pada 6 Mei 2014, Pkl. 12.00 WIB
http://www.referensimakalah.com/2013/06/Suap-Risywah-menurut-HukumIslam-dan-Hukum-Positif.html, diakses 20 maret 2014, pkl. 21.30 WIB
Huda,Qomarul. 2011. Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Teras.
Karim, Adiwarman. 2009.
Bank Islam: Analisis Keuangan. Jakarta: Jajawali
Pers.
Karim, Adiwarman. 2009.
Bank Islam: Analisis Keuangan. Jakarta: Jajawali
Pers.
Kurdi, Moh. 2008. Kaidah-Kaidah Fiqh. Jakarta Barat: CV Artha Rivera.
lxxxix
Lubis, Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. 2004. Hukum Perjanjian dalam
Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Mas’adi,Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Konstektual. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Mas’udi, Masdar F. et. all. 2003. Fiqh Korupsi Amaman VS Kekuasaan. Mataram:
Solidaritas Masyarakat Transparansi NTB.
Muhammad, Syaikh Al – Alamah. Rahmah al – Ummah fi Ikhtilafi al – A’immah,
terj. ‘Abdullah Zaki Alkaf. 2004. Bandung: Hasyimi Press.
Muhsin,Abdullah Bin Abdul. 2001.
Jariimatur-Rasyati Fisy-Syarii’atil
Islamiyyati, terj. Muchotob Hamzah dan Subakir Saerozi. Jakarta: Gema
Insani.
Moeloeng, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakaerya.
Nawawi, Imam. TT. Hadits Arba’in Nawawi, Terj. Abdul Murhaimin As’ad.
Surabaya: Ar-Rohmah.
Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi K. Lubis. 2004. Hukum Perjanjian Dalam
Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Qardhawi, Yusuf. 2003. Halal dan Haram dalam Islam. Surabaya: PT Bina Ilmu
Surabaya.
Qardhawi, Yusuf. 2005. Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah, Terj. As’ad Yasin.
Jakarta: Gema Insani.
Qardhawi, Yusuf. 1977. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,
diterjemahkan oleh Didin Hafidudin, Setiawan
Budiutomo dan Aumur Rofiq Saleh Tamhid. Jakarta: Robbani Pers.
Rivai,Veitzal. 2011. Islamic Transaction Law In Business Dari Teori Ke Praktik.
Jakarta: Sinar Grafika.
Rasyid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam). Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
Rosyid,Miftah Noor. 2010. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik Tentang
Kebolehan Hibah ‘Umra. Semarang: Skripsi Tidak Diterbitkan.
Suhendi, Hendi. 2008. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
xc
Suhendi, Hendi. 2005. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Salim. 2005. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika.
Subana. 2005. Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia.
Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
________. 2005. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Supardi. 2005.
Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta: UII
Press.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.
Tafsir Quran Karim, terj. Mahmud Yunus, PT Hidakarya Agung: Jakarta.
Tanzeh, Ahmad dan Suyetno. 2006. Dasar-Dasar Penelitian. Surabaya: eLKAF.
___________. 2006. Kitab undang-undang perdata=burgerlijk wetboek : dengan
tambahan
undang-undang
pokok
agrarian
dan
undang-undang
perkawinan, terj. R. Subekti dan R. tjitrosudibio. Jakarta: pradnya
paramita.
xci
BIODATA PENULIS
Nama
: Sulhan Wahib
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Tempat/Tanggal Lahir
: Tulungagung, 16 Januari 1990
Alamat
: RT/RW: 03/01, Desa Buntaran, Kec. Rejotangan,
Kab. Tulungagung
Fakultas/Jurusan
: Syariah dan Ilmu Hukum/ Hukum Ekonomi
Syariah
NIM
: 3221103023
Riwayat Pendidikan
:
- RA Halimah Assa’diyah
: 1995-1996
- MI MMU Buntaran
: 1996-2002
- MTsN Aryojeding
: 2002-2005
- MAN 3 Tulungagung
: 2005-2008
- IAIN Tulungagung
: 2010- sekarang
xcii
xciii
PEDOMAN INTERVIEW
9.
Apa perbedaan antara hibah dan risywah?
10. Bagaimana hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan?
11. Bagaimana hukum memakan harta risywah (jika pemberi risywah tidak
mendapatkan apa yang diinginkan)?
12. Bagaimana hukum risywah untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah
kezaliman?
xciv
BAB IV
HIBAH
Bagian Pertama
Rukun Hibah dan Penerimaannya
Pasal 692
(1) Suatu transaksi hibah dapat terjadi dengan adanya ijab dan kabul.
(2) Kepemilikan menjadi sempurna setelah barang hibah diterima oleh penerima
hibah..
Pasal 693
Ijab dalam hibah dapat dinyatakan dengan kata-kata, tulisan, atau isyarat, yang
mengandung arti beralihnya kepemilikan harta secara cuma-cuma.
Pasal 694
Transaksi hibah juga dapat terjadi dengan suatu tindakan seperti seseorang
penghibah memberikan sesuatu dan diterima oleh penerima hibah.
Pasal 695
Pengiriman dan penerimaan barang hibah dan shadaqah adalah sama dengan
pernyataan lisan dalam ijab dan kabul.
Pasal 696 Penerimaan barang dalam transaksi hibah seperti penerimaan dalam
transaksi jual beli.
Pasal 697
Diharuskan ada izin dari penghibah baik secara tegas atau samar dalam
penerimaan barang hibah.
Pasal 698
Penghibah dengan menyerahkan barang dianggap telah member izin kepada
penerima hibah untuk menerima barang yang diserahkan sebagai hibah.
Pasal 699
Apabila penghibah telah memberi izin dengan jelas untuk penerimaan barang
hibah, maka penerima berhak mengambil barang yang diberikan sebagai hibah,
baik ditempat pertemuan ke kedua belah pihak, atau setelah mereka berpisah. Jika
izin itu hanya berupa isyarat atau tersamar, hal itu hanya berlaku sepanjang
mereka belum berpisah di tempat itu.
xcv
Pasal 700
Seorang pembeli boleh secara sah memberikan suatu hibah kepada pihak ketiga,
meskipun ia belum menerima penyerahan barang itu dari penjual, dan ia meminta
penerima hibah untuk mengambilnya.
Pasal 701
Barangsiapa yang menghibahkan barang kepada seseorang yang barang tersebut
telah ada di tangan sipenerima hibah, maka penyerahan itu sudah lengkap, tidak
diperlukan penerimaan dan penyerahan kedua kalinya.
Pasal 702
Hibah dapat terjadi dengan cara pembebasan utang dari orang yang memiliki
piutang terhadap orang yang berutang dengan syarat orang yang berutang tidak
menolak pembebasan utang tersebut.
Pasal 703
Hibah dapat terjadi dengan cara seseorang memberikan harta kepada orang lain
padahal harta tersebut merupakan hibah yang belum diterimanya dengan syarat
penerima hibah yang terakhir telah menerima hibah tersebut.
Pasal 704
Transaksi hibah dinyatakan batal jika salah seorang dari penghibah atau penerima
hibah meninggal dunia sebelum penyerahan hibah dilaksanakan.
Pasal 705
Dalam hal hibah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya yang sudah
dewasa, harta yang diberikan sebagai hibah itu harus diserahkan dan harus
diterima oleh anak tersebut.
Pasal 706
Hibah terjadi bila seorang anak menerima hibah dari walinya meskipun harta yang
dihibahkan itu belum diterima atau dititipkan pada pihak ketiga.
Pasal 707
Suatu hibah yang diberikan kepada seorang anak bisa dinyatakan transaksi hibah
telah terjadi dengan sempurna, bila walinya atau orang yang dikuasakan untuk
memelihara dan mendidik anak itu mengambil hibah tersebut.
xcvi
Pasal 708
Jika si penerima hibah adalah seorang anak yang sudah cakap bertindak
(mumayiz), maka transaksi hibah itu dianggap telah sempurna bila anak itu sendiri
yang mengambil langsung hibah itu, meskipun ia mempunyai seorang wali.
Pasal 709
Suatu hibah yang baru akan berlaku pada waktu yang akan datang, maka transaksi
hibah itu tidak sah.
Pasal 710
Transaksi hibah adalah sah dengan syarat dan syarat tersebut mengikat penerima
hibah.
Bagian Kedua
Persyaratan Akad Hibah
Pasal 711
Harta yang diberikan sebagai hibah disyaratkan harus sudah ada pada saat akad
hibah.
Pasal 712
(1) Harta yang diberikan sebagai hibah disyaratkan harus berasal dari harta
penghibah.
(2) Harta yang bukan milik penghibah jika dihibahkan dapat dianggap sah apabila
pemilik harta tersebut mengizinkannya meskipun izin tersebut diberikan setelah
harta tersebut diserahkan.
Pasal 713
Suatu harta yang dihibahkan harus pasti dan diketahui.
Pasal 714
Seorang penghibah diharuskan sehat akalnya dan telah dewasa.
Pasal 715
Hibah menjadi batal bila hibah tersebut terjadi karena ada paksaan
xcvii
Bagian Ketiga
Menarik Kembali Hibah
Pasal 716
Penerima hibah menjadi pemilik harta yang dihibahkan kepadanya setelah
terjadinya penerimaan harta hibah.
Pasal 717
Penghibah dapat menarik kembali hibahnya atas keinginannya sendiri sebelum
harta hibah itu diserahkan.
Pasal 718
Jika penghibah melarang penerima hibah untuk mengambil hibahnya setelah
transaksi hibah, berarti ia menarik kembali hibahnya itu.
Pasal 719
Penghibah
dapat
menarik
kembali
harta
hibahnya
setelah
penyerahan
dilaksanakan, dengan syarat si penerima menyetujuinya.
Pasal 720
Jika seorang penghibah menarik kembali barang hibahnya yang telah diserahkan
tanpa ada persetujuan dari penerima hibah, atau tanpa keputusan Pengadilan,
maka penghibah adalah orang yang merampas barang orang lain; dan apabila
barang itu rusak atau hilang ketika berada ditangannya, maka ia harus mengganti
kerugian itu.
Pasal 721
Jika seseorang memberi hibah sesuatu kepada orang tuanya atau anak-anaknya,
atau kepada saudara laki-laki atau perempuannya, atau kepada anak-anak
saudaranya, atau kepada paman-bibinya,
maka ia tidak berhak menarik kembali hibah itu setelah transaksi hibah.
Pasal 722
Jika suami atau isteri, tatkala masih dalam ikatan pernikahannya, saling memberi
hibah pada yang lain, mereka tidak berhak menarik kembali hibahnya masingmasing setelah adanya penyerahan harta.
xcviii
Pasal 723
Jika sesuatu diberikan sebagai pengganti harta hibah dan diterima oleh penghibah,
maka penghibah itu tidak berhak menarik kembali hibahnya.
Pasal 724
Jika sesuatu ditambahkan dan menjadi bagian yang melekat pada harta hibah,
maka hibah itu tidak boleh ditarik kembali. Tetapi suatu penambahan yang tidak
menjadi bagian dari suatu barang hibah, tidak menghalangi dari kemungkinan
penarikan kembali.
Pasal 725
Jika orang yang menerima hibah memanfaatkan kepemilikannya dengan cara
menjual hibah itu atau membuat hibah lain dari hibah itu dan memberikannya
kepada orang lain, maka penghibah tidak mempunyai hak untuk menarik kembali
hibahnya.
Pasal 726
Jika barang hibah itu rusak ketika sudah berada di tangan orang yang menerima
hibah, barang hibah seperti itu tidak boleh ditarik kembali.
Pasal 727
Dalam hal penghibah atau penerima hibah meninggal dunia, maka hibah itu tak
dapat ditarik kembali.
Pasal 728
Suatu shadaqah tidak dapat ditarik kembali jika sudah diserahkan dengan alasan
apa pun.
Pasal 729
Jika seseorang mengizinkan orang lain untuk memakan suatu makanan, maka
orang yang diberi izin setelah mendapatkannya tidak boleh bertindak seolah-olah
barang itu miliknya; misalnya dengan cara menjualnya, atau menghibahkan
barang itu untuk diberikan kepada orang ketiga Tetapi ia boleh memakan
makanan itu dan pemiliknya tidak dapat menuntut harga barang yang telah
dimakannya.
Pasal 730
xcix
Hadiah yang diberikan pada saat selamatan khitanan atau pesta pernikahan adalah
milik orang-orang yang diniatkan untuk diberi oleh si pemilik itu. Jika mereka
tidak mampu mengetahui untuk siapa dan masalah itu tidak dapat diselesaikan
oleh mereka, maka masalah itu harus diselesaikan dengan berpegang kepada adat
kebiasaan setempat.
Bagian Keempat
Hibah Orang yang Sedang Sakit Keras
Pasal 731
Jika seseorang yang tidak punya ahli waris menghibahkan seluruh kekayaannya
pada orang lain ketika sedang menderita sakit keras lalu menyerahkan hibah itu,
maka hibah tersebut adalah sah, dan
bait al-mal (balai harta peninggalan) tidak mempunyai hak untuk campur tangan
dengan barang peninggalan tersebut setelah yang bersangkutan meninggal.
Pasal 732
Jika seorang suami yang tidak memiliki keturunan, atau seorang isteri yang tidak
mempunyai keturunan dari suaminya, menghibahkan seluruh kekayaannya kepada
isteri atau suami, ketika salah seorang dari mereka sedang menderita sakit keras
dan lalu menyerahkannya, pemberian hibah itu adalah sah, dan bait almal tidak
mempunyai hak untuk campur tangan pada harta peninggalan dari salah seorang
dari mereka yang meninggal.
c
Download