FULL TEXT TESIS 2015 - Official Site of MOH.EGA ELMAN MISKA

advertisement
RESPON PERTUMBUHAN BIBIT AREN
(Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) TERHADAP
INOKULASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA INDIGENOUS
MOH. EGA ELMAN MISKA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Respon Pertumbuhan
Bibit Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) terhadap Inokulasi Fungi Mikoriza
Arbuskula Indigenous adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Moh. Ega Elman Miska
NIM A252130021
*
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB
harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.
RINGKASAN
MOH. EGA ELMAN MISKA. Respon Pertumbuhan Bibit Aren (Arenga pinnata
(Wurmb) Merr.) terhadap Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula Indigenous.
Dibimbing oleh AHMAD JUNAEDI, ADE WACHJAR, dan IRDIKA MANSUR.
Tanaman aren (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.) termasuk famili
Arecaceae yang dikelompokkan ke dalam tanaman multi guna (multiple purpose
trees). Tanaman aren merupakan tanaman yang pemanfaatannya paling luas
dibandingkan dengan spesies lainnya. Potensi dari tanaman aren sangat tinggi
dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan alternatif energi terbarukan. Kendala
yang dihadapi dalam pengembangan dan budidaya tanaman aren adalah
pertumbuhan bibit yang lambat. Salah satu alternatif yang dikembangkan dalam
mengatasi kendala tersebut adalah pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA).
Adanya FMA pada bibit aren diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan,
terutama peningkatan serapan hara sehingga bibit mampu tumbuh baik di
lapangan dan mengatasi keadaan lingkungan yang beragam. Tahap pembibitan ini
merupakan langkah awal untuk menghasilkan bibit aren yang bermutu. Sejauh ini,
belum ada informasi mengenai teknik budidaya dalam upaya peningkatan
pertumbuhan bibit aren melalui pemanfaatan mikoriza untuk mendapatkan bibit
aren yang berkualitas.
Penelitian terdiri atas tiga percobaan yang memiliki keterkaitan yaitu (1)
isolasi dan karakterisasi tipe FMA dari rhizosfer aren, (2) status keberadaan FMA
pada tanaman aren, dan (3) uji keefektifan inokulum tanah FMA dari bawah
tegakan aren dalam meningkatkan pertumbuhan bibit aren.
Isolasi dan karakterisasi FMA dari contoh tanah yang diamati berasal dari
rhizosfer aren yang tersebar di tiga lokasi kabupaten, yaitu Cianjur, Sukabumi,
dan Lebak. Berdasarkan hasil dari contoh tanah yang memiliki jumlah kepadatan
spora terbanyak dari penangkaran (trapping) dan memiliki jumlah propagul
infektif tertinggi dari penghitungan Most Probable Number (MPN), selanjutnya
akan diuji keefektifannya dalam meningkatkan pertumbuhan bibit aren. Uji
keefektifan inokulum tanah FMA indigenous pada bibit aren menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) 2 faktor. Faktor pertama adalah pemupukan P
(P0 = tanpa pemupukan P dan P1 = dengan pemupukan P). Faktor ke-dua adalah
inokulasi FMA (M0 = tanpa inokulum FMA, M1 = inokulum FMA indigenous,
dan M2 = inokulum FMA mycofer ).
Hasil isolasi dan karekterisasi FMA menunjukkan bahwa terdapat empat
genus FMA dari bawah tegakan aren, yaitu: Glomus sp. (7 tipe spora),
Acaulospora sp. (5 tipe spora), dan Scutellospora sp. (1 tipe spora) ditemukan di
Cianjur, Sukabumi, dan Lebak, sedangkan Gigaspora sp. (1 tipe spora) hanya
ditemukan di Sukabumi. Hasil penelitian status keberadaan FMA pada rhizosfer
aren menunjukkan bahwa contoh tanah dari lokasi Sukabumi memiliki kepadatan
spora dan propagul infektif lebih tinggi dibandingkan contoh tanah dari Cianjur
dan Lebak.
Hasil uji keefektifan inokulum FMA menunjukkan bahwa inokulum FMA
indigenous mampu meningkatkan pertumbuhan bibit aren berdasarkan parameter
tinggi tanaman, panjang pelepah daun, diameter pangkal pelepah, bobot kering
tajuk, biomassa total, serapan hara P, jumlah spora, dan persen infeksi akar.
Interaksi yang terjadi antara pemupukan P dengan inokulum FMA menunjukkan
adanya peran inokulum FMA terhadap panjang pelepah daun, jumlah spora, dan
persen infeksi akar dengan nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan inokulum
FMA indigenous tanpa pemupukan P.
Kata kunci: inokulum tanah, keefektifan, status FMA
SUMMARY
MOH. EGA ELMAN MISKA. Growth Response of Sugar Palm Seedling (Arenga
pinnata (Wurmb) Merr.) to Inoculations of Indigenous Arbuscular Mycorrhyzal
Fungi. Supervised by AHMAD JUNAEDI, ADE WACHJAR, and IRDIKA
MANSUR.
Sugar palm (Arenga Pinnata (Wurmb) Merr.) is a multiple-purpose tree
(MPT) from the Arecaceaae family. Besides yielding sugars, it provides a great
number of benefits than the other products. It also one of the most diversified
species in multipurpose tree culture and has a high potential for food and
renewable energy fulfillment. Availability of quality seed is the constraints in the
development and cultivation. One of the alternatives to developed the constratints
through by inoculation of Arbuscular Mycorrhyzal Fungi (AMF). The AMF on
sugar palm seedlings are expected to increase growth, especially to increase
nutrient uptake so that the seedlings could grow well in the fields and the state of
the diverse environment. The seedlings stage is the first step to produce of sugar
palm seed quality. There is no information regarding the cultivation technique to
increase seedlings growth through using mychorrhiza to obtain the seed quality.
This research consists of three trials with interrelated experiments: (1)
isolation and characterization of the types of Arbuscular Mychorrizal Fungi
(AMF) on the rhyzosphere of sugar palms, (2) the existence of Arbuscular
Mychorrizal Fungi (AMF) status on sugar palm, (3) the effectiveness of the AMF
soil inoculum from under sugar palm stands on sugar palm seed.
The isolation and characterization of AMF of soil sample was observed
from sugar palm rhizosfer over three districts location, i.e: Cianjur, Sukabumi,
and Lebak. Based on soil samples results, the highest number of spores density of
trapping and inefective propagules of Most Probable Number (MPN) counting
would have the effectiveness of sugar palm seeds. This research used completely
randomized design with two factor. The first factor is Posphorus (P) fertilizing
were used two levels: without (P0) and with P fertilizer (P1). The second factor is
Inoculation of AMF were used three levels: without inoculum (M0); AMF
indigenous inoculum (M1); AMF mycofer inoculum (M2).
The isolation and characterization of AMF result showed that there are four
genera of AMF under sugar palm stands, i.e.: Glomus sp. (7 species), Acaulospora
sp. (5 species), and Scutellospora sp. (1 species) founded in Cianjur, Sukabumi,
and Lebak, whereas Gigaspora sp. (1 species) only found in Sukabumi. The result
on the existance of AMF status on the rhyzosphere of sugar palm showed that soil
samples from Sukabumi had a higher density both of spores and inefective
propagules than Cianjur and Lebak.
The result on the effectiveness showed that AMF indigenous inoculum
increase growth on sugar palm seedling based on parameters of plant height,
rachis length, stem diameter, shoot dry weight, root dry weight, total biomassa, P
nutrient absorption, number of spore, and percent of root colonization. Interaction
between P fertilizer with AMF inoculum showed the role of AMF inoculum to
rachis length, number of spore, and percent of root colonization with the highest
value was obtained in treatment AMF indigenous inoculum without P fertilizer.
Keywords: AMF status, effectiveness, soil inoculum
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RESPON PERTUMBUHAN BIBIT AREN
(Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) TERHADAP
INOKULASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA INDIGENOUS
MOH. EGA ELMAN MISKA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Supijatno, MSi
Judul Tesis : Respon Pertumbuhan Bibit Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)
terhadap Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula Indigenous
Nama
: Moh. Ega Elman Miska
NIM
: A252130021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr Ir Ahmad Junaedi, MSi
Ketua
Dr Ir Ade Wachjar, MS
Anggota
Dr Ir Irdika Mansur, MForSc
Anggota
Diketahui oleh,
Ketua Program Studi/Mayor
Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr Ir Maya Melati, MS, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal ujian: 18 September 2015
Tanggal lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian yang dipilih dan dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 hingga Juni 2015
ialah Respon Pertumbuhan Bibit Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) terhadap
Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula Indigenous.
Terima kasih penulis ucapkan kepada
1. Dr Ir Ahmad Junaedi, MSi selaku ketua komisi pembimbing yang telah
membimbing mulai dari awal penyusunan proposal penelitian hingga penulisan
tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas masukan dan sumbangan
ide-idenya dalam penelitian.
2. Dr Ir Ade Wachjar, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah
membimbing mulai dari awal penyusunan proposal penelitian hingga penulisan
tesis ini.
3. Dr Ir Irdika Mansur, MForSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah
membimbing mulai dari awal penyusunan proposal penelitian hingga penulisan
tesis ini.
4. Dr Ir Supijatno, MSi selaku penguji luar komisi pembimbing yang telah
memberikan masukan dan koreksian dalam perbaikan tesis ini.
5. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan dana penelitian yang
dibiayai melalui program DIPA, SEAMEO BIOTROP tahun 2015.
6. Orang tua dan Istri tercinta yang selalu memberikan dukungan penuh terhadap
penulis untuk mencari ilmu setinggi-tingginya.
7. Teman-teman seperjuangan di Mayor Agronomi dan Hortikultura angkatan
20l3 yang telah membantu selama proses penelitian, pengolahan data, maupun
semangat yang diberikan terhadap penulis.
Sebagian hasil penelitian telah diterima dan akan diterbitkan di jurnal
nasional Jurnal Silvikultur Tropika.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2015
Moh. Ega Elman Miska
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
Latar belakang
Perumusan masalah
Tujuan penelitian
Hipotesis penelitian
1
2
2
2
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan ekologi tanaman aren
Penelitian aren terdahulu
Fungi mikoriza arbuskula (FMA)
Peranan fungi mikoriza arbuskula bagi tanaman
Inokulum Tanah
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan mikoriza
3
5
6
7
9
9
ISOLASI DAN KARAKTERISASI SPORA FUNGI
MIKORIZA ARBUSKULA PADA RHIZOSFER AREN
(Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.)
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
13
13
14
20
POTENSI DAN STATUS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA
RHIZOSFER TANAMAN AREN (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.)
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
22
22
24
26
UJI KEEFEKTIFAN INOKULUM TANAH FMA DARI
BAWAH TEGAKAN AREN PADA BIBIT AREN
(Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.)
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
28
28
32
43
DAFTAR PUSTAKA
44
LAMPIRAN
51
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Hasil analisis kimia tanah dari rhizosfer aren pada tiga lokasi
kabupaten
Kerapatan spora FMA pada contoh tanah dari bawah tegakan aren
di tiga lokasi kabupaten
Karakterisasi tipe spora FMA yang berasal dari bawah tegakan
aren di tiga lokasi kabupaten
Hasil perhitungan uji MPN pada inokulum tanah FMA dari
bawah tegakan aren di tiga lokasi kabupaten
Analisis tanah media di awal dan akhir penelitian
Analisis hara N, P, dan K pada jaringan tanaman
Pengaruh faktor pemupukan P dan inokulum FMA terhadap
tinggi tanaman bibit aren sampai 24 MSP
Pengaruh faktor pemupukan P dan inokulum FMA terhadap
jumlah pelepah daun bibit aren pada 24 MSP
Pengaruh faktor pemupukan P dan inokulum FMA terhadap
panjang pelepah bibit aren pada 24 MSP
Interaksi pemupukan P dan inokulum FMA terhadap rata-rata
panjang pelepah daun bibit aren pada 24 MSP
Pengaruh faktor pemupukan P dan inokulum FMA terhadap
diameter pangkal pelepah bibit aren pada 24 MSP
Pengaruh faktor pemupukan P dan inokulum FMA terhadap luas
daun bibit aren pada 24 MSP
Pengaruh faktor pemupukan P dan inokulum FMA terhadap
volume dan panjang akar bibit aren pada 24 MSP
Interaksi pemupukan P dan inokulum FMA terhadap rata-rata
jumlah akar primer bibit aren pada 24 MSP
Pengaruh faktor pemupukan P dan inokulum FMA terhadap bobot
kering tajuk dan akar bibit aren pada 24 MSP
Pengaruh faktor pemupukan P dan inokulum FMA terhadap
biomassa total bibit aren pada 12 dan 24 MSP
Pengaruh faktor pemupukan P dan inokulum FMA terhadap laju
tumbuh relatif bibit aren pada 12-24 minggu
Pengaruh pemupukan P dan inokulum FMA terhadap serapan
unsur P bibit aren pada 24 MSP
Interaksi pemupukan P dan inokulum FMA terhadap rata-rata
jumlah spora bibit aren pada 24 MSP
Interaksi pemupukan P dan inokulum FMA terhadap rata-rata
persen infeksi akar bibit aren pada 24 MSP
Efisiensi pemupukan P pada perlakuan dosis pupuk 6.3 g P
tanaman-1
15
16
17
26
32
32
33
34
34
35
36
36
37
38
38
39
40
40
41
41
43
DAFTAR GAMBAR
1. Kondisi lahan pengambilan contoh tanah dan akar di tiga lokasi
kabupaten
2. Presentase kolonisasi FMA pada akar dari bawah tegakan aren
pada tiga lokasi kabupaten
3. Kepadatan spora FMA hasil penangkaran dari contoh tanah pada
tiga lokasi kabupaten
4. Tipe spora FMA yang ditemukan setelah penangkaran
5. Infeksi FMA pada bibit aren
15
24
25
25
42
DAFTAR LAMPIRAN
1. Kriteria penilaian sifat kimia tanah
RIWAYAT HIDUP
52
53
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) termasuk famili Arecaceae
yang dikelompokkan ke dalam tanaman multi guna (multiple purpose trees). A.
pinnata merupakan tanaman yang pemanfaatannya paling luas dibandingkan
dengan spesies lainnya. Hasil utama tanaman aren yang bernilai ekonomi tinggi
adalah nira (Akuba 2004; Rindengan dan Manaroinsong 2009).
Potensi dari tanaman aren sangat tinggi dalam pemenuhan kebutuhan
pangan dan alternatif energi terbarukan. Salah satu komponen pengembangan
produksi yang perlu dikelola dengan baik ke depan dalam bentuk agribisnis
tanaman aren, yaitu penyediaan benih bermutu dan pembibitan sebagai bahan
tanam (BPKPL 2014). Beberapa provinsi di Indonesia telah melakukan usaha
peningkatan produksi tanaman aren. Pada tahun 2009 total areal tanaman aren di
seluruh Indonesia mencapai 66 441 ha dengan produksi gula sebesar 42.18 ton
(Ditjenbun 2011).
Pertumbuhan bibit aren sangat lambat dan membutuhkan waktu 15 sampai
18 tahun untuk memasuki tahap menghasilkan buah sejak tanam. Bunga muda
akan muncul dari bagian paling atas tanaman dan bunga muda berikutnya muncul
pada bagian bawah. Sekitar 4 sampai 7 bunga pada bagian atas merupakan bunga
betina yang akan menghasilkan buah, sedangkan bagian bawah dari bunga betina
akan muncul bunga jantan yang akan disadap dan diambil niranya (Harada et al.
2005; Chantaraboon et al. 2010).
Budidaya aren secara konvensional mengalami kendala, terutama
perbanyakan aren melalui benih. Benih aren memiliki struktur kulit yang keras
dan tebal. Hal inilah yang menyebabkan permeabilitasnya rendah dan dormansi
benih aren cukup lama, yaitu berkisar 1 sampai 12 bulan sehingga menyebabkan
keterbatasan bibit di pasaran (Mujahidin et al. 2003). Penelitian mengenai teknik
budidaya aren dari benih telah dikaji dengan baik. Hasil penelitian Rofik dan
Murniati (2008) menunjukkan bahwa metode deoperkulasi/skarifikasi pada
embrio merupakan teknik sederhana untuk mematahkan dormansi benih aren.
Kendala lain yang dihadapi dalam pengembangan dan budidaya tanaman aren
adalah ketersediaan bibit yang bermutu. Penurunan mutu bibit menjadi faktor
memperlambat masa pindah tanam ke lapangan.
Salah satu upaya untuk mempercepat pertumbuhan bibit dan meningkatkan
mutu bibit aren, yaitu pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula (FMA). Salah satu
peran dari fungi mikoriza arbuskula (FMA), yaitu bioprosesor, mampu membantu
tanaman untuk meyerap hara dan air dari lokasi yang tidak terjangkau oleh rambut
akar (Nusantara et al. 2012). Susanti (2004) melaporkan bahwa inokulasi FMA
dari tegakan jati Cepu dan FMA Mycofer mampu meningkatkan rata-rata
pertumbuhan tinggi bibit jati masing-masing 31% dan 11%, pertambahan
diameter 23.1% dan 28.1%, serta berat kering total 45.04% dan 21.5%
dibandingkan dengan kontrol. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai
informasi untuk mendapatkan bibit aren yang bermutu dan dijadikan acuan untuk
pengembangan bibit aren unggul.
2
Perumusan Masalah
Aren ditinjau dari aspek budidaya belum banyak dilakukan, sampai saat ini
masyarakat masih memanfaatkan aren yang tumbuh secara alamiah. Aren memliki
prospek yang sangat baik untuk dikembangkan, baik dari segi ekonomi, sosial
maupun dari segi ekologi. Oleh karena itu, budidaya aren mulai dari penyediaan
bibit, penanaman sampai pemeliharaan sangat diperlukan. Teknologi budidaya
aren secara ilmiah masih belum banyak dikaji sehingga perlu dilakukan penelitian
untuk memperoleh teknologi budidaya anjuran sebagai Good Agricultural
Practice (GAP).
Kajian mengenai respon pertumbuhan bibit aren terhadap inokulasi Fungi
Mikoriza Arbuskula (FMA) indigenous penting dilakukan, karena dalam usaha
budidaya tanaman, ketersediaan bibit tanaman mutlak diperlukan. Ketersediaan
bibit aren yang bermutu diperoleh melalui teknologi pembibitan yang baik. Salah
satu teknologi penting dalam pembibitan adalah teknik inokulasi mikoriza, yang
dapat menunjang pertumbuhan dan peningkatan mutu bibit tanaman. FMA
berperan aktif membantu tanaman untuk menyerap hara (terutama serapan unsur
P) dan air dari lokasi yang tidak terjangkau oleh rambut akar. Fungi mikoriza
arbuskula ditemukan pada hampir di sebagian besar tanah dan umumnya tidak
memiliki inang yang spesifik. Walaupun demikian, tingkat populasi dan
komposisi jenis FMA sangat beragam dan dipengaruhi oleh karakteristik tanaman
dan faktor lingkungan. Dengan demikian, setiap ekosistem kemungkinan memiliki
keanekaragaman FMA dengan jenis yang sama atau berbeda. Penelitian mengenai
status mikoriza dan pengaruh inokulasi FMA terhadap pertumbuhan aren masih
sangat terbatas.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah 1) mengisolasi dan mengkarakterisasi tipe spora
FMA dari bawah tegakan aren pada lokasi yang berbeda; 2) mengetahui
keberadaan FMA yang efektif dan berpotensi dari bawah tegakan aren; 3) menguji
keefektifan inokulum tanah FMA dari bawah tegakan aren terhadap pertumbuhan
bibit aren.
Hipotesis Penelitian
1. Terdapat perbedaan keanekaragaman tipe FMA indigenous pada beberapa
lokasi tegakan aren.
2. Terdapat perbedaan keberadaan FMA yang efektif dan berpotensi dari bawah
tegakan aren.
3. Terdapat inokulum FMA indigenous yang memiliki keefektifan yang sama
atau lebih tinggi dari inokulum standar Mycofer.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Ekologi Tanaman Aren
Botani
Tanaman aren menurut klasifikasi tanaman termasuk ke dalam divisi
Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, bangsa
Spadicitlorae, suku Palmae dan jenis Arenga pinnata Merr. Tanaman aren
tumbuh dan tersebar pada beberapa daerah di Indonesia dengan nama yang
berbeda-beda, seperti halnya di Batak Karo disebut Paula, di Nias disebut Peto, di
Minangkabau disebut Biuluk, di Lampung disebut Hanau, di Madura disebut Are,
di Jawa Tengah disebut Aren, di Aceh disebut Bakjuk, dan di Bali disebut Hano,
di daerah Nusa Tenggara memiliki delapan nama yang berbeda, yaitu Jenaka,
Pola, Nao, Karodi, Moka, Make, Bale dan Bone, sedangkan di daerah Sulawesi
memiliki lima nama, yaitu Seko, Siho, Tuna, Nawa, dan Roni dan di Jawa Barat
disebut Kawung (Rindengan dan Manaroinsong 2009).
Botani tanaman aren dibedakan ke dalam tiga jenis tanaman yaitu aren
(Arenga pinnata (Wurmb) Merr.), aren gelora (Arenga undulatifolia), dan aren
sagu (Arenga microcarpa). Jenis aren yang termasuk suku Arecaceae (pinangpinangan) yang merupakan tumbuhan biji tertutup (Angiospermae) adalah aren,
aren gelora, dan aren sagu (Mogea et al. 1991). Akar pohon aren berbentuk
serabut, menyebar dan cukup dalam mencapai lebih dari 5 m sehingga tanaman
aren diandalkan sebagai vegetasi pencegah erosi, terutama untuk daerah yang
tanahnya mempunyai kemiringan lebih dari 20%. Batang pohon aren sangat padat
dan kuat serta diselimuti oleh selubung daun yang berwarna hitam yang disebut
ijuk. Selubung daun muda menutupi bagian batang bawah dengan bentuk yang
masih lembut hampir seperti rambut putih (Orwa et al. 2009).
Batang tanaman aren tidak memiliki lapisan kambium, sehingga tidak dapat
tumbuh semakin besar lagi. Diameter batang mencapai 65 cm, sedangkan tinggi
mencapai 15 sampai 20 m (jika terhitung dengan tajuk daun yang menjulang di
atas batang) (Florido dan Mesa 2003; Orwa et al. 2009).
Morfologi tanaman aren hampir mirip dengan tanaman kelapa (Cocos
nucifera), perbedaannya terletak pada batang bawahnya, pada tanaman kelapa
batang bawahnya bersih, sedangkan batang tanaman aren diselimuti ijuk berwarna
hitam dan sangat kuat. Kondisi tersebut menyebabkan batang tanaman aren
ditumbuhi banyak tanaman paku-pakuan (Smits 1996; Orwa et al. 2009).
Tanaman aren mulai berbunga pada umur 6 sampai 12 tahun. Karangan
bunga pertama dari ruas batang yang berada di pucuk pohon, kira-kira letaknya
sedikit di bawah tempat tumbuh daun muda, tetapi makin tua tanaman aren maka
keluarnya bunga jantan akan muncul bergantian dengan bunga betina di ketiak
daun daerah bawah (Mogea et al. 1991).
Bunga jantan tanaman aren terdapat pada untaian buah yang berjumlah
sekitar 25, pangkalnya melekat pada sebuah tandan. Bunga betina berbentuk bulat
panjang 1.2 sampai 1.5 cm berwarna ungu. Tanaman aren yang berumur 12 tahun
dan banyak membentuk tongkol bunga betina, biasanya tidak dilakukan
penyadapan nira. Setelah muncul tandan bunga jantan yang disebut ubas, disusul
4
oleh bunga-bunga jantan lainnya yang disebut adik ubas, penyadapan nira sudah
mulai dilakukan pada masa itu (Elberson dan Oyen 2010).
Bentuk daun tanaman aren yang sudah dewasa dan tua bersirip ganjil seperti
daun kelapa, secara ukuran daun dan pelepah daunnya lebih besar dan kuat.
Warna daun tanaman aren hijau gelap, semakin tua umur daun aren tidak akan
melengkung ke bawah tapi tetap kaku ke atas atau menempel agak miring pada
batangnya. Daun aren yang sudah tua, helaian daunnya akan rontok dan lepas
bersama dengan pangkal pelepahnya yang menempel pada batang. Pelepah daun
aren melebar di bagian pangkalnya, semakin ke pucuk makin menyempit dan
sepanjang 5 m merupakan bagian tangkai daun (Mogea et al. 1991; Orwa et al.
2009).
Panjang buah aren berkisar 5 sampai 8 cm dan terdapat tiga biji yang keras
berwarna hitam. Waktu untuk perkecambahan biji sangat sulit diprediksikan
secara alami, tetapi biasanya perkecambahan muncul antara 1 bulan sampai lebih
dari 12 bulan. Tanaman aren dapat membentuk sampai 250 000 buah, jika tidak
dilakukan penyadapan (Elberson dan Oyen 2010).
Ekologi
Tanaman aren populasinya tersebar antara 75 0BT sampai 145 0BT dan 25
LU sampai 10 0LS. Penyebarannya terdapat di beberapa wilayah basah Asia
Tenggara, meluas mulai dari India, Indonesia (Jawa, Sumatera dan Irian jaya),
Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Myanmar, Thailand, Vietnam, dan sampai utara
ke Kepulauan Ryukyu (Mogea et al. 1991; Elberson dan Oyen 2010).
Tanaman aren tidak membutuhkan sinar matahari yang terik sepanjang hari,
sehingga tanaman aren mampu tumbuh dengan subur di daerah-daerah perbukitan
yang lembab dan banyak ditumbuhi oleh berbagai tanaman keras. Kondisi yang
diperlukan pada masa pertumbuhannya, tanaman aren membutuhkan suhu 20
sampai 25 0C, dalam kisaran suhu tersebut dapat membantu tanaman aren untuk
berbuah. Tanaman aren memerlukan kelembaban tanah dan ketersediaan air
dengan kondisi curah hujan yang cukup tinggi 1 200 sampai 3 500 mm/tahun. Hal
tersebut sangat berpengaruh dalam pembentukan mahkota pada tanaman aren
(Polnaja 2000).
Tanaman aren mampu tumbuh dengan baik dan mampu berproduksi pada
ketinggian 500 sampai 1 200 m di atas permukaan laut. Tanaman aren dapat
tumbuh dengan optimal baik di hutan primer maupun sekunder (Florido dan
Messa 2003).
Tanah yang mengandung batu cadas dan air tanah yang menggenang di
lapisan dangkal yang kurang dari 1 m mampu menghambat perakaran tanaman
aren. Tanaman aren secara umum tidak membutuhkan jenis tanah yang khusus
untuk pertumbuhannya sehingga tanaman aren dapat tumbuh pada tanah-tanah liat
(berlempung), berkapur, dan berpasir (Akuba 2004).
0
5
Penelitian Aren Terdahulu
Kajian mengenai eksplorasi tanaman aren telah dilakukan oleh beberapa
peneliti. Mogea et al. (1991) melakukan kajian terkait sebaran aren secara
geografis dengan mengambil studi kasus beberapa lokasi di Indonesia untuk
megetahui kegunaan dan penyebaran aren pada setiap daerah. Konservasi dan
kearifan lokal dari tanaman aren telah diteliti dengan baik, hasil eksplorasi
tersebut melaporkan bahwa tanaman aren dianggap memiliki potensi dan mampu
menunjang kehidupan bagi warga lokal di Taman Nasional Gunung Halimun.
Oleh karena itu, masayarakat sekitar membutuhkan bantuan untuk pengembangan
tanaman yang berkelanjutan, sehingga ekosistem hutan di Taman Nasional
Gunung Halimun tidak rusak (Harada et al. 2005).
Identifikasi dan karakterisasi tanaman aren banyak dilakukan penelitian
guna mendapatkan informasi bibit aren yang terbaik dalam menunjang
peningkatan dan pengembangan produktivitas aren. Pongsattayapipat dan Barfod
(2009) mengidentifikasi aren lokal Thailand. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat tiga spesies Arenga yang memiliki karakteristik yang sama. Identifikasi
yang dilakukan meliputi karakter vegetatif dan reproduktif, yaitu perilaku dan
morfologi daun, fenologi waktu pembungaan, bentuk bunga, dan buah. Tujuan
penelitian tersebut supaya dalam penentuan taksonomi dapat dilakukan secara
benar dan tepat sehingga dapat dilakukan pemetaan yang tepat serta sebagai
sumber manajemen serta usaha konservasi ke depan.
Penelitian mengenai teknik budidaya aren dari benih telah dikaji dengan
baik, salah satunya dengan metode deoperkulasi. Hasil penelitian Rofik dan
Murniati (2008) menunjukkan bahwa metode deoperkulasi/skarifikasi tepat pada
embrio, merupakan teknik sederhana untuk mematahkan dormansi benih aren,
sehingga dengan mematahkan dormansi biji mempercepat untuk pertumbuhan
bibit aren. Media tanam yang digunakan sebagai media alternatif penyemaian
benih aren adalah pasir, kokopit, dan arang sekam.
Chantaraboon et al. (2009, 2010) mengkaji tentang perbedaan umur masak
buah terhadap daya berkecambah dan waktu yang tepat untuk memisahkan bibit
dari indukan untuk ditanam ke persemaian serta pengaruh pemupukan selama
pembibitan. Spesies yang digunakan adalah Arenga westerhoutii. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa benih aren yang berumur 36 bulan dengan pelukaan
kedua sisi memberikan hasil tertinggi tehadap perkecambahan benih. Penentuan
waktu yang tepat untuk menanam bibit ke persemaian adalah ketika bibit memiliki
satu daun dan dipotong 2/3 bagian. Metode ini dianggap mampu mengurangi
evaporasi dan membantu pertumbuhan akar. Perlakuan pemupukan pada fase
pembibitan tidak memberikan respon yang berbeda terhadap kontrol (tanaman
berumur 1 sampai 3 tahun). Berbeda dengan penelitian selanjutnya yang
menyatakan bahwa perlakuan pemupukan memberikan respon yang nyata jika
dibandingkan dengan kontrol yang tanpa pemupukan.
Furqoni (2014) mengkaji tentang karakterisasi dan respon pertumbuhan aren
pada tingkat naungan berbeda selama fase pembibitan. Karakterisasi dilakukan
dengan studi kasus enam ekotipe aren yang berbeda, hal ini dilakukan untuk
membandingkan ekotipe tersebut dengan tingkat naungan sehingga mendapatkan
ekotipe yang terbaik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman
aren yang terbaik adalah di bawah naungan 50 sampai 64%.
6
Penelitian Matana (2013) tentang pengaruh penyadapan dan posisi tandan
terhadap mutu benih serta teknik konservasi kecambah terhadap pertumbuhan
bibit aren. Hasil penelitian tersebut menunjukkan benih dapat berasal dari pohon
yang tandan bunga jantannya disadap maupun tidak disadap, sedangkan bunga
betina dengan posisi tandan pertama sampai kelima bisa dijadikan sumber benih.
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
Mikoriza dalam ilmu botani merupakan suatu struktur (bentuk) sistem
perakaran yang memiliki peran sebagai manifestasi adanya simbiosis. Kondisi
yang bersamaan dan akar yang sama dapat diinfeksi oleh dua jenis endomikoriza
yang berbeda. Hubungan antara cendawan dan perakaran tumbuhan tingkat tinggi
merupakan hubungan mutualistik (saling menguntungkan).
Endomikoriza merupakan salah satu bentuk fungi yang banyak ditemukan
pada jaringan perakaran. Tipe fungi ini ditemukan pada setiap lapisan tanah yang
subur dan memiliki karakteristik khas yang merupakan sebagai tempat
penyimpanan dan transfer hara antara jamur dan tumbuhan inangnya (Bagyaraj
1991; Smith dan Read 2008).
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) memiliki struktur karakteristik khusus
yang disebut arbuskul dan vesikel. Peranan arbuskul, yaitu membantu dalam
mentransfer nutrien (terutama fosfat) dari tanah ke sistem perakaran (Rao 1994).
Mikoriza dikelompokkan menjadi dua tipe berdasarkan bentuk dan cara infeksi
funginya terhadap tumbuhan inangnya, yaitu endomikoriza dan ektomikoriza.
Berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksinya terhadap tanaman inang
dikelompokkan menjadi tiga golongan besar, yaitu ektomikoriza, endomikoriza,
dan ektendomikoriza (Imas et al. 1989; Smith dan Read 1997).
Sifat dari endomikoriza atau FMA adalah cendawan yang bersifat obligat
dan memiliki toleransi yang sangat luas di ekosistem. Beberapa tumbuhan yang
dapat bersimbiosis dengan FMA, yaitu Angiospermae, Gymnospermae,
Pteridophyta, dan Bryopita. Tanaman yang tergolong pada dicotyledonous 83%
dan monocotyledonous 79% mampu bersimbiosis dengan FMA (Sieverding 1991;
Smith dan Read 2008).
Klasifikasi terbaru dari Glomeromycota didasarkan pada konsensus daerah
mencakup gen RNA ribosom memiliki sembilan ordo, yaitu 1) Glomeraceae,
memiliki empat famili Funnelifornis, Septoglmus, Glomus, dan Rhizopagus; 2)
Archaespoceae yang memiliki satu famili Archaeospora; 3) Paraglomeraceae,
memiliki satu famili Paraglomus; 4) Diversisporaceae, dengan famili
Diversispora dan Redeckera; 5) Pacisporaceae, memiliki satu famili Pacispora;
6) Acaulosporaceae yang memiliki famili Acaulospora; 7) Gigasporaceae,
memiliki lima famili Gigaspora, Dentiscutata, Cetraspora, Racocetra, dan
Scutellospora; 8) Claoroideo-Glomeraceae, memiliki famili Claroideoglomus; 9)
Ambisporaceae, memiliki dua famili Ambispora dan Geosiphon (Redecker et al.
2013).
Bentuk spora FMA, yaitu globose, elips, sub-globose dengan atau tanpa hifa
substending. Ukuran spora bervariasi dari yang terkecil 20 sampai 50 µm hingga
terbesar 200 sampai 1 000 µm. Spora genus Glomus memiliki ukuran diameter
berkisar 10 µm dan spora genus Scutellospora memiliki ukuran lebih dari 1 000
µm. Warna spora Ordo Glomales memiliki keragaman mulai dari hyaline, hitam,
7
merah, coklat, kuning, hitam, atau warna lainnya, sampai dengan atau tanpa
orname seperti spot (Sylvia 2004). Menurut Brundrett (2004) bahwa secara
anatomi spora berbeda-beda, dalam hal jumlah dan ketebalan lapisan dinding sel
spora maupun isi sel.
Peranan Fungi Mikoriza Arbuskula bagi Tanaman
Peranan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) sampai saat ini telah banyak
diketahui secara spesifik dalam mendapatkan karbohidrat. FMA memberikan
keuntungan nitrat bagi tanaman budidaya (Bagyaraj 1991; Alexapoulus et al.
1996). Peranan FMA lainnya, yaitu membantu dalam proses pertumbuhan
diantaranya memperbaiki nutrisi tanaman dengan meningkatkan penyerapan fosfat
dan ketahanan terhadap kekeringan serta serangan patogen (Setiadi dan
Hariangbanga 2007).
Simbiosis mutualis FMA dengan tanaman terjadi pada akar yang
bersentuhan dengan propagul fungi. Hifanya menyebar di dalam tanah menyerap
air, fosfor, dan hara lainnya (Alexopoulus et al. 1996). Fosfat adalah salah satu
unsur hara essensial yang diperlukan dalam jumlah relatif banyak oleh tanaman,
tetapi ketersediaannya terbatas terutama pada tanah-tanah masam. Keberadaan
mikoriza sangat bermanfaat dalam penyerapan air dan unsur hara terutama fosfor
(Smith dan Read 1997). Struktur yang terbentuk berupa arbuskula sebagai tempat
aktivasi enzim fosfatase tertinggi (van Aerle et al. 2005) Fungsi hifa intra dan
eksternal, yaitu meningkatkan efisiensi penyerapan air dan hara serta tempat
pertukaran dengan fotosintat dari inang, dan struktur vesikula yang kaya
kandungan lemak (Nusantara 2007).
Karakter pertumbuhan tanaman yang bermikoriza pada umumnya
pertumbuhannya lebih baik dibandingkan tidak bermikoriza. Hal tersebut karena
kerja mikoriza secara efektif mampu meningkatkan penyerapan unsur hara makro
dan beberapa unsur hara mikro (Setiadi 1989). Smith dan Read (1997)
menambahkan bahwa akar yang bermikoriza ternyata lebih cepat menyerap unsur
seng dan sulfur dari dalam tanah dibandingkan tanaman yang tidak bermikoriza.
Perbedaan kecepatan dalam penyerapan merupakan bagian dari refleksi
perbedaan antara luas permukaan akar dan berat kering dari akar tanaman yang
bermikoriza dan tidak bermikoriza. Perbedaan rata-rata penyerapan disebabkan
oleh perbedaan status fosfor dari dua jenis tanaman tersebut (Abbot et al. 1984).
Selain itu, akar bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan
tidak tersedia bagi tanaman (Setiadi 1989).
Akar tanaman yang terbungkus oleh mikoriza akan menghambat infeksi
patogen dan akar terhindar dari serangan patogen. Mekanisme adaptasi lainnya,
yaitu mikoriza menggunakan semua kelebihan karbohidrat dan eksudat akar
lainnya untuk menciptakan lingkungan yang tidak cocok bagi pertumbuhan
patogen. Mikoriza mampu menghasilkan antibiotik (Abbot et al. 1984). Hal
tersebut membuktikan salah satu fungsi FMA pada tanaman, yaitu mampu
meningkatkan ketahanan terhadap serangan patogen (Setiadi dan Hariangbanga
2007).
Hifa FMA mampu menyerap air dari pori-pori tanah saat akar tanaman sulit
memanfaatkannya. Selain itu, penyebaran hifa dalam tanah sangat luas sehingga
mendukung untuk dapat mengambil air relatif lebih banyak (Setiadi 1988).
8
Kemampuan FMA dalam meningkatkan ketahanan inang terhadap kekeringan
telah dibuktikan oleh beberapa peneliti.
Penelitian Muok dan Ishii (2006), Querejeta et al.(2006) dan Subramanian
et al. (2006) melaporkan bahwa inokulasi Glomus sp. mampu meningkatkan
ketahanan tanaman terhadap lingkungan semi arid. Hal tersebut dibuktikan
dengan adanya kolonisasi FMA yang mampu mempengaruhi status hara inang,
status air pada pertumbuhan kondisi lapangan dan mampu mengubah pola
aktivitas fisiologi tanaman pada saat cukup air dan pada saat terkena cekaman
kekeringan.
Kondisi akar dan hifa yang bersimbiosis dengan FMA memiliki kemampuan
dalam mengikat partikel-partikel menjadi satu kesatuan sejalan dengan pelepasan
senyawa-senyawa organik yang merekatkan. Hal ini memberikan dampak positif
dalam penangkapan karbon oleh tanah (Bronick dan Lal 2005). Hasil penelitian
Driver et al. (2005) menunjukkan bahwa FMA mampu memproduksi glomalin
(protein tanah) dan hifa FMA merupakan media utama dalam pelepasan protein ke
tanah.
Pemanfaatan FMA sebagai pupuk hayati merupakan langkah yang tepat
sebagai alternatif teknologi masa depan. Manfaat yang dihasilkan tidak terbatas
pada dua simbion saja, akan tetapi mampu memberikan manfaat terhadap
ekosistem dan lingkungan. Manfaat fungi mikoriza arbuskula bagi ekosistem dan
lingkungan tidak memiliki pengaruh yang negatif bahkan tidak menyebabkan
polusi tanah. FMA memiliki peranan yang sangat penting dalam memperbaiki
struktur tanah, siklus hara dan membebaskan karbohidrat dari akar terhadap
organisme tanah lain. Hifa mikoriza mampu mengkonversi hara agar tidak hilang
dari ekosistem (Mansur 2007).
Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula bagi Pertumbuhan Bibit Tanaman
Sampai saat ini informasi mengenai penelitian tentang Fungi Mikoriza
Arbuskula (FMA) pada tanaman aren belum ditemukan. Penelitian mengenai
pengaruh inokulasi FMA terhadap pertumbuhan tanaman telah dilakukan pada
beberapa tanaman kehutanan. Hasil penelitian pada beberapa tanaman
kehuntanan, yaitu hasil penelitian Budiyanto (2003) menunjukkan bahwa
inokulasi FMA pada bibit jati yang tidak dipangkas akarnya cenderung mampu
meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter masing-masing sebesar 34% dan
22%.
Hasil penelitian Susanti (2004) menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan
yang diinokulasi FMA tegakan jati Cepu dan FMA Mycofer bila dibandingkan
dengan kontrol nilainya secara berurutan lebih besar 31% dan 11%, rata-rata
pertambahan diameter FMA Mycofer Bogor 28.1% dan FMA tegakan jati Cepu
sebesar 23.1% dibanding kontrol sedangkan berat kering total tanaman jati yang
diinokulasi dengan FMA tegakan jati cepu 45.04% dan FMA Mycofer Bogor
sebesar 21.5% dibanding dengan kontrol.
Hasil penelitian Umam (2004) menunjukkan bahwa inokulasi FMA dan
penambahan tepung tulang pada semai jati dapat meningkatkan pertambahan
tinggi semai 36%, diameter semai 57%, berat kering pucuk 110%, berat kering
akar 108% dan berat kering total 118% dibanding dengan kontrol.
9
Penelitian inokulasi FMA pada tanaman pangan telah dilakukan khususnya
tanaman kedelai. Hasil penelitan Bertham (2006) melaporkan bahwa kombinasi
FMA dan Bradyrhizobium mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil kedelai
melampaui yang dihasilkan oleh pupuk buatan, baik di lahan monokultur maupun
agroforestri Kayu Bawang (Scorodacarpus borneensis). Selain itu, penelitian
tentang inokulasi FMA telah dibuktikan pada beberapa penelitian tanaman
perkebunan. Hasil penelitian Widiastuti et al. (2002) menunjukkan bahwa lebih
baiknya pertumbuhan bibit kelapa sawit yang diinokulasi Acaulospora
tubercalata dibandingkan Gigaspora margarita.
Inokulum Tanah
Inokulum tanah adalah bagian tanah yang berasal dari bawah tegakan pohon
bermikoriza. Teknik inokulasi cukup sederhana, yaitu dengan mencampur
inokulum tanah dengan media tumbuh (5 sampai 10% volume media), diberikan
dengan cara membenamkan pada sekeliling akar dengan kedalaman 0.5 sampai 1
cm (Marx dan Kenny 1982). Turjaman et al. (2006) menambahkan bahwa pada
umumnya untuk inokulasi diperlukan 30 sampai 50 spora per tanaman, apabila
jumlah spora kurang dari kisaran tersebut kemungkinan tingkat kolonisasinya
rendah.
Jenis tanaman yang digunakan sebagai inang dalam perbanyakan inokulum
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) perlu diperhatikan. Tanaman inang yang
digunakan harus mampu beradaptasi pada tempat produksi inokulum yang
dikerjakan, bersimbiosis dengan fungi yang diproduksi, dan tidak rentan terhadap
patogen yang dapat mengganggu produk inokulum serta harus cepat tumbuh dan
menghasilkan akar yang banyak. Ciri dan keberlimpahan propagul mikoriza
dalam tanah akan berbeda-beda bergantung kepada kemampuannya dalam
merespon perubahan yang terjadi di dalam tanah (Setiadi 1992). Bever (2002)
menyatakan adanya perbedaan dari jenis tanaman inang yang digunakan, mampu
mempengaruhi produksi spora FMA.
Inokulum FMA terbagi ke dalam empat bentuk, yaitu tanah terinfeksi, akar
tanaman terinfeksi, kultur murni fungi, dan spora. Inokulum tanah yang berisi
spora, akar, dan hifa yang semuanya dapat menginokulasi bibit tanaman
(Brundrett et al. 1999). Widiastuti et al. (2002) melaporkan adanya koloniasi
FMA pada tanaman yang tidak diinokulasi menujukkan eksistensinya FMA di
dalam tanah. Menurut Bertham (2006) ketergantungan mikoriza sangat identik
dengan kenaikan bobot kering tanaman yang diinokulasi mikoriza dibandingkan
dengan yang tidak diinokulasi. Setiadi dan Hariangbanga (2007) menambahkan
bahwa ternyata tidak semua jenis tanaman memberikan respon terhadap kolonisasi
FMA.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Mikoriza
Kolonisasi mikoriza ditentukan oleh keefektifan isolat, status hara media,
dan tingkat ketergantungan tanaman terhadap mikoriza. Respon tanaman terhadap
simbiosis Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) bergantung pada interaksi tiga faktor,
antara tanah, fungi, tanaman inang (Setiadi 1992; Brundrett 2004), populasi hifa
eksternal, kepekaan inang, dan daya hidup fungi. Walaupun FMA mempunyai
10
spesifitas yang lebih rendah dibandingkan dengan mikroba simbiosis lainnya
seperti rhizobia, akan tetapi setiap spesies FMA memiliki respon yang berbeda
terhadap lingkungannya. Interaksi spesies FMA dengan lingkungannya mampu
menghasilkan respon yang spesifik dari masing-masing spesies. Sebagian besar
FMA mampu beradaptasi pada kondisi tanah habitatnya (Widiastuti 2004; Hasbi
2005).
Kolonisasi akar dan produksi spora dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu jenis
dan lingkungan. Faktor jenis fungi dibedakan menjadi faktor kerapatan inokulum
dan persaingan antara jenis fungi (Hetrick 1984). Faktor-faktor yang merangsang
atau menghambat proses kolonisasi akar juga memberikan dampak penghambatan
pembentukan spora FMA (Brundett et al. 1999). Walaupun kolonisasi mempunyai
hubungan yang erat, menurut Raguphaty dan Mahadevan (1991) bahwa tidak ada
korelasi yang tetap antara kepadatan spora FMA dan presentase kolonisasi FMA.
Kolonisasi FMA secara umum sangat dipengaruhi oleh kepekaan inang terhadap
kolonisasi, faktor iklim, dan tanah (Tuheteru 2003). Faktor lingkungan yang
mempengaruhi kolonisasi akar dan produksi spora, yaitu: suhu, cahaya matahari,
derajat kemasaman (pH) tanah, Oksigen, dan air.
Suhu
Suhu terbaik untuk perkembangan FMA adalah pada suhu 30 0C, tetapi
untuk kolonisasi miselia yang terbaik adalah pada suhu antara 28 sampai 34 0C
(Hetrick 1984). Suhu rendah sangat dibutuhkan dalam fase awal kehidupannya.
Suhu tanah yang lebih dari 17 0C mengakibatkan penurunan keefektifan
perkembangan FMA dan suhu tinggi mempengaruhi penurunan viabilitas spora
dan bahkan kematian spora (Sieverding 1991; Suhardi 1997). Bowen (2000)
menyatakan bahwa respon tanaman yang bermikoriza terhadap suhu akan
berbeda-beda menurut spesies fungi yang mengoloninya.
Cahaya Matahari
Intensitas cahaya mampu mempengaruhi FMA terutama berhubungan
dengan suplai fotosintat yang dibutuhkan oleh fungi. Tumbuhan dengan laju
fotosintesis yang tinggi sangat membantu dalam memperbaiki suplai fotosintat
bagi FMA, akibat meningkatnya karbohidrat di dalam akar (Sieverding 1991).
Derajat Kemasaman (pH) Tanah
Pembentukan FMA setiap jenis mempunyai kisaran pH optimum yang
berbeda-beda serta untuk kondisi lingkungannya pun berbeda pula, ada yang
memiliki kisarannya luas dan sempit. Nilai pH optimum untuk proses
perkecambahan spora tidak bergantung pada spesies dari FMA, tetapi juga
kandungan nutrient yang tersedia di dalam tanah. Nilai pH secara langsung
mempengaruhi aktivitas enzim yang berperan dalam proses perkecambahan spora
(Hetrick 1984). Jenis spora yang memiliki kisaran pH yang cukup luas untuk
perkembangannya berkisar 3.8 sampai 8.0, yaitu Acaulospora scrobiculata, A.
morrawi, A. spinosa, Glomus agregatum, G. versiforme, dan Scuttelospora
pellucida (Sieverding 1991). Kondisi kemasaman tanah sangat mempengaruhi
11
kolonisasi dan perkembangan FMA dalam hal proses infeksi pertumbuhan hifa,
secara umum FMA berkembang dengan baik pada pH 5 sampai 8 (Bowen 2000).
Aerasi dan Air
Tanah yang tergenang air menghambat perkembangan baik tanaman
maupun mikoriza karena kekurangan oksigen. Sieverding (1991) melaporkan
bahwa kadar air 40 sampai 80% dari kapasitas cekapan maksimum merupakan
kondisi optimum untuk perkembangan dan keefektifan kerja FMA. Produksi FMA
akan semakin baik jika tanaman dilakukan penyiraman setiap hari (Nova 2005).
12
ISOLASI DAN KARAKTERISASI
SPORA FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA
PADA RHIZOSFER AREN (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)
Isolation and Characterization
of The Types of Arbuscular Mychorrizal Fungi
on The Rhyzosphere of Sugar Palms (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)
Abstrak
Setiap rhizosfer pada tanaman dalam suatu ekosistem memiliki berbagai
jenis mikroorganisme termasuk FMA. Masing-masing ekosistem mengandung
tipe FMA yang beragam dan untuk mengetahui tipe FMA, perlu dilakukan isolasi
dan karakterisasi spora FMA. Penelitian ini bertujuan mengisolasi dan
mengkarakterisasi tipe spora FMA dari bawah tegakan aren pada lokasi yang
berbeda. Percobaan menggunakan metode deskriptif dengan mengamati kerapatan
jenis spora, dan karekterisasi tipe spora FMA. Contoh tanah diambil dari rhizosfer
tegakan aren di tiga lokasi kabupaten. Kerapatan tipe spora dianalisis per 50 g
contoh tanah sebanyak lima ulangan pada setiap lokasi. Karakterisasi tipe spora
FMA menggunakan metode tuang dan saring serta metode sentrifugasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat empat genus FMA dari bawah tegakan
aren, yaitu: Glomus sp. (7 tipe spora), Acaulospora sp. (5 tipe spora), dan
Scutellospora sp. (1 tipe spora) yang ditemukan di Cianjur, Sukabumi dan Lebak,
sedangkan Gigaspora sp. (1 tipe spora) hanya ditemukan di Sukabumi.
Kata kunci: contoh tanah, keanekaragaman FMA, mikoriza indigenous
Abstract
Every rhizosphere of a plant within any ecosystem has various kinds of
microoganism, including AMF. Each ecosystem also has different species and
strains of AMF, and in order to identify for further use, the isolation and
characterization steps of AMF spore are required. The study was conducted on
isolating and characterizing the types spore of Mycorrizal Arbuscular Fungi
(AMF) under sugar palm stands in different locations. Descriptive research by
observing and characterizing the types of AMF spores. The soil samples were
sampled from the rhyzospher part of sugar palm stands in three different districts.
The density of spores was analyzed per 50g of soil samples with five repetitions
for each location. “tuang dan saring” as well as sentrifugation method were used
to characterized the types of AMF spores. Results shows that there are four
genera of AMF under sugar palm stands, i.e.: Glomus sp. (7 species),
Acaulospora sp. (5 species), and Scutellospora sp. (1 species) were found in
Cianjur, Sukabumi, and Lebak, whereas Gigaspora sp. (1 species) only found in
Sukabumi.
Keyword: indigenous mychorrizal, soil sample, AMF diversity
13
Pendahuluan
Studi keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) di hutan alam
daerah pegunungan di Pulau Jawa terutama di Jawa Barat, telah dilaporkan oleh
beberapa peneliti, diantaranya: Delvian (2003) mengeksplorasi keanekaragaman
FMA dari lahan pantai kawasan hutan lindung Leuweung Sancang Garut,
Puspitasari et al. (2010) melaporkan penelitian keanekaragaman FMA dari hutan
pantai Ujung Genteng, dan Kramadibrata (2012) mengeskplorasi keanekaragaman
FMA dari Taman Nasional Ujung Kulon.
Keberadaan FMA di rhizosfer tumbuhan di alam memiliki peranan penting
karena sifatnya yang bersimbiosis secara mutualistik dengan hampir sekitar 90%
jenis tumbuhan terestrial. FMA merupakan komponen mikroorganisme yang
berperan aktif membantu tanaman untuk menyerap hara dan air dari lokasi yang
tidak terjangkau oleh rambut akar (Smith dan Read 1997).
Keanekaragaman FMA di dunia tercatat sekitar 250 jenis yang bersimbiosis
dengan tumbuhan yang tersebar dari daerah tropik sampai temperata bahkan kutub
utara (Schussler dan Walker 2010; INVAM 2014). Secara umum di daerah tropik
FMA bersimbiosis dengan hampir semua tumbuhan, kecuali Dipterocarpaceae,
karena kelompok tumbuhan ini bersimbiosis dengan FMA ektomikoriza (Bearley
2012).
Lokasi penelitian (Cianjur, Sukabumi dan Lebak) memiliki keadaan
lingkungan yang berbeda sehingga kemungkinan akan memiliki keanekaragaman
tipe FMA yang berbeda. Sejauh ini penelitian mengenai isolasi dan karakterisasi
tipe FMA pada rhizosfer aren belum pernah dilaporkan. Penelitian ini bertujuan
mengisolasi dan mengkarakterisasi tipe spora FMA dari bawah tegakan aren yang
tumbuh di lokasi yang berbeda.
Metode Penelitian
Tempat dan Waktu
Pengambilan contoh tanah dilakukan pada tanah dari bawah tegakan aren di
tiga lokasi, yaitu Desa Selagedang Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur, Desa
Batununggal Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi (Provinsi Jawa Barat) dan
Desa Ciminyak Kecamatan Muncang Kabupaten Lebak (Provinsi Banten) pada
bulan Mei 2014 sampai Juli 2014. Analisis tipe spora FMA dilaksanakan di
Laboratorium Silvikultur SEAMEO BIOTROP. Analisis contoh tanah dari
rhisozfer aren pada tiga lokasi kabupaten dilaksanakan di Laboratorium Tanah
dan Tanaman SEAMEO BIOTROP.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah yang
diambil dari bawah tegakan aren, aquades, larutan glukosa 60%, dan polyvynil
alkohol lactogliserol (PVLG). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
saringan spora (saringan betingkat tiga 500 µm, 125 µm, dan 45 µm) mikroskop
binokuler Olympus CX-21, tabung sentrifuse, sentrifuse, pinset spora, kaca
preparat, kaca penutup, pipet tetes, cawan petri, dan timbangan analitik.
14
Pengambilan Contoh Tanah
Contoh tanah diambil dari bawah tegakan aren sebanyak 500 g pada setiap
lokasi kabupaten. Pengambilan contoh tanah setiap pohon dilakukan pada jarak 30
sampai 150 cm dari pangkal batang dengan empat titik sesuai arah mata angin
pada zona rhizosfer dengan kedalaman 10 sampai 20 cm. Dari Cianjur diambil
lima sampel tanah, Sukabumi (lima sampel tanah), dan Lebak (lima sampel tanah).
Contoh tanah dilakukan analisis kimia untuk mengetahui beberapa sifat kimia
contoh tanah, diantaranya kandungan N-total, P-tersedia, KTK, pH, dan C organik.
Isolasi dan Karakterisasi Tipe Spora FMA
Ekstraksi FMA dilakukan untuk memisahkan spora dari contoh tanah
sehingga dapat dilakukan karakterisasi FMA guna mengetahui genus spora FMA.
Isolasi spora dari contoh tanah dilakukan dengan dengan mengacu metode tuang
dan saring basah (Gerderman dan Nicolson 1963) dengan modifikasi sentrifugasi
(Brundrett et al. 1999).
Prosedur teknik tuang dan saring ini, pertama adalah mencampurkan contoh
tanah sebanyak 50 g dengan 200-300 ml air, kemudian diaduk sampai butiranbutiran tanah hancur. Selanjutnya disaring dalam satu set saringan dengan ukuran
500 µm, 125 µm, dan 45 µm secara berurutan dari atas ke bawah. Dari saringan
atas disemprot dengan air untuk memudahkan spora lolos. Kemudian saringan
teratas dilepas dan sejumlah tanah sisa yang tertinggal pada saringan 125 µm dan
45 µm dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse.
Isolasi spora teknik tuang dan saring kemudian diikuti dengan teknik
sentrifugasi. Hasil saringan dalam tabung sentrifuse ditambah gukosa 60% dengan
menggunakan pipet. Tabung sentrifuse ditutup dan disentrifuse dengan kecepatan
3 000 rpm selama 5 menit. Selanjutnya larutan supernatan tersebut dituang ke
dalam kertas saring berukuran 45 µm. Endapan hasil saringan diletakkan ke
dalam cawan petri dan diamati di bawah mikroskop binokuler untuk penghitungan
kerapatan spora dan pembuatan preparat guna karakterisasi spora FMA yang ada.
Pembuatan preparat spora menggunakan bahan pengawet PVLG yang
diletakkan pada kaca preparat. Kerapatan tipe spora dianalisis per 50 g contoh
tanah sebanyak lima ulangan pada setiap lokasi, kemudian tipe spora dihitung
jumlahnya dan ditentukan kerapatannya. Hasil penghitungan spora diletakkan
dalam larutan PVLG. Selanjutnya dilakukan karakterisasi tipe FMA. Pengamatan
karakterisasi tipe FMA dilakukan berdasarkan ciri morfologi spora. FMA
diidentifikasi sampai tingkat genus dengan mengacu deskripsi morfologis genus
FMA, yaitu berdasarkan bentuk, warna, dan ukuran spora (Brundrett et al 1996).
Analisis data dilakukan secara deskriptif pada analisis kerapatan spora untuk
karekterisasi jenis spora dari FMA.
Hasil dan Pembahasan
Kondisi Umum Percobaan
Contoh tanah dan akar diambil dari bawah tegakan aren pada tiga lokasi
kabupaten. Pengambilan contoh tanah dan akar di bawah tegakan aren yang telah
berumur lebih dari 15 tahun pada setiap lokasi. Kondisi lingkungan dari ketiga
lokasi memiliki karakteristik yang berbeda, seperti pH tanah, level P, vegetasi
maupun tipe penggunaan lahan.
15
Masyarakat Cianjur dan Lebak memanfaatkan aren untuk membuat gula
merah dan minuman tradisional (lahang). Selain itu masyarakat memanfaatkan
lahan dengan sistem tumpang sari dan agroforestry (sengon dengan aren),
sedangkan di Sukabumi pengolahan lahan tidak intensif, bahkan tanaman aren
tumbuh secara liar. Kondisi lahan pengambilan contoh tanah dan akar di tiga
lokasi ditampilkan pada Gambar 1.
A
B
C
Gambar 1. Kondisi lahan pengambilan contoh tanah dan akar di tiga lokasi
kabupaten: A = Cianjur; B = Sukabumi; C = Lebak.
Vegetasi yang umum dijumpai pada ketiga lokasi, yaitu paku-pakuan
(Pteridophyta), Mikania sp, Axonopus, Musaceae, Eupatorium odoratum,
Cratoxylon sp, dan Colona scabra. Analisis tanah juga dilakukan pada ketiga
lokasi pengambilan contoh tanah. Hasil analisis kimia tanah dari rhizosfer aren
pada tiga lokasi kabupaten disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisis kimia tanah dari rhizosfer aren pada tiga lokasi kabupaten
Sifat kimia tanah
pH H2O
C-organik (%)
N-total (%)
P-tersedia (ppm)
KTK (me/100 g)
Keterangan :
Cianjur
4.5 (M)
3.82 (T)
0.40 (S)
11.1 (R)
40.27 (ST)
Lokasi
Sukabumi
5.0 (M)
1.56 (R)
0.18 (R)
17.9 (S)
24.30 (S)
Lebak
5.2 (M)
1.92 (R)
0.25 (S)
3.4 (SR)
16.14 (R)
Hasil analisis contoh tanah dari tiga lokasi kabupaten di Laboratorium Analisis Tanah dan
Tanaman SEAMEO BIOTROP 2014; Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah,
Hardjowigeno 2010: (M) = Masam, (SR) = Sangat Rendah, (R) = Rendah, (S) = Sedang,
(T) = Tinggi, (ST) = Sangat Tinggi; Kriteria penilaian sifat kimia tanah disajikan pada
Lampiran 1.
16
Isolasi dan Karakterisasi Tipe Spora FMA
Berdasarkan hasil isolasi spora FMA dari contoh tanah ditemukan empat
genus spora FMA, yaitu Glomus sp., Acaulospora sp., Scutellospora sp., dan
Gigaspora sp. Genus Glomus sp. terdiri atas 7 tipe diikuti oleh Acaulospora sp. (5
tipe), sedangkan Scutellospora sp. dan Gigaspora sp. masing-masing hanya
ditemukan satu tipe spora. Tabel 2 menunjukkan kerapatan spora yang ditemukan.
Tabel 2. Kerapatan spora FMA pada contoh tanah dari bawah tegakan aren di tiga
lokasi kabupaten
Tipe spora FMA
Kerapatan spora
Sukabumi
Cianjur
Lebak
----------------------(spora per 50 g tanah)----------------------Glomus sp.1
107
56
80
Glomus sp.2
64
25
42
Glomus sp.3
15
4
5
Glomus sp.4
18
9
22
Glomus sp.5
38
14
3
Glomus sp.6
32
9
10
Glomus sp.7
20
6
6
Acaulospora sp.1
43
95
11
Acaulospora sp.2
20
83
7
Acaulospora sp.3
23
34
18
Acaulospora sp.4
8
15
12
Acaulospora sp.5
19
29
5
Scutellospora sp.1
4
8
2
Gigaspora sp.1
6
0
0
Total
417
387
223
Genus Glomus sp., Acaulospora sp., dan Scutellospora sp. merupakan spora
yang umum dijumpai di tiga lokasi kabupaten, sementara genus Gigaspora sp.
hanya ditemukan di lokasi Sukabumi. Genus Gigaspora sp. diduga bersimbiosis
dengan vegetasi lain, yaitu Setaria laxa yang berada disekitar tanaman aren di
Sukabumi. Setaria laxa merupakan salah satu vegetasi yang hanya dijumpai di
Sukabumi. Hasil penelitian Tuheteru (2007) menunjukkan bahwa jenis tanaman
Setaria laxa bersimbiosis dengan semua jenis spora.
Lokasi Sukabumi dan Lebak dengan pH 5.0 dan 5.2 genus Glomus sp.
banyak ditemukan pada setiap tegakan aren. Berbeda dengan lokasi Cianjur
dengan pH 4.5 genus Acaulospora sp. lebih banyak ditemukan. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Tuheteru (2003) bahwa beberapa FMA dapat berkembang baik
dengan pH optimum berkisar antara 5-7 untuk Glomus sp.; 4-6 untuk Gigaspora
sp. dan 4-5 untuk Acaulospora sp.
Contoh tanah dari Sukabumi memiliki kerapatan dan distribusi tipe spora
tertinggi dibandingkan Cianjur dan Lebak. Tipe penggunaan lahan yang tidak
intensif diduga menghasilkan kerapatan spora dan distribusi jenis spora yang lebih
tinggi dibandingkan tipe penggunaan lahan yang intensif. Pengolahan lahan
intensif menyebabkan terjadinya degradasi lahan (kerusakan tanah dan kekahatan
bahan organik). Degradasi lahan berdampak pada pemadatan tanah yang akan
mempengaruhi perkembangan hifa di dalam tanah sehingga menyebabkan
17
produksi spora menurun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rini (2011) yang
menunjukkan bahwa rotasi tanaman beserta pengolahan lahan yang intensif (lebih
dari dua kali dalam setahun) menurunkan populasi dan keanekaragaman spesies
FMA. Hasil penelitian tersebut sama dengan hasil penelitian Oehl et al. (2003)
yang menunujukkan bahwa jumlah spora dan keanekaragaman spesies FMA
tertinggi ditemukan pada lahan yang ditumbuhi rumput diikuti dengan lahan yang
memperoleh input rendah-sedang, dan terendah pada lahan yang ditanami jagung
terus menerus secara intensif.
Karakterisasi Tipe Spora FMA
Karakter morfologi yang digunakan untuk mengidentifikasi 14 tipe spora
adalah bentuk, warna, dan ukuran spora. Karakterisasi tiap tipe spora FMA
tercantum pada Tabel 3.
Tabel 3. Karakterisasi tipe spora FMA yang berasal dari bawah tegakan aren di
tiga lokasi kabupaten
Tipe spora FMA
Glomus sp.1
Bentuk
Bulat
Ciri-ciri spora
Warna
Kuning
Ukuran (µm)
59-60 x 60-62
Bulat
Kuning kecoklatan
65-99 x 67-101
Bulat panjang
Kuning kecoklatan
47-49 x 57-60
Bulat panjang
Hialin
85-110 x 97-129
50 µm
Glomus sp.2
50 µm
Glomus sp.3
50 µm
Glomus sp.4
50 µm
18
Tabel 3. (Lanjutan)
Tipe spora FMA
Glomus sp.5
Bentuk
Bulat panjang
Ciri-ciri spora
Warna
Kuning kecoklatan
Ukuran (µm)
85-122 x 99-127
Bulat
Kuning kecoklatan
87-110 x 89-111
Bulat
Coklat
85-110 x 88-116
Bulat
Kuning kecoklatan
73-103 x 73-103
Bulat
Hialin
90-211 x 90-211
Bulat
Hialin
98-246 x 98-246
50 µm
Glomus sp.6
50 µm
Glomus sp.7
50 µm
Acaulospora sp.1
50 µm
Acaulospora sp.2
50 µm
Acaulospora sp.3
50 µm
19
Tabel 3. (Lanjutan)
Tipe spora FMA
Acaulospora sp.4
Bentuk
Bulat
Ciri-ciri spora
Warna
Hialin
Ukuran (µm)
95-104 x 95-104
Bulat
Kuning kecoklatan
86-120 x 86-120
Bulat
Kuning kecoklatan
185-293 x 195-317
Bulat
Kuning
320-344 x 343-367
50 µm
Acaulospora sp.5
50 µm
Scutellospora sp.1
50 µm
Gigaspora sp.1
50 µm
Glomus sp. adalah genus mikoriza dari famili Glomeraceae. Glomus sp.
adalah genus yang memiliki keberagaman jenis tertinggi dari yang lain. Beberapa
ciri khas dari genus ini yaitu spora terbentuk secara tunggal ataupun berpasangan
dua pada terminal hifa nongametangium yang tidak berdiferensiasi dalam
sporocarp. Pada saat dewasa spora dipisahkan dari hifa pelekat oleh sebuah sekat.
Spora berbentuk globose, sub-globose, ovoid, ataupun obovoid dengan dinding
spora terdiri atas lebih dari satu lapis, berwarna hyaline sampai kuning, merah
kecoklatan, coklat, dan hitam, berukuran antara 20-400 μm (Morton dan Benny
1990; INVAM 2014).
Acaulospora sp. adalah genus mikoriza yang termasuk dalam famili
Acaulosporaceae. Genus ini memiliki beberapa ciri khas antara lain yaitu
memiliki 2-3 dinding spora, spora terbentuk di sisi samping leher sporiferous
saccule, berbentuk globose hingga elips, berwarna hyaline, kuning, ataupun merah
kekuningan, berukuran antara 100-400 μm (Morton dan Benny 1990; INVAM
2014).
Scutellospora sp. adalah genus mikoriza yang termasuk dalam famili
Gigasporaceae. Genus ini memiliki beberapa ciri khas antara lain yaitu spora
dengan atau tanpa hiasan, spora terdiri atas dinding bilayer spora dan bagian
dinding dua bilayer yang fleksibel, struktur spora yang terbentuk biasanya
globose atau sub-globose tetapi lebih sering berbentuk ovoid, obovoid, pyriformis,
20
atau irregular. Proses terbentuknya spora pada Scutellospora sp. sama dengan
pembentukan spora pada genus Gigaspora sp. Pembeda genus Gigaspora sp.
dengan Scutellospora sp. adalah pada Scutellospora sp. terdapat germination
shield, dan pada saat berkecambah hifa akan keluar dari germanation shield
tersebut (Walker dan Sanders 1986; INVAM 2014).
Gigaspora sp. adalah genus mikoriza yang termasuk dalam famili
Gigasporaceae. Genus ini memiliki ciri khas, antara lain yaitu spora dihasilkan
secara tunggal di dalam tanah, tidak memiliki lapisan dinding spora dalam,
terdapat bulbous suspensor, berbentuk globose atau sub-globose, berwarna krem
hingga kuning, berukuran 125-600 μm (Bentivenga dan Morton 1995; INVAM
2014).
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Terdapat empat genus FMA dari bawah tegakan aren, yaitu: Glomus sp. (7
tipe spora), Acaulospora sp. (5 tipe spora), dan Scutellospora sp. (1 tipe spora)
yang ditemukan di Cianjur, Sukabumi, dan Lebak, sedangkan Gigaspora sp. (1
tipe spora) hanya ditemukan di Sukabumi.
Saran
Karakterisasi FMA sampai tingkat spesies pada tanaman aren sangat penting.
Informasi lengkap karakterisasi spora FMA sampai tingkat spesies akan
memberikan informasi deskripsi yang berguna dalam identifikasi keanekaragaman
FMA yang bersimbiosis dengan tanaman aren.
21
POTENSI DAN STATUS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA
PADA RHIZOSFER TANAMAN AREN
(Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)
The Potential and Status of Arbuscular Mycorrhizal Fungi in The Rhyzosphere of
Sugar Palm (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)
Abstrak
Setiap jenis Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) memiliki keefektifan dan
potensi yang berbeda pada tanaman aren. Demikian juga antara tipe FMA pada
masing-masing ekosistem tanaman aren dapat bersifat sinergis atau antagonis
dalam mempengaruhi pertumbuhan tanaman aren. Tujuan penelitan ini adalah
mengetahui keberadaan FMA yang efektif dan berpotensi dari bawah tegakan aren.
Contoh tanah dan akar diambil dari rhizosfer tegakan aren di tiga lokasi kabupaten.
Kolonisasi akar menggunakan metode pewarnaan akar. Penangkaran
menggunakan kultur pot terbuka dengan menggunakan media zeolit dan sorghum
sebagai tanaman inang. Jumlah propagul infektif dihitung dengan metode Most
Probable Number. Hasil penelitian menunjukkan bahwa presentase kolonisasi
akar pada rhizosfer aren dari tiga kabupaten berkisar antara 16-42%, dengan
kolonisasi tertinggi di daerah Lebak. Contoh tanah dari lokasi Sukabumi memiliki
kepadatan spora dan propagul infektif lebih tinggi dibandingkan contoh tanah dari
Cianjur dan Lebak.
Kata kunci: kolonisasi akar, propagul infektif, spora FMA
Abstract
Each kind of AMF possesses different level of effectiveness and potential of
sugar palm. Also, various kind of AMF on each ecosystem of sugar palm could act
synergistically and antagonistically to each other in influencing the growth of
sugar palm. The objective of this study to find out the existence of efective and
potential AMF under sugar palm stands. Soil and root samples were sampled
from the rhyzosphere of sugar palm stands in three different districts. Root
coloring was used to cholonized the roots. Opened pot culture with zeolit as
medium and shorgum as host plant was used for trapping. The number of infective
propagules were calculated by the Most Probable Number method. Results shows
that the percentage of root cholonization on the rhyzosphere of sugar palm from
three district in range of 16-42%, the highest cholonization was from Lebak. Soil
samples from Sukabumi has a higher density both for spores and infective
propagules than soil samples from Cianjur and Lebak.
Keyword: AMF spores, infective propagules, root cholonization
22
Pendahuluan
Fungi Mikoriza Arbuskula bersimbiosis dengan lebih dari 90% spesies
tanaman (Smith dan Read 1997). FMA memiliki peran penting dalam ekosisitem
alami maupun ekosistem yang dikelola, sebab FMA memberikan keuntungan bagi
tanaman dalam hal penyediaan hara, antagonisme bagi organisme parasit akar,
sinergisme dengan mikroba tanah. Selain itu FMA terlibat dalam siklus hara,
perbaikan struktur tanah, alat transpor karbon dari akar tanaman bagi organisme
tanah lainnya. Simbiosis antara FMA dan tanaman inangnya merupakan
mekanisme yang sangat penting dalam rangka untuk mengatasi keadaan
lingkungan yang kurang menguntungkan.
FMA mempunyai selang ekologis yang luas dan dapat dijumpai dalam
ekosistem dari daerah tropik sampai sub tropik bahkan kutub utara (Schussler dan
Walker 2010; INVAM 2010). Status FMA pada tanaman aren belum ada yang
melaporkan.
Diharapkan penelitian mengenai status keberadaan FMA pada tanaman aren
dapat memberikan informasi ilmiah mengenai keefektifan dan potensi FMA dari
bawaah tegakan aren untuk menunjang pertumbuhan tanaman aren. Penelitian ini
bertujuan mengetahui keberadaan FMA yang efektif dan berpotensi dari bawah
tegakan aren.
Metode Penelitian
Tempat dan Waktu
Pengambilan contoh tanah dan akar dilakukan bersamaan dengan percobaan
I pada bulan Mei 2014 sampai Agustus 2014. Analisis kolonisasi akar, kepadatan
spora hasil penangkaran, dan penghitungan propagul infektif dilaksanakan di
Laboratorium Silvikultur SEAMEO BIOTROP.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah dan akar
yang diambil dari bawah tegakan aren, benih Sorghum vulgare, zeolit, hyponex
merah (25-5-25), larutan KOH 2.5%, HCl 2%, glyserin, asam laktat, fuchsin acid,
aquades dan polyvynil alkohol lactogliserol (PVLG). Alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah saringan spora (saringan betingkat tiga 500 µm, 125 µm, dan
45 µm) mikroskop binokuler Olympus CX-21, tabung sentrifuse, sentrifuse, pinset
spora, kaca preparat, kaca penutup, pipet tetes, cawan petri, dan timbangan
analitik.
Pengambilan Contoh Tanah dan Akar
Contoh tanah dan akar yang diambil dari bawah tegakan aren sebanyak 500
g pada setiap lokasi kabupaten. Pengambilan contoh tanah setiap pohon dilakukan
pada jarak 30 sampai 150 cm dari pangkal batang dengan empat titik sesuai arah
mata angin pada zona rhizosfer dengan kedalaman 10 sampai 20 cm. Dari Cianjur
diambil lima sampel tanah dan akar, Sukabumi (lima sampel tanah dan akar), dan
Lebak (lima sampel tanah dan akar). Contoh akar diambil sebanyak 3 bagian,
yaitu bagian samping kiri, tengah, dan samping kanan pada akar serabut dari
23
masing-masing pohon di setiap lokasi kabupaten, kemudian dimasukkan ke dalam
plastik zip lock dan diberi label sesuai dengan lokasi pengambilan.
Kolonisasi Akar
Tujuan utama pewarnaan akar adalah untuk menetapkan apakah akar
tanaman dikolonisasi FMA atau tidak dan untuk menentukan derajat
perkembangan mikoriza dalam sistem perakaran tanaman (Nusantara et al. 2012).
Pewarnaan akar mengacu pada metode Phillips dan Hayman (1970) dimodifikasi
Laboratorium Bioteknologi Hutan Institut Pertanian Bogor. Tahap pewarnaan,
pertama adalah akar dicuci dengan air sampai bersih. Selanjutnya akar direndam
dalam KOH 10% sampai berwarna putih atau kuning bening, setelah itu akar
dibilas dengan air bersih agar KOH-nya hilang. Akar yang sudah dibilas
selanjutnya direndam dalam HCl 2%, kemudian dibilas dan direndam dengan
larutan staining fuchsin acid sampai akar berwarna merah.
Hasil pewarnaan akar selanjutnya diamati dengan memotong akar yang
telah diwarnai sepanjang 1 cm, kemudian akar ditata sejajar pada kaca preparat
dan ditutup dengan kaca penutup, jumlah akar tiap kaca preparat sebanyak 10
potong. Kolonisasi dapat dilihat melalui adanya vesikula, arbuskula, hifa maupun
spora yang mengkolonisasi akar. Perhitungan kolonisasi akar menggunakan
rumus Giovannetti dan Mosse (1980) sebagai berikut:
∑
Kolonisasi FMA (%) ∑
Penangkaran (Trapping) Spora FMA
Trapping atau penangkaran spora dilakukan untuk mengembangbiakkan
spora dari contoh tanah yang telah diambil, sehingga dapat diketahui keseluruhan
jenis spora. Teknik trapping (penangkaran) mengacu Brundrett et al. (1999)
dengan metode kultur pot terbuka yang dimodifikasi. Media tanam yang
digunakan berupa campuran contoh tanah sebanyak ± 50 g dan batuan zeolit
berukuran 1-2 mm sebanyak ± 150 g. Teknik pengisian media tanam dalam pot
kultur adalah pot kultur diiisi dengan zeolit sampai setengah volume pot,
kemudian contoh tanah dimasukkan dan ditutup kembali dengan zeolit sehingga
media tanam tersusun atas zeolit-contoh tanah-zeolit.
Benih Sorghum vulgare yang akan digunakan sebagai tanaman inang
terlebih dahulu direndam dalam klorox 1% selama 5-10 menit sebagai upaya
sterilisasi permukaan. Selanjutnya benih direndam dalam air hangat selama ± 24
jam untuk memecahkan dormansi yang mungkin terjadi. Kemudian benih-benih
tersebut disemaikan dalam bak kecambah dengan media tissue yang dibasahi
selama ± 10 hari. Setelah itu kecambah dipindahkan ke dalam pot-pot kultur.
Kultur spora diulang sebanyak tiga kali pada setiap lokasi contoh tanah.
Pemeliharaan kultur meliputi penyiraman, pemberian hara, dan
pengendalian hama secara manual. Larutan hara yang digunakan adalah Hyponex
Merah (25-5-20) dengan konsentrasi 1 g/2 l air. Pemberian larutan hara dilakukan
setiap minggu sebanyak ± 20 ml tiap pot kultur. Setelah kultur berumur 3.5 bulan
dilakukan pemanenan untuk mendapatkan spora-spora yang akan digunakan pada
percobaan ke-3.
24
Peubah yang diamati adalah penghitungan jumlah kepadatan spora per 50 g
tanah dan identifikasi tipe spora. Kepadatan spora dihitung dengan rumus:
Kepadatan spora
Uji Propagul Infektif
Setiap contoh tanah dihaluskan dan dilakukan pengenceran dengan kelipatan
10 sebanyak tujuh kali pengenceran dengan mencampur contoh tanah uji langsung
dari lapangan dengan zeolit yang telah steril. Setiap seri pengenceran diulang lima
kali. Campuran media dimasukkan ke pot plastik.
Benih Sorghum vulgare yang telah disterilkan dan telah dikecambahkan
ditanam pada pot kultur dan dipelihara di rumah kaca selama 5 minggu.
Pemeliharaan meliputi penyiraman dan pemupukan dengan larutan hara Hyponex
Merah (25-5-20). Setelah 5 minggu, dilakukan pemanenan akar dengan cara
memotong bagian akar. Akar selanjutnya dicuci dan dipotong kemudian
dimasukkan ke botol yang berisi Formalin Aceto Alcohol (FAA). Selanjutnya
akar-akar tersebut diwarnai dengan larutan pewarna melalui teknik pewarnaan
akar dari Phillips dan Hayman (1970) dimodifikasi Laboratorium Bioteknologi
Hutan Institut Pertanian Bogor. Akar-akar yang telah didestaining diamati di
bawah mikroskop untuk melihat ada tidaknya infeksi FMA, kemudian hasil
pengamatan dihitung MPN-nya.
Percobaan ke-2 merupakan langkah untuk menyeleksi inokulum tanah FMA
yang efektif dan berpotensi dari bawah tegakan aren dengan berdasarkan hasil dari
contoh tanah yang memiliki jumlah kepadatan spora terbanyak dari penangkaran
dan propagul infektif tertinggi dari penghitungan MPN. Selanjutnya diuji
keefektifannya pada percobaan ke-3.
Hasil dan Pembahasan
Kolonisasi Akar
Hasil penghitungan kolonisasi FMA pada akar tanaman aren dari tiga
lokasi pengambilan contoh akar dapat dilihat pada Gambar 2. Presentase
kolonisasi akar berkisar antara 16-42%, dengan kolonisasi tertinggi di daerah
Lebak. Bentuk-bentuk kolonisasi yang banyak dijumpai yaitu hifa internal dan
eksternal. Presentase kolonisasi akar pada tiga lokasi termasuk kriteria kolonisasi
akar klasifikasi rendah (16%) dan sedang (28-42%). Menurut kriteria yang
digunakan pada Institute of Mycorrhizal Research and Development (Rajapakse
dan Miller 1992) tingkat kolonisasi akar terbagi menjadi klasifikasi sangat rendah
(<5%), rendah (6-25%), sedang (26-50%), tinggi (51-75%), dan sangat tinggi
(>75%). Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kolonisasi FMA yaitu kepekaan
inang, faktor iklim dan faktor tanah (Fakuara 1998; Setiadi 1996).
Gambar 2. Presentase kolonisasi FMA pada akar dari bawah tegakan aren pada
tiga lokasi kabupaten.
25
Penangkaran (Trapping) spora FMA
Kepadatan spora FMA yang diperoleh dari hasil penangkaran pada tiga
lokasi kabupaten yaitu, di Cianjur sebanyak 133 spora per 50 g tanah, Sukabumi
sebanyak 452 spora per 50 g tanah, dan Lebak sebanyak 101 spora per 50 g tanah.
Kepadatan spora FMA dari hasil penangkaran ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Kepadatan spora FMA hasil penangkaran dari contoh tanah pada tiga
lokasi kabupaten.
Hasil isolasi dari contoh tanah dari bawah tegakan aren terdapat tipe spora
FMA yang tidak dijumpai sebelum penangkaran, yaitu tipe Glomus sp.8 dan
Acaulospora sp.6 (Gambar 4). Adanya tipe FMA baru yang ditemukan pada
penangkaran diduga respon pertumbuhan tanaman inang yang baik dan
lingkungan yang mendukung sehingga sporulasi FMA berjalan dengan baik. Hal
ini didukung dengan pernyataan Clark (1997) bahwa kemampuan suatu spesies
FMA berada di suatu lingkungan sangat dipengaruhi oleh adaptasi spesies tersebut
terhadap lingkungan setempat. Sedangkan menurut Brundrett et al. (1999)
khususnya spora-spora yang dijumpai pada kultur hasil trapping dipengaruhi oleh
umur, jenis tanaman inang, dan status hara media tanam.
50 µm
A
50 µm
B
Gambar 4. Tipe spora FMA yang ditemukan setelah penangkaran: A = Glomus
sp.8; B = Acaulospora sp.6.
Uji Propagul Infektif
Setiap contoh tanah dari tiga lokasi mengandung jumlah propagul infektif
yang berbeda, yaitu di Cianjur sebanyak 11 000 propagul/50 g tanah, Sukabumi
sebanyak 28 000 propagul/50 g tanah, dan Lebak sebanyak 9 500 propagul/50 g
tanah. Jumlah propagul infektif yang tertinggi diperoleh pada lokasi Sukabumi
(Tabel 4). Hal ini diduga jumlah dan tipe spora mempunyai kemampuan infektif
yang tinggi dan sangat efektif bila dibandingkan dengan lokasi lainnya. Hal ini
sejalan dengan yang dikemukakan Porter (1979) bahwa jumlah spora berkorelasi
dengan kuantifikasi tipe FMA dengan metode Most Probable Number (MPN).
26
Tabel 4. Hasil perhitungan uji MPN pada inokulum tanah FMA dari bawah
tegakan aren di tiga lokasi kabupaten
Perlakuan
Cianjur pohon 1
Cianjur pohon 2
Cianjur pohon 3
Cianjur pohon 4
Cianjur pohon 5
Sukabumi pohon 1
Sukabumi pohon 2
Sukabumi pohon 3
Sukabumi pohon 4
Sukabumi pohon 5
Lebak pohon 1
Lebak pohon 2
Lebak pohon 3
Lebak pohon 4
Lebak pohon 5
Jumlah Propagul infektif
Kisaran jumlah propagul pada
Propagul per 50 g tanah
selang kepercayaan 95%
4
0.170 x 10
0.080 – 0.361 x 104
1.100 x 104
0.518 – 2.328 x 104
4
0.700 x 10
0.331 – 1.485 x 104
1.100 x 104
0.518 – 2.328 x 104
4
0.170 x 10
0.080 – 0.361 x 104
4
2.200 x 10
1.037 – 4.466 x 104
2.800 x 104
1.321 – 5.929 x 104
4
1.400 x 10
0.660 – 2.964 x 104
0.950 x 104
0.448 – 2.013 x 104
4
2.200 x 10
1.037 – 4.655 x 104
0.170 x 104
0.080 – 0.361 x 104
4
0.120 x 10
0.056 – 0.254 x 104
0.950 x 104
0.440 – 2.220 x 104
4
0.120 x 10
0.056 – 0.254 x 104
0.092 x 104
0.043 – 0.194 x 104
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Presentase kolonisasi akar pada rhizosfer aren dari tiga kabupaten berkisar
antara 16-42%, dengan kolonisasi tertinggi di daerah Lebak. Contoh tanah dari
lokasi Sukabumi memiliki kepadatan spora dan propagul infektif lebih tinggi
dibandingkan contoh tanah dari Cianjur dan Lebak.
Saran
Inokulum tanah FMA dari lokasi Cianjur dan Lebak perlu di uji
keefektifannya terhadap pertumbuhan bibit aren. Diharapkan pada tahap
penangkaran tanaman inang yang digunakan adalah aren.
27
UJI KEEFEKTIFAN INOKULUM TANAH FMA DARI
BAWAH TEGAKAN AREN PADA BIBIT AREN
(Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)
The Effectiveness of The AMF Soil Inoculum from Under Sugar Palm Stands on
Sugar Palm Seed (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)
Abstrak
Tanaman aren belum banyak dibudidayakan. Pembibitan merupakan
langkah awal dari seluruh rangkaian kegiatan pembudidayaan pada tanaman aren.
Tujuan penelitian ini adalah menguji keefektifan inokulum tanah FMA dari bawah
tegakan aren terhadap pertumbuhan bibit aren. Rancangan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) 2 faktor. Faktor pertama adalah pemupukan P,
terdiri atas 2 taraf, yaitu tanpa pemupukan P dan pemupukan P. Faktor kedua
adalah inokulasi FMA, terdiri atas 3 taraf, yaitu tanpa pemberian inokulum,
inokulum FMA indigenous, dan inokulum FMA mycofer. Hasil uji keefektifan
menunjukkan bahwa inokulum FMA indigenous mampu meningkatkan
pertumbuhan bibit aren berdasarkan parameter tinggi tanaman, panjang pelepah
daun, diameter pangkal pelepah, bobot kering tajuk, biomassa total, serapan hara
P, jumlah spora, dan persen infeksi akar. Interaksi yang terjadi antara pemupukan
P dengan inokulum FMA menunjukkan adanya peran inokulum FMA terhadap
panjang pelepah daun, jumlah spora, dan persen infeksi akar dengan nilai tertinggi
diperoleh pada perlakuan inokulum FMA indigenous tanpa pemupukan P.
Kata kunci: inokulasi FMA indigenous, pembibitan aren, teknik budidaya
Abstract
The cultivation of sugar palm has never been conducted. Nursery is the
first step in cultivating the sugar palm. The objective of this study to verify the
effectiveness of the AMF soil inoculum from under sugar palm stands towards the
growth of the seeds of sugar palm. This research uses a two factorial Completely
Randomized Design. The first factor is posphorus (P) fertilizing, which were used
two levels: with and without P fertilizer. The second factor is AMF inoculations,
which were used three levels: without inoculum; AMF indigenous inoculum; and
AMF mycofer inoculum. The result on the effectiveness showed that AMF
indigenous inoculum increase growth on sugar palm seedling based on
parameters of plant height, rachis length, stem diameter, shoot dry weight, root
dry weight, total biomassa, P nutrient absorption, number of spore, and percent of
root colonization. Interaction between P fertilizer with AMF inoculum showed the
role of AMF inoculum to rachis length, number of spore, and percent of root
colonization with the highest value was obtained in treatment AMF indigenous
inoculum without P fertilizer.
Keywords: cultivation techniques, indigenous AMF inoculations, sugar palm
seedling
28
Pendahuluan
Tanaman aren merupakan tanaman asli di wilayah kepulauan Indo-Malaya,
dengan pusat penyebaran yang terdapat di beberapa wilayah Indonesia. Tanaman
aren paling banyak terdapat di wilayah Pulau Jawa (19 757 ha), Sulawesi (16 951
ha), Sumatera (15 802 ha), dan Kalimantan (1 816 ha) (Kementan 2015).
Pemanfaatan tanaman aren oleh masyarakat di daerah sentra sangat
beragam. Di daerah Jawa Barat seperti masyarakat Cianjur dan Garut serta Banten
aren dimanfaatkan sebagai sumber pembuatan gula merah, minuman tradisional
(lahang), tepung sagu, dan kolang-kaling. Di beberapa masyarakat lainnya, hasil
nira tanaman aren dimanfaatkan sebagai minuman tradisional, yaitu di Sumatera
Utara (tuak) dan Sulawesi Utara (saguer) (Mogea et al. 1991).
Kendala yang dihadapi dalam pengembangan dan budidaya tanaman aren
adalah ketersediaan bibit yang bermutu. Penurunan mutu bibit menjadi faktor
yang memperlambat masa pindah tanam ke lapangan. Alternatif yang mungkin
dapat dikembangkan untuk mengatasi kendala tersebut yaitu meningkatkan mutu
bibit aren dengan memanfaatkan mikroorganisme seperti Fungi Mikoriza
Arbuskula (FMA). Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan manfaat mikoriza
pada kopi (Hanapiah 1997), padi sawah tadah hujan (Hanafiah 2001), kelapa sawit
(Kartika 2006; Damayanti et al. 2014). Keberadaan FMA di rhizosfer tumbuhan
di alam memiliki peranan penting karena sifatnya yang bersimbiosis secara
mutualistik dengan hampir sekitar 90% jenis tumbuhan terestrial. FMA
merupakan komponen mikroorganisme yang berperan aktif membantu tanaman
untuk menyerap hara dan air dari lokasi yang tidak terjangkau oleh rambut akar
(Smith dan Read 1997).
Tahap pembibitan ini diharapkan mampu menghasilkan bibit yang
berkualitas. Adanya FMA pada bibit aren diharapkan FMA dapat meningkatkan
pertumbuhan, terutama peningkatan serapan hara sehingga bibit mampu tumbuh
baik di lapangan dan mengatasi keadaan lingkungan yang beragam. Kajian respon
pertumbuhan bibit aren terhadap inokulasi FMA sampai saat ini belum pernah
dilakukan. Penelitian ini bertujuan menguji keefektifan inokulum tanah FMA dari
bawah tegakan aren terhadap pertumbuhan bibit aren.
Metode Penelitian
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca SEAMEO BIOTROP pada bulan
Januari 2015 sampai dengan Juni 2015. Hasil destruktif tanaman di analisis di
Laboratorium Silvikultur SEAMEO BIOTROP. Analisis tanah dan jaringan
tanaman dilaksanakan di Laboratorium Tanah dan Tanaman SEAMEO
BIOTROP.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah inokulum tanah FMA
dari bawah tegakan aren yang merupakan hasil dari percobaan kedua
(penangkaran), inokulum mycofer (endomikoriza) produksi Laboratorium
Bioteknologi Hutan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor, benih aren yang
diperoleh dari populasi aren yang telah berumur di atas 15 tahun di Kabupaten
29
Cianjur, Provinsi Jawa Barat, tanah yang disterilkan, pupuk SP36, aquades, klorox
1%, arang sekam padi, larutan KOH 2.5%, HCl 2%, glyserin, asam laktat, dan
fuchsin acid. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah saringan
spora (saringan betingkat tiga 500 µm, 125 µm, dan 45 µm) mikroskop binokuler
Olympus CX-21, tabung sentrifuse, sentrifuse, pinset spora, kaca preparat, kaca
penutup, pipet tetes, cawan petri, timbangan analitik, bak kecambah, autoclave,
jangka sorong digital, dan thermo recorder.
Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) 2
faktor. Faktor pertama adalah pemupukan P, terdiri atas 2 taraf, yaitu tanpa
pemupukan P (P0) dan pemupukan P (P1). Faktor ke-dua adalah inokulasi FMA,
terdiri atas 3 taraf, yaitu tanpa pemberian inokulum (M0), inokulum FMA
indigenous (M1), dan inokulum FMA mycofer (M2). Setiap unit percobaan terdiri
atas 9 tanaman dan diulang sebanyak 3 kali. Dari total tanaman pada setiap unit
percobaan diambil 5 tanaman contoh untuk diamati 4 minggu sekali dan
pengamatan destruktif diamati 12 minggu sekali selama 24 MSP. Model statistik
yang digunakan untuk Rancangan Acak Lengkap (RAL) adalah sebagai berikut:
Yijk
Yijk
=
µ
αi
ßj
=
=
=
(αβ)ij
=
εijk
=
= µ + αi + ßj + (αß)ij + εijk
Nilai pengamatan pada perlakuan pemupukan P
ke-i, inokulasi FMA ke-j, dan ulangan ke-k
Nilai rata-rata
Pengaruh perlakuan pemupukan P ke-i (i = 1, 2)
Pengaruh perlakuan inokulasi FMA ke-j (j = 1, 2,
3)
Pengaruh interaksi antara perlakuan pemupukan P
ke-i dan inokulasi FMA ke-j.
Galat pada perlakuan pemupukan P ke-i, inokulasi
FMA ke-j dan ulangan ke-k
Analisis Data
Data hasil pengamatan dianalisis dengan uji F pada taraf α 5%, jika terdapat
pengaruh yang nyata dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range
Test) pada taraf α 5%. Analisis menggunakan program SAS Windows 9.1.
Persiapan Benih
Buah aren yang telah diperoleh direndam dalam air selama 5 hari. Daging
buah dibersihkan dan dilakukan seleksi benih. Selanjutnya, diberi perlakuan
pematahan dormasi dengan menggunakan teknik deoperkulasi/skarifikasi (Rofik
dan Murniati 2008). Benih yang diberi perlakuan deoperkulasi direndam dalam
klorox 1% selama 30 menit untuk mengurangi kontaminasi cendawan dan
mencegah kerusakan benih karena embrio menjadi kering.
Persiapan Media Perkecambahan dan Media Tanam
Media perkecambahan yang digunakan adalah arang sekam padi. Media
perkecambahan disterilkan secara basah, kemudian dimasukkan ke dalam bak
plastik perkecambahan ukuran 32.5 cm x 22.5 cm dengan volume media adalah
1/2 bagian.
30
Media tanam yang digunakan adalah tanah steril. Tanah yang diambil
dibersihkan dari akar-akar, kemudian diayak dan tanah tersebut disterilisasi.
Tanah disterilkan dengan autoclave pada tekanan 1.5 atm selama 15 menit dengan
suhu 121 0C. Selanjutnya, tanah yang telah disterilkan dimasukkan ke polybag
ukuran 40 cm x 40 cm sebanyak 10 kg sebagai media tanam.
Pindah Tanam
Pindah tanam dilakukan pada saat kecambah telah terbentuk daun pertama
yang diperkirakan kecambah tersebut berumur 120 hari setelah tanam (HST).
Kecambah dipindahkan ke media tanam dalam polybag.
Aplikasi Inokulum FMA Indigenous dan Inokulum FMA Mycofer
(Endomikoriza)
Aplikasi inokulum FMA indigenous dan inokulum FMA mycofer
(mengandung Gigaspora margarita, Glomus moseae, dan Glomus intraradises)
dilakukan pada saat pindah tanam, dengan cara dimasukkan ke dalam lubang
tanam. Perlakuan aplikasi antara inokulum FMA indigenous dengan inokulum
FMA mycofer yang dimasukkan ke dalam lubang tanam masing-masing sebanyak
50 g.
Pemupukan
Pemupukan P dengan dosis 6.3 g (dalam bentuk SP36) mengacu dosis
pemupukan pada pembibitan utama kelapa sawit yang diberikan 1.5 bulan sekali
(Pahan 2008). Pemupukan dilakukan sebanyak 4 kali pada 0, 45, 90, dan 135
HST.
Pemberian Naungan
Tanaman aren secara alami membutuhkan naungan. Pemberian naungan
dengan menggunakan paranet dengan intensitas naungan sebesar 55%.
Pemeliharaan
Pemeliharaan meliputi penyiraman yang dilakukan pada pagi hari secara
teratur sesuai kebutuhan sampai kapasitas lapang, penyiangan dilakukan dengan
membuang gulma di sekitar tanaman utama secara manual, pengendalian hama
dan penyakit dilakukan apabila terjadi gejala serangan hama dan penyakit.
Pengamatan
Pengamatan akan dilakukan terhadap peubah-peubah sebagai berikut:
a. Tinggi tanaman, yang diukur mulai dari pangkal tanaman sampai daun
terpanjang yang diberdirikan.
b. Jumlah pelepah daun, pelepah daun yang dihitung adalah pelepah daun yang
memiliki daun telah membuka sempurna.
c. Panjang pelepah dan pelepah daun. Panjang pelepah diukur dari pangkal daun
sampai anak daun pertama yang tumbuh pada pelepah, sedangkan panjang
pelepah daun diukur dari anak daun pertama sampai ujung daun.
d. Diameter pangkal pelepah. Pengukuran diameter pangkal pelepah dilakukan
saat destruktif. Pengukuran akan dilakukan pada bagian 1 cm dari pangkal
pelepah menggunakan jangka sorong digital.
31
e. Volume akar. Volume akar diukur menggunakan gelas ukur yang telah diisi
air. Akar dimasukkan ke dalam gelas ukur dan dilihat penambahan volume.
Volume ukur = V2 – V1
Keterangan:
V1 = Volume gelas ukur yang diisi air awal
V2 = Volume gelas ukur yang telah diisi akar
f. Panjang akar primer. Panjang akar primer diukur dari pangkal pelepah sampai
akar primer terpanjang.
g. Jumlah akar. Jumlah akar hanya dibatasi pada jumlah akar primer.
h. Luas daun. Luas daun diukur pada saat destruktif. Metode yang akan
digunakan adalah metode gravimetri.
i. Bobot kering tajuk dan akar. Bobot kering tajuk dan akar dihitung setelah
pengeringan dengan di oven pada suhu 60 0C selama 72 jam.
j. Laju Tumbuh Relatif. Perhitungan LTR menggunakan rumus sebagai berikut
(Hunt 1990):
LTR
g/g/minggu
Keterangan:
W1 = Bobot kering tanaman pada saat t1
W2 = Bobot kering tanaman pada saat t2
k. Biomassa total. Biomassa total diperoleh dari total pengukuran bobot kering
tajuk dan bobot kering akar.
l. Persen infeksi akar. Pengamatan persen infeksi akar dilakukan pada akhir
penelitian dengan Metode Phillips dan Hayman (1970) dimodifikasi
Laboratorium Bioteknologi Hutan Institut Pertanian Bogor.
m. Jumlah spora. Penghitungan jumlah spora dilakukan pada akhir penelitian.
n. Serapan unsur P (g/tanaman). Nilai serapan unsur P diketahui melalui analisis
laboratorium dan perhitungan. Nilai serapan unsur hara dihitung menggunakan
rumus sebagai berikut:
Serapan hara (g/tanaman) = konsentrasi jaringan (%) x biomassa total (g)
o. Efisiensi pemupukan. Efisiensi pemupukan dilakukan di akhir penelitian pada
perlakuan pemupukan P. Nilai efisiensi pemupukan dihitung menggunakan
rumus sebagai berikut:
Kadar hara pupuk (g)
= kadar hara pupuk P (ppm) x bobot pupuk
sesuai perlakuan (g)
Kadar hara tanaman (g) = konsentrasi jaringan (%) x biomassa total (g)
Efisiensi pemupukan (%) =
Keterangan:
a : kadar hara pupuk (g)
b : kadar hara tanaman (g)
( )
Analisis Sifat Kimia Tanah
Penetapan sifat kimia tanah dilakukan di Laboratorium Analisis Tanah dan
Tanaman SEAMEO BIOTROP, Bogor. Analisis sifat kimia tanah dilakukan pada
media di awal dan akhir penelitian.
32
Analisis Hara N, P, dan K pada Jaringan Tanaman
Analisis hara N, P, dan K pada jaringan tanaman dilakukan di Laboratorium
Analisis Tanah dan Tanaman SEAMEO BIOTROP, Bogor. Analisis hara N, P,
dan K pada jaringan tanaman dilakukan pada akhir penelitian.
Hasil dan Pembahasan
Kondisi Umum Percobaan
Bibit yang digunakan dalam penelitian ini adalah aren tipe dalam yang
berasal dari Cianjur, Jawa Barat. Bibit aren yang digunakan berumur ± 5 bulan
dengan kriteria telah muncul 1-2 helai pelepah daun per tanaman.
Analisis tanah juga dilakukan terhadap media tanam yang digunakan.
Analisis tanah media tanam dilakukan pada media di awal dan akhir penelitian
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Analisis tanah media di awal dan akhir penelitian
Sifat kimia tanah
Media awal
P0M0
P0M1
Contoh uji
P0M2
P1M0
P1M1
P1M2
pH H2O
5.4 (M)
4.8 (M)
4.9 (M)
4.8 (M)
4.9 (M)
5.0 (M)
5.0 (M)
C-organik (%)
1.48 (R)
1.37 (R)
1.33 (R)
1.34 (R)
1.37 (R)
1.33 (R)
1.31 (R)
N-total (%)
0.20 (R)
0.20 (R)
0.18 (R)
0.18 (R)
0.18 (R)
0.17 (R)
0.19 (R)
P-tersedia (ppm)
15.8 (R)
9.6 (SR)
8.1 (SR)
9.6 (SR)
170.5 (ST)
205.4 (ST)
223.4 (ST)
K (me/100g)
1.96 (ST)
1.84 (ST) 1.74 (ST) 1.94 (ST)
1.82 (ST)
1.55 (ST)
1.60 (ST)
KTK (me/100g)
17.21 (S)
16.87 (R)
17.32 (S)
17.52 (S)
18.33 (S)
18.36 (S)
18.72 (S)
Keterangan : Hasil analisis contoh tanah dari media awal dan akhir penelitian di Laboratorium Analisis Tanah dan
Tanaman SEAMEO BIOTROP 2015; P0M0 = Kontrol, P0M1 = Inokulum indigenous, P0M2 = Inokulum
mycofer, P1M0 = Pemupukan P, P1M1 = Pemupukan P dengan inokulum indigenous, P1M2 = Pemupukan
P dengan inokulum mycofer; Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah, Hardjowigeno 2010:
(M) = Masam, (SR) = Sangat Rendah, (R) = Rendah, (S) = Sedang, (ST) = Sangat Tinggi; Kriteria penilaian
sifat kimia tanah disajikan pada Lampiran 1.
Analisis hara N, P, dan K pada jaringan tanaman dilakukan pada akhir
penelitian. Analisis hara N, P, dan K pada jaringan tanaman dilakukan pada
bagian akar, tajuk, dan daun (Tabel 6).
Tabel 6. Analisis hara N, P, dan K pada jaringan tanaman
Parameter
pengujian
N-total (%)
P-total (%)
K-total (%)
Contoh uji
P0M0
1.10 (ST)
0.15 (SR)
0.50 (S)
P0M1
1.73 (ST)
0.22 (SR)
0.59 (S)
P0M2
1.54 (ST)
0.21 (SR)
0.26 (R)
P1M0
1.55 (ST)
0.25 (SR)
0.61 (T)
P1M1
1.61 (ST)
0.28 (SR)
0.62 (T)
P1M2
0.96 (ST)
0.25 (SR)
0.45 (S)
Keterangan : Hasil analisis jaringan tanaman di Laboratorium Analisis Tanah dan Tanaman SEAMEO
BIOTROP 2015; P0M0 = Kontrol, P0M1 = Inokulum indigenous, P0M2 = Inokulum mycofer,
P1M0 = Pemupukan P, P1M1 = Pemupukan P dengan inokulum indigenous, P1M2 =
Pemupukan P dengan inokulum mycofer; Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah,
Hardjowigeno 2010: (SR) = Sangat Rendah, (R) = Rendah, (S) = Sedang, (T) = Tinggi,
(ST) = Sangat Tinggi; Kriteria penilaian sifat kimia tanah disajikan pada Lampiran 1.
Suhu udara dan tanah juga dilakukan pengukuran dengan menggunakan
thermo recorder. Suhu udara dan tanah diukur pada pukul 08.00-18.00 WIB. Suhu
rata-rata udara adalah 28.9 0C, sedangkan suhu udara max 33.0 0C dan min 22.9
0
C. Suhu rata-rata tanah adalah 25.4 0C, sedangkan suhu tanah max 27.1 0C dan
min 23.1 0C.
33
Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman bibit aren dipengaruhi oleh perlakuan inokulum FMA
(indigenous dan mycofer) pada 24 minggu setelah perlakuan (MSP). Interaksi
antara pemupukan P dan inokulum FMA tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi
tanaman bibit aren pada 0 sampai 24 MSP. Inokulum FMA (indigenous dan
mycofer) meningkatkan tinggi tanaman sebesar 8.3% dibandingkan tanpa
inokulum FMA pada 24 MSP (Tabel 7). Hal ini mengindikasikan bahwa
pemberian inokulum FMA berpengaruh baik terhadap tinggi tanaman, karena
inokulum FMA mengandung berbagai jenis spora, adanya hifa, dan propagul
lainnya sehingga dapat membantu tanaman dalam menyerap unsur hara dan air.
Salah satu cara untuk membantu tanaman dalam meningkatkan penyerapan unsur
hara pada media tempat tumbuh adalah menginokulasikan FMA pada tanaman
(Setiadi 1989). Hal ini juga didukung hasil penelitian Kartika (2006) yang
menunjukkan bahwa bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan FMA
menunjukkan tanggap pertumbuhan dan serapan P lebih tinggi dibandingkan bibit
tanpa inokulasi FMA.
Perlakuan pemupukan P memiliki tinggi tanaman yang lebih rendah
dibandingkan perlakuan tanpa pemupukan (Tabel 7). Fosfat memiliki sifat slow
realese yang menyebabkan fosfat tidak tersedia dalam tanah untuk pertumbuhan
tanaman sehingga proses metabolik tanaman terhambat.
Tabel 7. Pengaruh faktor pemupukan P dan inokulum FMA terhadap tinggi
tanaman bibit aren sampai 24 MSP
Perlakuan
1.
2.
3.
Pemupukan P
Tanpa pemupukan
Pemupukan P
Inokulum FMA
Tanpa inokulum
Inokulum indigenous
Inokulum mycofer
Interaksi
Keterangan :
0 MSP 8 MSP 16 MSP
24 MSP
---------------------(cm)--------------------------43.0
40.9
44.3
41.1
46.0
42.7
47.6 a
45.0 b
40.5
43.2
42.2
tn
41.4
44.4
42.3
tn
42.5
46.0
44.7
tn
43.9 b
47.5 a
47.6 a
tn
Angka-angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan perlakuan yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%;
tn = tidak berbeda nyata pada uji F 5%; MSP = Minggu Setelah Perlakuan.
Jumlah Pelepah Daun
Jumlah pelepah daun tidak dipengaruhi oleh perlakuan pemupukan P dan
inokulum FMA pada 24 minggu setelah perlakuan (MSP). Interaksi antara
pemupukan P dan inokulum FMA tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah
pelepah daun bibit aren pada 24 MSP (Tabel 8).
Tanaman aren termasuk famili Arecaceae dengan laju pertumbuhan pelepah
daun yang sangat lambat jika dibandingkan dengan spesies lain. Tanaman aren
memiliki laju pertumbuhan pelepah daun berkisar 3-6 helai pelepah daun per
tahun (Smits 1996), sedangkan tanaman kelapa laju pertumbuhan pelepah daun
relatif cepat dengan menghasilkan 1 helai pelepah daun baru tiap bulan. Dinamika
laju pertumbuhan jumlah pelepah daun kelapa sawit berkisar 30–40 helai pelepah
34
daun per tahun pada tanaman berumur 5 atau 6 tahun, tetapi setelah itu
pertumbuhan pelepah daun akan menurun pada tingkat 20-25 pelepah daun per
tahun (Hartley 1977).
Tabel 8. Pengaruh faktor pemupukan P dan inokulum FMA terhadap jumlah
pelepah daun bibit aren pada 24 MSP
Perlakuan
1.
2.
3.
Pemupukan P
Tanpa pemupukan
Pemupukan P
Inokulum FMA
Tanpa inokulum
Inokulum indigenous
Inokulum mycofer
Interaksi
Jumlah pelepah daun
-----------------------(helai)-----------------------3.5
3.6
3.6
3.6
3.4
tn
Keterangan : tn = tidak berbeda nyata pada uji F 5%; MSP = Minggu Setelah Perlakuan.
Panjang Pelepah
Panjang pelepah tidak dipengaruhi oleh perlakuan pemupukan P dan
inokulum FMA pada 24 MSP. Interaksi antara pemupukan P dan inokulum FMA
tidak berpengaruh nyata terhadap panjang pelepah bibit aren pada 24 MSP (Tabel
9). Perlakuan tanpa pemupukan P memiliki panjang pelepah yang lebih besar
dibandingkan pemupukan P, sedangkan perlakuan inokulum FMA memiliki
panjang pelepah yang lebih besar dibandingkan tanpa inokulum. Panjang pelepah
diduga memiliki korelasi dengan tinggi tanaman. Hasil penelitian Furqoni (2014)
menunjukkan bahwa tanaman aren yang memiliki tinggi tanaman lebih tinggi
memiliki pelepah lebih tinggi pula.
Tabel 9. Pengaruh faktor pemupukan P dan inokulum FMA terhadap panjang
pelepah bibit aren pada 24 MSP
Perlakuan
1.
2.
3.
Pemupukan P
Tanpa pemupukan
Pemupukan P
Inokulum FMA
Tanpa inokulum
Inokulum indigenous
Inokulum mycofer
Interaksi
Panjang pelepah
--------------------------(cm)------------------------29.7
29.6
28.4
30.4
30.2
tn
Keterangan : tn = tidak berbeda nyata pada uji F 5%; MSP = Minggu Setelah Perlakuan.
35
Panjang Pelepah Daun
Interaksi antara pemupukan P dan pemberian inokulum FMA berpengaruh
nyata terhadap panjang pelepah daun bibit aren pada 24 MSP. Interaksi yang
terjadi antara pemupukan P dengan inokulum FMA pada 24 MSP menunjukkan
adanya peran inokulum FMA terhadap panjang pelepah daun bibit aren. Perlakuan
inokulum FMA tanpa pemupukan P memiliki nilai panjang pelepah daun yang
lebih besar dibandingkan dengan perlakuan inokulum FMA dengan pemupukan P
(Tabel 10). Hal ini diduga kemampuan FMA memperbaiki dan meningkatkan
pertumbuhan tanaman yang berkaitan dengan penyerapan fosfor. Fosfor
merupakan salah satu unsur hara makro yang penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Salah satu fungsi Fosfor yaitu molekul pentransfer ADP
dan ATP. ATP merupakan senyawa penting bagi reaksi metabolit yaitu reaksi
biosintetik pembentukan senyawa penting bagi pemeliharaan sel dan pertumbuhan.
Dengan demikian, ketersedian P yang cukup oleh FMA akan meningkatkan
pertumbuhan panjang pelepah daun.
Tabel 10. Interaksi pemupukan P dan inokulum FMA terhadap rata-rata panjang
pelepah daun bibit aren pada 24 MSP
Pemupukan P
Tanpa pemupukan
Pemupukan P
Keterangan :
Inokulum FMA
Tanpa
Inokulum
Inokulum
inokulum
indigenous
mycofer
-------------------------------(cm)--------------------------------19.0 c
25.3 a
24.4 ab
20.6 c
21.3 bc
21.8 abc
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.
Diameter Pangkal Pelepah
Diameter pangkal pelepah bibit aren dipengaruhi oleh perlakuan pemupukan
P dan inokulum FMA pada 24 MSP. Interaksi antara pemupukan P dan inokulum
FMA tidak berpengaruh nyata terhadap diameter pangkal pelepah batang bibit
aren pada 24 MSP. Pemupukan P meningkatkan diameter pangkal pelepah sebesar
19.5% dibandingkan tanpa pemupukan, sedangkan Inokulum FMA indigenous
dan mycofer masing-masing meningkatkan diameter pangkal pelepah sebesar
20.5% dan 35.4% pada 24 MSP (Tabel 11). Ketersediaan unsur P melalui
pemupukan diduga mendukung pertumbuhan pada fase vegetatif, sedangkan
inokulum FMA membantu suplai fosfor bagi tanaman. Hasil penelitian Kartika
(2006) menunjukkan bahwa bibit kelapa sawit yang diinokulasi FMA dengan
inokulum campuran meningkatkan pertumbuhan diameter batang. Pertambahan
diameter pangkal pelepah pada perlakuan pemupukan P sejalan dengan hasil
penelitian Sudradjat et al. (2014) yang menunjukkan bahwa aplikasi pemupukan P
meningkatkan pertumbuhan diameter batang bibit kelapa sawit.
36
Tabel 11. Pengaruh faktor pemupukan P dan inokulum FMA terhadap diameter
pangkal pelepah bibit aren pada 24 MSP
Perlakuan
1.
2.
3.
Pemupukan P
Tanpa pemupukan
Pemupukan P
Inokulum FMA
Tanpa inokulum
Inokulum indigenous
Inokulum mycofer
Interaksi
Keterangan :
Diameter pangkal pelepah
----------------------(mm)----------------------17.4 b
20.8 a
16.1 b
19.4 a
21.8 a
tn
Angka-angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan perlakuan yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%;
tn = tidak berbeda nyata pada uji F 5%; MSP = Minggu Setelah Perlakuan.
Luas Daun
Luas daun bibit aren tidak dipengaruhi oleh perlakuan pemupukan P dan
inokulum FMA pada 24 MSP. Interaksi antara pemupukan P dan inokulum FMA
tidak berpengaruh nyata terhadap luas daun bibit aren pada 24 MSP (Tabel 12).
Perlakuan tanpa pemupukan P memiliki luas daun yang lebih tinggi dibandingkan
pemupukan P, sedangkan perlakuan inokulum FMA memiliki luas daun yang
lebih tinggi dibandingkan tanpa inokulum. Pada saat pengukuran luas daun,
kondisi daun pada perlakuan tanpa pemupukan P dan inokulum mycofer telah
membuka sempurna, sedangkan kondisi daun pada perlakuan pemupukan P, tanpa
inokulum, dan inokulum indigenous masih banyak yang kuncup dibandingkan
membuka sempurna. Tinggi tanaman berkorelasi terhadap fase pertumbuhan daun
tanaman, jika luas daun tertinggi berada pada fase perkembangan daun (membuka
sempurna) maka pertambahan tinggi tanaman meningkat, sebaliknya jika
perkembangan daun tanaman berada pada fase muda (kuncup) maka pertambahan
tinggi tanaman relatif sedikit.
Tabel 12. Pengaruh faktor pemupukan P dan inokulum FMA terhadap luas daun
bibit aren pada 24 MSP
Perlakuan
1.
2.
3.
Pemupukan P
Tanpa pemupukan
Pemupukan P
Inokulum FMA
Tanpa inokulum
Inokulum indigenous
Inokulum mycofer
Interaksi
Luas daun
-----------------------(cm2)----------------------3 447
1 134
648
1 081
5 142
tn
Keterangan : tn = tidak berbeda nyata pada uji F 5%; MSP = Minggu Setelah Perlakuan.
37
Volume dan Panjang Akar
Volume akar dipengaruhi perlakuan pemupukan P dan inokulum FMA pada
24 MSP. Interaksi antara pemupukan P dan inokulum FMA tidak berpengaruh
nyata terhadap volume akar bibit aren pada 24 MSP. Pemupukan P meningkatkan
volume akar sebesar 26.9% pada 24 MSP dibandingkan dengan bibit tanpa
pemupukan. Pemberian inoukulum FMA (indigenous dan mycofer) meningkatkan
volume akar sebesar 48.7% pada 24 MSP dibandingkan dengan bibit tanpa
inokulum (Tabel 13). Peningkatan volume akar diduga sistem perluasan hifa
eksternal dari FMA untuk mengeksploitasi volume tanah dan mengoptimalkan
unsur hara terutama fosfor untuk perkembangan akar.
Panjang akar hanya dipengaruhi oleh perlakuan inokulum FMA pada 24
MSP. Interaksi antara pemupukan P dan inokulum FMA tidak berpengaruh nyata
terhadap panjang akar bibit aren pada 24 MSP. Pemberian inokulum FMA
(indigenous dan mycofer) meningkatkan panjang akar sebesar 25.1% pada 24
MSP dibandingkan tanpa inokulum FMA (Tabel 13). Peningkatan panjang akar
diduga peran hifa eksternal dari FMA yang bekerja secara efektif dalam
membantu akar untuk mendapatkan unsur hara dan air dalam tanah yang tidak
terjangkau oleh akar.
Tabel 13. Pengaruh faktor pemupukan P dan inokulum FMA terhadap volume dan
panjang akar bibit aren pada 24 MSP
1.
2.
3.
Perlakuan
Pemupukan P
Tanpa pemupukan
Pemupukan P
Inokulum FMA
Tanpa inokulum
Inokulum indigenous
Inokulum mycofer
Interaksi
Keterangan :
Volume akar (cm3)
Panjang akar (cm)
17.5 b
22.2 a
52.9
54.4
15.0 b
20.0 ab
24.6 a
tn
46.0 b
54.9 ab
60.2 a
tn
Angka-angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan perlakuan yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%;
tn = tidak berbeda nyata pada uji F 5%; MSP = Minggu Setelah Perlakuan.
Jumlah Akar
Interaksi antara pemupukan P dan inokulum FMA berpengaruh nyata
terhadap jumlah akar primer bibit aren pada 24 MSP. Interaksi yang terjadi antara
pemupukan P dengan inokulum FMA pada 24 MSP menunjukkan adanya peran
pemupukan P terhadap jumlah akar primer bibit aren. Perlakuan inokulum FMA
dengan pemupukan P memiliki nilai jumlah akar primer yang lebih besar
dibandingkan dengan perlakuan inokulum FMA tanpa pemupukan (Tabel 14).
Pemupukan P menunjang ketersediaan hara bagi perkembangan akar pada
bibit aren. Fosfor berperan dalam meningkatkan perkembangan akar dan sebagai
sumber energi dengan membentuk ATP (Shaheen et al. 2007), akan tetapi
pergerakan P di dalam tanah sangat lambat karena reaktivitas P yang tinggi
dengan kation-kation dalam tanah dan P yang cepat dikonversi dalam bentuk P
organik oleh aktivitas mikroba (Hebbar et al. 2004).
38
Tabel 14. Interaksi pemupukan P dan inokulum FMA terhadap rata-rata jumlah
akar primer bibit aren pada 24 MSP
Pemupukan P
Tanpa pemupukan
Pemupukan P
Keterangan :
Inokulum FMA
Tanpa
Inokulum
Inokulum
inokulum
indigenous
mycofer
-------------------------------(cm)--------------------------------4.7 b
6.7 ab
7.7 a
8.0 a
7.0 a
8.3 a
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.
Bobot Kering Tajuk dan Akar
Bobot kering tajuk dipengaruhi oleh perlakuan pemupukan P dan inokulum
FMA pada 24 MSP. Bobot kering akar tidak dipengaruhi oleh pemupukan P dan
inokulum FMA pada 24 MSP. Interaksi antara pemupukan P dan inokulum FMA
tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk dan akar bibit aren pada 24
MSP. Pemupukan P meningkatkan bobot kering tajuk sebesar 53.1%
dibandingkan tanpa pemupukan P, sedangkan inokulum FMA indigenous dan
mycofer masing-masing meningkatkan bobot kering tajuk sebesar 49.5% dan
59.3% dibandingkan tanpa inokulum. Pemupukan P memiliki bobot kering akar
yang lebih besar dibandingkan tanpa pemupukan, sedangkan inokulum FMA
memiliki bobot kering akar yang lebih besar dibandingkan tanpa inokulum (Tabel
15). Hal ini menunjukkan bahwa pemupukan P memiliki peran dalam menunjang
nutrisi selama pertumbuhan, sedangkan inokulum FMA membantu akar menyerap
air dan hara dari tanah untuk mengimbangi laju fotosintesis dan transpirasi.
Tabel 15. Pengaruh faktor pemupukan P dan inokulum FMA terhadap bobot
kering tajuk dan akar bibit aren pada 24 MSP
Perlakuan
1.
2.
3.
Pemupukan P
Tanpa pemupukan
Pemupukan P
Inokulum FMA
Tanpa inokulum
Inokulum indigenous
Inokulum mycofer
Interaksi
Bobot kering tajuk
Bobot kering akar
----------------------------(g)-------------------------9.8 b
15.0 a
3.5
3.7
9.1 b
13.6 a
14.5 a
tn
3.2
3.4
4.2
tn
Keterangan : Angka-angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan perlakuan yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%;
tn = tidak berbeda nyata pada uji F 5%; MSP = Minggu Setelah Perlakuan.
39
Biomassa Total
Bobot biomassa total dipengaruhi oleh perlakuan pemupukan P dan
inokulum FMA hanya pada 24 MSP. Interaksi antara pemupukan P dan inokulum
FMA tidak berpengaruh nyata terhadap biomassa total bibit aren pada 12 dan 24
MSP. Pemupukan P meningkatkan bobot biomassa total sebesar 39.8%
dibandingkan dengan bibit aren tanpa pemupukan, sedangkan inokulum FMA
indigenous dan mycofer masing-masing meningkatkan bobot biomassa total
sebesar 38.2% dan 52.0% dibandingkan dengan bibit aren tanpa pemberian
inokulum FMA pada 24 MSP (Tabel 16). Peningkatan biomassa total diduga
berkaitan dengan metabolisme tanaman atau karena kondisi pertumbuhan tanaman
yang lebih baik bagi berlangsungnya aktivitas metabolisme tanaman. Muin (2003)
menyatakan bahwa FMA meningkatkan konsentrasi P pada semua organ tanaman.
Sementara, Laju fotosintesis pada tanaman dipengaruhi oleh meningkatnya unsur
hara P (Darmawan 2006). Dengan demikian, pemupukan P dan pemberian
inokulum FMA dapat meningkatkan kemampuan bibit untuk menyerap hara dari
media tanam sehingga memiliki hasil fotosintesis yang lebih besar.
Tabel 16. Pengaruh faktor pemupukan P dan inokulum FMA terhadap biomassa
total bibit aren pada 12 dan 24 MSP
Perlakuan
1. Pemupukan P
Tanpa pemupukan
Pemupukan P
2. Inokulum FMA
Tanpa inokulum
Inokulum indigeous
Inokulum mycofer
3. Interaksi
Keterangan :
12 MSP
24 MSP
---------------------------(g)---------------------------4.6
7.3
13.3 b
18.6 a
6.4
4.4
6.9
tn
12.3 b
17.1 a
18.7 a
tn
Angka-angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan perlakuan yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%;
tn = tidak berbeda nyata pada uji F 5%; MSP = Minggu Setelah Perlakuan.
Laju Tumbuh Relatif
Laju Tumbuh Relatif (LTR) tidak dipengaruhi oleh perlakuan pemupukan P
dan inokulum FMA pada 12-24 minggu. Interaksi antara pemupukan P dan
inokulum FMA tidak berpengaruh nyata terhadap laju tumbuh relatif bibit aren
pada 12-24 minggu (Tabel 17).
LTR pada bibit aren sangat lambat jika dibandingkan dengan tanaman
kelapa sawit. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan fase vegetatif tanaman
aren sangat lambat.
LTR diduga memiliki korelasi dengan biomassa total. Hasil penelitian
Ibrahim et al. (2010) menunjukkan bahwa bibit kelapa sawit yang ditumbuhkan
dengan mengatur kandungan CO2 pada taraf 400-1 200 μmol mol-1 selama 15
minggu menunjukkan LTR berkisar 0.35-0.70 g/g/minggu dan biomassa total
menjadi faktor utama yang telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan
pertumbuhan yang ditandai dengan semakin tinggi nilai koefisien korelasi dengan
LTR.
40
Tabel 17. Pengaruh faktor pemupukan P dan inokulum FMA terhadap laju
tumbuh relatif bibit aren pada 12-24 minggu
Perlakuan
1.
2.
3.
Pemupukan P
Tanpa pemupukan
Pemupukan P
Inokulum FMA
Tanpa inokulum
Inokulum indigeous
Inokulum mycofer
Interaksi
Laju tumbuh relatif
-------------------(g/g/minggu)------------------0.044
0.037
0.027
0.050
0.044
tn
Keterangan : tn = tidak berbeda nyata pada uji F 5%; MSP = Minggu Setelah Perlakuan.
Serapan Unsur P
Serapan unsur P dipengaruhi oleh perlakuan pemupukan P dan inokulum
FMA pada 24 MSP. Interaksi antara pemupukan P dan inokulum FMA tidak
berpengaruh nyata terhadap serapan unsur P bibit aren pada 24 MSP (Tabel 18).
Pemupukan P meningkatkan serapan unsur P sebesar 88.5% dibandingkan tanpa
pemupukan, sedangkan inokulum FMA indigenous dan mycofer masing-masing
meningkatkan serapan unsur P sebesar 69.2% dan 65.4% dibandingkan tanpa
inokulum. Hal ini mengindikasikan bahwa pemupukan P menunjang ketersediaan
P anorganik bagi tanaman, sedangkan inokulum FMA meningkatkan serapan P
melalui perluasan permukaan akar oleh hifa eksternal dan menyerap P organik
serta mengubahnya menjadi P anorganik yang dapat diserap tanaman dengan
bantuan enzim fosfatase asam yang dihasilkan oleh FMA dan sel-sel tanaman
tersebut.
Tabel 18. Pengaruh pemupukan P dan inokulum FMA terhadap serapan unsur P
bibit aren pada 24 MSP
Perlakuan
1.
2.
3.
Pemupukan P
Tanpa pemupukan
Pemupukan P
Inokulum FMA
Tanpa inokulum
Inokulum indigenous
Inokulum mycofer
Interaksi
Keterangan :
Serapan unsur P
---------------------(g/tanaman)--------------------0.026 b
0.049 a
0.026 b
0.044 a
0.043 a
tn
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan perlakuan yang
sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%;
tn = tidak berpengaruh nyata pada taraf 5%; MSP = Minggu Setelah Perlakuan.
41
Jumlah Spora
Interaksi antara pemupukan P dan inokulum FMA berpengaruh nyata
terhadap jumlah spora pada 24 MSP. Interaksi yang terjadi antara pemupukan P
dengan inokulum FMA pada 24 MSP menunjukkan adanya peran inokulum FMA
terhadap jumlah spora bibit aren. Perlakuan inokulum FMA tanpa pemupukan P
memiliki nilai jumlah spora yang lebih besar dibandingkan perlakuan inokulum
FMA dengan pemupukan P (Tabel 19). Sedikitnya jumlah spora pada perlakuan
inokulum FMA dengan pemupukan P disebabkan oleh kandungan P tersedia
dalam tanah sangat tinggi berkisar antara 170.5-223.4 ppm (Tabel 5). Tingginya P
tersedia di dalam tanah oleh pemupukan P menyebabkan terhambatnya
perkembangan FMA di dalam tanah. Hal ini didukung oleh pernyataan Hidayat
(2003), yang menyatakan bahwa kandungan unsur P yang tinggi menghambat
perkembangan FMA.
Tabel 19. Interaksi pemupukan P dan inokulum FMA terhadap rata-rata jumlah
spora bibit aren pada 24 MSP
Pemupukan P
Tanpa pemupukan
Pemupukan P
Keterangan :
Inokulum FMA
Tanpa
Inokulum
Inokulum
inokulum
indigenous
mycofer
------------------(spora FMA per 50 g tanah)------------1.7 d
70.3 a
68.3 a
14.3 cd
34.7 bc
59.7 ab
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.
Persen Infeksi Akar
Interaksi antara pemupukan P dan inokulum FMA berpengaruh nyata
terhadap persen infeksi akar pada 24 MSP. Interaksi yang terjadi antara
pemupukan P dengan inokulum FMA pada 24 MSP menunjukkan adanya peran
inokulum FMA terhadap persen infeksi akar bibit aren. Perlakuan inokulum FMA
tanpa pemupukan P memiliki nilai persen infeksi akar yang lebih besar
dibandingkan dengan perlakuan inokulum FMA dengan pemupukan P (Tabel 20).
Tabel 20. Interaksi pemupukan P dan inokulum FMA terhadap rata-rata persen
infeksi akar bibit aren pada 24 MSP
Pemupukan P
Tanpa pemupukan
Pemupukan P
Keterangan :
Inokulum FMA
Tanpa
Inokulum
Inokulum
inokulum
indigenous
mycofer
---------------------------------(%)--------------------------------0.0 c
70.0 a
46.7 b
3.3 c
40.0 b
43.3 b
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.
Mekanisme infeksi akar terdiri atas 3 tahap, yaitu: (1) Pra infeksi, spora dari
mikoriza berkecambah membentuk appressoria, (2) Infeksi, dengan appressoria
mikoriza melakukan penetrasi pada akar tanaman, (3) Pasca infeksi, setelah
melakukan penetrasi, hifa akan tumbuh secara intraseluler (Smith dan Read 1997).
Pemupukan P menghambat infeksi akar oleh mikoriza pada tahap infeksi. Hal ini
42
diduga pada kondisi pemupukan P, akar menyerap ion-ion fosfat dalam larutan
tanah karena adanya perbedaan gradien konsentrasi unsur hara di daerah
perakaran sehingga menyebabkan appressoria mikoriza tidak mampu melakukan
penetrasi ke akar tanaman pada kondisi P tersedia sangat tinggi di dalam tanah
oleh pemupukan P (Tabel 5). Tamin (2010) menyatakan bahwa pemupukan
khususnya pupuk fosfat dan nitrogen mengakibatkan penurunan infeksi akar.
Dengan demikian, pemupukan P berpengaruh negatif terhadap parameter persen
infeksi akar.
Infeksi akar pada penelitian ini hanya ditemukan struktur FMA yang terdiri
atas hifa internal dan eksternal, sedangkan vesikula dan arbuskula tidak ditemukan.
Hal ini diduga dalam simbiosisnya tumbuhan mendorong FMA untuk menyerap
nutrien di lapangan sehingga pembentukan hifa eksternal lebih dominan. Hifa
internal berfungsi sebagai alat translokasi unsur hara, eksternal berfungsi
menyerap unsur hara dan air. Vesikula berfungsi sebagai tempat cadangan
makanan terutama lipid, sedangkan arbuskula merupakan struktur infeksi yang
sangat penting dalam simbiosis FMA, karena arbuskula berfungsi dalam proses
transfer unsur hara antara kedua simbion (fungi dengan akar tanaman) (Smith dan
Read 1997).
A
B
Gambar 5. Infeksi FMA pada bibit aren. A = akar yang tidak terinfeksi, B = Hifa
internal
Efisiensi pemupukan
Efisiensi pemupukan adalah perbandingan jumlah hara yang diserap oleh
tanaman dengan jumlah hara yang diberikan, dengan asusmsi bahwa tanaman
menyerap hara yang berasal dari pupuk anorganik yang diberikan. Efisiensi
pemupukan dihitung pada perlakuan pemupukan P, yaitu perlakuan P1M0
(pemupukan P tanpa inokulum), P1M1 (pemupukan P dengan inokulum FMA
indigenous), dan P1M2 (pemupukan P dengan inokulum FMA mycofer). Hasil
perhitungan efisiensi pemupukan pada perlakuan P1M0, P1M1, dan P1M2
menunjukkan bahwa nilai efisiensi pemupukan P masing-masing sebesar 1.34%,
2.15%, dan 1.83% (Tabel 21). Nilai efisiensi pemupukan pada perlakuan
pemupukan P dengan inokulum FMA (indigenous dan mycofer) memiliki nilai
efisiensi pemupukan lebih besar dibandingkan perlakuan pemupukan P tanpa
inokulum. Hal ini mengindikasikan bahwa inokulum FMA memiliki peran dalam
peningkatan serapan hara P bagi tanaman. Peningkatan serapan P sebagian besar
karena hifa eksternal dari FMA, hifa eksternal menyediakan permukaan yang
lebih efektif dalam menyerap unsur hara dari tanah yang kemudian dipindahkan
ke akar inang (Kramadibrata 1993).
FMA menyerap fosfat organik dan mengubahnya menjadi fosfat anorganik
yang dapat diserap tanaman dengan adanya bantuan enzim fosfatase asam yang
dihasilkan oleh FMA dan sel-sel tanaman tersebut. Gunawan (1993) menjelaskan
43
bahwa enzim fosfatase asam yang dihasilkan oleh hifa FMA yang sedang aktif
tumbuh dan peningkatan aktivitas fosfatase pada permukaan akar sebagai hasil
infeksi FMA menyebabkan fosfat anorganik dibebaskan dari fosfat organik pada
daerah dekat permukaan sel sehingga dapat diserap melalui mekanisme serapan
hara. Efisiensi hara P secara umum adalah sebesar 10-15% (Busyra 2010).
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa terdapat hara P yang tidak terserap
oleh tanaman (Tabel 21). Hara yang tidak terserap oleh tanaman terjadi karena
pupuk yang diberikan tercuci (leaching), mengalami penguapan dan terikat oleh
partikel mineral liat dan koloid tanah sehingga tidak tersedia bagi tanaman
(Tisdale dan Nelson 1985; Brady dan Weil 2002).
Jumlah pupuk P pada perlakuan P1M0, P1M1, dan P1M2 yang tidak
terserap masing-masing sebesar 98.55%, 97.82%, dan 98.18% (Tabel 21). Hasil
penelitian Darwis pada kelapa sawit (2012) menunjukkan bahwa pupuk P yang
tidak terserap tertinggi pada pupuk P sebesar 84.9%, terendah pada pupuk N
sebesar 73.7%, sementara untuk pupuk K mencapai 75.5%. Brady dan Weil
(2002) menyatakan bahwa rendahnya serapan P disebabkan oleh sebagian besar P
terikat oleh kation Al dan Fe dan tidak mudah larut dalam larutan tanah sehingga
tidak tersedia dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman.
Tabel 21. Efisiensi pemupukan P pada perlakuan dosis pupuk 6.3 g P tanaman-1
Uraian
P1M0
Pupuk (g)
Serapan tanaman (g)
Efisiensi pemupukan (%)
Pupuk yang tidak terserap (%)
2.75
0.04
1.34
98.55
Kadar hara fosfor
P1M1
2.75
0.06
2.15
97.82
P1M2
2.75
0.05
1.83
98.18
Keterangan: P1M0 = pemupukan P tanpa inokulum; P1M1 = pemupukan P dengan inokulum
FMA indigenous; P1M2 = pemupukan P dengan inokulum FMA mycofer.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Hasil uji keefektifan menunjukkan bahwa inokulum FMA indigenous
mampu meningkatkan pertumbuhan bibit aren berdasarkan parameter tinggi
tanaman, panjang pelepah daun, diameter pangkal pelepah, bobot kering tajuk,
biomassa total, serapan hara P, jumlah spora, dan persen infeksi akar. Interaksi
yang terjadi antara pemupukan P dengan inokulum FMA menunjukkan adanya
peran inokulum FMA terhadap panjang pelepah daun, jumlah spora, dan persen
infeksi akar dengan nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan inokulum FMA
indigenous tanpa pemupukan P.
Saran
Inokulasi FMA pada bibit aren dengan status hara P tanah yang rendah
dapat meningkatkan serapan P sehingga tidak memerlukan pemupukan P
anorganik. Penelitian lanjutan di lapangan dengan penanaman bibit aren
bermikoriza diperlukan untuk melihat keefektifan inokulasi FMA terhadap
pertumbuhan tanaman.
44
DAFTAR PUSTAKA
Abbot LK, Robson AD, De Boer G. 1984. The effect of phosporus on the
formation of hyphae in soil by the vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi,
Glomus fasciculatum. New Phytol. 97:347-356.
Akuba RH. 2004. Profil aren. Di dalam: Effendi DS, editor. Prospek
Pengembangan Tanaman Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)
Mendukung Kebutuhan Bioetanol di Indonesia; 2010 Jan 11; Bogor,
Indonesia. Bogor (ID): Litbang Deptan. hlm 15-21.
Alexopoulos CJ, Mims CW, Blackwell M. 1996. Introductory mycology. 4th Ed.
United States of America (US): John Wiley & Sons Inc.
Bagyaraj DJ. 1991. Ecology of vesikula-arbuskula mycorrhizae. In: Dilip KA,
editor. Mycorrhizae and Endophytic Fungi. Soil and plants handbook of
applied mycology. New York (US): Marcell Dekker Inc.
Bearley FQ. 2012. Ecthomycorrhizal association of the Dipterocarpaceae.
Biotropica. 4(5):637-648.
Bentivenga SP, Morton JB. 1995. A monograph of the genus Gigaspora,
incorporating development patterns of morphological characters. Mycologia.
87:720-732.
Bertham YH. 2006. Pemanfaatan FMA dan Bradyrhizobium dalam meningkatkan
produktivitas kedelai pada sistem agroforestri kayu bawang (Scorodocarpus
borneensis Burm.F) di Ultisol [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Bever JD. 2002. Host-specifity of AM fungal population growth rates can
generate feed back on plant growth. Plant and Soil. 244(1-2):281-290.
Bowen GD. 2000. The biology and physiology of VA mycorrhizal infection and
its development. In: Ecophysiology of VA Mycorrhizal Plants. Boca Raton
Florida (US): CRC Press. p 32-36.
[BPKPL] Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (ID). 2014. Sumber benih dan
teknologi pembibitan aren [Internet]. [diunduh 2014 Maret 2]; Tersedia
pada: http://[email protected].
Brady NC, Weil RR. 2002. The Nature and Properties of Soils. 31th ed. New York
(US): Prentice Hall.
Bronick CJ, Lal R. 2005. Soil structure and management [review]. Geoderma.
124(1-2):3-22.
Brundrett M, Abbott LK, Jasper JA. 1999. Glomalean mycorrhizal fungi from
tropical Australia. I. Comparison of the effectiveness and specificity of
different isolation procedures. Mycorrhiza. 8:305-314.
Brundrett M, Dells B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working with Mychorrhizas
in Forestry and Agriculture. Canberra (AU): ACIAR.
Brundrett MC. 2004. Diversity and classification of mycorrhizal associations.
Biol.Rev.79:473-495.
Budiyanto W. 2003. Pengaruh inokulasi cendawan mikoriza arbuskula dan
pemangkasan akar terhadap pertumbuhan bibit jati (Tectona grandis L. f.) di
persemaian Pusbag SDH Perum Perhutani, Cepu, Jawa Tengah [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
45
Busyra BS. 2010. Kebutuhan fosfor berdasarkan status hara fosfat lahan sawah di
provinsi Jambi. J Agron Indonesia. 8(1):69-74.
Chantaraboon A, Burikam I, Pampasit S, Pongsattayapipat R. 2009. Improvement
of sexual propagation in sugar palm (Tao) (Arenga westerhoutii Griff)
seeds. Thai J Agric Sci. 42(3):67-70.
Chantaraboon A, Burikam I, Pampasit S, Pongsattayapipat R. 2010. Method for
the economic recovery of sugar palm (Tao) (Arenga westerhoutii Griff).
comunity forests. Songklanakarin J Sci Technol. 32(4):357-362.
Clark RB. 1997. Arbuscular mycorrhizal adaptation, spore germination, root
colonization, and host plant growth and mineral acquisition at low pH. Plant
Soil. 192:15-22.
Damayanti ND, Rini MV, Evizal R. 2014. Respon pertumbuhan bibit kelapa sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) terhadap jenis fungi mikoriza arbuskula pada dua
tingkat pemupukan NPK. J Penel Perta Terap. 15(1): 33-40.
Darmawan. 2006. Aktivitas fisiologi kelapa sawit belum menghasilkan melalui
pemberian nitrogen pada dua tingkat ketersediaan air tanah. J Agrivigor.
6:41-48.
Darwis A. 2012. Optimasi dosis pupuk nitrogen dan fosfor pada bibit kelapa sawit
(Elaeis guineensis jacq.) di pembibitan utama [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Delvian. 2003. Keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskula di hutan pantai
dan potensi pemanfaatannya. Studi kasus di hutan cagar alam Leuweung
Sancang Kabupaten Garut, Jawa Barat [disertasi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
[Ditjenbun] Direktorat Jendral Perkebunan. 2011. Statistik Perkebunan Aren
2009-2011. Jakarta (ID): Kementan RI. hlm 3-20.
Driver JD, Holben WE, Rillig MC. 2005. Characterization of glomalin as a hyphal
wall component of arbuscular mycorrhizal fungi. Soil Biology and
Biochemistry. 37(1):101-106.
Elberson W, Oyen L. 2010. Sugar palm (Arenga pinnata). FACT Foundation.
Florido HB, de Mesa PB. 2003. Sugar palm (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.).
Research information series on ecosystems 15(2).
Fakuara MY. 1988. Mikoriza, Teori dan Kegunaan dalam Praktek. Bogor (ID):
PAU IPB.
Furqoni H. 2014. Karakterisasi dan respon pertumbuhan aren (Arenga Pinnata
(Wurmb) Merr.) pada tingkat naungan berbeda selama fase pembibitan
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Gerdemann JW, Nicolson. 1963. Spores of mycorrhizae Endogone extracted from
soil by wet sieving and decanting. Trans. Br. Mys. Soc. 46:235-244.
Giovannetti M, Mosse B. 1980. An evaluation of techniques for measuring
vesicular arbuscular mychorizal infection in roots. New Phytol. 84:489-500.
Gunawan AW. 1993. Mikoriza Arbuskula. Bogor (ID): PAU IPB.
Hanafiah KA. 2001. Pengaruh inokulasi ganda fungi mikoriza arbuskular dan
Azospirilium brasilience dalam peningkatan efisiensi pemupukan P dan N
pada padi sawah tadah hujan [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
46
Hanapiah T. 1997. Pengaruh inokulasi mikoriza arbuskula dan pemupukan fosfor
terhadap pertumbuhan bibit kopi arabika (Coffe arabica L.) [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Harada K, Mogea JP, Rahayu M. 2005. Diversity, conservation and local
knowledge of rattans and sugar palm in Gunung Halimun National Park,
Indonesia. Palms. 49(1):25-35.
Hardjowigeno S. 2010. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo.
Hartley CWS. 1977. The oil palm. New York (US): Longman Inc.
Hasbi R. 2005. Studi diversitas fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada berbagai
tanaman budidaya di lahan gambut Pontianak [skripsi]. Pontianak (ID):
Universitas Panca Bhakti.
Hebbar SS, Ramachandrappa BK, Nanjappa HV, Prabhakar M. 2004. Studies on
NPK drip fertigation in field grown tomato (Lycopersicon esculentum
Mill.). Europ J Agro. 21:117-127.
Hetrick BAD. 1984. Ecology of vesikular-arbuskular mycorrizal fungi. In: Powell
CL, Bagyaraj DJ, editor. Vesicular-Arbuscular Mycorriza. Florida (US):
CRS Press Inc.
Hidayat MF. 2003. Pemanfaatan asam humat dan omega pada pemberian pupuk
NPK terhadap pertumbuhan Gmelina arborea Roxb. yang diinokulasikan
cendawan mikoriza arbuskula (CMA) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Hunt R. 1990. Basic growth analysis: Plant growth analysis for beginners.
London (UK): Unwin Hyman Ltd.
Ibrahim MH, Jaafar HZE, Harun MH, Yusop MR. 2010. Changes in growth and
photosynthetic pattens of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) Seedlings
exposed to short-term CO2 enrichment in a closed top chamber. Acta
Physiol Plant. 32: 305-313.
Imas, Hadioetomo TRS, Gunawan AW, Setiadi Y. 1989. Mikrobiologi Tanah. Ed
ke-2. Bogor (ID): PAU Bioteknologi IPB.
[INVAM] International culture collection of Vesikular Arbuscular Mychorizal
fungi (US). 2014. The Fungi: classification, nomenclature and species
descriptions [Internet]. [diunduh 2014 Maret 3]; Tersedia pada:
http://invam.caf.wvu.edu
Kartika E. 2006. Tanggap pertumbuhan, serapan hara dan karakter morfosiologi
terhadap cekaman kekeringan pada bibit kelapa sawit yang bersimbiosis
dengan CMA [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[Kementan] Kementerian Pertanian (ID). 2015. Basis data statistik pertanian
[Internet].
[diunduh
2015
Februari
26];
Tersedia
pada:
http://aplikasi.pertanian.go.id
Kramadibrata. 1993. Jenis-jenis jamur Glomales dari DAS Cisadane. J Mikrobio
Indonesia. 2(2): 24-26
Kramadibrata. 2012. Jamur arbuskula di Taman Nasional Ujung Kulon. Berita
Biol. 11(2):205-209.
Mansur I. 2007. Prospek dan potensi pemanfaatan simbiosis mikoriza. Di dalam:
Makalah Workshop Mikoriza, Kongres Nasional Mikoriza Indonesia II;
2007 Juli 17-18. Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Asosiasi Mikoriza
Indonesia.
47
Marx D, Kenny D. 1982. Production of ectomycorrhizal fungi inoculum. In:
Schenck NC, editor. Methods and Priciples of Mycorrhizal Research.
Minnesota (US): The American Phytopathological Society. p 131-146.
Matana YR. 2013. Pengaruh penyadapan dan posisi tandan terhadap mutu benih
serta teknik konservasi kecambah terhadap pertumbuhan bibit aren (Arenga
pinnata (Wurmb) Merr) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Mogea J, Seibert B, Smits W. 1991. Multipurpose palm: the sugar palm (Arenga
pinnata (Wurmb) Merr.) Agroforestry systems. 13:111-129.
Morton JB, Benny GL. 1990. Revised classification of arbuscular mychorrizal
fungi (Zygomycetes). Mycotaxon. 37:471-491.
Muin A. 2003. Pertumbuhan anakan ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz)
dengan inokulasi cendawan mikoriza arbuskula (CMA) pada berbagai
intensitas cahaya dan dosis fosfat alam [disertasi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Mujahidin, Sutrisno, Dian L, Handayani T, Izu AF. 2003. Aren Budi daya dan
Prospeknya. Bogor (ID): LIPI.
Muok BO, Ishii T. 2006. Effect of arbuscular mycorrhizal fungi on tree growth
and nutrient uptake of Sclerocarya birrea under water stress, salt stress and
flooding. J Japan Soc For Hort Sci. 75(1):26-31.
Nova H. 2005. Pemanfaatan tanah dari bawah tegakan jati Muna di Sulawesi
Tenggara sebagai sumber inokulum CMA [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Nusantara AD, Bertham YH, Mansur I. 2012. Bekerja dengan Fungi Mikoriza
Arbuskula. Bogor (ID): IPB Press.
Nusantara AD. 2007. Baku mutu inokulum fungi mikoriza arbuskula. Di dalam:
Kongres Nasional Mikoriza Indonesia II; 2007 Juli 17-18. Bogor, Indonesia.
Bogor (ID): Asosiasi Mikoriza Indonesia.
Oehl F, Sieverding E, Ineichen K, Mader P, Boller T, Wiemken A. 2003. Impact
of land use intensity on the species diversity of arbuscular mychorrhizal
fungi in agroecosytems of Centeral Europe. Appl Environ Microbiol. 69(5):
2816-2824.
Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, Simsons A. 2009. Agroforesty
database: a tree reference and selection guide version 4.0.
Pahan I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Phillips JM, Hayman DS. 1970. Improved procedures for clearing roots and
staining parasitic and vesicular-arbuscular mychorizal fungi for rapid
assessment of infection. Transact Brit Mycol Soc. 55:158-161.
Polnaja M. 2000. Potensi aren sebagai tanaman konservasi dan ekonomi dalam
pengusahaan hutan rakyat. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
5:4 (kol 1-3).
Pongsattayapipat R, Barfod A. 2009. Economic botany of sugar palms (Arenga
pinnata Merr. and Arenga westerhoutii Griff., Arecaceae) in Thailand. Thai
J Botany. 1(2):103-269.
Porter WM. 1979. The Most Probable Number method for enumerating infective
propagules of VAM fungi in soil. Aust. J Soil Res. 17: 515-519.
48
Puspitasari RT, Sukarno N, Kramadibrata K, Setiadi D. 2010. Identifikasi jamur
mikoriza arbuskula asal hutan pantai Ujung Genteng, Sukabumi- Jawa
Barat. Di dalam: Semangun H, Karwur FF, Martosupono M, Notosudarmo
S, editor. Prosiding Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini; 2009
November 24-25; Salatiga, Indonesia. Salatiga (ID): Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga. hlm 309-326.
Querejeta JI, Allen MF, Caravaca F, Roldan A. 2006. Differential modulation of
host plant delta 13C and delta 18O by native and nonnative arbuscular
mycorrhizal fungi in a semiarid environment. New Phytol. 169(2):379-387.
Raguphaty S, Mahadevan A. 1991. Vesicular Arbuscular Mychorrhizal (VAM)
distribution influenced by salinity gradient in a coastal tropical forest.
Didalam: Soerianegara, Supriyanto, editor. Proceeding of second Asian
Conference on Mychorriza; 1991 Mar 11-15; Bogor, Indonesia. Bogor (ID):
SEAMEO BIOTROP. hlm 91-97.
Rajapakse S, Miller JC. 1992. Methods for studying vesicular-arbuscular
mycorrhizal root colonization and related root physical properties. Norris
JR, Read DJ, dan Varma AK, editor. Sandiego (US): Academic Pr.
Rao S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Susilo H,
Penerjemah. Jakarta (ID): UI Press. Terjemahan dari: Soil Microorganism
and Plant Growth.
Redecker, D., Schussler A, Stockinger H, Sturmer S, Morton J, dan Walker C.
2013. An evidence-based consensus for the classification of arbuscular
mycorrhizal fungi (Glomeromycota). Mycorrhiza [Internet]. [diunduh 20
November 2014]; tersedia pada: doi:10.1007/s00572-013-0486-y.
Rindengan B, Manaroinsong E. 2009. Aren, tanaman perkebunan penghasil bahan
bakar nabati (BBM). Di dalam: Effendi DS, editor. Prospek Pengembangan
Tanaman Aren (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.) Mendukung Kebutuhan
Bioetanol di Indonesia; 2010 Januari 11; Bogor, Indonesia. Bogor (ID):
Litbang Deptan. hlm 15-21.
Rini MV. 2011. Populasi dan keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula pada
tiga tipe penggunaan lahan yang berbeda di Sumber Jaya Lampung. Di
dalam: Budi SW, Turjaman M, Mardatin NF, Nusantara AD, Trisilawati O,
Sitepu IR, Wulandari AS, Riniarti M, Setyaningsih L, editor. Prosiding
Seminar Naional Mikoriza II; 2007 Jul 17-21; Bogor, Indonesia. Bogor
(ID): SEAMEO BIOTROP. hlm 177-181.
Rofik A, Murniati E. 2008. Pengaruh perlakuan deoperlukasi benih dan media
perkecambahan untuk meningkatkan viabilitas benih aren (Arenga pinnata
(Wurmb) Merr). Bul. Agronomi. 36:33-40.
Schussler A, Walker C. 2010. The Glomeromycota. A species list of with new
families and new genera. Jerman (DE): Oregon State Univ.
Setiadi Y, Hariangbanga G. 2007. Revegetation Techniques for Rehabilitating
Degraded
Land After Post Mining and Oil/Gas Operation. [tidak
dipublikasikan]
Setiadi Y. 1988. Peranan Spesifik Mikroorganisme untuk Memacu Pertumbuhan
Tanaman Hutan. Bogor (ID): Laboratorium Silvikultur IPB.
Setiadi Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Kehutanan. Bogor (ID):
PAU Bioteknologi IPB.
Setiadi Y. 1992. Mikoriza dan Pertumbuhan Tanaman. Bogor (ID): PAU IPB.
49
Setiadi Y. 1996. Mengenal Fungi Mikoriza Arbuskula dan Prospek Aplikasinya
sebagai Pupuk Biologis untuk Pertumbuhan dan Kualitas Semai Tanaman
Kehutanan. Bogor (ID): PAU IPB.
Shaheen AM, Mouty MMA, Ali AH, Rizk FA. 2007. Natural and chemical
phosporus fertilizers as affected onion plant growth, bulbs yield and its
some physical and chemical properties. Austral J Basic Appl Sci. 1:519-524.
Sieverding E. 1991. Vesicular Arbuscular Mycorrhiza management in tropical
agrosystem. Eschborne. Deutsche Gesselschaft fur Technische
Zusammenarbeit (GTZ).
Smith SE, Read DJ. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. 2nd ed. San Diego (US):
Academic Press.
Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. 3rd ed. San Diego (US):
Academic Press.
Smits WTM. 1996. Arenga pinnata (Wurmb) Merrill. Flach M dan Rumawas F,
editor. Bogor (ID): Prosea Foundation.
Subramanian KS, Santhanakrishnan P, Balasubramanian P. 2006. Responses of
field grown tomato plants to arbuscular mycorrhizal fungal colonization
under varying intensities of drought stress. Scientia Horticulturae.
107(3):245-253.
Sudradjat, Darwis A, Wachjar A. 2014. Optimasi dosisi pupuk nitrogen dan fosfor
pada bibit kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di pembibitan utama. J
Agron Indonesia. 42(3):222-227.
Suhardi. 1997. Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA). Yogyakarta (ID): PAU
Bioteknologi UGM.
Susanti S. 2004. Pengujian inokulum cendawan mikoriza arbuskula yang berasal
dari bawah tegakan jati dan non jati pada tanaman jati (Tectona grandis
Linn. f.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sylvia DM. 2004. Overview of mycorrhizal symbiosis: Based on a chapter in
prinsples and application of soil microbiology [Internet]. [diunduh 9 Maret
2014]; tersedia pada: http://Cropsoil.psu.edu.
Tamin RP. 2010. Pertumbuhan semai jabon (Anthocephalus cadamba Roxb
Midq.) pada media pasca penambangan batubara yang diperkaya fungi
mikoriza arbuskula, limbah batu bara dan pupuk NPK [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Tisadle SL, Nelson WL, Benton JD. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. New
York (US): Macmilian Publ.
Tuheteru FD, Basri A, Budiarti WS, Ibrahim S. 2007. Keanekaragaman FMA
pada ekosistem hutan dan savana di Taman Nasional Rawa Aopa
Watumohai, Sulawesi Tenggara Indonesia. Di dalam: Budi SW, Turjaman
M, Mardatin NF, Nusantara AD, Trisilawati O, Sitepu IR, Wulandari AS,
Riniarti M, Setyaningsih L, editor. Prosiding Seminar Naional Mikoriza II;
2007 Jul 17-21; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): SEAMEO BIOTROP. hlm
210-217.
Tuheteru FD. 2003. Aplikasi asam humat terhadap sporulasi CMA dari bawah
tegakan alami Sengon [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
50
Turjaman M, Tamai Y, Santoso E, Osaki M, Tawaraya K. 2006. Arbuscular
mychorizal fungi increased early growth of two nontimber forest product
species Dyera polyphylla and Aquilaria filaria under greenhouse condition.
Mycorrhiza. 16:459-464.
Umam MD. 2004. Kajian efektivitas inokulasi mikoriza dengan penambahan
tepung tulang dan batuan fosfat serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan
semai jati (Tectona grandis Linn. f.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
van Aerle IM, Cavagnaro TR, Smith SE, Smith FA, Dickson S. 2005. Metabolic
activity of Glomus intraradices in Arum- and Paris-type arbuscular
mycorrhizal colonization. New Phytologist. 166(2):611-618.
Walker C, Sanders FE. 1986. Taxonomic concepts in the endogoneceae: III. The
separation of Scutellospora gen. nov. from Gigaspora Gerd dan Trappe.
Mycotaxon. 27: 169-182.
Widiastuti H, Guhardja RE, Soekarno N, Darusman LK, Goenadi DH, Smith S.
2002. Optimasi simbiosis cendawan mikoriza arbuskula Acaulospora
tubercalata dan Gigaspora margarita pada bibit kelapa sawit di tanah
masam. Menara perkebunan. 70:49-56.
Widiastuti H. 2004. Biologi interaksi cendawan mikoriza arbuskula kelapa sawit
pada tanah masam sebagi dasar pengembangan teknologi aplikasi dini
[disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
51
LAMPIRAN
52
Lampiran 1. Kriteria penilaian sifat kimia tanah (Hardjowigeno 2010)
Sifat tanah
C (%)
N (%)
C/N
P2O5 HCl
P2O5 Bray 1(ppm)
P2O5 Olsen (ppm)
K2O HCl
KTK (Me/100g)
K (me/100g)
Na (me/100g)
Mg (me/100g)
Ca (me/100g)
Kejenuhan basa (%)
Kejenuhan Al (%)
pH H2O
Sangat
Masam
< 4.50
Sangat
Rendah
< 1.00
< 0.10
< 5.00
< 10.00
< 10.00
< 10.00
< 10.00
< 5.00
< 0.10
< 0.10
< 0.40
< 2.00
< 20.00
< 10.00
Rendah
1.00-2.00
0.10-0.20
5.00-10.00
10.00-20.00
10.00-15.00
10.00-25.00
10.00-20.00
5.00-16.00
0.10-0.20
0.10-0.30
0.40-1.00
2.00-5.00
20.00-35.00
10.00-20.00
Masam
4.50-5.50
Agak
Masam
5.50-6.50
Sedang
2.01-3.00
0.21-0.50
11.00-15.00
21.00-40.00
16.00-25.00
26.00-45.00
21.00-40.00
17.00-24.00
0.30-0.50
0.40-0.70
1.10-2.00
6.00-10.00
36.00-50.00
21.00-30.00
Netral
6.60-7.50
Tinggi
3.01-5.00
0.51-0.75
16.00-25.00
41.00-60.00
26.00-35.00
46.00-60.00
41.00-60.00
25.00-40.00
0.60-1.00
0.80-1.00
2.10-8.00
11.00-20.00
51.00-70.00
31.00-60.00
Agak
Alkalis
7.60-8.50
Sangat
Tinggi
> 5.00
> 0.75
> 25.00
> 60.00
> 35.00
> 60.00
> 60.00
> 40.00
> 1.00
> 1.00
> 8.00
> 20.00
> 70.00
> 60.00
Alkalis
> 8.50
53
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tegal pada tanggal 26 September 1990 sebagai anak
pertama dari pasangan (Alm.) Abdul Ghoffar dan Sri Mujiharsih. Pada tanggal 11
Januari 2015 penulis menikah dengan Kiki Sri Lestari.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Negeri
Slawi Wetan II Slawi-Tegal (Tahun 2002), sekolah menengah pertama di
Madrasah Tsanawiyah Negeri Slawi- Tegal (Tahun 2005) dan sekolah menengah
atas di Sekolah Menengah Atas 3 Slawi-Tegal (Tahun 2008).
Pendidikan sarjana ditempuh di program studi Agroteknologi, Fakultas
Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, lulus pada tahun 2013.
Pada tahun 2013 penulis mendapatkan kesempatan Beasiswa Pendidikan
Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) Calon Dosen untuk melanjutkan ke
program magister di program studi Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis juga mengikuti kegiatan The Spring Bioresource Program yang
diselenggarakan oleh College of Bioresource, Mie University, Japan pada 15
Maret – 18 April 2015 . Pada kegiatan tersebut penulis menyampaikan sebagian
hasil penelitian.
Download