BAB 1 PERJUANGAN MENGHADAPI DISINTERGRASI BANGSA A. Mengatasi pergolakan di daerah dan disintegrasi bangsa 1. APRA ( Angkatan Perang Ratu Adil ) Waktu : 23 Januari 1950 Latar belakang : APRA menuntut supaya APRA diakui sebagai Tentara Pasundan dan menolak dibubarkannya Pasundan/negara Federal tersebut. Pemimpin : Kapten Raymond Westerling Cara mengatasi : Melakukan gerakan operasi militer Hasil : Sultan Hamid II berhasil ditangkap pada tanggal 4 April 1950. Akan tetapi, Westerling berhasil melarikan diri ke luar negeri Pemberontakan ini dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling bekas tentara KNIL. Tujuannya agar pemerintah RIS dan negara Pasundan mengakui APRA sebagai tentara negara Pasundan dan agar negara Pasundfan tidak dibubarkan/dilebur ke dalam NKRI. 2. Pemberontakan Andi Azis Waktu : 5 Januari 1950 Latar belakang : Menyerang gedung tempat berlangsungnya sidang kabinet Pemimpin : Andi Azis Cara penumpasan : Pada tanggal 8 April 1950 dikeluarkan ultimatum bahwa dalam waktu 4x24 jam Andi Azis harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hasil : pasukannya harus dikonsinyasi, senjata-senjata dikembalikan, dan semua tawanan harus dilepaskan. Beliau merupakan komandan kompi APRIS yang menolak kedatangan TNI ke Sulawesi Selatan karena suasananya tidak aman dan terjadi demonstrasi pro dan kontra terhadap negara federasi. Ia dan pasukannya menyerang lapangan terbang, kantor telkom, dan pos-pos militer TNI. Pemerintah mengeluarkan ultimatum agar dalam tempo 4 x 24 jam ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. 3. RMS ( Republik Maluku Selatan ) Waktu : 25 April 1950 Latar belakang : Tidak puas dengan terjadinya proses kembali ke NKRI Pemimpin : Dr. Christian Robert Steven Soumokil Cara penumpasan : diselesaikan secara damai dengan mengirimlkan misi dipimpin Leimena gagal sehingga kemudian dikrimkan pasukan ekspedisi militer pimpinan Kawilarang. Hasil : Sisa – sisa kekuatan RMS banyak yang melarikan diri ke pulau seram dan membuat kekacauan akhirnya Soumokil dapat di tangkap dan jatuhi hukuman mati Pemberontakan ini dipimpin oleh Dr. Christian Robert Stevenson Soumokil bekas jaksa agung NIT ( Negara Indonesia Timur ). Ia menyatakan berdirinya Republik Maluku Selatan dan memproklamasikannya pada 25 April 1950. Pemberontakan ini dapat ditumpas setelah dibayar mahal dengan kematian Letkol Slamet Riyadi, Letkol S. Sudiarto dan Mayor Abdullah. 4. Pemberontakan PRRI/PERMESTA PRRI ( Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia ) Waktu : 15 Februari 1958 Latar belakang : Keinginan adanya otonomi yg luas Pemimpin : Letnal Kolonel Achmad Husein Cara penumpasan : Operasi militer Pemerintah mengerahkan pasukan militer terbesar di sejarah militer Indonesia Hasil : Operasi militer dipimpin AE Kaliurang berhasil kembali menguasai daerah Pemberontakan PERMESTA ( Piagam Perjuangan Rakyat Semesta ) Waktu : 7 Februari 1958 Latar belakang : Masyarakat di manado tidak puas dengan keadaan ekonomi Pemimpin : Letkol Ventje Sumual Cara penumpasan : Pemerintah Republik Indonesia menggunakan operasi militer untuk menghentikan pemberontakan Setelah Pemilu I dilaksanakan, situasi semakin memburuk dan terjadi pertentangan . Beberapa daerah merasa seolah-olah diberlakukan secara tidak adil (merasa dianaktirikan) sehingga muncul gerakan separatis di Sumatera yaitu PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) dipimpin oleh Kolonel Ahmad Husen dan PERMESTA ( Piagam Perjuangan Rakyat Semesta ) di Sulawesi Utara dipimpin oleh D.J. Somba dan Kolonel Ventje Sumual. B. Mengatasi upaya mengganti ideologi bangsa 1. PKI Madiun 1948 Waktu : 1948, dengan memproklamasikan berdirina Negara Republik Soviet Indonesia Sebab : Hasil kesepakatan Renville menguntungkan Belanda Pemimpin : Muso Cara Penumpasan : Pemerintah mengajak rakyat (Gerakan Operasi Militer I) dan melakukan penyitaan dan pelarangan terhadap beberapa surat kabar berhaluan komunis Hasil : Pemberontak ditumpas dan Madiun direbut kembali Munculnya PKI merupakan awal dari perpecahan pada SI (Sarikat Islam) yang mendapat pengaruh ISDV (Internasionalisme Sosialisme Democratise Vereeniging) yang didirikan oleh H.J.F.M Snevliet dkk pada bulan Mei 1914 di Semarang, lalu pada bulan Desember diubah menjadi PKI. Pemberontakan ini terjadi pada tahun 1948 ini merupakan pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia ketika sedang berjuang melawan Belanda yang berupaya menanamkan kembali kekuasaannya di Indonesia. Pemimpin pemberontakan ini di antaranya adalah Amir Syarifuddin dan Musso. Amir Syarifudin adalah mantan Perdana Menteri dan menandatangani Perjanjian Renville. Ia merasa kecewa karena kabinetnya jatuh kemudian membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada tanggal 28 Juni 1948 dan melakukan pemberontakan di Madiun. Sedangkan Musso adalah Tokoh PKI yang pernah gagal melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1926. Setelah gagal ia melarikan diri ke luar negeri. Selanjutnya ia pulang ke Indonesia bergabung dengan Amir Syarifuddin untuk mengadakan propaganda-propaganda anti pemerintah di bawah pimpinan Sukarno-Hatta. Front Demokrasi Rakyat (FDR) ini didukung oleh Partai Sosialis Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia, PKI, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Kelompok ini seringkali melakukan aksi-aksinya antara lain: (1) melancarkan propaganda anti pemerintah, (2) mengadakan pemogokan-pemogokan kerja bagi para buruh di perusahaan misalnya di pabrik karung di Delanggu Klaten. (3) melakukan pembunuhan-pembunuhan misalnya dalam bentrokan senjata di Solo tanggal 2 Juli 1948, Komandan Divisi LIV yakni Kolonel Sutarto secara tiba-tiba terbunuh. Pada tanggal 13 Nopember 1926 PKI melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda. Lalu pada tanggal 18 September 1948 Muso memimpin pemberontakan terhadap RI di Madiun, yang bertujuan ingin mengubah dasar negara Pancasila menjadi dasar negara Komunis. Pemberontakan ini ikut menyebar hampir di seluruh daerah Jawa Timur namun berhasil di gagalkan dengan ditembak matinya Muso sedangkan Semaun dan Dharsono lari ke Rusia. 2. DI ( Darul Islam ) / TII ( Negara Islam Indonesia ) a. Jawa Barat Waktu : 14 Agustus 1947 Latar belakang : Tidak setujunya dengan pemerintah RI saat terjadi perundingan Renville yang dianggap merugikan pemerintah Indonesia Pemimpin : Sekarmaji Maridjan Kartosuwiryo Cara penumpasan : Melakukan Operasi Militer taktik pagar besi yang menggunakan ratusan ribu rakyat untuk mempersempit ruang gerak Hasil : Pada tanggal 4 juni 1962 kartosuwiryo berhasil ditangkap di gunung beber oleh pasukan siliwangi Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo tidak setuju terhadap isi perjanjian Renville. Sewaktu TNI hijrah ke daerah RI ( Yogyakarta ) ia dan anak buahnya menolak dan tidak mau mengakui Republik Indonesia dan ingin menyingkirkan Pancasila sebagai dasar negara. Untuk itu ia memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia dengan nama Darul Islam ( DI ) b. Jawa Tengah Waktu : 23 Agustus 19 Latar belakang : Pengurusan penggabungan laskar – laskar masuk ke dalam TNI Pemimpin : Amir Fatah Cara penumpasan : Pemerintah membentuk pasukan baru yang disebut dengan Bintang Raiders Hasil : Dilakukannya operasi guntur pada tahun 1954, gerombolan Amir Fatah dapat dicerai Beraikan Dipimpin oleh Amir Fatah dan Kyai Sumolangu. Selama Agresi Militer Belanda ke II Amir Fatah diberi tugas menggabungkan laskar-laskar untuk masuk dalam TNI. Namun setelah banyak anggotanya ia beserta anak buahnya melarikan diri dan menyatakan bagian dari DI/TII. c. Sulawesi Selatan Waktu : 30 April 1950 Latar belakang : Banyak pemuda sulawesi yg tergabung dalam PRI sulawesi ikut bertempur untuk mempertahankan kota Surabaya Pemimpin : Kahar Muzakar Cara penumpasan : Dilakukan penyergapan oleh pasukan TNI dan Hasil : Kahar Muzakar tertembak mati Dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakar. Dia berambisi untuk menduduki jabatan sebagai pimpinan APRIS ( Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat ) dan menuntut agar Komando Gerilya Sulawesi Selatan ( KGSS ) dimasukkan ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin. Tuntutan tersebut ditolak oleh pemerintah sebab hanya mereka yang memenuhi syarat saja yang akan menjadi tentara maka terjadilah pemberontakan tersebut. d. Aceh Waktu : 20 September 1953 Latar belakang : Setelah proklamasi Kemerdekaan RI , di Aceh terjadi pertentangan antara alim ulama dengan para kepala asla Pemimpin : Tengku Daud Cara penumpasan : Antar prakarsa panglima kadam iskandar muda , colonel M. jann maka dilaksanakan musyawarah kerukunan rakyat aceh Hasil : Musyawarah ini mendapat dukungan dari tokoh – tokoh masyarakat aceh dan berhasil memulihkan keamanan Dipimpin oleh Daud Beureueh Gubernur Militer Aceh, karena status Aceh sebagai daerah Istimewa diturunkan menjadi sebuah karesidenan di bawah propinsi Sumatera Utara. Ia lalu menyusun kekuatan dan menyatakan dirinya bagian dari DI/TII. Pemberontakan ini dapat dihentikan dengan jalan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh ( MKRA ). e. Kalimantan Selatan Waktu : Oktober 1950 Latar belakang : Terjadi pemberontakkan kesatuan masyarakat tertindas Pemimpin : Ibnu Hajar Cara mengatasi : Melakukan gerakan Operasi militer ke Kalimantan selatan Hasil : Pada tahun 1954 ibnu hajar di tangkap dan di hukum mati pada 22 maret 1955 Dipimpin oleh Ibnu Hajar, ia menyatakan dirinya bagian dari DI/TII dengan memperjuangkan kelompok rakyat yang tertindas. Ia dan anak buahnya menyerang pospos kesatuan tentara serta melakukan tindakan pengacauan yang pada akhirnya Ibnu Hajar sendiri ditembak mati. 3. Pemberontakan G30SPKI Dalam dokrit komunis telah dinyatakan dengan jelas bahwa partai komunis dimanapun ia berada selalu bertujuan untuk merebut kekuasaan negara dengan menghalalkan segala cara dalam menyingkirkan kekuatan politiknya. Hal ini ditempuh rangka menegakkan ditaktor proletariat. a. Tahapan persiapan. PKI mulai melaksanakan kegiatan tahap ofensif revolusioner yaitu dengan melakukan tindakan sabotase, aksi sepihak dan aksi teror. 1. Tindakan sabotase terhadap sarana-sarana vital pemerintah yaitu pada tanggal 11 Januari 1964 terjadilah tabrakan kereta api di stasiun Purwokerto. 2. mengadakan gerakan ''turun bawah'' (Tuba) 3. memanfaatkan situasi anti Neokolonialisme-Imperialisme dan mengadakan demontrasi untuk memprotes kehadiran Amerika Serikat. 4. Agitasi dan propaganda untuk menciptakan situasi ofensif revolusioner, dengan tujuan untuk lebih membakar emosi massa melalui PWI 5. Isu Dewan Jenderal dalam rangka mendeskriditkan TNI-AD,PKI melandaskan isu Dewan Jenderal yang diciptakan oleh Biro Khusus PKI, sebagai bahan perang urat syaraf untuk membuat citra buruk terhadap pimpinan TNI-AD di mata masyarakat. b. Tahap pelaksanaan. b. Tahap pelaksanaan. Untuk berbagai tugas dibentuklah beberapa pasukan, yaitu : 1. Pasukan Pasopati tugasnya menculik para Jenderal TNI-AD dan membawanya ke Lubang Buaya. 2. Pasukan Bima Sakti dipimpin oleh Kapten Inf. Suradi bertugas menguasai Jakarta dan membaginya menjadi enam sektor. 3. Pasukan Gatutkaca Berfungsi sebagai cadangan yang bertugas menampung hasil penculikan serta melaksanakan pembunuhan dan penguburan korban-korban penculikan. Ketujuh korban tersebut adalah : Letjen A. Yani, Mayjen MT. Haryono, Brigjen Panjaitan, yang masing-masing dibunuh di rumahnya. Sedangkan Mayjen Suprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen Sutoyo Siswomiharjo, dan Lettu Piere Tendean dibunuh di Lubang Buaya. Selanjutnya gerakan tersebut mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi melalui RRI pada tanggal 1 Oktober 1965. Dewan Revolusi yang dipancarkan lewat RRI dibacakan oleh Letkol Untung. c. Tahap Penumpasan. Operasi penumpasan G 30 S/PKI dilakukan pada tanggal 1 Oktober 1965 dipimpin Panglima Kostrad Mayjen Suharto. Operasi penumpasan tersebut diusahakan sedapat mungkin tidak menimbulkan bentrokan senjata. Langkah-langkah yang ditempuh dalam penumpasan PKI yaitu 1. Mengkoordinasi semua angkatan yang ada yakni AL, AD, dan kepolisian melalui panglima masing-masing. 2. Menetralisir pasukan yang berada di Medan Merdeka yang dimanfaatkan PKI. 3. Pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 17.00 WIB pasukan RPKAD berhasil menduduki gedung RRI, gedung telekomunikasi, Monas dan Istana Merdeka 4. Setelah RRI berhasil dikuasai pada pukul 20.00 WIB, Mayjen Soeharto. 5. Pada tanggal 2 Oktober 1965 operasi dilanjutkan untuk merebut Lanud Halim Perdana Kusuma. 6. Operasi diteruskan dengan mencari dan menyusur para korban. 7. Tanggal 4 Oktober 1965 jenazah para korban mulai diambil dan tanggal 5 Oktober 1965 para korban mulai dimakamkan di pemakaman Taman Makam Pahlawan Kalibata. Para perwira yang menjadi korban G 30 S/PKI kemudian diangkat menjadi Pahlawan Revolusi berdasarkan Keppres/Pangti ABRI/KOTI No. III/KOTI/1965 tanggal 5 Oktober 1965. Mereka juga diberikan kenaikan pangkat setingkat secara Anumerta. C. Peran Tokoh Nasional dan Dearah Dalam Perjuangan Mempertahankan NKRI pada masa 1948-1965 1. Alex kaliwarang Aktif dalam menumpas RMS, DI/TII, Permesta, dan Andi Azis. Walapun jumlahnya lebih kecil dari pasukan APRIS yang diterjunkan ke Maluku dengan hanya berkekuatan 2 kompi. 2. A.H Nasution Berperan penting dalam perjalan sejarah TNI terutama pada peristiwa peralihan kepemimpinan orde lama ke ore baru. Dibawah pimpinan Nasution, seorang bekas guru dan perwira KNIL didikan Belanda, angkatan darat setelah revolusi melawan belanda muncul sebagai unsur mempersatukan yang kuat dengan misi dan sikap sebagai pendidik bangsa. Nasution terkenal dengan pencetus konsep dwifungsi ABRI dalam kemiliteran. 3. Ahmad Yani Merupakan salah satu dari 7 pahlaan revolusi yang meninggal dalam sebuah gerakan pemberontakan yang dikenal sebagai G-30S/PKI. Setelah Indonesia merdeka dia diangkat sebagai pimpinan Komandan tenaga kemanan rakyat (TKR) di perwokerto. Yang merupakan sejarah awal TNI. Dia berhasil menahan tentara belanda pada Agresi militer I dan II dan juga sebagai yang memimpin petang griliya di daerah Kedu. Pada zaman PKI dia melakukan penolakan atas usulan dipersenjatainya kaum buruh dan petani yang akhiranya beliau dibunuh dirumahnya pada 30 september. 4. Gatot Soebroto Pada masa penjajahan jepang , beliau bergabung dengan PETA hingga menjadi komandan batalyon. Setelah kemerdekaan beliau masuk TKR dan menjabat sebagai gubernur militer didaerah Surakarta, selanjutnya dia diangkat menjadi panglma tentara dan tetorium IV diponogoro. Beliau juga dikenal sebagai pengagas terbentuknya angkatan bersenjata republik Insonesia (AKABRI) yang sekarang menjadi akademi militer (AKMIL). 5. J. Leimena Pada tahun pertama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Leiman diangkat menjadi menteri kesehatan. Pada 1 oktober 1965 Beliau mendampingi presiden Soekarno di lanuma halim perdana kusuma dan membujuk Soekarno agar tidak terbang ke jawa tengah bersama Aidit. Sehingga terhindar dari perang saudara. 6. Sarwo Edhie Dia pemimpin satuan elit resimen pasukan komando angkatan darat (rpkd) yang sekarang dikenal dengan komando pasukan khusus (kopassus). Beliau turun sendiri ke medan pertempuran menuntaskan para pemberontak dan menenangkanmasyarakat. 7. Slamet Riyadi Salah satu keberhasilan beliau adalah merebut dan melucuti senjata tentara Jepang. Beliau juga dikenal dengan taktik geriliya. Tak hanya itu beliau bersama pasukannya suskes melancarkan “serangan umu kota solo” 7-11 Agustus 1949. Dan membuat Belanda melakukan Gencatan Senjata disusul penyerahan kota Solo ke pangkuan Indonesia. Pada tahun 1950 , saat pemberontakan RMS beliau memimpin Batalion 352 yang langsung dikirim ke Ambon dan tewas di Ambon akibat jebakan musuh di Benteng Victoria Ambon. 8. Soeharto Pada 1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI beliau memimpin angkatan darat dan ditunjuk sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekrano. Pada bulan maret 1966 beliau menerima surat perintah 11 Maret dari presiden Soekarno dangan tugas mengembalikan keamanan dan ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran pemimpin besar Revolusi Bung Karno. Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, siding istimewa MPRS maret 1967 menunjuk Soeharto sebagai Presiden dan pengukuhannya sebagai presiden RI kedua pada maret 1968. Sampai ia mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 Soal Uji Kompetensi 1. Jelaskan beberapa akibat negative dari konflik dalam kaitannya dengan Proses Integrasi Bangsa! 2. Sebutkan sifat yang menunjukkan pemerintah RI dalam menindak PKI di Madiun! 3. Jelaskan penyebab terjadinya pemberontakan PRRI dan Permesta! 4. Jelaskan awal berdirinya PKI! 5. Sebutkan penyebab makin meluasnya pengaruh PKI di masyarkat luas! BAB II Sistem dan Struktur Politik dan Ekonomi Masa Demokrasi Parlementer (19501959) A. Indonesia pada Masa Demokrasi Liberal 1. Perkembangan Politik Indonesia pada masa demokrasi Liberal a. Kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia Pada tanggal 19 Mei 1950, antara RIS dan RI mengadakan perundingan untuk mempersiapkan prosedur pembentukan NKRI di Yogyakarta. Dan menghasilkan kesepakatan. Lalu dibentuklah panitia gabungan antara RIS dan RI yang bertugas mengubah UUD RIS Menjadi UUDS 1950. Menurut UUDS 1950 , Negara kesatuan RI tetap berdasarkan Pancasila, namun rumusannya berlainan. Bentuk pemerintahan adalah Republik. Dan system pemerintahannya Demokrasi Parlementer. Maksudnya setiap kabinet yang berkuasa harus mendapat dukungan mayoritas dari parlement (DPR). Bila Mayoritas dalam DPR tidak mendukung kabinet, maka kabinet hendaknya mengembalikan mandatnya kepada presiden untuk kemudian dibentuk cabinet yang baru. b. Perkembangan Politik dalam negri Pada masa Demokrasi Liberal telah terjadi pergantian kabinet sebanyak tujuh kali, yaitu sebagai berikut. 1). Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951) Pada tanggal 22 Agustus 1950 Presiden Sukarno mengangkat Muhammad Natsir dari Masyumi sebagai formatur kabinet. Lima belas hari kemudian cabinet berhasil dibentuk dengan nama Kabinet Natsir. Program kerja Kabinet Natsir, antara lain: 1) mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilu Konstituante dalam waktu singkat 2) menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketentraman 3) memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat. 4) memajukan perekonomian, ksehatan, dan kecerdasan rakyat 5) menyempurnakan organisasi pemerintahan dan militer Salah satu keberhasilan Kabinet Natsir adalah diterimanya Indonesia sebagai anggota PBB yang ke-60 pada tanggal 28 September 1950. Akhirnya Kabinet Natsir jatuh, karena mosi Hadikusumo dari PNI tentang pembekuan dan pembubaran DPRD Sementara. 2). Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 23 Februari 1952) Dengan jatuhnya Kabinet Natsir, Presiden Sukarno menunjuk Dr. Sukiman Wiryosanjoyo dari Masyumi dan Dr. Suwiryo dari PNI untuk membentuk kabinet. Atas usaha dua orang formatur ini terbentuklah kabinet yang diberi nama Kabinet Sukiman dengan perdana menteri Dr. Sukiman dan wakil perdana menteri Dr. Suwiryo. Program kerja kabinet Sukiman antara lain: 1) menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketentraman 2) mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dalam lapangan pembangunan 3) menyelesaikan persiapan pemilihan umum Konstituante. 4) menjalankan politik luar negeri bebas aktif yang menuju perdamaian 5) memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia. Kabinet Sukiman jatuh, karena ditandatanganinya kerja sama keamanan Indonesia - Amerika Serikat berdasarkan Mutual Security Aids (MSA). 3). Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 30 Juli 1953) Kabinet Wilopo merupakan koalisi dengan tulang punggung PNI, PSI, dan Masyumi Natsir. Program kabinet Wilopo antara lain seperti berikut. 1) Bidang pendidikan dan pengajaran adalah mempercepat usaha perbaikan untuk pembaharuan pendidikan dan pengajaran. 2) Bidang perburuhan adalah melengkapi undangundang perburuhan. 3) Bidang keamanan adalah menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara. 4) Bidang luar negeri adalah meneruskan perjuangan merebut Irian Barat. Kabinet Wilopo jatuh karena Peristiwa Tanjung Morawa, Sumatra Utara yang ditunggangi oleh PKI yang berhubungan dengan masalah pembagian tanah. 4). Kabinet Ali – Wongso- Arifin atau Kabinet Ali I (1 Agustus 1953 – 24 Juli 1955) Kabinet Ali-Wongso-Arifin dibentuk pada tanggal 30 Juli 1953. Program kerja cabinet Ali-Wongso-Arifin adalah sebagai berikut. 1) Bidang dalam negeri, meliputi keamanan, pemilihan umum, kemakmuran dan keuangan, organisasi negara, serta perburuhan. 2) Bidang Irian Barat adalah mengusahakan kembalinya Irian Barat ke dalam kekuasaan wilayah RI. 3) Bidang politik luar negeri, meliputi politik luar negeri bebas aktif, peninjauan kembali tentang hasil KMB. Keberhasilan Kabinet Ali adalah pada masa pemerintahannya berhasil melaksanakan Konferensi Asia Afrika di Bandung. Terjadinya peristiwa pergantian pimpinan Kepala Staf Angkatan Darat yang dikenal dengan “Peristiwa 27 Juni 1955”, beberapa anggota parlemen mengajukan mosi tidak percaya yang diterima oleh DPR. 5). Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956) Kabinet Burhanuddin Harahap terbentuk pada tanggal 11 Agustus 1955. Program kerja Kabinet Burhanuddin Harahap antara lain: 1) mengembalikan kewibawaan moral pemerintah 2) melaksanakan pemilihan umum 3) memberantas korupsi 4) meneruskan perjuangan merebut kembali irian Barat. Keberhasilan Kabinet Burhanuddin Harapan adalah dapat menyelenggarakan pemilu pertama sejak Indonesia merdeka. Setelah hasil pemungutan suara dan pembagian kursi di DPR diumumkan, maka tanggal 2 Maret 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap mengundurkan diri, menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno, untuk dibentuk kabinet baru berdasarkan hasil pemilu. 6). Kabinet Ali II (24 Maret 1956 – 14 Maret 1957) Kabinet Ali II dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 85 Tahun 1956. Program kerja Kabinet Ali II, antara lain: 1) pembatalan hasil KMB 2) meneruskan perjuangan mewujudkan kekuasaan de facto Indonesia atas Irian Barat dan membentuk Provinsi Irian Barat 3) bidang dalam negeri, meliputi : memulihkan keamanan, memperbaiki perekonomian dan keuangan, memperkuat pertahanan, memperbaiki sistem perbuuruhan, memperluas dan meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran 4) bidang luar negeri, meliputi menjalankan politik luar negeri bebas aktif dan meneruskan kerja sama dengan negara-negara Asia Afrika. Keberhasilan Kabinet Ali II adalah membatalkan hasil KMB, membentuk Provinsi Irian Barat yang beribu kota di Soasio, Maluku Utara, dan pengiriman misi Garuda I ke Mesir. Sebab-sebab kejatuhan Kabinet Ali II. 1) Timbulnya pemberontakan di berbagai daerah 2) Adanya Konsepsi Presiden 21 Februari 1957 3) Adanya keretakan dalam tubuh kabinet, hal ini dapat dibuktikan dengan mundurnya satu per satu anggota kabinet. 7). Kabinet Juanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959) Kabinet Juanda atau Kabinet Karya dilantik pada tanggal 9 April 1957 dengan program kerja: 1) membentuk Dewan Nasional 2) normalisasi keadaan Republik Indonesia 3) melanjutkan pembatalan KMB 4) memperjuangkan Irian Barat 5) mempercepat pembangunan. Salah satu keberhasilan Kabinet Karya yaitu pada tanggal 18 November 1957 mengadakan rapat umum pembebasan Irian Barat di Jakarta. Rapat ini diikuti dengan tindakan-tindakan pemogokan kaum buruh di perusahaan Belanda dan pembentukan Front Nasional Pembebasan Irian Barat. Tanggal 5 Juli 1959 Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit, berarti negara kita kembali ke UUD 1945 dan UUDS 1950 tidak berlaku. Kabinet Juanda secara otomatis harus diganti, sehari kemudian Ir. Juanda menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno. c. Pelaksanaan Pemilu 1955 dan Konferensi Asia Afrika 1). Pemilu 1955 Pemilu 1955 menghasilkan 4 partai politik yang meraih suara terbesar yaitu Masyumi 60 anggota, PNI 58 anggota, NU 47 anggota dan PKI 32 anggota. Anggota DPR hasil pemilu 1955 yang berjumlah 272 dilantik pada tanggal 20 maret 1956. Sedangkan anggota konstitusi berjumlah 542 dilantik pada tanggal 10 November 1956. 2). Konferensi Asia Afrika Diprakarsai oleh perdana mentri RI Mr. Ali Sastroamidjojo. Dan didukung oleh Negara india, Pakistan, Srilanka, dan Burma. Sebelum KAA dilaksanakan , terlebih dahulu dilaksanakan konfrensi kolombo di srilanka (28 april-2 mei 1954) dan koferensi bogor (22-29 april 1955). KAAdi selenggarakan di gedung merdeka yang dihadiri oleh 29 Negara dan menghasilkan pencetusan sepuluh prinsip dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dikenal juga dengan Dasasila Bandung. 2. Perkembangan ekonomi Indonesia pada masa demokrasi Liberal Waktu itu dengan menerapakan kebijakan-kebijakan, di antaranya sebagai berikut : 1. Gunting Syarifuddin Kebijakan gunting Syarifuddin adalah pemotongan nilai uang. Tindakan keuangan ini dilakukan pada tanggal 20 maret 1950 dengan cara memotong semua uang yang bernilai Rp 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya. Kebijakan keuangan ini dilakukan pada masa pemerintahan RIS oleh menteri keuangan waktu itu, Syarifuddin Prawiranegara. 2. Program Benteng (Benteng Group) Gagasan program benteng dituangkan oleh Dr. Sumitro Djojohadikusumo dalam program kabinet Natsir (September-April 1951). Pada saat itu, Sumitro menjabat sebagai menteri perdagangan. Selama tiga tahun (1950-1953). lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program benteng ini. Akan tetapi, tujuan dari program ini tidak dapat dicapai dengan baik, karena para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan perusahaan nonpribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal. Kegagalan program benteng menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Walaupun dilanda krisis moneter, namun menteri keuangan pada pada masa kabinet Sukiman, Jusuf Wibisono masih memberikan bantuan kredit, khususnya kepada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah. Dengan 3. Nasionalisasi de Javasche Bank Pada tanggal 19 Juni 1951, Kabinet Sukiman membentuk Nasionalisasi de Javasche Bank. Kemudian berdasarkan keputusan-keputusan pemerintah RI No. 122 dan 123, tanggal 12 Juli 1951 pemerintah memberhentikan Dr. Houwink sebagai Presiden De Javasche Bank dan mengangkat Syarifuddin Prawiranegara sebagai presiden penggantinya. Pada tanggal 15 Desember 1951 diumumkan Undang-undang No. 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. 4. Sistem ekonomi Ali-Baba Sistem ini diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadikusurjo, menteri perekonomian dalam Kabinet Ali Satroamijoyo I. Dalam sistem ini Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi, sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha nonpribumi. Dalam kebijakan Ali-Baba, pengusaha nonpribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Selanjutnya pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional dan memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga banyak dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. 5. Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek) Pada masa pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap, dikirimkan suatu delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan Belanda. Misi yang dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung pada tanggal 7 Januari 1956 ini akhirnya dicapai kesepakatan sebagai berikut : a. Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan. b. Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral c. Hubungan Finek didasarkan pada undang-undang nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak. Namun, karena pemerintah Belanda tidak mau menandatangani persetujuan ini, maka pemerintah RI mengambil langkah sepihak. Pada tanggal 13 Pebruari 1956, Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Hal ini dimaksudkan untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sebagai tindak lanjut dari pembubaran tersebut, pada tanggal 3 Mei 1956 Presiden Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Akibatnya, banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda tersebut. 6. Rencaran Pembangunan Lima Tahun (RPLT) Pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintah membentuk badan perencanaan pembangunan nasional yang disebut biro perancang negara. Ir. Djuanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Pada bulan Mei 1956, biro ini berhasil menyusun rencana pembangunan lima tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961. Rancana undang-undang tentang rencana pembangunan ini disetujui oleh DPR pada tanggal 11 November 1958. Pembiayaan RPLT ini diperkirakan mencapai 12,5 miliar rupiah. Namun sayang, RPLT tidak dapat berjalan dengan baik. 7. Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) Ketegangan antara pusat dan daerah pada masa Kabinet Djuanda untuk sementara waktu dapat diredakan dengan diadakannya musyawarah nasional pembangunan (Munap). Ir. Djuanda sebagai perdana menteri memberikan kesempatan kepada Munap untuk mengubah rencana pembangunan itu agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Akan tetapi, rencana pembangunan ini tidak dapat berjalan dengan baik, karena menemukan kesulitan dalam menemukan prioritas. Selain itu, ketegangan politik yang tak bisa diredakan juga mengakibatkan pecahnya Pemberontakan MMC, PRRI dan Permesta. Untuk mengatasi pemberontakan tersebut, diperlukan biaya yang sangat besar, sehingga meningkatkan defisit. Sementara itu, ketegangan politik antara Indonesia dengan Belanda menyangkut Irian Barat juga memuncak menuju konfrontasi bersenjata. 3. Perkembangan sosial Indonesia pada masa demokrasi liberal a. Perkembangan Pendidikan Indonesia Tahun 1950-1959 (Demokrasi Liberal) Pada saat demokrasi liberal di awal tahun 1950 pendidikan diatur dalam Undang-Undang Sementara (UUDS) 1950. Tujuan dan dasar pendidikan termuat dalam UU No.4 tahun 1950 yang diberlakukan untuk seluruh Indonesia. Karena terjadi ketegangan yang berkisar pada masalah pendidikan agama, khususnya agama islam maka setelah empat tahun baru diundangkan menjadi UU No.12 tahun1954 tentang Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Undang-undang No 12 tahun 1954 berlaku hingga tahun 1959. Sistem persekolahan secara formal pada saat itu terdiri dari jenjang pendidikan TK, rendah, menengah, &tinggi. Usaha penyesuaian yang dilakukan antara lain: Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar untuk semua SR negeri termasuk SR partikelir dan subsidi. nPenyelenggaraan Pendidikan dimulai dengan Persiapan kewajiban belajar dengan menyusun rencana 10 tahun kewajiban belajar dengan daerah uji coba Pasuruan dan Jepara. PP No.65 tahun 1951: penyerahan urusan sekolah rendah ke pemerintah propinsi kecuali SR patian. Peraturan bersama antara Mentri Pendidikan & Mentri Agama mengatur tentang pendidikan agama, Pendidikan masyarakat dan Partisipasi pendidikan swasta. b. Pers pada masa demorasi liberal Pers di masa demokrasi liberal (1949-1959) landasan kemerdekaan pers adalah konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950, yaitu Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Isi pasal ini kemudian dicantumkan dalam UUD Sementara 1950. Awal pembatasan pers di masa demokrasi liberal adalah efek samping dari keluhan wartawan terhadap pers Belanda dan Cina, namun pemerintah tidak membatasi pembreidelan pers asing saja tetapi terhadap pers nasional. Demokrasi liberal berakhir ketika Orde Lama dimulai. Era demokrasi liberal adalah sejak Pemilu 1955 hingga Dekrit Presiden 1959. Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers. B. Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1. Perkembangan Politik pada masa demokrasi terpimpin Demokrasi Terpimpin berlaku di Indonesia antara tahun 1959-1966, yaitu dari dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga Jatuhnya kekuasaan Sukarno. Disebut Demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia saat itu mengandalkan pada kepemimpinan Presiden Sukarno. Terpimpin pada saat pemerintahan Sukarno adalah kepemimpinan pada satu tangan saja yaitu presiden. Pada saat itu Kebebasan partai dibatasi Presiden cenderung berkuasa mutlak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Pemerintah berusaha menata kehidupan politik sesuai dengan UUD 1945. Dibentuk lembaga-lembaga negara antara lain MPRS,DPAS, DPRGR dan Front Nasional. Penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan Demokrasi terpimpin dari UUD 1945 adalah sebagai berikut. 1. Kedudukan Presiden 2. 3. 4. 5. Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi, kenyataannyabertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada Presiden. Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal tersebut tampak dengan adanya tindakan presiden untuk mengangkat Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen. Pembentukan MPRS Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959. Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD 1945 pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggota yang duduk di MPR. Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan syarat : Setuju kembali kepada UUD 1945, Setia kepada perjuangan Republik Indonesia, dan Setuju pada manifesto Politik. Tugas MPRS terbatas pada menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pembubaran DPR dan Pembentukan DPR-GR Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 dibubarkan karena DPR menolak RAPBN tahun 1960 yang diajukan pemerintah. Presiden selanjutnya menyatakan pembubaran DPR dan sebagai gantinya presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Dimana semua anggotanya ditunjuk oleh presiden. Peraturan DPRGR juga ditentukan oleh presiden. Sehingga DPRGR harus mengikuti kehendak serta kebijakan pemerintah. Tindakan presiden tersebutbertentangan dengan UUD 1945 sebab berdasarkan UUD 1945 presiden tidak dapat membubarkan DPR. Tugas DPR GR adalah Melaksanakan manifesto politik, Mewujudkan amanat penderitaan rakyat, Melaksanakan Demokrasi Terpimpin Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.3 tahun 1959. Lembaga ini diketuai oleh Presiden sendiri. Keanggotaan DPAS terdiri atas satu orang wakil ketua, 12 orang wakil partai politik, 8 orang utusan daerah, dan 24 orang wakil golongan. Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah. Pelaksanaannya kedudukan DPAS juga berada dibawah pemerintah/presiden sebab presiden adalah ketuanya. Hal ini disebabkan karena DPAS yang mengusulkan dengan suara bulat agar pidato presiden pada hari kemerdekaan RI 17 AGUSTUS 1959 yang berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai GBHN berdasarkan Penpres No.1 tahun 1960. Inti Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih dikenal dengan MANIPOL USDEK. Pembentukan Front Nasional Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya adalah menyatukan segala bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Tugas front nasional adalah sebagai berikut : a. Menyelesaikan Revolusi Nasional b. Melaksanakan Pembangunan c. Mengembalikan Irian Barat 6. Pembentukan Kabinet Kerja Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet Kerja. Sebagai wakil presiden diangkatlah Ir. Juanda. Hingga tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali perombakan (reshuffle). Program kabinet ini adalah sebagai berikut. a. Mencukupi kebutuhan sandang pangan b. Menciptakan keamanan Negara c. Mengembalikan Irian Barat. 7. Keterlibatan PKI dalam Ajaran Nasakom Perbedaan ideologi dari partai-partai yang berkembang masa demokrasi parlementer menimbulkan perbedaan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdampak pada terancamnya persatuan di Indonesia. Pada masa demokrasi terpimpin pemerintah mengambil langkah untuk menyamakan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menyampaikan ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Tujuannya untuk menggalang persatuan bangsa. Bagi presiden NASAKOM merupakan cerminan paham berbagai golongan dalam masyarakat. Presiden yakin bahwa dengan menerima dan melaksanakan Nasakom maka persatuan Indonesia akan terwujud. Ajaran Nasakom mulai disebarkan pada masyarakat. Dikeluarkan ajaran Nasakom sama saja dengan upaya untuk memperkuat kedudukan Presiden sebab jika menolak Nasakom sama saja dengan menolak presiden. Kelompok yang kritis terhadap ajaran Nasakom adalah kalangan cendekiawan dan ABRI. Upaya penyebarluasan ajaran Nasakom dimanfaatkan oleh PKI dengan mengemukakan bahwa PKI merupakan barisan terdepan pembela NASAKOM. Keterlibatan PKI tersebut menyebabkan ajaran Nasakom menyimpang dari ajaran kehidupan berbangsa dan bernegara serta mengeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menjadi komunis. Selain itu PKI mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah. PKI berhasil meyakinkan presiden bahwa Presiden Sukarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap TNI. 8. Adanya ajaran RESOPIM Tujuan adanya ajaran RESOPIM (Revolusi, Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan Nasional) adalah untuk memperkuat kedudukan Presiden Sukarno. Ajaran Resopim diumumkan pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16. Inti dari ajaran ini adalah bahwa seluruh unsur kehidupan berbangsa dan bernegara harus dicapai melalui revolusi, dijiwai oleh sosialisme, dan dikendalikan oleh satu pimpinan nasional yang disebut Panglima Besar Revolusi (PBR), yaitu Presiden Sukarno. Dampak dari sosialisasi Resopim ini maka kedudukan lembagalembaga tinggi dan tertinggi negara ditetapkan dibawah presiden. Hal ini terlihat dengan adanya pemberian pangkat menteri kepada pimpinan lembaga tersebut, padahal kedudukan menteri seharusnya sebagai pembantu presiden. 9. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia TNI dan Polri disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri atas 4 angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Masing-masing angkatan dipimpin oleh Menteri Panglima Angkatanyang kedudukannya langsung berada di bawah presiden. ABRI menjadi salah satu golongan fungsional dan kekuatan sosial politik Indonesia. 10. Pentaan Kehidupan Partai Politik Pada masa demokrasi Parlementer, partai dapat melakukan kegiatan politik secara leluasa. Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin, kedudukan partai dibatasi oleh penetapan presiden No. 7 tahun 1959. Partai yang tidak memenuhi syarat, misalnya jumlah anggota yang terlalu sedikit akan dibubarkan sehingga dari 28 partai yang ada hanya tinggal 11 partai. Tindakan pemerintah ini dikenal dengan penyederhanaan kepartaian. Pembatasan gerak-gerik partai semakin memperkuat kedudukan pemerintah terutama presiden. Kedudukan presiden yang kuat tersebut tampak dengan tindakannya untuk membubarkan 2 partai politik yang pernah berjaya masa demokrasi Parlementer yaitu Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Alasan pembubaran partai tersebuat adalah karena sejumlah anggota dari kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan PRRI dan Permesta. Kedua Partai tersebut resmi dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960. 11. Arah Politik Luar Negeri a. Politik Konfrontasi Nefo dan Oldefo Terjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas aktif yang menjadi cenderung condong pada salah satu poros. Saat itu Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang lebih mengarah pada negara-negara kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik Konfrontasi tersebut dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces) Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-negara komunis umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme. Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim). Untuk mewujudkan Nefo maka dibentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong Yang. Dampaknya ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab hanya berpedoman ke negara-negara komunis. b. Politik Konfrontasi Malaysia Indonesia juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara blok Nefo. Dalam rangka konfrontasi tersebut Presiden mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964, yang isinya Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia. Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris. Pelaksanaan Dwikora 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 2. dengan mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat menunjukkan adanya campur tanggan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia. c. Politik Mercusuar Politik Mercusuar dijalankan oleh presiden sebab beliau menganggap bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Untuk mewujudkannya maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan yang terkemuka di kalangan Nefo. Proyek-proyek tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar mencapai milyaran rupiah diantaranya diselenggarakannya GANEFO (Games of the New Emerging Forces ) yang membutuhkan pembangunan kompleks Olahraga Senayan serta biaya perjalanan bagi delegasi asing. Pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB sebab Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. d. Politik Gerakan Non-Blok Gerakan Non-Blok merupakan gerakan persaudaraan negara-negara AsiaAfrika yang kehidupan politiknya tidak terpengaruh oleh Blok Barat maupun Blok Timur. Selanjutnya gerakan ini memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika dan mencegah perluasan Perang Dingin. Keterlibatan Indonesia dalam GNB menunjukkan bahwa kehidupan politik Indonesia di dunia sudah cukup maju. GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanusiaan. Bagi RI, GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional dan internasional. Besarnya kekuasaan Presiden dalam Pelaksanaan demokrasi terpimpin tampak dengan: Pengangkatan Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen. Pidato presiden yang berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada tanggal 17 Agustus 1959 yang dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai GBHN atas usul DPA yang bersidang tanggal 23-25 September 1959. Inti Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih dikenal denganMANIPOL USDEK. Pengangkatan Ir. Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang berarti sebagai presiden seumur hidup. Pidato presiden yang berjudul ”Berdiri di atas Kaki Sendiri” sebagai pedoman revolusi dan politik luar negeri. Presiden berusaha menciptakan kondisi persaingan di antara angkatan, persaingan di antara TNI dengan Parpol. Presiden mengambil alih pemimpin tertinggi Angkatan Bersenjata dengan di bentuk Komandan Operasi Tertinggi (KOTI). Perkembangan Ekonomi pada masa demokrasi terpimpin Seiring dengan perubahan politik menuju demokrasi terpimpin maka ekonomipun mengikuti ekonomi terpimpin. Sehingga ekonomi terpimpin merupakan bagian dari demokrasi terpimpin. Dimana semua aktivitas ekonomi disentralisasikan di pusat pemerintahan sementara daerah merupakan kepanjangan dari pusat. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk menunjang pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut. a. Pembentukan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah Kabinet Karya maka dibentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959 dipimpin oleh Moh. Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang. Tugas Depernas : 1) Mempersiapkan rancangan Undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana 2) Menilai Penyelenggaraan Pembangunan 3) Hasil yang dicapai, dalam waktu 1 tahun Depenas berhasil menyusun Rancangan Dasar Undang-undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969 yang disetujui oleh MPRS. Mengenai masalah pembangunan terutama mengenai perencanaan dan pembangunan proyek besar dalam bidang industri dan prasarana tidak dapat berjalan dengan lancar sesuai harapan. Tahun 1963 Dewan Perancang Nasional (Depernas) diganti dengan nama Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Tugas Bappenas adalah 1) Menyusun rencana jangka panjang dan rencana tahuanan, baik nasional maupun daerah. 2) Mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan. 3) Menyiapkan serta menilai hasil kerja mandataris untuk MPRS. b. Penurunan Nilai Uang (Devaluasi) Tujuan dilakukan Devaluasi : 1) Guna membendung inflasi yang tetap tinggi 2) Untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat 3) Meningkatkan nilai rupiah sehingga rakyat kecil tidak dirugikan. Maka pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya mengenai penuruan nilai uang (devaluasi), yaitu sebagai berikut. a. Uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50 b. Uang kertas pecahan bernilai Rp. 1.000 menjadi Rp. 100 c. Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000 Tetapi usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter. Para pengusaha daerah di seluruh Indonesia tidak mematuhi sepenuhnya ketentuan keuangan tersebut. Pada masa pemotongan nilai uang memang berdampak pada harga barang menjadi murah tetapi tetap saja tidak dapat dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki uang. Hal ini disebabkan karena : 1) Penghasilan negara berkurang karena adanya gangguan keamanan akibat pergolakan daerah yang menyebabkan ekspor menurun. 2) Pengambilalihan perusahaan Belanda pada tahun 1958 yang tidak diimbangi oleh tenaga kerja manajemen yang cakap dan berpengalaman. 3) Pengeluaran biaya untuk penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962, RI sedang mengeluarkan kekuatan untuk membebaskan Irian Barat. c. Kenaikan laju inflasi Latar Belakang meningkatnya laju inflasi : 1) Penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami kemerosotan. 2) Nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan. 3) Anggaran belanja mengalami defisit yang semakin besar. 4) Pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada. 5) Upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil. 6) Penertiban administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan keuangan tak memberikan banyak pengaruh. 7) Penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan karena Pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam melakukan pengeluaran dan Pemerintah menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar seperti GANEFO (Games of the New Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) yang memaksa pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya pada setiap tahunnya. Dampaknya : a) Inflasi semakin bertambah tinggi b) Harga-harga semakin bertambah tinggi c) Kehidupan masyarakat semakin terjerpit d) Indonesia pada tahun 1961 secara terus menerus harus membiayai kekeurangan neraca pembayaran dari cadangan emas dan devisa. e) Ekspor semakin buruk dan pembatasan Impor karena lemahnya devisa. Pada tahun 1965, cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo negatif sebesar US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat. Kebijakan pemerintah : Keadaan defisit negara yang semakin meningkat ini diakhiri pemerintah dengan pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang. Sehingga menambah berat angka inflasi. 13 Desember 1965 pemerintah mengambil langkah devaluasi dengan menjadikan uang senilai Rp. 1000 menjadi Rp. 1. Dampaknya dari kebijakan pemerintah tersebut Uang rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama akan tetapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat lebih tinggi dari uang rupiah baru. Dan Tindakan moneter pemerintah untuk menekan angka inflasi malahan menyebabkan meningkatnya angka inflasi. d. Deklarasi Ekonomi (Dekon) Latar belakang dikeluarkan Deklarasi Ekonomi adalah karena Berbagai peraturan dikeluarkan pemerintah untuk merangsang ekspor (export drive) mengalami kegagalan, misalnya Sistem Bukti Ekspor (BE) Sulitnya memperoleh bantuan modal dan tenaga dari luar negri sehingga pembangunan yang direncanakan guna meningkatkan taraf hidup rakyat tidak dapat terlaksana dengan baik. Sehingga pada tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan baru guna perbaikan ekonomi secara menyeluruh yaitu Deklarasi Ekonomi (DEKON) dengan 14 peraturan pokoknya. Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi Terpimpin Indonesia yang menjadi bagian dari strategi umum revolusi Indonesia. Strategi Dekon adalah mensukseskan Pembangunan Sementara Berencana 8 tahun yang polanya telah diserahkan oleh Bappenas tanggal 13 Agustus 1960. Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah Berdikari yaituberdiri diatas kaki sendiri. Tujuan utama dibentuk Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Pelaksanaannya, Peraturan tersebut tidak mampu mengatasi kesulitan ekonomi dan masalah inflasi Dekon mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia Kesulitan-kesulitan ekonomi semakin mencolok, tampak dengan adanya kenaikan harga barang mencapai 400 % pada tahun 1961-1962. Beban hidup rakyat semakin berat. 3. Perkembangan pendidikan dan soasial budaya Indonesia pada masa demokrasi terpimpin a. Perkembangan Pers Surat kabar dan majalah yang tidak seirama dengan Demokrasi Terpimpin, harus menyingkir dan tersingkir. Persyaratan untuk mendapatkan Surat Ijin Terbit dan Surat Ijin Cetak (SIT) diperketat. Sejak tahun 1960, semua penerbit wajib mengajukan permohonan SIT dengan dicantumkan 19 pasal yang mengandung pertanggungjawaban surat kabar/majalah tersebut. Pedoman resmi untuk penerbitan surat kabar dan majalah diseluruh Indonesia, dikeluarkan pada tanggal 12 Oktober 1960 yang ditanda tangani oleh Ir. Juanda selaku Pejabat Presiden. Pedoman yang berisi 19 pasal tersebut mudah digunakan penguasa untuk menindak surat kabar/majalah yang tidak disenangi. Maka satu demi satu penerbit yang menentang dominasi PKi di cabut SITnya. Yakni, Harian Pedoman, Nusantara, Keng Po, Pos Indonesia, Star Weekly dan sebagainya. Surat kabar Abadi lebih memilih menghentikan penerbitan daripada menandatangani persyaratan 19 pasal itu. Dengan semakin sedikitnya pers Pancasila yang masih hidup, dapat digambarkan betapa merajalelanya Surat Kabar PKI seperti Harian Rakyat, Bintang Timur, dan Warta Bhakti. b. Pendidikan pada masa demokrasi terpimpin Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dianggap perlu pengkuhan Sistem Pendidikan Nasional, maka muncul Panca Wardana, yang menekankan pada nation and character building (pembangunan bangsa dan wataknya). Pada saat itu UUD 1945 berlaku lagi. Pada 1960, Panca Wardhana disempurnakan menjadi Sapta Usaha Utama dengan cakupan yang lebih luas. Sapta Usaha Tama merangkum ketentuan-ketentuan Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh dan Pancasila. Pada Tahun 1965, lahir Kepres No.145 tahun 1965 berisi tentang tujuan pendidikan, yaitu supaya melahirkan warga negara sosialis yang bertanggung jawab terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia berjiwa Pancasila seperti dijelaskan dalam Manipol/ Usdek. c. Kehidupan / Perkembangan Budaya Pada Masa Demokrasi Terpimpin Sesuai dengan semboyan PKI “ politik adalah panglima” maka seluruh kehidupan masyarakat diusahakan untuk berada di bawah dominasi politiknya. Kampus diperpolitikkan mahasiswa yang tidak mau ikut dalam rapat umumnya, appel-appel besarnya dan demonstrasi-demonstrasi revolusionernya di caci maki dan dirongrong oleh unsur Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) atau satelit-satelitnya. Wartawan yang ikut BPS dimaki-maki sebagai antek Nekolim atau agen CIA. Bahkan para budayawan maupun seniman juga tak luput dari raihan tangan mereka. C. Kembalinya Irian Barat ke Pengkuan Indonesia Ada 3 bentuk perjuangan dalam rangka pembebesan Irian Barat : Diplomasi, Konfrontasi Politik dan Ekonomi serta Konfrontasi Militer. 1. Perjuangan Diplomasi Ditempuh guna menunjukkan niat baik Indonesia mandahulukan cara damai dalam menyelesaikan persengketaan. Perjuangan tersebut dilakukan dengan perundingan. Jalan diplomasi ini sudah dimulai sejak kabinet Natsir (1950) yang selanjutnya dijadikan program oleh setiap kabinet. Meskipun selalu mengalami kegagalan sebab Belanda masih menguasai Irian Barat bahkan secara sepihak memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Kerajaan Belanda. Perjuangan secara diplomasi ditempuh dengan 2 tahap, yaitu a. Secara bilateral, melalui perundingan dengan belanda. Berdasarkan perjanjian KMB masalah Irian Barat akan diselesaikan melalui perundingan, setahun setelah pengakuan kedaulatan. Pihak Indonesia menganggap bahwa Belanda akan menyerahkan Irian Barat pada waktu yang telah ditentukan. Sementara Belanda mengartikan perjanjian KMB tersebut bahwa Irian Barat hanya akan dibicarakan sebatas perundingan saja, bukan diserahkan. Berdasarkan alasan tersebut maka Belanda mempunyai alasan untuk tetap menguasai Indonesia. Akhirnya perundingan dengan Belanda inipun mengalami kegagalan. d. Diplomasi dalam forum PBB, yaitu dengan membawa masalah Indonesia-Belanda ke sidang PBB. Dilakukan sejak Kabinet Ali Sastroamijoyo I, Burhanuddin Harahap, hingga Ali Sastroamijoyo II. Dikarenakan penyelesaian secara diplomatik mengalami kegagalan dan karena adanya pembatalan Uni Indonesia-Belanda secara sepihak maka Indonesia sejak 1954 melibatkan PBB dalam menyelesaikan masalah Irian Barat. Dalam sidang PBB Indonesia berupaya meyakinkan bahwa masalah Irian Barat perlu mendapatkan perhatian Internasional. Alasan Indonesia adalah karena masalah Irian Barat menunjukkan adanya penindasan suatu bangsa terhadap hak bangsa lain. Upaya melalui forum PBB pun tidak berhasil karena mereka menganggap masalah Irian Barat merupakan masalah intern antara Indonesia-Belanda. Negara-negara barat masih tetap mendukung posisi Belanda. Indonesia justru mendapat dukungan dari negara-negara peserta KAA di Bandung yang mengakui bahwa Irian Barat merupakan bagian dari Negara Kesatuan republik Indonesia. 2. Perjuangan Konfrontasi Politik, Ekonomi dan Militer Karena perjuangan diplomasi baik bilateral maupun dalam forum PBB belum menunjukkan hasil sehingga Indonesia meningkatkan perjuangannya dalam bentuk konfrontasi. Konfrontasi dilakukan tetapi tetap saja melanjutkan diplomasi dalam sidang-sidang PBB. Konfrontasi yang ditempuh yaitu konfrontasi politik dan ekonomi, serta konfrontasi militer. Konfrontasi militer terpaksa dilakukan setelah Belanda tidak mau berkompromi dengan Indonesia. a. Konfrontasi Politik dan Ekonomi Konfrontasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap aset-aset dan kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia. Konfrontasi ekonomi tersebut sebagai berikut. 1) Tahun 1956 secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB, diumumkan pembatalan utang-utang RI kepada Belanda. 2) Selama tahun 1957 dilakukan. Pemogokan buruh di perusahaan-perusahaan Belanda, Melarang terbitan-terbitan dan film berbahasa Belanda, Melarang penerbangan kapal-kapal Belanda, Memboikot kepentingan-kepentingan Belanda di Indonesia 3) Selama tahun 1958-1959 dilakukan : Nasionalisasi terhadap ± 700 perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, Mengalihkan pusat pemasaran komoditi RI dan Rotterdam (Belanda) ke Bremen, Jerman. Konfrontasi Politik dilakukan melalui tindakan sebagai berikut. 1) Tahun 1951, Kabinet Sukiman menyatakan bahwa hubungan Indonesia dengan Belanda merupakan hubungan bilateral biasa, bukan hubungan UnieStatuut. 2) Tanggal 3 Mei 1956, pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II, diumumkan pembatalan semua hasil KMB. 3) Pada tanggal 17 Agustus 1956 dibentuk provinsi Irian Barat dengan ibukotanya kotanya di Soa Siu (Tidore) dan Zaenal Abidin Syah (Sultan Tidore) sebagai gubernurnya yang dilantik tanggal 23 September 1956. Provinsi Irian Barat meliputi : Irian, Tidore, Oba, Weda, Patani, dan Wasile. 4) 18 November 1957 terjadi Rapat umum pembebasan Irian Barat di Jakarta. 5) Tahun 1958, Pemerintah RI menghentikan kegiatan-kegiatan konsuler Belanda di Indonesia. Pemecatan semua pekerja warga Belanda di Indonesia 6) Tanggal 8 Februari 1958, dibentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat. 7) Tanggal 17 Agustus 1960 diumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda. b. Konfrontasi Militer Dampak dari tindakan konfrontasi politik dan ekonomi tersebut maka tahun 1961 dalam Sidang Majelis Umum PBB terjadi perdebatan mengenai masalah Irian Barat. Diputuskan bahwa Diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker bersedia menjadi penengah dalam perselisihan antara Indonesia dan Belanda. Bunker mengajukan usul yang dikenal dengan Rencana Bunker, yaitu : 1) Pemerintah Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia. 2) Setelah sekian tahun, rakyat Irian Barat harus diberi kesempatan untuk menentukan pendapat apakah tetap dalam negara Republik Indonesia atau memisahkan diri. 3) Pelaksanaan penyelesaian masalah Irian Barat akan selesai dalam jangka waktu dua tahun. 4) Guna menghindari bentrokan fisik antara pihak yang bersengketa, diadakan pemerintah peralihan di bawah pengawasan PBB selama satu tahun. Indonesia menyetujui usul itu dengan catatan jangka waktu diperpendek. Pihak Belanda tidak mengindahkan usul tersebut bahkan mengajukan usul untuk menyerahkan Irian Barat di bawah pengawasan PBB. Selanjutnya PBB membentuk negara Papua dalam jangka waktu 16 tahun. Jadi Belanda tetap tidak ingin Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia. Keinginan Belanda tersebut tampak jelas ketika tanpa persetujuan PBB, Belanda mendirikan negara Papua, lengkap dengan bendera dan lagu kebangsaan. Tindakan Belanda tersebut tidak melemahkan semangat bangsa Indonesia. Indonesia menganggap bahwa sudah saatnya menempuh jalan kekuatan fisik (militer). Perjuangan melalui jalur militer ditempuh dengan tujuan untuk: 1) Menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam memperjuangankan apa pun yang memang menjadi haknya. 2) Menunjukkan kesungguhan dan memperkuat posisi Indonesia. 3) Menunjukkan sikap tidak kenal menyerah dalam merebut Irian Barat. Persiapan pemerintah untuk menggalang kekuatan militer adalah : 1) Pada Desember 1960, mengirimkan misi ke Uni Soviet untuk membeli senjata dan perlengkapan perang lainnya. 2) KSAD mengunjungi beberapa negara, seperti India, Pakistan, tahiland, Filipina, Australia, Selandia Baru, Jerman, Perancis, dan Inggris untuk menjajaki sikap negara-negara tersebut bila terjadi perang antara Indonesia dengan Belanda. 3) Tindakan persiapan Indonesia tersebut dianggap oleh Belanda sebagai upaya untuk melaklukan Agresi. Sehingga Belanda kemudian memperkuat armada dan angkatan perangnya di Irian Barat dengan mendatangkan kapal induk Karel Dorman. 4) Maka Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) di Yogyakarta yang telah dirumuskan oleh Dewan Pertahanan Nasional. Peristiwa ini menandai dimulainya secara resmi konfrontasi militer terhadap Belanda dalam rangka mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Isi Trikora adalah sebagai berikut: 1) Gagalkan Pembentukan Negara boneka papua buuatan Belanda 2) Kibarkan Sang merah Putih di Irian Barat, Tanah air Indonesia 3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa. Selanjutnya, diadakan rapat Dewan Pertahanan Nasional dan Gabungan Kepala Staf serta Komamndo Tertinggi Pembebasan Irian Barat. Keputusan dari rapat tersebut adalah sebagai berikut. 1) Dibentuk Provinsi Irian Barat gaya baru yang beribu kota di Jayapura (zaman Belanda bernama Hollandia) dengan putra Irian sebagai gubernurnya. 2) Tanggal 11 Januari 1962 dibentuk Komando Tertinggi dan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang berkedudukan di Makassar yang langsung di bawah ABRI dengan tugas merebut Irian Barat.Tugas Komando Mandala adalah Menyelenggarakan operasi Militer untuk membebaskan Irian Barat. Operasi militer tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu penyusupan (infiltrasi), serangan besar-besaran (eksploitasi), dan penegakan kekuasaan Republik Indonesia (Konsolidasi). Menggunakan segenap kekuatan dalam lingkungan Republik Indonesia untuk membebaskan Irian Barat. Kekuatan itu terdiri atas tentara regulerdan suka relawan maupun berbagai potensi perlawanan rakyat lainnya Tanggal 13 Januari 1962, c. Konfrontasi Total Sesuai dengan perkembangan situasi Trikora diperjelas dengan Instruksi Panglima Besar Komodor Tertinggi Pembebasan Irian Barat No.1 kepada Panglima Mandala yang isinya yaitu merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer dengan tujuan mengembalikan wilayah Irian Barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia. Mengembangkan situasi di Provinsi Irian Barat sesuai dengan perjuangan di bidang diplomasi dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di Wilayah Irian Barat dapat secara de facto diciptakan daerah-daerah bebas atau ada unsur kekuasaan/ pemerintah daerah Republik Indonesia. Strategi yang disusun oleh Panglima Mandala guna melaksanakan instruksi tersebut. a. Tahap Infiltrasi (penyusupan) (sampai akhir 1962), yaitu dengan memasukkan 10 kompi di sekitar sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto yang kuat sehingga sulit dihancurkan oleh musuh dan mengembangkan pengusaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Barat. b. Tahap Eksploitasi (awal 1963), yaitu mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan dan menduduki semua pos-pos pertahanan musuh yang penting. c. Tahap Konsolidasi (awal 1964),yaitu dengan menunjukkan kekuasaan dan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia secara mutlak di seluruh Irian Barat. Pelaksanaannya Indonesia menjalankan tahap infiltasi, selanjutnya melaksanakan operasi Jayawijaya, tetapi sebelum terlaksana pada 18 Agustus 1962 ada sebuah perintah dari presiden untuk menghentikan tembak-menembak.\ d. Akhir Konfrontasi Surat perintah tersebut dikeluarkan setelah ditandatangani persetujuan antara pemerintah RI dengan kerajaan Belanda mengenai Irian Barat di Markas Besar PBB di New York pada tanggal 15 Agustus 1962 yang selanjutnya dikenal dengan Perjanjian New York. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menlu Subandrio sementara itu Belanda dipimpin oleh Van Royen dan Schuurman. Kesepakatan tersebut berisi: 1) Kekuasaan pemerintah di Irian Barat untuk sementara waktu diserahkan pada UNTEA(United Nations Temporary Executive Authority) 2) Akan diadakan PERPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) di Irian Barat sebelum tahun 1969. Untuk menjamin Keamanan di Irian Barat dibentuklah pasukan penjaga perdamaian PBB yang disebutUNSF (United Nations Security Force) yang dipimpin oleh Brigadir Jendral Said Udin Khan dari Pakistan. Berdasarkan Perjanjian New York proses untuk pengembalian Irian Barat ditempuh melalui beberapatahap, yaitu : 1. Antara 1 Oktober -31 Desember 1962 merupakan masa pemerintahan UNTEA bersama Kerajaan Belanda. 2. Antara 1 Januari 1963- 1 Mei 1963 merupakan masa pemerintahan UNTEA bersama RI. 3. Sejak 1 Mei 1963, wilayah Irian Barat sepenuhnya berada di bawah kekuasaan RI. 4. Tahun 1969 akan diadakan act of free choice, yaitu penentuan pendapat rakyat (Perpera). Penentuan Pendapat rakyat (Perpera) berarti rakyat diberi kesempatan untuk memilih tetap bergabung dengan Republik Indonesia atau Merdeka. Perpera mulai dilaksankan pada tanggal 14 Juli 1969 di Merauke sampai dengan 4 Agustus 1969 di Jayapura. Hasil Perpera tersebut adalah mayoritas rakyat Irian Barat menyatakan tetap berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasil Perpera selanjutnya dibawa oleh Diplomat PBB, Ortis Sanz (yang menyaksikan setiap tahap Perpera) untuk dilaporkan dalam sidang Majelis Umum PBB ke-24.Tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB mengesahkan hasil Perpera tersebut Soal Uji Kompetensi 1. Mengapa bentuk RIS tidak bertahan lama? 2. Jelaskan perisatiwa yang menganggap kebijakan luar negri cabinet Sukiman condongke Blok barat! 3. Sebutkan keberhasilan kabinet Burhanudin Harahap! 4. Jelaskan Apa Tujuan pemberlakuan demokrasi terpimpin? 5. Sebutkan penyimpangan-penyimpangan pada masa demokrasi terpimpin! BAB3 SOEHARTO DAN ORDE BARU A.Kehidupan Politik pada masa Orde Baru 1.Lahirnya Orde Baru dan Supersemar Pada tanggal 11 maret 1966 tiga orang perwira tinggi yaitu,Mayor Jendral basuki Rakhmat,Brigadir Jendral M.Yusuf,dan Brigadir Jendral Amir machmud menghadap letnan Jendral Soeharto selaku mentri Pangglima Angkatan darat dan Pangglima Komando Opresai pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib)untuk minta ijin akan menghadap presiden .Pada hari itu juga,ketiga orang perwira tinggi sepakat untuk menghadap presiden Soekarno di istana bogor dengan tujuan untuk menyakinkan kepda presiden Soekarno bahwa ABRI khususnya AD tetap siap siaga mengatasi keadaan.Di istana bogor Presiden Soekarno didampingi Dr.Subadrio.DR J.Laeimena ,dan Chaerul Saleh serta ketiga perwira tinggi tersebut melaporkan situasi di ibukota Jakarta.Mereka juga memohon agar presiden mengeluarkan surat perintah yang ditunjukan kepdada letnan jendral Soeharto Setelah mendapatkan Supersemar, Letjen Soeharto segera mengambil tindakan untuk memenuhi Tritura dengan mengeluarkan surat keputusan atas nama presiden. Surat keputusan itu berisi sebagai berikut: a) Pada tanggal 12 maret 1966 menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang dan membubarkan PKI termasuk ormas-ormasnya. b) Pada tanggal 18 Maret 1966 menahan 15 orang menteri pada Kabinet Seratus Menteri yang diduga terlibat dalam G 30 S/PKI. c) Membersihkan MPRS dan DPR GR serta lembaga-lembaga negara lainnya dari pengaruh PKI dan unsur-unsur komunis Karena menteri pada Kabinet Seratus Menteri banyak yang ditangkap, maka pada tanggal 27 Maret 1966 pengemban Supersemar membentuk kabinet baru. Kabinet itu disebut Kabinet Dwikora III atau Kabinet Dwikora yang Lebih Disempurnakan Lagi. Tiga tokoh utama yang duduk dalam kabinet ini, yaitu Letjen Soeharto, Sri Sultan Hamengkubuwana IX, dan Adam Malik. Setelah berhasil menertibkan bidang eksekutif dari unsur G 30 S/PKI, lembaga legislatif juga dibersihkan. Upaya membersihkan lembaga legislatif dimulai dari tokoh-tokoh pimpinan MPRS dan DPR GR yang diduga terlibat G 30 S/PKI. Sebagai tindak lanjut kemudian dibentuk pimpinan DPR GR dan MPRS yang bebas dari unsur PKI dan ormas-ormasnya. Dalam rangka pemurnian pelaksanaan UUD 1945, jabatan pimpinan DPR GR dipisahkan dari jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPR GR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri. Begitu juga lembaga negara MPRS dibersihkan dari unsur-unsur G 30 S/PKI. Seperti halnya dengan DPR GR, keanggotaan PKI dalam MPRS dinyatakan gugur. Setelah MPRS dibersihkan dari unsur-unsur G 30 S/PKI, mulailah diambil langkahlangkah untuk menempatkan lembaga ini secara konstituaional sebagai lembaga tinggi negara. Pada tanggal 20 Juni - 5 Juli 1966, MPRS mengadakan Sidang Umum IV. Dalam sidang umum itu, MPRS meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno atas terjadinya pemberontakan G 30 S/PKI, kemerosotan ekonomi dan moral. Untuk memenuhi permintaan MPRS tersebut, Presiden Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban di depan sidang MPRS pada tanggal 22 Juni 1966. Pidato itu dikenal dengan nama Nawaksara (sembilan pasal). Oleh MPRS, pidato tersebut dipandang tidak memenuhi harapan rakyat karena tidak memuat secara jelas kebijaksanaan Presiden/Mandataris MPRS mengenai peristiwa G 30 S/PKI serta kemerosotan ekonomi dan moral. Oleh karena itu, MPRS meminta kepada presiden untuk melengkapi Nawaksara tersebut. Sidang Umum IV MPRS juga menghasilkan beberapa ketetapan penting sebagai berikut: 1. Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengukuhan Supersemar 2. Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara 3. Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum yang selambatlambatnya akan diselenggarakan tanggal 5 Juli 1968 4. Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI 5. Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera 6. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pernyataan bahwa PKI dan Ormas-Ormasnya sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia Sebagai langkah awal untuk mewujudkan stabilitas nasional, MPRS menugaskan kepada pengemban Supersemar untuk membentuk kabinet baru. Sesuai dengan ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, pada tanggal 25 Juli 1966, Jendral Soeharto membentuk Kabinet Ampera. Tugas pokok Kabinet Ampera adalah menyetabilan kondisi politik dan ekonomi (Dwi Dharma). Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya dilakukan oleh Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jendral Soeharto. Program yang dicanangkan Kabinet Ampera disebut Catur Karya Kabinet Ampera, yaitu: a) Memperbaiki perikehidupan rakyat terutama sandang dan pangan b) Melaksanakan pemilu selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968 c) Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif d) Melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan kolonialisme Pada tanggal 10 Januari 1967, Presiden Soekarno memberikan pelengkap Nawaksara. Akan tetapi, isinya juga tidak memuaskan banyak pihak. Oleh karena itu, DPR GR mengajukan resolusi dan memorandum tanggal 9 Februari 1967 yang intinya menolak Nawaksara berikut pelengkapnya. Selanjutnya, DPR GR mengusulkan kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan presiden/mandataris MPRS dan mengangkat pejabat presiden yang baru. Sebagai tindak lanjut yang disampaikan DPR GR, pada tanggal 7-12 Maret 1967 diadakan Sidang Istimewa MPRS. Pada tanggal 22 Februari 1967, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada pengemban Supersemar, yaitu Jendral Soeharto. Penyerahan kekuasaan tersebut tertuang dalam Pengumuman Presiden Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20 Februari 1967. Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 yang menyatakan apabila presiden berhalangan maka pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi sebagai pemegang jabatan presiden. Melalui Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tertanggal 12 Maret 1967, MPRS mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jendral Soeharto sebagai penjabat Presiden RI. Jendral Soeharto ditetapkan sebagai Presiden RI sementara. Pada tanggal 21-30 Maret 1968, diadakan Sidang Umum MPRS yang menghasilkan keputusan mengangkat Jendral Soeharto sebagai Presiden RI. Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai Presiden RI sejak tanggal 27 Maret 1968 berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968. Untuk menjalankan roda pemerintahan, Presiden Soeharto membentuk Kabinet Pembangunan I. Kabinet ini dibentuk pada tanggal 6 Juni 1968 dan berakhir pada tanggal 28 Maret 1973. Kabinet Pembangunan I berakhir setelah dilaksanakan pemilu pertama pada masa Orde Baru tahun 1971. Kabinet Pembangunan I terdiri atas 24 orang menteri. Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara kekuasaan masa Sukarno(Orde Lama) dengan masa Suharto. Sebagai masa yang menandai sebuah masa baru setelah pemberontakan PKI tahun 1965. Orde baru Mengoreksi total lahir penyimpangan sebagai yang upaya dilakukan pada untuk masa Orde : Lama. Penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia. Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa. Latar 1. belakang Terjadinya lahirnya peristiwa Gerakan Orde 30 Baru : September 1965. 2. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30 September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung lama. 3. Keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat. 4. Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan besarbesaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut agar PKI berserta Organisasi Masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili. 5. Kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung membentuk Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. 6. Kesatuan Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR mengajukan tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi : ü Pembubaran PKI ü Pembersihan ü Penurunan berserta Organisasi Massanya Kabinet Dwikora Harga-harga barang. 7. Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. 8. Wibawa dan kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun setelah upaya untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa(Mahmilub). 9. Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang semakin kacau dan sulit dikendalikan. Upaya menuju pemerintahan Orde Baru : Setelah dikelurkan Supersemar maka mulailah dilakukan penataan pada kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Penataan dilakukan di dalam lingkungan lembaga tertinggi negara dan pemerintahan. Dikeluarkannya Supersemar berdampak semakin besarnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah karena Suharto berhasil memulihkan keamanan dan membubarkan PKI. Munculnya konflik dualisme kepemimpinan nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan karena saat itu Soekarno masih berkuasa sebagai presiden sementara Soeharto menjadi pelaksana pemerintahan. Konflik Dualisme inilah yang membawa Suharto mencapai puncak kekuasaannya karena akhirnya Sukarno mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Suharto. Pada tanggal 23 Februari 1967, MPRS menyelenggarakan sidang istimewa untuk mengukuhkan pengunduran diri Presiden Sukarno dan mengangkat Suharto sebagai pejabat Presiden RI. Dengan Tap MPRS No. XXXIII/1967 MPRS mencabut kekuasaan pemerintahan negara dan menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Sukarno . 12 Maret 1967 Jendral Suharto dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Lama dan dimulainya kekuasaan Orde Baru. Pada Sidang Umum bulan Maret 1968 MPRS mengangkat Jendral Suharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Kronologi dan Peristiwa-peristiwa Politik Penting Pada Masa Orde Baru Ada lima peristiwa besar yang pentingmenjelang lahirnya Orde Baru, yaitu: 1. Lahirnya Tritura Usaha penumpasan G 30 S/PKI telah menunjukkan hasil yang memuaskan. Kerja sama ABRI dengan rakyat telah berhasil melumpuhkan PKI.Akan tetapi, secara politik PKI masih berdiri sebagai sebuah partai politik. Sejauh itu presiden Soekarno belum mau menindak PKI yang terang-terangan telah melakukan upaya kudeta. Berbeda dengan pemerintah pusat, penguasa militer di Jawa Barat dan Jakarta serta masyarakat di Jawa Timur segera membekukan kegiatan PKI dan ormas-ormasnya. Sementara itu di tengah tengah ketidak tegasan sikap pemerintah terhadap PKI, rakyat di daerah-daerah menjadi tidak sabar dan mengambil tindakan sendiri dengan jalan membunuh tokoh-tokoh PKI. Aksi kekerasan itu terjadi terutama di Jawa, Bali dan Sumatera Utara.Mencermati situasi seperti itu, banyak cabang dan ranting PKI di daerah-daerah segera membubarkan diri. Para pemimpin dan pengikut PKI berusahamenyerahkan diri kepada alat negara. Pada tanggal 25 Oktober 1965, paramahasiswa UImendirikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Selain KAMI, bermunculan pula kesatuan aksi lainnya, seperti: KAPI (KesatuanAksi Pelajar Indonesia), KAPPI (KesatuanAksi Pemuda Pelajar Indonesia), KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), KAWI (KesatuanAksi Wanita Indonesia), KABI (KesatuanAksi Buruh Indonesia) Kesatuan-kesatuan aksi pada dasarnyamenuntut pembubaran PKI dan upaya hukum penyelesaian pemberontakan G 30 S/PKI. Kesatuan-kesatuan aksi itu, pada tanggal 23 Oktober 1965 membentuk wadah yang bernama “Front Pancasila”, yang bersama-sama dengan organisasi yangmenentang PKImengadakan rapat akbar tanggal 26Oktober 1965 di lapangan Banteng, Jakarta. Dengan memperhatikan sikap-sikap presiden Soekarno tersebut, rakyat dan para kesatuan aksi semakin berani menuntut pembubaran PKI danmengadili tokoh-tokohnya, termasuk menuduh presiden Soekarno sebagai pemimpin yang pro-PKI. Dengan dasar pertimbangankemelut politik yang tidakmenentu danmembumbungnya harga-harga kebutuhan pokok. Oleh karena itu pada tanggal 10 Januari 1966 KAMI dan KAPPI memelopori kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila. Kemudian pada tanggal 12 Januari 1966 mereka berkumpul di halaman Gedung DPR-GR untuk mengajukan Tiga Tuntutan Hati Nurani Rakyat yang terkenal dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) (pembubaran PKI beserta organisasi massanya, pembersihan kabinet Dwikora, penurunan harga-harga barang). Adapun isi dari Tritura adalah: a. Bubarkan PKI b. Bersihkan kabinet Dwikora dari unsur-unsur G 30 S/PKI c. Turunkan harga Aksi-aksi Tritura berlangsung selama 60 hari.Makin hari mereka makin giat melakukan demonstrasi apalagi pemerintahmelakukan tindakan yang bertentangan dengan kehendak rakyat. Pada tanggal 24 Februari 1966, para demonstran menggelar aksi serentak untuk menggagalkan peresmian kabinet. Dalam bentrokan di depan Istana Merdeka, seorang mahasiswa, Arief Rahman Hakim, gugur terkena tembakan Resimen Cakrabirawa. Ia kemudian diangkat menjadi Pahlawan Ampera. Sehari setelah insiden itu, presiden membubarkan KAMI. 2. Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR) Tanggal 11Maret 1966 para pelajar dan mahasiswa siap memboikot sidang paripurna kabinet Dwikora yang disempurnakan. Sidang kabinet dipimpin oleh presiden Soekarno. Pada saat sidang kabinet berjalan, Brigjen Sabur (ajudan presiden/komandan pasukan pengawal cakrabirawa)melihat “pasukan tak dikenal” berkeliaran di sekitar IstanaMerdeka. Ia segera melaporkan kepada presiden tentang keberadaan pasukan tak dikenal itu. Demi keselamatan jiwa, presiden Soekarno memutuskan meninggalkan sidang dan menyerahkan pimpinan sidang kepada WaperdamII, Dr. J. Leimena, presiden kemudian meninggalkan sidangmenuju Istana Bogor dengan disertai WaperdamIDr. Soebandrio dan Waperdam III Chaerul Saleh. Setelah sidang ditutup, tiga perwira tinggi ABRI yang ikut menghadiri rapat segera mengambil prakarsa untuk menemui presiden Soekarno di Istana Bogor. Mereka ingin menjelaskan keadaan yang sebenarnya dan ingin meyakinkan bahwa Angkatan Darat masih tetap setia dan taat kepada presiden. Tiga orang perwira tinggi itu ialah Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Urusan Veteran danMobilisasi),BrigjenM. Jusuf (MenteriPerindustrian), dan Brigjen Amirmachmud (PangdamV/Jaya). Sebelum berangkat keBogor, ketiga perwira tinggi itu menemui Letjen Soeharto di kediamannya. Ketiga perwiramelaporkan peristiwa yang terjadi di istana negara dan sekaligus meminta izin untukmenemui presiden. Letjen Soeharto yang sedang sakit mengizinkan ketiga perwira menemui presiden di istana Bogor. Ia juga menitipkan pesan untuk disampaikan kepada presiden Soekarno yang menyatakan kesanggupannya mengatasi keadaan apabila presiden mempercayakan kepada dirinya. Penyusunan Surat Perintah Sebelas Maret. Pada waktu ketiga perwira tinggi itumenghadap presiden di istana Bogor, di sana telah hadir Waperdam I Dr. Soebandrio dan Waperdam III Chaerul Saleh. Setelah itu disusul kedatangan ajudan presiden Brigjen Sabur. Setelah diadakan pembicaraan yang mendalam terhadap situasi dan kondisi negara RI, presiden Soekarno akhirnya setuju untuk memberi surat perintah kepada Letjen Soeharto. Kemudian pada tokoh-tokoh yang hadi rdi tempat tersebut, presiden Soekarno menugaskan untuk merumuskan surat perintah. Pada sekitar pukul 19.00 WIB surat perintah tersebut rampung disusun dan ditandatangani oleh presiden. Suratperintah tersebut beris ipemberian mandat kepada LetjenSoeharto selaku panglima angkatan daratdan Pangkop kamtib untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Dalammenjalankan tugas, penerimamandat diharuskan melaporkan segala sesuatu kepada presiden.Mandat itu kemudian dikenal sebagai Surat Perintah11Maret (Supersemar). Jadi ada beberapa faktor yang melatar belakangi lahirnya Supersemar, antara lain: a. Situasi negara dalam keadaan kacau dan genting. b. Untukmengatasi situasi yang kacau dan genting sebagai akibat pemberontakan G 30 S/PKI. c. MenyelamatkanNegara Kesatuan Republik Indonesia. d. Untukmemulihkan keadaan danwibawa pemerintah. Langkah awal yang dilakukan oleh Jenderal Soeharto adalah membubarkan dan melarang PKI beseta unsur-unsur yang berada di belakangnya, mulai 12 Maret 1966. Selanjutnya, mayjen Soeharto melaksanakan penahanan atas 15 Orang anggota kabinet yang dinilai telah terlibat dalam peristiwa G30S/PKI. Langkah-langkah yang ditempuh oleh Soeharto itu berhasil memenuhi tuntutan masyarakat yang terdapat dalam Tritura, terutama dalam hal pembubaran PKI. Selanjutnya, Soeharto merencanakan Program-program perbaikan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Pada saat itulah Era Orde Baru dimulai. 3. Dualisme Kepemimpinan Nasional dan Ditolaknya Pidato Pertanggung jawaban Presiden Soekarno Dalam pelaksanaannya, pembentukan kabinet Ampera ternyata berakibat munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”, yaitu Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan dan Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan. Presiden Soekarno sudah tidak banyak melakukan tindakan-tindakan pemerintahan, sedangkan sebaliknya Letjend Soeharto banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan.Adanya “Dualisme kepemimpinan nasional” ini akhirnya menimbulkan pertentangan politik dalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya pendukung Soekarno dan pendukung Soeharto. Hal ini jelas membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Demi menjaga keutuhan hidup berbangsa dan bernegara, presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pengemban Tap. MPRS. No. IX/MPRS/ 1966 Jenderal Soeharto pada 23 Februari 1967. Sebagai tindak lanjut, pada 7 12Maret 1967 diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS dengan tema utama mengenai pertanggungjawaban presiden selaku mandataris MPRS. Pada tanggal 22 Juni 1966, presiden Soekarno menyampaikan pidato NAWAKSARA dalam persidangan MPRS. Nawa berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti sembilan, dan Aksara berarti huruf atau istilah. Pidato itumemang berisi sembilan pokok persoalan yang dianggap penting oleh presiden Soekarno, selakumandatarisMPR. Isi pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebabmeletusnya peristiwa berdarah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Pengabaian peristiwa yangmengakibatkan gugurnya sejumlah jenderal angkatan darat itu tidak memutuskan anggotaMPRS.Melalui Keputusan Nomor 5/MPRS/1966,MPRSmemutuskan untukminta kepada presiden agarmelengkapi laporan pertanggung jawabannya, khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa Gerakan 30 September beserta epilognya dan masalah kemunduran ekonomi serta akhlak. Pada tanggal 10 Januari 1967 presidenmenyampaikan surat kepada pimpinanMPRS yang berisi Pelengkap Nawaksara. Dalam Pelnawaksara itu presiden mengemukakan bahwa mandataris MPRS hanya mempertanggung jawabkan pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan bukan hal-hal yang lain. Nawaksara baginya hanya sebagai progress report yang ia sampaikan secara sukarela. Ia juga menolak untuk seorang diri mempertanggungjawabkan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September, kemerosotan ekonomi, dan akhlak. Setelah membahas Pelnawaksara pada tanggal 21 Januari 1967, pimpinan MPRS menyatakan bahwa presiden telah alpa dalammemenuhi ketentuan konstitusional. Sementara itu, DPR-GR berpendapat bahwa Pelnawaksara itu tidak lengkap dan memutuskan untukmenolaknya. Pada tanggal 9 Februari 1967,DPR-GRmenyatakan bahwa kepemimpinan presidenIr. Soekarno secara konstitusional,politis/ideologismembahayakan keselamatan dan keutuhan negara.Mereka lalumengajukan resolusi agar pimpinan MPRS mengadakan sidang istimewa untuk memberhentikan Ir. Soekarnodanmengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden. 4. Kronologis Peristiwa Politik Pada Masa Orde Baru adalah sebagai berikut: a. Tanggal 11Maret 1966 : Keluarnya Supersemar sebagai tanggal lahirnya Orde Baru b. Tanggal 11 Agustus 1966 : Normalisasi hubungan antara Indonesia dengan Malaysia c. Tanggal 28 September 1966 : Indonesiamasuk kembalimenjadi anggota PBB d. Tanggal 23 Februari 1967 : Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pada Letjend Soeharto e. Tanggal 12Maret 1967 : Letjend Soeharto dilantikmenjadi pejabat presiden RI f. Tanggal 27Maret 1968 : Letjend Soeharto dilantik menjadi Presiden ke-2 Republik Indonesia g. Tanggal 3 Juli 1971 : Pemilu pertama padamasa Orde Baru h. Tanggal 2 Mei 1977 : Pemilu kedua padamasa Orde Baru i. Tanggal 4 Mei 1982 : Pemilu ketiga padamasa Orde Baru j. Tanggal 23 April 1987 : Pemilu keempat padamasaOrde Baru k. Tanggal 9 Juni 1992 : Pemilu kelima padamasa Orde Baru l. Tanggal 29 Mei 1997 : Pemilu keenam padamasaOrde Baru 5. Peristiwa-peristiwa Politik Pada Masa Orde Baru Demikianlah pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi pejabat presiden Republik Indonesia oleh ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Setelah setahun menjadi pejabat presiden, Soeharto dilantikmenjadi presiden Republik Indonesia pada tanggal 27Maret 1968 dalamSidangUmum VMPRS.Melalui Tap No. XLIV/MPRS/ 1968, Jenderal Soeharto dikukuhkan sebagai presiden Republik Indonesia hingga terpilih presiden olehMPR hasil pemilu. Rezimkini benar-benar berganti dan Indonesia memasuki periode Orde Baru. Tanggal lahirnya Orde Baru adalah keluarnya surat perintah tanggal 11 Maret 1966 yang terkenal dengan nama Supersemar. Pengertian Orde Baru bila didasarkan pada isi pidato pejabat presiden Letjend Soeharto dalam Sidang Paripurna Kabinet Ampera tanggal 1April 1967 di Jakarta.Orde Baru adalah suatu tatanan seluruh perikehidupan rakyat, bangsa dan negara RI yang diletakkan kepada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan Orde Baru adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan RI, serta turut melaksanakan ketertibandunia yangberdasarkanpada kemerdekaan,perdamaian abadi dan keadilan sosial. Landasan pelaksanaan Orde Baru: - Landasan idiil adalah Pancasila - Landasan konstitusional adalah UUD 1945 - Landasan situasional/operasional adalah ketetapan MPRS Semenjak lahirnya Orde Baru, pemerintah berjuang keras untuk menyehatkan kehidupan politik dan pemerintahan yang telah diporak-porandakan oleh Orde Lama. Stabilitas politik dalam negeri ditata kembali sesuai dengan tuntunan Undang-Undang Dasar 1945, antara lainmelalui pemilihanumum. Penyelenggaraan pemilihan umum secara teratur merupakan keberhasilan pembangunan politik. Berdirinya pemerintah orde baru dan ciri pokok dari kebijakan-kebijakan yang dihasilkan Diangkatnya Mayjen Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia Pada 27 Maret 1968, Majelis permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), mengangkat Letjen Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal tersebut terdapat dalam ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968. Dalam melaksanakan pembangunan nasional, pemerintah Orde baru mempunyai berbagai acuan dalam merencanakan program pembangunan dan peningkatan perekonomian Indonesia. Salah satu program kerja pemerintahan Orde baru adalah Trilogi Pembangunan. Isi Trilogi Pembangunan: 1. Pemerataan pembangunan negara beserta hasil-hasilnya, dengan konsentrasi pada terciptanya prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 2. Merencanakan, melaksanakan, dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. 3. Menciptakan stabilitas nasional · Kebijakan-kebijakan Ekonomi Era orde baru Kebijakan perekonomian di era orde baru telah disusun sebelumnya pada 1966. Sejak Soeharto diberikan mandat Supersemar dimasa itu. MPRS mengeluarkan Ketetapan No. XXIII/MPRS/1966 yang berisi tentang Pembaruan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Pada awal masa pemerintahan Orde baru, Soeharto dihadapkan oleh utang peninggalan Orde lama yang mencapai 2,2-2,7 miliar dolar Amerika Serikat. Untuk menanggulanginya, Soeharto mencanangkan berbagai kebijakan-kebijakan ekonomi dalam dan luar negeri. Dikeluarkannya Peraturan 28 Juli 1967. Kebijakan ini dikeluarkan untuk memberikan stimulasi kepada pengusaha, agar mau menyerahkan sebagian dari hasil usahanya untuk sektor pajak dan ekspor Indonesia. Tujuannya adalah agar para pengusaha Indonesia dapat turut serta untuk merangsang perkembangan perekonomian. Soeharto juga menerapkan kebijakan ekonomi yang berorientasi luar negeri, yaitu dengan melakukan permintaan pinjaman dari luar negeri. Indonesia juga tergabung ke dalam institusi ekonomi internasional, seperti International Bank for reconstruction and Development (IBRD), International Monetary Fund (IMF), International Development Agency (IDA), dan Asian Development Bank (ADB). Karakteristik utama pemerintahan Orde baru adalah berusaha untuk membangun pembangunan yang terdistribusi secara merata di seluruh Indonesia. Orde baru juga memusatkan pembangunan pada sektor pertanian untuk meningkatkan kapabilitas ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Jika dibandingkan dengan Orde Lama, perbedaan mendasar dalam perekonomian Orde Baru terletak di dalam proses pencarian sumber danan pembangunan. · Kebijakan-Kebijakan Pembangunan Era Orde Baru Pemerintah Orde baru mencanangkan program pembangunan jangka panjang yang bernama Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). REPELITA terbagi dalam pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun (PELITA). · Kebijakan Sosial-Politik Orde Baru Dalam bidang politik, salah satu langkah yang dilakukan oleh Soeharto adalah melakukan fusi partai politik. Praktik tersebut dilakukan pada tahun 1975, dengan berdasar pada UU No. 3 1975. Fusi tersebut menghasilkan Kelompok Demokrasi Pembangunan, dan Kelompok Golongan Karya. · Menguatnya peran negara pada masa orde baru dan dampaknya terhadap kehidupan sosial politik masyarakat Pada masa pemerintahan orde baru, struktur kinerja dan peran negara menjadi sangat kuat karena didukung oleh pemusatan dan penguatan 3 sektor utama, yaitu sektor militer, ekonomi, dan budaya. Menguatnya peran negara dalam kehidupan masyarakat Indonesia di masa Orde baru merupakan kekuatan utama bagi Soeharto dalam meraih kepentingan nasional dan internasional. Menguatnya posisi Golkar di masa pemerintahan Orde baru menunjukkan kuatnya peran pemerintahan dalam menentukan perkembangan kehidupan masyarakat. Menguatnya peran negara Indonesia di masa Orde baru juga tidak terlepas dari strategi agregasi yang diterapkan oleh Soeharto. Salah satu strateginya adalah adanya sistem reward and punishment terhadap orang-orang yang mendukung atau menentang kekuatan Orde baru.