LAPORAN PENELITIAN MANUSIA MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR Oleh : DRA. HJ. RAFI`AH GAZALI, M.Ag NIP. 19530423 198603 2 001 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR BANJARMASIN 2013 IDENTIFIKASI PENGESAHAN 1. Judul Penelitian : Manusia Menurut Seyyed Hossein Nasr 2. Penelitian a. Nama b. NIP c. Pangkat/ Gol d. Jabatan Sekarang e. Bidang Keahlian f. Fakultas/Jurusan g. Universitas : : : : : : : Dra. Hj. Rafi`ah Gazali, M.Ag 19530423 198603 2 001 Lektor / III/d Tenaga Pengajar Pendidikan Agama Islam FKIP/PGSD Lambung Mangkurat : : : : : : : Dr. H. Sarbaini, M.Pd 19591227 198603 1 003 Lektor Kepala ( IV/c) Ketua UPT MPK-MBB UNLAM Pendidikan Nilai FKIP / PKn Lambung Mangkurat 3. Pembimbing a. Nama b. NIP c. Pangkat/Gol d. Jabatan Sekarang e. Bidang Keahlian f. Fakultas/ Jurusan g. Universitas 4. Sumber Dana Penelitian : Mandiri 5. Jangka Waktu Penelitian : 3 (Tiga) Bulan Banjarmasin, 10 September 2013 Dekan FKIP Peneliti, Drs. H. Ahmad Sofyan, M.A NIP. 19511110 197703 1 003 Dra. Hj. Rafi`ah Gazali, M.Ag NIP. 19530423 198603 2 00 Mengetahui, Kepala Lembaga Penelitian Dr. Ahmad Alim Bachri, SE.,M.Si NIP. 19671231 199512 1 002 ii KATA PENGANTAR Dengan rasa puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat taufik dan hidayah-Nya dapatlah peneliti menyelesaikan penelitian dengan berjudul "Manusia Menurut Seyyed Hossein Nasr". Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, serta seluruh keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Peneliti menyadari bahwa di dalam penelitian ini banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, baik berupa moril maupun material. Hal ini tentunya tak lepas dari terbatasnya kemampuan yang peneliti miliki, namun walaupun demikian masih terbersit satu harapan semoga penelitian yang sederhana dan penuh ketidaksempurnaan ini membawa manfaat. Oleh sebab itu dalam kesempatan ini peneliti menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak, terutama kepada yang terhormat: 1. Bapak Dekan FKIP Banjarmasin Drs.H. Ahmad Sofyan, MA yang berkenan menyetujui penelitian ini. 2. Bapak Drs. H.Sarbaini,M.Pd. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti dalam penelitian ini. 3. Pimpinan Perpustakaan UNLAM Banjarmasin beserta staf yang telah memberikan jasa pelayanan yang baik dalam peminjaman buku-buku yang diperlukan peneliti. Akhirnya, peneliti hanya dapat berdo'a, semoga segala bantuan, bimbingan dan pengarahan yang telah diberikan kepada peneliti mendapat ganjaran yang berlipat ganda. Semoga penelitian mandiri ini bermanfaat bagi peneliti khususnya dan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan umumnya, amien. Banjarmasin, 10 September 2013 Peneliti, Dra.Hj. Rafi`ah Gazali, M.Ag iii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL.................................................................................... i IDENTIFIKASI PENGESAHAN ................................................................ ii KATA PENGANTAR ................................................................................. iii DAFTAR ISI ................................................................................................ iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Perumusan Masalah ................................................................ 6 C. Penegasan Judul ..................................................................... 6 D. Tujuan Penelitian dan Signifikansi Penelitian ....................... 7 E. Metode Penelitian................................................................... 8 F. Sistematika Penulisan ............................................................. 10 BAB II LATAR BELAKANG HISTORIS SEYYED HOSSEIN NASR A. Riwayat Hidup dan Pendidikan .............................................. 12 B. Aktivitas ................................................................................ 16 C. Karya-Karya .......................................................................... 18 BAB III MANUSIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN TUHAN MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR A. Hakikat Manusia ................................................................... 24 B. Hubungan Manusia dengan Tuhan ........................................ 41 C. Tanggung Jawab dan Hak Manusia ...................................... 49 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................. 56 B. Saran-saran ............................................................................. 57 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 58 iv v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara tentang manusia dan karakteristiknya, sedikit banyak tidak dapat terlepas dari sejumlah sistem budaya, tradisi, agama dan filsafat dengan segala perbedaan latar belakang budaya dan pemikiran yang melingkupinya. Filsafat manusia telah dirumuskan sebagai suatu refleksi atas pengalaman manusiawi untuk memperoleh paham tentang kedudukannya yang khas di tengahtengah makhluk lainnya. Dalam refleksi tersebut, eksistensi ditemukan sebagai suatu pengalaman induk, hingga dinyatakan bahwa dengan keluar dari diri, manusia menjadi diri.1 Kebudayaan merupakan jawaban khas manusia atas segala macam situasi yang dihadapinya. Situasi itu beraneka ragam. Manusia sebagai makhluk biologis berbeda situasi dengan manusia sebagai makhluk sosial, dan lain lagi dengan manusia sebagai makhluk religius. Situasi juga bisa menjadi lain karena perbedaan zaman dan daerah. Zaman dulu berbeda dengan zaman sekarang. Kebudayan Timur berbeda dengan kebudayaan Barat.2 Hubungan manusia dengan dunia secara khusus nyata dalam kebudayaan. Lain halnya dengan hewan yang hanya merupakan bagian dari alam belaka. Interaksi hewan bersifat deterministis. Jawabannya atas segala aksi dari luar bersifat pasif belaka. Hewan tidak memiliki tanggung jawab dan tidak 1 Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia, Paradoks dan Seruan, (Yogyakarta: Kanusius, 2004), h. 58. 2 Ibid. 1 2 membudaya, sehingga fenomena kebudayaan adalah sesuatu yang khas insani. Manusia sekaligus bagian dari alam dan bertransendensi terhadapnya. Dunia alam menjadi dunia budaya berkat manusia dan proses peralihan ini disebut juga dengan proses humanisasi.3 Alquran telah menjelaskan bahwa manusia merupakan khalifah Allah di muka bumi, sebagaimana firman Allah: ِ ك لِْلماَئِ َك ِة إِ يِ ج ِ ِ اع ٌل ِِ اأ َْر ْض َخلِي َفةً قَالُوا َ َ َ َوإ ْذ قَ َال َرب ِ أ َََعل فِيها من ي ْف ِس ُد فِيها ويس يماء َوَْن ُن نُ َسبي ُح َِِ ْم ِد َك د ال ك ف َ ُ ْ ََ َ ُ َ َ ُ َْ ِك قَ َال إ َ ٠ : َعلَم َما اَ تَ ْعلَ ُمو َن ُالبقرة أ ِ ي َ َيس ل ْ ُ َونُ َقد ُ Kemudian dalam ayat: ِ ْاأ َْر َ ٥ : ُص...ض ِِ ًاك َخلِي َفة َ َود إِنا َج َع ْلن ُ يَا َد ُاو Kedua ayat ini menjelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah yang dalam kajian tematik adalah berarti siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. Pada ayat di atas yaitu Nabi Adam yang secara potensial diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan, dan Nabi Daud yang diberi tugas mengelola wilayah Palestina.4 Pertanyaan tentang siapakah manusia, asal-usul dan tugasnya di dunia sebenarnya adalah pertanyaan yang telah ada sejak lama. Sejarah pemikiran Barat modern sejak Descartes ditandai dengan usaha menjawab pertanyaan tersebut. 3 4 Ibid, h. 62. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1994), h. 158. 3 Dan seiring dengan berkembangnya pemikiran, muncul berbagai aliran filsafat yang masing-masing memiliki corak pemikiran tersendiri. Salah satu aliran yang ada ialah filsafat perennial, yaitu sebuah filsafat yang dipandang bisa menjelaskan segala kejadian yang bersifat hakiki, yang menjadi hakikat seluruh agama dan tradisi spiritual manusia.5 Salah satu tokoh dari aliran filsafat ini adalah Seyyed Hossein Nasr. Salah satu ungkapannya yang terkenal adalah bahwa manusia modern telah membakar tangannya dengan api yang dinyalakannya; karena ia telah lupa siapakah ia sesungguhnya.6 Ungkapan ini disampaikan Nasr dalam mengomentari cara pandang manusia terhadap alam. Dikatakannya bahwa dunia modern tidak lagi memiliki horizon spiritual. Hal itu terjadi bukan karena horizon spiritual itu tak ada, tapi karena manusia modern – dalam istilah filsafat perennial yang sering diintrodisir oleh Nasr – “hidup di pinggir lingkaran eksistensi”. Manusia modern melihat segala sesuatu hanya dari sudut pandang pinggiran eksistensinya itu, tidak pada “pusat spiritualitas dirinya”, sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya. Memang dengan apa yang dilakukannya sekarang – memberi perhatian pada dunia dan eksistensi di luar dirinya – ia memperoleh pengetahuan dunia material yang secara kuantitas sangat mengagumkan, tetapi secara kualitatif dan keseluruhan tujuan hidupnya – menyangkut pengertian-pengertian mengenai dirinya sendiri – ternyata dangkal. Dekadensi atau kejatuhan manusia di zaman modern ini terjadi karena manusia kehilangan pengetahuan langsung mengenai dirinya itu, dan menjadi bergantung pada pengetahuan eksternal, yang tak langsung berhubungan dengan dirinya.7 5 Lihat, Budhy Munawar-Rachman, Pengantar Komarudin Hidayat dan Muhammad Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 7. 6 Ibid, h. 1. 7 Ibid, h. 2. 4 Dalam pandangan Nasr, manusia terbagi menjadi dua golongan, yaitu manusia modern dan manusia tradisional, yang terakhir ini disebutnya pula sebagai manusia suci, sebagaimana dijelaskannya dalam salah satu karyanya: Konsep tentang manusia suci, pontifex, atau jembatan antara surga dan bumi, yang merupakan pandangan tradisional anthropos, terletak pada antipoda konsep manusia modern yang membayangkan manusia sebagai ciptaan Promethean di bumi, melawan surga dan berusaha menyalahgunakan peranan Tuhan bagi dirinya sendiri. Manusia suci, dalam pengertiannya di sini, tidak lain daripada manusia tradisional, hidup di dalam dunia yang mempunyai Asal maupun Pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh sejak Asal yang mengandung kesempurnaannya sendiri dan berupaya untuk menyamai, memiliki kembali, dan mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya...8 Dari penjelasannya ini, tampak pula bahwa Nasr berusaha menegaskan bahwa manusia dengan segala karakteristiknya tidak dapat terlepas dari dimensi ketuhanan, untuk mendapatkan pengetahuan tentang hakikat diri manusia sebenarnya dapat dilakukan dengan menggali teks-teks keagamaan, tetapi manusia sekarang cenderung mengabaikannya sehingga ia tidak mengetahui arti kearifan spiritual dalam kehidupannya. Menurut Nasr, fungsi kesalehan mausia tidak pernah bisa dipisahkan dari realitas dan dari mana manusia itu sesungguhnya berasal, inilah sebabnya mengapa ajaran-ajaran tradisional selalu menggambarkan kebahagiaan manusia di dalam kesadaran dan kehidupannya menurut alam pontifikalnya, seperti jembatan antara surga dan bumi. Hukum-hukum keagamaan dan ritus-ritusnya mempunyai fungsi-sungsi kosmik untuk menyadarkan bahwa tidak mungkin manusia menghindari tanggung jawab sebagai makhluk yang hidup di bumi yang tidak 8 Seyyed Hossein Nasr, The Knowledge and The Sacred , terj. Suharsono, et. al. dengan judul Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, (Depok: Inisiasi Press, 2004), h 185. 5 sekedar berhubungan dengan keduniaan semata, tetapi untuk merefleksikan kekuasaan Tuhan di dunia.9 Situasi manusia sebagai jembatan antara surga dan bumi direfleksikan dalam seluruh keberadaan dan seluruh kemampuannya. Manusia adalah dirinya sendiri, keberadaan alamiah secara supra natural. Ketika dia berjalan-jalan di muka bumi, pada satu sisi dia muncul sebagai makhluk bumi; pada sisi yang lain, dia merupakan keberadaan surgawi yang turun ke keberadaan duniawi. Sebaliknya, memori, pembicaraan dan imajinasinya ikut serta seketika itu juga dari beberapa tatanan realitas. Sebagian besar dari inteligensinya merupakan kemampuan alamiah yang bersifat supra natural...10 Seyyed Hossein Nasr berusaha menjelaskan hakikat diri manusia melalui perspektif filsafat perennial - yang disebut sebagai filsafat tradisional – yang pembahasannya justru berbeda dengan perspektif modern yang didasarkan kepada sains.11 Nasr berkeyakinan bahwa penjelasan tuntas tentang hakikat manusia dapat ditemukan secara jelas dalam teks-teks tradisional dan keagamaan. Hal inilah yang menimbulkan ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian lebih jauh dan mendalam berkenaan dengan pendapat Seyyed Hossein Nasr tentang manusia, hasil penelitian tersebut selanjutnya akan dituangkan dalam dengan judul : “MANUSIA MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR”. B. Rumusan Masalah 9 Ibid, h. 193-194. Ibid, h. 194. 11 Lihat, Budhy Munawar-Rachman, Op. Cit., h. 5. Lihat juga, Seyyed Hossein Nasr, Op. Cit., h. 195. 10 6 Masalah pokok yang akan penulis teliti dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana hakikat manusia menurut Seyyed Hossein Nasr? 2. Bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan menurut Seyyed Hossein Nasr? 3. Apa saja tanggung jawab dan hak manusia menurut Seyyed Hossein Nasr? C. Penegasan Judul Agar tidak terjadi kesalahan pengertian dalam memahami kandungan dari judul tulisan ini, maka penulis memberikan batasan-batasan sebagai berikut : Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manusia diartikan sebagai makhluk yang berakal budi yang mampu menguasai makhluk lain 12, adapun menurut Alquran, manusia dikatakan sebagai makhluk yang lemah, tetapi memiliki akal dan hati yang diberi tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi sehingga kedudukannya lebih mulia daripada makhluk ciptaan Allah lainnya. Seyyed Hossein Nasr adalah seorang tokoh dalam filsafat perennial yang banyak mengeluarkan karya-karya filsafat yang bernafaskan Islam. Salah satunya adalah karyanya mengenai manusia modern, yaitu Islam and the Plight of Modern Man. Jadi yang dimaksud dengan judul di atas adalah manusia yang berakal budi yang bertugas sebagai khalifah Allah di bumi dan dinilai lebih mulia dari makhluk-makluk lainnya menurut Seyyed Hossein Nasr tokoh filsafat perennial yang memiliki banyak hasil karya yang antara lain berkenaan dengan manusia. 12 558. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1990), h. 7 D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui manusia menurut Seyyed Hossein Nasr. Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui: 1. Hakikat manusia menurut Seyyed Hossein Nasr. 2. Hubungan manusia dengan Tuhan menurut Seyyed Hossein Nasr. 3. Tanggung jawab dan hak manusai menurut Seyyed Hossein Nasr. Sedangkan signifikansi atau kegunaan dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat berguna untuk : 1. Bahan informasi dan sumbangan pemikiran dalam menambah khazanah keilmuan Islam terutama dalam bidang filsafat. 2. Untuk memperluas wawasan ilmu pengetahuan agama bagi penulis pada khususnya, dan masyarakat lainnya tentang hal-hal yang berkenaan dengan pembahasan ini. 3. Sumbangan pemikiran dan bahan dasar bagi penelitian selanjutnya yang lebih mendalam berkenaan dengan manusia. E. Metodologi Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian 8 Suatu penelitian memerlukan pola atau metode dalam pemecahan permasalahan yang ada melalui pendekatan penelitian yang memadai. Hal ini merupakan suatu yang penting, mengingat bagaimana peneliti mengarahkan penelitiannya berkaitan dengan sumber data yang digunakan. Dalam penelitian ini penulis mengunakan metode penelitian kepustakaan (library research), dengan mengkaji sumber-sumber pokok penelitian ini dari karya Seyyed Hossein Nasr sendiri ataupun dari karya-karya tokoh yang lain tentang Seyyed Hossein Nasr. 2. Data dan Sumber Data a. Data Data yang digali dalam penelitian ini adalah data yang berkenaan dengan konsep manusia menurut Seyyed Hossein Nasr, meliputi eksistensi manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan tanggung jawab serta hak manusia menurut Seyyed Hossein Nasr. b. Sumber data Sumber data dalam penelitian ini terbagi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. 1) Sumber data primer Sumber data primer adalah sumber data yang berkaitan langsung dengan masalah yang diteliti, yaitu buku-buku karangan Seyyed Hossein Nasr, antara lain: a) Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama b) Islam dalam Cita dan Fakta c) Islam dan Nestapa Manusia Modern 9 d) Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan Untuk Kaum Muda Muslim e) Tasauf Dulu dan Sekarang f) The Heart Of Islam: Pesan-Pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan 2) Sumber data sekunder Sumber data sekunder adalah sumber data pendukung dan penguat dari masalah yang diteliti diantaranya: a) Hakekat Manusia Menurut Islam, oleh Hadari Nawawi. b) Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, oleh Budhy Munawar-Rachman. c) Antropologi Filsafat, Manusia Paradoks dan Seruan, Adelbert Snijders. d) Membumikan Alquran, oleh M. Quraish Shihab. 3. Teknik Analisis Data Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode deskriptif analisis yaitu memaparkan inti pendapat Seyyed Hossein Nasr tentang manusia sesuai dengan permasalahan yang diangkat. F. Telaah Pustaka Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada penelitian dalam bentuk skripsi di Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari yang berkaitan dengan persoalan manusia dan hubungannya dengan Tuhan menurut Seyyed Hossein Nasr. 10 Yang ada hanya penelitian yang berkaitan dengan permasalahan postmodernisme dan Islam kontemporer menurut Seyyed Hossein Nasr dan bukan bertujuan untuk mengetahui konsep manusia menurut Seyyed Hossein Nasr. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Syadzali (1996), Mahasiswa Program S1 Fakultas Ushuluddin tersebut, tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana sosok postmodernisme dan hubungannya dengan Islam kontemporer dengan judul Postmodernisme dan Islam Kontemporer (Studi Atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr. Ada pun penelitian yang penulis ajukan, berkaitan dengan permasalahan yang lain dari pemikiran Seyyed Hossein Nasr, yaitu manusia dan hubungannya dengan Tuhan menurut Seyyed Hossein Nasr. Tegasnya, penulis melakukan penelitian terhadap tokoh yang sama - Seyyed Hossein Nasr - tetapi dari sudut pandang yang berbeda. G. Sistematika Penulisan Dalam penulisan karya ilmiah atau skripsi ini dibagi dalam empat bab pembahasan yaitu: Bab I Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, penegasan judul, perumusan masalah, tujuan dan signifikansi penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II, Latar belakang historis Seyyed Hossein Nasr yang berisi tentang riwayat hidup dan pendidikan, aktivitas dan karya-karyanya. 11 Bab III, Konsep manusia dan hubungannya dengan Tuhan menurut Seyyed Hossein Nasr yang berisi eksistensi manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan tanggung jawab dan hak manusia. Bab IV, Penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran-saran. BAB II LATAR BELAKANG HISTORIS SEYYED HOSSEIN NASR A. Riwayat Hidup dan Pendidikan Seyyed Hossein Nasr lahir di Teheran pada tanggal 7 April 1933. ia berasal dari keluarga ulama dan fisikawan tradisional. Ayahnya, Seyyed Valiallah, seorang yang terpelajar dan saleh, adalah dokter kerajaan Iran pada waktu itu sebagaimana kakeknya. Nama “Nasr” yang berarti “kejayaan” diambil dari gelar “nasr al-thibb” (kejayaan para dokter) yang dianugerahkan oleh raja Persia kepada kakeknya. Nasr berasal dari keluarga sufi, salah satu leluhurnya adalah Mulla Seyyed Muhammad Taqi Poshtmashhad, salah satu sufi terkenal di Kashan, makamnya yang terletak dekat makam Safavid King Shah Abbis, masih dikunjungi oleh peziarah sampai sekarang.1 Ayah Nasr adalah seorang dokter yang berpengalaman baik dalam pengobatan tradisional maupun modern. Ia juga merupakan guru Nasr pertama yang mengajarinya secara tradisional membaca dan menghafal surah-surah dalam al-Quran dan syair-syair Persia terkemuka. Pendidikan tradisional Nasr sangat berpengaruh terhadap perkembangan intelektualnya.2 Nasr muda mendapatkan pendidikan di sekolah umum di dekat kediamannya. Pendidikan formalnya di sekolah ditambah pula dengan pendidikan tentang keislaman dan budaya Persia yang didapatkannya dari ayahnya di rumah. 1 Universitas, George Washington, Seyyed Nasr, http://www.gwu.net/ Lecture Platform BioBox _ Seyyed Nasr.html. 2 Adnan Aslan, Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen: Seyyed Hossein Nasr dan John Hick, (Bandung: Alfiya, 2004), h. 20. 12 13 Pada usia yang masih sangat muda, ia sudah berdiskusi secara panjang lebar dengan ayahnya terutama dalam masalah filsafat dan keagamaan, hal yang sangat mempengaruhi perkembangan intelektualnya.3 Ayahnya memiliki peran yang cukup berarti dalam pendidikan awal Nasr, ia juga mengirimkan Nasr untuk belajar pada beberapa ulama Syi’ah tradisional seperti Thabathaba’i, Hazbini dan Muthahhari.4 Tahun 1945, setelah Perang Dunia II, pada usia 12 tahun Nasr dikirim ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan di Barat. Baginya, Barat berarti wilayah ilmu pengetahuan dan teknologi di mana terdapat keberhasilan dan kemajuan. Ia mengawali pendidikannya di Peddie School di Highstown, New Jersey pada tahun 1946. di sekolah ini ia menyelesaikan tingkat kedelapan yang sebelumnya telah dijalaninya di Teheran. Ia lulus dari Peddie dan mewakili kelasnya sebagai pemberi sambutan.5 Pada kelulusannya ini ia juga mendapatkan penghargaan Wyclifte Award yang diberikan sekolahnya sebagai penghargaan kepada siswa dengan prestasi tertinggi. Selama empat tahun menjalani pendidikan di Peddie, Nasr mempelajari sastra Inggris, sains, sejarah Amerika, kebudayaan Barat dan agama Kristen.6 Selanjutnya Nasr melanjutkan pendidikannya ke Massachusetter Institute of Technology di mana ia menjadi mahasiswa Iran pertama. Di sini ia memilih mempelajari sains, terutama fisika karena terdorong oleh keinginannya untuk 3 The Seyyed Hossein Nasr Foundation, A Biography of Seyyed Hossein Nasr, http://www.nasrfoundation.org/ Biography _ Dr. Seyyed Hossein Nasr.html 4 Azyumardi Azra, Tradisionalisme Nasr: Eksposisi dan Refleksi Laporan dari Seminar Seyyed Hossein Nasr, Ulumul Quran, 1993, h. 106. 5 Adnan Aslan, Op. Cit., h. 21. 6 The Seyyed Hossein Nasr Foundation, Op. Cit.. 14 mengungkap hakikat sesuatu.7 Di sinilah ia mendapatkan kesadarannya bahwa “pencapaian akan hakikat realitas sama sekali bukan peran sains modern” dan ini mendorongnya untuk mempelajari filsafat dan sejarah sains, meskipun secara formal ia masih belajar fisika dan matematika di M.I.T.8 Selama masa ini, Nasr menikmati perdebatan antara E. Meyerson dan H. Poincare. Namun, mendiang Giorgio Di Santillana-lah yang memberi pengaruh besar atas perkembangan intelektualnya, memperkenalkannya ke dalam alam pertentangan batin antara sains, filsafat dan agama di Barat. Dalam kondisi demikian itu, menarik untuk dicatat bahwa ia meminta Di Santillana untuk mengajar mata kuliah Hinduisme, jauh sebelum disiplin perbandingan agama secara formal didirikan di universitas-universitas Barat. Di Santillana tidak hanya memperkenalkannya dengan Galileo, tetapi juga dengan Dante, yang Divine Comedy-nya membukakan kepada Nasr aspek-aspek terdalam tradisi Barat, dan menjadikan gagasan “kebijakan tradisional” sebagai perhatian Nasr.9 Setelah memperoleh gelar B.S. dari M.I.T. pada tahun 1954, Nasr memasuki Harvard. Sebelumnya ia sudah akrab dengan filsafat perennial dan menjadikannya sebagai komitmen sepanjang hidup. Di Harvard ia mempelajari geologi dan geofisika dan menyelesaikan tingkat M.A., di sini ia melakukan riset dalam bidang sejarah sains di bawah bimbingan Sir Hamilton Gibb, H.A. Wolfson dan I.B. Cohen. Secara intelektual Nasr sangat aktif; ia tidak ingin kehilangan setiap kesempatan yang dapat memperluas wawasannya dalam memperdalam pengetahuannya. Ia bertemu dengan banyak sarjana seperti D.Z. Suzuki dan Sh. Hisamutsu dan mengambil banyak manfaat dari perpustakaan Coomaraswamy yang bagi Nasr merupakan rute menuju kebijakan Timur.10 7 Ibid. Adnan aslan, Op. Cit., h. 22. 9 Ibid. 10 Ibid, h. 23. 8 unik 15 Intelektual lain yang mempengaruhi Nasr adalah Burckhardt yang merupakan tokoh filsafat perennial dan banyak menulis tentang esoterisme Islam, seni suci dan seni Islam. Nasr sering berkorespondensi dengannya dan beberapa kali bertemu bahkan di tahun 1966, pada perayaan 100 tahun berdirinya Universitas Amerika di Beirut, mereka berdua melakukan ziarah ke makam Ibnu ‘Arabi dan beberapa tahun kemudian bersama-sama melakukan tawaf di Ka’bah.11 Tokoh-tokoh perennialis lain yang mempengaruhi Nasr antara lain adalah Marco Pallis, Martin Lings, Houston Smith dan Louis Massignon serta Henry Corbin. Ia bertemu dengan Massignon pada saat masih menjadi mahasiswa, hubungan mereka terus berlanjut hingga Mssignon meninggal. Perjumpaannya dengan Corbin terjadi waktu ia kembali ke Teheran pada tahun 1958 dan bekerja sama dengannya selama hampir dua puluh tahun, mengajar dan menulis berbagai buku.12 Tahun 1958, ketika berumur 25 tahun, Nasr merampungkan desertasi doktornya dalam bidang kosmologi Islam yang kemudian diterbitkan dengan judul An Introductin to Islamic Cosmological Doctrine: Conceptions of Nature and Methods Used for Its Study by the Ikhwan ash-Shafa, al-Biruni and Ibn Sina pada tahun 1964. pada tahun yang sama ia memperoleh gelar Ph.D. dari Harvard dan kembali ke Iran dengan apresisasi baru terhadap tradisi Islam yang hidup dengan kesadaran utuh terhadap kesalahan-kesalahan serta penyimpanganpenyimpangan yang terjadi di dunia modern.13 11 Ibid, h. 25-26. Ibid, h. 26. 13 Ibid. 12 16 B. Aktivitas Setelah kembali ke Iran, dengan pengalaman dan pengetahuannya, Nasr kemudian terlibat dalam berbagai lembaga pendidikan tinggi di Iran dan beberapa tempat lain. Tahun 1958 ia mengajar di Teheran University. Ia juga berkiprah di dunia akademik di beberapa kampus lainnya, seperti di Pakistan (1966), Australia (1970), India dan Edinburgh serta Toronto (1983), Inggris (1994), California (1995) dan San Fransisco (1995).14 Selama 20 tahun di Iran, Nasr hidup secara profesional. Ia menjadi Professor Sains dan Filsafat di Universitas Teheran dan ikut serta di hampir setiap dewan pendidikan di Iran. Ia menjadi Dekan dan Wakil Konselor Universita Teheran dan Presiden Universitas Aryamehr. Di samping itu ia juga memainkan peran penting dalam membangun kampus universitas di kota Isfahan dan pada tahun 1974 ia mendirikan Iranian Academy of Philoshophy dan bertindak sebagai direktur pertamanya. Selama di Iran ini pula, selama hampir sepuluh tahun ia aktif menghadiri kelas-kelas madrasah tradisional dan tokoh-tokoh agama di Iran yang mengajarkan filsafat Islam tradisional, termasuk tiga tokoh filosof-wali Iran terkemuka: Sayyid Muhammad Kazhim Ashar, ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i dan Sayyid Abu al-Hasan Rafi’i. Hal ini kemudian menjadi landasan Nasr ketika bekerja sama dengan Corbin dalam usaha memperkenalkan filsafat Islam dari perspektif tradisional kepada masyarakat akademis Barat.15 14 Nur Said, Kritik Tradisionalisme Islam Terhadap Krisis Dunia Modern (Studi atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr), An-Nur, Vol. I, No. 2, Februari 2005, h. 277. 15 Adnan Aslam, Op. Cit., h. 26-27. 17 Pada 1961-1962 Nasr menjadi Dosen Tamu di Centre for the Study of World Religions di Harvard, kemudian pada 1964-1965 ia diundang ke American University di Beirut sebagai pejabat pertama Aga Khan Chair of Islamic Studies.16 Nasr juga berkiprah dalam pendirian Husainiyah Irsyad bersama Murtada Muthahhari dan Ali Syari’ati. Lembaga yang didirikan berdasarkan tujuan mengembangkan ideologi Islam berdasarkan perspektif Syi’ah ini kemudian menjadi pusat kaderisasi pemuda militan revolusioner. Kegiatannya meliputi pemberdayaan intelektual seperti riset, pendidikan, propaganda dan unit organisasi logistik.17 Pada masa itu, Iran berada di bawah pemerintahan Dinasti Reza Pahlevi dan mengalami modernisasi di berbagai bidang, terutama pada birokrasi pemerintahan dan angkatan bersenjata. Gerakan ini kemudian mendapat tantangan dari kalangan ulama yang dipelopori oleh Ayatullah Khomeini dan dari kaum intelektual yang dipelopori oleh Ali Syari’ati.18 Namun akhirnya Nasr keluar dari lembaga itu karena Ali Syari’ati telah menyalahgunakannya untuk kepentingan politik. Alasan yang lebih substantif, Nasr memandang Syari’ati telah menyajikan Islam sebagai kekuatan revolusioner dengan mengorbankan dimensi spiritualnya akibat pengaruh Westernisme dan Marxisme melalui wacana teologi pembebasan yang digagasnya.19 Pada 1979, situasi politik Iran memaksa Nasr meninggalkan negerinya itu dan membangun kembali kehidupannya di Amerika. Di sini ia kemudian ditunjuk 16 Nur Said, Loc. Cit.. Ibid, h. 276. 18 John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negar-Negara Muslim, terj. Rahmany Astuti, (Bandung: Mizan, 1999), h. 80. 19 Nur Said, Loc. Cit.. 17 18 sebagai Professor Islamic Studies di Temple University, Philadelphia di mana ia bekerja sampai 1984. Pada 1981 ia diundang ke Universitas Edinburgh untuk menyampaikan kuliahnya. Kemudian pada tahun 1984 hingga sekarang, ia menjadi University Professor di bidang Islamic Studies di The George Washington University. Pada 1994 ia menyampaikan beberapa ceramah di Universitas Birmingham.20 Salah satu aktivitas penting Nasr di Washington adalah dengan mendirikan sebuah yayasan yang berkonsentrasi pada studi tentang tradisionalisme Islam. Yayasan yang bernama Foundation for Traditional Studies ini didirikan pada 1984 ini telah mempublikasikan berbagai buku terutama yang berkenaan dengan ajaran tradisional dan filsafat perennial seperti Religion of the Heart karangan Frithjof Schuon yang diedit oleh Nasr dan william Stoddart, dan In Quest of the Sacred: The Modern World in the Light of Tradition yang merupakan kumpulan esay dari para penulis tradisional pada suatu konferensi yang diadakan di Peru oleh yayasan ini bekerja sama dengan The Peruvian Instituto de Estudios Tradicionales. Yaysan ini juga menerbitkan jurnal Shopia yang berisi esay-esay tentang berbagai pandangan tradisional.21 C. Karya-Karya Selain aktif dalam mengajar dan memberikan ceramah-ceramah, Nasr juga aktif menulis. Ia telah menulis lebih dari 50 buku dan 500 artikel dan sebagian besar telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, terutama bahasa-bahasa 20 21 Adnan Aslan, Op. Cit., h. 31, 33 dan 34. Universitas, George Washington, Op. Cit.. 19 umat Islam, bahasa Eropa dan Asia.22 Meskipun menulis dengan menggunakan bahasa Inggris, akan tetapi Nasr menyebut dirinya sebagai “man of the East” dan menyatakan bahwa salah satu tugasnya adalah mempertemukan perbedaan antara Barat dan Timur setidaknya sebagai penengah antara keduanya.23 Di antara tulisan-tulisannya yang sebagian juga merupakan intisari dari berbagai kuliah dan ceramah yang disampaikannya adalah: 1. Three Muslim Sages (1962). 2. An Introductin to Islamic Cosmological Doctrine: Conceptions of Nature and Methods Used for Its Study by the Ikhwan ash-Shafa, asl-Biruni and Ibn Sina (1964). 3. Islamic Science – An Illustrated Study (1964) 4. Ideals and Realitties of Islam (1965), terjemahan bahasa Indonesia berjudul Islam dalam Cita dan Fakta. 5. Science and Civilization in Islam ( 1968). 6. Man and Nature (1968). 7. Sufi Essays (1972). 8. Islam and The Plight of Modern Man (1975), terjemahan bahasa Indonesia berjudul Islam dan Nestapa Manusia Modern. 9. Knowledge and the Sacred (1981), terjemahan bahasa Indonesia berjudul Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama. 10. The Encounter Man and Nature (1984), terjemahan bahasa Indonesia berjudul Antara Tuhan, Manusia dan Alam. 22 The Seyyed Hossein Nasr Foundation, Op. Cit.. Charles E. Butterworth, Revelation Over Rationalism: The Thought of Seyyed Hossein Nasr, http://www.echeat.com/essays/butterworth15-2.pdf. 23 20 11. Traditional Islam in the Modern World (1987). 12. Islamic Art and Spirituality (1987). 13. The Need for Sacred Science (1993). 14. Religion and The Order of Nature (1994). 15. The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (2002), terjemahan bahasa Indonesia berjudul The Heart of Islam: Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan. BAB III MANUSIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN TUHAN MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR Persoalan manusia, baik mengenai asal-usulnya, tugasnya di dunia, dan berbagai hal lain yang berhubungan dengan diri manusia merupakan topik yang sering muncul dalam pembahasan filsafat. Hal ini mendorong munculnya berbagai aliran yang berusaha memberikan penjelasan tentang hakikat manusia menurut caranya masing-masing. Salah satu aliran yang berusaha memberikan penjelasan tentang hakikat manusia ini adalah filsafat perennial. Aliran ini berusaha menguraikan pengertian tentang hakikat diri manusia dari perspektif yang disebut “tradisional”, karena sebagaimana diyakini oleh para penganutnya bahwa pada dasarnya penjelasan mengenai hakikat manusia telah tertuang dalam teks-teks tradisional dan keagamaan. Tetapi karena manusia sendiri cenderung mengabaikannya, maka hal itu menjadi seperti tersembunyi apalagi sekarang kehidupan spiritual telah banyak ditinggalkan manusia.1 Seyyed Hossein Nasr, sebagai salah satu tokoh aliran filsafat ini dengan pendekatan perennialisme dan sufismenya2 membahas hakekat manusia dengan memberikan kritik terhadap ideologi dunia modern yang sekarang sedang dihadapi manusia. Baginya, ideologi dunia modern telah menggeser posisi 1 Budhy Munawar-Rachman, Pengantar Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Maret 2003), h. 5. 2 Lihat, Nur Said, Kritik Tradisionalisme Islam Terhadap Krisis Dunia Modern (Studi atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr), An-Nur, Vol. I, No. 2, Februari 2005, h. 280 dan 282. 21 22 manusia dari pusat eksistensinya, sehingga manusia modern semakin terpinggirkan dari esensi kemanusiaannya dan kehidupan menjadi kehilangan horizon spiritual sehingga menimbulkan berbagai bencana dan krisis lingkungan, sebagaimana dikatakannya: ... Apabila dua dasawarsa yang lampau setiap orang berbicara mengenai kemungkinan yang tak terbatas bagi manusia untuk berkembang secara lahiriah dan materialistis, maka pada masa kini setiap orang berbicara mengenai “batas-batas pertumbuhan” – sebuah ungkapan yang pada saat ini sedang populer di Barat – atau bahkan mengenai bencana yang segera akan menimpa umat manusia. Tetapi konsep-konsep serta faktor-faktor yang dipergunakan untuk menganalisa krisis yang dihadapi manusia modern ini, pemecahan-pemecahan yang dicari, dan bahkan warna-warna untuk melukiskan bencana yang akan menimpa umat manusia itu biasanya berdasarkan unsur-unsur yang telah menciptakan krisis itu juga. Kehidupan di dunia ini tampaknya masih tidak memiliki horizon spiritual. Hal ini bukan karena horizon spiritual itu tidak ada, tetapi karena yang menyaksikan panorama kehidupan kontemporer ini seringkali adalah manusia yang hidup di pinggiran lingkaran eksistensi, sehingga ia hanya dapat menyaksikan segala sesuatu dari sudut pandangannya sendiri. Ia senantiasa tidak peduli dengan jari-jari lingkaran eksistensi dan sama sekali lupa dengan sumbu maupun pusat lingkaran eksistensi yang dapat dicapainya melalui jari-jari tersebut.3 Keadaan tersebut, menurutnya telah membuat manusia lupa dengan hakikat dirinya yang sebenarnya. Kemajuan masyarakat yang sudah berhasil dan begitu percaya pada iptek, akhirnya berkembang lepas dari kontrol agama karena menjadikan manusia sebagai pusat kemajuan, sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi bagi sebagian besar orang di Barat akhirnya menggantikan posisi agama. Segala kebutuhan agama seolah bisa terpenuhi dengan iptek. Namun dalam kurun waktu yang panjang iptek ternyata menghianati kepercayaan manusia, kemajuan iptek justru identik dengan bencana, sehingga membuat 3 Seyyed Hossein Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, terj. Anas Muhyiddin dengan judul Islam dan Nestapa Manusia Modern, (Bandung: Pustaka, 1983), h. 4 23 masyarakat Barat mengalami apa yang disebut krisis epistimologis, mereka tidak lagi mengetahui makna dan tujuan hidup (meaning and purpose of life). Hal ini ditambah lagi dengan kecenderungan memformulasikan berbagai masalah dalam kehidupan manusia kepada perubahan-perubahan fisik yang biasanya tidak menyentuh aspek batin bahkan sering bertentangan. Dimensi metafisik dari ilmu pengetahuan menjadi hilang, karena yang dikembangkan hanyalah ilmu yang bersifat praktis dan dapat diukur dalam kerangka ilmiah yang diciptakan berdasarkan kebutuhan praktis manusia dengan mengabaikan aspek moralitas dan nilai.4 Perbenturan di antara penemuan-penemuan beserta manipulasimanipulasi umat manusia di dalam bentuk teknologi dengan kultur mereka, maupun efek yang mengerikan serta menghancurkan lingkungan dari aplikasi pengetahuan yang diperoleh mereka sudah sedemikian dahsyatnya, sehingga banyak pihak di dunia modern ini, terutama sekali di Barat, akhirnya mulai mempertanyakan validitas konsep manusia yang diyakini Barat sejak kebangkitan kebudayaan modern. Tetapi walaupun adanya kesadaran untuk membahas masalah yang sedemikian besar ini dengan cara yang berarti dan konstruktif, terlebih dahulu kita harus menyingkirkan halhal yang biasanya menghalangi pembahasan terhadap masalah-masalah yang paling pokok. Manusia modern telah membakar tangannya dengan api yang telah dinyalakannya karena ia telah lupa siapakah ia itu sesungguhnya. Seperti yang dilakukan Faust, setelah menjual jiwanya untuk memperoleh kekuasaan terhadap lingkungan alam manusia, ia menciptakan suatu situasi di mana kontrol terhadap lingkungan berubah menjadi pencekikan terhadap lingkungan, yang selanjutnya tidak hanya berubah menjadi kehancuran ekonomi tetapi juga menjadi perbuatan bunuh diri.5 Hal ini, menurut Nasr yang juga disepakati oleh tokoh-tokoh lain dalam filsafat perennial, merupakan disebabkan karena peradaban modern yang dibangun manusia selama ini tidak menyertakan hal yang paling esensial dalam kehidupan manusia, yaitu dimensi spiritual, sehingga dunia seakan tidak memiliki 4 5 Nur Said, Op. Cit., h. 270. Seyyed Hossein Nasr, Op. Cit., h. 3-4. 24 dimensi transendental (ketuhanan). Krisis mentalitas dan spiritual manusia justru baru disadari setelah terjadinya kehancuran lingkungan sekitarnya, bukan karena sifat manusia yang selama ini dilupakan telah disadari kembali.6 Dalam kondisi seperti inilah, Nasr dengan gagasan Tradisionalisme Islamnya berusaha mengaktualisasikan kembali nilai-nilai tradisional yang dianggap dapat mengingatkan manusia akan hakikat diri dan dunia di sekelilingnya dan menunjukkan kepada manusia modern tentang segala kebutuhan dan tanggung jawab mereka. A. Hakikat Manusia Sesuai dengan ide Tradisionalisme Islam yang dibawanya, Nasr selalu mengaitkan setiap pembahasannya dengan teks-teks Alquran dan Hadits. Manusia menurut Nasr didefinisikan dalam hubungannya dengan Tuhan, tanggung jawab dan hak-hak manusia dirumuskan dari hubungan tersebut. Form atau bentuk manusia merupakan refleksi dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Tuhan. Refleksi Sifat Tuhan dalam diri manusia ini sebagaimana cermin yang merefleksikan cahaya matahari.7 Nasr berpijak pada term penciptaan manusia dalam Alquran, di mana dijelaskan bahwa pada mulanya manusia diciptakan dari tanah liat, dan kemudian Allah meniupkan Ruh-Nya ke dalamnya sebagaimana dalam Surah al-Hijr ayat 28-29: 6 Ibid, h. 19. Seyyed Hossein Nasr, The Heart Of Islam: Enduring Values for Humanity, terj. Nurasiah Fakih Sutan Harahap dengan judul The Heart Of Islam: Pesan-Pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2003), h. 336. 7 25 ِوإِ ْذ قَ َال ربك لِْلماَئِ َك ِة إِ يِ خال ص ٍال يم ْن ٍَََإ ل ص ن م ا ر ش ب ق ْ ي َ ٌ َ َ َ َ َ َ ً َ َ ِ اج ِ وحي فَ َقعواْ لَه س ِ فَِإ َذا سوي تُه ونَ َفخت فِ ِيه ِمن ر، ون ٍ ُمس ين د ْ ُ َ ُ ُ ََُْ َ ْ َ - : ُاحجر Pengaruh sufisme Ibnu ‘Arabi tampak jelas dalam pemikiran Nasr, ia menegaskan bahwa menurut Islam, tujuan kemunculan manusia di dunia adalah untuk memperoleh pengetahuan total tentang benda, untuk menjadi Manusia Universal (al-insan al-kamil), yaitu cermin yang memantulkan semua Nama dan Sifat Allah. Bagi Tuhan, maksud dan tujuan penciptaan manusia adalah untuk “mengetahui” diri-Nya melalui instrumen pengetahuan-Nya yang sempurna, yakni Manusia Universal.8 Dalam membahas kejadian manusia, Nasr membandingkan konsep Islam dan agama-agama lain terutama Kristen dan Yahudi. Nasr menyimpulkan adanya kesamaan konsep dalam setiap agama dan tradisi tentang kejadian manusia terutama dalam hal adanya aspek Ketuhanan dalam diri manusia, sesuatu yang merupakan pancaran dunia spiritual. Kejadian manusia, menurut semua tradisi, terjadi dalam banyak tahap: pertama, dalam Tuhan itu sendiri, sehingga terdapat suatu “aspek” manusia yang tidak diciptakan. Itulah mengapa manusia dapat memperoleh pengalaman an-nihilisasi dalam Tuhan subsistensi dalam Dirinya (al-fana dan al-baqa pada sufism) dan mencapai penyatuan puncak. Kemudian manusia dilahirkan dalam logos yang merupakan kenyataan prototipe manusia dan wajah lain dari realitas yang sama, orang Islam menyebutnya dengan Manusia Universal dan masing-masing tradisi mengidentifikasikan dengan pendirinya. Kemudian manusia diciptakan dalam level kosmik dan apa yang dinyatakan Bible sebagai makhluk surgawi, di mana dia dikenakan dengan tubuh bercahaya yang sesuai dengan keadaan surga 8 Seyyed Hossein Nasr, The Encounter Man and Nature, terj. Ali Noer Zaman dengan judul Antara Tuhan, Manusia dan Alam, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), h. 115-116. 26 tersebut. Dia kemudian turun ke level taman terestrial9 dan dikenakan tubuh lain dari alam yang sangat halus dan tidak dapat disuapi. Akhirnya dia dilahirkan ke dunia fisik dengan tubuh yang binasa tetapi mempunyai landasan dalam tubuh-tubuh yang halus dan berkilau, termasuk tahap-tahap awal elaborasi manusia dan kejadiannya sebelum kemunculannya di bumi.10 Fase pertama penciptaan manusia menurut Nasr adalah ketika manusia diturunkan dari ruh yang merupakan milik Allah11, dengan demikian terdapat dimensi Ketuhanan dalam diri manusia, sebagaimana dijelaskan dalam ayat Alquran di atas. Di sini Nasr berusaha menegaskan bahwa ruh manusia bukanlah ciptaan Allah, karena dalam berbagai ayat tentang kejadian manusia, selalu dijelaskan bahwa Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad manusia, artinya, menurut Nasr, jasad manusia diciptakan dan kemudian Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad tersebut sebagai karunia yang menunjukkan kedudukan tertentu yang dimiliki manusia. Akan tetapi, Nasr menegaskan bahwa konsep ini tidak mengubah Tuhan menjadi manusia atau sebaliknya, juga tidak ada kemungkinan inkarnasi dimensi ke-Tuhanan dan kemanusiaan dalam diri manusia, melainkan menggambarkan manusia sebagai makhluk theomorfis yang memiliki sesuatu yang agung dalam dirinya. Allah dengan sengaja menciptakan manusia sebagai cermin yang memantulkan Nama dan Sifat-Nya, tegasnya ada sesuatu yang suci dalam diri 9 Terestrial adalah kata sifat yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang hidup dari atau di bumi (of or living on the land), lihat Martin H. Manser, Oxford Learner’s Pocket Dictionary, (New York: Oxford University Press, 1995), h. 428. Nasr menggunakan istilah ini untuk menunjukkan manusia yang hidup di bumi dengan segala tanggung jawabnya atas tindakannya sebagai penjaga dan pelindung bumi, lihat Seyyed Hossein Nasr, The Knowledge and The Sacred , terj. Suharsono, et. al. dengan judul Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, (Depok: Inisiasi Press, 2004), h. 167. 10 Ibid, h. 177. 11 Seyyed Hossein Nasr, A Young Muslim’s Guide to the Modern World, terj. Hasli Tarekat dengan judul Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan Untuk Kaum Muda Muslim, (Bandung: Mizan, 1994), h. 41. 27 manusia.12 Penyatuan puncak dalam perspektif Nasr di atas lebih berorientasi pada pengalaman religius manusia yang membuatnya menjadi manusia seutuhnya sebagaimana penjelasan Nasr: Manusia, sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifah) dan panggung di mana nama-nama dan Sifat-Sifat Tuhan dipertunjukkan, bisa mencapai kebahagiaan hanya dengan tetap memegang teguh kodratnya ini atau dengan menjadi dirinya secara sungguh-sungguh. Dan ini sebagai akibatnya berarti ia harus menjadi utuh. Tuhan adalah satu dan demikian manusia harus menjadi menyeluruh di dalam rangka untuk menjadi satu. Terceraiberai dan terpisah-pisah, tenggelam di dalam permainan gambar dan konsekonsep mental yang tak habis-habisnya, atau mengalami ketegangan dan tekanan kejiwaan, adalah berarti terpisah jauh dari keadaan menyeluruh yang dituntut hati nurani kita. Banyak orang dewasa ini lebih menyukai dirinya melampaui batas dengan segala pengorbanan, malahan lebih memiliki demikian dan memasuki neraka daripada menjadi wajar dan berjalan menuju surga; sekalipun demikian, dibanding sifat melampaui batas, sifat wajar lebih dekat kepada ketakberdosaan dan kemurnian yang merupakan keadaan surgawi yang indah, seperti Nabi Isa mengatakan bahwa kita harus menjadi seperti kanak-kanak supaya bisa masuk surga.13 Fase kedua dalam penciptaan manusia adalah ketika ia diciptakan sebagai logos yang menjadi prototipe semua manusia dan segala ciptaan, dalam Islam logos, tegas Nasr, adalah Nabi Muhammad.14 Nabi Muhammad, sebagai pembawa Islam, merupakan Nabi terakhir yang diutus Allah ke dunia, meskipun seluruh nabi dalam Islam memiliki aspek logos tersebut, akan tetapi menurut Nasr, Hakikat Muhammad yang menjadi ciptaan Allah yang pertama – konsep yang sama dengan konsep Nur Muhammad dalam tasawuf – sehingga secara batin beliau datang sebelum nabi yang lain pada awal siklus kenabian dan sebagai 12 Lihat, Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, terj. Abdurrahman Wahid dan Hashim Wahid dengan judul Islam dalam Cita dan Fakta, (Jakarta: LEPPENAS, 1981), h. 4 dan 177. 13 Seyyed Hossein Nasr, Living Sufism, terj. Abdul Hadi WM dengan judul Tasauf Dulu dan Sekarang, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 37-38. 14 Dalam setiap agama, penyebar atau pendirinya selalu diidentifikasikan sebagai logos, dalam Kristen, logos diidentifikasi sebagai Kristus seperti dijelaskan dalam Injil Yohannes. Lihat, Ibid, h. 57, juga Seyyed Hossein Nasr, The Knowledge..., Loc. Cit.. 28 perwujudan peuh dari sifat kemanusiaan yang sempurna, Muhammad adalah Manusia Universal (al-insan al-kamil), dan aspek batinnya merupakan logos.15 ...Seperti pohon yang tumbuh dari sebuah bibit yang kemudian berkembang dengan subur dan akhirnya berbuah yang mengandung bibit yang serupa, begitu pulalah siklus kenabian yang dimuali dengan Hakikat Muhammad, dan diakhiri dengan manifestasinya sebagai manusia. Secara batin ia adalah awal silus kenabian dan secara lahir ia adalah akhir siklus kenabian yang telah ia satukan dan integrasikan dalam dirinya. Pada lahirnya ia manusia biasa, dan secara batin ia Manusia Universal yang menjadi norma segala kesempurnaan...16 Keberadaan Nabi Muhammad sebagai logos ini terutama dari fungsi kenabiannya sebagai pembawa wahyu Ilahi. Peranannya sebagai khatim alanbiya’ memulai sebuah siklus kesucian yang diistilahkan Nasr dengan “kesucian Muhammad” yang selalu ada dan menjadi kekuatan spiritual dalam Islam, sehingga tidak lagi diperlukan adanya agama baru sesudah Islam, sebab wahyu yang dibawa Nabi Muhammad dengan sendirinya mengandung segala hal yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan religius dan spiritual setiap muslim.17 Fase ketiga dalam kejadian manusia adalah manusia dalam level kosmik, yaitu Nabi Adam sebagai penghuni surga sebelum kejatuhan yang dialaminya sehingga diturunkan ke bumi dan selanjutnya menjadi manusia terestrial.18 Fase keempat kejadian manusia adalah setelah diturunkan ke bumi, di mana manusia tidak lagi berada dalam level kosmik, tetapi telah berpindah ke dunia fisik. Pada fase ini manusia melengkapi penciptaan alam sebagai wakil (khalifah) Tuhan di bumi yang diberi kemampuan untuk mengetahui segala 15 Seyyed Hossein Nasr, Ideals..., Op. Cit., h. 57. Ibid. 17 Ibid, h. 56. 18 Seyyed Hossein Nasr, The Encounter..., Op. Cit., h. 115. 16 29 sesuatu, menundukkan bumi, kekuasaan untuk melakukan kebaikan tetapi di sisi lain juga dapat menimbulkan kerusakan dan kehancuran bumi.19 Beberapa tahap penciptaan manusia menurut Nasr ini menunjukkan adanya penurunan derajat manusia dari manusia yang sepenuhnya mencerminkan Sifat-Sifat Allah – Nasr mengistilahkannya dengan Manusia Universal – hingga menjadi manusia terestrial yang menghuni bumi. Penurunan derajat manusia yang disebabkan kejatuhannya setelah melanggar larangan Allah di surga ini membawa manusia ke dunia fisik sebagai hukuman atas pelanggaran tersebut. Meski kejatuhan manusia merupakan hukuman, tetapi Allah tetap memberikan kelebihan kepada manusia dengan eksistensinya sebagai wakil-Nya untuk menjalankan semua kehendak-Nya di muka bumi. Keunikan eksistensi manusia ini menurut Nasr terkandung pada perjanjian pra eternal (azali) antara manusia dengan Allah sebagaimana dijelaskan dalam Alquran: ِ َ وإِ ْذ أَخ َذ رب آد َم ِمن ظُ ُهوِرِه ْم ذُيري تَ ُه ْم َوأَ ْش َه َد ُه ْم َعلَى َ َِِك من ب َ َ َ ِ َ : ُااعراف... ش ِه ْدنَا َ ت بَِربي ُك ْم قَالُواْ بَلَى َ أَن ُفس ِه ْم أَلَ ْس Perjanjian yang terjadi sebelum kelahiran manusia ini menimbulkan amanah bagi manusia sebagai makhluk yang berakal dan bebas, dengan segala keuntungan dan bahaya yang terkandung di dalamnya.20 Amanah yang diberikan Allah ini di dalamnya mengandung pengakuan terhadap Keesaan Allah dan 19 20 Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam..., Op. Cit., h. 18. Seyyed Hossein Nasr, Ideals..., Op. Cit.. h. 21. 30 tindakan-tindakan ibadah dan pelayanan. Menerima perjanjian tersebut berarti menerima untuk menyembah dan melayani-Nya.21 Sebagai makhluk theomorfis, manusia dikaruniai akal, kehendak yang bebas (free will) dan kemampuan berbicara. Akal memungkinkan manusia untuk membedakan kebaikan dan keburukan, kenyataan dan khayalan, serta dengan sendirinya membawa manusia kepada kesadaran tentang kesatuan Zat (tauhid). Kemudian kehendak membuat manusia mampu memilih antara yang benar dan yang salah, manusia dalam Islam, tegas Nasr, bukan makhluk berkehendak serba buruk yang memiliki akal, tetapi sebaliknya adalah makhluk berakal yang mampu mendekatkan diri kepada Tuhan. Kemampuan manusia berbicara membuatnya mampu untuk menyatakan hubungan dirinya dengan Tuhan.22 ...Manusia menduduki posisi tertentu di dunia ini. ia berada di poros dan pusat miliu kosmos, penjaga dan sekaligus penguasa alam. Dengan mendapat pelajaran tentang nama-nama segala benda, ia dapat menguasai benda, tetapi ia diberi kekuasaan ini hanya karena ia adalah khalifah Allah di bumi dan merupakan alat Kehendak-Nya. Manusia diberi hak untuk menguasai alam hanya karena watak teomorfiknya, bukan karena pemberontakannya terhadap langit.23 Sebagai makhluk sentral di dunia, manusia adalah wakil Tuhan (khalifah Allah) sekaligus hamba-Nya (‘abd Allah). Kedua hal tersebut bersama-sama membentuk sifat yang fundamental dalam diri manusia. Sebagai hamba, manusia harus berada dalam ketundukan total kepada Tuhan dan dalam kondisi siap menerima apa pun yang diinginkan-Nya dari diri manusia itu, menerima semua petunjuk-Nya dan melaksanakan semua kehendak-Nya. Sementara sebagai khalifah, manusia harus bersifat aktif terutama menjadi jembatan antara langit dan 21 Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam..., Op. Cit., h. 338. Seyyed Hossein Nasr, Ideals..., Op. Cit., h. 4. 23 Seyyed Hossein Nasr, The Encounter..., Op. Cit., h. 116. 22 31 bumi, instrumen yang menjadi perwujudan dan kristalisasi kehendak Tuhan di dunia.24 Dari sinilah kemudian timbul konsep Nasr tentang Manusia Suci (pontifex) dan Manusia Promethean. Keduanya memiliki sifat yang sangat bertolakbelakang; Manusia Suci senantiasa berada dalam eksistensi dirinya sebagai khalifah yang menjaga dan menguasai alam, sementara Manusia Promethean mengingkari eksistensi tersebut, ia melakukan berbagai kerusakan dan manipulasi terhadap alam. Manusia Suci dalam pengertian Nasr adalah manusia tradisional yang hidup di dalam dunia yang mempunyai Asal maupun Pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh, sejak Asal yang mengandung kesempurnaannya sendiri dan berusaha untuk menyamai, memiliki kembali, dan mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya. Dia juga hidup dalam lingkaran pusat yang senantiasa sadar dan berupaya mencapai, berpikir, dan bertindak dalam hidupnya. Atau dalam pengertian lain, Manusia Suci adalah Khalifah Allah di bumi yang bertanggung jawab kepada-Nya atas segala tindakan, penjaga dan pelindung bumi yang senantiasa percaya diri sebagai figur terestrial pusat yang diciptakan dalam “bentuk Tuhan”.25 Sementara Manusia Promethean, kebalikan dari Manusia Suci, adalah manusia yang menganggap alam sebagai dunia artifisial yang diciptakannya sendiri sehingga memungkinkannya melupakan Tuhan dan realitas batinnya. Dalam bayangan Manusia Promethean, kehidupan adalah seperti pasar besar di 24 25 Seyyed Hossein Nasr, A Young Muslim’s..., Op. Cit., h. 40. Seyyed Hossein Nasr, The Knowledge..., Op. Cit., h. 167. 32 mana dia bebas menjelajah dan memiliki berbagai objek sesukanya. Ia kehilangan makna sakral sehingga menjadi budak dari alam rendahnya dan menyerah kepada apa yang dianggap sebagai kebebasan. Secara pasif, manusia tipe ini mengikuti aliran yang menuju ke bawah siklus sejarah manusia dengan mengklaim bahwa dalam perbuatannya itu ia menentukan nasibnya sendiri.26 Hal ini menurut Nasr, disebabkan oleh ideologi modern yang cenderung melupakan dimensi ketuhanan dalam kehidupan di alam semesta, sehingga muncullah golongan manusia yang hidup di pinggir lingkaran eksistensinya dan memandang sesuatu hanya dari sudut pandangnya sendiri tanpa mempedulikan pusat lingkaran eksistensi tersebut. Manusia Promethean, digambarkan Nasr telah lupa siapa dirinya sebenarnya karena ideologi modern yang dianutnya ini. pengetahuan yang dimilikinya, meskipun secara kuantitatif sangat mengagumkan terutama dalam aspek materi pada dasarnya hanyalah pengetahuan duniawi yang tidak dapat membawa manusia kepada hakikat dirinya sehingga membawa manusia bahkan alam semesta kepada serangkaian malapetaka. Masalah penghancuran lingkungan oleh teknologi, krisis ekologi, dan lain-lain yang semacamnya, semuanya bersumber dari penyakit amnesis atau pelupa yang diidap oleh manusia modern. Manusia modern telah lupa, siapakah ia sesungguhnya. Karena hidup di pinggiran lingkaran eksistensinya sendiri, ia telah memperoleh pengetahuan dunia yang secara kualitatif bersifat dangkal tetapi yang secara kuantitatif sangat mengagumkan. Ia telah memproyeksikan citra pribadinya yang eksternal dan palsu kepada dunia. Kemudian setelah mengenal dunia dalam pengertian-pengertian eksternal tersebut ia mencoba merekonstruksikan citra pribadinya berdasarkan pengetahuan eksternal tersebut. Maka terjadilah serangkaian “kejatuhan” yang menyebabkan manusia berisolasi ke arah bawah di antara citra peribadinya yang semakin bersifat eksternal dengan dunia di sekeliling dirinya, sedang ia semakin jauh dari pusat eksistensinya dan dari lingkungan kosmisnya. Inti sejarah perkembangan 26 Ibid, h. 168. 33 spiritual manusia Barat modern sejak latar belakang sejarahnya sebagai manusia tradisional – yang sekaligus mewakili leluhurnya di dalam waktu dan mewakili pusat eksistensinya di dalam ruang – adalah perpindahan alienasi yang berkesinambungan dari pusat sumbu melalui jari-jari dan akhirnya ke pinggir lingkaran eksistensi di mana manusia modern pada saat ini berada....27 Keadaan ini dimulai pada sekitar abad ke-17 di Barat, yang merupakan awal kemenangan supremasi rasinalisme, empirisme, dan positifisme dari dogmatis Agama. Kenyataan ini dapat dipahami karena abad modern Barat ditandai dengan adanya upaya pemisahan antara ilmu pengetahuan dan filsafat dari pengaruh agama (sekulerisme). Perpaduan antara rasionalisme, empirisme dan positifisme dalam satu paket epistimologi melahirkan apa yang disebut T.H Huaxley dengan Metode Ilmiah (Scientific Method). Dengan metode ini, kebenaran sesuatu hanya diperhitungkan dari sudut fisiologis-lahiriah yang sangat bersifat profanik (keduniawian atau kebendaan), atau dengan istilah lain, kebenaran ilmu pengetahuan hanya diukur dari sudut koherensi dan korespodensi. Dengan wataknya tersebut sudah dapat dipastikan bahwa, segala pengetahuan yang berada diluar jangkauan indra dan rasio serta pengujian ilmiah akan ditolak, termasuk di dalamnya pengetahuan yang bersumber pada agama. Pada akhirnya manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan segala persoalan-persoalan hidupnya. Manusia memandang dirinya sebagai mahluk yang bebas dan independen dari alam dan Tuhan. Manusia di Barat sengaja membebaskan diri dari tatanan Ilahiah untuk selanjutnya membangun tatanan 27 Seyyed Hossein Nasr, Islam and The Plight..., Op. Cit., h. 5. 34 Antropomorphisme yaitu suatu tatanan yang semata-mata berpusat pada manusia. Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri.28 Kesan yang sama juga disampaikan oleh Budhy Munawar-Rachman dalam mengomentari krisis spiritual yang terjadi saat ini: ...Fenomena ini berasal dari kuatnya tradisi humanistik modern dengan penghargaan yang terlalu berlebihan kepada manusia di satu sisi, tetapi pada sisi lain juga mengabaikan hak hidup alam secara habis-habisan. Akibatnya, terjadilah bencana krisis secara besar-besaran, – termasuk krisis lingkungan hidup, krisis bahan bakar, ancaman akan krisis bahan makanan, kesehatan, dan lain-lain – yang semua itu berakar pada sebab-sebab (krisis) pengenalan diri (spiritual): sebab-sebab cara pandang manusia modern terhadap alam ini, yang telah dikosongkan dari keberadaan Tuhan. Anehnya, manusia (Barat) dewasa ini baru menyadari bahwa seluruh krisis di bumi ini, tidak hanya disebabkan oleh alasan material sebagaimana diungkapkan oleh banyak ahli, tetapi justru berakar – seperti diungkapkan tadi – pada sebab-sebab cara pandang manusia modern terhadap alam ini. sehingga, dunia (alam) yang ada sekarang ini tidak lagi memiliki horizon spiritual. Ini bukan karena horizon spiritual itu tidak ada, tetapi karena manusia (Barat) modern – dalam istilah filasafat perennial – “hidup di pinggir lingkaran eksistensi”. Manusia (Barat) modern melihat segala sesuatu hanya dari sudut pandang pinggiran eksistensi, tidak pada “pusat spiritualitas dirinya”, sehingga mengakibatkan mereka lupa pada eksistensi dirinya sendiri – yang dalam konteks tulisan ini – asal dan tujuan hidup mereka di dunia ini.29 Akibatnya, manusia tidak lagi memperhatikan keadaan lingkungan sekitarnya, tetapi malah menghancurkannya dengan berbagai dalih eksperimen untuk kepentingan pengetahuan. Alam tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang perlu dilestarikan, akan tetapi lebih merupakan sumber pemenuhan kebutuhan individu yang dapat dieksploitasi secara luas. Padahal jika memperhatikan berbagai teks-teks keagamaan, maka dapat dipastikan bahwa tidak ada satu pun 28 M. Ali Adriansyah, Seyyed Hossein Nasr: Tradisionalisme Islam Sebagai Pencarian Menuju Shopia Perennis, http://www.pendidikan.net/artikel.us/ali_adrinsyah.html 29 Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Srigunting, 2004), h. 106. 35 Kitab Suci yang tidak memerintahkan manusia untuk menjaga alam semesta dari kehancuran. Perspektif Nasr bahwa Manusia Suci adalah “figur terestrial pusat yang diciptakan dalam “bentuk Tuhan”” di atas menunjukkan penekanan terhadap dimensi Ketuhanan dalam diri manusia yang menurut Nasr tidak dapat diingkari. Seperti dijelaskan di atas, manusia diberi hak untuk menguasai alam karena ia adalah makhluk theomorfik sehingga dengan demikian, ia harus senantiasa membawa Sifat-Sifat Tuhan dalam dirinya. Kesadaran dirinya sebagai khalifah Tuhan di alam semesta tidak hanya menimbulkan konsekuensi bahwa manusia dapat menguasai alam, tetapi di sisi lain ia harus menjaganya. Sebenarnya, manusia adalah saluran rahmat bagi alam; melalui partisipasinya yang aktif di dunia spiritual, ia akan memberikan cahaya ke dalam dunia alam. Manusia adalah mulut hidup dan nafas alam. Karena hubungan yang erat antara manusia dan alam, maka keadaan batin manusia akan tercermin dalam tatanan eksternal. Apabila tidak ada lagi pelaku kontemplasi dan orang suci, alam akan kehilangan cahaya yang meneranginya dan udara yang menghidupinya. Ini menjelaskan mengapa, ketika keadaan batin manusia telah berpaling pada kegelapan dan kekacauan, alam juga berpaling dari harmoni dan keindahan untuk jatuh ke dalam ketidakseimbangan dan kekacauan. Di alam, manusia melihat bagaimana dirinya; ia hanya dapat menembus ke dalam makna batin alam jika ia dapat menyelidiki keadaan dirinya yang batin dan tidak lagi berada di pinggir keberadaannya. Manusia yang hanya hidup di permukaan keberadaannya akan mempelajari alam sebagai sesuatu yang untuk dimanipulasi dan didominasi. Hanya dengan beralih ke dimensi batin dari keberadaannya, manusia dapat melihat alam sebagai sebuah simbol, sebagai sebuah realitas yang transparan, sehingga ia dapat mengetahui dan memahami alam menurut arti yang riil.30 Jika manusia tetap menjaga spiritualitas dalam dirinya, demikian Nasr, ia dapat menjadi semacam cahaya yang membawa kebahagiaan kepada seluruh alam, akal dan kebebasan yang diberikan kepadanya tidak akan digunakannya 30 Seyyed Hossein Nasr, The Encounter..., Loc. Cit... 36 untuk mengingkari eksistensinya sehingga menjadi Manusia Promethean. Keagungan dalam dirinya tidak malah membuatnya berpaling dari eksistensinya dengan melupakan esensi dirinya yang paling pokok. Dalam pandangan perennialis, perkataan human being yang menunjukkan manusia secara implisit mengandung dua entitas, yaitu kata human yang mengacu pada tubuh manusia (body and mind), dan kata being yang pada jiwa (soul). Secara biologis, tubuh seseorang mengalami banyak perubahan sesuai dengan lama hidupnya, sebagai contoh, manusia yang berumur 80 tahun, telah mengalami berkali-kali pergantian sel dalam tubuhnya. Tetapi ia masih bisa mengingat dirinya pada masa kanak-kanak secara baik, dengan demikian ada bagian dari dirinya yang tidak berubah, yaitu jiwa (soul)nya. Sehingga dapat dikatakan manusia terdiri dari dua entitas, tubuh dan jiwa. Sebagai tubuh, manusia bersifat fisikal, tetapi sebagai jiwa manusia bersifat non-fisikal dan sama sekali tidak tergantung pada manifestasi tubuhnya yang terus berubah.31 Dengan demikian, ada bagian manusia yang dalam istilah Eickhart adalah sesuatu yang uncreated and uncreatable (tidak dan tidak mungkin diciptakan)32 suatu bagian yang murni bersifat spiritual, suatu pandangan yang bertolak belakang dengan pandangan Materialisme yang memandang manusia sebagai makhluk yang murni bersifat materi. Dalam pandangan Materialisme, manusia dilihat sebagai bagian dari alam saja. Manusia muncul dalam sejarah sebagai hasil suatu evolusi fisiologis dan biologis. Manusia hanya merupakan suatu momen dalam kerangka evolusi kosmos. Pada suatu ketika dalam evolusi kosmos muncullah “benda yang berpikir”. Dalam pandangan ini segala kegiatan 31 32 Budhy Munawar-Rachman, Pengantar..., Op. Cit., h. 6. Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis..., Op. Cit., h. 93. 37 spiritual direduksikan kepada suatu proses fisiologis belaka. Manusia seluruhnya dapat diterangkan sebagai materi saja. Keunggulan manusia tak tampak lagi.33 Nasr menolak secara tegas pendapat tersebut, karena menurutnya tubuh manusia itu sendiri adalah bukti bahwa manusia dikembangkan dari asal surgawi yang mencerminkan dengan jelas sisi spiritual manusia. Dari perspektif scintie sascra34 tubuh manusia itu sendiri adalah bukti bahwa manusia dikembangkan dari asal surgawi, dia dilahirkan untuk tujuan yang melampaui batas-batas kebinatangannya. Definisi manusia sebagai wujud sentral yang direfleksikan bukan hanya dalam pikiran, pembicaraan, dan kemampuan internalnya yang lain, tetapi juga dalam tubuhnya yang berdiri pada pusat lingkaran eksistensi terestrial, memiliki keindahan dan signifikansi yang berasal dari alam spiritual murni. Tubuh setiap laki-laki dan perempuan melahirkan takdir kemanusiaan, sebagai suatu ciptaan yang dilahirkan untuk immortalitas, ciptaan yang kesempurnaannya menempa peningkatan dimensi eksistensi vertikal, mencapai pusat dimensi horizontal. Mereka yang mencapai titik silang, adalah manusia yang mendaki sumbu vertikalnya, yang merupakan jalan untuk mentransendensikan dirinya sendiri menuju manusia seutuhnya, menjadi manusia adalah melampaui dirinya sendiri. Sebagaimana Saint Agustinus menyatakan, untuk tetap menjadi manusia, manusia harus enjadi superhuman. Manusia juga memiliki berbagai kemampuan internal, suatu memori yang jauh lebih prestisius daripada yang dapat digambarkan produk pendidikan modern. Suatu yang memainkan peranan paling positif dalam aktivitas intelektual dan artistik dari manusia tradisional.35 Keagungan kondisi manusia menurut Nasr terletak pada kenyataan bahwa manusia memiliki dua kemungkinan dalam hidupnya, yaitu menjadi makhluk yang paling mulia atau menjadi makhluk yang menolak adanya Tuhan.36 Kenyataan manusia memiliki aspek Ketuhanan dalam dirinya, terutama dengan 33 Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia, Paradoks dan Seruan, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h. 24. 34 Scientia Sacra atau Pengetahuan Suci adalah pengetahuan yang menurut Nasr merupakan inti dari setiap wahyu yang bersifat langsung, dapat dirasakan an dialami, ruhaniyah. Dalam istilah lain Nasr menyebutnya dengan al-‘ilm al-hudhuri. Isi pokok pengetahuan ini adalah tentang Ketuhanan. Dalam pengertian tradisional, ma’rifah atau metafisika dapat diidentikkan dengan Scientia Sacra. Lihat, Seyyed Hossein Nasr, The Knowledge..., Op. Cit., h. 135-137. 35 Ibid, h. 182-183. 36 Seyyed Hossein Nasr, Ideals..., Op. Cit., h. 10. 38 akal dan kebebasan yang dimilikinya memberikan kemungkinan baginya untuk menjadi – dalam istilah Nasr – “dewa kecil” yang mengingkari Tuhan, satu sikap yang akhirnya menyebabkan manusia “tidak menjadi manusia” sebagaimana penjelasan Nasr: ...Di sinilah letak keagungan dan kengerian keadaan manusia. Setiap makhluk di dunia tetap menjadi dirinya sendiri, sebab ia telah ditetapkan pada tingkat eksistensi tertentu, hanya manusia yang dapat berhenti menjadi manusia. Ia dapat naik ke tingkat eksistensi duniawi tertinggi atau pada saat yang sama jatuh di bawah tingkat makhluk yang paling rendah. Alternatif sorga-neraka yang diberikan kepadanya menunjukkan kondisi manusia yang unik. Dilahirkan sebagai manusia, ia memiliki keuntungan yang tidak dimiliki makhluk-makhluk lain, dan sangat tragis apabila ia menyianyiakan hidupnya untuk mengejar hal-hal yang menjauhkannya dari tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu penyelamatan jiwanya.37 Selanjutnya Nasr menegaskan: Simbol dari beban berat yang diletakkan Tuhan pada bahu manusia, adalah hajar al-aswad yang terdapat di Ka’bah: Di dalam Islam, Hajar alAswad ini – yang sebenarnya sebuah meteor – adalah simbol dari perjanjian (al-mitsaq) antara Tuhan dengan manusia. Tuhan mengajarkan kepada manusia nama semua makhluk dan benda seperti diterangkan dalam Alquran maupun Perjanjian Lama. Ini berarti bahwa Tuhan memberikan kepada manusia kemungkinan untuk menguasai semua benda dan makhluk, sebab mengenal nama suatu benda berarti menguasai benda tersebut. Lebih dari itu, manusia juga diberi kehidupan dan kebebasan untuk menerima ataupun menolak adanya Tuhan. Adalah aneh bahwa kita, bagian dari wujud yang mutlak, menolak adanya wujud itu. Kita ada dan terdapat di antara kita yang menolak wujud, yang menjadi sumber eksistensi kita. Hanya manusia yang dapat menjadi eksistensialis. Binatang juga mempunyai eksistensi, tetapi mereka bukan eksistensialis.38 Dengan demikian, di sini dapat dikatakan bahwa dalam perspektif Nasr, eksistensi manusia didasarkan kepada dua hal, pertama ketika Tuhan menciptakan manusia sebagai refleksi Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang kemudian menjadikan manusia sebagai khalifah atau wakil Tuhan di dunia; dan kedua 37 38 Ibid. Ibid. 39 berdasarkan perjanjian pra-eternal antara manusia dengan Tuhan yang menjadikan manusia sebagai hamba-Nya. Dari kedua hal tersebut, manusia menjadi makhluk sentral di muka bumi dengan mendapatkan berbagai kelebihan dibandingkan makhluk lainnya, terutama berupa akal dan kebebasan. Tanggung jawab sebagai khalifah dalam pandangan Nasr merupakan konsekuensi dari kebebasan manusia dalam menerima atau menolak keimanan.39 Tanggung jawab yang demikian besar sehingga langit, bumi dan gunung tidak berani memikulnya sebagaimana dijelaskan dalam Alquran: ِ ضَا ْاَْمانَةَ علَى السماو ِْا ِ ِ ْ أَن َب أ ف ال ب و ض َر ْا و ات ْ ْ َ ْ إِنا َعَر َ َ ََْ َ َ ْ َ ََ ِ ََ ِم ْلَ ها وأَ ْش َف ْقن ِ ِ وا ُسورة ل ظ ن ا ك ه ن إ ن ا نس ْا ا ه ل َ و ا ه م ْ ً وما َج ُه ُ َ َ َ َ ُ ْ َ ُ َ ََ َ َ َ َ َ ْ ً َ : اْحزاب Dengan akal dan kebebasannya, manusia diberi pilihan untuk menjaga eksistensinya, atau mengingkari eksistensi tersebut. Keberadaannya sebagai makhluk terestrial dapat terangkat menjadi Manusia Suci yang merupakan pancaran realitas Manusia Universal yang hanya dapat direalisasikan oleh para nabi; atau terpuruk sepenuhnya sebagai Manusia Promethean yang melakukan pemberontakan terhadap langit. Fungsi akal menurut Nasr, pada pokoknya adalah untuk mendekatkan manusia kepada Tuhan, sebagaimana salah satu arti dari akar kata tersebut yaitu “ikatan”40 karena itu dalam Alquran Allah menyebutkan orang-orang yang mengingkari-Nya sebagai orang-orang yang tidak bisa menggunakan akalnya 39 Ibid, h. 9. Akal berasal dari bahasa arab, عقلyang merupakan masdar dari kata يعقل–عقل, salah satu artinya adalah ربط, yang berarti mengikat/ikatan. Lihat, Ahmad Warson Al Munawwir, Kamus Al-Munawwir :Arab-Indonesia, (Surabaya : Pustaka Progressif, 1997), h. 956. 40 40 dengan baik (la ya’qilun”). Alquran sangat menekankan bahwa keruntuhan iman tidak disebabkan oleh kehendak buruk manusia, melainkan karena penyalahgunaan akal.41 Adapun mengenai kebebasan berkehendak, menurut Nasr manusia hendaknya menyandarkan kehendaknya kepada kehendak Allah, karena hanya dengan cara inilah manusia mampu mengarahkan hidupnya menuju kebahagiaan dalam kehidupan dunia maupun sesudahnya.42 Karena meskipun manusia memiliki kebebasan untuk berkehendak, tetapi dengan kebebasannya itu ia tidak pantas melampaui kehendak Tuhan seperti dijelaskan dalam ayat-ayat berikut: َوَما تَ َش ُاؤو َن إِا أَن، إِن َه ِذ ِ تَ ْذكَِرةٌ فَ َمن َشاء اََ َذ إِ ََ َربيِه َسبِ ًيا ِ ي َشاء اه إِن اه َكا َن علِيما ح َ ٩ - ٠: يما ُ اْنسان ك َ ُ َ ً َ ً َ Manusia Promethean dengan segala pengkhianatan yang dilakukannya berada di pinggir lingkaran eksistensinya dengan mengingkari dimensi spiritualitas dalam dirinya, tegas Nasr, adalah produk ideologi modern yang telah mendorongnya untuk “melakukan pemberontakan terhadap langit” dengan melupakan aspek Ketuhanan dalam kehidupan. Ideologi yang tidak lagi mengakui bahwa manusia berasal dari Yang Mutlak dan pada akhirnya akan kembali kepada-Nya sebagaimana ciptaannya yang lain, seperti dijelaskan dalam Alquran: َ : ُالبقرة ِ ِإِنا ه َوإِنا إِلَْي ِه َر ِاج ُعو َن Akhirnya Nasr menegaskan bahwa kejatuhan manusia dari Manusia Primordial yang menghuni surga menjadi Manusia Terestrial di bumi ternyata 41 42 Seyyed Hossein Nasr, Islam dalam Cita..., Op. Cit., h. 6. Seyyed Hossein Nasr, A Young Muslim’s..., Op. Cit., h. 41. 41 tidak serta merta menurunkan derajat manusia secara penuh karena keberadaan manusia sebagai khalifah dan perjanjiannya dengan Allah menjadikan manusia sebagai makhluk sentral di alam semesta yang dapat diketahuinya secara lengkap, jika ia dapat memanfaatkan kesempatan hidup yang diberikan kepadanya, dengan bantuan kosmos, ia dapat menggapai keadaan yang lebih mulia dibandingkan apa yang ia peroleh sebelum kejatuhannya.43 B. Hubungan Manusia Dengan Tuhan Hubungan manusia dengan Tuhan menurut Nasr tergambar dengan jelas dalam dalam ayat 56 Surah adz-Dzariyat: َ : ُالذريات ِْا ِ اْنس إِا لِي عب ُد ِ ون و ن ْ ُ َوَما َخلَ ْق ُْ َ َ َ ْ ت Dan pada Surah Thaha ayat 14: َ : ُطه اعبُ ْدِِ َوأَقِ ِم الص َا َة لِ ِذ ْك ِري ْ َإِن ِِ أَنَا اهُ َا إِلَهَ إِا أَنَا ف Perintah penyembahan dalam kedua ayat tersebut, menurut Nasr menegaskan bahwa manusia secara mutlak merupakan hamba Tuhan. Ini juga menunjukkan bahwa salah satu tujuan penciptaan manusia dalam Islam adalah agar manusia beribadah dan melayani Tuhan.44 Konsekuensi dari penghambaan manusia ini adalah perlunya kehidupan beragama. Hubungan manusia dengan Tuhan berada pada titik pusat setiap agama, yang merupakan jalan bagi manusia untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Agama juga merupakan motivasi dalam melakukan suatu aktivitas, karena 43 44 Seyyed Hossein Nasr, The Encounter..., Op. Cit., h. 115. Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam..., Op. Cit., h. 339. 42 perbuatan yang dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai mempunyai unsur kesucian serta ketaatan. Keterkaitan ini akan memberikan pengaruh diri seseorang untuk berbuat sesuatu, yang mana dalam melakukan tindakan, seseorang akan terikat kepada ketentuan antara mana yang boleh dan mana yang tidak boleh menurut ajaran agama yang dianutnya dan menjadi kepercayaannya.45 Hubungan antara manusia dan Tuhan ini, atau antara yang nisbi dan yang mutlak, menduduki titik pusat dalam setiap agama. Perbedaannya terletak pada penekanan sesuatu agama atas aspek-aspek dari hubungan ini. di dalam setiap agama terkandung kebenaran meskipun kebenaran ini terbatasi oleh bentuk dari agama itu. Karenanya, menjalani suatu agama secara penuh adalah sama dengan menjalani semua agama dan tidak ada hal yang lebih sia-sia daripada usaha-usaha untuk menciptakan sinkretisme dengan tujuan menciptakan universalitas, padahal dalam kenyataannya usaha itu hanya akan menghancurkan bentuk agama, yang secara sendirisendiri telah memungkinkan pendekatan antara manusia dan Tuhan. Tanpa “petunjuk langit” dalam artian umum, agama tidak mungkin ada dan manusia tidak akan mampu mendekatkan diri pada Tuhan, tanpa Tuhan membuat diri-Nya melalui kemurahan-Nya menyediakan cara bagi manusia untuk membuat demikian. Setiap agama yang menetap adalah anugerah Tuhan dan selama masih utuh tetap mengandung doktrin dan metode untuk “menyelamatkan” manusia dari kondisi duniawinya yang serba tak menentu, serta membukakan pintu sorga baginya.46 Di sini Nasr dengan pendekatan perennialismenya tampak berusaha memberikan penekanan terhadap hubungan manusia dengan Tuhan dalam perspektif Islam dan membedakannya dengan perspektif agama lain. Meskipun setiap agama dalam level substansi adalah sama, tetapi masing-masing memiliki konsep sendiri-sendiri dalam menjelaskan hubungan antara manusia dengan Tuhan. 45 H. Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, PT. Hadikarya Agung, Jakarta, 1983, cet. XI, h. 6. 46 Seyyed Hossein Nasr, Ideals..., Op. Cit., h. 2. 43 Sepanjang sejarah Islam, telah banyak pembahasan mengenai isu tentang hakikat manusia baik secara filosofis, teologis dan sufistis. Namun satu hal yang mendasar, di mana semua mazhab pemikiran Islam bahkan umat Islam kebanyakan sama-sama setuju adalah kebenaran bahwa Tuhan adalah pencipta manusia, atau secara filosofis, Tuhan adalah penyebab teologis eksistensi manusia. Dengan demikian, kita adalah orang yang berutang seluruhnya kepada Tuhan dan hak-hak kita berasal dari pemenuhan tanggung jawab kita kepada-Nya serta dari kepatuhan kita kepada kehendak-Nya.47 Nasr memandang bahwa dalam Islam Tuhan secara mutlak adalah Pencipta dan manusia adalah ciptaan-Nya yang berada dalam tingkatan hamba. Kemuliaan manusia bukan berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari posisinya sebagai hamba yang mampu melaksanakan apa Kehendak Majikan Tertinggi alam semesta. Kemuliaan manusia berasal dari kehidupannya dalam kesaksian dan kesadaran terhadap Allah dan dari perilakunya sebagai ciptaan yang merefleksikan aspek Kebijaksanaan Tuhan.48 Ajaran Islam, menurur Nasr, adalah ajaran yang didasarkan pada ajaran menyeluruh tentang watak Ilahiah, yakni Yang Maha Esa tanpa sekutu apa pun. Syahadat yang menjadi dasar keislaman seseorang, dikatakannya, berisi ajaran yang utuh tentang Allah karena menghalau relativitas, kemenduaan dan kemungkinan lain dari Keilahian dan berisi pengetahuan tentang Tuhan berdasarkan Keesaan-Nya. Allah adalah Esa, Absolut, Maha Tak Terbatas dan Sumber seluruh realitas. Manusia hidup dalam sebuah dunia yang sangat bergantung kepada allahdan membuka setiap kesempatan serta setiap tempat menuju Transendensi yang tak lain adalah Allah. Islam sangat menekankan Transendensi Allah, yang berada di atas segalanya adalah Dia. Allah sangat dekat 47 48 Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam..., Op. Cit., h. 337. Seyyed Hossein Nasr, A Young Muslim’s..., Op. Cit., h. 42. 44 dengan manusia, bahkan melebihi diri manusia itu sendiri, pada satu sisi, Allah benar-benar di luar dan di atas manusia, tetapi di sisi lain Dia menjadi pusat keberadaan manusia.49 (Di dalam penghadapan manusia kepada Tuhan, Islam tidak menekankan pada inkarnasi ataupun manifestasi Zat Yang Mutlak, tidak pula pada kondisi manusia yang tidak sempurna dan penuh dosa. Islam memandang manusia sebagaimana adanya secara essensiil dan Tuhan sebagaimana Ia dalam kenyataan-Nya yang mutlak. Perspektif Islam didasarkan pada pandangan tentang Tuhan sebagaimana Ia ada, bukan Tuhan sebagai inkarnasi dalam sejarah. Islam didasarkan pada Yang Nyata, bukan pada penjelmaan Yang Nyata. Serupa dengan itu, Islam memandang manusia sebagaimana fitrahnya, bukan sebagai makhluk yang penuh dosa sesudah terjadinya peristiwa yang di dalam Kristen disebut “dosa asal”.)50 Di sini Nasr kembali menegaskan tentang pandangan Islam terhadap manusia sebagai makhluk yang memiliki fitrah yang mulia, bukan makhluk yang berlumur dosa. Fitrah setiap manusia ketika ia dilahirkan ke dunia adalah suci. Dan memang tidak diragukan bahwa kecenderungan fitrah manusia kepada kebaikan adalah sesuatu yang telah ditanamkan Allah dalam tabiat manusia, sebaliknya dalam mengerjakan kejahatan, manusia bukanlah didorong oleh sesuatu yang menjadi tabiat dan fitrahnya, akan tetapi karena sebab-sebab lain yang datang kemudian.51 Seperti telah dijelaskan di atas, Nasr memandang manusia sebagai mankhluk theomorfis yang mencerminkan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Tuhan dalam dirinya, diberi tugas sebagai khalifah dengan dikaruniai akan, kebebasan berkehendak dan kemampuan berbicara. Ketiga hal tersebut, pada dasarnya adalah 49 Ibid, h. 39-40. Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, http://www.fonsvitae.com/Seyyed Hossein Nasr - Ideals and Realities of Islam - SEYYED HOSSEIN NASR Preface by Titus Burckhardt Foreword by Huston Smith (Islamic Texts Society - Fons Vitae books).html. 51 A. Athaillah, Aliran Akidah Tafsir al-Manar, (Banjarmasin: Balai Penelitian IAIN Antasari, 1990), h. 158-159. 50 45 milik Tuhan sebagaimana tersirat dalam Nama-Nama-Nya. Ketiganya dipercayakan kepada manusia dan melalui ketiga hal tersebut manusia akan dibawa kembali kepada-Nya.52 Akal manusia dalam pandangan Nasr, pada prinsipnya dapat mengetahui segala sesuatu secara tidak terbatas – selain permasalahan esensi Tuhan – kecuali terdapat sesuatu yang menghalangi akal untuk berfungsi dengan sempurna. Dengan dasar ini, setiap akal normal dan sehat secara alamiah akan terbawa untuk mengakui keesaan Tuhan53, apalagi manusia telah mengikat perjanjian dengan Tuhan yang merupakan simbol hubungan manusia dengan Tuhan sebelum dilahirkan yang juga berarti bahwa manusia menyatakan pengakuan secara bawaan terhadap Keesaan-Nya. Nurcholish Madjid menggambarkan perjanjian tersebut sebagai pengalaman spiritual manusia yang secara psikologis sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia: Karena perjanjian dan persaksian primordial (sebelum lahir) itu mengendap jauh sekali di bawah sadar masing-masing pribadi manusia, praktis tidak seorang pun menyadarinya. Namun dengan semua pengalaman psikologis manusia, apalagi pengalaman spiritualnya, meski telah mengendap di bawah sadar, selamanya perjanjian dengan Tuhan itu akan mempengaruhi hidup kita. Karena itu ia juga akan selamanya ikut menentukan bahagia atau sengsaranya hidup kita... Wujud nyata pengaruh pengalaman spiritual manusia yang amat jauh di bawah sadar itu ialah dorongan batin yang amat kuat untuk menyembah. Dalam diri manusia ada kerinduan yang besar sekali untuk kembali kepada Tuhan, memenuhi janjinya dalam kalimat persaksian tersebut tadi. Inilah – sekali lagi, seperti ditegaskan dalam filsafat perennial – dorongan untuk beragama; sehingga sesungguhnya membendung dorongan itu adalah 52 53 Seyyed Hossein Nasr, Ideals..., Op. Cit., h. 4. Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam..., Op. Cit., h. 16. 46 pekerjaan melawan alam atau natur manusia, maka tidak akan berhasil. Contohnya ialah eksperimen komunisme yang kini terbukti gagal.54 Konteks ini juga menunjukkan penolakan Islam terhadap konsep dosa turunan. Dalam Islam ditegaskan bahwa manusia lahir ke dunia dalam keadaan suci dan dalam kesadaran tentang Ketuhanan secara penuh. Nasr menilai bahwa Islam sangat menekankan keimanan terhadap Tuhan dan kesadaran bahwa hanya Tuhan yang memiliki kebebasan absolut karena hanya Dia yang Tak Terhingga. Meski demikian, manusia juga memiliki kehendak yang bebas – yang sebenarnya adalah milik-Nya – dan dengan kebebasan berkehendak ini, manusia diberi kebebasan untuk memilih, tetapi karena kehendak manusia adalah milik-Nya, maka Nasr menyatakan bahwa persoalan manusia bahkan dunia selalu didominasi oleh kehendak Tuhan. Begitupun, pentingnya ajaran Alquran tentang kebijaksanaan Allah SWT yang dikombinasikan dengan dominasi Kehendak-Nya dalam persoalan manusia tidak dapat diabaikan. Tentu saja, agama lain juga mengajarkan bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa dan Maha Tahu, ajaran seperti itu tidak baru dalam Islam. Hal itu juga disebutkan dalam Taurat dan Injil. Dalam Islam, prinsip ini khususnya ditekankan dan diintegrasikan ke dalam sikap religius kehidupan sehari-hari melalui pengulanganpengulangan seperti kalimat insya Allah (jika Allah berkehendak). Rumusan-rumusan seperti itu memperkuat kehidupan sehari-hari seorang Muslim dan mengingatkannya bahwa Kehendak Allah SWT mendominasi setiap peristiwa kehidupan manusia. Kita selalu hidup sesuai dengan Kehendak-Nya apakah kita menyukainya atau tidak namun Kehendak-Nya senantiasa mendominasi dunia. Namun Dia juga memberikan kepada kita kebebasan dari sudut pandang kemanusiaan, sehingga kita hidup menurut pilihan kita sendiri sesuai dengan kehendak-Nya. Karena itu, ada hal timbal balik antara kekuatan utuh Kehendak Allah dan kehendak manusia. Kepada umat manusia Dia memberikan kebebasan menggunakan kehendaknya untuk mengikuti Kehendak-Nya dan untuk menaati-Nya...55 54 Nurcholish Madjid, Kata Pengantar pada Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Srigunting, 2004), h. XV-XVI. 55 Seyyed Hossein Nasr, A Young Muslim’s..., Op. Cit., h. 38. 47 Sementara kemampuan berbicara menurut Nasr adalah manifestasi paling langsung dari diri manusia, ia tidak dapat menyatakan dirinya lebih jelas dengan cara selain berbicara sehingga dapat dikatakan bahwa berbicara adalah bentuk lahir dan batin manusia. Ini pula yang menyebabkan kata-kata menjadi pusat segala ritus dalam Islam, biasanya berkisar pada doa. Berbagai ritual peribadatan dalam Islam tidak terlepas dari aspek ini. dalam tasauf, terdapat doa yang dibaca berulang-ulang yang juga disebut dengan zikir yang secara lahiriah adalah penggunaan kekuatan kata-kata sebagai doa, tetapi secara batin adalah usaha untuk mengingat Tuhan dengan menyebut Nama-Nya berulang kali.56 Meskipun manusia telah diberi kelebihan dengan adanya akal, kehendak yang bebas dan kemampuan berbicara tersebut, tetapi dalam pandangan Nasr manusia tetap membutuhkan petunjuk Tuhan. Hal ini terutama berkenaan dengan sifat dasar manusia yang pelupa dan acuh tak acuh sehingga harus selalu diberi peringatan. Nabi Adam sebagai manusia pertama juga sekaligus nabi pertama. Jika Nabi Adam memerlukan nubuwwah, maka demikian pula keturunannya. Manusia tidak dapat mengangkat dirinya secara spiritual dengan begitu saja, ia harus dibangunkan oleh seseorang yang telah sadar.57 Alasan yang paling kuat tentang pentingnya petunjuk Tuhan bagi manusia menurut Nasr adalah adanya berbagai hambatan yang menyebabkan manusia tidak mampu menggunakan akalnya dengan baik, meskipun manusia adalah makhluk theomorfis, tetapi ia selalu melupakan hakikat dirinya itu. 56 57 Seyyed Hossein Nasr, Ideals..., Op. Cit., h. 5-6. Ibid, h. 7. 48 Dalam konteks ini penting diingat bahwa Islam tidak mengakui dosa turunan, tetapi sekalipun demikian Islam menerima kejatuhan manusia (alhubuth) dari kesempurnaan primordial dan asalnya tempat ia semula diciptakan. Menurut Islam, dosa besar manusia adalah kealpaan (alghaflah) dan tujuan pesan kewahyuan adalah untuk memungkinkan manusia agar senantiasa tidak alpa. Itulah sebabnya mengapa salah satu nama Alquran sendiri adalah “pengingat Allah” (dzikr Allah) dan mengapa akhir serta tujuan tertinggi seluruh ritus dan konjungsi Islam adalah mengingat Allah SWT. Sifat primordial manusia tersebut tidak dapat tidak menegaskan Keesaan Tuhan. Ia tak lain menyatakan kesaksian at-tauhid. Namun karena kejatuhannya, kehendak manusia telah menyimpang dari kepatuhan terhadap Allah SWT kepada nafsunya. Karena itu, Allah SWT telah mewahyukan peraturan dan perintah tegas agama seperti yang tercantum dalam syari’ah. Hukum Tuhan telah diwahyukan untuk menahan nafsu manusia dan memungkinkannya mengarahkan kehendak kepada berfungsinya kebebasan akal daripada jeratan nafsu, sehingga akal yang “sehat” (al-‘aql as-salim) mengakui Keesaan Allah, dan kehendak pun mengikuti konsekuensi Keesaan ini. maka seseorang akan hidup menurut Kehendak Yang Maha Esa dengan cara mengikuti segala perintah-Nya.58 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam pandangan Nasr, semua kelebihan yang dimiliki manusia pada dasarnya bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada Tuhan, yang akhirnya akan menyatakan hubungan manusia dengan Tuhan, yaitu suatu hubungan yang universal di mana manusia berada dalam fitrahnya yang awal sebagai bentuk manifestasi perjanjiannya dengan Tuhan, bukan dalam bentuk inkarnasi Tuhan dalam diri manusia atau sebaliknya. Ringkasnya, Islam didasarkan pada hubungan yang universal antara Tuhan dengan manusia; Tuhan dalam Kemutlakan-Nya, dan manusia dalam bentuk theomorfisnya. Hubungan ini didasarkan pada akal, kehendak dan kemampuan berbicara, serta pada keseimbangan dan kepastian. Islam menjaga keseimbangan dalam kehidupan dengan mengatur kebutuhan alamiah manusia melalui syari’at. Dan dengan keseimbangan sebagai dasar, Islam memungkinkan manusia untuk membangun dunia spiritual yang didasarkan pada renungan dan kepastian tentang Keesaan Tuhan...59 58 59 Seyyed Hossein Nasr, A Young Muslim’s..., Op. Cit., h. 40-41. Seyyed Hossein Nasr, Ideals..., Op. Cit., h. 20. 49 C. Tanggung Jawab dan Hak Manusia Ayat-ayat Alquran mengandung segala pola dasar antropologi (kehidupan budaya manusia) Islam yang sakral serta pandangannya tentang hakikat laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini, pertama-tama Tuhan memilih manusia sebagai wakil (khalifah)-Nya di bumi, yang artinya bahwa Tuhan memberikan manusia kekuasaan untuk menguasai dan menundukkan bumi, tetapi dengan syarat mereka tetap patuh kepada Tuhan, yaitu menjadi hamba Tuhan atau ‘abd Allah. Terdapat begitu banyak ayat mengenai hal ini.60 Pendapat yang didasarkan pada ayat penciptaan manusia dan perjanjian pra-eternal manusia dengan Tuhan ini menurut Nasr menunjukkan bahwa manusia memiliki sedikitnya dua karakter dalam dirinya yang keduanya berkenaan dengan kedudukannya sebagai khalifah sekaligus hamba Allah, kedudukan yang menuntut manusia memiliki sifat aktif sebagai khalifah tetapi di sisi lain juga bersifat pasif sebagai hamba. Dua karakter utama manusia adalah pengabdian atau penghambaan dan kekhalifahan. Yang pertama berlaku pasif terhadap Tuhan dengan menyerahkan diri kepada Kehendak-Nya, dan yang kedua, berlaku aktif dalam posisi sebagai wakil Tuhan dan melaksanakan Kehendak-Nya di dunia. Selain itu, Adam telah diajari tentang semua nama. Artinya, Tuhan telah menempatkan dalam diri manusia suatu kemampuan berpikir yang sangat vital, yang dengan kemampuan ini manusia dapat mengetahui segala sesuatu. Hal ini juga berarti bahwa manusia sendiri adalah bayangan Tuhan atau manifestasi fisik dari semua Nama-Nama Tuhan.61 Meski seluruh manusia menyimpan kedua karakter tersebut dalam dirinya, tetapi tidak semua manusia bisa merealisasikannya, karena manusia juga dipengaruhi oleh kemampuan berpikir masing-masing. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, ketika manusia tidak menggunakan akalnya sebagaimana 60 61 Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam..., Op. Cit., h. 16. Ibid. 50 mestinya, maka besar kemungkinan ia akan mengingkari eksistensinya bahkan memberontak kepada Tuhan. Dalam konteks ini, manusia melupakan karakter utamanya sebagai hamba dan khalifah Tuhan. Perjanjian pra-eternal manusia dengan Tuhan seperti dijelaskan di atas, memberikan beberapa konsekuensi terhadap manusia, ia harus menyesuaikan akalnya dengan kebenaran yang mutlak, kehendaknya dengan kehendak Yang Maha Kuasa, dan kemampuannya berbicara sesuai dengan apa yang diinginkan Tuhan darinya. Sebagai imbalan atas semua anugerah Tuhan atas dirinya, manusia harus selalu ingat akan asal-usulnya dan harus berusaha mencapai tujuan perjalanannya di dunia.62 Dalam perjanjian tersebut, muncul tanggung jawab manusia karena dengan sendirinya manusia telah menerima amanah Allah yang harus dilaksanakannya di dunia. Dengan memenuhi semua tanggung jawabnya, manusia akan memperoleh haknya. Walaupun setiap orang sekarang ini berbicara setiap hari tentang hal-hal manusia dan sedikit menyinggung tanggung jawab manusia, dalam praktiknya, bahkan di Barat modern sendiri, dalam banyak kasus, tanggung jawab mendahului hak. Sebagai contoh, kita harus menjadi sopir taksi yang bertanggung jawab sebelum kita diberi hak untuk menyetir di jalan umum, dan begitu juga kita harus menjalankan tanggung jawab keahlian dalam hukum pertanahan sebelum kita diberi hak untuk mempraktikkan hukum tersebut. Dalam Islam, hubungan kewajiban dan hak ini bukan masalah kelayakan atau berorientasi manfaat, melainkan masalah prinsip dan penerimaan akan prinsip ini mewarnai pemandangan alam budaya dan intelektual Islam.63 Ada beberapa macam tanggung jawab manusia dalam perspektif Nasr; pertama tanggung jawab manusia kepada Tuhan; kedua tanggung jawab terhadap 62 63 Seyyed Hossein Nasr, Ideals..., Op. Cit., h. 11. Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam..., Op. Cit., h. 339. 51 dirinya sendiri; ketiga tanggung jawab kepada masyarakat; dan keempat tanggung jawab terhadap alam. Tanggung jawab manusia yang tertinggi adalah kepada Tuhan, yakni seperti disebutkan di atas terkait dengan posisi manusia sebagai khalifah dan hamba Tuhan. Wujud dari tanggung jawab ini adalah pelaksanaan ibadah dan pelayanan serta kepatuhan terhadap hukum-Nya. Kemudian manusia bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Di sini manusia wajib menjaga jiwa dan raganya, ia tidak diperkenankan membahayakan dirinya kecuali karena sebab-sebab tertentu seperti perang atau pembelaan diri. Islam tidak mengizinkan manusia untuk berbuat sesukanya atas tubuhnya, karena dalam Islam tubuh manusia bukanlah milik manusia, tubuh manusia adalah ciptaan Tuhan sehingga manusia wajib menjaga dan merawatnya. Itu sebabnya bunuh diri adalah salah satu dosa besar dalam Islam. Tanggung jawab terhadap diri ini juga berkenaan dengan jiwa dan akal. Manusia tidak dapat berbuat baik kecuali dirinya menjadi baik, karena itu ia harus menjaga kondisi kejiwaannya agar selalu dalam kebaikan dan memelihara akalnya dengan jalan mencari pengetahuan dan kebenaran.64 Islam mengajarkan bahwa keingkaran kepada Allah terjadi pada level psikis, bukan pada level jasmani. Jasmani hanyalah sebagai sebuah instrumen bagi kecenderungan-kecenderungan yang berasal dari dalam jiwa. Jiwa itu harus dilatih dan didisiplinkan untuk mempersiapkannya kepada spirit. Manifestasi kekuatan-kekuatan Ilahi maupun kekuatankekuatan jahat terjadi pada level psikis...65 64 65 Ibid, h. 340. Seyyed Hossein Nasr, Islam and The Plight..., Op. Cit., h. 87. 52 Selanjutnya manusia bertanggung jawab kepada masyarakat yang dimulai dari keluarganya. Islam memberikan penegasan berulang-ulang tentang pentingnya keluarga yang merupakan unit inti dalam kehidupan masyarakat manapun. Dalam keluarga seseorang bertanggung jawab terhadap orang tuanya, anak-anaknya, saudara-saudaranya dan sanak keluarga. Terdapat berbagai kewajiban tidak hanya bersifat ekonomis seperti nafkah, warisan dan sebagainya, tetapi juga mencakup pemeliharaan keluarga, berbuat baik kepada mereka dan melindungi mereka dari segala bentuk kejahatan.66 Manusia juga bertanggung jawab kepada masyarakat secara umum, yang dimulai dari kehidupan bertetangga. Dalam Islam, hubungan bertetangga dipandang sangat penting karena kontak pribadi dengan tetangga merupakan dasar terbentuknya kesadaran tentang masyarakat yang lebih luas yang mencakup keseluruhan umat. Dan dalam masyarakat Islam terdapat tanggung jawab manusia terhadap seluruh kemanusiaan. Islam mengajarkan bagaimana berhubungan dengan umat manusia secara umum termasuk dengan penganut agama dan kepercayaan lain.67 Kemudian manusia memiliki tanggung jawab terhadap alam sekitarnya, termasuk di dalamnya hewan, tanaman bahkan bagian-bagian alam lainnya seperti air udara dan lain-lain.68 Di sini manusia memiliki tanggung jawab, terutama berkaitan dengan tugasnya sebagai khalifah yang mewakili Tuhan di alam semesta, untuk menjaga dan merawatnya. Manusia tidak diperkenankan untuk mengambil kekayaan alam secara serampangan sehingga menimbulkan kerusakan Seyyed Hossein Nasr, A Young Muslim’s..., Op. Cit., h. 61-62. Ibid, h. 62. 68 Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam..., Loc. Cit.. 66 67 53 alam. Tanggung jawab manusia terhadap alam ini, menurut Nasr dapat disamakan dengan etika lingkungan dalam pemikiran Barat. Di samping berbagai kewajiban tersebut, manusia juga memiliki beberapa hak. Hak manusia, menurut Nasr tidak datang dengan sendirinya, tetapi sebagaimana dijelaskan di atas, diberikan Allah jika manusia memenuhi kewajibannya karena pada dasarnya hak-hak tersebut terkait dengan tanggung jawab manusia. Sebagaimana halnya kewajiban, manusia juga memiliki beragam hak berupa hak keagamaan, hak dalam kehidupan pribadi dan keluarga, hak hukum, dan hak sosial politik.69 Hak pertama manusia berkenaan dengan jiwa abadi mereka. Setiap manusia berhak atas keselamatan jiwa mereka. Islam, demikian pula agamaagama lain memandang bahwa hal ini adalah tugas utama manusia terhadap diri dan Tuhan, kepada siapa manusia harus menyerahkan jiwanya. Hak ini adalah kemerdekaan hati nurani dalam hal keyakinan agama. Tuhan tidak berkeinginan untuk memaksa makhluk-Nya untuk beriman kepada-Nya, tetapi Dia ingin manusia beriman atas dasar kehendaknya sendiri.70 Dalam Alquran sendiri telah ditegaskan tentang hal ini: َ : ُالبقرة ْ الر ْش ُد ِم َن الْغَ يي َ َاَ إِ ْكَرا َ ِِ الديي ِن قَد ت ب Hak selanjutnya adalah hak-hak pribadi yang berkenaan dengan hidup seseorang, harta, pilihan-pilihan pribadi dan sejenisnya. Setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan memiliki kekayaan kecuali ia melakukan kejahatan yang 69 70 Ibid, h. 344. Ibid. 54 akibatnya masyarakat dapat menarik sebagian atau malah seluruh hak-hak ini. manusia juga berhak untuk memilih jalan hidup pribadi mereka, misalnya pekerjaan yang disukai, siapa yang akan dinikahi, cara mengasuh keluarga, tempat tinggal dan sebagainya. Meskipun selalu ada penghalang eksternal yang tidak memungkinkan terpenuhinya hak-hak tersebut, tetapi pada prinsipnya hukum ini tetap berlaku.71 Dalam masalah ekonomi, manusia properti atau hak kepemilikan pribadi adalah suatu kekhususan yang diberikan Tuhan kepada manusia, sehingga dalam Islam hak ini tidak dapat diganggu gugat oleh pemerintah atau kelompok sosial mana pun.72 Dalam hak-hak hukum, manusia memiliki persamaan di depan hukum. Termasuk dalam konteks ini adalah hak proses dan pembelaan yang secara tegas dipertahankan dalam hukum Islam. Di sini sangat ditekankan adanya jaminan penghargaan terhadap hak-hak hukum semua anggota masyarakat sehingga setiap orang dapat hidup sesuai dengan aturan hukum.73 Demikianlah, dari sini dapat dilihat bahwa dalam pandangan Nasr, tanggung jawab dan hak manusia secara umum ada yang bersifat vertikal, yakni dalam hubungannya dengan Tuhan; kemudian ada yang bersifat horizontal ketika berhubungan dengan manusia lain dan alam sekitarnya; dan ada pula yang bersifat aksis, yaitu dalam hubungannya dengan diri manusia itu sendiri. Tanggung jawab dan hak manusia, sebagaimana pula eksistensinya dan hubungannya dengan Tuhan, dalam perspektif Nasr terutama didasarkan pada perjanjian pra-eternal antara manusian dan Tuhan, serta tujuan dari penciptaan manusia itu sendiri. 71 Ibid, h. 345. Seyyed Hossein Nasr, A Young Muslim’s..., Op. Cit., h. 67-68. 73 Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam..., Op. Cit., h. 347. 72 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian tentang perspektif manusia menurut Seyyed Hossein Nasr pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa semua sisi kehidupan manusia tidak terlepas dari tujuan penciptaan dan perjanjiannya dengan Tuhan. Dalam perspektif Nasr, eksistensi manusia, hubungannya dengan Tuhan dan tanggung jawab serta haknya adalah: 1. Manusia adalah makhluk theomorfis yang mencerminkan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Tuhan di dunia. ia adalah makhluk sentral di dunia yang mengemban tugas sebagai wakil Tuhan sekaligus juga sebagai hambanya, sebuah keunikan eksistensi yang terdapat dalam perjanjian pra-eternal antara manusia dan Tuhan yang menuntut manusia untuk mengikuti dan melaksanakan kehendak Tuhan. 2. Hubungan manusia dengan Tuhan adalah sebuah hubungan yang universal, di mana Tuhan dan manusia berada dalam eksistensi masingmasing, Tuhan dalam keberadaannya Yang Mutlak dan manusia dalam keberadaannya sebagai makhluk theomorfis yang selalu bergantung kepada Tuhan. 3. Ada beberapa macam tanggung jawab dan hak manusia. Secara umum ada tanggung jawab yang bersifat vertikal, yakni dalam hubungannya dengan Tuhan, yaitu tanggung jawabnya sebagai khalifah dan hamba Tuhan. 56 57 Kemudian ada yang bersifat horizontal ketika berhubungan dengan manusia lain dan alam sekitarnya, seperti tanggung jawab terhadap orang tua dan keluarga, tanggung jawab dalam hubungan bertetangga, dan tanggung jawab untuk merawat dan melestarikan alam semesta. Ada pula tanggung jawab manusia yang bersifat aksis, yaitu dalam hubungannya dengan diri manusia itu sendiri, seperti kewajibannya untuk menjaga jiwa dan raganya. Adapun hak manusia adalah hak keagamaan, yaitu hak manusia untuk bebas memilih keyakinannya; hak dalam kehidupan pribadi dan keluarga, seperti hak untuk memiliki harta dan hak untuk memiih pasangan hidup; hak hukum, yaitu hak untuk hidup sesuai dengan aturan hukum; dan hak sosial politik, seperti hak manusia dalam interaksi sosial dengan lingkungannya. B. Saran-Saran Sebagai manusia kita hendaknya selalu berada dalam jalur yang sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan dari penciptaan manusia, yaitu sebagai hamba yang patuh kepada seluruh perintah Allah dan khalifah yang menjalankan segala perintah-Nya dan mewujudkan segala kehendak-Nya di dunia, sehingga dalam tingkah laku sehari-hari tidak terlepas dari segala ketentuan Allah, karena hanya dengan cara inilah kita bisa mendapatkan hak-hak sebagai manusia. DAFTAR PUSTAKA Adriansyah, M. Ali, Seyyed Hossein Nasr: Tradisionalisme Islam Sebagai Pencarian Menuju Shopia Perennis, http://www.pendidikan.net/artikel.us/ali_adrinsyah.html. Aslan, Adnan, Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen: Seyyed Hossein Nasr dan John Hick, Bandung: Alfiya, 2004. Athaillah, A., Aliran Akidah Tafsir al-Manar, Banjarmasin: Balai Penelitian IAIN Antasari, 1990. Azra, Azyumardi, Tradisionalisme Nasr: Eksposisi dan Refleksi Laporan dari Seminar Seyyed Hossein Nasr, Ulumul Quran, 1993. Butterworth, Charles E., Revelation Over Rationalism: The Thought of Seyyed Hossein Nasr, http://www.echeat.com/essays/butterworth15-2.pdf. Echols, John M. and Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993. Esposito, John L. dan John O. Voll, Demokrasi di Negar-Negara Muslim, terj. Rahmany Astuti, Bandung: Mizan, 1999. George Washington University, Seyyed Nasr, http://www.gwu.net/ Lecture Platform BioBox _ Seyyed Nasr.html. Madjid, Nurcholish, Kata Pengantar pada Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Srigunting, 2004. Manser, Martin H., Oxford Learner’s Pocket Dictionary, New York: Oxford University Press, 1995. Munawwir, Ahmad Warson Al, Kamus Al-Munawwir :Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Nasr, Seyyed Hossein, A Young Muslim’s Guide to the Modern World, terj. Hasli Tarekat dengan judul Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan Untuk Kaum Muda Muslim, Bandung: Mizan, 1994. , Ideals and Realities of Islam, http://www.fonsvitae.com/Seyyed Hossein Nasr - Ideals and Realities of Islam - SEYYED HOSSEIN NASR Preface by Titus Burckhardt Foreword by Huston Smith (Islamic Texts Society - Fons Vitae books).html. 59 , Ideals and Realities of Islam, terj. Abdurrahman Wahid dan Hashim Wahid dengan judul Islam dalam Cita dan Fakta, Jakarta: LEPPENAS, 1981. , Islam and The Plight of Modern Man, terj. Anas Muhyiddin dengan judul Islam dan Nestapa Manusia Modern, Bandung: Pustaka, 1983. , Living Sufism, terj. Abdul Hadi WM dengan judul Tasauf Dulu dan Sekarang, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. , The Encounter Man and Nature, terj. Ali Noer Zaman dengan judul Antara Tuhan, Manusia dan Alam, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003. , The Heart Of Islam: Enduring Values for Humanity, terj. Nurasiah Fakih Sutan Harahap dengan judul The Heart Of Islam: PesanPesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan, Bandung: Mizan, 2003. , The Knowledge and The Sacred , terj. Suharsono, et. al. dengan judul Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, Depok: Inisiasi Press, 2004. Nawawi, Hadari, Hakekat Manusia Menurut Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993. Rachman, Budhy Munawar-, Pengantar Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Maret 2003. Rachman,.Budhy Munawar-, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Srigunting, 2004. Said, Nur, Kritik Tradisionalisme Islam Terhadap Krisis Dunia Modern (Studi atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr), An-Nur, Vol. I, No. 2, Februari 2005. Shihab, Quraish, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1994. Snijders, Adelbert, Antropologi Filsafat: Manusia, Paradoks dan Seruan, Yogyakarta: Kanisius, 2004. The Seyyed Hossein Nasr Foundation, A Biography of Seyyed Hossein Nasr, http://www.nasrfoundation.org/ Biography _ Dr. Seyyed Hossein Nasr.html Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990. 60 Yunus, H. Mahmud, Metodik Khusus Pendidikan Agama, PT. Hadikarya Agung, Jakarta, 1983. DAFTAR TERJEMAH BAB Hal. TERJEMAH I 2 Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (alBaqarah: 30) III 2 Maka kami ampuni baginya kesalahannya itu. dan Sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi kami dan tempat kembali yang baik. (Shaad: 25) 25 Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (al-Hijr: 28-29) 92 Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (al-A’raf : 172). 39 Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (al-Ahzab : 72) 40 Sesungguhnya (ayat-ayat) Ini adalah suatu peringatan, Maka barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (al-Insan: 29-30). 61 (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". (al-Baqarah : 156). 41 Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (adz-Dzariyat : 56). Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain aku, Maka sembahlah Aku dan Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Thaha : 41). 53 Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah : 256).