26 Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in The

advertisement
1
SPIRITUALISME ISLAM DI TENGAH MODERNITAS
(Telaah atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr)
Oleh:
Muhammad Zaki
Dosen STAI Yasni Muara Bungo
[email protected]
Ana Rosyidatu Umatin
Mahasiswa Pascasarjana IAIN STS Jambi
[email protected]
Abstrak
A. Pendahuluan
Spiritual menurut Kamus Bahasa Indonesia memiliki makna yang
berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin),
sedangkan
spiritualisme adalah aliran filsafat yang mengutamakan kerohanian, kepercayaan
untuk memanggil roh orang yang sudah meninggal dan berarti juga spiritisme.1
Adapun spiritualitas Islam, merupakan hasil dari pengejawantahan keesaan pada
bidang keragaman. Spiritualitas Islam merefleksikan kandungan prinsip keesaan
Ilahi,
kebergantungan
seluruh
keanekaragaman
kepada
Yang
Esa,
kesementaraan dunia dan kualitas-kualitas positif dari eksistensi kosmos.2
Kata modern berarti terbaru, mutakhir, sikap dan cara berpikir serta cara
bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Adapun modernisasi berarti hal atau
tindakan menjadikan modern, tindakan memberi sifat modern, dan tindakan mau
menerima sifat modern. Sedangkan modernitas memiliki arti keadaan (menjadi)
modern, atau kemodernan.3
Modernitas terkadang dianggap sebagai sebuah entitas elementer
kebudayaan yang mampu mendekonstruksi pola pandang manusia atas segala
sesuatu yang dicapai selama perjalanan hidupnya, bahkan ia memberikan situasi
berbeda dalam menyikapi masa depan agama, budaya, dan struktur sosialnya.
1
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 1374.
Siti Binti. A.Z, “Spiritualitas dan Seni Islam Menurut Seyyed Hossein Nasr” dalam
Harmonia: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Vol. VI, No. 3, September-Desember 2005,
hlm. 17.
3
.Tim Penyusun, Kamus, hlm. 965.
2
2
Agama yang semula menjadi pembentuk tatanan budaya berubah dengan asumsiasumsi rasional yang diiringi dengan hadirnya konsep materialisme dan
sekularisme dalam ruang kehidupan, sehingga hal itu juga mendorong
bangkitnya ide tentang humanisme dan antroposentrisme. Ide ini kemudian turun
menjadi gagasan pesifikasi positivistik dan relativistik dengan dampak signifikan
berubahnya
konsepsi
wahyu
ke
alam
mitos,
lantaran
ia tidak dapat
menghadirkan kepastian ilmiah yang terukur (measurable).4
Salah satu ilmuwan Muslim terkemuka di dunia dalam bidang ilmu
pengetahuan dan spiritualitas Islam adalah Seyyed Hossein Nasr,5 seorang tokoh
intelektual yang sangat dihormati, baik di Barat maupun dunia Islam. Seyyed
Hossein Nasr juga dikenal luas sebagai pengarang sejumlah buku dan artikel yang
laris. Lebih dari 50 buku dan 500 artikel yang ditulisnya telah diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa.6 Seyyed Hossein Nasr, seorang di antara sedikit pemikir
Muslim kontemporer paling terkemuka pada tingkat internasional, yang banyak
memberikan perhatian pada masalah-masalah manusia modern. Kritiknya
terhadap manusia modern cukup tajam, seperti terlihat dalam dua karyanya yang
menyangkut topik ini: Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man
(1968), dan Islam and the Plight of Modern Man (1975). Seyyed Hossein Nasr
mendasarkan pembahasannya tentang problem manusia modern dengan melihat
manusia Barat modern, yang selanjutnya mempunyai banyak pengikut dan
peniru, termasuk di wilayah dunia Muslim. Di kalangan Barat, khususnya
Amerika Serikat, Seyyed Hossein Nasr adalah ilmuwan muslim yang amat
disegani
saat
ini,
terutama
sepeninggal
Ismail Raji’ Al-Farouqi dan
Fazlurrahman, dalam kajian-kajian keislaman.7
Pemikiran Seyyed Hossein Nasr sangat komplek dan multidimensional,
karena mampu membahas berbagai topik, mulai dari sains dan filsafat Islam,
Encung, “Tradisi dan Modernitas Perspektif Seyyed Hossein Nasr”, dalam Teosofi:
Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 01, No 02, Desember 2011, hlm. 202.
5
Sebagian penulis menuliskan nama beliau dalam bentuk atau ejaan lain, seperti Sayyid
atau Sayid, Hussain atau Husain. Lihat Suplemen Ensiklopedi Islam, Juz 2, hlm. 80.
6
http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/arsip/seyyed-hossein-nasr-tokoh-intelektualmuslim-di-abad-modern.html. Diunduh pada tanggal 28 November 2014.
7
Nur A. Fadhil Lubis, "Kecenderungan Kajian Keislaman di Amerika", dalam Ulumul
Quran, Vol. IV, No. 4, 1993, hlm. 81.
4
3
sufisme, perenialisme8, sampai pada masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia
dan peradaban modern. Menyimak pemikirannya tentang konformitas dengan dunia
modern, sebagian ahli memasukkan Seyyed Hossein Nasr ke dalam kelompok
pemikir ‘neo-modernis’ Muslim.9
Makalah ini merupakan kajian literatur yang memfokuskan kajiannya pada
pemikiran Seyyed Hossein Nasr tentang modernitas dari berbagai dimensi, baik
dimensi positif maupun negatif, dan kemudian memasukkan nilai-nilai spritualitas
Islam di tengah modernitas tersebut sebagai solusinya bagi dampak negatifnya.
Kajian ini diawali dengan pembahasan tentang biografi Seyyed Hossein Nasr,
pemikiran-pemikirannya tentang modernitas, spritualitas Islam, serta diakhiri
dengan penutup dan kesimpulan.
B. Biografi Singkat Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr adalah seorang filosof muslim terkemuka yang
namanya telah diabadikan dalam serial The Living Philosopher. Ahli di bidang
filsafat ilmu, teknologi, dan ilmu-ilmu tradisional Islam, serta salah satu penulis
terkemuka di Barat dengan penjelmaan akan nilai-nilai tradisional.10 Melihat
pemikirannya tentang tradisionalisme Islam dan keyakinannya mengenai
kemampuan Islam menjawab tantangan dunia modern, Seyyed Hossein Nasr
digolongkan ke dalam pemikir ‘neo-tradisionalisme’.11
Seyyed Hossein Nasr dilahirkan pada tanggal 17 April 1933 di kota
Teheran, Iran. Ayahnya bernama Sayyed Vailullah Nasr yang dikenal sebagai
ulama, dokter dan pendidik pada masa dinasti Qajar. Seyyed Hossein Nasr adalah
seorang tradisionalis yang ingin menggeser peradaban intelektual modern dengan
matrik intelektual tradisional. Seyyed Hossein Nasr hidup dalam dua tradisi, Islam
tradisional dan Modernitas Barat. Beliau dibesarkan di dalam keluarga ulama
Perenial berasal dari bahasa Latin “prennis” yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa
Inggris yang artinya kekal atau abadi. Istilah ini digunakan ketika berbicara tentang tuhan sebagai
wujud yang absolut, sumber dari segala wujud. Lihat Komaruddin Hidayat, Agama Masa Depan
Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta: Paramadian, 1995), hlm. 1.
9
Dewan Redaksi, Suplemen Ensiklopedi Islam, ed. Abdul Aziz Dahlan (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), Cet. III, hlm. 80.
10
Tri Astuti Haryati, “Modernitas Dalam Perspektif Seyyed Hossein Nasr”, dalam Jurnal
Penelitian, Vol. 08, No. 02, November 2011, hlm. 309.
11
Dewan Redaksi, Suplemen, hlm. 81.
8
4
Syi’ah. Beliau sempat memperoleh pendidikan Barat modern di Institiut
Teknologi Massachussets (MIT) dan Universitas Harvard.12
Pendidikan dasarnya dimulai di Teheran dan selanjutnya oleh ayahnya ia
dikirim ke Qum untuk bekerja dengan sejumlah ulama besar Iran termasuk atThabthaba’i untuk mendalami filsafat, ilmu kalam, tasawwuf dan menghafal
Alquran dan syair-syair klasik Persia. Pada masa pendidikannya di Iran,
ketegangan telah mewarnai hubungan antara Barat dan Timur. Kebudayaan Barat
yang modern dengan segala corak moralnya telah mempengaruhi negara-negara
Muslim yang dalam banyak hal sangat bertentangan dengan Islam tradisional.
Barangkali hal ini yang mendorong keinginan Seyyed Hossein Nasr untuk belajar
ke Barat, bahwa untuk melawan pemikiran sekuler Barat harus masuk ke
sarangnya.13
Pada usia 13 tahun, Seyyed Hossein Nasr berangkat ke Barat untuk
melanjutkan studi sekolah tingkat atas dan selanjutnya perguruan tinggi. Ia
mengikuti jurusan matematika dan fisika di Massachussets di bawah bimbingan
seorang guru terkenal yakni Bertrand Russel. Pada tahun 1954, Seyyed Hossein
Nasr melanjutkan studinya ke Universitas Harvard. Pada awalnya ia mengambil
jurusan geologi dan geofisika, tetapi kemudian beralih mendalami disiplin ilmu
tradisional dengan menekuni bidang filsafat dan ilmu pengetahuan yang bertitik
fokus pada ilmu pengetahuan Islam dan filsafat. Di sinilah Seyyed Hossein Nasr
belajar sejarah dan pemikiran Islam dari tokoh terkenal lainnya yakni H.A.R.
Gibb, sejarah ilmu pengetahuan pada George Sarton dan sejarah teologi dan
filsafat pada Harry Wolfson.14
Selama masa pendidikannya, baik secara akademis maupun melalui kontak
pemikiran, Seyyed Hossein Nasr banyak dipengaruhi oleh guru dan tokoh-tokoh
pemikir keislaman tradisional seperti Massigon, Henry Corbin, F. Schoun dan
sebagainya. Salah satu gagasan mereka yang dikembangkan oleh Seyyed Hossein
12
Mehdi Aminrazavi dan Zailan Moris, The Complete Bibliography of the Works of
Seyyed Hossein Nasr from 1958 through April 1993 (Kuala Lumpur [Malaysia]: Islamic Academy
of Science of Malaysia,, 1994), hlm. xiii.
13
M. Thabthaba’i, Islam Syi’ah (Jakarta: Grafiti Press, 1989), hlm. 95.
14
Moris, The Complete, hlm. 95.
5
Nasr adalah pemikiran filsafat metafisika universal. Pada tahun 1958, Seyyed
Hossein Nasr berhasil merai gelar doktor dengan judul disertasi “An Introduction
to Islamic Cosmological Doctrin” di bawah bimbingan H.A.R. Gibb yang
kemudian diterbitkan pada tahun 1964.
Selepas menamatkan studi di Universitas Harvard, Seyyed Hossein Nasr
melanjutkan karier mengajarnya di tanah kelahirannya, Iran. Sejak 1958, Seyyed
Hossein Nasr mengajar di Universitas Teheran. Lima tahun kemudian pada usia
tiga puluh, ia diangkat sebagai profesor penuh dalam bidang studi filsafat dan
ilmu sejarah di Universitas tersebut. Dan sejak 1968 hingga 1972, Seyyed Hossein
Nasr diangkat menjadi dekan fakultas sekaligus wakil rektor bidang akademik.15
Selama mengajar di Universitas Teheran, Seyyed Hossein Nasr
mendorong para mahasiswanya untuk belajar filsafat dan tradisi keilmuan lainnya
dari sudut pandang mereka sendiri, bukan dari perspektif pemikiran dan filsafat
Barat seperti yang diterapkan oleh banyak perguruan tinggi di dunia. Menurutnya,
seseorang tidak bisa berharap banyak untuk bisa memahami sesuatu dari sudut
pandang orang lain. Hal ini, ungkap beliau, ibaratnya sama seperti orang yang
berusaha melihat melalui mata orang lain.16
Keahlian profesional Seyyed Hossein Nasr dalam bidang filsafat dan
sejarah ilmu pengetahuan, tampaknya tidak lepas dari pengaruh lingkungan
intelektual Iran, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan, dan Amerika Serikat,
tempat ia melanjutkan studi. Iran dapat dipandang sebagai tempat yang
merepresentasikan kontinuitas perkembangan pemikiran keagamaan, khususnya
filsafat dan sufisme di dunia Islam hingga abad-abad terakhir. Seperti yang
diakui Seyyed Hossein Nasr sendiri, bahwa filsafat Islam memiliki kehidupan
yang lebih panjang di bagian timur ketimbang di bagian Barat dunia Islam. Di
Persia, filsafat Islam tetap bertahan hidup selama beberapa abad terakhir. Satu
bagian periode dari abad VII/XIII sampai X/XVI dicirikan oleh penyesuaian
besar antar berbagai ajaran Islam.
15
http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/arsip/seyyed-hossein-nasr-tokoh-intelektualmuslim-di-abad-modern.html. Diunduh pada tanggal 28 November 2014.
16
Ibid.
6
Kredibilitas Seyyed Hossein Nasr sebagai intelektual dan akademisi tidak
hanya dikenal di negaranya sendiri, tetapi juga diakui di negeri lain sehingga
sering diundang seminar atau memberi kuliah di luar negeri, antara lain di
Universitas Harvard, Amerika Serikat pada tahun 1962-1965; di Universitas
Amerika di Beirut (American University of Beirut) pada tahun 1964-1965, dan
menjadi direktur lembaga Aga Khan (Aga Khan Chair of Islamic Studies) untuk
kajian ke-Islaman pada universitas yang sama. Seyyed Hossein Nasr juga
memberikan makalah pada Pakistan Philosophycal Congress, di Pakistan pada
tahun 1964; memberikan kuliah di Universitas Chicago pada tahun 1966 atas
sponsor Rockefeller Foundation, dan pada tahun 1981 memberi kuliah di Giffort
Lectures, lembaga yang didirikan oleh Universitas Edinburg (Edinburg
University) pada tahun 1989.17
Pada tahun 1967, Seyyed Hossein Nasr bersama Muthahhari juga
bergabung dengan Husainiyah Irsyad, sebuah organisasi atas prakarsa Ali Syariati
(1933-1977 M) yang bertujuan untuk memberikan panduan intelektual pada
masyarakat, berdasarkan pemikiran, pandangan, dan kebijaksanaan Imam Husayn
serta berlandaskan ajaran Islam, kondisi masyarakat dan ajaran Syiah pada masa
kini. Karena perbedaan prinsip dengan Ali Syariati, Seyyed Hossein Nasr dan
Muthahhari akhirnya mengundurkan diri dari organisasi tersebut. Menurut Seyyed
Hossein Nasr, Ali Syariati telah membawa paham liberation theology dari
Marxisme dan Barat ke dalam Islam, dan berupaya menyajikan Islam sebagai
kekuatan revolusioner dengan mengorbankan dimensi kerohanian Islam, sering
melancarkan kritik terhadap ulama tradisional, dan menyalahgunakan lembaga itu
untuk kepentingan politik.18
C. Modernisme Menurut Seyyed Hossein Nasr
Masyarakat modern menurut Seyyed Hossein Nasr merupakan sekelompok
manusia yang tertata dalam struktur intelektualnya melalui premis-premis
positivistik, tanpa mencoba mencari garis penghubung antara alam dan manusia.
Implikasinya, alam dan manusia masing-masing bersaing membentuk struktur
17
18
Siti Binti. A.Z, “Spiritualitas…”, hlm. 18.
Ibid, hlm. 18-19.
7
alamnya sendiri. Akhirnya, manusia hari ini hidup dalam arus urbanisasi yang
selalu merasakan pengapnya alam karena hilangnya kepekaan intuitif manusia
terhadap fenomena alam di sekitarnya. Manusia seperti kehilangan kebebasan
untuk bergerak dan berekspresi akibat eksploitasi manusia sendiri terhadap alam
sekitarnya. Sehingga, manusia modern seperti hidup di luar eksistensi dirinya.19
Menurut S e y y e d H o s s e i n Nasr, manusia modern tidak hanya berciri
positivistik, tetapi mereka selalu mengeksploitasi alam semesta dengan bertindak
semena-mena terhadapnya. Seperti eksplorasi migas
tanpa
henti
untuk
kepentingan sumber energi, pemalakan hutan dengan cara digunduli, atau
penebangan liar untuk kepentingan pembangunan. Kondisi ini diperparah dengan
kecenderungan manusia yang serba mempermudah hidup dengan bantuan
berbagai penggunaan teknologi yang tentu saja berdampak pada meningkatnya
polusi. Sehingga lapisan ozon menipis dan akhirnya terjadilah global warming
dibelahan dunia wilayah Barat, dan wilayah Timur pada umumnya.
Dunia modern menurut Seyyed Hossein Nasr ditandai oleh kecemasan
terhadap biaya perang, krisis ekologi, dan polusi udara dan air. Masalah yang
paling akut yang dihadapi manusia modern bukan muncul dari underdevelopment
(keterbelakangan), tetapi justru dari overdevelopment (keterlalumajuan). Lebih
dari itu, semua masalah dan krisis peradaban modern berakar pada polusi jiwa
manusia yang muncul begitu manusia Barat mengambil alih peran ketuhanan di
muka bumi dengan menyingkirkan dimensi ilahi dari kehidupannya. Manusia
modern dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr memperlakukan alam sebagai
pelacur, mengambil kepuasan dari alam tanpa rasa tanggung jawab apapun. 20
Modernitas merupakan rintisan gaya hidup yang meterialistis dan hedonis
dalam kubangan doktrin humanisme. Konsekuensi logis dari pemikiran ini
21
adalah, manusia adalah pengendali utama realitas kehidupan.
Sikap yang
demikian, bagi Seyyed Hossein Nasr, telah mendistorsi hakikat terdalam manusia.
19
William C. Chittick, The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr (New York: Unwinn
Press, 1981), hlm. 90.
20
Dewan Redaksi, Suplemen, hlm. 81-82.
21
R. J. Hollingdel, Twilight of Idol and the Anti Christ (New York: Pinguin Books,
1968), hlm. 5.
8
Karena baginya, dimensi kemanusian manusia terletak pada relasi manusia dengan
dunia yang transenden nan jauh di sana, sehingga apabila ingin membangun
elan vital kehidupan tidak lain harus dimulai dari asumsi yang sacred ini.
Modernisasi oleh Sayyed Hosein Nasr dikatakan bahwa selain membawa
dampak postif juga membawa dampak negatif. Dampak ini bersumber dari
penolakan terhadap hakekat ruh dan penyingkiran maknawiyah secara gradual
dalam kehidupan manusia. Modernitas mencoba hidup dengan roti semata,
berupaya membunuh tuhan dan menyatakan kebebasan dari kehidupan akhirat.22
Masyarakat Barat yang dikenal sebagai “the post industrial society”
adalah suatu masyarakat yang mencapai tingkat kemakmuran materi dari
seperangkat teknologi yang serba mekanis dan otomatis. Kemewahan ini bukan
semakin mendekati kebahagiaan, malah semakin dihinggapi oleh rasa cemas.
Masyarakat modern telah berubah menjadi penyembah pengetahuan dan teknologi
sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaannya tereduksi dan terperangkap
dalam pada jaringan sistem rasionalitas teknologi yang sangat tidak manusiawi.
Bahkan mereka lupa tentang siapa mereka, untuk hidup dan kemana sesudahnya.
Di tengah krisis manusia dan peradaban modern Barat, kaum muslim di
berbagai wilayah dunia Islam menurut Seyyed Hossein Nasr terbelah dalam dua
kelompok: (1) mereka yang terjebak dalam krisis dunia Barat, karena mengikuti
pola Barat secara sembrono, dan (2) mereka yang tetap setia pada nilai-nilai
tradisional Islam. Kelompok yang terakhir ini masih mengamalkan ibadah dan
ritual agama, berpegang teguh pada hukum Tuhan (syariat), dan menghormati
ulama serta para wali.23
Demikian kritik Seyyed Hossein Nasr terhadap modernitas seperti yang
disaksikannya pada masyarakat modern di Barat. Mereka kehilangan visi keilahian dan hilang kemampuan untuk melihat realitas hidup dan kehidupan secara
intlectus.24 Ungkapan yang senada juga dikatakan Marcel, hilangnya batas-batas
22
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man (London:
Alen and Unwin, 1967), hlm. 18.
23
Dewan Redaksi, Suplemen, hlm. 82.
24
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (Chicago: Kazi Publications
Inc, 2013), hlm. 4.
9
yang dianggap dan diyakini sebagai sesuatu yang sakral dan absolut menimbulkan
manusia modern yang melingkar-lingkar dalam dunia yang serba relatif terutama
sistem nilai dan moralitas yang dibangun. Barat telah kehilangan rasa super
natural secara besar-besaran.25
D. Spiritualitas Islam di Tengah Modernisme Menurut Seyyed Hossein Nasr
Kerangka modernitas sesungguhnya menyisakan persoalan kemanusian
yang belum tuntas. Sehingga konsep modernitas bergulir ibarat sebuah bencana
yang melanda seluruh kehidupan masyarakatnya. Modernisme datang membawa
serta berbagai tren baru pada masyarakat muslim yang selama ini masih
bersikukuh dengan tradisi-tradisi yang dianggap telah mapan. Modernisme datang
membawa varian keilmuan baru seperti astronomi, filsafat, pendidikan yang dapat
menggoncang kemapanan tradisi Islam. Seyyed Hossein Nasr kemudian
memetakan modernitas sebagai gelombang yang melanda belahan dunia Islam
yang juga menjangkau ekonomi, astronomi, dan seluruh persoalan hidup umat
Islam.26 Sehingga dalam kubangan arus modernitas, umat Islam di seluruh dunia
berada dalam kekacauan materialisme dan humanisme yang digagas sebagai
landasan utama modernitas.
Oleh
karenanya,
Seyyed
Hossein
Nasr
menawarkan
pendekatan
tradisional, dengan sufisme sebagai alternatif yang mampu memenuhi kebutuhan
spritual manusia modern. Menurut Seyyed Hossein Nasr, manusia untuk dapat
mencapai level eksistensi harus mengadakan pendekatan spritual dan melatih
ketajaman intelektus27 karena menurutnya pengetahuan pragmatis tidak dapat
dipakai untuk melihat realitas yang utuh kecuali jika ia mempunyai visi intelektus
tentang yang utuh tadi. Di samping itu, manusia juga mampu mengatahui dirinya
sendiri secara utuh jika ia mendapat bantuan ilmu dari tuhan karena keberadaan
yang sifatnya relatif akan berarti bila dihubungkan dengan yang absolut yakni
Marcel A. Boisard, L’Humanisme de L’Islam. Terj. Humanisme dalam Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1980), hlm. 79.
26
Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in The Modern World (NewYork: Columbia
University Press, 1990), hlm. 75-76.
27
Istilah intelektus mempunyai konotasi mata hati, yakni satu-satunya elemen esensi
manusia yang sanggup menatap bayang-bayang tuhan yang diisyaratkan oleh alam semesta.
25
10
tuhan. Oleh karena itu menurut Seyyed Hossein Nasr bahwa jika mereka
mengakhiri
kesesatan
yang
mereka
timbulkan
sendiri
akibat
terlalu
mengagungkan rasio, mereka harus merubah sikap dan kehidupan keagamaan.28
Dalam
kerangka
‘tradisionalisme
Islam’,
Seyyed
Hossein
Nasr
memahaminya sebagai kepenganutan yang teguh kepada ‘tradisi’ yang suci dan
mengandung kebijaksanaan perenial (abadi). Konsep Muslim tradisional menurut
Seyyed Hossein Nasr adalah yang (1) menerima Alquran sepenuhnya sebagai
firman Allah swt. baik dalam isi maupun bentuk; (2) mengakui al-kutub as-sittah
(enam kitab kumpulan hadits standar); (3) mengandung tasawuf atau tarekat
sebagai dimensi batin dan jantung pematuhan Islam; dan (4) selalu berangkat dari
realisme sesuai dengan norma-norma Islam dalam segi politik.29
Krisis masyarakat modern yang di Barat juga memberi pengaruh yang
cukup besar dalam dunia Islam30 yang pada saat itu mengalami krisis. Negaranegara muslim internasional mencoba mengambil bentuk modernisasi dan
industrialisasi secara mentah-mentah yang mengakibatkan dunia Islam juga
mengalami krisis seperti yang dialami oleh masyarakat Barat.31
Konsep modernisme yang ditawarkan oleh pemikir-pemikir Islam oleh
Seyyed Hossein Nasr dipandang sangat bertentangan dengan Islam tradisional.
Menurutnya, ummat Islam harus mengkaji kembali tradisi-tradisi otentik Islam
untuk mengobati krisis yang muncul tanpa harus mengambil konsep Barat.
Karena menurutnya konsep-konsep tersebut bertentangan dengan Islam.
Humanisme, rasionalisme dan sekularisme dan modernisme merupakan lawan
bagi Islam tradisional.
Alternatif yang ditawarkan oleh Seyyed Hossein Nasr dalam upaya
pembebasan manusia modern lewat filsafat tradisional adalah sufisme.
Menurutnya bahwa ajaran agama terbagi kepada dua kategori. Pertama yang
28
Nasr, Man and Nature, hlm. 47.
Dewan Redaksi, Suplemen, hlm. 81.
30
Seyyed Hossein Nasr mengelompokkan masyarakat muslim pada saat itu kepada tiga
kelompok: masyarakat muslim tradisional, masyarakat yang mengadopsi unsur modernisme dan
masyarakat yang berada di tengah-tengahnya. Sayyed Hosein Nashr, Islam and the Plight, hlm. 27.
31
Jalur masuknya pemikiran Barat ke dunia Islam bisa dilihat pada Harun Nasution,
Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm.
12.
29
11
berhubungan dengan aspek kesyari’ahan atau eksoteris dan yang kedua adalah
aspek sufisme atau esoteris. Sufisme tidak akan bisa dipraktekkan tanpa telebih
dahulu mempraktekkan ajaran syari’ah dengan benar.32 Artinya bahwa antara
syari’ah dengan sufisme terdapat hubungan yang sangat erat, dan keduanya
merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan.
Islam tradisional memandang manusia bukan sebagai makhluk yang
terpenjara oleh akal dalam arti rasio semata sebagaimana yang dipahami pada
zaman renaisans, tetapi sebagai makhluk yang suci, yang tak lain adalah manusia
tradisional. Manusia suci, menurut Seyyed Hossein Nasr, hidup di dunia yang
mempunyai asal maupun pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh sejak asal yang
mengandung kesempurnaannya sendiri dan berusaha untuk menyamai, memiliki
kembali, dan mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya.33
Menurut Seyyed Hossein Nasr, salah satu sebab kemunduran kehidupan
internal kaum muslimin adalah penghancuran tasawuf dan tarekat sufi oleh
gerakan-gerakan rasionalisme puritan. Seyyed Hossein Nasr berbeda pendapat
dengan para sarjana muslim lain, yang justru menganggap tasawuf dan tarekat
sebagai penyebab kemunduran kaum muslimin. Dengan menolak sufisme dan
mengkambinghitamkannya sebagai penyebab kemunduran umat, maka Islam akan
tereduksi hingga yang tersisa hanyalah doktrin fikih kaku, yang pada gilirannya
juga tidak berdaya menghadapi serangan bertubi-tubi intelektual Barat.34
Dengan pandangan positif terhadap sufisme, tidak heran kalau Seyyed
Hossein Nasr berpendapat bahwa sufisme dapat menjadi jawaban atas krisis
spritual manusia modern, khususnya di Barat. Menurutnya, sufisme dapat
mempengaruhi Barat melalui tiga upaya: (1) mempraktikkan sufisme secara aktif,
(2) menyajikan Islam secara lebih menarik sehingga orang dapat menemukan
praktek-praktek sufisme yang benar, dan (3) memfungsikan sufisme sebagai alat
untuk kebangkitan spiritualisme. Karena merupakan tradisi hidup yang kaya
dengan khazanah doktrin metafisis dan kosmologis, maka sufisme dapat
32
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (London: Allen and Unwin, 1981),
hlm. 193.
33
34
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 185.
Dewan Redaksi, Suplemen, hlm. 82.
12
menghidupkan kembali banyak aspek kehidupan rohani Barat yang tengah dilanda
krisis.35
Pencarian spiritualitas dan mistik bersifat perenial (abadi) dan ini
merupakan kewajaran serta kabutuhan alami manusia. Bahkan sufisme itu sendiri
mengandung hikmah dan kebijaksanaan yang berlaku abadi. Inilah yang menjadi
titik tolak gagasan Seyyed Hossein Nasr tentang perenialisme. Akan tetapi,
Seyyed Hossein Nasr mengingatkan, bahwa perenialisme sufisme harus
dijalankan dalam kerangka syariat Islam.36
Bagi Seyyed Hossein Nasr sufisme bagaikan jiwa yang menghidupkan
tubuh dan merupakan jantung dari pewahyuan ilahi. Sufisme mampu meniupkan
semangatnya ke dalam seluruh struktur Islam baik dalam manifestasi sosial
maupun intelektual, bahkan sufisme sebagai institusi yang terorganisasi dalam
matriks yang lebih besar mampu memainkan peran dalam struktur masyarakat.37
Dari uraian di atas kelihatannya pendekatan tradisionalitas yang
ditawarkan Seyyed Hossein Nasr pada intinya menuntun manusia masa kini
keluar dari kungkungan ketidakpedulian tempat dunia modern untuk menemukan
dirinya. Seyyed Hossein Nasr yakin bahwa Islam dengan karakter universal dan
perenialnya mampu menjawab tantangan dan krisis masyarakat modern.
E. Landasan Tradisionalitas Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr berkeyakinan bahwa untuk merancang kebudayaan
modern, manusia harus merangkul dua pandangan dunia sekaligus, sakralitas
dan materialitas. Artinya ada ruang sakralitas dalam diri materialitas yang harus
dipertimbangkan.38 Di sini Seyyed Hossein Nasr menggarisbawahi, bahwa
dengan modernitas berarti seseorang akan merusak tatanan sakralitas, sehingga
ruang metafisis dalam dunia fisik tidak bisa dihadirkan sebagai spirit kebenaran
35
Ibid, hlm. 83.
Ibid.
37
Sayyed Hossein Nasr, Sufe Essays (London: Allen and Unwin, 1981), hlm. 18.
38
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (Albany: State University of New
York Press, 1981), hlm. 1.
36
13
materi-materi yang ada di dunia.39 Bagi Seyyed Hossein Nasr bangunan
materialisme sebenarnya adalah implikasi filsafat Rene Descartes dalam filsafat
kemanusiaannya, cogito ergo sum (saya berpikir lalu saya ada). Diksi tersebut
yang digunakan Descartes untuk menyerang keyakinan metafisis material dan
ruang mistik manusia. Descartes di sini sedang mengandaikan terciptanya hukumhukum manusia pada setiap ruang kehidupannya.40
Konsep dan gagasan inilah yang masuk ke alam berpikir manusia
Barat dimana gagasan tradisionalitas semakin tidak mendapatkan tempat. Di sini,
gagasan tradisionalitas ala Seyyed Hossein Nasr merupakan rangkuman filosofis
dari berbagai agama. Dalam hal ini, Seyyed Hossein Nasr melihat bagaimana
filsafat Barat abad pertengahan, yang kemudian dia sebut sebagai tradisi Kristiani,
mulai runtuh bersamaan munculnya ide-ide materialisme yang telah dibangun
setelah kemunculan teori Copernicus dan Galelio.
Selain itu, kecenderungan homosentrisme manusia modern, baik terhadap
alam maupun sisi kemanusiaanya, berimplikasi kepada asumsi kedigdayaan
manusia melebihi segala sesuatu. Ini adalah bias materialisme yang kemudian
berujung kepada keserakahan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Dari sinilah awal mula munculnya petaka manusia modern, selain adanya konsep
pemisahan antara ruang materi dan immateri. S e y y e d
Hossein
Nasr
meyakini, bahwa sesungguhnya dalam diri setiap materi ada ‘ruang’ yang belum
teruraikan oleh manusia modern, sehingga materi itu seringkali kehilangan
orientasinya. Apakah materi itu berupa sains, teknologi atau agama itu sendiri.41
Gagasan tradisionalitas Seyyed Hossein Nasr sebenarnya berkeinginan
untuk menyandarkan seluruh problematika modern terhadap Alquran, walaupun
bahasa-bahasa agama juga perlu dicerna dan diuraikan dengan baik oleh setiap
masanya.
39
Seyyed Hossein Nasr, In Search of the Sacred (New York: Sunny Press, 1989), hlm.
40
Ibid, hlm. 185.
Nasr, Knowledge, hlm. 30.
184.
41
14
F. Pendekatan Studi Agama di Tengah Modernitas
Studi agama atau keagamaan di tengah modernitas menurut Seyyed
Hossein Nasr dapat dilakukan melalui pendekatan filsafat tradisional (filsafat
perenial). pendekatan ini dilakukan bermula dari adanya pandangan yang
mengatakan bahwa semua agama adalah sama atau neo-vedantisme yang
berkembang di Amerika setelah perang dunia ke-II. Pendekatan tradisional yang
dilakukan
oleh
Seyyed
Hossein
Nasr
dalam
studi
keagamaan
selalu
memperhatikan aspek-aspek keagamaan, seperti hubungan manusia dengan
Tuhan, wahyu dengan seni, sakral dengan simbol, ritual-ritual dan syari’at agama
juga metafisika dan teologi.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, perbedaan mendasar aliran-aliran
pemikiran lain dalam studi agama muncul dari perbedaan pandang mengenai
hakekat realitas, di mana kaum tradisional menolak pandangan Barat yang
mempersempit realitas yang awalnya muncul dari rasionalisme dan emperisme
setelah abad-abad pertengahan. Seyyed Hossein Nasr berpendapat bahwa kajian
aliran tradisional meliputi wilayah agama mulai dari etika, teologi, mistisme, ritus,
simbol dari setiap agama dengan semangat asal ilahi yang absolut tanpa menolak
manifestasi-manifestasi atau kemungkinan lainnya yang mengalami perubahan
karena perubahan waktu.
Melalui pendekatan tradisonal, kebenaran suatu agama tidak hanya diukur
sebatas pada upacara keagamaan yang sifatnya lahiriah, tetapi melampaui setiap
bentuk dan manifestasi lahiriah tersebut menuju transendental. Seyyed Hossein
Nasr menyatakan bahwa bahwa titik temu atau kesatuan agama yang dibicarakan
adalah kesatuan transendental yang bersifat metafisik dan melampaui setiap
bentuk dan manifestasi lahiriah.42 Pendekatan tradisional menganggap bahwa
kebenaran mutlak hanya satu, yang mengandung makna bahwa hakekat agama
sebenarnya hanya satu tapi karena agama muncul dalam ruang dan waktu secara
tidak simultan, maka pluralitas bentuk dan bahasa agama tidak bisa dielakkan
dalam realitas sejarah. Setiap bentuk dan bahasa keagamaan juga mengadung
muatan nilai-nilai budaya dari sebuah komunitas dan melahirkan pengelompokan
42
Nasr, Sufe, hlm. 91.
15
ideologis. Melalui pendekatan tradisional ini, titik temu di antara agama-agama
dapat dilakukan pada level esoteris (ilahiah), bukan pada level eksoteris (syari’ah)
dan manhajnya, sehingga seandainya semua agama di atas bumi ini lenyap tapi
realitas asal yang dihadirkan setiap agama akan senantiasa ada. Kesatuan agamaagama terjadi pada langit ilahiah bukan pada atmosfir manusia.43
F. Penutup dan Kesimpulan
Seyyed Hossein Nasr adalah seorang filosof muslim terkemuka di bidang
filsafat ilmu, teknologi, dan ilmu-ilmu tradisional Islam, serta salah satu penulis
terkemuka di Barat dengan penjelmaan akan nilai-nilai tradisional. Seyyed
Hossein Nasr hidup dalam dua tradisi, Islam tradisional dan modernitas Barat.
Beliau dibesarkan di dalam keluarga ulama Syi’ah dan sempat memperoleh
pendidikan Barat modern. Kredibilitas Seyyed Hossein Nasr sebagai intelektual
dan akademisi tidak hanya dikenal di negaranya sendiri, tetapi juga diakui di
negeri
lain.
Melihat
pemikirannya
tentang
tradisionalisme
Islam
dan
keyakinannya mengenai kemampuan Islam menjawab tantangan dunia modern,
Seyyed Hossein Nasr digolongkan ke dalam pemikir ‘neo-tradisionalisme’.
Masyarakat modern menurut Seyyed Hossein Nasr merupakan sekelompok
manusia yang tertata dalam struktur intelektualnya melalui premis-premis
positivistik, tanpa mencoba mencari garis penghubung antara alam dan manusia.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, modernitas merupakan rintisan gaya hidup yang
meterialistis dan hedonis dalam kubangan doktrin humanisme. Konsekuensi logis
dari pemikiran ini adalah, manusia sebagai pengendali utama realitas kehidupan
sehingga telah mendistorsi hakikat terdalam manusia. Kerangka modernitas
sesungguhnya menyisakan persoalan kemanusian, sehingga bergulir ibarat sebuah
bencana yang melanda seluruh kehidupan masyarakatnya. Kaum muslimin
terbelah dalam dua kelompok dalam menyikapi modernitas, mereka yang terjebak
dalam krisis dunia Barat, dan mereka yang tetap setia pada nilai-nilai tradisional
Islam.
43
Frithjof Schoun, Understanding Islam (London: Unwin Paperback, 1981), hlm. 14.
16
Seyyed Hossein Nasr menawarkan pendekatan tradisional, dengan sufisme
sebagai alternatif yang mampu memenuhi kebutuhan spritual manusia modern.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, manusia untuk dapat mencapai level eksistensi
harus mengadakan pendekatan spiritual dan melatih ketajaman intelektual.
Alternatif yang ditawarkan oleh Seyyed Hossein Nasr dalam upaya pembebasan
manusia modern lewat filsafat tradisional adalah sufisme, yang menghidupkan
tubuh dan merupakan jantung dari pewahyuan ilahi. Sufisme mampu meniupkan
semangatnya ke dalam seluruh struktur Islam baik dalam manifestasi sosial
maupun intelektual, bahkan sufisme sebagai institusi yang terorganisasi dalam
matriks yang lebih besar mampu memainkan peran dalam struktur masyarakat.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, spiritualisme melalui paham sufisme dapat
menjadi jawaban atas krisis spritual manusia modern, khususnya di Barat melalui
tiga upaya, yaitu mempraktikkan sufisme secara aktif, menyajikan Islam secara
lebih menarik, dan memfungsikan sufisme sebagai alat untuk kebangkitan
spiritualisme. Gagasan tradisionalitas Seyyed Hossein Nasr berkeinginan untuk
menyandarkan seluruh problematika modern terhadap Alquran, walaupun bahasabahasa agama juga perlu dicerna dan diuraikan dengan baik oleh setiap masanya.
Studi agama di tengah modernitas menurut Seyyed Hossein Nasr dapat
dilakukan melalui pendekatan filsafat tradisional. Melalui pendekatan ini,
kebenaran suatu agama tidak hanya diukur sebatas pada upacara keagamaan yang
sifatnya lahiriah, tetapi melampaui setiap bentuk dan manifestasi lahiriah tersebut
menuju transendental. Pendekatan ini juga menganggap bahwa hakekat agama
sebenarnya hanya satu tapi karena agama muncul dalam ruang dan waktu secara
tidak simultan, maka pluralitas bentuk dan bahasa agama tidak bisa dielakkan
dalam realitas sejarah.
17
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Aminrazavi, Mehdi dan Zailan Moris. The Complete Bibliography of the Works of
Seyyed Hossein Nasr from 1958 through April 1993. Kuala Lumpur
(Malaysia): Islamic Academy of Science of Malaysia, 1994.
Boisard, Marcel A.. L’Humanisme de L’Islam. Terj. Humanisme dalam Islam.
Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Chittick, William C. The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr. New York:
Unwinn Press, 1981.
Dewan Redaksi. Suplemen Ensiklopedi Islam, ed. Abdul Aziz Dahlan. Jakarta:
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003
Schoun, Frithjof. Understanding Islam. London: Unwin Paperback, 1981.
Hidayat, Komaruddin. Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial. Jakarta:
Paramadian, 1995.
M. Thabthaba’i. Islam Syi’ah. Jakarta: Grafiti Press, 1989.
Nasr, Sayyed Hosein. Sufe Essays. London: Allen and Unwin, 1981.
______. Intelektual Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
______. Knowledge and The Sacred. Albany: State University of New York
Press, 1981.
______. Islam and the Plight of Modern Man. Chicago: Kazi Publications Inc,
2013.
______. Traditional Islam in
University Press, 1990.
The
Modern
World. NewYork: Columbia
______. In Search of the Sacred. New York: Sunny Press, 1989.
______. Islamic Life and Thought. London: Allen and Unwin, 1981.
______. Man and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man. London: Alen and
Unwin, 1967.
R. J. Hollingdel. Twilight of Idol and the Anti Christ. New York: Pinguin Books,
1968.
Tim Penyusun. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
18
B. Jurnal
Harmonia: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Vol. VI, No. 3, SeptemberDesember 2005.
Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 01, No 02, Desember 2011.
Ulumul Quran, Vol. IV, No. 4, 1993.
Jurnal Penelitian, Vol. 08, No. 02, November 2011.
C. Website
http://dunia.pelajar-islam.or.id/.
Download