1 SPIRITUALISME ISLAM DI TENGAH MODERNITAS (Telaah atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr) Oleh: Muhammad Zaki Dosen STAI Yasni Muara Bungo [email protected] Ana Rosyidatu Umatin Mahasiswa Pascasarjana IAIN STS Jambi [email protected] Abstrak A. Pendahuluan Spiritual menurut Kamus Bahasa Indonesia memiliki makna yang berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin), sedangkan spiritualisme adalah aliran filsafat yang mengutamakan kerohanian, kepercayaan untuk memanggil roh orang yang sudah meninggal dan berarti juga spiritisme.1 Adapun spiritualitas Islam, merupakan hasil dari pengejawantahan keesaan pada bidang keragaman. Spiritualitas Islam merefleksikan kandungan prinsip keesaan Ilahi, kebergantungan seluruh keanekaragaman kepada Yang Esa, kesementaraan dunia dan kualitas-kualitas positif dari eksistensi kosmos.2 Kata modern berarti terbaru, mutakhir, sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Adapun modernisasi berarti hal atau tindakan menjadikan modern, tindakan memberi sifat modern, dan tindakan mau menerima sifat modern. Sedangkan modernitas memiliki arti keadaan (menjadi) modern, atau kemodernan.3 Modernitas terkadang dianggap sebagai sebuah entitas elementer kebudayaan yang mampu mendekonstruksi pola pandang manusia atas segala sesuatu yang dicapai selama perjalanan hidupnya, bahkan ia memberikan situasi berbeda dalam menyikapi masa depan agama, budaya, dan struktur sosialnya. 1 Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 1374. Siti Binti. A.Z, “Spiritualitas dan Seni Islam Menurut Seyyed Hossein Nasr” dalam Harmonia: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Vol. VI, No. 3, September-Desember 2005, hlm. 17. 3 .Tim Penyusun, Kamus, hlm. 965. 2 2 Agama yang semula menjadi pembentuk tatanan budaya berubah dengan asumsiasumsi rasional yang diiringi dengan hadirnya konsep materialisme dan sekularisme dalam ruang kehidupan, sehingga hal itu juga mendorong bangkitnya ide tentang humanisme dan antroposentrisme. Ide ini kemudian turun menjadi gagasan pesifikasi positivistik dan relativistik dengan dampak signifikan berubahnya konsepsi wahyu ke alam mitos, lantaran ia tidak dapat menghadirkan kepastian ilmiah yang terukur (measurable).4 Salah satu ilmuwan Muslim terkemuka di dunia dalam bidang ilmu pengetahuan dan spiritualitas Islam adalah Seyyed Hossein Nasr,5 seorang tokoh intelektual yang sangat dihormati, baik di Barat maupun dunia Islam. Seyyed Hossein Nasr juga dikenal luas sebagai pengarang sejumlah buku dan artikel yang laris. Lebih dari 50 buku dan 500 artikel yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.6 Seyyed Hossein Nasr, seorang di antara sedikit pemikir Muslim kontemporer paling terkemuka pada tingkat internasional, yang banyak memberikan perhatian pada masalah-masalah manusia modern. Kritiknya terhadap manusia modern cukup tajam, seperti terlihat dalam dua karyanya yang menyangkut topik ini: Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (1968), dan Islam and the Plight of Modern Man (1975). Seyyed Hossein Nasr mendasarkan pembahasannya tentang problem manusia modern dengan melihat manusia Barat modern, yang selanjutnya mempunyai banyak pengikut dan peniru, termasuk di wilayah dunia Muslim. Di kalangan Barat, khususnya Amerika Serikat, Seyyed Hossein Nasr adalah ilmuwan muslim yang amat disegani saat ini, terutama sepeninggal Ismail Raji’ Al-Farouqi dan Fazlurrahman, dalam kajian-kajian keislaman.7 Pemikiran Seyyed Hossein Nasr sangat komplek dan multidimensional, karena mampu membahas berbagai topik, mulai dari sains dan filsafat Islam, Encung, “Tradisi dan Modernitas Perspektif Seyyed Hossein Nasr”, dalam Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 01, No 02, Desember 2011, hlm. 202. 5 Sebagian penulis menuliskan nama beliau dalam bentuk atau ejaan lain, seperti Sayyid atau Sayid, Hussain atau Husain. Lihat Suplemen Ensiklopedi Islam, Juz 2, hlm. 80. 6 http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/arsip/seyyed-hossein-nasr-tokoh-intelektualmuslim-di-abad-modern.html. Diunduh pada tanggal 28 November 2014. 7 Nur A. Fadhil Lubis, "Kecenderungan Kajian Keislaman di Amerika", dalam Ulumul Quran, Vol. IV, No. 4, 1993, hlm. 81. 4 3 sufisme, perenialisme8, sampai pada masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia dan peradaban modern. Menyimak pemikirannya tentang konformitas dengan dunia modern, sebagian ahli memasukkan Seyyed Hossein Nasr ke dalam kelompok pemikir ‘neo-modernis’ Muslim.9 Makalah ini merupakan kajian literatur yang memfokuskan kajiannya pada pemikiran Seyyed Hossein Nasr tentang modernitas dari berbagai dimensi, baik dimensi positif maupun negatif, dan kemudian memasukkan nilai-nilai spritualitas Islam di tengah modernitas tersebut sebagai solusinya bagi dampak negatifnya. Kajian ini diawali dengan pembahasan tentang biografi Seyyed Hossein Nasr, pemikiran-pemikirannya tentang modernitas, spritualitas Islam, serta diakhiri dengan penutup dan kesimpulan. B. Biografi Singkat Seyyed Hossein Nasr Seyyed Hossein Nasr adalah seorang filosof muslim terkemuka yang namanya telah diabadikan dalam serial The Living Philosopher. Ahli di bidang filsafat ilmu, teknologi, dan ilmu-ilmu tradisional Islam, serta salah satu penulis terkemuka di Barat dengan penjelmaan akan nilai-nilai tradisional.10 Melihat pemikirannya tentang tradisionalisme Islam dan keyakinannya mengenai kemampuan Islam menjawab tantangan dunia modern, Seyyed Hossein Nasr digolongkan ke dalam pemikir ‘neo-tradisionalisme’.11 Seyyed Hossein Nasr dilahirkan pada tanggal 17 April 1933 di kota Teheran, Iran. Ayahnya bernama Sayyed Vailullah Nasr yang dikenal sebagai ulama, dokter dan pendidik pada masa dinasti Qajar. Seyyed Hossein Nasr adalah seorang tradisionalis yang ingin menggeser peradaban intelektual modern dengan matrik intelektual tradisional. Seyyed Hossein Nasr hidup dalam dua tradisi, Islam tradisional dan Modernitas Barat. Beliau dibesarkan di dalam keluarga ulama Perenial berasal dari bahasa Latin “prennis” yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris yang artinya kekal atau abadi. Istilah ini digunakan ketika berbicara tentang tuhan sebagai wujud yang absolut, sumber dari segala wujud. Lihat Komaruddin Hidayat, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta: Paramadian, 1995), hlm. 1. 9 Dewan Redaksi, Suplemen Ensiklopedi Islam, ed. Abdul Aziz Dahlan (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), Cet. III, hlm. 80. 10 Tri Astuti Haryati, “Modernitas Dalam Perspektif Seyyed Hossein Nasr”, dalam Jurnal Penelitian, Vol. 08, No. 02, November 2011, hlm. 309. 11 Dewan Redaksi, Suplemen, hlm. 81. 8 4 Syi’ah. Beliau sempat memperoleh pendidikan Barat modern di Institiut Teknologi Massachussets (MIT) dan Universitas Harvard.12 Pendidikan dasarnya dimulai di Teheran dan selanjutnya oleh ayahnya ia dikirim ke Qum untuk bekerja dengan sejumlah ulama besar Iran termasuk atThabthaba’i untuk mendalami filsafat, ilmu kalam, tasawwuf dan menghafal Alquran dan syair-syair klasik Persia. Pada masa pendidikannya di Iran, ketegangan telah mewarnai hubungan antara Barat dan Timur. Kebudayaan Barat yang modern dengan segala corak moralnya telah mempengaruhi negara-negara Muslim yang dalam banyak hal sangat bertentangan dengan Islam tradisional. Barangkali hal ini yang mendorong keinginan Seyyed Hossein Nasr untuk belajar ke Barat, bahwa untuk melawan pemikiran sekuler Barat harus masuk ke sarangnya.13 Pada usia 13 tahun, Seyyed Hossein Nasr berangkat ke Barat untuk melanjutkan studi sekolah tingkat atas dan selanjutnya perguruan tinggi. Ia mengikuti jurusan matematika dan fisika di Massachussets di bawah bimbingan seorang guru terkenal yakni Bertrand Russel. Pada tahun 1954, Seyyed Hossein Nasr melanjutkan studinya ke Universitas Harvard. Pada awalnya ia mengambil jurusan geologi dan geofisika, tetapi kemudian beralih mendalami disiplin ilmu tradisional dengan menekuni bidang filsafat dan ilmu pengetahuan yang bertitik fokus pada ilmu pengetahuan Islam dan filsafat. Di sinilah Seyyed Hossein Nasr belajar sejarah dan pemikiran Islam dari tokoh terkenal lainnya yakni H.A.R. Gibb, sejarah ilmu pengetahuan pada George Sarton dan sejarah teologi dan filsafat pada Harry Wolfson.14 Selama masa pendidikannya, baik secara akademis maupun melalui kontak pemikiran, Seyyed Hossein Nasr banyak dipengaruhi oleh guru dan tokoh-tokoh pemikir keislaman tradisional seperti Massigon, Henry Corbin, F. Schoun dan sebagainya. Salah satu gagasan mereka yang dikembangkan oleh Seyyed Hossein 12 Mehdi Aminrazavi dan Zailan Moris, The Complete Bibliography of the Works of Seyyed Hossein Nasr from 1958 through April 1993 (Kuala Lumpur [Malaysia]: Islamic Academy of Science of Malaysia,, 1994), hlm. xiii. 13 M. Thabthaba’i, Islam Syi’ah (Jakarta: Grafiti Press, 1989), hlm. 95. 14 Moris, The Complete, hlm. 95. 5 Nasr adalah pemikiran filsafat metafisika universal. Pada tahun 1958, Seyyed Hossein Nasr berhasil merai gelar doktor dengan judul disertasi “An Introduction to Islamic Cosmological Doctrin” di bawah bimbingan H.A.R. Gibb yang kemudian diterbitkan pada tahun 1964. Selepas menamatkan studi di Universitas Harvard, Seyyed Hossein Nasr melanjutkan karier mengajarnya di tanah kelahirannya, Iran. Sejak 1958, Seyyed Hossein Nasr mengajar di Universitas Teheran. Lima tahun kemudian pada usia tiga puluh, ia diangkat sebagai profesor penuh dalam bidang studi filsafat dan ilmu sejarah di Universitas tersebut. Dan sejak 1968 hingga 1972, Seyyed Hossein Nasr diangkat menjadi dekan fakultas sekaligus wakil rektor bidang akademik.15 Selama mengajar di Universitas Teheran, Seyyed Hossein Nasr mendorong para mahasiswanya untuk belajar filsafat dan tradisi keilmuan lainnya dari sudut pandang mereka sendiri, bukan dari perspektif pemikiran dan filsafat Barat seperti yang diterapkan oleh banyak perguruan tinggi di dunia. Menurutnya, seseorang tidak bisa berharap banyak untuk bisa memahami sesuatu dari sudut pandang orang lain. Hal ini, ungkap beliau, ibaratnya sama seperti orang yang berusaha melihat melalui mata orang lain.16 Keahlian profesional Seyyed Hossein Nasr dalam bidang filsafat dan sejarah ilmu pengetahuan, tampaknya tidak lepas dari pengaruh lingkungan intelektual Iran, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan, dan Amerika Serikat, tempat ia melanjutkan studi. Iran dapat dipandang sebagai tempat yang merepresentasikan kontinuitas perkembangan pemikiran keagamaan, khususnya filsafat dan sufisme di dunia Islam hingga abad-abad terakhir. Seperti yang diakui Seyyed Hossein Nasr sendiri, bahwa filsafat Islam memiliki kehidupan yang lebih panjang di bagian timur ketimbang di bagian Barat dunia Islam. Di Persia, filsafat Islam tetap bertahan hidup selama beberapa abad terakhir. Satu bagian periode dari abad VII/XIII sampai X/XVI dicirikan oleh penyesuaian besar antar berbagai ajaran Islam. 15 http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/arsip/seyyed-hossein-nasr-tokoh-intelektualmuslim-di-abad-modern.html. Diunduh pada tanggal 28 November 2014. 16 Ibid. 6 Kredibilitas Seyyed Hossein Nasr sebagai intelektual dan akademisi tidak hanya dikenal di negaranya sendiri, tetapi juga diakui di negeri lain sehingga sering diundang seminar atau memberi kuliah di luar negeri, antara lain di Universitas Harvard, Amerika Serikat pada tahun 1962-1965; di Universitas Amerika di Beirut (American University of Beirut) pada tahun 1964-1965, dan menjadi direktur lembaga Aga Khan (Aga Khan Chair of Islamic Studies) untuk kajian ke-Islaman pada universitas yang sama. Seyyed Hossein Nasr juga memberikan makalah pada Pakistan Philosophycal Congress, di Pakistan pada tahun 1964; memberikan kuliah di Universitas Chicago pada tahun 1966 atas sponsor Rockefeller Foundation, dan pada tahun 1981 memberi kuliah di Giffort Lectures, lembaga yang didirikan oleh Universitas Edinburg (Edinburg University) pada tahun 1989.17 Pada tahun 1967, Seyyed Hossein Nasr bersama Muthahhari juga bergabung dengan Husainiyah Irsyad, sebuah organisasi atas prakarsa Ali Syariati (1933-1977 M) yang bertujuan untuk memberikan panduan intelektual pada masyarakat, berdasarkan pemikiran, pandangan, dan kebijaksanaan Imam Husayn serta berlandaskan ajaran Islam, kondisi masyarakat dan ajaran Syiah pada masa kini. Karena perbedaan prinsip dengan Ali Syariati, Seyyed Hossein Nasr dan Muthahhari akhirnya mengundurkan diri dari organisasi tersebut. Menurut Seyyed Hossein Nasr, Ali Syariati telah membawa paham liberation theology dari Marxisme dan Barat ke dalam Islam, dan berupaya menyajikan Islam sebagai kekuatan revolusioner dengan mengorbankan dimensi kerohanian Islam, sering melancarkan kritik terhadap ulama tradisional, dan menyalahgunakan lembaga itu untuk kepentingan politik.18 C. Modernisme Menurut Seyyed Hossein Nasr Masyarakat modern menurut Seyyed Hossein Nasr merupakan sekelompok manusia yang tertata dalam struktur intelektualnya melalui premis-premis positivistik, tanpa mencoba mencari garis penghubung antara alam dan manusia. Implikasinya, alam dan manusia masing-masing bersaing membentuk struktur 17 18 Siti Binti. A.Z, “Spiritualitas…”, hlm. 18. Ibid, hlm. 18-19. 7 alamnya sendiri. Akhirnya, manusia hari ini hidup dalam arus urbanisasi yang selalu merasakan pengapnya alam karena hilangnya kepekaan intuitif manusia terhadap fenomena alam di sekitarnya. Manusia seperti kehilangan kebebasan untuk bergerak dan berekspresi akibat eksploitasi manusia sendiri terhadap alam sekitarnya. Sehingga, manusia modern seperti hidup di luar eksistensi dirinya.19 Menurut S e y y e d H o s s e i n Nasr, manusia modern tidak hanya berciri positivistik, tetapi mereka selalu mengeksploitasi alam semesta dengan bertindak semena-mena terhadapnya. Seperti eksplorasi migas tanpa henti untuk kepentingan sumber energi, pemalakan hutan dengan cara digunduli, atau penebangan liar untuk kepentingan pembangunan. Kondisi ini diperparah dengan kecenderungan manusia yang serba mempermudah hidup dengan bantuan berbagai penggunaan teknologi yang tentu saja berdampak pada meningkatnya polusi. Sehingga lapisan ozon menipis dan akhirnya terjadilah global warming dibelahan dunia wilayah Barat, dan wilayah Timur pada umumnya. Dunia modern menurut Seyyed Hossein Nasr ditandai oleh kecemasan terhadap biaya perang, krisis ekologi, dan polusi udara dan air. Masalah yang paling akut yang dihadapi manusia modern bukan muncul dari underdevelopment (keterbelakangan), tetapi justru dari overdevelopment (keterlalumajuan). Lebih dari itu, semua masalah dan krisis peradaban modern berakar pada polusi jiwa manusia yang muncul begitu manusia Barat mengambil alih peran ketuhanan di muka bumi dengan menyingkirkan dimensi ilahi dari kehidupannya. Manusia modern dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr memperlakukan alam sebagai pelacur, mengambil kepuasan dari alam tanpa rasa tanggung jawab apapun. 20 Modernitas merupakan rintisan gaya hidup yang meterialistis dan hedonis dalam kubangan doktrin humanisme. Konsekuensi logis dari pemikiran ini 21 adalah, manusia adalah pengendali utama realitas kehidupan. Sikap yang demikian, bagi Seyyed Hossein Nasr, telah mendistorsi hakikat terdalam manusia. 19 William C. Chittick, The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr (New York: Unwinn Press, 1981), hlm. 90. 20 Dewan Redaksi, Suplemen, hlm. 81-82. 21 R. J. Hollingdel, Twilight of Idol and the Anti Christ (New York: Pinguin Books, 1968), hlm. 5. 8 Karena baginya, dimensi kemanusian manusia terletak pada relasi manusia dengan dunia yang transenden nan jauh di sana, sehingga apabila ingin membangun elan vital kehidupan tidak lain harus dimulai dari asumsi yang sacred ini. Modernisasi oleh Sayyed Hosein Nasr dikatakan bahwa selain membawa dampak postif juga membawa dampak negatif. Dampak ini bersumber dari penolakan terhadap hakekat ruh dan penyingkiran maknawiyah secara gradual dalam kehidupan manusia. Modernitas mencoba hidup dengan roti semata, berupaya membunuh tuhan dan menyatakan kebebasan dari kehidupan akhirat.22 Masyarakat Barat yang dikenal sebagai “the post industrial society” adalah suatu masyarakat yang mencapai tingkat kemakmuran materi dari seperangkat teknologi yang serba mekanis dan otomatis. Kemewahan ini bukan semakin mendekati kebahagiaan, malah semakin dihinggapi oleh rasa cemas. Masyarakat modern telah berubah menjadi penyembah pengetahuan dan teknologi sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaannya tereduksi dan terperangkap dalam pada jaringan sistem rasionalitas teknologi yang sangat tidak manusiawi. Bahkan mereka lupa tentang siapa mereka, untuk hidup dan kemana sesudahnya. Di tengah krisis manusia dan peradaban modern Barat, kaum muslim di berbagai wilayah dunia Islam menurut Seyyed Hossein Nasr terbelah dalam dua kelompok: (1) mereka yang terjebak dalam krisis dunia Barat, karena mengikuti pola Barat secara sembrono, dan (2) mereka yang tetap setia pada nilai-nilai tradisional Islam. Kelompok yang terakhir ini masih mengamalkan ibadah dan ritual agama, berpegang teguh pada hukum Tuhan (syariat), dan menghormati ulama serta para wali.23 Demikian kritik Seyyed Hossein Nasr terhadap modernitas seperti yang disaksikannya pada masyarakat modern di Barat. Mereka kehilangan visi keilahian dan hilang kemampuan untuk melihat realitas hidup dan kehidupan secara intlectus.24 Ungkapan yang senada juga dikatakan Marcel, hilangnya batas-batas 22 Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man (London: Alen and Unwin, 1967), hlm. 18. 23 Dewan Redaksi, Suplemen, hlm. 82. 24 Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (Chicago: Kazi Publications Inc, 2013), hlm. 4. 9 yang dianggap dan diyakini sebagai sesuatu yang sakral dan absolut menimbulkan manusia modern yang melingkar-lingkar dalam dunia yang serba relatif terutama sistem nilai dan moralitas yang dibangun. Barat telah kehilangan rasa super natural secara besar-besaran.25 D. Spiritualitas Islam di Tengah Modernisme Menurut Seyyed Hossein Nasr Kerangka modernitas sesungguhnya menyisakan persoalan kemanusian yang belum tuntas. Sehingga konsep modernitas bergulir ibarat sebuah bencana yang melanda seluruh kehidupan masyarakatnya. Modernisme datang membawa serta berbagai tren baru pada masyarakat muslim yang selama ini masih bersikukuh dengan tradisi-tradisi yang dianggap telah mapan. Modernisme datang membawa varian keilmuan baru seperti astronomi, filsafat, pendidikan yang dapat menggoncang kemapanan tradisi Islam. Seyyed Hossein Nasr kemudian memetakan modernitas sebagai gelombang yang melanda belahan dunia Islam yang juga menjangkau ekonomi, astronomi, dan seluruh persoalan hidup umat Islam.26 Sehingga dalam kubangan arus modernitas, umat Islam di seluruh dunia berada dalam kekacauan materialisme dan humanisme yang digagas sebagai landasan utama modernitas. Oleh karenanya, Seyyed Hossein Nasr menawarkan pendekatan tradisional, dengan sufisme sebagai alternatif yang mampu memenuhi kebutuhan spritual manusia modern. Menurut Seyyed Hossein Nasr, manusia untuk dapat mencapai level eksistensi harus mengadakan pendekatan spritual dan melatih ketajaman intelektus27 karena menurutnya pengetahuan pragmatis tidak dapat dipakai untuk melihat realitas yang utuh kecuali jika ia mempunyai visi intelektus tentang yang utuh tadi. Di samping itu, manusia juga mampu mengatahui dirinya sendiri secara utuh jika ia mendapat bantuan ilmu dari tuhan karena keberadaan yang sifatnya relatif akan berarti bila dihubungkan dengan yang absolut yakni Marcel A. Boisard, L’Humanisme de L’Islam. Terj. Humanisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 79. 26 Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in The Modern World (NewYork: Columbia University Press, 1990), hlm. 75-76. 27 Istilah intelektus mempunyai konotasi mata hati, yakni satu-satunya elemen esensi manusia yang sanggup menatap bayang-bayang tuhan yang diisyaratkan oleh alam semesta. 25 10 tuhan. Oleh karena itu menurut Seyyed Hossein Nasr bahwa jika mereka mengakhiri kesesatan yang mereka timbulkan sendiri akibat terlalu mengagungkan rasio, mereka harus merubah sikap dan kehidupan keagamaan.28 Dalam kerangka ‘tradisionalisme Islam’, Seyyed Hossein Nasr memahaminya sebagai kepenganutan yang teguh kepada ‘tradisi’ yang suci dan mengandung kebijaksanaan perenial (abadi). Konsep Muslim tradisional menurut Seyyed Hossein Nasr adalah yang (1) menerima Alquran sepenuhnya sebagai firman Allah swt. baik dalam isi maupun bentuk; (2) mengakui al-kutub as-sittah (enam kitab kumpulan hadits standar); (3) mengandung tasawuf atau tarekat sebagai dimensi batin dan jantung pematuhan Islam; dan (4) selalu berangkat dari realisme sesuai dengan norma-norma Islam dalam segi politik.29 Krisis masyarakat modern yang di Barat juga memberi pengaruh yang cukup besar dalam dunia Islam30 yang pada saat itu mengalami krisis. Negaranegara muslim internasional mencoba mengambil bentuk modernisasi dan industrialisasi secara mentah-mentah yang mengakibatkan dunia Islam juga mengalami krisis seperti yang dialami oleh masyarakat Barat.31 Konsep modernisme yang ditawarkan oleh pemikir-pemikir Islam oleh Seyyed Hossein Nasr dipandang sangat bertentangan dengan Islam tradisional. Menurutnya, ummat Islam harus mengkaji kembali tradisi-tradisi otentik Islam untuk mengobati krisis yang muncul tanpa harus mengambil konsep Barat. Karena menurutnya konsep-konsep tersebut bertentangan dengan Islam. Humanisme, rasionalisme dan sekularisme dan modernisme merupakan lawan bagi Islam tradisional. Alternatif yang ditawarkan oleh Seyyed Hossein Nasr dalam upaya pembebasan manusia modern lewat filsafat tradisional adalah sufisme. Menurutnya bahwa ajaran agama terbagi kepada dua kategori. Pertama yang 28 Nasr, Man and Nature, hlm. 47. Dewan Redaksi, Suplemen, hlm. 81. 30 Seyyed Hossein Nasr mengelompokkan masyarakat muslim pada saat itu kepada tiga kelompok: masyarakat muslim tradisional, masyarakat yang mengadopsi unsur modernisme dan masyarakat yang berada di tengah-tengahnya. Sayyed Hosein Nashr, Islam and the Plight, hlm. 27. 31 Jalur masuknya pemikiran Barat ke dunia Islam bisa dilihat pada Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 12. 29 11 berhubungan dengan aspek kesyari’ahan atau eksoteris dan yang kedua adalah aspek sufisme atau esoteris. Sufisme tidak akan bisa dipraktekkan tanpa telebih dahulu mempraktekkan ajaran syari’ah dengan benar.32 Artinya bahwa antara syari’ah dengan sufisme terdapat hubungan yang sangat erat, dan keduanya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Islam tradisional memandang manusia bukan sebagai makhluk yang terpenjara oleh akal dalam arti rasio semata sebagaimana yang dipahami pada zaman renaisans, tetapi sebagai makhluk yang suci, yang tak lain adalah manusia tradisional. Manusia suci, menurut Seyyed Hossein Nasr, hidup di dunia yang mempunyai asal maupun pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh sejak asal yang mengandung kesempurnaannya sendiri dan berusaha untuk menyamai, memiliki kembali, dan mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya.33 Menurut Seyyed Hossein Nasr, salah satu sebab kemunduran kehidupan internal kaum muslimin adalah penghancuran tasawuf dan tarekat sufi oleh gerakan-gerakan rasionalisme puritan. Seyyed Hossein Nasr berbeda pendapat dengan para sarjana muslim lain, yang justru menganggap tasawuf dan tarekat sebagai penyebab kemunduran kaum muslimin. Dengan menolak sufisme dan mengkambinghitamkannya sebagai penyebab kemunduran umat, maka Islam akan tereduksi hingga yang tersisa hanyalah doktrin fikih kaku, yang pada gilirannya juga tidak berdaya menghadapi serangan bertubi-tubi intelektual Barat.34 Dengan pandangan positif terhadap sufisme, tidak heran kalau Seyyed Hossein Nasr berpendapat bahwa sufisme dapat menjadi jawaban atas krisis spritual manusia modern, khususnya di Barat. Menurutnya, sufisme dapat mempengaruhi Barat melalui tiga upaya: (1) mempraktikkan sufisme secara aktif, (2) menyajikan Islam secara lebih menarik sehingga orang dapat menemukan praktek-praktek sufisme yang benar, dan (3) memfungsikan sufisme sebagai alat untuk kebangkitan spiritualisme. Karena merupakan tradisi hidup yang kaya dengan khazanah doktrin metafisis dan kosmologis, maka sufisme dapat 32 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (London: Allen and Unwin, 1981), hlm. 193. 33 34 Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 185. Dewan Redaksi, Suplemen, hlm. 82. 12 menghidupkan kembali banyak aspek kehidupan rohani Barat yang tengah dilanda krisis.35 Pencarian spiritualitas dan mistik bersifat perenial (abadi) dan ini merupakan kewajaran serta kabutuhan alami manusia. Bahkan sufisme itu sendiri mengandung hikmah dan kebijaksanaan yang berlaku abadi. Inilah yang menjadi titik tolak gagasan Seyyed Hossein Nasr tentang perenialisme. Akan tetapi, Seyyed Hossein Nasr mengingatkan, bahwa perenialisme sufisme harus dijalankan dalam kerangka syariat Islam.36 Bagi Seyyed Hossein Nasr sufisme bagaikan jiwa yang menghidupkan tubuh dan merupakan jantung dari pewahyuan ilahi. Sufisme mampu meniupkan semangatnya ke dalam seluruh struktur Islam baik dalam manifestasi sosial maupun intelektual, bahkan sufisme sebagai institusi yang terorganisasi dalam matriks yang lebih besar mampu memainkan peran dalam struktur masyarakat.37 Dari uraian di atas kelihatannya pendekatan tradisionalitas yang ditawarkan Seyyed Hossein Nasr pada intinya menuntun manusia masa kini keluar dari kungkungan ketidakpedulian tempat dunia modern untuk menemukan dirinya. Seyyed Hossein Nasr yakin bahwa Islam dengan karakter universal dan perenialnya mampu menjawab tantangan dan krisis masyarakat modern. E. Landasan Tradisionalitas Seyyed Hossein Nasr Seyyed Hossein Nasr berkeyakinan bahwa untuk merancang kebudayaan modern, manusia harus merangkul dua pandangan dunia sekaligus, sakralitas dan materialitas. Artinya ada ruang sakralitas dalam diri materialitas yang harus dipertimbangkan.38 Di sini Seyyed Hossein Nasr menggarisbawahi, bahwa dengan modernitas berarti seseorang akan merusak tatanan sakralitas, sehingga ruang metafisis dalam dunia fisik tidak bisa dihadirkan sebagai spirit kebenaran 35 Ibid, hlm. 83. Ibid. 37 Sayyed Hossein Nasr, Sufe Essays (London: Allen and Unwin, 1981), hlm. 18. 38 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (Albany: State University of New York Press, 1981), hlm. 1. 36 13 materi-materi yang ada di dunia.39 Bagi Seyyed Hossein Nasr bangunan materialisme sebenarnya adalah implikasi filsafat Rene Descartes dalam filsafat kemanusiaannya, cogito ergo sum (saya berpikir lalu saya ada). Diksi tersebut yang digunakan Descartes untuk menyerang keyakinan metafisis material dan ruang mistik manusia. Descartes di sini sedang mengandaikan terciptanya hukumhukum manusia pada setiap ruang kehidupannya.40 Konsep dan gagasan inilah yang masuk ke alam berpikir manusia Barat dimana gagasan tradisionalitas semakin tidak mendapatkan tempat. Di sini, gagasan tradisionalitas ala Seyyed Hossein Nasr merupakan rangkuman filosofis dari berbagai agama. Dalam hal ini, Seyyed Hossein Nasr melihat bagaimana filsafat Barat abad pertengahan, yang kemudian dia sebut sebagai tradisi Kristiani, mulai runtuh bersamaan munculnya ide-ide materialisme yang telah dibangun setelah kemunculan teori Copernicus dan Galelio. Selain itu, kecenderungan homosentrisme manusia modern, baik terhadap alam maupun sisi kemanusiaanya, berimplikasi kepada asumsi kedigdayaan manusia melebihi segala sesuatu. Ini adalah bias materialisme yang kemudian berujung kepada keserakahan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dari sinilah awal mula munculnya petaka manusia modern, selain adanya konsep pemisahan antara ruang materi dan immateri. S e y y e d Hossein Nasr meyakini, bahwa sesungguhnya dalam diri setiap materi ada ‘ruang’ yang belum teruraikan oleh manusia modern, sehingga materi itu seringkali kehilangan orientasinya. Apakah materi itu berupa sains, teknologi atau agama itu sendiri.41 Gagasan tradisionalitas Seyyed Hossein Nasr sebenarnya berkeinginan untuk menyandarkan seluruh problematika modern terhadap Alquran, walaupun bahasa-bahasa agama juga perlu dicerna dan diuraikan dengan baik oleh setiap masanya. 39 Seyyed Hossein Nasr, In Search of the Sacred (New York: Sunny Press, 1989), hlm. 40 Ibid, hlm. 185. Nasr, Knowledge, hlm. 30. 184. 41 14 F. Pendekatan Studi Agama di Tengah Modernitas Studi agama atau keagamaan di tengah modernitas menurut Seyyed Hossein Nasr dapat dilakukan melalui pendekatan filsafat tradisional (filsafat perenial). pendekatan ini dilakukan bermula dari adanya pandangan yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama atau neo-vedantisme yang berkembang di Amerika setelah perang dunia ke-II. Pendekatan tradisional yang dilakukan oleh Seyyed Hossein Nasr dalam studi keagamaan selalu memperhatikan aspek-aspek keagamaan, seperti hubungan manusia dengan Tuhan, wahyu dengan seni, sakral dengan simbol, ritual-ritual dan syari’at agama juga metafisika dan teologi. Menurut Seyyed Hossein Nasr, perbedaan mendasar aliran-aliran pemikiran lain dalam studi agama muncul dari perbedaan pandang mengenai hakekat realitas, di mana kaum tradisional menolak pandangan Barat yang mempersempit realitas yang awalnya muncul dari rasionalisme dan emperisme setelah abad-abad pertengahan. Seyyed Hossein Nasr berpendapat bahwa kajian aliran tradisional meliputi wilayah agama mulai dari etika, teologi, mistisme, ritus, simbol dari setiap agama dengan semangat asal ilahi yang absolut tanpa menolak manifestasi-manifestasi atau kemungkinan lainnya yang mengalami perubahan karena perubahan waktu. Melalui pendekatan tradisonal, kebenaran suatu agama tidak hanya diukur sebatas pada upacara keagamaan yang sifatnya lahiriah, tetapi melampaui setiap bentuk dan manifestasi lahiriah tersebut menuju transendental. Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa bahwa titik temu atau kesatuan agama yang dibicarakan adalah kesatuan transendental yang bersifat metafisik dan melampaui setiap bentuk dan manifestasi lahiriah.42 Pendekatan tradisional menganggap bahwa kebenaran mutlak hanya satu, yang mengandung makna bahwa hakekat agama sebenarnya hanya satu tapi karena agama muncul dalam ruang dan waktu secara tidak simultan, maka pluralitas bentuk dan bahasa agama tidak bisa dielakkan dalam realitas sejarah. Setiap bentuk dan bahasa keagamaan juga mengadung muatan nilai-nilai budaya dari sebuah komunitas dan melahirkan pengelompokan 42 Nasr, Sufe, hlm. 91. 15 ideologis. Melalui pendekatan tradisional ini, titik temu di antara agama-agama dapat dilakukan pada level esoteris (ilahiah), bukan pada level eksoteris (syari’ah) dan manhajnya, sehingga seandainya semua agama di atas bumi ini lenyap tapi realitas asal yang dihadirkan setiap agama akan senantiasa ada. Kesatuan agamaagama terjadi pada langit ilahiah bukan pada atmosfir manusia.43 F. Penutup dan Kesimpulan Seyyed Hossein Nasr adalah seorang filosof muslim terkemuka di bidang filsafat ilmu, teknologi, dan ilmu-ilmu tradisional Islam, serta salah satu penulis terkemuka di Barat dengan penjelmaan akan nilai-nilai tradisional. Seyyed Hossein Nasr hidup dalam dua tradisi, Islam tradisional dan modernitas Barat. Beliau dibesarkan di dalam keluarga ulama Syi’ah dan sempat memperoleh pendidikan Barat modern. Kredibilitas Seyyed Hossein Nasr sebagai intelektual dan akademisi tidak hanya dikenal di negaranya sendiri, tetapi juga diakui di negeri lain. Melihat pemikirannya tentang tradisionalisme Islam dan keyakinannya mengenai kemampuan Islam menjawab tantangan dunia modern, Seyyed Hossein Nasr digolongkan ke dalam pemikir ‘neo-tradisionalisme’. Masyarakat modern menurut Seyyed Hossein Nasr merupakan sekelompok manusia yang tertata dalam struktur intelektualnya melalui premis-premis positivistik, tanpa mencoba mencari garis penghubung antara alam dan manusia. Menurut Seyyed Hossein Nasr, modernitas merupakan rintisan gaya hidup yang meterialistis dan hedonis dalam kubangan doktrin humanisme. Konsekuensi logis dari pemikiran ini adalah, manusia sebagai pengendali utama realitas kehidupan sehingga telah mendistorsi hakikat terdalam manusia. Kerangka modernitas sesungguhnya menyisakan persoalan kemanusian, sehingga bergulir ibarat sebuah bencana yang melanda seluruh kehidupan masyarakatnya. Kaum muslimin terbelah dalam dua kelompok dalam menyikapi modernitas, mereka yang terjebak dalam krisis dunia Barat, dan mereka yang tetap setia pada nilai-nilai tradisional Islam. 43 Frithjof Schoun, Understanding Islam (London: Unwin Paperback, 1981), hlm. 14. 16 Seyyed Hossein Nasr menawarkan pendekatan tradisional, dengan sufisme sebagai alternatif yang mampu memenuhi kebutuhan spritual manusia modern. Menurut Seyyed Hossein Nasr, manusia untuk dapat mencapai level eksistensi harus mengadakan pendekatan spiritual dan melatih ketajaman intelektual. Alternatif yang ditawarkan oleh Seyyed Hossein Nasr dalam upaya pembebasan manusia modern lewat filsafat tradisional adalah sufisme, yang menghidupkan tubuh dan merupakan jantung dari pewahyuan ilahi. Sufisme mampu meniupkan semangatnya ke dalam seluruh struktur Islam baik dalam manifestasi sosial maupun intelektual, bahkan sufisme sebagai institusi yang terorganisasi dalam matriks yang lebih besar mampu memainkan peran dalam struktur masyarakat. Menurut Seyyed Hossein Nasr, spiritualisme melalui paham sufisme dapat menjadi jawaban atas krisis spritual manusia modern, khususnya di Barat melalui tiga upaya, yaitu mempraktikkan sufisme secara aktif, menyajikan Islam secara lebih menarik, dan memfungsikan sufisme sebagai alat untuk kebangkitan spiritualisme. Gagasan tradisionalitas Seyyed Hossein Nasr berkeinginan untuk menyandarkan seluruh problematika modern terhadap Alquran, walaupun bahasabahasa agama juga perlu dicerna dan diuraikan dengan baik oleh setiap masanya. Studi agama di tengah modernitas menurut Seyyed Hossein Nasr dapat dilakukan melalui pendekatan filsafat tradisional. Melalui pendekatan ini, kebenaran suatu agama tidak hanya diukur sebatas pada upacara keagamaan yang sifatnya lahiriah, tetapi melampaui setiap bentuk dan manifestasi lahiriah tersebut menuju transendental. Pendekatan ini juga menganggap bahwa hakekat agama sebenarnya hanya satu tapi karena agama muncul dalam ruang dan waktu secara tidak simultan, maka pluralitas bentuk dan bahasa agama tidak bisa dielakkan dalam realitas sejarah. 17 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Aminrazavi, Mehdi dan Zailan Moris. The Complete Bibliography of the Works of Seyyed Hossein Nasr from 1958 through April 1993. Kuala Lumpur (Malaysia): Islamic Academy of Science of Malaysia, 1994. Boisard, Marcel A.. L’Humanisme de L’Islam. Terj. Humanisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Chittick, William C. The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr. New York: Unwinn Press, 1981. Dewan Redaksi. Suplemen Ensiklopedi Islam, ed. Abdul Aziz Dahlan. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003 Schoun, Frithjof. Understanding Islam. London: Unwin Paperback, 1981. Hidayat, Komaruddin. Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial. Jakarta: Paramadian, 1995. M. Thabthaba’i. Islam Syi’ah. Jakarta: Grafiti Press, 1989. Nasr, Sayyed Hosein. Sufe Essays. London: Allen and Unwin, 1981. ______. Intelektual Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. ______. Knowledge and The Sacred. Albany: State University of New York Press, 1981. ______. Islam and the Plight of Modern Man. Chicago: Kazi Publications Inc, 2013. ______. Traditional Islam in University Press, 1990. The Modern World. NewYork: Columbia ______. In Search of the Sacred. New York: Sunny Press, 1989. ______. Islamic Life and Thought. London: Allen and Unwin, 1981. ______. Man and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man. London: Alen and Unwin, 1967. R. J. Hollingdel. Twilight of Idol and the Anti Christ. New York: Pinguin Books, 1968. Tim Penyusun. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008. 18 B. Jurnal Harmonia: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Vol. VI, No. 3, SeptemberDesember 2005. Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 01, No 02, Desember 2011. Ulumul Quran, Vol. IV, No. 4, 1993. Jurnal Penelitian, Vol. 08, No. 02, November 2011. C. Website http://dunia.pelajar-islam.or.id/.