Insomnia - WordPress.com

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur
atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu. Gejala tersebut biasanya
diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas di siang hari. Sekitar sepertiga
orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau mempertahankan tidur dalam
setahun, dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup.1
Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek. Dalam
beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai gangguan
penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks situasional stres akut, seperti
pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang ketika stressor hilang atau
individu telah beradaptasi dengan stressor. Namun, insomnia sementara sering berulang
ketika tegangan baru atau serupa muncul dalam kehidupan pasien. 1
Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya berhubungan
dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti kematian atau penyakit)
atau lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis adalah setiap insomnia yang
berlangsung lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai kondisi medis dan
psikiatri biasanya pada pasien dengan predisposisi yang mendasari untuk insomnia. 1
Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh mengantuk di
siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih, dengan konsentrasi yang buruk.
Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan fisiologis hyperarousal. Bahkan, meskipun tidak
mendapatkan tidur cukup, pasien dengan insomnia seringkali mengalami kesulitan tidur
bahkan untuk tidur siang.
Insomnia kronis juga memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti berkurangnya
kualitas hidup, sebanding dengan yang dialami oleh pasien dengan kondisi seperti diabetes,
arthritis, dan penyakit jantung. Kualitas hidup meningkat dengan pengobatan tetapi masih
tidak mencapai tingkat yang terlihat pada populasi umum. Selain itu, insomnia kronis
dikaitkan dengan terganggunya kinerja pekerjaan dan sosial. 1
Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari sejumlah
gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya menjadi prediksi
sejumlah gangguan, termasuk depresi, kecemasan, ketergantungan alkohol, ketergantungan
obat, dan bunuh diri. 1
1
Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi medis atau
kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan resiko kekambuhan penyakit
primernya. Dalam hal ini, dokter perlu memahami bahwa insomnia adalah suatu kondisi
tersendiri yang membutuhkan pengakuan dan pengobatan untuk mencegah morbiditas dan
meningkatkan kualitas hidup bagi pasien mereka. 1
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Fisiologi Tidur
Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya
waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai
irama sirkadian.
Tidur tidak dapat diartikan sebagai manifestasi proses deaktivasi sistem Saraf Pusat.
Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-neuron di substansia
retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi. 1
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada
substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai pusat tidur (sleep
center). Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi
terdapat pada bagian rostral batang otak disebut sebagai pusat penggugah (arousal
center).
3
Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu: 1
1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)
2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti
oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara
bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.
Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam empat
stadium, antara lain: 1

Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium ini
dianggap stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran kumparan
tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7 siklus perdetik, yang
disebut gelombang teta.

Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu tidur. EEG
menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle shaped) yang sering
dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan trifasik yang dikenal
sebagai kompleks K. Pada stadium ini, orang dapat dibangunkan dengan mudah.

Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG menggambarkan
gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga 2,5 siklus perdetik, yaitu
gelombang delta. Orang tidur dengan sangat nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.

Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran EEG hampir
sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah gelombang delta.
Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam, atau delta sleep, atau Slow
Wave Sleep (SWS)
Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagi-bagi
dalam stadium seperti dalm tidur NREM.
4
Pola siklus tidur dan bangun adalah bangun sepanjang hari saat cahaya terang dan
tidur sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya perubahan gelap dan
terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk melalui mata dan mempengaruhi suatu bagian di
hipotalamus yang disebut nucleus supra chiasmatic (NSC). NSC akan mengeluarkan
neurotransmiter yang mempengaruhi pengeluaran berbagai hormon pengatur temperatur
badan, kortisol, growth hormone, dan lain-lain yang memegang peranan untuk bangun tidur.
NSC bekerja seperti jam, meregulasi segala kegiatan bangun tidur. Jika pagi hari cahaya
terang masuk, NSC segera mengeluarkan hormon yang menstimulasi peningkatan
temperatur badan, kortisol dan GH sehingga orang terbangun. Jila malam tiba, NSC
merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga orang mengantuk dan tidur. Melatonin
adalah hormon yang diproduksi oleh glandula pineal. Saat hari mulai gelap, melatonin
dikeluarkan dalam darah dan akan mempengaruhi terjadinya relaksasi serta penurunan
temperatur badan dan kortisol. Kadar melatonin dalam darah mulai meningkat pada jam 9
malam, terus meningkat sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi. 2
5
Perubahan tidur akibat proses menua
Orang usia lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur ( berbaring lama
di tempat tidur sebelum tidur) dan mempunyai lebih sedikit/lebih pendek waktu tidur
nyenyaknya.
Pada penelitian di laboratorium tidur, orang usia lanjut mengalami waktu tidur yang
dalam lebih pendek, sedangkan tidur stadium 1 dan 2 lebih lama. Hasil uji dengan alat
polysomnographic didapatkan penurunan yang bermakna dalam slow wave sleep dan rapid
eye movement (REM). Orang usia lanjut juga lebih sering terbangun di tengah malam akibat
perubahan fisik karena usia dan penyakit yang dideritanya sehingga kualitas tidur secara
nyata menurun. 2
Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur normal yaitu
menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang. Dalam irama sirkadian yang
normal terdapat peranan pengeluaran hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus
24 jam. Ekskresi kortisol dan GH meningkat pada siang hari dan temperatur badan menurun
di waktu malam. Pada usia lanjut, ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh
berfluktuasi dan kurang menonjol. Melatonin menurun dengan meningkatnya umur.
Penelitian lain menunjukkan kualitas tidur usia lanjut yang sehat, juga tergantung
pada bagaimana aktivitasnya pada siang hari. Bila siang hari sibuk dan aktif sepanjang hari,
pada malam hari tidak ada gangguan dalam tidurnya, sebaliknya bila siang hari tidak ada
kegiatan dan cenderung tidak aktif, malamnya akan sulit tidur. 2
6
Hypnograms memerlihatkan perbedaan karakter tidur pada orang muda dan orang tua.
Dibandingkan dengan orang muda, Orang tua cenderung memiliki onset tidur yang lama,
tidur yang terfragmentasi, bangun terlalu dini di pagi hari dan menurunnya tidur tahap 3 dan
4.
2.2 Definisi Insomnia
Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan
untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung
setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam
fungsi individu. The International Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia
sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3
malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The International Classification of
Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam,
disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala
kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur
walaupun ada kesempatan untuk melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi
merupakan suatu gejala yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional,
kelainan fisik dan pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya
tingkat energi dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.
2.3 Klasifikasi Insomnia
Insomnia Primer
Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau susah tidur
ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia. Pola tidur,
kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali menjadi penyebab dari jenis
insomnia primer ini.
Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi medis.
Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat menyebabkan
terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu masalah fisik seperti
penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia
sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1 dari 10 orang yang menderita insomnia atau
susah tidur. Insomnia sekunder juga dapat disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan
7
yang diminum untuk suatu penyakit tertentu, penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun
penyalahgunaan alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang menderita
insomnia.
Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu International
code of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV
dan International Classification of Sleep Disorders (ISD).
Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu:

Organik

Non organik
-
Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)
-
Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpu
buruk, berjalan sambil tidur, dll)
Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia disini adalah
insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan
gangguan fungsi dan sosial.
Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
1. Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain
2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum
3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu
4. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan
kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini menetap dan diderita
minimal 1 bulan.
Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang direvisi, insomnia
diklasifikasikan menjadi:
a. Acute insomnia
b. Psychophysiologic insomnia
c. Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)
d. Idiopathic insomnia
e. Insomnia due to mental disorder
8
f. Inadequate sleep hygiene
g. Behavioral insomnia of childhood
h. Insomnia due to drug or substance
i. Insomnia due to medical condition
j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition, unspecified
(nonorganic)
k. Physiologic insomnia, unspecified (organic)
2.4. Etiologi Insomnia

Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat
membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa
kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai,
perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.

Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam
otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.

Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk
beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti
Ritalin) dan kortikosteroid.

Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein
adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan
insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh
tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun
di tengah malam.

Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan
sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar
dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan
insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal
reflux disease (GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.

Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh atau
pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh,
sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur
siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.
9

'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan tentang tidak
bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh tertidur. Kebanyakan
orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh dari lingkungan
tidur yang biasa atau ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka
menonton TV atau membaca.
2.5 Faktor Resiko Insomnia
Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko
insomnia meningkat jika terjadi pada: 1

Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon
selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama
menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering
mengganggu tidur.

Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia
meningkat sejalan dengan usia.

Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi,
kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu
tidur.

Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang
seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan
insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan risiko
terjadinya insomnia.

Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari
sering meningkatkan resiko insomnia.
2.6 Tanda dan Gejala Insomnia

Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari

Sering terbangun pada malam hari

Bangun tidur terlalu awal

Kelelahan atau mengantuk pada siang hari

Iritabilitas, depresi atau kecemasan

Konsentrasi dan perhatian berkurang

Peningkatan kesalahan dan kecelakaan
10

Ketegangan dan sakit kepala

Gejala gastrointestinal
2.7 Diagnosis
Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap: 1

Pola tidur penderita.

Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.

Tingkatan stres psikis.

Riwayat medis.

Aktivitas fisik

Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.
Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan pola tidur
dan tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan pengisian kuisioner, untuk
mencapai tujuan yang sama Anda bisa mencatat waktu tidur Anda selama 2 minggu.
Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu permasalahan yang
bisa menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah juga dilakukan untuk
menemukan masalah pada tyroid atau pada hal lain yang bisa menyebabkan insomnia.
Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan dan
pencatatan selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi, gerakan mata,
dan gerakan tubuh. 2
Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ 3

Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:
a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas
tidur yang buruk
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap
akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan
pekerjaan
11

Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan diagnosis
insomnia diabaikan.

Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya
gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak didiagnosis di sini,
dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian (F43.2)
2.8 Tatalaksana 1
1. Non Farmakoterapi
a. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan mengajarkan
cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini umumnya
direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita insomnia.
Terapi tingkah laku meliputi
- Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.
- Teknik Relaksasi.
Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback, dan latihan
pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi kecemasan saat tidur. Strategi
ini dapat membantu Anda mengontrol pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.
- Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran yang
positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap muka atau dalam grup.
- Restriksi Tidur.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat tidur
yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.
- Kontrol stimulus
Terapi ini dimaksudkan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk
beraktivitas.
Instruksi dalam terapi stimulus-kontrol:
1. Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur, tidak untuk membaca, menonton
televisi, makan atau bekerja.
2. Pergi ke tempat tidur hanya bila sudah mengantuk. Bila dalam waktu 20 menit di
tempat tidur seseorang tidak juga bisa tidur, tinggalkan tempat tidur dan pergi ke
12
ruangan lain dan melakukan hal-hal yang membuat santai. Hindari menonton
televisi. Bila sudah merasa mengantuk kembali ke tempat tidur, namun bila alam
20 menit di tempat tidur tidak juga dapat tidur, kembali lakukan hal yang
membuat santai, dapat berulang dilakukan sampat seseorang dapat tidur.
3. Bangun di pagi hari pada jam yang sama tanpa mengindahkan berapa lama tidur
pada malam sebelumnya. Hal ini dapat memperbaiki jadwal tidur-bangun (kontrol
waktu).
4. Tidur siang harus dihindari.
b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :

Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur

Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.

Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.

Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.

Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan pernapasan
atau beribadah

Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan tidur pada
malam hari.

Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti menghindari
kebisingan

Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit setiap hari
sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur.

Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin

Menghindari makan besar sebelum tidur

Cek kesehatan secara rutin

Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik
2. Farmakologi
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu
benzodiazepine dan non-benzodiazepine. 1
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)
13
14
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur : 4

Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia” yaitu
golongan benzodiazepine (Short Acting)
Misalnya pada gangguan anxietas

Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke
proses tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-Insomnia”, yaitu
golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik)
Misalnya pada gangguan depresi

Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah
menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-Insomnia”, yaitu
golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting).
Misalnya pada gangguan stres psikososial.
Pengaturan Dosis

Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.

Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan
sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off (untuk mencegah
timbulnya rebound dan toleransi obat)

Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahanlahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi

Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif
dosis kecil 2-3 kali
seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut
Lama Pemberian

Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2
minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat
menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.

Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological Dependence”
(habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat
ditanggulangi.
15
Efek Samping
Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur
Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia
(waktu paruh) :

Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam)  gejala rebound lebih
berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik

Waktu paruh sedang, seperti Estazolam  gejala rebound lebih ringan

Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam  menimbulkan gejala “hang over”
pada pagi harinya dan juga “intensifying daytime sleepiness”
Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat terjadi
“disinhibiting effect” yang menyebabkan “rage reaction”
Interaksi obat

Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan potensiasi efek
supresi SSP yang dapat menyebabkan “oversedation and respiratory failure”

Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal enzyme
atau “produce protein binding displacement” sehingga jarang menimbulkan
interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.

Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau “CNS
Depressant” lain, resiko kematian akan meningkat.
Perhatian Khusus


Kontraindikasi :
-
Sleep apneu syndrome
-
Congestive Heart Failure
-
Chronic Respiratory Disease
Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko menimbulkan
“teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities) khususnya pada trimester
pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan melalui ASI, berefek pada bayi
(penekanan fungsi SSP)
16
2.9 Komplikasi
Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur. Insomnia
dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.
Komplikasi insomnia meliputi 5

Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.

Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan reaksi
kecelakaan.

Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi

Kelebihan berat badan atau kegemukan

Daya tahan tubuh yang rendah

Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya tekanan
darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.
2.10 Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada gangguan lain
seperti depresi dan lain-lain. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia. 1
17
BAB III
KESIMPULAN
Insomnia merupakan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam mempertahankan
tidur, atau tidak cukup tidur. Insomnia merupakan gangguan fisiologis yang cukup serius,
dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat mempengaruhi kinerja dan kehidupan
sehari-hari.
Insomnia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan berlebihan,
pengaruh makanan dan obat-obatan, perubahan lingkungan, dan kondisi medis. Insomnia
didiagnosis dengan melakukan penilaian terhadap pola tidur penderita, pemakaian obatobatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan stres psikis, riwayat medis, aktivitas fisik, dan
kebutuhan tidur secara individual.
Insomnia dapat ditatalaksana dengan cara farmakologi dan non farmakologi,
bergantung pada jenis dan penyebab insomnia. Obat-obatan yang biasanya digunakan untuk
mengatasi insomnia dapat berupa golongan benzodiazepin (Nitrazepam, Trizolam, dan
Estazolam), dan non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital). Tatalaksana insomnia
secara non farmakologis dapat berupa terapi tingkah laku dan pengaturan gaya hidup dan
pengobatan di rumah seperti mengatur jadwal tidur.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed: Wiguna, I
Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
2. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC
3. Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
4. Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Insomnia.(http://www.mayoclinic.com/health/insomnia/DS00187/DSECTION=altern
ative-medicine Diakses tanggal 25 Oktober 2013)
19
Download