Pendidikan Moral Membentuk Karakter Bangsa Indonesia

advertisement
PENDIDIKAN MORAL
MEMBENTUK KARAKTER BANGSA INDONESIA
Oleh Dr. Hannas, Th.M, M.Th
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Pendidikan moral semestinya sesuai dengan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional yang diamanatkan melalui Undang-undang nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab II pasal 3 yang
berbunyi:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka
mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
bertujuan
untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.1
Fungsi dalam mengembangkan kemampuan dan pembentukan
watak itulah dalam konteks ini kemudian disebut pendidikan moral.
Keberadaan pendidikan moral tersebut adalah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan menjadi media untuk mewujudkan pribadi yang
bermoral. Untuk mewujudkan efektivitas pendidikan moral, diperlukan
rancang
bangun
yang
terencana.
Karena
pendidikan
moral
erat
hubungannya dengan pendidikan dalam agama. Di dalam peraturan
1
Undang-undang Sistem Pemuridan Nasional (Bandung: Fokusindo
Mandiri, 2012), 6.
1
pemerintah RI nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan
pendidikan keagamaan bab II, pasal 1-2 menyatakan:
(1) Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak
mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter
dan antarumat beragama. (2) Pendidikan agama bertujuan untuk
berkembangnya
kemampuan
peserta
didik
dalam
memahami,
menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan
penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. 2
Melalui fungsi dan tujuan pendidikan agama di atas diketahui
bahwa pendidikan agama sangat mendukung pendidikan moral. Salah satu
implementasi dari sinergi pendidikan agama dan moral adalah melalui
materi yang diajar dan keteladanan pelaku sebagai proses pembelajaran.
Pendidikan moral merupakan investasi yang sangat berharga bagi
kemajuan bangsa. Moh. Yamin memberikan penjelasan terkait bahwa:
Yang jelas, karakter berbangsa dapat ditelusuri apabila semua
masyarakat dalam suatu bangsa telah kuat. Diakui maupun tidak,
pendidikan menjadi media terpenting dan utama guna membangun
potensi kemanusiaan yang berkarakter kemanusiaan dan berperilaku
santun antar sesama. Pendidikan dapat mengembangkan jati diri
kemanusiaan yang berdaulat dan bermartabat, bahkan bisa melahirkan
masyarakat yang beradab dan berbudaya ketika Pendidikan betul-betul
menjadi dan dijadikan tulang punggung sebuah perjalanan bangsa ke
depan.3
Jadi pendidikan moral sangat dibutuhkan untuk membangun
karakter bangsa menjadi baik. Pendidikan moral menjadi solusi atas
2
Weinata Sairin, penyuntung, Himpunan Peraturan di Bidang Pendidikan,
cetakan pertama (Jakarta: Media Prima Aksara, 2012), 120.
3
Moh. Yamin, Menggugat Pemuridan Indonesia: Belajar dari Paulo
Freire dan Ki Hajar Dewantara, penyunting Meta, cetakan pertama (Jogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2009), 23-24.
2
permasalahan moral yang terjadi di negeri ini, sehingga Indonesia dapat
menjadi bangsa yang semakin bermartabat dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan utama penulisan terkait dengan pendidikan moral adalah
agar bangsa Indonesia menjadi bangsa bermartabat. Krisis moral yang
berkembang dalam suatu bangsa, secara keseluruhan akan sangat
membahayakan kelangsungan hidup bangsa, seperti munculnya korupsi,
kolusi dan nepotisme. Tugas pencerahan moral adalah tanggung jawab
semua pihak. Para pendidik Pendidikan bertugas mencari solusi dan
menunjukkan kemampuannya yang prima untuk melakukan proses
Pendidikan.
Bangsa Indonesia membutuhkan Pendidikan yang membentuk
karakter bangsa yang memahami kondisi bangsa dalam segala aspek
kehidupan. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Yamin:
Sedangkan pendidikan, harus memuat nilai-nilai kepentingan dan
pengalaman. Ini dipahami bahwa pendidikan [Pendidikan] tidak serta
merta bersifat teoritis. Akan tetapi, Pendidikan harus pula bersifat
praksis.
Pendidikan
betul-betul
mencerminkan
sebuah
proses
pendidikan yang menyeluruh (holistik), mengglobal, dan mendalam.
Pendidikan dalam konteks demikian dapat membentuk sebuah karakter
bangsa yang betul-betul menandakan sebuah keberpahaman kondisi
bangsa secara integral dalam segala bidang kehidupan. Oleh karena itu,
ketika hal-hal demikian dapat dilakoni dengan sedemikian baik dan
tegas, sangat mungkin karakter bangsa yang diidealkan bersama dapat
terealisasi dengan sedemikian konkret dan praksis. 4
4
Yamin, Menggugat Pemuridan Indonesia: Belajar dari Paulo Freire dan
Ki Hajar Dewantara, 24.
3
Jadi jelaslah bahwa untuk mencapai tujuan membangun martabat
bangsa melalui pendidikan moral harus dilakukan bersama-sama baik oleh
msayarakat maupun pemerintah.
C. Batasan Penulisan
Penulis membatasi tulisan pendidikan moral bangsa Indonesia
pada: sistem pendidikan moral, sejarah perkembangan pendidikan moral,
dan pendidikan moral membentuk karakter bangsa. Hal ini dilakukan agar
penulisan tidak menjadi melebar (terlalu luas). Pembatasan dilakukan juga
bertujuan agar penulis dapat menulis terfokus pada pendidikan moral yang
dikontekstualisasikan sesuai kebutuhan di Indonesia.
4
BAB II
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DAN SEJARAH
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN MORAL
A. Sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan di Indonesia mengalami berbagai tahap perkembangan
hal tersebut dapat diketahui melalui Undang-undang Pendidikan Indonesia.
Retnaningsih Burham sebagai Profesor atau ahli pendidikan menguraikan
bahwa:
Pendidikan di Indonesia sejak kemerdekaan pada tahun 1945
mengalami
berbagai
tahapan
perkembangan.
Undang-undang
pendidikan Indonesia pertama-tama dirumuskan pada tahun 1950,
berbunyi “Membentuk manusia susila yang cakap warga Negara yang
demokratis serta bertanggung-jawab pada tanah air dan bangsa” (UU
Pendidikan No. 4 tahun 1950). Rumusan ini telah ditinjau kembali dari
masa ke masa sesuai perkembangan dan kebutuhan bangsa Indonesia.
Dengan rahmat Tuhan Yang Masa Esa, bangsa Indonesia dewasa ini
telah memiliki Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan Nasional yang menggantikan Undang-undang nomor 2
tahun 1989. Pembaharuan pendidikan ini merupakan jawab terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks ruang lingkup
sosial pada era globalisasi ternologi informasi dan komunikasi saat ini. 5
5
Retnaningsih Burham, Peningkatan Pembelajaran Dalam Sistem
Pendidikan Nasional Indonesia: Tinjauan Pendidikan Sekolah dan Pendidikan
Luar Sekolah, cetakan pertama (Jakarta: UNJ Press, 2008), 5. Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) terdapat di UUD RI no. 20 tahun 2003
bagian Ketentuan Umum bab I, Pasal 1 menyatakan bahwa: Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran yang baik agar perserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, Bandung:
Fokusmedia, 2003, halaman 3).
5
Sistem pendidikan nasional yang diterapkan saat ini merupakan
jawab terhadap kebutuhan masyarakat yang hidup di tengah-tengah
perkembangan teknologi informatika dan komunikasi. Hal lain yang perlu
diperhatikan sehubungan dengan sistem pendidikan nasional adalah asas
dan landasan; tujuan dan fungsi pendidikan nasional.
1. Asas dan Landasan Sistem Pendidikan Nasional
Asas sistem pendidikan nasional dibangun dari tiga asas yang
menyatu dalam satu kesatuan.
Sebagai asas pertama, tut wuri handayani merupakan inti dari sitem
Among perguruan. Asas yang dikumandangkan oleh Ki Hajar Dwantara
ini kemudian dikembangkan oleh Drs. R.M.P. Sostrokartono dengan
menambahkan dua semboyan lagi, yaitu Ing Ngarso Sung Sung Tulodo
dan Ing Madyo Mangun Karso. Kini ketiga semboyan tersebut telah
menyatu menjadi satu kesatuan asas yaitu: Ing Ngarso Sung Tulodo
(jika di depan memberi contoh), Ing Madyo Mangun Karso (jika
ditengah-tengah memberi dukungan dan semangat)
Tut Wuri Handayani (jika di belakang memberi dorongan). 6
Ing Ngarso Sung Tulodo dan Ing Madyo Mangun Karso dan Tut
Wuri Handayani merangkum adanya menyatakan kemandirian dalam
belajar, dan belajar sepanjang hayat.
Selain ada tiga asas untuk sistem pendidikan nasional, maka sistem
pendidikan nasional juga didasarkan pada Pancasila, Undang-undang Dasar
1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sistem pendidikan dilakukan berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar 1945. Sistem pendidikan Nasional juga dilakukan
berdasarkan Bhinneka Tunggal Ika, keadilan dan pemerataan,
keteladanan dan bimbingan, pendidikan seumur hidup, tanggungjawab
6
https://pentingbelajar.wordpress.com/asas-asas-pendidikan/asas-tut-wurihandayani/diakses tanggal 28 Mei 2012.
6
bersama, menyeluruh dan terpadu. Landasan Bhinneka Tunggal Ika
mengandung konsekuensi akan memperkuat kesatuan dan persatuan
bangsa. Landasan keadilan dan pemerataan harus dapat dimanfaatkan
oleh seluruh masyarakat sehingga bakat, kemampuan dan minat tiap
warga negara dapat terwujud tanpa membedakan suku bangsa, ras,
agama atau derajat sosial ekonominya, selain itu diungkapkan bahwa
tanggungjawab bersama secara menyeluruh dan terpadu berarti bahwa
sistem pendidikan nasional mencakup segala jenis pendidikan serta
merupakan satu kesatuan dengan unsur-unsur yang terkait.7
Sistem pendidikan nasional yang berlandaskan Pancasila, Undangundang Dasar 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika tersebut dilakukan seumur
hidup, penuh tanggungjawab, bersifat menyeluruh, merata, terpadu dan
menjadi alat pemersatu bangsa Indonesia.
2. Tujuan Sistem Pendidikan Nasional
Secara sederhana tujuan diadakannya sistem pendidikan nasional
adalah agar bangsa Indonesia menjadi manusia yang beriman, berilmu dan
bertanggung-jawab. Penjelasan tujuan Pendidikan Nasional yang tercantum
dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab
II Pasal 3 adalah membuat bangsa Indonesia menjadi cerdas, beradab, dan
bermartabat. Burham memberikan penjelasan bahwa:
Pendidikan
nasional
dengan
sistem
yang
tersedia
harus
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal
ini bertujuan untuk mengembangkan potensi perserta didik agar
menjadi manusia yang beriman, bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa,
7
Burham, Peningkatan Pembelajaran Dalam Sistem Pendidikan Nasional
Indonesia: Tinjauan Pendidikan Sekolah dan Pendidikan Luar Sekolah, 7.
7
sehat, mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warganegara
yang demokratis serta bertanggungjawab pada bangsa dan Negara. 8
Tujuan sistem pendidikan nasional yang dijelaskan di atas tercapai
bila potensi perserta didik (masyarakat Indonesia) diasah melalui
pendidikan formal maupun informal.
3. Fungsi Sistem Pendidikan Nasional
Adanya sistem pendidikan nasional diharapkan dapat melakukan
fungsinya yakni mengembangkan potensi masyarakat Indonesia dan
membangun bangsa Indonesia. Hal yang sama juga dinyatakan oleh
Burham bahwa:
Sistem Pendidikan Nasional berfungsi untuk:
a. Mengembangkan potensi manusia Indonesia
b. Membangun bangsa dalam mewujudkan tujuan nasional. Warga
peserta didik pada dasarnya berhak menerima bantuan dari
pemerintah berdasarkan syarat-syarat tertentu. Bantuan itu dapat
berupa pemberian fasilitas belajar dan/atau pembebasan dari
kewajiban tertentu yang menyangkut biaya pendidikan. Setiap
warganegara wajib mengikuti pendidikan, sehingga memiliki
kemampuan dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara
dengan kemampuan dan keterampilan tamatan pendidikan dasar.
Oleh karena itu dalam rangka pelaksanaan wajib belajar, setiap
warganegara Indonesia diberi kesempatan memperoleh pendidikan
dasar yang dapat membela dirinya dengan kemampuan membaca,
menulis, berhitung dan berbahasa Indonesia. 9
8
Burham, Peningkatan Pembelajaran Dalam Sistem Pendidikan
Nasional Indonesia: Tinjauan Pendidikan Sekolah dan Pendidikan Luar Sekolah,
7.
9
Burham, Peningkatan Pembelajaran Dalam Sistem Pendidikan
Nasional Indonesia: Tinjauan Pendidikan Sekolah dan Pendidikan Luar Sekolah,
7.
8
Untuk mewujudkan fungsi sistem pendidikan nasional tersebut
pemerintah semestinya memfasilitasi baik dari segi dana maupun sarana,
dan masyarakatpun wajib mengikuti pendidikan tersebut, minimal
pendidikan dasar.
B. Sejarah Perkembangan Pendidikan Moral
Sejarah perkembangan konsep pendidikan moral menjadi penting
untuk dijadikan pelajaran guna membangun pendidikan moral yang lebih
baik di Indonesia. Adapun sejarah perkembangan yang dimasudkan
meliputi: konsep pendidikan moral di zaman klasik, konsep pendidikan
moral di abad XVIII – XIX, konsep pendidikan moral mutakhir.
1. Konsep Pendidikan Moral di Zaman Klasik
Konsep pendidikan moral di zaman klasik meliputi berbagai zaman
yakni: Yahudi Kuno, Romawi Kuno, abad Pertengahan, Renaissance,
Reformasi, dan Realisme. Secara historis pendidikan moral di zaman klasik
menunjukkn ciri yang khas, meliputi: pertama, pada zaman Yahudi Kuno
moral dicirikan dengan adanya pemahaman bahwa Allah lebih menyukai
hal-hal yang baik ketimbang hal-hal yang buruk (zaman Yahudi Kuno).
Melalui Talmud10 dijelaskan bahwa persepsi masyarakat Yahudi Kuno
tentang eksistensi Tuhan bersifat monotheistik (Allah yang Esa) dan tidak
dipahami sebagai dewa-dewa sehingga perintah-perintahNya dapat diterima
10
Talmud atau enam tatanan dapat dijelaskan sebagai berikut: Tatanan
Pertama: Zeraim ("Benih"). 11 traktat. Membahas doa dan berkat, tithes, dan
hukum-hukum pertanian. Tatanan Kedua: Moed ("Hari-hari Raya"). 12 traktat.
Berkaitan dengan hukum-hukum Sabat dan Hari-hari Raya. Tatanan Ketiga:
Nashim ("Perempuan"). 7 traktat. Berkaitan dengan pernikahan dan perceraian,
beberapa bentuk sumpah dan hukum-hukum tentang orang Nazir. Tatanan
Keempat: Nezikin ("Ganti rugi"). 10 traktat. Berkaitan dengan hukum sipil dan
kriminal, cara kerja pengadilan dan sumpah. Tatanan Kelima: Kodashim ("Hal-hal
yang suci"). 11 traktat. Berkaitan dengan ritus-ritus korban, Bait Suci, dan hukumhukum yang mengatur apa yang boleh dan tak boleh dimakan. Tatanan Keenam:
Tohorot ("Kesucian"). 12 traktat. Berkaitan dengan hukum-hukum ritual kesucian.
http://id.wikipedia.org/wiki/Talmud diakeses tanggal 28 Mei 2012.
9
dan dilakukan. Moral hidup juga diajarkan begitu rupa dalam ”tatanan”
tersebut sehingga pendidikan moral dapat dinyatakan berjalan dengan baik.
Kedua, pada zaman Yunani Kuno moral dicirikan dengan memprioritaskan
penerapan moral ketimbang teori-teori moral dan menerapkan pendisiplinan
diri. Ketiga, pada zaman Romawi Kuno moral dicirikan melalui penekanan
bahwa guru harus memiliki moralitas dan integritas serta mengupayakan
setiap anak didik bermoral. Keempat, pada zaman abad pertengahan moral
dicirikan dengan mengutamakan hubungan yang baik dengan Tuhan dan
sesama yang dimediasi melalui belajar kateketik/agama, sehingga kesucian
hidup, kesederhanaan hidup, kepatuhan menjadi tekanan utama. Kelima,
pada zaman Renaissance moral dicirikan dengan melakukan kasih
sebagaimana yang diajarkan oleh Yesus Kristus sebagai solusi terhadap
krisis moral pada zaman tersebut. Keenam, pada zaman Reformasi moral
dicirikan dengan sola fide (hanya oleh iman), beriman kepada Tuhan Yang
Maha Esa menjadikan setiap orang mengalami pengampunan dosa, berdoa,
membaca Kitab Suci sehingga dapat menguasai diri dalam berkata-kata dan
bertindak. Ketujuh, zaman Realisme moral dicirikan dengan apa yang
disebut sebagai ”kontak sosial”, dimana setiap orang dengan penuh
kesadaran akan menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah dan
pemerintahpun akan menjamin hak-hak dari setiap warganya. Secara
historis ciri-ciri pendidikan moral di zaman klasik tersebut sangat
berhubungan dengan pendidikan moral bangsa Indonesia.
2. Konsep Pendidikan Moral di Abad XVIII – XIX
Pendidikan moral di abad XVIII – XIX mengembangkan konsep
dalam pemikiran-pemikiran politik, ekonomi dan keilmuan lainnya.
Perubahan yang menonjol yang terjadi di abad ini bila dihubungkan dengan
pendidikan moral adalah adanya pemisahan antara gereja dan negara.
Pendidikan moral diajarkan di lingkungan keluarga, gereja dan sekolah.
Tokoh pendidik yang terkenal di abad ini adalah Jean Jacques Rousseau
10
(1712-1778), Immanuel Kant (1724-1804), Johann Heinrich Pestalozzi
(1746-1827). Kant memberikan penekanan pada hukum-hukum moral
bersifat absolut, sehingga dikenal dengan “kategorikal – imperatif” yang
menyatakan “bertindaklah hanya dalam hukum universal.”
Dalam pandangan Kant, ada tiga ide abadi yang bersifat universal, yaitu
kebebasan,
kekekalan jiwa,
dan eksistensi Tuhan.
Kebebasan
dibutuhkan untuk membuat pilihan-pilihan moral; kekekalan jiwa
dibutuhkan agar supaya ketidak-adilan dalam hidup ini dapat
diluruskan; sementara Tuhan, oleh Kant, tidak dilihat sebagai pribadi,
seperti Jehovah misalnya, akan tetapi lebih dipandang sebagai kekuatan
moral yang senantiasa hadir dalam diri manusia. Pendidikan moral, baik
yang diselenggarakan oleh agama maupun sekolah, menjadi penting
oleh karena dengan pendidikan moral kesadaran yang ada pada diri
manusia dapat diarahkan untuk menghasilkan pemahaman yang
selanjutnya
juga
mengarahkan
manusia
untuk
memenuhi
tanggungjawab moral dan menemukan makna dalam kehidupan ini. 11
Menurut Kant pendidikan adalah pekerjaan yang mulia baik bagi
pendidikan maupun peserta didik, pendidikan moral lebih penting
dibanding melibatkan diri dalam upacara-upacara keagamaan. Ciri
pendidikan moral di abad XVIII – XIX diwakili oleh pengajaran Kant yang
menekankan hidup disiplin, tanggung-jawab yang tentunya juga menjadi
ciri dari pendidikan moral bangsa Indonesia.
3. Konsep Pendidikan Moral Mutakhir
Konsep pendidikan moral yang mutakhir yang terjadi di abad XX –
XXI dapat dilihat melalui tiga tokoh utama yakni: John Dewey, Lawrence
Kohlberg dan John Wilson. Ketiga pakar pendidikan moral tersebut bukan
dari Indonesia, namun penulis telah menyelidiki bahwa ciri pendidikan
11
Cheppy Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral (Semarang:
IKIP Semarang Press, 1995), 47.
11
moral yang disampaikan cocok untuk konteks Indonesia, sehingga perlu
juga diperhatikan.
a. Konsepsi John Dewey
Konsep Dewey menyatakan bahwa pendidikan menempati posisi
penting dalam berbagai upaya intelligent guna mencapai tujuan, sedangkan
moralitas diposisikan sebagai sentral dari pelbagai upaya pendidikan.
Dewey menyatakan bahwa moral ikut bertanggung-jawab terhadap
kegagalan untuk memahami tujuan dan nilai yang dibutuhkan di dalam
pendidikan tidak lain adalah moral itu sendiri.12 Jadi, peran moral begitu
penting untuk mengembangkan pendidikan. Melalui pendidikan diperoleh
pengalaman sebagai sarana pertumbuhan yang dibutuhkan oleh setiap
orang. Hal yang sama dijelaskan oleh Haricahyono, bahwa:
Menurut Dewey, perhatian terhadap masalah-masalah moral haruslah
terliput dalam semua kegiatan pendidikan, sementara pengalaman dapat
saja muncul dari pelbagai dimensi kehidupan manusia, seperti dalam
bahasa, perbagai pranata, kebiasaan atau adat istiadat, cita-cita,
penderitaan, dan pelbagai konstruk lainnya. Pengalaman ada dalam
dunia sosial (dalam arti seluas-luasnya), dalam dunia pengalaman
manusia itu sendiri, dalam perjuangan dan konflik, bahkan dalam
pelbagai situasi yang penuh dengan signifikansi ataupun kehancuran
moral. Kesemuanya adalah satu dunia dimana pendidikan, sebagai
rekonstruksi pengalaman dan sarana pertumbuhan, merupakan realitas
yang dibutuhkan setiap orang dan tidak dapat ditolak urgensinya. 13
Dewey mengakui bahwa permasalah yang menonjol dalam
pendidikan moral di sekolah-sekolah adalah menjaga hubungan antara
pengetahuan dan tindakan. Jadi Dewey tidak menilai pendidikan moral
12
John Dewey, Democrasy and Education (New York: Macmilan, 1961),
359. [Terjemahan Langsung.]
13
Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral, 58.
12
sebagai kegiatan yang berdiri sendiri sebab permasalahan moral harus
mencakup dalam semua aspek pendidikan, bukan hanya pada pendidikan
moral. Pemikiran Dewey yang paling menonjol dari “filasafat pendidikan
moral” adalah menghubungkan pendidikan moral dengan kebutuhan
masyarakat demokratis. Jadi, ciri pendidikan moral menurut Dewey terlihat
melalui kehidupan masyarakat yang demokrasi hal ini tentu juga menjadi
ciri dari pendidikan moral bagi bangsa Indonesia.
b. Konsepsi Lawrence Kohlberg
Konsep Kohlberg menyatakan bahwa setiap manusia memiliki
moral philosopher (filsuf moral), hal tersebut disebabkan oleh adanya
bentuk pemikiran moral yang bersifat universal yang disebut sebagai tahaptahap perkembangan moral kognitif 14 yang berlangsung secara berurutan,
sekalipun perkembangan masing-masing individu bervariasi, bahkan tidak
menutup kemungkinan ada individu yang cukup lama bertahan pada salah
satu tahap.
Pendidikan moral menurut Kohlberg adalah upaya untuk membantu
peserta didik guna mencapai tahap perkembangan yang sesuai dengan
kesiapan mereka, sehingga pola-pola ekternal tidak boleh dipaksakan.
Pendidik wajib memperkenalkan berbagai masalah konflik moral yang
realistik. Kohlberg adalah sosok pendidik yang telah menggerakkan
masyarakat luas untuk mengerti betapa pentingnya pendidikan moral, beliau
juga memiliki kemampuan mengembangkan materi dan menjadi aktivis
pendidik moral di berbagai sekolah dan negara. Jadi, ciri pendidikan moral
14
Clive M. Back, Moral Education: Interdisciplinary Approaches
(Toronto: University of Toronto Press, 1971), 34. [Terjemahan Langsung.] Tahaptahap perkembangan yang dimaksud meliputi: I. Preconventional Level [Tingkat
Pra conventional]  concern for external consequences to self [kepedulian
terhadap konsekuensi eksternal diri]. II. Conventional Level [Tingkat
Konvensional]  concern for meeting external social expectations [perhatian
untuk memenuhi harapan sosial eksternal]. III. Principled Level [Tingkat
berprinsip]  concern for fidelity to self-chosen moral fidelity [kepedulian
terhadap kesetiaan yang dipilih sendiri kesetiaan moral].
13
menurut Kohlberg ditunjukkan melalui kepedulian/perhatian terhadap orang
lain, hal ini dapat juga dijadikan ciri dari pendidikan moral untuk bangsa
Indonesia.
c. Konsepsi John Wilson
Konsep Wilson menyatakan bahwa pengembangan pendidikan
moral baik secara teoritis maupun praktis harus dimulai dengan menemukan
komponen-komponen atau atribut-atribut yang diperkirakan mampu
menopang pembentukan sosok pribadi yang terdidik secara moral. 15 Jadi,
moral berfungsi untuk mengembangkan sikap seseorang terhadap yang
lainnya secara baik.
Wilson menempatkan makhluk moral sebagai sosok pribadi yang
terdidik secara moral, yang dimanifestasikan pada tingkah laku, berbagai
motif, alasan dan sasaran-sasaran yang akan dicapai. Selanjutnya beliau
juga menyatakan bahwa pendidikan moral yang rasional menjadikan
sekolah sebagai pembentuk nalar moral dan menguasai isi/materi. Wilson
adalah sosok yang telah memperjelas prosedur dan kriteria pendidikan
moral. Jadi, ciri pendidikan moral menurut Wilson ditunjukkan melalui
karakter yang baik, hal ini juga dapat dijadikan ciri dari pendidikan moral
bangsa Indonesia.
Setelah penulis menguraikan tiga tokoh pendidikan moral mutakhir,
maka dapat diberi kesimpulan bahwa konsep pendidikan moral menurut
Dewey menitik beratkan pada kepentingan masyarakat. Konsep pendidikan
moral
menurut
Kohlberg
didasarkan
pada
hirarkhi
tahap-tahap
perkembangan psikologis. Konsep pendidikan moral menurut Wilson
didasarkan pada menemukan komponen-komponen yang secara logis
diperlukan untuk menjadi pribadi yang terdidik secara moral.
15
John Wilson dan kawan-kawan, Introduction to Moral Education
(Harmondsworth, England: Penguin, 1967), 60. [Terjemahan Langsung.]
14
BAB III
PENDIDIKAN MORAL
MEMBENTUK KARAKTER BANGSA INDONESIA
A. Pentingnya Pendidikan Moral
Pendidikan16 moral17 menjadi penting dikarenakan pelbagi latar
(setting) seperti sekolah, keluarga dan tempat-tempat kerja atau sarana
pembentuk moral lainnya mengabaikan pendidikan moral. Di samping itu
para pendidik juga menjadi lemah atau gagal untuk mengkonkritkan
pemenuhan kebutuhan pendidikan moral. Hal yang sama juga dijelaskan
oleh Haricahyono:
Dengan mengukur idealisasi semacam itu dapat dimengerti bahwa
pendidikan moral begitu diabaikan dalam pelbagai latar (setting) seperti
sekolah, keluarga, dan tempat-tempat kerja lainnya. Para pendidik
agaknya mengalami kegagalan dalam menempatkan alasan (moril)
praktis oleh karena, sebagaimana dikemukakan di atas, alasan praktis
bukanlah satu hal yang serba pasti, bukan satu persoalan yang
dikendalikan oleh hukum, bukan pula satu mesin logika, dan yang jelas:
lemah. Para pendidik sering kali juga gagal mengkonkritkan kebutuhankebutuhan umum oleh karena kurangnya idelisasi moral dalam artian
16
Pendidikan adalah proses mengajar dan belajar pola-pola kelakukan
manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat (S. Nasution, Sosiologi
Pendidikan, cetakan pertama. Jakarta: Bumi Aksara, 1995, halaman 10).
Pendidikan diartikan sebagai proses sosialisasi, yaitu sosialisasi nilai, pengetahuan,
sikap, dan keterampilan (Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis
Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2000,
halaman 54-55). Nasution dan Gunawan lebih memahami pendidikan sebagai
proses belajar mengajar atau bersosialisasi terkait dengan apa yang dipikirkan,
pemahaman, dan perilaku yang berlaku di masyarakat.
17
Secara etimologi istilah moral berasal dari bahasa Latin mos; moris yang
artinya adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan; mores yang artinya
adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak (Bagus Lorens, Kamus Filsafat.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, halaman 672.)
15
moral sense [moral yang masuk akal] dan moral consensus [moral yang
konsensus].18
Untuk menangani kegagalan tersebut, maka dibutuhkan keseriusan
ataupun kerjasama dari berbagai pihak baik dari keluarga, masyarakat
maupun tenaga pendidik, sehingga bisa dirumuskan langkah-langkah
unggul guna menerapkan pendidikan moral yang baik.
Beberapa faktor pendorong yang menyebabkan pendidikan moral di
Indonesia perlu ditingkatkan. Pertama, bahwa pendidikan moral pada
dasarnya tidak hanya diajarkan melalui mata pelajaran di sekolah, namun
juga dapat diajarkan oleh alim ulama, keluarga dan keteladanan hidup.
Media massa sebagai sarana pendukung juga dapat digunakan mendukung
pendidikan moral. Di tingkat Perguruan Tinggi, waktu yang dialokasikan
untuk pendidikan moral kurang lebih 2 (dua) sampai 4 (empat) SKS dalam
satu semester, yang tercermin dari SK MENDIKNAS nomor 232/U/2000. 19
Kedua,
bahwa
kurikulum
mensinergikan setiap materi
sekolah
pelajaran
formal
dengan
belum
mampu
nilai-nilai atau norma
masyarakat dan agama sesuai proporsi minimal.20
Lewis berpendapat bahwa kehidupan manusia tidak bisa terhindar
dari moral. 21 Alasan pertama, manusia selalu memiliki keinginan baik dan
18
Cheppy Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral (Semarang:
IKIP Semarang Press, 1995), 204.
19
Pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa kelompok matakuliah pengembangan
kepribadian (MPK) pada kurikulum inti yang wajib diberikan dalam kurikulum
setiap program studi/kelompok program studi terdiri atas pendidikan Pancasila,
pendidikan Agama dan pendidikan Kewarganegaraan. Ketiga matakuliah tersebut
diberikan selama 6 semester untuk tingkat Sekolah Menengah dan 8-10 semester
untuk tingkat Perguruan Tinggi, walaupun tidak disajikan dalam setiap semester.
20
Salah satu buktinya adalah jumlah jam pelajaran agama dan budi pekerti
di SD, SMP, atau SMU yang hanya 2 (dua) sampai 4 (empat) jam perminggu dari
total jam 34 sampai 42 jam perminggu. Namun disisi lain KTSP (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan) sebenarnya lebih bisa diatur, sehingga kebutuhan ini
bisa
terakomodasi
dan
terpenuhi.
Sumber
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195412071981121AHMAD_NAWAWI/Pendidikan_Nilai_Moral.pdf diakses tanggal 28 Mei 2012.
21
C. S. Lewis, Mere Christianity (New York: Macmillan, 1973), 21.
[Terjemahan Langsung.]
16
bermoral. Kedua, kenyataanya manusia sering melanggar (bertingkah laku
tidak baik). Kedua alasan di atas mendasari manusia memiliki kemampuan
untuk memilih apakah memilih alasan pertama atau kedua.
Ketiga, bahwa pendidikan di Indonesia walaupun telah menekankan
pada kompetensi lulusan, namun prakteknya lebih berorientasi pada
kecenderungan akademis, formalistik dan bernuansa politis.
Keempat, meningkatnya kasus tawuran antar pelajar/mahasiswa,
seks bebas, penggunaan obat terlarang, dan berbagai kejahatan lainya yang
menunjukkan dampak dari hasil Pendidikan moral bangsa.
Data tersebut menunjukkan bahwa tawuran di antara pelajar
semakin meningkat, hal ini berarti penanganan pendidikan moral harus
dilakukan lebih serius.
Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk mengatasi masalah
pendidikan
moral
tersebut.
Pendidikan
di
Indonesia
semestinya
dikembalikan kepada fungsi utamanya yakni membangun moral atau
karakter bangsa, itulah sebabnya dibutuhkan paradigma baru yang
menghasilkan generasi adaptif terhadap Ipoleksosbudhankam (ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan) bangsa.
Indonesia adalah bangsa yang sangat menyadari betapa pentingnya
pendidikan moral di negeri ini. Pendidikan moral tersebut dapat dilakukan
baik secara formal, informal dan nonformal. S. Nasution menjelaskan lebih
lanjut bahwa “melalui pendidikan moral terbentuklah kepribadian
seseorang. Boleh dikatakan hampir seluruh kelakuan individu bertalian
dengan atau dipengaruhi oleh orang lain.”22 Jadi, jelaslah bahwa melalui
Pendidikan moral kepribadian atau kelakukan setiap orang dapat diperbaiki
menjadi baik. Melalui Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945
diharapkan bangsa Indonesia bisa melakukan perbaikan moral.
22
S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, cet. pertama (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), 11.
17
B. Pembentukan Moral Bangsa
Menurut Sudarsono ciri pendidikan moral bangsa terlihat pada
pembentukan moral bangsa, yang meliputi: (1) Kejujuran; (2) Keterbukaan;
(3) Keberanian mengambil resiko; (4) Bertanggung jawab; (5) Memenuhi
komitmen; dan (6) Kemampuan berbagi. 23 Menurut penulis keenam ciri
yang diusulkan oleh Sudarsono relevan untuk dilakukan bagi kepentingan
pendidikan moral bangsa Indonesia. Pembentukan moral bangsa menurut
Sudarsono juga dapat dijadikan sebagai ciri pendidikan moral karena
berhubungan dengan hidup jujur, terbuka, beranian mengambil resiko,
bertanggung jawab, konsisten (memenuhi komitmen), dan berbaik haati
(berbagi).
Djohar melihat ciri pendidikan moral atau pembentukan karakter
bangsa dapat dilakukan melalui:
(1) Pendidikan yang kontekstual atau transformatif; (2) pendidikan
yang menumbuhkan kesadaran secara vertikal maupun horizontal; (3)
menempatkan
institusi
pendidikan
di
tengah-tengah
pergaulan
masyarakat luas baik lokal maupun global; serta (4) memiliki muatan
pendidikan yang seimbang antara kepentingan dan pengalaman.24
Pendidikan yang kontekstual atau transformatif adalah pendidikan
yang melakukan adaptasi terhadap lingkungan, menekankan proses
kehidupan yang terbuka dan demokratis, bergerak dinamis dan konstruktif
dalam membangun bangsa. Pendidikan ini juga menekankan pengubahan
karakter bangsa dari tertutup menjadi terbuka (menerima segala perbedaan
di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang majemuk). Itulah sebabnya
pendidikan ini berfokus pada perkembangan sosial, dan semestinya
masyarakat mendapatkan respon yang positif dan konstruktif.
23
Soemarno Sudarsono, Character Building Membentuk Watak (Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo, 2002), 41.
24
Djohar, Pendidikan Strategik Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan
(Yogyakarta: LESFI, 2003), 121.
18
Pendidikan yang menumbuhkan kesadaran secara vertikal maupun
horizontal dilakukan bertujuan untuk melahirkan kesadaran bangsa.
Kesadaran vertikal (pemerintah) dan keasadaran horizontal (masyarakat)
seharusnya memahami kewajiban dan haknya masing-masing. Pemerintah
hendaknya memerintah dengan demokratis, bersedia dikritik, berpikiran
luas, merangkul kelompok masyarakat yang berbeda (suku, ras, agama).
Sebaliknya masyarakat harus patuh pada pemerintah terhadap segala aturan
yang ada, menjaga ketertiban dan kedamaian.
Penempatan institusi pendidikan di tengah-tengah pergaulan
masyarakat luas baik lokal maupun global bertujuan agar lembaga-lembaga
pendidikan mampu mengikuti perkembangan di era globalisasi sehingga
tercapai pendidikan yang berkualitas.
Pendidikan memiliki muatan yang seimbang antara kepentingan
dan pengalaman, dilakukan untuk menghindari pendidikan yang bersifat
teoritis saja melainkan juga bersifat praksis. Dengan demikian pendidikan
menjadi bersifat holistik (menyeluruh), mendalam sehingga dapat
membentuk karakter bangsa. Pembentukan karakter bangsa menurut Djohar
juga dapat dijadikan sebagai ciri pendidikan moral karena berhubungan
dengan kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan, bersikap demokratis,
memahami kewajiban-kewajiban dan hak-hak terhadap pemerintah dan
masyarkat, menekankan kualitas hidup, serta keseimbangan antara teori
moral dan praktek.
Haricahyono menjelaskan bahwa ciri pendidikan moral dapat
diketahui melalui unsur-unsur moral yakni perhatian, pertimbangan dan
tindakan.25 Ketiga hal tersebut satu sama lain saling terkait dan menjadi
kekuatan untuk menghadapi ancaman pendidikan moral bangsa Indonesia.
Perhatian yang dimaksudkan oleh Haricahyono tidak hanya menyangkut
adanya kehendak untuk mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan orang
25
Lihat Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral, 225-231.
19
lain, akan tetapi lebih dari itu ada juga kemampuan untuk memenuhinya. 26
Jadi, memperhatikan orang lain pada prinsipnya adalah memahami
kemudian berupaya untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhan orang lain
sebaik mungkin. Pertimbangan yang dimaksudkan oleh Haricahyono
sebagai berikut:
Pertimbangan moral dan nilai berimplikasikan penalaran. Sementara
penalaran itu sendiri pada hakikatnya tidaklah diterapkan hanya pada
satu kasus tertentu. Apabila sesuatu pertimbangan moral bisa
diaplikasikan untuk semua kasus yang sama. Pertimbangan moral,
secara demikian, menuntut adanya kemampuan untuk mengevaluasi
kepentingan-kepentingan yang berbeda pada kriteria atau prinsip yang
konsisten.27
Jadi, pertimbangan yang dimaksudkan adalah tindakan moral yang
dianggap benar yang mengacu pada ukuran atau kebenaran yang diakui
secara umum. Tindakan yang dimaksudkan oleh Haricahyono adalah
bergantung kepada kualitas perhatian dan pertimbangan yang mengarahkan
kepada tindakan moral.28 Jadi, tindakan moral harus mengimplikasikan
keinginan (tuntutan) yang lebih baik, satu motif atau prinsip hidup yang
mengakibatkan kehidupan yang lebih baik. Unsur-unsur moral menurut
Haricahyono juga dapat dijadikan sebagai ciri pendidikan moral karena
berhubungan dengan perhatian untuk memenuhi kebutuhan orang lain,
mengevaluasi kepentingan yang berbeda berdasarkan ukuran yang benar
yang diakui secara umum dan melakukan sesuatu dengan lebih baik.
C. Perilaku Moral
Gandjarrahardja menjelaskan ciri dari pendidikan moral bangsa
Indonesia dengan memberikan penekanan pada perkataan dan perilaku yang
26
Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral, 226.
Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral, 229.
28
Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral, 229.
20
27
baik. Perilaku dan yang menggambarkan moral yang baik yakni moral
berupa ucapan atau perkataan, antara lain: tidak berkata bohong atau
berdusta. Tindakan moral yang baik adalah moral yang terpuji yaitu
perbuatan yang dilakukan melebihi kualitasnya dan ukuran rata-rata, moral
yang bisa ditularkan kepada orang lain, moral yang bisa dilestarikan untuk
menjaga keutuhan dan kesinambungan moral itu perlu dilestarikan atau
diawetkan.29 Jadi, jelaslah bahwa ciri pendidikan moral menurut
Gandjarrahardja ditunjukkan dengan kata-kata dan perilaku yang baik,
menjadi lengkap lagi menurut penulis bila dimutlakkan antara kata-kata
dengan perilaku tidak ada perbedaan (sama). Perilaku moral menurut
Gandjarrahardja juga dapat dijadikan sebagai ciri pendidikan moral karena
berhubungan berhubungan dengan kualitas perilaku manusia
Menurut Abuddin Nata ciri pendidikan moral bangsa Indonesia ada
pada perbuatan akhlak yang mencakup empat hal:
Pertama, perbuatan tersebut [akhlak] telah mendarah daging atau
mempribumi, sehingga menjadi identitas orang yang melakukannya.
Kedua, perbuatan tersebut dilakukan dengan mudah, gampang serta
tanpa
memerlukan
mempribadinya
pikiran
perbuatan
lagi.
tersebut.
Sebagai
Ketiga,
akibat
dari
perbuatan
telah
tersebut
dilakukan atas kemauan dan pilihan sendiri, bukan karena paksaan dari
luar. Keempat, perbuatan tersebut dilakukan dengan sebenarnya, bukan
berpura-pura, sandiwara atau tipuan. Kelima, perbuatan tersebut
dilakukan atas dasar niat semata-mata karena Allah. 30
Perbuatan-perbuatan manusia baik dan buruk dijadikan ukuran atau
patokan dalam menentukan tingkah laku, dengan demikian akhlak dijadikan
patokan menjadi moral. Selanjutnya Nata juga menjelaskan bahwa dari segi
bentuk dan macamnya ada dua jenis akhlak (moral):
29
Hatidjo Gandjarrahardja, Pendidikan Moral Bangsa (jurnal pendidikan,
No. I/XX/2001, 51.
30
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2003), 197.
21
Pertama, akhlak yang terpuji-puji seperti berlaku jujur, amanah, adil,
ikhlas, sabar, tawakal, bersyukur, memelihara diri dari dosa, rela
menerima pemberian Tuhan, berbaik sangka, suka menolong, pema’af
dan sebagainya. Kedua, akhlak yang tercela seperti menyalahgunakan
kepercayaan, mengingkari janji, menipu, berbuat kejam, pemarah,
berbuat dosa, dan sebagainya. Karena perbuatan-perbuatan tercela
tersebut harus dijauhi, sedangkan perbuatan-perbuatan yang terpuji itu
harus dilakukan, maka akhlak selanjutya lebih mengandung arti
perbuatan-perbuatan yang baik dan terpuji saja.31
Semestinya manusia hanya memilih akhlak yang baik yang
tercermin dalam perilaku yang terpuji bukan perbuatan-perbuatan yang
tercela. Orang-orang baik berada dalam perlindungan Allah sehingga
mengalami kemenangan, sebaliknya orang-orang jahat mengalami kerugian
karena dibenci Allah. Moral yang baik akan menjadi semakin kuat dan
menjadi berkat bagi orang lain bila didasarkan pada ajaran agama yang baik
(Kitab Suci). Perilaku moral yang baik menjadikan yang bersangkutan
menikmati banyak keuntungan di dunia dan mahkota di surga. Perbuatan
akhlak menurut Nata juga dapat dijadikan sebagai ciri pendidikan moral
karena berhubungan dengan akhlak yang terpuji yakni jujur, adil, ikhlas,
sabar, saleh, bersyukur, memelihara diri dari dosa, bersyukur, berpikiran
positip, suka menolong, dan mengampuni/pemaaf.
D. Tahap-tahap Pengembangan Moral
dan Pengembangan Strategi Pembelajaran Moral
Lawrence Kohlberg menjelaskan ciri dari pendidikan moral dengan
memberikan penekanan pada tahap-tahap perkembangan moral yakni:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan. Tahap 2: Orientasi relativisinstrumental. Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi
“anak manis.” Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban. Tahap 5: Orientasi
31
Nata, Manajemen Pendidikan, 197-198.
22
kontrak sosial legalistis. Tahap 6: Orientasi prinsip etika universal. 32 C. Asri
Budiningsih selanjutnya menjelaskan ciri dari pendidikan moral dengan
memberikan penekanan pada pengembangan strategi pembelajaran moral
yang
dapat
dilihat
melalui
kemampuan
aspek
kognitif
(pemahaman/penalaran moral), aspek afektif (perasaan moral), aspek
perilaku (tindakan moral) serta kepercayaan eksistensial/iman. 33
Kemampuan aspek kognitif (pemahaman/penalaran moral) yang
dimaksudkan adalah “suatu jenis kemampuan kognitif yang dimiliki oleh
setiap orang untuk mempertimbangkan, menilai, dan memutuskan suatu
perbuatan berdasarkan prinsip-prinsip moral seperti baik dan buruk, etis
atau tidak etis, benar atau salah.” 34 Kemampuan aspek afektif (perasaan
moral) “terwujud dalam salah satu kemampuan untuk mengambil sudut
pandang orang lain dan untuk menempatkan dirinya ke dalam posisi orang
lain, merupakan sumber kesadaran akan persamaan derajat dan timbal balik
yang berdasarkan keadilan.”35 Kemampuan aspek perilaku (tindakan moral)
“merupakan kemampuan untuk mengadakan interaksi sosial dalam
mengambil pesan sosial serta menyelesaikan konflik peran yang berurusan
dengan nilai-nilai moral seperti keadilan, resiprositas (balas dendam), dan
bentuk-bentuk perilaku moral lainnya.” 36 Jadi, aspek kognitif lebih
menekankan pada penalaran moral yang digunakan untuk menilai benar
atau salah. Aspek afektif lebih menekankan pada emosi/perasaan moral
yang menunjukkan empati moral terhadap orang lain. Aspek perilaku lebih
32
Lawrence Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral, pen. John de
Santo, Agus Cremers, peny. John de Santo (Yogyakarta: KANASIUS, 1995), 231234. Emile Durkheim sosiolog Prancis menjelaskan ada empat unsur moralis yakni:
semangat disiplin, ikatan pada kelompok-kelompok sosial, otonomi atau penentuan
nasib sendiri. Penjelasan lengkap dapat dilihat pada tulisan Emile Durkheim,
Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, pen.
Lukas Ginting (Jakarta: ERLANGGA, t. t.), 13-90.
33
C. Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral, cet. pertama (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2008), 72.
34
Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral, 72.
35
Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral, 72.
36
Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral, 72.
23
menekankan pada tindakan moral sebagai respon terhadap bentuk-bentuk
perilaku moral. Selanjutnya kepercayaan eksistensial/iman juga dijelaskan
oleh C. Asri Budiningsih sebagai berikut:
Kepercayaan eksistensial (iman) merupakan suatu kegiatan universal
manusia. Setiap manusia memiliki kesadaran akan sejumlah kondisi
pembatas dan situasi batas dalam hidupnya, seperti kesadaran akan
kematian, konfrontasi eksistensi dengan batas-batas dan perasaan akan
keterbatasannya, pengalaman akan beban pilihan yang harus dijatuhkan
dalam situasi yang tidak menentu, pergumulannya dengan masalahmasalah eksistensial yang menantangnya untuk mengambil posisi, dan
sikapnya terhadap masalah tersebut. 37
Jadi, kepercayaan eksistensial/iman menurut Budiningsih lebih
kepada kesadaran hidup dan mati, pemilihan keputusan dan sikap terhadap
suatu pergumulan. Pengembangan strategi pembelajaran moral menurut
Budiningsih juga dapat dijadikan sebagai ciri pendidikan moral karena
berhubungan dengan penalaran yang bermoral (kognitif), berempati
terhadap orang lain (afektif) serta memiliki eksistensi iman atau kesadaran
terhadap hidup dan mati.
E. Kegiatan dan Tujuan Pendidikan
Wens Tanlain, Inggridwati Kurnia, A. Samana, G. Hardjanto,
Kusdarwati, Joseph Niron menekankan ciri-ciri pendidikan moral bangsa
pada kegiatan dan tujuanya. Perhatikan pernyataan Tanlain dan kawankawan:
Kegiatan-kegiatan pendidikan [pendidikan moral/kesusilaan] yang
mengutamakan berkembangnya kesadaran diri, pemahaman akan orang
lain, lingkungan serta norma yang dianut masyarakat. Tujuannya agar
anak didik mengerti diri dan kedudukannya sebagai warga masyarakat,
memahami apa yang baik dan apa yang buruk dan memiliki kata hati
37
Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral, 77.
24
untuk dapat menentukan sendiri mana yang baik yang harus dilakukan,
dan mana yang buruk yang harus tidak dilakukan sesuai dengan norma
yang ada.38
Jadi, dapat dinyatakan bahwa Tanlain dan kawan-kawan lebih
menekankan pendidikan moral pada kegiatan-kegiatan yang baik, supaya
mencapai tujuan yang baik pula. Kegiatan dan tujuan pendidikan menurut
Tanlain, dkk juga dapat dijadikan sebagai ciri pendidikan moral karena
berhubungan dengan kesadaran diri; memahami orang lain, lingkungan
serta norma; dan menentukan untuk melakukan yang baik.
F. Tujuan Pendidikan Islam
Yamin menjadikan tujuan pendidikan Islam sebagai dasar untuk
membangun karakter bangsa adalah ciri pendidikan moral bangsa, yang
meliputi: takwa, ilmu dan teknologi, dan akhlak. 39 Takwa artinya mendidik
masyakarat menjadi manusia yang memiliki kekokohan iman kepada Tuhan
Yang Masa Esa. Ilmu dan teknologi artinya mendidik bangsa untuk
mengalami transformasi namun tidak menurunkan wibawa ketaqwaan
kepada Tuhan. Akhlak artinya mengutamakan pendidikan yang berfokus
pada tindakan melakukan hal-hal yang baik. Tujuan pendidikan Islam
menurut Yamin juga dapat dijadikan sebagai ciri pendidikan moral karena
berhubungan dengan memiliki iman yang kokoh terhadap Tuhan, tetap
saleh di tengah-tengah perubahan/transformasi, dan tetap melakukan
tindakan-tindakan yang baik.
Implementasi pendidikan moral seperti yang dituliskan dalam
bahasa Yunani Μηδείσ ςου τῆσ νεότητοσ καταφρονείτω, ἀλλὰ τύποσ γίνου
38
Wens Tanlain, dan kawan-kawan, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), 90.
39
Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia: Belajar dari Paulo
Freire dan Ki Hajar Dewantara, peny. Meta, cet. pertama (Jogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2009), 24.
25
τῶν πιςτῶν ἐν λόγῳ, ἐν ἀναςτροφῇ, ἐν ἀγάπῃ, ἐν πίςτει, ἐν ἁγνείᾳ dalam
bahasa Arab bertuliskan
‫ فِي‬،‫وح‬
َ َّ‫ فِي الت‬،‫ بَلْ ُك ْه قُ ْد َوةً لِ ْل ُم ْؤ ِمنِيهَ فِي ْال َكالَ ِم‬،َ‫الَ يَ ْستَ ِه ْه أَ َح ٌد بِ َحدَاثَتِك‬
ِ ُّ‫صر‬
ِ ُّ‫ فِي الر‬،‫ فِي ْال َم َحبَّ ِت‬،‫ف‬
‫ فِي الطَّهَا َر ِة‬،‫ان‬
ِ ‫اإلي َم‬
ِ Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ”Jangan
seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah
teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah
lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” Jadi
berdasarkan
Kitab
Suci
tekanan
utama
dari
pendidikan
moral
terimplementasikan dalam bentuk keteladanan hidup baik dalam perkataan,
tingkah laku, kasih maupun kesetiaan; keteladanan juga semestinya tidak
ditentukan oleh faktor usia. Istilah ”teladan” dalam bahasa Yunani
menggunakan kata τυπος (tupos) artinya “a type, figure, pattern,” is
translated “figures” (i.e., representations of gods),”40 dalam bahasa Arab
menggunakan istilah ً ‫ قُ ْد َوة‬artinya ”an example.”41 Baik istilah ً ‫( قُ ْد َوة‬Bhs. Arab)
maupun istilah τύποσ (Bhs. Yunani) sama-sama merupakan kata benda yang
menekankan pada hal-hal yang menyangkut atau apa yang dimaksudkan dalam
keteladanan itu sendiri, yakni: kata-kata, tingkah laku, kasih, dan setia.
40
W. E. Vine, “An Expository Dictionary of New Testament Words,” in
Vine Complete Expository Dictionary of Old and New Testament Words (Old
Tappan, New Jersey: Fleming H. Revell Company, 1985), 235.
41
ArabBible – Version 5.3 for Windows 8 / 7 / Vista
26
BAB IV
KESIMPULAN
Pendidikan
moral
bangsa
Indonesia
adalah
pelaksanaan
pendewasaan masyarakat Indonesia atas nilai-nilai perilaku positif. Adapun
cirinya, menurut Kohlberg dicirikan dengan: kepatuhan, kesepakatan,
ketertiban, kontrak sosial dan etika universal. Menurut Durkheim dicirikan
dengan: semangat disiplin, keterikatan pada kelompok-kelompok sosial
yang ditunjukkan dengan mengutamakan kepentingan orang lain dan
otonomi atau penentuan nasib sendiri yang efektif. Menurut Haricahyono
dicirikan dengan: perhatian untuk memenuhi kebutuhan orang lain,
mengevaluasi kepentingan yang berbeda berdasarkan ukuran yang benar
yang diakui secara umum dan melakukan sesuatu dengan lebih baik.
Menurut Djohar dicirikan dengan: kemampuan beradaptasi terhadap
lingkungan, bersikap demokratis, memahami kewajiban-kewajiban dan hakhak terhadap pemerintah dan masyarkat, menekankan kualitas hidup, serta
keseimbangan antara teori moral dan praktek. Menurut Gandjarrahardja
dicirikan dengan tindakan yang melebihi kualitasnya atau di atas ukuran
rata-rata. Menurut Budiningsih dicirikan dengan: penalaran yang bermoral
(kognitif), berempati terhadap orang lain (afektif) serta memiliki eksistensi
iman atau kesadaran terhadap hidup dan mati. Menurut Tanlain, dkk
dicirikan dengan: kesadaran diri; memahami orang lain, lingkungan serta
norma; dan menentukan untuk melakukan yang baik. Menurut Nata
dicirikan dengan: jujur, adil, ikhlas, sabar, saleh, bersyukur, memelihara diri
dari
dosa,
bersyukur,
berpikiran
positip,
suka
menolong,
dan
mengampuni/pemaaf. Menurut Sudarsono dicirikan dengan: hidup jujur,
terbuka, beranian mengambil resiko, bertanggung jawab, konsisten
(memenuhi komitmen), dan berbaik haati (berbagi). Menurut Yamin
dicirikan dengan: iman yang kokoh terhadap Tuhan, tetap saleh di tengah-
27
tengah perubahan/transformasi, dan tetap melakukan tindakan-tindakan
yang baik.
Saatnyalah bangsa Indonesia membangun (mendidik) moral secara
perorangan yang dibuktikan dengan sikap hidup yang menyadari atau
mengutamakan kepentingan orang lain, bukan bergantung pada mentalitas
imperatif/perintah melainkan lahir dari diri sendiri yang tidak dipengaruhi
oleh lingkungan atau suasana politik. Dengan demikian bangsa Indonesia
akan terbangun moralnya (misalnya: tertib berlalu lintas, politik tertata baik,
pemerintah mengayomi rakyat, dan lain sebagainya). Tugas membangun
moral bangsa tersebut ada dalam tanggung-jawab birokrat, politisi,
akademisi, pemimpin agam, dalam hal ini disebut masyarakat dan harus
dilakukan sesuai dengan UU Sistem Pendidikan Nasional 2003. Pendidikan
moral semestinya tidak lagi hanya menjadi wacana dengan sejumlah aturanaturan atau teori-teori lagi, namun harus implementasikan (diterapkan)
dalam bentuk keteladanan.
28
KEPUSTAKAAN
ArabBible – Version 5.3 for Windows 8 / 7 / Vista
Budiningsih, C. Asri Pembelajaran Moral. Cetakan Pertama. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2008.
Burham,
Retnaningsih.
Peningkatan
Pembelajaran
Dalam
Sistem
Pendidikan Nasional Indonesia: Tinjauan Pendidikan Sekolah dan
Pendidikan Luar Sekolah. Cetakan pertama. Jakarta: UNJ Press,
2008.
Back, Clive M. Moral Education: Interdisciplinary Approaches. Toronto:
University of Toronto Press, 1971.
Dewey, John. Democrasy and Education. New York: Macmilan, 1961.
Djohar. Pendidikan Strategik Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan.
Yogyakarta: LESFI, 2003.
Durkheim, Emile. Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi
Sosiologi Pendidikan. Diterjemahkan oleh Lukas Ginting. Jakarta:
ERLANGGA, t. t.
Gandjarrahardja, Hatidjo. Pendidikan Moral Bangsa. Jurnal pendidikan,
No. I/XX/2001.
https://pentingbelajar.wordpress.com/asas-asas-pendidikan/asas-tut-wurihandayani/ diakses tanggal 28 Mei 2012.
29
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/1954120719
81121-AHMAD_NAWAWI/Pendidikan_Nilai_Moral.pdf
diakses
tanggal 28 Mei 2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Talmud diakses tgl 28 Mei 2012.
Haricahyono, Cheppy. Dimensi-dimensi Pendidikan Moral. Semarang:
IKIP Semarang Press, 1995.
Kohlberg, Lawrence. Tahap-tahap Perkembangan Moral. Diterjemahkan
oleh John de Santo, Agus Cremers. Disunting oleh John de Santo.
Yogyakarta: KANASIUS, 1995.
Lorens, Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Lewis, C. S. Mere Christianity. New York: Macmillan, 1973.
Nasution, S. Sosiologi Pendidikan. Cetakan Pertama. Jakarta: Bumi Aksara,
1995.
Nata, Abuddin. Manajemen Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2003.
Sudarsono, Soemarno Character Building Membentuk Watak. Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo, 2002.
Sairin, Weinata. Penyuntung. Himpunan Peraturan di Bidang Pendidikan.
Cetakan pertama. Jakarta: Media Prima Aksara, 2012.
Tanlain, Wens, dan kawan-kawan. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 1996.
30
Undang-undang Sistem Pemuridan Nasional. Bandung: Fokusindo Mandiri,
2012.
Vine, W. E. Vine Complete Expository Dictionary of Old and New
Testament Words. Old Tappan, New Jersey: Fleming H. Revell
Company, 1985.
Wilson, John dan kawan-kawan. Introduction to Moral Education.
Harmondsworth, England: Penguin, 1967.
Yamin, Moh. Menggugat Pemuridan Indonesia: Belajar dari Paulo Freire
dan Ki Hajar Dewantara. Penyunting Meta. Cetakan pertama.
Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.
31
Download