PENDIDIKAN MORAL MEMBENTUK KARAKTER BANGSA INDONESIA Oleh Dr. Hannas, Th.M, M.Th BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan Pendidikan moral semestinya sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang diamanatkan melalui Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab II pasal 3 yang berbunyi: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.1 Fungsi dalam mengembangkan kemampuan dan pembentukan watak itulah dalam konteks ini kemudian disebut pendidikan moral. Keberadaan pendidikan moral tersebut adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadi media untuk mewujudkan pribadi yang bermoral. Untuk mewujudkan efektivitas pendidikan moral, diperlukan rancang bangun yang terencana. Karena pendidikan moral erat hubungannya dengan pendidikan dalam agama. Di dalam peraturan 1 Undang-undang Sistem Pemuridan Nasional (Bandung: Fokusindo Mandiri, 2012), 6. 1 pemerintah RI nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan bab II, pasal 1-2 menyatakan: (1) Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama. (2) Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. 2 Melalui fungsi dan tujuan pendidikan agama di atas diketahui bahwa pendidikan agama sangat mendukung pendidikan moral. Salah satu implementasi dari sinergi pendidikan agama dan moral adalah melalui materi yang diajar dan keteladanan pelaku sebagai proses pembelajaran. Pendidikan moral merupakan investasi yang sangat berharga bagi kemajuan bangsa. Moh. Yamin memberikan penjelasan terkait bahwa: Yang jelas, karakter berbangsa dapat ditelusuri apabila semua masyarakat dalam suatu bangsa telah kuat. Diakui maupun tidak, pendidikan menjadi media terpenting dan utama guna membangun potensi kemanusiaan yang berkarakter kemanusiaan dan berperilaku santun antar sesama. Pendidikan dapat mengembangkan jati diri kemanusiaan yang berdaulat dan bermartabat, bahkan bisa melahirkan masyarakat yang beradab dan berbudaya ketika Pendidikan betul-betul menjadi dan dijadikan tulang punggung sebuah perjalanan bangsa ke depan.3 Jadi pendidikan moral sangat dibutuhkan untuk membangun karakter bangsa menjadi baik. Pendidikan moral menjadi solusi atas 2 Weinata Sairin, penyuntung, Himpunan Peraturan di Bidang Pendidikan, cetakan pertama (Jakarta: Media Prima Aksara, 2012), 120. 3 Moh. Yamin, Menggugat Pemuridan Indonesia: Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara, penyunting Meta, cetakan pertama (Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), 23-24. 2 permasalahan moral yang terjadi di negeri ini, sehingga Indonesia dapat menjadi bangsa yang semakin bermartabat dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. B. Tujuan Penulisan Tujuan utama penulisan terkait dengan pendidikan moral adalah agar bangsa Indonesia menjadi bangsa bermartabat. Krisis moral yang berkembang dalam suatu bangsa, secara keseluruhan akan sangat membahayakan kelangsungan hidup bangsa, seperti munculnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Tugas pencerahan moral adalah tanggung jawab semua pihak. Para pendidik Pendidikan bertugas mencari solusi dan menunjukkan kemampuannya yang prima untuk melakukan proses Pendidikan. Bangsa Indonesia membutuhkan Pendidikan yang membentuk karakter bangsa yang memahami kondisi bangsa dalam segala aspek kehidupan. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Yamin: Sedangkan pendidikan, harus memuat nilai-nilai kepentingan dan pengalaman. Ini dipahami bahwa pendidikan [Pendidikan] tidak serta merta bersifat teoritis. Akan tetapi, Pendidikan harus pula bersifat praksis. Pendidikan betul-betul mencerminkan sebuah proses pendidikan yang menyeluruh (holistik), mengglobal, dan mendalam. Pendidikan dalam konteks demikian dapat membentuk sebuah karakter bangsa yang betul-betul menandakan sebuah keberpahaman kondisi bangsa secara integral dalam segala bidang kehidupan. Oleh karena itu, ketika hal-hal demikian dapat dilakoni dengan sedemikian baik dan tegas, sangat mungkin karakter bangsa yang diidealkan bersama dapat terealisasi dengan sedemikian konkret dan praksis. 4 4 Yamin, Menggugat Pemuridan Indonesia: Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara, 24. 3 Jadi jelaslah bahwa untuk mencapai tujuan membangun martabat bangsa melalui pendidikan moral harus dilakukan bersama-sama baik oleh msayarakat maupun pemerintah. C. Batasan Penulisan Penulis membatasi tulisan pendidikan moral bangsa Indonesia pada: sistem pendidikan moral, sejarah perkembangan pendidikan moral, dan pendidikan moral membentuk karakter bangsa. Hal ini dilakukan agar penulisan tidak menjadi melebar (terlalu luas). Pembatasan dilakukan juga bertujuan agar penulis dapat menulis terfokus pada pendidikan moral yang dikontekstualisasikan sesuai kebutuhan di Indonesia. 4 BAB II SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DAN SEJARAH PERKEMBANGAN PENDIDIKAN MORAL A. Sistem Pendidikan Nasional Pendidikan di Indonesia mengalami berbagai tahap perkembangan hal tersebut dapat diketahui melalui Undang-undang Pendidikan Indonesia. Retnaningsih Burham sebagai Profesor atau ahli pendidikan menguraikan bahwa: Pendidikan di Indonesia sejak kemerdekaan pada tahun 1945 mengalami berbagai tahapan perkembangan. Undang-undang pendidikan Indonesia pertama-tama dirumuskan pada tahun 1950, berbunyi “Membentuk manusia susila yang cakap warga Negara yang demokratis serta bertanggung-jawab pada tanah air dan bangsa” (UU Pendidikan No. 4 tahun 1950). Rumusan ini telah ditinjau kembali dari masa ke masa sesuai perkembangan dan kebutuhan bangsa Indonesia. Dengan rahmat Tuhan Yang Masa Esa, bangsa Indonesia dewasa ini telah memiliki Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional yang menggantikan Undang-undang nomor 2 tahun 1989. Pembaharuan pendidikan ini merupakan jawab terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks ruang lingkup sosial pada era globalisasi ternologi informasi dan komunikasi saat ini. 5 5 Retnaningsih Burham, Peningkatan Pembelajaran Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia: Tinjauan Pendidikan Sekolah dan Pendidikan Luar Sekolah, cetakan pertama (Jakarta: UNJ Press, 2008), 5. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) terdapat di UUD RI no. 20 tahun 2003 bagian Ketentuan Umum bab I, Pasal 1 menyatakan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang baik agar perserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, Bandung: Fokusmedia, 2003, halaman 3). 5 Sistem pendidikan nasional yang diterapkan saat ini merupakan jawab terhadap kebutuhan masyarakat yang hidup di tengah-tengah perkembangan teknologi informatika dan komunikasi. Hal lain yang perlu diperhatikan sehubungan dengan sistem pendidikan nasional adalah asas dan landasan; tujuan dan fungsi pendidikan nasional. 1. Asas dan Landasan Sistem Pendidikan Nasional Asas sistem pendidikan nasional dibangun dari tiga asas yang menyatu dalam satu kesatuan. Sebagai asas pertama, tut wuri handayani merupakan inti dari sitem Among perguruan. Asas yang dikumandangkan oleh Ki Hajar Dwantara ini kemudian dikembangkan oleh Drs. R.M.P. Sostrokartono dengan menambahkan dua semboyan lagi, yaitu Ing Ngarso Sung Sung Tulodo dan Ing Madyo Mangun Karso. Kini ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan asas yaitu: Ing Ngarso Sung Tulodo (jika di depan memberi contoh), Ing Madyo Mangun Karso (jika ditengah-tengah memberi dukungan dan semangat) Tut Wuri Handayani (jika di belakang memberi dorongan). 6 Ing Ngarso Sung Tulodo dan Ing Madyo Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani merangkum adanya menyatakan kemandirian dalam belajar, dan belajar sepanjang hayat. Selain ada tiga asas untuk sistem pendidikan nasional, maka sistem pendidikan nasional juga didasarkan pada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika. Sistem pendidikan dilakukan berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar 1945. Sistem pendidikan Nasional juga dilakukan berdasarkan Bhinneka Tunggal Ika, keadilan dan pemerataan, keteladanan dan bimbingan, pendidikan seumur hidup, tanggungjawab 6 https://pentingbelajar.wordpress.com/asas-asas-pendidikan/asas-tut-wurihandayani/diakses tanggal 28 Mei 2012. 6 bersama, menyeluruh dan terpadu. Landasan Bhinneka Tunggal Ika mengandung konsekuensi akan memperkuat kesatuan dan persatuan bangsa. Landasan keadilan dan pemerataan harus dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat sehingga bakat, kemampuan dan minat tiap warga negara dapat terwujud tanpa membedakan suku bangsa, ras, agama atau derajat sosial ekonominya, selain itu diungkapkan bahwa tanggungjawab bersama secara menyeluruh dan terpadu berarti bahwa sistem pendidikan nasional mencakup segala jenis pendidikan serta merupakan satu kesatuan dengan unsur-unsur yang terkait.7 Sistem pendidikan nasional yang berlandaskan Pancasila, Undangundang Dasar 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika tersebut dilakukan seumur hidup, penuh tanggungjawab, bersifat menyeluruh, merata, terpadu dan menjadi alat pemersatu bangsa Indonesia. 2. Tujuan Sistem Pendidikan Nasional Secara sederhana tujuan diadakannya sistem pendidikan nasional adalah agar bangsa Indonesia menjadi manusia yang beriman, berilmu dan bertanggung-jawab. Penjelasan tujuan Pendidikan Nasional yang tercantum dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Pasal 3 adalah membuat bangsa Indonesia menjadi cerdas, beradab, dan bermartabat. Burham memberikan penjelasan bahwa: Pendidikan nasional dengan sistem yang tersedia harus mengembangkan kemampuan dan membentuk watak peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan potensi perserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, 7 Burham, Peningkatan Pembelajaran Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia: Tinjauan Pendidikan Sekolah dan Pendidikan Luar Sekolah, 7. 7 sehat, mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggungjawab pada bangsa dan Negara. 8 Tujuan sistem pendidikan nasional yang dijelaskan di atas tercapai bila potensi perserta didik (masyarakat Indonesia) diasah melalui pendidikan formal maupun informal. 3. Fungsi Sistem Pendidikan Nasional Adanya sistem pendidikan nasional diharapkan dapat melakukan fungsinya yakni mengembangkan potensi masyarakat Indonesia dan membangun bangsa Indonesia. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Burham bahwa: Sistem Pendidikan Nasional berfungsi untuk: a. Mengembangkan potensi manusia Indonesia b. Membangun bangsa dalam mewujudkan tujuan nasional. Warga peserta didik pada dasarnya berhak menerima bantuan dari pemerintah berdasarkan syarat-syarat tertentu. Bantuan itu dapat berupa pemberian fasilitas belajar dan/atau pembebasan dari kewajiban tertentu yang menyangkut biaya pendidikan. Setiap warganegara wajib mengikuti pendidikan, sehingga memiliki kemampuan dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan kemampuan dan keterampilan tamatan pendidikan dasar. Oleh karena itu dalam rangka pelaksanaan wajib belajar, setiap warganegara Indonesia diberi kesempatan memperoleh pendidikan dasar yang dapat membela dirinya dengan kemampuan membaca, menulis, berhitung dan berbahasa Indonesia. 9 8 Burham, Peningkatan Pembelajaran Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia: Tinjauan Pendidikan Sekolah dan Pendidikan Luar Sekolah, 7. 9 Burham, Peningkatan Pembelajaran Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia: Tinjauan Pendidikan Sekolah dan Pendidikan Luar Sekolah, 7. 8 Untuk mewujudkan fungsi sistem pendidikan nasional tersebut pemerintah semestinya memfasilitasi baik dari segi dana maupun sarana, dan masyarakatpun wajib mengikuti pendidikan tersebut, minimal pendidikan dasar. B. Sejarah Perkembangan Pendidikan Moral Sejarah perkembangan konsep pendidikan moral menjadi penting untuk dijadikan pelajaran guna membangun pendidikan moral yang lebih baik di Indonesia. Adapun sejarah perkembangan yang dimasudkan meliputi: konsep pendidikan moral di zaman klasik, konsep pendidikan moral di abad XVIII – XIX, konsep pendidikan moral mutakhir. 1. Konsep Pendidikan Moral di Zaman Klasik Konsep pendidikan moral di zaman klasik meliputi berbagai zaman yakni: Yahudi Kuno, Romawi Kuno, abad Pertengahan, Renaissance, Reformasi, dan Realisme. Secara historis pendidikan moral di zaman klasik menunjukkn ciri yang khas, meliputi: pertama, pada zaman Yahudi Kuno moral dicirikan dengan adanya pemahaman bahwa Allah lebih menyukai hal-hal yang baik ketimbang hal-hal yang buruk (zaman Yahudi Kuno). Melalui Talmud10 dijelaskan bahwa persepsi masyarakat Yahudi Kuno tentang eksistensi Tuhan bersifat monotheistik (Allah yang Esa) dan tidak dipahami sebagai dewa-dewa sehingga perintah-perintahNya dapat diterima 10 Talmud atau enam tatanan dapat dijelaskan sebagai berikut: Tatanan Pertama: Zeraim ("Benih"). 11 traktat. Membahas doa dan berkat, tithes, dan hukum-hukum pertanian. Tatanan Kedua: Moed ("Hari-hari Raya"). 12 traktat. Berkaitan dengan hukum-hukum Sabat dan Hari-hari Raya. Tatanan Ketiga: Nashim ("Perempuan"). 7 traktat. Berkaitan dengan pernikahan dan perceraian, beberapa bentuk sumpah dan hukum-hukum tentang orang Nazir. Tatanan Keempat: Nezikin ("Ganti rugi"). 10 traktat. Berkaitan dengan hukum sipil dan kriminal, cara kerja pengadilan dan sumpah. Tatanan Kelima: Kodashim ("Hal-hal yang suci"). 11 traktat. Berkaitan dengan ritus-ritus korban, Bait Suci, dan hukumhukum yang mengatur apa yang boleh dan tak boleh dimakan. Tatanan Keenam: Tohorot ("Kesucian"). 12 traktat. Berkaitan dengan hukum-hukum ritual kesucian. http://id.wikipedia.org/wiki/Talmud diakeses tanggal 28 Mei 2012. 9 dan dilakukan. Moral hidup juga diajarkan begitu rupa dalam ”tatanan” tersebut sehingga pendidikan moral dapat dinyatakan berjalan dengan baik. Kedua, pada zaman Yunani Kuno moral dicirikan dengan memprioritaskan penerapan moral ketimbang teori-teori moral dan menerapkan pendisiplinan diri. Ketiga, pada zaman Romawi Kuno moral dicirikan melalui penekanan bahwa guru harus memiliki moralitas dan integritas serta mengupayakan setiap anak didik bermoral. Keempat, pada zaman abad pertengahan moral dicirikan dengan mengutamakan hubungan yang baik dengan Tuhan dan sesama yang dimediasi melalui belajar kateketik/agama, sehingga kesucian hidup, kesederhanaan hidup, kepatuhan menjadi tekanan utama. Kelima, pada zaman Renaissance moral dicirikan dengan melakukan kasih sebagaimana yang diajarkan oleh Yesus Kristus sebagai solusi terhadap krisis moral pada zaman tersebut. Keenam, pada zaman Reformasi moral dicirikan dengan sola fide (hanya oleh iman), beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadikan setiap orang mengalami pengampunan dosa, berdoa, membaca Kitab Suci sehingga dapat menguasai diri dalam berkata-kata dan bertindak. Ketujuh, zaman Realisme moral dicirikan dengan apa yang disebut sebagai ”kontak sosial”, dimana setiap orang dengan penuh kesadaran akan menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah dan pemerintahpun akan menjamin hak-hak dari setiap warganya. Secara historis ciri-ciri pendidikan moral di zaman klasik tersebut sangat berhubungan dengan pendidikan moral bangsa Indonesia. 2. Konsep Pendidikan Moral di Abad XVIII – XIX Pendidikan moral di abad XVIII – XIX mengembangkan konsep dalam pemikiran-pemikiran politik, ekonomi dan keilmuan lainnya. Perubahan yang menonjol yang terjadi di abad ini bila dihubungkan dengan pendidikan moral adalah adanya pemisahan antara gereja dan negara. Pendidikan moral diajarkan di lingkungan keluarga, gereja dan sekolah. Tokoh pendidik yang terkenal di abad ini adalah Jean Jacques Rousseau 10 (1712-1778), Immanuel Kant (1724-1804), Johann Heinrich Pestalozzi (1746-1827). Kant memberikan penekanan pada hukum-hukum moral bersifat absolut, sehingga dikenal dengan “kategorikal – imperatif” yang menyatakan “bertindaklah hanya dalam hukum universal.” Dalam pandangan Kant, ada tiga ide abadi yang bersifat universal, yaitu kebebasan, kekekalan jiwa, dan eksistensi Tuhan. Kebebasan dibutuhkan untuk membuat pilihan-pilihan moral; kekekalan jiwa dibutuhkan agar supaya ketidak-adilan dalam hidup ini dapat diluruskan; sementara Tuhan, oleh Kant, tidak dilihat sebagai pribadi, seperti Jehovah misalnya, akan tetapi lebih dipandang sebagai kekuatan moral yang senantiasa hadir dalam diri manusia. Pendidikan moral, baik yang diselenggarakan oleh agama maupun sekolah, menjadi penting oleh karena dengan pendidikan moral kesadaran yang ada pada diri manusia dapat diarahkan untuk menghasilkan pemahaman yang selanjutnya juga mengarahkan manusia untuk memenuhi tanggungjawab moral dan menemukan makna dalam kehidupan ini. 11 Menurut Kant pendidikan adalah pekerjaan yang mulia baik bagi pendidikan maupun peserta didik, pendidikan moral lebih penting dibanding melibatkan diri dalam upacara-upacara keagamaan. Ciri pendidikan moral di abad XVIII – XIX diwakili oleh pengajaran Kant yang menekankan hidup disiplin, tanggung-jawab yang tentunya juga menjadi ciri dari pendidikan moral bangsa Indonesia. 3. Konsep Pendidikan Moral Mutakhir Konsep pendidikan moral yang mutakhir yang terjadi di abad XX – XXI dapat dilihat melalui tiga tokoh utama yakni: John Dewey, Lawrence Kohlberg dan John Wilson. Ketiga pakar pendidikan moral tersebut bukan dari Indonesia, namun penulis telah menyelidiki bahwa ciri pendidikan 11 Cheppy Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), 47. 11 moral yang disampaikan cocok untuk konteks Indonesia, sehingga perlu juga diperhatikan. a. Konsepsi John Dewey Konsep Dewey menyatakan bahwa pendidikan menempati posisi penting dalam berbagai upaya intelligent guna mencapai tujuan, sedangkan moralitas diposisikan sebagai sentral dari pelbagai upaya pendidikan. Dewey menyatakan bahwa moral ikut bertanggung-jawab terhadap kegagalan untuk memahami tujuan dan nilai yang dibutuhkan di dalam pendidikan tidak lain adalah moral itu sendiri.12 Jadi, peran moral begitu penting untuk mengembangkan pendidikan. Melalui pendidikan diperoleh pengalaman sebagai sarana pertumbuhan yang dibutuhkan oleh setiap orang. Hal yang sama dijelaskan oleh Haricahyono, bahwa: Menurut Dewey, perhatian terhadap masalah-masalah moral haruslah terliput dalam semua kegiatan pendidikan, sementara pengalaman dapat saja muncul dari pelbagai dimensi kehidupan manusia, seperti dalam bahasa, perbagai pranata, kebiasaan atau adat istiadat, cita-cita, penderitaan, dan pelbagai konstruk lainnya. Pengalaman ada dalam dunia sosial (dalam arti seluas-luasnya), dalam dunia pengalaman manusia itu sendiri, dalam perjuangan dan konflik, bahkan dalam pelbagai situasi yang penuh dengan signifikansi ataupun kehancuran moral. Kesemuanya adalah satu dunia dimana pendidikan, sebagai rekonstruksi pengalaman dan sarana pertumbuhan, merupakan realitas yang dibutuhkan setiap orang dan tidak dapat ditolak urgensinya. 13 Dewey mengakui bahwa permasalah yang menonjol dalam pendidikan moral di sekolah-sekolah adalah menjaga hubungan antara pengetahuan dan tindakan. Jadi Dewey tidak menilai pendidikan moral 12 John Dewey, Democrasy and Education (New York: Macmilan, 1961), 359. [Terjemahan Langsung.] 13 Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral, 58. 12 sebagai kegiatan yang berdiri sendiri sebab permasalahan moral harus mencakup dalam semua aspek pendidikan, bukan hanya pada pendidikan moral. Pemikiran Dewey yang paling menonjol dari “filasafat pendidikan moral” adalah menghubungkan pendidikan moral dengan kebutuhan masyarakat demokratis. Jadi, ciri pendidikan moral menurut Dewey terlihat melalui kehidupan masyarakat yang demokrasi hal ini tentu juga menjadi ciri dari pendidikan moral bagi bangsa Indonesia. b. Konsepsi Lawrence Kohlberg Konsep Kohlberg menyatakan bahwa setiap manusia memiliki moral philosopher (filsuf moral), hal tersebut disebabkan oleh adanya bentuk pemikiran moral yang bersifat universal yang disebut sebagai tahaptahap perkembangan moral kognitif 14 yang berlangsung secara berurutan, sekalipun perkembangan masing-masing individu bervariasi, bahkan tidak menutup kemungkinan ada individu yang cukup lama bertahan pada salah satu tahap. Pendidikan moral menurut Kohlberg adalah upaya untuk membantu peserta didik guna mencapai tahap perkembangan yang sesuai dengan kesiapan mereka, sehingga pola-pola ekternal tidak boleh dipaksakan. Pendidik wajib memperkenalkan berbagai masalah konflik moral yang realistik. Kohlberg adalah sosok pendidik yang telah menggerakkan masyarakat luas untuk mengerti betapa pentingnya pendidikan moral, beliau juga memiliki kemampuan mengembangkan materi dan menjadi aktivis pendidik moral di berbagai sekolah dan negara. Jadi, ciri pendidikan moral 14 Clive M. Back, Moral Education: Interdisciplinary Approaches (Toronto: University of Toronto Press, 1971), 34. [Terjemahan Langsung.] Tahaptahap perkembangan yang dimaksud meliputi: I. Preconventional Level [Tingkat Pra conventional] concern for external consequences to self [kepedulian terhadap konsekuensi eksternal diri]. II. Conventional Level [Tingkat Konvensional] concern for meeting external social expectations [perhatian untuk memenuhi harapan sosial eksternal]. III. Principled Level [Tingkat berprinsip] concern for fidelity to self-chosen moral fidelity [kepedulian terhadap kesetiaan yang dipilih sendiri kesetiaan moral]. 13 menurut Kohlberg ditunjukkan melalui kepedulian/perhatian terhadap orang lain, hal ini dapat juga dijadikan ciri dari pendidikan moral untuk bangsa Indonesia. c. Konsepsi John Wilson Konsep Wilson menyatakan bahwa pengembangan pendidikan moral baik secara teoritis maupun praktis harus dimulai dengan menemukan komponen-komponen atau atribut-atribut yang diperkirakan mampu menopang pembentukan sosok pribadi yang terdidik secara moral. 15 Jadi, moral berfungsi untuk mengembangkan sikap seseorang terhadap yang lainnya secara baik. Wilson menempatkan makhluk moral sebagai sosok pribadi yang terdidik secara moral, yang dimanifestasikan pada tingkah laku, berbagai motif, alasan dan sasaran-sasaran yang akan dicapai. Selanjutnya beliau juga menyatakan bahwa pendidikan moral yang rasional menjadikan sekolah sebagai pembentuk nalar moral dan menguasai isi/materi. Wilson adalah sosok yang telah memperjelas prosedur dan kriteria pendidikan moral. Jadi, ciri pendidikan moral menurut Wilson ditunjukkan melalui karakter yang baik, hal ini juga dapat dijadikan ciri dari pendidikan moral bangsa Indonesia. Setelah penulis menguraikan tiga tokoh pendidikan moral mutakhir, maka dapat diberi kesimpulan bahwa konsep pendidikan moral menurut Dewey menitik beratkan pada kepentingan masyarakat. Konsep pendidikan moral menurut Kohlberg didasarkan pada hirarkhi tahap-tahap perkembangan psikologis. Konsep pendidikan moral menurut Wilson didasarkan pada menemukan komponen-komponen yang secara logis diperlukan untuk menjadi pribadi yang terdidik secara moral. 15 John Wilson dan kawan-kawan, Introduction to Moral Education (Harmondsworth, England: Penguin, 1967), 60. [Terjemahan Langsung.] 14 BAB III PENDIDIKAN MORAL MEMBENTUK KARAKTER BANGSA INDONESIA A. Pentingnya Pendidikan Moral Pendidikan16 moral17 menjadi penting dikarenakan pelbagi latar (setting) seperti sekolah, keluarga dan tempat-tempat kerja atau sarana pembentuk moral lainnya mengabaikan pendidikan moral. Di samping itu para pendidik juga menjadi lemah atau gagal untuk mengkonkritkan pemenuhan kebutuhan pendidikan moral. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Haricahyono: Dengan mengukur idealisasi semacam itu dapat dimengerti bahwa pendidikan moral begitu diabaikan dalam pelbagai latar (setting) seperti sekolah, keluarga, dan tempat-tempat kerja lainnya. Para pendidik agaknya mengalami kegagalan dalam menempatkan alasan (moril) praktis oleh karena, sebagaimana dikemukakan di atas, alasan praktis bukanlah satu hal yang serba pasti, bukan satu persoalan yang dikendalikan oleh hukum, bukan pula satu mesin logika, dan yang jelas: lemah. Para pendidik sering kali juga gagal mengkonkritkan kebutuhankebutuhan umum oleh karena kurangnya idelisasi moral dalam artian 16 Pendidikan adalah proses mengajar dan belajar pola-pola kelakukan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat (S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, cetakan pertama. Jakarta: Bumi Aksara, 1995, halaman 10). Pendidikan diartikan sebagai proses sosialisasi, yaitu sosialisasi nilai, pengetahuan, sikap, dan keterampilan (Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2000, halaman 54-55). Nasution dan Gunawan lebih memahami pendidikan sebagai proses belajar mengajar atau bersosialisasi terkait dengan apa yang dipikirkan, pemahaman, dan perilaku yang berlaku di masyarakat. 17 Secara etimologi istilah moral berasal dari bahasa Latin mos; moris yang artinya adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan; mores yang artinya adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak (Bagus Lorens, Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, halaman 672.) 15 moral sense [moral yang masuk akal] dan moral consensus [moral yang konsensus].18 Untuk menangani kegagalan tersebut, maka dibutuhkan keseriusan ataupun kerjasama dari berbagai pihak baik dari keluarga, masyarakat maupun tenaga pendidik, sehingga bisa dirumuskan langkah-langkah unggul guna menerapkan pendidikan moral yang baik. Beberapa faktor pendorong yang menyebabkan pendidikan moral di Indonesia perlu ditingkatkan. Pertama, bahwa pendidikan moral pada dasarnya tidak hanya diajarkan melalui mata pelajaran di sekolah, namun juga dapat diajarkan oleh alim ulama, keluarga dan keteladanan hidup. Media massa sebagai sarana pendukung juga dapat digunakan mendukung pendidikan moral. Di tingkat Perguruan Tinggi, waktu yang dialokasikan untuk pendidikan moral kurang lebih 2 (dua) sampai 4 (empat) SKS dalam satu semester, yang tercermin dari SK MENDIKNAS nomor 232/U/2000. 19 Kedua, bahwa kurikulum mensinergikan setiap materi sekolah pelajaran formal dengan belum mampu nilai-nilai atau norma masyarakat dan agama sesuai proporsi minimal.20 Lewis berpendapat bahwa kehidupan manusia tidak bisa terhindar dari moral. 21 Alasan pertama, manusia selalu memiliki keinginan baik dan 18 Cheppy Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), 204. 19 Pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa kelompok matakuliah pengembangan kepribadian (MPK) pada kurikulum inti yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi/kelompok program studi terdiri atas pendidikan Pancasila, pendidikan Agama dan pendidikan Kewarganegaraan. Ketiga matakuliah tersebut diberikan selama 6 semester untuk tingkat Sekolah Menengah dan 8-10 semester untuk tingkat Perguruan Tinggi, walaupun tidak disajikan dalam setiap semester. 20 Salah satu buktinya adalah jumlah jam pelajaran agama dan budi pekerti di SD, SMP, atau SMU yang hanya 2 (dua) sampai 4 (empat) jam perminggu dari total jam 34 sampai 42 jam perminggu. Namun disisi lain KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) sebenarnya lebih bisa diatur, sehingga kebutuhan ini bisa terakomodasi dan terpenuhi. Sumber http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195412071981121AHMAD_NAWAWI/Pendidikan_Nilai_Moral.pdf diakses tanggal 28 Mei 2012. 21 C. S. Lewis, Mere Christianity (New York: Macmillan, 1973), 21. [Terjemahan Langsung.] 16 bermoral. Kedua, kenyataanya manusia sering melanggar (bertingkah laku tidak baik). Kedua alasan di atas mendasari manusia memiliki kemampuan untuk memilih apakah memilih alasan pertama atau kedua. Ketiga, bahwa pendidikan di Indonesia walaupun telah menekankan pada kompetensi lulusan, namun prakteknya lebih berorientasi pada kecenderungan akademis, formalistik dan bernuansa politis. Keempat, meningkatnya kasus tawuran antar pelajar/mahasiswa, seks bebas, penggunaan obat terlarang, dan berbagai kejahatan lainya yang menunjukkan dampak dari hasil Pendidikan moral bangsa. Data tersebut menunjukkan bahwa tawuran di antara pelajar semakin meningkat, hal ini berarti penanganan pendidikan moral harus dilakukan lebih serius. Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk mengatasi masalah pendidikan moral tersebut. Pendidikan di Indonesia semestinya dikembalikan kepada fungsi utamanya yakni membangun moral atau karakter bangsa, itulah sebabnya dibutuhkan paradigma baru yang menghasilkan generasi adaptif terhadap Ipoleksosbudhankam (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan) bangsa. Indonesia adalah bangsa yang sangat menyadari betapa pentingnya pendidikan moral di negeri ini. Pendidikan moral tersebut dapat dilakukan baik secara formal, informal dan nonformal. S. Nasution menjelaskan lebih lanjut bahwa “melalui pendidikan moral terbentuklah kepribadian seseorang. Boleh dikatakan hampir seluruh kelakuan individu bertalian dengan atau dipengaruhi oleh orang lain.”22 Jadi, jelaslah bahwa melalui Pendidikan moral kepribadian atau kelakukan setiap orang dapat diperbaiki menjadi baik. Melalui Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan bangsa Indonesia bisa melakukan perbaikan moral. 22 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, cet. pertama (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 11. 17 B. Pembentukan Moral Bangsa Menurut Sudarsono ciri pendidikan moral bangsa terlihat pada pembentukan moral bangsa, yang meliputi: (1) Kejujuran; (2) Keterbukaan; (3) Keberanian mengambil resiko; (4) Bertanggung jawab; (5) Memenuhi komitmen; dan (6) Kemampuan berbagi. 23 Menurut penulis keenam ciri yang diusulkan oleh Sudarsono relevan untuk dilakukan bagi kepentingan pendidikan moral bangsa Indonesia. Pembentukan moral bangsa menurut Sudarsono juga dapat dijadikan sebagai ciri pendidikan moral karena berhubungan dengan hidup jujur, terbuka, beranian mengambil resiko, bertanggung jawab, konsisten (memenuhi komitmen), dan berbaik haati (berbagi). Djohar melihat ciri pendidikan moral atau pembentukan karakter bangsa dapat dilakukan melalui: (1) Pendidikan yang kontekstual atau transformatif; (2) pendidikan yang menumbuhkan kesadaran secara vertikal maupun horizontal; (3) menempatkan institusi pendidikan di tengah-tengah pergaulan masyarakat luas baik lokal maupun global; serta (4) memiliki muatan pendidikan yang seimbang antara kepentingan dan pengalaman.24 Pendidikan yang kontekstual atau transformatif adalah pendidikan yang melakukan adaptasi terhadap lingkungan, menekankan proses kehidupan yang terbuka dan demokratis, bergerak dinamis dan konstruktif dalam membangun bangsa. Pendidikan ini juga menekankan pengubahan karakter bangsa dari tertutup menjadi terbuka (menerima segala perbedaan di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang majemuk). Itulah sebabnya pendidikan ini berfokus pada perkembangan sosial, dan semestinya masyarakat mendapatkan respon yang positif dan konstruktif. 23 Soemarno Sudarsono, Character Building Membentuk Watak (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2002), 41. 24 Djohar, Pendidikan Strategik Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan (Yogyakarta: LESFI, 2003), 121. 18 Pendidikan yang menumbuhkan kesadaran secara vertikal maupun horizontal dilakukan bertujuan untuk melahirkan kesadaran bangsa. Kesadaran vertikal (pemerintah) dan keasadaran horizontal (masyarakat) seharusnya memahami kewajiban dan haknya masing-masing. Pemerintah hendaknya memerintah dengan demokratis, bersedia dikritik, berpikiran luas, merangkul kelompok masyarakat yang berbeda (suku, ras, agama). Sebaliknya masyarakat harus patuh pada pemerintah terhadap segala aturan yang ada, menjaga ketertiban dan kedamaian. Penempatan institusi pendidikan di tengah-tengah pergaulan masyarakat luas baik lokal maupun global bertujuan agar lembaga-lembaga pendidikan mampu mengikuti perkembangan di era globalisasi sehingga tercapai pendidikan yang berkualitas. Pendidikan memiliki muatan yang seimbang antara kepentingan dan pengalaman, dilakukan untuk menghindari pendidikan yang bersifat teoritis saja melainkan juga bersifat praksis. Dengan demikian pendidikan menjadi bersifat holistik (menyeluruh), mendalam sehingga dapat membentuk karakter bangsa. Pembentukan karakter bangsa menurut Djohar juga dapat dijadikan sebagai ciri pendidikan moral karena berhubungan dengan kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan, bersikap demokratis, memahami kewajiban-kewajiban dan hak-hak terhadap pemerintah dan masyarkat, menekankan kualitas hidup, serta keseimbangan antara teori moral dan praktek. Haricahyono menjelaskan bahwa ciri pendidikan moral dapat diketahui melalui unsur-unsur moral yakni perhatian, pertimbangan dan tindakan.25 Ketiga hal tersebut satu sama lain saling terkait dan menjadi kekuatan untuk menghadapi ancaman pendidikan moral bangsa Indonesia. Perhatian yang dimaksudkan oleh Haricahyono tidak hanya menyangkut adanya kehendak untuk mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan orang 25 Lihat Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral, 225-231. 19 lain, akan tetapi lebih dari itu ada juga kemampuan untuk memenuhinya. 26 Jadi, memperhatikan orang lain pada prinsipnya adalah memahami kemudian berupaya untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhan orang lain sebaik mungkin. Pertimbangan yang dimaksudkan oleh Haricahyono sebagai berikut: Pertimbangan moral dan nilai berimplikasikan penalaran. Sementara penalaran itu sendiri pada hakikatnya tidaklah diterapkan hanya pada satu kasus tertentu. Apabila sesuatu pertimbangan moral bisa diaplikasikan untuk semua kasus yang sama. Pertimbangan moral, secara demikian, menuntut adanya kemampuan untuk mengevaluasi kepentingan-kepentingan yang berbeda pada kriteria atau prinsip yang konsisten.27 Jadi, pertimbangan yang dimaksudkan adalah tindakan moral yang dianggap benar yang mengacu pada ukuran atau kebenaran yang diakui secara umum. Tindakan yang dimaksudkan oleh Haricahyono adalah bergantung kepada kualitas perhatian dan pertimbangan yang mengarahkan kepada tindakan moral.28 Jadi, tindakan moral harus mengimplikasikan keinginan (tuntutan) yang lebih baik, satu motif atau prinsip hidup yang mengakibatkan kehidupan yang lebih baik. Unsur-unsur moral menurut Haricahyono juga dapat dijadikan sebagai ciri pendidikan moral karena berhubungan dengan perhatian untuk memenuhi kebutuhan orang lain, mengevaluasi kepentingan yang berbeda berdasarkan ukuran yang benar yang diakui secara umum dan melakukan sesuatu dengan lebih baik. C. Perilaku Moral Gandjarrahardja menjelaskan ciri dari pendidikan moral bangsa Indonesia dengan memberikan penekanan pada perkataan dan perilaku yang 26 Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral, 226. Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral, 229. 28 Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral, 229. 20 27 baik. Perilaku dan yang menggambarkan moral yang baik yakni moral berupa ucapan atau perkataan, antara lain: tidak berkata bohong atau berdusta. Tindakan moral yang baik adalah moral yang terpuji yaitu perbuatan yang dilakukan melebihi kualitasnya dan ukuran rata-rata, moral yang bisa ditularkan kepada orang lain, moral yang bisa dilestarikan untuk menjaga keutuhan dan kesinambungan moral itu perlu dilestarikan atau diawetkan.29 Jadi, jelaslah bahwa ciri pendidikan moral menurut Gandjarrahardja ditunjukkan dengan kata-kata dan perilaku yang baik, menjadi lengkap lagi menurut penulis bila dimutlakkan antara kata-kata dengan perilaku tidak ada perbedaan (sama). Perilaku moral menurut Gandjarrahardja juga dapat dijadikan sebagai ciri pendidikan moral karena berhubungan berhubungan dengan kualitas perilaku manusia Menurut Abuddin Nata ciri pendidikan moral bangsa Indonesia ada pada perbuatan akhlak yang mencakup empat hal: Pertama, perbuatan tersebut [akhlak] telah mendarah daging atau mempribumi, sehingga menjadi identitas orang yang melakukannya. Kedua, perbuatan tersebut dilakukan dengan mudah, gampang serta tanpa memerlukan mempribadinya pikiran perbuatan lagi. tersebut. Sebagai Ketiga, akibat dari perbuatan telah tersebut dilakukan atas kemauan dan pilihan sendiri, bukan karena paksaan dari luar. Keempat, perbuatan tersebut dilakukan dengan sebenarnya, bukan berpura-pura, sandiwara atau tipuan. Kelima, perbuatan tersebut dilakukan atas dasar niat semata-mata karena Allah. 30 Perbuatan-perbuatan manusia baik dan buruk dijadikan ukuran atau patokan dalam menentukan tingkah laku, dengan demikian akhlak dijadikan patokan menjadi moral. Selanjutnya Nata juga menjelaskan bahwa dari segi bentuk dan macamnya ada dua jenis akhlak (moral): 29 Hatidjo Gandjarrahardja, Pendidikan Moral Bangsa (jurnal pendidikan, No. I/XX/2001, 51. 30 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), 197. 21 Pertama, akhlak yang terpuji-puji seperti berlaku jujur, amanah, adil, ikhlas, sabar, tawakal, bersyukur, memelihara diri dari dosa, rela menerima pemberian Tuhan, berbaik sangka, suka menolong, pema’af dan sebagainya. Kedua, akhlak yang tercela seperti menyalahgunakan kepercayaan, mengingkari janji, menipu, berbuat kejam, pemarah, berbuat dosa, dan sebagainya. Karena perbuatan-perbuatan tercela tersebut harus dijauhi, sedangkan perbuatan-perbuatan yang terpuji itu harus dilakukan, maka akhlak selanjutya lebih mengandung arti perbuatan-perbuatan yang baik dan terpuji saja.31 Semestinya manusia hanya memilih akhlak yang baik yang tercermin dalam perilaku yang terpuji bukan perbuatan-perbuatan yang tercela. Orang-orang baik berada dalam perlindungan Allah sehingga mengalami kemenangan, sebaliknya orang-orang jahat mengalami kerugian karena dibenci Allah. Moral yang baik akan menjadi semakin kuat dan menjadi berkat bagi orang lain bila didasarkan pada ajaran agama yang baik (Kitab Suci). Perilaku moral yang baik menjadikan yang bersangkutan menikmati banyak keuntungan di dunia dan mahkota di surga. Perbuatan akhlak menurut Nata juga dapat dijadikan sebagai ciri pendidikan moral karena berhubungan dengan akhlak yang terpuji yakni jujur, adil, ikhlas, sabar, saleh, bersyukur, memelihara diri dari dosa, bersyukur, berpikiran positip, suka menolong, dan mengampuni/pemaaf. D. Tahap-tahap Pengembangan Moral dan Pengembangan Strategi Pembelajaran Moral Lawrence Kohlberg menjelaskan ciri dari pendidikan moral dengan memberikan penekanan pada tahap-tahap perkembangan moral yakni: Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan. Tahap 2: Orientasi relativisinstrumental. Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis.” Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban. Tahap 5: Orientasi 31 Nata, Manajemen Pendidikan, 197-198. 22 kontrak sosial legalistis. Tahap 6: Orientasi prinsip etika universal. 32 C. Asri Budiningsih selanjutnya menjelaskan ciri dari pendidikan moral dengan memberikan penekanan pada pengembangan strategi pembelajaran moral yang dapat dilihat melalui kemampuan aspek kognitif (pemahaman/penalaran moral), aspek afektif (perasaan moral), aspek perilaku (tindakan moral) serta kepercayaan eksistensial/iman. 33 Kemampuan aspek kognitif (pemahaman/penalaran moral) yang dimaksudkan adalah “suatu jenis kemampuan kognitif yang dimiliki oleh setiap orang untuk mempertimbangkan, menilai, dan memutuskan suatu perbuatan berdasarkan prinsip-prinsip moral seperti baik dan buruk, etis atau tidak etis, benar atau salah.” 34 Kemampuan aspek afektif (perasaan moral) “terwujud dalam salah satu kemampuan untuk mengambil sudut pandang orang lain dan untuk menempatkan dirinya ke dalam posisi orang lain, merupakan sumber kesadaran akan persamaan derajat dan timbal balik yang berdasarkan keadilan.”35 Kemampuan aspek perilaku (tindakan moral) “merupakan kemampuan untuk mengadakan interaksi sosial dalam mengambil pesan sosial serta menyelesaikan konflik peran yang berurusan dengan nilai-nilai moral seperti keadilan, resiprositas (balas dendam), dan bentuk-bentuk perilaku moral lainnya.” 36 Jadi, aspek kognitif lebih menekankan pada penalaran moral yang digunakan untuk menilai benar atau salah. Aspek afektif lebih menekankan pada emosi/perasaan moral yang menunjukkan empati moral terhadap orang lain. Aspek perilaku lebih 32 Lawrence Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral, pen. John de Santo, Agus Cremers, peny. John de Santo (Yogyakarta: KANASIUS, 1995), 231234. Emile Durkheim sosiolog Prancis menjelaskan ada empat unsur moralis yakni: semangat disiplin, ikatan pada kelompok-kelompok sosial, otonomi atau penentuan nasib sendiri. Penjelasan lengkap dapat dilihat pada tulisan Emile Durkheim, Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, pen. Lukas Ginting (Jakarta: ERLANGGA, t. t.), 13-90. 33 C. Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral, cet. pertama (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008), 72. 34 Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral, 72. 35 Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral, 72. 36 Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral, 72. 23 menekankan pada tindakan moral sebagai respon terhadap bentuk-bentuk perilaku moral. Selanjutnya kepercayaan eksistensial/iman juga dijelaskan oleh C. Asri Budiningsih sebagai berikut: Kepercayaan eksistensial (iman) merupakan suatu kegiatan universal manusia. Setiap manusia memiliki kesadaran akan sejumlah kondisi pembatas dan situasi batas dalam hidupnya, seperti kesadaran akan kematian, konfrontasi eksistensi dengan batas-batas dan perasaan akan keterbatasannya, pengalaman akan beban pilihan yang harus dijatuhkan dalam situasi yang tidak menentu, pergumulannya dengan masalahmasalah eksistensial yang menantangnya untuk mengambil posisi, dan sikapnya terhadap masalah tersebut. 37 Jadi, kepercayaan eksistensial/iman menurut Budiningsih lebih kepada kesadaran hidup dan mati, pemilihan keputusan dan sikap terhadap suatu pergumulan. Pengembangan strategi pembelajaran moral menurut Budiningsih juga dapat dijadikan sebagai ciri pendidikan moral karena berhubungan dengan penalaran yang bermoral (kognitif), berempati terhadap orang lain (afektif) serta memiliki eksistensi iman atau kesadaran terhadap hidup dan mati. E. Kegiatan dan Tujuan Pendidikan Wens Tanlain, Inggridwati Kurnia, A. Samana, G. Hardjanto, Kusdarwati, Joseph Niron menekankan ciri-ciri pendidikan moral bangsa pada kegiatan dan tujuanya. Perhatikan pernyataan Tanlain dan kawankawan: Kegiatan-kegiatan pendidikan [pendidikan moral/kesusilaan] yang mengutamakan berkembangnya kesadaran diri, pemahaman akan orang lain, lingkungan serta norma yang dianut masyarakat. Tujuannya agar anak didik mengerti diri dan kedudukannya sebagai warga masyarakat, memahami apa yang baik dan apa yang buruk dan memiliki kata hati 37 Haricahyono, Dimensi-dimensi Pendidikan Moral, 77. 24 untuk dapat menentukan sendiri mana yang baik yang harus dilakukan, dan mana yang buruk yang harus tidak dilakukan sesuai dengan norma yang ada.38 Jadi, dapat dinyatakan bahwa Tanlain dan kawan-kawan lebih menekankan pendidikan moral pada kegiatan-kegiatan yang baik, supaya mencapai tujuan yang baik pula. Kegiatan dan tujuan pendidikan menurut Tanlain, dkk juga dapat dijadikan sebagai ciri pendidikan moral karena berhubungan dengan kesadaran diri; memahami orang lain, lingkungan serta norma; dan menentukan untuk melakukan yang baik. F. Tujuan Pendidikan Islam Yamin menjadikan tujuan pendidikan Islam sebagai dasar untuk membangun karakter bangsa adalah ciri pendidikan moral bangsa, yang meliputi: takwa, ilmu dan teknologi, dan akhlak. 39 Takwa artinya mendidik masyakarat menjadi manusia yang memiliki kekokohan iman kepada Tuhan Yang Masa Esa. Ilmu dan teknologi artinya mendidik bangsa untuk mengalami transformasi namun tidak menurunkan wibawa ketaqwaan kepada Tuhan. Akhlak artinya mengutamakan pendidikan yang berfokus pada tindakan melakukan hal-hal yang baik. Tujuan pendidikan Islam menurut Yamin juga dapat dijadikan sebagai ciri pendidikan moral karena berhubungan dengan memiliki iman yang kokoh terhadap Tuhan, tetap saleh di tengah-tengah perubahan/transformasi, dan tetap melakukan tindakan-tindakan yang baik. Implementasi pendidikan moral seperti yang dituliskan dalam bahasa Yunani Μηδείσ ςου τῆσ νεότητοσ καταφρονείτω, ἀλλὰ τύποσ γίνου 38 Wens Tanlain, dan kawan-kawan, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), 90. 39 Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia: Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara, peny. Meta, cet. pertama (Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), 24. 25 τῶν πιςτῶν ἐν λόγῳ, ἐν ἀναςτροφῇ, ἐν ἀγάπῃ, ἐν πίςτει, ἐν ἁγνείᾳ dalam bahasa Arab bertuliskan فِي،وح َ َّ فِي الت، بَلْ ُك ْه قُ ْد َوةً لِ ْل ُم ْؤ ِمنِيهَ فِي ْال َكالَ ِم،َالَ يَ ْستَ ِه ْه أَ َح ٌد بِ َحدَاثَتِك ِ ُّصر ِ ُّ فِي الر، فِي ْال َم َحبَّ ِت،ف فِي الطَّهَا َر ِة،ان ِ اإلي َم ِ Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ”Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” Jadi berdasarkan Kitab Suci tekanan utama dari pendidikan moral terimplementasikan dalam bentuk keteladanan hidup baik dalam perkataan, tingkah laku, kasih maupun kesetiaan; keteladanan juga semestinya tidak ditentukan oleh faktor usia. Istilah ”teladan” dalam bahasa Yunani menggunakan kata τυπος (tupos) artinya “a type, figure, pattern,” is translated “figures” (i.e., representations of gods),”40 dalam bahasa Arab menggunakan istilah ً قُ ْد َوةartinya ”an example.”41 Baik istilah ً ( قُ ْد َوةBhs. Arab) maupun istilah τύποσ (Bhs. Yunani) sama-sama merupakan kata benda yang menekankan pada hal-hal yang menyangkut atau apa yang dimaksudkan dalam keteladanan itu sendiri, yakni: kata-kata, tingkah laku, kasih, dan setia. 40 W. E. Vine, “An Expository Dictionary of New Testament Words,” in Vine Complete Expository Dictionary of Old and New Testament Words (Old Tappan, New Jersey: Fleming H. Revell Company, 1985), 235. 41 ArabBible – Version 5.3 for Windows 8 / 7 / Vista 26 BAB IV KESIMPULAN Pendidikan moral bangsa Indonesia adalah pelaksanaan pendewasaan masyarakat Indonesia atas nilai-nilai perilaku positif. Adapun cirinya, menurut Kohlberg dicirikan dengan: kepatuhan, kesepakatan, ketertiban, kontrak sosial dan etika universal. Menurut Durkheim dicirikan dengan: semangat disiplin, keterikatan pada kelompok-kelompok sosial yang ditunjukkan dengan mengutamakan kepentingan orang lain dan otonomi atau penentuan nasib sendiri yang efektif. Menurut Haricahyono dicirikan dengan: perhatian untuk memenuhi kebutuhan orang lain, mengevaluasi kepentingan yang berbeda berdasarkan ukuran yang benar yang diakui secara umum dan melakukan sesuatu dengan lebih baik. Menurut Djohar dicirikan dengan: kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan, bersikap demokratis, memahami kewajiban-kewajiban dan hakhak terhadap pemerintah dan masyarkat, menekankan kualitas hidup, serta keseimbangan antara teori moral dan praktek. Menurut Gandjarrahardja dicirikan dengan tindakan yang melebihi kualitasnya atau di atas ukuran rata-rata. Menurut Budiningsih dicirikan dengan: penalaran yang bermoral (kognitif), berempati terhadap orang lain (afektif) serta memiliki eksistensi iman atau kesadaran terhadap hidup dan mati. Menurut Tanlain, dkk dicirikan dengan: kesadaran diri; memahami orang lain, lingkungan serta norma; dan menentukan untuk melakukan yang baik. Menurut Nata dicirikan dengan: jujur, adil, ikhlas, sabar, saleh, bersyukur, memelihara diri dari dosa, bersyukur, berpikiran positip, suka menolong, dan mengampuni/pemaaf. Menurut Sudarsono dicirikan dengan: hidup jujur, terbuka, beranian mengambil resiko, bertanggung jawab, konsisten (memenuhi komitmen), dan berbaik haati (berbagi). Menurut Yamin dicirikan dengan: iman yang kokoh terhadap Tuhan, tetap saleh di tengah- 27 tengah perubahan/transformasi, dan tetap melakukan tindakan-tindakan yang baik. Saatnyalah bangsa Indonesia membangun (mendidik) moral secara perorangan yang dibuktikan dengan sikap hidup yang menyadari atau mengutamakan kepentingan orang lain, bukan bergantung pada mentalitas imperatif/perintah melainkan lahir dari diri sendiri yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan atau suasana politik. Dengan demikian bangsa Indonesia akan terbangun moralnya (misalnya: tertib berlalu lintas, politik tertata baik, pemerintah mengayomi rakyat, dan lain sebagainya). Tugas membangun moral bangsa tersebut ada dalam tanggung-jawab birokrat, politisi, akademisi, pemimpin agam, dalam hal ini disebut masyarakat dan harus dilakukan sesuai dengan UU Sistem Pendidikan Nasional 2003. Pendidikan moral semestinya tidak lagi hanya menjadi wacana dengan sejumlah aturanaturan atau teori-teori lagi, namun harus implementasikan (diterapkan) dalam bentuk keteladanan. 28 KEPUSTAKAAN ArabBible – Version 5.3 for Windows 8 / 7 / Vista Budiningsih, C. Asri Pembelajaran Moral. Cetakan Pertama. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008. Burham, Retnaningsih. Peningkatan Pembelajaran Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia: Tinjauan Pendidikan Sekolah dan Pendidikan Luar Sekolah. Cetakan pertama. Jakarta: UNJ Press, 2008. Back, Clive M. Moral Education: Interdisciplinary Approaches. Toronto: University of Toronto Press, 1971. Dewey, John. Democrasy and Education. New York: Macmilan, 1961. Djohar. Pendidikan Strategik Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: LESFI, 2003. Durkheim, Emile. Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan. Diterjemahkan oleh Lukas Ginting. Jakarta: ERLANGGA, t. t. Gandjarrahardja, Hatidjo. Pendidikan Moral Bangsa. Jurnal pendidikan, No. I/XX/2001. https://pentingbelajar.wordpress.com/asas-asas-pendidikan/asas-tut-wurihandayani/ diakses tanggal 28 Mei 2012. 29 http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/1954120719 81121-AHMAD_NAWAWI/Pendidikan_Nilai_Moral.pdf diakses tanggal 28 Mei 2012. http://id.wikipedia.org/wiki/Talmud diakses tgl 28 Mei 2012. Haricahyono, Cheppy. Dimensi-dimensi Pendidikan Moral. Semarang: IKIP Semarang Press, 1995. Kohlberg, Lawrence. Tahap-tahap Perkembangan Moral. Diterjemahkan oleh John de Santo, Agus Cremers. Disunting oleh John de Santo. Yogyakarta: KANASIUS, 1995. Lorens, Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996. Lewis, C. S. Mere Christianity. New York: Macmillan, 1973. Nasution, S. Sosiologi Pendidikan. Cetakan Pertama. Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Nata, Abuddin. Manajemen Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003. Sudarsono, Soemarno Character Building Membentuk Watak. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2002. Sairin, Weinata. Penyuntung. Himpunan Peraturan di Bidang Pendidikan. Cetakan pertama. Jakarta: Media Prima Aksara, 2012. Tanlain, Wens, dan kawan-kawan. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996. 30 Undang-undang Sistem Pemuridan Nasional. Bandung: Fokusindo Mandiri, 2012. Vine, W. E. Vine Complete Expository Dictionary of Old and New Testament Words. Old Tappan, New Jersey: Fleming H. Revell Company, 1985. Wilson, John dan kawan-kawan. Introduction to Moral Education. Harmondsworth, England: Penguin, 1967. Yamin, Moh. Menggugat Pemuridan Indonesia: Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara. Penyunting Meta. Cetakan pertama. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009. 31