pernyataan tertulis ictj: keabsahan dari komisi kebenaran dan

advertisement
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
PERNYATAAN TERTULIS ICTJ:
KEABSAHAN DARI KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI
(ICTJ WRITTEN SUBMISSION:
LEGALITY OF TRUTH AND RECONCILIATION COMMISSION)
Pusat Internasional Keadilan Transisional (International Center for Transitional
Justice atau “ICTJ”) dengan ini menyatakan bahwa perundang-undangan yang menjadi
dasar bagi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia (“Undang-Undang [No.
27/2004] KKR”) adalah bertentangan (contravenes) dengan hukum internasional. Secara
khusus, ICJT menyoal keabsahan dari ketentuan-ketentuan di dalam UU KKR yang
memperkenankan pemberian amnesti serta persyaratan-persyaratan lainnya di dalam
Undang-Undang ini yang menempatkan hak korban untuk memperoleh reparasi (victim’s
right to reparation) di bawah syarat pemberian amnesti [bagi pelaku]. UU KKR juga
bertentangan dengan sejumlah konvensi internasional lainnya, termasuk Kovenan
Internasional bagi Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and
Political Rights [“ICCPR”]) serta Konvensi Anti Penyiksaan (Convention against
Torture [“CAT”]). Di samping itu UU KKR juga bertentangan dengan sumber-sumber
tidak tertulis (non-treaty sources) hukum internasional lainnya seperti “Reports and
Statements of Principle” (prinsip-prinsip hukum internasional yang termuat dalam
berbagai Laporan dan Deklarasi).
Lebih lanjut, patut juga dicatat bahwa sejumlah
pengadilan domestik di negara-negara lain telah menjatuhkan putusan-putusan yang
menyimpangi (dan menyatakan tidak absah) undang-undang amnesti yang dibuat negara.
Di dalam berbagai kasus sebelumnya Mahkamah Konstitusi Indonesia telah
berpendapat bahwa Mahkamah berwenang dalam membuat pertimbangan untuk merujuk
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
1
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
dan melandaskan diri pada hukum internasional, termasuk pada perjanjian-perjanjian
internasional yang belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, termasuk juga pada
deklarasi-deklarasi yang tidak mengikat. Di dalam kasus mengenai Pemilu yang diajukan
kepada Mahkamah Konstitusi, Mahkamah ini merujuk sekaligus kepada Deklarasi
Universal Hak-hak Asasi Manusia serta Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik
(ICCPR) (yang sesungguhnya belum diratifikasi, namun kemudian Indonesia kemudian
melakukan aksesi [acceded] terhadapnya) sebagai sumber-sumber rujukan hukum cukup
penting (persuasive sources).1 Mahkamah Konstitusi secara spesifik merujuk pada
larangan yang terkandung di dalam Deklarasi Universal HAM atas berbagai bentuk
diskriminasi, dalam rangka mendukung pertimbangannya perihal penafsiran atas
ketentuan Pasal 28D(1) dan 28I(2) Undang-Undang Dasar Indonesia. Mahkamah
Konstitusi juga mengajukan pertimbangan-pertimbangan lain berdasarkan ICCPR dan
mengutip sejumlah ketentuan dari ICCPR ini, berkenaan dengan kesetaraan di hadapan
hukum dan larangan atas diskriminasi. Dengan demikian, jelas kiranya bahwa Mahkamah
Konstitusi Indoneisa dalam sejumlah kasus yang diperiksanya telah merujuk kepada
aspek-aspek hukum internasional, yang pada prinsipnya belum diinkorporasikan ke
dalam hukum nasional, dan menggunakannya sebagai sumber hukum dalam rangka
mencapai keputusan tentang keabsahan aspek-aspek hukum nasional (domestic law).
Sebagai tambahan, Dewan Perwakilan Rakyat [Indonesia] telah mengesahkan
bahwa perundang-undangan yang secara tegas menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan
dari perjanjian-perjanjian internasional yang sudah diratifikasi harus dianggap sebagai
hukum yang mengikat di tataran nasional (binding in domestic law). Undang-Undang
Keputusan Mahkamah Konstitusional, Kasus No. 011-017/PUU-I/2003, 24 Februari 2004. Keputusan
mengenai Pasal 60g Undang-Undang No.12/2003.
1
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
2
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
Nomor 39/1999 mengenai Hak-hak Asasi Manusia merupakan sebuah Undang-Undang
yang mengadopsi statutory bill of rights yang komprehensif. Undang-Undang ini
melengkapi perlindungan dan penghormatan atas hak asasi yang termaktub di dalam
Undang-Undang Dasar.
Di dalam pasal 7 tertulis:
(1) Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum
internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum
Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah
diterima negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia
yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional.
Pasal 7 ini saling melengkapi dengan pasal 71—masih di dalam UU yang sama—yang
menyatakan bahwa “Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi,
menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini,
peraturan perundang-undangan lain dan hukum internasional tentang HAM yang diterima
oleh negara Republik Indonesia. Maka secara bersama-sama, pasal 7 dan 71 dari UndangUndang Nomor 39/1999, mewajibkan pemerintah untuk melindungi, mempertahankan
dan mempromosikan hak-hak asasi manusia yang terkandung di dalam Undang-Undang
ini maupun di dalam hukum internasional. Perlindungan serta promosi tersebut mencakup
tindakan-tindakan positif (positive measures) berupa penyelidikan, penuntutan serta
penyediaan reparasi atas pelanggaran terhadap hak-hak yang dilindungi oleh UndangUndang tersebut. Lebih jauh lagi, Undang-Undang Nomor 39/1999 ini secara tegas
menyatakan bahwa perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh pemerintah
Indonesia harus dianggap sebagai hukum positif yang mengikat dalam tataran
nasional/domestik (treaties ratified by Indonesia are binding in domestic law).
Penting pula diingat bahwa Indonesia bukan sekadar anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa—selaku Negara Pihak serta bekerjasama dengan PBB di dalam promosi
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
3
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
atas HAM tersebut,2—namun Indonesia juga adalah anggota Dewan HAM PBB. Oleh
karena itu, Indonesia memiliki kewajiban tambahan untuk memenuhi “standar tertinggi”
perlindungan hak-hak asasi manusia.3 Adalah berlandaskan pertimbangan ini di dalam
benak kita, maka kami melanjutkan uraian mengenai status Undang-Undang KKR di
hadapan hukum internasional.
Piagam PBB tanggal 26 Juni 1945 berlaku secara resmi pada tanggal 24 Oktober 1945. Pasal 55 (c)
menyatakan bahwa PBB “akan mempromosikan penghargaan universal bagi—dan mengawasi HAM serta
hak-hak fundamental lainya tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau pun agama”. Sementara
pasal 56 Piagam PBB “Segenap Negara pihak berjanji untuk untuk mengemban tindakan secara bersamasama maupun mandiri” dengan PBB untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan pada Pasal 55.
2
Para anggota Dewan HAM PBB “seharusnya menjunjung tinggi standar tertinggi dalam promosi dan
perlindungan atas HAM…dan [hal ini] akan ditinjau…selama masa keanggotaannya” “menjunjung standar
tertinggi dalam mempromosikan dan melindungi HAM…dan untuk ditinjau…selama rentang masa
keanggotaan mereka…”. Resolusi Majelis Umum Res. 60/251, 15 Maret 2006, UN Doc. A/RES/60/251, 3
April 2006, alinea 9.
3
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
4
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
I
July 2006
UNDANG-UNDANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI BERTENTANGAN
DENGAN HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL
A
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (“ICCPR”)4
ICTJ menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan UU KKR yang membuka
kemungkinan pemberian amnesti dan yang mengharuskan pemberian reparasi di bawah
syarat pemberian amnesti [bagi pelaku] adalah bertentangan dengan Pasal 2(3), 6(1), 7,
9(5) dan 14(6) ICCPR. Pada tanggal 23 Februari 2006 Indonesia telah mengaksesi
(acceded) ICCPR. Dalam pernyataan ini kami memfokuskan diri pada pertentangan atau
pelanggaran-pelanggaran pasal 2(3), 6(1) dan 7 ICCPR yang merupakan pasal-pasal yang
paling relevan dalam permasalahan ini. Betapapun, perlu dicatat bahwa terdapat pula
argumen-argumen kuat untuk mendukung dalil (proposition) bahwa UU KKR
bertentangan dengan Pasal 9(5) dan 14(6) ICCPR. Misalnya saja, menyadari bahwa di
dalam Komentar Umum (General Comment) Nomor 21, Komite HAM PBB (HRC)
menyatakan bahwa “orang-orang yang ditangkap dan ditahan [seharusnya] memiliki
akses…untuk mendapatkan kompensasi yang pantas, jika ternyata mengalami
pelanggaran [atas hak-haknya],”5 adalah logis jika kita menyimpulkan bahwa Pasal 27
UU KKR bertentangan dengan Pasal 9(5) ICCPR yang memberikan hak atas kompensasi
bagi para korban penangkapan atau pun penahanan sewenang-wenang. Serupa pula
halnya dengan Pasal 14(6) ICCPR yang menetapkan bahwa siapa pun memiliki hak atas
kompensasi ketika vonis pidananya dibatalkan dikarenakan telah terjadi kekeliruan
4
16 Desember 1966, 999 U.N.T.S. 171.
Komentar Umum ICCPR No. 21 (Sesi 44, 1992): Pasal 10: menggantikan Komentar Umum 9 berkenaan
dengan Perlakuan Manusiawi atas Orang-orang yang Dicabut Kebebasannya (Humane Treatment of
Persons Deprived of Liberty), A/47/40 (1992) 195 pada alinea 7.
5
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
5
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
hukum (where there has been a miscarriage of justice). Sekali lagi, adalah logis jika
disimpulkan bahwa Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan Pasal 14(6).
1.
Pasal 2(3) ICCPR
Pasal 2(3) ICCPR menyatakan bahwa:
Setiap Negara Pihak dari Kovenan ini berkewajiban:
(a) menjamin bahwa setiap orang yang hak atau kebebasannya sebagaimana
diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang
efektif (effective remedy), walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh
seseorang yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat negara;
(b) menjamin agar setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus
ditentukan haknya oleh lembaga peradilan, administratif atau legislatif yang
berwenang, atau oleh lembaga yang berwenang lainnya, yang diatur oleh sistem
hukum Negara tersebut, dan untuk mengembangkan kemungkinan pemulihan
yang bersifat hukum;
(c) menjamin bahwa lembaga yang berwenang akan melaksanakan upaya
pemulihan tersebut apabila dikabulkan.
Jelaslah bahwa Pasal 27 UU KKR melanggar Pasal 2(3) ICCPR. Pasal 27 UU
KKR sendiri menyatakan: “Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan”. Penjelasan resmi dari
UU KKR ini sendiri menyatakan bahwa: “Apabila permohonan amnesti ditolak maka
kompensasi dan/atau rehabilitasi tidak diberikan oleh Negara, serta perkaranya
ditindaklanjuti untuk diselesaikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 26
tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia”. Patut dicatat pula bahwa dalam hal
ini tidak ada jaminan bahwa Pengadilan HAM akan memproses kasus yang permohonan
amnestinya telah ditolak. Oleh karena itu, tidak terdapat jaminan pula bahwa seorang
korban pelanggaran HAM akan memperoleh kompensasi yang merupakan haknya.
Dengan menempatkan pemberian kompesasi secara bersyarat (tergantung) pada
pemberian amnesti, maka Pasal 27 menyalahi hak atas pemulihan efektif (effective
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
6
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
remedy), yang telah ditetapkan oleh Komite HAM PBB (“Human Rights Committee”
selanjutnya disebut sebagai “HRC” saja) sebagai hak yang harus diberikan tanpa syarat
(unconditional right).
(a)
Komentar-Komentar Umum
Di dalam Komentar Umum (General Comment) No. 31 HRC menegaskan arti
penting hak atas pemulihan efektif serta mendefinisikan bahwa hak ini mencakup hak
untuk memperoleh kompensasi yang patut. HRC menetapkan bahwa Pasal 2(3)
mensyaratkan bahwa Negara-Negara Pihak memberikan reparasi pada orang-orang yang
hak sipil dan politiknya telah dilanggar. Tanpa pemberian reparasi bagi orang-orang
tersebut, maka kewajiban untuk menyediakan pemulihan efektif tidak dapat
diwujudkan... Komite HAM memandang bahwa pada umumnya [ketentuan-ketentuan]
Kovenan berimplikasi pada pemberian kompensasi yang patut”.6 Adalah jelas bahwa
individu-individu yang akan memberikan keterangan di hadapan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi adalah mereka yang hak-hak sipil dan politiknya telah dilanggar. Sebagai
konsekuensinya orang-orang ini juga memiliki hak atas reparasi, terlepas apakah amnesti
akan diberikan [kepada pelaku] atau tidak.
(b)
Catatan Penutup
Di dalam Catatan Penutup atas El Salvador, HRC menyatakan peraturan
mengenai Amnesti: “telah menyalahi hak atas pemberian pemulihan efektif sebagaimana
telah diatur di dalam Pasal 2 Kovenan. Karena pengaturan ini mencegah investigasi serta
penghukuman atas semua yang bertanggungjawab atas ke HAM serta memberikan
Komentar Umum ICCPR No. 31 [80] mengenai Hakikat Kewajiban Hukum Umum yang ditetapkan atas
Negara-negara Pihak Kovenan, U.N. Doc. CCPR/C/21/Rev.1/Add.13. (2004), alinea 16.
6
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
7
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
kompensasi bagi para korban mereka”.7 Tidak jauh berbeda, di dalam Catatan
Penutupnya atas Peru, HRC menemukan bahwa “…pemberian amnesti mencegah
penyelidikan serta hukuman yang patut atas para pelaku pelanggaran HAM masa lalu…
dan oleh karenanya melanggar pula pasal 2 Kovenan. …Pemerintah didesak untuk
menegakkan suatu sistem kompensasi yang efektif bagi para korban pelanggaran HAM”.8
Di tahun 2000, HRC menyertakan rekomendasi berikut ini di dalam Catatan Penutup atas
Argentina: “Pelanggaran hak-hak sipil dan politik selama kekuasaan militer seharusnya
tetap dapat dituntut (should be prosecutable) selama mungkin, dengan keberlakuan
(applicability) sejauh mungkin sampai pada waktu yang diperlukan untuk menghadapkan
para pelakunya ke hadapan hukum. Komite merekomendasikan agar upaya-upaya tegas
tetap dilanjutkan atas persoalan ini”.9
(c)
Yurisprudensi
HRC telah menyampaikan berbagai keputusan untuk menegaskan Pasal 2(3)
ICCPR bahwa para korban pelanggaran ICCPR mendapatkan kompensasi yang patut.
Dalam kasus Cagas vs. Filipina HRC menemukan bahwa pemerintah Filipina
telah melanggar Pasal 9 dan 14 of ICCPR, berdasarkan kenyataan bahwa para penulis
telah ditahan lebih dari empat tahun tanpa pengadilan. HRC memutuskan bahwa sesuai
dengan Pasal 2(3)(a) maka “Negara pihak berada di bawah kewajiban untuk memberikan
HRC, Concluding Observations (Catatan Penutup) on El Salvador, UN. Doc. A/58/40 Vol. I (2003) 61,
alinea 84(6).
7
8
HRC, Concluding Observations on Peru, UN. Doc. A/51/40 Vol. I (1996) 48, alinea 347, 358.
9
HRC, Concluding Observations on Argentina, UN. Doc. CCPR/CO/70/ARG (2000), alinea 9.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
8
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
para penulis dengan reparasi yang efekfif, yang akan mencakup kompensasi efektif atas
waktu yang telah mereka habiskan secara tidak sah di dalam tahanan”.10
Di dalam kasus Brok vs. Republik Ceko, Robert Brok, seorang Yahudi yang hak
milik keluarganya telah disita selama Perang Dunia II, mengajukan permasalahan ini ke
hadapan HRC. Brok mengklaim bahwa Negara telah melanggar haknya untuk
memperoleh kesetaraan hukum dan mendapatkan perlindungan yang sama di hadapan
hukum karena Negara menolak mengembalikan hak miliknya yang pernah disita. Dalam
kenyataannya HRC memang menemukan bahwa telah terjadi pelanggaran ICCPR dan
bahwa hak atas pemulihan yang efektif dalam hal ini meliputi “restitusi atas hak milik
atau kompensasi dan kompensasi yang patut atas periode selama Brok dan jandanya
mengalami penyitaan hak milik”.11
Di dalam kasus Ashby vs. Trinidad and Tobago, Negara berketetapan untuk
mengeksekusi Ashby sungguh pun HRC (Komite HAM) telah mengajukan permohonan
penundaan eksekusi sampai HRC sendiri rampung dalam membuat putusan final atas
kasus ini. HRC menyampaikan pandangannya bahwa pengabaian atas permohonan HRC
seperti itu sama saja artinya dengan menentang ICCPR. Oleh karena itu HRC
berketetapan bahwa menurut Pasal 2(3) “Pertama-tama dan yang terutama Mr. Ashby
seharusnya mendapatkan pemulihan efektif termasuk kesinambungan kehidupannya.
Kompensasi yang patut juga harus diberikan kepada keluarganya yang masih hidup”.12
10
Cagas vs. Filipina, CCPR/C/73/D/788/1997. alinea 9.
11
Brok vs. Republik Ceko, CCPR/C/73/D/774/1997, alinea 9.
12
Ashby vs. Trinidad dan Tobago, CCPR/C/74/D/580/1994, alinea 12.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
9
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
Di dalam kasus Lantsova vs. Federasi Rusia HRC mendapati bahwa Negara telah
melanggar Pasal 6(1) ICCPR berkenaan dengan fakta mengenai bahwa kondisi yang amat
buruk dari penjara Rusia telah mengakibatkan tewasnya sang narapidana. Oleh karena itu
HRC memutuskan bahwa istri almarhum berhak atas kompensasi yang patut.13 Agak
mirip pula, di dalam kasus Francis dkk. vs. Trinidad and Tobago HRC mendapati bahwa
kondisi penjara yang amat tercela telah sekaligus melanggar hak-hak Francis dkk. (the
authors), hak untuk “diperlakukan secara manusiawi dan dengan penghargaan atas
martabat yang melekat pada individu manusia”. Oleh Karena itu HRC mendapati bahwa
Francis dkk. berhak atas pemulihan efektif (effective remedy), termasuk kompensasi yang
sewajarnya.14
Di dalam kasus Bondarenko vs. Belarus, pihak pengaju kasus mengklaim bahwa
Negara telah melanggar ICCPR karena tidak menjalankan kewajibannya untuk
memberitahukan sang orangtua (Bondarenko) atas putusan eksekusi mati terhadap
putranya. HRC mendapati bahwa:
kerahasiaan penuh yang melingkupi hari/tanggal eksekusi, maupun lokasi
penguburan serta penolakan untuk menyerahterimakan jenazah untuk penguburan,
memiliki efek pengintimidasian atau penghukuman pihak keluarga dengan
membiarkan mereka secara sengaja berada di dalam kondisi tanpa kepastian dan
tekanan mental. Komite (HRC) menganggap bahwa pelanggaran awal pihak
otoritas dengan tidak memberitahukan pihak terkait perihal jadwal eksekusi mati
putranya, serta tindakan lanjutan dengan tidak memberitahukan lokasi kuburan
putranya tersebut, terakumulasi menjadi praktik tidak manusiawi terhadap pihak
penggugat, yang merupakan pelanggaran atas Pasal 7 Kovenan…Sesuai dengan
Pasal 2, alinea 3 (a) Kovenan, pihak Negara Pihak berada di bawah kewajiban
untuk memberikan pemulihan efektif (effective remedy) bagi pihak pengadu,
termasuk keharusan untuk memberitahukan lokasi kuburan putranya serta
13
Lantsova vs. Federasi Rusia, CCPR/C/74/763/1997, alinea 11.
14
Francis dkk. vs. Trinidad dan Tobago, CCPR/C/75/D/899/1999, alinea 5.7 – 7.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
10
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
kompensasi atas penderitaan yang telah dialaminya. Negara Pihak juga berada di
bawah kewajiban untuk mencegah pelanggaran serupa di masa mendatang.15
Keputusan-keputusan HRC di muka hanyalah sedikit contoh dari sekian banyak
keputusan yang telah ditetapkan HRC untuk memastikan bahwa hak atas kompensasi
adalah inheren (melekat) di dalam hak atas pemulihan efektif yang dijamin di dalam
Pasal 2(3) ICCPR. Adalah jelas bahwa dengan menempatkan hak atas kompensasi
sebagai sesuatu yang bersyarat dengan keharusan memberikan amnesti dan bukannya
diberikan otomatis ketika pelanggaran tersebut terjadi, Indonesia melakukan pelanggaran
atas kewajibannya sendiri di bawah Pasal 2(3) ICCPR.
2.
Pasal 6(1) ICCPR
Pasal 6(1) ICCPR menyatakan bahwa: “Setiap manusia mempunyai hak untuk
hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang
pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang”. Telah dinyatakan secara
resmi sebelumnya bahwa baik Pasal 1(9) maupun Pasal 27 Undang-Undang KKR
bertentangan dengan Pasal 6(1) ICCPR.
(a)
Pasal 1(9) Undang-Undang KKR
Pasal 1(9) Undang-Undang KKR menyatakan bahwa “amnesti adalah
pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran HAM berat
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat [sic]”. Telah dinyatakan
sebelumnya bahwa Pasal 1(9) Undang-Undang KKR bertentangan dengan 6(1) ICCPR,
berdasarkan ketentuan Pasal 6(1) ICCPR yang mewajibkan para pelaku pelanggaran
HAM untuk dihadapkan ke pengadilan.
15
Bondarenko vs. Belarus, CCPR/C/77/D/886/1999, alinea 10.2 dan 12.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
11
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
(i)
July 2006
Komentar Umum
Di dalam Komentar Umum 6 mengenai implementasi dari Pasal 6 ICCPR, HRC
menyatakan bahwa “Negara pihak seharusnya mengambil langkah-langkah tidak hanya
untuk mencegah dan menghukum pencabutan nyawa melalui tindakan-tindakan kriminal,
namun juga mencegah pembunuhan oleh aparat keamanannya sendiri”.16 Pemberian
amnesti sesuai dengan Pasal 1(9) Undang-Undang KKR mencegah penghukuman
terhadap mereka yang telah terlibat di dalam pencabutan nyawa melalui tindakantindakan kriminal dan oleh karena itu bertentangan dengan Pasal 6(1) ICCPR.
(ii)
Catatan Penutup
Di dalam Catatan Penutup tahun 1993 atas Senegal HRC menyatakan bahwa
“[k]eprihatinana khusus disampaikan atas kekuatiran bahwa Undang-Undang Amnesti
akan dapat dipakai untuk memberikan impunitas bagi para pejabat Negara yang
bertanggungjawab atas pelanggaran-pelanggaran tersebut, yang seharusnya telah
dihadapkan ke pengadilan”.17
Di dalam Catatan Penutup tahun 1993 atas Nigeria, HRC telah bersikukuh bahwa
para agen Negara yang bertanggungjawab atas pelanggaran-pelanggaran HAM haruslah
dihukum dan seharusnya “dengan alasan apa pun tidak boleh menikmati kekebalan lewat
Undang-Undang Amnesti”.18 Serupa dengan hal ini, pada Catatan Penutup tahun 2002
atas Togo, HRC mencatat dengan penuh ketidaksetujuan bahwa “penerimaan atas
perundangan seperti Undang-Undang Amnesti (Amnesty Act) hanya akan menegakkan
ICCPR Komentar Umum 6 (Sesi Ke-16, 1982): Pasal 6: Hak atas Kehidupan [The Right to Life], A/37/40
(1982) 93, alinea 3.
16
17
HRC, Concluding Observations on Senegal, UN. Doc. A/48/40 Vol. I (1993) 23, alinea 103.
18
HRC, Concluding Observations on Niger, UN. Doc. A/48/40 Vol. I (1993) 88, alinea 425.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
12
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
budaya impunitas di Togo”.19 Nyatanya, terdapat begitu banyak contoh kasus ketika
HRC—di dalam Catatan Penutupnya—telah menyampaikan pandangan bahwa
pemberian amnesti dapat dilihat sebagai pelanggaran atas hak atas kehidupan yang
dijamin di dalam Pasal 6(1) ICCPR.
(iii)
Yurisprudensi
Yurisprudensi HRC adalah jelas di dalam pandangannya bahwa mereka yang
melanggar Pasal 6(1) ICCPR haruslah dihadapkan ke pengadilan. Kesimpulan logis dari
pandangan ini adalah karena amnesti melanggar 6(1) ICCPR. Sebagai contoh, misalnya
pada kasus Barbato vs. Uruguay,20 HRC berpandangan bahwa Uruguay berada di bawah
kewajiban untuk mengambil langkah-langkah efektif untuk menyeret siapa pun yang
didapati bertanggungjawab atas kematian Hugo Dermit. HRC mencapai kesimpulan sama
pada kasus Barboeram dkk. vs. Suriname21 dan kasus Miango vs. Zaire.22 Di dalam kasus
José Vicente dkk. vs. Columbia HRC menyatakan bahwa “Negera Pihak memiliki
kewajiban untuk menyelidiki secara menyeluruh tuduhan pelanggaran-pelanggaran
HAM, khususnya atas penghilangan paksa serta pelanggaran-pelanggaran terhadap hak
atas kehidupan; dan agar melancarkan tuntutan pidana, mengadili serta menghukum
mereka yang bertanggungjawab atas pelanggaran-pelanggaran tersebut.”23
19
HRC, Concluding Observations on Togo, UN. Doc. A/58/40 Vol. I (2002) 36, alinea 77(9).
20
Barbato vs. Uruguay, CCPR/C/17/D/84/1981.
21
Baboeram dkk. vs. Suriname, CCPR/C/24/D/148/1983.
22
Miango vs. Zaire, CCPR/C/31/D/194/1985.
23
José Vicente dkk. vs. Columbia, CCPR/C/60/D/612/1995.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
13
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
(b)
July 2006
Pasal 27 Undang-Undang KKR
Sebagimana dinyatakan di atas, Pasal 27 Undang-Undang KKR menyebutkan
bahwa: “Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 dapat
diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan”.
Telah diyatakan bahwa Pasal 27 Undang-Undang KKR bertentangan dengan
Pasal 6(1) ICCPR karena berbasiskan pada interprestasi Pasal 6(1) ICCPR yang
mengharuskan para korban pelanggaran HAM mendapatkan kompensasi (yang tidak
boleh diberikan secara bersyarat demi pemberian amnesti).
(i)
Catatan Penutup
Di dalam sekian banyak Catatan Penutupnya HRC telah mendapati bahwa
keharusan korban maupun keluarga mereka untuk memperoleh kompensasi atas
pelanggaran-pelanggaran HAM yang diderita mereka berada di dalam cakupan Pasal
6(1) ICCPR. Di dalam Catatan Penutup tahun 2002 atas Mesir, HRC menyimpulkan
bahwa “Negara seharusnya memastikan bahwa semua pelanggaran atas Pasal 6 dan 7
Kovenan diselidiki, serta—bergantung pada hasil investigasi tersebut—harus mengambil
tindakan terhadap pihak yang bertanggungjawab dan memberikan reparasi kepada para
korbannya.
24
HRC telah menegaskan bahwa para korban penyiksaan harus menerima
kompensasi.25 HRC juga telah memutuskan bahwa para keluarga korban pembunuhan
ekstra-yudisial harus menerima kompensasi.26 Lebih jauh lagi, HRC telah menyatakan
24
HRC, Concluding Observations on Egypt, UN. Doc. A/58/40 Vol. I (2002) 31, alinea 77(13).
Lihat misalnya: HRC, Concluding Observations on Niger, UN. Doc. A/48/40 Vol. I (1993) 88, alinea 425;
HRC, Concluding Observations on Cameroon, UN. Doc. A/49/40 Vol. I (1994) 36, alinea 203; HRC,
Concluding Observations on Togo, UN. Doc. A/49/40 Vol. I (1994) 44, alinea 250.
25
Lihat misalnya: HRC, Concluding Observations on Niger, UN. Doc. A/48/40 Vol. I (1993) 88, alinea 425;
HRC, Concluding Observations on Mexico, UN. Doc. A/49/40 Vol. I (1994) 33, alinea 172; HRC, Concluding
26
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
14
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
bahwa kompensasi seharusnya diberikan bagi kasus-kasus penghilangan paksa.27
Kesimpulan yang sama telah diterapkan bagi para korban penahanan paksa;28
pemerkosaan;29 penggunaan kekerasan yang tidak patut oleh pihak kepolisian30 dan
pelanggaran HAM lainnya.
(ii)
Yurisprudensi
Di dalam kasus Barbato vs. Uruguay31 HRC berpandangan bahwa Negara pihak
berada di bawah kewajiban untuk membayar sejumlah kompensasi yang patut kepada
keluarga Barbato atas kematian ketika ia berada di dalam penahanan. Di dalam kasus
Barboeram dkk. vs. Suriname32 HRC menyimpulkan bahwa Suriname diwajibkan untuk
membayar kompensasi kepada para keluarga dari orang-orang yang dibunuh oleh pihak
polisi militer. HRC mencapai kesimpulan serupa di dalam kasus Miango vs. Zaire33 yang
pada pokoknya merupkan kasus penyiksaan seseorang sampai mati oleh anggota-anggota
angkatan bersenjata.
Observations on Cameroon, UN. Doc. A/49/40 Vol. I (1994) 36, alinea 203; HRC, Concluding Observations
on Togo, UN. Doc. A/49/40 Vol. I (1994) 44, alinea 250.
Lihat misalnya: HRC, Concluding Observations on Mexico, UN. Doc. A/49/40 Vol. I (1994) 33, alinea 172;
HRC, Concluding Observations on Togo, UN. Doc. A/49/40 Vol. I (1994) 44, alinea 250.
27
Lihat misalnya: HRC, Concluding Observations on Cameroon, UN. Doc. A/49/40 Vol. I (1994) 36, alinea
203; HRC, Concluding Observations on Togo, UN. Doc. A/49/40 Vol. I (1994) 44, alinea 250.
28
HRC, Concluding Observations on the Russian Federation, UN. Doc. A/59/40 Vol. I (2003) 20, alinea
64(13).
29
30
HRC, Concluding Observations on Portugal, UN. Doc. A/58/40 Vol. I (2003) 56, alinea 83(8).
31
Barbato vs. Uruguay, CCPR/C/17/D/84/1981.
32
Baboeram dkk.. vs. Suriname, CCPR/C/24/D/148/1983.
33
Miango vs. Zaire, CCPR/C/31/D/194/1985.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
15
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
3.
July 2006
Pasal 7 ICCPR
Pasal 7 ICCPR menyatakan bahwa “(t)idak seorang pun dapat dikenai
penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat”.
Telah dinyatakan sebelumnya bahwa baik Pasal 1(9) dan Pasal 27 UndangUndang KKR bertentangan dengan Pasal 7 ICCPR.
(a)
Pasal 1(9) Undang-Undang KKR
Telah dinyatakan bahwa Pasal 1(9) Undang-Undang KKR melanggar Pasal 7
ICCPR dikarenakan pasal UU KKR tersebut bertentangan dengan kewajiban untuk
menginvestigasi praktik-praktik penyiksaan dan kewajiban untuk menyeret pihak yang
bertanggungjawab.
(i)
Komentar Umum
Di dalam Komentar Umum 2034 mengenai pengimplementasian Pasal 7 ICCPR,
HRC berkomentar bahwa “[m]ereka yang melanggar Pasal 7—entah dengan memberikan
dukungan, memberikan perintah, memberikan toleransi atau melakukan praktik-praktik
yang dilarang—haruslah dimintakan pertanggunjawabannya”.35 Sebagai tambahan HRC
mengamati bahwa “[p]emberian amnesti pada umumnya adalah tidak berkesesuaian
dengan kewajiban Negara-Negara untuk mengivestigasi praktik-praktik semacam itu,
untuk memberikan jaminan tidak terjadinya praktik-praktik semacam ini di dalam
ICCPR General Comment (Komentar Umum) 20 (Sesi ke-44, 1992): Pasal 7: Menggantikan Komentar
Umum 7 berkenaan dengan Pelarangan atas penyiksaan dan Perlakuan Sewenang-wenang dan
Penghukuman, A/47/40 (1992) 193.
34
ICCPR General Comment 20 (Sesi ke-44, 1992): Pasal 7: Menggantikan Komentar Umum 7 berkenaan
dengan Pelarangan atas penyiksaan dan Perlakuan Sewenang-wenang dan Penghukuman, A/47/40 (1992)
193 pada alinea 13.
35
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
16
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
yurisdiksinya, serta memastikan bahwa hal-hal ini tidak akan terjadi di masa
mendatang”.36 Sebagai konsekuensinya, adalah jelas bahwa di dalam pandangan HRC,
pemberian amnesti adalah tidak sesuai dengan Pasal 7 ICCPR.
(ii)
Catatan Penutup
Di dalam Catatan Penutupnya tahun 1993 atas Senegal, HRC mengutuk
pemberian amnesti kepada para pelaku kejahatan HAM, khususnya penyiksaan.37 Serupa
dengan Catatan Penutupnya tahun 1995 atas Haiti HRC berkomentar bahwa “adalah
menjadi keprihatinan kami bahwa…Undang-Undang Amnesti akan dapat menghalanghalangi investigasi atas dugaan-dugaan kejahatan HAM seperti… penyiksaan”.38
Terlihatlah bahwa pemerian amnesti seperti yang tercantum pada Pasal
1(9) Undang-
Undang KKR bertentangan dengan Pasal 7 ICCPR.
(iii)
Yurisprudensi
Kasus Rodríguez vs. Uruguay menggambarkan pandangan HRC bahwa
pemberian amnesti tidaklah boleh diperuntukkan bagi kejahatan-kejahatan yang diatur
oleh Pasal 7 ICCPR.39 Di dalam hal ini, Rodríguez telah mengalami penyiksaan oleh
pihak aparat Negara. Kemudian Negara memberlakukan sebuah Undang-Undang
Amnesti yang memaafkan para pelaku, yang tidak memungkinkan penuntutan atas
ICCPR General Comment 20 (Komentar Umum) (Sesi ke-44, 1992): Pasal 7: Menggantikan Komentar
Umum 7 berkenaan dengan Pelarangan atas penyiksaan dan Perlakuan Sewenang-wenang dan
Penghukuman, A/47/40 (1992) 193 pada alinea 15.
36
37
HRC, Concluding Observations on Senegal, UN. Doc. A/48/40 Vol. I (1993) 23, alinea 112.
38
HRC, Concluding Observations on Haiti, UN. Doc. A/50/40 Vol. I (1995) 46, alinea 230.
39
Rodríguez vs. Uruguay, CCPR/C/31/D/194/1985.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
17
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
sehingga kejahatan-kejahatan mereka. HRC mendapati bahwa Undang-Undang Amnesti
ini adalah “tidak sesuai dengan kewajiban dari Negara pihak di bawah Kovenan”.
(b)
Pasal 27 Undang-Undang KKR
Telah dinyatakan bahwa Pasal 27 Undang-Undang KKR melanggar Pasal 7
ICCPR dikarenakan larangan atas praktik penyiksaan juga mencakup kewajiban untuk
memberikan kompensasi kepada para korbannya. Kewajiban ini tidaklah bisa
dilaksanakan secara tuntas jika pemberian kompensasi digantungkan pada pemberian
amnesti.
(i)
Komentar Umum
Di dalam Komentar Umum 2040 HRC menyampaikan pandangan bahwa “Negara
tidaklah diperkenankan untuk menghalangi individu-individu dari hak untuk memperoleh
pemulihan efektif, termasuk kompensasi serta rehabilitasi sepenuh-penuhnya.”41 Sebagai
konsekuensi, terlihatlah bahwa pemberian syarat atas kompensasi di bawah keharusan
untuk memberikan amnesti dapat dipandang sebagai pelanggaran Pasal 7 ICCPR.
(ii)
Catatan Penutup
Telah berulang-kali HRC mengobservasi bahwa terdapatlah sebuah kewajiban
untuk memberikan kompensasi para korban penyiksaan. Misalnya saja di dalam Catatan
Penutupnya tahun 1995 atas Paraguay, HRC menyatakan bahwa “Negara pihak
seharusnya…menyediakan kompensasi patut bagi para korban, khususnya berkenaan
ICCPR General Comment 20 (Sesi ke-44, 1992): Article 7: Menggantikan Komentar Umum 7 berkenaan
dengan Pelarangan atas penyiksaan dan Perlakuan Sewenang-wenang dan Penghukuman, A/47/40 (1992)
193.
40
ICCPR General Comment 20 (Sesi ke-44, 1992): Article 7: Menggantikan Komentar Umum 7 berkenaan
dengan Pelarangan atas penyiksaan dan Perlakuan Sewenang-wenang dan Penghukuman, A/47/40 (1992)
193 pada alinea 15.
41
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
18
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
dengan berlanjutnya praktik-praktik penyiksaan dan perlakuan-perlakuan sewenangwenang oleh pihak kepolisian dan angkatan bersenjata.42 Di dalam Catatan Penutupnya
tahun 1999 atas Meksiko, HRC khususnya amat prihatin sehubungan dengan larangan
atas penyiksaan serta keharusan untuk memberikan pemulihan, termasuk kompensasi.
HRC menyatakan:
Adalah merupakan sebuah keprihatinan mendalam…bahwa tidak semua bentuk
penyiksaan dicakup secara penuh di dalam Undang-Undang negara Meksiko; dan
tidak terdapat badan independen untuk menginvestigasi berbagai
laporan/pengaduan atas praktik-praktik penyiksaan serta perlakuan-perlakuan
tidak manusiawi atau tidak bermartabat lainnya. Adalah merupakan sebuah
keprihatinan pula bahwa praktik-praktik penyiksaan, penghilangan paksa dan
pembunuhan ekstra-yudisial yang telah terjadi tidaklah diinvestigasi; bahwa
orang-orang yang bertanggungjawab atas tindakan-tindakan tersebut tidak
kunjung diseret ke pengadilan; dan bahwa para korban atau para keluarganya
tidak juga mendapatkan kompensasi. Negara pihak seharusnya mengambil
tindakan-tindakan perlu untuk menjalankan secara penuh ketentuan Pasal 6 dan 7
Kovenan, termasuk tindakan pemberian pemulihan atas seluruh penyiksaan di
Negara Meksiko.43
(iii)
Yurisprudensi
HRC telah mengadopsi posisi yang sama di dalam yurisprudensinya sebagaimana
yang termuat di dalam Komentar Umum dan Catatan Penutup, bahwasanya para korban
penyiksaan harus mendapatkan kompensasi. Sebagai contoh di dalam kasus Muteba vs.
Zaire44 HRC mendapati bahwa Negara diwajibkan untuk membayarkan kompensasi
kepada Mr. Muteba sebagai bagian dari pemulihan atas penyiksaan yang telah
HRC, Concluding Observations (Catatan Penutup) on Paraguay, UN. Doc. A/50/40 Vol. I (1995) 42,
alinea 216.
42
Concluding Observations on Mexico, UN. Doc. A/54/40 Vol. I (1999) 61, alinea 318. Lihat juga contohcontoh berikut ini: HRC, Concluding Observations on Niger, UN. Doc. A/48/40 Vol. I (1993) 88, alinea 423;
HRC, Concluding Observations on Cameroon, UN. Doc. A/49/40 Vol. I (1994) 36, alinea 203; HRC,
Concluding Observations on Argentina, UN. Doc. A/50/40 Vol. I (1995) 35, alinea 161; HRC, Concluding
Observations on Bolivia, UN. Doc. A/52/40 Vol. I (1997) 35, alinea 218.
43
44
Muteba vs. Zaire, CCPR/C/22/D/124/1982.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
19
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
dideritanya. Serupa dengan hal ini di dalam kasus Rodríguez vs. Uruguay45 HRC
berpandangan bahwa Mr. Rodríguez memiliki hak mendapatkan kompensasi atas
penyiksaan yang telah dipaksakan untuk ditanggungnya.
45
Rodríguez vs. Uruguay, CCPR/C/22/D/124/1982.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
20
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
B
July 2006
Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam,
Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia
(“CAT”)46
ICTJ menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang KKR
yang memperbolehkan amnesti dan membebani syarat pemberian reparasi dengan
keharusan
memberikan
amnesti
adalah bertentangan
dengan
CAT.
Indonesia
menandatangani CAT pada tanggal 23 Oktober 1985. Berkesesuaian dengan Pasal 18 dari
Konvensi Wina mengenai Hukum Perjanjian (Law of Treaties), maka ketika sebuah
Negara telah menandatangani sebuah traktat, maka “Negara tersebut terikat untuk tidak
melakukan praktik-praktik yang akan dapat menggugurkan maksud dan tujuan” dari
traktat tersebut. Oleh karena itu semenjak tahun 1985 sampai seterusnya, Indonesia
dikenakan kewajiban untuk menghindarkan diri dari praktik-praktik yang akan dapat
menggugurkan maksud dan tujuan dari CAT (Konvensi Anti Penyiksaan) tersebut.
Indonesia meratifikasi CAT pada tanggal 28 Oktober 1998. ICTJ menyatakan bahwa
Undang-Undang KKR melanggar CAT.
1.
Pasal 1(9) dan 44 UU KKR melanggar Pasal 4, 7, 12 dan 13 CAT
Sebagaimana dinyatakan di atas, Pasal 1(9) Undang-Undang KKR menyebutkan
bahwa amnesti “adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat [sic]”.
46
G.A. Res. 39/46, Annex, 39 U.N. GAOR Supp. No. 51, U.N. Doc. A/39/51 (1984).
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
21
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
Pasal 44 Undang-Undang KKR menyatakan bahwa “[p]elanggaran hak asasi
manusia yang berat telah diungkapkan dan diselesaikan oleh komisi, perkaranya tidak
dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad-hoc [sic].”
Menurut dengan Pasal 4 CAT, tiap Negara harus menjamin bahwa tindakan
penyiksaan adalah pelanggaran menurut ketentuan hukum pidananya” dan
harus
“mengatur agar pelanggaran-pelanggaran dihukum dengan hukuman yang setimpal
dengan mempertimbangkan sifat kejahatannya”. Sesuai Pasal 7 CAT, tiap Negara harus
“mengajukan kasus itu kepada pihak yang berwenang untuk tujuan penuntutan”. Lebih
jauh lagi Pasal 12 CAT menegaskan bahwa tiap Negara harus “menjamin agar instansiinstansi yang berwenang melakukan suatu penyelidikan dengan cepat dan tidak memihak,
setiap ada alasan yang cukup kuat untuk mempercayai bahwa suatu tindak penyiksaan
telah dilakukan di dalam wilayah kewenangan hukumnya”. Akhirnya Pasal 13 CAT
menegaskan bahwa tiap Negara harus “menjamin agar setiap orang yang menyatakan
bahwa dirinya telah disiksa dalam wilayah kewenangan hukumnya mempunyai hak untuk
mengadu dan agar kasusnya diperiksa dengan segera dan tidak memihak oleh pihakpihak yang berwenang”. Maka CAT mewajibkan Negara untuk melakukan investigasi,
penuntutan dan memberikan pemulihan efektif berkenaan dengan praktik-praktik
penyiksaan. ICTJ menyatakan bahwa Pasal 1(9) dan 44 Undang-Undang KKR melanggar
kewajiban-kewajiban pokok ini.
Di dalam Catatan Penutup tahun 2002 atas Indonesia, Komite Anti Penyiksaan
(“Torture Committee”) menyampaikan keprihatinannya atas “kegagalan Negara pihak
untuk mengantisipasi secara tepat, tidak berpihak serta melakukan investigasi penuh atas
sekian banyak dugaan penyiksaan…demikian pula halnya dengan kegagalan untuk
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
22
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
melakukan penuntutan atas berbagai dugaan pelanggaran sebagaimana yang diatur di
dalam Pasal 12 dan 13 Konvensi”. 47
Di dalam pembahasan mengenai Undang-Undang Amnesti Peru, Komite Anti
Penyiksaan mengutip—dengan ketidaksetujuan—mengenai “Undang-Undang Amnesti
yang mengenyampingkan penuntutan atas para tersangka penyiksa, padahal menurut
Pasal 4, 5 dan 12 Konvensi, perbuatan tersebut haruslah diinvestigasi dan dituntut”.
Menurut Komite Anti Penyiksaan, “Undang-Undang Amnesti seharusnya justru
mengecualikan penyiksaan dari cakupan mereka”.48
Serupa dengan hal ini, pada Catatan Penutup tahun 2000 atas Azerbaijan Komite
Anti Penyiksaan mengamati bahwa “[d]alam rangka memastikan agar para pelaku
penyiksaan tidak dapat menikmati impunitas, Negara pihak harus memastikan bahwa
investigasi—dan sejauh dimungkinkan—penuntutan atas mereka yang diduga melakukan
kejahatan penyiksaan, serta memastikan bahwa Undang-Undang Amnesti tidak
memasukkan penyiksaan dari jangkauannya”.49
Lebih lanjut lagi di dalam kasus Hajrizi Dzemajl dkk. vs. Serbia dan
Montenegro50 Komite Anti Penyiksaan mengkonfirmasikan bahwa Negara memiliki
kewajiban
untuk
menginvestigasi,
menuntut
serta
menghukum
mereka
yang
bertanggungjawab atas praktik-praktik penyiksaan. Di dalam kasus M’Barek vs. Tunisia51
47
CAT, Concluding Observations on Indonesia, UN. Doc A/57/44 (2002) 22, alinea 43.
48
CAT, Concluding Observations on Peru, UN. Doc A/55/44 (2000) 13, alinea 59, 61.
49
CAT, Concluding Observations on Azerbaijan, UN. Doc A/55/44(2000) 16, alinea 69.
50
Hajrizi Dzemajl dkk. vs. Serbia and Montenegro UN Doc CAT/C/29/D/161/2000.
51
M’Barek vs. Tunisia (60/1996), U.N. Doc. CAT/C/23/D/60/1996 (2000) alinea 12.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
23
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
dan Blanco Abad vs. Spanyol52 Komite Anti Penyiksaan menyatakan bahwa sebuah
Negara melanggar Pasal 13 Konvensi [“CAT”] ketika Negara ini gagal melangsungkan
investigasi independen atas dugaan-dugaan praktik penyiksaan di dalam wilayah
kewenangannya.
Sebagai konsekuensinya adalah jelas dari Catatan Penutup serta yurisprudensi
yang ada jika Komite Anti Penyiksaan mengukuhkan bahwa ketentuan Undang-Undang
sebagaimana terdapat di dalam Pasal 1(9) dan 44 Undang-Undang KKR—yang
mempersulit investigasi efektif, penuntutan serta penghukuman atas pelanggaranpelanggaran CAT—itu sendiri merupakan pelanggaran dari Konvensi ini.
2.
Pasal 27 UU KKR melanggar Pasal 14(1) CAT
Sebagaimana telah dinyatakan di muka, Pasal 27 Undang-Undang KKR
menyebutkan bahwa “[k]ompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal
19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan”.
Pasal 14(1) CAT menyatakan bahwa
Setiap Negara Pihak (Anggota) harus menjamin agar dalam sistem hukumnya
korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti-rugi dan mempunyai hak
untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk
rehabilitasi sepenuh mungkin. Dalam peristiwa korban meninggal dunia sebagai
akibat tindak penyiksaan, ahli warisnya berhak mendapatkan ganti-rugi.
Telah dinyatakan bahwa Pasal 27 Undang-Undang KKR melanggar Pasal 14(1)
CAT karena—dengan menempatkan kompensasi di bawah syarat pemberian amnesti—
maka pasal ini bertentangan dengan hakikat hak atas kompensasi yang [seharusnya
diberikan] tanpa bersyarat.
52
Blanco Abad vs. Spain (59/1996), UN Doc CAT/C/20/D/59/1996 (1988).
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
24
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
Di dalam berbagai Catatan Penutup Komite Anti Penyiksaan telah menyorot
kewajiban absolut bagi Negara untuk menyediakan kompensasi bagi para korban
penyiksaan. Misalnya di dalam Catatan Penutup tahun 1995 atas Italia, Komite Anti
Penyiksaan mengamati bahwa “Negara pihak seharusnya: Memberikan jaminan lebih
baik bagi korban penyiksaan untuk dikompensasikan oleh Negara serta menyediakan
sejumlah program rehabilitasi baginya”.53 Serupa dengan hal ini, pada Catatan Penutup
atas Peru di tahun 1998, Komite Anti Penyiksaan menegaskan bahwa “[N]egara pihak
seharusnya memandang—sesuai dengan Pasal 6, 11, 12, 13 dan 14 Konvensi—agar
mengambil tindakan-tindakan demi memastikan bahwa para korban penyiksaan atau
perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat
manusia serta para ahli warisnya, menerima pemulihan, kompensasi dan rehabiitasi di
bawah kondisi apa pun”.54
Yurisprudensi Komite Anti Penyiksaan juga prihatin atas kewajiban pemberian
kompensasi. Misalnya di dalam kasus Hajrizi Dzemajl dkk. vs. Serbia dan Montenegro
Komite Anti Penyiksaan mendesak Serbia dan Montenegro “untuk melancarkan
investigasi patut atas praktik-praktik yang telah terjadi pada tanggal 15 April 1995; agar
menuntut dan menghukum orang-orang yang bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan
tersebut serta menyediakan pemulihan bagi mereka yang dirugikan, termasuk kompensasi
yang patut dan setara”.55
53
CAT, Concluding Observations on Italy, UN. Doc A/50/44 (1995) 21, alinea 157.
54
CAT, Concluding Observations on Peru, UN. Doc A/53/44 (1998) 22 alinea 205.
55
Hajrizi Dzemajl dkk. vs. Serbia dan Montenegro (161/2000), CAT, A/58/44 (21 November 2002).
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
25
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
C
July 2006
Konvensi Internasional tentang Perlindungan bagi Semua Orang dari
Penghilangan Paksa
Pada tanggal 25 September 2005 Konvensi Internasional tentang Perlindungan
bagi Semua Orang dari Penghilangan Paksa (“Konvensi Penghilangan”) diberlakukan.
Kelompok Kerja Penghilangan Paksa atau Tidak dengan Sukarela mengajukan
permohonan kepada Majelis Umum pada sesi ke-61-nya agar mengadopsi rancangan
Konvensi. Pasal 6 dari Konvensi Penghilangan Paksa ini mewajibkan Negara agar
memperlakukan para pelaku penghilangan paksa secara pidana bertanggungjawab atas
perbuatan-perbuatan mereka. Pasal 24 dari Konvensi Penghilangan ini juga menyatakan
bahwa “[t]iap Negara Pihak harus memastikan di dalam sistem hukumnya bahwa para
korban penghilangan paksa berhak atas reparasi serta kompensasi yang tepat, setara dan
adil”. Sebagai konsekuensinya, adalah jelas jika Pasal 9(1), 27 dan 44 Undang-Undang
KKR melanggar segenap rancangan Konvensi ini.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
26
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
II
UNDANG-UNDANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI BERTENTANGAN
DENGAN SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS
A
1.
July 2006
Deklarasi PBB dan Resolusi-Resolusinya
Deklarasi Penyiksaan56
Pasal 10 Deklarasi Penyiksaan diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa tahun 1975 menyatakan bahwa “[j]ika sebuah investigasi menunjukkan bahwa…
sebuah tindak penyiksaan…telah terjadi, maka proses [penuntutan] pidana haruslah
digelar”. Sesuai dengan Pasal 11 Deklarasi Penyiksaan “[k]etika dibuktikan bahwa
sebuah tindak penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang Kejam, tidak manusiawi
dan merendahkan martabat manusia telah dilakukan oleh atau pun di bawah naungan
aparat publik, korban haruslah mendapatkan pemulihan dan kompensasi sesuai dengan
hukum nasional”.
Sebagai konsekuensinya, sesuai dengan Deklarasi Penyiksaan adalah jelas bahwa
amnesti yang disediakan oleh Undang-Undang KKR berkontradiksi dengan aspek-aspek
fundamental dari hukum internasional. Lebih jauh lagi, sementara Deklarasi PBB
menyediakan sejumlah kelenturan bagi Negara-Negara untuk bertindak sesuai dengan
hukum nasionalnya masing-masing, adalah jelas bahwa sejumlah bentuk kompensasi atau
pemulihan diwajibkan atas segala tindak penyiksaan. Persyaratan kompensasi dengan
memberikan amnesti di dalam Pasal 27 Undang-Undang KKR terlihat berkonflik dengan
kewajiban ini.
Declaration on the Protection of All Persons from Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment (Diadopsi Majelis Umum lewat Resolusi 3452 (XXX) 9 Desember
1975).
56
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
27
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
2.
July 2006
Deklarasi Penghilangan57
Deklarasi Perlindungan Semua Orang atas Penghilangan Paksa (“Deklarasi
Penghilangan”) diadopsi pada tanggal 18 Desember 1992. Deklarasi Penghilangan
mewajibkan Negara-Negara [pihak] untuk melembagakan mekanisme hukum bagi
pencegahan serta penghukuman praktik penghilangan paksa. Pasal 14 Deklarasi
Penghilangan menyatakan bahwa “[t]iap orang yang diduga telah melakukan tindak
penghilangan paksa di Negara tertentu, akandihadapkan pada otoritas sipil berkompeten
dari Negara yang bersangkutan untuk tujuan penututan dan persidangan (ketika
investigasi resmi telah berhasil mengungkap fakta-fakta terkait)”.
Lebih lanjut, Pasal 18 secara spesifik menyatakan bahwa “[o]rang-orang yang
telah atau pun diduga melakukan kejahatan-kejahatan yang diacu pada pasal 4, alinea 1,
di atas, tidaklah boleh menikmati Undang-Undang Amnesti khusus mana pun, atau
upaya-upaya sejenisnya yang dapat berefek pada pengenyampingan mereka dari proses
penuntutan pidana atau sanksi”. Sebagai konsekuensinya, menjadi jelas bahwa amnesti
bagi [para pelaku] penghilangan paksa adalah dilarang oleh Deklarasi Penghilangan dan
bahwasanya tuntutan atas perbuatan ini merupakan kewajiban (mandatory). Sebagai
tambahan, Pasal 19 Deklarasi Penghilangan menyatakan bahwa
Para korban dari praktik-praktik penghilangan paksa serta keluarganya haruslah
memperoleh pemulihan dan memiliki hak bagi kompensasi yang setara, termasuk
sarana-sarana untuk mendapatkan rehabilitasi sepenuh mungkin. Dalam hal
korban meninggal sebagai akibat dari prakti penghilangan paksa, keturunannya
haruslah pula memperoleh hak atas kompensasi.
Pengakuan jelas (eksplisit) terhadap hak atas kompensasi ini sebagai sebuah hak yang
absolut berkontradiksi dengan Undang-Undang KKR.
Declaration on the Protection of all Persons from Enforced Disappearance (Diadopsi Majelis Umum lewat
Resolusi 47/133 tanggal 18 Desember 1992).
57
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
28
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
3.
July 2006
Resolusi Dewan Keamanan 1325 (2000)58
Di dalam Resolusi 1325 Dewan Kemanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui
arti penting penuntutan bagi terwujudnya keadilan dan perdamaian. Dewan Keamanan
menekankan
kewajiban seluruh Negara untuk mengakhiri impunitas dan menuntut mereka
yang bertanggungjawab atas genosida, kejahatan kemanusiaan serta kejahatan
perang, termasuk yang berkaitan dengan kekerasan seksual dan berbagai
kekerasan lainnya atas kaum perempuan dewasa maupun anak-anak; dan persis di
sinilah [kami] menekankan kebutuhan untuk mengenyampingkan kejahatankejahatan ini—sejauh mungkin—dari ketentuan-ketentuan amnesti.
Berdasarkan hal ini, sesuai dengan Pasal 25 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, “[p]ara
Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa sepakat untuk menerima dan mengemban
keputusan-keputusan Dewan Keamanan”, Indonesia seharusnya tidak boleh mengambil
langkah-langkah yang melanggar resolusi ini.
58
Diadopsi oleh Dewan Keamanan dalam sidang ke-4213, 31 Oktober 2000.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
29
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
B
1.
July 2006
Laporan-Laporan
Laporan Sekretaris Jenderal PBB Berkenaan dengan Pembentukan Tribunal
Khusus untuk Sierra Leone
Di dalam Laporannya sebagai Sekretaris Jenderal PBB berkenaan dengan
Pembentukan Tribunal Khusus untuk Sierra Leone, Sekretaris Jenderal PBB menyatakan
bahwa “Perserikatan Bangsa-Bangsa secara konsisten tetap berpegangan pada posisi
bahwa amnesti tidaklah dapat diberikan atas kejahatan-kejahatan internasional, seperti
genosida, kejahatan kemanusiaan atau pelanggaran-pelanggaran serius atas hukum
humaniter internasional”.59 Sebagai konsekuensinya, terlihatlah bahwa Undang-Undang
KKR Indonesia gagal mengemban kewajiban ini di hadapan sebuah pernyataan hukum
yang sedemikian jelas dan tidak mendua yang telah disampaikan oleh Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2.
Laporan Sekretaris Jenderal mengenai Supremasi Hukum (Rule of Law) dan
Keadilan Transisional (Transitional Justice) bagi Masyarakat Berkonflik
maupun Pasca Konflik
Pada laporannya yang berpengaruh mengenai persoalan keadilan transisional,
Sekretaris Jenderal PBB menyatakan bahwa “perjanjian-perjanjian perdamaian yang
dipromosikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak akan pernah menjanjikan amnesti
bagi genosida, kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, atau kejahatan HAM berat”.60
Dewan Keamanan (Security Council), Report of the Secretary-General on the establishment of a Special
Court for Sierra Leone, S/2000/915, 4 October 2000, alinea 22.
http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/N00/661/77/PDF/N0066177.pdf?OpenElement.
59
Dewan Keamanan (Security Council), Report On The Rule Of Law And Transitional Justice In Conflict
And Post-Conflict Societies, The Secretary-General, UN. Doc. S/2004/616, (3 Agustus 2004) alinea 10.
http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/N04/395/29/PDF/N0439529.pdf?OpenElement.
60
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
30
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
Dengan merekomendasikan perjanjian-perjanjian perdamaian serta resolusi Dewan
Keamanan dan mandatnya, Sekjen PBB menyimpulkan bahwa
“[m]enolak dukungan pemberian amnesti bagi genosida (genocide), kejahatan
perang (war crimes) dan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity), termasuk
yang kejahatan yang berkaitan dengan etnis, gender serta kejahatan berbasiskan seksual
di level internasional (sexually based international crimes); memastikan bahwa tidak ada
amnesti yang diberikan sebelumnya, adalah patokan bagi penuntutan di hadapan
pengadilan bentukan PBB maupun yang ditopang oleh PBB”.61 Maka menjadi jelaslah
bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai institusi berada pada posisi menentang
pemberian amnesti atas kejahatan HAM berat. Lebih jauh lagi, Sekjen PBB menyatakan
bahwa “terhadap berlangsungnya kejahatan-kejahatan HAM yang meluas, NegaraNegara [pihak] memiliki kewajiban untuk bertindak tidak hanya terhadap para pelaku,
namun juga bertindak atas nama para korban—termasuk melalui berbagai ketentuan
reparasi”.62 Maka jelasha terlihat bahwa PBB selain memiliki sikap yang amat jelas
dalam menentang amnesti, juga mendukung penuh ketentuan reparasi bagi para korban
kejahatan HAM berat.
Security Council (Dewan Keamanan), Report On The Rule Of Law And Transitional Justice In Conflict
And Post-Conflict Societies, The Secretary-General, UN. Doc. S/2004/616, (3 Agustus 2004) alinea 64.
http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/N04/395/29/PDF/N0439529.pdf?OpenElement.
61
Security Council, Report On The Rule Of Law And Transitional Justice In Conflict And Post-Conflict
Societies, The Secretary-General, UN. Doc. S/2004/616, (3 Agustus 2004) alinea 54.
http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/N04/395/29/PDF/N0439529.pdf?OpenElement.
62
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
31
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
3.
July 2006
Laporan Pakar Independen berkenaan dengan Prinsip-Prinsip Impunitas
Pada tanggal 18 Februari 2005 seorang pakar independen bernama Diane
Orentlicher ditunjuk untuk memperbarui Rangkaian Prinsip bagi Perlindungan dan
Promosi HAM melalui Aksi Memerangi Impunitas (Set of Principles for the Protection
and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity) dan agar
menyampaikan hasil/laporannya kepada Komisi HAM PBB (United Nations Commission
on Human Rights).63 Di dalam resolusi yang ditetapkan pada tanggal 21 April 2005,
Komisi HAM PBB “mencatat dengan penuh penghargaan, laporan pakar independen
serta Rangkaian Prinsip bagi Perlindungan dan Promosi HAM melalui Aksi Memerangi
Impunitas yang telah diperbarui (E/CN.4/2005/102 and Add.1) sebagai panduan untuk
mendampingi Negara-Negara dalam mengembangkan upaya-upaya efektif memerangi
impunitas”.64 Komisi HAM PBB (Commission on Human Rights) kini telah digantikan
oleh Dewan HAM PBB (Human Rights Council), yang berwenang memikul keseluruhan
mandat dan tanggungjawab Komisi, serta mengemban peran dan tanggungjawab Komisi
HAM PBB berkenaan dengan kerja Kantor Komisioner Tinggi HAM (Office of the High
Commissioner). Menyadari bahwa Indonesia kini adalah anggota Dewan HAM PBB,
maka jelaslah terdapat keharusan (compulsion) bagi Indonesia untuk menjalankan
resolusi-resolusi yang telah ditetapkan oleh Komite HAM PBB sebelumnya.
Berkenaan dengan topik amnesti Laporan ini menyatakan bahwa “keputusankeputusan terbaru telah mengukuhkan tidak sesuainya (incompatibility) amnesti—yang
Commission on Human Rights, Promotion and Protection of Human Rights: Impunity, Report of the
Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity, Diane Orentlicher,
E/CN.4/2005/102, (18 February 2005), tersedia di situs:
http://www.ohchr.org/english/bodies/chr/docs/61chr/E.CN.4.2005.102.pdf.
63
64
Commission on Human Rights, 60th meeting, UN Doc. E/CN.4/2005/L.10/Add.17 (April 21, 2005).
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
32
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
menghantarkan kepada impunitas—dengan kewajiban Negara-Negara untuk menghukum
kejahatan-kejahatan serius di bawah hukum internasional”.65
Berkenaan dengan topik reparasi, laporan ini menyatakan bahwa:
Sebagaimana yang berulang-kali telah dikukuhkan di dalam yurisprudensi badanbadan berbasiskan traktat (Konvensi/Kovenan HAM PBB) (human rights treaty
bodies), “jika kejahatan tersebut …sungguh-sungguh serius”, para korban
haruslah mendapatkan pemulihan yang sepenuhnya sah secara hukum (judicial
remedies). Tanpa berprasangka terhadap hak ini, pengalaman akhir-akhir ini telah
mengukuhkan peran penting program-program nasional bagi pemulihan pasca
tragedi kemanusian berskala besar (mass atrocity). Dalam hal ini, sementara
jumlah korban lazimnya amatlah besar, program-program pemerintahan dapat
memfasilitasikan distribusi reparasi yang wajar, efektif dan tepat.
Maka laporan ini juga secara jelas mengukuhkan keharusan menuntut para pelaku
kejahatan HAM serta arti pentingnya menegakkan skema-skema reparasi yang
komprehensif.
Commission on Human Rights, Promotion and Protection of Human Rights: Impunity, Report of the
Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity, Diane Orentlicher,
E/CN.4/2005/102, (18 Februari 2005), alinea 50, tersedia di situs:
http://www.ohchr.org/english/bodies/chr/docs/61chr/E.CN.4.2005.102.pdf.
65
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
33
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
C
1.
July 2006
Beberapa Prinsip dan Panduan
Rangkaian Prinsip bagi Perlindungan dan Promosi HAM melalui Aksi
Memerangi Impunitas yang Diperbarui (Updated)
Di dalam resolution tertanggal 21 April 2005 Komisi HAM PBB merujuk dengan
penuh persetujuan kepada Rangkaian Prinsip bagi Perlindungan dan Promosi HAM
melalui Aksi Memerangi Impunitas yang Diperbarui66 (“Prinsip Impunitas”). Resolusi ini
mendorong “Berbagai negara, organisasi antar-pemerintah, organisasi non-pemerintah,
untuk menimbang berbagai rekomendasi serta praktik-praktik terbaik yang terkandung di
dalam...Prinsip-prinsip yang telah diperbarui tersebut sebagai hal yang amat sesuai dalam
mengembangkan dan menerapkan upaya-upaya efektif memerangi impunitas”.67 Di
dalam resolusi yang sama Komisi HAM PBB mengakui “bahwa amnesti tidaklah boleh
diberikan kepada mereka yang telah melakukan kejahatan-kejahatan HAM maupun
kejahatan perang internasional”.68 Sebagaimana dinyatakan di atas, mengetahui bahwa
Indonesia adalah anggota Dewan HAM PBB—penerus sah dari Komisi HAM PBB—
Indonesia telah terikat untuk berkomitmen agar bertindak sesuai dengan isi resolusi yang
telah ditetapkan oleh Komisi HAM PBB sebelumnya.
Sesuai dengan Pasal
19 mengenai Prinsip-Prinsip Impunitas, Negara-Negara
haruslah melaksanakan investigasi yang layak atas kejahatan-kejahatan HAM serta harus
memastikan bahwa pihak yang bertanggungjawab atas kejahatan serius di bawah hukum
Commission on Human Rights, Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human
Rights through Action to Combat Impunity, UN. Doc. E/CN.4/2005/102/Add.1 (8 Februari 2005)
http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G05/109/00/PDF/G0510900.pdf?OpenElement.
66
67 Commission on Human Rights, 60th meeting, UN Doc. E/CN.4/2005/L.10/Add.17 (April 21, 2005) alinea
21.
Commission on Human Rights, 60th meeting, UN Doc. E/CN.4/2005/L.10/Add.17 (April 21, 2005) alinea
21, alinea 3.
68
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
34
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
internasional dituntut, diadili dan dihukum secara pantas”.69 Lebih lanjut lagi Pasal 24
dari Prinsip Impunitas menyatakan bahwa “Amnesti serta upaya-upaya lainnya janganlah
sampai berefek (mendatangkan pengaruh) atas hak para korban atas reparasi”.70 Prinsip
ini secara khusus amat relevan dengan Undang-Undang KKR Indonesia, yakni Pasal 27
yang membebankan persyaratan bagi pemberian reparasi di bawah keharusan
memberikan amnesti terlebih dulu. Prinsip Impunitas mengonfirmasikan hakikat absolut
dari hak atas reparasi di dalam Pasal 31 yang menegaskan bawah “[k]ejahatan HAM
yang bermuara pada hak atas reparasi bagi para korban atau pewarisnya, berimplikasi
pada tugas Negara untuk memberikan reparasi dan prospek korban untuk memperoleh
pemulihan atas tindakan-tindakan pelakunya”. 71
2.
Prinsip Dasar dan Panduan bagi Hak atas Pemulihan
Pada tanggal 21 Maret 2006 Majelis Umum PBB mengeluarkan sebuah resolusi
mengadopsi Prinsip-Prinsip Umum dan Panduan atas Pemulihan dan Reparasi bagi Para
Korban Kejahatan HAM Berat serta Pelanggaran Serius atas Hukum Humaniter72
(“Prinsip-Prinsip
Hak
atas
Pemulihan”).
Prinsip-prinsip
Hak
atas
Pemulihan
Commission on Human Rights, Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human
Rights through Action to Combat Impunity, UN. Doc. E/CN.4/2005/102/Add.1 (8 Februari 2005)
http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G05/109/00/PDF/G0510900.pdf?OpenElement.
69
Commission on Human Rights, Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human
Rights through Action to Combat Impunity, UN. Doc. E/CN.4/2005/102/Add.1 (8 Februari 2005)
http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G05/109/00/PDF/G0510900.pdf?OpenElement.
70
Commission on Human Rights, Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human
Rights through Action to Combat Impunity, UN. Doc. E/CN.4/2005/102/Add.1 (8 Februari 2005)
http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G05/109/00/PDF/G0510900.pdf?OpenElement.
71
Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations
of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law, G.A. Res.
60/147, U.N. Doc. A/Res/60/147 (16 Desember 2005).
72
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
35
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
mengonfirmasikan bahwa Negara-negara memiliki kewajiban untuk menuntut para
pelaku kejahatan HAM serta menyediakan reparasi bagi para korban. Kedua prinsip ini
dipandang sebagai aspek fundamental bagi hak korban atas pemulihan. Contohnya Pasal
11 menegaskan bahwa seorang korban memiliki “akses terhadap keadilan yang setara dan
efektif” maupun “reparasi yang patut, efektif dan tepat” atas penderitaan yang telah
ditanggungnya”.
Dengan memperhatikan tugas untuk menuntut mereka yang bertanggungjawab
atas kejahatan-kejahatan HAM…Pasal 4 Prinsip-prinsip Hak atas Pemulihan menyatakan
bahwa
“[d]i dalam kasus-kasus kejahatan HAM berat dan pelanggaran serius atas hukum
humaniter internasional…negara memiliki tugas untuk menginvestigasi dan—jika
terdapat bukti-bukti cukup—bertugas untuk menuntut orang yang
bertanggungjawab atas kejahatan-kejahatan tersebut serta—jika terbukti
bersalah—menghukumnya”.
Berkenaan dengan hak-hak korban untuk menerima reparasi, Pasal 3 dari Prinsipprinsip Hak atas Pemulihan menyatakan bahwa kewajiban menerapkan hukum
internasional mencakup kewajiban menyediakan reparasi. Pasal 15 membahas kewajiban
ini dalam rincian yang lebih tajam dan menyatakan bahwa …
Reparasi yang patut, efektif dan tepat dimaksudkan untuk mempromosikan
keadilan dengan memberikan pemulihan atas kejahatan berat hukum HAM
internasional atau pelanggaran serius hukum humaniter. Reparasi seyogianya
dilakukan secara proporsional, setara dengan besarnya kejahatan dan penderitaan
yang didatangkannya. Sehubungan dengan hukum nasional (domestic laws) dan
hukum humaniter internasional, sebuah Negara haruslah menyediakan reparasi
bagi korban dari tindakan aktif (acts) atau pun pembiaran (omissions) yang dapat
dibebankan kepada Negara sejauh merupakan kejahatan berat HAM atau pun
pelanggaran serius hukum humaniter internasional.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
36
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
D
Pernyataan-Pernyataan Representatif Indonesia di Hadapan Dewan HAM dan
Dewan Keamanan PBB
1.
Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan
Paksa
Pada tanggal 23 Juni 2006 Dewan HAM PBB mengeluarkan resolusi yang berisi
rekomendasi kepada Majelis Umum PBB bahwa Dewan HAM telah mengadopsi
Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
Dalam keterangan pers Perserikatan Bangsa-Bangsa, representatif Indonesia—
Wiwiek Setyawati—telah menyatakan bahwa adalah amat penting bagi Dewan [HAM]
untuk menempatkan prioritas pada hak-hak yang tidak dapat dikesampingkan (nonderogable rights). Pembunuhan sewenang-wenang serta praktik-praktik penghilangan
paksa haruslah diakhiri. Tidak ada seorang pun yang boleh mengalami penghilangan
paksa, dan bahwasanya kita tidak boleh memberikan toleransi (zero tolerance) bagi
praktik semacam ini. Konvensi [Penghilangan Paksa] ini akan menjadi dokumen rujukanstandar penting (an important standard-setting document) untuk memberikan
perlindungan dari penghilangan paksa.73
Konvensi ini berisi sejumlah Pasal yang dengan jelas mendukung dalil bahwa
para pelaku penghilangan paksa haruslah dituntut (lihat bagian I:C di atas). Berkenaan
dengan dukungan yang telah diberikan oleh Indonesia atas Konvensi ini, maka agaknya
Indonesia juga telah memiliki komitmen di dalam arena hukum internasional—setidaktidaknya atas kejahatan penghilangan paksa—dengan menuntut para pelaku kejahatan ini.
Keterangan Pers Dewan HAM, Dewan Menyimpulkan Diskusi mengenai Laporan Pokja berkenaan
dengan Draft Konvensi Anti Penghilangan Paksa [Council Concludes Discussion On Report Of Working
Group On Draft Convention Against Enforced Disappearance] (27 Juni 2006).
73
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
37
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
2.
July 2006
Laporan Sekretaris Jenderal mengenai Supremasi Hukum (Rule of Law) dan
Keadilan Transisional (Transitional Justice) dalam Masyarakat in Konflik
maupun Pasca-Konflik
Di dalam komentarnya atas laporan Sekretaris Jenderal PBB yang telah
disinggung di muka (bagian II:B:2), Rezlan Ishar Jenie, dutabesar Indonesia untuk PBB
menyatakan bahwa:
Komunitas internasional dan PBB perlu meningkatkan upaya-upaya mereka untuk
membantu negara-negara pihaknya dalam memenuhi tujuan keadilan dan
supremasi hukum…Misalnya, PBB dapat memainkan peran yang lebih aktif
dalam memajukan kesadaran umum dan pemahaman prinsip-prinsip yang telah
disepakati secara internasional yang sedemikian esensial bagi perwujudan
keadilan dan supremasi hukum…Proposal apa pun untuk memperkuat dukungan
PBB bagi keadilan transisional dan supremasi hukum di masyarakat mana pun,
haruslah dimaksudkan untuk mempromosikan serta mewujudkan prinsip-prinsip
yang tertuang di dalam Piagam PBB dan hukum internasional…Proses penting
lainnya—sebagaimana tercantum di dalam laporan tersebut—adalah
pendayagunaan Komisi Kebenaran dan Keadilan, sebagai instrumen yang telah
begitu bermanfaat dalam proses pemulihan sejumlah masyarakat pasca-konflik.
Sungguh pun Komisi tersebut bukanlah pengganti (substitusi) proses yudisial,
kita tidak boleh menganggap enteng kontribusi-kontribusinya.74
Rezlan Ishar Jenie, Dutabesar Indonesia untuk PBB, Pernyataan di hadapan Dewan Keamanan PBB di
dalam item agenda “Justice and the Rule of Law: The United Nations’ Role (6 Oktober 2004).
74
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
38
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
III
July 2006
UNDANG-UNDANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI BERTENTANGAN
DENGAN PUTUSAN-PUTUSAN PENGADILAN NASIONAL LAINNYA
Pengadilan tertinggi di Chile, Argentina, Peru dan Kolombia telah mengeluarkan
putusan-putusan yang membatalkan ketentuan-ketentuan yang memberikan ruang bagi
impunitas. Dasarnya adalah karena ketentuan semacam ini bertentangan dengan
kewajiban internasional sebagaimana ditetapkan oleh traktat-traktat internasional
sebagaimana yang telah diinterpretasikan pengadilan-pengadilan internasional yang
otoritatif maupun badan-badan PBB yang dibentuk berdasarkan Kovenan/Konvensi
(treaty bodies) lainnya. Sebagai konsekuensinya, pengadilan tertinggi di kesemua negeri
tersebut telah memberikan efek nasional atas hukum internasional (have given domestic
effect to international law).
Patut dicatat pula bahwa dengan pengecualian Kolombia, semua negeri tersebut
membentuk komisi-komisi kebenaran sebagai salah satu mekanisme untuk mengatasi
pelanggaran-pelanggaran HAM. Betapapun, pengadilan memperlakukan amnesti secara
terpisah dari kewajiban untuk menyingkap dan menemukan kebenaran. Pendekatan ini
berkesesuaian dengan pernyataan di muka yang telah disampaikan oleh Rezlan Ishar
Jenie, Dutabesar Indonesia untuk PBB, bahwa “[p]roses penting lainnya—sebagaimana
tercantum di dalam laporan tersebut—adalah pendayagunaan Komisi Kebenaran dan
Keadilan, sebagai instrumen yang telah begitu bermanfaat dalam proses pemulihan
sejumlah masyarakat pasca-konflik. Sungguh pun Komisi tersebut bukanlah pengganti
(substitusi) proses yudisial, kita tidak boleh menganggap enteng kontribusi-
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
39
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
kontribusinya.”75 Telah dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi Indonesia seharusnya
mengikuti praktik pengadilan-pengadilan nasional lainnya maupun pendekatan yang
ditegaskan oleh Dutabesar Indonesia untuk PBB dan seharusnya menegaskan bahwa
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah penting namun bukanlah merupakan
pengganti dari proses penuntutan (prosecution).
A
Mahkamah Agung Chile
Di dalam putusannya baru-baru ini Mahkamah Agung Chile menetapkan bahwa
dikarenakan penghilangan paksa merupakan kejahatan berkelanjutan (an ongoing crime)
sampai bukti nyata atas kematian korban telah dikukuhkan, sebuah Dekrit Amnesti tahun
1978—mencakup kejahatan-kejahatan HAM yang dilakukan antara tahun 1973-1978—
tidak dapat diterapkan untuk kasus Miguel Angel Sandoval Rodríguez.76 Di dalam kasus
ini Mahkamah Agung telah berketetapan dan memutuskan vonis atas sejumlah orang atas
kasus penghilangan paksa yang pernah terjadi di tahun 1975. Keputusan ini adalah
putusan pertama dari Mahkamah Agung Chile yang menyatakan bahwa Undang-Undang
Amnesti Chile tidak lagi berlaku. Sementara di waktu-waktu yang lalu Mahkamah Agung
telah dengan jelas menyatakan bahwa amnesti tidaklah akan menghalang-halangi
investigasi; kini Mahkamah Agung Chile telah lebih jauh lagi melangkah dengan
menegaskan bahwa (UU Amnesti) bukanlah halangan bagi penerapan sanksi pidana.
Rezlan Ishar Jenie, Dutabesar Indonesia untuk PBB, Pernyataan di hadapan Dewan Keamanan PBB di
dalam item agenda “Justice and the Rule of Law: The United Nations’ Role (6 Oktober 2004).
75
Juan Contreras Sepúlveda y otros (crimen) casacion fondo y forma. Corte Suprema, 517/2004.
Resolución 22267.
76
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
40
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
Selanjutnya, baru-baru ini pada tanggal 17 Juli 2006 Mahkamah Agung Chile
menetapkan sebuah putusan yang melucuti kekebalan Jenderal Augusto Pinochet,
sehingga terbukalah jalan bagi penuntutan dirinya atas pembunuhan dua pengawal
pribadi Salvador Allende. Putusan Mahkamah Agung ini mengukuhkan putusan
pengadilan lebih rendah yang terdahulu, yang juga menyatakan bahwa kekebalan
Pinochet selaku bekas Presiden tidak lagi berlaku dan memperkenankan jaksa yang
tengah menangani kasusnya untuk melanjutkan pemrosesan dirinya atas tuntutan
pembunuhan.77
B
Mahkamah Agung Argentina
Pada tanggal 14 Juni 2005 Mahkamah Agung Argentina yang memeriksa kasus
Simón,78 mendeklarasikan dua Undang-Undang—yang memberikan perlindungan bagi
para pelaku kejahatan ‘Perang Kotor’ (kejahatan yang terjadi antara tahun 1976-1983)
dari tuntutan hukum—sebagai inkonstitusional (unconstitutional) dan batal demi hukum
(void). Mahkamah Agung mengonfirmasikan peran prinsip-prinsip HAM internasional
dalam menangani kejahatan-kejahatan HAM berat yang berlangsung di tingkat nasional.
Pada pokoknya Mahkamah Agung mengonfirmasikan preseden (precedence) kewajiban
[hukum internasional] bagi Argentina di atas statuta-statuta biasa (ordinary statutes),
yang bermuara pada pembatalan atas larangan penerapan ketentuan hukum nasional yang
sebelumnya telah melindungi para pelaku kejahatan HAM berat dari ancaman
penuntutan. Dalam prakteknya, putusan Mahkamah Agung Argentina ini telah membuka
77
Eduardo Gallardo, Chilean Court Pinochet’s Loss of Immunity, Associated Press, 17 Juli 2006.
Simón, Julio Héctor y otros s/privación ilegítima de la libertad. Supreme Court, causa No. 17.768 (14 Juni
2005) S.1767.XXXVIII.
78
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
41
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
pintu bagi penuntutan atas para pelaku kejahatan HAM berat setelah dua dekade proses
yang tersendat-sendat. Pada kenyataannya Mr. Simón—seorang pelaku penyiksa dan
pembunuh yang nama buruknya amat tersohor—kini tengah dihadapkan ke persidangan
bersama dengan kasus-kasus besar lainnya yang juga tengah diproses menuju meja hijau.
C
Mahkamah Konstitusi Peru
Mahkamah Konstitusi Peru telah menegaskan kewajiban Negara Peru untuk
menginvestigasi dan mengenakan sanksi terhadap kejahatan-kejahatan HAM, serta revisi
atas larangan penggunaan mekanisme prosedural untuk menginvestigasi dan menjatuhi
penghukuman berbagai kejahatan yang serius. Di dalam putusannya tertanggal 18 Maret
2004 atas kasus Villegas Namuche79, Mahkamah menyatakan bahwa:
adalah tanggungjawab Negara untuk mengadili mereka yang disangka atas
kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity), dan, kalau perlu, mengadopsi
aturan yang lebih ketat demi mencegah—misalnya saja—dikesampingkannya
penuntutan atas berbagai kejahatan HAM serius. Penerapan ketentuan-ketentuan
ini memungkinkan sistem hukum untuk bekerja secara efektif dan hal ini
dibenarkan berbasiskan kepentingan utama memerangi impunitas. Tujuannya
tentu saja untuk mencegah mekanisme hukum tertentu yang lazim dipakai demi
motif mempertahankan impunitas. Hal ini haruslah senantiasa dicegah dan
dihindarkan, karena hanya akan mendorong para pelaku kejahatan untuk kembali
mengulangi perbuatan-perbuatan jahatnya dengan dalih balas dendam sehingga
dapat melunturkan nilai-nilai yang begitu fundamental bagi masyarakat
demokratis, yakni: kebenaran dan keadilan.
79
Berkas No. 2488-2002-HC/TC.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
42
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
Patut dicatat juga bahwa sejumlah pengadilan di tingkat yang lebih rendah telah
pula menyerahterimakan putusan yang mengenyampingkan hambatan-hambatan bagi
penuntutan berbasiskan keperluan amnesti.80
D
Mahkamah Konstitusi Kolombia
Pada tanggal 18 Mei 2006 Mahkamah Konstitusional Kolombia menetapkan
putusan yang mengukuhkan sebuah kewajiban, bahwa para pelaku kejahatan HAM
haruslah dituntut dan bahwa para korbannya harus pula memperolah reparasi.81
Mahkamah Konstitusi ini mengenyampingkan sejumlah ketentuan Undang-Undang
975/2005 yang membenarkan sejumlah praktik pengurangan vonis bagi para kombatan
(combatants) tertentu yang telah didemobilisasi. Mahkamah tidak memberikan syarat
pemberian pengurangan vonis pada kontribusi efektif atas reparasi korban.
Dalam hal ini Mahkamah merujuk pada sejumlah putusan sebelumnya untuk
memperkuat pertimbangannya. Misalnya saja, ketika melakukan pembahasan mengenai
hak atas pemulihan hukum, Mahkamah merujuk pada kasus C-228 tahun 2002 yang
menerima penolakan masyarakat internasional terhadap mekanisme [hukum] internal
yang memperkenankan pemberian impunitas.82 Mahkamah Konstitusi Kolombia juga
merujuk pada kasus C-578 tahun 2002, di situ Mahkamah merujuk pada hukum
Sebagai contoh, kasus Quinto Juzgado Penal Especial, 5th Special Criminal Court, di dalam resolusinya
tertanggal 2 Juli 2003, mendeklarasikan gagasan pengenyampingan demi alasan amnesti serta alasan
nebis in idem (double jeopardy) yang tanpa dasar, karena hal ini bertentangan dengan Konvensi HAM
Amerika.
80
Kasus No.C-370/2006, (D-6032) berkenaan dengan Undang-Undang mengenai Keadilan dan
Perdamaian, 18 Mei 2006.
81
Kasus No.C-370/2006, (D-6032) berkenaan dengan Undang-Undang mengenai Keadilan dan
Perdamaian, 18 Mei 2006 alinea 4.9.2.
82
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
43
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
internasional yang mengatur bahwa Negara yang berusaha untuk mengupayakan
rekonsiliasi haruslah menyediakan perlindungan yudisial efektif atas para korban.83
Sebagai tambahan, Mahkamah Konsititusi juga mengonfirmasikan bahwa “Mahkamah
telah menerima bahwa berbagai instrumen internasional yang menghormati hak tiap
orang atas pemulihan hukum yang efektif, dan bahwasanya masyarakat internasional
menolak mekanisme internal yang memperkenankan impunitas maupun pengaburan
kebenaran atas berbagai perisitiwa yang telah sungguh-sungguh terjadi.”84 Ketika
menimbang hak atas reparasi Mahkamah juga mengacu pada kasus C-004 tahun 2003. Di
dalam kasus ini disimpulkan bahwa hak-hak korban mencakup hak atas reparasi
ekonomi, hak atas kebenaran serta hak untuk memperoleh penegakan keadilan.85 Sebagai
konsekuensinya, Mahkamah mengenyampingkan pembatasan kompensasi ekonomi yang
telah diperkenalkan sebagai hasil dari Undang-Undang 975/2005. Di dalam
mempertimbangkan hak atas keadilan Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Negara
memiliki kewajiban untuk menginvestigasi tindakan-tindakan yang dapat dihukum secara
serius.86
Kasus No.C-370/2006, (D-6032) berkenaan dengan Undang-Undang mengenai Keadilan dan
Perdamaian, 18 Mei 2006 alinea 4.9.6.
83
Kasus No.C-370/2006, (D-6032) berkenaan dengan Undang-Undang mengenai Keadilan dan
Perdamaian, 18 Mei 2006 alinea 4.9.11.2 (diterjemahkan dari bahasa Spanyol).
84
Kasus No.C-370/2006, (D-6032) berkenaan dengan Undang-Undang mengenai Keadilan dan
Perdamaian, 18 Mei 2006 alinea 4.9.8.
85
Kasus No.C-370/2006, (D-6032) berkenaan dengan Undang-Undang mengenai Keadilan dan
Perdamaian, 18 Mei 2006 alinea 4.9.8.
86
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
44
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
IV
July 2006
KESIMPULAN
Sebagai hasil dari uraian di muka, maka ICTJ dengan ini menyampaikan bahwa
ketentuan-ketentuan Undang-Undang KKR Indonesia yang memperbolehkan amnesti dan
mensyaratkan pemberian reparasi di bawah keharusan pemberian amnesti terlebih dulu
adalah bertentangan dengan sumber-sumber hukum internasional, baik sumber tertulis
maupun sumber tidak tertulis. Terlepas dari kenyataan bahwa Indonesia telah secara
jelas menyatakan komitmennya untuk tunduk pada ICCPR dan CAT, nyatanya UndangUndang KKR melanggar kedua traktat ini. Tambahan pula, Undang-Undang KKR ini
juga melanggar Deklarasi Penyiksaan (Torture Declaration) dan Deklarasi Penghilangan
Paksa (Disappearances Declaration), bertentangan dengan pernyataan-pernyataan resmi
yang telah dibuat di dalam berbagai laporan otoritatif Perserikatan Bangsa-Bangsa,
mengabaikan Prinsip-Prinsip Impunitas dan Pemulihan, serta bertolak-belakang dengan
pernyataan-pernyataan yang dibuat sendiri oleh Indonesia di forum Perserikatan BangsaBangsa.
Lebih
lanjut
lagi,
Mahkamah
Konstitusional
Indonesia
seyogianya
memperhatikan sungguh-sungguh kenyataan bahwa sejumlah pengadilan nasional telah
merujuk hukum internasional untuk membatalkan Undang-Undang Amnesti nasional.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
45
International Center for Transitional Justice (ICTJ)
Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court
July 2006
KETERANGAN TERTULIS SAKSI/AHLI
PROFESSOR DOUGLAS CASSEL
DI HADAPAN
MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA, 6 JULI 2006
Sekali lagi, saya mengucapkan terimakasih kepada Mahkamah Konstitusi atas
kesempatan memberikan keterangan dalam status saya sebagai ahli, berkenaan dengan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 27 Tahun 2004 mengenai Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (untuk selanjutnya “UU Komisi Kebenaran”).
Keterangan tertulis saya kepada Yang Terhormat Mahkamah Konstitusi Indonesia
sebenarnya mengacu pada keterangan/kesaksian lisan saya (oral testimony) berupa butirbutir Power Point, yang dipresentasikan pada Public Hearing tanggal 4 Juli 2006 lalu.
Kesaksian tertulis ini merupakan tambahan kepada pihak otoritas hukum (authorities) yang
ada dan pada bagian-bagian tertentu melakukan telaah—termasuk sejumlah pertimbangan
dan putusan sidang Mahkamah Konstitusi Kolombia tertanggal 18 Mei 2006—yang telah
membatalkan beberapa bagian dari Undang-Undang Keadilan dan Kebenaran Kolombia.
(Kami akan berusaha keras menyediakan terjemahan bahasa Inggris pada bagian operasional
dan argumentasi atas hasil persidangan tersebut selekas mungkin kepada Mahkamah ini).
RINGKASAN
Undang Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi gagal mengemban kewajiban
Indonesia sebagai sebuah Negara, serta gagal pula menghargai hak-hak korban, keluarga
korban dan masyarakat di bawah hukum HAM (hak asasi manusia) internasional mengenai
kebenaran, reparasi, dan keadilan. Secara khusus, UU ini gagal memenuhi kriteria minimal
internasional dalam hal:
•
Menyelidiki dan menyingkap kebenaran tentang berbagai kasus genosida (genocide)
serta kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) yang terjadi di Indonesia
sebelum tahun 2000,
•
Menyediakan reparasi kepada korban dan keluarganya, dan
•
Memproses secara hukum, serta memberi sanksi yang patut atas para pelaku.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
2
JANGKAUAN KETERANGAN SAYA (SELAKU SAKSI/AHLI)
•
Kesaksian saya terbatas untuk menyatakan apakah UU Komisi Kebenaran konsisten
dengan hukum HAM internasional dan hukum humaniter. Tentang cara bagaimana
hukum internasional tersebut digunakan untuk menafsirkan Undang-Undang Dasar
Indonesia merupakan hal-hal yang berada di dalam jangkauan ahli hukum Indonesia,
seperti para hakim dan pengacara. Akan tetapi, saya mengetahui bahwa di dalam
kasus mengenai Pemilu, Mahkamah ini merujuk pada Deklarasi Universal Hak-hak
Asasi Manusia dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.
•
Kesaksian saya difokuskan pada hukum internasional tentang kejahatan HAM berat
dan pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional, serta secara partikular,
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, karena saya mengerti bahwa
kejahatan-kejahatan ini merupakan subyek Undang-Undang Komisi Kebenaran.
•
Seperti dinyatakan di dalam Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional,
Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan merupakan salah satu “kejahatan
paling serius yang menjadi keprihatinan internasional”.1
•
Seperti telah ditekankan dalam kasus hukum internasional (international case law),2
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan pelanggaran terhadap
norma-norma jus cogens (‘norma atau hukum mengikat’, yang tidak boleh di-
Statuta Roma mengenai Mahkamah Pidana Internastional (Rome Statute of the International Criminal Court),
diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998, berlaku mulai tanggal 1 Juli 2002, Pasal 1.
1
Lihat misalnya, Mahkamah Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for
the Former Yugoslavia), Trial Chamber, Prosecutor vs. Furundzija, Case IT-95-17/1, Judgment, 10 Desember
1998, alinea 153 (norma anti-penyiksaan adalah jus cogens “karena pentingnya nilai yang dilindungi”).
2
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
3
derogat/dikesampingkan, ‘overriding norms’), yang berlaku lebih daripada normanorma lainnya.3 Norma-norma ini juga mewakili kewajiban erga omnes (‘berlaku
bagi semua’) dari Negara, yakni kewajiban yang tidak hanya ditujukan kepada para
korban atau pun warganegaranya tersebut, tetapi bagi semua Negara maupun
komunitas internasional.4
Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian (Vienna Convention on the Law of Treaties), 23 Mei 1969,
diresmikan tanggal 27 January 1980, UN Treaty Series, Vol. 155, p. 331 (tidak diikuti oleh Indonesia, tetapi
banyak diakui sebagai Hukum Kebiasaan Internasional). Pasal 53 dari Konvensi tersebut mendefinisikan jus
cogens sebagai “norma umum hukum internasional yang sangat mengikat” (“peremptory norm of general
international law”), misalnya, “norma yang diterima dan dikenali oleh komunitas internasional sebagai
keseluruhan norma yang tidak boleh di-derogat (dikesampingkan) dan hanya dapat dimodifikasi oleh norma
terbaru dari hukum internasional yang memiliki kualitas yang sama.”
3
Komite HAM PBB, Komentar Umum 31, The Nature of the General Legal Obligation Imposed on States
Parties to the Covenant, UN Doc. CCPR/C/21/Rev.1/Add.13, 26 May 2004 (selanjutnya disebut sebagai
“General Comment 31” saja), alinea 2 (“peraturan mengenai hak-hak dasar dari manusia adalah kewajiban erga
omnes”). Semua dokumen hak-hak asasi manusia yang dikutip di kesaksian tertulis ini dapat diakes pada situs
UN High Commissioner for Human Rights, www.ohchr.org.
4
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
4
SUMBER-SUMBER UTAMA HUKUM INTERNASIONAL YANG DAPAT DIBERLAKUKAN
•
Di bawah Pasal 55 dan 56 Piagam PBB, Indonesia sebagai salah satu anggota PBB
memiliki kewajiban untuk menghormati hak-hak asasi manusia dan bekerjasama
dengan PBB untuk mempromosikan hak-hak asasi manusia.5 Jangkauan dan isi dari
kewajiban-kewajiban ini telah dielaborasi di dalam praktik selanjutnya oleh NegaraNegara PBB di bawah naungan Piagam tersebut. Di bawah hukum perjanjian
internasional (international law treaties), praktik Negara-Negara ini amat relevan
untuk menginterpretasikan makna Piagam PBB tersebut.6 Praktik-praktik terbaru di
bawah otoritas Piagam PBB—di samping instrumen-instrumen lainnya—mencakup
“Prinsip-Prinsip Dasar dan Panduan bagi Hak atas Pemulihan dan Reparasi atas
Kejahatan hukum HAM internasional yang berat serta Pelanggaran-Pelanggaran
Berat Hukum Humaniter Internasional“ (The Basic Principles and Guidelines on the
Right to a Remedy and Reparation for Gross Violations of International Human
Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law), yang
disetujui secara penuh oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 2005.7
•
Indonesia bukan hanya anggota dari PBB, tetapi juga anggota dari Dewan HAM PBB
yang baru, sehingga memiliki tanggungjawab untuk memenuhi “standar tertinggi” di
Piagam PBB (UN Charter), 26 Juni 1945, diberlakukan sejak tanggal 24 Oktober 1945. Pasal 55 (c)
menyatakan bahwa PBB “akan memberikan penghormatan universal untuk, dan dalam kerangka, hak-hak asasi
manusia dan kebebasan fundamental tanpa membedakan suku, jenis kelamin, bahasa, atau pun agama.”
Sesuai dengan Pasal 56, semua negara “bersumpah untuk berpartisipasi dan melakukan tindakan yang sesuai
konteks untuk menunjukkan kerjasama” dengan PBB untuk mencapai tujuan yang dinyatakan dengan Pasal 55.
5
Vienna Convention on the Law of Treaties, catatan kaki 3 di atas, Pasal 31(3) (“Itu semua akan juga
diperhitungkan, bersama dengan konteks…(b) setiap tindakan terbaru untuk menerapkan perjanjian, yang
ditetapkan dalam persetujuan oleh pihak-pihak terkait dengan penafsirannya…”).
6
Resolusi Majelis Umum PBB (UN General Assembly Resolution) 60/147, Basic Principles and Guidelines on
the Right to a Remedy and Reparation for Gross Violations of International Human Rights Law and Serious
Violations of International Humanitarian Law, Annex, diadopsi pada tanggal 16 Desember 2005, UN Doc.
A/RES/60/147, 21 Maret 2006 (selanjutnya akan disebut sebagai “Prinsip-Prinsip Umum” saja [“Basic
Principles”]).
7
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
5
dalam penerapan hak-hak asasi manusia.8 Pada 2005, badan pendahulu dari Dewan
tersebut, yakni Komisi Hak Asasi Manusia PBB, mengadopsi Resolusi tentang
Impunitas.9 Resolusi tersebut menyatakan, “bahwa amnesti tidak boleh diberikan
kepada orang yang melakukan kejahatan HAM dan pelangaran terhadap hukum
humaniter.”10 Resolusi tersebut juga mencatat “dengan penghargaan” atas Rangkaian
Prinsip bagi Perlindungan dan Promosi HAM melalui Aksi Memerangi Impunitas
[Terbaru] (Updated set of principles for the protection and promotion of human
rights through action to combat impunity),11 sebagai “panduan mendampingi Negara
untuk mengembangkan cara yang efektif memerangi impunitas.”12
•
Banyak Pasal yang terdapat di dalam Deklarasi Universal HAM13—seperti yang telah
dirujuk oleh Mahkamah Konstitusi ini dalam kasus Pemilu Indonesia dipandang
relevan untuk ditafsirkan dalam konteks Undang-Undang Dasar Indonesia—telah
diterima secara luas sebagai Hukum Kebiasaan Internasional, yang mengikat semua
Negara. Di antaranya adalah Pasal 8, yang menyatakan “Setiap orang berhak atas
pemulihan yang efektif (effective remedy) dari pengadilan nasional yang kompeten
atas tindak pelanggaran hak-hak fundamental yang dijaminkan baginya oleh
Konstitusi atau oleh Undang-Undang.”
Anggota dari Dewan Hak Asasi Manusia “akan menjunjung standar tertinggi untuk menjaga dan menyebarkan
pemenuhan hak-hak asasi manusia… dan akan dipantau kembali…. Selama masa keanggotaan mereka…”
Resolusi Majelis Umum PBB Res. 60/251, 15 Maret 2006, UN Doc. A/RES/60/251, 3 April 2006, alinea 9.
8
9
Komisi HAM PBB (UN Human Rights Commission), Resolution 2005/81, Impunity, 21 April 2005.
10
Resolusi 2005/81, alinea 3.
Komisi HAM PBB, Report of the independent expert to update the Set of principles to combat impunity,
Addendum, Updated Set of principles for the protection and promotion of human rights through action to combat
impunity, UN Doc. E/CN.4/2005/102/Add.1, 8 Februari 2005, (selanjutnya disebut “Impunity Principles” (PrinsipPrinsip Impunitas)).
11
12
Komisi HAM PBB, Resolution 2005/81, Impunity, 21 April 2005, alinea 20.
13
Majelis Umum PBB, Res. 217 A (III), 10 Desember 1948.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
6
•
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik14—yang juga menjadi
sandaran bagi Mahkamah ini dalam kasus Pemilu—juga telah disetujui oleh
Indonesia, dan mulai efektif pada bulan Februari 2006. Kovenan ini tidak hanya
mengikat pemerintah, tetapi juga semua cabang kekuasaan Negara, termasuk
Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.15 Pasal 2 juga mewajibkan semua Negara pihak
untuk:
o menghormati dan memastikan terlaksananya hak-hak tersebut bagi semua
orang di bawah otoritas Kovenan,
o mengimplementasikan hak-hak konvensi melalui hukum dan peraturanperaturan lainnya, dan
o menyediakan pemulihan yang efektif bagi siapa saja yang hak-haknya
dilanggar di bawah Konvensi.
•
Kovenan ini ditafsirkan secara otoritatif oleh Komite Hak-hak Asasi Manusia PBB
(UN Human Rights Committee), yakni badan yang dibentuk untuk memantau dan
mendampingi implementasi Kovenan ini, yang terdiri dari 18 orang pakar. Komite
tersebut menerbitkan Komentar Umum penafsiran atas Konvensi. Tujuannya untuk
membantu Negara-Negara dalam mengajukan laporan dan tuntutan. Komentar
Umum 31 menafsirkan Pasal 2 Konvensi. Judulnya adalah The Nature of the General
Legal Obligation Imposed on States Parties to the Covenant (Hakikat Kewajiban
Hukum Umum yang Mengikat bagi Negara-Negara Pihak Kovenan).16
•
Perjanjian PBB lainnya, di mana Indonesia tercatat sebagai Negara pihak adalah
Konvensi tentang Penyiksaan17, Konvensi tentang Diskriminasi Rasial,18 serta
Majelis Umum PBB, Res. 2200A (XXI), 16 Desember 1966, diberlakukan tanggal 23 Maret 1976, UN Treat
Series, Vol. 999, p. 171.
14
15
Komentar Umum (General Comment ) 31, alinea 4.
16
Komentar Umum 31, catatan kaki no 4 di atas.
Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan
Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
17
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
7
Konvensi tentang Hak-Hak Anak,19 yang juga berisi ketetapan untuk menyediakan
reparasi bagi para korban pelanggaran HAM.
•
Beberapa Hukum Kebiasaan Internasional juga mengikat Indonesia. Yang berkaitan
langsung dengan UU Komisi Kebenaran adalah:
o Konvensi PBB tentang genosida juga mewajibkan Negara untuk menghukum
para pelaku, atau menyerahkannya kepada pengadilan internasional.20 Karena
Konvensi tersebut merupakan Hukum Kebiasaan International (International
Customary Law) maka Indonesia tetap terikat, walaupun belum secara formal
menyetujui perjanjian tersebut.
o Prinsip umum dari hukum, yang mewajibkan Negara untuk memberikan
reparasi kepada korban pelanggaran HAM dilindungi oleh hukum
Treatment or Punishment), UN General Assembly Res. 39/46, 10 Desember 1984, disahkan 26 Juni 1987, UN
Treaty Series, Vol. 1465, hlm. 85, diratifikasi oleh Indonesia, 28 Oktober 1998, Pasal 14(1): “Setiap Negara
Pihak harus menjamin di dalam sistem hukumnya agar korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh gantirugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk
rehabilitasi sepenuh mungkin. Dalam hal korban meninggal dunia sebagai akibat tindak penyiksaan, ahli
warisnya berhak mendapatkan ganti-rugi”.
Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the
Elimination of all Forms of Racial Discrimination) UN General Assembly Res. 2106 (XX), 21 Desember 1965,
diresmikan, 4 Januari 1969, UN Treaty Series, Vol. 660, p. 195, diakui oleh Indonesia, 25 Juni 1999, Pasal 6:
“Negara-Negara Pihak wajib menjamin setiap orang di dalam wilayahnya memperoleh perlindungan dan upaya
penyelesaian yang efektif melalui peradilan nasional yang berwenang serta lembaga-lembaga Negara lainnya,
terhadap tindakan diskriminasi ras yang melanggar hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang
bertentangan dengan Konvensi ini maupun hak untuk memperoleh pemulihan dan penggantian yang adil dan
layak dari pengadilan tersebut atas kerugian dan penderitaan akibat diskriminasi semacam itu”.
18
Konvensi mengenai Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), UN General Assembly Res.
44/25, 20 November 1989, diresmikan 2 September 1990, UN Treaty Series, vol. 1577, p. 3, diratifikasi oleh
Indonesia, 5 September 1990, Pasal 39: “Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang layak
untuk meningkatkan pemulihan rohani dan jasmani, dan penyatuan kembali dalam masyarakat seorang anak
yang menjadi korban dari: bentuk penelantaran, eksploitasi atau penyalahgunaan, penganiayaan atau bentuk
perlakuan kejam yang lain apa pun, tidak manusiawi atau hukuman yang merendahkan martabat; atau konflik
bersenjata; pemulihan dan reintegrasi tersebut harus berlangsung dalam suatu lingkungan yang meningkatkan
kesehatan, harga diri dan martabat anak yang bersangkutan”.
19
Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, UN General Assembly Res. 260 A
(III), 9 Desember 1948, diresmikan, 12 Januari 1951, UN Treaty Series, Vol. 78, hlm. 277, tidak diikuti
Indonesia, Pasal V: “Pihak-pihak yang telah menyetujui perjanjian diharuskan untuk bertindak, sesuai dengan
Konstitusi mereka, proses legislasi yang dibutuhkan untuk memberikan dampak nyata dari hasil konvensi, dan
secara partikular, untuk menyediakan penalti yang efektif bagi pihak yang bersalah atas pembunuhan massal
atau tindakan lainnya yang tercantum di Pasal III” Pasal VI lebih jauh menyatakan, “Orang yang dituduh atas
pembunuhan massal atau tindakan lainnya yang tercantum di Pasal III dapat digunakan untuk pengadilan yang
kompeten di tempat di mana tindakan tersebut dilakukan, atau pengadilan internasional juga dapat
mendapatkan yurisdiksi dengan penghormatan terhadap negara-negara yang telah menyetujui perjanjian”.
20
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
8
internasional. Kewajiban ini diakui sejak tahun 1927 di dalam Chorzow
Factory, yang dipimpin oleh Pengadilan Permanen Keadilan Internasional
(Permanent Court of International Justice).21
21
The Factory at Chorzow (jurisdiction), [1927], PCIJ 2 (26 Juli 1927) hlm. 29.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
9
PENYANDANG KEWAJIBAN DAN HAK
Ketika Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan terjadi:
Negara Memiliki Kewajiban:
•
Melakukan penyelidikan yang efektif dan mendalam, serta mengungkapkan
kebenaran kepada korban dan masyarakat mengenai Kejahatan HAM Berat, termasuk
Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan.22
•
Menyediakan pemulihan yang layak dan efektif bagi para korban, termasuk reparasi
dalam bentuk restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasaan dan jaminan atas
ketidakberulangan,23 dan
•
Memproses dan memberikan sanksi hukum secara pantas kepada para pelaku, serta
tidak memberikan amnesti kepada pejabat Negara yang terlibat, kecuali jika mereka
telah dituntut di hadapan pengadilan (they have been prosecuted before a court of
law) .24
Korban dan Keluarganya Memiliki Hak:
•
Untuk mengetahui kebenaran tentang apa yang telah terjadi pada mereka, atau orangorang yang mereka kasihi, termasuk “pengungkapan kebenaran secara utuh ke
hadapan publik” (“full and public disclosure of the truth”).25
•
Untuk mendapatkan pemulihan yang efektif atas kejahatan HAM yang ditimpakan
atas diri mereka26, dan
22
Komentar Umum (General Comment) 31, alinea 3; Impunity Principles 1, 2, 4 dan 19.
Komentar Umum 31, Alinea 16; Impunity Principles 1; Basic Principles I(2) (c), 11, 15 and 18; Impunity
Principles 1. Beberapa peraturan hukum otoritatif—Prinsip-Prinsip Umum (Basic Principles) 18 dan Komentar
Umum (General Comment) 31 alinea 16—menjadikan jaminan ketidakberulangan sebagai bagian dari
kewajiban negara. Peraturan hukum otoritatif lainnya, di antaranya adalah Prinsip Impunitas 34 dan 35,
memperlakukan mereka sebagai bentuk reparasi atau pun sebagai kewajiban tersendiri, Negara diwajibkan
untuk menjamin prinsip ketidakberulangan peristiwa tersebut.
23
24
Basic Principles II(3) (b), 4, IX.22 (f); General Comment 31, alinea 18; Impunity Principles 1, 19, 22 dan 24.
25
Basic Principles IX(22) (b); Impunity Principles 4.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
10
•
Untuk mendapatkan keadilan dalam bentuk proses hukum dan penghukuman
terhadap para pelaku (sungguhpun pada pokoknya ini adalah kewajiban Negara, yang
terlepas dari pemenuhan hak bagi para korban).27
Masyarakat Memiliki Hak:
•
Untuk mengetahui secara utuh tentang kejahatan masa lalu (the full truth of past
violations), mengapa kejahatan tersebut terjadi dan oleh siapa, sehingga dapat
mencegah terulangnya kejahatan tersebut di masa yang akan datang,28 dan
•
Atas upaya-upaya efektif yang dibangun agar kejahatan tersebut tidak akan terulang
kembali, termasuk dengan cara menghukum para pelaku yang bersangkutan.29
Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights), Pasal 8; Civil and Political Covenant,
Pasal 2 (c); Basic Principles VIII.12; Impunity Principles 31 and 32; General Comment 31, alinea 15.
26
Prinsip-Prinsip Umum (Basic Principles) IX (22) (f) (hak korban untuk “sanksi hukum dan administratif
terhadap orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran”); Impunity Principles 19 (“Walaupun keputusan
untuk menghukum terletak dibawah kompetensi negara, korban, dan keluarga mereka serta para pewaris
mereka, tetapi proses hukum harus terus berlangsung…Secara partikular sebagai parties civiles, atau sebagai
orang yang melakukan penghukuman privat di negara, di mana hukum dan prosedur pidananya mengenali
prosedur ini. Negara harus menjamin terlaksananya proses hukum terhadap pihak yang bersalah…”).
27
28
Impunity Principles 2.
29
Impunity Principles 35.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
11
PENYELIDIKAN DAN PENGUNGKAPAN KEBENARAN KEPADA PUBLIK
Ada Dua Kewajiban Negara
•
Untuk menyampaikan kepada korban dan keluarga mereka tentang kejahatan yang
terjadi atas diri mereka serta orang-orang yang mereka kasihi, termasuk sebab dan
kondisi-kondisi yang menyebabkan kejahatan HAM berat tersebut terjadi.30
•
Untuk menyampaikan kepada masyarakat perihal kebenaran sesungguhnya tentang
kejahatan HAM yang telah terjadi, sebab-musababnya dan situasi yang melingkupi
terjadinya kejahatan tersebut, sehingga keberulangannya dapat dicegah.31
Sumber dari Kewajiban ini (antara lain):
•
Kewajiban Negara untuk “memastikan” terlaksananya hak di bawah Pasal 2(1)
Kovenan ini,32
•
Kewajiban Negara untuk mengukur implementasi hak-hak di bawah Pasal 2(2)
Kovenan ini,
•
Kewajiban Negara untuk menyediakan reparasi dan pemulihan yang efektif kepada
korban di bawah Pasal 2(3) Kovenan ini.33
Penyelidikan Haruslah:
•
Mendalam dan efektif,34 tidak hanya menyelidiki pelaku lapangan/langsung (direct
perpetrators), tetapi juga mereka yang berada di level lebih tinggi, yang mungkin
30
Impunity Principles 4; Basic Principles IX(22) (b), X(24).
31
Impunity Principles 2.
Komite HAM PBB (UN Human Rights Committee), Komentar Umum (General Comment) 20, 10 Maret 1992,
alinea 15:“…Beberapa negara telah memberikan amnesti berkaitan dengan tindakan penyiksaan.
Pengampunan tidaklah cocok dengan kewajiban negara untuk menyelidiki tindakan semacam itu; untuk
menjamin kebebasan di dalam wilayah yurisdiksi mereka, dan untuk memastikan bahwa hal tersebut tidak lagi
terjadi di masa depan. Negara tidaklah boleh mengurangi hak korban untuk mendapatkan pemulihan yang
efektif, termasuk kompensasi dan rehabilitasi penuh..”
32
33
Komentar Umum 31, alinea 15.
34
Komentar Umum 31, alinea 15; Prinsip-Prinsip Umum (Basic Principles) II(3) (b); Impunity Principles 19.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
12
telah memberikan perintah/komando, atau terkait dengan kejahatan, atau telah
mengetahuinya namun gagal untuk mengambil tindakan masuk yang patut untuk
mencegah, atau menangkap pelakunya,35 dan
•
Dilakukan atas dasar inisiatif Negara, dan tidak bergantung pada inisiatif korban,
ketika Negara telah menjadi sadar akan informasi mengenai dugaan perbuatan aktif
(commission) atas kejahatan HAM berat.
•
Kewajiban untuk menyelidiki adalah kewajiban yang berkelanjutan, bahkan untuk
problem kejahatan HAM yang telah lama berselang. Dengan demikian, Indonesia
memiliki tugas di bawah Kovenan untuk menyelidiki kasus-kasus genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan di masa lalu, bahkan ketika kejahatan itu terjadi
sebelum Indonesia menjadi Negara pihak dari Kovenan ini.36
•
Kegagalan untuk menyelenggarakan penyelidikan itu sendiri adalah sebuah
pelanggaran HAM tersendiri, dan membuat Negara bertanggungjawab atas
pelanggaran lainnya, bahkan kalaupun kejahatan masa lalu itu sendiri belum
dibuktikan.37
35
Lihat Prinsip-Prinsip Impunitas (Impunity Principles) 27(b).
Di dalam kasus Acuna Inostroza vs. Chile, Communication 717/1996, Pertimbangan (Views) 23 Juli 1999
(dan dalam kasus yang serupa tentang Chile), Komite HAM PBB mendapati bahwa sebuah pengaduan atas
kejahatan HAM berat yang terjadi di tahun 1970-an (jauh sebelum Chile meratifikasi Kovenan tersebut dan
menerima kompetensi Komite HAM PBB untuk menerimakan pengaduan individu [individual complaints]) tidak
dapat ditanggapi (inadmissible). Betapapun, begitu menerima kompetensi Komite, Chile melampirkan sebuah
pernyataan kesepahaman tertulis yang menerima kompetensi Komite atas kejahatan-kejahatan yang terjadi
pasca tahun 1990. Lihat dalam Pertimbangan, alinea 6(2). Sementara di sisi lain, Indonesia tidak melampirkan
pembatasan kurun waktu (temporal) apa pun, ketika Indonesia menerima (acceded) Kovenan ini di tahun 2006.
Oleh karena itu Indonesia terikat/harus tunduk pada (subject to) peraturan-peraturan biasa (ordinary rule of
international law); bahwa Negara-Negara tetap bertanggungjawab atas kejahatan HAM yang berkelanjutan.
Sebagai contoh lihat Inter-American Court of Human Rights, Blake vs. Guatemala, Preliminary Objections,
Judgment of July 2, 1996, alinea 39-40.
36
37
Komentar Umum 13, alinea 8(18).
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
13
UU Komisi Kebenaran di Indonesia gagal memenuhi standar ini, karena:
•
Batas waktu 90 hari untuk penyelidikan terlalu singkat untuk menyelidiki kejahatan
terhadap masa lalu dan genosida. Di Negara-Negara besar, penyelidikan tersebut
bahkan bisa memakan waktu beberapa dekade.38
•
Definisi hukum tentang kebenaran, sebagai kebenaran dari sebuah peristiwa semata
(‘incident’), tidak mengacu kepada arti kebenaran yang lebih luas, dengan
menyingkap sebab dan pola dari kejahatan HAM yang terjadi, termasuk juga situasi
dan konteksnya, serta pelajaran yang bisa diambil sehingga kejahatan terhadap
kemanusiaan dan genosida tersebut tidak terulang lagi.39
•
Terlampau kecilnya insentif (dorongan) bagi para pelaku untuk mengaku menyatakan
kebenaran dan untuk mendapatkan amnesti, terutama karena terlampau minimnya
ancaman hukuman, kalaupun mereka tidak melakukan hal tersebut (tidak mau
mengaku).
•
Tidak ada persyaratan yang jelas dan tegas bahwa pelaku yang hendak meminta
amnesti akan memberikan kesaksian mengenai kebenaran sesungguhnya sesuai
dengan apa yang mereka ketahui.40
•
Korban akan merasakan tekanan untuk “memaafkan”, bahkan kalaupun kebenaran
tidak diungkapkan dengan sepenuh-penuhnya/utuh (not fully told), sehingga pelaku
dapat memperoleh amnesti dan korban memperoleh reparasi. Di bawah UndangUndang KKR yang ada, jika pelaku tidak mendapatkan pengampunan, maka korban
pun tidak akan mendapatkan reparasi.41
38
Pasal 24 UU KKR Indonesia.
39
Pasal 1(1) UU KKR Indonesia.
40
Pasal Pasal 23, 28.2 UU KKR Indonesia.
41
Lihat Pasal Pasal 27, 28 dan 29 UU KKR Indonesia.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
14
REPARASI BAGI KORBAN DAN KELUARGA MEREKA
Para korban memiliki hak untuk mendapatkan ‘pemulihan yang efektif’ (effective
remedy) (lihat di muka).
Orang yang ‘mengklaim’ bahwa dirinya adalah korban memiliki hak untuk
mendapatkan keadilan, agar sebuah proses yudisial atau pun proses administratif yang adil
dapat menentukan apakah mereka—dalam kenyataannya—adalah sungguh-sungguh korban,
sehingga memang layak mendapatkan reparasi.42
Sumber hukum utama yang menyatakan tentang hak korban untuk mendapatkan
pemulihan adalah (antara lain):
•
Pasal 8 Deklarasi Universal,
•
Pasal 2(3) Kovenan, dan
•
Prinsip-Prinsip Umum (Basic Principles) PBB.
Metode pemulihan yang efektif mencakup akses yang setara dan efektif terhadap
keadilan, akses kepada informasi yang relevan berkaitan dengan kejahatan yang terjadi dan
mekanisme reparasi.43
Reparasi, dengan demikian, mencangkup restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan
(satisfaction) dan jaminan bahwa kejahatan tidak akan terulang lagi.44
42
Prinsip-Prinsip Umum (Basic Principles) II(3) (c).
43
Prinsip-Prinsip Umum VII(11).
44
Prinsip-Prinsip Umum IX(18); lihat catatan kaki 23 di atas.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
15
UU Komisi Kebenaran di Indonesia gagal memenuhi standar ini, karena:
•
Kompensasi dan rehabilitasi dapat diberikan hanya jika permohonan amnesti
telah diberikan.45
•
Dengan demikian di dalam banyak kasus, kompensasi dan rehabilitasi ini tidak
akan mungkin dapat diberikan. Misalnya ketika pelaku tidak dapat diidentifikasi
atau gagal dalam pengajuan amnesti, atau tidak dimaafkan oleh korban, atau
dianggap tidak layak oleh Presiden atau oleh DPR.46
•
Di dalam versi terjemahan bahasa Inggris tak resmi atas UU KKR, setidaknya
terdapat ketidakjelasan atas UU Komisi Kebenaran ini; contoh: kapan sebenarnya
restitusi—metode yang dianggap layak sebagai bentuk reparasi di bawah hukum
internasional—sungguh-sungguh dapat diberikan.47
•
Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi dapat ditunda sampai tiga tahun, walaupun
tidak ada pembenaran yang signifikan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu.48
•
Tidak ada ketentuan yang ditetapkan untuk mengukur kepuasan (satisfaction),
seperti pengakuan publik atas fakta-fakta yang dipaparkan, penerimaan atas
pertanggungjawaban Negara, permintaan maaf dari Negara dan pembangunan
monumen-monumen peringatan akan korban.49
•
Tidak ada ketentuan yang menjamin bahwa kejahatan tersebut tidak akan terulang
lagi, seperti kriteria yang dirumuskan untuk melindungi para pembela hak-hak
asasi manusia.50
45
Pasal 27UU KKR Indonesia.
46
Pasal 25-28 UU KKR Indonesia.
47
Pasal 27 UU KKR Indonesia.
48
Pasal 21(1) UU KKR Indonesia.
49
Lihat Pasal 1(6), 1(7) and 1(8) UU KKR Indonesia.
Lihat Pasal 1(6), 1(7) dan 1(8) UU KKR Indonesia; bandingkan dengan Prinsip-Prinsip Umum (Basic
Principles) IX(23).
50
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
16
PROSES HUKUM DAN PENGHUKUMAN
Hukum internasional mengijinkan dan bahkan mendorong adanya amnesti bagi setiap
kejahatan, tetapi bukan atas Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan.
Sumber hukum utama yang dapat digunakan untuk melarang:
•
Kewajiban untuk memastikan pemenuhan hak-hak yang dilindungi oleh
Konvensi Pasal 2(1) sebagaimana yang ditafsirkan secara resmi oleh Komite
HAM PBB dalam Komentar Umum (General Comment) 31, yang melarang
amnesti bagi pejabat publik (public official) atau pun pejabat Negara yang
melakukan kejahatan HAM berat.51
•
Praktik PBB, sebagaimana yang dikonfirmasikan di dalam laporan Sekretaris
Jenderal mengenai Pengadilan Khusus di Sierra Leone tahun 2000,52 dan
dikukuhkan kembali oleh laporan Sekretaris Jenderal pada tahun 2004 tentang
praktik-praktik terbaik keadilan transisional (transitional justice),53 tidak
menerima pemberian amnesti atas pembunuhan massal atau pun kejahatan atas
51
Komentar Umum (General Comment) 31, alinea 18.
Laporan Sekjen PBB sehubungan dengan Pembentukan Pengadilan Khusus bagi Sierra Leone, S/2000/915,
4 Oktober 2000, alinea 22: “Sementara [kami] mengakui bahwa amnesti adalah sebuah konsep hukum yang
dapat diterima serta merupakan pertanda perdamaian dan rekonsiliasi di penghujung perang saudara maupun
konflik bersenjata dalam negeri, PBB secara konsisten telah mengambil sikap bahwa amnesti tidak boleh
diberikan atas kejahatan-kejahatan internasional seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan atau
pelanggaran-pelanggaran serius atas hukum humaniter” (“While recognizing that amnesty is an accepted legal
concept and a gesture of peace and reconciliation at the end of a civil war or an internal armed conflict, the
United Nations has consistently maintained that amnesty cannot be granted in respect of international crimes,
such as genocide, crimes against humanity or other serious violations of international humanitarian law”). Lihat
juga alinea 23-24.
52
Laporan Sekjen PBB tentang Supremasi Hukum dan Keadilan Transisional di dalam Masyarakat Berkonflik
dan Pasca Konflik (Report of the Secretary-General on the Rule of Law and Transitional Justice in Conflict and
Post-Conflict Societies), UN Doc. S/2004/616, 23 Agustus 2004, alinea 10: “Perjanjian-perjanjian perdamaian
yang difasilitasi PBB tidak akan pernah menjanjikan amnesti bagi genosida, kejahatan-kejahatan perang,
kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan HAM berat” (“United Nations-endorsed peace agreements can
never promise amnesties for genocide, war crimes, crimes against humanity or gross violations of human
rights”).
53
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
17
kemanusiaan, di antara berbagai kejahatan berat atas hak-hak asasi manusia
lainnya.
•
Kewajiban Negara untuk menghukum atau mengekstradisi di bawah otoritas
Konvensi Penyiksaan (Torture Convention) adalah tidaklah konsisten dengan
pemberian amnesti bagi para pelaku penyiksaan tersebut.54
•
Prinsip-prinsip Dasar dan Panduan tentang Hak untuk Mendapatkan Pemulihan
dan Reparasi (The Basic Principles dan Guidelines on the Right to a Remedy and
Reparations) mewajibkan Negara untuk memproses secara hukum dan
menghukum orang-orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran berat hak-hak
asasi manusia.55
•
Resolusi Komisi HAM PBB tentang Impunitas tahun 2005 menyatakan bahwa
“amnesti tidaklah boleh diberikan bagi mereka yang melakukan pelanggaran
terhadap hak-hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional.”56
•
Prinsip-prinsip terbaru yang telah dirumuskan untuk memerangi impunitas
melarang amnesti bagi para pelaku kejahatan HAM berat, setidaknya sampai
mereka telah dihukum di pengadilan.57 Prinsip tersebut kemudian menekankan
bahwa amnesti tidak boleh mempengaruhi hak korban untuk mendapatkan
reparasi, atau hak untuk mengetahui kebenaran dari peristiwa yang telah terjadi.58
54
Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture), catatan kaki 17 di atas, Pasal 7(1).
55
Prinsip-Prinsip Umum (Basic Principles) III(4).
56
Komisi HAM PBB (UN Human Rights Commission), Resolusi 2005/81, Impunity, 21 April 2005, alinea 3.
57
Prinsip-Prinsip Impunitas (Impunity Principles) 24(a).
58
Prinsip-Prinsip Impunitas (Impunity Principles) 24(b).
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
18
•
Watak jus cogens dari norma-norma yang melawan semua bentuk genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan juga tidaklah konsisten dengan pemberian
amnesti bagi kejahatan-kejahatan ini.59
UU Komisi Kebenaran di Indonesia gagal untuk memenuhi standar ini, karena UndangUndang tersebut memperbolehkan amnesti bagi orang yang melakukan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan.60
Lihat Mahkamah Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former
Yugoslavia), dalam Pengadilan Tertutup (Trial Chamber) kasus Penuntut Umum vs. Furundzija, Kasus IT-9517/1, Putusan, 10 Desember 1998, alinea 155: “Fakta bahwa penyiksaan itu dilarang oleh sebuah norma hukum
international yang harus dipatuhi ternyata memiliki beberapa dampak… Sesungguhnya tak terbantahkan,
bahwa pada satu sisi, nilai-nilai jus cogens mengenai larangan penyiksaan, perjanjian atau aturan-aturan
kebiasaan yang mengatur penyiksaan menjadi batal dan tidak berlaku semenjak perbuatan tersebut dilakukan
(null and void ab initio), [catatan kaki diabaikan], dan kemudian sebuah Negara, dengan ceroboh, menyatakan
telah mengambil tindakan-tindakan yang mengesahkan atau memberi jalan bagi tindakan penyiksaan atau
membebaskan para pelakunya melalui hukum amnesti [catatan kaki tidak disertakan]. Bilamana situasi
demikian terjadi, tindakan negara tersebut dianggap telah melanggar Prinsip-prinsip Umum dan Kesepakatan
lain yang terkait, ..tindakan negara tersebut tidak akan mendapatkan pengakuan resmi internasional.
Penuntutan bisa dilakukan oleh kelompok korban yang memiliki kapasitas hukum (locus standi) badan yudisial
yang kompeten baik di tingkat nasional maupun internasional dengan permohonan untuk menahan berlakunya
produk hukum nasional tersebut yang bertentangan dengan hukum internasional; atau korban tersebut dapat
mengajukan tuntuntan perdata ke pengadilan di negeri asing atas kerugian-kerugian yang dideritanya, yang
kemudian, di antara hal-hal lainnya (inter alia), akan diminta untuk tidak mengindahkan keabsahan dari hukum
nasional tersebut.
59
Lihat juga Pengadilan Khusus (Special Court) Sierra Leone, Appeals Chamber, Prosecutor vs. Kallon, Kasus
No. SCSL-2004-15-AR72(E), Decision on Challenge to Jurisdiction: Lome Accord Amnesty, 13 Maret 2004.
Pengadilan ini menetapkan bahwa sebuah amnesti nasional bagi kejahatan-kejahatan pidana internasional
yang serius (serious international crimes) tidak dapat mengikat sebuah pengadilan internasional, alinea 72, 88;
bahwa ketika kewajiban traktat (sebagaimana terdapat di dalam Konvensi Anti Penyiksaan) mewajibkan Negara
untuk menuntut atau mengekstradisi seorang tersangka, maka pemberian amnesti atas kejahatan itu sendiri
akan merupakan sebuah “pelanggaran atas kewajiban sebuah Negara terhadap komunitas internasioal secara
keseluruhan”, alinea 73; dan [adalah] sebuah norma, bahwa negara yang tidak boleh memberikan amnesti atas
kejahatan-kejahatan internasional yang serius di level pengadilan nasionalnya “kini tengah berkembang di
bawah hukum internasional”, alinea 82.
Patut dicatat bahwa Pengadilan Khusus Sierra Leone ini mencapai kesimpulan di atas bahkan sebelum Komite
HAM PBB mengadopsi Komentar Umum (General Comment) 31 belakangan di tahun 2004; Komisi HAM PBB
mengadopsi Resolusi mengenai impunitasnya di tahun 2005. Komisi HAM PBB mencatat dengan penuh
penghargaan Rangkaian Prinsip mengenai Impunitas [Terbaru] (updated); dan di tahun 2005 Majelis Umum
mengadopsi Prinsip-prinsip Umum atas Reparasi (Basic Principles on Reparations).
60
UU KKR Indonesia, Pasal 24-29.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
19
SEBUAH ALTERNATIF TERHADAP AMNESTI: KURANGI PENGHUKUMAN,
MENYATUKAN DENGAN PROSES PENCAPAIAN KEBENARAN, REPARASI DAN
PENGHUKUMAN YANG PROPORSIONAL
Sebagai alternatif dari amnesti, Negara-Negara juga dapat mengurangi penghukuman
sebagai imbalan dari pengakuan para pelaku. Alternatif semacam ini telah diadopsi oleh
Pengadilan Pidana Internasional untuk bekas Negara Yugoslavia dan Rwanda. Pengadilan
tersebut memberikan hukuman yang lebih ringan bagi para pelaku yang mengaku bersalah,
mengaku sepenuhnya atas kejahatan merea dan menunjukkan penyesalan.61 Alternatif untuk
mengurangi penghukuman sebagai imbalan dari pengungkapan kebenaran (truth telling) juga
dipertimbangkan di dalam prinsip-prinsip terbaru PBB dalam memerangi impunitas.62
Walaupun begitu, penghukuman ini tidaklah dapat dikurangi terlalu banyak.
Hukuman haruslah tetap bermakna dan proporsional dengan tingkat kejahatan yang telah
dilakukan. Lebih dari itu, upaya untuk menyingkap kebenaran tetaplah harus dilakukan,
waktu yang mencukupi untuk melakukan penyelidikan secara mendalam, serta reparasi yang
adekuat (mencukupi) bagi korban.
Ini adalah pelajaran yang dapat diambil dari keputusan di Mahkamah Konstitusi
Kolombia baru-baru ini, pada 18 Mei 2006, yang mengenyampingkan beberapa bagian
penting dari Undang-Undang Keadilan dan Perdamaian Kolombia. Undang-Undang tersebut
memperbolehkan pengurangan hukuman bagi kelompok bersenjata ilegal, yang mengakui
secara spesifik bertanggungjawab atas kejahatan-kejahatan serius. Enam dari sembilan
Hakim Konstitusi memandang bahwa sejumlah ketentuan Undang-Undang tersebut tidak
sah, sedangkan tiga Hakim lainnya memandang bahwa keseluruhan Undang-Undang itu
Misalnya, Mahkamah Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the
Former Yugoslavia), Prosecutor vs. Plavsic, Case IT-00-39&40/1, Trial Chamber, Ketetapan Vonis (Sentencing
Judgment), 27 Februari 2003, alinea 66-81 (dapat diakses pada situs www.un.org/icty).
61
62
Prinsip-Prinsip Impunitas (Impunity Principles) 28.
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
20
tidak Konstitusi. Tidak ada satu pun Hakim Konstitusi Kolombia yang menyatakan
dukungan atas Undang-Undang tersebut.
Sayangnya putusan Mahkamah Konstitusi Kolombia tersebut—sejauh pengetahuan
saya—tidak tersedia di dalam terjemahan bahasa Inggris. Saya tengah berkonsultasi dengan
International Center for Transitional Justice (Pusat Internasional untuk Keadilan
Transisional) dan Paul van Zyl, dalam upaya untuk menyediakan terjemahan bahasa Inggris
bagi Mahkamah Terhormat ini, setidaknya untuk bagian operasional dan pertimbangan
Mahkamah Kolombia tersebut selekas mungkin.
Sementara itu, di bawah ini adalah beberapa aspek kunci dari Keputusan Mahkamah
Kolombia:
•
Hukuman Penjara: Undang-Undang Kolombia memperkenankan para anggota
kelompok bersenjata ilegal untuk mengaku atas kejahatan terhadap kemanusiaan
yang mereka lakukan, sebagai imbalannya adalah pengurangan penghukuman sampai
lima atau delapan tahun penjara. Lebih dari 1½ tahun yang dihabiskan di kamp
demobilisasi dapat diperhitungkan sebagai bagian dari masa hukuman penjara.
Dengan kata lain, periode minimal dari hukuman penjara atas [pelaku] pembantaian
massal (massacres) dan berbagai kejahatan keji terhadap warga sipil lainnya dapat
berlangsung 3½ tahun (minimal lima tahun, setelah dikurangi 1½ tahun di kamp
demobilisasi). Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa waktu di kamp demobilisasi
tidak dapat dihitung sebagai bagian dari penghukuman penjara, sehingga hukuman
minimal adalah tetap lima tahun.
•
Kebenaran: Mahkamah kemudian menyatakan bahwa pengurangan dari hukuman
normal—yakni 5-8 tahun penjara untuk kejahatan-kejahatan serius—haruslah amat
digantungkan pada semua kejahatan yang telah diungkapkan. Mahkamah
menetapkan, jika di kemudian hari didapati bahwa para pelaku tidak mengakui semua
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
21
kejahatannya, maka hukuman penjara tambahan dapatlah diberikan, berdasarkan
sanksi yang lazim diberikan atas kejahatan yang tidak diakui.
•
Penyelidikan: Undang-Undang hanya menyediakan waktu 60 hari bagi penuntut
umum untuk menyelidiki apakah pengakuan para pelaku itu benar atau tidak.
Mahkamah menyatakan bahwa ketentuan ini tidak valid, karena waktunya terlalu
singkat untuk mengkonfirmasikan kebenaran.
•
Reparasi: Undang-Undang mewajibkan para pelaku untuk membayar reparasi atas
segala harta benda yang telah diambilnya secara ilegal sebagai hasil dari
kejahatannya. Mahkamah mewajibkan para pelaku untuk membayar reparasi dari
semua harta miliknya, tidak hanya terbatas pada harta yang telah diambilnya secara
ilegal. Dengan kata lain, Mahkamah mewajibkan kelompok-kelompok ilegal agar
bertanggungjawab secara kolektif dengan membayar reparasi; dan tidak hanya bagi
para pelaku individual yang telah mengaku. Hanya ketika pembayaran reparasi yang
dilakukan para pelaku tidak mencukupi, [barulah] Negara akan membayarkan
reparasi tersebut.
•
Partisipasi Korban: Pengadilan menyatakan bahwa di dalam proses pengadilan
pidana terhadap para pelaku, korban diperkenankan untuk berpartisipasi aktif.
Bahkan sebelum keputusan-keputusan ini ditetapkan, Undang-Undang Kolombia
telah memberikan hak-hak yang lebih bagi korban, dan telah lebih mendekati [standar]
kewajiban Negara—di bawah hukum internasional—untuk menghukum pelaku dan
menyediakan reparasi, dibandingkan dengan Undang-Undang Komisi Kebenaran Indonesia.
Akan tetapi, seperti yang telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi Kolombia, Undang-
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
22
Undang Kolombia sendiri sesungguhnya tidak memenuhi kriteria standar Konstitusi
Kolombia, yang mengacu kepada standar internasional.
Akhirnya haruslah dicatat bahwa sementara Undang-Undang Kolombia memang
berkenaan dengan kelompok-kelompok bersenjata ilegal, namun Undang-Undang Komisi
Kebenaran Indonesia mencakup langsung juga dengan pejabat (officials) serta para agen
Negara (agents of the State). Adalah kewajiban Negara untuk menyelidiki dan menghukum
pejabat dan agennya sendiri, serta membayarkan reparasi bagi korban-korban mereka.
Reparasi dan penghukuman tersebut berada di level pertanggungjawaban yang lebih tinggi
daripada proses hukum atas kelompok bersenjata yang ilegal.
Diajukan dengan penuh hormat,
Douglass Cassel
Lilly Endowment Professor of Law
Direktur, Center for Civil and Human Rights
Notre Dame Law School
Notre Dame, Indiana USA
[email protected]
6 Juli 2006
PEC – Research Dept. – Translation Unit: Aug. 2006
23
Keterangan Saksi/Ahli Naomi Roht-Arriaza,
Professor Hukum, Universitas California,
Hastings College of Law,
Di hadapan Mahkamah Konstitusi
Saya
ingin
berterimakasih
kepada
Mahkamah
karena
telah
menenerima keterangan saya, baik keterangan lisan maupun tulisan,
dalam kapasitas sebagai ahli berkenaan dengan persoalan mengenai
keabsahan Undang-Undang No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (Undang-Undang KKR). Kesaksian tertulis ini pada
pokoknya mengikuti atau menegaskan presentasi lisan saya sebelumnya.
Saya
mengerti
bahwa
hukum
Indonesia
memperbolehkan
Mahkamah ini untuk memberikan ruang dan penghargaan yang cukup
terhadap hukum internasional, termasuk di dalamnya adalah perjanjianperjanjian yang telah diratifikasi, perjanjian-perjanjian yang belum
diratifikasi,
serta
prinsip-prinsip
hak-hak
asasi
manusia
(HAM)
internasional maupun deklarasi-deklarasi lainnya. Untuk itulah saya
hendak
memberikan
kesaksian
(testimony)
tentang
kesesuaian
(compatibility) KKR dengan hukum internasional berkaitan dengan hak
untuk mendapatkan pemulihan (remedy) serta reparasi (reparation).
Secara lebih khusus saya hendak menyorot Pasal 27 Undang-Undang
KKR yang menempatkan hak korban atas reparasi tergantung pada
pemberian amnesti bagi pelaku, yang melanggar standar internasional,
termasuk perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh
2
Indonesia. Sebagai tambahan, dengan tidak memberikan hak kepada
korban untuk melanjutkan tuntutan ke Pengadilan HAM ketika kasusnya
sudah ditangani oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka pasal 44
telah melanggar hak korban untuk mendapatkan keadilan dan ganti rugi
(redress). Hal ini sangat bertentangan dengan praktik Komisi Kebenaran
maupun
program-program
reparasi
di
level
internasional—yang
memisahkan kewajiban Negara untuk menyediakan reparasi dengan
persoalan amnesti—dan bahwa dalam kasus manapun Negara tidak boleh
memberikan
amnesti
bagi
kejahatan
terhadap
kemanusiaan
dan
genosida. Maka dalam pemahaman ini pasal 1(9) Undang-Undang KKR
juga bermasalah, karena pasal ini memperbolehkan pemberian amnesti
bagi kejahatan-kejahatan yang [sesungguhnya] tidak boleh mendapatkan
amnesti di bawah hukum internasional. Komentar saya akan berfokus
pada tujuan Komisi Kebenaran, serta kewajiban yang saling berhubungan
antara hak atas kebenaran, keadilan dan reparasi.
Kemudian saya akan memaparkan definisi “korban” di dalam
hukum internasional, serta menjelaskan mengapa definisi tersebut tidak
dapat berjalan searah (cannot be contingent) dengan ketentuan-ketentuan
hukum nasional, atau tidak dapat begitu saja diidentikkan dengan
amnesti terhadap para pelaku; sehingga haruslah menjadi pertimbangan
yang berdiri sendiri (independent determination). Pada bagian akhir, saya
akan kembali pada praktik Komisi-Komisi Kebenaran yang telah ada saat
ini, terutama yang berkaitan dengan reparasi dan amnesti.
PEC Translation Unit – 2006
3
1. Tujuan Komisi Kebenaran
Banyak Negara di dunia telah membentuk Komisi Kebenaran
setelah era kediktatoran, periode represi masif, atau pun pasca konflik.
Pertama-tama, tujuan Komisi ini sendiri adalah untuk menciptakan
catatan otoritatif yang sah atas fakta-fakta yang ada (an authoritative
record of the facts). Tanpa pengetahuan bersama mengenai peristiwa yang
terjadi di masa lalu, serta tanpa pengakuan resmi atasnya, suatu tatanan
demokrasi yang kukuh tidaklah akan dapat sungguh-sungguh dibentuk.
Komisi Kebenaran juga penting untuk memampukan para korban
menuturkan kisah mereka agar didengarkan orang banyak. Dalam
banyak kesempatan pelanggaran tidak pernah diakui, sehingga korban
harus terus menanggung stigma dan pengucilan. Kondisi seperti ini
haruslah diubah, agar korban bisa dikembalikan ke dalam masyarakat.
Komisi Kebenaran juga menyajikan laporan serta rekomendasi untuk
mencegah agar pengulangan kejahatan HAM di masa lalu tersebut tidak
terjadi lagi. Beberapa Komisi Kebenaran memang memiliki tujuan untuk
mendorong terjadinya rekonsiliasi nasional. Ide dasarnya adalah, bahwa
pengetahuan serta pengakuan tentang peristiwa yang telah terjadi,
identifikasi pelaku dan korbannya merupakan faktor yang sangat penting
untuk membuka peluang bagi rekonsiliasi.
PEC Translation Unit – 2006
4
2. Independen tetapi memiliki kewajiban yang saling terkait
Hukum internasional dan penerapannya mengenal tiga bentuk
kewajiban Negara yang terpisah, independen namun saling terkait, serta
berkaitan langsung dengan hak-hak korban, yakni: hak atas kebenaran,
keadilan dan reparasi. Pemenuhan salah satu dari ketiga hak tersebut
tidaklah berarti bahwa hak-hak lainnya bisa diabaikan, atau dapat diikat
dan kemudian digantungkan pada pemenuhan hak lainnya. Kewajibankewajiban
yang
berinterrelasi
ini
muncul
dari
praktik
hukum
internasional yang sudah berlangsung lama, maupun dari kewajiban
perjanjian-perjanjian internasional spesifik lainnya. Kewajiban Negara
untuk memulihkan kerugian/penderitaan akibat pelanggaran HAM yang
terjadi telah menjadi salah satu prinsip terpenting di dalam hukum
internasional.1 Hak korban untuk mendapatkan pemulihan juga telah
dijamin di dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan
perjanjian-perjanjian HAM internasional lainnya.2 Hak atas pemulihan
(the right to remedy) adalah sebuah konsep yang luas dan tidak hanya
mencakup kompensasi finansial saja. Konsep tersebut mencangkup pula
hak untuk memperoleh kebenaran dan keadilan serta hak atas reparasi,
Pengadilan Internasional untuk Keadilan Permanen (International Court of Permanent Justice),
Chorzow Factory, 1928, Series A No. 17, Putusan (judgment) Nº 13.
1
Deklarasi Universal HAM, Pasal 8; Pasal 2(3) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik (International Covenant on Civil and Political Rights); Pasal 14 Konvensi Anti Penyiksaan
(Convention Against Torture); Pasal 13 Konvensi Eropa tentang Hak-hak dan Kebebasan Dasar
(European Convention on Fundamental Rights and Freedoms); Pasal 25 Konvensi Amerika tentang
HAM; Pasal 7 Piagam Afrika tentang HAM dan hak Masyarakat; Pasal 6 Konvensi Internasional
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.
2
PEC Translation Unit – 2006
5
yang
keseluruhannya
berasal
dari
yurisprudensi
badan-badan
internasional berkenaan dengan kewajiban-kewajiban perjanjian tersebut
(treaty obligations).
Dengan demikian, pada kasus Bautista de Arellana vs. Colombia,
Komite HAM (Human Rights Committee), dengan menafsirkan Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (yang telah diratifikasi
oleh
Indonesia)
mendapati
bahwa
walaupun
para
pelaku—yang
mengemban jabatan-jabatan publik telah diberikan sanksi administratif,
serta kompensasi telah diberikan kepada korban—namun kesemuanya
itu
belumlah
cukup,
karena
Konvensi
mewajibkan
penghukuman
terhadap para pelaku kejahatan HAM berat. Komite ini menyatakan:
8.2 Dalam ketetapan yang dibuatnya pada 14 Juli 1995,
Negara Pihak (the state party) menyatakan bahwa Resolusi
13 pada tanggal 5 Juli 1995 memberikan sanksi displiner
terhadap Messrs. Velandia Hurtado dan Ortega Araque;
serta Pengadilan Administratif dari Cundinamarca pada 22
Juni 1995 telah mengabulkan klaim kompensasi kepada
keluarga Nydia Bautista.
Negara pihak menegaskan ulang niatnya untuk menjamin
pelaksanaan HAM dan kebebasan dasar sepenuhnya.
Berkenaan dengan hal ini—dalam pandangan Negara
pihak—keputusan di atas telah memberikan pemulihan
yang efektif bagi keluarga Nydia Bautista. Komite tidak
sepaham dengan pandangan semacam ini, karena
pengenaan sanksi administratif dan displiner semata
tidaklah dapat dianggap cukup serta tidaklah sesuai
dengan hak korban atas pemulihan yang efektif,
sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 2, paragraf 3
Konvensi, terutama di dalam peristiwa pelanggaran HAM
serius, khususnya berkenaan dengan dugaan pelanggaran
terhadap hak atas kehidupan…8.6 Betapapun Komite
memandang bahwa Negara pihak memiliki kewajiban untuk
melakukan investigasi secara menyeluruh atas dugaan
berbagai bentuk kejahatan HAM, dan secara spesifik
penghilangan paksa serta pelanggaran atas hak hidup, dan
PEC Translation Unit – 2006
6
kemudian menuntutnya secara pidana, serta mengadili dan
menghukum para pelaku yang bertanggungjawab atas
kejahatan semacam itu. Tugas ini berlaku a fortiori di dalam
berbagai kasus, ketika para pelaku telah berhasil
diidentifikasikan. Komunikasi No.563/1993, U.N. Doc.
CCPR/C/55/D/563/1993 (1995).
Beberapa instrumen HAM lainnya memiliki ketentuan yang serupa
tentang hak korban atas pemulihan. Komisi HAM Inter-Amerika (InterAmerican Commission on Human Rights) telah lama mengartikan istilah
“hak untuk mendapatkan pemulihan” di dalam Konvensi [Negara-Negara]
Amerika [Selatan] yang mencakup kewajiban Negara untuk melakukan
investigasi dan penuntutan; berulang kali menegaskan investigasi atas
fakta-fakta yang ada, menghukum para pelaku yang bertanggungjawab
atas tindak penghilangan paksa atau penyiksaan. Komisi HAM InterAmerika juga menemukan kasus serupa atas Chile, di mana keberadaan
Komisi Kebenaran tidak perlu menghalangi kebutuhan untuk melakukan
investigasi dan bahkan jika terbukti, penghukuman atas para pelaku
yang bertanggungjawab. Komisi mendapati bahwa pemberian amnesti
yang dipergunakan untuk melindungi para pelaku kejahatan HAM berat
pada saat bersamaan merupakan melanggar kewajiban HAM sebuah
Negara.
Berkenaan dengan kasus tersebut, pemerintah berpendapat bahwa
amnesti haruslah ditempatkan di dalam konteks rekonsiliasi, yakni
sebagai keharusan hukum yang dibutuhkan demi kebaikan bersama,
karena “penyelidikan fakta-fakta yang terjadi di masa lalu dapat
PEC Translation Unit – 2006
7
menghidupkan kembali kebencian antar-pribadi atau pun kelompok”; dan
oleh karenanya mengganggu penguatan institusi-institusi demokratis
[yang tengah berkembang]. Pemerintah juga mengajukan argumentasi
bahwa amnesti tersebut telah diberikan oleh rezim militer terdahulu, dan
juga
bahwa
mereka
[pemerintahan
yang
berkuasa
kini]
tidak
bertanggungjawab atas tindak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
para pendahulu mereka. Pertama-tama Komisi berpandangan bahwa
berkenaan dengan prinsip kesinambungan Negara (continuity of the State),
tanggungjawab internasional tetaplah mengikuti Negara tersebut, terlepas
dari perubahan-perubahan yang terjadi di dalam pemerintahannya.
Kedua, Komisi juga berpandangan bahwa terlepas dari Komisi Nasional
untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi serta kerja-kerja yang telah dicapainya
dalam mengumpulkan informasi tentang berbagai pelanggaran HAM di
masa lalu; serta terlepas dari Undang-Undang Reparasi3—sesuai dengan
Pasal 8 dan Pasal 25, dan sesuai dengan Pasal 1(1) dan Pasal 2 Konvensi
HAM
Amerika—selama
hak
untuk
mendapatkan
keadilan
belum
terpenuhi, semua kriteria ini tidaklah mencukupi untuk menjamin
penghormatan
terhadap
korban
pelanggaran
HAM,
yang
berarti
mencangkup juga pemenuhan keadilan di dalam kasus-kasus yang
Undang-Undang Reparasi Chile menyediakan hal-hal berikut ini bagi para keluarga korban (a)
uang pensiun seumur hidup dengan jumlah tidak kurang dari pendapatan rata-rata keluarga di Chile,
(b) prosedur khusus untuk menyatakan sah atau tidaknya sebuah kematian, (c) perhatian khusus
yang diberikan negara dalam hal kesehatan, pendidikan dan perumahan, (d) pengampunan
terhadap semua bentuk hutang pajak, pendidikan, dan semua hutang yang dipikul korban terhadap
negara, dan (e) pembebasan dari wajib militer bagi anak-anak korban.
3
PEC Translation Unit – 2006
8
spesifik, menghukum para pelaku, serta menyediakan reparasi yang patut
pula untuk korban dan keluarganya. Carmelo Soria Espinoza vs. Chile,
Kasus 11.725, Laporan Nº 133/99, OEA/Ser.L/V/II.106 Doc. 3 rev. at
494 (1999).4
Pengadilan HAM Eropa (European Court of Human Rights) juga telah
menyatakan hal serupa, bahwa mekanisme pemulihan korban yang
berbeda-beda
sebenarnya
independen—jadi
yang
satu
tidak
bisa
digunakan untuk menggantikan yang lainnya—dan juga bahwa Negara
memiliki
kewajiban
untuk
menghukum
para
pelaku
sekaligus
memberikan kompensasi bagi korban. Di dalam kasus X dan Y vs. the
Netherlands, tanggal 26 Maret 1985, Series A, No. 91, Hukum Belanda
menyatakan bahwa pengaduan kasus pidana haruslah diajukan oleh
korban di dalam batas waktu yang telah ditentukan; Nona Y telah
mengalamai kekerasan seksual, namun karena ia memiliki gangguan
mental, maka adalah sang ayah yang akhirnya mengajukan pengaduan,
yang
kemudian
ternyata
dikesampingkan
oleh
jaksa
penuntut.
Pemerintah berpendapat bahwa kemampuan untuk mengajukan gugatan
hukum secara perdata terhadap para pelaku kejahatan sudahlah
merupakan bentuk pemulihan yang cukup, akan tetapi pengadilan tidak
Lihat juga kasus-kasus serupa, yang melibatkan Argentina, Uruguay, dan El Salvador. Semua
negara ini berada dalam situasi transisi dari pemerintahan militer menuju pemerintahan sipil. Lihat
misalnya kasus 28/92 (Argentina) and 29/92 (Uruguay), Laporan Tahunan Komisi HAM InterAmerika (Annual Report of the Inter-American Commission on Human Rights), OEA/Ser.L./V/II.98
(1997). Oleh karena itu kewajiban untuk menegakkan keadilan tidak memperbolehkan pemberian
amnesti yang melanggar hak-hak korban bagi remedy dan didengarkan kesaksiannya secara patut,
juga telah dikonfirmasikan oleh Pengadilan HAM Inter-Amerika di dalam Kasus Barrios Altos,
Putusan bulan Maret 14, 2001, Inter-Am. Ct. H.R., (Ser. C) No. 75 (2001).
4
PEC Translation Unit – 2006
9
sependapat. Perlindungan yang diberikan oleh hukum perdata (civil law)
tidaklah memadai di dalam konteks pelanggaran yang tengah kita bahas
di sini, terutama karena pelanggaran tersebut telah menginjak nilai-nilai
fundamental: hanya ketentuan-ketentuan hukum pidana yang dapat
menegakkan efek jera yang efektif, dan memang ketentuan-ketentuan ini
pula yang secara normal mengatur perkara semacam ini. Dengan
demikian,
tidak
terdapat
mekanisme
yang
cukup
efektif
untuk
mendapatkan pemulihan. Untuk pelanggaran pidana yang serius, setidaktidaknya kemungkinan bagi penuntutan dapat disyarakatkan di bawah
Konvensi Eropa (European Convention), namun pemulihan yang bersifat
perdata tidaklah akan memadai.
Ada dua kesimpulan yang dapat ditarik dari perspektif seragam
atas treaty bodies [badan atau lembaga PBB yang dibentuk berdasarkan
Kovenan atau Konvensi PBB) yang telah dijabarkan di atas tentang tema
kita: pertama, hak atas kebenaran, keadilan, serta hak atas reparasi
adalah bersifat independen (sungguh pun merupakan kewajiban yang
saling-terkait); dan kedua, bahwa Negara memiliki kewajiban untuk
memenuhi ketiga-ketiganya bagi para korban. Ketiga hal tersebut tidaklah
boleh diikat secara bersama dan dibuat bergantung satu sama lain,
karena ini akan bertentangan dengan konsep kewajiban yang independen.
Dikarenakan Pasal 27 Undang-Undang KKR menetapan aturan seperti ini,
maka
Undang-Undang
KKR
telah
melanggar
kewajiban-kewajiban
Indonesia di bawah hukum internasional. Sebagai tambahan, dengan
PEC Translation Unit – 2006
10
mengikatkan reparasi korban pada identifikasi dan tindakan dari pihak
pelaku, Undang-Undang KKR telah menciptakan pembedaan yang bersifat
sewenang-wenang di antara para korban yang mengalami situasi serupa,
serta melanggar pula hak
korban untuk mendapatkan perlakuan yang
setara sebagaimana telah dijamin di dalam berbagai instrumen HAM.5
Kedua, pemberian salah satu hak [korban], namun melupakan hak
lainnya tidaklah memadai. Dengan demikian, dengan ditutupnya hak
korban atas keadilan melalui menutup akses korban pada Pengadilan
HAM—khususnya ketika korban tidak bisa menerima permintaan maaf
maupun pemberian amnesti para untuk pelaku—maka Pasal 44 telah
melanggar
kewajiban-kewajiban
di
muka.
Dan
akhirnya,
dengan
dibatasinya hak korban atas keadilan di dalam kasus kejahatan yang
paling serius, seperti telah didiskusikan di atas, maka Pasal 1 (9) UndangUndang KKR juga bertentangan dengan hukum internasional.
Pasal 7 Deklarasi Universal HAM; Pasal 26 ICCPR; Pasal 14 Konvensi Eropa untuk Perlindungan
Hak-Hak Asasi dan Kebebasan Fundamental manusia; Pasal 24 Konvensi Amerika tentang HAM;
Pasal 3 Piagam Afrika tentang Hak-Hak Asasi dan Hak-Hak Masyarakat; Pasal 5 Konvensi
Internasional tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial.
5
PEC Translation Unit – 2006
11
2. Siapakah Korban?
Definisi
paling
memadai
tentang
korban
di
dalam
hukum
internasional terdapat pada Deklarasi mengenai Prinsip-Prinsip Dasar
Keadilan
bagi
Korban
Kejahatan
dan
Penyalahgunaan
Kekuasaan
(Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of
Power, untuk selanjutnya akan dirujuk sebagai ‘Prinsip-Prinsip Dasar’
saja), yang diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum PBB No.40/34 pada
tanggal 29 November 1985. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa:
1.”Korban” adalah orang yang—secara individual ataupun kolektif—
telah menderita kerugian, baik dalam bentuk cidera fisik ataupun
mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomis, atau
pengrusakan fundamental hak-hak mereka, lewat berbagai
tindakan (acts) atau pembiaran (omissions) yang bertentangan
dengan hukum pidana yang berlaku dan diakui oleh Negara-Negara
Pihak, termasuk berbagai Undang-Undang yang melarang
penyalahgunaan kekuasaan secara pidana.
2. Berdasarkan Deklarasi ini, seseorang dapat dianggap korban,
tidak tergantung pada faktor apakah pelakunya telah dikenali,
ditangkap, dituntut atau pun dinyatakan bersalah, dan terlepas
dari hubungan kekeluargaan antara pelaku dan korban. Istilah
“korban”—sejauh patut—juga mencangkup keluarga dekat ataupun
tanggungan langsung dari sang korban, dan orang-orang yang
menanggung kerugian-kerugiaan karena memutuskan untuk
mendampingi korban yang telah terkena dampaknya, atau
mencegah jatuhnya korban.
3.Ketentuan-ketentuan ini berlaku untuk semua orang, tanpa
pembedaan suku, warna kulit, jenis kelamin, usia, bahasa, agama,
kewarganegaraan, serta persepsi politik atau paham lainnya;
terlepas dari kepercayaan maupun praktik-praktik kultural, hak
milik, status kelahiran ataupun keluarga, akar-akar sosial ataupun
etnis, serta menderita cacat atau tidak.
Dengan demikian Prinsip-Prinsip Dasar tersebut telah memperjelas
bahwa status sebagai korban tidaklah tergantung pada diidentifikasi atau
PEC Translation Unit – 2006
12
dikenalinya sang pelaku, atau pun pada proses pemberian amnesti.
Korban
tidak
alasannya,
boleh
sehingga
mengalami
terlepas
perlakuan
dari
persoalan
diskriminatif
apakah
apa
para
pun
pelaku
kejahatan yang menimpa “mereka” telah ditemukan atau belum.
Penetapan
mengenai
siapa
yang
merupakan
korban
adalah
sepenuhnya merupakan permasalahan hukum internasional. Definisi
yang sama tentang korban juga digunakan untuk merumuskan ketetapan
internasional kemudian, seperti Prinsip-Prinsip Dasar dan Pedoman
tentang Hak atas Pemulihan dan Reparasi bagi Para Korban Kejahatan
HAM Berat serta Pelanggaran-Pelanggaran Serius di dalam hukum
internasional (Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy
and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human
Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law)
(selanjutnya disebut Prinsip-Prinsip Dasar dan Pedoman), yang diakui
oleh Komisi HAM PBB pada tahun 2005. Penting untuk dicatat bahwa di
dalam pembukaan Prinsip-Prinsip Dasar (Basic Principles), banyak negara
telah menyetujui bahwa mereka “tidak melihatnya sebagai kewajiban baru
tetapi mengidentifikasi… [hal ini] sebagai kewajiban hukum yang telah
berlaku
sebelumnya”.
Dengan
demikian
mereka
sesungguhnya
mengemukakan kembali mengenai kewajiban internasional yang secara
umum telah diterima oleh banyak Negara. Menurut Prinsip-Prinsip Dasar
tersebut Negara pihak tidak hanya memenuhi hak korban atas pemulihan
dan reparasi tetapi mereka juga harus:
PEC Translation Unit – 2006
13
ƒ
ƒ
ƒ
Memastikan bahwa hukum nasional mereka menyediakan minimal
perlindungan yang sama bagi kroban dengan yang telah
ditentukan oleh hukum internasional (Prinsip-Prinsip Dasar 2(d));
dan
Memberikan korban kejahatan terhadap HAM atau pun hukum
humaniter akses terhadap keadilan yang efektif dan setara, seperti
telah dijelaskan sebelumnya, dengan tidak perlu melihat siapa
yang bertanggungjawab atas kejahatan yang telah terjadi (PrinsipPrinsip Dasar 3(c)) dan
Menyediakan pemulihan yang efektif bagi korban, termasuk hak
atas reparasi, seperti telah dijelaskan sebelumnya (Prinsip-Prinsip
Dasar 3(d)).
Prinsip-Prinsip Dasar dan Pedoman tersebut menekankan bahwa
“Seseorang dapat dianggap sebagai korban tidak tergantung dari apakah
pelaku dari kejahatan yang menimpa korban tersebut telah diidentifikasi,
ditangkap, dihukum, atau pun dituntut, dan tidak tergantung pada relasi
keluarga antara pelaku dan korban.” (Prinsip-Prinsip Dasar 9).
Hak untuk mendapatkan remedy (pemulihan) terus bertumbuh
mencangkup orang-orang yang ikut terkena dampak pelanggaran HAM
secara tidak langsung. Di dalam Pasal 8 Deklarasi Universal HAM
dinyatakan bahwa setiap orang yang terkena pelanggaran hak-hak
fundamental, baik secara langsung atau pun tidak, berhak memperoleh
hak atas pemulihan. Pasal 2(3) dari Kovenan Internasional tentang HakHak Sipil dan Politik (yang telah diratifikasi Indonesia) mendefinisikan
korban (yang berhak dipenuhi hak-hak fundamentalnya) sebagai “setiap
orang yang hak-hak dan kebebasannya… dilanggar”, dan menekankan
bahwa Negara harus memberikan pemulihan yang efektif terhadap “setiap
orang
(korban)
PEC Translation Unit – 2006
yang
mengklaim
pemulihan
semacam
itu.
Untuk
14
mengganti ketetapan yang berkaitan dengan pemulihan di Pasal 2(3),
Konvensi menetapkan hak atas kompensasi bagi pelanggaran HAM dalam
bentuk penahanan paksa atau pun pelanggaran atas kebebasan. Pasal
9(5) menyatakan bahwa, “setiap orang yang telah menjadi korban dari
penahanan paksa atau pun penghilangan paksa haruslah mendapatkan
hak atas kompensasi”. Proses perumusan ketetapan ini menunjukkan
bahwa ada beberapa hal yang sebelum merupakan pengecualian akhirnya
dibatalkan. Sebagai gantinya, mayoritas perumus ketetapan tersebut
memutuskan bahwa kompensasi haruslah diberikan oleh Negara dan
tidak hanya oleh pelaku atau pun pejabat yang terkait, terutama karena
pejabat maupun pelaku yang terkait akan memberikan kompensasi hanya
kepada kasus-kasus, di mana pelakunya telah teridentifikasi.6
Pasal 14 Konvensi Anti Penyiksaan (yang telah diratifikasi oleh
Indonesia) menekankan bahwa “korban dari tindak kekerasan dan
penyiksaan” berhak mendapatkan kompensasi yang adil dan mencukupi.
Pasal 13 Konvensi Eropa tentang Perlidungan Hak Asasi dan Kebebasan
Fundamental Manusia, serta Pasal 25 Konvensi Amerika tentang HAM
juga menekankan bahwa “setiap orang yang mengklaim pemulihan
semacam itu” haruslah mendapatkan kompensasi yang efektif. Di dalam
sistem hukum Eropa, “pihak yang mengalami kerugian langsung adalah
sinonim dari ‘korban’…, dan oleh karena itu mencangkup ‘orang-orang
Untuk lebih rinci lihat Naomi Roht-Arriaza, Impunity and Human Rights in International Law and
Practice (Oxford University Press, 1995), Bab 3.
6
PEC Translation Unit – 2006
15
yang terkena dampak langsung dari segala bentuk tindakan yang tidak
sesuai dengan ketetapan Konvensi’.”7
Definisi korban tidaklah perlu tergantung pada ketetapan hukum
nasional. Pengadilan HAM Inter-Amerika di dalam kasus of Bámaca vs.
Guatemala, tanggal 22 Februari, 2002, Ser. C No. 91, menyatakan bahwa:
Reparasi atas kerusakan yang disebabkan oleh pelanggaran atas
hukum internasional sedapat mungkin mewajibkan pemberian
restitusi secara penuh (restitutio in integrum), dan hal ini juga
termasuk menegakkan kembali situasi semula [sebelum terjadinya
pelanggaran]. Jika hal ini tidak dimungkinkan terutama di dalam
kasus-kasus tertentu, maka pengadilan internasional haruslah
menentukan kriteria tertentu—di samping untuk menjamin
pemenuhan hak-hak yang telah dilanggar—juga harus memperbaiki
akibat-akibat
yang
muncul
karena
pelanggaran,
seperti
menetapkan kompensasi dan ganti kerugian atas kerusakan yang
telah terjadi. Kewajiban untuk memenuhi hak reparasi dan semua
aspeknya diatur di dalam hukum internasional (jangkauan, hakikat,
etika, maupun pihak yang merupakan tanggungannya) dan tidak
dapat diubah oleh Negara, atau ditolak dengan memilih untuk
menggunakan
ketentuan
hukum
yang
bersifat
domestik
[penekanan/cetak miring saya tambahkan, alinea 3]).
Hal ini berjalan searah dengan Pasal 27 Konvensi Wina tentang
Hukum Perjanjian (Vienna Convention on the Law of Treaties), yang
menyatakan bahwa: “Negara pihak tidak boleh menggunakan hukumhukum yang bersifat domestik sebagai pembenaran atas kegagalan
mereka untuk melaksanakan perjanjian yang telah ditetapkan.” Dengan
demikian, di dalam General Comment 31 dari Komite HAM, yang
menafsirkan kewajiban Negara di bawah otoritas Kovenan Internasional
Peter van Dijk, G.J.H. van Hoof, bekerjasama dengan W. Herring et.al., Theory and Practice of the
European Convention on Human Rights, (Third Edition, Lower Law International,
Hague/London/Boston, 1998), hlm. 248.
7
PEC Translation Unit – 2006
16
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (tanggal 29 Maret 2004), Komite
menulis:
1. Walaupun Pasal 2, paragraf 2, memperbolehkan Negara-Negara
Pihak untuk menerapkan Konvensi sesuai dengan proses
konstitusional domestik (di level nasional), namun prinsip yang
sama juga dapat digunakan untuk mencegah Negara-Negara Pihak
menggunakan hukum domestik (nasional) demi membenarkan
kegagalan mereka melaksanakan kewajiban, seperti yang telah
tercantum di dalam perjanjian ini.
Setiap individu berhak mengklaim status sebagai korban jika
mereka telah memenuhi definisi yang telah dipaparkan. Ini merupakan
formulasi umum untuk menentukan kredibilitas korban. Di dalam kasus
Caracazo vs. Venezuela, Pengadilan HAM Inter-Amerika tertanggal 29
Agustus 2002 menyatakan bahwa:
Setiap Negara Pihak yang terikat dengan Konvensi Amerika
(American Convention) ini memiliki tugas untuk menginvestigasi
tindak pelanggaran HAM dan kemudian menghukum para pelaku
setelah pelanggaran tersebut telah dinyatakan sebagai faktual. Dan
setiap orang yang menganggap dirinya sebagai korban dari
pelanggaran semacam itu memiliki hak untuk mendapatkan akses
pada sistem hukum yang adil dan memperoleh kompensasi dari
Negara, demi kebaikannya dan kebaikan masyarakat secara
keseluruhan (alinea 115) (Cetak miring/penekanan dari saya).8
Anggota keluarga juga dapat didefinisikan sebagai korban, karena
keterkaitannya dengan pihak yang mengalami pelanggaran HAM berat.
Sementara Konvensi Amerika tentang HAM tentu saja tidaklah mengikat bagi Indonesia, namun
patut dicatat mengenai ketentuan Konvensi Amerika yang diinterpretasikan oleh Pengadilan
sebagaimana terlihat di dalam Pasal 1(1), yang mewajibkan para Negara Pihak untuk
…”menghormati semua hak dan kebebasan yang diakui di dalamnya, dan menjamin bahwa semua
orang yang tunduk di bawah yurisdiksinya agar dapat melaksanakan hak dan kebebasan mereka
secara bebas dan sepenuhnya”. Ketentuan ini nyaris identik dengan Pasal 2(1) Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang berketetapan bahwa para Negara Pihak
haruslah “menghormati dan menjamin hak yang diakui di dalam Kovenan ini atas setiap orang yang
berada di dalam cakupan wilayah dan tunduk di bawah kewenangannya”.
8
PEC Translation Unit – 2006
17
Misalnya di dalam kasus Pengadilan HAM Eropa, Kurt vs. Turkey,
(15/1997/799/1002), di mana ibu dari orang yang hilang dianggap
sebagai korban dan diberikan status sebagai pihak yang mengajukan
tuntutan.
Pengadilan
beranggapan
bahwa
pelanggaran
atas
hak
kebebasan dan keamanan yang dialami oleh anak dari ibu tersebut, yang
diatur di Pasal 5 dari Konvensi (alinea 129) adalah sah, sehingga
kompensasi diberikan kepada ibu tersebut atas nama anak yang telah
dilanggar hak-haknya (alinea 174). Dan kemudian pengadilan tidak
menanggapi pengaduan atas pelanggaran HAM dalam bentuk penyiksaan
atau pun perlakuan yang merendahkan martabat manusia lainnya dan
memberikan penghukuman terhadap pelaku atau pun memberikan
pemulihan
yang
memberikannya
efektif
sejumlah
terhadap
uang
ibu
dalam
korban
tersebut,
statusnya
sebagai
tetapi
korban
berdasarkan pada penderitaan serta kecemasan mentalnya, karena tidak
mengetahui nasib dari anaknya (alinea 175). Di dalam yurisprudensi
Pengadilan HAM Inter-Amerika, pelanggaran terhadap hak-hak tertentu
membuat individu yang terkait dengan korban justru mendapat status
sebagai korban tanpa perlu lagi memeriksa kondisi-kondisi lainnya.
Pelanggaran terhadap hak hidup dalam bentuk eksekusi mati tanpa dasar
hukum
(extra-judicial
executions)
serta
bentuk-bentuk
pelanggaran
terhadap hak hidup lainnya dalam bentuk penghilangan paksa atau pun
praktik penyiksaan maupun perlakuan tidak manusiawi lainnya tercakup
ke dalam kategori ini. Sungguhpun lazimnya di dalam kasus-kasus
PEC Translation Unit – 2006
18
tertentu ada faktor-faktor lain yang meningkatkan kadar pelanggaran—
baik karena kematian secara keji dan penyiksaan dalam tingkat yang
sangat berat—dan semua hal yang menghasilkan penderitaan langsung,
kesemuanya ini membuat status dari orang-orang terdekat dengan pihak
korban secara langsung menjadi korban pula tanpa tanpa perlu
pembuktian lebih jauh.9
Dengan demikian di dalam hukum internasional definisi korban
dirumuskan secara luas. Kualifikasi sebagai korban seketika terpenuhi
pada saat pelanggaran/kejahatan tersebut dilakukan dan terlepas dari
hukum nasional, atau pun proses penentuan hak mereka atas reparasi.
Dengan kata lain, seseorang mendapat status sebagai korban, ketika
status tersebut telah ditetapkan, dan Negara tidak dapat mengubah
status tersebut tanpa persetujuan langsung dari korban. Dengan
membuat status korban bergantung dari pengidentifikasian pelaku serta
amnesti terhadap pelaku tersebut, Pasal 27 Undang-Undang KKR telah
melanggar hak korban atas reparasi dan pemulihan.
3. Praktik di Negara-Negara lain: Bagaimana Negara-Negara lain
memenuhi kewajiban menegakkan kebenaran, keadilan dan
reparasi
Undang-Undang
KKR
Indonesia
memiliki
mekanisme
yang
berlawanan dengan praktik-praktik yang tengah diberlakukan oleh
Kasus Paniagua Morales dkk, putusan mengenai reparasi tertanggal 25 Mei 2001, alinea 142;
Kasus Trujillo Oroza, putusan mengenai reparasi tertanggal 27 Februari 2002, alinea 85.
9
PEC Translation Unit – 2006
19
Negara-Negara lain di seluruh dunia. Di berbagai belahan dunia, belasan
Negara telah membentuk Komisi Kebenaran tidak hanya untuk mengatasi
masa lalu mereka (come to terms with their own past), tetapi juga untuk
memenuhi kewajiban internasional atas investigasi dan pemenuhan hak
korban atas kebenaran. Mereka telah menegakkan mekanisme reparasi
tersendiri untuk memenuhi kewajiban mereka memperbaiki berbagai
pelanggaran terhadap hukum internasional. Praktik-praktik terbaik dari
Negara-Negara
ini
menunjukkan
melaksanakan
program
yang
bahwa
menanggapi
berbagai
dan
Negara
dapat
dapat
memenuhi
kebutuhan nasional serta sambil memenuhi dan tidak melanggar
kewajiban-kewajiban mereka di hadapan hukum internasional. Praktikpraktik ini juga telah membantu untuk menafsirkan—melalui tindakan
Negara-Negara
selanjutya—arti
internasional,
seperti
dalam
dari
hal
ketetapan
kewajiban
dan
untuk
perjanjian
memastikan
pemenuhan berbagai hak maupun penyediaan hak atas pemulihan.10
Komisi
Kebenaran
dan
Rekonsiliasi
yang
akan
dibentuk
berdasarkan Undang-Undang KKR memiliki perbedaan di dalam struktur
dan mandat kerja mereka dengan praktik di level dunia. Perbedaan
tersebut setidaknya menyangkut empat hal:
1. Tidak ada ketentuan mengenai proses penelurusan kembali segala
sebab, konteks, atau pun pola dari kekerasan yang telah terjadi,
dan hanya dibatasi untuk “peristiwa” khusus, yang juga tidak
membutuhkan pemahaman menyeluruh tentang keterkaitan satu
Lihat Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian, bulan Mei 23, 1969, U.N. Doc. A/CONF.39/27,
Pasal 31(3)(b).
10
PEC Translation Unit – 2006
20
peristiwa dengan perisitwa lainnya. Semua hal ini biasanya
ditentukan dari kompilasi laporan yang telah dimiliki sebelumnya.
2. Tidak ada kewajiban bagi Komisi Kebenaran untuk membuat
rekomendasi yang bertujuan mencegah berulangnya kembali
pelanggaran yang telah terjadi di masa depan.
3. Kriteria reparasi digantungkan pada faktor eksternal yang terlepas
dari korban.
4. Amnesti—sungguh pun memiliki sifat bersyarat—ternyata diberikan
juga bagi kejahatan-kejahatan tidak boleh mendapatkan amnesti
(non-amnestiable crimes).
Saya
akan
memusatkan
diri
pada
dua
perbedaan
terakhir,
walaupun saya juga mengetahui bahwa perbedaan pertama juga dapat
menjadi
pelanggaran
kebenaran,
terhadap
sebagaimana
yang
hak
korban
telah
diatur
untuk
di
mendapatkan
dalam
instrumen
internasional.
Mengaitkan amnesti dengan reparasi:
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan mengaitkan
pengungkapan
kebenaran
dengan
amnesti.
Akan
tetapi,
Komisi
Kebenaran [Afrika Selatan] memiliki komite yang terpisah yang bertugas
merumuskan rekomendasi atas reparasi kepada korban; dan pemerintah
akan memberikan reparasi—baik secara kolektif maupun individual—
kepada orang-orang yang diberikan status sebagai korban berbasiskan
pernyataan Komisi Kebenaran atau pun sebaliknya. Berbagai Komisi
Kebenaran lainnya telah merekomendasikan semacam program reparasi.
Akan tetapi proses ini dirumuskan melalui mekanisme administratif yang
berbeda. Dalam beberapa kasus proses pemberian pernyataan atau pun
PEC Translation Unit – 2006
21
testimoni di hadapan Komisi kebenaran sudahlah mencukupi bagi
seseorang untuk mendapatkan reparasi. Sementara untuk kasus-kasus
lainnya program reparasi menggunakan mekanisme seleksi tertentu,
seperti di dalam kasus penahanan tanpa proses hukum selama waktuwaktu tertentu, atau pun kehilangan anggota keluarga selama periode
tertentu,
haruslah
memenuhi
beberapa
syarat
tertentu
untuk
mendapatkan reparasi. Komisi Kebenaran sendiri dapat juga melakukan
investigasi dan jika bukti-bukti dari korban telah memadai, mereka dapat
memberikan reparasi. Akan tetapi, tidak pernah ada kasus, di mana
korban dipaksa untuk memilih antara memberikan amnesti kepada para
pelaku untuk mendapatkan reparasi. Ini adalah pilihan yang kejam, yang
melanggar hak korban untuk diperlakukan secara hormat sesuai dengan
harkat dan martabatnya.
Negara
memiliki
peran
yang
sangat
besar
dalam
proses
merumuskan dan menerapkan program reparasi. Akan tetapi peran ini
tidaklah boleh bertentangan dengan kewajiban internasional. Hukum
internasional
menetapkan
batas
terjauh
tentang
apa
yang
dapat
dilakukan oleh Negara, dan di sini batas-batas tersebut telah dilampaui.
Mekanisme
reparasi
haruslah
komprehensif,
adil,
koheren
dengan
kewajiban lainnya, dan jumlahnya harus sesuai dengan tingkat kejahatan
yang terjadi dan kewajiban untuk memperbaiki pelanggaran yang telah
terjadi haruslah dilakukan dengan kehendak baik. Pasal 27 Undang-
PEC Translation Unit – 2006
22
Undang KKR, secara khusus, tidaklah konsisten dengan norma-norma
ini, maupun dengan praktik internasional.
Batas-batas amnesti:
Hukum internasional memperbolehkan diterapkannya amnesti
dengan tujuan untuk mengintegrasikan kembali pihak-pihak yang
berkonflik, dan untuk banyak kejahatan lainnya di dalam hukum
nasional. Betapapun juga amnesti tidaklah diperbolehkan atas sejumlah
kejahatan-kejahatan berat (grave crimes) tertentu. Yang paling pokok di
antara kejahatan-kejahatan berat tersebut antara lain adalah: genosida
dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang justru diberikan amnesti di
dalam Undang-Undang KKR Indonesia. Pertimbangan di muka adalah
posisi yang telah disepakati secara bulat oleh instrumen-instrumen HAM
internasional, termasuk Konvensi mengenai Pencegahan Genosida tahun
1948 (Pasal 5 dan 6), Konvensi Jenewa tahun 1949 (Pasal 49, 50,129 dan
146, Konvensi Anti Penyiksaan (Pasal 5 dan 7), Konvensi Internasional
tentang Perlindungan dari Penghilangan Paksa yang ditetapkan baru-baru
(Pasal 11), Rangkaian Prinsip Terbaru dalam Promosi dan Perlindungan
HAM melalui Aksi Memerangi Impunitas (Updated Set of Principles on the
Promotion and Protection of Human Rights Through Action to Combat
Impunity) (Rangkaian Prinsip 19, 24); Prinsip-Prnsip Dasar dan Pedoman
tentang Hak atas Pemulihan dan Reparasi bagi Para Korban Kejahatan
HAM Berat dan Kejahatan Serius Hukum Humaniter Internasional (Basic
Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for
PEC Translation Unit – 2006
23
Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious
Violations of International Humanitarian Law) (Pasal III (4)).
Hal ini juga merupakan posisi yang diadopsi oleh berbagai badan
pakar internasional, seperti Komite HAM PBB di dalam berbagai
kesimpulan mereka, serta kasus-kasus individual di dalam General
Comment 20, ketika membahas tentang penyiksaan mereka mendapati
bahwa “amnesti tidaklah sejalan dengan kewajiban Negara untuk
menginvestigasi setiap tindak pelanggaran HAM, untuk menjamin tidak
terjadinya kejahatan-kejahatan tersebut di dalam yurisdiksi mereka, serta
untuk memastikan bahwa pelanggaran tersebut tidak lagi terjadi di masa
depan”.
ICCPR
General
Comment
20
(sesi
44,
1992),
Pasal
7:
menggantikan General Comment 7 menyangkut Larangan Penyiksaan,
Perlakuan dan Penghukuman yang Tidak Manusiawi, A/47/40 (1992) 193
alinea 15.
Sekretaris Jenderal PBB menyatakan bahwa “PBB mendukung
terciptanya kesepakatan damai, dan tidak pernah akan menyetujui
amnesti bagi kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang,
genosida atau pun bentuk-bentuk kejahatan HAM berat lainnya.” PBB
juga menyimpulkan bahwa dengan mendorong terciptanya kesepakatan
damai, dan merumuskan resolusi dewan keamanan yang “menolak semua
bentuk amnesti terhadap kejahatan perang, pembunuhan massal,
kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk yang berkaitan dengan
kejahatan berbau etnis, gender, dan seksual, yang diatur didalam hukum
PEC Translation Unit – 2006
24
internasional, sekaligus juga memastikan bahwa tidak ada amnesti yang
diberikan sebelum PBB menciptakan pengadilan pendamping”. Dewan
Keamanan,
Laporan
mengenai
Supremasi
Hukum
dan
Keadilan
Transisional di Dalam Masyarakat Konflik dan Pasca-Konfilik (Report On
The Rule Of Law And Transitional Justice In Conflict And Post-Conflict
Societies), Sekretaris Jenderal, UN. Doc. S/2004/616, (tanggal 3 Agustus
2004) alinea 10.
Pada tahun 2001 Pengadilan HAM Inter-Amerika di dalam kasus
Barrios Altos, menyatakan bahwa:
“Pengadilan menyatakan bahwa semua ketetapan amnesti,
ketetapan tentang perumusan kriteria yang digunakan untuk
menghapus mekanisme pertanggungjawaban tidaklah dapat
diterima, karena ketetapan tersebut mencegah penyelidikan dan
penghukuman terhadap para pelaku yang bertanggungjawab
terhadap kejahatan HAM berat, seperti penyiksaan, penculikan
paksa, pembunuhan, kesemuanya itu dilarang, karena melanggar
hak-hak dasar yang diatur di dalam hukum HAM internasional.”
Barrios Altos (Chumbipuma Aguirre y otros vs. Peru), March 14,
2001. Peru kemudian mengganti kebijakan amnestinya setelah
menanggapi keputusan ini.
Pada tahun 1998 Trial Chamber of the International Criminal
Tribunal atas bekas Yugoslavia menyatakan bahwa suatu amnesti
bersifat domestik (nasional) yang berkaitan dengan kejahatan seperti
penyiksaan dan semua bentuk kejahatan lainnya yang memiliki status jus
cogens merupakan pelanggaran atas kewajiban erga omnes; dan tidak
sesuai dengan pengakuan atas hukum internasional. Prosecutor vs.
Furundzija, putusan tertanggal 10 Desember 1998, alinea 155.
PEC Translation Unit – 2006
25
Pengadilan nasional maupun pengadilan campuran (hybrid
courts) juga telah mendapati bahwa amnesti untuk kejahatan-kejahatan
internasional tidaklah sejalan dengan kewajiban Negara, sehingga tidak
perlu untuk dipatuhi. Misalnya, Ould Dah case, French Court of Cassation
Oct. 23, 2002 (tidak perlu mematuhi hukum amnesti); Kasus-kasus
Argentina maupun Chile di hadapan Audiencia Nacional Spanyol (Pleno),
Nov. 5 1998 (sama); Simón, Julio Héctor y otros s/privación ilegítima de la
libertad. Kasus Mahkamah Agung Argentina, kasus No. 17.768 (14 Juni
2005) S.1767.XXXVIII (menyetujui pencabutan hukum amnesti atas dasar
hukum internasional); Juan Contreras Sepúlveda y otros (crimen) casacion
fondo y forma, Chilean Supreme Court, 517/2004. Resolución 22267,
Januari 2005 (amnesti tidaklah berlaku di dalam kasus penghilangan
paksa dan bertentangan dengan Konvensi Jenewa); Pengadilan Khusus
Sierra Leone, Indictment and Decision on Review of Indictment and
Application for Consequential Orders (24 Mei 1999); Prosecutor vs. Charles
Ghankay Taylor, Case No.SCSL-03-01, Indictment (3 Maret 2003)(amnesti
yang bersifat domestik tidak berlaku untuk kejahatan internasional).
Di masa lalu berbagai Komisi Kebenaran memperbolehkan amnesti
hanya untuk kondisi-kondisi tertentu. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Afrika
Selatan
pengungkapan
penghukuman
PEC Translation Unit – 2006
sendiri
kebenaran
terhadap
merumuskan
secara
pihak-pihak
kebijakan
utuh,
yang
yang
tidak
amnesti
sejalan
mau
untuk
dengan
membuat
26
permohonan amnesti atau yang tidak mengakui keterlibatan penuh
mereka dan juga terkait dengan reparasi yang diberikan kepada korban.
Secara kontras, Undang-Undang Indonesia memungkinkan penolakan
terhadap amnesti, sementara korban tetap tidak bisa melanjutkan
kasusnya ke pengadilan HAM, karena kasusnya telah disidangkan di
Komisi Kebenaran. Amnesti—dengan persyaratan tertentu—ditambah
dengan penghukuman yang dirumuskan oleh Komisi Kebenaran Afrika
Selatan telah gagal menjerat perwira tinggi pemerintahan dan tentara
untuk mengakui keterlibatan mereka di dalam pelanggaran HAM. Pada
1996, ketika semua proses telah selesai dilakukan, pelarangan terhadap
semua bentuk amnesti kembali diterapkan dan diperkuat.
Kebijakan
amnesti
lainnya
juga
diterapkan
didalam
proses
perdamaian di Sierra Leone, yang pemerintahannya membentuk Komisi
Kebenaran pula. Pada masa itu, perwakilan dari PBB menentang
penerapan
ketetapan
amnesti
tersebut,
karena
ketetapan
tersebut
memberikan amnesti terhadap bentuk-bentuk kejahatan yang tidak boleh
mendapatkan amnesti menurut hukum internasional. Beberapa bulan
kemudian, pemerintahan Sierra Leone, bersama dengan delegasi PBB,
menciptakan Pengadilan Khusus Sierra Leone untuk mengadili para
pelaku yang bertanggungjawab terhadap kejahatan HAM internasional.
Pengadilan tersebut menyatakan bahwa hukum amnesti domestik hanya
berlaku di pengadilan domestik (nasional) dengan kejahatan-kejahatan
yang bersifat nasional. Di Timor Timur, Komisi untuk Kebenaran,
PEC Translation Unit – 2006
27
Penerimaan dan Rekonsiliasi (Commission for Truth, Reception and
Reconciliation—CAVR) memiliki prosedur yang memberikan amenesti,
tetapi hanya pada beberapa kejahatan tertentu. Kejahatan HAM berat dan
terutama kejahatan terhadap kemanusiaan harus dihadapi melalui proses
penghukuman.
berhadapan
Beberapa
dengan
Negara
kejahatan
lainnya
masa
telah
lalu,
melakukan
tetapi
mereka
proses
tidak
menggunakan mekanisme Komisi Kebenaran. Walaupun begitu, NegaraNegara tersebut juga tidak memberikan amnesti terhadap para pelaku
kejahatan HAM berat, yang diatur di bawah hukum internasional. Di
Rwanda,
mereka
menciptakan
pengadilan
lokal
tradisional,
yang
menetapkan hukuman pelayanan publik alih-alih menghukum penjara
para pelaku yang telah mengaku. Akan tetapi, mekanisme ini berbeda
dari amnesti, dan memiliki pola penghukuman yang berbeda. Dalam
banyak kasus, proses lokal ini tidak berlaku bagi pemimpin ataupun
perancang dari pembunuhan massal, ataupun para pemerkosa. Di
Colombia, seperti yang telah disadari oleh pengadilan, Undang-Undang
Perdamaian
dan
Keadilan
memperbolehkan
untuk
mengurangi
penghukuman yang berjalan searah dengan reparasi korban, penuturan
kebenaran, serta lima tahun penjara, tetapi bukanlah amnesti. UndangUndang Rekonsiliasi Nasional Guatemala (Guatemalan Law of National
Reconciliation) melegalkan amnesti, tetapi tidaklah terhadap pelaku
kejahatan genosida, penghilangan paksa, penyiksaan, dan berbagai
kejahatan yang diatur di dalam hukum internasional. Komisi Kebenaran
PEC Translation Unit – 2006
28
di Maroko, Ghana, Peru, Panama, dan Liberia, kesemuanya dibentuk
pasca Komisi Kebenaran Afrika Selatan, tidak memiliki ketentuan yang
memperbolehkan amnesti. Liberia menggunakan konsep “imunitas” yang
otoritasnya diberikan kepada Komisi Kebenaran, tetapi itu pun bukanlah
amnesti.
Kesemua Negara ini telah menyadari pentingnya proses rekonsiliasi
setelah konflik mereda. Negara-Negara tersebut juga telah menemukan
mekanisme yang sesuai dengan kewajiban yang dirumuskan didalam
hukum
internasional
menghormati
hak
untuk
korban
mendorong
atas
proses
kebenaran
dan
rekonsiliasi,
keadilan.
yang
Hukum
internasional tidaklah memberikan resep instan tentang hal-hal yang
harus dilakukan oleh Negara setelah konflik mereda, tetapi hukum
internasional memberikan batas-batas tertentu, semacam pagar, di mana
sebuah Negara dapat berjalan konsisten dengan kewajiban hukum yang
dirumuskan secara internasional. Undang-Undang KKR di Indonesia
bertentangan dengan ketetapan internasional tersebut. Undang-Undang
KKR telah membuat hukum Indonesia melanggar berbagai perjanjian
internasional secara khususnya dan melanggar hukum internasional
secara umum.
PEC Translation Unit – 2006
Download