BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 LATAR REGIONAL Berdasarkan tinjauan tektonik lempeng, Pulau Sumatra dapat dibagi menjadi enam bagian (Koesoemadinata dan Matasak, 1981), yaitu : (1) Paparan Benua yang merupakan bagian dari Paparan Sunda (2) Cekungan Belakang Busur (3) Busur Magmatik (4) Cekungan antar Busur (5) Busur Luar (6) Zona subduksi atau foredeep basin Cekungan Ombilin merupakan cekungan antar pegunungan yang berumur Tersier dan terletak pada kerak benua sepanjang Sistem Sesar Sumatra (Sumatra Fault System) (Gambar 2.1). Cekungan Ombilin secara tektonik terletak pada bagian busur magmatik daerah Sumatra Tengah yang terbentuk akibat tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Luas Cekungan Ombilin ± 1500 km2. 6 Gambar 2.1. Lokasi Cekungan Ombilin (modifikasi dari Koesoemadinata dan Matasak, 1981, dalam Situmorang dkk., 1991). 2.2 FISIOGRAFI REGIONAL Van Bemmelen (1949) membagi pulau Sumatra secara fisiografi menjadi empat zona, yaitu Zona Pegunungan Barisan, Zona Sesar Semangko, Pegunungan Tigapuluh dan Dataran Rendah & Dataran Bergelombang. Fisiografi Sumatra Tengah (Tobler, 1922, dalam van Bemmelen, 1949) dapat dibagi menjadi tujuh zona fisiografi, yaitu Zona Dataran Aluvial Pantai Timur, Zona Dataran Rendah Bergelombang dan Pegunungan Tigapuluh, Zona Depresi Sub-Barisan, Zona Pegunungan Barisan Depan, Zona Sekis Barisan, Zona Pegunungan Barisan, dan 7 Zona Dataran Aluvial Pantai Barat. Gambar 2.2 memperlihatkan pembagian fisiografi Sumatra menurut Tobler dan van Bemmelen. Berdasarkan pembagian fisiografi menurut van Bemmelen (1949), daerah penelitian termasuk dalam Zona Pegunungan Barisan. 2.3 GEOLOGI REGIONAL 2.3.1 Stratigrafi Regional Stratigrafi regional pada Cekungan Ombilin dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok batuan Pra-Tersier dan kelompok batuan Tersier (Gambar 2.3). 2.3.1.1 Batuan Pra-Tersier Batuan Pra-Tersier merupakan batuan dasar dari Cekungan Ombilin. Batuan ini tersingkap di bagian timur, barat dan utara dari cekungan. Formasi Silungkang tersingkap pada bagian barat cekungan. Formasi ini tersusun oleh batuan volkanik, batugamping dan batusabak berumur Permo Karbon – Trias, dengan ditemukannya fosil Fusulinids dan Syringopora. Ketebalan dari formasi ini diperkirakan 1500 meter (Katili, 1969, dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981). Batuan volkanik dari Formasi Silungkang memperlihatkan hubungan jari-jemari dengan kuarsit dan batusabak yang berumur Trias dari Formasi Tuhur (Koesoemadinata dan Matasak, 1981). Ketebalan dari Formasi Tuhur diperkirakan 550 meter (Cameron, 1981, dalam Yarmanto dkk., 1995). Granit Lassi mengintrusi Formasi Silungkang dan Formasi Tuhur. Pada bagian timur cekungan terdiri dari Formasi Kuantan yang tersusun oleh batugamping oolite, batusabak, filit dan kuarsit yang berumur Karbon Awal dengan ditemukannya fosil Syringopora, Endothyra dan Bigenerina (Musper, 1930, dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981). Formasi Kuantan diintrusi oleh granit Sumpur yang berumur 200 juta tahun (Obradovich, 1973, dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1995). 8 Gambar 2.2. Peta Fisiografi Regional Sumatra Tengah (van Bemmelen, 1949). 9 Gambar 2.3. Stratigrafi Cekungan Ombilin (modifikasi dari Kosoemadinata dan Matasak, 1981 dalam Yarmanto, 1995). 2.3.1.2 Batuan Tersier Sedimentasi Tersier di Cekungan Ombilin terletak tidak selaras di atas satuan batuan Pra-Tersier. Sedimentasi Tersier dari tua ke muda berturut-turut meliputi Formasi Brani yang mempunyai dua anggota yaitu Anggota Selo dan Anggota Kulampi, Formasi Sangkarewang, Formasi Sawahlunto, Formasi Sawahtambang 10 yang mempunyai dua anggota yaitu Anggota Rasau dan Anggota Poro dan Formasi Ombilin. Formasi Brani memiliki ciri litologi sedimen konglomerat, polimik, berwarna ungu coklat, ukuran butir kerikil-kerakal dengan massadasar lumpur pasir, porositas buruk, bentuk butir membulat tanggung hingga menyudut tanggung, kompak dan perlapisan buruk. Pada formasi ini tidak ditemukan fosil. Diperkirakan umur formasi ini adalah Paleosen sampai Eosen dengan melihat hubungan jari-jemari dengan Formasi Sangkarewang yang berumur Paleosen sampai Eosen. Lingkungan pengendapan formasi ini adalah kipas aluvial (Koesoemadinata dan Matasak, 1981). Anggota Selo dan Anggota Kulampi merupakan bagian dari Formasi Brani. Perbedaan antara Anggota Selo dengan Formasi Brani yaitu anggota ini tersusun oleh konglomerat masif berwarna violet coklat dengan fragmen seluruhnya berupa granit berukuran 8 – 75 cm, perlapisan buruk, massadasar berupa pasir dengan lingkungan pengendapan berupa fanhead yang merupakan bagian dari kipas aluvial. Perbedaan Anggota Kulampi dengan Formasi Brani, anggota ini tersusun oleh perselingan konglomerat dan batupasir. Konglomerat berwarna coklat hingga violet, memperlihatkan perlapisan yang baik, besar butir berukuran kerikil, bentuk butir menyudut tanggung hingga membulat tanggung dengan lingkungan pengendapan adalah distal yang merupakan bagian dari kipas aluvial (Koesoemadinata dan Matasak, 1981). Formasi Sangkarewang tersusun oleh perselingan serpih berwarna abu-abu kehitaman, karbonatan, dengan batupasir berwarna abu-abu sampai hitam. Pada formasi ini ditemukan fosil ikan Musperia radiata dan Scleropagus yang merupakan ikan air tawar. Berdasarkan analisa palinologi, ditemukan fosil Verrucatosporites, Monocolpites, Echitriporites trianguliforms dan Echidripites (JICA, 1979, dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981), maka formasi ini ditafsirkan berumur Paleosen sampai Eosen dengan lingkungan pengendapan adalah danau atau lacustrine. Formasi Sawahlunto tersusun oleh serpih abu-abu kecoklatan, karbonatan, berselingan dengan lanau berwarna coklat, batupasir dan batubara. Pada formasi ini ditemukan fosil Cassoretitriletes vanraadshooveni (Bartman, 1990, dalam Yarmanto 11 dkk., 1995). Formasi ini diduga berumur Oligosen Awal dengan lingkungan pengendapan point bar pada sungai berkelok (Koesoemadinata dan Matasak, 1981). Formasi Sawahtambang tersusun oleh batupasir berwarna abu-abu sampai coklat, berukuran butir halus sampai kasar, bentuk butir membulat tanggung, keras dan kompak, terdapat struktur silang silur yang besar dan lapisan sejajar serta terdapat lensa batupasir konglomeratan. Batulempung dan lanau ditemukan hanya pada tempat-tempat tertentu. Berdasarkan letak Formasi Sawahtambang yang berada di atas Formasi Sawahlunto, maka formasi ini diduga berumur Oligosen Akhir. Lingkungan pengendapan formasi ini ditafsirkan sebagai endapan sungai teranyam (Situmorang dkk., 1991). Anggota Rasau merupakan bagian dari Formasi Sawahtambang dengan ciriciri litologi, batupasir berukuran pasir halus sampai kerikil, bentuk butir menyudut sampai membulat tanggung. Lingkungan pengendapan anggota ini ditafsirkan sebagai endapan dataran banjir pada sungai teranyam (Koesoemadinata dan Matasak, 1981). Selain Anggota Rasau, terdapat juga Anggota Poro yang tersusun oleh perselingan batupasir dan serpih dan sisipan batubara tipis. Batupasir berwarna coklat, karbonatan, berbutir halus sampai kasar dan mengandung kuarsa. Berdasarkan analisis palinologi, anggota ini berumur Oligosen Akhir sampai Miosen Awal (Yarmanto dkk., 1995) dengan lingkungan pengendapan sungai berkelok (Koesoemadinata dan Matasak, 1981). Formasi Ombilin tersusun oleh serpih karbonatan berwarna abu-abu gelap, perlapisan baik, terdapat glaukonit, fosil moluska dan foraminifera yang terdapat dalam lensa batugamping. Ditemukan juga perselingan batupasir, tufa dan lanau karbonatan. Pada formasi ini ditemukan fosil Globigerinoides primordius dan G.trilobus, maka formasi ini berumur Miosen Awal dengan lingkungan pengendapan neritik (Koesoemadinata dan Matasak, 1981). 12 2.3.2 Struktur Geologi 2.3.2.1 Struktur Geologi Regional Cekungan Ombilin secara tektonik terletak pada bagian busur magmatik daerah Sumatra Tengah yang terbentuk akibat tumbukan antara Lempeng IndoAustralia dan Lempeng Eurasia. Tumbukan secara oblique antara lempeng-lempeng tersebut mengakibatkan terbentuknya Sesar Besar Sumatra dan Sesar Mentawai yang kemudian sangat mempengaruhi perkembangan tektonik Pulau Sumatra. Menurut Posavec (1973), sesar-sesar utama yang terdapat di Sumatra Barat pada umumnya berarah baratlaut-tenggara yang terdiri dari beberapa zona sesar utama : Zona Sesar Barisan Barat Zona Sesar Barisan Tengah Zona Sesar Barisan Timur Zona Sesar Takung Menurut Yarmanto dkk (1995), sesar-sesar yang terdapat di Cekungan Ombilin umumnya mempunyai arah baratlaut-tenggara dan utara-selatan. Sistem sesar yang berarah baratlau-tenggara membatasi bagian timur dan barat dari Cekungan Ombilin. Sesar ini kemungkinan terjadi akibat tumbukan lempeng WoylaMergui pada zona suture yang merupakan zona lemah, sedangkan sistem sesar yang berarah utara-selatan mengakibatkan terbentuknya Sub Cekungan Payakumbuh dan Sub Cekungan Talawi yang merupakan indikasi awal adanya „break-up’ pada Cekungan Ombilin dan menghasilkan bentuk cekungan pull-apart yang simetris. 2.3.2.2 Struktur Geologi Cekungan Ombilin Situmorang dkk (1991) menjelaskan bahwa keseluruhan geometri Cekungan Ombilin memanjang dengan arah umum baratlaut hingga tenggara, dibatasi oleh Sesar Sitangkai di utara dan Silungkang di selatan dengan jurus baratlaut-tenggara, 13 yang keduanya paralel terhadap sistem Sesar Sumatra (Gambar 2.4). Peta gravitasi terbaru menunjukan bahwa Cekungan Ombilin membentuk sinklin yang menunjam ke arah baratlaut dengan bagian terdalam adalah daerah dekat Sesar Silungkang dan Sitangkai. Secara umum, Cekungan Ombilin dibentuk oleh dua graben utama yang berumur Paleogen dan Neogen, dibatasi oleh Sesar Tanjungampalu yang berarah utara-selatan. Pada arah baratlaut terdapat Sub Cekungan Payakumbuh yang terpisah dari Cekungan Ombilin dengan batas jalur volkanik yang berarah barat-timur oleh Gunung Merapi, Gunung Singgalang dan Gunung Malintang. Sub Cekungan Payakumbuh dapat diinterpretasikan sebagai bagian graben yang berumur Paleogen dari Cekungan Ombilin. Secara lokal terdapat tiga bagian struktur yang bisa dikenal pada Cekungan Ombilin (Gambar 2.4) : 1. Sesar dengan jurus berarah baratlaut-tenggara yang membentuk bagian dari Sistem Sesar Sumatra. Bagian utara cekungan dibatasi oleh Sitangkai dan Sesar Tigojangko. Sesar Tigojangko memanjang ke arah tenggara menjadi Sesar Takung. Bagian selatan cekungan dibatasi oleh Sesar Silungkang. 2. Sistem sesar dengan arah umum utara-selatan terlihat dengan jelas pada bagian timurlaut cekungan. Sesar tersebut membentuk (dari utara ke selatan) Sesar Kolok, Sesar Tigotumpuk dan Sesar Tanjungampalu. Perkembangan dari sesar ini berhubungan dengan fase tensional selama tahap awal dari formasi cekungan dan terlihat memiliki peranan utama dalam evolusi cekungan. Pola struktur keseluruhan dari Cekungan Ombilin menunjukan sistem transtensional duplex atau pull-apart duplex yang terbentuk di antara offset lepasan dari Sesar Sitangkai dan Sesar Silungkang. Menurut Woodcock dan Fischer (1986, dalam Situmorang dkk., 1991) geometri penunjaman ke arah dalam dari sesar di bawah pull-apart menunjukkan bahwa duplex dapat bertumbukan menjadi zona shear tunggal pada kedalaman. Lebih jauh lagi, pada penampang vertikal menunjukkan negative flower structure. Pada kasus ini sistem sesar yang berarah utara-selatan dapat berbaur dengan sistem Sesar Sitangkai yang berarah baratlaut-tenggara (Gambar 2.4). Pada batas tenggara 14 terdapat sistem sesar transgressional yang disebut sistem Sesar Takung yang terletak pada lengkungan restraining dari sesar Tigojangko. 3. Jurus sesar dengan arah barat-timur membentuk sesar antitetik mengiri dengan komponen dominan dip-slip. Pada daerah Kolok, sesar ini dideteksi sebagai sesar naik. Cekungan ini mengalami pergantian fasa extensional pada satu sisi yang dibarengi 15 oleh pemendekan pada sisi yang lain Gambar 2.4 Peta Struktur Cekungan Ombilin (Situmorang dkk., 1991) 16