BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi 2.1.1 Pengertian Komunikasi Istilah komunikasi (Communication) berasal dari Bahasa Latin yaitu Communicatio dan bersumber dari kata Communis yang berarti sama, di sini maksudnya adalah sama dalam pemaknaannya. Kesamaan bahasa yang digunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Pengertian komunikasi secara terminologis, komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Dari pengertian itu jelas bahwa komunikasi melibatkan sejumlah orang, di mana seseorang menyatakan sesuatu kepada orang lain. Jadi, yang terlibat dalam komunikasi itu adalah manusia. Karena itu, komunikasi yang dimaksudkan di sini adalah komunikasi manusia atau dalam bahasa asing human communication, yang sering kalli pula disebut komunikasi sosial atau social communication. Komunikasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles melalui retorika sebagai ilmu pertama tentang pernyataan manusia. Pendapat Laswell yang dikutip Effendy dalam bukunya Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, menjelaskan bahwa Ilmu Komunikasi adalah : “Proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.” (2005 : 10) 20 21 Cangara dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Komunikasi, mengungkapkan bahwa komunikasi memiliki empat tipe : 1. Komunikasi dengan sendiri Komunikasi ini terjadi di dalam diri individu, atau dengan kata lain proses berkomunikasi dengan diri sendiri. 2. Komunikasi antar pribadi Menurut R. Wayne pace yang dikutip Hafied Cangara ialah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka. 3. Komunikasi publik Komunikasi ini disebut dengan pidato, komunikasi kolektif, komunikasi retorika, public speaking, dan komunikasi khalayak. Komunikasi ini menunjukan suatu proses komunikasi dimana pesan-pesan disampaikan oleh pembicara dalam situasi tatap muka di depan khlayak yang lebih besar. 4. Komunikasi massa Sedangkan komunikasi massa mempunyai pengertian yaitu komunikasi yang berlangsung dimana pesannya dikirim dari sumber yang melembaga kepada khalayak yang sifatnya, missal melalui alat-alat media massa seperti televisi, radio, film dan surat kabar. (1998 : 31) Dalam kehidupan manusia, komunikasi merupakan hal paling vital dalam berinteraksi. Komunikasi yang efektif akan mempermudah hubungan manusia dengan lawan bicaranya. Komunikasi berlangsung dari komunikator (pembawa pesan) kepada komunikan (pendengar) untuk mencapai kesamaan makna. Effendy dalam bukunya yang berjudul Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi menjelaskan bahwa “Hakikat Komunikasi adalah proses pernyataan antarmanusia. Yang dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya.” (2003:4) 22 Dari beberapa pengertian komunikasi yang telah dipaparkan di atas, bisa disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain. Komunikasi hanya bisa terjadi bila ada seseorang menyampaikan pesan kepada orang lain dengan mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Pengertiannya studi komunikasi karena permasalahan-permasalahan yang timbul akibat komunikasi. Manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia secara tidak kodrati harus hidup bersama manusia lain, baik demi kelangsungan hidupnya, keamanan hidupnya, maupun demi keturunannya. Manusia harus hidup bermasyarakat, baik itu dalam bentuk kecil, sekecil rumah tangga yang hanya terdiri dari dua orang suami istri, atau bisa juga berbentuk besar, sebesar kampung, desa, kecamatan, kabupaten atau kota, provinsi dan negara. Hovland yang dikutip Effendy dalam bukunya yang berjudul Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, menjelaskan bahwa : “Ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas, asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap.” (2005: 10) Dari penuturannya, Hovland menunjukan bahwa yang dijadikan objek studi ilmu komunikasi bukan saja penyampaian informasi, melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public atittude). Dan bagaimana cara setiap komunikator untuk bisa mempengaruhi komunikan dengan dasar yang memungkinkan, serta dapat dipahami secara jelas oleh masyarakat luas. 23 Miller yang dikutip oleh Mulyana dalam bukunya yang berjudul Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, ia menjelaskan bahwa : “Komunikasi sebagai situasi-situasi yang memungkinkan suatu sumber mentransmisikan suatu pesan kepada seorang penerima dengan didasari untuk mempengaruhi perilaku penerima.” (2007: 60-61) Belerson dan Stainer dalam “Human Behavior” seperti dikutip oleh Effendi dalam bukunya Komunikasi Teori dan Praktek, mendefinisikan komunikasi sebagai berikut : “Komunikasi adalah penyampaian informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya dengan menggunakan lambang-lambang, kata-kata, gambar, bilangan, grafik dan lain-lain. Kegiatan atau proses penyampaianlah yang biasanya dinamakan komunikasi.” (1992: 15) Dari berbagai uraian tersebut, dapat dipahami bahwa inti dari sebuah komunikasi adalah adanya komunikator (penyampai pesan), pesan (informasi yang disampaikan), dan komunikan (penerima pesan) juga timbal balik (feedback). Sedangkan, pengertian komunikasi secara sederhana adalah proses penyampaian pesan dari penyampai pesan (komunikator) kepada penerima pesan (komunikan) sehingga terjadi timbal balik (feedback). Berbagai pendapat yang diungkapkan oleh para ahli komunikasi menuntun peneliti untuk dapat menyimpulkan bahwa inti dari komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan mendapatkan feedback atau timbal balik. Dengan adanya timbal balik akan membuat sebuah komunikasi yang sangat efektif karena satu sama lain saling mengerti tentang komunikasi yang sedang komunikator dan komunikan bicarakan. 24 2.1.2 Komponen Komunikasi Komponen komunikasi terdiri dari lima hal, antara lain : 1. Sumber atau komunikator Komunikator merupakan salah satu elemen komunikasi yang posisinya sebagai sumber dari informasi yang disampaikan. 2. Pesan-pesan yang disampaikan Elemen ini berupa informasi yang disampaikan oleh komunikator. 3. Saluran yang digunakan Yang dimaksud dengan saluran di sini adalah, media yang berperan serta dalam penyampaian pesan yang berasal dari komunikator kepada komunikan. 4. Penerima atau komunikan Komunikan adalah si penerima pesan yang mengandung informasi yang berasal dari komunikator. 5. Umpan balik (feed back) Umpan balik terjadi saat komunikan bereaksi terhadap pesan yang diterimanya. 2.1.3 Tipe Komunikasi Cangara dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Komunikasi menyatakan bahwa ada empat tipe komunikasi, yaitu : 1. Komunikasi dengan Diri Sendiri Komunikasi in iterjadi di dalam diri individu, atau dengan kata lain proses berkomunikasi dengan diri sendiri. 2. Komunikasi Antar Pribadi 25 Komunikasi antar pribadi menurut R. Wayne Pace yang dikutip Hafied Cangara ialah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka. 3. Komunikasi Public Komunikasi ini biasa disebut dengan pidato, komunikasi kolektif, komunikasi retorika, public speaking, dan komunikasi khalayak. Komunikasi menunjukan suatu proses dimana pesan-pesan disampaikan oleh pembicara dalam situasi tatap muka di depan khalayak yang besar atau banyak. 4. Komunikasi Massa Komunikasi massa mempunyai pengertian yaitu komunikasi yang berlangsung dimana pesannya dikim dari sumber yang melembaga kepada khalayak yang sifatnya misal melalui alat-alat media massa seperti televisi, radio, film dan surat kabar. (1998:31) 2.1.4 Proses Komunikasi Dalam sebuah komunikasi harus ada prosesnya terlebih dahulu. Effendy dalam bukunya yang berjudul Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, menjelaskan bahwa proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yaitu secara primer dan sekunder. 1. Proses Komunikasi Secara Primer Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya. Yang secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan. Bahwa bahasa yang paling banyak dipergunakan dalam komunikasi adalah jelas karena hanya bermasalah yang mampu “menerjemahkan” pikiran seseorang kepada orang lain. 2. Proses Komunikasi Secara Sekunder Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lalin dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagao sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Surat, 26 telpon, surat kabar, majalah, radio, televisi, film dan banyak lagi media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi. Dengan demikian, proses komunikasi secara sekunder itu menggunakan media yang dapat diklasifikasikan sebagai media massa (mass media) dan media airmassa atau nonmassa (mass media) (2005: 1) Untuk mengetahui dan memperjelas bahasan tentang proses komunikasi, Effendy dalam bukunya yang berjudul Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek menggambarkan skema dari proses komunikasi. Contoh skema yang disampaikan dalam bukunya : Gambar 2.1 Unsur-unsur dalam proses komunikasi encoding sender message decoding receive Media noise feedback response Sumber : Onong Uchjana, ilmu komunikasi (2005: 18) Penegesan tentang unsur-unsur dalam proses komunikasi itu adalah sebagai berikut : 1. Sender : komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atas sejumlah orang. 2. Encoding : penyajian, yakni proses pengalihan pikiran ke dalam bentuk lambang. 3. Message : pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator. 27 4. Media : saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan. 5. Decoding : pengawasandian, yaitu proses dimana komunikan menetapkan makna pada lambang yang disampaikan oleh komunikator kepadanya. 6. Receiver : komunikan yang menerima pesan dari komunikator. 7. Response : tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan setelah diterima pesan. 8. Feedback : umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila tersampaikan atau disampaikan kepada komunikator. 9. Noise : gangguan tidak terencanan yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaiakn oleh komunikator kepadanya. 2.2 Jurnalistik 2.2.1 Pengertian Jurnalistik Secara etimologis, jurnalistik berasal dari kata journ. Dalam bahasa Prancis, journ berarti catatan atau laporan harian. Secara sederhana jurnalistik diartikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau pelaporan setiap hari. Dengan demikian, jurnalistik bukanlah pers, bukan pula media massa. Jurnalistik adalah kegiatan yang memungkinkan pers atau media massa bekerja dan diakui eksistensinya dengan baik. 28 Berikut ini adalah beberapa definisi jurnalistik dari beberapa ahli yang dikutip dalam bukunya Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature. Welseley dalam Understanding Magazine menyebutkan : Jurnalistik adalah pengumpulan, penulisan, penafsiran, pemrosesan, dan penyebaran informasi umum, pendapat pemerhati, hiburan umum secara sistematik, dan dapat dipercaya untuk diterbitkan apda surat kabar, majalah, dan disiarkan di stasiun siaran. (2008:3) Adinegoro menegaskan jurnalistik adalah : Semacam kepandaian mengarang yang pokoknya memberi pekabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya. (2008:3) Effendy dalam buku Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi mendefinisikan jurnalistik sebagai : Teknik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarluaskannya kepada khalayak. (2003:95) Sementara Sumadiria dalam buku Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature menyimpulkan mengenai jurnalistik sebagai berikut : Kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya. (2008:3) Dari berbagai macam definisi jurnalistik tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa jurnalistik adalah kegiatan mencari, mengolah, menyebarkan sebuah informasi yang dinilai layak untuk diketahui oleh khalayak dengan berbagai 29 pertimbangan tertentu. Informasi itu bisa berupa berita (news), pendapat (opinion), dan fakta dan opini (feature). 2.2.2 Bentuk-bentuk Jurnalistik Bentuk-bentuk jurnalistik dilihat dari segi pengolahannya menurut Sumadiria dalam bukunya Jurnalistik Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Jurnalistik Media Cetak. Yaitu dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor verbal dan visual. Verbal, sangat menekankan pada kemampuan kita memilih dan menyusun kata dalam merangkai kalimat dan paragraf yang efektif dan komunikatif. Sedangkan visual menunjuk pada kemampuan kita dalam menata, menempatkan, mendesain tata letak atau hal-hal yang menyangkut segi perwajahan. 2. Jurnalistik Media Elektronik Auditif atau Jurnalistik Radio Siaran. Lebih banyak dipengaruhi oleh dimensi verbal, teknologikal dan visikal. Verbal berhubungan dengan kemampuan menyusun kata, kalimat dan paragraf secara efektif dan komunikatif. Teknologikal berkaitan dengan teknologi yang memungkinkan daya pancar radio dapat ditangkap dengan jelas dan jernih oleh pesawat radio penerima. Sedangkan fisikal, erat kaitannya dengan tingkat kesehatan fisik dan kemampuan pendengaran khalayak dalam menyerap dan mencerna setiap pesan kata atau kalimat yang disampaikan. 3. Jurnalistik Media Elektronik Audiovisual. Atau jurnalistik televisi siaran, merupakan gabungan dari segi verbal, visual, teknologikal dan dimensi dramatikal. Verbal berhubungan dengan kata-kata yang disusun secara singkat, padat, efektif, visual lebih menekankan pada bahasa gambar yang dihasilkan serta diterima oleh pesawatn televisi penerima di rumah-rumah. Dramatikal yang dihasilkan oleh rangkaian gambar yang dihasilkan secara simultan. (2008:5) Jurnalistik media cetak maupun surat kabar harian, jurnalistik tabloid mingguan dan jurnalisik majalah. Setiap bentuk jurnalistik memiliki ciri dan kekhasan masing-masing. Ciri dan kekhasannya antara lain terletak pada aspek 30 filosopi penerbitan, dinamika teknis persiapan dan pengelolaan, serta asumsi dampak yang ditimbulkan terhadap khalayak pembaca, pendengar atau pemirsa. Sebagai contoh, filosopi surat kabar harian menekankan pada segi keunggulan dan kecepatan dalam memperoleh dan menyebarluaskan informasi. Sedangkan filosopi penerbitan majalah berita mingguan lebih banyak menekankan pada segi kelengkapan dalam kedalaman informasi serta ketajaman daya analisisnya. 2.2.3 Jenis-jenis Jurnalistik Terdapat beberapa jenis jurnalistik yang dapat dijadikan acuan bahkan menjadi karakteristik (ciri khas) dari suatu media massa, baik media massa cetak ataupun media massa elektronik. Kategori jurnalistik ini ada yang bersifat baik (positif) ada pula yang tidak baik (negatif). Romli dalam bukunya yang berjudul Jurnalistik Praktis menjelaskan, bahwa jenis-jenis jurnalistik meliputi : 1. Jazz Journalism, yaitu jurnalistik yang mengacu pada pemberitahuan hal-hal sensasional, menggemparkan, atau menggegerkan. 2. Adversary Journalism, yaitu jurnalistik yang membawa misi pertentangan, yakni beritanya sering menentang kebijakan pemerintah atau penguasa. 3. Governement-say-so-journalism, yaitu jurnalistik yang memberitakan apa saha yang disiarkan pemerintah layaknya koran pemerintah. 4. Checkbook Journalism, yaitu jurnalistik yang untuk memperoleh bahan berita harus memberi uang pada sumber berita. 5. Alcohol journalism, yaitu jurnalistik liberal yang tidak menghargai urusan pribadi seseorang atau lembaga. 6. Crusade journalism, yaitu jurnalistik yang memperjuangkan nilai-nilai tertentu. 7. Electronic journalism, yaitu pengetahuan tentang beritaberita yang disiarkan melalui media massa modern seperti televisi, radio kaset, film, dan sebagainya. 8. Junket journalism (jurnalistik foya-foya), yaitu praktik jurnalistik yang tercela, yakni wartawan yang mengadakan 31 perjalanan jurnalistik atau biaya dan perjalanan yang berlibhan yang diongkosi di pengundang. 9. Gutter journalism, jurnalistik got yaitu teknik jurnalistik yang lebih menonjolkan pemberitaan tentang seks dan kejahatan. 10. Gossip journalism (jurnalistik kasak-kusuk), yaitu jurnalistik yang lebih menekankan pada berita-berita kasak-kusuk dan isu yang kebenarannya masih sangat diragukan. 11. Development journalism (jurnalistik pembangunan), yaitu jurnalistik yang mengutamakan peranan pers dalam rangka pembangunan nasional negara dan bangsanya. (1999:70) 2.3 Novel Kata novel berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan pula dari kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena bila dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka jenis novel ini muncul kemudian. Dalam sastra Indonesia, istilah novel seperti terdapat dalam pengertian yang sering dipergunakan dalam sastra Inggris dan Amerika sudah mulai dipakai secara berangsur-angsur. Hal yang lebih umum dipergunakan selama ini adalah istilah roman. Mengutip dari The American College Dictionary bahwa : Novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. (1960: 830) Wolf yang dikutip oleh Lubis dalam bukunya Teknik Mengarang menyatakan bahwa : sebuah roman atau novel ialah terutama sekali sebuah eksplorasi atau suatu kronik penghidupan; merenungkan dan melukiskan dalam bentuk tertentu, pengaruh, ikatan, 32 hasil, kehancuran, atau tercapainya gerak-gerik manusia. (Lubis, 1960: 3310). Mengutip dari The Advanced Learner’s Dictionary of Current English dapat pula kita peroleh keterangan yang mengatakan bahwa : novel adalah suatu cerita dengan suatu alur, cukup panjang mengisi satu buku atau lebih, yang menggarap kehidupan pria dan wanita yang bersifat imajinatif. (1960: 853). Menurut Batos, novel adalah : Sebuah roman, pelaku-pelaku mulai dengan waktu muda, mereka menjadi tua, mereka bergerak dari sebuah adegan ke sebuah adegan yang lain, dari suatu tempat ke tempat yang lain. (Lubis, 1960: 30). Ensiklopedia Indonesia terdapat keterangan yang mengatakan bahwa: Roman, dulu artinya: buku yang ditulis dalam “bahasa Romana,” yakni bahasa sehari-hari, misalnya di Perancis Kuno (Gallia), sebaliknya dari bahasa Latin, yakni bahasa Sarjana yang tidak dipahami oleh rakyat. Tak lama kemudian artinya berubah jadi cerita, hikayat atau kisah tentang pengalaman kaum ksatria. Sesudah ± tahun 1960 terbitlah karangan-karangan prosa yang membayangkan tata-masyarakat tertentu dan biasanya berpokokkan riwayat cinta. Roman-roman modern dibagi menjadi roman sosial, roman bersejarah, roman tendens, roman keluarga, dan roman yang bercorak psikologi. (Jilid III N – Z 1186). Berdasarkan segi jumlah kata, maka biasanya suatu novel mengandung kata-kata yang berkisar antara 35.000 buah sampai tak terbatas jumlahnya. Dengan kata lain, jumlah minimum kata-katanya adalah 35.000 buah. Apabila kita perkirakan satu halaman kertas kuarto jumlah barisnya ke bawah 35 buah dan jumlah kata dalam satu baris 10 buah, maka jumlah kata dalam satu halaman adalah 35 x 10 = 350 buah. 33 Selanjutnya, dapat kita maklumi bahwa novel yang paling pendek itu harus terdiri minimal dari 100 halaman, dengan logika 35.000 : 350 = 100. Apabila kita andaikan pula kecepatan rata-rata orang membaca dalam satu menit 300 kata, maka waktu yang dipergunakan untuk membaca novel yang paling pendekk adalah ± 2 jam ; dengan perincian : 35.000 : (300 × 60) = 35.000 : 18.000 ± 2 Berdasarkan uraian yang diberikan oleh Brooks dengan rekan-rekannya dalam buku An Approach to Literature, dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa : 1. 2. 3. 4. novel bergantung pada tokoh, novel menyajikan lebih dari satu impresi, novel menyajikan lebih dari satu efek, dan novel menyajikan lebih dari satu emosi. (Brooks [et all], 1952 : 28 – 30) Novel merupakan bagian dari kehidupan, menginfestasi kehidupan, persis seperti sebatang pohon. Novel memiliki irama dan hukumnya sendiri. Irama kehidupan yang dalam dan tersembunyi selalu ada dalam bentuk denyutan, detak jantung. Miller yang dikutip Danesi dalam bukunya Pengantar Memahami Semiotika Media mengungkapkan bahwa : hal-hal yang mungkin sudah dirasakan setiap orang secara intuitif saat mereka sedang membaca buku. (2012:65) Definisi di atas mengartikan bahwa novel sangat memberikan dampak begitu besar kepada kita. Himpunan kata-kata tertulis yang sangat besar dan terkumpul dalam novel, yang telah mengabadikan gagasan manusia sepanjang zaman, dan bisa kita baca jika kita memiliki akses bahasanya, membentuk ‘sistem ingatan cetakan’ pada peradaban manusia. 34 Greimas yang dikutip Danesi dalam bukunya Pengantar Memahami Semiotika Media mengklaim bahwa : Kisah-kisah yang berasal dari pelbagai budaya berbeda bisa dikatakan dibuat dari tindakan, karakter, motif, tema dan tatanan yang sama, yang kemudian dia sebut sebagai actant. (2010:79) Beberapa karakter bisa mempresentasikan satu atau beberapa actant, atau beberapa actant bisa dimainkan oleh satu karakter yang sama. Pencetakan yang dilakukan manusia bukan hanya dalam rangka ‘penyimpan pengetahuan’. Sejak zaman pertengahan akhir, buku-buku fiksi banyak memberikan pencerahan dan kesenangan kepada sejumlah besar manusia di seluruh dunia. Bahkan di dalam Galaksi Digital, karya-karya fiksi dalam sejarah terus menarik perhatian segala kalangan pembaca. Buku-buku dalam bentuk cetakan terus marak, walaupun mereka semakin banyak yang ditransfer ke media digital. Mengisahkan kembali cerita yang didengarkan satu sama lain, manusia meneruskan semua yang mereka ketahui dan yang mereka anggap bernilai ke generasi-generasi berikutnya, meskipun setiap kali kisah akan berubah sesuai dengan penulis buku. Sentosa yang dikutip oleh Sobur dalam bukunya Semiotika Komunikasi menjelaskan : Dalam lapangan sastra, karya sastra dengan keutuhannya secara semiotic dapat dipandang sebagai sebuah tanda. Sebagai suatu bentuk, karya sastra secara tulis akan memiliki sifat keruangan. (2009:141) Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa dalam novel merupakan sebuah karya sastra yang di dalamnya menceritakan atau menjelaskan sebuah tanda yang mempunyai makna tersendiri. 35 2.4 Pendidikan Pendidikan merupakan suatu kebutuhan bagi manusia agar dapat memperbaiki harkat dan martabat manusia itu sendiri. Secara keseluruhan, pendidikan dapat memberikan status sosial yang lebih baik dari sebelumnya. Selain itu, pendidikan juga merupakan kewajiban yang harus kita kenyam semenjak lahir. Karena dari pendidikan itulah kita akan tahu banyak tentang wawasan di dunia dalam kehidupan ini. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan definisi pendidikan sebagai berikut : Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (http://duniabaca.com/definisipendidikan.html) Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua dijelaskan bahwa pendidikan adalah : Proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan dan atau proses serta cara perbuatan mendidik. (1991:262) Pendidikanpun tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Karena pendidikan memegang penting unsur untuk membentuk pola pikir, akhlak, dan perilaku manusia agar sesuai dengan norma-norma yang ada, seperti agama, budaya, adat, dan yang lainnya. 36 2.5 Moral Moral adalah nilai keabsolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan, tingkah laku atau ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat dan dapat diterima serta menyenangkan llingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan agama. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat, dan lain-lain. Moral bila diartikan merupakan sebuah etika. Etika sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos. Ethos berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan sedangkan moral sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu mos dan dalam bentuk jamaknya ‘mores’ yang berarti adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik, dan menghindari hal-hal yang buruk. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua menjelaskan bahwa adalah : Bentuk pengajaran mengenai baik dan buruknya perbuatan, sikap, kewajibab, akhlak, dan budi pekerti yang diterima manusia. (1991:754) 37 Etika dan moral memang memiliki pengertian yang serupa. Namun, moral memiliki perbedaan yang mengarah pada nilai-nilai perbuatan, sedangkan etika merupakan pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. 2.6 Semiotika Semiotika berasal dari kata Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tandatanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini. Dalam ilmu komunikasi, ‘tanda’ merupakan sebuah interaksi makna yang disampaikan kepada orang lain. Penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan ini karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya dapat juga dipandang sebagai teks. Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. van Zoest dalam bukunya Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya menyatakan : Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi pengguna tanda. (1993: 1). Tanda-tanda yang ada bisa berupa apapun yang ada di dalam kehidupan manusia, karena tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain dan dapat 38 berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan dan lain-lain. Pesan komunikasi juga tidak mudah dimengerti, unik dan mengandung maksud tersembunyi (misterius). Mural dan grafiti atau pun gerak tari sering menimbulkan pemaknaan yang menyimpang karena pesan dibangun lewat tanda-tanda yang sangat unik dan khusus. Pada intinya, ilmu komunikasi menggunakan metode analisis semiologi komunikasi untuk menafsirkan persoalan pesan-pesan yang dipertukarkan. Selain dikenal sebagai Bapak Linguistik, Ferdinand de Saussure juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistik (1916). Saussure membayangkan suatu ilmu yang mempelajari tandatanda dalam masyarakat, menjelaskan konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu dikotomi itu adalah signifier (penanda) dan signified (petanda). Kombinasi antara konsep dan citra bunyi adalah sign (tanda). Jadi Saussure membagi tanda menjadi dua, yaitu komponen, signifier (citra bunyi) dan signified (konsep), bahwa hubungan antara keduanya adalah arbitrer, tak selalu ada hubungan rasional antara tanda dan artinya. Misalnya sapi, meskipun memiliki kata yang berbeda-beda namun tetap memiliki makna yang sama. Dengan tanda-tanda kita mencari keteraturan di tengah-tengah dunia, dari definisi ini bahwa bagaimana manusia bisa memaknai tanda tersebut tanpa harus dicampuradukan dengan hal lain, karena tanda-tanda tersebut juga dapat membawa informasi tersendiri. Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1857 - 1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang petanda dilihat 39 sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nilai yang terkandung di dalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut. (2009:46) Dari pengertian di atas, sebuah penanda dan petanda itu sangat berkaitan satu sama lain dan tak dapat dipisahkan, karena petanda merupakan arti dari sebuah penanda. Dan suatu kesepakatan yang sudah dimakna secara umum itu merupakan arti bagi semuanya dengan aturan yang telah disepakati bersama. Saussure yang dikutip Sobur dalam bukunya Semiotika Komunikasi mengatakan bahwa: Semiotika atau semiologi merupakan sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat. (2003:12) Ada lima pandangan dari Saussure yang di kemudian hari menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-Strauss, yaitu : Pandangan tentang (1) Signifier (penanda) dan Signified (petanda), (2) Form (bentuk) dan Content (isi), (3) Langue (bahasa) dan Parole (tuturan, ujaran), (4) Synchronic (sinkronik) dan Diachronic (diakronik), serta (5) Syntagmatic (sintagmatik) Associative (paradigmatik). (2003:46) Saussure yang dikutip Sobur dalam bukunya Semiotika Komunikasi menjelaskan : Bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Suara-suara, baik suara manusia, binatang, atau bunyi-bunyian, hanya bisa dikatakan sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa bilaman suara atau bunyi tersebut mengekspresikan, menyatakan, atau menyampaikan ide-ide, pengertianpengertian tertentu. Untuk itu suara-suara tersebut harus merupakan bagian dari sebuah sistem konvensi, sistem 40 kesepakatan dan merupakan bagian dari sebuah sistem tanda. (2003:46) Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau penanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa : apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa (bertens, 2001:180). Tanda bahasa selalu mempunyai dua segi : penanda atau petanda; signifier atau signified, significant atau signific. Dengan ini, Saussure berusaha melihat tanda sebagai sebuah kesatuan antara dua entitas mental yang terdiri atas significant (signifier atau penanda), yaitu image acoustique atau citra bunyi, dan signific (signified atau petanda), yang disebutnya sebagai konsep (de Saussure, 1973:146), misalnya citra bunyi kelinci merupakan penanda yang petandanya adalah “konsep tentang kelinci”. Asosiasi anatara citra bunyi dan konsep dapat dilihat dalam gambar berikut : Gambar 2.2 Konsep Citra Bunyi Kelinci Sumber : Contoh konsep tanda Ferdinand de Saussure (diadaptasi dari Ferdinand de Saussure, 1973: 147) 41 Gambar 2.3 Sign Composed of Signifier Signification Referent Signified (external reality) (Sumber : Mr. Quail, 2000) Form dan Content. Istilah form (bentuk) dan content (materi, isi) ini oleh Gleason (Pateda, 1994:35) diistilahkan dengan expression dan content, satu berwujud bunyi dan yang lain berwujud ide. Memang demikianlah wujudnya. Saussure memandingkan form dan content atau substance itu dengan permainan catur. Dalam permainan catur, papan, dan biji catur itu tidak terlalu penting. Yang penting itu adalah fungsinya yang dibatasi, aturan-aturan permainannya. Jadi, bahasa berisi sistem nilai, bukan koleksi unsur yang ditentukan oleh materi, tetapi sistem itu ditentukan oleh perbedaannya. Langue dan Parole, Saussure dianggap cukup penting oleh Recocur karena ia-lah yang meletakan dasar perbedaan antara Langue dan Parole (Recoceur, 1976:2-3). Objek itu tidak tergantung dari materi tanda yang membentuknya, dan disebut langue. Di samping itu, terdapat Parole yang 42 mencakup bagian bahasa yang sepenuhnya bersifat individual (bunyi, realisasi aturan-aturan, dan kombinasi tanda-tanda yang terjadi sewaktu-waktu). Synchronic dan Diachronic. Menurut Saussure, linguistik harus memperhatikan sinkronis sebelum menghiraukan diakronis. Kedua istilah ini berasal dari kata Yunani khronos (waktu) dan dua awalan syn- dan dia- masingmasing berarti “bersama” dan “melalui”. Salah satu dari banyak perbedaan konsep dan tata istilag paling penting yang diperkenalkan ke dalam linguistik oleh Saussure adalah perbedaan antara studi bahasa sinkronis dan diakronis (perbedaan itu kadang-kadang digambarkan dengan membandingkan “deskriptif” dan “historis”. Yang dimaksud dengan studi sinkronis sebuah bahasa adalah deskripsi tentang “keadaan tertentu bahasa tersebut (pada suatu “masa”) (Lyons, 1995:46)”. Syntagmatic dan Associative. Satu lagi konsep bahasa yang dibahas dalam konsepsi dasar Saussure tentang sistem pembedaan di antara tanda-tanda adalah mengenai syntagmatic dan associative (paradigmatic), atau antara sintagmatik dan paradigmatic. Hubungan-hubungan ini terdapat pada kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-kata sebagai konsep. Dalam lapangan sastra, karya sastra dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebagai sebuah tanda. Sebagai suatu bentuk, karya sastra secara tulis akan memiliki sifat kerungan (Santosa, 1993:36). Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung tabiat tandamenanda yang menyiratkan makna semiotika. Dari dua tataran (level) antara 43 mimetik dan semiotika (atau tataran kebahasaan dan mitis) sebuah karya sastra menemukan keutuhannya untuk dipahami dan dihayati. Menurut Aminuddin wawasan semiotika dalam studi sastra memiliki tiga asumsi, yaitu : Pertama, karya sastra merupakan gejala konsumsi yang berkaitan dengan (i) pengarang, (ii) wujud sastra sebagai sistem tanda, dan (iii) pembaca. Kedua, karya sastra merupakan salah satu bentuk penggunaan sistem tanda (system of signs) yang memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu. Ketiga, karya sastra merupakan fakta yang harus direkonstruksikan pembaca sejalan dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. (1997:77) Hal yang dihasilkan oleh manusia dikenal sebagai karya. Dalam konteks lain, mungkin manusia dapat menghasilkan produk intelektual. Sebuah ‘karya sastra’ yang disampaikan dengan komunikatif tentang maksud penulis untuk tujuan estetika. Karya-karya ini sering menceritakan sebuah kisah, baik dalam atau ketiga orang pertama, dengan plot dan melalui penggunaan berbagai perangkat sastra yang terkait dengan waktu mereka. 2.7 Relasi Analisis Semiotika Penididikan Moral Pada Novel Sang Alkemis dengan Teori Konstruksi Realitas Sosial Istilah konstruksi sosial atau realitas (social construction of realitas ) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menuers suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Hal terpenting dalam objektivasi adalah pembuatan signifikasi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Berger dan Luckman 44 mengatakan bahwa, sebuah tanda (sign) dapat dibedakan dari objektivasiobjektivasi lainnya, karena tujuannya yang eksplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau indek bagi pemaknaan subjektif, maka objektivasi juga dapat digunakan sebagai tanda, meskipun semula tidak dibuat untuk maksud itu. Sebuah wilayah penandaan (signifikasi) menjemabatani wilayah-wilayah kenyataan, dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol dan modus linguistik, dengan apa trensedensi seperti itu dicapai, dapat juga dinamakan bahasa simbol. Kemudian pada tingkat simbolisme, signifikasi linguistik, terlepas secara maksimal dari “di sini dan sekarang” dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa memegang peranan penting dalam objektivasi terhadap tanda-tanda, bahkan tidak saja dapat memasuki wilayah de facto, melainkan juga a priory yang berdasarkan kenyataan lain, tidak dapat dimasuki dalam pengalaman sehari-hari. Berger dan Luckman dalam bukunya Tafsir Sosial Atas Kenyataan mengatakan : Institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secaraobyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. (1990:50) Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya. 45 Proses konstruksinya, jika dilihat dari perspektif teori Berger & Luckman berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry concept, yakni subjective reality, symbolic reality, dan objective reality. Selain itu juga berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi. a. Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan) serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta. b. Symbolic reality, merupakan semua ekpresi simbolik dari apa yang dihayati sebagaai “objective reality” misalnya teks produk industri media, seperti berita di media cetak atau elektronika, begitu pun yang ada di film-film. c. Subjective reality, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objektivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objekctive reality yang baru. Teori konstruksi realitas sosial ini bisa diaplikasikan pada penelitian novel Sang Alkemis. Tokoh-tokoh dalam novel ini merupakan individu yang menggambarkan sifat-sifat manusia yang memiliki ideologi dan keyakinan yang 46 berbeda. Pertentangan sifat-sifat ini menimbulkan adanya konflik dalam cerita novel Sang Alkemis saat tiap individu melakukan interaksi sosial. Kelompok masyarakat di oasis memiliki pandangan yang berbeda dengan masyarakat di daerah perkotaan. Hal itulah yang dilihat oleh Santiago. Tokoh Santiago yang mampu memahami pandangan hidup orang lain dan memiliki intuisi kuat untuk bisa menyesuaikan diri dengan tempat baru. Dia mampu menangkap makna-makna dari kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang ia lihat dan temui. Santiago beranggapan bahwa setiap perjumpaan dengan orang atau sebuah kejadian adalah sebuah petunjuk-petunjuk yang memang harus dilalui, kemudian dirangkai untuk mewujudkan impiannya mencari harta karun. Dengan demikian individu melakukan objektivitas terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi in berlangsung tanpa harus mereka saling bertemu. Artinya, objektivasi itu bisa terjadi tanpa melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang bekembang di masyarkat melalui diskursus opini masyarakat tentang produk sosial, tanpa harus terjadi tatap muka antara individu dan pencipta produk sosial itu. Analisa Berger dan Luckmann tentang peran pengetahuan yang dihasilkan dari proses dialektika antara individu dan masyarakat, antara identitas pribadi dan struktur sosial, menghasilkan perspektif yang penting dalam bidang sosial.