PENULISAN HUKUM (Skripsi) PROSES PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA MELALUI MEDIASI DENGAN MEDIATOR HAKIM PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Mediasi Di Pengadilan Negeri Wates) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : WAHYU HARDININGSIH NIM E 0002046 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2006 PERSETUJUAN Penulisan Hukum (skripsi) ini telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Dosen Pembimbing Skripsi Harjono, S.H., M.H. NIP. 131 570 155 PENGESAHAN Penulisan Hukum (Skripsi) ini telah diterima dan dipertahankan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (skripsi) Fakultas Hukum Universitas sebelas Maret Surakarta. Pada : Hari : Selasa Tanggal : 4 Juli 2006 DEWAN PENGUJI (1) ………………………………………..(Teguh Santoso, S.H., M.H.) (2) ………………………………………..( Th. Kussunaryatun, S.H., M.H.) (3) ………………………………………...(Harjono, S.H., M.H.) Mengetahui : Dekan Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H. NIP. 131 793 333 MOTTO Hidup ini memang sulit jika kau menganggapnya sulit, tapi akan indah jika kau menganggapnya mudah dan berusaha bahagia, Jadi, BERSEMANGATLAH & Ingatlah selalu, Hidup adalah petualangan yang bertanggungjawab !!! Tak ada orang yang sempurna di dunia ini, yang ada hanyalah orang-orang yang berusaha menyempurnakan diri, Jadi, Lakukanlah yang terbaik,hingga takkan ada penyesalan !!! Be Smart…Be Mature…Be Wise…Lan Sa’ Piturute ! PERSEMBAHAN Karya yang jauh dari sempurna ini, Penulis persembahkan untuk : Insan mulia yang selalu berjuang dan berkorban demi memberikan yang terbaik buat penulis, Ibu G. Sugiyani dan Bapak L. Wiyoto Terima kasih untuk kasih sayang yang luar biasa, yang takkan pernah sanggup terbalaskan. Kakak perempuanku tercinta, Wahyu Puji Maharti, S. Pi., Terima kasih atas segala ketenangan hati yang selalu kau berikan padaku. Kakak laki-lakiku yang selalu aku banggakan, Wahyu Hardianto, Terima kasih, kau selalu mengajariku untuk tidak pernah lelah mencari ilmu. Adik kecilku selalu, Wahyu Hardiati, Terima kasih, untuk semangat yang selalu kau kobarkan padaku, GANBATEE NEE !!! Kakak perempuanku yang lain, yang sangat aku sayangi, Alm. Sari Isdianti, S.H. Terima kasih atas semuanya, aku belajar banyak hal darimu… selalu kuingat pesan-pesanmu dan amanahmu itu. KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat, hidayah serta kemurahan-NYA sehingga penulis berhasil menyelesaikan penulisan hukum ini. Penulisan hukum yang berjudul “PROSES PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA MELALUI MEDIASI DENGAN MEDIATOR HAKIM PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Mediasi Di Pengadilan Negeri Wates)”, merupakan syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini tak akan mungkin selesai tanpa bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, dengan penuh kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya dalam penulisan hukum ini : 1. Bapak Dr. Adi Sulistiono, SH, MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Moh. Jamin, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta. 3. Bapak Harjono, S.H.,M.H. yang telah meluangkan waktu membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini. 4. Bapak Munawar Kholil, S.H, M.H. selaku Pembimbing Akademik, yang telah memberikan saran-saran kepada penulis selama belajar di Fakultas Hukum UNS. 5. Bapak dan Ibu Dosen Tim Pengelola Penulisan Hukum yang telah memberikan bantuan dalam penulisan hukum ini. 6. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar di Fakultas Hukum UNS yang telah banyak memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis. 7. Bapak dan Ibu di Bagian Kemahasiswaan, Bagian Akademik, Bagian Transit serta Bagian Tata Usaha Fakultas Hukum UNS, yang telah banyak sekali membantu penulis selama belajar di Fakultas Hukum UNS. 8. Bapak Ginting, S.H. selaku Ketua Pengadilan Negeri Wates atas bantuannya yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian di PN Wates. 9. Ibu Dedeh Suryanti, S.H, Hakim Pengadilan Negeri Wates yang telah bersedia meluangkan banyak waktunya yang cukup padat jadwal untuk memberikan bantuan kepada penulis mendapat data-data yang diperlukan. 10. Bapak Purwanto, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Wates yang telah banyak membantu penulis dengan keterangan-keterangannya dan kesediannya meluangkan waktu untuk penulis. 11. Bapak Ginarto, Staff Bagian Hukum di Pengadilan Negeri wates, atas responnya yang baik sekali untuk membatu penulis mendapatkan data-data yang diperlukan. 12. Bapak dan Ibu Pegawai di Pengadilan Negeri Wates yang telah banyak memberikan bantuan dan atas keramah-tamahannya. 13. Bapak dan Ibu Dosen di LPPM UNS Pusat Penelitian dan Pengembangan Biodiversitas dan Bioteknologi, terima kasih untuk kesempatan magangnya serta petualangan alamnya di Gunung Lawu. 14. Bapak Sutanto, S.Si, DEA., Kepala UPT. PUSKOM UNS, terima kasih atas kesempatannya mempelajari semua tentang teknologi informatika beserta segala fasilitasnya. 15. Segenap staff perpustakaan Fakultas Hukum UNS, Mas Harianto, Mas Sunyoto, Mbak Maya, Mbak Siti, dan Mbak Ayik serta Pak Harno yang telah memberikan kenyamanan dan kemudahan serta bantuan-bantuannya kepada penulis. 16. Bapak L. Wiyoto dan Ibu G. Sugiyani, atas pengorbanan harta dan nyawa selama ini untuk penulis, semoga ALLAH SWT membalasnya berlipat ganda dan meninggikan derajatnya, amien. 17. Saudaraku satu rahim, Wahyu Puji Maharti, S.Pi, Wahyu Hardianto, dan Wahyu Hardiati, atas segala doa-doanya dan kasih sayangnya, serta segala keunikannya. Ingatlah selalu janji kita berempat untuk bapak dan ibu kita. 18. Kakakku tersayang, Alm. Sari Isdianti, S.H., terima kasih atas semua kecerewetannya dan terima kasih atas kasih sayang yang tak pernah bisa kau ucapkan, namun selalu kau wujudkan dalam segala tindakanmu. Do’aku selalu bersamamu, hingga tiba saatnya nanti kita dipertemukan lagi di Surga. (M’Sarie… Aku kangen banget !) 19. Sahabat-sahabatku tercinta, Inna Purwantini R, S.H., Fitri Ariani, S.H., Retno Widyastuti, dan Trie Febrianti, terima kasih atas warna dan nuansa lain dalam kehidupanku, semoga kebersamaan ini adalah untuk selamanya. (Keep the Spirit of ‘Spice Girls’, oke???) 20. Komunitas Anandaku, Galuh, Mbak Asih, Kiki, Mbak Betti, Vita, Widi, Winda, Iis, Wati, Izul, Lintawati, There, Yuni, Marta, terima kasih atas segala pengertiannya (terutama pada keadaan kamarku yang takkan pernah bisa rapi hehe…), keceriaannya, keberisikkannya, dan kehebohannya dalam setiap lembaran hari-hariku di Solo. 21. Teman-temanku di “Pramudya”, Rita&Okta (Thanks untuk tak pernah bosan menyayangiku), Ajenk, Pami, Anis, Eka, Asih,Yonda, Moret, Rani, Upik. Terima kasih untuk persaudaraanya (meski jauh, hati kita tetap dekat selalu, iya kan?) 22. Kakak-kakakku belajar di Fakultas Hukum, Mirna Saraswati S,H., Yelis Ari Kurnia S.H., Herniyanti S.H., Hening Dwi Ciptaningsih S.H., Singgih Setyardi S.H., Aryo Nugrohotomo,S.H., Hendra Wahanu, S.H., Virgoria Septiana S.H.., Armitta, S.H.. Terima kasih untuk semua bantuannya dan dukungannya selama kuliah dulu (Aku begitu merindukan m’ sarie saat aku bertemu dan bersama kalian…) 23. Sachiko Mawadah Lestari. Terima kasih untuk selalu mengingatkanku agar tidak sedih lagi dan terima kasih untuk semua supportnya. 24. Teman-teman di “Pondok Baru 5”, Wahyu Mardani, S.E., Deka, Eva, Novi Sulistyowati, S.Pd., Anggun W, S.Sos. terima kasih untuk lembaran- lembaran kisahnya. (Percayalah kita tak pernah kehilangan m’sarie…). 25. Kakakku di “Girindra”, Anti Mirawati, S.Pd., Lilis, Yanti, Erni, Puji, Catur, Wati, Hamid, Emy. Terima kasih untuk kehangatannya. (Kebahagiaan yang tiada tara saat aku menjadi adik terkecil kalian…). 26. Teman-temanku belajar saat belajar bersama di Fakultas Hukum, Arifiati Mustika Sari, Aznawy Mubarok, Tyas Pangesti, Nina, Prita, Mega, Gita, Ahmad Nur S., Ahmad, Arum. (Terima kasih, kuliahku jadi lebih hidup…) 27. Adik-adikku di Fakultas Hukum UNS, Lia KSP (Tak kusangka kita deket karena mbak Sarie), Yiyin & Mila, Lusi KSP, Ajenk & Hendra KSP. (Terima kasih, atas catatan-catatan kuliahnya ya….hehe…) 28. Teman-teman maganger di SAT UNS serta staff-staff UPT.PUSKOM UNS, terima kasih untuk pengalaman barunya di dunia maya & Teknologi Informatika serta pekerjaan yang tak pernah ada habisnya. (Lembur terus….tiap menjelang hari “H”, yuuuksss !!!) 29. Teman-teman Kuliah Magang Mahasiswa (KMM) di Pengadilan Negeri Wonogiri, Kejaksaan Negeri wonogiri, DPRD Wonogiri dan Kepolisian Resort wonogiri. Terima kasih untuk kenangan indah selama 3 minggunya. 30. Teman-teman seperjuanganku di Tim Basket UNS. Terima kasih, atas kepercayaannya selalu menjadikanku bagian dari tim inti dan semoga Tim UNS dapat mengulang kembali kejayaan di Divisi I Libama Nasional. 31. Kakak & Adik-adikku di Tim Basket Fakultas Hukum UNS. Terima kasih untuk permainan basketnya. 32. Sahabat-sahabatku di SMU 1 Purworejo, Galuh, Widi, Nuri, Ria, Mega, Tari, Gita ‘Encyt’, Didi Setyo P(Tak pernah kusangka, kaulah sahabat cowokku satu-satunya). Terima kasih untuk persahabatan dan pertemanan yang sangat berharga ini. Penulis sadar bahwa karya ini jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik yang membangun atas penulisan hukum ini senantiasa penulis harapkan. Semoga penulisan hukum ini bisa bermanfaat dan membantu pihak-pihak yang memerlukannya. Surakarta, Juni 2006 WAHYU HARDININGSIH E 0002046 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .............................................. iv KATA PENGANTAR ..................................................................................... v DAFTAR ISI .................................................................................................... ix DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ................................................................ xi DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………… xii ABSTRAK ....................................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 B. Perumusan Masalah ................................................................. 4 C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 5 D. Manfaat Penelitian ................................................................... 6 E. Metode Penelitian .................................................................... 6 F. Sistematika Penelitian ............................................................. 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori......................................................................... 15 1. Tinjauan Umum Tentang Sengketa dan Sengketa Perdata................................................................................ 15 a) Pengertian Sengketa...................................................... 15 b) Sengketa Perdata........................................................... 16 2. Tinjauan Umum Tentang Penyelesaian Sengketa Perdata................................................................................ 17 a) Penyelesaian Di Dalam Pengadilan (Litigasi).............. 17 b) Penyelesaian Di Luar Pengadilan (Non-Litigasi)......... 18 3. Tinjauan Khusus Tentang Mediasi..................................... 25 a) Pengertian Mediasi........................................................ 25 b) Peran Mediator.............................................................. 26 c) Macam-Macam Mediator.............................................. 28 d) Tahap-tahap Mediasi..................................................... 31 B. Kerangka Pemikiran................................................................. 37 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN………………………………………. 39 B. PEMBAHASAN……………………………………………. 41 1. Prosedur atau Tata Cara Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata……………………………………….. 41 2. Kekutan Hukum Hasil Kesepakatan Melalui Mediasi…. 62 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………………... 69 B. Saran…………………………………………………………. 72 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR TABEL DAN GAMBAR Tabel 1. Proses Mediasi dan Kegiatan Mediator............................................. 36 Gambar 1. Skema Analisis Data ................................................................ 12 Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran ..................................................... 37 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I Surat Keterangan Penelitian Lampiran II Akta Perdamaian Nomor : 07/Pdt.G/2004/PN.Wt. Lampiran III Surat Laporan Mediator Lampiran IV Kesepakatan Perdamaian Lampiran V Penetapan Majelis Hakim Nomor : 07/Pdt.G/2004/PN.Wt. Lampiran VI Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Wates Nomor : W22.Db.386-KP.11.01.TH 2004. Lampiran VII Penetapan Ketua 07/Pdt.G/2004/PN.Wt. Pengadilan Nomor : ABSTRAK WAHYU HARDININGSIH, E 0002046, PROSES PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA MELALUI MEDIASI DENGAN MEDIATOR HAKIM PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Mediasi Di Pengadilan Negeri Wates), Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Penulisan Hukum (Skripsi), 2006. Penulisan hukum (skripsi) ini bertujuan untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi dengan mediator hakim Pengadilan Negeri dan untuk mengetahui kekuatan hukum hasil kesepakatan yang dihasilkan melalui mediasi dengan mediator hakim Pengadilan negeri, serta untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan mediasi di Pengadilan Negeri Wates dengan pedoman pelaksanaan mediasi menurut Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan termasuk jenis penelitian yang bersifat empiris. Lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Wates. Jenis data yang dipergunakan meliputi data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui wawancara dan penelitian kepustakaan baik berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen dan sebagainya. Analisi data yang digunakan adalah analisis data kualitatif dengan model interaktif. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa proses penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi dengan mediator hakim Pengadilan Negeri Wates dilakukan secara bertahap, yaitu tahap pra mediasi dan tahap mediasi. Tahap Pra Mediasi diperankan oleh majelis hakim pemeriksa perkara yang sedang ditangani, yaitu mewajibkan para pihak untuk melakukan mediasi pada hari pertama sidang yang dihadiri oleh para pihak, menunda proses persidangan untuk memberikan waktu kepada para pihak melakukan mediasi, memberikan penjelasan kepada para pihak tentang mediasi dan memerintahkan para pihak untuk memilih mediator untuk membantu dalam proses mediasi. Tahap mediasi diperankan langsung oleh mediator hakim Pengadilan Negeri Wates dengan melakukan langkah-langkah dalam proses mediasi, diantaranya meminta para pihak menghadap mediator di ruang mediasi pada Pengadilan Negeri Wates, menentukan jadwal pertemuan, melakukan kaukus, mempertemukan kedua belah pihak, melaporkan hasil mediasi kepada majelis hakim pemeriksa perkara. Mengenai kekuatan hukum mediasi yaitu apabila kesepakatan mediasi yang essensinya merupakan kesepakatan perdamaian, diwujudkan ke dalam produk hukum, dalam hal ini akta perdamaian, maka mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan perkara perdata lainnya yang diputus majelis hakim didepan sidang. Hal ini berbeda apabila kesepakatan mediasi tidak diwujudkan dalam akta perdamaian, maka kesepakatan tersebut tidak akan mempunyai kekuatan hukum, meskipun kesepakatan mediasi tetap dapat dilaksanakan. Berkaitan dengan peran dan fungsi mediator yang sangat penting dalam proses mediasi di Pengadilan Negeri, Mahkamah Agung diharapkan dapat segera mengadakan pelatihan-pelatihan untuk para hakim di Pengadilan Negeri di daerah-daerah, sehingga para hakim yang menjadi mediator mendapat wawasan yang cukup untuk melaksanakan mediasi. Para hakim mediator, diharapkan untuk mempelajari lebih dalam mengenai mediasi baik dari jurnal-jurnal maupun melalui internet, sehingga mendapatkan wawasan yang luas terkait mediasi. Mengingat waktu yang diberikan untuk mediasi dengan mediator dari dalam pengadilan hanya dua puluh dua hari, maka diharapkan para hakim mediator dapat menyusun strategi-strategi yang tepat sehingga lebih bisa memanfaatkan waktu dengan baik. BAB I PENDAHULUAN C. LATAR BELAKANG MASALAH Penegakan hukum di Indonesia seperti yang kita ketahui sudah mulai mengalami banyak perkembangan. Penyelesaian sengketa tidak hanya dilakukan melalui jalur pengadilan atau litigasi, tetapi juga melalui jalur diluar pengadilan atau non-litigasi. Banyak kasus-kasus yang dapat diselesaikan tanpa harus melalui jalur pengadilan atau litigasi, termasuk diantaranya kasuskasus yang masuk dalam lingkup keperdataan. Perkembangan tersebut merupakan hal yang bagus sekali untuk perkembangan hukum di Indonesia mengingat perkembangan masyarakat Indonesia yang cukup pesat di bidang perdagangan dan perekonomian. Banyak usaha-usaha didirikan baik berbentuk badan hukum maupun perorangan, dimana semakin berkembangnya usaha-usaha tersebut, semakin berkembang dan bervariasi pula permasalahan yang terjadi didalamnya. Oleh karenanya, hukum pun akan berjalan dinamis mengikuti perkembangan masyarakatnya. Masyarakat sekarang ini banyak yang memilih menggunakan jalur non-litigasi dalam menyelesaikan sengketanya. Hal ini dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya cara ini dianggap lebih efesien dan lebih menguntungkan kedua belah pihak yang bersengketa. Para pihak bebas memilih cara-cara ataupun alternatif penyelesain sengketa yang dianggap paling sesuai dan cocok untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi. Para pihak juga diajak untuk ikut berperan aktif didalam proses perundingannya, dengan maksud agar dapat diperoleh keadilan tanpa harus merugikan salah satu pihak itu sendiri. Beda halnya jika sengketa yang ada harus diselesaikan melalui jalur pengadilan, proses pemeriksaan akan memakan waktu cukup lama dan biaya yang cukup mahal apabila kasus harus berlanjut ke tingkat banding atau kasasi. Hal yang lebih tidak menguntungkan yaitu apabila sengketa harus menunggu pemeriksaannya karena banyak kasus yang menumpuk di Pengadilan. Hasil pemeriksaan pun tidak akan menguntungkan kedua belah pihak karena pasti ada pihak yang menang dan pihak yang mengalami kekalahan. Itulah beberapa faktor yang menyebabkan penyelesaian diluar pengadilan lebih banyak diminati sekarang ini oleh masyarakat Indonesia, khususnya yang berkecimpung di dunia usaha. Penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi secara hukum sebenarnya telah diatur yaitu dengan sudah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa alternatif penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan baik dengan konsultasi, negosiasi, mediasi maupun konsiliasi. Namun dalam kenyataannya, UndangUndang tersebut belumlah berjalan efektif, mengingat belum banyak juga komunitas hukum yang memahami dan menguasai pelaksanaanya, padahal merekalah yang biasanya diminta bantuannya untuk menyelesaikan sengketa secara non-litigasi. Hal ini diperlihatkan juga dengan masih sedikitnya pendaftaran hasil penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri, dimana sesuai ketentuan Undang-Undang, pendaftaran itu wajib dilakukan (Pasal 6 Ayat (7) UU Nomor 30 Tahun 1999). Terkait dengan alternatif penyelesaian sengketa yaitu mediasi, dalam hal ini terdapat mediasi yang penyelenggaraannya dilakukan oleh pengadilan. Dasar hukum mediasi di pengadilan diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Pasal 11 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 juga menjelaskan bahwa hasil kesepakatan bersama para pihak tersebut dirumuskan secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak, kemudian kesepakatan tersebut dikukuhkan oleh hakim sebagai suatu akta perdamaian. Dalam hal ini terdapat kewajiban dari para pihak untuk merumuskan hasil kesepakatan dalam bentuk tertulis dan bisa meminta atau tidak memintakan penetapan kepada hakim. Mediasi, sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa memang belum lama dikenal dalam wacana hukum di Indonesia, meskipun ciri “musyawarah” yang menjadi inti mediasi sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Ini disebabkan mediasi memang bukan berasal dari Indonesia. Oleh karenanya, mediasi memerlukan adaptasi dan sosialisasi baik bagi masyarakat Indonesia, birokrasi pemerintah, maupun para penegak hukum. Mediator sebagai pihak yang menjadi perantara kedua belah pihak yang bersengketa untuk mencapai perdamaian bisa berasal dari luar maupun dari dalam pengadilan. Hakim sebagai pihak yang berasal dari dalam pengadilan pun harus memenuhi beberapa ketentuan untuk bisa menjadi seorang mediator. Dengan demikian, hakim pun kini mengalami banyak perkembangan seiring berkembangnya hukum, dimana hakim sekarang tidak hanya menyelesaikan sengketa dibalik jubah hakimnya didalam ruang persidangan tetapi juga diluar ruang persidangan. Bukankah dengan demikian, hal itu merupakan sebuah respon positif terhadap wujud penegakan hukum, dimana mediasi diharapkan mampu mengakomodir wujud keadilan dan kesetaraan hak setiap orang di depan hukum. Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan di Indonesia, berusaha untuk menangkap dan mewadahi alternatif penyelesaian sengketa melalui mediasi di pengadilan itu dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003, setiap Pengadilan Negeri di Indonesia mempunyai kompetensi untuk menyelenggarakan proses mediasi dalam menyelesaikan sengketa yang ada. Hakim-hakim yang berperan sebagai mediator, dalam hal ini berpegang pada tahapan-tahapan mediasi sebagaimana tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tersebut sebagai pedoman dalam menyelenggarakan mediasi di pengadilan. Hasil kesepakatan para pihak pihak pun lebih terjamin karena mediator dari pengadilan akan menganjurkan para pihak untuk meminta hakim menetapkannya sebagai akta perdamaian. Dengan demikian, tercapainya perdamaian diantara para pihak yang bersengketa melalui pelaksanaan mediasi di pengadilan ini, mampu untuk mengurangi penumpukan perkara di pengadilan. Pada bulan September 2001 saja, penumpukan perkara di Mahkamah Agung telah mencapai 16.233 perkara, kemudian pada awal tahun 2005 tunggakan perkara telah meningkat menjadi 21.000 perkara (Adi Sulistiyono, 2005 : 3). Data tersebut memperlihatkan waktu yang cukup lama untuk suatu perkara mendapatkan putusan in kracht. Itulah yang menyebabkan banyak para pihak, terutama yang berkecimpung di dunia usaha lebih banyak memilih penyelesaian sengketa secara win-win solution, hal mana dapat juga diperoleh melalui pengadilan yaitu dengan mediasi melalui pengadilan. Proses mediasi ini akan dibantu dengan keberadaan mediator yang telah terdaftar di pengadilan tersebut. Kompetensi untuk menyelenggarakan mediasi di pengadilan ini termasuk dalam kompetensi yang baru dipercayakan Mahkamah Agung kepada Pengadilan Negeri terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 maka menarik bagi penulis untuk mengkajinya dalam penelitian yang berjudul : “PROSES PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA MELALUI MEDIASI DENGAN MEDIATOR HAKIM PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Mediasi Di Pengadilan Negeri Wates)”. B. PERUMUSAN MASALAH Perumusan masalah digunakan untuk mengetahui mengenai masalah apa yang akan diteliti dan memberikan kemudahan dalam mencapai sasaran yang akan dicapai. Selain itu, dengan adanya perumusan masalah akan memudahkan penulis dalam mengumpulkan data dan menghindari adanya data yang tidak diperlukan. Berdasarkan uraian diatas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : A. Bagaimana proses penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi yang dilakukan oleh mediator hakim Pengadilan Negeri Wates ? B. Bagaimana kekuatan hukum hasil kesepakatan melalui mediasi yang dilakukan oleh mediator hakim Pengadilan Negeri Wates ? C. TUJUAN PENELITIAN Suatu penelitian dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a) Untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi yang dilakukan oleh mediator hakim dari Pengadilan Negeri Wates. b) Untuk mengetahui kekuatan hukum hasil kesepakatan melalui mediasi yang dilakukan oleh mediator hakim dari Pengadilan Negeri Wates. 2. Tujuan Subyektif a) Untuk melatih kemampuan meneliti mengenai sesuatu hal yang menarik hati penulis dan kemampuan berfikir penulis dalam membuat suatu karya tulis ilmiah. b) Untuk memperdalam pengetahuan tentang berbagai teori yang telah penulis dapatkan selama penulis mengikuti studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. c) Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan dan wawasan penulis terhadap perkembangan hukum, terutama terkait penyelesaian sengketa melalui mediasi D. MANFAAT PENELITIAN Suatu penelitian selain untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, diharapkan juga memberikan manfaat sesuai bidang ilmu pengetahuan yang terkait dengan penelitian tersebut. Adapun manfaat itu adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan teori hukum acara perdata, khususnya pada alternatif penyelesaian sengketa perdata. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai teaching materials mata kuliah Alternatif Penyelesaian Sengketa. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai panduan bagi para hakim yang akan menjadi mediator dalam penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai rujukan bagi para pihak yang bersengketa dalam memilih alternatif penyelesaian sengketa apa yang sesuai dan dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa para pihak tersebut. E. METODE PENELITIAN Metode Penelitian dalam hal ini terdiri dari dua kata yaitu metode dan penelitian. Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”; namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut : 1. suatu pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian, 2. suatu teknik yng umum bagi ilmu pengetahuan, 3. cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur 1986: 5). (Soerjono Soekanto, Penelitian merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris yaitu research, yang beasal dari kata re (kembali) dan to search (mencari). Dengan demikian secara logawiyah berarti “mencari kembali”. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada dasarnya sesuatu yang dicari itu tidak lain adalah “pengetahuan” atau lebih tepatnya “pengetahuan yang benar“, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu (Bambang Sunggono, 1996: 27-28). Berdasarkan uraian diatas, dapatlah disimpulkan bahwa metode penelitian adalah cara-cara atau teknik untuk melakukan prosedur penelitian, dengan tujuan untuk bisa lebih mengetahui dan mendalami ilmu pengetahuan sehingga akan didapatkan suatu kebenaran sebagai jawaban atas pertanyaan dan ketidaktahuan tentang sesuatu hal. Oleh karena itu, pemilihan jenis metode penelitian sangatlah penting dalam suatu penelitian karena akan mempengaruhi hasil penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Berdasarkan pada perumusan masalah, maka penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian hukum empiris atau non doktrinal yang bersifat deskriptif. Suatu penelitian deskriptif, dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya (Soerjono Soekanto, 1986:10). Dalam penelitian ini dideskripsikan tentang proses penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi dengan mediator hakim dari Pengadilan Negeri dan kekuatan hukum hasil kesepakatan melalui mediasi tersebut. 2. Lokasi Penelitian Lokasi atau tempat penelitian ini dilakukan, di Pengadilan Negeri Wates dengan alasan, di Pengadilan Negeri Wates telah diterapkan proses mediasi dalam setiap proses penyelesaian sengketa perdata. 3. Jenis Data. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : a) Data primer Data primer merupakan data yang diperoleh di lapangan, dimana diperoleh langsung dari sumber pertama ataupun melalui penelitian baik berupa fakta ataupun keterangan. Data primer yang dimaksud dalam penelitian ini berupa hasil wawancara dengan hakim Dedeh Suryanti, S.H. yang berperan sebagai Hakim Ketua Majelis Pemeriksa Perkara Nomor : 7/Pdt.G./2004/PN.Wt, dan hakim Purwanto, S.H. selaku mediator yang ditunjuk oleh majelis hakim untuk menyelesaian sengketa perdata Nomor : 7/Pdt.G./2004/PN.Wt melalui mediasi. b) Data sekunder Data sekunder disini adalah data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan, tetapi data sekunder ini merupakan data yang relevan dan mendukung berkaitan dengan masalah yang diteliti. Data sekunder ini berupa Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Wates Nomor W22.Db-386-KP.11.01.TH 2004 tentang Penunjukkan Mediator Di Pengadilan Negeri Wates, Surat Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Wates Nomor : 7/Pdt.G./2004/PN.Wt Tentang Penunjukkan Majelis Hakim tertanggal 21 April 2004, Surat Penetapan Ketua Majelis Hakim Nomor : 7/Pdt.G./2004/PN.Wt tanggal 19 Mei 2004 Tentang Penunjukkan saudara Purwanto, S.H., hakim Pengadilan Negeri Wates, sebagai mediator dalam perkara Nomor : 7/Pdt.G./2004/PN.Wt dan Saudara Paridjan, Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Wates sebagai notulen dalam proses Mediasi dalam perkara Nomor : 7/Pdt.G./2004/PN.Wt, Laporan Mediator tanggal 9 Juni 2004 kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Nomor : 7/Pdt.G./2004/PN.Wt yang diwujudkan dalam suatu Kesepakatan Perdamaian, Akta Perdamaian Nomor : 7/Pdt.G./2004/PN.Wt, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, literature-literature, jurnal, karya ilmiah yang mendukung serta peraturan perundangan lainnya. 4. Sumber Data a) Sumber Data Primer Sumber data primer, yaitu sumber diperolehnya data primer, berupa keterangan-keterangan dari hasil wawancara dengan Hakim Dedeh Suryanti, S.H. yang berperan sebagai Hakim Ketua Majelis Pemeriksa Perkara Nomor : 7/Pdt.G./2004/PN.Wt, dan hakim Purwanto, S.H. selaku mediator yang ditunjuk oleh majelis hakim untuk menyelesaian sengketa perdata Nomor : 7/Pdt.G./2004/PN.Wt melalui mediasi. b) Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) Laporan Mediator tanggal 9 Juni 2004 kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Nomor : 7/Pdt.G./2004/PN.Wt yang diwujudkan dalam suatu Kesepakatan Perdamaian. (2) Akta Perdamaian Nomor : 7/Pdt.G./2004/PN.Wt (3) Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Wates Nomor W22.Db386-KP.11.01.TH 2004 tentang Penunjukkan Mediator Di Pengadilan Negeri Wates. (4) Surat Penetapan Ketua Majelis Hakim Nomor : 7/Pdt.G./2004/PN.Wt tanggal 19 Mei 2004 Tentang Penunjukkan saudara Purwanto, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Wates, sebagai mediator dalam perkara Nomor : 7/Pdt.G./2004/PN.Wt dan Saudara Paridjan, Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Wates sebagai notulen dalam proses Mediasi dalam perkara Nomor : 7/Pdt.G./2004/PN.Wt. (5) Surat Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Wates Nomor : 7/Pdt.G./2004/PN.Wt Tentang Penunjukkan Majelis Hakim Pemeriksa Perkara ini, tertanggal 21 April 2004. (6) PerMA Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. (7) UU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. (8) Hasil penelitian (hukum) S2 atau tesis, jurnal MA RI, serta literature-literature yang relevan dan mendukung penelitian ini. (9) Kamus Black’s Law Dictionary, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan Kamus Terminologi Hukum. 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara : a) Wawancara Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jenis wawancara terpimpin. Sutrisno Hadi menjelaskannya sebagai wawancara yang dilakukan dengan mempersiapkan pokok-pokok permasalahan terlebih dahulu yang kemudian dikembangkan dalam wawancara, kemudian responden akan menjawab secara bebas sesuai dengan permasalahan yang diajukan sehingga kebekuan atau kekakuan proses wawancara dapat terkontrol (Sutrisno Hadi, 2001: 207). Wawancara ini akan dilakukan dengan sumber pertama (sumber data primer) yaitu Hakim Dedeh Suryanti, S.H. yang berperan sebagai Hakim Ketua Majelis Pemeriksa Perkara Nomor : 7/Pdt.G./2004/PN.Wt, wawancara dilakukan pada hari Senin, 1 Mei 2006 Pukul 10.00-11.15 WIB dan Hakim Purwanto, S.H. selaku mediator yang ditunjuk oleh majelis hakim untuk menyelesaian sengketa perdata Nomor : 7/Pdt.G./2004/PN.Wt melalui mediasi, wawancara dilakukan pada hari Senin, 8 Mei 2006 Pukul 08.30-09.30 WIB. b) Studi Kepustakaan Studi kepustakaan yang dimaksud di sini yaitu teknik pengumpulan data melalui buku-buku ilmiah, arsip-arsip, peraturan perundangundangan dan bahan pustaka lainnya yang berbentuk tertulis serta relevan atau berkaitan dengan pembahasan penelitian. 6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Teknik pengolahan dan analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan analisa kualitatif model interaktif. Analisa kualitatif model interaktif (interactive model of analysis) yaitu analisa dengan tiga komponen yang dilakukan dengan cara interaksi, baik antara komponennya, maupun dengan proses pengumpulan data, dalam proses yang berbentuk siklus. Ketiga komponen analisis tersebut adalah sebagai berikut : 1. Reduksi data. Merupakan bagian dari proses analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian. b. Penyajian data. Merupakan suatu rakitan organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data harus mengacu pada rumusan masalah sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang akan diteliti. c. Penarikan kesimpulan dan verifikasi. Dari awal pengumpulan data, peneliti harus sudah memahami apa arti dari berbagai hal yang ia temui dengan melakukan pencatatan peraturan-peraturan dan pola-pola, pernyataan-pernyataan dan konfigurasi yang mungkin, arahan, sebab akibat, dan berbagai proporsi, kesimpulan perlu diverifikasi agar cukup mantap dan benarbenar bisa dipertanggungjawabkan. Dalam bentuk ini, peneliti tetap bergerak diantara tiga komponen analisis dengan proses pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan data berlangsung. Sesudah pengumpulan data berakhir, peneliti bergerak diantara tiga komponen analisisnya dengan menggunakan waktu yang masih tersisa bagi penelitiannya (H. B. Sutopo, 2002: 91-95 ). Model analisis interaktif yang digunakan dalam penelitian, ini dapat digambarkan sebagai berikut : Pengumpulan data Reduksi data Penyajian data Penarikan kesimpulan Gambar 1 : Skema Model Analisis Interaktif Keterangan : Data-data yang telah terkumpul pertama-tama direduksi dengan cara diseleksi yang sesuai dengan yang dibutuhkan dan relevan dengan penelitian ini. Tahap berikutnya yaitu penyajian data dan dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan/ verifikasi. Kemudian setelah memiliki gambaran mengenai kesimpulan, dimungkinkan adanya penilaian kembali data-data yang ada untuk melihat kesesuaian dan kebutuhan terkait penelitian ini. F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM Sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang tiaptiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang disesuaikan dengan luas pembahasan dengan maksud untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan diuraikan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini diuraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori meliputi tinjauan umum tentang sengketa dan sengketa perdata, tinjauan umum tentang penyelesaian segketa perdata, dan tinjauan tentang mediasi. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ketiga akan berisi tentang pokok-pokok permasalahan yang ingin diungkap berdasarkan rumusan masalah, yaitu berupa proses penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi yang dilakukan oleh mediator dari Pengadilan Negeri Wates dan kekuatan hukum dari hasil kesepakatan melalui mediasi yang dilakukan oleh mediator dari Pengadilan Negeri Wates. BAB IV PENUTUP Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian ini yang berisikan kesimpulan-kesimpulan yang diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut dari kesimpulan tersebut. BAB II TINJAUAN PUSTAKA C. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Sengketa dan Sengketa Perdata. a) Pengertian Sengketa Istilah sengketa atau konflik berasal dari kata Bahasa Inggris conflict atau dispute, yang berarti perselisihan atau percekcokan atau pertentangan. Perselisihan yang terjadi antara dua orang atau lebih (Joni Emirzon dalam Waluyo, 2001:11). Konflik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai percekcokan; perselisihan (Dep P&K,1989: 455). Pengertian sengketa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai dua arti yaitu : 1. Sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat; pertengkaran; perbantahan. 2. Pertikaian; perselisihan; pertentangan. (Dep P&K, 1989: 816) Sengketa dapat juga digambarkan sebagai keadaan dimana para pihak mempunyai suatu permasalah, dimana salah satu pihak menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, tetapi pihak yang lainnya menolak untuk melakukannya. Ada juga pihak yang lainnya itu mau melakukannya, tetapi kadang tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh pihak yang pertama tadi, sehingga dalam hal ini ada salah satu pihak yang tidak puas atau merasa dirugikan. Hal ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa : “Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas yang bersifat subjektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua. Apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, jika reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda, terjadi apa yang dinamakan dengan sengketa (Suyud Margono, 2004: 34).” Sesuai dengan pendapat diatas apabila ada pihak yang merasa dirugikan mengajukan somasi/ klaim/ tindakan-tindakan lain seperti menuntut hak dan sebagainya, maka dikatakan ada sengketa. Lain halnya jika pihak yang merasa dirugikan tersebut hanya diam-diam saja, maka tidak akan sengketa. Ini berarti dapatlah ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya ada perbedaan antara sengketa dengan konflik. Sengketa terjadi apabila ada somasi/ klaim/ tuntutan dari pihak lain, sedangkan konflik tidak selalu diikuti somasi/ klaim/ somasi dari pihak lain. Hal ini menunjukkan bahwa suatu konflik tidak selalu menjadi sengketa, akan tetapi sebaliknya, terjadinya suatu sengketa pasti terdapat konflik sebelumnya. b) Sengketa Perdata Sengketa perdata terdiri dari dua kata, yaitu sengketa dan perdata. Pengertian sengketa itu sendiri telah dijelaskan diatas, sedangkan mengenai istilah perdata dalam literatur hukum sering disebut dengan “civil”. “Civil” itu sendiri dalam Terminologi Hukum berarti hal-hal pribadi dari perorangan dalam masyarakat, dan perkara legal yang bersangkutan dengan itu. Untuk dipisahkan dengan perkara kriminal dan politik (I.P.M. Rahuhandoko, 2003: 129-130). Berkaitan dengan sengketa, kita tidak mungkin lepas dari hubungan hukum, karena hubungan hukum ini mencerminkan hak dan kewajiban, dimana antara hak dan kewajiban yang tidak berjalan sejajar atau seimbang, itulah yang menyebabkan terjadinya konflik dan kemudian berkembang menjadi sengketa. Mashudi dan Moch Chidir Ali mengatakan bahwa suatu hubungan hukum itu dapat dimasukkan perdata apabila hubungan itu adalah hubungan yang oleh hukum diberikan akibat (gevolg) dan akibatnya ini adalah perseorangan yang satu mempunyai hak-hak dan kewajiban terhadap perseorangan yang lain (Mashudi dan Moch Chidir Ali, 2001: 80). Sesuai dengan perkembangannya, hubungan hukum perdata pun terjadi tidak hanya antara seorang dengan orang yang lainnya, akan tetapi juga dapat terjadi antara orang dengan badan hukum yang menitikberatkan kepada Ketentuan-ketentuan kepentingan tentang perseorangan kepentingan (privat). perseorangan yang dimaksud yaitu kepentingan yang berkaitan dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Berdasarkan uraian diatas maka menurut penulis, sengketa perdata adalah sengketa yang terjadi dalam hubungan hukum antara seseorang dengan orang yang lain ataupun antara seseorang dengan badan hukum, yang menitikberatkan pada kepentingan perseorangan dan bersifat privat. 2. Tinjauan Umum Tentang Penyelesaian Sengketa Perdata a) Penyelesaian Di Dalam Pengadilan (Litigasi) Litigasi atau litigation dalam Bahasa Inggris, seperti dijelaskan dalam Black’s Law Dictionary adalah A lawsuit, Legal action, including all proceedings therein. Contest in a court of law for the purpose of enforcing a right or seeking a remedy. A judicial contest, a judicial controversy a suit at law (Henry Campbell Black, 1979: 841). Suyud Margono berpendapat bahwa Litigasi adalah proses gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan untuk menggantikan konflik sesungguhnya, dimana para pihak memberikan kepada seorang pengambil keputusan dua pilihan yang bertentangan (Suyud Margono, 2004: 23). Adi Sulistiyono berpendapat bahwa model penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi merupakan suatu pendekatan untuk mendapatkan keadilan melalui system perlawanan (the adversary system) dan menggunakan paksaan (coercion) untuk mengelola sengketa yang timbul dalam masyarakat serta menghasilkan suatu keputusan win-lose solution bagi pihak-pihak yang bersengketa (Adi Sulistiyono, 2005: 5) Suyud Margono menyebutkan bahwa tujuan utama dari upaya litigasi adalah memaksa pihak yang tidak memiliki sumber daya yang sama untuk menyerah dan menyelesaikan masalah menurut syarat-syarat yang menguntungkan pihak lain (Suyud Margono, 2004: 25). Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa perdata di dalam pengadilan atau sering disebut juga dengan litigasi yaitu penyelesaian dengan menggunakan lembaga peradilan umum serta mengikuti prosedur/ tata cara pengadilan yang menangani sengketa perdata tersebut, dimana pada putusan akhir, akan terdapat pihak yang menang dan pihak yang kalah. b) Penyelesaian Di Luar Pengadilan (Non-Litigasi) Penyelesaian sengketa selain melalui pengadilan atau litigasi, juga ada yang melalui jalur di luar pengadilan atau sering disebut dengan penyelesaian sengketa non-litigasi. Penyelesaian sengketa non-litigasi ini, secara hukum telah diatur tersendiri dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum. Oleh karena itu, berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999, maka penyelesaian sengketa di luar pengadilan dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Arbitrase Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrare (Bahasa Latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan menurut kebijaksanaan (Sudiarto dan Zaeni Asyahadie, 2004: 27). Menurut Black’s Law Dictionary, arbitrase atau arbitration dalam Bahasa Inggris, diartikan sebagai The reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by the arbitrator’s award issued after a hearing at which both parties have an opportunity to be heard (Henry Campbell Black, 1979: 96) Banyak pula ahli hukum yang juga memberikan definisinya mengenai arbitrase. Salah satu yaitu Subekti, menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih (Sudiarto dan Zaeni Asyahadie, 2004: 28) Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No 30 Tahun 1999, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pasal 3 UU No 30 Tahun 1999 juga menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang tertulis baik dibuat sebelum atau setelah terjadi sengketa, dimana sengketanya merupakan bidang perdagangan, industri, dan keuangan serta dalam prosesnya dibantu oleh arbiter sebagai wasit yang juga dipilih sendiri oleh para pihak. (2) Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pengertian Alternatif Penyelesaian Sengketa sesuai dengan UU Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat (10) yaitu lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa telah mendapatkan perlindungan hukum yang cukup kuat dengan dituangkannya dalam suatu bentuk perundang-undangan. Alternatif Penyelesaian Sengketa atau sering disingkat dengan APS sesuai pengertian diatas terdiri dari empat (4) hal diantaranya : (a) Konsultasi Pengertian konsultasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu pertukaran pikiran untuk mendapatkan kesimpulan (nasihat, saran dsb) yang sebaik-baiknya (Dep P & K, 1989: 457) . Istilah konsultasi dalam Bahasa Inggris dikenal dengan consultation. Black Law Dictionary mendefinisikannya sebagai : “Act of consulting or conferring; e.g. patient with doctor; client with lawyer. Deliberation of persons on some subject. A conference between the counsel engaged in a case to discuss its questions or arrange the method of conducting It”. (Henry Campbell Black, 1979: 286) Berdasarkan rumusan diatas Gunawan Widjaja menyimpulkan bahwa pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Pendapat yang dimaksud disini adalah pendapat hukum (Gunawan Widjaja, 2004: 86). Konsultasi dalam hal ini sama sekali tidaklah mengikat pihak klien karena konsultan hanya memberikan pendapatnya (hukum) saja. Para klien bebas untuk menggunakan pendapat itu ataupun tidak menggunakannya. Demikian pula mengenai putusan, disini keputusan seluruhnya diserahkan ditangan klien itu sendiri. Konsultan disini juga dapat memberikan pendapatnya mengenai bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang sebaiknya digunakan oleh kliennya dalam menyelesaikan sengketanya. Inilah wujud konsultasi sebagai salah satu pranata penyelesaian sengketa dalam APS. (b) Negosiasi Negosiasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai proses tawar menawar guna mencapai kesepakatan besama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yang lain atau penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara para pihak-pihak yang bersengketa (Dep P & K, 1989: 611). Black Law Dictionary mendefinisikan negotiation adalah process of submission and consideration of offers until acceptable offer is made and accepted. (Henry Campbell Black, 1979: 934) Negosisasi oleh para ahli hukum banyak diberikan definisi. Menurut Gary Goodpaster, negosiasi adalah proses bekerja untuk mencapai suatu perjanjian dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang sama dinamis dan variasinya serta halus dan bernuansa, sebagaimana keadaan atau yang dapat dicapai orang (Gary Goodpaster, 1999: 1). Gunawan Widjaja memberikan penjelasan bahwa melalui negosiasi, para pihak yang bersengketa atau berselisih paham dapat melakukan suatu proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak dengan/ melalui suatu situasi yang sama-sama menguntungkan (‘win-win’), dengan melepaskan atau memberikan kelonggaran (concession) atas hak-hak tertentu berdasarkan pada asas timbal balik. (Gunawan Widjaja, 2002: 88). Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangungsong memberikan pendapatnya, bahwa: “Negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki kepentingan sama maupun berbeda. Oleh karena itu, negosiasi merupakan sarana bagi pihakpihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah, baik yang tidak berwenang mengambil keputuan maupun yang berwenang mengambil keputusan.” (Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangungsong, 2005: 155). Waluyo mengutip pendapat Johny Emirzon, secara umum negosiasi diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif (Waluyo, 2001: 45). (c) Mediasi Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan arti mediasi sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat (Dep P & K, 1989: 569). Salah satu ahli hukum Retnowulan Sutantio, mengartikan mediasi sebagai pemberian jasa baik dalam bentuk saran untuk menyelesaikan sengketa para pihak oleh seorang ahli atau beberapa ahli yang diangkat oleh para pihak sebagai mediator (Retnowulan Sutantio, 2002: 7) Menurut Black’s Law Dictionary mediasi sebagai : “intervention; interposition; the act of a third person in intermediating between two contending parties with a view to persuading them to adjust or settle their dispute. Settlement of dispute by action of intermediary (neutral party)”. (Henry Campbell Black, 1979: 885). Gunawan Widjaja mengutip pendapat Nolah Haley, mendefinisikan mediasi sebagai A short term structured task oriented partipatory invention process. Disputing parties work with a neutral third party, the mediator, to reach a mutually acceptable agreement. (Gunawan Widjaja, 2004: 59). Begitu pula halnya dengan Kovach dalam bukunya yang dikutip Gunawan Widjaja, berpendapat bahwa mediasi adalah Facilitated negotiation, It procces by which a neutral third party, the mediator, assist disputing parties in reaching a mutually satisfaction solution (Gunawan Widjaja, 2004: 59). Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa mediasi adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menggunakan pihak ketiga yang disebut mediator,dimana mediator ini sifatnya netral. (d) Konsiliasi Konsiliasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti usaha mempertemukan keinginan pihak yang berelisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan (Dep P & K, 1989: 457). Konsiliasi bila diterjemahkan dalam Bahasa Inggris berarti conciliation. Menurut Black’s Law Dictionary, konsiliasi diartikan The adjustment and settlement of a dispute in a friendly, unantagonistic manner. Used in courts before trial with a view towards avoiding trial and in labor disputes before arbitration ( Henry Campbell Black, 1979: 262). Munir seperti dikutip oleh Waluyo (Waluyo, 2001: 65) memberikan penjelasan bahwa seperti halnya mediasi konsiliasi (conciliation) juga merupakan proses penyelesaian sengketa diantara para pihak yang melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak hanya saja peranan yang dimainkan oleh seorang mediator dengan konsiliator berbeda. Berdasarkan hal diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa konsiliasi adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan bantuan dari seorang konsiliator. Konsiliator ini tidak berhak ikut memberikan masukan-masukan atau ide-ide karena konsiliator hanya sebatas memberikan jasa baik dengan membantu dalam hal menyelenggarakan pertemuan para pihak yang bersengketa, dimana untuk selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada pihak bersengketa tersebut. 3. Tinjauan Khusus Tentang Mediasi a) Pengertian Mediasi Mediasi secara etimologis merupakan terjemahan dari Bahasa inggris ‘mediation’, yang berarti menyelesaikan sengketa dengan menengahi, sedang pihak/ orang yang menengahi disebut mediator (Waluyo, 2001: 49). Gary goodpaster di dalam bukunya berpendapat bahwa: “Mediasi merupakan proses negosiasi penyelesaian masalah dimana suatu pihak luar, tidak berpihak, netral tidak bekerja bersama para pihak yang bersengketa untuk membantu mereka guna mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan” (Gary goodpaster, 1999: 241). Pengertian Mediasi itu sendiri mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 2. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan. 3. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa didalam perundingan. 4. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian. 5. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung. 6. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mngakhiri sengketa (Gunawan Widjaja, 2004: 59). Berdasarkan uraian-uraian diatas dan juga uraian-uraian pada bahasan sebelumnya, dapatlah ditambahkan bahwa Mediator disini berhak memberikan masukan-masukan atau ide-ide pada saat perundingan guna mencapai kata sepakat, meskipun demikian keputusan akhir tetap berada di tangan para pihak untuk mengikuti saran dari mediator tersebut atau tidak. b) Peran Mediator Kadangkala para pihak yang bekerjasama harus saling berhadapan dalam sengketa atau konflik, tetapi segan atau tidak mampu merundingkan suatu penyelesaian yang disepakati bersama. Para pihak tersebut dapat memiliki pandangan yang berbeda yang disebabkan oleh kesalahpengertian, kecurigaan, kesalahan persepsi, stereotip dan kurangnya komunikasi, bahkan dendam masa lalu. Para pihak secara sadar atau tidak sadar memiliki kebutuhan-kebutuhan psikologis untuk menuntut balas atau menyatakan kemarahan, yang mungkin timbul dari hubungan atau peristiwa-peristiwa yang terjadi diantara mereka dimasa lalu, dan oleh karena itu mereka menghalangi, merintangi, atau menghukum pihak lain. Beberapa konflik yang tampaknya sukar ditangani ini sesungguhnya dapat dirundingkan, tetapi para pihak tidak mampu berunding dengan sukses tanpa bantuan dari pihak luar. Mereka perlu pihak luar yang dapat dipercaya, tanpa kepentingan, dalam halhal tertentu, yang dapat menangani seluruh sengketa dengan tidak memihak, menganalisa sumber-sumber konflik dan rintangan-rintangan dalam negosiasi, dan campur tangan sebagaimana diperlukan guna membantu para pihak untuk memecahkan masalah-masalah penyelesaian sengketa mereka. Oleh karena itu, mediasi dalam pelaksanaannya tidak lepas dari peran mediator sebagai pihak ketiga yang membantu para pihak dalam membuat kesepakatan bersama (Agnes M. Toar et al, 1995: 13-14). Gary Goodpaster selanjutnya juga menerangkan bahwa mediator membantu para pihak agar bisa memahami pandangan masing-masing dan membantu mencari (locate) persoalan-persoalan yang dianggap penting bagi mereka. Mediator mempermudah pertukaran informasi, mendorong diskusi mengenai perbedaanperbedaan kepentingan, persepsi, penafsiran terhadap situasi dan persoalan-persoalan serta tidak hanya membiarkan, tetapi mengatur pengungkapan emosi para pihak. Mediator membantu para pihak memprioritaskan persoalan-persoalan dan menitikberatkan pembahasan mengenai tujuan dan kepentingan umum (Agnes M. Toar et al, 1995: 16). Mengenai tugas mediator, menurut Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangungsong, antara lain : 1) Sebagai tugas utama, bertindak sebagai seorang fasilisator sehingga terjadi pertukaran informasi yang dapat dilaksanakan. 2) Menemukan dan merumuskan titik persamaan dari argumentasi para pihak dan berupaya untuk mengurangi perbedaan yang timbul(penyesuaian persepsi) sehingga mengarahkan kepada satu keputusan bersama (Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangungsong, 2005: 156). Raiffa (Suyud Margono, 2005: 59-60) menjelaskan bahwa mediator mempunyai sisi terlemah dan terkuat dalam melaksanakan tugasnya. Mengenai sisi terlemah yaitu ketika mediator hanya berperan sebagai berikut : 1. Penyelenggara pertemuan. 2. Pemimpin diskusi netral. 3. Pemelihara atau penjaga aturan perundingan perundingan berlangsung secara beradap. 4. Pengendali emosi para pihak agar proses 5. Pendorong pihak/ perunding yang kurang mampu atau segan mengemukakan pandangannya. Mediator berperan kuat yaitu ketika dalam perundingan mediator mengerjakan/ melakukan hal-hal berikut : 1. Mempersiapkan dan membuat notulen perundingan. 2. Merumuskan titik temu/ kesepakatan para pihak. 3. Membantu para pihak agar menyadari bahwa sengketa bukan sebuah pertarungan untuk dimenangkan, melainkan diselesaikan. 4. Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah. 5. Membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah. Gary Goodpaster dalam bukunya ‘Panduan Negosiasi dan Mediasi’, secara ringkas menyimpulkan peran penting mediator adalah - Melakukan diagnosa konflik. - Identifikasi masalah serta kepentingan-kepntingan kritis. - Menyusun agenda. - Memperlancar dan mengendalikan komunikasi. - Mengajar para pihak dalam proses dan ketrampilan tawar-menawar. - Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting. - Penyelesaian masalah untuk menciptakan pilihan-pilihan. - Diagnosis sengketa untuk memudahkan penyelesaian problem. (Gary Goodpaster, 1999: 253). Berdasarkan uraian diatas terlihat peran mediator sangat penting dalam menentukan keberhasilan para pihak untuk mengambil keputusan dan kesepakatan-kesepakatan bersama sebagai penyelesaian sengketa antara para pihak tersebut. c) Macam-Macam Mediator Sesuai dengan isi Pasal 6 Ayat (3) dan Ayat (4) UU Nomor 30 Tahun 1999, disebutkan bahwa : Ayat (3) Dalam hal sengketa atau beda pendapat tidak dapat diselesaikan, maka kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator (Pasal 6 Ayat (3)). Ayat (4) Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator (Pasal 6 Ayat (4)). Mas Achmad Santosa dalam laporan lokakarya terbatas tentang mediasi dan Court Annexed Mediation (PPH, 2005: 21) menjelaskan bahwa Court Based Mediation, Court Conected Mediation maupun Alternative Dispute Resolution adalah sama. Hal ini memperlihatkan pengadilan dapat menjadi suatu lembaga alternatif penyelesaian sengketa, khususnya mediasi, sehingga mediator disini pun berasal dari pengadilan. Dasar hukum mediasi di pengadilan yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003. Berdasarkan uraian diatas, mediator itu sendiri secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam : (1) Mediator Dari Luar Pengadilan Mediator yang dimaksud disini jelas mediator-mediator yang tidak berasal dari lingkungan pengadilan. Mediator ini pun banyak macamnya. Moore dikutip Suyud Margono, membedakan mediator dalam tiga tipologi, yakni - Social network mediators - Authoritative mediators - Independent Mediators. (Suyud Margono, 2004: 61) (2) Mediator Dari Dalam Pengadilan Mediator disini yaitu mediator-mediator yang berasal dari lingkungan pengadilan. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 sebagai dasar hukum mediasi di pengadilan, memberikan konsekuensi adanya mediator dari dalam pengadilan. Marianna Sutadi dalam laporan lokakarya (PPH, 2005: 20) menjelaskan bahwa latar belakang dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003, yaitu dikarenakan menumpuknya perkara di Mahkamah Agung dan proses peradilan yang menjadi tidak murah dan lama. Tujuan dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tersebut adalah untuk membuat peraturan sebagai pelengkap dan mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan demi kelancaran jalannya peradilan, sehingga disini mediasi di dalam pengadilan dimaksudkan bukan untuk menggantikan fungsi pengadilan, tetapi untuk melengkapi. Pihak-pihak yang dimaksud sebagai mediator dari dalam pengadilan ini adalah para hakim yang telah memenuhi ketentuan dalam perundang-undangan. Ini berarti, hakim-hakim di pengadilan tidak hanya sebagai pihak yang mempunyai tugas untuk memutus suatu perkara tertentu, tetapi dapat pula sebagai mediator yang memfasilitasi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaiakan sengketanya secara win-win solution. d) Tahap-tahap Mediasi. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 yang menjadi dasar hukum pelaksanaan mediasi di pengadilan, menjelaskan bahwa terdapat tahap Pra Mediasi sebelum melangkah ke tahap Mediasinya. Tahap Pra Mediasi dijelaskan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 7 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tahap Pra Mediasi meliputi : 1. Majelis Hakim pada hari pertama sidang, terlebih dahulu akan mewajibkan para pihak menempuh mediasi . 2. Proses persidangan perkara akan ditunda oleh majelis hakim untuk memberikan waktu bermediasi. 3. Majelis Hakim terlebih dahulu akan memberikan penjelasan tentang mediasi dan biayanya kepada para pihak. Apabila menggunakan mediator dari luar, maka para pihak harus menanggung sendiri biayanya, sedangkan apabila menggunakan mediator dari dalam pengadilan maka tidak dipungut biaya. 4. Para pihak atau kuasa hukumnya wajib berunding untuk memilih mediator (bisa dari luar atau dalam daftar pengadilan) maksimal 1 hari kerja. 5. Apabila belum ditentukan juga, maka para pihak wajib memilih mediator yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama (maksimal 1 hari kerja). 6. Apabila belum juga ada yang dipilih, ketua majelis berwenang menunjuk mediator dari daftar mediator pengadilan dengan penetapan. 7. Apabila mediasi menggunakan mediator dari luar daftar mediator pengadilan, waktunya maksimal 30 hari kerja, dan apabila menggunakan daftar mediator dari pengadilan maka waktunya dibatasi hanya 22 hari kerja. 8. Para pihak wajib menghadap kembali pada hakim setelah 30 hari tersebut. 9. Apabila telah tercapai kesepakatan diantara para pihak, maka hasil kesepakatan tersebut dapat dimintakan penetapan dengan suatu akta perdamaian kepada hakim. 10. Apabila telah ada kesepakatan, tetapi tidak dimintakan penetapan, maka pihak penggugat wajib mencabut gugatannya. Tahap Mediasi dijelaskan dari Pasal 8 sampai dengan Pasal 14 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003. Adapun tahap-tahap mediasi dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Setelah pemilihan atau penunjukkan mediator, para pihak menyerahkan fotokopi dokumen yang memuat duduk perkara, fotokopi surat-surat yang diperlukan, dan hal lain terkait sengketa kepada mediator dan pihak yang satunya, maksimal 7 hari kerja. 2. Mediator menentukan jadwal untuk proses mediasi. 3. Mediator dapat melakukan kaukus apabila diperlukan. 4. Mediator mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka serta mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. 5. Proses mediasi ini maksimal 22 hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukkan mediator, baik tercapai ataupun tidak tercapai kesepakatan. 6. Mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu atas persetujuan para pihak dan biaya jasa ahli tersebut ditanggung para pihak berdasarkan kesepakatan. 7. Mediator membantu para pihak merumuskan secara tertulis hasil kesepakatan yang telah dicapai. 8. Klausula pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai, dimasukkan juga dalam rumusan tertulis hasil kesepakatan. 9. Mediator memeriksa materi kesepakatan sebelum ditandatangani para pihak. 10. Apabila kesepakatan telah dicapai, para pihak pun wajib menghadap kembali pada hakim dan hasil kesepakatan tersebut dapat dikukuhkan hakim sebagai akta perdamaian. 11. Apabila tidak tercapai kesepakatan atau gagal, mediator memberitahukan hal itu secara tertulis kepada hakim. 12. Hakim setelah menerima laporan gagal tersebut, maka melanjutkan kembali pemeriksaan perkara sesuai ketentuan Hukum Acara yang berlaku. 13. Pada asasnya proses mediasi yang dilakukan diatas, tidak bersifat terbuka untuk umum, tetapi dapat terbuka untuk umum apabila para pihak menghendakinya. Para sarjana dan ahli hukum banyak yang memberikan tahapan-tahapan dalam mediasi. Wiwiek Awiati dalam laporan lokakarya terbatas (PPH, 2005: 21) menguraikan tahapan-tahapan dari mediasi, yang antara lain sebagai berikut : 1. Mediator diharapkan bisa menjalin hubungan dengan pihak yang bersengketa, artinya dapat membangun kepercayan agar para pihak yakin bahwa mediator dapat menyelesaikan permasalahan. Jangan sampai dalam menjalin hubungan terlihat memihak salah satu pihak. 2. Memilih strategi untuk membimbing proses mediasi. Mengenai strategi tergantung dari mediator bagaimana meditor nyaman untuk memfasilitasi proses kemudian mengumpulkan dan menganalisa informasi latar belakang sengketa. Pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 para pihak diwajibkan untuk membuat rangkuman permasalahan sebelum proses sehingga hal ini dapat membantu mediator dalam menganalisa latar belakang permasalahan. 3. Mediator menyusun rencana mediasi yang salah satunya menyepakati berapa lama waktu proses mediasi akan dilakukan dan kemudian menyepakati bagaimana jika mediasi tidak selesai pada waktu yang telah disepakati di awal. Waktu yang disepakati di Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 adalah satu bulan (mediator luar pengadilan) dan 22 hari (mediator dalam pengadilan), tetapi bisa para pihak hanya menggunakan satu minggu tergantung hasil identifikasi persoalan. 4. Mediator harus membangun kepercayaan dan kerjasama diantara para pihak. 5. Memulai sidang mediasi. 6. Merumuskan masalah dan menyusun agenda. 7. Mengungkapkan kepentingan tersembunyi. 8. Mengembangkan pilihan sengketa. Hal ini penting. Mediator diharapkan dapat mendorong para pihak mngembangkan pilihan sengketa tidak hanya satu, tetapi diharapkan ada beberapa opsi, menunjukkan kepada para pihak apa keuntungan dan kelebihan dari opsi yang ada. Para pihak kemudian diminta memilih salah satu opsi yang paling dapat memenuhi kepentingan para pihak. 9. Menganalisa pilihan 10. Melakukan proses tawar-menawar. 11. Mencapai penyelesian formal. Gary Goodpaster menjelaskan bahwa proses mediasi secara garis besar melalui empat jenjang, Yaitu : - Menciptakan forum atau kerangka tawar menawar; - Pengumpulan dan pembagian informasi; - Tawar-menawar penyelesaian masalah; - Pengambilan keputusan. (Gary Goodpaster, 1999: 246-253). Proses mediasi dan kegiatan-kegiatan mediator didalamnya dapat digambarkan sebagai berikut: Tahap Kegiatan Mediator Pertemuan bersama Pernyataan pembukaan mediator Membimbing para pihak Menetapkan aturan dasar Membentuk Forum Mengembangkan hubungan dan kepercayaan Pernyataan-pernyataan para pihak Melakukan “hearing” Mengembangkan dan mengklarifikasi informasi Interaki model dan disiplin “Caucus-caucus” terpisah Mengembangkan informasi lnjutan Pengumpulan dan Pembagian Informasi Eksplorasi kepentingan para pihak Membantu para pihak menaksir dan menilai kepentingan Membimbing para pihak dalam tawar-menawar penyelesaian masalah. Pertemuan bersama dan “caucus-caucus” terpisah tambahan Menyusun agenda Kegiatan-kegiatan penyelesian masalah Meningkatkan kooperasi Penyelesaian Masalah Identifikasi dan klarifikasi masalah atau problem Memberi alternatif atau pilihan Pilihan penaksiran Membantu para pihak menaksir, menilai, dan membuat prioritas kepentingan mereka. “Caucus-caucus” Pengambilan Keputusan dan pertemuan-pertemuan bersama Melokasikan pertukaran, mengambil sikap, dan membantu para pihak mengevaluasi paket-paket Membantu para pihak mmperkecil perbedaan Mengukuhkan dan mengklarifikasi perjanjian Membantu para pihak membandingkan proposal penyelesaian dengan alternatif non perjanjian Para pihak yang mendesak Memikirkan formula penyelamatan muka Membantu para pihak melakukan mufakat dengan pemberi kuasa mereka Membantu para pihak membuat prtanda perjanjian. Tabel 1. Proses Mediasi dan Kegiatan Mediator Menurut Said Faisal dalam laporan lokakaya (PPH, 2005: 21), tahapan-tahapan mediasi terdiri dari : - Tahap persiapan (preliminary) - Kata sambutan mediator - Presentasi para pihak - Identifikasi hal-hal yang sudah disepakati - Pendefinisian dan pengurutan permasalahan - Negosiasi dan pembuatan keputusan - Pertemuan terpisah - Pembuatan keputusan akhir - Pencatatan keputusan - Kata penutup. D. Kerangka Pemikiran Sengketa Perdata Litigasi Non-Litigasi Mediasi Mediator Dari Luar Pengadilan Dari Dalam Pengadilan Syarat-Syarat/ Ketentuan Perlu diteliti: Proses Penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi Tahap-Tahap Mediasi Gambar 3 : Skema Kerangka Pemikiran Penegakan hukum di Indonesia, secara umum dibagi menjadi dua yaitu melalui jalur pengadilan dan diluar jalur pengadilan. Melalui jalur pengadilan sebagaimana kita ketahui, menggunakan hukum acara yang telah diterapkan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Sengketa perdata yang diselesaikan melalui jalur pengadilan, maka diperiksa memakai hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia. Pemeriksaan perkara perdata melalui pengadilan tersebut dilakukan dengan pembacaan gugatan, pembacaan jawaban gugatan, replik, duplik, pembuktian, konklusi para pihak, dan putusan hakim. Hal ini sangat berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan. Jalur diluar pengadilan atau sering juga disebut sebagai jalur non-litigasi, lebih ditonjolkan pada perundingan yang dilakukan para pihak guna terciptanya kesepakatan yang saling menguntungkan (win-win solution). Berbeda dengan litigasi, dimana pada akhir putusan akan terdapat pihak yang menang dan pihak yang kalah. Penyelesaian sengketa non-litigasi ini, secara umum dibagi menjadi dua yaitu melalui arbitrase dan melalui alternatif penyelesaian sengketa atau APS. Sesuai ketentuan dalam UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Sengketa pada Umumnya, APS dibagi lagi menjadi empat cara, yaitu konsultasi, negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Sengketa perdata yang diselesaikan melalui mediasi dalam hal ini akan dibantu oleh mediator. Mediator disini dapat dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa, baik yang berasal dari dalam pengadilan maupun yang berasal dari luar pengadilan. Mengenai mediator dari pengadilan diatur tersendiri dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003. Mediator-mediator didalam membantu menyelesaiakan sengketa perdata disini tidaklah terlepas dari pedoman-pedoman ataupun panduan yang sudah ditentukan untuk seorang mediator. Mengenai hal ini, penulis mencoba untuk mengetahui langkah-langkah yang dilakukan mediator tersebut dengan kerangka pemikiran diatas. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN C. HASIL PENELITIAN Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh data yang disajikan sebagai berikut : Terkait penelitian hukum ini, terdapat sengketa perdata yang telah diajukan gugatannya dan kemudian dilakukan usaha perdamaian melalui mediasi. Gugatan yang dimaksud yaitu gugatan tentang penagihan uang. Gugatan tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri wates pada tangal 19 April 2004 oleh kuasa hukum penggugat. Pada tangal 20 April 2004, gugatan tersebut dinyatakan telah diterima dan diberi Nomor Perkara : 7/ Pdt.G/ 2004/ PN.Wt. Identitas para pihak yaitu pihak penggugat dalam sengketa ini adalah Ny. THS, pekerjaan wiraswasta, dan beralamat di Dusun Mutihan Rt/Rw : 24/11, Desa Mutihan, Kec. Wates, Kab. Kulon Progo, Prop. D.I.Yogyakarta. Penggugat dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya yaitu A. Muslim Murjiyanto, S.H. dan Widodo Priyanta, S.H. yang masing-masing berprofesi sebagai pengacara/penasehat hukum dan berkantor di “KANTOR ADVOKAT MUSLIM, S.H. & Patners”, Jalan Imogiri Barat Km 4 Randubelang, Bangunharjo, Bantul, Yogyakarta. Pihak tergugat dalam sengketa ini yaitu PT. RSI dengan alamat Kompleks Perdagangan Gawok Ruko Nomor 10, Kal. Wates, Ke. Wates, Kab. Kulon Progo. Dalam perkembagannya, pihak tergugat ini diwakili oleh kuasa hukumnya yaitu Ahmad Khairun, S.H., Eny Puspita, S.H., dan Minarni Suprihatin, S.H., yang merupakan pembela umum pada Lembaga Konsultasi dan Lembaga Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (LKBH-UII), Yogyakarta. LKBH-UII ini berkantor di Jalan Lawu Nomor 3 Kotabaru, Yogyakarta 55224. Terjadinya sengketa ini berawal dari pihak tergugat yang tidak mau mengembalikan uang pinjaman yang dipinjamnya dari pihak penggugat setelah waktu yang sangat lama. Tergugat yang dalam hal ini melakukan peminjaman kepada pihak penggugat yaitu Sdr. DR dalam kapasitasnya sebagai Direktur Utama PT. RSI. Peminjaman itu dilakukannya untuk biaya bekal pemberesan pengurusan izin PT RSI ke Jakarta, mengingat keuangan PT. RSI tersebut dalam keadaan kosong (tidak punya uang). Pihak penggugat berdasarkan surat gugatan yang diajukannya menyatakan bahwa hutanghutang tersebut yaitu : - Tertanggal 31 Januari 1989 sebesar Rp 2.546.000,- - Tertanggal 21 Februari 1989 sebesar Rp. 15.000,- - Tertanggal 31 Maret 1989 sebesar Rp 500.000,- - Tertanggal 28 Mei 1989 sebesar Rp 50.000,- - Tertanggal 12 Agustus 1989 sebesar Rp. 30.000,Mengenai utang tersebut, pihak tergugat sama sekali belum pernah membayar baik sebagian maupun keseluruhan. Oleh karena itu pada tanggal 18 Desember 1994 diadakan musyawarah para pemegang saham dan telah dibuat keputusan yang menyatakan bahwa perhitungan hutang pokok tergugat kepada penggugat menjadi Rp. 8.207.870,- (Delapan juta dua ratus tujuh ribu delapan ratus tujuh puluh rupiah). Mengenai kompensasi bunga atas hutang tergugat setiap bulannya sebesar 10 % dan pemberian keuntungan atau bunga yang belum dibayar dimasukkan menjadi pokok pinjaman, sehingga menurut perhitungan penggugat total antara pinjaman pokok dengan kompensasi bunga adalah Rp.242.460.203.093,- dengan lamanya pinjaman sampai perkara ini diajukan sejak 18 Desember 1994 s/d 18 Desember 2003 adalah 108 bulan. Tergugat disini juga diminta untuk membayar denda keterlambatan pembayaran yang dihitung sejak perkara ini didaftarkan di Pengadilan Negeri Wates sampai dengan tergugat melakukan pelunasan pembayaran setiap bulannya sebesar 10% x Rp 242.460.203.093,- = Rp 24.246.02.000,-. Berdasarkan surat gugatan penggugat, sebelum mengajukan perkara ini ke Pengadilan Negeri Wates sebenarnya penggugat telah berulang kali melakukan penagihan kepada tergugat, tetapi tergugat belum juga memberikan kepastian dan berkesan mengulur waktu. Itulah mengapa akhirnya sengketa ini berujung ke Pengadilan Negeri Wates. D. PEMBAHASAN 1. Prosedur atau Tata Cara Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Perdata . Berdasarkan wawancara dengan hakim Dedeh Suryanti, S.H. selaku ketua majelis hakim dalam perkara Nomor 7/ Pdt.G/ 2004/PN. Wt, pada hari Senin, tanggal 1 Mei 2006 dan hakim Purwanto, S.H. selaku mediator dalam perkara Nomor 7/ Pdt.G/ 2004/PN. Wt, pada Senin, tanggal 8 Mei 2006, maka diperoleh data sebagai berikut : Proses atau tata cara mediasi dalam penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan Negeri Wates terdapat dua tahap yaitu : a). Tahap Pra Mediasi Penggugat memasukkan gugatannya pada tanggal 19 April 2004, kemudian pada tanggal 20 April 2004 gugatan itu dinyatakan diterima dengan Nomor Perkara 7/ Pdt.G/2004/ PN. Wt. Ketua Pengadilan Negeri Wates berselang satu hari setelah diterimanya perkara itu, kemudian langsung menentukan Majelis Hakim pemeriksa perkara tersebut dengan Surat Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Wates Nomor 7/ Pdt.G/ 2004/ PN. Wt dan ditetapkan di Wates tertanggal 21 April 2004 oleh Diah Siti Basariah, S.H., M.Hum selaku Ketua Pengadilan Negri Wates pada saat itu. Majelis Hakim yang ditunjuk untuk menangani perkara ini yaitu - Dedeh Suryanti, S.H. sebagai Hakim Ketua - Budi Prasetyo, S.H. sebagai Hakim Anggota - Sri Ari Astuti, S.H. sebagai Hakim Anggota - R. Sukamta sebagai Panitera Pengganti Dedeh Suryanti, S.H. setelah menerima Penetapan Ketua Pengadilan Wates mengenai Penunjukkan Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Nomor 7/ Pdt.G/ 2004/ PN. Wt pada tanggal 21 April 2004, saat itu juga mengeluarkan Penetapan Hari Sidang dalam kapasitasnya sebagai Ketua Majelis Hakim Pemeriksa Perkara tersebut. Hari sidang yang telah ditetapkan itu adalah hari Rabu tanggal 5 Mei 2004. Berdasarkan Penetapan Ketua Majelis Hakim tersebut, maka dilakukanlah pemanggilan kepada para pihak yang bersengketa dan kuasa hukumnya. Terkait kuasa hukum penggugat yang berkedudukan hukum di Bantul, maka dalam hal ini Pengadilan Negeri Wates meminta Pengadilan Negeri Bantul untuk memanggil kuasa hukum penggugat tersebut. Hal ini jugalah yang menjadi pertimbangan ketua majelis hakim menentukan hari sidang pertama berselang kurang lebih dua minggu setelah diterimanya Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Wates tertanggal 21 April 2004. Ketua Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Nomor 7/ Pdt.G/ 2004/PN. Wt setelah hari pertama sidang yang telah ditentukan tiba, maka segera membuka persidangan dan menyatakan bahwa persidangan tersebut terbuka untuk umum. Pada hari pertama sidang, yaitu tanggal 5 Mei 2004, ternyata para pihak tidak semuanya bisa hadir meskipun telah dilakukan pemanggilan secara patut. Pihak yang hadir pada sidang pertama adalah pihak penggugat yang diwakili oleh kuasa hukumnya A. Muslim Murjiyanto, S.H. berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 5 Maret 2004, bertindak untuk dan atas nama penggugat yaitu Ny. THS. Mengenai pihak tergugat, ketidakhadirannya tidak ada pemberitahuan yang jelas dan tidak pula menyuruh wakilnya yang sah untuk mewakilinya di persidangan. Ketidakhadiran pihak tergugat tersebut mengakibatkan majelis hakim menunda persidangan untuk memberikan kesempatan kepada tergugat hadir pada sidang berikutnya. Pada hari itu juga, majelis hakim memerintahkan pihak penggugat untuk hadir lagi pada sidang berikutnya yaitu tanggal 12 Mei 2004 tanpa surat panggilan lagi. Jurusita dalam hal ini diperintahkan untuk memanggil kembali pihak tergugat secara resmi pada tanggal 12 Mei 2004. Hari sidang kedua, para pihak semuanya hadir dengan diwakili oleh para kuasa hukumnya, kemudian diperiksa surat-surat kuasanya oleh majelis hakim. Hal yang dilakukan selanjutnya yaitu ketua majelis hakim menerangkan kepada para pihak bahwa dalam pemeriksaan perkara perdata, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003, mewajibkan hakim untuk menempuh upaya perdamaian melalui Mediasi terlebih dahulu. Ini berarti Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Perdata Nomor 7/ Pdt.G/204/PN. Wt, telah memenuhi syarat yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003. Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 menyebutkan bahwa ” Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator”. Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 menjelaskan lebih lanjut bahwa “Pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak yang berperkara agar lebih dahulu menempuh mediasi”. Ketua majelis hakim setelah menerangkan kepada para pihak bahwa perkara harus melalui mediasi terlebih dahulu, maka ketua hakim majelis tersebut kemudian menjelaskan pula bahwa di Pengadilan Negeri Wates terdapat mediator-mediator yang dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan perkara melalui mediasi ini. Daftar mediator di Pengadilan Negeri Wates itu sendiri didasarkan pada Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Wates Nomor : W22. Db. 386- KP.11. TH 2004 Tentang Penunjukkan Mediator Di Pengadilan Negeri Wates, yang ditetapkan pada tanggal 27 April 2004. Terkait dengan daftar mediator tersebut, ketua majelis hakim menjelaskan kepada para pihak bahwa mediator-mediator itu dapat dipilih apabila para pihak tidak mau menggunakan mediator dari luar dan dijelaskan pula oleh ketua majelis hakim bahwa apabila para pihak menggunakan mediator dari daftar mediator pada Pengadilan Negeri Wates, maka para pihak sama sekali tidak dipungut biaya. Hal ini berbeda apabila para pihak menggunakan jasa mediator dari luar. Para pihak disini diberikan pula pilihan oleh ketua majelis hakim apakah akan menggunakan mediator yang terdapat di daftar mediator pada Pengadilan Negeri Wates ataukah mau menggunakan mediator dari luar. Pada saat itu para pihak memilih untuk menggunakan mediator yang terdapat dalam daftar mediator di Pengadilan Negeri Wates. Ketua majelis hakim kemudian menanyakan lagi apakah para pihak akan memilih sendiri mediator yang terdapat dalam daftar tersebut atau akan menyerahkan kepada majelis hakim untuk menetapkan mediator. Hal ini dikarenakan para pihak diberi kewenangan untuk menentukan sendiri mediator yang akan membantunya dalam kurun waktu paling lama satu hari kerja. Menanggapi pertanyaan tersebut, para pihak sepakat untuk menyerahkan penetapan mediator dari pengadilan itu kepada ketua majelis hakim. Oleh karena itu, pada hari sidang berikutnya telah ditentukan seorang mediator dari Pengadilan Negeri Wates yaitu Purwanto, S.H. (Hakim di Pengadilan Negeri Wates) dan dibantu oleh Sdr. Paridjan (Panitera Pengganti di Pengadilan Negeri Wates) sebagai notulen berdasarkan Penetapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Wates Nomor 7/Pdt.G/2004/PN. Wt tertanggal 19 Mei 2004. Berdasarkan keterangan diatas, menunjukkan bahwa majelis hakim pemeriksa perkara ini telah memenuhi syarat-syarat dalam tahap pra mediasi. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2003 yang menyebutkan bahwa “Dalam waktu paling lama satu hari kerja setelah sidang pertama, para pihak atau kuasa hukum mereka wajib berunding guna memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan atau mediator di luar pengadilan”. Para pihak dalam Perkara Nomor 7/Pdt.G/2004/PN. Wt ini telah berhasil menentukan pilihan bahwa akan menggunakan mediator yang dimiliki oleh pengadilan, dan begitu pula untuk penetapan mediator yang akan dimintai bantuannya, diserahkan sepenuhnya kepada ketua majelis hakim pada saat itu juga (hari sidang kedua), sehingga dalam hal ini waktu paling lama satu hari kerja telah terpenuhi. Keterangan diatas juga telah menunjukkan bahwa Pasal 3 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 , yang menyebutkan bahwa “Hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak tentang prosedur dan biaya mediasi”, juga telah dipenuhi oleh majelis hakim pemeriksa perkara tersebut. Hal ini diwujudkan oleh ketua majelis hakim yang menjelaskan kepada para pihak bahwa apabila para pihak menggunakan mediator yang dimiliki oleh pengadilan, maka tidak akan sama sekali dipungut biaya. Namun tidak demikian apabila menggunakan jasa mediator dari luar, yang biayanya harus ditanggung sendiri oleh para pihak berdasarkan kesepakatan bersama. Ketua majelis hakim juga menjelaskan bahwa prosedur pemilihan mediator ini dibatasi hanya dalam kurun waktu satu hari kerja. Mengenai Penetapan Majelis Hakim Tentang Penunjukkan Mediator Nomor 7/ Pdt.G/2004/PN.Wt dengan tanggal penetapan 19 Mei 2004, hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa “Jika dalam satu hari kerja para pihak tidak dapat bersepakat dalam memilih seorang mediator dari daftar yang telah disediakan oleh pengadilan, ketua majelis berwenang untuk menunjuk seorang mediator dari daftar mediator dengan penetapan”. Pada sidang kedua, para pihak memang telah menentukan untuk menggunakan mediator dari pengadilan, namun ketika itu para pihak tidak menentukan mediator mana yang terdapat dalam daftar mediator yang akan dimintai bantuannya, karena pada saat itu para pihak menyerahkan sepenuhnya keputusan tersebut kepada majelis hakim. Ada kemungkinan mediator yang ditentukan oleh ketua majelis hakim tersebut tidaklah disukai oleh para pihak. Mengenai hal ini, mediasi akan tetap dilakukan dengan mediator yang telah ditentukan ketua majelis hakim dengan penetapannya, karena memang hal itu telah menjadi wewenangnya sesuai Pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003. Ketua majelis ketika itu memang menanyakan apakah mediator dalam daftar pengadilan ini akan dipilih sendiri atau akan diserahkan kepada majelis hakim. Hal ini didasarkan pada pertimbangan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, meskipun disini ketua majelis juga menjelaskan bahwa sebenarnya para pihak punya waktu satu hari kerja untuk menentukannya. Pada kenyataannya para pihak justru sepakat untuk menyerahkan langsung kepada majelis hakim, sehingga ini jelas sangat membantu proses persidangan karena mengurangi satu jadwal sidang dan tentu saja sangat membantu kerja hakim yang mempunyai jadwal sidang yang cukup padat dalam penanganan kasus lainnya. Oleh karena itu hal tersebut diatas tidaklah bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003, sebab hal tersebut juga merupakan permintaan para pihak itu sendiri. Majelis hakim pun dalam menangani perkara perdata, khususnya dalam tahap pra mediasi memang tidak terpaku sekali dengan semua ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003, namun berusaha untuk fleksibel disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat pelaksanaan karena dikhawatirkan jika hal tersebut dilakukan akan menyebabkan persidangan menjadi sangat kaku dan hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Meskipun demikian, tindakan-tindakan yang diambil tersebut, bukanlah hal-hal yang bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku. Demikian salah satu pernyataan yang diberikan oleh Dedeh Suryanti, S.H. selaku majelis hakim dalam perkara ini. Tindakan lain yang juga dilakukan di Pengadilan Negeri wates meskipun di dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tidak diatur keberadaannya tetapi merupakan hal yang penting yaitu mengenai Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Wates Nomor : W22. Db. 386- KP.11. TH 2004 Tentang Penunjukkan Mediator Di Pengadilan Negeri Wates, yang ditetapkan pada tanggal 27 April 2004. Pada Pasal 6 Ayat (1) disebutkan bahwa “Mediator pada setiap pengadilan berasal dari kalangan hakim dan bukan hakim, yang telah memiliki sertifikat sebagai mediator”. Ini berarti Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 mengatur bahwa seorang mediator dari hakim pun harus pula mempunyai sertifikat. Sertifikat mediator itupun hingga saat ini belumlah dapat ditunjukkan oleh hakim-hakim yang berperan sebagai mediator karena memang hakim-hakim tersebut belumlah mempunyai sertifikat. Meskipun demikian majelis hakim pemeriksa perkara perdata sejak menerima Surat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tanggal 11 September 2003 tentang Peraturan Mahkamah Agung RI mengenai Prosedur Mediasi di Pengadilan, sudah diwajibkan untulk melaksanakan mediasi dalam setiap pemeriksaan perkara perdata walaupun hakim-hakim belumlah bersertifikat. Hal ini dikarenakan memang belumlah ada panggilan dari Mahkamah Agung untuk mengikuti pelatihan menjadi seorang bagi para hakim, terutama untuk pengadilan-pengadilan yang berada di daerah-daerah. Untuk hakim-hakim didaerah diwilayah Jabotabek memang telah diberikan pelatihan-pelatihan untuk menjadi mediator, sehinga dalam hal ini hakim-hakim tersebut telah bersertifikat Terkait hal ini, Ketua Pengadilan Tinggi Semarang memerintahkan hakim-hakim di Pengadilan Negeri Wates untuk segera melaksanakan mediasi, dengan daftar mediator yang dibuat berdasarkan Penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri Wates. Dengan demikian, meskipun mediator di Pengadilan Negeri Wates belum bersertifikat namun cukup dengan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Wates Nomor : W22. Db. 386- KP.11. TH 2004 Tentang Penunjukkan Mediator Di Pengadilan Negeri Wates, yang ditetapkan pada tanggal 27 April 2004. Berdasarkan Penetapan ini maka di Pengadilan Negeri Wates telah terdapat 5 hakim yang terdaftar sebagai mediator, yaitu : 1. Diah Siti Basariah, S.H., M.Hum 2. Dedeh Suryanti, S.H. 3. Purwanto, S.H. 4. Budi Prasetyo, S.H. 5. Suradi, S.H. Akan tetapi, dengan adanya mutasi hakim, maka mediator yang terdaftar di Pengadilan Negeri Wates hingga saat ini hanya ada dua yaitu Dedeh Suryanti, S.H. dan Purwanto, S.H. Penunjukkan hakim-hakim dalam daftar mediator tersebut tidaklah mempunyai persyaratan tertentu, karena memang dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tidak mengatur lebih lanjut. Hakim yang mengikuti pelatihan, maka secara otomatis dia akan mendapatkan sertifikat yang kemudian menjadikannya mediator di pengadilan dimana dia ditempatkan. Namun karena didaerah Jawa Tengah dan D.I.Yogyakarta belum pernah ada pelatihan mediasi, maka di Pengadilan Negeri Wates penunjukkan hanya didasarkan pada kesenioritasan. Mengenai Penetapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Wates Nomor 7/Pdt.G/2004/PN. Wt tertanggal 19 Mei 2004 yang menetapkan Sdr. Purwanto, S.H. sebagai mediator dan dibantu oleh Sdr. Paridjan (Panitera Pengganti di Pengadilan Negeri Wates) sebagai notulen, sebenarnya berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003. Hal ini dikarenakan pada Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tersebut hanya mnyebutkan majelis hakim menunjuk mediator dengan penetapan, dan tidak terdapat aturan yang menyebutkan mengenai penunjukkan notulen. Pertimbangan majelis hakim menunjuk juga seorang notulen di sini, tidak lain adalah untuk membantu mediator itu sendiri. Hal ini dikarenakan, mediator di pengadilan juga merupakan hakim yang juga mempunyai tugas dan tanggungjawab yang besar untuk menangani kasus-kasus yang lainnya juga, berbeda halnya dengan mediator dari luar biasanya murni berprofesi sebagai mediator. Untuk itulah mengapa ditunjuk pula seorang notulen yang sebenarnya adalah panitera pengganti di Pengadilan Negeri Wates tersebut, untuk membantu kerja mediator. Mengenai notulen tersebut sebenarnya hanya diterapkan di Pengadilan Negeri wates, sehingga belum tentu dapat ditemui di Pengadilan Negeri lainnya. Hari sidang berikutnya, yaitu sidang ketiga tertanggal 19 Mei 2004, para pihak hadir semuanya dengan diwakilkan oleh para kuasa hukumnya. Agenda sidang ketiga ini adalah pembacaan Penetapan Mediator oleh ketua majelis hakim. Selanjutnya ketua majelis hakim memberikan waktu 22 hari kepada mediator untuk melakukan perdamaian melalui mediasi. Hal ini mengacu pada Pasal 9 Ayat (5) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa “Dengan hasil akhir tercapainya kesepakatan atau ketidaksepakatan, proses mediasi berlangsung paling lama dua puluh dua hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukkan mediator”. Ketua majelis hakim pada sidang ketiga itu, sekaligus juga menetapkan hari sidang berikutnya untuk mendengarkan laporan dari mediator mengenai usaha mediasi yang dilakukannya tersebut. Hari sidang berikutnya tersebut langsung dijatuh pada tanggal 17 Juni 2004. Mengenai penetapan hari sidang setelah dilakukan penundaan sidang sebelumnya dimaksudkan untuk mendengarkan laporan dari mediator. Adanya penundaan sidang untuk memberikan kesempatan pada mediator melaksanakan mediasi, ini menunjukkan majelis hakim telah memenuhi syarat dalam Pasal 3 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003, yaitu bahwa “ Hakim wajib menunda proses persidangan perkara itu untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi”. Mengenai penetapan hari sidang berikutnya terdapat dua pendapat, yaitu : (a). Pendapat yang menetapkan langsung hari dan tanggal sidang tanpa menunggu adanya laporan mediator. Maksudnya disini yaitu bahwa dengan telah diketahui lamanya proses mediasi di pengadilan adalah 22 hari (Pasal 9Ayat (5) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003), maka majelis hakim pada hari sidang pembacaan penetapan mediator langsung dapat menentukan hari dan tanggal sidang berikutnya untuk tanpa menunggu adanya laporan dari mediator sebelumnya. Pertimbangan yang diambil dalam pendapat ini yaitu terkait pada asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, sehingga dalam hal ini majelis hakim tak perlu lagi mengeluarkan relas panggilan kepada para pihak untuk persidangan berikutnya setelah proses mediasi terlewati (22 hari) karena majelis hakim telah meminta langsung kepada para pihak untuk hadir lagi di persidangan pada waktu yang telah ditentukan tersebut. Ini merupakan keuntungan bagi penggugat karena jelas tidak dikeluarkan biaya lagi untuk melakukan pemanggilan para pihak. (b). Pendapat yang menetapkan hari sidang setelah adanya laporan dari mediator. Maksud dari pendapat ini adalah bahwa majelis hakim akan menetapkan hari sidang setelah mediator memberikan laporannya kepada majelis hakim baik berhasil atau tidaknya proses medias yang dilakukannya. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa apabila proses mediasi tersebut telah berhasil dilakukan sebelum waktu yang ditentukan habis, maka majelis hakim pun dapat segera melakukan pemanggilan untuk mempercepat waktu sidang selanjutnya, sehingga ini jelas lebih menguntungkan untuk proses keseluruhan pemeriksaan perkara tersebut. Mengenai kedua pendapat tersebut sebenarnya sama saja akan memakan biaya juga untuk pemanggilan apabila pada pendapat pertama, setelah ditentukan hari dan tanggal berikutnya, ternyata tidak jadi dilakukan karena proses mediasi telah dinyatakan berhasil dilakukan sebelum waktu yang ditentukan terlampaui. Ini terkait kembali lagi kepada asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, sebab apabila ternyata tetap menunggu sampai pada hari dan tanggal sidang yang telah ditentukan terdahulu, maka akan menunda waktu dan memperlambat proses selesainya perkara dan tentu saja akan merugikan kedua belah pihak. Hal inilah sebenarnya yang terjadi pada Perkara Nomor 7/ Pdt.G/ 2004/PN. Wt ini, yang mana setelah hari dan tanggal sidang berikutnya telah ditentukan ternyata proses mediasi berhasil lebih cepat. Untuk itu, majelis hakim memutuskan untuk memajukan hari persidangan dari hari yang telah ditentukan sebelumnya. Majelis hakim kemudian membuat penetapan mengenai hari sidang dengan disertakan pula pertimbangan-pertimbangan yang menjadi alasan dirubahnya hari sidang menjadi lebih cepat. Jurusita lalu diperintahkan untuk melakukan pemanggilan kepada para pihak atas dasar penetapan tersebut, sehingga dalam hal ini sebenarnya tetap saja dikelurkan biaya untuk pembuatan penetapan dan relas panggilan. b). Tahap Mediasi Majelis hakim pada perkara Nomor 7/ Pdt.G/ 2004/PN. Wt berdasarkan Penetapan Majelis Hakim Nomor 7/ Pdt.G/ 2004/ PN. Wt tertanggal 19 Mei 2004 telah menunjuk Sdr. Purwanto, S.H. sebagai mediator dalam perkara Nomor 7/ Pdt.G/2004/PN.Wt dan menunjuk Sdr. Paridjan (Panitera Pengganti) sebagai notulen dalam proses mediasi dalam perkara Nomor 7/ Pd.G/2004/PN. Wt. Atas dasar tersebut, Sdr. Purwanto, S.H. yang juga merupakan hakim pada Pengadilan Negeri Wates ini, hadir dalam sidang ketiga dalam proses pemeriksaan perkara untuk mendengarkan pembacaan penetapan mediator oleh ketua majelis hakim. Ketua majelis hakim kemudian memperkenalkan Sdr. Purwanto, S.H. selaku mediator kepada para pihak yang bersengketa. Pada sidang tersebut majelis hakim memberikan penjelasan bahwa batas waktu yang diberikan untuk menyelesaikan sengketa melalui mediasi hanya dua puluh hari kerja, kemudian pada saat itu juga langsung majelis hakim menentukan hari sidang berikutnya untuk mendengarkan laporan dari mediator. Majelis hakim setelah selesai memberikan penjelasannya kemudian menyerahkan perkara kepada mediator sepenuhnya untuk diusahakan perdamaian melalui mediasi. Mediator kemudian menempuh langkah-langkah untuk memulai proses ataupun tahap mediasi. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut : (1) Meminta Para Pihak Menghadap Mediator. Majelis hakim setelah menyerahkan perkara kepada mediator untuk dilakukan mediasi, maka pada saat itu juga mediator meminta para pihak untuk menghadap kepadanya di ruang mediasi pada Pengadilan Negeri Wates. Kedua pihak dikumpulkan di ruang mediasi itu adalah untuk mendengarkan penjelasan mediator tentang mediasi. Mediator pada saat itu menjelaskan bagaimana mediasi itu, apa maksud dan tujuan dilakukan mediasi, dengan harapan para pihak bisa kooperatif dalam pelaksanaan mediasi itu nantinya. (2) Menentukan Jadwal Pertemuan. Pertemuan ini dibuat dalam rangka pelaksanaan mediasi, dan penentuan jadwal ini pun dilakukan sekaligus pada saat para pihak menghadap mediator di ruang mediasi. Jadwal yang berhasil disepakati yaitu per tiga hari sekali, sehingga apabila dihitung sampai batas akhir waktu yang diberikan untuk mediasi (22 hari), maka kurang lebih akan ada tujuh kali pertemuan. Akan tetapi, ternyata dalam kasus ini para pihak sama-sama kooperatif sehingga kedua pihak tersebut selalu hadir dalam pertemuan yang telah dijadwalkan. Akibatnya baru sampai pada pertemuan ke-empat, mediasi tersebut telah mencapai kesepakatan. Penentuan jadwal pertemuan mediasi ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 9 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003, yang menyebutkan “Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi”. (3) Melakukan Kaukus Kaukus yaitu pertemuan bersama mediator yang dilakukan secara terpisah antara penggugat dengan tergugat. Para pihak disini dimintai pendapatnya oleh mediator secara terpisah, di ruangan yang sama yaitu ruang mediasi pada Pengadilan Negeri Wates tetapi berbeda waktu. Pertama, mediator melakukan kaukus pada penggugat. Pada saat itu penggugat ditanyakan pendapatnya mengenai perkara tersebut, dan penggugat juga ditanyakan mengenai apa saja yang dikehendaki berkaitan dengan hal tersebut. Mediator setelah mendengar keterangan-keterangan dari penggugat, lalu menjelaskan kepada penggugat apa yang menjadi kelemahannya. Pada saat itu, mediator mendapati bahwa PT. RSI mempunyai hutang pada pihak ketiga yang ternyata adalah istri dari salah satu pemegang saham. Penggugat dalam hal ini memberikan penawannya sangat tinggi atas hutang tersebut, sehingga mediator mengatakan apabila hal tersebut tetap dilakukan maka tidak akan berhasil. Mediator dalam hal ini juga mendapati bahwa ternyata bunga 10 % atas hutang-hutang itu, telah terjadi kesepakatan baru, dimana dengan adanya perjanjian baru tersebut bunga atas hutang turun mejadi 2 %. Akibatnya setelah dihitung kembali hutanghutang tersebut berkurang banyak sekali. Kedua, mediator melakukan kaukus pada pihak tergugat, ditempat sama tapi berbeda waktu. Pada saat itupun mediator menanyakan hal yang sama seperti pada saat melakukan kaukus pada penggugat. Mediator menanyakan bagaimana pendapat dari pihak tergugat, dan ditanyakan pula apa yang dikehendaki dari pihak tergugat. Tergugat ketika itu memberikan penawaran yang terlalu rendah, dengan alasan bidang usaha PT RSI tersebut tidaklah berjalan dengan baik. Mediator disini juga menjelaskan bahwa apabila status dari PT RSI ini sudah terdaftar di Departemen Kehakiman, maka akibatnya pemegang saham ikut juga bertanggungjawab atas hutang sesuai dengan besar kecilnya saham yang dimilikinya. Pemegang saham yang merupakan suami dari si beriutang (penggugat) jelas akan ikut bertanggungjawab membayar hutanghutang ini, apalagi suami tersebut adalah pemegang saham terbesar (2/3 saham). Mediator kemudian menjelaskan kalau hal itu tetap saja dipegang oleh pihak tergugat, maka akan sangat sulit untuk dilakukan perdamaian. Pelaksanaan kaukus itu sendiri diperbolehkan didalam Pasal 9 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003, yang menjelaskan sebagai berikut “Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus”. (4) Mempertemukan Kedua Pihak (a) Pertemuan Pertama. Mediator setelah menyelesaikan kaukus, lalu melaksanakan jadwal berikutnya yaitu mengadakan pertemuan dengan kedua belah pihak dalam waktu dan tempat yang sama. Pada pertemuan pertama yang dihadiri oleh kedua belah pihak ini, mediator menerangkan fakta-fakta yang ada. Mediator menjelaskan bahwa tergugat dalam hal ini selain membayar hutangnya, juga diharuskan membayar bunga dan denda keterlambatan membayar, sehingga kalau tetap bersikeras pada penawaran yang rendah maka perdamaian tidak aakn berhasil. Mediator juga menambahkan, status PT RSI yang sudah terdaftar di Departemen akan mengakibatkan pemegang saham terbesarnya ikut membayar utang kepada istrinya sendiri apabila gugatan ini menang di persidangan. Terhadap penggugat, mediator juga menjelaskan bahwa jumlah hutang diminta diturunkan untuk menghormati perjanjian baru yang telah dibuat kesalahpahaman pihak penggugat dan dalam akibat dari mengartikan perjanjian baru tersebut. Akhirnya kedua belah pihak mohon waktu kepada mediator untuk berfikir dan akan bertemu lagi pada pertemuan berikutnya. (b) Pertemuan Kedua Pada hari pertemuan kedua tiba, para pihak didampingi oleh kuasa hukumnya masing-masing, begitu pula pada pertemuan sebelumnya. Hal ini diperbolehkan seperti yang tertulis dalam Pasal 9 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003, bahwa “Dalam proses mediasi para pihak dapat didampingi oleh kuasa hukumnya”. Meskipun demikian, apabila kuasa hukum tersebut akan melakukan suatu tindakan terkait kasus ini, maka harus ada persetujuan tertulis dari pihak yang diwakilinya. Mediator disini justru selalu menekankan agar para pihaknya langsung yang hadir bukan kuasa hukumnya, ataupun kuasa hukumnya hadir hanya sebatas mendampingi saja. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan agar tidak terjadi halhal yang justru bisa mempersulit dan memperlambat terjadinya kesepakatan dari para pihak karena kehadiran kuasa hukum tersebut. Itulah mengapa mediator selalu menekankan agar para pihaknya yang hadir sehingga pada saat perdamaian, yang berdamai adalah benar-benar para pihak dan bukan kuasa hukumnya. Pada pertemuan kedua, setelah terjadi perundingan antara para pihak dengan dibantu mediator untuk menemukan pilihan yang terbaik, akhirnya penggugat pun mau menurunkan jumlah hutang tergugat. Tergugat sendiri mau membayar hutang dengan penawaran yang tidak terlalu rendah seperti sebelumnya. (c) Pertemuan Ketiga Pada pertemuan ketiga ini masih melanjutkan perundingan pada pertemuan sebelumnya, yaitu meskipun telah sepakat pihak penggugat menurunkan penawaran dan pihak tergugat menaikkan penawaran, tetapi jumlah nominalnya belumnya terjadi kesepakatan. Perundingan pun dilanjutkan kembali dengan bantuan mediator. Akhirnya perundingan itupun berhasil menentukan nilai nominal yang disepakati oleh kedua belah pihak. (d) Pertemuan Keempat Pertemuan masih diadakan karena pada pertemuan ketiga belum sempat menentukan tentang siapa yang akan menanggung beban biaya perkara. Mediator kemudian membantu para pihak untuk menyelesaikan permasalahan ini. Akhirnya disepakati beban biaya perkara dibagi dua, jadi masing-masing pihak mendapatkan setengah bagian. Pertemuan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai konsep kesepakatan yang telah dicapai selama proses mediasi sebelumnya. Mediator kemudian meminta para pihak untuk masing-masing mengajukan rancangan atau konsep kesepakatan yang akan ditanda-tangani. Para pihak menyetujuinya dan sepakat untuk membawanya pada pertemuan berikutnya. (e) Pertemuan Kelima Agenda pada pertemuan kelima yaitu pengajuan konsep kesepakatan oleh para pihak. Pada saat itu para pihak sudah siap dengan konsep kesepakatan masing-masing dan begitu pula mediator juga telah membuat konsep kesepakatan sendiri. Konsep kesepakatan dari para pihak kemudian diserahkan pada mediator untuk diperiksa. Hal itu dilakukan karena diwajibkan dalam ketentuan Pasal 11 Ayat (11) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa “Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator wajib memeriksa materi kesepakatan untuk menghindari adanya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum”. Mediator melakukan pemeriksaan konsep kesepakatan pada hari itu juga, dan ditemukan klausul yang seharusnya tidak boleh dimasukkan, ternyata dimasukkan oleh para pihak. Mediator kemudian menjelaskan bahwa dalam kesepakatan mediasi tidak boleh ada klausul yang bertentangan dengan hukum, sehingga klausul tersebut harus dibuang dari konsep kesepakatan. Konsep tersebut kemudian diperbaiki oleh mediator, dan ditunjukkan kepada para pihak lagi. Penggugat dan tergugat dalam hal ini lalu menyatakan persetujuannya dengan konsep yang diperbaiki tersebut. Mediator dengan berorientasi pada pendirian para pihak tersebut dan pengetahuan mediator akan jiwa dari para pihak, maka mediator menunjukkan konsep kesepakatan yang sebenarnya. Akhirnya para pihak yang diwakili oleh kuasa hukumnya, berdasarkan surat persetujuan dari masing-masing pihak, menandatangani kesepakatan mediasi. (5) Melaporkan Hasil Mediasi Mediator setelah selesai melakukan mediasi, kemudian melaporkannya kepada majelis hakim pemeriksa perkara tersebut. Laporan tersebut berupa laporan tertulis, dan dilampirkan juga hasil kesepakatan yang telah ditanda-tangani para pihak apabila mediasi tersebut berhasil. Mediasi yang tidak berhasil pun harus dilaporkan juga ke hadapan majelis hakim secara tertulis. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 12 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003, “Jika dalam waktu yang ditetapkan dalam Pasal 9 Ayat (5) mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim”. Pada perkara Nomor / Pdt.G/2004/ PN.Wt, hasil mediasi dilaporkan oleh mediator pada tanggal 9 Juni 2004, padahal batas waktu untuk mediasi baru akan berakhir pada tanggal 16 Juni 2004. Oleh karena sisa waktu antara laporan keberhasilan dengan sidang yang ditunda untuk memberikan waktu bermediasi, ternyata masih lama, maka majelis hakim memajukan waktu sidang dari waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini dilakukan oleh majelis hakim dengan pertimbangan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 4 Ayat (2) UU Nomor 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman). Akhirnya, majelis hakim pun memerintahkan untuk memanggil para pihak untuk hadir dalam sidang tanggal 14 Juni 2004 dengan agenda sidang, perdamaian dari hasil mediasi. Akibat hukum apabila perkara yang diusahakan melalui mediasi ternyata tidak juga terjadi penandatanganan kesepakatan mediasi oleh para pihak hingga habis waktunya, maka tidak akan ada perpanjangan waktu dan mediasi dianggap telah gagal. Untuk itu mediator pun melaporkannya kepada majelis hakim bahwa mediasi telah gagal secara tertulis. Mediator pun sebelum memberikan laporannya kepada majelis hakim, juga menjelaskan kepada para pihak bahwa meskipun mediasi telah gagal tetapi para pihak masih bisa berdamai di persidangan. Hal ini dikarenakan setelah perkara dikembalikan lagi kepada majelis hakim, maka akan dilakukan pemeriksaan perkara sesuai dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku yang memungkinkan para pihak untuk damai kembali. Majelis hakim dalam setiap pemeriksaan di sidang akan terus menanyakan atau menawarkan kepada para pihak untuk berdamai bahkan hingga palu terakhir akan dijatuhkan. Hal ini didasarkan pada Pasal 130 HIR yang menjelaskan untuk menerapkan upaya perdamaian kepada para pihak yang bersengketa. Mediator setelah memberikan laporan kegagalan mediasinya, kemudian memusnahkan dokumen serta catatan-catatan selama proses mediasi dan tidak dijadikan saksi dalam proses pemeriksaan di sidang. Alasannya yaitu bahwa hal-hal yang telah diperiksa dan dibahas di mediasi, dianggap tidak pernah ada didalam pemeriksaan sidang, sehingga jangan samapai muncul ketika di persidangan. Proses pemeriksaan di sidang ini, berjalan kembali seakan-akan tidak pernah ada usaha perdamaian sebelumnya. Ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 12 Ayat (2) dan Pasal 13 Ayat (1), (2), dan (3) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003. Pasal 12 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 tahun 2003 : “Segera setelah diterima pemberitahuan itu, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan Hukum acara yang berlaku”. Pasal 13 Ayat (1), (2), dan (3) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 tahun 2003 : (1) “Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lainnya. (2) Fotokopi dokumen dan notulen atau catatan mediator wajib dimusnahkan. (3) Mediatr tidak dapat diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan”. 2. Kekutan Hukum Hasil Kesepakatan Melalui Mediasi Mediasi pada intinya adalah suatu usaha untuk mencapai perdamaian antara para pihak yang bersengket melalui proses mediasi, dengan demikian hasil kesepakatan yang dihasilkan dalam proses mediasi tersebut, essensinya juga merupakan kesepakatan perdamaian. Namun dalam hal perdamaian, selain bisa diperoleh melalui proses mediasi, tetapi juga tidak menutup kemungkinan adanya perdamaian didepan sidang pada proses pemeriksaan perkara berikutnya apabila mediasi ini tidaklah berhasil. Untuk membedakan kesepakatan perdamaian melalui mediasi dan kesepakatan perdamaian yang terjadi di depan sidang, maka dalam hal ini kesepakatan perdamaian yang dihasilkan melalui mediasi disebut sebagai kesepakatan mediasi. Proses mediasi setelah melalui tahap-tahap mediasi, maka apabila terjadi kesepakatan diantara para pihaknya akan dibuatlah kesepakatan mediasi oleh mediator berdasar pada jiwa dan kehendak para pihak yang telah disepakati bersama. Mediator atas kesepakatan mediasi tersebut, akan menanyakan kepada para pihak apakah akan dibuat sebagai produk hukum ataukah akan dilaksanakan langsung. Mediator kemudian juga menjelaskan kepada para pihak akan akibat-akibat hukum atas kedua pilihan tersebut, dengan maksud agar para pihak dapat menentukan pilihan yang terbaik. Tujuan dari mediasi itu sendiri adalah menyelesaiakan sengketa secara damai, sehingga apabila hanya dalam bentuk kesepakatan mediasi pun, kesepakatan tersebut dapat langsung dilaksanakan oleh para pihak. Namun disini, mediator dari pengadilan biasanya akan aktif mendorong agar kesepakatan mediasi tersebut dibuatkan akta perdamaian. Pertimbangan mediator lebih aktif mendorong para pihak agar menjadikan kesepakatan tersebut menjadi produk hukum adalah terkait dengan akibat hukum yang ditimbulkan apabila dibuat dalam akta perdamaian. Kesepakatan mediasi yang telah dmintakan menjadi suatu akta perdamaian, maka akan mempunyai akibat hukum sebagai berikut : a). In kracht (Berkekuatan Hukum Tetap) Akta perdamaian yang terbentuk dari hasil kesepakatan mediasi, maka akan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan perkara perdata lainnya. Oleh karena itu, hasil kesepakatan dalam mediasi apabila telah berupa akta perdamaian, maka telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan mempunyai kekuatan eksekutorial. Ini bisa ditunjukkan dari kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Akibat adanya kekuatan eksekutorial ini, apabila salah satu pihak yang terikat didalam akta perdamaian tidak mau melaksanakan kesepakatan yang telah buat secara sukarela, maka dapat dilakukan eksekusi (pelaksanaan putusan paksa). Mengenai eksekusi dari akta perdamaian hasil mediasi ini pun sama dengan eksekusi putusan perkara perdata lainnya. Ini berarti apabila kesepakatan hasil mediasi tidak dimintakan untuk dibuatkan akta perdamaian kepada majelis hakim, maka jelas apabila ada salah satu pihak yang tidak mau melaksanakan secara sukarela, tidaklah dapat dieksekusi. Hal ini tentu saja akan merugikan salah satu pihak. Inilah mengapa mediator di Pengadilan Negeri wates lebih aktif mendorong para pihak untuk menjadikan kesepakatan tersebut menjadi sebuah akta perdamaian. Jadi adanya akta perdamaian tersebut, dasarnya adalah kesepaktan mediasi yang terjadi diantara para pihak. b). Tidak Ada Upaya Hukum Lain. Akibat hukum lainnya dari hasil kesepakatan mediasi yang telah dibuat akta perdamaian yaitu tidak ada upaya hukum yang bisa dilakukan lagi baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Para pihak disini jelas tidak bisa mengajukan banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. c). Tidak Bisa Diajukan Gugat Baru Atas Perkara dan Pihak-Pihak Yang Sama. Atas akta perdamaian yang telah dibuat maka tidaklah mungkin para pihak bisa mengajukan lagi gugatan atas perkara yang sama di pengadilan, karena akan ditolak. Hal ini karena akan menimbulkan adanya nebis in idem, dan tentu saja itu bertentangan dengan asas dalam hukum acara perdata apabila tetap dilakukan. Itulah akibat hukum dari akta perdamaian yang telah dikukuhkan oleh majelis hakim. Hal ini sesuai dengan Pasal 11 Ayat (5) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa “Hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian”. Akta perdamaian Nomor 07/ Pdt.G/ 2004/ PN.Wt, yang merupakan akta perdamaian dalam kasus ini juga telah menyebutkan didalam klausulanya bahwa para pihak telah bersedia mengakhiri sengketa mereka itu seperti yang termuat dalam surat gugatan dengan damai, dan sepakat mengadakan perdamaian seperti termuat dalam akta perdamaian ini. Hal ini seperti yang telah diwajibkan dalam ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003, bahwa “Kesepakatan wajib memuat klausula pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai”. Mediator dalam membantu para pihak untuk bisa berdamai dari tahap awal hingga akhirnya para pihak sepakat untuk mewujudkannya dalam suatu akta perdamaian tentu saja menemui halhal yang mungkin menghambat dan mungkin juga justru membantu pelaksanaan mediasi itu sendiri. Meskipun demikian, secara keseluruhan faktor-faktor yang mempengaruhi pun tidak hanya terbatas pada para pihak tetapi juga bisa berasal dari mediator itu sendiri. Fakto-faktor yang dapat menghambat pelaksanaan suatu mediasi di pengadilan, diantaranya adalah sebagai berikut : (1) Ketidakhadiran Para Pihak Secara In Personal. Ketidakhadiran para pihak disini bisa saja karena memang faktor kesengajaan untuk mencapai kepentingan tertentu. Pihak in personal sulit dihadirkan, bisa karena rekayasa penasehat hukum atau karena memang ada rahasia khusus, sehingga kalau hadir justru akan mengganggu apa yang sebenarnya dirahasiakan oleh in personalnya tersebut. Hal inilah yang sering mempersulit mediator untuk mendamaikan para pihak, karena tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh in personalnya dan tentu saja mediator tidak bisa melihat bagaimana sebenarnya jiwa dari in personalnya itu sendiri apabila mereka diwakilkan oleh penasehat hukumnya. (2) Tidak Adanya Itikad Baik Dari Para Pihaknya Itikad baik dari para pihak untuk bersedia menyelesaikan perkara secara damai adalah fakor penting satu mediasi akan berhasil. Namun, apabila dari para pihak saja sudah tidak ada keinginan ataupun itikad baik untuk berdamai, maka hal ini akan sangat sulit bagi mediator untuk membantu para pihak berdamai. (3) Keterlibatan Penasehat Hukum Banyak kasus yang sebenarnya sudah sampai tahap akhir perdamaian, namun karena adanya kemunculan penasehat hukum sering membuat perdamaian tersebut gagal. Banyak pula para pihak yang dalam jiwanya sebenarnya sudah ada keinginan untuk berdamai, namun karena kemunculan penasehat hukum, mereka menjadi berpikir lagi untuk berdamai. Hal seperti inilah yang sebenarnya sering menghambat, karena terkadang penasehat hukum memang mempunyai kepentingan tertentu. (4) Tidak Adanya Keinginan Mediator Untuk Mendamaikan. Faktor ini sebenarnya sama dengan ada tidaknya keinginan dan itikad baik baik dari para pihak untuk berdamai. Jadi disini, apabila dari pihak mediator sendiri tidak ada keinginan untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa, maka tidaklah mungkin mediasi akan berhasil. Hal ini akan sangat berbeda sekali, apabila mediator mempunyai keinginan untuk membantu para pihak berdamai. (5) Jiwa Mediator. Mediator dalam jiwanya haruslah sudah terpatri keinginan harus mendamaikan perkara ini, dengan tujuan agar ditengah jalan tidaklah cepat menyerah tetapi benar-benar bisa berbuat semaksimal mungkin dalam usahanya untuk mendamaikan para pihak. Bagaimanapun tugas seorang hakim yang menjadi mediator sangatlah berat, selain mengurusi mediasi ini, sebagai hakim juga mempunyai tugas untuk menangani perkara lainnya. Itulah mengapa dalam jiwanya harus terpatri kuat keinginan untuk mendamaiakan para pihak, belum lagi keinginan dan kehendak dari para pihak yang kadang sulit untuk diajak ke titik temu. Hal ini karena memang sangat sulit untuk mempersatukan beberapa kepala dengan pikiran dan prinsip yang berbeda-beda. Untuk itulah hakim yang berperan sebagai mediator disini haruslah sabar, dan bahkan kadang haruslah mengalah dengan para pihak dalam menentukan jadwal pertemuan untuk mengikuti kenginan dari para pihak Namun apabila mediator dalam jiwanya saja sudah tidak terpatri kuat keinginan untuk benar-benar membantu para pihak maka mediasi akan sulit tercapai. Proses mediasi yang dilakukan di Pengadilan Negeri Wates berdasarkan hasil penelitian ini, secara keseluruhan sudah memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Berdasarkan analisis proses mediasi dari awal tahap mediasi sampai dengan terwujudnya kesepakatan dalam bentuk akta perdamaian, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa mediator di Pengadilan Negeri Wates merupakan mediator yang berperan kuat. Hal ini dapatlah kita lihat dari hal-hal yang dilakukan mediator selama proses mediasi berlangsung yaitu: - Membuat jadwal pertemuan, mempersiapkannya dan membuat notulen perundingan. - Membantu para pihak dan mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dengan cara damai serta menjelaskan bahwa dengan perdamaian akan lebih menguntungkan semua pihak. - Membantu para pihak menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahana masalah. - Membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah dan menjelaskan kelemahan serta kelebihan atas pendapat-pendapat para pihak serta membantu para pihak untuk menemukan cara yang terbaik dalam pemecahan masalah tersebut. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasakan pada perumusan masalah dan pembahasan yang telah penulis uraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Proses penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi yang dilakukan di Pengadilan Negeri Wates, melalui dua tahap yaitu : a). Tahap Pra Mediasi Pada tahap ini, pelaksanaan dilakukan oleh majelis hakim pemeriksa perkara yang bersangkutan. Hakim-hakim yang ditunjuk sebagai majelis hakim, setelah menerima surat penetapannya dari Ketua Pengadilan Negeri Wates, kemudian menetapkan hari sidang pertama pemeriksaan perkara perdata tersebut. Pada hari sidang pertama yang dihadiri oleh kedua belah pihak, majelis hakim mewajibkan para pihak untuk melakukan mediasi atas sengketa yang terjadi diantara keduanya. Majelis hakim menjelaskan tentang mediator yang dapat membantu pelaksanaan mediasi tersebut, yang terdapat pada daftar mediator di Pengadilan Negeri Wates dan tidaklah dipungut biaya apapun. Majelis juga menjelaskan bahwa para pihak juga dapat melakukan mediasi diluar dengan mediator dari luar yang biayanya ditanggung sendiri oleh para pihak. Mengenai waktu untuk menentukan mediator, majelis hakim memberikan waktu satu hari kerja. Terkait pelaksanaan mediasi, setelah para pihak sepakat untuk memakai mediator dari pengadilan, majelis hakim memberikan waktu kepada mediator selama dua puluh dua hari kerja setelah penetapan mediator tersebut, sesuai dengan Pasal 9 Ayat (5) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003. b). Tahap Mediasi. Mediator setelah ditunjuk berdasarkan penetapan oleh majelis hakim, kemudian mengambil langkah-langkah untuk memulai proses mediasi tersebut, diantaranya : (1). Meminta Para Pihak Menghadap Mediator. Para pihak setelah diperkenalkan oleh majelis hakim kepada mediator yang akan membantunya, kemudian diminta oleh mediator untuk menghadapnya. Tujuan mediator adalah untuk memberikan penjelasan mengenai mediasi, tujuan daripada mediasi, dan mendorong para pihak untuk mencapai perdamaian. (2). Menentukan Jadwal Pertemuan. Mediator setelah selesai memberikan keterangan kepada para pihak, kemudian bersama para pihak menentukan jadwal pertemuan. (3). Melakukan Kaukus. Kaukus adalah langkah yang diambil oleh mediator untuk bertemu para pihak secara terpisah, artinya tidak dipertemukan bersama dalam satu tempat dan satu waktu. Tujuannya adalah untuk mengetahui pendapat para pihak, kehendak para pihak dan mempelajari bagaimana jiwa dari para pihak itu sendiri. (4). Mempertemukan Kedua Pihak. Pertemuan ini dilakukan dalam waktu dan tempat yang sama setelah dilakukannya kaukus dan setelah para pihak sama-sama sudah tenang serta reda emosinya. Pertemuan ini dilakukan untuk merundingkan proposak kesepakatan mediasi untuk mencapai penyelesaian sengketa yang terbaik bagi keduanya dan untuk mencapai kata sepakat. Hasil kesepakatan dituangkan dalam kesepakatan mediasi yang ditandatangani kedua pihak dihadapan mediator. (5). Melaporkan Hasil Mediasi. Mediator melaporkan hasil mediasi yang telah dilaksanakannya kepada majelis hakim secara tertulis dengan dilampirkan pula hasil kesepakatan mediasi yang telah ditanda tangani kedua belah tersebut. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapatlah disimpulkan bahwa proses penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi dengan mediator dari Pengadilan Negeri Wates, secara keseluruhan telah memenuhi ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Hal ini bisa kita lihat dari hampir keseluruhan isi dari Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 telah dapat dilaksanakan, dan hanya beberapa pasal saja yang belum dapat dilaksanakan, terkait situasi dan kondisi yang ada pada saat pelaksanaan mediasi di Pengadilan Negeri Wates ketika itu. 2. Kekuatan hukum hasil kesepakatan mediasi yang dilakukan oleh mediator dari Pengadilan Negeri Wates, yaitu apabila kesepakatan perdamaian tersebut diwujudkan ke dalam produk hukum, dalam hal ini akta perdamaian, maka mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan perkara perdata lainnya yang diputus oleh majelis hakim di depan sidang. Mengenai akibat hukum dari akta perdamaian itu sendiri adalah sebai berikut : a). In kracht (Berkekuatan Hukum Tetap). b). Tidak Ada Upaya Hukum Lain. c). Tidak Bisa Diajukan Gugat Baru Atas Perkara dan Pihak-Pihak Yang Sama. Hal ini berbeda apabila kesepakatan mediasi para pihak tidak diwujudkan sebagai akta perdamaian, maka kesepakatan tersebut tidak berkekuatan hukum. Akibatnya apabila salah satu pihak tidak melaksanakan hasil kesepakatan secara sukarela, maka tidaklah dapat dilakukan eksekusi seperti halnya perkara-perkara lain yang diputus didepan sidang. Ini tentu saja akan sangat merugikan salah satu pihak, apalagi sudah tidak dimungkinkan untuk mengajukan gugatan dengan pihak-pihak yang sama, karena akan bertentangan dengan asas nebis in idem dalam hukum acara perdata. B. Saran 1. Terkait peran dan fungsi mediator yang sangat penting, Mahkamah Agung diharapkan dapat segera mengadakan pelatihan-pelatihan untuk para hakim di Pengadilan Negeri di daerah-daerah. Hal ini dimaksudkan agar para hakim tersebut benar-benar mempunyai modal yang cukup untuk melaksanakan mediasi di tiap Pengadilan Negeri di Indonesia, sehingga mediasi benar-benar berjalan efektif dan berhasil mengupayakan perdamaian. 2. Para hakim, meskipun belum mengikuti suatu pelatihan mediasi dan belum mendapatkan sertifikat, tetapi sudah ditunjuk menjadi mediator karena situasi dan kondisi, perlu untuk terus belajar mengenai mediasi baik dengan sering membaca jurnal-jurnal hukum ataupun membuka website-website di internet terkait mediasi didalam negeri maupun mediasi di luar negeri sehingga akan mendapatkan wawasan yang luas terkait pelaksanaan mediasi. 3. Mediator dari pengadilan yang hanya diberi waktu dua puluh dua hari, harus lebih bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin dengan menyusun rencana-rencana atau strategi yang tepat dan diberi target waktu untuk tiap rencana atau strategi yang akan dilaksanakannya tersebut. Mediator harus tegas dan lebih aktif untuk membujuk para pihak agar disiplin dalam melaksanakan strategi tersebut. 4. Mediator harus tegas dalam menentukan jadwal pertemuan dan jangan mudah mengalah dengan para pihak, serta harus aktif membujuk para pihak agar mau menuangkan hasil kesepakatan dalam suatu akta perdamaian, agar para pihak tidak ada yang dirugikan nantinya. DAFTAR PUSTAKA Adi Sulistiyono. 2005. “Merasionalkan Budaya Musyawarah Untuk Mengembangkan Penggunaan Penyelesaian Sengketa Win-Win Solution”. Orasi Ilmiah. Surakarta : UNS Press Agnes M. Toar et al. 1995. Arbitrase Di Indonesia (Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2). Jakarta: Ghalia Indonesia. Bambang Sunggono. 1996. Metodelogi Penelitian Hukum. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada. Departemen Pendidikan & Kebudayaan RI. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangungsong. 2005. Hukum Dalam Ekonomi. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Gary Goodpaster. 1999. Panduan Negosiasi Dan Mediasi. Jakarta: ELIPS Gunawan Widjaja. 2002. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Henry Campbell Black. 1979. Black’s Law Dictionary. St. Paul Minn : West Publishing Co. H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dalam Teori Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. I. P. M. Rahuhandoko. 2003. Terminologi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika. Mashudi dan Moch. Chidir Ali. 2001. Pengertian-Pengertian Elemen Hukum Perjanjian Perdata. Bandung: Penerbit Mandar Maju. Pusat Pengkajian Hukum. 2005. “Laporan Kegiatan Lokakarya Terbatas Tentang Mediasi & Court Annexed Mediation”. Newsletter. Nomor 60 Maret 2005 halaman 20-22. Retnowulan Sutantio. 2002. “Mediasi dan Dading”. Jurnal Pusdiklat MA RI Media Komunikasidan Informasi Diklat. Volume 1 Nomor 4 Tahun 2002 halaman: 7. Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. Suyud Margono. 2004. ADR (Alternative Dispute Resoluution) & Arbitrase. Bogor: Ghalia Indonesia. Sudiarto dan Zaeni Asyahadie. 2004. Mengenal Arbitrase (Salah satu Altenatif Penyelesaian Sengketa Bisnis). Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Sutrisno Hadi. 2001. Metodologi Research. Jilid II. Yogyakarta : Andi. Waluyo. 2001. Tesis: Upaya Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup. Surakarta: UNS Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembar Negara Nomor 3872) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembar Negara Nomor 4358). Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.