BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Di dalam bab ini akan dibahas tentang kesimpulan dan saran dari hasil membandingkan data lapangan dengan data literatur. Berdasarkan hasil analisis pada bab empat dan lima dengan menggunakan data pustaka, maka didapat hasil atau jawaban atas perumusan masalah yang ada, yakni mengenai bagaimana terjemahan kajian panoptisisme di dalam arsitektur, bagaimana letak keterkaitan prinsip-prinsip panoptisisme di dalam arsitektur dengan konsep arsitektur kontrol, bagaimana penerapan prinsip panoptisisme pada peraturan pembangunan Gereja Katolik yang dituliskan di dalam Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) Dan bagaimanakah penerapan prinsip panoptisisme pada Gereja Katolik dengan studi kasus pada ruang dalam gereja Katolik di Surabaya. 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis terhadap data literatur dan data lapangan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa prinsip-prinsip panoptisisme merupakan bagian dari arsitektur dan juga bagian dari arsitektur kontrol (khususnya terkait pola rancang / desain). Prinsip-prinsip panoptisisme (baik panoptisisme yang mengawasi dan diawasi) merupakan sebuah mekanisme dan arsitektur kontrol merupakan elemen rancang, sehingga keduanya saling melengkapi dan membantu memahami ruang-ruang yang berstruktur dan menonjolkan konsep kuasa dan displin, seperti ruang penjara, rumah sakit, gereja, sekolah, dan pabrik. Prinsip-prinsip panoptisisme (dari sudut pandang yang diawasi) ini sudah diterapkan dalam peraturan pembangunan gereja Katolik dan studi kasusnya. Bangunan Gereja Katolik memang dirancang sedemikian rupa dan melalui peraturan yang diciptakannya sehingga tercipta sistem panoptisisme dan arsitektur kontrol terhadap pengguna ruang. Dengan adanya panoptisisme di dalam peraturan pembangunan gereja Katolik, maka secara tidak langsung hal ini menonjolkan konsep struktur dan kekuasaannya di dalam setiap bangunan arsitektur gereja Katolik (dari sudut pandang yang diawasi dengan tabernakel / 169 Imam sebagai pengawasnya). Prinsip-prinsip panoptisisme antara lain prinsip penyekatan, pengelompokan, kontrol aktivitas, orientasi pusat, hirarki dan sistem pengawasan. Prinsip-prinsip ini diterapkan di dalam pola rancang arsitektur kontrol dan peraturan pembangunan Gereja Katolik, meskipun pada studi kasus lapangan, prinsip-prinsip ini masih bisa diterapkan lebih maksimal lagi. Penerapan prinsip yang pertama adalah prinsip penyekatan. Di dalam prinsip penyekatan di dalam panoptisisme dan pada peraturan di dalam pembangunan Gereja Katolik, dapat terlihat pada ketiga pola rancang (pola penataan fisik elemen bangunan, pola material dan pola pengawasan). Pada studi kasus, prinsip ini ada dan diterapkan dengan cukup optimal. Penerapan prinsip yang kedua adalah prinsip pengelompokan. Di dalam prinsip ini, ketiga pola rancang bisa diterapkan. Pada peraturan di dalam pembangunan Gereja Katolik, dapat terlihat pada ketiga pola rancang (pola penataan fisik elemen bangunan, pola material dan pola pengawasan). Pada studi kasus, prinsip ini ada dan diterapkan dengan cukup optimal Penerapan prinsip yang ketiga adalah prinsip kontrol aktivitas. Di dalam prinsip ini, ketiga pola rancang bisa diterapkan. Pada peraturan di dalam pembangunan Gereja Katolik, dapat terlihat pada ketiga pola rancang (pola penataan fisik elemen bangunan, pola material dan pola pengawasan). Pada studi kasus, prinsip ini ada dan diterapkan dengan cukup optimal di dalam pola penataan fisik elemen bangunan dan pola material, sedangkan untuk pola pengawasan kurang optimal. Penerapan prinsip yang keempat adalah prinsip orientasi pusat. Di dalam prinsip ini, ketiga pola rancang bisa diterapkan. Pada peraturan di dalam pembangunan Gereja Katolik, dapat terlihat pada ketiga pola rancang (pola penataan fisik elemen bangunan, pola material dan pola pengawasan). Pada studi kasus, prinsip ini ada namun penerapannya kurang optimal untuk ketiga pola (pola penataan fisik elemen bangunan, pola material dan pola pengawasan) Penerapan prinsip yang kelima adalah prinsip hirarki. Di dalam prinsip ini, ketiga pola rancang bisa diterapkan. Pada peraturan di dalam pembangunan Gereja Katolik, dapat terlihat pada ketiga pola rancang (pola penataan fisik elemen bangunan, pola material dan pola pengawasan). Pada studi kasus, prinsip 170 ini ada dan diterapkan dengan cukup optimal di dalam pola penataan fisik elemen bangunan dan pola pengawasan, sedangkan pola material kurang optimal. Penerapan prinsip yang keenam adalah prinsip sistem pengawasan. Di dalam prinsip ini, pola pengawasan saja yang bisa diterapkan. Pada peraturan di dalam pembangunan Gereja Katolik, dapat terlihat pada pola rancang pola pengawasan. Pada studi kasus, prinsip ini ada dan diterapkan dengan cukup optimal pada kelima gereja. Adanya penerapan panoptisisme dan arsitektur kontrol di dalam studi kasus menunjukkan adanya kontrol dan kuasa terhadap pihak yang diawasi (umat) di dalam Gereja Katolik. Keenam prinsip ini saling menguatkan bukti adanya penerapan panoptisisme yang diawasi di dalam gereja Katolik (Sebelum Konsili Vatikan II, panoptisisme pengawas pada Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria dan Gereja Hati Kudus Yesus adalah Tabernakel dan Salib. Setelah Konsili Vatikan II, panoptisisme pengawas kelima gereja ini adalah Imam). Keenam prinsip ini merupakan satu kesatuan, dimana keenam prinsip ini harus ada agar kontrol dan kuasa panoptisisme di dalam arsitektur bekerja dengan optimal. Dari keenam prinsip ini, prinsip penyekatan yang paling memberikan pengaruh pengawasan panoptisisme di dalam arsitektur (dari sudut pandang yang diawasi). Tanpa adanya prinsip penyekatan di dalam panoptisisme, maka prinsip lainnya (prinsip pengaturan, pengelompokan, orientasi, hirarki dan sistem pengawasan) kurang berpengaruh pada pengguna. Bukti lainnya adanya penerapan panoptisisme di dalam arsitektur gereja Katolik adalah meskipun ada perbedaan di dalam masa berdirinya gereja (utamanya terkait dengan masa pemerintahan di Indonesia) dan ada perbedaan budaya, namun gereja-gereja Katolik di Surabaya tetap menerapkan peraturan pembangunan di dalam gerejanya. Ruang-ruang yang terjadi di dalam Gerejagereja Katolik di Surabaya tetap menunjukkan pada pola rancang ruang yang sama dengan Gereja Katolik di seluruh dunia (dan ini menunjukkan adanya penerapan panoptisisme yang diawasi dan kontrol melalui bentuk arsitektur pada Gereja Katolik). 171 6.2 Saran Dalam meneliti penerapan panoptisisme di dalam arsitektur kontrol dan Gereja Katolik, peneliti menemukan banyak hal yang bisa digunakan untuk penelitian selanjutnya. Yang pertama konsep ruang panoptisisme itu sendiri dan penerapannya di dalam arsitektur, yang kedua adalah pada aplikasi peraturan gereja Katolik dan obyek ruang gereja-gereja Katolik. Yang pertama, peneliti menemukan dalamnya makna panoptisisme sehingga prinsip ini masih dapat dilihat dari berbagai konsep arsitektur, misalnya panoptisisme di dalam arsitektur perilaku atau dikaitkan dengan teori positif arsitektur, dan masih banyak lagi. Hal ini dikarenakan pengaplikasian panoptisisme tidak hanya terbatas pada sistem pengawasan, namun juga terkait dengan permasalahan desain sosial. Oleh karena itu, masih banyak hal lain yang bisa digali dan diteliti, karena makna prinsip panoptisisme itu sendiri sangat mendalam. Yang kedua, peneliti masih bisa menemukan beberapa hal yang bisa dijadikan untuk penelitian selanjutnya. Hal-hal itu antara lain: Pengkajian prinsip panoptisisme pada arsitektur kontrol dan peraturan pembangunan Gereja Katolik ini bisa diperkuat dan dilanjutkan dari sudut pandang panoptisisme yang mengawasi, dengan metode kritik interpretif, metode fenomenologi ruang dan metode pengumpulan datanya melalui kuisioner. Hasilnya mungkin akan berbeda dengan yang diteliti oleh peneliti. 172