BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kaum

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kaum marjinal digambarkan sebagai suatu kelompok sosial tertentu yang
keberadaannya dianggap sebagai kelompok masyarakat yang memiliki status
sosial paling rendah dan terpinggirkan. Salah satu jenis penyandang masalah
kesejahteraan sosial di Teluk Bintuni dan Kota Yogyakarta adalah perempuan
pekerja seks atau disebut juga tuna susila. Menurut Permensos No. 08 tahun 2012,
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah perseorangan,
keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan,
atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat
terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani, maupun sosial secara
memadai dan wajar.
Kaum marginal terkondisikan untuk terlibat dalam strategi pertahanan diri
untuk bisa tetap bertahan hidup. Dinas Sosial Teluk Bintuni dan Dinas Sosial
Kota Yogyakarta, tahun 2011 menyebutkan bahwa perempuan Distrik Bintuni dan
Kota Yogyakarta memiliki tingkat kerawanan sosial ekonomi yang lebih tinggi
dibanding laki-laki. Ketidakberdayaan ekonomi, latar belakang budaya, rendahnya
daya saing pekerja perempuan, sempitnya lapangan pekerjaan dan terbatasnya
akses terhadap kebutuhan dasar membuat banyak dari mereka terkondisikan
dalam berbagai ragam aktivitas ekonomi bawah tanah yang jarang tersentuh atau
bahakan sering terlupakan dalam program pemerintah daerah. Berbekal
keterbatasan pendidikan, keterampilan dan dukungan finansial, simpul-simpul
ekonomi yang ramai oleh aktifitas manusia merupakan tempat yang sesuai untuk
mengais rejeki guna mempertahankan kehidupannya.
Salah satu persoalan yang menarik dari pembahasan kaum marjinal
sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial yang kompleks di Indonesia
adalah strategi kelangsungan hidup perempuan pekerja seks di wilayah-wilayah
Kota yang sedang berkembang seperti Teluk Bintuni dan Yogyakarta. Perempuan
pekerja seks dipandang sebagai makhluk yang menyandang stereotip negatif dan
1
seakan memiliki dua dunia yang bertolak belakang atau hidup dalam kepalsuan.
Koentjoro (1996) mengemukakan bahwa Perempuan pekerja seks merasa tidak
aman pada statusnya sebagai Perempuan pekerja seks dan merasa khawatir
apabila statusnya diketahui masyarakat. Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu
strategi mereka di dalam menjaga interaksi sosial dimasyarakat.
Sebelum era reformasi tahun 1998, lokasi-lokasi prostitusi banyak
dijumpai di berbagai Kota di seluruh Indonesia, tak terkecuali di Kota
Yogyakarta. Selain itu, masuknya industrialisasi
disuatu
wilayah juga
menyebabkan semakin banyaknya kasus prostitusi yang terjadi, seperti halnya di
Bintuni. Prostitusi di Kota Yogyakarta ataupun di Kota Bintuni tumbuh sebagai
bisnis yang tidak pernah sepi dari hirukpikuk konsumen. Maraknya bisnis
prostitusi di kota-kota besar cenderung merupakan akibat dari perwajahan
kemiskinan Kota. Namun demikian, bisnis prostitusi juga ternyata banyak
ditemukan diwilayah-wilayah desa, seperti di Bintuni. Kegiatan prostitusi banyak
ditemukan di sekitaran pelabuhan, pasar sentral Bintuni ataupun dekat dengan
lokasi-lokasi tambang. Praktik prostitusi yang terjadi diwilayah perdesaan
cenderung dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau terselubung, hal ini berbeda
dengan yang ditemukan pada wilayah transaksi seksual di daerah perkotaan yang
cenderung terlokalisasi pada suatu tempat.
Dalam dinamika pemerintahan, wilayah transaksi seksual ini sangat
membantu pemerintah dalam upaya pemantauan kesehatan dan keamanan.
Kondisi ini dapat membantu program-program yang dilakukan pemerintah agar
dapat secara mudah terkoordinasi dalam suatu area dibanding apabila keberadaan
mereka terpencar secara sporadis. Berkembangnya waktu, memasuki era
reformasi, beragam alasan membuat pemerintah menutup beberapa wilayah
transaksi seksual, salah satu alasannya adalah karena adanya keresahan
masyarakat setempat yang menekan pemerintah untuk menutupnya. Walaupun
ada tekanan dari masyarakat, namun tidak sedikit juga wilayah transaksi seksual
yang masih tetap beroperasi seperti halnya wilayah transaksi seksual Pasar
Kembang di Kota Yogyakarta (Hull dkk, 1997).
2
Interaksi ruang dan karakteristik wilayah kerja akan mempengaruhi modal
sosial seseorang di dalam merespon dinamika kehidupan. Pendekatan keruangan
digunakan untuk memperhatikan faktor letak, distribusi (persebaran), interelasi
serta interaksi yang membentuk modal sosial perempuan pekerja seks. Modal
sosial perempuan pekerja seks disetiap wilayah transaksi seksual tersebut akan
mempengaruhi strategi kelangsungan hidup mereka di dalam mengantisipasi
benturan sosial yang terjadi dengan masyarakat, begitu juga dengan upaya
pertahanan diri mereka untuk tetap bertahan hidup.
Kementerian sosial Indonesia bersama Dinas Sosial Provinsi, membuat
suatu kebijakan kesejahteraan sosial dimana salah satu sasaran dari program ini
adalah kelompok tuna susila atau perempuan pekerja seks. Program ini bertujuan
untuk meningkatkan status sosial seseorang yang berlandaskan pada kesejahteraan
masyarakat. Penyelenggaraan kesejahteraan tersebut menurut Undang-Undang
No. 11 tahun 2009 mencakup 4 hal pokok yaitu:

Rehabilitasi sosial;

Jaminan social

Pemberdayaan social

Perlindungan sosial.
Jumlah pekerja seks di Bintuni ataupun Kota Yogyakarta selalu
mengalami fluktuasi. Pekerja seks di wilayah pedesaan seperti Bintuni cenderung
jumlahnya sangat fluktuatif dan pendataan terkait jumlahnya juga terbatas. Data
Dinas Sosial Budaya dan Pariwisata Bintuni menyebutkan bahwa kurang lebih
ada 100 orang pekerja seks di Bintuni. Berbeda dengan di Yogyakarta, jumlah
pekerja seks di wilayah Kota cenderung sudah memiliki manajemen pendataan
yang cukup baik, baik yang dilakukan oleh komunitas pekerja seks, pemerintah
ataupun LSM terkait. Berdasarkan data jumlah dan presentase jenis penyandang
masalah kesejahteraan sosial di Provinsi D.I Yogyakarta dari tahun 2008-2012,
jumlah tuna susila atau perempuan pekerja seks di Provinsi D.I Yogyakarta
berdasarkan Kab/Kota di DIY adalah sebagai berikut:
3
Tabel 1.1 Jumlah Perempuan Pekerja Seks Berdasarkan Kab/Kota Di D.I
Yogyakarta Tahun 2008-2012
Jumlah Perempuan Pekerja Seks DIY
Berdasarkan Kab/Kota
Kab/Kota
2008
2009
2010
2011
2012
Bantul
157
157
37
41
46
Yogyakarta
526
526
102
92
77
Kulonprogo
79
79
14
11
1
Gunungkidul
26
26
7
7
18
Sleman
88
88
22
23
24
Jumlah
876
876
182
174
166
(Sumber: Data PMKS Dinas Sosial DIY 2008-2012 yang telah diolah)
Tabel 1.1 diatas menunjukkan jumlah perempuan pekerja seks di Provinsi
D.I Yogyakarta dari tahun 2008-2012. Pada rentang tahun 2008 hingga 2009,
tercatat bahwa jumlah terbanyak perempuan pekerja seks adalah ditahun tersebut.
Namun demikian, data tersebut diatas belum bisa merepresentaskan kondisi
perempuan pekerja seks sepenuhnya. Hal ini disebabkan karena data dari Dinas
Sosial Yogyakarta hanya mencatat keberadaan perempuan pekerja seks yang
berasal dari D.I Yogyakarta. Sehingga, sebenarnya jumlah perempuan pekerja
seks secara aktual diperkirakan lebih banyak jumlahnya dibanding data diatas.
Banyaknya jumlah perempuan pekerja seks di Bintuni dan Kota
Yogyakarta yang berasal dari luar daerah menuntut adanya intervensi dari
pemerintah dalam hal pemberdayaan yang tidak hanya berbasis paradigma
ekonomi tapi juga melibatkan paradigma sosial dimana di dalamnya dimensi
modal sosial dilibatkan. Berdasarkan kondisi tersebut, serta minimnya riset
mengenai upaya strategi kelangsungan hidup perempuan pekerja seks yang
didasarkan pada modal sosial yang ia bangun, menjadi menarik untuk dikaji.
4
1.2
Rumusan Masalah
Keberadaan kegiatan prostitusi di Bintuni dan Kota Yogyakarta sudah
memasuki pada era masyarakat global. Perspektif yang berkembang saat ini tidak
hanya sebatas tentang hitungan matematis ekonomi, tapi juga terkait dimensi
sosial dan budaya yang tumbuh dimasyarakat. Perspektif ini yang pada akhirnya
menimbulkan masalah sosial multidimensional baru karena menciptakan suatu
bentuk prostitusi dengan beragam label di dalamnya. Perempuan pekerja seks juga
beresiko mengalami beragam kerentanan sosial. Adanya kerentanan sosial
tersebut menjadikan arena prostitusi masuk kedalam ranah permasalahan sosial
budaya yang penangannanya tidak bisa hanya direspon atas dasar permasalahan
ekonomi, namun juga terkait masalah sosiokultural di dalamnya.
Modal sosial menjadi sangat penting di dalam suatu keberlangsungan
hidup kelompok atau individu di wilayah transaksi seksual. Karena ia bisa
beperan di dalam mengikat interaksi antar pekerja seks, menjembatani antar
kelompok sosial disuatu komunitas di dalamnya atau bahkan lembaga non
pemerintahan dan para pemangku kepentingan yang ada. Setiap wilayah transaksi
seksual memiliki latarbelakang sejarah serta latarbelakang pekerja seks yang
berbeda. Perbedaan latarbekang ini mampu mempengaruhi pembentukan kadar
modal sosial, terutama dilihat dari sisi mobilitas dan komposisi pekerja seks dari
variabel umur, status kawin dan latar belakang sosial-ekonomi lainnya. Paradigma
dimensi sosial yang dibangun melalui modal sosial yang dimiliki oleh perempuan
pekerja seks dapat dijadikan sebagai strategi kelangsungan hidupnya ditengah
benturan-benturan sosial yang terjadi.
Beragam studi tentang prostitusi, tampaknya belum banyak tulisan
ataupun penelitian yang berusaha menjelaskan bagaimana kegitaan prostitusi terus
bertahan di suatu wilayah transaksi seksual. Berdasar pada latarbelakang dan
rumusan masalah diatas, terdapat beberapa hal yang menjadi pokok masalah
dalam penelitian ini, antara lain :
1. Bagaimana karakteristik wilayah transaksi seksual dan profil perempuan
pekerja seks di Distrik Bintuni, Teluk Bintuni serta Pasar Kembang, Kota
Yogyakarta?
5
2. Bagaimana bentuk pemanfaatan modal sosial yang terjadi di wilayah
transaksi seksual Distrik Bintuni, Teluk Bintuni serta Pasar Kembang,
Kota Yogyakarta?
1. 3 Tujuan Penelitian
1. Menganalisis karakteristik wilayah transaksi seksual dan profil perempuan
pekerja seks di Distrik Bintuni, Teluk Bintuni serta Pasar Kembang, Kota
Yogyakarta.
2. Menganalisis karakteristik bentuk pemanfaatan modal sosial sebagai upaya
strategi kelangsungan hidup perempuan pekerja seks di wilayah transaksi
seksual Distrik Bintuni, Teluk Bintuni serta Pasar Kembang, Kota
Yogyakarta;
1. 4 Manfaat Penelitian
Manfaat utama dari penelitian ini adalah dapat dijadikan rujukan bahan
formulasi pengambilan kebijakan pemerintah, terkait dengan skema penanganan
perempuan pekerja seks di Teluk Bintuni, Papua Barat dan Kota Yogyakarta.
Selain itu, dapat pula dijadikan bahan referensi bagi penelitian modal sosial terkait
dengan perempuan pekerja seks lainnya, karena penelitian modal sosial pekerja
seks masih jarang dilakukan di Indonesia. Wacana terkait modal sosial pekerja
seks juga semoga dapat memberi ruang keterbukaan informasi yang di dasarkan
pada asas kemanusiaan bagi penanganan perempuan pekerja seks. Para
perempuan pekerja seks juga diharapkan dapat memahami bagaimana modal
sosial tersebut mampu memperbesar kohesi sosial di lingkungan mereka.
6
Download