Modul Filsafat Ilmu Dan Logika [TM3]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
FILSAFAT ILMU
DAN LOGIKA
Modul
3
Filsafat Khusus
Perkuliahan di
Universitas Mercu Buana
Fakultas
Program Studi
Fakultas Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
03
Kode MK
Disusun Oleh
MK
Dr. H. Syahrial Syarbaini, MA. Ph.D.
Abstract
Kompetensi
Setelah perkualiahan ini
mahasiswa diharapan dapat
menganalisis Filsafat khusus
sebagai ilmu dan logika berpikir
manusia
Setelah pembahasan dalam modul ini
diharapkan
mahasiswa
dapat
memahami dan menganalisis filsafat
khusus yang meliputi :.

Filsafat politik

Filsafat hukum

Filsafat agama

Filsafat pendidikan
43
Standarisasi Modul
Latar Belakang
Standarisasi Modul ini disusun dan diterapkan untuk
1. Menjaga Kualitas Modul dengan adanya acuan-acuan standar yang wajib dipenuhi
oleh dosen pengampu dalam penyusunan modul
2. Mempermudah pengarsipan dengan adanya keseragaman dan penulisan yang
sistematis
3. Menjaga Institution Identity (Identitas Institusi) dengan diaplikasikannya identitas
dari Institusi kedalam modul sebagai pengenal dan pembeda dengan institusi lainnya
4. Membantu meningkatkan webometrics Institusi dengan menerapkan aturan-aturan
yang dibutuhkan dalam penilaian berbasis webometric
Sistematika Template
Pada Dasarnya Template modul terdiri dari 2 bagian dasar, yaitu:
1. Bagian Sampul
Berisi ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi oleh dosen pengampu penyusun
modul. Ketentuan-ketentuan tersebut dituangkan kedalam kolom-kolom yang wajib
diisi dosen pengampu dengan tepat, yaitu :

Judul Mata Kuliah Filsafat Ilmu dan Logika

Pokok Bahasan Modul Filsafat Khusus

Fakultas Psikologi

Modul Untuk Tatap Muka Ke 3

Kode Mata Kuliah

Penyusun : Dr. H.Syahrial Syarbaini, MA. Ph.D.

Abstract (Deskripsi) Cabang Fisafat secara umum meliputi

Kompetensi : Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami
dan menganalisis filsafat khusus
44
MODUL 3
FILSAFAT KHUSUS
Standar Kompetensi
Setelah perkualiahan ini mahasiswa diharapan dapat menganalisis cabang-cabang filsafat khusus.
Kompetensi Dasar
Setelah pembahasan dalam modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menganalisis
cabang-cabang filsafat yang meliputi :

Filsafat politik

Filsafat hukum

Filsafat agama

Filsafat pendidikan

Filsafat sejarah

Filsafat bahasa

Filsafat matematika
Materi Pembahasan
A. Filsafat tentang Berbagai Ilmu
Pada mulanya filsafat mencakup seluruh ilmu pengetahuan yang telah dikenal pada masa itu.
Kemudian, secara berangsur-angsur, satu demi satu, barulah berbagai ilmu pengetahuan melepaskan
diri dari filsafat dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan yang telah
mandiri itu sehingga banyak orang yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan dapat menjawab dan
memecahkan seluruh persoalan yang selama ini tidak bisa dijawab dan dipecahkan, sehingga ada yang
mengangap filsafat tidak diperlukan lagi. Kenyataannya menunjukkan bahwa sesungguhnya ada
banyak hal yang tidak dapat dijawab dan dipecahkan oleh ilmu pengetahuan itu.
Pada umumnya ilmu pengetahuan dikembangkan dengan bertolak dari realitas serta dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan faktual dan praktis. Apabila pengetahuan telah melampaui
pertanyaan faktual dan praktis serta mengacu kepada upaya mencari kejelasan tentang seluruh realitas
45
serta mencari akar dan asas realitas itu sendiri, maka berbagai ilmu pengetahuan yang telah mandiri
itu terpaksa harus kembali ke induknya, yaitu filsafat. Segala upaya untuk memperoleh klarifikasi
tentang seluruh realitas serta mencari akar dan asas realitas telah berada di luar kompetensi ilmu
pengetahuan karena sesungguhnya hal itu merupakan suatu upaya filsafati yang membutuhkan
pemikiran abstrak dan reflektif kritis.
Banyaknya pertanyaan yang diajukan pada berbagai bidang ilmu pengetahuan telah melampaui
kompetensi bidang ilmu itu sendiri dan harus dimintakan jawaban kepada filsafat, maka lahirlah
filsafat khusus tentang berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Filsafat khusus ini menerapkan berbagai
metode filsafati dalam upaya mencari akar dan menemukan asas realitas yang dipersoalkan oleh
bidang ilmu tersebut demi memperoleh kejelasan lebih pasti.
Setiap ilmu membutuhkan filsafat sehingga pada hakikatnya jumlah filsafat tentang berbagai
disiplin ilmu itu sebanyak jumlah disiplin ilmu yang ada. Banyak ilmu pengetahuan yang
berkembang, yang mana ilmu-ilmu itu dapat dibagi ke dalam tiga kelompok sebagai berikut:
1. Ilmu-ilmu deduktif (ilmu-ilmu formal)
2. Ilmu-ilmu induktif (ilmu-ilmu empiris). Dan
3. ilmu-ilmu reduktif (sejarah dsb)
Hakekatnya, persoalan filsafat terdapat diseluruh bidang ilmu dari tiga kelompok tersebut, namun
hanya beberapa saja yang akan kita bahas secara ringkas.
B. Filsafat Politik
Filsafat politik merupakan cabang filsafat yang tertua, merupakan refleksi filsafati mengenai
masalah-masalah sosial politik yang dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: (1) persoalan
hakekat, (2) persoalan fungsi dan tujuan .
Dalam kenyataan persoalan politik bukan hanya mempersoalkan hakekat, fungsi dan tujuan saja,
melainkan juga membicarakan keluarga dalam negara, pendidikan, agama, hak dan kewajiban
individual, kekayaan dan harta milik, pemerintahan dan sebagainya.
Plato dalam bukunya berjudul; "Republik", mempersoalkan dan membahas berbagai
permasalahan tersebut. Menurut Plato, Negara ideal adalah Negara yang penuh dengan kebajikan dan
keadilan. Setiap warganya berfungsi sebagaimana mestinya dalam upaya merealisasikan Negara ideal
itu. Agar warga Negara dapat berfungsi sebagaimana mestinya, pendidikan harus diatur oleh Negara.
Pendidikan menduduki tempat amat penting dalam filsafat politik Plato. Supaya Negara ideal itu
terwujud dengan nyata, yang berhak menjadi raja ialah mereka yang mempelajari filsafat. Raja
haruslah seorang filosuf atau hanya filosuflah yang layak untuk menjadi raja. Bagi, Plato filosuflah
46
yang harus menjadi raja karena filosuf yang benar-benar mengenal ide-ide. Karena ia tahu tentang
kebajikan, kebaikan dan keadilan sehingga pemerintahnya tidak akan mengarah pada kejahatan dan
ketidakadilan.
Karena filosuflah yang dianggap memiliki pengetahuan yang sesungguhnya,
sedangkan bagi Plato "pengetahuan adalah kekuasaan", maka hanya filosuf yang layak memerintah.
Pendapat
Aristoteles adalah bahwa negara adalah persekutuan yang berbentuk polis, yang
dibentuk demi kebaikan tertinggi bagi manusia. Negara harus mengupayakan dan menjamin
kesejahteraan bersama yang sebesar-besarnya, karena hanya dalam kesejahteraan bersama
kesejahteraan induvidu dapat diperoleh.
Langkah sebaiknya menurut Aristoteles, apabila negara diperintah oleh seorang filosuf Raja yang
memiliki pengetahuan sempurna dan amat bijaksana akan menjamin tercapainya kebaikan tertinggi
bagi para warga negaranya. Akan tetapi, di dunia ini tidak mungkin dapat ditemukan seorang filosufRaja yang sempurna. Oleh sebab itu, Aristoteles mengatakan bahwa yang penting ialah menyusun
hukum atau konstitusi terbaik yang menjadi sumber kekuasaan dan menjadi pedoman pemerintahan
bagi para penguasa.
Filsafat Politik Klasik senantiasa bermuara pada etika, yang pada masa itu menduduki tempat
yang paling mulia di antara segala cabang filsafat. Persoalannya yang dikemukakan dan pertanyaan
yang diajukan merupakan abstraksi moral yang bersumber dari upaya untuk memberi arti dan makna
bagi kehidupan individu dan masyarakat. Dengan demikian, ada tujuan lebih pasti dan lebih agung
yang hendak diraih kendati harus melewati perjuangan yang tidak kunjung selesai.
Filsafat politik modern, pokok persoalan yang utama ialah masalah individu dan hak-hak yang
dimilikinya. Itu terlihat jelas lewat tema-tema pembahasan filsafat politik masa kini yang berkisar
pada soal kebebasan, kekuasaan, otoritas, hak-hak asasi manusia, demokrasi, hak dan kewajiban,
keadilan dan sebagainya.
Perbedaan imu politik dengan filsafat akhirnya dipertanyaan. Perbedaannya adalah ilmu politik
bersifat deskriptif, bersangkutan dengan fakta-fakta, sedangkan filsafat politik bersifat normatif,
bersangkutan dengan nilai-nilai. Justru itulah yang menjadi ciri khas filsafat tentang berbagai disiplin
ilmu.
Dari ilmu politik sendiri, filsafat politik dapat mengkritisi atau menghasilkan opini atas
adanya pemilu, kudeta, kekuasaan, serta adanya pragmatisme atau realistisme. Dengan kata lain, di
dalam ilmu politik, filsafat politik mengambil peran sebagai aktor yang mengkritisi suatu hal yang
nyata dan dapat dirasakan masyarakat. Selain itu, di dalam teori politik, filsafat politik mengambil
peran mengkritisi dan mengambil opini mengenai doktrinisasi, suatu bentuk nilai-nilai yang ada di
masyarakat, maupun adanya idealisme-idealisme yang belum tercapai. Dengan demikian, esensi
filsafat politik lebih menonjol kepada suatu bentuk usaha mengkritisi, mengomentari, mendesain
47
ulang, maupun mengontruksi ulang suatu fenomena politik berupa kebijakan atau respon
pemerintah.
Selain itu, didalam filsafat politik juga menjelaskan adanya sejarah dimana filsafat politik
tercipta atas dasar kebutuhan masyarakat akan hak, kewajiban, dan ruang privat yang terus
berkembang. Filsafat politik juga terbentuk sebagai tindak lanjut atas filsafat ilmu pengetahuan dan
filsafat ilmu etika yang sudah ada sebelumnya. Di dalam filsafat ilmu pengetahuan telah dijelaskan
sebelumnya mengenai adanya pertanyaan apapun yang dapat kita tanyakan mengenai ilmu
pengetahuan. Sedangkan di dalam filsafat ilmu etika menghasilkan produk-produk birokrasi berupa
tata aturan dan lain sebagainya. Jadi, keseluruhan dalam filsafat ilmu politik adalah segala hal
mengenai opini, kritik, dan masalah dalam mempertanyakan apapun di dunia politik sehingga dapat
menghasilkan kebijakan baru atau teori baru.
Metode dan Pendekatan dalam Studi Filsafat Politik
Filsafat politik tidak hanya sebatas disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Filsafat politik mempunyai
bidang kajian berupa etika ( mencakup nilai baik / buruk ) dan studi normatif ( mempelajari langsung
ke dalam pemikiran seseorang ( baik filsuf, guru besar, dll ) mengenai suatu hal.
C. Filsafat Hukum
Karya-karya filosuf Yunani, seperti karya Plato dan Aristoteles, terlihat bahwa filsafat hukum
merupakan bagian filsafat politik. Akan tetapi dewasa ini filsafat hukum telah menjadi bagian filsafat
yang berdiri sendiri. Filsafat hukum berbeda dengan ilmu hukum, Filsafat Hukum bersifat universal
karena mempersoalkan hukum yang bersifat umum. Filsafat hukum tidak membicarakan hukum di
Indonesia atau hukum di Amerika Serikat dan Belanda melainkan hukum itu sendiri. Adapun ilmu
hukum mempelajari isi perundang-undangan yang berlaku di suatu Negara, seperti hokum-hukum
yang berlaku di Indonesia , di Perancis, di Amerika Serikat dan sebagainya.
Filsafat Hukum adalah refleksi filsafat mengenai masalah – masalah hukum. Persoalan filsafat
hukum adalah sebenarnya hukum itu, apakah hakikat hukum, apa dan bagaimana sifat hukum itu,
apakah fungsi hukum itu, apakah tujuan hukum itu, apakah keadilan itu mengapa manusia harus
takluk kepada hukum.
Plato membahas membahas hukum dalam bukunya yang berjudul "Republik, Politicus dan The
Laws. Plato mengatakan bahawa hukum hanya merupakan sebagian dari pengetahuan yang dimiliki
oleh penguasa Negara, yaitu sang filosuf – raja. Oleh sebab itu, sang Filosuf Raja tidak tunduk kepada
hukum. Hukum bisa berarti baik bagi yang diperintah, sejauh ia dinilai baik oleh sang filosuf- Raja.
Karena filosuf raja selaku penguasa adalah orang yang arif, yang memiliki moralitas dan pengetahuan
48
yang sempurna, maka warga negara tidak perlu merasa khawatir bahwa pada suatu saat sang filosuf –
raja akan menyalahgunakan kebersamaannya terhadap hukum. Sikap Plato yang demikian
itu
merupakan akibat logis dari keyakinannya yang menempatkan pengetahuan di atas segala-galanya.
Hal ini karena apabila pengetahuan yang dinobatkan menjadi " yang mulia", segala sesuatu yang lain
termasuk hukum harus berada dibawahnya.
Akan tetapi, Kemudian Plato menyadari bahwa ternyata sangat sulit mencari orang yang benarbenar arif dan memiliki ilmu pengetahuan yang sempurna. Oleh sebab itu, dalam bukunya yang
berjudul "Politicus dan The Laws", Plato mengungkapkan betapa perlunya menegakkan hukum dan
membuat undang-undang. Dengan kata lain, para penguasa harus memerintah dengan hukum dan
berdasarkan undang-undang.
Hal ini tidak berarti bahwa Plato mendewakan dan mengagungkan hukum. Ia mengatakan bahwa
undang-undang dibuat demi kebutuhan praktis, namun undang-undang tidak boleh mengikat,
membelenggu dan membatasi gerak seorang negarawan sejati untuk mengubah, menambah atau
membatalkan semua undang-undang yang telah usang.
Selanjutnya, Plato berpendapat bahwa hukum dan undang-undang bukan semata-mata
dimaksudkan untuk memlihara ketertiban dan menjaga stabilitas negara, melainkan untuk menolong
warga negara mencapai "keutamaan atau kebajikan pokok" sehingga benar-benar layak menjadi
warga negara ideal.
Aristoteles berpendapat bahwa hukum adalah sumber kekuasaan dalam negara. Hanya apabila
hukum yang menjadi sumber kepentingan kekuasaan, barulah pemerintahan para penguasa akan
terarah untuk kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum. Hukum sebagai sumber kekuasaan
harus memiliki kewibawaan dan kedaulatan tertinggi dalam negara. Bagi Aristoteles, hukumlah yang
seharusnya memiliki kedaulatan tertinggi, bukan manusia, karena bagaimanapun arifnya para
penguasa itu tidak mungkin mereka dapat menggantikan kedudukan hukum.
Aristoteles adalah filosuf pertama yang membedakan antara hukum kebiasaan (customary laws)
dan hukum tertulis (written laws). Hukum kebiasaan adalah landasan dari segala pengetahuan dan
pengalaman manusia di sepanjang masa. Oleh sebab itu, hukum kebiasaan bersifat abadi, berlaku
dengan sendirinya dan pada dasarnya tidak berubah-ubah. Adapun hukum tertulis, seluruhnya dibuat,
disusun dan ditetapkan oleh manusia, maka dapat diubah-ubah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
manusia.
Menurut tradisi hukum alam (yang berkembang pada abad pertengahan, yang berakar pada ajaran
Stoisisme dan Aristoteles), hukum haruslah sesuai dengan hukum alam yang universal. Para filosuf
Kristen mengatakan bahwa hukum haruslah seirama dengan Hukum ilahi (divine law). Dalam versi
sekuler dikatakan bahwa hukum itu haruslah sejalan dengan natural manusia, bila tidak, hukum itu
bukan hukum yang benar. Oleh sebab itu, lahirlah ungkapan yang mengatakan "lex iniusta non est
lex".
49
Pada masa sekarang dipersoalkan pula mengenai tanggung jawab sebagai masalah utama dalam
"ethical jurisprudence". Dalam keadaan bagaimanakah seseorang bertanggung jawab atas perbuatan
yang melanggar hukum? Sehubungan dengan itu, lahirlah ungkapan yang mengatakan "actus non facit
reum nisi mens si rea ( suatu perbuatan tidak membuat seseorang bersalah kecuali pikirannya
bersalah).
filsafat hukum dapat disebut juga sebagai filsafat tingkah laku atau nilai – nilai etika, yang
mempelajari hakikat hukum. Filsafat hokum ialah merupakan ilmu yang mengkaji tentang hukum
secara mendalam sampa kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakikat (Darji Darmodiharjo,
shidarta, 2004 : 11). Seorang filsuf hukum pasti akan mencari apa inti atau hakikat daripada hukum,
ingin mengetahui apa yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum,
menyelidiki kaidah – kaidah hokum sebagai pertimbangan nilai, memberi penjelasan tentang nilai –
nilai, postulat – postulat (dasar –dasar) hokum sampai pada dasar – dasarnya filsafat yang terakhir,
dan berusaha mencapai akar dari hokum (Mr.soetiksno, 1986 : 02). Jadi, filsafat hokum adalah suatu
perenungan atau pemikiran secara ketat, secara mendalam tentang pertimbangan nilai - nilai di balik
gejala – gejala hokum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindera manusia mengenai perbuatan –
perbuatan manusia dan kebiasaan – kebiasaan masyarakat.
Filsafat hukum adalah filsafat yang objeknya khusus hukum
Pokok kajian filsafat hukum :

Ontologi hukum yaitu ilmu tentang segala sesuatu (Merefleksi hakikat hukum dan konsepkonsep fundamental dalam hukum, seperti konsep demokrasi, hubungan hukum dan
kekuasaan, hubungan hukum dan moral).

Aksiologi hukum yaitu ilmu tentang nilai (Merefleksi isi dan nilai-nilai yang termuat dalam
hukum seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran, dsb)

Ideologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan hukum yang mengangkut cita manusia (Merefleksi
wawasan manusia dan masyarakat yang melandasi dan melegitimasi kaidah hukum, pranata
hukum, sistem hukum dan bagian-bagian dari sistem hukum).

Teleologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan hukum yang menyangkut cita hukum itu sendiri
(Merefleksi makna dan tujuan hukum)

Epistemologi yaitu ilmu tentang pengetahuan hukum (Merefleksi sejauhmana pengetahuan
tentang hakikat hukum dan masalah-masalah fundamental dalam filsafat hukum mungkin
dijalankan akal budi manusia)
50

Logika hukum yaitu ilmu tentang berpikir benar atau kebenaran berpikir (Merefleksi atranaturan berpikir yuridik dan argumentasi yuridik, bangunan logical serta struktur sistem
hukum)

Ajaran hukum umum
Filsafat hukum merupakan ilmu pengetahuan yang berbicara tentang hakekat hukum atau keberadaan
hukum. Hakekat hukum meliputi :
1. Hukum merupakan perintah (teori imperatif)
Teori imperatif artinya mencari hakekat hukum. Keberadaan hukum di alam semesta adalah sebagai
perintah Tuhan dan Perintah penguasa yang berdaulat
Kenyataan sosial yang mendalam (teori indikatif)
Mahzab sejarah : Carl von savigny beranggapan bahwa hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan
berkembang bersama-sama dengan masyarakat.
Aliran sociological jurisprudence dengan tokohnya Eugen Eurlich dan Roscoe Pound dengan
konsepnya bahwa “hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat
(living law) baik tertulis malupun tidak tertulis”.
D. Filsafat Agama
Filsafat agama bukanlah cabang teologi.
Filsafat agama bukan merupakan pembelaan filsafat
terhadap dogma, ajaran teologis tertentu dan keyakinan religus. Filsafat agama adalah cabang filsafat
yang baru muncul sekitar abad ke-18.
Filsafat agama sering juga dikacaukan dengan "teologi natural", istilah yang telah dikenal sejak abad
pertengahan, namun permasalahannya telah dipersoalkan sejak zaman Yunani Kuno. Teologi natural
adalah upaya rasional untuk menjawab pertanyaan tentang "Allah": Apakah Allah benar-benar ada?
Jika benar ada, babagaimana keberadaannya itu?
Bagaimanakah sifat-sifatnya dan bagaimana
hubungannya dengan manusia dan alam? Sebagai contoh, Xenophanes (570-475SM) mengatakan
bahwa Allah itu satu adanya. Allah tidak diciptakan, tidak bergerak, tidak berubah. Ia mengsi seluruh
alam, Ia mengdengar semua, melihat semua dan meimpin alam dengan kekuatan pikirannya.
Aristoteles mengatakan bahwa Allah adalah substansi yang sempurna. Allah itu bersifat imaterial. Ia
adalah penggerak pertama dan sebagai penggerak pertama Ia adalah penggerak yang tidak digerakkan.
Dengan demikian, teologi natural dapat dikatakan dikatakan sebagai puncak metapisika.
Filsafat agama sebenarnya berarti pemikiran filsafat tentang agama. Dapat pula dikatakan
bahwa filsafat agama adalah pemikiran kritis analitis tentang agama. Yang hendak dianalisis oleh
filsafat agama ialah hakikat agama itu sendiri, yaitu pengalaman-pengalaman religius manusia.
Dengan demikian, jelas terlihat bahwa filsafat agama tidak menganalisis isi kepercayaan iman,
51
melainkan mempertanyakan apakah hakikat iman. Juga filsafat agama menganalisis dan berupaya
menjelaskan fenomena agama, terutama hakikat hubungan manusia dengan Allah.
Apakah hakikat agama itu? Agama adalah suatu keyakinan akan adanya suatu kenyataan trans –
empiris, yang yang begitu mempengaruhi dan menentukan, sekaligus juga membentuk dan menjadi
dasar tingkah laku manusia. Oleh karena itu, agama juga merupakan suatu misteri yang tak
terpecahkan oleh akal budi manusia.
Pengalaman religus adalah suatu hubungan pribadi antara manusia dan Tuhan. Hubungan itu
menggoncangkan, tetapi juga memberi kedamaian. R. Otto mengatakan bahwa hubungan manusia
dengan Yang Kudus (Numen) membuat manusia bergetar, segan dan takut. Ungkapan Otto yang
terkenal: Mysterium Tremendum et fascinosum, maksudnya ialah Yang Kudus yang membuat
manusia gemetar, segan dan takut itu juga membuat manusia tertarik dan terdorong untuk menyatu
diri dengan-Nya.
Pengalaman manusia dalam hubungannya dengan Tuhan sangat berbeda dengan pengalaman biasa.
Hubungan dengan Tuhan mendorong manusia untuk mengambil sikap tertentu, antara lain senantiasa
berkomunikasi dengan-Nya lewat doa dan pujian, beriman, menyerahkan diri, taat, mengasihi dan
bergantung kepada-Nya.
Agama ternyata termasuk objek materia filsafat yang tidak dapat diteliti oleh sain. Objek materia
filsafat jelas lebih luas dari objek materi sain. Perbedaan itu sebenarnya disebabkan oleh sifat
penyelidik-an. Penyelidikan filsafat yang dimaksud di sini adalah penyelidikan yang mendalam, atau
keingintahuan filsafat adalah bagian yang terdalam. Yang menjadi penyelidikan filsafat agama adalah
aspek yang terdalam dari agama itu sendiri.
Selain objek materia itu terdapat pula objek forma filsafat yaitu cara pandang yang menyeluruh,
radikal dan objektif tentang yang ada untuk mengetahui hakikatnya. Dengan demikian, agama
sebagai objek forma filsafat adalah cara pandang yang radikal tentang agama dan ber-bagai persoalan
yang terdapat dalam agama itu. Dengan kata lain objek forma filsafat adalah pembahasan yang
mendalam dan mendasar dari setiap hal yang menjadi ajaran dari seluruh agama di dunia ini. Seperti
diung-kapkan di atas bahwa pemabahasan terpenting dalam setiap agama adalah ajaran tentang Tuhan.
Pembahasan ini tidak hanya melihat argumentasi yang memperkuat keya-kinan tentang Tuhan, tetapi
juga argumen yang memban-tah, melemahkan bahkan menolak wujud Tuhan itu. Hal inilah yang
akan dibahas dalam filsafat agama.
Karena begitu mendalamnya pembahasan tentang Tuhan terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi.
Dengan mempelajari agama bisa seseorang
berubah keya-kinan. Ada orang yang membahas
persoalan kepercayaan dalam agama itu menambah keyakinannya terhadap Tuhan. Ada orang yang
membahas persoalan kepercayaan tentang Tuhan, tetapi karena ia tidak mendapatkan kepuas-an dalam
penemuannya sehingga orang itu berpaling dari keyakinannya semula. Jika seorang pada mulanya
percaya kepada Tuhan, tetapi setelah membahas eksistensi Tuhan ia bisa menjadi tidak percaya
kepada Tuhan. Nietzsche, seorang keturunan yang taat beragama adalah salah satu contoh dari
52
persoalan ini. Sebaliknya, seorang yang ateis, yang kemungkinan dalam hidupnya mengalami
kekosong-an dan kegersangan jiwa setelah berfikir tentang penga-laman orang yang beragama bisa
pula menjadi penganut agama yang kuat.
Tidaklah terlalu asing orang mengatakan bahwa pembahasan filsafat agama tidak menambah
keyakinan atau tidak meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan. Ini bisa berarti bahwa pembahasan
agama secara filosofis tidak perlu dan usaha itu adalah sia-sia. Tetapi perlu diingat bahwa pembahasan
filsafat agama bertujuan untuk menggali kebenaran ajaran-ajaran agama tertentu atau paling tidak
untuk mengemukakan bahwa hal-hal yang diajarkan dalam agama tidak bertentangan dengan prinsipprinsip logika.
Sebenarnya objek filsafat agama tersebut tidak hanya persoalan-persoalan ketuhanan semata, tetapi
juga sampai kepada persoalan-persoalan eskatologis. Persoalan eskato-logis pada umumnya berbicara
tentang hari kiamat dan hal-hal yang akan dialami manusia pada waktu itu, seperti persoalan keadilan
Tuhan, penerimaan pahala dan siksa. Pentingnya persoalan eskatologis sebagai objek pemba-hasan
filsafat agama karena eskatologislah yang mendo-rong orang bersemangat orang untuk menjalankan
ajaran agamanya. Tanpa ada tanggung jawab terhadap amal perbuatannya keberadaan agama menjadi
kurang menarik. Hidup sesudah mati inilah yang membuat pemeluknya menjadi tertarik kepada
kepada agama.
Filsafat agama sebenarnya bukanlah langkah untuk menyelesaikan persoalan agama secara tuntas.
Pemba-hasan filsafat agama hanya bertujuan untuk mengungkap-kan argumen-argumen yang mereka
kemukakan dan memberikan penilaian terhadap argumen tersebut dari segi logisnya.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa objek filsafat bukanlah hal-hal yang empiris, bukan seperti
penyelidikan sain yang keingingtahuannya hanya pada batas yang dapat diteliti secara empiris. Dalam
istilah lain, batas penelitian dalam ilmu pengetahuan adalah pada daerah yang dapat diriset, sedangkan
objek filsafat adalah hal-hal yang dapat dipikirkan secara logis. Sain meneliti dengan riset, sedang-kan
filsafat meneliti dangan memikirkannya.
Selain itu filsafat merupakan analisa logis dari segi bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan
konsep. Di sini yang dilihat adalah maksud dari suatu istilah, seperti agama itu maksudnya apa. Sudah
logiskah sesuatu yang dinyatakan dalam agama itu. Dari sekian banyak definisi yang dikemukakan
oleh para ahli filsafat, yang dimaksud dengan filsafat di sini adalah berfikir menurut tata-tertib logika
dengan bebas (tidak terikat pada suatu tradisi, dogma, serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai kepada dasar-dasar persoalan. Yang utama dalam tulisan ini adalah analisis kritis dan
logis terhadap setiap persoalan agama. Sehubungan dengan itu, apa sebenarnya yang menjadi objek
pembahasan filsafat, apakah segala sesuatu tanpa kecuali dapat menjadi objek pembicaraan filsafat.
E. Filsafat Pendidikan
Dalam pengertian ini, pengungkapan bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat terapan, yaitu hasil
ketika cara pandang filsafat masuk dan mengambil objek pendidikan, menjadi pandangan yang keliru,
53
terutama jika ia dilihat secara geneologis, terutama karena hal itu melahirkan kesan makna bahwa
pendidikan adalah sesuatu hal yang sepenuhnya terpisah dari filsafat atau ia berada di luar filsafat.
Oleh karena itu, jika filsafat pendidikan kita konsesi mesti didefinisikan sebagai filsafat terapan, dasar
pijakan bersifat metodis di satu sisi. Sedangkan, di sisi yang lain, ia menegaskan bahwa pendidikan
adalah sesuatu hal yang dipandang sebagai bidang yang sepenuhnya bukan filsafat atau di luar filsafat.
Dalam pengkritisan tersebut, istilah “filsafat pendidikan” selalu menjadi hal yang hanya bisa diterima
dalam pengandaian metodis guna menunjuk upaya-upaya cara pandang filsafat untuk mengkaji ruang
pendidikan atau tepatnya ruang upaya menusia secara umum di dalam membangun hidup dan
kehidupannya untuk menjadi semakin baik dan berkualitas.
Pengandaian metodis ini terpahami terutama kerena proses pelaksanaan upaya manusia secara umum
di dalam membangun hidup dan kehidupannya untuk menjadi semakin baik dan berkualitas lebih
sering berlangsung jauh dari nilai-nilai ideal yang diharapkan. Dalam berbagai kasus, upaya tersebut
justru bermakna sebaliknya, yaitu semakin menjauhkan hidup manusia, baik secara individu ataupun
kolektif dari tata hidup dan kehidupan yang baik dan berkualitas.
Dalam rialitas lapangan, ironi-ironi kontraproduktif tersebut menjadi dengan begitu sangat nyata
sehingga ia bahkan tidak lagi membutuhkan argumentasi apa pun untuk membuktikannya.
Penyelenggaraan pendidikan menjadi penyebab utama dari lahirnya dehumanisasi. Secara ideal,
pendidikan ingin membuat manusia menjadi bermoral. Akan tetapi, dalam praktiknya, pendidikan
terisi dan berlangsung dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan nilai-nilai moral yang dicitacitakan.
Dalam konteks problem seperti inilah dunia modern kemudian mengenal istilah “filsafat pendidikan”,
yaitu filsafat yang secara seksama bermaksud melihat tentang apa, mengapa, dan bagaimana
pendidikan
dalam
pengertian-pengertian
lebih
mendasar
dan
genuine
sehingga
proses
penyelenggaraan pendidikan yang ada di lapangan dapat kembali menemukan makna urgensitasnya
dalam hidup yang ada.
Hingga di sini, secara definitif, filsafat pendidikan tidak lain adalah penerapan upaya metodis
filsafat untuk mempersoalkan konsepsi-konsepsi yang melandasi upaya-upaya manusia di dalam
membangun hidup dan kehidupannya untuk menjadi semakin baik dan berkualitas. Sedangkan,
tujuan upaya-upaya filsafat dalam mempersoalkan adalah guna mengarahkan menyelenggarakan
pendidikan pada kondisi-kondisi etika yang diedialkan. Dalam makana lain, filsafat pendidikan adalah
falsifikasi pendidikan, baik dalam makan teoritis konseptual maupun makna praktis-pragmatis yang
menggejala.
Filsafat pendidikan dalam arti luas ialah pemikiran-pemikiran filsafati tentang pendidikan, tentang
proses pendidikan atau tentang disipilin ilmu pendidikan (the philosophy of the discipline of
education). Filsafat tentang proses pendidikan berkaitan dengan cita-cita, bentuk, metode atau hasil
dari proses pendidikan. Adapun filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan bersifat metadisipliner,
dalam arti berkaitan dengan konsep-konsep, ide-ide dan metode-metode disiplin ilmu pendidikan.
54
Secara histories, filsafat pendidikan dikembangkan oleh para filosuf, seperti Aristoteles, Augustinus
dan John Locke, yaitu filsafat tentang proses pendidikan sebagai bagian dari system filsafat mereka
dalam bentuk konteks teori-teori etika, politik, epistemology dan metafisika yang mereka anut.
Filsafat pendidikan yang dikembangkan pada akhir-akhir ini oleh filosuf analitik merupakan
filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan dalam konteks dasar-dasar pendidikan (foundation of
education) yang dihubungkan dengan bagian-bagian lain dalam disiplin ilmu pendidikan, yaitu sejarah
pendidikan, psikologi pendidikan dan sosiologi pendidikan.
Beberapa aliran filsafat yang begitu mempengaruhi perkembangan filsafat pendidikan sampai saat ini
antara lain sebagai berikut:
1. Filsafat Analitik
Filsafat analitik tidak membahas proporsi-priporsi substanstif atau persoalan –persoalan faktual dan
normatif tentang pendidikan. Filsafat pendidikan analitik menganalisis serta menguraikan istilahistilah dan konsep-konsep pendidikan, seperti pengajaran (teaching), kemampuan (ability), pendidikan
(education) dan sebagainya. Serta mengecam dan mengklarifikasi berbagai slogan pendidikan, seperti
"ajarlah anak-anak dan mata pelajaran" (teach children, not subjects). Alat-alat yang digunakan oleh
filsafat analitik untuk melaksanakan tugasnya adalah logika dan linguistic serta teknik-teknik analisis
yang berbeda antara seorang filosuf dan filosuf lain.
2. Progresivisme
Progresivisme berpendapat bahwa pendidikan bukan sekedar mentransfer pengetahuan kepada anak
didik, melainkan melatih kemampuan dan keterampilan berpikir dengan memberi rangsangan yang
tepat. John Dewey (tokoh pragmatisme) yang termasuk dalam golongan progresivisme menyatakan
bahwa sekolah adalah institusi social dan pendidikan itu sendiri adalah suatu proses sosial.
Selanjutnya, pendidikan adalah proses kehidupan (process of living), bukan sebagai persiapan untuk
masa depan. Pendidikan adalah proses kehidupan itu sendiri, maka kebutuhan individual anak didik
harus lebih diutamakan, bukan subject – oriented.
3. Eksistensialisme
Eksistensialisme menyatakan bahwa yang menjadi tujuan utama pendidikan bukan agar anak didik
dibantu mempelajari bagaimana menanggulangi masalah-masalah eksistensial mereka, melainkan
agar dapat mengalami secara penuh eksistensi mereka. Para pendidik eksistensialis akan mengukur
55
hasil pendidikan bukan semata-mata pada apa yang telah dipelajari dan diketahui si anak didik,
melainkan yang lebih penting apa yang mampu mereka ketahui dan alami. Para pendidik
eksistensialis menolak pendidikan dengan system indoktrinasi.
4. Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan reformasi sosial yang menghendaki renaissance sivilisasi modern.
Para pendidik rekonstruksionalis melihat bahwa pendidikan dan reformasi sosial itu sesungguhnya
sama. Mereka memandang kurikulum sebagai "problem-centered". Pendidikan pun harus menjawab
pertanyaan ( dari George S. Cout): "beranikah sekolah-sekolah membangun suatu orde social baru?"
F. Filsafat Sejarah
Filsafat sejarah mengikuti dua alur yang berbeda, alur pertama berupaya untuk memandang proses
sejarah secara menyeluruh, baru kemudian mencoba menafsirkannya sedemikian rupa untuk
memahami arti dan makna serta tujuan sejarah. Filsafat sejarah yang mengikuti alur pertama disebut
"filsafat sejarah spekulatif". Alur kedua tidak memandang kepada proses sejarah secara
menyeluruh, melainkan justru memikirkan masalah-masalah pokok penyelidikan sejarah itu sendiri,
cara dan metode yang digunakan oleh sejarawan dan sebagainya. Filsafat sejarah yang mengikuti alur
kedua ini disebut "filsafat sejarah kritis".
Dalam filsafat sejarah spekulatif, biasanya ada beberapa pertanyaan yang berupaya dijawab, antara
lain: Apakah hakikat, arti dan makna sejarah itu? Apakah sebenarnya yang menggerakkan proses
sejarah itu? Apakah tujuan akhir proses sejarah itu? Tokoh-tokoh filsafat sejarah spekulatif yang
terkenal ialah Giambattista Vico (1668-1744), Hohann Gottfried von Herder (1744-1803), George
Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883) dan Aenold Hoseph Toynbee (18891975).
Dasar yang digunakan para filosuf sejarah spekulatif untuk menafsirkan proses sejarah begitu
bervariasi. Ada yang mendasarkan tafsiran mereka atas dasar pertimbangan empiris, metafisis, dan
juga religius. Karena dasar yang digunakan berbeda-beda, tentu saja bentuk dan hasil tafsiran mereka
pun berbeda-beda. Sebagai contoh, Marx berpendapat sejarah sesungguhnya mengikuti pola garis
lurus tunggal yang terarah pada suatu tujuan yang dapat diketahui sebelumnya. Bagi Toynbee, sejarah
merupakan suatu siklus perubahan tetap yang senantiasa berulang.
Hal-hal yang dipertanyakan dalam filsafat sejarah kritis muncul dari renungan atas pemikiran dan
penalaran menurut ilmu sejarah, terutama bersifat epistemologis dan konseputual. Pada umumnya
pembahasan berkisar pada dua pokok soal yang penting, yaitu mengenai logisitas eksplanasi yang
diketengahkan oleh sejarawan professional dan status epistemologis narasi sejarah masa silam.
Karena itu, timbullah pertanyaan-pertanyaan, bagaimanakah sifat logis eksplanasi peristiwa-peristiwa
yang dikemukan oleh sejarawan itu? Apakah narasi sejarah memiliki validitas objektif? Tokoh-tokoh
56
filsafat sejarah kritis ialah Wilhelm Dilthey (1833-1911), Benedetto Croce (1866-1952), dan Robin
George Collingwood (1889-1943).
Filsafat sejarah menurut Ankersmit yaitu merupakan suatu bagian dari filsafat yang memiliki
keterkaitan dengan perenungan, bersifat spekulatif guna menjawab beberapa masalah dalam suatu
proses sejarah. Filsafat sejarah menurutnya terdiri atas tiga unsur yang memang saling
berhubungan; namun masing-masing berdasarkan permasalahannya sendiri. Unsur-unsur tersebut
antara lain unsur deskriptif, spekulatif dan kritis.
Prof. J.M. Romein (1893-1962) seorang ahli sejarah asal Belanda membedakan istilah teori
sejarah dengan filsafat sejarah. Teori-teori sejarah dia berikan tempat tersendiri untuk dipelajari.
Teori sejarah menurut Romein bertugas untuk menyajikan teori-teori dan konsep-konsep yang
memungkinkan seorang ahli sejarah mengadakan integrasi terhadap semua pandangan fragmentaris
mengenai masa silam seperti dikembangkan oleh macam-macam spesialisasi di dalam ilmu sejarah,
selain itu teori sejarah juga bertugas menyusun kepingan-kepingan mengenai masa silam sehingga
kita dapat mengenali kembali wajah masa silam melalui integrasi masa silam.
Angkersmit tidak setuju dengan pendapat Romein yang membedakan filsafat sejarah
dengan teori sejarah. Menurut Ankersmit teori sejarah dengan filsafat sejarah tidak ada batasan
kajian dalam pengkajiannya. Filsafat sejarah sangat terkait dengan teori sejarah dalam kata lain
filsafat sejarah mempelajari teori-teori sejarah. Maka dari itu Ankersmit berpendapat agar istilah
teori sejarah dijadikan dalam satu istilah yaitu filsafat sejarah. Maka menurut Ankersmit teori
sejarah merupakan isi konsep-konsep dan teori-teori sejarah yang dikaji dalam filsafat sejarah.
Saya sependapat dengan Ankersmit bila istilah teori sejarah dan filsafat sejarah dijadikan
satu dalam satu istilah sejarah, seperti yang telah diuraikan di atas bila teori sejarah berdiri sendiri
sebagai bidang spesialisasi ilmu sejarah maka filsafat sejarah kajian yang dipelajari amat sempit.
Bukankah filsafat sejarah mempelajari renungan-renungan untuk menjawab permasalahanpermasalahan dalam proses sejarah, maka layaklah apabila teori sejarah dijadikan dalam satu istilah
sejarah. Filsafat sejarah adalah ilmu yang mempelajari tentang teori-teori sejarah yang merupakan
suatu hasil perenungan filsafati untuk menjawab masalah-masalah yang ada dalam preses sejarah di
masa silam.
Filsafat sejarah menurut Ankersmit terdiri atas tiga unsur yaitu deskriptif, spekulatif dan
kritis. Ankersmit membedakan filsafat sejarah menjadi dua bagian yaitu filsafat sejarah spekulatif
dengan filsafat sejarah kritis.
57
Filsafat sejarah spekulatif merupakan perenungan filsafati mengenai tabiat-tabiat atau sifatsifat proses sejarah. Tiga hal yang manjadi pusat perhatian filsafat sejarah spekulatif yaitu pola
dalam proses sejarah, motor penggerak sejarah, dan tujuan peristiwa sejarah. Filsafat sejarah
spekulatif yang lebih dekat dengan metafisis, penuh ketidakpastian ini memunculkan kritis oleh para
ahli sejarawan. Apabila sejarah bersifat metafisis bagaimana cara kita untuk dapat mempercayai dan
membuktikan kebenaran sejarah yang diterangkan.
Filsafat sejarah kritis merupakan sikap kritis dan skeptis atas peristiwa sejarah, konsepkonsep sejarah, teori-teori sejarah, dan penulisan sejarah yang penuh subyektivitas. Menurut saya
filsafat sejarah kritis lebih baik untuk dipelajari karena dapat membuka pamahaman dan wawasan
kita mengenai sejarah. Sejarah kritis ini mengajak kita agar tidak mudah untuk mempercayai begitu
saja pemahaman sejarah orang lain dengan begitu ilmu sejarah akan terus berkembang.
Pemikiran filsafat sejarah yang pertama yaitu Hegel. Hegel menyatakan bahwa filsafat
sejarah merupakan hasil karya Budi atau Roh. Roh atau Budi memiliki dua sifat yaitu Roh Subyektif
dan Roh Obyektif. Roh yang bersifat subyektif inilah yang mendorong manusia untuk melakukan
suatu proses sejarah. Hegel tidak mempercayai adanya suatu kebetulan dalam suatu peristiwa
sejarah. Kenyataan menurutnya adalah suatu hal yang didasarkan pada konsep-konsep rasional.
Hegel membedakan filsafat sejarah menjadi dua macam yaitu filsafat sejarah formal dan filsafat
sejarah material. Filsafat sejarah formal didasarkan pada akal budi manusia sedangkan filsafat
sejarah material mengukur segala sesuatu tentang sesuatu yang Nampak atau dapat ditangkap oleh
rasional. Hegel ini merupakan salah satu pendukung filsafat sejarah spekulatif yang penuh dengan
perkiraan. Maka dari itu filsafat sejarah ala Hegel banyak memiliki kelemahan yang memaknai
sejarah dengan apriori dan aposteriori. Salah satu sejarawan yang mengkritik pemikiran filsafat ala
Hegel yaitu adalah Leopold von Ranke.
Pemikiran filsafat sejarah Leopold von Ranke yang sangat mengkritisi pemikiran sejarah
“Fajar Budi” ala Hegel. Ranke berpendapat seorang peneliti sejarah ‘bukannya menghakimi masa
silam, bukannya memberi ajaran yang berguna kepada masyarakat mengenai masa mendatang,
melainkan hanya menunjukkan bagaimana masa sebetulnya masa silam tersebut”. Dari pernyataan
tersebut Ranke tidak menyetujui adanya filsafat sejarah karena berupa pemikiran-pemikiran yang
tidak bersumber dari fakta atau sumber sejarah yang kongkrit, melainkan dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran seorang filusuf sejarah. Leopold von Ranke merupakan bapak dari pemikiran
Historisme yang menyusun peristiwa sejarah dimulai dari sumber-sumber sejarah.
58
G. Filsafat Bahasa
Filsafat bahasa yang berkembang dewasai ini sering disebut sebagai filsafat analitik. Pelopornya
adalah George Edward Moore (1973-1959),seorang filosuf Inggris dari Universitas Cambridge.
Filsafat bahasa yang dikembangkan oleh Moore merupakan kritik terhadap neo-idealisme, yang
katanya membuat pertanyaan-pertanyaan filsafat yang tidak dapat dipahami karena tidak didasarkan
kepada logika. Menurut Moore, tugas filsafat bukanlah untuk memberi eksplanasi atau interpretasi
mengenai pengalaman kita, melainkan memberi penjelasan dan keterangan konsep atau gagasan lewat
analisis yang berdasarkan pada akal sehat (common sense). Moore berpendapat bahwa kekacauan
dalam filsafat terjadi karena ungkapan filsafati bersimpang jalan dengan bahasa biasa yang digunakan
sehari-hari. Hal itu justru menunjukkan bahwa common sense telah diabaikan.
Filosuf yang mengemukakan filsafat analitik lebih lanjut ialah Bertrand Russell (1872-1970) da
Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Keduanya dari Universitas Cambridge. Ketika studi di Cambridge,
Wittgenstein adalah murid Russell, tetapi di dalam berfilsafat, Russell belajar banyak dari
Wittgenstein.
Menurut Russell, bahasa yang benar merupakan deskripsi dari realitas. Dengan menyelidiki
unsur-unsur paling kecil dari bahasa, Russell menemukan gambaran dari fakta-fakta atomis. Ia
menyebut bagian-bagian yang paling kecil dari bahasa sebagai atom-atom logis. Rangkaian atomatom logis itu membentuk apa yang disebutnya molekul-molekul logis, yaitu pernyataan-pernyataan
sederhana. Russell berpendapat bahwa filsafat yang benar –benar
bercorak ilmiah haruslah
menggunakan bahasa logika bukan bahasa biasa.
Filsafat Wittgenstein dibagi kedalam dua periode yang masing-masing mempengaruhi aliranaliran filsafat tertentu. Pemikiran Wittgenstein dalam periode sebelum 1930 (Wittgenstein I), yang
dikenal lewat karya tulisnya yang berjudul "Tractus Logico Philosophicus", mempengaruhi lingkaran
Wina dan Neo-positivesme di Inggris. Pemikiran Wittgenstein sesudah tahun 1930 (Wittgenstein II),
yang dikenal lewat karyanya yang berjudul "Philosopihcal Investigations", menjadi titik awal analitik
bahasa.
Wittgenstein I, menegaskan bahawa hanya pernyataan-pernyataan deskriptif yang memiliki arti.
Bahasa haruslah merupakan suatu deskripsi atau gambaran yang jelas dari suatui realitas, bila tidak, ia
sama sekali tidak memiliki arti.
Wittgenstein II, menyatakan bahwa arti suatu pernyataan tergantung pada jenis bahasa yang
digunakan. Ada berbagai jenis penggunaan bahasa yang semuanya memiliki logika dan kebenaran
tersendiri. Dalam "Philosophical investigations, menjelaskan konsepnya tentang permainan bahasa
(language games). Permainan bahasa adalah suatu proses pemakaian kata, termasuk pula pemakaian
bahasa sederhana. Setiap bentuk permainan bahasa memeliki ketentuan dan aturan sednidi yang tidak
boleh dicampuradukan agar tidak menimbulkan kekacauan. Dengandemikian, jelas terlihat bahwa
tidak mungkin ada ketentuan dan peraturan umum yang dapat mengatur seluruh bentuk permainan
59
bahasa. Jelas pula bahwa arti sebuah kata tergantung pada pemakaiannya dalam kalimat. Adapun arti
kalimat tergantung pada pemakaiannya dalam bahasa.
Bidang-bidang khusus yang dikaji dalam filsafat bahasa, yaitu:
a)
Filsafat Analitik, Filsafat analitik atau filsafat linguistik atau filsafat bahasa, penggunaan
istilahnya tergantung pada preferensi filusuf yang bersangkutan. Namun pada umumnya kita
dapat menjelaskan pendekatan ini sebagai suatu yang menganggap analisis bahasa sebagai
tugas mendasar filusuf. Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh
seorang matematikawan bernama Gottlob Frege. Frege memulai sebuah revolusi logika
(analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filsuf-filsuf kontemporer.
Ia menganggap bahwa logika sebetulnya bias direduksi kedalam matematika, dan yakin
bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang
diungkapkan dengan jelas. Yang lebih penting, ia percaya logika mampu mengerjakan tugastugas jauh melampaui apa saja yang dibayangkan oleh Aristoteles, asalkan makna para
logikawan bisa mengembangkan cara pengungkapan makna linguistik. Seluruhnya dengan
simbol-simbol logika. Salah satu idenya yang berpengaruh adalah membuat perbedaan “arti”
(sense) proposisi dan “acuannya” (referenci)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi
memiliki makan bahwa apabila mempunyai arti sekaligus acauan. (ide ini mengandung
kemiripan yang menonjol, secara kebetulan dengan pernyataan Kant bahwa pengetahuan
hanya muncul melalui sintesis antara konsep dan intuisi).
b)
Filsafat Sintetik, Tekanan yang berlebihan pada logika analitik dalam filsafat, seperti yang
telah kita amati, sering menimbulkan pandangan yang mengabaikan semua mitos dalam
pencarian sistem ilmiah. Sejauh mana filsuf-filsuf membolehkan cara pikir mitologis untuk
memainkan peran dalam berfilsafat barangkali sebanding dengan sejauh mana mereka
mengakui berapa bentuk logika sintetik sebagi komplemen sebagai analitik yang sah. Contoh:
yesus mengalami hubungan antara bapak da putra, sehingga ia mgajari pengikut-pengikutnya
agar berdo’a kepada bapak mereka yang di surga.
c)
Filsafat Hermeneutik aliran utama filsafat ketiga pada abad kedua puluh meminjam namanya,
dengan alas an yang baik, mengingat sifat mitologis ini. Sebgaiman tugas hermes ialah
mengungkapkan makna tersembunyi dari dewa-dewa ke manusia-manusia, filsafat
hermeneutik pun berusaha memahami persoalan paling dasar dalam kajian ilmu tentang
logika atau filsafat bahasa: bagaimana pemahaman itu sendiri mengambil tempat bilamana
kita menafsirkan pesan-pesan ucapan atau tulisan. Filsafat hermeneutic memilik akar yang
dalam di kebudayaan barat. Bahkan, Aristoteles sendiri menulis buku berjudul peri
hermeneias (tentang interpretasi), walau ini lebih berkenan dengan pertanyaan-pertanyaan
dasar logika daripada dengan persoalan yang saat ini kita kaitkan dengan hermeneutika.
Karya pertama yang berusaha secara praktis obyektif menata prinsip-prinsip penafsiran
60
semacam itu adalah introduction to the correct interpretation of reasonable discourses and
book , karya Johann Chladenius .
Dengan menetapkan hermeneutika sebagai seni pemorelahan pemahaman pembicaraan secara
lengkap (entah ucapan entah tulisan), ia mengsulkan tiga prinsip dasar yang harus selalu diikuti:
(1) pembaca harus menangkap gaya atau “genre” pembicara/penulis;
(2) aturan logika yang tak bisa berubah dari Aristotelian harus digunakan untuk menagkap makna
setiap kalimat;
(3) “perspektif” atau “sudut pandang” pembicara/penulis harus ditanamkan di dalam benak,
terutama ketika membandingkan laporan yang berbeda tentang peristiwa atau pandangan yang
sama.
H. Filsafat Matematika
Sejak abad ke-5 sampai dengan ke-3 SM. Matematika telah dikenal di Mesir dan Babilonia sebagai
suatu alat yang sangat berguna untuk memecahkan berbagai persoalan dan masalah praktis. Sebagai
contoh, banjir tahuan di lembah sungai Nil memaksa orang Mesir purba mengembangkan suatu rumus
atau formula yang membantu mereka menetapkan dan menentukan kembali batas-batas tanah.
Rumus-rumus matematika juga digunakan untuk konstruksi, penyusunan kalender dan perhitungan
dalam perdagangan. Akan tetapi, matematika sebagai ilmu, baru dikembangkan oleh para filosuf
Yunani sekitar lima ribu tahun kemudian. Filosuf besar Yunani yang mengembangkan Matematika
ialah Pythagoras dan Plato, kendati dapat dikatakan bahwa secara umum semua filosuf Yunani purba
bukan hanya menguasai matematika, melainkan juga ikut serta dalam pengembangannya.
Bagi, Pythagoras, matematika adalah alat yang sangat penting untuk memahami filsafat. Ia pun
menemukan fakta yang menunjukkan bahwa fenomena yang berbeda dapat memperlihatkan sifat-sifat
matematis yang identik. Oleh sebab itu, ia menyimpulkan bahwa sifat-sifat tersebut dapat
dilambangkan ke dalam bilangan dan dalam keterhubungan angka-angka. Semboyan Pythagoras yang
sangat terkenal ialah " Panta arithmos " artinya segala sesuatu ada bilangan".
Plato berpendapat bahwa geometri adalah kunci untuk meraih pengetauan dan kebenaran filsafat.
Menurut Plato, ada suatu "dunia" yang disebutnya "dunia ide", yang dirancang secara matematis.
Segala sesuatu yang dapat dipahami lewat indra, hanyalah suatu representasi tidak sempurna dari
"dunia ide" tersebut.
Prinsip pertama dan utama matematika saat itu ialah abstraksi karena bagi para filosuf Yunani yang
mengembangkan matematika, kebenaranpada hakikatnya hanya bersangkut paut dengan suatu entitas
permanent dansuatu keterhubungan serta pertalian yang tidak berubah-ubah. Oleh sebab itu, jelas
bahwa sejak semula matematika bukan hanya merupakan alat bagi pemahaman filsafati, melainkan
juga merupakan bagian dari pemikiran filsafat itu sendiri.
Pada masa kini filsafat matematika lebih mengeraskan titik tumpunya pada tudi tentang konsepkonsep matematika, hakikat matematika (termasuk ciri-ciri dan karakteristiknya), prinsip-prinsip serta
61
justifikasi prinsip-prinsip yang digunakan di dalam matematika dan landasan matematika (foundations
of mathematics".)
Ada pula pendepat dari galangan ahli matematika yang mengharapkan agar para filosuf dapat berbuat
lebih banyak dengan menjadikan filsafat matematika sebagai penyusun, penghimpun dan penertib
ilmu matematika yang dianggap telah berkeping-keping dan kacau balau selama abad-abad.
Hubungan Filsafat Dengan Matematika
Matematika dan filsafat mempunyai sejarah keterikatan satu dengan yang lain sejak jaman Yunani
Kuno. Matematika di samping merupakan sumber dan inspirasi bagi para filsuf, metodenya juga
banyak diadopsi untuk mendeskripsikan pemikiran filsafat. Kita bahkan mengenal beberapa
matematikawan yang sekaligus sebagai sorang filsuf, misalnya Descartes, Leibniz, Bolzano, Dedekind,
Frege, Brouwer, Hilbert, G¨odel, and Weyl. Pada abad terakhir di mana logika yang merupakan kajian
sekaligus pondasi matematika menjadi bahan kajian penting baik oleh para matematikawan maupun
oleh para filsuf. Logika matematika mempunyai peranan hingga sampai era filsafat kontemporer di
mana banyak para filsuf kemudian mempelajari logika. Logika matematika telah memberi inspirasi
kepada pemikiran filsuf, kemudian para filsuf juga berusaha mengembangkan pemikiran logika
misalnya “logika modal”, yang kemudian dikembangkan lagi oleh para matematikawan dan
bermanfaat bagi pengembangan program komputer dan analisis bahasa.
Godel menyimpulkan bahwa suatu sistem matematika jika dia lengkap maka pastilah tidak akan
konsisten; tetapi jika dia konsisten maka dia patilah tidak akan lengkap. Hakekat dari kebenaran
secara bersama dipelajari secara intensif baik oleh filsafat maupun matematika. Kajian nilai
kebenaran secara intensif dipelajari oleh bidang epistemologi dan filsafat bahasa. Di dalam
matematika, melalui logika formal, nilai kebenaran juga dipelajari secara intensif. Kripke, S. dan
Feferman (Antonelli, A., Urquhart, A., dan Zach, R. 2007) telah merevisi teori tentang nilai
kebenaran; dan pada karyanya ini maka matematika dan filsafat menghadapi masalah bersama. Di
lain pihak, pada salah satu kajian filsafat, yaitu epistemologi, dikembangkan pula epistemologi
formal yang menggunakan pendekatan formal sebagai kegiatan riset filsafat yang menggunakan
inferensi sebagai sebagai metode utama. Inferensi demikian tidak lain tidak bukan merupakan logika
formal yang dapat dikaitkan dengan teori permainan, pengambilan keputusan, dasar komputer dan
teori kemungkinan.
Para matematikawan dan para filsuf secara bersama-sama masih terlibat di dalam perdebatan
mengenai peran intuisi di dalam pemahaman matematika dan pemahaman ilmu pada umumnya.
Terdapat langkah-langkah di dalam metode matematika yang tidak dapat diterima oleh seorang
intuisionis. Seorang intuisionis tidak dapat menerima aturan logika bahwa kalimat “a atau b” bernilai
62
benar untuk a bernilai benar dan b bernilai benar. Seorang intuisionis juga tidak bisa menerima
pembuktian dengan metode membuktikan ketidakbenaran dari ingkarannya. Seorang intuisionis
juga tidak dapat menerima bilangan infinit atau tak hingga sebagai bilangan yang bersifat faktual.
Menurut seorang intuisionis, bilangan infinit bersifat potensial. Oleh karena itu kaum intuisionis
berusaha mengembangkan matematika hanya dengan bilangan yang bersifat finit atau terhingga.
Banyak filsuf telah menggunakan matematika untuk membangun teori pengetahuan dan penalaran
yang dihasilkan dengan memanfaatkan bukti-bukti matematika dianggap telah dapat menghasilkan
suatu pencapaian yang memuaskan. Matematika telah menjadi sumber inspirasi yang utama bagi
para filsuf untuk mengembangkan epistemologi dan metafisik. Dari pemikiran para filsuf yang
bersumber pada matematika diantaranya muncul pemikiran atau pertanyaan: Apakah bilangan atau
obyek matematika memang betul-betul ada? Jika mereka ada apakah di dalam atau di luar pikiran
kita? Jika mereka ada di luar pikiran kita bagaimana kita bisa memahaminya? Jika mereka ada di
dalam pikiran kita bagaimana kita bisa membedakan mereka dengan konsep-konsep kita yang
lainnya? Bagaimana hubungan antara obyek matematika dengan logika? Pertanyaan tentang “ada”
nya obyek matematika merupakan pertanyaan metafisik yang kedudukannya hampir sama dengan
pertanyaan tentang keberadaan obyek-obyek lainnya seperti universalitas, sifat-sifat benda, dan
nilai-nilai; menurut beberapa filsuf jika obyek-obyek itu ada maka apakah dia terkait dengan ruang
dan waktu? Apakah dia bersifat aktual atau potensi? Apakah dia bersifat abstrak? Atau konkrit? Jika
kita menerima bahwa obyek matematika bersifat abstrak maka metode atau epistemologi yang
bagaimana yang mampu menjelaskan obyek tersebut? Mungkin kita dapat menggunakan bukti
untuk menjelaskan obyek-obyek tersebut, tetapi bukti selalu bertumpu kepada aksioma. Pada
akhirnya kita akan menjumpai adanya “infinit regress” karena secara filosofis kita masih harus
mempertanyakan kebenaran dan keabsahan sebuah aksioma.
Hannes Leitgeb di (Antonelli, A., Urquhart, A., dan Zach, R. 2007) di “Mathematical Methods in
Philosophy” telah menyelidiki penggunaan matematika di filsafat. Dia menyimpulkan bahwa metode
matematika mempunyai kedudukan penting di filsafat. Pada taraf tertentu matematika dan filsafat
mempunyai persoalan-persoalan bersama. Hannes Leitgeb telah menyelidiki aspek-aspek dalam
mana matematika dan filsafat mempunyai derajat yang sama ketika melakukan penelaahan yatitu
kesamaan antara obyek, sifat-sifat obyek, logika, sistem-sistem, makna kalimat, hukum sebab-akibat,
paradoks, teori permainan dan teori kemungkinan. Para filsuf menggunakan logika sebab-akibat
untuk untuk mengetahui implikasi dari konsep atau pemikirannya, bahkan untuk membuktikan
kebenaran ungkapan-ungkapannya. Joseph N. Manago (2006) di dalam bukunya “ Mathematical
Logic and the Philosophy of God and Man” mendemonstrasikan filsafat menggunakan metode
63
matematika untuk membuktikan Lemma bahwa terdapat beberapa makhluk hidup bersifat
“eternal”. Makhluk hidup yang tetap hidup disebut bersifat eternal.
E. Soal / Tugas
Jawablah pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskanlah bagaimana perlunya filsafat khusus dalam cabang-canga ilmu pengetahuan?
2. Apakah kajian filsafat dalam ilmu politik?
3. Apakah perbedaan kajian filsafat politik klasik dengan modern?
4. Apakah kajian yang dibicarakan dalam bilsafat hukum?
5. bagaimana pandangan Aritoteles dan Plato tentang filsafat hukum itu?
6. Apakah pokok persoalan yang dikaji oleh filsafat Agama?
7. Bagaimana pendapat Xenophane dan R. Otto tentang filsafat agama?
8. Jelaskanlah apakah yuang menjadi objek kajian filsafat pendidikan?
9. jelaskanlah beberapa aliran yang mempengaruhi perkembangan folsafat pendidikan?
10. Jelaskan dua alur yang diikuti filsafat sejarah serta apa perbedaannya?
11. Apakah pendapat Moore dan Russell tentang filsafat bahasa?
12. Bagaimana perkembangan filsafat matematika.jelaskanlah!
Daftar Pustaka:
1. Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Cet. Ke 3. Bandung. Remaja Rosdakarya.
2. Kartanegara, Mulyadi. 2005. The Best Chicken Soup of The Philosophers (terj. Ahmad
Fadhil). Jakarta. Himah
3. Rapar, Jan Hndrik. 2005. Pengantar Filsafat. Cet. Ke-10. Jokyakarta. Kanisius.
4. Osborne, Richard. 2001. Filsafat Untuk Pemula (terj.) Cet. Ke-1. Jokyakarta. Kanisius..
64
Download