FUNGSI ESTETIKA PERTUNJUKAN

advertisement
FUNGSI ESTETIKA PERTUNJUKAN
SALAWAIK DULANG MASYARAKAT PARIANGAN
Firman
Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padang Panjang
ABSTRACT
This research is focused on function of Salawaik Dulang art, at Nagari
Pariangan, Province of West Sumatera in cultural perspective based on
theory of aesthetic, theory of change, and theory of functional. This research
refers to qualitative research. Data collected by using the techniques of
priamry data dan secondary data. The primary data found on field research,
observation, and interview, and secodary data got from several
documentation and recording techniques. Based on the formulation of the
problems stated, several findings are found. In this research is proved that
the form of salawaik dulang Pariangan, West Sumatera is not just changing
in the side of aesthetic, but also in the side of custom, and theme of text. The
finding of this research also indicates that the function of salawaik dulang
Pariangan, West Sumatera contains ritual and civilization celebration
function, social bounding function, media of information and transformation of
value function, religious discourse function, integrative function,
entertainment function, commercialism function, existence and competitive
function, and cultural continuity function.
Keyword : Salawaik Dulang, Media Informasi, Transformasi Nilai
1. Pendahuluan
Pertunjukan salawaik dulang di Pariangan tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat pendukungnya. Alasannya adalah karena sudah dipahami dan
dimengerti oleh masyarakat. Selain coraknya yang berbentuk tradisionil, juga
pengaruh kontak budaya dan kehadiran teknologi seperti radio, kaset rekaman,
dan televisi sedikit banyak telah telah menggeser dan mengubah kegunaan dan
fungsi kesenian tersebut. Demikian pula halnya, pengaruh budaya komersial
yang semakin berkembang dewasa ini ikut mempengaruhi sekaligus
menimbulkan dampak positif, maupun negatif terhadap kelanjutan kehidupan
sosial masyarakat pendukungnya.
Pertunjukan salawaik dulang tersebut beserta subsistem-subsistemnya
terutama yang terkait dengan “guna” dan “fungsi” dielaborasi dan dieksplorasi
pada subbagian ini. Uraian itu divalidasi dengan kriterium fungsi dan guna
kehidupan masyarakat pendukungnya. Artinya secara subtansial, fungsi atau
guna tidak hanya dianggap sebagai hal yang bersifat material, tetapi juga
sebagai hal yang bersifat dialektis budaya. Secara eksistensial, kajian salawaik
dulang nagari Pariangan tidak terlepas dari watak masyarakat Minangkabau
Linguistika Kultura, Vol.01, No.02/ November /2007
yang dinamis seperti dalam fatwa adatnya “sekali aia gadang, sakali tapian
baraliah, usang-usang dipabaharui.
Dalam menyikapi pesatnya globalisasi dan teknologi menyebabkan
munculnya kreativitas seni untuk menjaga kesinambungan dan kelestarian
budaya. Kebutuhan perubahan selain secara tidak langsung berpengaruh
terhadap segala aspek kehidupan manusia (Giddens dalam Alfian, 1992:99),
juga berpengaruh terhadap kegunaan suatu kebudayaan, diantaranya kesenian
salawaik dulang.
Terkait dengan hal di atas, pertunjukan salawaik dulang di nagari
Pariangan, Propinsi Sumatera Barat dewasa ini, digunakan tidak hanya terbatas
pada upacara perayaan hari-hari besar agama dan upacara adat, tetapi juga
digunakan untuk hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakat dan ritus-ritus
keagamaan, serta penyampaian pesan-pesan tertentu seperti kemanusiaan,
pesan politik, kampanye, dan lain-lain.
Kesenian salawaik dulang sebagai sebuah bentuk ekpresi estetik,
ekspresi kebudayaan, dan ekspresi perasaan, dan lain-lain menyandang
beberapa fungsi sosial. Sejalan dengan beberapa pendapat para ahli tersebut,
Parsons (dalam Hadi, 2000:57), menyatakan bahwa masyarakat sebagai sebuah
sistem, yang terdiri dari bagian-bagian, antara satu dengan yang lainnya saling
berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan (ekuilibrium) (Hadi, 2000:57).
Sebagai salah satu unsur kebudayaan, kesenian salawaik dulang dalam
pertunjukannya memiliki fungsi ekspesi-ekpresi artistik, yang berhubungan
dengan
karakteristik-karakteristik
dasar
masing-masing
masyarakat
pendukungnya. Melalui seni, sang artis dapat mengkomunikasikan kebenaran
pada orang lain antara lain melalui objek estetis dan hasil karya manusia.
Penikmat seni tidak saja menikmati keindahan, tetapi juga menemukan
kebenaran, apresiasi, kepuasan, kenikmatan, dan hiburan (Maran, 2000:46).
Untuk mencermati penggunaan kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan
yang terdapat pada masyarakat, seharusnya dapat merujuk kepada guna dan
fungsi seni tersebut dalam masyarakat terutama melibatkan praktek kebiasaan
dan hubungannya dengan aktivitas lainnya.
Menyikapi kondisi demikian, tukang salawaik dan sebagian masyarakat
pecinta seni pertunjukan salawaik dulang tidak hanya tinggal diam, akan tetapi
berusaha mengambil inisiatif untuk mengembangkan salawaik dulang, sehingga
berfungsi menjadi seni pertunjukan yang bisa dinikmati oleh masyarakat umum.
Berpijak dari beberapa pandapat di atas, bahwa kegunaan salawaik dulang di
nagari Pariangan dalam berbagai konteks sosial masyarakat dapat dilihat pada
pembahasan-pembahasan berikut.
2. Fungsi Salawaik Dulang
Fungsi merupakan pemakaian sebagian aktivitas sosial tertentu serta
memberikan konstribusi kepada keseluruhan kehidupan sosial (Brown, dalam
Wilma, 1999:108). Suparlan (1987:6) mengatakan bahwa fungsi seni adalah
beroperasi dalam konteks situasi yang berbeda-beda. Selanjutnya Walacce
dalam Rohidi (2000: 33), menegaskan bahwa untuk melihat fungsi sebuah karya
seni terkait dengan lingkungan kebudayaan dan kerangka pola-pola kelakuan
yang antara lain terwujud dalam bentuk kebiasaan, kesepakatan, dan berbagai
cara penanggulangan yang dipranatakan dalam kehidupan sosialnya. Di sisi lain,
106
Firman
Merriam (1962:210) mengatakan bahwa dalam membahas hal yang berkaitan
dengan fungsi seni pertunjukan, diharuskan merujuk kepada kesenian yang
digunakan dalam masyarakat, antara lain melibatkan praktek kebiasaan dan
hubungan seni dengan berbagai aktivitas lainnya dalam masyarakat. Merriam
mengemukakan empat fungsi seni, yaitu (1) sinonim dengan kata operasi
(memainkan sebuah peran, atau sedang aktif melakukan sesuatu); (2) tidak acak
(semua fakta sosial mempunyai fungsi); (3) dapat memberikan rangsangan fisik;
dan (4) memiliki kefektivan khusus.
Perubahan teknologi dan ekonomi yang cepat pada beberapa dasawarsa
terakhir, merupakan saat yang paling penting dalam perubahan kehidupan politik,
sosial dan budaya semenjak Indonesia merdeka. Daerah Minangkabau,
khususnya nagari Pariangan tidak terkecuali, juga mengalami proses
perkembangan tersebut. Hal itu antara lain dapat dilihat pada sejumlah
perubahan yang berkaitan dengan kegunaan dan fungsi pertunjukan salawaik
dulang.
2.1 Fungsi Perayaan Keagamaan dan Adat
Pertunjukan salawaik dulang di
nagari Pariangan antara lain
diselenggarakan untuk perayaan atau bagian dari upacara keagamaan.
Perayaan keagamaan yang dimaksud adalah kegiatan atau acara untuk
memperingati peristiwa-peristiwa keagamaan yang berkaitan dengan agama
Islam, seperti perayaan hari Maulid Nabi Muhammad s.a.w. Perayaan hari
Maulid Nabi Muhammad s.a.w merupakan sebuah upacara religius umat Islam
dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad, yang
diselenggarakan pada tanggal malam 11 Rabiul’awal sampai subuh 12
Rabbiul’awal. Kegunaan pertunjukan salawaik dulang pada acara tersebut
adalah untuk memberikan kesadaran pada masyarakat Minangkabau agar lebih
menghayati dan memahami betul masalah yang berhubungan dengan agama
Islam serta digunakan untuk memberi pertunjuk tentang hal yang benar dan yang
salah menurut ajaran agama.
Selain itu, acara salawaik dulang juga dilakukan pada saat hari-hari raya
Islam. Hari Raya Idul Fitri dan hari Idul Adha misalnya dianggap merupakan hari
kemenangan bagi umat Islam. Kesempatan ini merupakan saat-saat yang
dinantikan oleh masyarakat Minangkabau untuk berkumpul dengan semua sanak
saudara yang diselingi dengan ucapan saling memaafkan. Sudah menjadi tradisi
bagi pada masyarakat Minangkabau yang berada di perantauan, khususnya
masyarakat di nagari Pariangan dianggap sebagai waktu yang tepat untuk
berkumpul dengan segenap sanak saudara dan secara tidak langsung terkait
dengan hubungan sosial kemasyarakatan.
Dengan adanya kebiasaan masyarakat yang berada di perantauan
terutama “kelompok sosial tradisi pulang basamo (pulang bersama)”,
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membahas segala permasalahan yang
berhubungan dengan aspek-aspek kesejahteraan sosial masyarakat nagarinya.
Naim (1984:217-226), menyatakan bahwa hubungan sosial merupakan
hubungan timbal balik dan saling ketergantungan antara masyarakat yang
dikampung dan di perantauan akan kelihatan tampak dari kebiasaan mendirikan
kelompok-kelompok sosial yang biasanya berdasarkan pada nagari asal mereka.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk memecahkan permasalahan tersebut,
antara kelompok sosial masyarakat yang ada dikampung dan para perantau
107
Linguistika Kultura, Vol.01, No.02/ November /2007
bermufakat untuk mengadakan berbagai macam acara kesenian, dengan
menampilkan permainan rakyat (kesenian rakyat), salah satunya dari kegiatan
tersebut adalah dengan mengadakan pertunjukan salawaik dulang.
Pelaksanaan pertunjukan salawaik dulang juga digunakan untuk
memeriahkan upacara Khatam Al-qur’an, maksudnya sebagai hadiah bagi
anak-anak yang sudah menamatkan pendidikannya di surau atau Mesjid dalam
mangaji (membaca Al Qur’an sesuai dengan makraj dan tajwid ‘pengucapan dan
kaidah’) yang berlaku. Tujuan pertunjukan salawaik dulang pada acara tersebut
selain difungsikan sebagai hiburan juga difungsikan sebagai ajang pemberian
nasehat dan pembelajaran. Tukang salawaik pada konteks acara itu menjajikan
kebolehannya dengan lebih banyak membawakan syair-syair berupa kata-kata
yang mudah dicerna dan dipahami serta irama lagu yang popular, seperti irama
lagu dangdut (Wawancara dengan Firdaus, 13 Mei 2004). Irama lagu yang
popular itu merupakan sebagai salah satu upaya tukang salawaik membuat
penonton tertarik serta betah mendengarkan acara salawaik dulang tersebut,
dengan harapan agar para anak ada yang mau mempelajarinya sebagai pewaris
kesenian tersebut.
Di samping digunakan untuk upacara-upacara keagamaan, pertunjukan
salawaik dulang juga digunakan untuk memeriahkan upacara adat. Upacara adat
yang dimaksudkan merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
sekelompok orang yang terikat kepada aturan-aturan tertentu yang berlaku
dalam masyarakat. Dalam masyarakat Pariangan, upacara-upacara adat seperti
acara batagak gala (melantik penghulu baru, upacara ini biasanya dilakukan
secara besar-besaran), kegiatan kenduri perkawinan, dan lain-lain dilakukan
dengan tingkat intensitas solidaritas yang tinggi, ikhlas, dan sesuai dengan
ajaran agama Islam (LKAAM, 2000:144).
2.2 Fungsi Pengukuhan Ikatan Sosial Kemasyarakatan
Pertunjukan salawaik dulang di Pariangan juga berfungsi untuk
mengukuhkan ikatan sosial kemasyarakatan. Pengukuhan itu antara lain
diimplementasikan dengan cara mengumpulkan dana untuk berbagai kepetingan
sosial seperti melanjutkan pembangunan Mesjid, surau, sekolah, rumah sakit,
jalan raya, dan lain-lain. Pelaksanaan pertunjukan kesenian tersebut biasanya
diadakan atas kesepakatan musyawarah adat dalam nagari yang terdiri dari
fungsional adat seperti: Alim ulama, penghulu ,ninik mamak, cerdik pandai,
bundo kanduang.
Pemberitahuan acara salawaik dulang biasanya dilakukan melalui
pengeras suara mesjid atau tabuah (beduk) yang difungsikan sebagai penganti
undangan ke pada masyarakat sekeliling nagari (desa). Untuk menarik
pengunjung sebanyak-banyaknya, kelompok tukang salawaik yang akan tampil
juga diberitahukan. Acara pengumpulan dana sebagai ceminan ikatan sosial
kemasyarakatan itu biasanya dilaksanakan pada hari-hari raya Islam. Dalam
acara mencari dana dikenal pula acara baimbauan (disorakan) dan lelang.
Sebelum pertunjukan salawaik dulang dimulai, peran janang sangat kentara
sekali. Dengan bijaksana, dan kemampuan bersilat lidah (berbicara), janang
memancing suasana untuk dapat mengumpulkan sedekah sebelum pertunjukan
dimulai.
Janang biasanya mengatakan “sia nan kabasudakah dulu” (siapa yang
mau bersedekah dahulu), yang dijawab secara spontan oleh penonton “iko dari
108
Firman
hamba Allah sapuluah ribu” (ini dari hamba Allah sepuluh ribu). Pada saat
berlangsungnya pertunjukan salawaik dulang, pengumpulan dana (sumbangan)
juga dilakukan dengan cara menjalankan “kotak amal” ke sekeliling arena
pertunjukan. Pada saat inilah kepiawaian tukang salawaik dituntut untuk
melahirkan syair-syair yang pada intinya berisikan bagaimana terhormatnya
kedudukan orang yang suka bersedekah di jalan Allah serta kritikan mengenai
sifat kikir yang tidak disukai Allah dan Nabi Muhammad s.a.w.
Melalui acara baimbauan di atas menampakan kebersamaan, dan
kesamaan status sosial. Para pengunjung yang hadir tidak dipandang status atau
kekayaannya, akan tetapi semuanya menyatu dengan menunjukkan dirinya
sebagai “Hamba Allah”. Sesuai dengan ajaran Islam yang membedakan
seseorang di mata Allah Swt. adalah iman dan takwanya kepada Allah.
Selain melalui janang dan acara bahimbauan, pengumpulan dana ikatan
sosial juga dilakukan melalui lelang, yang dikenal dengan “lelang batagak
dulang”. Dalam lelang batagak dulang itu, tukang salawaik akan memulai
pertunjukan jika lelang sudah dilaksanakan dengan tolok ukur tertentu yang
antara lain dapat dilihat pada aba-aba sang janang. Dulang yang dipakai oleh
tukang salawaik dijadikan sebagai penentu untuk mematok uang yang harus
dikumpulkan. Dalam menentukan uang yang harus dikumpulkan berasal dari
tawaran penonton secara spontan, maupun melalui secarik kertas dengan pesan
mengenai lagu yang diinginkan, yang dibacakan oleh janang. Ada juga penonton
menyumbang dengan cara membeli dulang seharga Rp,150.000,-. Dulang
dibawa jauh-jauh, yang menyebabkan terhentinya pertunjukan. Pertunjukan baru
bisa dimulai kalau panitia atau pembeli lainnya mampu untuk membeli melebihi
dari Rp.150.000,-. Hal ini terus berlanjut sampai datang shalat Subuh. Ada juga
dilakukan dengan cara “batagak dulang hiduik mati”, yang dilakukan dengan cara
menghentikan pertunjukan berdasarkan uang yang terkumpul dengan
persyaratan melebihi uang yang terkumpul pertama. Hal ini menyebabkan
seringnya terhenti permainan salawaik dulang.
Dalam pertunjukan salawaik dulang yang diadakan di nagari Pariangan
dalam upaya mencari dana untuk pembangunan nagari, pertunjukannya
dilakukan tidak dengan melakukan acara lelang, akan tetapi berdasarkan azas
gotong-royong. Dana yang didapat didasarkan atas keihklasan penonton untuk
menyumbang.
2.3 Berfungsi sebagai Media Informasi dan Tranformasi Nilai
Pertunjukan salawaik dulang juga digunakan sebagai media propaganda
untuk menyebarkan program-program pemerintah, mengenai hasil-hasil
pembangunan di segala bidang (Wawancara, Mailizar Chan, 2004), seperti
dalam bidang ekonomi, politik, sosial, media kampanye partai-partai politik, dan
media transformasi nilai-nilai yang ada dalam salawaik dulang ke dalam
kehidupan masyarakat.
Biasanya tukang salawaik diundang untuk menyajikan pertunjukan
salawaik dulang pada hari besar nasional, seperti memperingati hari
kemerdekaan Republik Indonesia (RI) dan malam tahun baru, biasanya
disponsori oleh pemerintah. Di samping dalam pesta demokrasi, tukang salawaik
dulang juga mengakomodasikan partai-partai politik untuk berkampanye, yang
tujuannya antara lain untuk menarik simpati masyarakat agar memilih partai
tersebut. Dalam konteks ini, tukang salawaik dipesan oleh partai politik yang
109
Linguistika Kultura, Vol.01, No.02/ November /2007
bersangkutan. Dalam penyajiannya, kegiatan salawaik dulang
mengutamakan selera pemesan, yaitu partai politik yang bersangkutan.
selalu
2.4 Fungsi Dakwah
Kesenian salawaik dulang pada awalnya berfungsi sebagai sarana untuk
melakukan dakwah Islamiah. Sang artis (tukang salawaik) pada pertunjukkan
salawaik dulang selain dapat mengkomunikasikan kebenaran pada orang lain,
melalui objek estetis dan hasil kreativitas karya manusia, juga menyampaikan
pesan-pesan dakwah dan kemanusiaan sesuai dengan ajaran dan norma-norma
yang berlaku dalam Islam. Pernyataan itu senada dengan Pudjasworo (dalam
Daryusti, 2002:17), bahwa untuk memahami fungsi kesenian, sebagai satu upaya
untuk kelangsungan hidup sosial, budaya, serta religi dapat dilihat pada bentuk
simbol-simbol atau lambang-lambang yang dipergunakan dalam bentuk
aktifitasnya.
Sejalan dengan perkembangan zaman, salawaik dulang yang dulunya
berfungsi sebagai wacana dakwah, mengalami perkembangan ke konteks yang
lebih sekuler seperti berfungsi sebagai hiburan yang bersifat komersial. Aktivitas
yang terkait dengan subtansi agama dalam adat basandi syarak, syarak basandi
kitabbullah tersebut menimbulkan pro dan kontra di lingkungan masyarakat
khususnya di nagari Pariangan. Paham golongan agama, lebih cenderung kaku
memahami salawaik dulang sebagai seni Islam, yaitu dengan mengutamakan
fungsi salawaik dulang hanya sebagai media dakwah. Dalam kaca mata kaum
agama, selain kegiatan salawaik dulang hanya hanya boleh dilakukan di surausurau atau di Mesjid, juga menginginkan agar syair-syair yang dibawakan oleh
tukang salawaik berisi ajaran-ajaran Islam (Wawancara dengan “Tuo Salawaik”,
Dalimi Kasim, 28 Mei 2004).
Pada sisi lain, golongan adat menginginkan agar seni kreasi dan estetika
salawaik dulang difungsikan tidak hanya sebagai seni Islam, tetapi harus
dikembangkan untuk berbagai kepentingan kemasyarakatan dan sosialisasi adat
(Wawancara Bagindo Malin, 29 Mei 2004). Demikian pula halnya, golongan cadik
pandai (cerdik pandai) yang dianggap masyarakat Minangkabau berpikiran
moderat, memandang fungsi salawaik secara lebih luas. Kehadiran kesenian
salawaik dulang di mata kaum itu ditanggapi secara positif (menerima
perbedaan-perbedaan itu) (Wawancara Mailizar Chan dan Martis, 10 Mei 2004).
2.5 Fungsi Integrasi dan Keterpaduan Sosial
Sebagai ekpresi “estetik kesenian” salawaik dulang berfungsi untuk
kebutuhan biologis, kebudayaan juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
intrumental dan integratif. Kebutuhan biologis berupa kebutuhan akan sandang
dan pangan, kebutuhan instrumental seperti kebutuhan akan hukum dan
pendidikan, dan kebutuhan integrative seperti kebutuhan terhadap agama dan
kesenian.
Kebutuhan integrative muncul karena adanya dorongan dari dalam diri
manusia secara hakiki untuk merefleksikan keberadaannya sebagai makhluk
yang bermoral, berakal, dan berperasaan. Maka setiap masyarakat diatur oleh
norma-norma sosial yang berlaku dalam kemasyarakatan sebagai wujud budaya.
Seni pertunjukan salawaik dulang sebagai salah satu aspek kebudayaan yang
berkembang dan hidup dalam komunitas masyarakat pendukungnya akan
110
Firman
berkaitan dengan proses integrative merupakan refleksi antara adat dan agama.
Hal ini sangat erat hubungannya dengan kepentingan dalam kelompok, fungsi
dari sebuah peristiwa kesenian akan berkaitan dengan agama dan status sosial
(Rohidi, 2000:28).
Pemenuhan kebutuhan estetik, seperti juga pemenuhan sebagian besar
pemenuhan kebutuhan lainnya, dilakukan manusia melalui kebudayaan.
Kesenian merupakan kebutuhan integrative yang mengikat dan mempersatukan
pedoman-pedoman bertindak yang berbeda-beda menjadi satu kesatuan yang
bulat. Kedudukan seni menjadi pengintegrasi yang merefleksi konfigurasi dari
desain, berfungsi sebagi motivasi lebih mengarah kepada dampak nyata suatu
peristiwa, berkaitan dengan penggunaan dan fungsinya dalam masyarakat.
Sebagai pedoman bagi pemenuhan integrative yang berkaitan dengan
keindahan, pengintegrasian fungsi sebagai kebutuhan menjadi satu kesatuan
sistem merupakan idealitas langsung maupun tidak langsung yang berkaitan
dengan pembenaran moral dan penerimaan akal pikiran masyarakat
pendukungnya.mencakup kegiatan berkreasi dan berapresiasi. Perwujudan
konteks seni pertunjukan akan menjadi pedoman komunikatif estetik dan
pencipta atau penampil seni dengan penikmat atau pemanfaat seni yang
diciptakan dalam ruang lingkup kebudayaan yang bersangkutan (Hadi, 2000:30).
Terkait dengan pernyataan-pernyataan di atas, maka dapat
diinterpretasikan bahwa kesenian salawaik dulang sangat erat kaitannya dengan
kebudayaan. Seni pertunjukan salawaik dulang berfungsi sebagai sarana untuk
memenuhi kebutuhan integratif masyarakatnya terutama dalam memahami
agama dan menjalani kehidupan.
Kesenian salawaik dulang tidak hanya dipandang sebagai pemenuhan
kebutuhan estetis saja, akan tertapi sangat terkait dengan adat dan agama yang
melatarinya. Fungsi merupakan keadaan yang satu sistem sosial dalam
mewujutkan keharmonisan, yang didasari atas kepentingangan sosial
masyarakat pendukungnya. Secara eksplisit, fungsi salawaik dulang terkait
dengan pendapat para ahli di atas adalah antara lain terdiri atas (1) fungsi
identitas suku bangsa, (2) penggugah semangat solidaritas, (3) hiburan, (4)
ekspresi emosi, (5) estetis, (6) ekonomi, (7) kompetisi, dan (8) eksistensi
kelompok.
2.6 Fungsi Hiburan (Entertainment)
Sekalipun pada awalnya pertumbuhan kesenian salawaik dulang lebih
diutamakan pada fungsi religi, namun tidak dapat dipungkiri, karena pengaruh
arus globalisasi, sekularisme, logosentrisme, dan antroposentrisme, telah
mengubah fungsinya ke arah yang lebih sekuler seperti pengutamaan fungsi
hiburan daripada fungsi aslinya “dakwah”. Hal itu antara lain juga dapat dilihat
pada teks salawaik dulang yang dibawakan saat ini yang lebih banyak
membahas masalah-masalah umum daripada masalah-masalah yang
berhubungan dengan keagamaan. Perubahan itu semakin mengkristal pada
penggunaan lagu cancang (salah satu bagian lagu salawaik dulang yang
memberikan kebebasan penuh pada tukang salawaik untuk berkereasi). Dengan
kepintarannya, pada konteks lagu itu, tukang salawaik berusaha membuat dan
menghadirkan syair-syair komedi secara spontan yang mampu menghibur
masyarakat dengan ekspresi tertawa dan tersenyum.
111
Linguistika Kultura, Vol.01, No.02/ November /2007
Selain itu, pada konteks lagu cancang tersebut, tukang salawaik memiliki
kiat tersendiri untuk membuat suasana menjadi lebih hidup dan dinamis, yaitu
membawakan syair-syair dengan irama yang sedang digemari masyarakat,
seperti dangdut, India, pop, dan lagu-lagu Minang populer. Hal itu selain
dimaksudkan demi menghibur penonton yang masih awam terhadap salawaik
dulang, juga dimaksudkan untuk menarik minat generasi muda dalam kesenian
salawaik dulang. Kepintaran tukang salawaik pada lagu cancang yang
diimplementasikan dengan “tanya jawab” itu berisikan pesan-pesan tertentu yang
dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton. Salah satu cuplikan lagu
cancang dapat dilihat pada contoh berikut.
Lai ampek-ampek jadi salapan
Ditambah duo jadi sapuluah
Lai urang gaek didayo setan
Pukua sapuluah sumbayang subuah
Tangkai paek baulu paek
Talatak di ateh pintu
Batamu gaek samo gaek
Gilo mahetong anak cucu
(Empat empat jadi delapan
Ditambah dua jadi sepuluh
Orang tua di rayu setan
Jam sepuluh sembayang subuh
Tangkai paek ‘pahat’ berhulu pahat
Terletak di atas pintu
Bertemu gaek ‘tua’ sama tua
Gila menghitung anak cucu)
Pada data itu terlihat adanya kreasi tukang salawaik untuk menciptakan syair
berupa lexia (ungkapan-ungkapan penting), klausa, dan kata-kata bernuansakan
humoris dan estetis, seperti pukua sapuluah sumbayang subuah ‘jam sepuluh
sembayang subuh’ (waktu subuh dalam Islam hanya sampai matahri terbit) dan
batamu gaek samo gaek, gilo mahetong anak cucu ‘bertemu gaek ‘tua’ sama tua,
gila menghitung anak cucu’, dan lain-lain.
2.7 Bergeser ke Arah Fungsi Komersialisasi
Pertunjukan salawaik dulang yang pada awalnya hanya dilakukan dengan
kesadaran dan digunakan untuk dakwah, bergeser dan berkembang fungsinya
ke arah komersialisasi. Salawaik dulang yang dulunya dipenuhi oleh tanda-tanda,
simbol-simbol, dan teks-teks ketuhanan (divine signs), sekarang berubah
menjadi teks yang dipenuhi oleh tanda-tanda dan simbol-simbol yang
berhubungan dengan kepalsuan (pseudo sign), simbol-simbol keduniaan, dan
paham kapitalisme. Hal itu antara lain dapat dilihat pada unsur negosiasi antara
tukang salawaik dengan pihak penyelenggara. Dulunya kegiatan salawaik dulang
dilaksanakan dengan mengutamakan lilahita’ala (keikhlasan) baik dari pihak
tukang salawaik maupun dari pihak penyelenggara.
112
Firman
Dewasa ini, aspek negosiasi lebih diutamakan daripada aspek lilahita’alanya. Seorang tukang salawaik enggan untuk tampil pada sebuah acara
pertunjukkan salawaik dulang jika bayaran yang ditawarkan oleh pihak
penyelenggara tidak sesuai dengan permintaan tukang salawaik. Kehadiran
tukang salawaik didasari atas negosiasi dengan panitia penyelenggara, yaitu
dengan menentukan sejumlah nominal tertentu sebagai jemputan (honor) sesuai
dengan standar yang ditetapkan tukang salawaik. Biasanya, untuk sekali tampil
selama “semalaman suntuk”, tukang salawaik dihargai dengan Rp. 600.000,00untuk satu kelompok (biasanya terdiri atas 2 orang).
Artinya, dalam perkembangan dewasa ini, karena selain kesulitan
ekonomi, fungsi komersialisasi merupakan aspek penting dalam pertunjukan
kesenian salawaik dulang. Hal itu tidak dapat dipungkiri, kegiatan salawaik
dulang dapat mendatangkan keuntungan materil baik bagi pihak penyelenggara
maupun pada tukang salawaik. Bagi tukang salawaik kesempatan tampil berarti
penghargan yang harus dibayar dengan sejumlah nominal tertentu. Di samping
itu pertunjukan salawaik dulang merupakan modal bagi panitia untuk
mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat (penonton) untuk
menunjang pembangunan berbagai fasilitas nagari.
2.8 Fungsi Eksistensi Kelompok dan Ajang Kompetisi
Eksistensi merupakan suatu kepercayan diri seseorang yang
menganggap dirinya sama dengan orang lain karena kemampuan dan kualitas
dirinya sebagai hasil dari kerja kerasnya, bukan karena status sosialnya, atau
harta kekayaannya. Eksistensi bagi orang Minangkabau merupakan sikap yang
disebut Freud dengan ego manusia yang dimotivasi oleh persaingan untuk
melawan dunia orang. Artinya, setiap orang diamanatkan untuk selalu hidup
bersaing terus menerus hingga mencapai kemuliaan. Sehingga memunculkan
harga diri yang tinggi, atau setidaknya sama dengan orang lain.
Kehadiran kelompok tukang salawaik dalam pertunjukan salawaik dulang
berfungsi sebagai pernyataan keberadaan dirinya sebagai orang yang punya
kemampuan dan kebolehan yang spesifik. Karena dimana atau kapan saja
tukang salawaik melakukan pertunjukan, selalu menunjukkan identitas
kelompoknya seperti yang disampaikan melalui syair berikut:
Sabuah lai kasidang jamuan
Ulah nan lalok nan tolan jagokan
Kok sampai jago koknyo gigik badan
Sahabi-habih takuik tantunyo kok malawan
Kalo Arjuna Minang nan katolan lawan
Kasiak dipantai nan kami serakkan
Pabilo habihnyo cubo pikiakan
Sadang dilauik kami tak karam
Kok kunun baranang di bawah pincuran
(Satu lagi kesidang jamuan
Ular yang tidur tuan bangunkan
Kalau sampai bangun akan digigit badan
Sehabis-habis takut tentu dia melawan
Kalau arjuna Minang yang akan tuan lawan
113
Linguistika Kultura, Vol.01, No.02/ November /2007
Pasir dipantai kami serakan
Kapan habisnya coba fikirkan
Sedang dilaut kami tidak karam
Apalagi berenang di bawah pancuran)
Klausa Sadang di lauik kami tak karam, kok kunun baranang di bawah
pincuran ‘Sedang dilaut kami tidak karam, apalagi berenang di bawah pancuran’
di atas tidak hanya mengindikasikan sebuah identitas kelompok, tetapi juga
merefleksikan persaingan antarkelompok tukang salawaik. Kompetisi yang
dimaksudkan dalam pertunjukan salawaik dulang, merupakan kompetisi yang
tampak secara nyata atau tersembunyi, yang isinya mengkomunikasikan
sesuatu. Dalam pertunjukan salawaik dulang, secara implisit terjadi kompetisi
antarkelompok tukang salawaik.
Pertunjukan salawaik dulang berfungsi sebagai sarana kompetisi
didasarkan pada situasi, di mana kritik atau pesan terbuka sulit untuk
disampaikan. Kompetisi itu antara lain juga dilahirkan melalui syair spontan. Syair
tersebut yang dapat ditafsirkan sebagai media kompetisi, untuk menyampaikan
pesan, kesan, pertanyaan dan sindiran dapat dilihat pada data berikut.
Gara-gara ini kapanjagokan mato
Mato mangantuak supayo jago
Depak disiko habis disiko
Jangan dikadukan kabakeh mintuo
Kainduak bareh usah dikadukan pulo
Tolong oyak bana sasudah iko
Jo buah nan rancak jo lagu nan sero
Janganlah tolan baduto-duto
Urang panduto pontong lidahnyo
Janganlah tolan babaso-baso
Urang pabaso lapah paruiknyo
Janganlah tolan bacando lupo
Urang palupo ado sababnyo
Panyandang sirawah basa dihari sanjo
Tolong oyak bana sasudah iko
Ini gara-gara dari kami baduo
Danga-danga bana iko bunyinyo
Iyo gara-gara kami bukan gara-gara kudo
Gara-gara itu panjagokan mato
Janganlah tolan bak sitokar handia
Sopir menyuruahlah sampai nyinyia
Lah nyato klip bunyinyo balapiah
Mangapo dek konderpop tolan cukia-cukia
(Sumber: kaset “Nyawa dan Kulimah” produksi Tanama Record)
(Gara-gara ini membangunkan mata
Mata mengantuk supaya terjaga
Dapat disini habis disini
Jangan dibilang sama mertua
Pada istri jangan dikatakan pula
114
Firman
Tolong di goyang betul sesudah ini
Dengan buah yang bagus dan lagu yang ceria
Janganlah tuan berdusta pula
Orang pendusta putus lidahnya
Jangan saudara bemalu-malu
Orang yang malu lapar perutnya
Jangan saudara berlagak lupa
Orang pelupa ada sebabnya
Penyandang celana basah dihari senja
Tolong digoyang benar sesudah ini
Ini gara-gara kami berdua
Dengar dengar betul ini bunyinya
Iya gara-gara kami bukan gara-gara kuda
Gara-gara itu untuk membukakan mata
Janganlah tuan seperti kernet bodoh
Supir menyuruh sampai nyinyir
Sudah nyata klip bunyinga keras
Kenapa kanaplot tuan cokel)
Data di atas pada dasarnya berisikan kata-kata cemoohan pada kelompok
“tukang salawaik lawan” yang secara inheren melambangkan sebuah ajang
kompetisi.
3. Penutup
Suatu karya seni bagaimanapun abstraknya dan esetoriknya saling
terkait, serta mengandung unsur sosial dan budaya dalam dirinya. Artinya karya
seni menggambarkan watak sosial dan budaya dari tempat dan waktu kesenian
itu dihasilkan. Bagaimanapun, baik secara sadar maupun tidak, para seniman
akan mengungkap unsur sosial dan budaya (Kleden, 1995:71).
Keterkaitannya dengan kesinambungan kebudayaan, sebuah kesenian
yang berlaku dan dipakai secara terus menerus dalam suatau masyarakat,
sejalan dengan segala aspek-aspek kebudayaannya. Hubungannya dengan
pertunjukan salawaik dulang, segenap unsur pendukung yang ada dalam
aktivitas yang berlangsung didasarkan atas aspek-aspek sosial budaya.
Masyarakat Minangkabau, seperti tata krama dalam mempergunakan bahasa
dalam teks yang dibawakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi penonton.
Secara tidak langsung dapat dipahami bahwa sebuah kesenian,
bagaimanapun bentuknya tidak akan bisa terlepas dari dari aspek-aspek sosial
budaya masyarakatnya yang menjadikan seni itu tetap eksis. Begitu juga halnya
yang terdapat pada kesenian salawaik dulang, sebagai sebuah produk budaya
masyarakat yang berkembang dan masih disukai oleh masyarakat. Karena
bagaimanapun juga aspek budaya bukan hanya sekadar mendengar dan
menyaksikan pertunjukan semata, akan tetapi lebih mengarah pada muatan
budaya yang mempunyai nilai-nilai agama, adat, pendidikan, dan sosialisasi,
yang pada akhirnya berfungsi sebagai penyumbang dan penyangga bagi
kelanjutan kehidupan kebudayaan Minangkabau. Tentunya pewarisan ini harus
diprioritaskan untuk mendidik generasi muda yang akan menjadi estafet atau
pewarisan budaya dalam bentuk pertunjukan salawaik dulang.
115
Linguistika Kultura, Vol.01, No.02/ November /2007
Daftar Pustaka
Alfian,
1985. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta,
Gramedia.
Alfian, 1986. Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan.Jakarta: UI
Press.
Bahar, Mahdi. 1997. “Potensi Seni Pertunjukan Tradisional Minangkabau
Menghadapi Fenomena Globalisasi”, dalam Palanta, Jurnal Seni
Budaya: STSI Padang Panjang.
Bakri. 1985. “Studi tentang Ketidak Serasian Antara Isi Gerak dan Lagu Salawat
Talam di kecamatan Koto Tangah Kodya Padang. Laporan Penelitian.
Padangpanjang: ASKI.
Daswir. 1997. Kesenian Salawat Dulang di Daerah Pariangan Kabupaten Tanah
Datar (Keberadaan dan Struktur Musiknya)”. Skripsi. Surakarta: STSI
Daryusti, 2002. “ Tari Indang Solok Di Nagari Kubung XIII Kec, Gunung Talang,
Satu Tinjauan Dari segi bentuk Dan Tekhnik”. Dalam Jurnal Penelitian
STSI Padangpanjang. Padangpanjang: Pusat Penelitian STSI
Padangpanjang, halaman 15-30.
Desmawardi dan Hajizar. 1996. “ Salawaik Dulang”. Karya Ilmiah Indonesia
Padangpanjang: ASKI
Firdaus. 1989. “Studi Salawaik Dulang Sebagai Salah Satu Mata Kuliah Jurusan
Karawitan”. Laporan penelitian Akademi seni Karawitan Indonesia
Padangpanjang.
Hadi, Sumandiyo. 2000. Seni dalam Ritual Agama. Institut Seni Indonesia.
Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Kadir. M. 1990. Dendang Darek Salah Satu Jenis Dendang di Minangkabau.
Padangpanjang: ASKI Padangpanjang.
Kodijat, Latifah. 1986. Istilah-Istilah Musik. Jakarta: Djambatan.
Malinowsky. B. 1964. “The Functional Theory of Culture”. Dalam Selo Sumarjan
(Editor). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: FEUI.
Merriam, Alan P. 1980. The Anthropology of Music. Cetakan ke-3. Burlington:
Indiana University Press.
Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minagkabau. Yokyakarta:
Gadjah Mada Press.
Nasrul. 1987-1988. “Hubungan Salawaik Talam dengan Tarekat di Kecamatan
Pariangan Kabupaten Tanah Datar”. Laporan penelitian IAIN Imam
Bonjol Padang.
Putra, Jhoni Hendri dan Fauzan Zakir. 2002. “Nagari Pariangan”. Dalam
Zenwen Pador (Editor). Kembali ke Nagari: Batuka Baruak jo
Cigak?. Padang: Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Rohidi. Tjetjep Rohendi. 2000. Ekspresi seni Orang Miskin. Adaptasi Simbolik
Terhadap Kemiskinan. Bandung: Penerbit Nuansa.
Sedyawati, Edi dan Supardi Djoko Damono. 1991. Seni Dalam Masyarakat
Indonesia: Bunga Rampai. Jakarta: P.T. Gramedia.
Semi, Atar.M. dkk. 1992. “Tradisi Selawat Dulang Sebagai Media Pendidikan
Masyarakat dan Sarana Komunikasi Pembangunan di Sumatera
Barat”. Laporan Penelitian IKIP Padang.
Syarif, Ichlas. 1988. “Selawat Dulang di Daerah Lintau Buo Sebagai Salah Satu
Bentuk Seni Vokal”. Laporan Penelitian ASKI Padangpanjang.
116
Download