JUMLAH TOTAL DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT MENCIT

advertisement
JUMLAH TOTAL DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT MENCIT (Mus Musculus)
PADA EVALUASI IN VIVO ANTIKANKER EKSTRAK SPONS LAUT Aaptos
Suberitoides
(Dian Natalia Eka Saputri, Awik Puji Dyah N, S.si, M.si, Dra. Nurlita Abdulgani, M.si)
Program Studi Biologi – Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Kampus ITS Keputih Sukolilo, Surabaya 60111
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak spons A. suberitoides
terhadap jumlah total dan diferensial sel darah putih pada mencit (Mus musculus).
Mencit dibagi ke dalam 6 kelompok yaitu kelompok I (mencit sehat), II (diberi CMC Na),
III (diberi cyclophospamide), IV (ekstrak spons 500 mg/kg BB), V (ektsrak spons 1000
mg/kg BB) dan VI (ekstrak spons 1500 mg/kg BB Mencit diinjeksi senyawa benzo(a)piren
selama 10 hari sebanyak 5 kali dengan konsentrasi 0,3 gram dalam 0,2 ml oleum
olivarum secara intravena pada jaringan subkutan mencit. Pada minggu ke 17 diambil
darah mencit dan dilakukan penghitungan jumlah total leukosit dan diferensial sel
leukosit. Data yang didapatkan dianalisa menggunakan ANOVA dan jika terdapat
pengaruh maka dilanjutkan dengan uji Tukey. Hasil penghitungan jumlah total leukosit
kelompok kontrol (K1) berbeda secara signifikan (P<0.05) dengan kelompok K2, K3, K4,
K5 dan K6. Hasil diferensial leukosit diperoleh sel neutrofil, limfosit dan monosit. Sel
neutrofil dan monosit tidak berpengaruh pada semua perlakuan. Pada pengamatan
diferensial sel limfosit, mencit yang terkena kanker (K2) dan diterapi ekstrak spons laut
A. suberitoides pada dosis 500 mg/Kg BB (K4) dan 1000 mg/Kg BB (K5) mengalami
peningkatan jumlah sel limfosit sedangkan mencit yang diterapi dengan obat antikanker
siklofasfamid (K3) dan ekstrak spons laut A.suberitoides pada dosis paling tinggi (1500
mg/Kg BB) mengalami penurunan jumlah sel limfosit.
Kata kunci : Aaptos suberitoides, Leukosit, Mus musculus, Benzo (a) piren
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kanker
termasuk
penyebab
utama kematian hampir di seluruh dunia
(Mariono, 2002). Penderita kanker di
Indonesia semakin meningkat sehingga
kebutuhan obat semakin meningkat.
Melonjaknya harga obat sintetis dan efek
sampingnya
bagi
kesehatan
meningkatkan kembali penggunaaan
obat dengan memanfaatkan sumberdaya
alam yang ada di sekitar. Salah satu
sumber daya alam yang belum
dikembangkan secara maksimal adalah
sumber alam kelautan. Indonesia dikenal
sebagai negara bahari dengan luas 75%
berupa lautan, memiliki kekayaan
sumber daya hayati yang melimpah
(Rosmiati dan Suryati (2001)).
Salah satu jenis organisme yang
berpotensi cukup besar dan berpeluang
mengandung senyawa aktif adalah
spons. Spons mempunyai kemampuan
untuk mensintesis bermacam – macam
komponen organik seperti poliketida,
alkaloid, peptid dan terpene (Sjorgen,
2006). Komponen – komponen tersebut
merupakan hasil metabolisme sekunder
dari spons. Hasil metabolisme sekunder
ini mempunyai keaktifan sebagai
antimikroba, antikanker dan antiparasit
yang sangat berguna sebagai bahan baku
obat. Beberapa spons yang dilaporkan
mempunyai kemampuan bioaktif, antara
lain senyawa golongan saponin dalam
spons
Asteropus
sarasinosum
mempunyai aktivitas sitotoksik (Schmitz
et al., 1993), senyawa golongan alkaloid
dan terpenoid pada Sporongites sp.
bersifat bakteristatik (Nursaadah, 2008).
Studi
pendahuluan
telah
dilakukan
dengan
tujuan
untuk
menskrining senyawa toksik dari
beberapa spesies spons laut dengan
metode Brine Shrimp Lethality Test
(BST). Berdasarkan studi pendahuluan
dengan BST diketahui bahwa ekstrak
spons Aaptos suberitoides dapat
menyebabkan mortalitas 50% (LC50)
larva Artemia salina pada konsentrasi
134,14 ± 36,61 ppm sehingga dapat
disimpulkan bahwa ekstrak spons Aaptos
suberitoides bersifat sitotoksik dan
memiliki potensi sebagai antikanker
(Nurhayati, 2010).
A. suberitoides adalah salah satu
spesies spons laut yang memiliki
keistimewaan
karena
dapat
menghasilkan
senyawa
alkaloid
aaptamin
(benzo
1,6-naphthyridin)
(Coutinho, 2002). Senyawa aaptamin
berpotensi sebagai senyawa antikanker
(Aoki et al., 2006), yang bekerja dengan
mekanisme apoptosis (Mayer, 2008) dan
antioksidan
(Makarchenko,
2004).
Apoptosis
merupakan
mekanisme
kematian sel sehingga proliferasi sel
yang mengalami kerusakan DNA dapat
dicegah (Tadjudin, 2006). Aaptamine
menginduksi ekspresi dari protein p21
dalam p53-independent (Aoki et al.,
2006). Protein p53 berfungsi sebagai
pengatur proliferasi sel dan mediator
pada apoptosis (Seitz et al., 2010). Pada
mekanisme
antioksidan,
senyawa
aaptamin ini menghambat kerja radikal
bebas untuk berikatan dengan molekul
penting dalam tubuh, yaitu DNA
(Hanani dkk, 2005).
Sel kanker dikenal sebagai
nonself (zat asing) yang bersifat
antigenik pada sistem imunitas tubuh
manusia sehingga ia akan menimbulkan
respons imun secara seluler maupun
humoral (Halim, 2001). Peningkatan
jumlah leukosit total menunjukkan
adanya respon leukosit secara humoral
dan seluler dalam mengatasi adanya zat
asing (sel kanker) (Erlinger, 2004). Sel
tumor menunjukan antigen yang tidak
ditemukan pada sel normal sehingga
antigen tersebut muncul sebagai antigen
asing
dan
kehadiran
mereka
menyebabkan sel imun menyerang sel
tumor (Finlay et al., 2006).
Untuk mengetahui pengaruh
ekstrak spons A. suberitoides terhadap
jumlah total sel darah putih (Leukosit)
dan diferensial sel darah putih
(Leukosit), hewan uji terlebih dahulu
diinduksi kanker dengan menyuntikkan
larutan benzo (α) piren. Benzo (α) piren
merupakan
senyawa
hidrokarbon
polisiklik aromatik yang digolongkan
sebagai senyawa pro karsinogen kuat
yang dapat menimbulkan kerusakan
DNA dan mutasi gen-gen pengatur
pertumbuhan seperti gen p53 dan ras
(Yana, 2009).
1.2
Rumusan masalah
Peningkatan jumlah leukosit total
menunjukkan adanya respon leukosit
secara humoral dan seluler dalam
mengatasi adanya zat asing (sel kanker)
(Erlinger, 2004). Sel tumor menunjukan
antigen yang tidak ditemukan pada sel
normal sehingga antigen tersebut muncul
sebagai antigen asing dan kehadiran
mereka
menyebabkan
sel
imun
menyerang sel tumor (Finlay et al.,
2006).
Permasalahan yang timbul dari
penelitian
ini
adalah
bagaimana
pengaruh ekstrak spons A. suberitoides
terhadap jumlah total sel darah putih
(Leukosit) dan diferensial sel darah putih
(Leukosit) pada mencit (Mus musculus)
yang telah diinduksi karsinogenik
dengan benzo (α) piren.
1.3
Batasan Masalah
Batasan permasalahan dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh
ekstrak
spons
Aaptos
suberitoides terhadap jumlah total sel
darah putih (Leukosit) dan diferensial sel
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kanker
Serangkaian
proses
berkembangnya
kanker
disebut
karsinogenesis. Karsinogenesis adalah
suatu proses terjadinya kanker melalui
mekanisme
multitahap
yang
menunjukkan perubahan genetik dan
menyebabkan transformasi progresif sel
normal menjadi sel malignan (ganas)
(Hanahan dan Weinberg, 2000).
Perubahan
basa
DNA
(mutasi)
merupakan perubahan selular mendasar
yang menyebabkan terjadinya kanker.
Kanker tidak berasal dari mutasi tunggal,
namun dibutuhkan akumulasi dari
beberapa mutasi (3 sampai 20 mutasi)
dalam karsinogenesis (Lodish et al.,
2000).
Proses karsinogenik diawali
dengan masuknya senyawa karsinogenik
dan berikatan dengan DNA, sehingga
DNA mengalami mutasi atau memasuki
tahap inisiasi. Gen yang bertanggung
jawab terhadap pertumbuhan kanker ada
darah putih (Leukosit) pada mencit (Mus
musculus).
1.4
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh ekstrak spons
Aaptos suberitoides terhadap jumlah
total sel darah putih (Leukosit) dan
diferensial sel darah putih (Leukosit)
pada mencit (Mus musculus).
1.5
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat
sebagai sumber informasi tentang
kemampuan bioaktif spons Aaptos
suberitoides yang berpotensi sebagai
antikanker.
tiga, yaitu: gen reparasi DNA, gen
penekan tumor (tumor supressor gen)
dan protoonkogen (Zakaria, 2001).
Gen penekan tumor diperlukan
untuk mempertahankan pembelahan sel
tetap terkontrol (Syaifudin, 2007).
Mutasi pada gen penekan tumor
berakibat pada aktivasi protoonkogen
menjadi onkogen yang menyebabkan
hilangnya kontrol terhadap pertumbuhan
sel. Onkogen mengkode protein-protein
yang berperan dalam berbagai fungsi
fisiologis sel, diantaranya adalah protein
ras, c-myc, dan Fes yang dapat
mengubah ekspresi genetik dari berbagai
gen (Zakaria, 2001).
Sel kanker bersifat immortal
disebabkan oleh hilangnya mekanisme
DNA repair dalam sel. Checkpoint pada
siklus sel sudah tidak ada artinya,
akibatnya sel walaupun membawa
abnormalitas
di
dalamnya,
akan
melewati fase-fase dalam siklus sel
secara keseluruhan kemudian membelah.
Proliferasi sel kanker meningkat
sehingga membentuk klonal (kelompok)
dan bermetastasis ke jaringan lain. Sel
kanker membutuhkan nutrisi yang lebih
besar dari pada sel normal. Untuk
mencukupi kebutuhan nutrisi tersebut,
sel
kanker
mampu
membentuk
pembuluh darah baru (neoangiogenesis)
(Nurlaila, 2009).Menurut Franks L.M
dan Teich N.M (1998), sel kanker itu
timbul dari sel normal tubuh kita sendiri
yang mengalami transformasi menjadi
ganas, karena adanya mutasi spontan
atau induksi karsinogen (bahan/agen
pencetus terjadinya kanker). Pada
umumnya mulai tumbuh dari satu sel
kanker pada satu tempat dalam organ
tubuh (unicentris). Jarang yang mulai
dari beberapa sel dalam suatu organ
(multicentris), baik dalam kurun waktu
bersamaan ataupun berbeda.. Kanker
yang timbul multicentris umumnya
terdapat pada penderita yang mengalami
kelainan
genetic
atau
mengidap
immunodefisiensi
(penurunan
kekebalan). Transformasi sel itu terjadi
karena mutasi gen yang mengatur
pertumbuhan dan diferensiasi sel, yaitu
proto-onkogen dan atau suppressor gen
(anti onkogen).
Apoptosis
adalah
program
kematian sel yang mekanismenya
diorganisir
secara fisiologis untuk
merusak sel abnormal atau mengalami
kerusakan. Keadaan ini merupakan
respons sel normal yang terjadi selama
pertumbuhan dan metamorfosis semua
hewan multiseluler, yang merupakan
hasil kerja enzim proteolitik, yaitu
caspase dimana semua enzim ini
memiliki sistin sebagai sisi aktif dan
pembelahan protein target pada asam
aspartat spesifik sebagai derivat dari
sistin aspartase. Sel normal dapat
mengalami transformasi oleh onkogen
dan proses ini dapat dicegah oleh produk
yang dihasilkan gen lainnya yang
disebut tumour suppressor genes. Satu di
antara gen ini adalah
p53 yang
menghasilkan 393 residu asam amino
inti fosfoprotein yang berikatan dengan
DNA yang transkripsinya diaktivasi oleh
beberapa promotor. Protein p53 mampu
menghambat pertumbuhan sel dan
mempengaruhi apoptosis (Campbell,
2004).
2.1.1. Sifat Sel Kanker
Sel kanker memiliki perbedaan
yang sangat signifikan dengan sel
normal dalam tubuh. Sifat umum dari
kanker ialah sebagai berikut :
1. Sel kanker tidak mengenal
program kematian sel yang dikenal
dengan nama apoptosis. Protein p53
mampu mencegah replikasi dari DNA
yang rusak pada sel normal dan
mendorong penghancuran sendiri dari
sel yang mengandung DNA yang tidak
normal. Peristiwa ini disebut apoptosis.
Apoptosis sangat dibutuhkan untuk
mengatur berapa jumlah sel yang
dibutuhkan dalam tubuh, yang mana
semuanya fungsional dan menempati
tempat yang tepat dengan umur tertentu.
Bila telah melewati masa hidupnya, selsel normal (nonkanker) akan mati
dengan sendirinya tanpa ada efek
peradangan (inflamasi), namun sel
kanker berbeda dengan karakteristik
tersebut. Dia akan terus hidup meski
seharusnya mati (immortal). Mutasi dari
gen p53 menyebabkan proliferasi dan
transformasi sel menjadi kehilangan
kendali (Sofyan, 2000).
2. Sel kanker tidak mengenal
komunikasi ekstraseluler atau asosial.
Komunikasi ekstraseluler diperlukan
untuk menjalin koordinasi antar sel
sehingga mereka dapat saling menunjang
fungsi masing-masing. Dengan sifatnya
yang asosial, sel kanker bertindak
semaunya sendiri tanpa peduli apa yang
dibutuhkan oleh lingkungannya. Sel
kanker dapat memproduksi growth
factor sendiri sehingga tidak bergantung
pada rangsangan sinyal pertumbuhan
dari luar untuk melakukan proliferasi.
Dengan demikian sel kanker dapat
tumbuh menjadi tak terkendali (Hanahan
and Weinberg, 2000).
3. Sel kanker mampu menyerang
jaringan lain (invasif), merusak jaringan
tersebut dan tumbuh subur di atas
jaringan lain membentuk anak sebar
(metastasis). Semakin besar jangkauan
metastasis tumor, kanker semakin sulit
disembuhkan. Kanker pada stadium
metastasis inilah yang merupakan
penyebab 90% kematian penderita
kanker (Hanahan dan Weinberg, 2000).
4. Untuk mencukupi kebutuhan
pangan dirinya sendiri, sel kanker
mampu membentuk pembuluh darah
baru (neoangiogenesis) yang dapat
mengganggu kestabilan jaringan tempat
ia tumbuh (Hanahan dan Weinberg,
2000).
5.
Sel
kanker
memiliki
kemampuan yang tak terbatas dalam
memperbanyak
dirinya
sendiri
(proliferasi), meski seharusnya ia sudah
tak dibutuhkan dan jumlahnya sudah
melebihi kebutuhan yang seharusnya.
Dengan kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan sinyal pertumbuhan dan
kemampuan
menghindar
dari
mekanisme apoptosis, sel kanker
memiliki kemampuan tak terbatas untuk
bereplikasi (Hanahan dan Weinberg,
2000). Sel kanker mengganggu sel induk
karena menyebabkan desakan akibat
pertumbuhan tumor, penghancuran
jaringan tempat tumor berkembang atau
bermetastasis, dan gangguan sistemik
lain sebagai akibat sekunder dari
pertumbuhan sel kanker (Nafrialdi dan
Gan, 2007).
2.2.
Leukosit (Sel Darah Putih)
Leukosit memiliki bentuk khas,
nukleus, sitoplasma dan organel,
semuanya bersifat mampu bergerak pada
keadaan tertentu. Eritrosit bersifat pasif
dan melaksanakan fungsinya dalam
pembuluh darah, sedangkan leukosit
mampu keluar dari pembuluh darah
menuju jaringan dalam menjalankan
fungsinya. Jumlah seluruh leukosit jauh
di bawah eritrosit, dan bervariasi
tergantung jenis hewannya. Fluktuasi
dalam jumlah leukosit pada tiap individu
cukup besar pada kondisi tertentu,
misalnya: stress, aktivitas fisiologis, gizi,
umur, dan lain-lain. Jumlah leukosit
yang menyimpang dari keadaan normal
mempunyai arti klinik penting untuk
evaluasi proses penyakit (Anonim3,
2009). Masa hidup sel darah putih pada
hewan domestik sangat bervariasi mulai
dari beberapa jam untuk granulosit,
bulanan untuk monosit bahkan tahunan
untuk limfosit (Frandson, 1992).
Leukosit merupakan unit yang
mobil/aktif dari sistem pertahanan tubuh.
Leukosit ini sebagian dibentuk di
sumsum tulang (granulosit, monosit dan
sedikit limfosit) dan sebagian lagi di
jaringan limfe (limfosit dan sel-sel
plasma). Setelah dibentuk sel-sel ini
diangkut dalam darah menuju berbagai
bagian
tubuh
untuk
digunakan
Kebanyakan sel darah putih ditranspor
secara khusus ke daerah yang terinfeksi
dan mengalami peradangan serius
(Guyton, 1983).
Leukosit adalah sel darah yang
mengandung inti, disebut juga sel darah
putih. Dilihat dalam mikroskop cahaya
maka sel darah putih mempunyai
granula spesifik (granulosit), yang dalam
keadaan hidup berupa tetesan setengah
cair,
dalam
sitoplasmanya
dan
mempunyai bentuk inti yang bervariasi,
Yang tidak mempunyai granula,
sitoplasmanya homogen dengan inti
bentuk bulat atau bentuk ginjal. Granula
dianggap spesifik bila secara tetap
terdapat dalam jenis leukosit tertentu dan
pada sebagian besar precursor (pra
zatnya) (Effendi, 2003).
Leukosit mempunyai peranan
dalam pertahanan seluler dan humoral
organisme terhadap zat-zat asingan.
Leukosit dapat melakukan gerakan
amuboid dan melalui proses diapedesis.
Leukosit dapat meninggalkan kapiler
dengan menerobos antara sel-sel endotel
dan menembus kedalam jaringan
penyambung. Bila memeriksa variasi
Fisiologi dan Patologi sel-sel darah tidak
hanya persentase tetapi juga jumlah
absolut masing-masing jenis per unit
volume darah harus diambil (Effendi,
2003).
Ada enam macam sel darah putih
yang secara normal ditemukan dalam
darah yaitu netrofil polimorfonuklir,
eosinofil
polimorfonuklir,
basofil
polimorfonuklir, monosit, limfosit dan
kadang-kadang sel plasma. Selain itu
terdapat sejumlah besar trombosit, yang
merupakan pecahan dari tipe ketujuh sel
darah putih yang dijumpai dalam
sumsum tulang,n yaitu megakariosit
(Guyton, 1983).
Sel - sel polimorfonuklir
seluruhnya
mempunyai
gambaran
granular sehingga disebut granulosit.
Granulosit dan monosit melindungi
tubuh terhadap organisme penyerang
terutama dengan cara mencernanya yaitu
melalui fagositosis. Fungsi pertama sel
limfosit dan sel-sel plasma berhubungan
dengan sistem imun. Fungsi trombosit
erutama
mengaktifkan
mekanisme
pembekuan darah. Pada manusia dewasa
dapat dijumpai sekitar 7000 sel darah
putih per mikroliter darah. Presentase
normal dari sel darah putih yaitu netrofil
polimorfonuklir
62%,
eosinofil
polimorfonuklir
2,3%,
basofil
polimorfonuklir 0,4%, monosit 5,3%,
dan limfosit 30%. (Guyton, 1983).
2.4
2.4.1
Jenis jenis Leukosit
Granulosit
Granulosit memiliki granula
kecil di dalam protoplasmanya, memiliki
diameter sekitar 10 -12 mikron.
Berdasarkan
pewarnaan
granula,
granulosit dibagi menjadi tiga kelompok
berikut :
2.4.1.1 Neutrofil
Neutrofil memiliki granula yang
tidak bewarna, mempunyai inti sel yang
terangkai, kadang seperti terpisah-pisah,
protoplasmanya banyak berbintik-bintik
halus atau granula, serta banyaknya
sekitar 60 -70 % (Handayani, 2008).
Gambar 2.2 Neutrofil
(Hoffbrand, 2006).
Neutrofil merupakan leukosit
darah perifer yang paling banyak. Sel ini
memiliki masa hidup singkat, sekitar 10
jam dalam sirkulasi. Sekitar 50 %
neutrofil dalam darah perifer menempel
pada dinding pembuluh darah. Neutrofil
memasuki
jaringan
dengan
cara
bermigrasi sebagai respon terhadap
kemotaktik (Hoffbrand, 2006).
Neutrofil pada manusia dan
hewan
menunjukkan
perbedaan
berdasarkan sintesis protein, ekspresi
receptor, metabolisme oksidatif, fungsi
dan pewarnaan sitokimia. Neutrofil yang
cacat dapat dilihat dari jumlah maupun
bentuknya. Bentuk maupun jumlahnya
berpotensi untuk menjelaskan tingkat
infeksi. Jumlah neutrofil pada mencit
yaitu 0,3- 2,5 103/ µl. Neutrofilia
merupakan peningkatan jumlah neutrofil.
Penurunan jumlah sel neutrofil di dalam
sirkulasi (neutropenia) pada hewan
domestik dapat terjadi karena adanya
peningkatan destruksi sel neutrofil di
dalam peredaran darah, peningkatan
pengeluaran neutrofil ke dalam jaringan
tanpa diimbangi oleh pemasukan ke
dalam sirkulasi darah dan penurunan
produksi sel neutrofil di sumsum tulang
( Feldman, 2000).
2.4.1.2 Eosinofil
Eosinofil
memiliki
granula
bewarna merah dengan pewarnaan asam,
ukuran dan bentuknya hampir sama
dengan neutrofil, tetapi granula dalam
sitoplasmanya lebih besar, banyaknya
kira-kira 24 % (Handayani, 2008).
Gambar 2.3 Eosinofil
(Hoffbrand, 2006).
Sel ini sangat penting dalam
respon terhadap penyakit parasitik dan
alergi. pelepasan isi granulnya ke
patogen yang lebih besar membantu
dekstruksinya dan fagositosis berikutnya
(Hoffbrand, 2006). Fungsi utama
eosinofil adalah detoksifikasi baik
terhadap protein asing yang masuk ke
dalam tubuh melalui paru-paru ataupun
saluran cerna maupun racun yang
dihasilkan oleh bakteri dan parasit.
Eosinofilia pada hewan domestik
merupakan peningkatan jumlah eosinofil
dalam darah. Eosinofilia dapat terjadi
karena infeksi parasit, reaksi alergi dan
kompleks
antigen-antibodi
setelah
proses imun (Frandson, 1992).
2.4.1.3 Basofil
Basofil
memiliki
granula
bewarna biru dengan pewarnaan basa,
sel ini lebih kecil daripada eosinofil,
tetapi mempunyai inti yang bentuknya
teratur, di dalam protoplasmanya
terdapat granula-granula yang besar,
banyaknya kira-kira 0,5 % di sumsum
merah (Handayani, 2008).
Gambar 2.4 Basofil
(Hoffbrand, 2006).
Jumlah basofil di dalam sirkulasi
darah relatif sedikit. Di dalam sel
basofil
terkandung
zat
heparin
(antikoagulan). Heparin ini dilepaskan di
daerah peradangan guna mencegah
timbulnya pembekuan serta statis darah
dan limfe, sehingga sel basofil diduga
merupakan prekursor bagi mast cell.
Basofilia meupakan peningkatan jumlah
basofil dalam sirkulasi. basofilia pada
hewan domestik dapat terjadi karena
hipotirodismus
ataupun
suntikan
estrogen. Penurunan jumlah sel basofil
dalam sirkulasi darah atau basopenia
dapat
terjadi
karena
suntikan
corticosteroid pada stadium kebuntingan
(Frandson, 1992).
2.4.2 Agranulosit
2.4.2.1 Limfosit
Limfosit memiliki nucleus besar
bulat dengan menempati sebagian besar
sel limfosit berkembang dalam jaringan
limfe. Ukuran bervariasi dari 7 sampai
dengan 15 mikron. Banyaknya 20-25%
dan fungsinya membunuh dan memakan
bakteri masuk ke dalam jaringan tubuh.
Limfosit ada 2 macam, yaitu limfosit T
dan limfosit B (Handayani, 2008).
mempunyai
kemampuan
untuk
membentuk antibodi dalam reaksi
imunitas. Sel ini dinamakan sel limfosit
B. Sel lomfosit T dan limfosit B yang
baru terbentuk akan mengalir dalam
pembuluh darah dan pembuluh limfe
seperti terlihat dalam Gambar 2.6
(Harryadi, 1980).
Gambar 2.5 Limfosit
(Hoffbrand, 2006).
Sistem imun tubuh terdiri atas
dua komponen utama, yaitu limfosit B
dan limfosit T. Sel B bertanggung jawab
atas sintesis antibodi humoral yang
bersirkulasi yang dikenal dengan nama
imunoglobulin. Sel T terlibat dalam
berbagai proses imunologik yang
diperantarai oleh sel. Imunoglobulin
plasma merupakan imunoglobulin yang
disintesis di dalam sel plasma. Sel
plasma merupakan sel khusus turunan
sel
B
yang
menyintesis
dan
menyekresikan imonoglo-bulin ke dalam
plasma sebagai respon terhadap pajanan
berbagai macam antigen (Murray, 2003).
Semua sel darah (limfosit,
granulosit,eritrosit dan megakariosit)
berasal dari sejenis sel (stem cell) dalam
sumsum tulang. Sebagian dari sel-sel
limfosit yang baru terbentuk dari "stem
cells" akan mengalir menuju kelenjar
thymus. Dalam thymus sel-sel limfosit
ini akan mengalami semacam proses
pematangan menjadi sel limfosit yang
nantinya akan berfungsi dalam reaksi
imunitas seluler ( cellular immunity). Sel
limfosit yang telah diproses dalam
kelenjar thymus ini dinamakan sel
limfosit T. Sel limfosit yang tidak
mengalami proses pematangan dalam
kelenjar thymus, mengalami proses
pematangan dalam sumsum tulang dan
mungkin dalam kelenjar getah bening.
Sel-sel yang disebut terakhir ini setelah
mengalami proses pematangan akan
Gambar 2.6 Bagian sirkulasi limfosit
(Harryadi, 1980).
Limfosit merupakan komponen
yang beradaptasi dengan sistem imun.
Beberapa
bagian
limfosit
telah
dijelaskan pada tabel 2.2 dan sel-sel
tersebut
mengatur
pembentukan
antibody (Feldman, 2000).
Sebagian besar dari sel limfosit
(T dan B) akan masuk ke dalam kelenjar
getah bening dan menetap sementara di
dalamnya, sedang sebagian lain akan
meninggalkan kelenjar getah bening dan
masuk kembali dalam sirkulasi. Begitu
masuk ke dalam kelenjar getah bening
sel limfosit ini akan langsung menempati
tempat-tempat yang telah ditentukan
untuk masing-masing sel T dan sel B.
Limfosit B akan masuk ke dalam folikel
sedang limfosit T menempati daerah
para - cortex dan medulla (Harryadi,
1980).
Jika ada antigen masuk ke dalam
tubuh kita maka limfosit T juga akan
bertransformasi menjadi imunoblast.
Sedangkan pada limfosit B, rangsangan
antigen menyebabkan transformasi sel
yang akhirnya menghasilkan sel-sel
plasma. Sel plasma inilah yang
membentuk antibodi ("reaksi immunitas
humoral"). Sel plasma yang merupakan
produk akhir dari limfosit B tidak lagi
memiliki
imunoglobulin
pada
permukaan selnya. Sel-sel ini juga tidak
memiliki reseptor terhadap komplemen,
namun
sebaliknya
ia
memiliki
imunoglobulin
intraseluler
(intracytoplasmic immunoglobulin).
Limfosit T :
Limfosit T merupakan ekspresi
dari TCR (T-cell Receptor) yang
memberikan antigen yang unik dan
spesifik pada sel. Sel limfosit yang
belum dewasa dikeluarkan dari sumsum
sehingga mengalami perkembangan dan
maturasi dalam timus. Sel limfosit CD4+
atau CD8+ yang telah dewasa
meninggalkan timus dan menyebar ke
jaringan peripheral limfoid, bagian
tertentu lymph node paracortex, splenic
periarteriolar lymphoid sheath atau
daerah perrifolicular dari hubungan
antara jaringan mukosa dan limfosit.
Limfosit T memiliki kebutuhan untuk
aktivasi. Antigen utuh secara umum
tidak mampu merangsang
sel T.
Aktivasi sel T membutuhkan pengiriman
sinyal intrasitoplasmik setelahnya:
Pengenalan peptide
antigen dan residu
MHC dari TCR
Interaksi
seluruh
APC dan sel T pada
permukaan molekul
yang lain
melepaskan
costimulatory
cytokines APC yang
mengikat
reseptor
cytokine pada sel T
Limfosit
T
meninggalkan
sumsum tulang dan berkembang lama,
kemudian bermigrasi menuju ke timus.
Setelah meninggalkan timus, sel-sel ini
beredar dalam darah sampai mereka
bertemu dengan antigen-antigen dimana
mereka
telah
diprogram
untuk
mengenalinya. Setelah dirangsang oleh
antigennya, sel-sel ini menghasilkan
bahan-bahan kimia yang menghancurkan
mikroorganisme dan memberitahu selsel darah putih lainnya bahwa telah
terjadi infeksi
(Handayani, 2008).
Limfosit B :
Limfosit B terbentuk di sumsum
tulang lalu bersirkulasi dalam darah
sampai menjumpai antigen dimana
mereka
telah
deprogram
untuk
mengenalinya. Pada tahap ini, limfosit B
mengalami pematangan lebih lanjut
menjadi sel plasma serta menghasilkan
antibody (Handayani, 2008). Setiap
antibodi bersifat spesifik untuk antigen
tertentu. Hal ini disebabkan oleh struktur
unik antibodi yang tersusun atas asamasam amino pada bagian yang dapat
berubah dari kedua rantai ringan dan
berat. Susunan asam amino tersebut
memiliki bentuk yang berbeda untuk
setiap spesifisitas antigen
(Guyton, 1983).
2.4.2.2 Monosit :
Monosit memiliki ukuran yang
lebih
besar
daripada
limfosit,
protoplasmanya besar, warna biru sedikit
abu-abu, serta mempunyai bintik-bintik
sedikit kemerahan. Inti selnya bulat atau
panjang. Monosit dibentuk di dalam
sumsum tulang, masuk ke dalam
sirkulasi dalam bentuk imatur dan
mengalami proses pematangan menjadi
makrofag setelah masuk ke jaringan.
Fungsiya sebagai fagosit. Jumlahnya
34% dari total komponen yang ada di sel
darah putih (Handayani, 2008).
Gambar 2.7 Monosit
(Handayani, 2008).
Monosit adalah leukosit terbesar
yang berdiameter 15 sampai 20 µm dan
berjumlah 3 sampai 9% dari seluruh sel
darah putih. Terdapat kesulitan dalam
identifikasi monosit dengan adanya
bentuk transisi antara limposit kecil dan
besar, karena terdapat kemiripan satu
sama lain. keadaan ini jelas bila
mempelajari sediaan ulas darah sapi.
Uraian tentang bentuk transisi akan
diberikan pada pembahasan tiap spesies
yang berbeda. Sitoplasma monosit lebih
banyak dari limfosit, dan berwarna biru
abu-abu pucat. Sering tampak adanya
butir azurofil halus seperti debu. Inti
berbentuk lonjong , seperti ginjal atau
mirip tapal kuda, jelasnya memiliki
lekuk cukup dalam. Kromatin inti
mengambil warna lebih pucat dari
limfosit. Inti memiliki satu sampai tiga
nukleus, tetapi tidak tampak pada
sediaan ulas yang diwarnai. Monosit
darah tidak pernah mencapai dewasa
penuh sampai bermigrasi ke luar
pembuluh darah masuk jaringan.
Selanjutnya dalam jaringan menjadi
makrofag tetap, seperti pada sinusoid
hati, sumsum tulang, alveoli paru-paru,
dan jaringan limfoid. Sering terletak
berdekatan dengan endotel pembuluh
darah. Dalam jaringan limfoid sumsum
tulang dan sinusoid hati, makrofag tetap
lazimnya melekat pada penjuluran
dendritik dari sel retikuler (Anonim 3,
2009).
Monoblas adalah sel progenitor
yang hampir identik dengan mieloblas,
dilhat
dari
cirri
morfologinya.
Diferensiasi selanjutnya menghasilkan
promonosit, yakni suatu sel besar
(berdiameter sampai 18 µm) dengan
sitoplasma basofilik dengan sebuah inti
besar
yang
sedikit
berlekuk.
Kromatinnya jarang dan anak intinya
jelas. Promonosit membelah dua kali
dalam
perkembangannya
menjadi
monosit. Monosit matang memasuki
alitran darah, beredar sekitar 8 jam dan
kemudian memasuki jaringan ikat,
tempat sel ini mengalami pematangan
menjadi makrofag (Junqueira, 2007).
Makrofag terutama berasal dari
sel precursor dari sum-sum tulang, dari
promonosit yang akan membelah
menghasilkan monosit yang beredar
dalam darah. Pada tahap kedua monosit
berimigrasi kedalam jaringan ikat tempat
mereka menjadi matang dan inilah yang
disebut makrofag. Di dalam jaringan
makrofag dapat berproliferasi secara
lokal menghasilkan sel sejenis lebih
banyak (Effendi, 2003).
Sel-sel system makrofag terdapat pada:
1. Jaringan ikat Inggar berupa macrofag
atau histiosit
2. Didalam darah berupa monosit
3. Didalam hati melapisi sinusoid
dikenal sebagai sel Kupffer
4. Makrofag perivaskuler sinusod limpa,
limfonodus, dan sum-sum tulang.
5. Pada susunan syaraf pusat berupa
mikroglia yang berasal dari mesoderm.
(Effendi, 2003).
2.6
Spons Aaptos suberitoides
Spons adalah biota multiseluler
primitif yang bersifat filter feeder,
menghisap air dan bahan-bahan lain di
sekelilingnya melalui pori-pori (ostia)
kemudian dialirkan ke seluruh bagian
tubuhnya melalui saluran (channel) dan
dikeluarkan melalui pori-pori yang
terbuka (ostula). Spons termasuk hewan
laut dalam filum porifera yang berarti
memiliki pori-pori dan saluran. Melalui
poripori dan saluran-saluran inilah air
diserap oleh sel khusus yang dinamakan
sel leher, yang dalam banyak hal
menyerupai cambuk. Jenis sel ini
dinamakan koanosit (Munifa,2008).
Spons menyaring air laut untuk
memperoleh makanan. Air laut tersebut
dapat mengandung nutrisi berupa
mikroorganisme (diatomae, bakteri,
protozoa), bahan-bahan organik yang
merupakan lapukan atau sisa-sisa tubuh
organisme yang telah mati, serta
senyawa kimia toksik yang dihasilkan
oleh tumbuhan atau hewan lain.
Senyawa kimia toksik ini kemudian
dimodifikasi oleh spons di dalam
tubuhnya (Hooper, 2002).
Porifera mempunyai ciri khusus,
yaitu tubuh memiliki banyak pori yang
merupakan awal dari sistem kanal.
Struktur tubuh porifera terdiri atas dua
lapisan yaitu epidermis dan endodermis.
Epidermis terdiri atas sel-sel epithelium
(pinakosit),
sedangkan
endodermis
terdiri atas koanosit yang memiliki flagel.
Di antara kedua lapisan itu terdapat
mesoglea yang terdiri atas beberapa
macam sel, yakni: sel amoebosit,
skleroblas, porosit, arkeosit dan spikula
(Jasin, 1992).
Spons memproduksi senyawa
metabolit sekunder untuk menolak dan
mencegah serangan dari predator dan
berkompetisi ruang dengan organsme
sesil
yang
lain.
Kemampuan
menghasilkan
senyawa
untuk
pengobatan telah diidentifikasi dari
spons antara lain sebagai agen
antikanker,
immunomodulator,
antibakteria dan antifungal (Radjasa,
2007)
Aaptos suberitoides termasuk
kelas Demospongiae yang mempunyai
habitat di laut serta memiliki spikula
yang berbentuk seperti pines (Jasin,
1992). Kelas Demospongiae merupakan
kelas spons dengan jumlah spesies
paling banyak yaitu 90% dari seluruh
spesies spons. Seluruh anggota kelas
adalah leuconoid, dan semuanya spons
laut kecuali famili Spongilidae yang
merupakan
spons
air
tawar.
Demospongiae laut sangat bervariasi dan
warnanya mencolok. Selain itu juga
memilki berbagai macam bentuk seperti
encrusting, tinggi seperti jari, rendah
menyebar, berbentuk seperti kipas, vas,
bantal, atau bola (Hooper dan Van Soest,
2002).
Gambar 2.11 Aaptos suberitoides
(Anonim 3, 2009).
Gambar 2.10 Skema struktur sel
spons
(Anonim 3, 2009).
Demospongiae
memiliki
stereoblastula atau larva blastula,
bersifat ovipar atau vivipar, spikula
silikat menyusun kerangkanya adalah
monaxonic atau tetraxonic. Mereka tidak
pernah memiliki spikula triaxon. Kelas
Demospongiae terdiri dari 15 ordo, 88
famili, dan 500 genus (Hooper dan Van
Soest, 2002).
Klasifikasi Aaptos suberitoides
menurut Proksch, (2005) adalah sebagai
berikut:
Kingdom
Phylum
Class
Ordo
Familia
Genus
Spesies
2.7
: Animalia
: Porifera
: Demospongiae
: Hadromerida
: Tethyidae
: Aaptos
: Aaptos suberitoides
Senyawa Bioaktif pada Spons
Spons
memiliki
kandungan
bioaktif dari bermacam golongan,
diantaranya adalah alkaloid, acetogenin,
peptide, saponin terpenoid, sterol dan
sebagainya (Tabel 2.3). Senyawa
bioaktif yang dihasilkan oleh spons laut
telah banyak diketahui manfaatnya, yaitu
sebagai antibakteri, antijamur, antitumor,
antivirus dan menghambat aktivitas
enzim (Suparno, 2005).
Pembentukan senyawa bioaktif
pada spons sangat ditentukan oleh
prekursor berupa enzim, nutrien serta
hasil simbiosis dengan biota lain yang
mengandung senyawa bioaktif seperti
bakteri, kapang dan beberapa jenis
dinoflagellata yang dapat memacu
pembentukan senyawa bioaktif pada
hewan tersebut (Scheuer, 1978 dalam
Suryati et al., 2000).
2.8
Senyawa Alkaloid pada Aaptos
suberitoides
Spons
Aaptos
suberitoides
menghasilkan
senyawa
bioaktif
aaptamin
(benzo
1,6-naphthyridin)
(Coutinho, 2002) yang termasuk
golongan alkaloid (Larghi, et al., 2008).
Senyawa ini terdiri atas karbon, hidrogen,
dan nitrogen, sebagian besar diantaranya
mengandung oksigen. Sesuai dengan
namanya yang mirip dengan alkali
(bersifat basa) dikarenakan adanya
sepasang elektron bebas yang dimiliki
oleh
nitrogen
sehingga
dapat
mendonorkan sepasang elektronnya
(Hesse, 1981).
Gambar 2.12 Struktur Aaptamin
(Sumber: Mayer et al., 2008)S
Penelitian Mayer (2008) secara
in vitro menyatakan bahwa senyawa
aaptamin dapat menginduksi ekspresi
dari protein p21 yang berfungsi untuk
menahan siklus sel pada fase G2/M
(Gambar 2.13). Protein p21 merupakan
anggota famili protein inhibitor kinase
(CDIK) yang berfungsi menghambat
siklus sel dan ekspresinya dikontrol oleh
p53-independen (Aoki et al., 2006).
p21 (Protein
inhibitor kinase)
Aktif
G1/S-CDK
dan S-CDK
Inaktif
Kompleks G1/S-CDK
dan S-CDK dengan p21
Gambar 2.13 Mekanisme penahanan
fase G2/M pada siklus sel oleh p21
(Albert et al., 2010).
2. 10
Benzo (α) piren
Benzo (α) piren merupakan
senyawa hidrokarbon polisiklik aromatik
yang digolongkan sebagai senyawa pro
karsinogen kuat. Senyawa ini dijumpai
di lingkungan sebagai hasil proses
pembakaran yang tidak sempurna seperti
pada daging panggang, sate, makanan
yang diasap, asap rokok, dan asap
kendaraan. Sebagai senyawa karsinogen,
Benzo (α) piren dapat menimbulkan
mutasi gen yang dapat dimanifestasikan
sebagai kerusakan kromosom yaitu
terjadi aberasi atau patahan-patahan
kromosom (Yana, 2009).
UGM Jogjakarta. Pelaksanaan penelitian
pada bulan Oktober 2009 – Juni 2010.
3.2.
3.2.1
Alat dan Bahan
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kotak pendingin,
alat selam, pipet Thoma leukosit, kamar
hitung, mikroskop, gelas objek, spatula,
blood
counter
tabulator,
bak
pemeliharaan mencit (M. musculus),
tempat minum mencit (M. musculus),
jarum
suntik,
neraca
analitik,
sentrifugator, dan syiringe.
3.2.2
Gambar 2.14 Struktur Benzo (α)
piren
(Anonim 1, 2009).
Pada tahap telofase, fragmen
kromosom atau massa kromatin dalam
sel akan tertinggal pada sitoplasma
membentuk struktur menyerupai inti sel
dengan diameter antara 1/20 sampai 1/5
diameter inti yang dinamai mikronukleus
(MN). Jadi terbentuknya mikronukleus
pada sel merupakan indikasi terjadinya
aktivitas mutagenik yang merusak
kromosom dan akhirnya memicu
terjadinya kanker (Yana, 2009).
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Waktu dan Tempat Penelitian
Sampel spons diambil dari
Perairan Pasir Putih, Situbondo, Jawa
Timur. Uji toksisitas zat anti kanker
pada Spons dengan metode BST
dilakukan di Laboratorium Program
Studi Biologi FMIPA ITS Surabaya.
Penginduksian zat karsinogenik dan
pemberian zat anti kanker kepada mencit
(Mus
musculus)
dilakukan
di
Laboratorium Farmakognasi UNAIR
Surabaya. Penghitungan jumlah total dan
diferensial leukosit dilakukan di LPPT
Bahan
Bahan-bahan yang dibutuhkan
dalam penelitian ini adalah pakan mencit
Par G produksi Comfeed, mencit (M.
musculus) jantan strain B Albino clone
(BALB/c)
berumur
3
bulan,
benzo(a)piren, oleum olivarum, aquades,,
antikoagulan ethylenediamine-tetraacetic
acid (EDTA) , larutan Turk, metanol,
giemza, dan ekstrak spons A.
suberitoides.
Ekstraksi
spons
A.
suberitoides dilakukan di Laboratorium
Farmasi UNAIR dengan langkah kerja
sesuai lampiran 1.
3.3.
3.3.1
Prosedur Kerja
Persiapan Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan
adalah mencit (Mus musculus) jantan
strain B Albino clone (BALB/c)
berumur 3 bulan sebanyak 18 ekor,
dikelompokkan dalam 6 kelompok.
Masing-masing kelompok dimasukkan 3
mencit ( untuk 3 pengulangan). Sebelum
dilakukan perlakuan mencit diaklimasi
dalam kandang selama 1 minggu diberi
pakan Par G produksi Comfeed dan air
minum aquades.
3.3.2
Induksi Karsinogenik terhadap
Hewan
Uji
dengan
Benzo(a)piren
Induksi karsinogenik dilakukan
dengan cara menyuntikkan larutan
benzo(a)piren pada jaringan subkutan
mencit di bagian tengkuk. Benzo(a)piren
0,3 gram dilarutkan dalam 0,2 ml oleum
olivarum. Injeksi dilakukan 2 hari sekali
selama 10 hari. Kemudian ditunggu
sampai adanya kanker, yaitu munculnya
benjolan di bagian tengkuk selama 10
minggu. Untuk kontrol, mencit (M.
musculus) tidak diinjeksi benzo(a)piren.
3.3.3
Uji Anti Kanker Spons
terhadap Hewan Uji
Uji in vivo untuk terapi
antikanker dilakukan dengan cara mencit
yang telah diinduksi kanker diberi
perlakuan
ekstrak
spons
Aaptos
suberitoides yang mempunyai aktivitas
sitotoksisitas paling tinggi berdasarkan
hasil dari metode BST, secara oral pada
minggu ke-9. Perlakuan- perlakuan
tersebut meliputi:
K1
: Kontrol (tanpa perlakuan)
K2
: Diinduksi Benzo(a)piren tanpa
diterapi
K3
: Diinduksi Benzo(a)piren dan
diterapi dengan obat kanker
siklofasfamid 0,4 ml/ 20 gr BB
mencit/0,2
ml
carboxymethylcellulose sodium
salt
K4
: Diinduksi Benzo(a)piren dan
diterapi dengan ekstrak spons
laut Aaptos suberitoides 1,3
mg/20 gr BB mencit/0,2 ml
carboxymethylcellulose sodium
salt
K5
: Diinduksi Benzo(a)piren dan
diterapi dengan ekstrak spons
laut Aaptos suberitoides 2,6
mg/20 gr BB mencit/0,2 ml
K6
carboxymethylcellulose sodium
salt
: Diinduksi Benzo(a)piren dan
diterapi dengan ekstrak spons
laut Aaptos suberitoides 3,9
mg/20 gr BB mencit/0,2 ml
carboxymethylcellulose sodium
salt
3.3.4 Analisa Sel Darah Putih
(Leukosit)
3.3.4.1 Analisa Penghitungan Jumlah
Total Sel darah putih (Leukosit)
Penghitungan jumlah leukosit
dilakukan dengan menggunakan pipet
Thoma leukosit. Sampel darah yang
diberi anti koagulan (EDTA) dihisap
dengan pipet sampai tanda “0,5”. Pipet
kemudian dicelupkan ke dalam larutan
Turk dihisap sampai tanda “11” sehingga
diperoleh pengenceran 1:20. Pipet
dibolak-balik selama kurang lebih 3
menit dengan membentuk seperempat
lingkaran, kemudian 2-3 tetes darah
yang pertama dibuang. Selanjutnya
darah diteteskan dipinggir kamar hitung.
Kamar hitung dibiarkan satu menit yang
bertujuan untuk melisiskan eritrosit dan
memberi kesempatan kepada leukosit
untuk menempati kamar hitung.
Penghitungan leukosit dilakukan dengan
bantuan mikroskop perbesaran 40x pada
empat kotak besar dari kamar hitung.
Jumlah leukosit tiap milimeter kubik
(mm³) adalah jumlah sel terhitung
dikalikan dengan 50 (Tambur et al.,
2006).
3.3.4.2 Analisa Diferensial Sel Darah
Putih (leukosit)
Sampel darah segar diteteskan
pada gelas obyek dan dibuat preparat
apus dengan menggunakan tangan kanan
diletakkan gelas obyek lain di depan
tetesan darah tersebut dengan sudut 3040º C. Gelas obyek kedua didorong ke
depan hingga membentuk apus tipis.
Setelah kering preparat apus tersebut
difiksasi dengan metanol selama 3-5
menit, dibiarkan mengering di udara.
Preparat kemudian diwarnai dengan
larutan giemza dengan pengenceran 1:9
selama 30 menit (pH bufer fosfat 6,87,2). Selanjutnya preparat dicuci dengan
aquades dan dibiarkan mengering di atas
rak. Setelah kering preparat diperiksa di
bawah mikroskop dengan perbesaran
100x dihitung setiap jenis leukosit
menggunakan blood counter tabulator.
Sel yang dihitung paling sedikit 100 sel
dan dilakukan perhitungan persentase
jenis leukosit. Angka yang diperoleh
merupakan jumlah relatif masing-masing
jenis leukosit dari seluruh jenis leukosit
(Tambur et al., 2006).
menunjukkan ekstrak spons Aaptos
suberitoides
berpengaruh
terhadap
jumlah total dan masing-masing
diferensial leukosit (neutrofil, basofil,
eosinofil, limfosit, monosit) pada mencit
yang terkena kanker maka dilanjutkan
dengan uji Tukey (Kim et al., 2008).
Data diolah dengan menggunakan
Komputer Program Minitab 14.
Hipotesis:
Ho
: Konsentrasi ekstrak spons
Aaptos
suberitoides
tidak
berpengaruh terhadap jumlah
total leukosit pada mencit yang
terkena kanker
H1
: Konsentrasi ekstrak spons
Aaptos suberitoides berpengaruh
terhadap jumlah total leukosit
pada mencit
3.4.
Hipotesis:
Ho1 : Konsentrasi ekstrak spons
Aaptos
suberitoides
tidak
berpengaruh terhadap diferensial
leukosit
(neutrofil,
basofil,
eosinofil, limfosit, monosit) pada
mencit yang terkena kanker
H11 : Konsentrasi ekstrak spons
Aaptos suberitoides berpengaruh
terhadap diferensial leukosit
(neutrofil, basofil, eosinofil,
limfosit, monosit) pada mencit
yang terkena kanker
Analisa Data
Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui pengaruh ekstrak spons
Aaptos suberitoides terhadap jumlah
total dan diferensial leukosit pada mencit
yang terkena kanker. Pada mencit (Mus
musculus) yang mengalami kanker
terjadi peningkatan jumlah leukosit total
dan pada diferensial leukosit akan
menunjukkan peningkatan persentase
limfosit, monosit (makrofag) (Radoja,
2006; Mayer, 2008). Pada mencit yang
telah diterapi dengan zat anti kanker
dari spons laut Aaptos suberitoides
diharapkan jumlah leukosit total
mengalami penurunan dan presentasi
limfosit dan monosit (makrofag)
menurun
pula.
Penelitian
ini
menggunakan Rancangan Acak Lengkap
yang terdiri dari 3 ulangan dan 6
perlakuan. Pengaruh konsentrasi ekstrak
spons Aaptos suberitoides terhadap
jumlah total leukosit dan presentase
jenis-jenis
leukosit
dianalisa
menggunakan ANOVA (Analisis of
Variance).
Jika
hasil
analisa
IV.
ANALISA
DATA
DAN
PEMBAHASAN
4.1 Jumlah Total Sel darah putih
(Leukosit) Mencit (Mus musculus)
pada Evaluasi In Vivo Antikanker
dari
Spons
Laut
Aaptos
Suberitoides
Hasil yang didapatkan pada
penelitian ini yaitu ekstrak spons Aaptos
suberitoides
berpengaruh
terhadap
jumlah total sel leukosit antar perlakuan
(P<0.05). Jumlah total sel leukosit
kontrol (K1) berbeda secara signifikan
(P<0.05) dengan perlakuan K2, K3, K4,
K5 dan K6. Jumlah total sel leukosit
pada perlakuan K2, K3, K4, K5 dan K6
tidak berbeda secara signifikan. Pada
kontrol didapatkan jumlah sel leukosit
lebih besar daripada perlakuan lainnya.
Pada
perlakuan
K1
(kontrol)
menunjukkan rata-rata jumlah total sel
leukosit sebesar 10.800 sel/µl (Tabel
4.1).
Jumlah total sel leukosit pada
perlakuan K1 masih berada pada kisaran
jumlah total sel leukosit yang normal
yaitu 5.100– 11.600 sel/µl (Heumann et
al., 1983). Hal ini menunjukkan bahwa
pada mencit yang diinduksi benzo (α)
piren mengalami penurunan jumlah total
sel leukosit. Benzo (α) piren merupakan
senyawa hidrokarbon polisiklik aromatik
yang digolongkan sebagai senyawa pro
karsinogen kuat yang dapat memicu
terjadinya kanker (Yana, 2009). Sel
kanker dikenal oleh tubuh sebagai bahan
asing, sehingga mekanisme imunologi
tubuh akan bereaksi secara humoral
maupun seluler (Halim, 2001). Sel darah
putih merupakan salah satu komponen
dalam sistem imun (Baratawidjaja,
2004). Pada penelitian ini diduga sistem
imun tidak mampu melawan sel kanker
sehingga terjadi penurunan jumlah total
leukosit.
Tabel 4.1 Jumlah Total Sel Leukosit Mencit
(Mus musculus) pada Evaluasi In Vivo
Antikanker dari Spons Laut Aaptos
Suberitoides
K1
(sel
/µl )
K2
(sel
/µl )
K3
( sel/
µl)
K4
(sel
/µl )
K5
( sel/
µl )
K6
(sel/
µl )
4.40
0
5.50
0
3.80
0
2100
2.25
0
3.70
0
3.10
0
3.15
0
3.25
0
2.75
0
3.800
III
11.95
0
10.70
0
9.750
Rata-rata
10.80
4.566
3.016,
3.050
Perlakua
n
Ulangan
I
II
a
0
±
1.103
b
,67
± 862
2000
4650
2916,
b
67
±
1.502
b
67
±
729
b
± 265
4.150
3.700
3.883,
b
33
± 236
Keterangan:
K1
: Kontrol (tanpa perlakuan)
K2
: Diinduksi Benzo(a)piren tanpa
diterapi
K3
: Diinduksi Benzo(a)piren dan
diterapi dengan obat kanker
siklofasfamid 0,4 ml/ 20 gr BB
mencit/0,2
ml
carboxymethylcellulose sodium salt
K4
: Diinduksi Benzo(a)piren dan
diterapi dengan ekstrak spons laut
Aaptos suberitoides 1,3 mg/20 gr
BB
mencit/0,2
ml
carboxymethylcellulose sodium salt
K5
: Diinduksi Benzo(a)piren dan
diterapi dengan ekstrak spons laut
Aaptos suberitoides 2,6 mg/20 gr
BB
mencit/0,2
ml
carboxymethylcellulose sodium salt
K6
: Diinduksi Benzo(a)piren dan
diterapi dengan ekstrak spons laut
Aaptos suberitoides 3,9 mg/20 gr
BB
mencit/0,2
ml
carboxymethylcellulose sodium salt
a,b,c,d : Notasi yang digunakan dalam uji
Tukey
Benzo (α) pyren diinduksikan ke
mencit selama 10 hari setiap 2 hari
sekali sehingga diduga mencit yang
terpapar dengan zat karsinogen terus
menerus akan menurunkan respon sistem
imun sehingga terjadi penurunan jumlah
total leukosit. Pada perlakuan K3
(mencit yang diinduksi obat antikanker
siklofasfamid) juga terjadi penurunan
jumlah leukosit. Siklofasfamid (SP)
banyak digunakan dalam pengobatan
penyakit imun, sebagai kemoterapi
kanker dan pada transplantasi sumsum
tulang.
SP
bekerja
sebagai
imunosupresan dengan membunuh sel
limfosit yang diaktifkan dan juga
sebagai depresan sumsum tulang
sehingga dapat menimbulkan limfopenia
(penurunan jumlah limfosit dalam darah)
(Baratawidjaja, 2004). Pada pemberian
ekstrak spons A. suberitoides diduga
tidak berhasil dalam mengobati penyakit
kanker yang ditandai dengan jumlah
total leukosit yang rendah.
4.2 Diferensial Sel darah putih
(Leukosit) Mencit (Mus musculus)
pada Evaluasi In Vivo Antikanker
dari Spons Laut Aaptos Suberitoides
Pada sistem imun mamalia terdiri
dari sistem imun spesifik (adaptif) dan
sistem imun nonspesifik (alamiah). Sel
neutrofil, eosinofil, basofil dan monosit
termasuk dalam sistem imun nonspesifik,
sedangkan sel limfosit termasuk dalam
sistem imun spesifik (Baratawidjaja,
2004). Sistem imun spesifik dan non
spesifik berinteraksi dalam menghadapi
infeksi. Sistem imun non spesifik
bekerja dengan cepat dan sering
diperlukan untuk merangsang sistem
imun spesifik. Sel neutrofil berperan
dalam pertahanan awal imunitas non
spesifik terhadap infeksi bakteri
(Baratawidjaja, 2004). Sel eosinofil
berperan dalam respon terhadap penyakit
parasitik dan alergi (Hoffbrand, 2006).
Sel basofil berperan dalam respon
peradangan. Sel limfosit berperan dalam
membentuk antibodi yang bersirkulasi di
dalam darah atau dalam sistem
kekebalan seluler (Frandson, 1996). Sel
monosit
mengalami
proses
pematatangan menjadi makrofag setelah
masuk ke jaringan. Sel makrofag
berperan dalam membersihkan tubuh
dari sel mati dan debris lainnya (Mayer,
2008).
Pada diferensial sel leukosit
mencit hanya ditemukan sel neutrofil,
limfosit dan monosit, sedangkan sel
eosinofil dan basofil tidak ditemukan.
Hasil yang didapatkan pada diferensial
sel neutrofil yaitu terdapat pengaruh
ekstrak spons A. suberitoides terhadap
persentase neutrofil antar perlakuan
(P<0.05). Pada perlakuan K1 (kontrol)
didapatkan rata-rata presentase sel
neutrofil sebesar 59.67 % (Tabel 4.2).
Presentase sel neutrofil pada kontrol
masih mendekati kisaran yang normal
yaitu 60-70 % (Handayani, 2008). Jika
dilihat secara statistik, ekstrak spons A.
suberitoides
berpengaruh
terhadap
presentase neutrofil antar perlakuan
namun tidak terdapat perbedaan yang
signifikan (Tabel 4.2), sehingga pada
penelitian ini diduga tidak terjadi adanya
infeksi bakteri.
Tabel 4.2 Presentasi Neutrofil Mencit
(Mus musculus) pada Evaluasi In Vivo
Antikanker dari Spons Laut Aaptos
Suberitoides
Perlaku
an
Ulanga
n
I
II
III
Ratarata
K1
(%)
K2
(%
)
K3
(%)
K4
(%)
K5
(%)
55
64
60
59.6
cd
7
±
4.50
9
36
42
48
73
59
65
65.6
d
7
±
7.02
4
51
42
47
46.6
ac
7
±
4.50
9
50
33
41
41.3
ab
3
±
8.50
5
42
b
a
±
6.0
0
K6
(%)
59
66
71
65.3
d
3
±
6.02
8
Pada perlakuan K3 dan K6
memiliki presentase sel neutrofil yang
relatif sama dengan kontrol (K1) yaitu
berkisar antara 59-73%, sedangkan pada
perlakuan K2, K4 dan K5 mengalami
penurunan presentase sel neutrofil yang
berkisar antara 33-51%. (Baratawidjaja,
2004). Pada penelitian diferensial
leukosit, jenis leukosit yang berperan
yaitu sel limfosit sehingga presentase sel
neutrofil lebih sedikit ditemukan pada
mencit yang menderita kanker.
Eosinofil tidak ditemukan pada
pengamatan diferensial leukosit. Sel ini
sangat penting dalam respon terhadap
penyakit parasitik dan alergi (Hoffbrand,
2006). Pada penelitian ini mencit tidak
mengalami alergi maupun penyakit
parasitik sehingga tidak ditemukan
adanya sel eosinofil. Eosinofilia
merupakan peningkatan jumlah eosinofil
dalam darah yang terjadi karena infeksi
parasit, reaksi alergi dan kompleks
antigen-antibodi setelah proses imun
(Frandson, 1992).
Basofil tidak ditemukan pada
pengamatan diferensial leukosit. Jumlah
basofil di dalam sirkulasi darah relative
sedikit (0.07 %), sehingga pada
penelitian ini tidak ditemukan adanya sel
basofil. Di dalam sel basofil terkandung
zat heparin (antikoagulan). Heparin ini
dilepaskan di daerah peradangan guna
mencegah timbulnya pembekuan serta
statis darah dan limfe, sehingga sel
basofil diduga merupakan prekursor bagi
mast
cell.
Basofilia
merupakan
peningkatan jumlah basofil dalam
sirkulasi. Basofilia pada hewan domestik
dapat terjadi karena hipotirodismus
ataupun suntikan estrogen. Penurunan
jumlah sel basofil dalam sirkulasi darah
atau basopenia dapat terjadi karena
suntikan corticosteroid pada stadium
kebuntingan (Frandson, 1992).
Respons sistem imun terhadap
sel kanker dapat dibagi dua yaitu
humoral dan seluler (Halim, 2001). Sel
B ikut serta pada imunitas humoral,
sedangkan sel T ikut serta pada respon
imun selular. Fungsi utama limfosit
adalah menanggapi kehadiran antigen
atau benda asing dengan membentuk
antibodi yang bersirkulasi di dalam
darah atau dalam sistem kekebalan
seluler (Frandson, 1996).
Hasil yang didapatkan pada
diferensial sel limfosit yaitu pengaruh
ekstrak spons A. suberitoides terhadap
sel limfosit antar perlakuan (P<0.05).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
pada
perlakuan
K1
(kontrol)
menunjukkan rata-rata presentase sel
limfosit sebesar 27.67 % (Tabel 4.3).
Presentase sel limfosit pada perlakuan
K1 masih berada pada kisaran presentase
sel limfosit yang normal yaitu 25-33%
(Fawcett, 1994).
Tabel 4.3 Presentasi Sel Limfosit Mencit
(Mus musculus) pada Diferensial Leukosit
Evaluasi In Vivo Antikanker dari Spons
Laut Aaptos Suberitoides
Perlaku
an
Ulanga
n
I
II
III
Ratarata
K1
(%)
K2
(%)
K3
(%)
K4
(%
)
K5
(%)
K6
(%
)
34
28
21
27.
a
67
±6.
506
56
49
45
b
50
±5.5
68
9
17
8
11.3
c
3
±4.9
33
42
42
42
b
42
±0.
00
44
55
55
51.3
b
3
±6.3
51
15
7
11
c
11
±4.
00
Pada mencit yang terkena kanker
(K2) dan diterapi ekstrak spons laut A.
suberitoides pada dosis 500 mg/Kg BB
(K4) dan 1000 mg/Kg BB (K5) juga
tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan (42-56%). Jika dibandingkan
dengan
kontrol,
mencit
dengan
perlakuan K2 (diinduksi benzo(α)pyren)
memiliki presentase limfosit yang lebih
besar. Pada mencit yang terkena kanker,
peningkatan
jumlah
sel
limfosit
disebabkan oleh adanya respon imun
spesifik terhadap sel kanker. Sel kanker
tidak mengenal program kematian sel
yang dikenal dengan nama apoptosis.
Apoptosis (programmed cell death)
merupakan proses yang berjalan secara
fisiologik dalam kehidupan sel melalui
signal molekul spesifik yang berperan
untuk mengatur dan menentukan proses
kematian sel itu sendiri (Tadjudin,
2006). Protein p53 berfungsi sebagai
pengatur proliferasi sel dan mediator
pada apoptosis. Hilangnya fungsi gen
p53 atau terjadinya mutasi gen tersebut
menjadikan sel terhindar dari kerusakan
DNA, pertumbuhan dan kematian sel
tidak terkontrol, pembelahan sel kanker
terjadi secara terus menerus tanpa
mengalami apoptosis (Seitz, 2010).
Sehingga dapat mendorong produksi
limfosit untuk merespon sel kanker.
Presentase jumlah sel limfosit
pada perlakuan K3 dan K6 yaitu 7-17%
tidak berbeda secara signifikan. Mencit
yang diterapi dengan obat antikanker
siklofasfamid (K3) dan ekstrak spons
laut A.suberitoides pada dosis paling
tinggi (1500 mg/Kg BB) mengalami
penurunan jumlah sel limfosit yang
drastis jika dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Pada mencit yang
diinduksi obat antikanker siklofasfamid
terjadi penurunan presentase limfosit. SP
bekerja sebagai imunosupresan dengan
membunuh sel limfosit yang diaktifkan
dan juga sebagai depresan sumsum
tulang sehingga dapat menimbulkan
limfopenia (penurunan jumlah limfosit
dalam darah) (Baratawidjaja, 2004).
Pada pemberian ekstrak spons A.
suberitoides diduga tidak berhasil dalam
mengobati penyakit kanker.
Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa pada perlakuan K1 (kontrol)
menunjukkan rata-rata presentase sel
monosit sebesar 12 % (Tabel 4.4).
Presentase sel limfosit pada perlakuan
K1 masih berada pada kisaran presentase
sel limfosit yang normal yaitu 4-11%
(Fawcett, 1994). Hasil yang didapatkan
pada diferensial sel monosit tidak
terdapat pengaruh ekstrak spons A.
suberitoides terhadap presentase sel
monosit antar perlakuan (P>0.05),
sehingga dapat dikatakan bahwa ekstrak
spons A. suberitoides tidak berpengaruh
terhadap jumlah monosit dalam darah
Tabel 4.4 Presentasi Sel Monosit Mencit
(Mus musculus) pada Diferensial Leukosit
Evaluasi In Vivo Antikanker dari Spons
Laut Aaptos Suberitoides
Perlak
uan
Ulang
an
I
II
III
Ratarata
K
1
(
%
)
K
2
(
%
)
K3
(%)
11
8
17
12
8
9
7
8
9
17
8
11.33
33
K4
(%)
7
16
11
11.33
33
K5
(%)
6
12
4
7.33
33
K
6
(
%
)
15
7
11
11
Monosit dibentuk di dalam
sumsum tulang, masuk ke dalam
sirkulasi dalam bentuk imatur dan
mengalami proses pematangan menjadi
makrofag setelah masuk ke jaringan
(Handayani, 2008). Bila program
apoptosis telah selesai pada sebuah sel
maka akan meninggalkan kepingan sel
mati yang disebut badan apoptosis yang
akan dikenali oleh sel makrofag dan
dimakan (engulfed) (Peter et al, 1997).
Pada diferensial sel leukosit
hanya ditemukan sel neutrofil, limfosit
dan monosit, sedangkan sel eosinofil dan
basofil tidak ditemukan. Pemberian
ekstrak spons A. suberitoides tidak
berpengaruh terhadap presentase sel
neutrofil, limfosit dan monosit. Tidak
efektifnya
ekstrak
spons
dalam
penghambatan pertumbuhan kanker
dapat disebabkan karena ekstrak spons
yang digunakan untuk terapi bukan
merupakan ekstrak murni tetapi masih
berupa ekstrak kasar yang terdiri atas
campuran berbagai macam senyawa
organic yang terdapat pada spons.
Fraksi-fraksi yang terdapat di dalam
ekstrak spons belum dipisahkan satu
dengan yang lain sehingga ekstrak spons
masih didominasi senyawa organik non
alkaloid. Pada umumnya, senyawa yang
sudah dalam bentuk murni (pure
compound) akan memiliki aktivitas
biologi yang lebih kuat dengan catatan
selama proses pemurnian, senyawa aktif
tidak hilang atau mengalami kerusakan
(Nursid et al, 2006).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari
penelitian ini adalah:
1. Ekstrak spons A. suberitoides
berpengaruh terhadap penurunan
jumlah total leukosit
2. Ekstrak spons A. suberitoides
tidak berpengaruh terhadap sel
basofil,
eosinofil,
neutrofil,
monosit dan limfosit.
5.2
Saran
Ekstrak spons A. suberitoides
yang digunakan untuk terapi perlu
dimurnikan terlebih dahulu menjadi
bentuk senyawa murni sehingga
memiliki aktivitas biologi yang lebih
tinggi. Selain itu, perlu dilakukan
penelitian mengenai obat antikanker
yang dapat menginduksi respon imun
(immunostimulan).
DAFTAR PUSTAKA
Abbas A., Murphy K., Sher A. 2000.
Functional diversity of helper T
lymphocytes.
Nature
383
(6603): 787-93
Alberts B., Johnson, A., Lewis J., Raff
M., Roberts K., and Walter P.,
2002. Molecular Biology of the
Cell. Edisi ke-4. Garland
Science: New York
Anonim 1, 2009. Benzo (α) piren.
http://www.arkadiuszjadczyk.org
imagesbenzopireny.-com/.
Diakses
pada tanggal
10
November 2009 pukul 19.00
WIB
Anonim 2, 2009. Sistem Imun dan
Psikoneuroimunologi.
http://www.tauhidinstitute.org/articles/.
Diakses
pada
tanggal 01 Desember 2009 pada
pukul 18.05 WIB
Anonim 3. 2009. Hewan Spons,
Porifera.
http://kamuspengetahuan.blogspo
t.com/2009/
03/hewan-sponsporifera.html. Diakses pada
tanggal 28 Oktober 2009 pada
pukul 17.00 WIB
Anonim 4. 2010. Mekanisme Sistem
Imun Terhadap Sel Kanker.
http://niek4life.files.-wordpress.
com/2008/10/immunitycancer2.jpg.
Diakses
pada
tanggal 18 Maret 2010 pada
pukul 22.00 WIB
Aoki,
S., Dexin K., Hideaki S.,
Yoshihiro S., Toshiyuki S., Andi
S., and Motomasa K. 2006.
Aaptamin, a Spongean Alkaloid,
Activates p21 Promoter in a p53Independent
Manner.
Biochemical and Biophysical
Research Communications vol.
342 : 101-106
Baratawidjaja
Karnen
G.
2004.
Imunologi Dasar. Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia: Jakarta
Ben Best. 2006. Cancer Death Causes
&
Prevention.
Http://benzo/Hasil%20
Penelusuran%20Gambar%20Goo
gle%20untuk%20httpwww_benb
est_com-healthBenzoPyr_gif_files/cancer.htm
Boon T, van der Bruggen P. 1996.
Human
tumor
antigens
recognized by T lymphocytes. J
Exp Med (183): 725–729
Brown, Earl. 1998. Basic Concepts in
Pathology. The McGraw-Hill :
USA
Coutinho A., Chanas B., Souza T.,
Frugrulhetti I., Epifanio. 2002.
Anti HSV-1 Alkaloids from a
Feeding
Deterrent
Marine
Spongse of The Genus Aaptos.
Heterocycles, vol. 57: 12651272
Campbell, Neil A. 2004. Biologi Jilid 3.
Erlangga: Jakarta
Effendi, Zukesti. 2003.
Peranan
Leukosit
sebagai
Anti
Inflamasi
Alergik
dalam
Tubuh. Fakultas Kedokteran:
Universitas Sumatera Utara
Erlinger Thomas P. 2004. WBC Count
and the Risk of Cancer Mortality
in a National Sample of U.S.
Adults: Results from the Second
National Health and Nutrition
Examination Survey Mortality
Study. Cancer Epidemiology,
Biomarkers & Prevention 13:
1052
Fatmah, 2006. Respon Imunitas yang
Rendah pada Tubuh Manusia
Usia Lanjut. Makara Kesehatan,
Vol. 10; No.1 : 47-53
Fawcett Don W. 1994. Buku Ajar
Histologi. EGC: Jakarta
Feldman Bernard F. 2000. Veterinary
Hematology Fifth Edition.
Lippincot William and Wilkins:
California
Finlay B., McFadden G. 2006. Antiimmunology: evasion of the host
immune system by bacterial and
viral pathogens. Cell 124 (4):
767-82
Handayani, Wiwik. 2008. Asuhan
Keperawatan
pada
Klien
dengan
Gangguan
Sistem
Hematologi. Salemba Medika:
Jakarta
Harryadi R. 1980. Limfoma Malignum :
Kanker atau Reaksi Imunologik
yang Normal. Cermin Dunia
Kedokteran No.18 : 30-32
Hesse, M. 1981. Alkaloid Chemistry.
John Wiley and Sons, Inc: Toronto
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan
Fisiologi Ternak Edisi ke-4.
Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta
Heumann D. 1983.
Human Large
Granular Lymphocytes contain
an Esterase Activity usually
Considered as Specific for The
Myeloid Series. Eur J Immunol
(13) : 254-258
Franks L.M and Teich N.M. 1998.
Cellular and Molecular Biology
of Cancer Third Edition.
Oxford University Press : Inggris
Hoffbrand, Victor. 2006. At a Glance
Hematology. EMS: Jakarta
Guyton, Arthur C. 1983. Fisiologi
Manusia dan Mekanismenya
terhadap
Penyakit.
EGC:
Jakarta.
Halim, Binarwan. 2001. Imunologi
Kanker. Cermin Dunia Kedokteran No.
132 : 47-51
Hanani, E., Mun’im, A. dan Sekarini.
2005.
Identifikasi
Senyawa
Antioksidan
dalam
Spons
Callyspongia sp dari Kepulauan
Seribu.
Majalah
Ilmu
Kefarmasian, Vol. II, No.3,
Desember 2005, 127 – 133
Hanahan, D. and Weinberg, R.A. 2000.
The Hallmark of Cancer. Cell. Vol 100:
57-70
Hooper, J.N.A. 2002. Sponguide: guide
to
spons
collection
and
identification.
Queensland
Museum: South Brisbane
Janeway C A. 2005. Immunobiology.
Garland Science : New York
Jasin,
Maskuri.
1992.
Invertebrata. Sinar
Surabaya
Zoologi
Wijaya:
Juwono dan Juniarto. 2003. Biologi Sel.
Penerbit Buku Kedokteran EGC:
Jakarta
Keller, Margaret A. and E. Richard
Stiehm. 2000. Passive Immunity
in Prevention and Treatment of
Infectious Diseases.
Clinical
Microbiology Reviews 13 (4):
602–614.
Kim D J., Nuh J H., Lee B W., Choi Y H.
2008. The Associations of Total
and Differential White Blood
Cell Count with Obesity,
Hypertension, Dyslipidemia and
Glucose Intolerance in a Korean
Population. J Korean Med Sci
23(2): 193-198
Larghi, E., Obrist, B., and Kaufman, T.
2008. A formal total synthesis of
the marine alkaloid aaptamine.
Tetrahedron Volume 64, Issue
22
Lodish H., Berk, A., Matsudaira, p.,
Kaiser, C.A., Krieger, M., Scott,
M.P., Zipursky, S.L., Darnell, J.
2000. Molecular Cell Biology,
5th ed. WH Freeman: New York.
Makarchaenko, A. dan Utkina, N. 2004.
Antiradical Activity of Alkaloids
from
Marine
Sponges.
International Conference on
Natural
Products
and
Physiologically
Active
Substances
(ICNPAS-2004)
September
12-17,
2004,
Novosibirsk, Russia
Mariono, S. A. 2002. Karakteristik
Kandungan DNA dan Aktivitas
Proliferasi Pada Kanker Paru di
Jakarta,
Cermin
Dunia
Kedokteran No.127: 15-17.
Maliya, A. 2004. Perubahan Sel menjadi
kanker dari sudut Pandang
Biologi molekuler. Infokes Vol
8 No 1 Maret – September 2004.
Mayer,
A., Gustafson,
Antitumour
and
K. 2008.
Cytotoxic
Compounds. European Journal
Of Cancer 44: 2357–2387
Munifa, I. 2008. Spons:biota laut
penghasil senyawa bioaktif
yang potensial. Laboratorium
Bioteknologi Kelautan : Pusat
Riset Pengolahan Produk dan
Sosial-Ekonomi Kelautan dan
Perikanan
Morgan R et al., 2006. Cancer
Regression in Patients After
transfer of genetically engineered
lymphocytes. Science 314: 126–
129
Murray, Robert K. 2003. Biokimia
Harper.
Penerbit
Buku
Kedokteran EGC: Jakarta
Nafrialdi, S. Gan. 2007. Farmakologi
dan Terapi, edisi ke-5. Gaya Baru.
Jakarta.
Nurhayati, Awik Puji D. 2010.
Screening, Isolation and In Vivo
Evaluation from Marine Sponge:
Bioactive Screening from Marine
Sponge. The Proceeding 24th25th February 2010 University
Malaya
Royal
Society
Chemistry
Nurlaila, Ika dan Hadi, Miftachul. 2009.
Kanker: Pertumbuhan, Terapi
dan Nanomedis. Biophysics
Group Physics Research Centre
LIPI : Nanotech Indonesia
Nursaadah,
Afifa.
2008.
Uji
pendahuluan ekstrak spons
Spongosorites sp. dari pantai
pasir putih Situbondo yang
berpotensi sbagai antibakteri.
Skripsi Program Studi Biologi
ITS
Nursalam,
dkk.
2005.
Asuhan
Keperawatan Bayi dan Anak.
Salemba Merdeka: Jakarta
Nursid, Muhammad. Wikanta, Thamrin.
Fajarwati,
Nurrahmi.
2006.
Aktivitas Sitotoksik, Induksi
Apoptosis dan Ekspresi Gen P 53
Fraksi Metanol Ekstrak Spons
Petrosia sp Terhadap Sel Tumor
HeLa. Jurnal Pascapanen dan
Biotekonologi Kelautan dan
Perikanan Volume 1 No 2 :
103-110
Proksch, P., Edrada, R., A. And Ebel, R.,
2005, Drugs from the seas –
current
status
and
microbiological
implications.
Appl
Microbiol
Biotechol
59:125- 134
Radjasa, O. K., A. Sabdono, Junaidi and
E. Zocchi. 2007. Richness of
Secondary Metabolite-Producing
Marine Bacteria Associated with
Sponge Haliclona sp., Int. J.
Pharmacol., 3:3,275-279.
Radoja S., Frey A., Vukmanovic S. 2006.
T-cell receptor signaling events
triggering granule exocytosis.
Crit Rev Immunol 26 (3): 26590
Rombang, W. A. R., Rymond J. R.,
Ponis T., Anthony J. H., dan
Lewis N. M. 2004. Chemical
Constituents of Indonesia Marine
Sponges: Bisdemethylaaptamine,
a Napthyridine Alkaloid from
Aaptos sp. Buletin of The
Indonesian Society of Natural
Products Chemistry, Vol. 4, No.
1
Rosmiati dan Suryati, 2001. Isolasi
Identifikasi
dan
Pengaruh
Senyawa
Bioaktif
Spons
Callyspongia pseudoreticulata
terhadap Bakteri patogen dari
Udang. Jurnal Bioteknologi
Pertanian, Vol 6 no 1
Schmitz, F.J., Gopichand, Y. 1993.
E,13o,15Z)-14,16-Dibromo7,13,15-hexadecatrien-5-ynoic
acid. A novel dibromoacetylenic
acid from the marine sponge
Xestospongia
muta.
Tetrahedron
Lett.
39,
3637_/3640.
Seitz C S., Lin Q., Deng H., Khavari P A.
2010. Alterations in NF- B
function in transgenic epithelial
tissue demonstrate a growth
inhibitory role for NF- B. Proc
Natl Acad Sci USA (1998) 95:
2307–2312
Sjorgen, Martin. 2006. Antifouling
Activity of Synthesized peptide
analogs of the sponge metabolite
barettin. Peptides Volume 27,
Issue 9 : 2058-2064
Silalahi, Jansen. 2006. Antioksidan
dalam Diet dan Karsinogenesis.
Cermin Dunia Kedokteran
153:39-42.
Sofyan, R. 2000. Terapi Kanker pada
Tingkat Molekuler. Cermin
Dunia Kedokteran 127:5-10
Suparno. 2005. Kajian Bioaktif Spons
Laut (Porifera: Demospongiae)
Suatu
Peluang
Alternatif
Pemanfaatan
Ekosistem
Karang
Indonesia
Dalam
Bidang Farmasi. IPB: Bogor
Suryati E, Parenrengi A, dan Rosmiati.
2000. Penapisan Serta Analisis
Kandungan Bioaktif Sponge
Clathria sp. yang efektif sebagai
Antibiofouling
pada
teritif
(Balanus amphitrit). Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia
Vo.5 No. 3 Tahun 1999.
Tadjudin, M.K. 2006. Apoptosis Pada
Glioma
Otak.
Simposium:
Apoptosis Charming to Death
FK UI
Tambur Z, et al., 2006. White Blood
Cell Differential Count in
Rabbits Artificially Infected with
Intestinal Coccidia. J. Protozool.
Res 16, 42-50
Van
Soest, R.M.W. 1989. The
Indonesian Sponge Fauna: Status
Report. Netherland Journal of
Sea Research Volume 23 issue
2: 223-230
Yana, Sumpena. 2009. Uji Mutagenisitas
Benzo (alfa) piren dengan
Metode Mikronukleus pada
Sumsum Tulang Mencit Albino
(Mus musculus). Cermin Dunia
Kedokteran Vol 36 no. 1/167
Zakaria, Fransiska R. 2001. Pangan dan
Pencegahan Kanker. Jurnal
Teknologi dan Industri Pangan,
Vol. XII, No. 2 Th. 2001
BIODATA MAHASISWA
Nama : Dian Natalia Eka Saputri
TTL : Surabaya, 16 Desember 1988
Alamat: Jl. Medayu Selatan I / 8
Surabaya Jawa Timur
Download