BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

advertisement
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep
2.1.1 Fonotaktik dan Fonologi
Fonotaktik dalam penelitian ini mengacu pada urutan fonem yang
dimungkinkan dalam bahasa. Kata dimungkinkan, diinterpretasikan sebagai suatu
keadaan yang menyebabkan urutan fonem itu dapat berterima di masyarakat.
Masyarakat menggunakan seperangkat bunyi-bunyi bahasa termasuk fonem untuk
membentuk sebuah kata, dari kata ke frasa, dari frasa ke klausa dan sampai pada
kalimat yang memiliki arti dan dapat dipahami.
Secara garis besar, fonologi adalah suatu subdisiplin dalam ilmu bahasa
atau linguistik yang membicarakan tentang bunyi bahasa. Lebih sempit lagi,
fonologi murni membicarakan tentang fungsi, perilaku, serta organisasi bunyi
sebagai unsur-unsur linguistik (Lass, 1988:1). Menurut Verhaar, fonologi adalah
ilmu yang menyelidiki perbedaan minimal antar ujaran yang selalu terdapat dalam
kata sebagai konstituen (Verhaar, 1982: 36), contohnya adalah bue dan
pueɁ.(bue= ayun dan pueɁ= buat/membuat). Pasangan kata tersebut memiliki dua
bunyi yang berbeda yaitu [b] dan [p]. Hal itu menunjukkan bahwa /b/ dan /p/
adalah dua fonem yang berbeda. Demikian juga dengan Yallop (1990: 126) yang
menggunakan pasangan minimal untuk membuktikan bahwa sebuah bunyi adalah
fonem. Jadi, pasangan minimal adalah dua ujaran yang berbeda maknanya tetapi
memiliki minimal satu perbedaan bunyi.
Universitas Sumatera Utara
Setiap bahasa diwujudkan oleh bunyi, dalam hal ini adalah bunyi-bunyi
yang dihasilkan oleh alat-alat ucap manusia karena secara tepat tidak ada bunyi
yang sama benar diucapkan oleh seorang pembicara paling tidak, ada dua hal
pokok yang mendasari perbedaan itu. Pertama secara ucapan dan kedua secara
sistem. Perbedaan tersebut didasarkan pada pendapat Ferdinand de Saussure, yang
mengganggap bahwa bunyi bahasa ada yang bersifat ujar (parole) dan ada yang
bersifat sistem (langue). Baik parole maupun langue termasuk dalam kajian
fonologi.
Sementara fonem adalah abstraksi dari bunyi-bunyi bahasa. Sama halnya
dengan pengertian yang dikemukakan Alwi, bahwa fonem adalah satuan bahasa
terkecil berupa bunyi atau aspek bunyi bahasa yang membedakan bentuk dan
makna kata (Alwi dkk, 2003: 53). Fonem tidak sama dengan bunyi bahasa. Fonem
diberi nama sesuai dengan nama salah satu bunyi bahasa yang merealisasikannya.
Misalnya: konsonan bilabial, konsonan bersuara, konsonan geseran velar
bersuara, dan vokal depan atas.
Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam saluran
suara, bunyi bahasa dapat dibedakan menjadi dua kelompok: vokal dan dan
konsonan (Alwi dkk, 2003:49) Vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan tanpa
penutupan atau penyempitan di atas glottis. Dengan kata lain, vokal adalah bunyi
bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan dan kualitasnya ditentukan
oleh tiga faktor, yaitu tinggi-rendahnya posisi lidah, bagian lidah yang dinaikkan,
dan bentuk bibir pada pembentukan vokal itu (Alwi dkk, 2003: 50). Konsonan
adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan berbagai hambatan atau penyempitan
aliran udara (Kentjono, 1982:26-28). Pada pelafalan konsonan, ada tiga faktor
Universitas Sumatera Utara
yang terlibat: keadaan pita suara, penyentuhan atau pendekatan berbagai alat ucap,
dan cara alat ucap itu bersentuhan atau berdekatan (Alwi dkk, 2003:52).
Setiap bahasa mempunyai ciri khas dalam fonotaktik, yakni dalam
merangkai fonem untuk membentuk satuan fonologis yang lebih besar, misalnya
suku kata. (Kentjono dan Sunarto, 1990:34). Menurut Sigurd (1968:450),
deskripsi fonologis suatu bahasa secara umum terdiri atas deskripsi fonem-fonem
pada bahasa dan deskripsi distribusi fonem, dan pernyataan itu sering disebut
struktur fonotaktik dalam bahasa. Dengan demikian fonotaktik merupakan sebuah
ilmu yang mengatur urutan fonem-fonem yang membentuk sebuah kata yang
menghasilkan bunyi yang dapat berterima dalam sebuah bahasa. Aturan-aturan
tersebut tidak sama pada semua bahasa, tetapi berbeda-beda. Istilah fonotaktik
sering kali didefenisikan berbeda-beda oleh para ahli bahasa. Kridalaksana
(1982:58) memberikan tiga defenisi untuk istilah fonotaktik, yaitu:
1.
Urutan fonem yang dimungkinkan dalam suatu bahasa
2.
Deskripsi tentang urutan tersebut
3.
Gramatika stratifikasi, sistem pengaturan dalam stratum fonetik
Pengertian lain terdapat dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia
(TBBBI), fonotaktik adalah kaidah yang mengatur deretan fonem mana yang
terdapat dalam bahasa dan mana yang tidak. Kaidah itulah yang menyebabkan
kita dapat merasakan secara intuitif bentuk mana yang kelihatan seperti kata
Indonesia dan mana yang tidak, meskipun kita belum pernah melihatnya
(Moeliono dkk:1988:52-53).
Universitas Sumatera Utara
Dalam penelitian ini yang berlaku pada pelafalan sejumlah kata-kata dalam
bahasa Pesisir Sibolga melalui kosakata Swadesh dan beberapa kosakata lainnya
yang direkam pada saat penelitian dalam pengambilan data. Selain itu, pengertian
tersebut sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk melihat urutan
fonem yang membentuk suku kata dalam bahasa Pesisir Sibolga.
2.2
Landasan Teori
2.2.1 Fonotaktik
Fonotaktik adalah suatu prosedur pertemuan dan penentuan tata urut dan
tata hubung fonem-fonem dalam sebuah bahasa yang berpedoman pada distribusi
(awal, tengah, dan akhir kata) sehingga yang dibicarakan dalam fonotaktik adalah
pola urutan bunyi pada kata.
Fonem adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi
membedakan makna. Dan kesatuan bunyi tersebut bertaut sehingga membentuk
suku kata. Fonem merupakan komponen langsung dalam suku. Pulgram (1970)
menyatakan bahwa:
The syllable is a linguistic unit of the figure type, a segment of the
section, which contains one vowel nucleus and whose phonological
boundaries, which may be but are not always necessarily signaled
phonetically, are determined by a general set of phonologicalphonotactic rules of syllabation that are applied to the specific
phonotactics of a given language.
Dalam menentukan batasan suku, Pulgram terlihat banyak memperhatikan
berbagai hal yang terkait dengan ciri suku. Pulgram bertolak dari pernyataan
bahwa suku adalah satuan bahasa bertipe figura. Sebagai satuan bahasa, suku
Universitas Sumatera Utara
merupakan klas yang dapat ditempatkan di antara klas yang lainnya dalam jajaran
satuan bahasa, seperti fonem, morfem, ataupun leksem. Masing-masing dapat
dipandang sebagai satuan emik yang terdapat pada tuturan. Pengertian figura
dalam hubungan ini oleh Pulgram diberikan dengan mempertentangkan satuan
fonem dan suku dengan satuan morfem dan leksem. Satuan fonem dan suku
menurut Pulgram masuk tipe figura. Figura itu sendiri tidak bermakna dan tidak
pula menyatakan makna (the figure does not by and of itself convey meaning).
Namun, figura berguna dalam upaya melengkapi makna tanda (sign). Walau
tergolong ke dalam tipe figura, antara fonem dan suku tetap terdapat perbedaan
yang jelas. Pulgram melihat perbedaan itu dari ciri yang dimiliki oleh masingmasing satuan bahasa di atas. Fonem memiliki ciri khusus yang memungkinkan
terdapatnya pengertian ataupun batasan tentang fonem itu sendiri. Ciri itu, yang
sekaligus dapat dijadikan batasannya adalah bahwa di samping sebagai figura,
fonem merupakan satuan fungsional terkecil bahasa. Dengan kedua ciri yang
dimilikinya itu dapat dikatakan bahwa fonem dengan sendirinya telah beroleh
batasan. Ciri fonem yang dimaksud di atas, yang sekaligus dapat dijadikan
sebagai batasannya, tidak terlihat pada suku. Walau tergolong figura, suku tidak
dapat diberi batasan atas dasar jumlah komponen satuannya. Hal ini disebabkan
oleh jumlah komponen fungsional suku tidak dapat diperkirakan. Suku tidak dapat
dikatakan merupakan satuan minimum atau maksimum, dan tidak pula sebagai
satuan dengan jumlah komponen yang pasti. Jelasnya, suku hanya dapat
diterangkan berdasarkan bentuk dan batas-batasnya sendiri. Sifat suku yang tidak
dapat disebut sebagai satuan fonotaktik minimum dengan sendirinya memperjelas
bahwa suku menduduki posisi di atas fonem dalam hierarki satuan bahasa, dengan
Universitas Sumatera Utara
pengertian bahwa suku pada dasarnya terwujud berkat adanya kombinasi fonem
tertentu menurut kaidah fonotaktik yang berlaku. ( Hasibuan, (1996: 37-39)).
Fromkin dan Rodman (1993: 231) mengatakan bahwa pembatas-pembatas
(constraints) deretan segmen disebut pembatas-pembatas fonotaktik bahasa itu.
Jika kita memeriksa fonotaktik bahasa Inggris, kita menemukan bahwa fonotaktik
sebuah kata sebenarnya pada dasarnya berdasarkan fonotaktik suku kata.
Hyman (1975: 10) mengatakan bahwa ada juga pembatas-pembatas
segmental yang mencirikan tataran fonetis yang merujuk kepada pembataspembatas segmental fonetis, dimana batasan-batasan seperti ini disebut pembatas
segmental. Dan di samping pembatas-pembatas segmental, ada juga pembatas
fonotaktik (sequential constraints) dan yang dapat menyinggung salah satu tataran
fonetis atau tataran fonologis, atau kedua-duanya. Kalau dibicarakan masalah
pembatas-pembatas fonotaktik fonologis dan pembatas-pembatas fonetis, hal ini
berarti bahwa dalam kedua tataran itu, ada batasan bagaimana segmen (bunyi)
dapat dikombinasikan secara berurutan (sequentially). Hal ini bisa berarti bahwa
kata atau suku kata hanya dapat dimulai dengan segmen-segmen tertentu atau
segmen-segmen tertentu tidak dapat terjadi sebelum atau sesudah segmen (bunyi)
yang lain.
O’Grady, dkk (1997:77) mengatakan bahwa fonotaktik adalah seperangkat
pembatas-pembatas tentang bagaimana pola deretan bunyi-bunyi (segmen) itu
terbentuk, membentuk bagian dari kemampuan dan pengetahuan fonologis yang
dimiliki oleh penutur bahasa itu. Pembatas fonotaktik merujuk pada batasan
distribusi bunyi dan deretan bunyi pada posisi (awal, tengah, akhir) dalam kata
atau frasa.
Universitas Sumatera Utara
Alwi, dkk (1998:28) mengatakan bahwa dalam bahasa lisan, kata umumnya
terdiri dari rentetan bunyi yang satu mengikuti yang lain yang mempunyai makna.
Bunyi-bunyi itu mewakili rangkaian fonem serta alofonnya. Rangkaian fonem itu
tidak bersifat acak, tetapi mengikuti kaidah tertentu. Fonem yang satu yang dapat
mengikuti fonem yang lain ditentukan berdasarkan konvensi di antara para
pemakai bahasa itu sendiri. Kaidah yang mengatur deretan fonem dalam satu
bahasa disebut kaidah fonotaktik.
Kridalaksana (1982:58) memberikan tiga defenisi untuk istilah fonotaktik,
yaitu:
1.
Urutan fonem yang dimungkinkan dalam suatu bahasa
2.
Deskripsi tentang urutan tersebut
3.
Gramatika stratifikasi, sistem pengaturan dalam stratum fonetik
Hawkins (1984:61) mengatakan bahwa kajian tentang kombinasi deretan
bunyi pada umumnya dikenal sebagai fonotaktik. Hal senada juga disampaikan
oleh Wolfram dan Johnson (1982:75) mengatakan bahwa pola-pola tertentu dalam
penggabungan bunyi-bunyi pada sebuah bahasa disebut fonotaktik bahasa itu.
Burling (1992:134) mengatakan bahwa fonotaktik merupakan kajian tentang
urutan dan susunan unit fonologis suatu bahasa
yang dapat diizinkan tetapi
terbatas.
Finegan dan Besnier (1989:78) mengatakan bahwa kaidah-kaidah yang
memerikan struktur suku kata dalam suatu bahasa disebut pembatas fonotaktik.
Hartmann dan Stork (1972:175) mengatakan bahwa fonotaktik adalah sistem dan
kajian dalam mencirikan penyusunan deretan fonem. Kenstowics (1994:250)
Universitas Sumatera Utara
mengatakan bahwa pembatas fonotaktik merujuk pada batasan distribusi bunyi
dan deretan bunyi pada posisi (awal, tengah, dan akhir) dalam kata atau frasa.
Dengan demikian dari pendapat di atas bahwa pembatas-pembatas dalam
memadukan beberapa bunyi bahasa dalam sebuah bahasa belum tentu merupakan
kendala bagi bahasa lainnya, dan dalam hal ini peneliti lebih cenderung mengikuti
pendapat Wofram dan Johnson (1982:75), Pulgram (1970), Kridalaksana
(!982:58), dan Burling, (1992:134) seperti yang dideskripsikan di atas.
2.2.2 Fonem
Fonem sebagai figura oleh Pulgram (1970) disebut juga satuan fungsional
terkecil bahasa. Lyons (1981), yang juga menganggap fonem sebagai satuan
fungsional terkecil bahasa, memberikan batasan fonem dengan memperhatikan
aspek distribusinya. Lyons mengartikan distribusi itu sebagai konteks terdapatnya
suatu bunyi pada seluruh kalimat yang ada dalam sebuah bahasa. Dua buah bunyi
dapat dinyatakan sebagai dua fonem yang berbeda apabila di antara keduanya
terdapat distribusi tumpang tindih yang membedakan bentuk yang satu dengan
lainnya. Antara [m] dan [n] dalam bahasa Pesisir Sibolga, misalnya, dapat
dinyatakan sebagai dua fonem yang berbeda karena kedua bunyi tersebut
berdistribusi tumpang tindih. Perbedaan fungsionalnya terlihat, misalnya, dalam
membedakan bentuk [makkan] ‘makan’ dengan [nakkan] ‘keponakan’, ataupun
antara [ayam] ‘ayam’ dengan [ayan] ‘sejenis ember tapi digunakan untuk
memasak’. Hanya bunyi yang memiliki perbedaan fungsional saja yang dapat
membedakan satu bentuk dengan bentuk lain. Dengan demikian, dari contoh di
Universitas Sumatera Utara
atas diperoleh dua fonem yang berbeda. Keduanya adalah nasal bilabial /m/ dan
nasal alveolar /n/.
Jadi komponen sesungguhnya dari sistem bahasa adalah fonemnya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa fonem adalah kesatuan bunyi terkecil suatu
bahasa yang berfungsi membedakan makna. Fonem diklasifikasikan menjadi dua
golongan, yaitu fonem vokal dan fonem konsonan. Fonem vokal adalah bunyi
yang dihasilkan tanpa melibatkan penyempitan atau penutupan daerah artikulasi.
Ketika bunyi itu diucapkan, yang diatur hanyalah ruang resonansi pada rongga
mulut melalui pengaturan posisi lidah dan bibir. Fonem vokal lebih sedikit
jumlahnya bila dibandingkan dengan fonem konsonan. hal tersebut dikarenakan
terbatasnya pengaturan posisi lidah dan bibir ketika bunyi itu diucapkan. Berikut
ini merupakan peta fonem vokal yang terdapat dalam bahasa Indonesia.
Tabel 1
Peta Fonem Vokal dalam bahasa Indonesia
Depan
Tinggi
/i/
Sedang
/e/
Rendah
Tengah
Belakang
/u/
/ə /
/o/
/a/
Fonem konsonan adalah bunyi yang dihasilkan dengan melibatkan penyempitan
dan penutupan pada daerah artikulasi. Bunyi-bunyi konsonan ini lebih banyak
jenisnya dari bunyi vokal, seiring dengan banyaknya jenis articulator yang terlibat
Universitas Sumatera Utara
dalam upaya penyempitan atau penutupan ketika bunyi itu diucapkan. Berikut ini
merupakan peta fonem konsonan yang terdapat dalam bahasa Indonesia.
Tabel 2
Peta Fonem Konsonan dalam bahasa Indonesia
Cara
artikulas
i
Daerah
artikulas
i
Plosif
Bilabia
l
labiodenta
Denta
Alveola
Palato-
Palata
Vela
Glota
l
l
r
alveola
l
r
l
r
p
b
f
t
s
d
z
Afrikatif
h
ʃ
c
k
ʤ
j
kh
g
Lateral
l
Tril
r
Flap
Nasal
m
Semi-
w
n
ñ
ŋ
y
vokal
Dalam pembicaraan fonotaktik bahasa Pesisir Sibolga, komponen yang
diperhitungkan adalah fonemnya pada tataran suku kata.
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Penyukuan (Syllabification)
Penyukuan adalah prinsip untuk menentukan kombinasi kata-kata yang
monosilabis dan disilabis dalam sebuah bahasa seperti yang dikutip dari beberapa
linguis di bawah ini:
Wolfram dan Johnson (1982:86) mengatakan bahwa prinsip untuk
menentukan kombinasi kata-kata yang monosilabis dalam sebuah bahasa disebut
penyukuan, yang terdiri atas suku kata yang terbuka dan tertutup.
Pulgram (1970) menyatakan bahwa kaidah atau aturan penyukuan didasari
oleh prinsip fonemik yaitu sebagai berikut:
1. Menetapkan kata mana dari tuturan yang harus diuraikan atas sukunya.
Batas-batas kata dengan sendirinya akan menjadi batas suku.
2. Membagi sementara setiap kata sedemikian rupa sehingga batas suku tetap
berada sesudah setiap vokal. Dengan cara ini diperoleh suku-suku terbuka.
3. Jika perolehan suku terbuka tidak memberi kemungkinan karena tidak
terdapatnya distribusi vokal pada posisi akhir kata, maka sejumlah
konsonan sebatas yang diperlukan dapat menutupi suku terbuka itu dengan
akhir suku yang diperbolehkan. Vokal yang semula menduduki posisi
akhir suku akhirnya berubah posisi karena adanya pemindahan konsonan
dari awal suku sesudahnya kepada suku yang mendahuluinya.
4. Jika perolehan suku terbuka tidak memberi kemungkinan karena sejumlah
konsonan yang akan menjadi awal suku bagi suku sesudahnya tidak
terdapat pada posisi awal kata, maka sejumlah konsonan sebatas yang
diperlukan dapat dipindahkan dari awal suku itu untuk menjadi akhir suku
Universitas Sumatera Utara
bagi suku yang mendahuluinya. Suku pertama, yang sebelumnya terbuka,
akhirnya menjadi tertutup.
5. Jika pemindahan konsonan dari posisi awal suku ke posisi akhir suku
memunculkan sejumlah konsonan akhir suku yang tidak diperbolehkan,
maka keunikan itu lebih dibebankan kepada akhir suku daripada ke awal
suku yang mengikutinya.
Kaidah penyukuan yang diusulkan Pulgram pada dasarnya memberi
pengutamaan pemerolehan suku terbuka serta pemaksimalan awal suku terbuka
serta pemaksimalan awal suku. Prinsip senada yang menguatkan kaidah
penyukuan Pulgram kemudian terlihat juga pada Clement and Keyser (1983).
Problema penetapan konsonan antara kepada suku (syllable node) mana
komponen K harus disertakan (yang di depan atau yang berikutnya) memberi latar
pengusutan ‘Prinsip Mendahulukan Awal Suku’ (The Onset First Principle)
mereka. Prinsip penyukuan mereka (1983) dalam Katamba (1989) adalah sebagai
berikut:
a.
Konsonan awal suku dimaksimalkan sesuai dengan konsonan struktur suku
bahasa yang bersangkutan (syllable-initial consonants are maximised to the
extent consistent with the syllable structure conditions of the language in
question).
b.
Konsonan akhir suku, kemudian, dimaksimalkan sesuai dengan kondisi
struktur suku bahasa yang bersangkutan (syllable-final consonants with the
syllable structure of the language in question) (Hasibuan, (1996: 48-50))
Universitas Sumatera Utara
Dalam penerapannya prinsip (a) harus mendahului (b), yaitu pemaksimalan
awal suku sebatas tercapainya kondisi struktur suku bahasa yang bersangkutan.
Struktur kata VKV, sesuai prinsip mendahulukan awal suku, harus diurai atas VKV. Kata bahasa Pesisir Sibolga <ijo>’ hijau’, misalnya, akan dapat diuraikan
atas sukunya menjadi /i-jo/, bukan /ij-o/.
Uraian lanjut prinsip penyukuan Clement and Keyser (1983), dapat dibuat
secara bertahap sebagai berikut:
a.
Setiap V pada kata dihubungkan dengan simpul suku. Gambaran ini
memberi arti tidak terdapatnya suku tanpa V sebagai inti.
b.
Setiap K digabungkan dengan V terdekat di sebelah kanannya sehingga
menghasilkan sejumlah konsonan yang tidak menyalahi kaidah bahasa yang
bersangkutan. Prosedur ini dengan sendirinya menghasilkan awal suku.
c.
Setiap K yang tersisa disertakan kepada V terdekat di sebelah kirinya.
Prosedur ini dengan sendirinya menghasilkan akhir suku.
Dengan mengambil kata sadebo (sebagian) bahasa Pesisir Sibolga,
gambaran tahapan kerja di atas terlihat seperti di bawah ini.
KVKVKV
s a d e b o
Universitas Sumatera Utara
Setiap V, sesuai ketentuan pada (b), dihubungkan dengan simpul suku.
KVKVKV
s a d e b o
ketentuan (b) mengharuskan pengabungan setiap K kepada V disebelah kanan.
Penerapan (b) menghasilkan awal suku / s- /, / d- /, / b-/ yaitu /sa-de-bo/.
Katamba, (1998:164) lebih cenderung mendeskripsikan peranan suku kata
dalam fonologi daripada pengertian penyukuan seperti yang diberikan di bawah
ini:
1.
Suku kata sebagai unit dasar fonotaktik. Dalam hal ini, suku kata tersebut
mengatur bagaimana konsonan dan vokal bisa dikombinasikan secara
hirarki fonologis.
2.
Suku kata sebagai ranah kaidah fonologis. Dalam hal ini pembatas struktur
suku kata tidak dibatasi dari kata pinjaman dan interferensi bahasa ibu
(mother tonge), sehingga struktur kata sering memainkan peranan yang
penting dalam menentukan kaidah fonologis internal sebuah bahasa.
3.
Suku kata sebagai struktur segmen yang kompleks. Dalam hal ini suku kata
tidak hanya mengatur kombinasi bunyi (segment) tetapi juga mengontrol
kombinasi ciri-ciri yang membentuk bunyi tersebut.
Spencer, (1996:72-73) mengatakan bahwa ada tiga alasan mengapa suku
kata itu sangat penting dalam teori fonologis seperti yang diberikan di bawah ini:
Universitas Sumatera Utara
1.
Kalau kita perhatikan kumpulan bunyi dalam sebuah bahasa, kita akan
menemukan
adanya
prinsip
yang
tertentu
digunakan
dalam
pembentukannya.
2.
Sangat banyak pembatas dalam bahasa tertentu cenderung diaplikasikan
pada tataran struktur suku kata di samping tataran morfem maupun tataran
kata.
3.
Suku kata adalah hal yang paling baik dapat dipahami sebagai pembentukan
konstituen dalam proses fonologis. Pendeknya pengertian tentang
penyukuan sangat penting dalam pemahaman kita untuk menyusun sistem
fonologis suatu bahasa.
Hyman (1975:188) juga berpendapat dan menyatakan bahwa suku kata
terdiri dari dua bagian fonetis, yaitu:
1.
Konsonan yang mendahului vokal disebut Onset (O)
2.
Rima (R). Rima terdiri atas dua bagian yaitu: (a) inti (nucleus) atau ‘peak’,
(b) konsonan yang mengikuti vokal disebut koda (coda).
Contoh:
𝝨𝝨 = suku kata
Onset (O)
Rhyme (R)
Nucleus (R)
Coda
(C)
s
p
r
i
n
t
Universitas Sumatera Utara
O’Grady, dkk (1989:79-80) mengatakan bahwa untuk mendeskripsikan
penyukuan dalam dua suku kata atau lebih melalui empat langkah, yaitu sebagai
berikut:
Langkah pertama, karena inti suku kata merupakan konstituen yang wajib
pada sebuah suku kata, maka inti suku kata itu yang pertama sekali ditentukan
pada tiap-tiap sukunya yang biasanya vokal, dan di atas masing-masing simbol
nucleus (N) ditempatkan Rima (R), dan di atas masing-masing Rima (R)
ditempatkan simbol sigma (𝝨𝝨) untuk pembatas suku katanya.
Contoh:
𝝨𝝨
𝝨𝝨
R
R
N
N
ԑkstrim
(Extreme)
Langkah kedua, deretan konsonan yang terpanjang ke sebelah kiri masingmasing inti (N) yang tidak melanggar pembatas-pembatas fonotaktik suatu bahasa
disebut onset (O) dari suku katanya.
Contoh:
𝝨𝝨
𝝨𝝨
R
R
N
O N
ԑkstrim
(Extreme)
Universitas Sumatera Utara
Langkah ketiga, ini diartikan bahwa setiap konsonan yang sisa yang ada di
sebelah kanan dan tiap-tiap (N) membentuk coda (C). Coda ini digabungkan
dengan inti suku kata yang berakhir dengan coda (C) dalam hal ini disebut suku
kata tertutup.
Contoh:
𝝨𝝨
R
𝝨𝝨
R
NCO NC
ԑks tri m
(Extreme)
Menurut Halim (1984:144), struktur suku kata (atau pola KV) terdiri dari 3
(tiga) bagian, yaitu: ‘ancang-ancang’, ‘puncak (inti)’, dan ‘koda’. Ambercrombie,
dalam Halim, menyebut ketiga bagian itu dengan istilah “konsonan pelesap” (K),
“unsur silabik” (V), dan “konsonan penahan” (K) (Halim, 1984:144). Dalam
penelitian ini istilah yang akan digunakan adalah konsonan (K) dan vokal (V).
Menurut Halim (1984) ada 4 (empat) tipe utama struktur suku kata dalam
bahasa Indonesia yaitu KV, KVK, VK, dan V. Kemudian Halim mengembangkan
kombinasi yang mungkin terjadi dari keempat tipe tersebut. Kombinasi yang
didapatkan Halim dalam 2 (dua) suku kata, adalah sebagai berikut:
1. KV – KV
/lu-pa/
2. KV – KVK
/ma-kan/
3. KV – VK
/ka-in/
Universitas Sumatera Utara
4. KVK – V
/ma-u/
5. KVK – KV
/tan-da/
6. KVK – KVK
/lom-pat/
7. VK – KV
/aη-ka/
8. VK – KVK
/ar-wah/
9. V – KV
/i-ni/
10.
V – KVK
/a-naɁ/
11.
V - VK
/a-ir/
12.
V–V
/i-a/
Moeliono dkk.(1988:66) memperluas keempat struktur suku kata utama
menjadi 11 macam yaitu:
1. V
/a-mal/
2. VK
/ar-ti/
3. KV
/pa-sar/
4. KVK
/pak-sa/
5. KKV
/slo-gan/
6. KKVK
/trak-tor/
7. KVKK
/teks-til/
8. KKKV
/stra-te-gi/
9. KKKVK
/struk-tur/
10.
KKVKK
/kom-pleks/
11.
KVKKK
/korps/
Universitas Sumatera Utara
Contoh-contoh pada struktur suku kata di atas yang mengandung gugus
konsonan sebagian besar berasal dari bahasa Inggris. Lauder mengungkapkan
bahwa sekitar 85% lema-lema yang terdapat dalam KBBI (1993) cenderung
berkonstruksi KV (49,50%) dan KVK (35,42%). Dari hasil perhitungan itu
terlihat bahwa suku yang mengandung gugus konsonan jumlahnya hanya
mencapai 3,65%. Jumlah yang kecil menunjukkan bahwa suku kata dengan
konstruksi demikian merupakan struktur baru dalam bahasa Indonesia.
Menurut Yusuf (1998:124) struktur suku kata yang paling alamiah adalah
KV (Konsonan Vokal) yang selalu muncul dalam berbagai bahasa di dunia, dan
dalam pemerolehan bahasa anak-anak. Struktur demikianlah yang pertama kali
dikuasai anak-anak. Begitu pula dalam bahasa Indonesia, konstruksi KV ini
merupakan salah satu dari 4 (empat) struktur suku kata utama, seperti yang telah
disebutkan sebelumnya.
Berdasarkan pada penjelasan di atas, disadari begitu banyaknya teori yang
disampaikan para ahli mengenai fonotaktik. Dalam setiap teori tersebut mereka
mempunyai ciri khas masing-masing. Namun dalam hal ini, teori yang dipakai
dalam penelitian ini, penulis mengikuti teori Pulgram (1970).
Contoh: /-mb-/ dalam bahasa Pesisir Sibolga seperti pada kata: [rambuɁ]
‘rambut’ pemisahan sukunya adalah [ram-buɁ]. Kedua pasangan bunyi ini
berdampingan (berderet) dan kedua pasangan ini terletak pada suku kata yang
berbeda sehingga gabungan konsonan seperti itu dinamakan deret konsonan.
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Deret Konsonan
Deret konsonan adalah gabungan dua konsonan yang terdapat pada suku
kata yang berbeda meskipun berdampingan seperti pendapat Pulgram, (1970:79)
mengatakan bahwa gabungan dua konsonan atau lebih yang terjadi pada suku kata
yang berbeda meskipun berdampingan disebut deret. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh Alwi, dkk., (1998:79) mengatakan bahwa deret adalah
gabungan dua konsonan atau lebih yang terjadi pada suku kata yang berbeda
meskipun berdampingan. Lauder, (1996: 148) juga menyatakan deret konsonan
adalah konsonan-konsonan yang berada dalam suku kata yang berbeda. Contoh
deret konsonan di tengah dalam bahasa Pesisir Sibolga (BPS):
/-mb-/ pada
[rambuɁ]
‘rambut’
/-ŋk-/ pada
[baŋka?]
‘jangan’
/-nt-/ pada
[hantam]
‘angkat’
/-kk-/ pada
[dakke?]
‘dekat’
2.2.5 Gugus Konsonan
Gugus konsonan adalah deretan dua konsonan atau lebih yang tergolong ke
dalam satu suku kata yang sama ketika dilafalkan baik pada posisi awal, tengah,
dan akhir kata. Lauder, (1996:150) mengatakan bahwa gugus konsonan adalah
dua atau tiga konsonan berdampingan yang terdapat dalam satu suku kata.
Pulgram (1970) dalam Hasibuan (1996:55) mengusulkan bahwa gugus konsonan
(cluster) untuk pengertian kombinasi fonem konsonan yang terdapat pada suku
Universitas Sumatera Utara
yang sama. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa gugus konsonan
merupakan gabungan dua atau tiga konsonan yang berjejer dalam satu suku kata
yang letaknya bisa di awal dan di akhir suku kata.
2.2.6 Deret Vokal
Deret vokal adalah vokal-vokal yang berderet dalam dua suku kata yang
berbeda. Deretan vokal biasanya merupakan dua vokal yang masing-masing
mempunyai satu hembusan napas dan karena itu masing-masing termasuk dalam
suku kata yang berbeda. Dengan kata lain deret vokal adalah dua atau lebih vokal
yang berjajaran yang terdapat pada suku kata yang berbeda ketika dilafalkan. Ada
beberapa defenisi deret vokal yang dikutip dari beberapa pendapat linguis di
bawah ini:
Aminoedin dkk.(1984:140) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan deret
vokal ialah dua atau lebih vokal yang berjajaran, tetapi masing-masing merupakan
puncak kenyaringan ucapan. Hal ini berarti bahwa masing-masing merupakan
suku yang berlainan. Alwi dkk.(1998:52) juga mengatakan deret vokal adalah
hembusan nafas yang sama atau hampir sama, kedua vokal itu termasuk dalam
suku kata yang berbeda. Contoh: deret /ai/, dan /ao/ pada kata kain (kain) dan
maon (rasakan) adalah deret vokal karena masing-masing terdiri atas dua suku
kata yaitu: ka-in dan ma-on.
Jadi dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa deret vokal merupakan
gabungan dua atau lebih vokal yang berjajaran yang terdapat pada suku kata yang
berbeda dan merupakan puncak kenyaringan ucapan.
Universitas Sumatera Utara
2.3
Tinjauan Pustaka
Penelitian ini tentang fonotaktik fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga.
Penelitian ini memuat uraian yang sistematik dan relevan dari fakta, hasil
penelitian sebelumnya yang bersifat mutakhir yang memuat teori atau pendekatan
terbaru yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. Berikut ini
beberapa penelitian yang telah dilakukan para peneliti-peneliti bahasa tentang
fonotaktik yang dapat dijadikan sebagai bahan dasar rujukan penelitian ini.
Hasibuan (2009) meneliti problematika fonotaktik bahasa Indonesia,
menyatakan setiap bahasa mempunyai ketentuan sendiri yang berkaitan dengan
kaidah kebahasaan termasuk di dalamnya kaidah deretan fonem. Kaidah yang
mengatur deretan fonem mana yang terdapat dalam bahasa dan mana yang tidak
dinamakan fonotaktik. Bahasa Indonesia juga mempunyai kaidah semacam itu
seperti deretan vokal, deretan konsonan, dan suku kata dalam bahasa Indonesia,
seperti: deretan vokal: /-iu-/ pada kata tiup, nyiur.
Deretan vokal di atas adalah deretan vokal yang lazim dan berterima dalam
bahasa Indonesia. Deretan konsonan misalnya /-mp-/ pada kata empat dan /-nd-/
pada kata indak. Deretan konsonan di atas adalah deretan konsonan yang lazim
dan berterima dalam bahasa Indonesia. Deretan vokal dan konsonan dalam suku
kata:
a.
V
: a - mal
b.
VK
: ar - ti
c.
KV
: pa - sar
d.
KVK
: pak - sa
e.
KKV
: slo - gan
Universitas Sumatera Utara
f.
KKVK
: trak - tor
g.
KVKK
: teks - til
h.
KKKV
: stra – te - gi
i.
KKKVK
: struk - tur
j.
KKVKK
: kom - pleks
k.
KVKKK
: korps
Hasibuan (1979) dalam bukunya Deskripsi Bahasa Batak Toba menguraikan
inventarisasi fonem Bahasa Toba, sebagai berikut:
1.
Vokal: /a/, /i/, /u/, /e/, /o/ dengan kata lain, vokal /e/ dan /o/ masing-masing
mempunyai alofon, yaitu:
/E/
[sEhat]
bahasa Indonesia
/e/
[binje]
ucapan suku Jawa
/ɵ/
[tɵlɵŋ]
bahasa Indonesia
/o/
[bodo]
bahasa Jawa
e
o
2.
Konsonan: /b/, /p/, /d/, /t/, /j/, /g/, /k/, /m/, /n/, /ŋ/, /h/, /l/, /r/, /s/, /Ɂ/.
3.
Fonem bahasa Indonesia yang tidak dijumpai pada bahasa Batak Toba yaitu:
e
/∂/
[b∂nar]
bahasa Indonesia
c
/c/
[cacat]
bahasa Indonesia
ññ
/ñ/
[ñañi]
bahasa Indonesia
w
/w/
[duwa]
bunyi pelancar
Universitas Sumatera Utara
y
/y/
[bayion]
bunyi pelancar
dengan catatan:
fonem /w/ dan /y/ dalam bahasa Toba hanya dipakai sebagai bunyi pelancar
saja.
4.
Bahasa Batak Toba mempunyai klaster tidak produktif yaitu: /nd/ - /ndang/
artinya ‘tidak’, dan /ndada/ ‘tidak ada’.
5.
Diftong tidak dijumpai dalam bahasa Batak Toba seperti: balai [balE],
damai [damE], dan pulau [pulo].
Chaiyanara (2007) meneliti Fonotaktik Bahasa Melayu. Transfonologisasi
Internal dan Eksternal, maksudnya satu penyesuaian dan pemunculan bentuk
fonem yang baru serta kemajuan secara diakronik tentang sistem dan penyusunan
fonem bahasa Melayu. Transfonologisasi dimaksudkan sebagai satu fenomena
pembentukan sistem fonologi baru dalam suatu bahasa disebabkan oleh kebutuhan
tertentu dalam pembentukan kata dan penentuan makna.
Mengingat bahasa Austronesia Purba pada asalnya memiliki 4 (empat)
vokal yaitu [i, e, a, u], setelah berkembang menjadi bahasa Melayu induk, vokal i
dan u diperoleh masing-masing memiliki variasi fonemik dan berkembang
menjadi dua bunyi yang baru yaitu bunyi [i] menurunkan bunyi [i] dan [e]
sedangkan bunyi [u] menurunkan bunyi [u] dan [o] kepada bahasa Melayu induk.
Kemudian bunyi [a] memiliki variasi fonemik yaitu [a] dan [e] dalam
perkembangan bahasa Melayu induk. Dengan perubahan tersebut maka sistem
vokal dalam beberapa dialek bahasa Melayu induk terdiri dari sistem 6 vokal yaitu
[i, e, u, o, a, ∂].
Universitas Sumatera Utara
Perubahan hasil Transfonologisasi Austronesia Purba bunyi [e] memiliki
variasi fonemik yaitu [e] dan [E], sedangkan bunyi [o] memiliki variasi fonemik
yaitu [o] dan [ↄ]. Hasil transfonologisasi yang berlaku dalam bahasa Austronesia
Purba dan bahasa Melayu induk terwujud dalam delapan vokal [i, e, a, ↄ, o, u, ∂].
Contoh: [ada], [ad∂], [adↄ], [ado], [gali], [biru], [bek]. Ahli berikut yang
menyinggung fonotaktik bahasa Melayu/bahasa Indonesia adalah Spat (1900)
dalam Chayanara (2007). Fonem-fonem homorgan yang dapat berkombinasi telah
menjadi bagian dari perhatiannya. Antara lain adalah /ñ/ yang homorgan dengan
/c/ dan /j/, dan tidak menemukan adanya penerimaan kehadiran gugus konsonan.
Upaya Spat yang lain berkaitan dengan fonotaktik adalah penyukuan kata.
Setidaknya Spat telah memberikan rumusan tentang penyukuan kata dasar
(stamwoorden) dan kata berawalan. Untuk kata dasar Spat berpendapat bahwa
suku pertama senantiasa terbuka, sedangkan yang terakhir boleh terbuka ataupun
tertutup. Kata dasar seperti <tampar>, <jantan>, <angkat>, mengikuti rumusannya
dalam penyukuan akan menjadi /ta-mpar/, /ja-ntan/, /aŋ-kat/. Hasil penyukuan
kata dasar seperti yang dikemukakan oleh Spat terlihat lebih tepat disebut sebagai
hasil penggalan kata dasar daripada penyukuan atas dasar fonemik yang tetap
memperhatikan sistem fonem dan kenyataan berbahasa. Penyertaan dua konsonan
antara sekaligus kepada suku kedua untuk memperoleh suku pertama terbuka,
seperti dimaksudkan oleh Spat, tidak dapat diterima karen hal demikian
menyebabkan pemunculan gugus konsonan yang tidak ditemukan sebagai awal
kata dalam bahasa Indonesia. Penyukuan Spat dalam hal ini juga terlihat belum
menunjukkan dasar yang jelas. Spat setidaknya telah memuat penyukuan yang
Universitas Sumatera Utara
kontradiktif dengan ketentuan sebelumnya yang tidak membenarkan adanya
gugus konsonan dalam bahasa Melayu/ bahasa Indonesia.
Hasibuan (1996) meneliti Fonotaktik dalam Suku Kata Bahasa Indonesia.
Ada dua upaya pokok yang dilakukan dalam telaah tersebut. Pertama adalah
penyukuan terhadap kata, dan yang kedua merupakan uraian suku atas komponen
fonemisnya. Kedua upaya tersebut bertujuan menemukan kaidah. Upaya pertama
diharapkan dapat menghasilkan seperangkat kaidah penyukuan, dan upaya kedua
dapat menemukan kaidah fonotaktis yang berlaku pada suku kata bahasa
Indonesia. Telaah fonotaktik dalam suku bahasa Indonesia ternyata dapat
mengungkapkan lebih banyak fonem yang dapat berdistribusi pada akhir suku
daripada di akhir kata. Terdapatnya konsonan nasal palatal /ɲ/ sebagai akhir suku
pada berbagai suku memperjelas bahwa konsonan tunggal yang dapat
berdistribusi di akhir kata tidak dapat disamakan dengan yang dapat berdistribusi
di akhir suku. Konsonan /ɲ/ pada kenyataannya dapat ditemukan sebagai akhir
suku dalam banyak contoh seperti berikut ini.
gincu
/giñ.cu/
incar
/iñ.car/
renceng
/reñ.ceɲ/
benjol
/beñ.jol/
gencar
/gɜñ.car/
senjata
/sɜñ.ja.ta/
ancam
/añ.cam/
ganjaran
/gañ.ja.ran/
bonjol
/boñ.jol/
konco
/koñ.co/
kuncup
/kuñ.cup/
tunjuk
/tuñ.juk/
Konsonan /ñ/, sebagaimana terlihat di atas, terdapat sebagai akhir suku
apabila fonem kedua konsonan antara sesudahnya terdiri dari hambat palatal.
Dari segi distribusi terlihat juga bahwa /ñ/ dapat ditemukan sesudah vokal bahasa
Universitas Sumatera Utara
Indonesia pada akhir suku. Kenyataan ini menguatkan sekaligus pendapat
Pulgram (1970) yang menyatakan bahwa fonem atau gugus konsonan yang
menjadi batas kata dapat dipastikan sebagai awal atau akhir suku, tetapi fonem
dapat dipastikan sebagai awal atau akhir suku belum bisa dipastikan dapat
menjadi batas kata. Melalui penyukuan kata, batas suku perolehan diupayakan
sedemikian rupa sehingga susun taut fonemisnya memenuhi kaidah fonotaktik
batas kata bahasa Indonesia. Dalam upaya penyukuan kata bahasa Indonesia yang
dilakukan terdapat kombinasi konsonan antara (/jl-/) yang dalam telaah bahasa
Indonesia, hingga sejauh ini, beliau belum melihat statusnya sebagai awal suku.
Tidak diterimanya /jl-/ sebagai awal suku bahasa Indonesia, dari segi kaidah
penyukuan, dengan mudah dapat dipahami. Alasannya, kombinasi konsonan
antara tersebut tidak terlihat sebagai batas awal atau sebagai pendahulu kata.
Awal atau akhir suku tidak dapat disamakan dengan batas kata, kombinasi
konsonan antara tersebut potensial untuk menjadi awal suku. Sebagai contohnya
dapat dilihat pada suku perolehan penyukuan kata anjlok (/añ.jlok/).
Kontribusi penelitia Hasibuan ini dijadikan acuan oleh penulis dalam
mendukung keberhasilan penelitian ini terutama dalam mencari kaidah yang
berlaku dalam bahasa Pesisir Sibolga dalam hal urutan fonem dalam pembentukan
kata. Selain itu, penelitian tersebut juga berkontribusi dalam menemukan
fonotaktik fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga karena materi dan teori yang
digunakan adalah sama.
Siahaan (2009) meneliti Fonotaktik Bahasa Toba. Dari penelitannya tersebut
menemukan 21 (dua puluh satu) deret vokal dalam bahasa Toba yaitu: /ai/, /au/,
/ae/, /ao/, /ia/, /iu/. /io/, /ua/, /ui/, /ue/, /ea/, /eu/, /eo/, /oa/, /oi/, /ou/, /uo/, /aoa/,
Universitas Sumatera Utara
uae/, /aio/, dan /auo/. Deret vokal yang berada di awal, tengah dan akhir yaitu:
/ai/, /au/, /ae/, /ia/, /ua/, /ea/, /oi/. Deret vokal yang berada di tengah dan di akhir
yaitu /ao/, /iu/, /io/, /ue/, /eu/, /eo/, /oa/, /io/, /aoa/. Deret vokal yang berada di
tengah dan di akhir yaitu: /oa/, /iu/, /io/, /ue/, /eu/, /eo/, /oa/, /aoa/. Deret vokal
yang hanya berada di akhir yaitu: /ou/, /uo/.
Keduapuluh satu deret vokal di atas mempunyai jenis kata verba, nomina,
adjektiva, pronomina, dan adverbia. Deret konsonan dalam bahasa Toba ada 50
(lima puluh) yaitu: /-kp-/, /-kj-/, /-kd-/, /-kh-/, /-kt-/, /-kl-/, /-ks-/, /-lb-/, /-lg-/, /-lm/, /-ld-/, /-lh-/, /-lt-/, /-lp-/, /-lŋ-/, /-ls-/, /-mb-/, /-mp-/, /-ml-/, /-nd-/, /-ŋj-/, /-ns-/, /nt-/, /-ŋg-/, /-ŋt-/, /-ŋk-/, /-ŋs-/, /-ŋp-/, /-pr-/, /-pt-/, /-ph-/, /-ps-/, /-rb-/, /-rl-/, /-rt-/,
/-rh-/, /-rs-/, /-rj-/, /-rp-/, /-rg-/, /-rn-/, /-sp-/, /-sb-/, /-sn-/, /-st-/, /-sd-/, /-tm-/, /-tŋ-/,
/-ts-/.
Suku kata dalam bahasa Toba terdiri atas: vokal (V), vokal konsonan (VK),
konsonan vokal (KV) dan konsonan vokal konsonan (KVK). Dalam bahasa Toba
tidak ditemui gugus vokal, gugus konsonan, dan diftong. Dalam bahasa Toba
hanya ditemui cluster seperti /nd/ ‘ndang’ yang artinya ‘tidak’ dikatakan tidak
produktif.
Tarigan (2001) meneliti fonotaktik bahasa Karo. Dari penelitian tersebut
ditemukan struktur fonotaktik bahasa Karo yang ditinjau dari deret vokal, diftong,
gugus konsonan, deret konsonan dan suku kata. Deret vokal dalam bahasa Karo
ada 13 (tiga belas) yaitu: /ia/, /io/, /ea/, /eo/, /ai/, /ao/, /au/, /ou/, /ua/, ue/, /ui/, /ie/,
dan /iu/. Deret vokal /ia/, /io/, /ea/, /ai/, /au/, /ua/, /ui/, dan /iu/ berada pada posisi
awal, tengah dan akhir kata dasar, deret vokal /ou/ berada pada posisi awal dan
tengah kata dasar, sedangkan deret vokal /ue/ berada pada posisi awal dan akhir
Universitas Sumatera Utara
kata dasar. Jenis yang memuat ketiga belas deret vokal di atas adalah verba,
nomina, adjektiva, pronomina dan adverbia. Terdapat dua diftong yaitu /ou/ dan
/ei/. Kedua diftong tersebut berada pada posisi akhir kata dasar. Jenis yanng
memuat kedua diftong tersebut adalah nomina, adjektiva dan verba. Gugus
konsona dalam bahasa Karo ada enam yaitu: /mb-/, /mp-/, /nd-/, /nt-/, /ŋg-/, dan
/ŋk-/. Keenam gugus konsonan tersebut berada pada posisi awal dan tengah kata
dasar. Dari data yang didapatkan diketahui bahwa gugus konsonan dalam bahasa
Karo tidak dijumpai yang terdiri atas perpaduan tiga atau empat segmen seperti
halnya bahasa Inggris dijumpai gugus konsonan yang terdiri dari perpaduan tiga
atau empat segmen dalam satu suku kata yang sama yang terdapat pada posisi
awal dan akhir kata. Pembatas-pembatas gugus konsonan berdasarkan analisis
data dapat disimpulkan bahwa hanya dijumpai dalam bentuk nasal (m, n, ŋ) dan
bunyi positif (b, p, t, d, k, dan g) sehingga terbentuklah gugus /mb-/, /mp-/, /nd-/,
/nt-/, /ŋg-/, dan /ŋk-/ yang disebut nasal homorganik sehingga gugus konsonan
dalam bahasa Karo hanya terbatas pada bunyi nasal + bunyi plosif dan gugus
konsonan /bm-/, /pm-/, /dn-/, /tn-, /gŋ-/, dan /kŋ-/ seperti gugus konsonan ini tidak
dijumpai dalam bahasa Karo. Deret konsonan juga ditemukan ada sepuluh jenis
yaitu:
1.
Deret konsonan yang dimulai dengan /p/ berada pada posisi tengah. Jenis
deret konsonan ini adalah verba dan adjektiva.
2.
Deret konsonan yang dimulai dengan /m/ berada pada posisi tengah. Jenis
deret konsonan ini adalah verba dan adjektiva.
3.
Deret konsonan yang dimulai dengan /t/ berada pada posisi tengah. Jenis
deret konsonan ini adalah nomina, verb, adjektiva, dan adverba.
Universitas Sumatera Utara
4.
Deret konsonan yang dimulai dengan /n/ berada pada posisi tengah. Jenis
deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.
5.
Deret konsonan yang dimulai dengan /s/ berada pada posisi tengah. Jenis
deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.
6.
Deret konsonan yang dimulai dengan /l/ berada pada posisi tengah. Jenis
deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.
7.
Deret konsonan yang dimulai dengan /r/ berada pada posisi tengah. Jenis
deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.
8.
Deret konsonan yang dimulai dengan /k/ berada pada posisi tengah kata
dasar. Jenis deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.
9.
Deret konsonan yang dimulai dengan /ŋ/ berada pada posisi tengah. Jenis
deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.
10.
Deret konsonan yang dimulai dengan /h/ berada pada posisi tengah. Jenis
deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.
Dan suku kata yang terdapat dalam bahasa Karo pada penelitian tersebut
terbagi atas:
1.
Suku kata deret vokal berbentuk V. KV-VK, KV-V, V-VK dan KKV-V.
2.
Suku kata diftong berbentuk KVK-KV dan KV-KV.
3.
Suku kata gugus konsonan berbentuk KKV dan KKVK.
4.
Suku kata deret konsonan berbentuk KK yang dijumpai hanya pada satu
posisi yaitu posisi tengah kata dasar.
Penelitian yang juga digunakan sebagai bahan pemikiran tesis ini adalah
hasil penelitian Lauder (1996) pada artikelnya yang berjudul “Khazanah Fonem
Bahasa Indonesia: Menilik Frekuensi dan Fonotaktiknya”. Penelitian itu
Universitas Sumatera Utara
mengupas masalah fonotaktik bahasa Indonesia. Pengetahuan fonotaktik bahasa
Indonesia diperlukan sebagai acuan dalam menelaah fonotaktik fonem dalam
bahasa Pesisir Sibolga.
Lauder melakukan penilikan frekuensi dan fonotaktik fonem-fonem bahasa
Indonesia dalam rangka mengenali konstruksi bunyi bahasa Indonesia. Ada dua
prinsip konstruksi suku kata bahasa Indonesia yaitu ortografis dan gramatikal.
Data yang digunakan Lauder adalah Kompas dan Suara Pembaharuan, kemudian
diperoleh 255.704 kata, yang sudah diperiksa dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Lauder meneliti kata-kata yang diperoleh berdasarkan:
1.
Frekuensi pemunculan vokal
2.
Frekuensi pemunculan konsonan
3.
Fonotaktik. Ada dua kecenderungan yaitu: (a) pola yang cenderung berderet
konsonan nasal-non nasal homorganik, contohnya [nan-ti], (b) pola yang
cenderung berkonsonan getar atau konsonan tak bersuara, contohnya [musti]
4.
Gugus konsonan pada awal dan tengah kata yang paling menonjol dalam
kosakata bahasa Indonesia adalah konstruksi bunyi [kr-] dan [pr-].
Konstruksi yang cenderung digunakan adalah gugus konsonan di awal atau
tengah kata yang konsonan keduanya berupa konsonan getar [r] atau
konsonan sampingan [l]
5.
Ada tujuh konstruksi diftong, gugus vokal, dan deret vokal yang ditemukan
yaitu /ai/, /au/, /eu/, /oi/, /ae/, /ui/ dan /ei/.
Dari penelitian itu, Lauder menyimpulkan bahwa penilikan frekuensi fonem
menunjukkan bahwa bahasa Indonesia mempunyai ciri tersendiri, yaitu
Universitas Sumatera Utara
kecenderungan lebih pada pemakaian bunyi letup dan bunyi sengau. Lauder juga
menyebutkan bahwa sistem ejaan bahasa Indonesia cenderung fonemis.
Kontribusi yang dapat dijadikan bahan acuan terkait dengan penelitian yang
akan dilakukan ini adalah sama dan dengan adanya perbedaan kajian termasuk di
dalamnya penggunaan teori dan pendekatan yang berbeda maka diharapkan dapat
membantu peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini yaitu untuk mencari tahu
tentang fonotaktik fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga yang terfokus pada deret
vokal, deret konsonan, suku kata, dan pola struktur fonotaktik fonem dalam
bahasa Pesisir Sibolga.
Universitas Sumatera Utara
Download